Anda di halaman 1dari 24

PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM

BERAT OLEH KHMER MERAH DI KAMBOJA

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Peradilan Pidana Internasional
(International Criminal Court)

Dosen:
……………………………………..

Disusun oleh:
Nama: …………………………..
NPM ………………………….

KELAS BPK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
2018

i
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN .......................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 3
1.4. Metode Penelitian............................................................................ 3

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 5


2.1. Sejarah Khmer Merah ..................................................................... 5
2.2. Jenis Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan oleh Khmer
Merah Terhadap Rakyat Kamboja Selama Tahun 1975-1979 ........ 7
2.2.1. Genosida (Genocide) ..................................................... 7
2.2.2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ................................ 10
2.3. The Extraordinary Chambers in The Courts of Cambodia (ECCC) 12
2.3.1. Dua Petinggi Khmer Merah Dijatuhi Hukuman Penjara
Seumur Hidup Karena Terbukti Bersalah Melakukan
Kejahatan Kemanusiaan oleh Pengadilan Kamboja
Yang Didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa ............... 16

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 18


3.1. Kesimpulan...................................................................................... 18
3.2. Saran ................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 dalam rangka
memberikan penghormatan setinggi-tingginya terhadap hak asasi manusia
mengeluarkan covenant internasional atau deklarasi tentang Pernyataan Umum
tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights/UDHR). Upaya lain yang dilakukan PBB untuk menanggulangi kejahatan
internasional adalah dengan melakukan proses peradilan terhadap para pelaku
kejahatan internasional. Lembaga peradilan yang menangani kejahatan
internasional antara lain peradilan ad hoc untuk kejahatan Nazi (International
Military Tribunal for Nuremberg), kejahatan perang Jepang (International
Military Tribunal for Tokyo), kejahatan genosida dan kemanusiaan di negara
bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Yugoslavia) dan kejahatan
genosida dan kemanusiaan Rwanda (International Criminal Tribunal for
Rwanda).
Era lembaga peradilan ad hoc internasional berakhir pada tahun 1998 sejak
PBB mendirikan lembaga peradilan permanen untuk menyelesaikan kasus
kejahatan internasional berdasarkan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana
Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court).1 Lembaga
peradilan tersebut mulai beroperasi pada tahun 2002 sebagai bagian dari tekad
PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia.
Pembentukan beberapa lembaga peradilan pidana internasional merupakan
realisasi dalam rangkan mewujudkan rasa keadilan bagi korban kejahatan
internasional. Kejahatan internasional yang terklasifikasi sebagai kejahatan HAM
berat terjadi di negara Kamboja pada tahun 1975-1979. Kasus yang terjadi di
negara Kamboja merupakan suatu tragedi kemanusiaan di era modern sejak

1
Diakses dari https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/
rome_ statute_english.pdf pada tanggal 1 Agustus 2018.

1
2

berakhirnya perang dunia yang telah merenggut hampir dua juta rakyat negara
Kamboja.2
Selama pemerintahan rezim Khmer Merah terdapat lebih dari satu juta jiwa
atau sekitar 16 % dari jumlah total keseluruhan populasi rakyat Kamboja menjadi
korban kekejaman Rezim Khmer Merah. Peristiwa kemanusiaan tersebut
dilakukan oleh rezim Khmer Merah yang saat itu bernama Demokratik
Kampuchea. Khmer Merah merupakan partai politik Kamboja yang berhasil
menggulingkan kekuasaan penguasa negara sebelumya secara paksa yaitu raja
Norodhoum Shihanouk. Atas dasar penggulingan pemerintahan secara paksa
itulah para pemimpin Khmer merah mengeluarkan kebijakan lanjutan untuk
melakukan pembunuhan kepada para rakyat yang diduga mendukung pemerintah
sebelumnya serta kepada para akademisi, kelompok lain yang disinyalir akan
menggoyahkan kekuasaan pemerintahan Khmer Merah.
Kasus kejahatan internasional yang dilakukan oleh Khmer Merah terjadi
pada tahun 1970-an, namun akibat yang ditimbulkan oleh kekuasaan rezim
tersebut masih menyisakan penderitaan terhadap para korban. Menanggapi hal
tersebut pemerintah Kamboja pada awal tahun 1990-an berusaha
menyelenggarakan proses peradilan domestik terhadap pemimpin Khmer Merah.
Pada kenyataannya lembaga peradilan nasional Kamboja tidak mampu menjerat
para pelaku karena proses eksekusi dan ketidakhadiran pelaku kejahatan tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas terdapat permasalahan
mengenai pelanggaran HAM Berat apa yang dilakukan oleh Khmer Merah
Terhadap rakyat Kamboja dan bagaimana penyelesaiannya. Sehubungan dengan
hal tersebut, makalah ini disusun dengan judul “Penyelesaian Kasus Pelanggaran
HAM Berat oleh Khmer Merah di Kamboja”.

