5 n Tahun 2009
JURNAL HAM
JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
HAM ODMK
MEWUJUDKAN PEMENUHAN
HAM ODMK Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
© 2009
JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Diterbitkan oleh:
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
©2009
JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Alamat Redaksi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310
Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026
Email: info@komnasham.go.id
Penerbitan ini dibagikan secara gratis, tidak diperjualbelikan. Penggandaan penerbitan ini untuk
kepentingan penyebarluasan nilai-nilai HAM harus mendapat persetujuan tertulis dari Komnas HAM.
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta.
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Kata Pengantar
Yosep Adi Prasetyo ..................................................................................................................................................... vii
S
eberapa sering kita menyaksikan orang telantar berkeliaran di
tengah jalan? Kita sering menjumpai mereka di berbagai kota.
Tapi, banyak di antara kita lupa bahwa mereka adalah manusia.
Namun, ada juga warga kota yang menganggap mereka adalah bagian
dari ikon kota. Umumnya rambut mereka panjang dan gimbal karena
tak pernah dicuci. Pakaian yang dikenakan lusuh, bahkan banyak di
antara mereka yang nyaris telanjang bulat. Di antara mereka banyak
yang mengais-ngais sampah mencari sisa makanan. Mereka tak punya
pekerjaan dan rumah. Mereka tinggal di sembarang tempat. Tata-
pan wajah mereka umumnya kosong dan tak mempedulikan situasi
sekitar.
Selamat membaca!
Rusman Widodo
Jumlah ODMK setiap tahun berkecenderungan meningkat.
Tetapi, upaya penanganan ODMK masih minimal. Walhasil,
banyak ODMK yang mengalami pelanggaran HAM. Tulisan ini
fokus pada pemaparan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
menimpa ODMK di berbagai tempat: jalanan, rumah sakit
jiwa, panti sosial, rumah tangga, dan lain-lain. Tulisan ini juga
memberikan saran tentang upaya-upaya yang perlu ditempuh
untuk mengeliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK.
Pendahuluan
Ternyata nasib ODMK di panti sosial tidak lebih baik dari ODMK
di jalanan. Panti sosial yang menampung ODMK terdapat di daerah
Cengkareng, Cipayung, Ceger, dan Kalideres. Kondisi di tempat
penampungan ini memprihatinkan. Selain ruangan yang terbatas
dan makanan yang tak memenuhi syarat gizi, kiriman obat-obatan
dari Departemen Kesehatan juga tak lancar. Dampaknya selama
2007 dilaporkan ada 257 orang yang meninggal dunia, sedangkan
pada 2008 ada 381 orang yang mati. Bila dihitung rata-rata ada satu
orang meninggal setiap hari. Sebagian besar dari mereka meninggal
dikarenakan kekurangan gizi, diare, dan anemia berat.
Di Indonesia saat ini jumlah RSJ hanya ada 34 buah. Pada 2010
menjadi tinggal 32 buah. Dan RSJ itu tidak tersebar merata di seluruh
provinsi di Indonesia. Artinya, ada beberapa provinsi yang tidak
memiliki RSJ.
Penutup
Kepustakaan
1. Hasyim dkk, M. Fuad., Agama dan Kesehatan Mental, http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/19/agama-dan-
kesehatan-mental/.
2. Irmansyah, ahli kesehatan jiwa di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”Biarkan Penderita Gangguan
Jiwa Ikut Pemilu”. Kompas.
3. http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit-menurut.html.
4. http://www.forumbebas.com/thread-55139.html.
5. “Perawatan Orang Gila di Panti Tak Manusiawi, Tak Mau Makan, Kurang Gizi, Dipukuli, Tewas”, http://www.metrobalikpapan.
co.id/index.php?mib=berita.detail&id=15609.
6. “Panti Laras Krisis Obat dan Kekurangan Obat Sakit Gila”, http://www.hupelita.com/baca.php?id=71367.
7. Nograhany Widhi K. “50% Orang Gila Terlantar di RSJ”, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/
tgl/08/time/143537/idnews/839391/idkanal/10.
8. Melly Febrida. “Overload-nya Panti Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa”, http://www.detiknews.com/read/2007/10/02/181121/8
36992/10/overload-nya-panti-rehabilitasi-pasien-gangguan-jiwa.
9. “Nasib Jadi TKI di Malaysia, Mereka Teraniaya hingga Gila”, http://www.gatra.com/2002-06-10/artikel.php?id=18148.
10. “Orang Gila Berkeliaran”, http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/46507.
11. “Jumlah Orang Gila Menggila”, http://hariansib.com/?p=45980.
12. “Sakit Jiwa (1) Pasung di Kampung Stres”, http://www.vhrmedia.com/Pasung-di-Kampung-Stres-kisah1784.html.
13. Kunjungan Staf RSJ & Mahasiswa Norwegia, “Pasung, Antara Cinta dan Pelanggaran HAM”, http://serambinews.com/news/
view/16207/pasung-antara-cinta-dan-pelanggaran-ham.
14. “Orang Tua Pasung Kakak Beradik Tiga Tahun di Depok”, http://cilacap-online.com/berita-nasional/198-orangtua-pasung-ka
kak-beradik-tiga-tahun-di-depok.pdf.
