Anda di halaman 1dari 131

21

BAB I
PENDAHULUAN

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan Manajemen Konflik serta
ruang lingkupnya.

Materi :
1. Apa itu Konflik
2. Pengertian Manajemen Konflik
3. Peran Manajemen Konflik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. APA ITU KONFLIK

Hasil Belajar 1 :
Mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami Koflik

Dalam fenomena interaksi dan interelasi sosial antar individu maupun


antar kelompok, terjadinya konflik sebenarnya merupakan hal yang
wajar. Pada awalnya konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang
tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai
gejala alamiah yang dapat berakibat negatif maupun positif tergantung
bagaimana cara mengelolanya. Oleh sebab itu, persoalan konflik tidak perlu
dihilangkan tetapi perlu dikembangkankarena merupakan sebagai bagian
dari kodrat manusia yang menjadikan seseorang lebih dinamis dalam
menjalani kehidupan.
Adanya konflik terjadi akibat komunikasi yang tidak lancar,
tidak adanya kepercayaan serta tidak adanya sifat keterbukaan dari
pihak-pihak yang saling berhubungan. Dalam realitas kehidupan keragaman
telah meluas dalam wujud perbedaan status, kondisi ekonomi, realitas sosial.
Tanpa dilandasi sikap arif dalam memandang perbedaan akan menuai
konsekuensi panjang berupa konflik dan bahkan kekerasan di tengah-tengah
kita.
Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan
diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, dan ditinggalkan, karena kelebihan
beban kerja atau kondisi yang tidak memungkinkan. Perasaan- perasaan
tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya kemarahan. Keadaan
tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan kegiatannya
secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja secara tidak
langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun
tidak disengaja.
Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya
ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan
lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi
antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang
terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu
tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
Robbins (1996: 1) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa

konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya


ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh
atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh
negatif.
Menurut Luthans (1981: 5) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh
adanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini
bersumber pada keinginan manusia.Istilah konflik sendiri diterjemahkan
dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan
permusuhan.
Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh
karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak
selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik
karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama
tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama
dengan konflik namun mudah menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada
persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan
aturan yang disepakati.

Definisi Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini
tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli
tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara maknamakna
yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai,
tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan perbedaan-
perbedaan dimaksud.
… the condition of objective incompatibility between values or goals, as
the bahavior of deliberately interfering with another’s goal achievement,
and emotional in terms of hostility (Luthans, 1985:386).

A process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of


B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or
her goals or furthering his or her interests (Robbins, 1996:428).
… disagreement between individuals or groups within the organization
stemming from the need to share scarce resources or engage in
interdependent work activities, or from differences in status, goals, or
cultures (Stoner dan Freeman, 1989:391).2
All kinds of opposition or antagonistic interaction. It based on scarcity of
power, resources or social position, and differing value systems (Kreitner
dan Kinicki, 1995:283).

Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan


suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau
perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga
mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.

Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi interaksi


antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik.
Ketika apa yang terjadi dalam hidup dan kehidupan membuat hati kita tidak
nyaman, maka itu masalah. Dalam hal ini mestinya hidup adalah damai, hidup
adalah sejahtera, hidup adalah gotong royong, hidup adalah silaturakhmi,
hidup adalah kesahajaan, hidup adalah ibadah, hidup adalah segala sesuatu
yang membuat kita jadi "enjoy". Nah ketika hidup kita jadi tidak romantis maka
sebenarnya ada masalah yang terjadi.
Kondisi seperti itu menjadi sebuah "fenomena" yang selalu menyatu
dalam hidup selama masih ada"kehidupan". Dengan demikian sulit seseorang
benar-benar dalam hidup yang terbebas dari masalah. Realitanya ada-ada
saja masalah yang muncul, apalagi kalua memang "dipermasalahkan".Antara
masalah dan terbebas dari masalah itulah yang kerap mendatangkan konflik.
Dalam sebuah institusi layanan pendidikan terjadi kelompok interaksi,
baik antara kelompok staf dengan staf, staf dengan Guru, staf dengan
keluarga dan siswa, staf dengan tata usaha, maupun dengan lainnya yang
mana situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik. Konflik
sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan
diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan
jengkel karena kelebihan beban kerja. Perasaan tersebut sewaktu-waktu
dapat memicu timbulnya kemarahan. Keadaan ini akan mempengaruhi
seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat
menurunkan produktivitas kerja organisasi secara tidak langsung dengan
melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat
disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan
teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai,
serta berbagai macam kepribadian individu. Champy dan Nohria dalam
Sulaksana menyebutkan tiga pemicu utama yang menggerakkan perubahan
lebih cepat ketimbang waktu-waktu sebelumnya yaitu;
1) Teknologi khususnya TI, yang telah mentransformasi bisnis
sedemikian dramatis;
2) Pemerintah : peninjauan ulang perannya dalam bisnis, karena dewasa
ini hampir semua pemerintah di seluruh dunia menggerkkan
deregulasi, privatisasi, dan perdagngan bebas; dan
3) Globalisasi, dimana banyak perusahaan di seluruh dunia bersaing
men-deliver produk atau layanan yang sama, di mana saja, kapan
saja, dengan harga yang makin kompetitif, yang pada gilirannya
memaksa organisasi dan perusahaan agar mampu menata diri dengan
cara yang radikal. 

Dunia pendidikanpun selalu mengadakan inovasi dalam berbagai hal, baik


yang menyangkut regulasi dan implementasinya di lapangan, menyiapkan
sumber daya (sumber daya manusia atau sumber daya lain), melengkapi
fasilitas sarana prasarana, mengganggarkan pembiayaan, membuat kendali,
dan hal-hal lain yang bersifat menejerial organisasi di lingkup pendidikan.
Perubahan yang terjadi seringkali membawa dampak ikutan yang salah
satunya adalah munculnya konflik dalam berbagai bentuk dan
tingkatan. Meskipun demikian, konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan dalam kehidupan. Bahkan sepanjang kehidupan, manusia
senantiasa dihadapkan dan bergelut dengan konflik. Demikian halnya dengan
kehidupan di sekolah, warga sekolah senantiasa dihadapkan pada konflik.
Perubahan atau inovasi baru, seperti implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS), pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sangat rentan menimbulkan
konflik (destruktif), apalagi jika tidak disertai pemahaman yang memadai
terhadap ide-ide yang berkembang.
Latihan :
L-1 : Bedakanlah antara konflik dan masalah
L-2 : Sebutkan perubahan diri sesorang dalam menghadaapi konflik
1.2. PENGERTIAN KONFLIK DAN MANAJEMEN KONFLIK
Hasil Belajar 2 :
Mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami pengertian KOnflik dan
Manajemen Konflik

Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara
pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi.
Sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua
kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya
mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan
kerjasama.
Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin, istilah
“conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau
perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu
kemudian berkembang  menjadi “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi
atas berbagai kepentingan”.
Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi
mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau
suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat
dicapai secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai macam keadaan
dan pada berbagai tingkat kompleksitas. Konflik merupakan sebuah duo yang
dinamis.
Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi
karena allternatif yang bersifat integrative dinilai sulit didapat. Ketika konflik
semacam ini terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri
atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap Aspirasi dapat
mengakibatkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-
masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu
mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka
percaya bahwa berhak memeiliki objek tersebut. Pertimbangan pertama
bersifat realistis, sedangkan pertimbangan kedua bersifat idealis.
Munculnya konflik tidak selalu bermakna negatif, artinya jika konflik dapat
dikelola dengan baik , maka konflik dapat memberi kontribusi positif terhadap
kemajuan sebuah organisasi.

Manajemen Konflik

Konflik dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu hal yang mendasar


dan esensial. Konflik mempunyai kekuatan yang membangun karena adanya
variable yang bergerak bersamaan secara dinamis. Oleh karena itu konflik
adalah suatu proses yang wajar terjadi dalam suatu kelompok atau
masyarakat.
a. Pengertian Manajemen Konflik
Manajemen, sebagaimana dikutip M. Sastra Pradja (1981 : 307) secara
etimologi berarti kepemimpinan; proses pengaturan; menjamin
kelancaran jalannya pekerjaan dalam mencapai tujuan dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya. Atau dengan kata lain manajemen
secara singkat berarti pengelolaan.
Menurut Mary Parker Vollett sebagaimana dikutip Bedjo Siswanto (1990:
3), manajemen merupakan seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui
orang lain. Namun lebih dari itu, manajemen mempunyai pengertian
sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan
sumberdaya-sumberdaya organisasi lainnya.
Sedangkan Konflik menurut Komaruddin (1994: 151) dapat berarti
perjuangan mental yang disebabkan tindakan-tindakan atau cita-cita
yang berlawanan. Dalam arti lain konflik adalah adanya oposisi atau
pertentangan pendapat atara orang-orang, kelompok- kelompok ataupun
organisasi-organisasi.
Jadi, Manajemen konflik adalah seni mengatur dan mengelola konflik
yang ada pada organisasi agar menjadi fungsional dan bermanfaat bagi
peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi.
Sedangkan tujuan utama manajemen konflik adalah untuk membangun
dan mempertahankan kerjasama yang kooperatif dengan para bawahan,
teman sejawat, atasan, dan pihak luar. Beberapa bentuk perilaku
manajemen konflik seperti tawar-menawar, dan pemecahan masalah
secara integratif, merupakan pendekatan-pendekatan untuk menangani
konflik yang menyangkut seorang manajer dan pihak lain yang
bantuannya dibutuhkan untuk mencapai sasaran pekerjaan. Keberadaan
konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996), ditentukan oleh persepsi
individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi
konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap
tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam
organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu
kenyataan.
BAB II
KONFLIK DALAM ORGANISASI

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan Konsep Konflik.
Materi :
4. Organisasi Sebagai Suatu Sistem
5. Konflik sebagai Bagian dari Perilaku
Organisasi
6. Konsep tentang Konflik

Too much or too little conflict can inhibit creativity.


Poorly managed conflict can do the same.
But when conflict is well managed, problems can be resolved
effectively,
and the solutions are more likely to be fresh and innovative.
(Stoner dan Freeman, 1989:391).

A. Organisasi Sebagai Suatu Sistem


Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung
(interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem
yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values
subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial
subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur
(structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem
lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan
antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul,
baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak
faktor yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau
ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan
kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke
dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu
dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan
kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan
organisasi.

B. Konflik Sebagai Bagian Dari Perilaku Organisasi


Konflik sebagai bagian dari Perilaku Organisasi, menurut Gibson,
(1997:437), Perilaku Organisasi selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi
jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau
tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Konflik
dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli
apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik
tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti
dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik
tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian
untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau
manajer organisasi.

Pandangan Terhadap Konflik


Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok
atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau
dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi.
Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik
dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa
keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Stoner dan Freeman
menyebut konflik tersebut sebagai konflik organisasional (organizational
conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the
Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap
dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan
kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam
uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429).

Pandangan Tradisional (The Traditional View).


Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat
sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk
memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah
violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan
sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa
1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional
akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan
di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.

Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View).


Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar
terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima
dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi
peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik
dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.

Pandangan Interaksionis (The Interactionist View).


Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu
asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi,
cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh
karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada
tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap
bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Stoner dan
Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik menjadi dua
bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern
(current view).

Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan dalam Tabel 1.1. Dalam


tabel tersebut, kedua cara pandang: tradisional dan modern, dibedakan
dalam lima aspek, yaitu: cara pandang terhadap konflik, faktor penyebab
timbulnya konflik, pengaruh konflik terhadap kinerja, fungsi manajemen,
dan bagaimana perlakuan terhadap konflik untuk mencapai kinerja
optimal.

Tabel 1: Pandangan Tradisional dan Modern tentang Konflik


BAB III
KONFLIK ORGANISASI

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menganalisis Konflik Organisasi.
Materi :
7. Hakekat Konflik, Proses Terjadinya Konflik
8. Penyebab Konflik, Jenis-Jenis Konflik

A. Hakekat Konflik, Proses Terjadinya Konflik


a. Hakekat Konflik

b. Proses Terjadinya Konflik


Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam antecedent
conditions, Schermerhorn, et al. merinci antecedent conditions
menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau peranan
yang mendua (role ambiguities); (2) persaingan untuk mendapatkan
sumberdaya yang terbatas; (3) rintangan-rintangan dalam
komunikasi (communication barriers); (4) konflik sebelumnya yang
tidak terselesaikan; dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang
mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Gambar 1: Proses Lahirnya Konflik

B. Penyebab Konflik, Jenis-Jenis Konflik


a. Penyebab Konflik
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut,
yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat,
dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup,
dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang
terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk
terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian
yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang
diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah
kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok,
gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan
antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok
dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi
kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya
konflik.

Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah


faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap
individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu
memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu
yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,
misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai
rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika
salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para
karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi
bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut
dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian
jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas,
tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya,
konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan
berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat
mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara
verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara,
pemogokan, dan sebagainya.
Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik,
sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana
yang disajikan di bawah ini (gambar 1).
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh Robbins,
mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn,
et al. (1982:461),
Gambar 1: Tahap-tahap Konflik

Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent


conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut:
1) ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
2) batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
3) persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
4) pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate
communication);
5) kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak
dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
6) kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan
dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi
pekerjaan);
7) peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas
atau tidak masuk akal;
8) batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga
sulit dipenuhi (unreasonable deadlines);
9) pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang
terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial
untuk konflik);
10) pengambilan keputusan melalui konsensus;
11) harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki
harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi,
akan lebih mudah untuk konflik);
12) tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.

b. Jenis-Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang
digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas
dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi
konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional
Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik
fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan
kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik
disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan
kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu
konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur).
Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak
fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat
fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu
yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut
terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik
tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang
memuaskan bagi individu, maka konflik tersebutdikatakan
fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok
maka konflik tersebut disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan
Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik
ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu
yang satu dengan individu yang lain.
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals
and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri
dengan norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict
among groups in the same organization). Konflik ini terjadi
karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda
dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini
terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi
menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya,
dalam perebutan sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict
among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi
sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi
yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan
keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.

c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi


Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari
posisi seseorang dalam struktur organisasi.
Ada empat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi.
Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini
yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf
yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang
mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di
samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain,
misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982),
yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional
conflict, constructive conflict, dan destructive conflict.

Pengelolaan Konflik
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau pimpinan
organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan
kondisi - kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah
satu atau lebih dari kondisi itu muncul, maka ia harus segera
mengambil tindakan, sebelum kondisi itu menjadi konflik
terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan cara
seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh
organisasi dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan.
Untuk itulah maka manajer harus memiliki kemampuan untuk
mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi faktor yang
mengancam keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi
faktor yang fungsional untuk meningkatkan kinerja organisasi.
PENYEBAB KONFLIK
Konflik dapat berkembang karena berbagai sebab :
1. Batasan pekerjaan yang tidak jelas
2. Hambatan komunikasi
3. Tekanan waktu
4. Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal
5. Pertikaian antar pribadi
6. Perbedaan status
7. Harapan yang tidak terwujud

Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai


berikut:
A. Faktor Manusia
1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya
kepemimpinannya.
2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3. Timbul karena ciri-ciri kepribadian individual, antara lain sikap
egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
B. Faktor Organisasi.
1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya. Apabila sumberdaya
baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau
dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini
merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam
suatu organisasi.
2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi. Setiap unit dalam
organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan
bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar
unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang
relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen,
sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan
tujuan untuk memajukan perusahaan.
3. Interdependensi tugas. Konflik terjadi karena adanya saling
ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja
dari kelompok lainnya.
4. Perbedaan nilai dan persepsi. Suatu kelompok tertentu mempunyai
persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak
“adil”. Para Kepala sekolah yang relatif muda memiliki presepsi
bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan
rumit, sedangkan para Kepala sekolah senior men¬dapat tugas yang
ringan dan sederhana.
5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan
yang tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen
mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan
unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang
mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
7. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan,
koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar
unit/ departemen.
BAB IV
PERFORMA KERJA DAN PRODUKTIFITAS

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menganalisis dan memeahami tentang
Performansi Kerja dan Produktifitas.

Materi :
9. Pendekatan Manajemen Konflik
10. Performansi Kerja
11. Produktivitas Kerja

a. Pendekatan Manajemen Konflik

b. Performansi Kerja
Kinerja karyawan yang tinggi akan menghasilkan performansi kerja

yang tinggi pula, menurut As’ad (2001) performansi kerja dapat dilihat

dari hasil yang dicapai oleh seseorang sesuai ukuran yang berlaku untuk

pekerjaan yang bersangkutan. Suatu perusahaan akan dapat meraih

tuntutan organisasinya dengan lebih efekif jika karyawan memiliki

performansi kerja yang tinggi. Pentingnya pemahaman perusahaan

terhadap performansi kerja karyawan sangat bermanfaat untuk

memperoleh kesuksesan dalam mengembangkan usaha.

Prawirasentono (1999) mengatakan bahwa penampilan kerja

menghasilkan akibat produktivitas bagi organisasi dan ganjaran individu

dalam bentuk gaji, keamanan kerja, kebaikan, pengakuan dari dasar dan

kesempatan promosi untuk karyawan. Seseorang mungkin memperoleh


kepuasan kerja dari rasa prestasi individu melalui kerja dan juga umpan

balik (fasilitas kerja) tentang performansi kerja mereka.

Performansi kerja merupakan ukuran kualitas dan kuantitas dari

hasil pencapaian tugas-tugas yang dilakukan pekerja. Performansi kerja

menurut Mitchell (Sedarmayanti, 2001) meliputi beberapa aspek, yaitu

kualitas kerja (quality of work), kecepatan dan ketepatan (promptness),

inisiatif (initiative), kecakapan (capability) serta komunikasi

(communication).

Dalam dunia bisnis, masih banyak perusahaan yang mengalami

hambatan dalam mencapai performansi kerja yang tinggi, khususnya

dalam perusahaan yang bergerak di bidang asuransi. Perusahaan

asuransi berfungsi menjamin perlindungan terhadap masa depan

seseorang yang dipertanggungkan, karena disamping kehidupan yang

kita lalui setiap hari, sadar atau tidak sadar manusia dihadapkan pada

resiko kehidupan manusia seperti meninggal dunia terlalu cepat dan

cacat total (Syamsul, 2008). Performansi kerja perusahaan tergantung

dari performansi kerja karyawan. Dalam perusahaan asuransi,

performansi kerja karyawan khususnya karyawan dinas luar sangat

tergantung dengan kondisi pasar yang ada. Pasar merupakan salah satu

kunci yang sangat mempengaruhi masa kejayaan suatu produk, hal ini

menjadi tantangan tersendiri bagi para pimpinan untuk lebih membangun

potensi marketingnya tidak hanya dalam kekuatan pengetahuan tentang

produk secara menyeluruh tetapi juga dalam hal pengembangan

wawasan potensi produktifitas dan wawasan pengetahuan produk

produk pesaing (Hera, 2009).


c. Produktifitas Kerja
Dalam melakukan suatu pekerjaan, seorang karyawan hendaknya

memiliki produktivitas kerja yang tinggi. Akan tetapi hal tersebut sulit

dicapai, bahkan banyak karyawan yang memiliki produktivitas yang

rendah atau semakin menurun walaupun telah banyak memiliki

pengalaman kerja dan perusahaan telah melaksanakan pelatihan

ataupun pengembangan sumber daya manusianya untuk meningkatkan

kemampuan dan motivasi kerja karyawan tersebut.

Produktivitas kini banyak dibicarakan oleh banyak orang, batasan

mengenai produktivitas pun bisa dilihat dari berbagai sudut pandang,

tergantung pada siapa yang mengemukakannya dan apa tujuannya.