2
International Committee Of The Red Cross, Country Report Cambodia: ICRC Worldwide
Consultation On The Rules Of War, Greenberg Research, 2009. Diakses dari
https://www.icrc.org/ eng/assets/files/other/cambodia.pdf pada tanggal 11 Agustus 2018.
3

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah
adalah:
1) Pelanggaran HAM Berat apa yang dilakukan oleh Khmer Merah Terhadap
rakyat Kamboja selama tahun 1975-1979?
2) Bagaimana upaya penyelesaian kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di
Kamboja oleh Khmer Merah pada tahun 1975-1979?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1) Pelanggaran HAM Berat apa yang dilakukan oleh Khmer Merah Terhadap
rakyat Kamboja selama tahun 1975-1979?
2) Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Kamboja
oleh Khmer Merah pada tahun 1975-1979?

1.4. Metode Penelitian


Penelitian ini tergolong sebagai penelitian yuridis normatif yaitu penelitian
yang mengkaji dan menganalisis pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oleh
Khmer Merah terhadap rakyat Kamboja selama Tahun 1975-1979 dan upaya
penyelesaian hukum internasional dengan menggunakan bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
Pendekatan yang digunakan adalah Statutes Approach dan Case Approach
dimana dalam hal ini penelitian akan berkutat pada hal-hal yang bersifat legal-
formal dan analisa kasus secara mendalam. Oleh karena itu bahan hukum yang
digunakan lebih ditekankan pada data sekunder, dimana dalam hal ini bahan yang
diperoleh berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat serta berhubungan langsung
dengan masalah yang diteliti. Untuk bahan hukum sekunder diperoleh dari ahli
hukum internasional, dan bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum,
kamus Inggris-Indonesia dan ensiklopedia.
4

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut dilakukan melalui studi


kepustakaan dimana teknik yang dipakai menggunakan cara mengutip langsung
dan paraphrase. Teknik analisis bahan hukum dalam penulisan ini menggunakan
deskriptif-kualitatif. Sumber bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis
dengan cara mendeskripsikan, menganalisa, menafsirkan serta analisis kualitatif
terhadap kajian kasus kejahatan HAM berat oleh Khmer Merah.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Khmer Merah


Partai Komunis Kamboja (Communist Party of Kampuchea), dikenal
dengan Khmer Merah (Red Khmer), pada akhir tahun 1960-an mulai melakukan
perlawanan bersenjata terhadap Pemerintahan Pangeran Norodom Sihanouk.
Perlawanan tersebut meningkat setelah kudeta pada tahun 1970 terhadap
Sihanouk. Khmer Merah membentuk rejim baru, Republik Khmer. Sihanouk
kemudian bergabung dengan Khmer Merah dan mendapat dukungan dari negara-
negara komunis lain, sehingga gerakan perlawanan terjadi di hampir semua
wilayah negara tersebut. Khmer Merah menyatakan bahwa kemenangan mereka
merupakan akhir dari 2000 tahun penundukan kaum petani Khmer terhadap
kekuatan dan musuh asing. Mereka masih terus menganggap musuh-musuh ini
sebagai ancaman. Kemudian mereka melancarkan revolusi pemusnahan terhadap
semua lembaga sosial masyarakat, menghilangkan semua pengaruh-pengaruh
asing dan menggantikan seluruh populasi atau rakyatnya menjadi pasukan
pekerja. Mereka juga secara brutal melawan semua unsur yang dicurigai sebagai
pihak musuh.3
Pada bulan April 1975, Khmer Merah telah menaklukkan seluruh negara
dan menamakan Pemerintah Demokratik Kamboja. Pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Khmer Merah pada tahun 1975 mencapai 1,7 juta, dari total
populasi 7,3 sampai 7,9 juta jiwa.4 Kekejaman ini dapat dibagi dalam tiga
kategori:
1) Forced Population Movement, yaitu memindahkan penduduk dari pusat kota
karena dianggap kota sebagai pusat berkembangnya musuh-musuh Kamboja.
Pemerintah memaksa 2 sampai 3 juta penduduk dari semua golongan dan
umur keluar dari wilayah kota dan pindah ke daerah perkampungan, sehingga

3
Malahayati, Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Analisis Kasus
Khmer Merah), (Lhokseumawe: Fakultas Hukum, Universitas Malikussaleh, 2012), hlm. 3.
4
Dunoff, Jeffrey. L, dkk. International Law: Norms, Actors, Process: a Problem Oriented
Approach, 2nd Ed. (New York: Aspen Publisher, 2006), hlm. 611 sebagaimana dikutip dari
Malahayati, Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Analisis Kasus
Khmer Merah), (Lhokseumawe: Fakultas Hukum, Universitas Malikussaleh, 2012), hlm. 4.

5
6

banyak penduduk yang meninggal dalam proses pemindahan paksa tersebut.



2) Forced Labor and Inhumane Living Conditions, yaitu rakyat yang dijadikan
buruh dan dipaksa untuk menanam hasil tani serta membangun proyek infra
struktur skala besar. Bekerja dalam waktu panjang dan tanpa makanan yang
cukup. Kelaparan, penyakit, dan kelelahan membunuh ratusan ribu rakyat
Kamboja. Khmer Merah juga membunuh orang-orang yang menolak untuk
bekerja ataupun sudah tidak mampu lagi bekerja. 

