Anda di halaman 1dari 157

Vol.

5 n Tahun 2009

JURNAL HAM

JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

HAM ODMK
MEWUJUDKAN PEMENUHAN
HAM ODMK Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
© 2009
JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Diterbitkan oleh:
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
©2009
JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Penanggungjawab : Yosep Adi Prasetyo


Pimpinan Redaksi : Rusman Widodo
Dewan Redaksi : Kurniasari Novita Dewi, Yuli Asmini, Hari Reswanto,
Ignas Triyono
Distribusi : Banu Abdillah
Administrasi : Ratnawati Tobing, Eri Riefika, Idin Korino, Fauzan
Desain Cover & Tata Letak : Agus Solikin & Galih Ananda
Editor Bahasa : Andy Panca
Foto Cover : diadaptasi dari www.newsucanuse.org g/images/bigstockphoto
Percetakan : MCU
Penerbit : Komnas HAM

Alamat Redaksi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310
Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026
Email: info@komnasham.go.id

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan


ISBN: 978-979-26-1438-1
Jurnal HAM Komnas HAM
Mewujudkan Pemenuhan HAM ODMK
Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM, 2009, xvi + 142 Hal; 160 mm x 240 mm

Penerbitan ini dibagikan secara gratis, tidak diperjualbelikan. Penggandaan penerbitan ini untuk
kepentingan penyebarluasan nilai-nilai HAM harus mendapat persetujuan tertulis dari Komnas HAM.

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta.

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Daftar Isi

Kata Pengantar
Yosep Adi Prasetyo ..................................................................................................................................................... vii

Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran


Hak Asasi Manusia
Rusman Widodo ........................................................................................................................................................ 1

Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Global


Hervita Diatri ................................................................................................................................................................ 15

ODMK dan Pemenuhan HAM


Yosep Adi Prasetyo ..................................................................................................................................................... 31

Masalah Bioetika dan HAM pada Layanan Kesehatan Jiwa


Irmansyah ..................................................................................................................................................................... 51

Instrumen Internasional Terkait Hak Asasi Orang dengan


Masalah Kejiwaan
Albert Maramis ........................................................................................................................................................... 67

Sejarah Perlindungan ODMK (Orang dengan Masalah Kejiwaan)


dalam Hukum Indonesia
Pandu Setiawan ......................................................................................................................................................... 81

Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia


Eka Viora ......................................................................................................................................................................... 93

Menembus Kabut Kehidupan


Lili Suwardi .................................................................................................................................................................... 113

Tinjauan Buku ‘Kekuasaan di Tengah Kegilaan’


LR. Baskoro .................................................................................................................................................................... 127

Biodata para Penulis ........................................................................................................................................ 135

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 iii


Daftar Tabel Dan Lampiran

Lampiran Matrik Dimensi HAM Dalam Isyu ODMK ...............................................................


49

iv Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Daftar Gambar

Bagan 1. Instrumen HAM Internasional........................................................................................... 36

Bagan 2. Instrumen HAM Nasional .................................................................................................... 36

Bagan 3. Alur hukum HAM ......................................................................................................................... 37

Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem) ............................................ 40

Bagan 5. Ragam kekerasan yang dialami ODMK .................................................................... 41

Bagan 6. Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan .......................................... 43

Gambar Perpaduan Optimal PelayananKesehatan Jiwa................................................... 103

Gambar Blog Skizofrenia ............................................................................................................................ 122

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 v


Kata Pengantar

S
eberapa sering kita menyaksikan orang telantar berkeliaran di
tengah jalan? Kita sering menjumpai mereka di berbagai kota.
Tapi, banyak di antara kita lupa bahwa mereka adalah manusia.
Namun, ada juga warga kota yang menganggap mereka adalah bagian
dari ikon kota. Umumnya rambut mereka panjang dan gimbal karena
tak pernah dicuci. Pakaian yang dikenakan lusuh, bahkan banyak di
antara mereka yang nyaris telanjang bulat. Di antara mereka banyak
yang mengais-ngais sampah mencari sisa makanan. Mereka tak punya
pekerjaan dan rumah. Mereka tinggal di sembarang tempat. Tata-
pan wajah mereka umumnya kosong dan tak mempedulikan situasi
sekitar.