Untuk memberikan gambaran tentang produktivitas kerja, berikut ini

adalah beberapa penjelasan yang berkaitan dengan produktivitas kerja

Pengertian Produktivitas

Pada dasarnya produktivitas kerja bukan semata-mata ditujukan

untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas

kerja juga penting diperhatikan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Laeham dan Wexley (1982:2) :

"...performance appraisals are crucial to the effectivity management of an

organization's' human resources, and the proper management of the

human resources is a critical variable effecting are organization's

productivity”.
Berdasarkan pendapat diatas dapat kita ketahui bahwa

produktivitas individu dapat dinilai dari apa yang dilakukan oleh individu

tersebut dalam kerjanya, dengan kata lain bahwa produktivitas individu

adalah bagaimana seseorang melaksanakan pekerjaannya atau unjuk

kerja (job performance).

Menurut Schuler (1986:455) yang menyatakan bahwa :

"productivity is defined as neasuresor indicators of output of an individual,

group or organization in relationship to (divided by) inputs or resources,

used by the individual, group or organization for the creation of the

outputs".

Pendapat tersebut menyatakan bahwa produktivitas adalah alat

ukur atau penunjuk hasil yang dicapai individu, kelompok atau organisasi

dalam hubungannya dengan masukan atau sumber yang digunakan oleh

individu, kelompok atau organisasi untuk menciptakan hasil tertentu.

Menurut Kendrick yang dikutip oleh Stoner dan Wankel (1989:21)

menyatakan bahwa:

“Productivity as the relationship between output of goods and service


(O) and the input (I) of resources, human and non human, used in the
productivity process, the relationship is usually expressed in the ratio from
O/I, that is productivity is the ratio of output to input. The higher the
numerical value of this ratio of greater the productivity”.

Berdasarkan pendapat diatas bahwa produktivitas merupakan

sebuah hubungan antara keluaran atau hasil kerja, berupa barang atau

hasil kerja atau pelayanan jasa atas penggunaan sumber daya manusia
dan produksi. Hubungan ini biasanya dalam bentuk perbandingan antara

keluaran dan masukan atau perbandingan antar hasil kerja dengan

penggunaan sumber daya.

Menurut Muchdarsyah Sinungan (2003:16), pengertian

produktivitas dikelompokan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Rumusan tradisional bagi keseluruhan produktivitas tidak lain

ialah ratio daripada apa yang dihasilkan (output) terhadap

keseluruhan peralatan produksi yang dipergunakan (input).

2. Produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang

selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini lebih

baik dari pada kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini.

3. Produktivitas merupakan interaksi terpadu secara serasi dari

tiga faktor esensial, yakni: investasi termasuk penggunaan

pengetahuan dan teknologi serta riset, manajemen, dan tenaga kerja.

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa secara

umum produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai

(output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input).

Dengan kata lain bahwa produktivitas memiliki dua dimensi. Dimensi

pertama adalah efektivitas yang mengarah pada pencapaian unjuk kerja

yang maksimal, pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas,

kuantitas, dan waktu yang kedua yaitu efisiensi yang berkaitan dengan

upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya atau

bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan.


Unsur-Unsur Produktivitas

Mathias Aroef yang dikutip oleh Friyatiningsih (2003:39)

mengemukakan unsur-unsur produktivitas sebagai berikut:

a Efisiensi

Produktivitas sebagai rasio keluaran per masukan merupakan ukuran

efisiens pemakaian sumber daya. Efisiensi merupakan suatu ukuran

dalam membandingkan pemakaian masukan yang direncanakan

dengan pemakaian masukan yang sebenarnya dilaksanakan, karena

itu pengertian efisiensi berorientasi pada masukan.

b Efektivitas

Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran

seberapa jauh target dapat tercapai dengan baik secara kuantitas

maupun waktu. Pengertian efektivitas berorientasi pada keluaran.

Hubungan antara efektivitas dan efisiensi membentuk pengertian

produktivitas dengan cara efektivitas pelaksanaan tugas mencapai

tujuan dibagi dengan efisiensi penggunaan sumber-sumber masukan

ke proses.

c Kualitas

Produktivitas bukan hanya berhubungan dengan hal yang kuantitatif

saja, tetapi berhubungan dengan kualitas.


BAB V
DAMPAK KONFLIK BAGI PERFORMANSI KERJA

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan Daampak Konflik bagi
Performansi Kerja.

Materi :
12. Hubungan Konflik Dengan Performa Kerja
13. Tingkatan Konflik dalam Hubungan dengan
Performa Kerja
14. Konsekuensi yang Timbul Akibat Konflik

BAB VI
MODEL MANAJEMEN KONFLIK

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan Model Manajemen Konflik.

Materi :
15. Model Interaktif
16. Model Stimulasi
17. Model Pengurangan Konflik
18. Implementasi Model Manajemen Konflik

a. Model Interaktif
b. Model Stimulasi
c. Model Pengurangan Konflik
d. Implementasi Model Manajemen Konflik

BAB VII
KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan Kepemimpinan yang Efektif

Materi :
19. Apa itu Konflik
20. Pengertian Manajemen Konflik
21. Peran Manajemen Konflik

a. Apa itu Konflik


b. Pengertian Manajemen Konflik
c. Peran Manajemen Konflik
BAB VIII
RESOLUSI KONFLIK

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan Manajemen Konflik serta
ruang lingkupnya.

Materi :
22. Metode Resolusi Konflik
23. Strategi dan Taktik Konflik Organisasi
24. Kebijakan Organisasi

a. Metode Resolusi Konflik


b. Strategi dan Taktik Konflik Organisasi
c. Kebijakan Organisasi
BAB IX
MEDIASI DAN ARBITRASE

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menganalisa serta menerapkan Mediasi
Konflik dan Arbitrase
Materi :
25. Pengertian, Tujuan, Jenis dan Prasyarat
Mediator
26. Proses Mediasi
27. Pengertian Arbitrase dan Jenis-Jenis
Arbitrase

a. Pengertian, Tujuan, Jenis dan Prasyarat Mediator

b. Proses Mediasi

c. Pengertian Arbitrase dan Jenis-Jenis Arbitrase

Definisi dan Ruang Lingkup Arbitrase


I
stilah arbitrase berasal dari bahasa Belanda “arbitrate” dan bahasa

Inggris “arbitration”. Kata arbitrase juga berasal dari bahasa Latin, yaitu

“arbitrare” yang mana dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai

kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.

Istilah arbitrase dikaitkan dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi

petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan hukum

dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup berdasarkan


1
kebijaksanaan.

1 R. Subekti, 1981, Arbitrase Perdagangan, Penerbit Bina Cipta,


Bandung, hlm. 1

Penyelesaian sengketa pada arbitrase dilakukan berdasarkan

persetujuan bahwa pihak bersengketa akan tunduk dan mentaati

keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka

pilih atau mereka tunjuk secara langsung. Oleh karena itu arbitrase

disebut sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak yang

bersengketa atau berselisih menghendaki perselisihan mereka tentang

hak-hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa

dan

di
adili oleh hakim yang adil yang tidak memihak kepada salah satu

pihak yang berselisih, serta menghasilkan keputusan yang mengikat bagi

2
kedua belah pihak.

Arbitrase menurut Sudargo Gautama didefinisikan sebagai :

“Cara-cara penyelesaian hakim partikelir yang tidak terikat dengan


berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena
dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan
3
karena akan ditaati para pihak.”
M. N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase,

dimana yang dimaksud arbitrase adalah sebagai berikut :

“Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, dimana para


pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang
dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim
yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan
4
putusannya mengikat bagi kedua belah pihak”.
Batasan arbitrase yang lebih rinci kemudian juga diberikan oleh
Abdulkadir Muhammad :

“Arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan


peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan.
Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri
secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan
kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat
dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum dan
sesudah terjadinya sengketa sesuai dengan asas kebebasan
5
berkontrak dalam hukum perdata”.
2 M.Yahya Harahap, 2003, Arbitrase : Ditinjau dari RV, Peraturan
Prosedur BANI, ICSID, UNCITRAL, Convention on the Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Award, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 60
3 Sudargo Gautama, 1979, Arbitrase Dagang Internasional,
Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 5
4 A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002, Arbitrase dalam Perspektif
Islam dan Hukum Positif, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 67-68
5 Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 108

2. Dasar Hukum
Arbitrase

Arbitrase di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Arbitrase

bukan merupakan hal yang baru karena keberadaan arbitrase sudah


dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Perdata Belanda di Indonesia yaitu RV

(Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering) sampai dengan

keluarnya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

a. Pasal 615 s/d Pasal 651 RV (Reglement op de Bergerlijke


Rechtsvordering) Ketentuan yang mengatur tentang arbitrase
terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Perdata
(RV). RV merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
yang berlaku untuk golongan Eropa saja.

Pasal-pasal pada RV yang mengatur tentang arbitrase adalah


6
meliputi lima bagian sebagai berikut :

(1) Bagian I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 623


mengatur tentang Persetujuan Arbitrase dan Pengangkatan
Arbiter.

(2) Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 tentang
Pemeriksaan PERKARA DIDEPAN ARBITRASE

Secara yuridis, Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan definisi

arbitrase yaitu sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di

luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.


BAB X
RESOLUSI KONFLIK HUNBUNGAN INDUSTRIAL

Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan Resolusi Konflik.

Materi :
28. Pengertaian Resolusi Konflik
29. Hubungan Industrial
30. Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial

a. Pengertaian Resolusi Konflik


a. Resolusi konflik atau dalam bahasa inggris disebut conflict resolution
memiliki pengertian yang berbeda- beda. Resolusi dalam Webster
dictionary menurut Levine adalah tindakan mengurai suatu
permasalahan, melakukan pemecahan, dan penghapusan

atau penghilangan permasalahan.7 Sedangkan Weitzman dalam


Morton and Coleman, mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah

tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together.).8


Resolusi konflik juga dapat diartikan sebagai usaha untuk menangani
sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang
bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang berseteru.
b. Resolusi konflik adalah suatu cara individu atau kelompok untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain
atau kelompok lain secara sukarela. Resolusi konflik juga
menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan
kontruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan
kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan
masalah mereka oleh diri mereka sendiri atau dengan melibatkan
pihak ketiga yang bijak, netral, dan adil untuk membantu pihak-
pihak yang berkonflik guna menyelesaikan masalahnya
c. Hubungan Industrial
Salah satu teori dari hubungan industrial diajukan oleh John Dunlop pada
tahun 1950. Menurut Dunlop: “industrial relations system consists of three agents
– management organizations, workers and formal/informal ways they are
organized and government agencies. These actors and their organizations are
located within an environment. Within this environment, actors interact with each
other, negotiate and use economic/political power in process of determining rules
that constitute the output of the industrial relations system”

Secara singkat, Payaman Simanjuntak (2009) mengemukakan bahwa


hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang berkepentingan
atau pihak yang saling terkait atas proses produksi dan pelayanan jasa pada
suatu perusahaan.
Senada dengan itu, hubungan industrial di Indonesia dalam UU no. 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 nomor 16 disebutkan bahwa “hubungan
industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Hubungan industrial antara para pihak terkait tersebut pada prinsipnya
didasarkan pada kepentingan bersama, sehingga mengandung prinsip:
a) Pengusaha dan pekerja, pemerintah dan masyarakat pada umumnya, sama-
sama mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan kelangsungan
perusahaan.
b) Perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang.
c) Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional dan masing-
masing mempunyai fungsi yang berbeda dalam pembagian kerja atau
pembagian tugas.
d) Pengusaha dan pekerja merupakan anggota keluarga perusahaan.
e) Tujuan pembinaan hubungan industrial adalah menciptakan ketenangan
berusaha dan ketentraman bekerja supaya dapat meningkatkan produktivitas
perusahaan.
f) Peningkatan produktivitas perusahaan harus dapat meningkatkan
kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan pengusaha dan kesejahteraan
pekerja.

1) Ruang Lingkup Industrial


Pada dasarnya hubungan industrial mencakup seluruh tempat‐tempat
kerja dimana para pekerja dan pengusaha bekerjasama dalam hubungan
kerja untuk mencapai tujuan usaha. Yang dimaksud hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja yang mempunyai unsur upah, perintah dan pekerjaan.

Ruang Lingkup Fungsi


- Fungsi Pemerintah : Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan,
melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan undang‐undang ketenagakerjaan yang berlaku.
- Fungsi Pekerja/Serikat Pekerja : Menjalankan pekerjaan sesuai
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan,
keahlian dan ikut memajukan perusahaan serta memperjuangkan
kesejahteraan anggota dan keluarganya.
- Fungsi Pengusaha : Menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha,
memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja
secara terbuka, demokratis serta berkeadilan.

2) SARANA-SARANA HUBUNGAN INDUSTRIAL


Dengan adanya pengaturan mengenai hal‐hal yang harus dilaksanakan
oleh pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial,
maka diharapkan terjadi hubungan yang harmonis, kondusif dan
berkeadilan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan sarana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 bahwa hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana
sebagai berikut :
1. Lembaga Kerja Sama Bipartit
2. Lembaga Kerja Sama Tripartit
3. Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh
4. Organisasi Pengusaha
5. Lembaga keluh kesah & penyelesaian perselisihan hubungan industrial
6. Peraturan Perusahaan
7. Perjanjian Kerja Bersama
8. Perjanjian Kerja Khusus

a) Lembaga Kerja Sama Bipartit


Lembaga Kerjasama Bipartit adalah suatu badan ditingkat usaha atau
unit produksi yang dibentuk oleh pekerja dan pengusaha. Setiap pengusaha
yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih dapat
membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan anggota‐anggota yang
terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang ditunjuk berdasarkan
kesepakatan dan keahlian.
LKS Bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah dalam memecahkan permasalahan ketenagakerjaan pada
perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja.
b) Lembaga Kerja Sama Tripartit
Lembaga Kerjasama Tripartit anggota‐anggotanya terdiri dari unsur-
unsur pemerintahan, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha.
Fungsinya adalah sebagai forum komunikasi, konsultasi dengan tugas utama
menyatukan konsepsi, sikap dan rencana dalam menghadapi masalah
ketenagakerjaan, baik berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul
karena faktor-faktor yang tidak diduga maupun untuk mengatasi hal‐hal yang
akan datang.

c) Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh


Organisasi pekerja adalah suatu organisasi yang didirikan secara
sukarela dan demokratis dari, oleh dan untuk pekerja dan berbentuk Serikat
Pekerja, Gabungan Serikat Pekerja, Federasi, dan Non Federasi. Kehadiran
Serikat Pekerja di perusahaan sangat penting dan strategis dalam
pengembangan dan pelaksanaan Hubungan Industrial.

d) Organisasi Pengusaha
Organisasi pengusaha berhak dibentuk oleh para pengusaha, seperti
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Visi APINDO yaitu terciptanya
iklim usaha yang baik bagi dunia usaha dan misinya adalah meningkatkan
hubungan industrial yang harmonis terutama ditingkat perusahaan,
merepresentasikan dunia usaha Indonesia di lembaga ketenagakerjaan, dan
melindungi, membela dan memberdayakan seluruh pelaku usaha khususnya
anggota. Untuk menjadi anggota APINDO perusahaan dapat mendaftar di
Dewan Pengurus Kota/Kabupaten (DPK) atau di Dewan Pengurus Privinsi
(DPP) atau di Dewan Pengurus Nasional (DPN).

e) Lembaga keluh kesah & penyelesaian perselisihan hubungan industrial


Perbedaan persepsi, interpretasi dan tujuan antara pekerja dengan
pengusaha, atau bahkan ketika terjadi tindak pelanggaran, dapat
menimbulkan tekanan, keluhan dan ketidanyamanan pada suatu pihak.
Mekanisme penyelesaian keluh kesah merupakan sarana yang seharusnya
diadakan setiap perusahaan. Mekanisme ini harus transparan dan
merupakan bagian dari Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam pelaksanaan fungsi‐fungsi supervisi
dari setiap para manajer merupakan kunci terlaksananya mekanisme ini.
Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dalam lembaga
mekanisme penyelesaian keluh kesah ini, dapat dilaksanakan lebih lanjut
sesuai dengan Peraturan perundangundangan yang berlaku.

f) Peraturan Perusahaan
Peraturan Perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat secara
tertulis yang memuat ketentuanketentuan tentang syarat‐syarat kerja serta
tata tertib perusahaan.
g) Perjanjian Kerja Bersama
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang disusun oleh
pengusaha dan serikat yang telah terdaftar yang dilaksanakan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.

h) Perjanjian Kerja Khusus


Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain atau majikan, selama
waktu tertentu sesuai perjanjian.

d. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Dalam kehidupan organisasi yang semakin besar dan semakin kompleks,
konflik merupakan fenomena umum yang ada dalam setiap organisasi. Dengan
organisasi yang semakin besar dan kompleks, jumlah individu dan kelompok
akan semakin banyak dibanding sebelumnya. Mereka mempunyai kepentingan
dan keinginan yang berbeda-beda. Perusahaan-perusahaan yang tidak berhasil
dalam mengupayakan adanya kerja sama akan menyebabkan operasinya
menjadi tidak lancar dan seringkali timbul konflik.
Konflik adalah terbangunnya hubungan-hubungan beberapa pihak dalam
arena dan struktur sosial tertentu akibat adanya perbedaan kepentingan dan
tujuan sebagai bentuk penerjemahan kebutuhan yang diperjuangkan secara
individual dan maupun kolektif. Konflik hadir dalam masyarakat dan konteks
wilayah sosial (social field) yang mana ada hubungan-hubungan sosial khusus
seperti arena sosial pertentanggaan, arena sosial sekolah, arena sosial
perkantoran, dan arena sosial industri. Dahrendorf menyebutnya sebagai
“integrated into a common frame of reference“. Berbagai dimensi konflik tersebut
memiliki karakter sosiologis dan dinamika yang unik. Pada level praktis seperti
pada usaha pemecahan masalah, setiap konteks dimensi konflik membutuhkan
model pengelolaan konflik yang spesifik juga (Dahrendorf dalam Susan, 2009).
Konflik merupakan suatu proses yang dihasilkan dari tindakan kelompok
atau individu yang dipandang oleh kelompok/individu lain akan mempunyai
akibat yang negatif terhadap kepentingan mereka (Greenberg & Baron dalam
Wardiningsih). Dari pengertian ini konflik mencakup empat elemen kunci yaitu :
a. kepentingan yang berlawanan/berbeda antar individu atau kelompok;
b. menyadari adanya kepentingan yangberlawanan;
c. keyakinan bahwa individu atau kelompoklain akan menghalangi
kepentingannya;
d. tindakan yang menghalangi kepentingan pihak lain.

Gambar 1. Bentuk Konflik Organisasi

kepentingan yang
berlawanan/berbeda keyakinan bahwa individu
menyadari adanya
antar individu atau atau kelompoklain akan
kepentingan
kelompok menghalangi
yangberlawanan
kepentingannya

KONFLIK
tindakan yang
menghalangi kepentingan
pihak lain

Sumber: Greenberg & Baron: 426

Sesuai dengan tata hukum di Indonesia Pasal 1 angka I Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 2004, “perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat
buruh dalam satu perusahaan.”
Dari pengertian di atas, berikut ini adalah beberapa bentuk perselisihan di
dalam hubungan industrial:
a. Perselisihan Hak.
Perselisihan yang timbul akibat tidak dipenuhinya hak akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan Perundang-
undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang melandasi hak yang disengketakan.

b. Perselisihan Kepentingan atau belangen geschi


Perselisihan yang terjadi karena ketidaksesuaian paham/pendapat
dalam perubahan syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja.

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja.