3) Attacks on Enemies of the Revolution. 
Khmer Merah membunuh pimpinan,
aparat militer dan birokrat pada pemerintahan sebelumnya, bahkan sebagian
dibunuh di hadapan keluarganya. Kelompok Muslim Cham yang sudah ada
selama 500 tahun di Kamboja dibubarkan secara paksa, bahasa dan adat
istiadat mereka dilarang, dan pimpinan mereka dibunuh. Kebanyakan suku
Vietnamese yang banyak berperan dalam perekonomian dikeluarkan dari
Kamboja pada tahun 1975. Selanjutnya Khmer Merah menargetkan
membunuh ribuan guru, pelajar, profesional, dan siapa saja yang bisa
berbahasa asing atau punya hubungan dengan negara asing. Pemerintah
menyerang institusi agama, termasuk Buddha, yang merupakan agama
mayoritas orang Kamboja. 

Pada masa ini, Pemerintah Demokratik Kamboja juga terlibat perang
perbatasan dengan Vietnam. Tahun 1977, Kamboja membunuh ratusan orang
Vietnam di perkampungan yang ada di perbatasan. Vietnam kemudian
mengirimkan pasukan tentara ke Kamboja pada akhir 1977 dan melakukan
invasi besar-besaran pada Desember 1978. Tentara Vietnam mencapai ibukota
negara 
dalam waktu dua minggu dan menempatkan pejabat Khmer
terdahulu yang telah melarikan diri ke Vietnam sebagai pimpinan.
Selama sepuluh tahun terjadi perang sipil antara pengikut Khmer Merah dan
Rejim yang ditempatkan oleh Vietnam dan menguasai hampir seluruh wilayah
negara. Para pihak kemudian setuju untuk melakukan perjanjian perdamaian pada
tahun 1991, diikuti dengan penempatan pasukan PBB dan pemilihan umum pada
tahun 1993, yang diboikot oleh Khmer Merah. Pemerintahan baru menghimbau
Khmer Merah untuk menyerahkan diri dan menawarkan amnesti.
7

Pertengahan 1990-an, secara efektif kelompok Khmer Merah dibubarkan


sebagai kelompok bersenjata. Pol Pot, pimpinan negara Demokratik Kamboja,
mati di tempat persembunyian di pegunungan pertapaan pada tahun 1998,
pengikutnya kemudian menyatakan kesetiaanya kembali pada pemerintahan yang
baru.

2.2. Jenis Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan oleh Khmer Merah
Terhadap Rakyat Kamboja Selama Tahun 1975-1979
2.2.1. Genosida (Genocide)
Raphael Lemkin memperkenalkan terminologi genosida (genocide) untuk
menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh Nazi. Menurut Raphael, genosida
merupakan kejahatan terencana yang ditujukan untuk menghapus elemen dasar
yang sangat penting dari sebuah kelompok tertentu. Genosida adalah sebuah
pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau
kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut.5
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang
berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat
lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan
Agresi.
PBB pada tanggal 9 Desember 1948 berdasarkan Resolusi Nomor 260 (III)
telah menyetujui Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan
Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide). Ketentuan dalam konvensi tersebut antara lain mengatur tentang
pengertian dan ruang lingkup kejahatan genosida yaitu:6

Pasal I Negara anggota menyatakan bahwa genosida, baik dilakukan pada


masa damai maupun masa perang, adalah kejahatan menurut Hukum
Internasional dan harus dicegah dan dihukum.
Pasal II Dalam Konvensi ini, yang dimaksud dengan genosida adalah setiap
tindakan di bawah ini, yang dilakukan dengan tujuan menghancurkan,

5
Artikel Apakah Genosida itu?, diakses dari https://www.ushmm.org/wlc/id/
article.php?ModuleId=10007043
6
Diakses dari http://www.preventgenocide.org/id/hukum/konvensi.htm pada tanggal 12
Agustus 2018.
8

sebagian maupun seluruhnya, sebuah bangsa, etnis, ras, atau kelompok


agama, yaitu:
(a) Membunuh anggota kelompok;
(b) Menyebabkan luka/penderitaan yang serius baik jiwa maupun raga
terhadap anggota kelompok;
(c) Dengan senagaja mengakibatkan kerusakan terhadap kehidupan
kelompok baik sebagian maupun secara keseluruhan;
(d) Memaksakan ketentuan dengan tujuan mencegah kelahiran dalam
sebuah kelompok;
(e) Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke
kelompok yang lain.

Tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum menurut konvensi ini adalah
genosida itu sendiri, konspirasi untuk melakukan genosida, himbauan kepada
publik secara langsung untuk melakukan tindakan genosida; dan terlibat dalam
genosida. Tindakan ini dihukum walaupun dilakukan karena tugas jabatan mereka
maupun sebagai individu.
Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma diatur mengenai Genosida, yang
menyatakan: Untuk keperluan Statuta ini, “genosida” berarti setiap perbuatan
berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau
untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti
misalnya:7
(a) Membunuh anggota kelompok tersebut;
(b) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota
kelompok 
tersebut;
(c) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang

diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan
atau 
untuk sebagian;
(d) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran
dalam 
kelompok tersebut;
(e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok
lain.

