Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN NILAI AL-HAYAAU DENGAN

PENDIDIKAN DAN AKHLAK MORAL

ARTIKEL

Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas mata kuliah Tahdzib Al-Akhlaq


Yang diampu oleh :
Dr. Nunung Nursyamsiah, M.Pd

Disusun Oleh :

Aldi Robiansyah Saputra (1808323)


Muhammad Satrio Shidiq Raspati (1807165)
Rian Wahyu Setiawan (1801681)

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULATAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
AKHLAK DAN PENDIDIKAN

A. AKHLAK
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh
suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Akhlak
merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti
perangai, tingkah laku, atau tabiat.Istilah akhlak berasal dari bahasa arab akhlaq yang
merupakan bentuk jamak dari kata khulqu yang berarti perangai, budi, tabiat serta
adab. Secara istilah, pengertian akhlak juga berarti sifat yang ada dalam diri seseorang
untuk berbuat baik maupun berbuat buruk, bagus maupun jelek. Sedangkan secara
terminologi, kata akhlak dapat diartikan sebagai salah satu tingkah laku seseorang
untuk mendapatkan dorongan atau keinginan yang timbul dari dalam diri seseorang
tersebut secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan tersebut. Secara garis besar
akhlak terdiri dari dua sifat, yaitu:
1. Akhlak terpuji atau sering disebut juga Al-Akhlaku Mahmudah yaitu akhlak
yang diridai oleh Allah SWT, akhlak terpuji dapat berupa pendekatan diri
hamba dengan sang pencipta dengan cara mentaati atau menjalankan perintah-
Nya dan meninggalkan semua yang di larang-Nya, mengikuti semua ajaran
yang diajarkan oleh Rosulullah, serta mendekatkan diri kepada perbuatan
ma’ruf dan menjahui hal-hal yang mungkar. Menurut Imam Ghazali akhlah
mulia mempunyai empat perkara yang diantaranya ; Berperilaku bijak,
menghindari dari sesuatu yang buruk atau tercela, keberanian untuk melawan
hawa nafsu, dapat bersifat adil.
2. Akhlak tercela atau buruk sering disebut juga dengan Al-Akhlakul
Mazmummah yang merupakan sumber penyakit hati yang keji dan
menimbulkan iri hati, dengki, sombong, hasut, berprasangka buruk, dan
penyakit hati lainya. Dimana akhlak tercela tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan pada diri manusia, orang lain hingga masyakat sekitarnya.
Demikian sedikit artikel tentang pengertian akhlak, semoga bermanfaat.

B. PENDIDIKAN
- Pendidikan Secara Umum
Pengertian PendidikanMenurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan
sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan
orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Etimologi kata pendidikan itu
sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ducare, berarti “menuntun, mengarahkan, atau
memimpin” dan awalan e, berarti “keluar”. Pendidikan umumnya dibagi menjadi
tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah
menengah atas, dan kemudian perguruan tinggi, atau universitas.
Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung
seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang
dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi
dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.
Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali
lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga
berjalan secara tidak resmi.
- Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh peserta
didik setelah diselenggatan kegiatan pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara
Tujuan pendidikan adalah untuk mendidik anak agar menjadi manusia yang sempurna
hidupnya, yaitu kehidupan dan penghidupan manusia yang selaras dengan alamnya
(kodratnya) dan masyarakatnya.Sementara itu, Negara Indonesia memiliki tujuan
pendidikan yang diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang No.20 Tahun 2003.
Menurut UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diatur dalam pasal 31 ayat 3 dan
pasal 31 ayat 5. UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan “Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Sementara UUD 1945 Pasal 31 ayat 5
menyebutkan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
serta kesejahteraan umat manusia”.
- Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan yang sering disebutkan adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Fungsi tersebut adalah fungsi umum yang sesui dengan tujuan nasional. Pada
prinsipnya, terdapat empat fungsi utama pendidikan:Sosialisasi, integrasi sosial,
penempatan sosial, inovasi sosial.
>Sosialisasi
Ketika anak-anak diharapkan untuk dapat hidup mandiri di tengah-tengah
masyarakat nantinya, maka nilai dan norma yang berlaku di masyarakat harus
diturunkan pada anak-anak. Di sini anak didik dituntut untuk mempelajari nilai
dan norma yang berlaku di masyarakat. Proses mempelajari nilai dan norma yang
berlaku ini disebut sebagai sosialisasi. Insitusi sosial seperti keluarga dan sekolah
memiliki fungsi untuk menjalankan fungsi ini.
>Penempatan sosial
Anak didik yang menjalani proses pendidikan diidentifikasi oleh pendidik
mengenai kepribadian, karakter, keterampilan dan keahliannya. Proses
identifikasi ini menentukan penempatan di posisi sosial mana anak didik kelak
berlabuh.
>Inovasi sosial
Fungsi pendidikan sebagai inovasi sosial terkait erat dengan segala macam
penemuan-penemuan baru di berbagai bidang yang mempengaruhi kehidupan
sosial. Kita tidak bisa berharap adanya penemuan-penemuan baru yang mengubah
dunia baik dalam skala kecil atau pun besar apabila individu yang terlibat dalam
penemuan tidak mengalami proses pendidikan terlebih dahulu.