Perselisihan yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004).
Perselisihan mengenai PHK selama ini paling banyak terjadi karena
tindakan PHK yang dilakukan oleh satu pihak dan pihak lain tidak dapat
menerimanya.

d. Perselisihan Antarserikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu


Perusahaan.
Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan. Perselisihan tersebut
terjadi karena tidak adanya kesepahaman mengenai keanggotaan
pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja (Pasal 1 angka 5 UU Nomor
2 Tahun 2004).
1. Contoh Kasus Perselisihan/Konflik Industrial di Indonesia
a. Pemogokan pekerja PT Megariamas Sentosa, kasus penahanan hak
THR.
“beritajakarta.com.Ratusan buruh PT Megariamas Sentosa yang
berlokasi di Jl Jembatan III Ruko 36 Q, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara,
datang sekitar pukul 12.00 WIB. Sebelum ditemui Kasudin Nakertrans
Jakarta Utara, mereka menggelar orasi yang diwarnai aneka macam
poster yang mengecam usaha perusahaan menahan THR mereka.
Padahal THR merupakan kewajiban perusahaan sesuai dengan
ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4
Tahun 1994 tentang THR.
Sekitar 500 buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil
dan Sepatu-Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) PT
Megariamas Sentosa, Selasa siang ‘menyerbu’ Kantor Sudin Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Jakarta Utara di Jl Plumpang Raya,
Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Mereka
menuntut pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan
yang mempekerjakan mereka karena mangkir memberikan (THR).
Demonstrasi ke Kantor Nakertrans bukan yang pertama, sebelumnya
ratusan buruh ini juga mengadukan nasibnya karena perusahan bertindak
sewenang-wenang pada karyawan. Bahkan ada beberapa buruh yang
diberhentikan pihak perusahaan karena dinilai terlalu vokal. Akibatnya,
kasus konflik antar buruh dan manajemen dilanjutkan ke Pengadilan
Hubungan Industrial. Karena itu, pihak manajemen mengancam tidak
akan memberikan THR kepada pekerjanya. Dalam demo tersebut para
buruh menuntut perusahaan untuk mendapatkan THR sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Para demonstras mengatakan “ jangan
dikarenakan ada konflik internal kami tidak mendapatkan THR, karena
setahu mereka perusahaan garmen tersebut tidak merugi, bahkan
sebaliknya”. Sekedar diketahui ratusan buruh perusahaan garmen
dengan memproduksi pakaian dalam merek Sorella, Pieree Cardine,
Felahcy, dan Young Heart untuk ekspor itu telah berdiri sejak 1989 ini
mempekerjakan sekitar 800 karyawan yang mayoritas perempuan.
Mengetahui hal tersebut, ratusan buruh PT Megariamas Sentosa
mengadu ke kantor Sudin Nakertrans Jakarta Utara. Setelah dua jam
menggelar orasi di depan halaman Sudin Nakertrans Jakarta Utara,
bahkan hendak memaksa masuk ke dalam kantor. Akhirnya perwakilan
buruh diterima oleh Kasudin Nakertrans, Saut Tambunan di ruang rapat
kantornya. Dalam peryataannya di depan para pendemo, Sahut
Tambunan berjanji akan menampung aspirasi para pengunjuk rasa dan
membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. "Pasti kami akan
bantu, dan kami siap untuk menjadi fasilitator untuk menyelesaikan
masalah ini," tutur Sahut. Selain itu, Sahut juga akan memanggil
pengusaha agar mau memberikan THR karena itu sudah kewajiban.
“Kalau memang perusahaan tersebut mengaku merugi, pihak manajemen
wajib melaporkan ke pemerintah dengan bukti konkret,” kata Saut
Tambunan usai menggelar pertemuan dengan para perwakilan
demonstrasi.”

b. Demostrasi KSPI, Kasus kenaikan UMP, outsource, stabilitas harga.


“KOMPAS.com — Suasana puasa tidak membuat seribu buruh
dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) "puasa" demo. Mereka
akan melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Rabu (31/7/2013)
sore. Staf media KSPI, Nelly, mengatakan, aksi buruh kali ini hendak
menuntut pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk memenuhi
tiga tuntutan mereka. Tuntutan itu salah satunya terkait stabilitas harga
bahan pokok, mengingat harga-harga kebutuhan pokok jelang Lebaran
yang terus merangkak naik.
Selain itu, mereka menuntut kenaikan upah buruh 50 persen dan
penghapusan outsourcing. Massa aksi menuntut utamanya perusahaan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melaksanakan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permennakertrans) No 19 tahun
2012. Dalam Permenakertrans tersebut, pekerjaan alih daya ditiadakan.
Adapun kelima jenis pekerjaan yang diperbolehkan diisi tenaga alih daya,
yaitu jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi,
katering, dan jasa migas pertambangan.
"Kita minta BUMN menerapkan aturan itu, artinya tidak ada lagi tenaga
alih daya (selain 5 jenis). Dan mereka harus diangkat menjadi karyawan
BUMN," lanjut Nelly.
KSPI juga menuntut pemerintah untuk menjalankan jaminan kesehatan
secara menyeluruh serempak pada 1 Januari 2014, dan bukan secara
bertahap.”
.

c. SP. JICT, Akibat Konflik Internal, Karyawan PT JICT Bentuk Serikat Baru
“Berita hukum- Serikat Pekerja Internasional Countainer Terminal (SP
JICT) terbelah menjadi dua. Hal itu mengancam terjadinya konflik internal
PT JITC, apalagi anggota yang keluar dari SP JITC saat ini sudah
mendeklarasikan diri membentuk serikat baru yakni Serikat Buruh
Internasional Countainer Terminal (SB JICT). Namun untuk saat ini,
serikat baru itu nampaknya belum mendapat restu dari perusahaan.
Untuk itu mereka mengadakan unjuk rasa didepan kantor Komnas HAM,
Jakarta, Jumat (4/1).
Ketua SB JICT, Sobirin menjelaskan soal pembentukan serikat yang
dibuat pihaknya, menurutnya, pembentukan itu berawal dugaan
pelanggaran yang dilakukan kolaborasi antara serikat pekerja (SP JICT)
dengan Management. "Yang paling pertama adalah bahwa kita sudah
melaporkan tentang pelarangan," katanya. Ia menegaskan, apa yang
pihaknya lakukan untuk membentuk serikat baru dilindungi oleh UUD
maupun UU No. 21 tentang Ketenagakerjaan atau tentang berserikat.
"Tapi yang dilakukan oleh managemen dan serikat pekerja yang sudah
ada itu jelas merupakan satu tindak pelanggaran. Kalau kita lihat di UU
No 21 itu jelas ranah Hukumnya itu adalah pelanggaran. Dan itu ada
sanksi pidananya, jadi itu jelas beranggapan bahwa ini adalah sangat
terkait dengan Pidana atau tindakan pidana yang mereka lakukan,"
tambahnya….”

d. PT Askes, Pemutusan Hubungan Kerja

“hukumonline.com .Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia


(OPSI) Timboel Siregar, mendesak PT Askes untuk menjalankan putusan
pengadilan terkait kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap
Ketua Umum Skasi, Itop Reptianto. Pasalnya, Mahkamah Agung (MA)
menerbitkan putusan kasasi bernomor 686/K/.Pdt.Sus/2012 yang intinya
PT Askes diperintahkan untuk mempekerjakan kembali Itop Reptianto.
Serta membayar hak-hak Itop sebagai pekerja yang selama ini belum
dibayar.
Selain itu Timboel menyebut Ombudsman dan Komnas HAM telah
menerbitkan rekomendasi yang mestinya dipatuhi PT Askes. Yaitu
rekomendasi Ombudsman bernomor 04/REK/0660.2012/PB-11/IV/2013
tertanggal 10 april 2013 yang pokoknya menyebut direksi PT. askes telah
melakukan tindakan mal administrasi. Serta mengimbau direksi
PT. Askes menghormati putusan kasasi MA itu.
Lalu, lewat surat bernomor 1.397/K/PMT/VII/2012 tertanggal 3 Juli 2012,
Komnas HAM menerbitkan rekomendasi yang isinya mengindikasikan
terjadi tindak pemberangusan serikat pekerja atas PHK yang dijatuhkan
terhadap Itop Reptianto. Indikasi itu mengacu pasal 28 huruf (a) UU
Serikat Pekerja dan pasal 39 UU HAM..
“PT Askes harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku karena
proses transformasi menuju BPJS Kesehatan mencakup juga
transformasi di bidang sumber daya manusia,” kata Timboel kepada
hukumonline di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Senin
(8/7).
Atas dasar itu Timboel menyebut BPJS Watch mendesak direksi PT
Askes untuk mematuhi dan menjalankan putusan kasasi MA,
rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM. Jika hal itu tak kunjung
dilakukan, Timboel menilai akan memperburuk citra BPJS Kesehatan.
Timboel juga mendorong agar Panja BPJS DPR untuk memanggil dan
menginstruksikan direktur PT Askes untuk menjalankan putusan hukum
dan rekomendasi tersebut. Tak ketinggalan, Timboel mendesak Presiden
dan Meneg BUMN untuk melakukan hal serupa.
Terpisah, Direktur Utama PT Askes, Fachmi Idris, mengaku belum
mengetahui langkah apa yang akan dilakukan untuk menindaklanjuti
kasus Itop Reptianto. Pasalnya, persoalan itu ditangani di bidang SDM
PT Askes. Namun, secara umum ia mengatakan PT Askes akan
mengikuti peraturan yang ada. “Pokoknya begini, sederhana saja, kami
patuh atas putusan hukum,” tuturnya kepada hukumonline usai mengikuti
rapat kerja di ruang sidang Komisi IX”
e. Kerugian Pemogokan Pekerja Tahun 2012
“Jakarta - Kerugian akibat aksi buruh selama 2012 yang menuntut
kelayakan Upah Minimum Provinsi (UMP) di seluruh Indonesia telah
menimbulkan kerugian sedikitnya Rp 190 triliun. Sementara munculnya
sejumlah kebijakan pemerintah baru-baru ini juga dinilai merugikan
kalangan pengusaha.  "Kerugiannya (aksi buruh, red) ditaksir mencapai
Rp 190 triliun atau US$20 miliar," kata Ketua Hubungan Industrial dan
Advokasi Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) Hasanuddin Rahman di Jakarta, Rabu (28/11).
Menurut Hasanuddin, akibat aksi itu, kapasitas produksi tidak bisa penuh
dan absensi buruh turun. Akibatnya, tingkat produksi rata-rata di kawasan
industri turun 50% dari kapasitas produksi normal. engamat ekonomi
Universitas Atma Jaya A Prasetyantoko menyebutkan aksi sweeping 
buruh yang dilakukan di beberapa wilayah dapat melumpuhkan sektor
industri Indonesia dan membuat kerugian yang cukup banyak. “Namun
untuk jumlah kerugian akibat aksi sweeping tersebut hanya bisa dihitung
oleh perusahaan masing – masing,” ujarnya. Anggota Komisi IX DPR RI
Poempida Hidayatullah mengungkapkan, perhitungan kerugian Rp 190
triliun itu karena pengusaha memasukan unsur opportunity loss, tidak
saja kerugian fisik. Kerugian terbesar dalam aksi buruh ini dialami oleh
industri berat yang pekerjanya banyak melakukan aksi buruh dalam
setahun ini.
”Padahal, Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatakan bahwa buruh bisa melakukan aksi mogok maksimal lima hari
dalam setahun. Ini bisa dilihat apakah buruh tersebut melakukan
pelanggaran aturan itu apa tidak,” katanya.
Namun Poempida mengatakan, dengan adanya tafsiran kerugian akibat
aksi buruh ini, seolah-olah buruh yang disalahkan. Memang, kata dia,
para pelaku usaha dirugikan atas aksi buruh tersebut namun mereka
tidak sepenuhnya bersalah dalam aksi-aksi tersebut karena mereka
menuntut hak dan kesejahteraan. Seharusnya pemerintah yang
disalahkan karena tidak transparan dalam memunculkan angka-angka
pertumbuhan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi berhasil membuat
daya beli masyarakat tinggi. Hal ini memunculkan aksi buruh yang ingin
mendapatkan kesejahteraan yang baik bagi mereka,” ungkapnya.”

2. Kajian Faktor Penyebab Perselisihan/Konflik Industrial


Konflik industrial merupakan suatu realitas sosial yang tidak pernah dan
akan pernah berhenti sepanjang dalam masyarakat ada dua kelompok yang
memiliki kepentingan yang berbeda. Perspektif struktural dalam sosiologi
konflik memiliki pandangan bahwa akar masalah konflik selalu berkaitan
dengan kekuasaan (power) dan angka kepentingan di dalamnya. Dalam
konteks hubungan industri, kekuasaan yang hanya menguntungkan diri
sendiri dan mengabaikan fakta hubungan-hubungan kerja memiliki
kecenderungan menciptakan kekerasan (Sale, 2003). Pada kasus-kasus aksi
buruh yang muncul dalam bentuk anarkisme, pemogokan, dan berbagai
bentuk aksi kekerasan sebagaimana contoh kasus di atas, pada pengertian
ini tidak lebih dari respon terhadap praktek kekerasan pemerintah dan
perusahaan terhadap buruh.
Sebagaimana Karl Marx menjelaskan bahwa selama dalam masyarakat
terdapat dua kelompok dalam relasi produksi ini, yaitu kelompok yang
memiliki/pemilik dan kelompok yang tidak memiliki/bukan pemilik (struktur
kelas), maka pemisahan antara kelompok sosial yang menghasilkan profit –
dan karenanya menguasai kapital-- dan kelompok sosial yang hanya mampu
menjual tenaga kerjanya saja menentukan hubungan kelas, itulah yang
menjadi basis terjadinya eksploitasi dan konflik sosial dalam masyarakat
modern. Di dalamnya menyangkut relasi sosial : pertama, hubungan-
hubungan produksi yang bersifat primer seperti hubungan buruh dan majikan;
kedua, hubungan-hubungan produktif yang bersifat sekunder seperti serikat
buruh, asosiasi pemilik modal dan pola-pola dasar kehidupan keluarga yang
berkaitan erat dengan sistem produksi kapitalistik; ketiga, hubungan-
hubungan politik dan sosial yang bersumber dari hubungan produksi primer
dan sekunder, lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga sosial
lainnya yang mencerminkan hubungan buruh dan majikan.
Dalam kaitannya dengan konflik dalam konteks wilayah sosial industri
konflik industrial terbangun melalui proses dari ketidakpuasan individual
buruh, menuju pada ketidakpuasaan kolektif yang tidak teroganisir, dan
sampai pada tingkat pengorganisasian ketidakpuasan kolektif buruh dalam
rangka perjuangan untuk mencapai tujuan. Dalam konteks yang lebih besar,
konflik industrial melibatkan pihak-pihak yang membawa angka kepentingan
dan tujuan yang saling berseberangaan.
Jika dianalisis lebih dalam, kepentingan para pihak pada hubungan
industrialis dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pengusaha/pemilik modal
Kepentingan pengusaha adalah menjalankan usahanya untuk
memperoleh profit yang memadai agar dapat terus tumbuh dan
berkembang. Namun iklim investasi yang selalu berubah baik karena isu
globalisasi ataupun akibat kebijakan pemerintah terkait investasi, pajak,
perijinan,dll menuntut perusahaan memberlakukan kebijakan tertentu
untuk menghadapinya. Biaya produksi yang besar perlu ditutupi agar
dapat bertahan. Efektivitas dan efisiensi menjadi hal penting untuk
dilakukan, dalam setiap kebijakan yang diambil. Hal ini akan terkait
langsung dengan seluruh resources dalam perusahaan, termasuk pekerja.
2. Pemerintah
Kepentingan pemerintah pada dasarnya adalah menjamin
keberlangsungan produksi demi kepentingan yang lebih luas. Namun
seringkali upaya untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
para pekerja serta warga masyarakat secara keseluruhan tidak dapat
dilakukan secara maksimal karena mereka dihadapkan pada dilema
antara: (1) kepentingan negara menarik investasi yang diyakini
membutuhkan jaminan keamanan dan kondisi yang tanpa gejolak, dengan
(2) tuntutan bahwa negara harus memenuhi hak-hak pekerja sesuai
kesepakatan yang mana pada titik-titik tertentu dikhawatirkan implikasinya
justru dapat mengganggu keseimbangan sistem yang dibutuhkan untuk
menciptakan iklim yang kondusif bagi para pemilik modal atau investor.
3. Pekerja
Kepentingan pekerja tentunya adalah untuk dapat bekerja dan
memperoleh hak sesuai dengan pekerjaannya guna dapat hidup layak.
Dalam dunia industri, pekerja memiliki posisi tawar yang lemah. Hal ini
terjadi karena (1) asumsi di pasar tenaga kerja terjadi penawaran tenaga
kerja (supply) melebihi permintaan (demand). Titik lemah inilah yang
seringkali disadari benar oleh pengusaha untuk membuat para pekerja
pasrah, atas status kerjanya dan menerima upah yang tak pernah
bergerak ke taraf yang diklasifikasikan layak dan adil, sehingga
pengusaha mempunyai kekuatan untuk menekan upah (pressure) atau
insentif lain yang tidak dipenuhi sesuai kesepakatan kerja; (2) aspek
teknologi yang mendorong efisiensi perusahaan dalam skala produksi
yang secara eksplisit akan menekan jumlah penggunaaan tenaga kerja;
(3)rasio upah yang terlalu tinggi.
Pada dasarnya, pekerja dan pengusaha menginginkan suatu hubungan
yang harmonis untuk menjamin kepentingan masing-masing dapat terwujud.
Namun ketika disadari bahwa salah satu kepetingan menemui masalah, serta
ada keyakinan bahwa individu atau kelompok lain akan menghalangi
kepentingannya, potensi konflik/perselisihan akan terjadi. Sebenarnya hal ini
dapat dieliminir dengan komunikasi yang efektif antar pihak yang
berkepentingan. Namun ketika tidak menemukan titik temu dan masing-
masing pihak bersikukuh dengan kepentingannya, maka konflik akan
membesar menjadi suatu aksi yang pada akhirnya akan merugikan
perusahaan serta pemerintah pula.

f. PENYELESAIAN PERSELISIHAN/KONFLIK INDUSTRIAL SECARA HUKUM

Untuk lebih menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara,
menurut UU No 2 Tahun 2004, penyelesaian sengketa diutamakan melalui
perundingan guna mencarimusyawarah mufakat di luar pengadilan Ada empat
cara yang dapat dilakukan dalam perundingan atau penyelesaian perselisihan di
luar pengadilan, yaitu melalui bipartit, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.

1. Bipartit
Penyelesaian perselisihan atau perundingan antara pengusaha dan
pekerja atau kuasa pekerja (serikat pekerja) di tingkat perusahaan. Bilamana
dalam perundingan ini terjadi kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama
yang ditandatangani oleh kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya
Perjanjian Bersama ini wajib didaftarkan di Perselisihan Hubungan Industrial
guna memperoleh Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama. Apabila
ternyata kemudian salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan dalam
Perjanjian Bersama, pihak yang dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada PHI di wilayah hukumnya. Penyelesaian
perselisihan melalui Bipartit ini harus tuntas paling lama 30 hari sejak tanggal
perundingan. Bilamana dalam jangka waktu 30 hari perundingan buntu
(deadlock) atau salah satu pihak yang beperkara menolak untuk berunding,
maka perundingan bipartite dianggap gagal. Apabila dalam perundingan
bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat dengan
melampirkan bukti upaya penyelesaian bipartit. Selanjutnya, Disnaker
menawarkan kepada para pihak beperkara untuk memilih penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase. Namun apabila pihak yang beperkara tidak
menetapkan pilihan melalui konsiliasi atau arbitrase, Disnaker melimpahkan
penyelesaiannya melalui mediasi.

2. Konsiliasi
Konsoliasi adalah lembaga perorangan atau swasta mandiri yang
diangkat dan diberhentikan dalam periode tertentu melalui Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Konsiliasi mencakup
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja (PHK), dan perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan
yang dilakukan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral. Berbeda dengan mediasi yang dapat menyelesaikan
segala jenis perselisihan, dalam konsiliasi ada pengecualian, yaitu
perselisihan hak. Perselisihan hak hanya dapat diselesaikan melalui
lembaga mediasi.
Apabila dalam perundingan di tingkat konsiliasi ini terjadi kesepakatan
para pihak, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua
belah pihak beperkara. Selanjutnya didaftarkan di PHI untuk mendapatkan
Akta Bukti Pendaftaran. Sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka
pihak yang merasa kurang puas atau dapat mengajukan surat gugatan ke
PHI.