Khmer Merah yang menggulingkan pemerintah Kamboja pada tahun 1975
ingin mengubah wajah negara Kamboja menjadi Komunis dan berusaha
mewujudkan cita-cita paham kelompok tersebut. Khmer Merah berupaya
mentransformasi Kamboja menjadi sebuah negara Maois dengan konsep
7
Statuta Roma, diakses dari http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Statuta-
Roma.pdf pada tanggal 9 Agustus 2018.
9

agrarianisme. Rezim Khmer juga menyatakan, tahun kedatangan mereka sebagai


“Tahun Nol” (Year Zero). Mata uang, dihapuskan. Pelayanan pos, dihentikan.
Kamboja diputus hubungannya dengan luar negeri. Hukum Kamboja juga
dihapuskan. Inilah kejahatan manusia terbesar dengan pembantaian jutaan warga
yang tidak berdosa yang dikenal dengan Pembunuhan Massal Kamboja. Khmer
Merah pun berusaha memusnahkan siapapun yang dianggap sebagai musuh
negara.8
Kekejaman yang dilakukan oleh Khmer Merah dapat dikualifikasi sebagai
kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Korbannya
bukan hanya mantan anggota rezim lama dan militer namun juga wartawan, guru,
pengusaha, intelektual, dan penganut agama Budha. Meski belum diketahui secara
pasti, ada lebih dari dua juta orang (hampir 20 persen dari total penduduk) yang
tewas dalam peristiwa genosida ini.9

Sumber: toptenz.net diakses dari TribunNews 11 Agustus 2018.

8
http://karnadilim.com/pembunuhan-massal-di-kamboja/
9
Artikel Jadi Pelanggaran HAM Terberat, Inilah 4 Peristiwa Genosida Terburuk yang
Pernah Terjadi di Dunia, tribunnews 18 Oktober 2017, diakses dari http://travel.tribunnews.com/
2017/10/18/jadi-pelanggaran-ham-terberat-inilah-4-peristiwa-genosida-terburuk-yang-pernah-
terjadi-di-dunia?page=all diakses tanggal 11 Agustus 2018.
10

Dari ketentuan di atas dapat dianalisis bahwa dalam Kasus Khmer Merah,
dapat diduga telah terjadi genosida karena tindakan pembunuhan dan kekejaman
yang mereka lakukan ditujukan terhadap kelompok tertentu berdasarkan kriteria
sosial dan politik, dalam hal ini kelompok minoritas Cham, Etnis Vietnam, Cina,
Thailand, dan kaum Budhist. Namun sebagian sarjana berpendapat bahwa
kekejaman yang dilakukan bukan semata-mata ditujukan terhadap kelompok
sosial politik, namun juga karena kriteria ekonomis mereka, yang tidak termasuk
dalam ketentuan Konvensi.10
Hal ini harus dapat dibuktikan bahwa tujuan kelompok Khmer Merah
memang semata-mata untuk menghapus etnis atau kelompok tertentu karena
alasan sosial politik atau karena alasan ekonomis. Apabila terbukti karena alasan
sosial politik, maka Kamboja dalam hal ini memiliki kewajiban untuk mengadili
pelaku kejahatan tersebut, dan negara, dalam hal ini pemerintahan yang baru,
harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut.

2.2.2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan


Pimpinan kelompok Khmer merah juga dapat dituntut dengan delik
kejahatan terhadap kemanusiaan. Beberapa pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan muncul dari hukum nasional beberapa negara, dalam Statuta
Mahkamah Pidana PBB terkait kejahatan yang dilakukan pada bekas negara
Yugoslavia dan Rwanda, Rancangan Ketentuan Pidana Internasional yang disusun
oleh Komisi Hukum Internasional PBB, dan terakhir dalam Statuta Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC).
Pengertian ini memberikan beberapa kriteria yang dapat digunakan terhadap
Kasus Khmer Merah. Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg menyebutkan
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk dalam kategori tindakan yang
“in execution of or in connection with any crime within jurisdiction of the
Tribunal.” Maksudnya bahwa tindakan yang dilakukan harus terkait dengan
kejahatan terhadap perdamaian atau kejahatan perang, sehingga terkait juga
10
Steven R Ratner & Jason S Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International
Law: Beyond the Nuremberg Legacy, (London: Oxford University Press, 2nd ed, 2001), hlm. 285-
287 sebagaimana dikutip oleh Malahayati, Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan
Kemanusiaan (Analisis Kasus Khmer Merah), (Lhokseumawe: Fakultas Hukum Universitas
Malikussaleh, 2012), hlm. 10.
11

dengan kejahatan dalam konflik bersenjata. Jika unsur ini menjadi bagian dari
hukum kebiasaan internasional selama masa kekejaman Khmer Merah, maka
penerapan asas nullum crimen sine lege akan memerlukan hubungan antara
kekejaman mereka dengan konflik bersenjata.
Dalam Pasal 7 Statuta Roma tentang ICC dijelaskan pengertian mengenai
kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu:11
Article 7 Crimes Against Humanity

1. For the purpose of this Statute, “crime against humanity” means any of
the following acts when committed as part of widespread os sytematic
attack directed against any civilian population, with knowledge of the
attack:
(a) Murder; 