15. Wikipedia bahasa Indonesia, “Penyakit mental”, http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_jiwa.
16. “Sakit Jiwa = Aib?”, http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1045.
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Hervita Diatri
Meskipun banyak faktor psikososial yang terjadi saat ini pada
masyarakat dan berpotensi besar menyebabkan masalah
kesehatan jiwa, namun perhatian terhadap aspek kesehatan
jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi
akibat kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah
kesehatan jiwa. Akibatnya manajemen yang komprehensif,
melibatkan banyak sektor, dan mampu melindungi hak asasi
orang dengan gangguan jiwa menjadi sulit untuk diciptakan.
Hal tersebut berujung pada tidak tertatalaksananya masalah
kesehatan jiwa dengan baik dan membawa dampak negatif bagi
individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.
K
enyataan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa
sesuai dengan slogan di atas memang nyata menjadi sebuah
kebutuhan bagi semua orang. Slogan lain seperti Men Sana in
Corpore Sano, ”di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”,
menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak dapat dipisahkan dari
kesehatan jiwa.
Berdasarkandefinisidiatas,jelaslahbahwakebutuhanakan“sehat”
yang dimaksud tidak hanya meliputi kesehatan fisik, melainkan
juga kesehatan mental/jiwa dan sosial dengan porsi yang seimbang,
memandang manusia secara utuh.2
baiksecarafisik,mental,spritualmaupunsosial,yangmemungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi,
sebenarnya tersirat di sini bahwa kesehatan jiwa adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari kesehatan (bagian integral) dan unsur utama
dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup yang utuh. Sejahtera
sebenarnya tidak dapat diukur semata-mata hanya secara sosial mau-
pun ekonomis.1,3
Berdasarkan data WHO tahun 2001 secara global dijumpai 450 juta
penduduk dunia mengalami gangguan jiwa, dengan rincian 150 juta
- Gangguan Depresi
Adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh perasaan sedih yang
mendalam dan hilangnya minat terhadap hal-hal yang biasanya
dinikmati. Berhubungan dengan gangguan jiwa ini, bunuh
diri merupakan gejala yang perlu mendapat perhatian karena
merupakan penyebab kematian kedua di Eropa setelah kecelakaan
lalu lintas, sementara di Cina bunuh diri merupakan penyebab
utama kematian pada usia 15-35 tahun. Di Indonesia sendiri angka
terjadinya bunuh diri dirasakan semakin meningkat saat ini.
Namun sayangnya, belum ada data yang menunjukkan hal ini.
- Anxietas/Kecemasan
Adalah gangguan jiwa yang ditandai adanya kecemasan yang
berlebihan dan muncul dalam berbagai gejala, antara lain pikiran
yang terus berulang tanpa bisa dikendalikan (obsesif), tindakan
berulang yang tidak bisa dikendalikan untuk menjalankan pikiran
obsesif (kompulsif), rasa takut yang berlebihan terhadap suatu
obyek atau suatu hal (fobia), maupun gejala-gejala penyakit fisik
yang tidak dapat diterangkan (hipokondriasis dan somatisasi).
Faktor biologis saat ini menjadi fokus perhatian para peneliti dengan
semakin berkembangnya kemampuan untuk mendeteksi hingga
tingkat sel. Penelitian genetik menunjukkan bahwa pada beberapa
kasus angguan jiwa, seperti skizofrenia dan gangguan afektif bipolar,
faktor genetik berperan sebagai faktor predisposisi penting untuk
merencanakan aspek preventif. Penelitian lain menunjukkan secara jelas
perubahan keseimbangan berbagai macam zat kimia otak sebagai dasar
terjadi gangguan jiwa. Hal ini berdampak secara positif pada semakin
berkembangnya berbagai jenis terapi psikofarmaka yang tersedia.
Sesuaidengandefinisinya,gangguanjiwamenimbulkandisfungsi
dan hendaya (penderitaan) bagi diri dan orang lain. Hal itu tentu saja
berkaitan dengan kata produktivitas. Berbicara tentang kesehatan
dan produktivitas, beberapa data menunjukkan bahwa masalah ke-
sehatan jiwa memengaruhi tingkat produktivitas individu secara
umum, bahkan menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan
memengaruhi indeks pembangunan manusia (human developmental
index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia.
Kepustakaan
1 Lancet Series Global Mental Health, 2007.
2 Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa, Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM,
“Draf Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa”, Jakarta, September 2005.
3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
4 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Tahun 2007.
5 Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat,
Buku Pedoman Kesehatan Jiwa (Pegangan bagi Kader Kesehatan), Jakarta, 2003.
6 World Health Organization Regional Office for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through
Legislation, New Delhi, October 2001.
7 WHO-Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Layanan Medik, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III (saduran dari ICD-X), Jakarta, 1993.
8 Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan, “Draf Kebijakan di Bidang Kesehatan Jiwa Tahun 2009-2014”.
9 Soekartawi. Mendesak, Kebijakan Revitalisasi Pendidikan untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa. Sekretariat Negara Republik
Indonesia. 2007. Diunduh dari: http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=521 pada tanggal 9
November 2009.