3. Arbitrase.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase
hubungan industrial yang dilakukan oleh arbiter harus diawali dengan upaya
mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila perdamaian
tersebut tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat akta
perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase harus sudah
diselesaikan dalam jangka 30 hari kerja sejak penandatanganan surat
penunjukan arbiter. Perpanjangan waktu penyelesaian perselisihan hanya
dapat dilakukan satu kali, yaitu sebanyak 14 hari kerja. Hal ini harus dengan
persetujuan para pihak.
Selanjutnya perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah
diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat dilakukan di Pengadilan Hubungan
Industrial (Pasal 53 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). Apabila terjadi
penyelesaian damai, maka arbiter akan membantu para pihak untuk
membuat perjanjian bersama dan mendaftarkannya di Pengadilan
Perselisihan Hubungan Industrial untuk mendapatkan bukti akta perdamaian.
Namun apabila tidak terjadi penyelesaian secara damai dan kekeluargaan,
arbiter akan mengeluarkan putusan yang bersifat final, yang harus diikuti
oleh para pihak yang berselisih. Atas putusan arbiter tidak dapat diajukan
gugatan ke pengadilan, karena putusan tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat para pihak, dan merupakan putusan akhir yang
berkekuatan tetap.

4. Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan
pekerja atau kuasa pekerja yang diperantarai mediator atau Pegawai
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI. Dulu, disebut Tingkat Tripartit atau Tingkat Perantaraan.
Lembaga ini merupakan penyelesaian terakhir di luar pengadilan, apabila
salah satu atau para pihak beperkara tidak dapat menetapkan pilihan
konsiliasi atau arbitrase, atau menolak penyelesaian perselisihan melalui
konsiliasi atau arbitrase.

Gambar 2 Skema Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan

Disetujui para pihak

Anjuran tertulis

Tidak berhasil
Berhasil damai

mendamaikan

MEDIASI Pembatan o/ MA
pihak

Parapihak tdk Putusan


menetapkan pilihan
Eksekusi KONSILIASI ARBITRASE

Daftar di Pengadilan HI Menawarkan model penyelesaian

Perjanjian Bersama Catat di Disnakertrans

Tidak berhasil damai


Berhasil

BIPARTIT

Perselisihan

Sumber: Jurnal Hukum Bisnis

b. Srategi dalam Manajemen Konflik


Dalam proses perencanaan wilayah konflik dapat terjadi pada
pengambilan keputusan dan implementasinya. Pemecahan konflik dengan
sasaran sumber daya manusianya sangat menguntungkan untuk dilaksanakan.
Menurut Ross sebagaimana dikutip Winardi (1994: 84-89) strategi dalam
memecahkan konflik adalah:

1. Self-help
Strategi self-help sering dilihat sebagai suatu tindakan sepihak yang
bersifat destruktif. Tindakan ini kadang dilakukan oleh pihak yang kuat
untuk menekan pihak yang lemah. Strategi self-help ini dapat digunakan
untuk tindakan yang konstruktif dalam bentuk menarik diri, menghindar,
tidak mengikuti, atau melakukan tindakan independen. Pihak yang lemah
sangat tepat jika menerapkan strategi ini. Karena self-help merupakan
tindakan sepihak yang potensial dapat meningkatkan respon, meyebabkan
strategi ini sulit untuk mencapai solusi yang konstruktif. Langkah- langkah
yang dapat diambil dalam menerapkan strategi self-help, antara lain:
a. Exit. Jika tekanan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah
sangat kuat, maka pihak yang lemah sebaiknya keluar dari tekanan
tersebut. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa tekanan tersebut akan
menimbulkan pengaruh yang kuat pada kehidupan pihak yang tertekan.
b. Avoidance. Menurut Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita
(2000: 118-119) Tindakan menghindar dilakukan berdasarkan
perhitungan untung ruginya untuk melakukan suatu aksi. Jika biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari keuntungan yang akan didapat maka strategi
menghindar dapat diterapkan. Dua strategi penghindaran yang dapat
dilakukan adalah mengabaikon konflik yang terjadi dan melakukan
pemisahan secara fisik.
c. Noncompliance. Strategi ini berguna untuk mencari dukungan atas
tindakan yang akan dilaksanakan sebagai akibat dari kewengan yang
dimiliki sangat kecil. Tindakan ini dilakukan karena ada pihak yang tidak
sepakat untuk bertindak karena tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Strategi ini juga merupakan langkah awal untuk menerapkan strategi joint
problem solving atau third-party decision making.
d. Unilateral action. Tindakan ini sangat memungkinkan terjadinya
kekerasan, karena dua pihak saling berbenturan kepentingan. Pihak yang
melakukan tindakan ini menganggap apa yang dilakukan merupakan
bagian dari kepentingannya. Tetapi pihak lain mungkin akan
menginterpretasikan sebagai tindakan yang destruktif.

2. Joint Problem Solving


Joint problem solving memungkinkan adanya kontrol terhadap hasil
yang dicapai oleh kelompok-kelompok yang terlibat. Masing-masing kelompok
mempunyai hak yang sama untuk berpendapat dalam menentukan hasil
akhir. Strategi penyelesaian masalah ini biasanya dilakukan melalui pertemuan
secara langsung antara pihak-pihak yang sedang mengalami konflik.
Menurut Indriyo Gitosudarmo, M. Com. (Hons), dan I Nyoman Sudita
(2000: 123), dalam pertemuan ini dilakukan identifikasi atas sumber yang
menjadi penyebab timbulnya konflik dan melakukan pengembangan alternatif-
alternatif solusi untuk menyelesaikannya. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan dalam strategi ini, yaitu:
a) Identification of interests. Identifikasi kepentingan-kepentingan yang
terlibat dalam konflik sangat kompleks. Salah satu hambatan dalam
mencari solusi dalam konflik ini adalah tidak mampunya pihak-pihak yang
terlibat menterjemahkan keluhan yang samar-samar kedalam permintaan
konkrit yang pihak lain dapat mengerti dan menanggapinya.
b) Weighting interest. Setelah kepentingan teridentifikasi, masing- masing
pihak memberikan penilainnya terhadap kepentingannya. Penilaian ini
sangat bergantung pada komunikasi yang terbuka dan kejujuran masing-
masing pihak sehingga dapat dibuat prioritas atas kepentingan-
kepentingan yang dihadapi pihak-pihak tersebut.
c) Third-party assistance and support. Pihak ketiga diperlukan untuk
memfasilitasi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, membuat usulan
prosedur, menterjemahkan keluhan-keluhan kedalam permintaan yang
konkrit, membantu pihak-pihak untuk mendefinisikan kepentingan relatif
dari masalah yang dihadapi, menyusun agenda, membuat pendapat
mengenai isu substansi . Pihak ketiga ini harus bersifat netral agar
masing- masing pihak dapat menerima hasil yang disepakati.
d) Interaksi antarkelompok dan Effective communication. Menurut Indriyo
Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita (2000: 122), Pihak- pihak yang terlibat
terisolasi dalam persoalan yang tidak membutuhkan dialog secara
langsung untuk mencapai solusi, tetapi mereka harus berkomunikasi aktif.
Komunikasi ini diperlukan untuk mendefinisikan mengenai isu yang
dihadapi bersama.
e) Trust that an adversary will keep agreement. Keputusan yang diambil
harus dijalankan oleh masing-masing pihak. Oleh karena itu jika ada
pihak yang melanggar keputusan tersebut maka sebelum keputusan
dijalankan harus dibuat struktur penalty/sanksi.
3. Third-party decision making
Menurut Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita (2000: 126),
Dengan mendatangkan pihak luar biasanya akan menyebabkan adanya
suasana baru, pandangan-pandangan baru yang membawa kepada situasi
konflik yang bersifat fungsional.
Konflik yang dihadapi individu, kelompok, dan masyarakat kadang tidak
dapat diselesaikan tanpa adanya pihak ketiga. Dalam strategi ini, pihak ketiga
membuat keputusan yang mengikat berdasarkan aturan-aturan untuk
mencapai hasil yang pasti. Pihak ketiga ini seperti administrator atau hakim.
Keputusan yang diambil oleh administrator ini dapat diterima oleh pihak-pihak
yang terlibat konflik karena administrator dianggap mempunyai pegangan /
pedoman yang baik. Strategi ini sedikit menawarkan kompromi atau
penyelesaian masalah secara kreatif, karena pihak ketiga mempunyai otoritas
penuh.

c. Metode-metode Manajemen Konflik

Menurut Winardi (1994: 79), metode manajemen konflik ada tiga bentuk, 1)
stimulasi konflik pada unit-unit atau organisasi yang hasil pekerjaan mereka
tertinggal, dibandingkan dengan standar, disebabkan oleh karena tingkat konflik
yang terjadi di sana terlampau rendah. 2) Mengurangi atau menekan konflik
sewaktu tingkat konflik tersebut terlampau tinggi atau tidak produktif. 3)
menyelesaikan konflik.
Sedangkan menurut James AF. Stoner dan R. Edward Freeman
(1992: 562) bahwa metode manajemen konflik adalah sebagai berikut:
a) Stimulasi (merangsang) Konflik.
Seperti telah disebutkan dimuka, konflik dapat menimbulkan
dinamika dan pencapaian cara-cara yang lebih baik dalam pelaksanaan
kegiatan kerja suatu kelompok. Situasi di mana konflik terlalu rendah
akan menyebabkan karyawan takut berinisiatif dan menjadi pasif.
Kejadian-kejadian, perilaku dan informasi yang dapat mengarahkan orang-
orang bekerja lebih baik diabaikan; para anggota kelompok saling
bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan kerja.
Metode stimulasi konflik menurut James AF. Stoner dan R. Edward
Freeman (1992: 562) meliputi: (1). Pemasukan atau penempatan orang luar
ke dalam kelompok, (2). Penyusunan kembali organisasi, (3). Penawaran
bonus, pembayaran insentif dan penghargaan untuk mendorong persaingan,
(4). Pemilihan manajer- manajer yang tepat, da (5). Perlakuan yang berbeda
dengan kebiasaan.

b) Pengurangan dan Penekanan Konflik


Manajer biasanya lebih terlibat dengan pengurangan konflik
daripada stimulasi konflik. Metode pengurangan konflik menekankan
terjadinya antagonism yang ditimbulkan oleh konflik. Jadi, metode ini
mengelola tingkat konflik melalui “pendinginan suasana” tetapi tidak
menangani masalah-masalah yang semula menimbulkan konflik.
Dua metode menurut T. Hani Handoko (1995: 351) .dapat
digunakan untuk mengurangi konflik. Pendekatan efektif pertama adalah
mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih
bisa diterima kedua kelompok. Metode efektif kedua adalah mempersatukan
kedua kelompok yang bertentangan untuk menghadapi “ancaman” atau
“musuh” yang sama. Sedangkan menurut James AF. Stoner dan R. Edward
Freeman (1992: 563) sekurang-kurangnya ada 3 metode untuk mengurangi
konflik, yaitu: (1). Memberikan informasi menyenangkan antara kelompok
satu dengan kelompok lain, (2). Meningkatkan kontak sosial yang
menyenangkan dengan berbagai cara, (3). Konfrontasi, atau berunding dan
memberikan penjelasan tentang berbagai informasi.
c) Penyelesaian Konflik
Metode penyelesaian konflik menurut Winardi (1994: 84-89) yang
akan dibahas berikut berkenaan dengan kegiatan-kegiatan para manajer
yang dapat secara langsung mempengaruhi pihak- pihak yang bertentangan.
Metode-metode penyelesaian konflik lainnya yang dapat digunakan,
mencakup perubahan dalam struktur organisasi, mekanisme koordinasi, dan
sebagainya.
Ada tiga metode penyelesaian konflik yang sering digunakan, yaitu
dominasi atau penekanan, kompromi, dan pemecahan masalah integratif.
Metode-metode ini berbeda dalam hal efektifitas dan kreatifitas penyelesaian
konflik serta pencegahan situasi konflik di masa mendatang.
1) Dominasi dan penekanan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu: (1). Kekerasan (forcing), yang bersifat menekan otokratik;
(2). Penenangan (smoothing), merupakan cara yang lebih diplomatis;
(3). Penghindaran (avoidance), dimana manajer menghindar untuk
mengambil posisi yang tegas; (4). Aturan mayoritas (majority rule),
mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok dengan
melakukan pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil.
2) Kompromi. Melalui kompromi, manajer mencoba
menyelesaikan konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat
diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bentuk- bentuk kompromi
meliputi: (1) pemisahan (separation), (2). Perwasitan (Arbitrasi), (3).
Penyuapan (bribing).
3) Pemecahan masalah integratif. Menurut T. Hani Handoko
(1995: 352-353), dengan metode ini, konflik antar kelompok
diubah menjadi situasi pemecahan masalah bersama yang
dapat diselesaikan melalui teknik-teknik pemecahan masalah.
Ada 3 metode pemecahan konflik integratif: (1).
Konsensus, (2). Konfrontasi, dan (3). Penggunaan tujuan
yang lebih tinggi.

d. Lima Gaya Manajemen Konflik


Gaya atau pendekatan seseorang dalam hal menghadapi sesuatu
situasi konflik dapat diterangkan sehubungan dengan tekanan relatif atas apa
yang dinamakan cooperativeness (keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan
minat pihak lain) dan assertiveness (keinginan untuk memenuhi keinginan dan
minat diri sendiri). Adapun gaya dan intensi yang diwakili masing-masing gaya
menurut Winardi (1994: 18-19) sebagai berikut:
1) Tindakan menghindari (avoiding)
Bersikap tidak koopratif, dan tidak asertif; menarik diri dari situasi
yang berkembang, dan atau bersikap netral dalam segala macam “cuaca”.
Seorang manajer yang menggunakan gaya ini akan lari dari peristiwa
yang dihadapi, meninggalkan pertarungan untuk mendapatkan hasil.
Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan dibolehkan
untuk mendinginkan konflik – inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik

3
menghindar yang paling efektif.

2) Kompetisi atau komando otoritatif


Bersikap tidak koopratif tetapi asertif; bekerja dengan cara menentang
pihak lain, berjuang untuk mendominasi dalam suatu situasi
3 Gaya ini juga efektif bila waktu memang membutuhkan.
Sebagai contoh; misalnya dalam rapat dewan suatu item dapat dibuat
“skemanya” atau ditunda untuk dibicarakan. Dilain pihak, gaya ini dapat
membuat frustasi orang lain karena jawaban penyelesaian konflik demikian
lambat. Rasa kecewa biasanya berpangkal dari gaya penyelesaian konflik
dengan menghindar, dan konflik cenderung meledak bila gaya ini
dipakai. Lihat: William Hendricks, Bagaimana Mengelola Konflik,
Penterjemah: Arif Santoso, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm.50-51.

“menang – atau – kalah “, dan atau memaksakan segala sesuatu agar


sesuai dengan kesimpulan tertentu, dengan menggunakan kekuasaan yang
ada. Gaya ini juga sering diasosiasikan dengan gertakan dan “hardball
tactic” dari para pialang kekuasaan.
Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat
dibutuhkan atau jika perso’alan tersebut kurang penting. Dan strategi ini
adalah paling baik digunakan bila dalam keadaan terpaksa. Dipergunakan
sepanjang kita memiliki hak dan sesuai dengan pertimbangan hati nurani
kita.
3) Akomodasi atau meratakan
Bersikap koopratif, tetapi tidak asertif; membiarkan keinginan pihak lain
menonjol; meratakan perbedaan-perbedaan guna mempertahankan
harmoni yang diciptakan secara buatan.
4) Kompromis
Bersikap cukup koopratif dan asertif, tetapi tidak hingga tingkat ekstrim.
Bekerja menuju kearah pemuasan kepentingan parsial semua pihak yang
berkepentingan; melaksanakan tawar- menawar untuk mencapai
pemecahan-pemecahan “akseptabel” tetapi bukan pemecahan optimal,
hingga tak sorang pun merasa bahwa ia menang atau kalah secara mutlak.
Gaya ini berupaya melakukan klarifikasi polaritas dan mencari titik temu.
Keahlian negosiasi dan bargaining (tawar-menawar) adalah diperlukan
sebagai pelengkap untuk gaya kompromi.
5) Kolaborasi (kerja sama) atau pemecahan masalah.
Bersikap koopratif maupun asertif; berupaya untuk mencapai kepuasan
benar-benar setiap pihak yang berkepentingan, dengan jalan bekerja melalui
perbedaan-perbedaan yang ada; mencari dan memecahkan masalah
demikian rupa, hingga setiap orang mencapai keuntungan sebagai hasilnya.

ASPEK POSITIF DALAM KONFLIK


Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola
dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan :
 Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan
tanggung jawab mereka.
 Memberikan saluran baru untuk komunikasi.
 Menumbuhkan semangat baru pada staf.
 Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi.
 Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.
Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada
penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun
kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh,
bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi, baik organisasi
sekolah maupun organisasi lainnya. Kepala sekolah dituntut menguasai manajemen
konflik agar konflik yang muncul dapat berdampak positif untuk meningkatkan mutu
sekolah. Kenyataan di lapangan khususnya di institusi pendidikan, kepala sekolah
justru enggan untuk menerapkan manajemen konflik, karena beranggapan kepada
paradigma lama dimana konflik lebih besar pengaruh negatifnya (mudaratnya). Lebih
dari itu, bagaimana kepala sekolah bersama tenaga kependidikan lainnya dapat
memenej konflik untuk meningkatkan mutu sekolah.
Menghadapi dinamika perubahan ini tentu menyisakan berbagai macam problematika.
Permasalahan-permasalahan yang timbul itu perlu dikenali, bahkan masalah-masalah
yang masih berujud potensi perlu didorong untuk muncul dengan harapan dapat
diantisipasi atau dicarikan solusinya agar tidak berdampak negatif terhadap kemajuan
sekolah.
Beberapa permasalahan yang muncul atau masih berujud potensi itu antara lain
sebagai berikut :
1) Anggapan bahwa manajemen konflik tidak efektif  untuk meningkatkan mutu
sekolah.
2) Manajemen konflik lebih banyak berdampak negatif bagi anggota organisasi.
3) Kepala sekolah tidak terampil dalam menggunakan manajemen konflik untuk
meningkatkan mutu sekolah.
4) Budaya ganti pemimpin ganti kebijakan. Hal demikian ini sering membuat para
pelaku di tingkat bawah menjadi kebingungan karena kebijakan lama belum
jelas menampakkan hasil, tetapi sudah harus menyesuaikan dengan kebijakan
baru yang perlu penyesuaian kembali.
5) Belum siapnya sumber daya yang ada terutama para stake holders di tingkat
bawah untuk menghadapi perubahan-perubahan yang hampir terjadi setiap
saat.
6) Pemahaman terhadap manajemen sekolah sering membuat kita jadi sulit
menentukan pilihan manakah yang harus dilakukan terlebih dahulu. 
7) Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi masing-masing elemen dari
sistem pendidikan di Indonesia masih kurang, sehingga tidak bisa menghayati
tugas dan peranannya dalam sistem tersebut.
8) Penempatan tenaga kependidikan tidak mempertimbangkan prinsip efisiensi
dan efektivitas.
9) Masih dijumpai tenaga kependidikan (guru/kepala sekolah) berperan ganda
yang seharusnya lebih fokus terhadap tugas pokok dan fungsinya sebagai
pengajar, tetapi juga harus mengurus kebutuhan pemenuhan sarana prasaran, 
fisik gedung sekolah yang rusak atau kurang layak untuk berlangsungnya
proses belajar mengajar yang efektif. Tugas pokok dan fungsi kepala sekolah
yang tercermin dalam EMASLIM dirasa sangat berat, padahal SD belum
dilengkapi dengan tenaga kependidikan yang khusus bekerja di bidang ketata
usahaan, perpustakaan, sehingga praktis semua tugas yang ada di SD menjadi
tanggung jawab guru / kepala sekolah.
10)Budaya reward and punishment yang tidak proporsional, sehingga melahirkan
kecemburuan sosial dan menurunnya semangat dan etos kerja.
11)Pemberlakuan masa jabatan kepala sekolah 4 tahunan, dapat berdampak
positif untuk memacu kinerja yang lebih optimal, tetapi dapat pula berdampak
negatif terutama bagi kepala sekolah yang sudah memangku jabatan ketika
aturan tersebut diberlakukan. Ada gejala post power syndrom dan kecemasan
untuk kembali bertugas hanya sebagai guru biasa.
12)Walaupun realitanya belum berjalan tetapi pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen, dimana guru harus memenuhi
kualifikasi guru professional dapat mengakibatkan kecemburuan sosial diantara
para tenaga kependidikan, mengingat pemberlakukannya tidak serentak.
Seleksi awal menggunakan pola yang dianggap kurang fair seperti pendidikan
minimal S1 atau D4, masa kerja minimal 20 tahun, golongan minimal IV/a. 
AKIBAT KONFLIK
Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik
tersebut.