Siapa mereka? Mereka adalah sebagian dari orang dengan masalah


kejiwaan (ODMK) yang memang berkeliaran di jalanan. Mereka adalah
orang yang dibuang oleh keluarganya. Mereka adalah orang yang bukan
tak mungkin akan menjadi pengelana seumur hidupnya. Sebagian
dari mereka hidup dalam pasungan dengan kondisi mengenaskan.
Sebagian lagi jadi penghuni berbagai panti sosial. Sebagian lagi lebih
beruntung, mereka dirawat di rumah sakit jiwa. Namun, tak banyak
orang yang sebenarnya tahu bahwa di antara mereka ada yang hidup
“normal” di tengah masyarakat.

Masyarakat pada umumnya memang memberikan stigma kepada


kelompok ODMK. Mereka ini oleh sebagian besar orang dianggap
telah kehilangan hak asasinya. ODMK sering diolok-olok dan digang-
gu oleh anak-anak. Dalam hukum di Indonesia, mereka ini tak dima-
sukkan sebagai subjek hukum. Barangkali kondisi inilah yang mem-
buat hak-hak asasi mereka terlanggar. Pemantauan yang dilakukan
Komnas HAM pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 lalu

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 vii


menyimpulkan bahwa puluhan ribu ODMK di Indonesia tak bisa ikut
memilih. Padahal, hak ini dijamin dalam konstitusi maupun hukum
perundangan yang ada.

Memang, ODMK di Indonesia belum dimasukkan dalam kelompok


sasaran yang perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah
Indonesia. Padahal, sebetulnya kelompok ini bila dilihat lebih lanjut
bisa dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups)
sebagaimana kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja
migran. Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai negara lain,
ODMK sering kali mengalami diskriminasi oleh keluarga, masyarakat
sekeliling, media maupun negara. Model diskriminasi yang dialami
oleh ODMK adalah secara berlapis-lapis.

Gangguan jiwa menimbulkan disfungsi dan penderitaan bagi diri


ODMK dan orang lain. Hal itu tentu saja berkaitan dengan kata
produktivitas. Berbagai data menunjukkan bahwa masalah kesehatan
jiwa memengaruhi tingkat produktivitas individu secara umum, bahkan
menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan memengaruhi
indeks pembangunan manusia (human developmental index/HDI) dan
kemampuan daya saing bangsa Indonesia.

Beban terkait gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu,


melainkan juga sistem lain (keluarga dan masyarakat). Sebagai
contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak paripurna akan
berdampak pada meningkatnya risiko tindakan kekerasan yang sering
kali tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap sebagai
berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak kekerasan
terhadap diri sendiri yang salah satunya berupa tindakan bunuh
diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu
sisi semakin meningkatkan stigma dan diskriminasi terhadap orang
dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang
“tidak mampu”.

Stigma dan diskriminasi mengakibatkan hilangnya banyak


kesempatan, baik bagi penderita maupun keluarga. Kesempatan ini
meliputi banyak hal, mulai dari memperoleh pendidikan, pekerjaan,
berperan sebagai bagian dari masyarakat--misalnya kehilangan
hak suara dalam pemilihan umum, hingga kehilangan akses untuk
mendapat fasilitas layanan kesehatan yang memadai karena kurang-
nya perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa.

Semua kondisi ini merujuk pada masalah pengangguran,


kemiskinan, gelandangan, dan berbagai macam perlakuan salah
dan tindak kekerasan. Beban yang diterima oleh keluarga tidak
jauh berbeda dengan apa yang dialami penderita, baik secara
ekonomi, sosial, maupun psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena
ketidaktahuan keluarga untuk berperan untuk membantu, termasuk
ketidakmampuan untuk mengakses layanan kesehatan jiwa yang
lebih disebabkan karena ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat
masyarakat.

Di masa lalu, di masa Orde Baru, beberapa kerusuhan yang


terjadi pada menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto
“konon” dipicu oleh orang-orang yang dituduh sebagai ODMK. Antara
lain kerusuhan Pekalongan pada 1996, kerusuhan Makassar pada
1996, serta pembunuhan dukun santet dan sejumlah “orang gila” di
Banyuwangi dan sejumlah kota di Jawa Timur pada 1996-1977. Namun,
dari semua kerusuhan itu tak ada satu pun yang diusut secara tuntas,
terutama apa yang menjadi faktor pemicu dan siapa yang bertanggung
jawab atas berbagai kerusuhan itu.

Komnas HAM melihat masalah penanganan ODMK berkaitan erat


dengan hak asasi manusia (HAM). Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Sedangkan HAM sepenuhnya merupakan kewajiban negara
(state obligation), mulai dari kewajiban untuk menghormati (obligation
to respect), kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), hingga
kewajiban untuk memenuhi (obligation to fullfil).