10 Porter ME, Schwab K., The Global Competitiveness Report 2008-2009, World Economic Forum, Geneva, Switzerland, 2008.
11 World Health Organization Regional Office for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through
Legislation, New Delhi, October 2001.
12 Minas H, “Mental Health System Development: Role of Professional Association”, dipresentasikan dalam Kongres Nasional VI
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Manado, 3 November 2009.
13 Minas H, Diatri H, Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. Int J Ment Health Syst 2008, 2:8.
14 Dharmono S dkk (2006), Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Jakarta, Departemen Psikiatri FKUI/RSCM.
15 Diatri H, Minas H, Pasung: a Consequence of Insufficient Mental Health Services in Indonesia, Presented at the 4th International
Stigma Conference (Stigma and Discrimination: Evidence for Action) in London (Institute of Psychiatry, Kings College London
and the World Psychiatric Association Scientific Section on Stigma and Mental Illness), January 2009.
16 Hayuning T, Pasung: Family Experience in dealing with the deviant in Bireuen, Nangroe Aceh Darussalam, Amsterdam, 2009.
A
genda pemajuan dan penegakan HAM sebetulnya merupakan
bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal
munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998
ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia yang merupakan Piagam HAM bagi negeri Indone-
sia, melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu
belum diubah.
Apa sebenarnya hak asasi manusia (HAM) itu? HAM adalah hak
seorang manusia yang sangat asasi dan tidak bisa diintervensi oleh
manusia di luar dirinya atau oleh kelompok atau oleh lembaga mana
pun untuk meniadakannya. HAM pada hakikatnya telah ada sejak
seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya hingga ia
lahir, dan sepanjang hidupnya hingga pada suatu saat ia mati.
1 Antara lain adalah UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU No.
21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
2 Selain merumuskan RPJMN dan RKP, pemerintahan SBY-Kalla juga menetapkan tiga sasaran pembangunan ekonomi, yaitu
(1) mengurangi pengangguran dari 9,5% pada tahun 2003 menjadi 6,7% di tahun 2009, (2) menurunkan tingkat kemiskinan
dari 16,6% pada tahun 2004 menjadi 8,2% di tahun 2009, dan (3) meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada
tahun 2003 menjadi 7,2% di tahun 2009. Keterangan ini berasal dari Gembong Priyono (Sekretaris Wakil Presiden RI) dalam
makalah diskusi berjudul “Pembangunan Berwawasan HAM”.
Kelima, HAM yang melekat pada setiap individu itu tak bisa
direnggut, dilepaskan, atau dipindahkan (inalienability). Keenam,
HAM baik sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, semuanya bersifat
menyatu (inherent) dalam harkat dan martabat manusia (indivisibility).
Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap
hak lainnya. Ketujuh, HAM itu saling berkaitan dan bergantung satu
sama lain (interrelated and interdependence). Kedelapan, HAM lebih
merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkannya. Negara
dan dan para pemangku kewajiban lainnya harus bertanggung jawab
untuk menaati dan mewujudkan pemenuhan hak asasi.
3 Peringatan sedunia 5O tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1998 mengambil tema: All Human Rights for All.
Menegaskan bukan hanya semua orang memiliki hak asasi yang sama, tapi juga hak-hak tersebut menyangkut semua hak
asasi manusia, meliputi hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, hak komunal maupun hak individual.
Hardlaw lainnya
Genosida CERD CEDAW
Sejumlah
Piagam PBB ICCPR
1945 Instrumen Khusus
Hardlaw
Instrumen Rekomendatif
Softlaw
ICESCR
Pedoman Aturan Deklarasi Prinsip
Riyadh Beijing Wina Paris
CERD Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Rasial
CAT Konvensi Internasional ttg Menentang Penyiksaan Sejumlah Softlaw lainnya
CMW Konvensi Internasional ttg Hak-Hak Pekerja Migran
CEDAW Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan
CRC Konvensi Internasional ttg Hak Anak
KI ttg Hak UU No 68
Pol Perempuan Th 1958
Kepres No 36
KI ttg Hak Anak Th 1990
UU 39/1999
ttg HAM
KI Anti Apartheid Kepres No 48
UU 1945 dalam Olahraga Th 1993
KI Melawan
Penyiksaan dan UU No 5
UU 26/2000 Th 1998
Huk Kejam Lain
KI Penghapusan UU No 28
Diskriminasi Rasial Th 1999
UU lain
UU No 11
KI ttg Hak Ekosob Th 2005
UU No 12
KI ttg Hak Sipol Th 2005
Hukum HAM
Individu Negara
Commision Ommission
Sikap Sistem
Kekerasan
yang terlihat
Kekerasan fisik
Kekerasan ekonomi
Kekerasan emosional
ODMK
Kombinasi
Kekerasan seksual
Penelantaran
Tindakan dan serangan yang ditujukan kepada ODMK, tak bisa tidak
dikarenakan memang karena adanya persepsi yang salah mengenai
ODMK. Kelompok ODMK sering dipandang salah oleh masyarakat,
terutama oleh mereka yang menganut pandangan fundamentalisme
agama dan juga masyarakat tradisionalis yang masih percaya pada hal-
hal di luar nalar. Selain itu, masyarakat kerap menggunakan ukuran
norma (kenormalan), kebiasaan, ataupun hukum yang terbatas dan
diskriminatif. Juga pendapat atau penafsiran yang lebih bertumpu
pada pendapat individu.