Akibat negative
• Menghambat komunikasi.
• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
• Mengganggu kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi,
menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.

Akibat Positif dari konflik:


• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem
dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.

Menurut Mulyasa pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu.
1) Tahap potensial, yaitu munculnya perbedaan di antara individu, organisasi, dan
lingkunan merupakan potensi terjadinya konflik;
2) Konflik terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang muncul dirasakan oleh
individu, dan mereka mulai memikirkannya.
3) Pertentangan, yaitu ketika konflik berkembang menjadi perbedaan pendapat di
anatara individu atau kelompok yang saling bertentangan.
4) Konflik terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang menjadi
permusuhan secara terbuka.
5) Akibat konflik, yaitu tahapan ketika konflik menimbulkan dampak terhadap
kehidupan dan kinerja organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan
menimbulkan keuntungan, seperti tukar pikiran, ide dan menimbulkan
kreativitas. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dan melampaui batas, maka
akan menimbulkan kerugian seperti saling permusuhan

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik
hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
(Wikipedia Indonesia, 27 /11/ 2006) Adapun factor – factor  penyebab konflik antara
lain
1) Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
2) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-
pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya
menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial; dan
4) Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Di sekolah, konflik dapat terjadi dalam semua tingkatan.


1) Konflik intrapersonal,  yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang.
Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu  harus memilih dua atau lebih
tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana ynag harus dipili untuk
dilakukan. Misalnya, konflik antara tugas sekolah dengan acara pribadi. Konflik ini
bias diibaratkan seperti makan buah simalakama, dimakan salah tidak dimakan
juga salah, dan kedua pilihan yang ada memiliki akibat yang seimbang. Konflik
intrapersonal juga bisa disebabkan oleh tuntutan tugas yang melebihi
kemampuan.
2) Konflik interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik yang terjadi
ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil
bersama sangat menentuan. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan dalam
memilih mata pelajaran unggulan daerah.
3) Konflik intragrup, yaitu konflik anta angota dalam satu kelompok. Setiap kelompok
dapat mengalami konflik substantif atau efektif.  Konflik substantif terjadi karena
adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite
menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik
efektif terjadi karena tangapan emosional terhadap suatu situasi tertentu. Contoh
konflik intragrup, misalnya konflik yang terjadi pada beberapa guru dalam
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP);
4) Konflik intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergrup terjadi
karena adanya saling ketergantungan, perbedaan prsepsi, perbedaan tujuan, da
meningkatkatnya tuntutan akan keahlian. Misalnya konflik antar kelompo guru
kesenian dengan kelompok guru matematika. Kelompok guru kesenian
memandang bahwa untuk membelajarkan lagu tertentu dan melatih pernafasan
perlu disuarakan dengan keras, sementara kelompok guru matematika merasa
terganggu, karena para pesereta didiknya tidak konsentrasi belajar.;
5) Konflik intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagia dalam suatu
organisasi. Misalnya konflik antara bidang kurikulum dengan bidang kesiswaan.
Konflik intraorganisasi meliputi empat sub jenis :
a. Konflik vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak
sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya
konflik antara kepala sekolah dengan tenaga kependidikan;
b. Konflik horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang
memiliki hierarkhi yang sama dalam organisasi Misalnya antara tenaga
kependidikan;
c. Konflik lini-staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi
tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh Kepala
sekolah lini. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan tenaga
administrasi;
d. Konflik peran, yang terjadi karena seserang memiliki lebih dari satu peran.
Misalnya kepala sekolah menjabat sebagai ketua dewan pendidikan;
e. Konflik interorganisasi,  yang terjadi antar organisasi. Konflik inter organisasi 
terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, konflik
terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan
dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara
sekolah dengan salah satu organisasi masyaraka,
b) Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan
mencegah konflik. Wakil Kepala Sekolah harus mengetahui dan
memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum
jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
c) Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat
dikelola dengan mendukung Guru untuk mencapai tujuan sesuai dengan
pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Guru junior yang
berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang
yang lebih tinggi, sedangkan bagi guru senior yang berprestasi dapat
dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
d) Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan
yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan Kepala
sekolah untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan
komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat
dijadikan sebagai satu cara hidup.
e) Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal
penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan
para Kepala sekolah telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat
merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa
mereka telah mendengarkan.
a. t
b. P konflik ada 5 tahap.

Tahap 1 : Potensi Oposisi atau Ketidakcocokan.


Tahap pertama dalam proses konflik adalah adanya kondisi (syarat) yang
menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik. Kondisi itu tidak selalu langsung
mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu penyebab konflik itu muncul. Untuk
menyederhanakan, kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai penyebab atau
sumber konflik) dipadatkan ke dalam tiga kategori umum, yakni :
a) Komunikasi
Komunikasi dapat juga menjadi sumber konflik. Komunikasi menyatakan
kekuatan-kekuatan berlawanan yang timbul dari dalam kesulitan semantik,
kesalahpahaman,dan ”kebisingan”dalam saluran komunikasi. Kesulitan semantik,
pertukaran informasi yang tidak cukup, dan kebisingan saluran komunikasi
semuanya merupakan penghalang terhadap komunikasi dan kondisi anteseden
yang potensial bagi konflik. Kesulitan semantik timbul sebagai akibat perbedaan
pelatihan, persepsi selektif, dan informasi tidak memadai mengenai orang-orang
lain. Potensi konflik meningkat bila terdapat terlalu sedikit atau terlalu banyak
komunikasi atau informasi. Saluran yang dipilih untuk berkomunikasi dapat
berpengaruh merangsang oposisi. Proses penyaringan yang terjadi ketika
informasi disampaikan para anggota dan penyimpangan komunikasi dari saluran
formal atau yang sudah ditetapkan sebelumnya, menawarkan potensi kesempatan
bagi timbulnya konflik.
b) Struktur
Istilah struktur mencakup variabel seperti ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas
yang diberikan ke anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggota /
sasaran, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antar
kelompok. Ukuran dan spesialisasi bertindak sebagai kekuatan untuk merangsang
konflik. Semakin besar kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatannya,
semakin besar kemungkinan terjadinya konflik. Masa kerja dan konflik berbanding
terbalik. Potensi konflik paling besar terjadi pada anggota kelompok yang lebih
muda dan ketika tingkat pengunduran diri tinggi. Ambiguitas jurisdiksi
meningkatkan perselisihan antar-kelompok untuk mendapatkan kendali atas
sumber daya dan teritori. Partisipasi dan konflik sangat berkaitan karena
partisipasi mendorong digalakkannya perbedaan. Sistem imbalan dapat
menciptakan konflik apabila apa yang diterima satu anggota mengorbankan
anggota yang lain.
c) Variabel Pribadi
Kategori terakhir potensi sumber konflik adalah faktor-faktor pribadi. Faktor pribadi
ini mencakup sistem nilai individu setiap orang dan karakteristik kepribadian yang
menyebabkan idiosinkrasi dan perbedaan individu. Variabel yang paling
terabaikan dalam penelitian konflik sosial adalah perbedaan sistem nilai dimana
merupakan sumber yang paling penting yang dapat menciptakan potensi konflik
Tahap II : Kognisi dan Personalisasi
Konflik yang Dipersepsikan merupakan kesadaran satu pihak atau lebih atas adanya
kondisi yang menciptakan peluang terjadinya konflik. Konflik yang Dipersepsikan tidak
berarti konflik itu dipersonalisasikan. Konflik yang Dirasakan, apabila individu-individu
menjadi terlibat secara emosional dalam saat konflik, sehingga pihak-pihak
mengalami kecemasan, ketegangan, frustasi, atau kekerasan. Tahap II ini penting
karena persoalan konflik cenderung didefinisikan dan emosi memainkan peran utama
dalam membentuk persepsi. 

Tahap III : Maksud


Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara tertentu. Maksud
Penanganan Konflik :
1. Persaingan
Merupakan keinginan memuaskan kepentingan seseorang, tidak memperdulikan
dampak pada pihak lain dalam konflik tersebut.
2. Kolaborasi
Merupakan situasi yang di dalamnya pihak-pihak yang berkonflik sepenuhnya
saling memuaskan kepentingan semua pihak.
3. Penghindaran
Merupakan keinginan menarik diri dari atau menekan konflik.
4. Akomodasi
Merupakan kesediaan satu pihak dalam konflik untuk memperlakukan
kepentingan pesaing di atas kepentingannya sendiri.
5. Kompromi
Merupakan satu situasi yang di dalamnya masing-masing pihak yang berkonflik
bersedia mengorbankan sesuatu. 
Tahap IV : Perilaku

Tahap perilaku mencakup :


 Pernyataan.
 Tindakan.
 Reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik.

Tahap V : Hasil

Hasil berupa jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan


konsekuensi. 

1. Hasil Fungsional
Konflik bersifat konstruktif apabila konflik itu memperbaiki kualitas keputusan,
merangsang kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan keingintahuan di
kalangan anggota kelompok, menjadi saluran yang merupakan sarana
penyampaian masalah dan peredaan ketegangan, dan memupuk lingkungan
evaluasi diri serta perubahan
2. Hasil Disfungsional
Konsekuensi destruktif konflik pada kinerja kelompok atau organisasi umumnya
sangat dikenal. Oposisi yang tidak terkendali memunculkan ketidakpuasan, yang
bertindak menghilangkan ikatan bersama, dan pada akhirnya mendoromg ke
penghancuran kelompok itu. Konflik dari ragam disfungsional dapat mengurangi
efektifitas kelompok.

STRATEGI
MENGHINDAR
Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar dating pada seorang Kepala
sekolah untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata bahwa sang Kepala sekolah
menolak untuk turut campur dalam persoalan tersebut, maka setiap pihak akan
mengalami perasaan tidak puas. Memang perlu diakui bahwa sikap pura-pura
bahwa tidak ada konflik, merupakan seuah bentuk tindakan menghindari. Bentuk
lain adalah penolakan (refusal) untuk menghadapi konflik, dengan jalan mengulur-
ulur waktu, dan berulangkali menangguhkan tindakan, “sampai diperoleh lebih
banyak informasi”
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik
tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat
yang akan ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan
pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Kepala Sekolah yang
terlibat didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua
pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk
melakukan diskusi”.
Penggunaan :
 Ketika permasalahannya tidak lebih penting dari hal lain
 Ketika Anda tidak menerima kesempatan untuk memuaskan keinginan Anda,
atau permasalahannya terlihat tidak pada jalurnya atupun bergejala pada hal
lain, lebih dari permasalahan dasar.
 Ketika kerusakan karena konflik lebih besar daripada keuntungan resolusinya
 Untuk menenangkan orang lain; untuk mengurangi ketegangan sekaligus untuk
menambah pandangan dan kesabaran
 Untuk membiarkan orang lain memecahkan konflik lebih efektif
 Ketika mngumpulkan lebih banyak informasi akan menambah keuntungan
solusi yang terlalu cepat

 Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan
masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini
memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka
untuk membuat keputusan. Personelt yang menjadi bagian dalam konflik dapat
mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di
tempat yang pertama.
Metode ini mengabaikan keinginan atau kepentingan pribadi untuk memuaskan
keinginan orang lain; ada pengorbanan diri dalam bentuk ini. Mengakomodasi
seperti beramal atau berbuat baik pada orang lain, mematuhi perintah orang lain
ketika seseorang lebih tidak memilih untuk melakukannya, ataupun menyerah
pada pandangan orang lain. Mengalah, memberi jalan pada orang lain.
Penggunaan :
 Ketika Anda sadar bahwa Anda salah, untuk membiarkan posisi yang lebih baik
terdengar, untuk belajar dari orang lain,
 Ketika permasalahan lebih penting untuk orang lain daripada untuk Anda, untuk
memenuhi kebutuhan orang lain, dan sebagai pertanda baik untuk
mempertahankan hubungan kerja sama.
 Untuk menciptakan kewajiban pada orang lain untuk permasalahan yang lebih
penting bagi anda
 Ketika menciptakan harmoni dan menghindari perpecahan sangatlah penting
Untuk meningkatkan kapasitas anggota tim dengan membiarkan mereka
bereksperimen dan belajar dari kesalahan mereka sendiri.

 Pemecahan problem Integrative


konflik antar kelompok dialihkan menjadi sebuah situasi pemecahan masalah
bersama, yang dapat dipecahkan dengan bantuan teknik-teknik pemecahan
masalah. Pihak-pihak yag berkonflik, bersama-sama mencoba memecahkan
problem yang timbul antara mereka. Justu mereka tidak menekan konflik ataupun
mencoba mencari suatu kompromis, tetapi mereka secara terbuka bersama-sama
mencoba mencari sebuah pemecahan yang dapat diterima oleh semua pihak. Ada
tiga macam tipe metode penyelesaian konflik secara integrative yaitu metode (a)
Consensus (concencus); (b) Konfrontasi (Confrontation); dan (c) Penggunaan
tujuan-tujuan superordinat (Superordinate goals) (Winardi, 1994 : 84- 89).

 Keinginan Mayoritas (Majority Rule)


Upaya untuk menyelesaikan konflik kelompok melalui pemungutan suara, dimana
suara terbanyak menang (majority vote)  dapat merupakan sebuah cara efektif,
apabla para angota menganggap prosedur yang bersangkutan sebagai prosedur
yang “fair” Tetapi, apabila salah satu blok yang memberi suara terus-menerus
mencapai kemenangan, maka pihak yang kalah akan merasa diri lemah dan
mereka akan mengalami frustrasi.

 Kompetisi
Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak
informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak
ingin mengkompromikan nilai-nilai anda. Metode ini mungkin bisa memicu konflik
tetapi bisa jadi merupakan metode yang penting untuk alasan-alasan keamanan.
Metode ini bertitik tolak pada power dengan menggunakan power apapun yang
sesuai untuk memenangkan posisi. Membela hak-hak pribadi mempertahankan
posisi yang dipercayai benar, atau sederhananya mencoba menang.
Memaksakan keinginan atau splusi yang diyakini benar.
Penggunaan:
 Ketika dibutuhkan tindakan cepat
 Pada permasalahan penting di mana tindakan yang tidak terlalu sering
dilakukan perlu diwujudkan
 Pada permasalahan penting untuk kesejahteraan kelompok dan Anda tahu
bahwa Anda benar.
 Untuk melindungi diri Anda melawan orang lain yang mengambil keuntungan
dari perilaku yang nonkompetitif

 Kompromi atau Negosiasi


Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang
bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan
semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.
Melalui tindakan kompromi, para Kepala sekolah mencoba menyelesaikan konflik
dengan jalan menghimbau pihak yang berkonflik untuk mengorbankan sasaran-
sasaran tertentu, guna mencapai sasaran-sasaran lain. Keputusan-keputusan
yang dicapai melalui jalan kompromi, agaknya tidak akan menyebabkan pihak-
pihak yangberkonflik untuk merasa frustasi atau mengambil sikap bermusuhan.
Tetapi, dipandang dari sudut pandanga organisatoris, kompromis merupakan cara
penyelesaian konflik yang lemah, karena biasanya tidak menyebabkan timbulnya
suatu pemecahan, yang paling baik membantu organisasi yang bersangkutan
mencapai tujuan-tujuannya. Justru, pemecahan yang dicapai adalah bahwa ke dua
belah pihak yang berkonflik dapat “hidup” dengannya. Bentuk-bentuk kompromis
mencakup:
a. Separasi (Separation), pihak yang berkonflik dipisahkan sampai mereka
mencapai suatu pemecahan.
b. Aritrasi (Arbitration), pihak-pihak yang berkonflik tunduk terhadap keputusan
pihak keiga (yang biasanya tidak lain dari pihak manejer mereka sendiri).
c. Mengambil keputusan berdasarkan factor kebetulan (Settling by chance),
keputusan tergantung misalnya dari uang logam yang dilempar ke atas,
mentaati peratuan-peraturan yang berlaku (resort to rules) , dimana para
pihak yang bersaingan setuju untuk menyelesaikan konflik dengan
berpedoman pada peraturan-peraturan yang berlaku;
d. Menyogok (Bribing), Salah satu pihak menerima imbalan tertentu untuk
mengakhiri konflik terjadi.
Penggunaan :
 Ketika tujuan tidak terlalu penting tetapi butuh usaha ataupun berpotensi
merusak
 Ketika dua pihak yang berlawanan dengan kekuatan yang seimbang teguh
pada tujuan masing-masing
 Untuk mencapai posisi nyaman sementara pada permasalahan kompleks
 Untuk tiba pada solusi cepat dalam tekanan waktu
Sebagai model cadangan ketika collaboration dan competing gagal.

 Memaksa
Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah, jangan banyak
bicara, saya berkuasa di sini, dan Saudara harus melaksanakan perintah saya”,
maka semua argumen habis sudah. Supresi otokratis demikian memang dapat
menyebabkan timbulnya ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung, tetapi
destruktif seperti misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan (Malicious 
obedience) Gejala tersebut merupakan salah satu di antara banyak macam bentuk
konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi (peneanan) konflik terus-menerusa
diterapkan.