Jurnal HAM edisi ini secara khusus mengangkat persoalan


ODMK dari sisi HAM. Tulisan-tulisan yang disajikan dalam edisi
kali ini diharapkan bisa mendorong perbaikan kebijakan, implemen-
tasi, maupun anggaran yang lebih pro- HAM. Penerbitan jurnal ini

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 ix


menunjukkan komitmen kuat Komnas HAM bagi pencapaian kondisi
HAM yang kondusif di Tanah Air.

Pada edisi jurnal ini, Rusman Widodo mengangkat masalah


pelanggaran HAM terhadap kelompok ODMK. Ia mengangkat fakta-
fakta sesuai laporan yang pernah masuk ke Komnas HAM tentang
operasi ketertiban umum yang dilakukan sejumlah pemda. Pada
operasi ini para ODMK ditangkapi dengan paksa lantas dinaikkan
ke mobil dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti sosial
sudah penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain.
Namun, ternyata nasib ODMK di panti sosial tidak lebih baik
dari ODMK di jalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal
dunia akibat kekurangan gizi, diare, dan anemia berat.

Hervita Diatri melakukan tinjauan tentang kesehatan jiwa dari


perspektif global. Pada saat ini ada banyak faktor psikososial yang
terjadi saat ini di masyarakat dan berpotensi besar untuk terjadinya
masalah kesehatan jiwa. Namun, perhatian terhadap aspek kesehatan
jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi akibat
kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah kesehatan
jiwa. Hal yang penting bagi Indonasia saat ini mengingat, terkait
banyaknya kejadian bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan
dan isu psikososial lainnya yang terjadi. Situasi ini memiliki potensi
masalah kesehatan jiwa yang cukup tinggi di masyarakat.

Irmansyah memberikan uraian menarik mengenai permasalahan


bioetika dan hak asasi pada layanan kesehatan jiwa. Bioetika adalah
hal yang mencakup berbagai disiplin untuk memberi pedoman dalam
menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan dalam bidang biologi
dan ilmu kedokteran. Sedangkan etika kedokteran sendiri adalah
bagian dari bioetika. Sesuai dengan prinsip etika, tujuan bioetika
dalam layanan kesehatan adalah untuk memaksimalkan manfaat
medis dan meminimalkan risiko klinis dari penyakit. Bioetika dan
HAM dalam layanan kesehatan adalah pembicaraan mengenai isu
yang sama. Bioetika adalah pedoman moral dari profesi kesehatan
untuk memberikan yang terbaik bagi pasien, sekaligus menjamin
hormat pada martabat manusia serta melindungi HAM dan kebebasan-
kebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional kesehatan
juga akan melanggar atau mengabaikan HAM penderita.

x Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Irmansyah menduga, meski jarang terungkapnya masalah
pelanggaran etik dan HAM serta dugaan malapraktik terhadap ODMK,
baik yang dilaporkan ke pengadilan maupun pada Komnas HAM, tidak
menutup kemungkinan telah terjadinya pelanggaran etik dan HAM
terhadap penderita gangguan jiwa. Hal ini lebih disebabkan para ODMK
dan keluarga tidak pernah mengetahui detail pelanggaran etik dan HAM.
Mereka juga tak menyadari tentang hak asasi mereka serta karena takut
akan mencemarkan nama baik penderita dan atau keluarga.

Albert Maramis dalam tulisannya lebih banyak menguraikan


sejumlah instrumen HAM yang berkaitan dengan ODMK. Peran
instrumen internasional HAM diperlukan dalam mendukung
perlindungan HAM orang dengan masalah kejiwaan karena
kelompok ini termasuk yang paling rentan. Mereka sering
dihadapkan pada keadaan yang tidak memungkinkan bagi mereka
untuk mempertahankan hak-hak mereka sehingga dengan mudah
mengalami eksploitasi, penghinaan, dan pelanggaran hak-hak dasar
mereka.