(b) Extermination; 

(c) Enslavement; 

(d) Deportation or forcible transfer of population; 

(e) Imprisonment or other severe deprivation of physical liberty in
violation of fundamental rules of international law; 

(f) Torture; 

(g) Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy,
enforced sterilization, or any other form of sexual violence of
comparable gravity; 

(h) Persecution against any identifiable group or collectivity on
political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as
defined in paragraph 3, or other grounds that are universally
recognized as impermissible under international law, in connection
with any act referred to in this paragraph or any crime within the
jurisdiction of the Court; 

(i) Enforced disappearance of persons; 

(j) The crime of apartheid; 

(k) Other in humane act so fasimilar character intentionally causing
great suffering, or serious injury to body or mental or physical
health. 


Maksud dari “attack directed against any civilian population” adalah


tindakan yang melibatkan beberapa bagian atau unsur terhadap populasi
penduduk, yang dilakukan berdasarkan kebijakan negara ataupun kelompok
tertentu. Statuta ini hampir mencakup seluruh kejahatan terhadap kemanusiaan,
seperti pembunuhan, perbudakan, pemindahan penduduk secara paksa,

11
Rome Statute of the International Criminal Court, diakses dari https://www.icc-
cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf, pada
tanggal 11 Agustus 2018.
12

penyiksaan, perkosaan, pelecehan seksual, kehamilan paksa, sterilisasi secara


paksa, penindasaan terhadap hak-hak politik, ras, etnis, budaya, agama, dan
penculikan. Dalam Statuta ini semakin jelas bahwa kekejaman yang dilakukan
oleh Khmer Merah dapat dikategorikan dalam beberapa delik, sehingga tidak ada
kemungkinan untuk berkelit dari tuntutan, sehingga pelaku dapat dituntut dengan
menggunakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

2.3. The Extraordinary Chambers in The Courts of Cambodia (ECCC)


Kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Khmer Merah terjadi
pada tahun 1970-an namun akibat yang ditimbulkan masih menyisakan
penderitaan terhadap para korban. Pemerintah Kamboja telah berusaha
menyelenggarakan proses peradilan domestik terhadap pemimpin Khmer Merah.
Realitanya lembaga peradilan nasional Kamboja tidak mampu menjerat para
pelaku karena proses eksekusi dan ketidakhadiran para pelaku kejahatan.
Pada akhir tahun 1990-an Pemerintah Kamboja bersama dengan PBB
membentuk the Extraordinary Chambers in The Courts of Cambodia (selanjutnya
disebut ECCC).12 Lembaga peradilan ECCC secara khusus didirikan untuk
mengadili para pemimpin Khmer Merah atas kejahatan terhadap kemanusiaan
yang dilakukan antara tahun 1975-1979.
ECCC dibentuk berdasarkan resolusi 57/228 Majelis Umum PBB pada 18
Desember 2002. Resolusi itu menjelaskan bahwa telah terjadi pelanggaran serius
hukum humaniter internasional selama periode Pemerintahan Demokratik
Kampuchea atau rezim khmer merah pimpinan Pol Pot sejak 1975 sampai 1979
sehingga menjadi perhatian masyarakat internasional.
Pembentukan lembaga peradilan ad hoc internasional sering dianggap
sebagai bentuk intervensi dari komunitas internasional terhadap kedaulatan suatu
negara, namun pembentukan lembaga peradilan ECCC ini didasari oleh
ketidakmampuan pemerintah Kamboja dalam mengadakan proses peradilan bagi
para pelaku kejahatan tersebut.
12
Gidley, Rebecca, The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia and the
Responsibility to Protect, Working Paper No. 1 Responsibility to Protect in Southeast Asia
Program, Asia- Pacific Centre for the Responsibility to Protect. 2010. Diakses dari
https://r2pasiapacific.org/filething/get/1299/ECCC%20and%20R2P%20FINAL%202010.pdf pada
tanggal 11 Agustus 2018.
13