 Memecahkan Masalah atau Kolaborasi


- Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai
tujuan kerja yang sama.
- Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling
mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya.
Bekerja sama dengan pihak lain untuk menemukan beberapa solusi yang
sepenuhnya memuaskan keinginan kedua belah pihak. Ini berarti menggali
permasalahan untuk menemukan keinginan utama kedua belah pihak untuk
menemukan alternatif yang dapat memenuhi keinginan keduanya. Kerja sama ini
akan mengeksplorasi ketidaksetujuan, belajar melihat dari sisi orang lain,
berkomitmen untuk memecahkan situasi dan mencoba mencari solusi kreatif
untuk masalah interpersonal.
Penggunaan:
 Untuk menemukan solusi integratif ketika kedua keinginan terlalu penting untuk
dikompromikan
 Ketika tujuan Anda adalah untuk belajar (menguji asumsi, memahami orang
lain).
 Untuk menyatukan pemikiran orang dengan perspektif berbeda
 Untuk menambah komitmen dengan mengolah keinginan orang lain kepada
keputusan konsensus
 Untuk bekerja dalam perasaan yang tidak nyaman, yang telah mengganggu
hubungan interpersonal

 Membujuk (Smoothing)
membujuk merupakan sebuah cara  untuk menekan (mensupresi) konflik dengan
cara yang lebih diplomatic, sang manager mencoba mengurangi luas dan
pentingnya ketidaksetujuan yang ada, dan ia mencoba secara sepihak membujuk
pihak lain, untuk mengkuti keinginannya. Apabila sang manager memilki lebih
banyak informasi dibandingkan dengan pihak lain tersebut, dan sarannya cukup
masuk akal, maka metode tersebut dapat bersifat efektif. Tetapi andaikata terdapat
perasaan bahwa sang menejer menguntungkan pihak tertentu, atau tidak
memahami persoalan yang berlaku, maka pihak lain yang kalah akan
menentangnya

 Intervensi Pihak Ketiga


1. Apabila pihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua
pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam
penyelesaian konflik.
2. Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan
berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini
mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih
baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
3. Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk
menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta,
menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah
serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu.
Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.
4. Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta
mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik.
Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha
untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan
persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak
berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi
pokok sengketa

TEKNIK MENGELOLA KONFLIK


Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada :
 Konflik itu sendiri
 Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya
 Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik
 Pentingnya isu yang menimbulkan konflik
 Ketersediaan waktu dan tenaga

Konflik yang timbul di tempat kerja tidak bisa dihindarkan. Namun pemimpin harus
mengelolanya secara luwes agar irama kerja sehari-hari tidak terganggu.
Sebagai pemimpin ada berbagai strategi manajemen konflik, yaitu:
Teknik 1: Ajak orang-orang yang sedang konflik pada tujuan yang lebih tinggi.
Contoh, bagian anda terlibat konflik dalam menentukan kuota penjualan.
Bagian keuangan menuntut penjualan setinggi-tingginya, sedangkan bagian
anda menuntut dukungan biaya promosi besar-besaran. Begitu orang-orang
itu kita ajak bicara pada tataran corporate, untuk tujuan yang lebih besar,
mereka akan cenderung untuk berpikir lebih jernih.
Teknik 2: Memperluas sumber daya yang ada. Konflik bisa terjadi karena sumber
daya yang langka yang dibutuhkan banyak orang.
Contoh, hanya ada satu saluran telpon untuk dua bagian. Ketika mereka
akan menggunakannya, mereka saling berebut. Cara manajemen
konfliknya? Ya, tambah saja pesawat telponnya. Ini adalah contoh yang
sangat menggampangkan, namun saya harapkan anda menangkap
gagasannya.
Teknik 3: Penghindaran. Ini yang sering dilakukan oleh orang pada umumnya.
Daripada ribut dan konflik terus dengan tetangganya, orang itu kemudian
menghindar dan berusaha untuk tidak bertatapan dengan tetangganya itu.
Ini memang bukan cara manajemen konflik yang efektif, namun kadang,
dengan penghindaran ini, pihak yang ingin konflik akan berkurang
‘semangat’ untuk konfliknya.
Teknik 4: Mencari titik temu. Ketika anda sebagai pemimpin dan menemui orang yang
konflik, anda dapat memakai teknik ini. Teknik ini berusaha mencari
persamaan yang ada antara pihak yang terlibat konflik, sekaligus juga
diperkecil perbedaan yang ada.
Contoh ada konflik antara bagian pemasaran dan produksi. Daripada
berdebat perbedaan fungsi kedua bagian itu, manajemen konflik dapat
mencari persamaan kedua bagian itu. Misalnya, mereka sama-sama fungsi
yang sangat penting dalam perusahaan, karena tanpa keduanya,
perusahaan tidak akan bisa hidup…
Teknik 5: Kompromi. Ketika anda melakukan kompromi terhadap pihak yang terlibat
konflik, mungkin masing-masing pihak tidak merasa puas terhadap
keputusan itu. Namun manajemen konflik ini efektif jika topik/barang yang
dikonflikkan bisa dibagi dua secara adil.
Teknik 6: Pakai Power. Ini adalah cara paling kuno untuk manajemen konflik. Ketika
orang yang konflik tidak mau menyudahi konfliknya, sebagai pemimpin anda
gunakan kekuasaan anda untuk menyudahi konflik itu. Walau mereka tidak
puas, namun karena mereka adalah bawahan anda, mau tidak mau mereka
harus patuh kepada anda.
Teknik 7: Mengubah sifat-sifat orang yang konflik. Mengubah sifat orang sangatlah
sukar. Namun, ini adalah manajemen konflik yang efektif untuk jangka
panjang.
Contoh, di kantor anda dijumpai karyawan yang sering bertengkar dengan
karyawan lainnya. Sebagai pemimpinnya, anda ajak pelan-pelan karyawan
itu untuk mengubah perilakunya. Dengan sabar anda bimbing karyawan itu,
dan akhirnya, ia mampu menjadi karyawan yang baik. Ketika karyawan itu
sudah berubah sikapnya, konflik yang sering terjadi di bagian anda akan
sangat berkurang.
Teknik 8: Ubah strukturnya. Agar bagian promosi dan bagian produksi tidak saling
menyalahkan, ubahlah strukturnya.
Contoh, bagian pemasaran mengeluhkan betapa sulitnya mereka menjual
karena produknya desainnya jelek, dan kualitasnya meragukan. Keluhan itu
ditanggapi oleh bagian produksi dengan cara mereka membuat produk
begitu karena memang tidak ada masukan dari bagian pemasaran. Sedang
produk yang buruk, mereka mengeluh karena terjadi pemotongan anggaran
produksi besar-besaran dari bagian keuangan. Agar mereka tidak saling
konflik, gabung saja dua bagian itu dibawah satu departemen. Sekali lagi
contoh manajemen konflik yang saya tulis ini hanya untuk
menggampangkan, dan bukannya ‘resep’ yang harus diikuti secara membabi
buta.
Teknik 9: Ciptakan musuh bersama. Agar mereka tidak usreg saling konflik, ciptakan
saja musuh bersama. Musuh ini dapat berupa pesaing agresif yang harus
dihadapi dengan bersatu, dan bukannya terpecah belah seperti sekarang ini.
Musuh ‘ciptaan’ dapat pula berupa ‘kunjungan’ pimpinan puncak ke bagian
itu, yang ‘terpaksa’ mereka harus bersatu padu untuk bersama-sama
‘menyambut’ pimpinan itu.
PETUNJUK PENDEKATAN SITUASI KONFLIK :
 Diawali melalui penilaian diri sendiri
 Analisa isu-isu seputar konflik
 Tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri.
 Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat konflik
 Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat
 Mengembangkan dan menguraikan solusi
 Memilih solusi dan melakukan tindakan
 Merencanakan pelaksanaannya

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Mengatasi Konflik:


1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak
karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang
muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
6. Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata
rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling
hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar
unit/departemen/ eselon.
KASUS

Pada pukul 1 siang, Astuti, seorang kepala ruang praktek menghubungi bagian
tatausaha untuk menanyakan mengapa Tn Rahmat tidak diberikan surat ijin untuk
persiapan pulang. Dengan meletakan telpon, ia berkata, “saya kecewa dengan kerja
mereka, apakah Ia pikir hanya Ia sendiri yang dapat bekerja dan tidak ada staf lain
yang mampu mengerjakannya”. Kemudian Asuti melanjutkan kalimatnya, “Saya akan
membicarakan hal ini pada seseorang”.

PERTANYAAN:
1. Apa sumber dari konflik yang sedang terjadi ?
2. Jika Anda sebagai kepala ruang/koordinator, yang bertanggung jawab atas situasi
yang terjadi, darimana Anda akan memulai mencari pemecahan masalah ini ?
3. Anda dapat memilih satu cara penanggulangan konflik, dan uraikan pendapat
anda.
4. Hal positif apa yang dapat diambil dari konflik diatas
KEPUSTAKAAN

Ann Marriner –Tomey ( 1996 ) . Guide To Nursing Management and Leadership.


Mosby – Year Book, Inc St Louis USA.

Swansburg, R.C.( 1996 ) Management and Leadership for Nurse Managers ( 2 th ed


)
Jones and Bartlett Publishers Inc, London England.

III. MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI


Para manajer menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik.
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena setiap jenis
perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik.
Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi daerah, banyak sekali perubahan
institusional yang terjadi, yang tidak saja berdampak pada perubahan struktur dan
personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan
organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik
tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan
sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat.
Menurut Gibson, et al. (1997), kegagalan dalam menangani konflik dapat
mengarah pada akibat yang mencelakakan. Konflik dapat menghancurkan
organisasi melalui penciptaan dinding pemisah di antara rekan sekerja,
menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran diri.

Para manajer organisasi publik harus menyadari bahwa karena konflik disebabkan
oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model yang digunakan dalam pengelolaan
konflik juga berlainan, tergantung keadaan. Memilih sebuah model pemecahan
konflik yang cocok tergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan mengapa
konflik terjadi, dan hubungan khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat
konflik. Menurut Greenhalgh (1999), efektivitas pimpinan organisasi dalam
menangani konflik tergantung pada seberapa baik mereka memahami dinamika
dasar dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali hal-hal penting yang
terdapat dalam konflik tersebut.
Bagian ketiga tulisan ini disajikan beberapa model teoretis dalam mengelola konflik
yang dikemukakan oleh para ahli manajemen dan perilaku organisasi.

3.1 Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum dari Leonard Greenhalgh


Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah suatu fenomena yang obyektif
dan nyata, tetapi ia ada dalam benak orang-orang yang terlibat dalam konflik
tersebut. Karena itu untuk menangani konflik, seseorang perlu bersikap empati,
yaitu memahami keadaan sebagaimana yang dilihat oleh para pelaku penting yang
terlibat konflik. Unsur yang penting dalam manajemen konflik adalah persuasi, dan
inilah bentuk penyelesaian konflik yang selalu ditekankan oleh Greenhalgh dalam
model kontinumnya.

Tabel 2: Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum

Masalah-masalah yang dipertanyakan. Jika masalah yang menjadi sumber


konflik adalah masalah prinsip, maka konflik sulit dipecahkan, karena
mengrobankan prinsip dipandang sebagai mengorbankan integritas pribadi. Begitu
masalah-masalah prinsip dikaitkan, pihak-pihak yang terlibat mencoba
berargumentasi bahwa sudut pandang pihak lain salah. Jika hal sepeti ini terjadi,
maka bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah meminta semua pihak untuk
mengakui bahwa mereka memahami pandangan satu sama lain, walaupun masih
percaya dengan pandangannya sendiri. Cara seperti ini lebih memungkinkan
semua pihak untuk meju dalam proses negosiasi, daripada tetap pada posisi
masing-masing.

Ukuran taruhan. Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam perdebatan,


semakin sulit konflik dipecahkan. Misalnya, kebijakan akuisisi yang oleh manajer
dianggap membahayakan kedudukannya. Manajer yang berpikir subyektif akan
memandang taruhannya cukup tinggi, karena itu akan berusaha mati-matian
menentang proses akuisisi tersebut. Dalam kasus ini pendekatan persuasif dengan
cara menunda penyelesaian, hingga semua pihak menjadi kurang emosianal,
sangat baik untuk dilakukan. Selama masa penundaan tersebut masing-masing
pihak dapat mengevaluasi kembali masalah yang dipertaruhkan dan berusaha
untuk mencoba bersikap obyektif dalam penilaian mereka.

Saling ketergantungan pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat


dalam suatu konflik dapat memandang diri mereka sendiri dalam suatu rangkaian
saling ketergantungan “berjumlah nol” hingga “berjumlah positif”. Saling
ketergantungan berjumlah nol adalah persepsi bahwa jika suatu pihak memperoleh
sesuatu dari proses interaksi, maka hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak
lain. Saling ketergantungan bernilai positif, jika kedua belah pihak sama-sama
merasakan memperoleh keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan
berjumlah nol membuat konflik sulit dipecahkan karena hubungan ini memusatkan
perhatian secara sempit pada perolehan pribadi, dan bukan pada perolehan kedua
belah pihak melalui kerjasama dan pemecahan masalah. Jika hal yang demikian
ini terjadi, maka kedua belah pihak harus dibujuk untuk mempertimbangkan
bagaimana mereka dapat saling memperoleh manfaat dari suatu situasi.

Kontinuitas interaksi. Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan dengan horizon


waktu dimana semua pihak melihat diri mereka sendiri berhubungan satu sama
lain. Jika mereka memvisualisasikan interaksi yang terjadi sebagai interaksi jangka
panjang atau suatu hubungan yang terus menerus, maka konflik yang terjadi akan
lebih mudah diselesaikan. Sebaliknya jika transaksi dipandang sebagai hubungan
jangka pendek atau hubungan episodic, maka konflik tersebut akan sulit
dipecahkan. Karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar mau
menyadari bahwa hubungan mereka tidak berhenti di sini saja, atau pada saat
konflik terjadi, tetapi akan ada hubungan lain yang terus menerus di masa yang
akan datang.
Struktur pihak-pihak yang terlibat. Konflik lebih mudah dipecahkan jika suatu
pihak mempunyai seorang pemimpin yang kuat yang dapat menyatukan
pengikutnya untuk menerima dan melaksanakan kesepakatan. Jika
kepemimpinannya lemah, maka sub-sub kelompok serikat pekerja yang paling
merasa berkewajiban untuk mematuhi semua kesepakatan akan melakukan protes
tanpa memperhatikan apa yang telah disepakati oleh pemimpin mereka, dan
karena itu konflik sulit dipecahkan. Serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin
yang kuat mungkin menyulitkan dalam perundingan, tetapi begitu kesepakatan
dicapai maka hasil perundingan tersebut dihormati oleh anggota serikat pekerja.
Jika serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang lemah terlibat dalam
konflik, maka hasil yang telah disepakati mungkin akan dirusak oleh orang-orang
dari dalam serikat pekerja tersebut, yang mungkin tidak menyukai sebagian isi
kesepakatan. Hasilnya mungkin dapat berupa pertentangan yang kronis terhadap
perubahan atau bahkan melakukan pemogokan.

Keterlibatan pihak ketiga. Orang-orang cenderung akan terlibat secara


emosional dalam konflik. Keterlibatan yang demikian dapat menimbulkan beberapa
pengaruh, antara lain: persepsi bias menjadi rusak, proses pemikiran dan
argumentasi yang tidak rasional muncul, menghasilkan pendirian yang tidak
beralasan, kemunikasi rusak, dan serangan-serangan terhadap pribadi muncul.
Pengaruh-pengaruh seperti ini menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan.
Menghadapi situasi seperti ini peranan pihak ketiga yang netral sangat diperlukan.
Pihak ketiga yang netral akan lebih bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat,
karena mereka lebih menyukai evaluasi pihak lain daripada dievaluasi pihak lawan.
Semakin berwibawa, berkuasa, dipercaya, dan netral pihak ketiga, semakin besar
kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menahan emosi.

Peranan yang dimainkan oleh pihak ketiga dapat berwujud bermacam-macam


bentuk, mulai dari wasit yang mengawasi komunikasi, sampai sebagai
penghubung semua pihak, jika komunikasi langsung sulit dilakukan. Peranan
penengah pada dasarnya adalahi menjaga agar semua pihak berinteraksi dalam
cara yang beralasan dan konstruktif. Meskipun demikian, biasanya sebagian besar
manajer enggan untuk mengundang pihak luar sebagai penengah, karena sangat
sulit bagi mereka untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka terlibat dalam
konflik yangs edang terjadi. Jika para manajer tetap terlibat dalam penyelesaian
konflik, maka kedudukan mereka lebih sebagai seorang arbiter, yang memutuskan
sesuatu setelah mendengar laporan dari pihak - pihak yang terlibat. Namun dalam
kebanyakan konflik, peranan penengah lebih disukai, karena semua pihak dibantu
untuk mencapai kesepakatan. Sedangkan arbitrasi lebih menyerupai proses
pengadilan dimana semua pihak membuat alasan sebaik mungkin untuk
mendukung posisi mereka. Hal ini cenderung untuk memperkuat perbedaan, dan
bukannya menyatukan perbedaan yang ada.

Kemajuan konflik. Sulit mengatasi konflik jika semua pihak yang terlibat tidak siap
untuk suatu rekonsiliasi. Jika masing-masing pihak merasa bahwa diri mereka
paling dirugikan, maka konflik sulit dipecahkan. Karena itu, hal penting yang harus
dilakukan adalah membujuk pihak - pihak yang terlibat agar menyadari bahwa
mereka sama-sama menderita akibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat harus
dibawa pada “posisi yang sama”, sehingga mau secara sukarela berpartisipasi
dalam penyelesaian konflik yang terjadi.

3.2 Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflict-Handling Styles) dari Kreitner
dan Kinicki
Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Dalam
model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik yang berbeda yang disajikan
dalam bentuk tabel 2x2. Pada sumbu vertikal menggambarkan sisi pemecahan
masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for others), dan pada sumbu
horizontal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada diri
sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima
gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating,
avoiding, dan compromising.
Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan
secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian
mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.
Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah
paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang
terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah
memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.

Obliging (Smoothing). Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas,


seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk
memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing
(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan
menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang
terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya
kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh
masalah pokok yang ingin dipecahkan.

Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya
kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut
memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan
masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak
diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu
penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok
untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat.
Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk
menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan


masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk
konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini
tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah yang sulit atau “buruk”.
Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya,
penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok
masalah.

Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang


secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang
lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take
approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk
menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda
tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara
buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang
demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian
konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah.

Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan sebagain saja dari
banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik. Model apapun yang
dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain: (1) latar belakang
terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak yang terlibat dalam konflik: apakah
antar-individu, individu dengan kelompok, atau antar-kelompok dalam organisasi;
(3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan; dan (4) kompleksitas organisasi.
Model - model Manajemen konflik akan bermuara pada bagaimana
mengusahakan agar konflik berada pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut
dapat mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya
ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan. Robbins
menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi organisasi jika: (1) konflik merupakan
suatu alat untuk menimbulkan perubahan; (2) konflik mempermudah terjadinya
keterpaduan (cohesiveness) kelompok; (3) konflik dapat memperbaiki keefektifan
kelompok dan organisasi; dan (4) konflik menimbulkan tingkat ketegangan yang
sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif. Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu
rendah) atau terlalu berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan
organisasi untuk mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi. Kedua situasi
ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis, absenteisme tinggi,
bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna jasa, dan sebagainya; yang
pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan mereka kepada publik.
Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap
pimpinan organisasi publik. Penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi
untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik.

VI. PENUTUP
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa kualitas pelayanan publik dipengaruhi
oleh tingkat konflik yang ada dalam organisasi. Faktor - faktor yang menjadi
penentu tingginya kualitas pelayanan, misalnya: sikap responsif dan empatik dari
para aparatur pemerintah akan sulit muncul jika di dalam organisasi terdapat
tingkat konflik yang tinggi atau sebaliknya konflik yang terlalu rendah.

Sering kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap pro dan kontra
dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang konflik secara negatif
dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis konflik yang ada. Para pimpinan
ini bersikeras bahwa konflik akan memecah-belah organisasi dan menghambat
terciptanya kinerja yang optimal. Konflik memberikan indikasi tentang adanya
suatu ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya prinsip-prinsip atau
aturanaturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.

Pandangan yang berbeda terhadap konflik beranggapan bahwa konflik tidak


mungkin dihindari. Semua bentuk ketidak - setujuan mengandung konflik, namun
hal itu tidak perlu menimbulkan pertengkaran yang hebat. Para pimpinan yang
setuju dengan pandangan ini berpendapat bahwa jika pihak-pihak yang berkonflik
bersikap dewasa dan percaya diri, maka apapun masalah yang menjadi sumber
konflik akan dapat diselesaikan dengan baik. Mereka ini percaya bahwa kinerja
organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik yang optimal atau moderat.
Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan perubahan, dan perhatian tidak
terfokus pada masalah. Karena itu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola
konflik sehingga konflik tersebut dapat dipertahankan pada tingkatan tertentu
(optimal atau moderat) sehingga menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi.
Dengan demikian kualitas pelayanan yang diinginkan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
De Cenzo, David A., dan Stephen P. Robbins, 1996. Human Resource
Management. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Gibson, James L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Alih bahasa
oleh Adriani. Jakarta: Binarupa Aksara.
Greenhalgh, Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe, (Ed.),
Memimpin Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta: PT.Gramedia.
Kreitner, Robert, dan Angelo Kinicki, 1995. Organizational Behavior. Chicago: Irwin.
Luthans, Fred, 1985. Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Book
Company.
Milkovich, George T., dan Milkovich Boudreau, 1977. Human Resource
Management. Chicago: Irwin.
Miner, John B., et al., 1985. The Practice of Management. Toronto: A Bell & Howell
Company.
Robbins, Stephen P., 1996. Organizational Behavior: Concepts,Controversies, and
Applications. USA: Prentice-Hall International Editions.
Schermerhorn, John R., et al., 1982. Managing Organizational Behavior. New Yor:
John Wiley &Sons, Inc.
Sikula, Andrew F., 1976. Personnel Administration and Human Resources
Management. New York: John Wiley &Sons, Inc.
Stoner, James A.F., dan R. Edward Freeman, 1989. Management. USA: Prentice-
Hall International Editions.
Werther, William B., dan Keith Davis, 1993. Human Resouces and Personnel
Management. New York: McGraw-Hill International
The Six Thinking Hats
(Suatu Model berpikir dalam Pembuatan Keputusan)

“ Emotions are an important part of thinking and, in the end, all decisions and choices
are made on the basis of our feelings. Emotions at the right place in thinking are
essential. Emotions at the wrong place can be disastrous. The six hats method
allows us to use emotions and feelings at the right place.”