4 Pemantauan Komnas HAM saat pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada 2009 lalu menyimpulkan bahwa
KPU tak menfasilitasi ODMK untuk bisa mengikuti pemilihan. Lihat laporan Tim Pemantauan Komnas HAM tentang Pileg
2009 dan Pilpres 2009.
5 Contoh dari legalisasi pendapat ini adalah salah satu pasal dalam Peraturan Daerah Pemda DKI mengenai Ketertiban Umum
yang melarang orang yang diindikasikan sebagai menderita gangguan jiwa untuk berkeliaran di taman-taman atau di
tempat umum.
6 Tak dipahaminya masalah gangguan kejiwaan yang memiliki dimensi potensi pelanggaran HAM tampak jelas dari isi Perda
DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Dalam Pasal 41 perda ini, dinyatakan bahwa “setiap orang yang
mengidap penyakit yang meresahkan masyarakat tidak diperkenankan berada di jalan, jalur hijau, taman, dan tempat-tem-
pat umum lainnya” dan dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang yang mengidap penyakit yang
meresahkan contohnya adalah “orang gila”. Hasil kajian Komnas HAM pada awal 2008 merekomendasikan agar Departemen
Dalam Negeri membatalkan perda yang muatannya banyak bertentangan dengan prinsip HAM ini.
7 Pelaku kekerasan terhadap ODMK dalam hal ini bisa dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok non-state actors
yang terdiri dari keluarga, orang lain di rumah, tetangga, teman, perawat rumah sakit, mantri, hingga dokter; dan kelompok
state actors yang terdiri dari polisi, satpol PP, petugas sosial (PNS), petugas lembaga pemasyarakatan, dan pejabat negara
yang kerap membuat kebijakan yang keliru.
Irmansyah
Tulisan ini memberikan uraian tentang permasalahan bioetika
dan hak asasi pada layanan kesehatan jiwa. Bioetika adalah
hal yang mencakup berbagai disiplin untuk memberi pedoman
dalam menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan
dalam bidang biologi dan ilmu kedokteran. Sedangkan etika
kedokteran sendiri adalah bagian dari bioetika. Sesuai dengan
prinsip etika, tujuan bioetika dalam layanan kesehatan adalah
memaksimalkan manfaat medis dan meminimalkan risiko klinis
dari penyakit.
Pendahuluan
mengenai isu yang sama. Bioetika adalah pedoman moral dari profesi
kesehatan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien, sekaligus
menjamin hormat pada martabat manusia serta melindungi HAM dan
kebebasan-kebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional
kesehatan juga akan melanggar atau mengabaikan HAM penderita.
Prinsip-Prinsip Bioetika
Dilema Etik
Upaya Pencegahan
Kesimpulan
Kepustakaan
Albert Maramis**
Tulisan ini membahas tentang aturan-aturan yang ada di
tingkat internasional terkait masalah ODMK. Peran instrumen
internasional HAM diperlukan dalam mendukung perlindungan
HAM bagi ODMK karena kelompok ini termasuk yang paling
rentan. Mereka sering dihadapkan pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk mempertahankan hak-haknya sehingga
dengan mudah mengalami eksploitasi, penghinaan, dan
pelanggaran hak-hak dasar. Tulisan ini juga menyampaikan
saran agar para pembuat kebijakan di Indonesia benar-benar
memperhatikan keberadaan aturan-aturan internasional tersebut.
Pendahuluan
Penyiksaan Perbudakan
Kekerasan
Praktik terhadap
tradisional perempuan
yang
berbahaya
Pelanggaran
HAM yang
berakibat sakit
(ill-health)
Hak untuk
Kese- berpartisipasi
hatan
&
Hak atas Mengurangi HAM Promosi atau
informasi kerentanan pelanggaran Bebas dari
terhadap sakit HAM melalui diskriminasi
(ill-health) pengembangan
melalui HAM kesehatan
Hak atas
pendidikan Bebas untuk
bergerak
Hak atas
makanan & Hak akan
nutrisi Hak atas privasi
air
KomentarumumtentangPasal26mendefinisikanperlindungandari
diskriminasi terhadap orang penyandang cacat. Sementara komentar
umum yang dihasilkan oleh badan pengawas HAM merupakan sumber
penting dalam interpretasi pasal-pasal konvensi HAM. Komentar
umum bersifat tidak mengikat, tetapi mewakili pandangan resmi serta
interpretasi yang seharusnya dari konvensi.1
kesehatan jiwa. Pasal 16 membuat negara yang menjadi pihak dari konvensi
ini bertanggung jawab untuk mencegah perbuatan atau perlakuan atau
hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan.19
Penutup
* (Pandangan yang dituliskan dalam artikel ini tidak dengan sendirinya mencerminkan keputusan, kebijakan, atau pandangan WHO).
** National Professional Officer for Mental Health and Tobacco Free Initiative, WHO Country Office for Indonesia.
Kepustakaan
1. WHO: WHO Resource Book on Mental Health, Human Rights and Legislation. WHO, Geneva, 2005.
2. Minas H: Mentally ill patients dying in social shelters in Indonesia. The Lancet, 374: 9690, Pages 592 - 593, 22 August 2009.