Sejarah perlindungan ODMK ditulis Pandu Setiawan secara


menarik. Dalam catatan sejarah, ternyata kolonial Belanda telah
meletakkan dasar-dasar hukum bagi penanganan ODMK di Hindia
Belanda. Pada 30 Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit
(Keputusan Kerajaan) dan pada 14 Mei 1867 dikeluarkan Keputusan
Gubernur Jenderal untuk dibangunnya rumah sakit jiwa di Hindia
Belanda. Atas dasar itulah berdiri beberapa rumah sakit jiwa
yang hingga kini masih menjadi pilar bagi penanganan ODMK di
Indonesia. Antara lain RSJ Bogor pada 1876, RSJ Lawang pada 1902,
RSJ Solo pada 1919, RSJ Magelang pada 1923, RSJ Jakarta pada
1924, serta RSJ Surabaya dan RSJ Semarang pada 1929. Hingga
1940 terdapat 16 RSJ di 16 provinsi. Namun, pelayanan kesehatan
jiwa pada saat itu masih sangat tertutup, bahkan mirip seperti
penjara (custodial care). Dasar hukumnya adalah “het Reglemen op
het Krankzinnigenwezen” (STBL 1897 no. 54). Yang menarik adalah
bahwa salah satu pertimbangan kuat dalam suatu keputusan kerajaan
adalah banyaknya pasien gangguan jiwa yang didapat dalam satu
survei sehingga harus disatukan dalam satu fasilitas perawatan dan
tidak “berkeliaran” di masyarakat.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 xi


Lebih lanjut, Eka Viora menyoroti masalah pembangunan sistem
kesehatan jiwa di Indonesia. ODMK pada dasarnya mempunyai
beragam kebutuhan agar mereka dapat pulih dan berfungsi kembali
di masyarakat. Pengobatan yang optimal, kepatuhan dan kontinuitas
berobat, intervensi psikososial, serta rehabilitasi berbasis masyarakat
merupakan faktor sangat berpengaruh untuk menstabilkan gejala,
meningkatkan kualitas hidup, dan kemandirian ODMK untuk
berfungsi kembali secara sosial di masyarakat. Namun demikian,
sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia di Indonesia saat ini
masih didominasi oleh pelayanan kesehatan jiwa di institusi rumah
sakit jiwa. Kondisi ini menyebabkan rumah sakit jiwa (RSJ) di
Indonesia bukan lagi berfungsi sebagai pelayanan tersier atau pusat
rujukan, tapi malah berfungsi sebagai puskesmas “besar” karena semua
penderita gangguan jiwa yang sebetulnya bisa dilayani di puskesmas
dan RSU kabupaten/kota tetap ditangani di RSJ.

Eka Viora melihat perlunya ada komitmen kuat untuk mereformasi


pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Hal ini membutuhkan
keterlibatan intens dari para perencana, manajer, dan klinikus untuk
mewujudkannya. Ada banyak pengalaman negara-negara yang berhasil
melakukan reformasi pelayanan kesehatan jiwa dengan melakukan
de-institusionalisasi. Perlunya Indonesia mengembangkan sebuah
pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi dari tatanan rumah
sakit sampai ke komunitas adalah untuk menjamin kesinambungan
pelayanan.

Pengalaman hidup sebagai ODMK, ditulis Lili Suwardi dengan


menarik. Ia memulai ceritanya sebagai anak bungsu yang tidak
diinginkan kelahirannya. Namun, Tuhan menakdirkan lain. Ia terus
hidup dalam perut ibu yang tidak menginginkannya. Ketika di SLTA
ia mulai menemukan keanehan dirinya. Selulus SLTA, ia mulai
menghadapi problem riil, yaitu mencari pekerjaan yang cocok bagi
dirinya. Sebuah hal membuatnya mulai diserang kecemasan dan
dianggap sebagai “orang gila” yang tak dapat melakukan apa-apa. Yang
dilakukannya hanya minum obat, mengantuk, tidur, dan keluar-masuk
rumah sakit. Ia tak dapat mendapatkan dukungan yang memadai
dari keluarga. Sebuah hal yang kemudian membuatnya beberapa kali
mencoba bunuh diri. Sebuah obat antipsikotik berdosis 1.470 miligram
membuat dirinya tak sadarkan diri selama 4 hari. Namun, ia berhasil

xii Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


keluar dari belitan masalah dan kini eksis sebagai blogger dan aktivis
dalam Gugus Tugas Nasional Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di
Indonesia dan jadi pengurus ornop bernama Perhimpunan Jiwa Sehat,
sebuah organisasi konsumen dan keluarga orang dengan masalah
kejiwaan.