C. KONSEP AKHLAQ AL-HAYAA’U


Akhlak merupakan ilmu yang mempelajari tentang tata cara bersikap atau
berperilaku, dengan akhlak yang baik orang tersebut akan bisa menjauhkan diri
terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak sopan/tidak baik. Karena dengan akhlak
yang baik bisa membuat hubungan sesama manusia berjalan dengan baik. Selain itu,
akhlak juga tidak lupa harus dipelajari supaya kita tidak hanya berpendidikan tetapi
juga berakhlak baik. Pendidikan dengan akhlak ini sangat penting dalam dinamika
kehiduan pada zaman sekarang. karena sekarang sudah banyak orang pintar tetapi
sedikit orang yang berakhlak baik.
Dengan akhlak ini tidak hanya menciptakan manusia yang berpendidikan tetapi
juga berakhlak baik, karena sesuatu semuanya harus seimbang. Maka dari itu kita
harus belajar tentang keduanya yaitu pendidikan dan akhlak. Pendidikan dan akhlak
sangat penting tetapi kita juga tidak lupa terhadap ilmu tasawuf ilmu untuk
mendekatkan diri kita terhadap Allah SWT supaya terjadi keseimbangan baik akhirat
maupun dunia. Akhlak dapat sebagai pedoman dalam hidup untuk berprilaku dan
pendidikan sebagai penunjang dalam proses kehidupan yang akan di lalui karena
seseorang harus berpendidikan. Karena orang harus berpendidikandan
berakhlakkarena orang yang berakhlak tetapi dia juga berpendidikan itu suatu hal
yang sangat baik dalam kehidupan. Oleh karena itu dalam proses pendidikan tidak
hanya mempelajari tentang ilmu umum tetapi juga mempelajari tentang ilmu islam,
supaya terjadi keseimbangan dalam kehidupan.
Belakangan ini marak sekali dijumpai berbagai permasalahan?permasalahan
terkait kemerosotan moral yang ada di masyarakat, mulai dari kejadian yang bisa
dilihat secara langsung dilingkungan masyarakat maupun yang tidak langsung melalui
media massa baik elektronik maupun cetak. Permasalahan yang ada meliputi
banyaknya pejabat negara dan para pegawai yang melakukan korupsi, pergaulan anak
muda yang semakin permisif dan bebas, tingginya angka kriminalitas, serta kian
menjamurnya pornografi dan pornoaksi. Banyak sekali bukti yang menjelaskan bahwa
telah terjadi penurunan rasa malu yang ada di masyarakat kita.
Bangsa Indonesia yang pada masa lalu dikenal sebagai bangsa yang santun, saat
ini predikat tersebut semakin lama semakin memudar. Para pelaku tindakan tak
bermoral tidak lagi merasa malu atas perbuatannya, bahkan ada saja yang merasa
bangga dengan perbuatannya karena berhasil di ekspos oleh berbagai media. Kini
permasalahan-permasalahan tersebut sudah menjadi hal umum di masyarakat dan
hampir tidak pernah absen dari jangkauan disetiap harinya. Permasalahan yang
bertentangan dengan moral ini kian merebak dan sudah semakin terbiasa didengar,
hingga akhirnya masyarakat semakin mudah untuk memaklumi kasus-kasus tersebut.
Salah satu penyebab utama dari permasalahan-permasalahan moral yang dihadapi
adalah putusnya urat malu dari bangsa ini.
Fenomena hilangnya rasa malu begitu jelas terlihat dalam tayangan media yang
semakin rusak dan tidak layak tonton. Rasa santun yang biasanya ditunjukkan bangsa
ini dalam proses interaksi dengan sesama, berubah menjadi perilaku kasar dan
anarkis. Para pelajar juga turut mengambil peran dengan melakukan tindak kekerasan
di sekolah (bullying). Maraknya fenomena pornografi dan pornoaksi yang terkadang
membuat pelakunya digugat pun terus di tentang dengan dalih kebebasan berekspresi
dan seni. Selain itu, generasi muda kita pun terus terhipnotis dengan bujukan sesat
narkoba. Bangsa kita sudah terjangkit gejala masochisme moral, yaitu hilangnya rasa
malu dan rasa sakit hati untuk mencederai/ melukai martabat bangsa sendiri. Gejala
masochisme moral itu akhirnya menimbulkan perasaan bangga dan senang ketika bisa
mengungkapkan sekian skandal korupsi, kolusi dan kejahatan lain yang dilakukan di
kalangan elite birokrasi.Seolah-oleh dengan banyaknya jumlah kasus yang terjadi,
kita memperoleh rekor dalam kebaikan. Bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan
untuk mengatasi berbagai penyimpangan dan permasalahan moral yang disebabkan
oleh terkikisnya rasa malu dari jiwa penduduknya. Hilangnya rasa malu terjadi di
setiap kalangan, baik pada generasi muda maupun yang tua.
Collins & Bahar mengungkapkan bahwa rasa malu adalah representasi internal
individu yang terbentuk dari tuntutan tuntutan budaya masing-masing.Rasa malu tidak
dapat hanya di definisikan secara sempit sebagai kondisi yang dirasakan seseorang,
tetapi juga mencakup pembentukan budaya dan identitas yang ditampilkan.
Hal tersebut berarti bahwa malu dibentuk dan dimaknai secara berbeda oleh tiap
orang tergantung kebudayaan yang dimiliki. Sementara itu al-hayâ’ adalah rasa malu
yang asal katanya diambil dari bahasa arab. Dalam bahasa arab dikenal juga beberapa
istilah lain untuk menyebut rasa malu, namun pada hakikatnya setiap kata tersebut
memiliki kandungan makna yang berbeda di dalam esensinya. Telah disepakati oleh
para penutur bahasa arab bahwa al-hayâ’ secara resmi adalah sebuah perasaan yang