Proses pembentukan ECCC berlangsung puluhan tahun disebabkan


beberapa anggota tetap Dewan Keamanan PBB tidak memiliki ketertarikan pada
proses ini. Cina menolak, karena memiliki hubungan dengan rezim Khmer Merah
dibawah Pol Pot. Sementara Amerika Serikat juga tidak tertarik, sebab tidak
mengakui Vietnam sebagai pembebas rakyat Kamboja dan malah melihat
Vietnam sebagai masalah. Tentara Vietnam pada tahun 1979 menghentikan
kekuasaan rezim Khmer Merah.
Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, bersedia mengajukan teman
seperjuangannya ke pengadilan HAM (ECCC) untuk mengakhiri impunitas dan
menghapus masa kelam Kamboja dalam pelanggaran HAM berat berupa
kejahatan terhadap kemanusiaan dan memberi keadilan bagi korban dan
keluarganya. Namun ada pula sebab lain, yakni pemerintah Kamboja sendiri
menunda-nunda terus pengadilan Kamboja. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen,
yang dulunya anggota Khmer Merah, setelah didesak pada tahun 1997 akhirnya
mengalah kepada PBB.13
Pemerintah Kamboja juga sudah membentuk undang-undang pengadilan
Kamboja (khmer rouge trials) melalui resolusi 57/228 untuk penuntutan kejahatan
selama periode Kampuchea Demokratis. Setidaknya, dalam periode tersebut
sebanyak 1,7 juta orang diyakini telah meninggal karena kelaparan, penyiksaan,
eksekusi dan kerja paksa.
ECCC adalah pengadilan ad hoc Kamboja dengan partisipasi negara
internasional yang didirikan oleh undang-undang domestik menyusul kesepakatan
6 Juni 2003 antara Pemerintah Kamboja dan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Agreement Between The United NationsAnd The Royal Government Of
Cambodia Concerning The Prosecution Under Cambodian Law Of Crimes
Committed During The Period Of Democratic Kampuchea). Pembentukan ECCC
diharapkan dapat membawa keadilan bagi orang Kamboja, memperkuat peraturan
hukum di negara tersebut dan mempromosikan rekonsiliasi nasional.
Dalam aturan "Agreement" dan "Law on the Establishment of the
Extraordinary Chambers" disepakati beberapa ketentuan bahwa pengadilan

13
Ollenk Syamsuddin Radjab, Pengadilan HAM Berat (Studi Kasus Kamboja), diakses dari
https://www.kompasiana.com/syamsuddinradjab/59a8fe6aa049fa629463c423/pengadilan-ham-
stusi-kasus-kamboja pada tanggal 15 Agustus 2018.
14

Kamboja hanya akan menyeret pimpinan senior periode Demokratik Kampuchea


(yurisdiksi personal) sejak 17 April 1975 sampai 6 Januari 1979 (yurisdiksi
temporal) dan mereka yang paling bertanggung jawab atas kejahatan.
Extraordinary Chambers berwenang mengadili semua tersangka yang
melakukan kejahatan: Melanggar Penal Code (KUHP) Tahun 1956, yaitu:
Pembunuhan (Pasal 501, 503, 504, 505, 506, 507 dan 508); Penyiksaan (Pasal
500); dan Penganiayaan Agama (Pasal 209 dan 210). Statuta pembatasan yang
ditetapkan dalam KUHP 1956 harus diperpanjang untuk sebuah tambahan 30
tahun untuk kejahatan yang disebutkan di atas, yang berada dalam yurisdiksi
pengadilan Kamboja.
Hukuman di bawah Pasal 209, 500, 506 dan 507 dari KUHP 1956 dibatasi
hanya untuk hukuman seumur hidup maksimum, sesuai dengan Pasal 32
Konstitusi Kerajaan Kamboja, dan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 dari
Hukum ini. Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, dan
pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa 1949, Penghancuran terhadap
properti budaya (Konvensi Hague, 1954), kejahatan terhadap orang-orang yang
dilindungan secara internasional (Konvensi Wina, 1961).
Terdapat tiga tingkatan dalam persidangan panel hakim yaitu:14
1) Tingkat Pre-Trial adalah mendengar penuntutan dan permohonan banding
atas perintah yang dikeluarkan oleh Hakim Investigasi sementara sebuah kasus
masih dalam penyelidikan. Panel hakim dalam tingkatan ini ada lima orang
terdiri dari hakim Kamboja tiga hakim dan dua hakim
internasional. Keputusan dibutuhkan suara setidaknya empat dari lima hakim;
2) Trial Chamber, hasil kesimpulan penyelidikan dikirim ke sidang pengadilan
Trial Chamber untuk diputuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak
berdasarkan kesaksian saksi, bukti dan argumen yang diajukan oleh para pihak
selama persidangan. Trial Chamber terdiri dari 3 hakim Kamboja dan 2 hakim
internasional. Vonis bersalah memerlukan suara setuju untuk setidaknya
empat dari lima hakim; dan

14
Ollenk Syamsuddin Radjab, Pengadilan HAM Berat (Studi Kasus Kamboja), diakses dari
https://www.kompasiana.com/syamsuddinradjab/59a8fe6aa049fa629463c423/pengadilan-ham-
stusi-kasus-kamboja pada tanggal 15 Agustus 2018.
15