‘Six Thinking Hats’; model yang dicipta oleh Edward de Bono merupakan satu teknik
atau instumen yang penting di dalam sebuah organisasi. Model ini digunakan dalam
membuat keputusan yang mana option - option keputusan dilihat dari perspektif yang
bebeda. Teknik ini terbukti dalam mempertajam kemampuan berpikir untuk membuat
keutusan.

Apa itu Thinking Hats?


Pemikiran tidak berstruktur atau unstructured dapat mengakibatkan keputusan
yang dibuat tidak rasional; mengikut emosi, keliru serta kadangkala tidak
membantu kita dalam membuat keputusan. Tanpa kerangka pikir (framework),
pemikiran kreatif, amat sukar untuk membuat keputusan. Maka oleh itu,
Edward de Bono menawarkan satu model dan telah dipakai di seluruh dunia
khususnya di kalangan organisasi pendidikan dan pengelolaan organisasi
secara umum.
Setiap ‘topi’ mewakili peranan fikiran yang akan digunakan dalam proses pemikiran.
Dengan mengubah dari satu ‘topi’ ke satu ‘topi’ yang lain, akan memberikan
gambaran yang lebih luas seperti kita melihat sesuatu senario dari pelbagai perspektif.

Penggunaan ‘Six Thinking Hats’


Penggunaan ‘Six Thinking Hats’ tidak terbatas dalam organisasi malah teknik ini boleh
digunakan oleh setiap individu. Penggunaan dalam organisasi akan dapat
meruntuhkan benteng-benteng konfrontasi di antara individu yang mempunyai
pendapat berbeda terhadap isu atau masalah yang sama. ‘Six Thinking Hats’
merupakan kaedah yang mudah dan praktis dalam menangani kesukaran di dalam
pemikiran kreatif.
Penggunaan ‘Six Thinking Hats’ dapat membantu dalam membuat keputusan di
mana, teknik yang digunakan menggabungkan kaedah-kaedah yang menyangkut :
kreativiti, cita-cita, public sensitivity, kemampuan analisis, dsb.

Memfokuskan pada data dan rekomendasi yang ada. Dengan


melihat rekomendasi dan data – data yang ada, jurang
pengetahuan dapat diperbaiki atau dapat dihapuskan. ‘White
Hat’ membolehkan seseorang untuk menganalisa corak (trend)
data yang ada serta mencoba untuk membuat tahapan –
tahapan langkah berdasarkan corak tersebut. Beberapa
pertanyaan dapat diajukan saat menggunakan topi ini :
1. Apa rekomendasi yang ada ?
2. Apa rekomendasi yang diperlukan ?
3. Apa pertanyaan – pertanyaan yang ditanyakan?

Melihat masalah dan isu dengan menggunakan


gerakhati dan emosi. Teknik ‘Red Hat; juga
mengambil pandangan orang lain atau pihak luar
serta bagaimana mereka akan bertindak balas dari
segi emosi. ‘Red Hat; membolehkan seseorang
menggunakan gerak hati dan perasaan dalam
membuat keputusan tanpa perlu memberikan
alasannya. Teknik ini berlawanan dengan
kebanyakan kita yang menggunakan fikiran rasional
dalam membuat keputusan.
Dengan menggunakan ‘Black Hat’, seseorang akan
melihat keburukan (bad points) sesuatu masalah/isu.
Masalah/isu tersebut akan dinilai dengan teliti seterusnya
akan dianalisa risiko kegagalannya. Teknik ini penting
karena ia dapat mengenal pasti kelemahan-kelemahan
sesuatu masalah/isu. Setelah langkah mengenal pasti
kelemahan selesai, ia dapat diatasi/dihapuskan ataupun
diubah sesuai kelemahan tersebut untuk menghasilkan
kerangka tindakan.

‘Black Hat’ dianggap sebagai topi yang paling berguna serta


merupakan topi yang seringkali digunakan. Warna hitam
melambangkan warna jubah hakim yang mana ia turut
melambangkan ketelitian di dalam membuat semua
keputusan.

Membantu dalam pemikiran positif/optimis. Ini


merupakan pandangan optimistik yang
membolehkan kita melihat kebaikan dan nilai
sesuatu keputusan. Teknik pemikiran ‘Yellow Hat’
membantu kita untuk terus maju dengan membantu
kita melihat secara positif walaupun terdapat
kesukaran dalam membuat keputusan.

Beberapa pertanyaan timbul dalam penggunaan


”Yellow Hat ”
- Apakah kebaikan dari keputusan ini ?
- Dimana kelebihan keputusan ini ?
- Siapakah yang akan mendapat manfaat
keputusan tersebut ?
Ia mengembangkan kreativitas dalam penyelesaian
masalah. Penggunaan ‘topi hijau’bertujuan untuk
membolehkan kita membandingkan alternatif-alternatif
penyelesaian serta variasi dalam penyelesaian sesuatu
masalah / isu.
Topi ini juga kerapkali dianggap sebagai lambang tenaga,
kehidupan dan perkembangan. Topi ini seperti yang telah
disebutkan dapat membantu kita untuk menghasilkan
idea-idea, rencana – rencana, dan alternatif.

‘Topi’ ini membawa kita untuk melihat kembali


proses pemikiran dengan bertanya kepada diri
sendiri:
→ Apakah langkah seterusnya?
→ Apakah yang kita capai sampai saat ini?

Kita menggunakan ‘topi’ ini di setiap permulaan perbincangan untuk mendefinisi


apakah pandangan/pendapat kita terhadap masalah/isu yang ada, dan untuk
membuat keputusan yang akan dijalankan. ‘Topi’ ini merupakan kunci yang digunakan
oleh setiap pengelola organisasi apabila timbul kesulitan/kesukaran dalam
mengeluarkan idea dan pendapat.

Kata Kunci Bagi Pengguna ” Topi”


Dengan menggunakan model ini, terdapat beberapa kata kunci yang perlu diingat :
- ”memakai” atau ”membuang topi” memungkinkan seseorang pemikir untuk
menukar peran
- ”topi – topi” tersebut tidak dimaksukan untuk membedakan seseorang menurut
kelompok – kelompok.

BAB III
A. Manajemen konflik dalam organisasi
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam
kehidupan. Bahkan sepanjang kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan dan
bergelut dengan konflik. Demikian halnya dengan kehidupan organisasi.
Anggota organisasi senantiasa dihadapkan pada konflik. Perubahan atau
inovasi baru sangat rentan menimbulkan konflik (destruktif), apalagi jika tidak
disertai pemahaman yang memadai terhadap ide-ide yang berkembang.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara
pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Menurut Ross (1993),
manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau
pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu
yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa
penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan
ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Sementara Minnery
(1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama
halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.
B. Pengelolaan Konflik
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
a. Disiplin
Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah
konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-
peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus
mencari bantuan untuk memahaminya.
b. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan
Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan
sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat
junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan
kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang
berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
c. Komunikasi
Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik
dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk
menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif
dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara
hidup.
d. Mendengarkan secara aktif
Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik.
Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki
pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali
permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah
mendengarkan.1

Sumber konflik
Konflik didalam organisasi secara sederhana dapat disebabkan oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
1. Faktor manusia
a. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya
b. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku
c. Timbul karena ciri-ciri kepribadian individual, antara lain sikap egoistis,
tempremental, sikap fanatik dan sikap otoriter.
2. Faktor organisasi
a. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya
b. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi
c. Interdependensi tugas, konflik terjadi karena adanya saling
ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
d. Perbedaan nilai dan presepsi

e. Masalah “status”, konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen


mencoba memperbaiki dan meningkatkan status.2
C. Perubahan Pandangan Mengenai Konflik

1
https://communicationista.wordpress.com/2010/02/07/manajemen-konflik-dalam-organisasi
2
1. Pandangan tradisional,menganggap bahwa semua konflik adalah
berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari.
2. Pandangan aliran hubungan manusiawi, menganggapbahwa konflik adalah
sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan
organisasi. Karena keberadaan konflik dalam organisasi tidak dapat
dihindari, maka aliran ini mendukung penerimaan konflik tersebut dan
menyadari adakalanya konflik tersebut bermanfaat bagi prestasi suatu
kelompok.
3. Pandangan kuno dan pandangan moderen mengenai konflik:
a. Pandangan kuno
1) Konflik dapat dihindari
2) Konflik disebabkan karena adanya kesalahan manajemen dalam
hal mendesain dan memenej organisasi-organisasi atau karna
adanya pengacau-pengacau
3) Konflik merusak organisasi yang bersangkutan, dan
menyebabkan tidak tercapainya hasil yang optimal
4) Tugas menejemen adalah meniadakan konflik
5) Agar dapat dicapai hasil presentasi organisatoris optimal, maka
konflik perlu ditiadakan
b. Pandangan Moderen
1) Konflik tidak dapat dihindari
2) Konflik muncul karena aneka macam sebab, termasuk
didalamnya struktur organisatoris, perbedaan-perbedaan dalam
tujuan yang tidak dapat dihindari yaitu perbedaan-perbedaan
dalam presepsi serta nilai-nilai personalia yang terpesialisasi dan
sebagainya.
3)
4) Konflik membantu, kadang-kadang menghambat hasil pekerjaan
organisatoris dengan derajat yang berbeda-beda
5) Tugas manajemen adalah memanaje tingkat konflik, dan
pemecahannya hingga dapat dicapai hasil prestasi organisatoris
optimal.
6) Hasil pekerjaan optimal secara organisatoris, memerlukan konflik
moderen.3
D. Konsepsi manajemen konflik dalam perspektif agama islam
Islam juga memiliki pandangan yang sama terhadap konflik.
Meskipun Islam yang notabene lebih mengutamakan perdamaian, sesuai
dengan makna kata Islam sendiri yakni “salam”. Namun bukan berarti Islam
tidak memberikan makna dan pandangan terhadap konsepsi koflik. Dalam
agama Islam pemaknaan konflik bisa dalam bentuk yang lebih ramah dan
damai. Dalam Islam konflik tidak harus difahami sebagai gejala yang destruktif,
dan kontra-produktif, namun bisa menjadi gejala yang konstruktif bahkan
produktif.
Konflik merupakan bagian dari tabiat manusia yang telah dibawa oleh
manusia dari sejak dia dilahirkan. Keberadaan konflik sebagai unsur
pembawaan sangat penting dalam kehidupan manusia. Kehidupan tidak dapat
berjalan dengan baik tanpa ada konflik. Manusia yang memiliki tuntutan serta
keinginan yang beraneka ragam dan manusia akan selalu berusaha untuk
memenuhi keinginan tersebut. Namun untuk bisa mendapatkannya, mereka
akan berkompetisi untuk mendapatkan keinginan tersebut.
Dari sini maka dengan adanya konflik akan mengajarkan manusia untuk
dapat berfikir lebih maju untuk mendapatkan keinginannya tersebut sehingga
akan bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh karena itu, Allah membekali nilai-
nilai moral pada setiap makhluk dalam kepentingan-kepentingannya sendiri.
Selagi konflik masih dibutuhkan oleh manusia, maka mereka pun dibekali oleh
Allah dengan kemampuan untuk berkonflik, baik dalam fisik, roh maupun
akalnya, dan sekaligus kemampuan untuk mencari solusinya. Seperti yang
dijelaskan dalam firman Allah yang artinya: “Seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah
bumi ini.”. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik
terjadinya konflik. Dalam Islam, konflik bukanlah sebagai tujuan namun lebih
sebagai sarana untuk memadukan antara berbagai hal yang saling

3
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004-ahmadmusta-1511- bab2_310-6.pdf
bertentangan untuk membebaskan kehidupan manusia dari kepentingan
individual dan dari kejelekan-kejelekan, sehingga tidak membiarkan perbedaan-
perbedaan itu menjadi penyebab adanya permusuhan.4

BAB III
PENUTUP

4
http://arenakami.blogspot.com/2012/06/manajemen-konflik-dalam-perspektif.html
Kesimpulan
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau
pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat
dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa
hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau
pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi
pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik
tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh
pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus
terjadi dalam organisasi.5

DAFTAR PUSTAKA
 http://arenakami.blogspot.com/2012/06/manajemen-konflik-dalam-
perspektif.html
 https://communicationista.wordpress.com/2010/02/07/manajemen-konflik-
dalam-organisasi
 http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004-
ahmadmusta-1511- bab2_310-6.pdf
 http://lp3m.asia.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Arijo-Isnoer-Narjono.pdf
 http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-manajemen-konflik.html
 http://www.slideshare.net/nciezkdpurplelover/makalah-manajemen-konflik

5
http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-manajemen-konflik.html
M A N A J E M E N K O N F L I K

1. Mengerti apa itu manajemen konflik.


2. Mengidentifikasi aspek positif dan negatif dari konflik.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab konflik.
4. Menerapkan langkah-langkah pemecahan konflik sesuai dengan masalah yang
dihadapi.

MATERI
1. Pendahuluan
2. Definisi konflik
3. Faktor-faktor penyebab konflik
4. Solusi pendekatan konflik
5. Tugas

METODA
1. Kuliah singkat
2. Diskusi
3. Presentasi

METODE PENGAJARAN

SESI I
Bagian A
Topik : Pengenalan terhadap kinerja manajemen konflik
Metode : Kuliah singkat
Waktu : 30 menit

Bagian B
Topik : Kasus manajemen konflik
Metode : Kerja Kelompok
Waktu : 30 menit
Bagian C
Metode : Presentasi - Diskusi Kelompok
Waktu : 30 menit

MATERI
MANAJEMEN KONFLIK
PENDAHULUAN

Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi interaksi antara
satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi
layanan kesehatan terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok staf dengan staf,
staf dengan pasen, staf dengan keluarga dan pengunjung, staf dengan dokter,
maupun dengan lainnya yang mana situasi tersebut seringkali dapat memicu
terjadinya konflik. Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk
perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan
jengkel karena kelebihan beban kerja. Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu
dapat memicu timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi
seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat
menurunkan produktivitas kerja organisasi secara tidak langsung dengan melakukan
banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Dalam suatu organisasi,
kecenderungan terjadinya konflik, dapat disebabkan oleh suatu perubahan secara
tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan
kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai macam kepribadian individu.

DEFENISI KONFLIK
 Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang
diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi.
 Sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok,
yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan
sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama.

ASPEK POSITIF DALAM KONFLIK


Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola
dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan :
 Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan
tanggung jawab mereka.
 Memberikan saluran baru untuk komunikasi.
 Menumbuhkan semangat baru pada staf.
 Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi.
 Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.

Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada
penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun
kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh,
bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.

PENYEBAB KONFLIK
Konflik dapat berkembang karena berbagai sebab sebagai berikut:
8. Batasan pekerjaan yang tidak jelas
9. Hambatan komunikasi
10. Tekanan waktu
11. Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal
12. Pertikaian antar pribadi
13. Perbedaan status
14. Harapan yang tidak terwujud

PENGELOLAAN KONFLIK
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
1. Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan
mencegah konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-
peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari
bantuan untuk memahaminya.
2. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat dikelola
dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman
dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang berprestasi dapat
dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan
bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki
jabatan yang lebih tinggi.
3. Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang
terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk
menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam
kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
4. Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting
untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer
perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan
kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah
mendengarkan.

TEKNIK ATAU KEAHLIAN PENGELOLAAN KONFLIK


Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada :
 Konflik itu sendiri
 Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya
 Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik
 Pentingnya isu yang menimbulkan konflik
 Ketersediaan waktu dan tenaga

STRATEGI
 Menghindar
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik
tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat
yang akan ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan
pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang
terlibat didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua
pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk
melakukan diskusi”
 Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan
masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini
memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka
untuk membuat keputusan. Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat
mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di
tempat yang pertama.

 Kompetisi
Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak
informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak
ingin mengkompromikan nilai-nilai anda. Metode ini mungkin bisa memicu konflik
tetapi bisa jadi merupakan metode yang penting untuk alasan-alasan keamanan.

 Kompromi atau Negosiasi


Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang
bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan
semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.

 Memecahkan Masalah atau Kolaborasi


- Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai
tujuan kerja yang sama.
- Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling
mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya.

PETUNJUK PENDEKATAN SITUASI KONFLIK :


 Diawali melalui penilaian diri sendiri
 Analisa isu-isu seputar konflik
 Tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri.
 Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat konflik
 Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat
 Mengembangkan dan menguraikan solusi
 Memilih solusi dan melakukan tindakan
 Merencanakan pelaksanaannya

KASUS

Pada pukul 1 siang, Astuti, seorang kepala ruang bedah menghubungi Apoteker
untuk menanyakan mengapa Tn Rahmat tidak diberikan obat untuk persiapan pulang.
Dengan meletakan telpon, ia berkata, “saya kecewa dengan kerja mereka, apakah Ia
pikir hanya Ia sendiri yang dapat bekerja dan tidak ada staf lain yang mampu
mengerjakannya”. Kemudian Asuti melanjutkan kalimatnya, “Saya akan
membicarakan hal ini pada seseorang”.

PERTANYAAN:
5. Apa sumber dari konflik yang sedang terjadi ?
6. Jika Anda sebagai kepala ruang/koordinator, yang bertanggung jawab atas situasi
yang terjadi, darimana Anda akan memulai mencari pemecahan masalah ini ?
7. Anda dapat memilih satu cara penanggulangan konflik, dan uraikan pendapat
anda.
8. Hal positif apa yang dapat diambil dari konflik diatas

EVALUASI

1. Sebutkan definisi konflik?


2. Sebutkan faktor penyebab konflik?
3. Sebutkan aspek positif dari konflik?
4. Sebutkan 2 – 3 strategi pemecahan konflik?
5. Jelaskan langkah – langkah 1 cara pemecahan konflik !

RINGKASAN
Hubungan interpersonal antara perawat dengan, kolega, kelompok, keluarga
pasen maupun orang lain dapat merupakan sumber terjadinya konflik, oleh sebab
itu perawat harus mengetahui dan memahami manajemen konflik. Penyebab
konflik meliputi: ketidakjelasan uraian tugas, gangguan komunikasi, tekanan waktu,
standar, kebijakan yang tidak jelas, perbedaan status, dan harapan yang tidak
tercapai. Konflik dapat dicegah atau diatur dengan menerapkan disiplin,
komunikasi efektif, dan saling pengertian antara sesama rekan kerja.
Untuk mengembangkan alternatif solusi agar dapat mencapai satu
kesepakatan dalam pemecahan konflik ,diperlukkan komitmen yang sungguh
sungguh . Ada beberapa stragtegi yang dapat digunakan, antara lain ;
akomodasi, kompetisi, kolaborasi, negosiasi, dan kompromi. Diharapkan
Manajer Perawat dapat memahami dan menggunakan keahliannya secara
khusus untuk mencegah dan mengatur konflik.