3. Minas H, Diatri H: Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. Int J Ment Health Syst 2008, 2:8.
4. Gable L, Gostin LO: Mental Health as a Human Right. Swiss Human Rights Book, Vol. 3, pp. 249-261, Rüffer & Rub, 2009.
5. WHO. Linkages between Health and Human Rights. http://www.who.int/hhr/HHR%20linkages.pdf. Retrieved 31 – 12 – 2009.
6. UN. Fact Sheet No.2 (Rev.1), The International Bill of Human Rights. http://www.ohchr.org/Documents/Publications/
FactSheet2Rev.1en.pdf. Retrieved 2 – 1 – 2010.
7. Sieghart P: The International Law of Human Rights. Oxford University Press, 1983.
8. United Nations General Assembly Resolution 543, February 5, 1952.
9. Fennell P: Human rights, bioethics, and mental disorder. Med Law 27(1):95-107, 2008.
10. United Nations Universal Declaration of Human Rights, 1948.
11. Wikipedia, the free encyclopedia. Universal Declaration of Human Rights. http://en.wikipedia.org/wiki/Universal_Declaration_
of_Human_Rights. Retrieved 27 – 12 – 2009
12. UN Treaty Collection: International Covenant on Civil and Political Rights. http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.
aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-4&chapter=4&lang=en. Retrieved 26 – 12 – 2009.
13. Wikipedia, the free encyclopedia. International Covenant on Civil and Political Rights. http://en.wikipedia.org/wiki/International_
Covenant_on_Civil_and_Political_Rights. Retrieved 5 – 1 – 2010.
14. WHO EMRO. Health and Human Rights: International Covenant on Civil and Political Rights. http://www.who.int/hhr/Civil_
political_rights.pdf. Retrieved 31 – 12 – 2009.
15. UN Treaty Collection: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.
aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-3&chapter=4&lang=en. Retrieved 26 – 12 – 2009.
16. Wikipedia, the free encyclopedia. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. http://en.wikipedia.org/wiki/
International_Covenant_on_Economic,_Social_and_Cultural_Rights. Retrieved 5 – 1 – 2010.
17. Committee on Economic, Social, and Cultural Rights: General Comment No. 14: The right to the highest attainable standard of
health. Geneva, Twenty-second session 25 April-12 May 2000. http://www.aspire-irl.org/General%20Comment%2014.pdf.
Retrieved 8-1-2010.
18. UN Convention on the Rights of the Child. http://www2.ohchr.org/english/law/pdf/crc.pdf. Retrieved 8 – 1 – 2010.
19. United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. http://untreaty.
un.org/english/treatyevent2001/pdf/07e.pdf. Retrieved 8 – 10 – 2010.
20. UN Principles for the protection of persons with mental illness and the improvement of mental health care. http://www2.ohchr.
org/english/law/principles.htm. Retrieved 8 – 10 – 2010.
21. Harding TW: Human rights law in the field of mental health: a critical review. Acta Psychiatr Scand 101:24-30, 2000.
22. Rosenthal E, Sundram CJ: The Role of International Human Rights in National Mental Health Legislation. WHO, Geneva, 2004.
23. Janis MW: An Introduction to International Law. Little, Brown, 1988.
24. Weissbrodt D, Fitzpatrick J, Newman F: International Human Rights: Law, Policy, and Process. LexisNexis; 3rd Edition, 2001.
25. Lehmets A: Rights of the Persons with Mental Illness in Europe http://www.phil.gu.se/sffp/reports/19.%20Lehtmets.pdf. Retrieved
4 – 1 – 2010.
Pandu Setiawan
Tulisan ini mengupas sejarah perlindungan terhadap ODMK. Dalam
catatan sejarah, ternyata kolonial Belanda telah meletakkan dasar-
dasar hukum bagi penanganan ODMK di Hindia Belanda. Pada 30
Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit (Keputusan Kerajaan)
dan pada 14 Mei 1867 dikeluarkan Keputusan Gubernur Jenderal
untuk dibangunnya rumah sakit jiwa di Hindia Belanda. Atas dasar
itulah berdiri beberapa rumah sakit jiwa yang hingga kini masih
menjadi pilar bagi penanganan ODMK di Indonesia. Antara lain RSJ
Bogor pada 1876, RSJ Lawang pada 1902, RSJ Solo pada 1919, RSJ Magelang pada 1923,
RSJ Jakarta pada 1924, serta RSJ Surabaya dan RSJ Semarang pada 1929. Hingga 1940
terdapat 16 RSJ di 16 provinsi. Namun, pelayanan kesehatan jiwa pada saat itu masih san-
gat tertutup, bahkan mirip seperti penjara (custodial care). Dasar hukumnya adalah “het
Reglemen op het Krankzinnigenwezen” (STBL 1897 No. 54). Yang menarik adalah bahwa
salah satu pertimbangan kuat dalam suatu keputusan kerajaan adalah banyaknya pasien
gangguan jiwa yang didapat dalam satu survei sehingga harus disatukan dalam satu
fasilitas perawatan dan tidak “berkeliaran” di masyarakat.