3) Supreme Court (Mahkamah Agung), mendengar banding terhadap keputusan


yang dikeluarkan oleh Trial Chamber. Terdiri dari 7 hakim; 4 hakim Kamboja
dan 3 hakim internasional terdiri dari Mahkamah Agung. Setiap keputusan
oleh Majelis membutuhkan suara setuju untuk setidaknya 5 dari 7 hakim.
Hakim-hakim internasional disiapkan oleh PBB dalam suatu daftar dan
pemerintah Kamboja dapat memilih dari sekian banyak hakim internasional.
Dalam persidangan ECCC telah diajukan sebagai terdakwa tokoh-tokoh
senior Khmer Merah sebanyak 9 orang dalam 4 dakwaan berkas, yaitu:15
1) Terdakwa Kaing Guek Eav alias Duch.
Duch dihukum penjara selama 35 tahun oleh pengadilan Kamboja tapi
dikurangi 5 tahun karena pernah dipenjara oleh pengadilan militer (1999-
2007). Ia terbukti atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, melanggar
konvensi Jenewa 1949 yang diatur dalam pasal 5, pasal 6 dan pasal 29 (baru)
dari Hukum ECCC yang dilakukan di Phnom Penh dan di dalam wilayah
Kamboja antara 17 April 1975 dan 6 Januari 1979.
2) Terdakwa Khieu Samphan, Ieng Sary, Nuon Chea, dan Ieng Thirith.
Terdakwa Khieu Samphan terbukti atas tuduhan Kejahatan terhadap
Kemanusiaan, Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tahun 1949 dan
Genosida sebagaimana diatur dalam Pasal 4.5, 6, 29 (Baru) dan 39 (Baru)
hukum ECCC berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemenjaraan
deportasi, penyiksaan, penganiayaan terhadap alasan politik, ras, dan agama
dan tindakan tidak manusiawi lainnya; Genosida, dengan membunuh anggota
kelompok Vietnam dan Cham.
Ieng Sary meninggal dunia dalam masa persidangan 2013 dan Ieng Thirith
meninggal 2015. Persidangan berlangsung sejak 30 Maret 2007 hingga 14
Maret 2016.
3) Meas Muth.
4) Terdakwa Im Chaem, Yim Tith dan Ao An.
Terdakwa Nuon Chea, Meas Muth, Im Chaem, Yim Tith dan Ao An divonis
bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, melanggar

15
Ollenk Syamsuddin Radjab, Pengadilan HAM Berat (Studi Kasus Kamboja), diakses dari
https://www.kompasiana.com/syamsuddinradjab/59a8fe6aa049fa629463c423/pengadilan-ham-
stusi-kasus-kamboja pada tanggal 15 Agustus 2018.
16

konvensi jenewa 1949 serta pembunuhan berencana yang diatur dalam Penal
Code1956 hukum domestik pidana Kamboja. Pengadilan Kamboja (ECCC)
merupakan pengadilan hibryd/mixed campuran antara nasional dan internasional
dengan standar pengadilan dan hakim PBB.16
Sejatinya, pengadilan atas kejahatan genosida terhadap Pol Pot dan Ieng
Sary sudah pernah dilaksanakan pada Agustus 1979 melalui the People's
Revolutionary Tribunal tetapi dunia internasional tidak mengakuinya. Baru tahun
2003 setelah disepakati "agreement" baru dapat dibentuk kembali extraordinary
chambers atas asistensi PBB dan baru efektif terlaksana pada tahun 2006-2007
setelah mengalami revisi hukum ECCC.

2.3.1. Dua Petinggi Khmer Merah Dijatuhi Hukuman Penjara Seumur Hidup
Karena Terbukti Bersalah Melakukan Kejahatan Kemanusiaan oleh
Pengadilan Kamboja Yang Didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa17

Kedua figur tersebut ialah Nuon Chea, 87, yang menjabat sebagai deputi
pemimpin tertinggi Pol Pot serta Khieu Samphan, 92, yang merupakan pemimpin
rezim Maois. Keduanya ialah petinggi Khmer Merah pertama yang dihukum atas
tindak kejahatan.
Hampir dua juta orang diyakini tewas semasa Khmer Merah berkuasa.
Penyebabnya antara lain karena kelaparan, kerja paksa, atau dieksekusi mati
sebagai musuh negara.
Rezim Khmer Merah yang berkuasa dari 1975-1979 berusaha untuk
menciptakan masyarakat agraris. Untuk mencapainya, pada masa itu kota
dikosongkan dan penduduk dipaksa bekerja di pedesaan. Banyak yang bekerja
sampai mati, sementara yang lain kelaparan.
Selama empat tahun memerintah, rezim Khmer Merah juga membunuh
semua orang yang dianggap sebagai musuh. Orang-orang yang dianggap musuh
terdiri dari kaum intelektual, kaum minoritas, dan mantan pejabat.

16
Ollenk Syamsuddin Radjab, Pengadilan HAM Berat (Studi Kasus Kamboja), diakses dari
https://www.kompasiana.com/syamsuddinradjab/59a8fe6aa049fa629463c423/pengadilan-ham-
stusi-kasus-kamboja pada tanggal 15 Agustus 2018.
17
Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/08/140806_khmer_merah tanggal
11 Agustus 2018.
17

Khmer Merah dianggap bertanggung jawab atas meninggalnya hampir dua juta orang.

Sumber: GETTY

Warga Kamboja Diliputi Rasa Takut Selama Periode Kekuasaan Khmer Merah.