DAFTAR PUSTAKA
Ann Marriner –Tomey ( 1996 ) . Guide To Nursing Management and Leadership.
Mosby – Year Book, Inc St Louis USA.

Swansburg, R.C. ( 1996 ) Management and Leadership for Nurse Managers ( 2 th


ed )
Jones and Bartlett Publishers Inc, London England.
BAB BERIKUT
A. Pendahuluan

Dalam fenomena interaksi dan interelasi sosial antar individu maupun


antar kelompok, terjadinya konflik sebenarnya merupakan hal yang wajar.
Pada awalnya konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak
wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai gejala
alamiah yang dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana
cara mengelolanya. Oleh sebab itu, persoalan konflik tidak perlu dihilangkan
tetapi perlu dikembangkankarena merupakan sebagai bagian dari kodrat
manusia yang menjadikan seseorang lebih dinamis dalam menjalani
kehidupan.
Adanya konflik terjadi akibat komunikasi yang tidak lancar, tidak

adanya kepercayaan serta tidak adanya sifat keterbukaan dari pihak-


pihak yang saling berhubungan. Dalam realitas kehidupan keragaman telah
meluas dalam wujud perbedaan status, kondisi ekonomi, realitas sosial. Tanpa
dilandasi sikap arif dalam memandang perbedaan akan menuai konsekuensi
panjang berupa konflik dan bahkan kekerasan di tengah-tengah kita.
Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk
perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, dan ditinggalkan, karena
kelebihan beban kerja atau kondisi yang tidak memungkinkan. Perasaan-
perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya kemarahan.
Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan
kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja
secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang
disengaja maupun tidak disengaja.
B. Definisi Konflik

C. Ciri-ciri dan Faktor-faktorKonflik

Konflik merupakan situasi yang wajar dalam masyarakat bahkan dalam


keluarga tanpa disadari juga mengalami konflik. Konflik sering dilatar
belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
Dalam berorganisasi, ini sangat mungkin untuk terjadi adanya konflik baik
individu ataupun kelompok. Ciri-ciri terjadinya konflik adalah sebagai berikut:
1. Paling tidak ada dua pihak secara perorangan maupun kelompok terlibat

dalam suatu interaksi yang saling berlawanan.

2. Saling adanya pertentangan dalam mencapai tujuan.

3. Adanya tindakan yang saling berhadap-hadapan akibat pertentangan.

4. Akibat ketidak seimbangan.

Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai


berikut:
1. Faktor Manusia dan perilakunya

a. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.

b. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.


c. Timbul karena ciri-ciri kepribadian individual, antara lain sikap
egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
d. Semangat dan ambisi

e. Berbagai macam kepribadian


Konflik muncul karena adanya perbedaan yang sangat besar antar
kepribadian setiap orang, yang bahkan dapat berlanjut kepada
perseteruan antar pribadi. Sering muncul kasus di mana orang-orang
yang memiliki kekuasaan dan prestasi yang tinggi cenderung untuk
tidak begitu suka bekerjasama dengan orang lain, karena mereka
menganggap prestasi pribadi lebih penting, sehingga hat ini tentu
mempengaruhi pihak-pihak lain dalam organisasi tersebut.
2. Faktor Organisasi

a. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya

Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya


terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam
penggunaannya.Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar
unit/departemen dalam suatu organisasi.
b. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.

Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi,


tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik
minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga
yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen,
sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan
untuk memajukan perusahaan.
c. Interdependensi tugas.

Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu


kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat
bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
d. Perbedaan nilai dan persepsi

Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena


merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif
muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang
cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior mendapat
tugas yang ringan dan sederhana.
e. Kekaburan yurisdiksional.

Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya


tanggung jawab yang tumpang tindih.
f. Masalah “status”.

Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba


memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen
yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam
posisinya dalam status hirarki organisasi.
g. Hambatan komunikasi.

Komunikasi sebagai media interaksi diantara orang-orang dapat dengan


mudah menjadi basis terjadinya konflik. Bisa dikatakan komunikasi
seperti pedangbermata dua: tidak adanya komunikasi dapat
menyebabkan terjadinya konflik, tetapi disisi lain, komunikasi yang
terjadi itu sendiri dapat menjadi potensi terjadinya konflik. Sebagai
contoh, informasi yang diterima mengenai pihak lain akan
menyebabkan orang dapat mengindentifikasi situasi perbedaan dalam
hal nilai dan kebutuhan. Hal ini dapat memulai konflik, sebenarnya
dapat dihindari dengan komunikasi yang lebih sedikit.

5
D. Akibat-akibat Konflik

Dampak konflik dalam kehidupan masyarakat adalah meningkatkan


solidaritas sesama anggota masyarakat yang mengalami konflik dengan
masyarakat lainnya dan mungkin juga membuat keretakan hubungan antar
masyarakat yang bertikai. Konflik dapat berakibat negatif maupun positif
tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.
1. Akibat negatif

• Menghambat komunikasi.

• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).

• Mengganggu kerjasama atau “team work”.

• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.

• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.

• Individu atau personil mengalami tekanan (stress),


mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik
diri, frustrasi, dan apatisme.
2. Akibat Positif dari konflik:

• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.

• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.


• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan
perbaikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan
tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.

• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.


E. Penyelesaian Konflik

Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang


sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada
kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut.
Langkah langkah yang harus dilakukan sebelum menyelesaikan konflik adalah
sebagai berikut:
1. Usahakan memperoleh semua fakta mengenai keluhan itu,
2. Usahakan memperoleh dai kedua belah pihak,
3. Selesaikan problema itu secepat mungkin.
Menurut Wahyudi (2006: 15), untuk menyelesaikan konflik ada
beberapa cara yang harus dilakukan antara lain:
1. Disiplin
Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan
mencegah konflik. Seseorang harus mengetahui dan memahami
peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka
harus mencari bantuan untuk memahaminya.
2. Pertimbangan pengalaman dalam tahapan kehidupan
Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan
sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya.
3. Komunikasi
Suatu komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik
dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk
menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif
dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu
cara hidup.
4. Mendengarkan secara aktif
Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola
konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan seseorang telah memiliki
pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali seseorang
dengan tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
8
Sedangkan dalampenanganan konflik, ada lima tindakan yang
dapat kita lakukan diantaranya:
1. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan
sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses
dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat,
kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital.
Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan
terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi
konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan
atasan – bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya
(kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
2. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi
tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah
menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini.
Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba
untuk mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara.
Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik
meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena
merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
3. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri
agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga
sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa
kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap
menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara
kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.
4. Kompromi
Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua
hal tersebut sama–sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama.

9
Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk
mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)
5. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja
sama.
Cara mengatasi konflik juga dapat dilakukan melalui hal-hal berikut ini:
1. Rujuk
Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan
menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
2. Persuasi
Usaha mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang
mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa
usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar
keadilan yang berlaku.
3. Tawar-menawar
Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling
mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat
digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara
eksplisit.
4. Pemecahan masalah terpadu
Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua
pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan
berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya
dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama dengan
keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
5. Penarikan diri
Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak
menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua
pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling
bergantung satu sama lain.

10
6. Pemaksaan dan penekanan
Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih
efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain.
Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan
ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Namun, cara ini sering kali
kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah
secara terpaksa.
Apabila pihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha
kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam
penyelesaian konflik.
1. Arbitrase (arbitration)
Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai
“hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak
menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik
daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
2. Penengahan (mediation)
Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa.
Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang
terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan
untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan
tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.
3. Konsultasi
Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta
mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik.
Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak
berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk
meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak
terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian
masalah yang menjadi pokok sengketa.
Untuk mengelola konflik, strategi manajemen konflik di tempuh dengan
tujuan untuk menjembatani dan menekan masalah agar tidak terjadi konflik
yang berakibat fatal. Istilah manajemen konflik sendiri adalah serangkaian
aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik.
Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada
proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari
pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
(interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai
pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi
konflik.
Menurut Ross (1993: 7) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-
langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka
mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin
atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat,
atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri,
kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak
ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang
berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi
(termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Sementara Minnery (1980: 220) menyatakan bahwa manajemen konflik
merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.
Minnery juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota
merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa
pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus
mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan
ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan
diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa
langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau
ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik
(jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan
aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran
perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.
Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan
melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai
partisipan atau pihak ketiga.
Menurut Ateng (1992: 12), dengan melakukan olahraga, konflik dalam
masyarakat dapat di perkecil atau akan pudar dalam kesehariannya.

F. Hal yang perlu diperhatikan


Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Mengatasi Konflik (Hendriks,
2001: 7)
1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut
hak karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang
muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
6. Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/unit kerja.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata
rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling
hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian
antar unit/departemen/eselon.

G. Penutup

Kemampuan menangani konflik yang terpenting adalah mengembangkan


pengetahuan yang cukup dan sikap yang positif terhadap konflik, karena
peran konflik yang tidak selalu negatif terhadap organisasi. Dengan mencermati
ciri-ciri dan faktor-faktor terjadinya konflik, kita dapat cepat mengenal,
mengidentifikasi dan mengukur besarnya konflik serta akibatnya dengan
sikap positif dan antisipatif, misalnya, seorang pimpinan akan dapat
mengendalikan konflik yang akan selalu ada, dan bila mungkin
menggunakannya untuk keterbukaan organisasi dan anggota organisasi yang
dipimpinnya. Oleh karena itu, pimpinan atau manajer tidak hanya wajib
menekan dan memecahkan konflik yang terjadi, tetapi juga wajib untuk
mengelola konflik sehingga aspek-aspek yang membahayakan dapat dihindari
dan ditekan seminimal mungkin, dan aspek-aspek yang menguntungkan
dikembangkan semaksimal mungkin.

Daftar Pustaka

Fisher, Simon et all. 2000. Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi untuk
Bertindak (edisi bahasa Indonesia) Jakarta: The British Council,
Indonesia.
Hendriks, William. 2001. Bagaimana Mengelola Konflik. Jakarta: Bumi
Aksara.

Luthans F. 1981. Organizational Behavior.Singapore: Mc Graw Hill.

Minnery, John R. 1985. Conflict management in urban planning. England:


Gower Publishing Company Limited.
Robbins, SP. 1979. Organizational Behaviour. Siding: Prentice Hall.

Ross, Marc Howard Ross. 1993. The management of conflict: interpretations


and interests in comparative perspective. Yale University Press.
Wahyudi. 2006. Manajemen Konflik dalam Organisasi: Pedoman Praktis

bagi Pemimpin Visioner. Bandung: Alfabeta.


1. Pengertian konflik
a) Definisi Konflik
Konflik menurut Winardi (1994: 1) adalah adanya oposisi
atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok
atau pun organisasi-organisasi. Sejalan dengan pendapat Winardi,
menurut Alo Liliweri (1997: 128) adalah bentuk perasaan yang tidak
beres yang melanda hubungan antara satu bagian dengan bagian lain,
satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain.
Sebagaimana kita ketahui konflik dapat secara positif fungsional
sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional
sejauh ia bergerak melawan struktur.
Konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua atau lebih
pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh
perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-
pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan
tindakan terhadap tindakan tersebut. Implikasi dari definisi konflik di
atas adalah :
1. Konflik dapat terjadi di dalam atau di luar sebuah system kerja
peraturan.
2. Konflik harus disadari oleh setidaknya salah satu pihak yang
terlibat dalam konflik tersebut.
3. Keberlanjutan bukan suatu hal yang penting karena akan terhenti
ketika suatu tujuan telah tercapai
4. Tindakan bisa jadi menahan diri dari untuk tidak bertindak
5. Definisi ini bukan berarti menjadi definisi keseluruhan karena
perbedaan pihak-pihak yang terlibat akan menyebabkan perbedaan
pandangan terhadap konflik tersebut.
6. Definisi ini tidak termasuk kekerasan, perang dan kegiatan
pengrusakan
7. Konflik tidak dibatasi sebagai situasi yang konstan.

b) Teori Konflik
Menurut Winardi (1994: 5) konflik dapat dikelompokkkan menjadi
dua macam, yaitu: 1) konflik emosional (emotional conflick), timbul
karena perasaan-perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak
senangan, takut dan sikap menentang maupun bentrokan-bentrokan
kepribadian. 2) konflik substantife (substantive conflick) meliputi
ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti tujuan-tujuan, alokasi
sumber daya, distribusi, imbalan, kebijaksanaan, serta penugasan
kerja. Konflik jenis ini bisa disebabkan karena permasalahan ekonomi
dan sosial.
Sedangkan menurut pendapat Indrio Gito Sudarmo dan I
Nyoman Sudita (2000: 98-99), banyak Tokoh yang membahas
mengenai “Teori Konflik” seperti Karl Marx, Durkheim, Simmel, dan
lain-lain yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi dan sosial.
1. Karl Marx (latar belakang ekonomi).
Ia melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses
perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Ia
mengantisipasi bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi hasil
akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan. Namun bentrokan
kepentingan-kepentingan ekonomi ini akan berakhir di dalam
sebuah masyarakat yang tanpa kelas, tanpa konflik dan kreatifitas
yang disebut komunisme.
2. Simmel dan Durkheim (latar belakang sosial).
Dari sudut sosial, lawan dari persatuan bukanlah konflik
tetapi ketidakterlibatan (noninvolvement); artinya tidak ada
satupun bentuk interaksi timbal-balik). Perspektif Simmel
mengenai konflik dan persatuan sebagai alternatif, kecuali sama
pentingnya dan merupakan bentuk-bentuk interaksi yang sangat
saling tergantung, merupakan juga suatu alternatif yang
menjembatani Marx yang memusatkan pada konflik sosial dan
Durkheim yang memberikan tekanan pada integrasi dan solidaritas
1
sosial .
Durkheim menekankan proses sosial yang meningkatkan
integritas sosial dan kekompakan. Meskipun dia mengakui bahwa
konflik terjadi dalam kehidupan sosial, dia cenderung untuk
memperlakukan konflik yang berlebih-lebihan sebagai sesuatu
yang tidak normal dalam integrasi masyarakat.
Hubungan saling ketergantungan antara konflik dan
kekompakan dinyatakan juga dalam dinamika di dalam hubungan
kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group). Suatu
kelompok atau masyarakat cenderung memiliki sumber yang dapat
dikerahkan dan solidaritasnya diperkuat bila kelompok itu terlibat
dalam konflik dengan kelompok atau masyarakat lain. Selama
masa dimana ada ancaman atau konflik dengan organisasi luar,
percekcokan atau konflik dalam kelompok cenderung rendah dan
menurun.
Sondang S. Siagian, (2000: 183-184) menjelaskan bahwa,
kiranya tidak akan ada yang menyanggah kebenaran pendapat
yang menyatakan bahwa agar evektifitas organisasi dapat
dipertahankan dan kekompakan ditingkatkan, konflik yang
timbul baik pada
tingkat individual, tingkat kelompok dan antar kelompok harus
1 Marx menekankan konflik sebagai proses sosial yang paling dasar;
munculnya kesatuan atau integrasi sosial diabaikan, yang menurutnya
merupakan hasil dari kesadaran palsu dalam hubungan yang meliputi
perbedaan. Doyle Paul Johnson, Teori Sosial; Klasik dan Modern, penterjemah:
Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT.Gramedia, 1986, hlm. 269.

diselesaikan. Penyelesaian dimaksud tidak harus berarti bahwa


konflik dikurangi atau dihilangkan sama sekali, melainkan dikelola
sedemikian rupa sehingga meningkatkan efektivitas individu,
kelompok dan organisasi. Para ahli konsultan dan praktisi
manajemen pada umumnya telah mengetahui bahwa terdapat lima
bentuk penanganan konflik yang dapat digunakan, yaitu: bersaing,
kolaborasi, mengelak, akomodatif, dan kompromi.
c) Pandangan Mengenai Konflik
Menurut Steven P. Robins dalam bukunya “Managing
Organizational Conflick” sebagai mana dikutip oleh Winardi dalam
bukunya “Manajemen Konflik” (1994: 63) menyatakan bahwa sikap
terhadap konflik dalam organisasi telah berubah dari waktu ke waktu.
Stephen P. Robbins telah mempelajari evolusi tersebut, di mana
ditekankannya perbedaan antara pandangan tradisional tentang konflik
dan pandangan yang berlaku sekarang, yang dinamakannya
pandangan para interaksionis (THE INTERACTIONIST VIEW).
1) Pandangan tradisional, menganggap bahwa semua konflik
adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari.
2) Pandangan aliran hubungan manusiawi, menganggap bahwa
konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam
setiap kelompok dan organisasi. Karena keberadaan konflik dalam
organisasi tidak dapat dihindari, maka aliran ini mendukung
penerimaan konflik tersebut dan menyadari adakalanya konflik
tersebut bermanfaat bagi prestasi suatu kelompok.
3) Pandangan interaksionis, John Aker dari IBM menjelaskan
konflik perspektif interaksionis, bahwa pendekatan interaksionis
mendorong konflik pada kedaan yang “harmonis”, tidak adanya
perbedaan pendapat yang cenderung menyebabkan organisasi
menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan
akan
2
perubahan dan inovasi .

2Sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong

pimpinan organisasi untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal


agar mampu menimbulkan semangat dan kreatifitas kelompok. Ibid. hlm. 99.
d) Sumber Konflik

Sumber konflik menurut Winardi (1994: 4) menyatakan


bahwa konflik biasanya timbul disebabkan: 1) dianutnya nilai-nilai
baru oleh anggota-anggota kelompok tertentu. 2) sebuah kesulitan atau
problem baru yang dihadapi oleh kelompok, dimana para anggotanya
mempresepsinya dengan cara-cara yang berbeda-beda. 3) peranan
seorang anggota di luar kelompok tersebut bertentangan dengan
peranan anggota tersebut di kelompok itu. Adapun sumber konflik
lain diantaranya adalah Kebijakan.
Kebijakan inilah yang selanjutnya sering menimbulkan
persoalan sampai menjadi sebuah konflik. Timbulnya konflik dari
sebuah kebijakan dapat terjadi dari karena adanya pihak-pihak
dalam penentuan kebijakan tersebut dimana tidak semua pihak
dapat terakomodasi dengan kebijakan tersebut. Hal ini dapat terjadi
karena:
a. Substansi kebijakan yang dapat saja tidak diterima oleh pihak-
pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut.
b. Adanya individu dan atau pihak yang mempunyai akses lebih
terhadap kebijakan tersebut sehingga ada pihak yang tidak
terakomodasi dengan kebijakan tersebut.
Proses penentuan kebijakan itu sendiri melalui tahapan-
tahapan sbb :
a. Identifikasi persoalan kebijakan termasuk permintaan publik
untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah
b. Penentuan agenda atau menentukan focus perhatian media
massa pada permasalahan kebijakan publik yang akan dilakukan
c. Formulasi kebijakan dari lembaga yang berwenang untuk
diajukan pada lembaga yang menentukan kebijakan itu dapat
dilaksanakan atau tidak
21

d. Legitimasi kebijakan sebagai suatu tindakan politis untuk


memperoleh kekuatan
e. Implementasi kebijakan oleh lembaga eksekutif
f. Evaluasi kebijakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
kebijakan tersebut.
Tahapan-tahapan di atas menunjukan adanya celah yang
dapat menimbulkan konflik dimana pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan akan terbentuk seiring dengan berjalannya tahapan-
tahapan diatas. Oleh karena itu kebijakan menjadi suatu hal yang
sensitive yang dapat menjadi sebuah konflik.
e) Tipe-tipe atau Jenis Konflik
Menurut Winardi (1994:8) ada lima jenis konflik yang dapat kita
indentifikasi dalam sebuah organisasi atau lembaga, yaitu:
1. Konflik dalam diri individu (intrapersonal)
2. Konflik antar individu (interpersonal)
3. Konflik antara individu dan kelompok (intragroup)
4. Konflik antar kelompok (intergroup)
5. Konflik antar organisasi (interorganisasi)

Anda mungkin juga menyukai