I. Pengantar
S
ungguh suatu hal yang tidak mudah untuk menyusun sejarah
tentang hal ini. Ini sangat ditentukan oleh perkembangan
konsep-konsep tentang ilmu kedokteran/kedokteran jiwa,
pelayanan kesehatan jiwa, ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya, serta
kondisi-kondisi sosio-kultural ekonomi yang selalu ikut memberikan
warna dalam cara pandang kita sebagai profesional, non-profesional
maupun masyarakat awam, terhadap isu yang tidak populer dan
terpinggirkan sampai sekarang.
II. Pengertian
SecarasederhanastrukturklasifikasiPPDGJIIIterdiridari:
Referensi untuk hal ini relatif sangat terbatas. Kalau kita ambil
sebagai awal adalah pada waktu zaman Hindia Belanda, pada tanggal
30 Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit (Keputusan Kerajaan)
dan pada tanggal 14 Mei 1867 dikeluarkan Keputusan Gubernur
Jenderal untuk dibangunnya rumah sakit jiwa di Indonesia. Atas
dasar keputusan ini, maka berturut-turut didirikan:
IV. Pada tahun 1966 Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara
di dunia yang mempunyai UU tentang kesehatan jiwa, yakni UU
Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 yang kemudian dilebur ke dalam
UU No. 23 Tahun 1992. Setelah itu dalam UU No. 23 Tahun 1992
terdapat 4 pasal tentang kesehatan jiwa, sementara dalam UU No.
36 Tahun 2009 terdapat 8 pasal tentang kesehatan jiwa. Selain itu,
VI. Diskusi
Pertanyaannya:
a. Bagaimana pandangan profesional, non-profesional, dan masyarakat
terhadap fenomena ini?
b. Bagaimana kita akan mengurai kompleksitas masalah ini?
c. Sudah adakah perangkat aturan yang dapat dijalankan secara
efektif?
Pertanyaan:
• Masalah ini domain utamanya ada di mana? KPU? Depdagri?
Depkumham?
VII. Kesimpulan
VIII. Penutup
Eka Viora
Tulisan ini membahas tentang pembangunan sistem kesehatan
jiwa di Indonesia. Sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia
di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pelayanan kesehatan
jiwa di institusi rumah sakit jiwa (RSJ). Kondisi ini menyebabkan
RSJ di Indonesia bukan lagi berfungsi sebagai pelayanan tersier
atau pusat rujukan, melainkan sebagai puskesmas “besar” karena
semua penderita gangguan jiwa yang sebetulnya bisa dilayani
di puskesmas dan RSU kabupaten/kota tetap ditangani di RSJ.
Tulisan ini menekankan perlunya komitmen kuat dari segenap
pihak, yakni para perencana, manajer, klinikus, dan lain-lain,
untuk mereformasi pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.
Agar benar-benar efektif, Indonesia perlu mengembangkan
sebuah sistem layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang
diberikan oleh keluarga, kelompok masyarakat, serta kader atau
pekerja sukarela.
Pendahuluan
O
rang dengan masalah kejiwaan (ODMK) mempunyai beragam
kebutuhan agar mereka dapat pulih dan berfungsi kembali
di masyarakat. Pengobatan yang optimal, kepatuhan dan
kontinuitas berobat, intervensi psikososial, serta rehabilitasi ber-
basis masyarakat merupakan faktor yang sangat berpengaruh un-
tuk menstabilkan gejala, serta meningkatkan kualitas hidup dan
kemandirian ODMK untuk berfungsi kembali secara sosial di ma-
syarakat. Beberapa fungsi sosial yang ingin dicapai adalah dapat
beradaptasi dengan lingkungan, dapat bekerja atau sekolah kem-
bali, mampu melakukan perawatan diri secara mandiri, tidak ber-
perilaku agresif, kehidupan spiritual membaik, dan merasa dirinya
berharga.
PERPADUAN OPTIMAL
PELAYANAN KESEHATAN JIWA
KUANTITAS PELAYANAN
Tinggi Rendah
PERAWATAN INDIVIDU
PUSKESMAS
Biaya
PKJM PKJ
DI RSU
PKJ
SPESILIASTIK
DAN
RSJ
Rendah Tinggi
Salah satu isu penting agar keterpaduan ini berhasil adalah adanya
supervisi petugas di pelayanan primer oleh profesi kesehatan jiwa dara
RSU atau RSJ untuk mendiskusikan kesulitan dalam manajemen, dan
memberikan petunjuk tentang intervensi yang dapat dilaksanakan
oleh petugas kesehatan di pelayanan kesehatan primer. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah tersedianya psikofarmaka sesuai dengan
obat yang ada dalam daftar obat esensial nasional (DOEN) puskes-
mas.
Kesimpulan
Kepustakaan
Lili Suwardi
Pengalaman hidup sebagai ODMK, ditulis Lili Suwardi dengan
menarik. Ia memulai ceritanya sebagai anak bungsu yang tidak
diinginkan kelahirannya. Namun, Tuhan menakdirkan lain. Ia
terus hidup dalam perut ibu yang tidak menginginkannya.
Tidak ada yang salah dengan pengalaman, yang mungkin salah adalah penilaian kita.