baik, sehingga semakin kuat rasa hayâ’ yang dimiliki maka semakin baik pula bagi
pemiliknya. Al-hayâ’ adalah sebuah rasa malu yang positif, namun kata malu dengan
makna yang sama hampir tidak bisa dijumpai dalam bahasa Inggris sehingga cukup
sulit untuk penterjemahannya.
Jenis emosi hayâ’ sangat terkait dengan nilai-nilai sosial, norma?norma, beserta
adat dan kebudayaan yang ada. Bisa dikatakan bahwa hayâ’ adalah pengontrol dari
perilaku seseorang. Berperilaku tidak baik menandakan kurangnya rasa malu yang
dimiliki seseorang tersebut.Cara pandang seseorang mengenai sifat malu akan sangat
dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaannya. Menurut Geertz (dalam Jama’an),
bagi orang-orang jawa belajar untuk merasa malu (ngerti isin) adalah langkah menuju
kepribadian Jawa yang matang.Budaya jawa, memiliki nilai-nilai yang tertanam pada
masyarakatnya. Beberapa nilai tersebut adalah wedi, isin dan sungkan. Geertz (dalam
Dewi) menjelaskan bahwa wedi berarti memiliki rasa takut pada akibat dari tindakan
yang dilakukan. Isin berarti memiliki rasa malu terlebih ketika melakukan suatu hal.
Sungkan adalah perasaan yang biasanya digunakan untuk menghormati orang lain
atau orang yang belum dikenal.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, al-hayâ atau malu berasal dari kata al-
hayâh yang artinya kehidupan. Hujan disebut hayy (dengan alif maqsurah) karena ia
merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman dan hewan ternak. Kehidupan
dunia dan akhirat juga dinamakan al-hayah. Oleh sebab itu, siapa yang tidak memiliki
hayâ’ ibarat mayat di dunia ini dan sungguh, dia akan celaka di akhirat. Dalam
konteks ini, bisa juga berarti hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi
hayâ’ yang dimiliki orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya hayâ’, dipengaruhi
oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat
itu pula rasa hayâ menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullah berkata, Hayâ yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran
sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat hayâ’ ialah
sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-
nyiakan hak pemiliknya. Imam An-Nawawi dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa
para ulama pernah berkata, “Hakikat dari hayâ’ adalah akhlak yang muncul dalam diri
untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan
terhadap hak orang lain”.
Jika al-haya’ seluruhnya adalah membawa kepada kebaikan, maka tidaklah
seseorang kehilangan sifat hayâ’nya kecuali akan menyisakan keburukan semata
dalam dirinya. Dalam arti jika seseorang memiliki hayâ’ yang dominan, maka segala
perilaku dan tindakannya akan baik dan sebaliknya, jika hayâ’ itu melemah maka
sikap buruk seseorang akan menguap dan menjadi lebih dominan serta kebaikan
dirinya akan memudar.
Al-hayâ’ merupakan salah satu sifat terpuji karena sifat ini mampu
menghindarkan seseorang dari berbuat kesalahan dan dosa, berbuat perbuatan buruk
dan juga kemaksiatan.Al- hayâ’ adalah sebuah konsep malu yang tidak mengurangi
kebaikan apapun dalam kehidupan, sifat hayâ’ dapat diibaratkan sebagai rem atas
perbuatan negatif pada diri manusia, sehingga sifat ini sangat dianjurkan dalam ajaran
agama Islam maupun agama-agama sebelumnya yang dibawakan oleh para nabi.
D. DAMPAK AHKLAQ AL-HAYAA’U TERHADAP PENDIDIKAN
Banyak orang tua yang masih membesarkan anak-anaknya dengan cara-cara yang
didasarkan kepada prinsip-prinsip yang keliru, diantaranya dengan prinsip “serba
boleh” untuk alasan kebebasan dan tidak mengekang anak. Kesalahan paling nyata
yang tampak dalam pengasuhan atau pendidikan anak baik di sekolah maupun di
keluarga adalah menjadikan “emosi baik” sebagai pahlawan yang harus terus
ditumbuhkan dalam lubuk hati, sedangkan “emosi buruk” dianggap sebagai emosi
negatif yang merupakan penjahat yang harus dimatikan dalam diri seseorang. Padahal,
ditinjau dari perspektif evolusi, setiap emosi manusia berkembang dengan maksud
tertentu, sehingga menghilangkan emosi negatif dari pemahaman kita tentang
perkembangan anak sama saja dengan menghilangkan salah satu warna dasar dari
palet seorang pelukis; tidak hanya warna dasar itu yang hilang tetapi juga jutaan
warna lain yang tercipta dari perpaduan warna-warna dasar lain dengan warna dasar
tersebut.
Keberhasilan perkembangan moral berarti dimilikinya emosi dan perilaku yang
mencerminkan kepedulian akan orang lain. Mendidik anak guna menjadi manusia
bermoral, menurut William Damone, seorang ahli perkembangan moral anak-anak
dan Remaja menyatakan bahwa anak-anak harus mendapatkan keterampilan
emosional dan sosial sebagai berikut:
1. Mengikuti dan memahami perbedaan antara perilaku yang baik dan yang
buruk dan mengembangkan kebiasaan dalam hal pebuatan yang konsisten
dengan sesuatu yang dianggap “baik”.
2. Mengembangkan kepedulian, perhatian dan rasa bertanggung jawab atas
kesejahteraan dan hak-hak orang lain;
3. Harus merasakan reaksi emosi negatif seperti malu, rasa bersalah, marah, takut
dan rendah bila melanggar aturan moral (Shapiro, 1997).