Sumber: Associated Press

Nuon Chea dianggap sebagai tokoh yang mendorong ideologi. Adapun


Khieu Samphan merupakan tokoh yang tampil lebih banyak di depan publik.
Kedua pria membantah tuduhan terhadap mereka. Dalam pernyataan penutup
tahun lalu, mereka menyatakan penyesalan tetapi mengatakan mereka tidak
memerintahkan pembunuhan dan tidak menyadari bahwa hal itu terjadi. Dalam
tiga tahun, pengadilan telah mendengarkan kesaksian dari orang-orang yang
kehilangan seluruh keluarga mereka akibat rezim.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
1. Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Khmer Merah terhadap rakyat
Kamboja selama periode 1975-1979 berdasarkan Konvensi PBB tentang
Pencegahan dan Hukuman Terhadap Kejahatan Genosida (Convention on
the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide) dan Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International
Criminal Court) dapat dikualifikasi sebagai kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
2. Sebagai bentuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Kamboja
oleh Khmer Merah, Pemerintah Kamboja bersama dengan PBB pada akhir
tahun 1990-an membentuk the Extraordinary Chambers in The Courts of
Cambodia (ECCC) yang secara khusus didirikan untuk mengadili para
pemimpin Khmer Merah atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang
dilakukan antara tahun 1975-1979. ECCC dibentuk berdasarkan resolusi
57/228 Majelis Umum PBB pada 18 Desember 2002. Resolusi itu
menjelaskan bahwa telah terjadi pelanggaran serius hukum humaniter
internasional selama periode Pemerintahan Demokratik Kampuchea atau
rezim khmer merah pimpinan Pol Pot sejak 1975 sampai 1979 sehingga
menjadi perhatian masyarakat internasional. Dalam persidangan ECCC
telah diajukan sebagai terdakwa tokoh-tokoh senior Khmer Merah sebanyak
9 orang dalam 4 dakwaan berkas

4.2. Saran
1. Keberanian Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, yang bersedia mengajukan
teman seperjuangannya ke Pengadilan HAM (ECCC) untuk mengakhiri
impunitas dan menghapus masa kelam Kamboja dalam pelanggaran HAM
berat sepatutnya dapat menjadi contoh bagi pemimpin negara lain yang
pernah terjadi pelanggaran HAM berat namun belum diajukan ke
Pengadilan HAM untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.

18
19

2. Komunitas internasional hendaknya memahami kondisi dan situasi yang


dihadapi oleh pemerintah Kamboja serta keterlibatan PBB saat akan
membawa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan Khmer Merah ke proses
peradilan. Publik internasional dan PBB harus melakukan tindakan nyata
kaitannya dengan pengawasan terhadap proses penegakan hukum yang
dilaksanakan oleh lembaga peradilan ECCC. 

20

DAFTAR PUSTAKA

Gidley, Rebecca, The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia and


the Responsibility to Protect, Working Paper No. 1 Responsibility to
Protect in Southeast Asia Program, Asia- Pacific Centre for the
Responsibility to Protect. 2010. Diakses dari
https://r2pasiapacific.org/filething/get/1299/ECCC%20and%20R2P%20FIN
AL%202010.pdf pada tanggal 11 Agustus 2018.
International Committee Of The Red Cross, Country Report Cambodia: ICRC
Worldwide Consultation On The Rules Of War, Greenberg Research,
2009. Diakses dari https://www.icrc.org/ eng/assets/files/other/cambodia.pdf
pada tanggal 11 Agustus 2018.
Malahayati. Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan
(Analisis Kasus Khmer Merah). Lhokseumawe: Fakultas Hukum,
Universitas Malikussaleh, 2012. Diakses dari https://www.researchgate.net/
publication/297714026_Tanggung_Jawab_Individu_Terhadap_Kejahatan_
Kemanusiaan_Analisis_Kasus_Khmer_Merah, tanggal 11 Agustus 2018.
Mochamad Muafi. Efektivitas The Extraordinary Chambers In The Courts Of
Cambodia Dalam Menyelesaikan Kasus Pelanggaran Ham Berat
(Studi
Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Khmer Merah tahun 1975-
1979). Malang: Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Malang,
2012.
Ollenk Syamsuddin Radjab, Pengadilan HAM Berat (Studi Kasus Kamboja),
diakses dari https://www.kompasiana.com/syamsuddinradjab/
59a8fe6aa049fa629463c423/pengadilan-ham-stusi-kasus-kamboja pada
tanggal 15 Agustus 2018.
Rome Statute of the International Criminal Court, diakses dari https://www.icc-
cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-
0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf, pada tanggal 11 Agustus 2018.
Artikel Jadi Pelanggaran HAM Terberat, Inilah 4 Peristiwa Genosida Terburuk
yang Pernah Terjadi di Dunia, tribunnews 18 Oktober 2017, diakses dari
http://travel.tribunnews.com/ 2017/10/18/jadi-pelanggaran-ham-terberat-
inilah-4-peristiwa-genosida-terburuk-yang-pernah-terjadi-di-dunia?page=all
diakses tanggal 11 Agustus 2018.
Artikel Apakah Genosida itu?, diakses dari https://www.ushmm.org/wlc/id/
article.php?ModuleId=10007043
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/08/140806_khmer_merah tanggal 11
Agustus 2018.
https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/
rome_ statute_english.pdf pada tanggal 1 Agustus 2018.
http://www.preventgenocide.org/id/hukum/konvensi.htm pada tanggal 12 Agustus
2018.
Statuta Roma, diakses dari http://referensi.elsam.or.id/wp-
content/uploads/2014/10/Statuta-Roma.pdf pada tanggal 9 Agustus 2018.
http://karnadilim.com/pembunuhan-massal-di-kamboja/
21
1

Anda mungkin juga menyukai