Leonardo da Vinci (1452-1519)
A
ku terbangun tengah malam itu, beranjak dari tempat tidur,
dan duduk di kursi di kamarku di lantai atas. Aku duduk
merenung sendirian, mengingat apa yang terjadi hari kemarin,
kemarinnya kemarin, dan bagaimana semua ini terjadi. Hidup selalu
punya awal, dan beginilah awal hidupku.
rumah. Aku hanya keluar dari tempat tinggalku jika ada keperluan,
seperti ke warung atau salat Jumat. Aku tak pernah bergaul dengan
anak tetangga. Bahkan, aku tak hafal letak rumah mereka.
Orang tuaku menjual rumahnya ketika aku lulus SMP sesaat setelah
ayahku pensiun. Kami pindah ke Sumedang, Jawa Barat, yang lebih
nyaman untuk perkembanganku dan kakak keempatku. Aku gembira,
kemampuan sosialku berkembang dengan pesat, walaupun tidak bisa
menandingi orang yang aktif secara sosial semenjak kecil. Aku punya
Kukiraakumenderitasakitfisikyangparahyangbelumkuketahui.
Aku izin tak bersekolah untuk berobat. Namun, tak ada satu dokter
pun yang tahu kenapa aku ini. Aku mulai mencari pertolongan ke
tempat yang jauh. Aku pergi ke Bekasi, ke rumah kakak ketigaku.
Kakak ketigaku mengajak untuk berobat ke kawannya, seorang
paranormal. Dan ia mendeteksi bahwa ada yang sedang tidak suka
dengan keluargaku, dan ia telah mengirim teluhnya. Ia bermaksud
menunjukkan teluhnya kepada ayahku. Namun, karena ayahku kuat
secara gaib dan aku lemah, maka akulah yang terkena.
Setelah 3 bulan berlalu, aku pun masuk kembali. Namun, apa mau
dikata, aku tetap memiliki perasaan yang sama dengan sebelumnya.
Aku tetap tak punya semangat untuk bersekolah. Aku hanya diam di
rumah, berbaring di kamarku, dan memandang langit-langit. Bagiku
saat itu, hanya Tuhanlah yang mengerti apa yang terjadi pada diriku.
Saat itu pula, aku tak tahu apa-apa tentang diriku. Aku merasa begitu
bodoh.
Malam itu aku tidur nyenyak sekali, aku terjaga pada tengah malam.
Dengan limbung aku berjalan ke kamar mandi. Tiba di kamar mandi
aku memuntahkan isi perutku. Napasku tersengal-sengal. Aliran
darah dalam tubuhku sangat terasa sehingga membuat tanganku
gemetaran. Aku menggelosor di lantai dan bertanya-tanya, mengapa
aku tak mati, padahal sudah kutelan banyak obat. Aku tertunduk
lesu. Malam itu aku kalah, tapi aku juga tak mati. Dengan susah
payah aku kembali ke kamarku. Esoknya aku bangun dengan tatapan
heran keluargaku karena tiba-tiba tubuhku jadi demikian lemah. Tak
kukatakan pada siapa pun tentang apa yang terjadi pada malam tadi.
Aku menyimpannya rapat-rapat, sebab kupikir tak ada gunanya jika
kuceritakan pada orang lain, karena mereka takkan mengerti.
Kota Sumedang yang indah, kini jadi dingin, kaku, dan sepi
mencekam. Setelah aku tak lagi punya kawan sekolah, karena mereka
telah melanjutkan kuliahnya atau bekerja di kota lain, aku sangat
kesepian. Saat tak ada siapa-siapa, aku selalu melihat ke dalam diriku.
“Apa yang kau bisa lakukan saat ini? Kau hanyalah manusia yang
gagal dalam segala hal. Kau tidak disukai banyak orang”, demikian
gaung dalam pikiranku yang menyerangku setiap saat. Temanku
hanya mesin tik, hadiah dari sepupuku yang diberikannya waktu
aku lulus SMU. Aku mencoba menulis sesuatu yang mungkin dapat
membuka masa depanku, sebuah novel. Aku sangat sensitif bertemu
orang lain, termasuk ayah dan ibuku sendiri. Aku sangat ketakutan
dengan kedatangan tetangga. Aku hanya bergaul dengan bunyi dedas
mesin tik yang timbul ketika aku mengetikkan kata-kata untuk novel-
ku. Tapi, aku tak dapat mengalahkan gaung dalam kepalaku dan juga
perasaanku yang semakin jatuh ke dalam lembah keputusasaan.
Aku putus asa, mengalami depresi yang dalam, dan berpikir bahwa
semuanya tak berguna. Ibuku mulai sakit-sakitan karena memikirkan
Aku semakin larut dalam lara yang tanpa akhir. Aku mulai takut
untuk tinggal di rumah, karena tetangga-tetangga mulai berniat
jahat terhadapku dan menertawakanku setiap saat. Aku pergi dan
menggelandang di jalanan, menginap di masjid yang tak dikunci. Aku
tak punya orang-orang yang mengasihiku, aku sangat sedih.
Setelah aku agak pulih dari depresiku, aku berpikir bahwa aku
harus melakukan sesuatu. Aku kemudian mendirikan Milis Skizofrenia
Indonesia (http://groups.yahoo.com/group/skizofrenia_indonesia),
dan beberapa lama setelah itu, Blog Skizofrenia (http://skizo-friend.
blogspot.com). Dengan keduanya aku memulai perjuangan online-ku.