Emosi negatif seperti rasa malu dan rasa bersalah ternyata lebih berdaya guna
daripada emosi positif ketika seseorang belajar mengubah perilakunya. Manurut
Lawrence (1997), ada bermacam-macam emosi negatif yang memotivasi anak-anak
untuk belajar dan mempraktekkan perilaku-perilaku prososial, termasuk:
a. Takut dihukum;
b. Kekhawatiran tidak diterima oleh orang lain;
c. Rasa bersalah bila gagal memenuhi harapan seseorang;
d. Malu bila ketahuan berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang lain
(Shapiro, 1997).
Dampak positif dari rasa malu dapat muncul karena, ketika seseorang
menempatkan perasaan malunya di tempat yang tepat, ia akan termotivasi untuk
selalu melakukan akhlak-akhlak mulia dan memiliki sifat-sifat yang terpuji,
sebaliknya, ia pun akan berusaha meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk karena
malu terhadap Allah, yang telah memberinya kehidupan dan nikmat yang begitu
besarnya.
Dengan rasa malu seseorang akan membersihkan mulutnya dari kata-kata kasar,
keji, makian, ataupun celaan, serta ia pun hanya akan berbicara secukupnya saja.
Karena tidak sepatutnya seorang muslim bertutur dengan kata-kata yang buruk dan
berlebihan.
Kesimpulannya, akhlak malu jika diletakkan pada tempat yang tepat, akan
mengantarkan orang kepada perbuatan-perbuatan yang mulia, dan mengantarkan
orang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk. Sehingga jangan sampai rasa
malu menghalangi seseorang dari perbuatan kebaikan karena itu sikap yang keliru.

Anda mungkin juga menyukai