Pada bulan Juli 2009, aku dan 5 kawanku dari Perhimpunan Jiwa
Sehat, terbang ke Melbourne, Australia, untuk mengikuti International
Aku teringat akan sahabatku, yang pada suatu senja di tahun 2003
menyatakan sudah jengah dengan perawatan dalam jangka waktu yang
lama, dan pada suatu dini hari dengan kawan-kawannya memutuskan
untuk kabur dari bangsal psikiatri. Mereka mengaku merasa bahagia
saat itu. Tapi, mereka tertangkap oleh mantri yang mengejarnya,
dijebloskan kembali ke dalam bangsal, dan dipukuli beramai-ramai
hingga tulang panggul sahabatku itu retak. Tak ada yang pernah
bertanya mengapa mereka kabur. Yang ada hanyalah cacian bahwa
mereka bukanlah pasien yang patuh pada aturan. Ia sangat terpukul
dan berubah jadi pendiam.
Kami bertemu lagi pada tahun 2008 saat aku mengunjungi rumah
sakit yang sama. Ia mengaku sudah berkali-kali dimasukkan dalam
perawatan oleh keluarganya semenjak saat terakhir kami berpisah di
tahun 2003 itu. Ia mengaku merasa berputar-putar dalam lingkaran
yang sama. Tak pernah ada jalan keluar. Ia mengatakan sambil
menatap mataku, “Maukah kamu melakukan sesuatu untukku?”
Aku bilang, apa itu. Ia mengatakan, “Teleponlah aku. Aku ingin
ada yang berbicara padaku bukan sebagai orang yang senantiasa
menilai bagaimana penyakitku. Tapi, yang berbicara sebagai seorang
sahabat.”
Aku teringat Ibu. Aku teringat ayah. Mereka adalah dua orang
yang dalam kekurangannya selalu berusaha untuk membuatku pulih.
Aku mencintai mereka.
LR. Baskoro
Inilah buku yang memotret peradaban Eropa pada abad
pertengahan, abad 15 hingga abad 18, sebagai masa yang
murung, yang kemudian mempengaruhi semua hasil budi
dan daya manusia Eropa. Baik seni, politik, kesusasteraan dan
seterusnya.
M
adness and Civilization, edisi bahasa Indonesianya
diterjemahkan oleh Yudi Santoso, “Kegilaan dan Peradaban,”
menggambarkan situasi masyarakat Eropa saat diterjang
oleh bala penyakit lepra. Manusia lepra, sebagai “manusia kalah,”
di tengah benua yang oleh Foucault disebut “ kurungan besar,”
tidak sekadar menjadi pecundang, juga dimerosotkan hakikat
kemanusiaannya menjadi sesuatu yang tak berarti apa-apa. Lebih dari
sekadar kekalahan.
***
***
Mereka harus dibelenggu, kaki diikat rantai, dan tak mendapat hak
apapun sebagai manusia semestinya. Tapi, yang tidak dapat disangkal
dan dihindarkan, kegilaan mereka telah ”masuk” dan mempengaruhi
tata kehidupan dari segala sisi kehidupan manusia sehat. Tindakan
yang diambil penguasa, sebagai akibat dari kegilaan orang gila – yang
terus menerus mengganggu -- sebenarnyalah tindakan gila pula. Di
sini, Foucault menilai, kegilaan seperti ini, kelak akan terulang dan
terulang lagi.
Albert Maramis
Eka Viora
Hervita Diatri
Ramah dan santun. Begitulah kesan yang akan Anda rasakan bila
bertemu dengan psikiatri alumnus Universitas Indonesia (UI) tahun
2006 ini. Vita, begitu dia biasa dipanggil, juga menyelesaikan pendidi-
kan dokter di UI pada tahun 2000 dengan predikat cum laude. Karena
bidang psikiatri merupakan profesi yang disukainya, tak aneh bila
perempuan kelahiran 24 Juni 1976 ini banyak mengikuti pelatihan
terkait kesehatan jiwa. Antara lain, pada Agustus 2008 dia mengi-
kuti “Pelatihan Kepemimpinan Program di Bidang Kesehatan Jiwa”
di Melbourne, Australia. Lalu, pada Juni 2007 mengikuti “Course on
Leadership and Professional Skills Development for Young Psychia-
trists” di Hong Kong.
Irmansyah
Lili Suwardi
LR Baskoro
Inilah orang yang paham seluk-beluk rumah sakit jiwa (RSJ). Pria
kelahiran Jogjakarta, 28 Desember 1946, ini berhasil menyelesaikan
pendidikan dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
pada tahun 1971. Lalu ia pun berhasil lulus dari Psikiatri FKUI pada
tahun 1976. Setelah itu, berturut-turut ia menjabat sebagai Direktur
RSJ Banjarmasin/Tamban (1976-1984), Direktur RSJ Solo (1984-
1996), Direktur RSJ Lawang (1996-2003), Direktur Pelayanan Medik
Spesialistik Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2003-2005),
dan Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa (2005-2007).
Rusman Widodo