Pada bagian penutup, LR Baskoro membuat telaah buku Michel


Foucault yang legendaris. Buku berjudul Madness and Civilization ini
merupakan sebuah buku yang melihat kekuasaan di tengah kegilaan.
Buku ini memotret peradaban Eropa pada Abad Pertengahan, Abad
XV, hingga Abad XVIII, sebagai masa yang murung, yang kemudian
memengaruhi semua hasil budi dan daya manusia Eropa, baik seni,
politik, kesusasteraan, dan seterusnya.

Madness and Civilization ditulis Foucault saat ia menjadi dosen di


Swedia pada 1961. Foucault sendiri pernah berurusan dengan masalah
kejiwaan. Ia pernah depresi hingga harus melakukan konsultasi rutin
dengan psikiater--agaknya menjadi penyebab kenapa Foucaut demikian
tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan. Madness
and Civilization, seperti bukunya yang lain, memang menunjukkan
­kekuatan--dalam­kerumitan­pikiran­Foucalt--filsuf­terkemuka­Prancis­
ini mengenai pemahamannya atas sejarah.

Selamat membaca!

Yosep Adi Prasetyo

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 xiii


xiv Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009
Orang dengan Masalah
Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran
Hak Asasi Manusia

Rusman Widodo
Jumlah ODMK setiap tahun berkecenderungan meningkat.
Tetapi, upaya penanganan ODMK masih minimal. Walhasil,
banyak ODMK yang mengalami pelanggaran HAM. Tulisan ini
fokus pada pemaparan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
menimpa ODMK di berbagai tempat: jalanan, rumah sakit
jiwa, panti sosial, rumah tangga, dan lain-lain. Tulisan ini juga
memberikan saran tentang upaya-upaya yang perlu ditempuh
untuk mengeliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK)
& Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pendahuluan

Sehat, menurut World Health Organization (WHO) atau


Organisasi Kesehatan Dunia, adalah suatu keadaan yang sempurna,
baik­fisik,­mental­maupun­sosial,­tidak­hanya­bebas­dari­penyakit­atau­
kelemahan. Pengertian tersebut mengandung 3 karakteristik, yaitu 1)
Merefleksikan­perhatian­pada­individu­sebagai­manusia,­2)­Memandang­
sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal, dan 3) Sehat
diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif. Intinya sehat,
menurut standar WHO, adalah suatu kondisi sejahtera jasmani-
rohani serta sosial dan ekonomi.

Pasal 1 UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan


kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.

Kesehatan mental (jiwa) diambil dari konsep mental hygiene,


kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti kejiwaan. Kata
mental memiliki persamaan makna dengan kata psyhe yang berasal
dari bahasa Latin yang berarti psikis atau jiwa. Jadi, dapat diambil
kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau
kesehatan mental. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang
dari keluhan dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun
psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial).

Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh stressor


(penyebab terjadinya stres). Orang yang memiliki mental sehat berarti
mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

sendiri dan lingkungannya. Menurut WHO Expert Committee on


Mental Health, ada delapan ciri-ciri mental yang sehat, yaitu:
1. Mampu menyesuaikan diri terhadap kenyataan secara konstruktif,
meskipun kenyataan itu buruk dan pahit.
2. Mampu memperoleh kepuasan dari upaya dan perjuangan
hidupnya.
3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4. Relatif bebas dari ketegangan dan kecemasan (stres).
5. Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong
dan saling memuaskan.
6. Mampu menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran.
7. Mampu mengarahkan rasa permusuhan menuju penyelesaian
yang kreatif dan konstruktif.
8. Memiliki daya kasih sayang yang besar.

Gangguan mental (jiwa) dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal


atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat,
baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stres,
depresi, dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena
adanya penyimpangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan
mental memiliki titik kunci, yaitu menurunnya fungsi mental dan
berpengaruhnya pada ketidakwajaran dalam berperilaku.

Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan


lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses
adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih
aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi, sekaligus melihat
konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk
mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena
selain harus mengetahui potensi individunya, juga harus melihat
konteks sosialnya.

Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, penyakit


mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau gangguan
jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental.
Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca
indra). Penyakit mental ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi
penderita (dan keluarganya). Penyakit mental dapat mengenai setiap

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-


ekonomi.

ODMK atau orang dengan masalah kejiwaaan adalah orang yang


mengalami gangguan mental (jiwa). Istilah ODMK dipakai untuk
menggantikan sebutan orang gila yang sering dipakai masyarakat
awam ketika menyebut orang yang mengalami gangguan mental (jiwa).
Pemakaian istilah orang gila dianggap memberikan stigma negatif,
diskriminatif, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia.

Setiap tahun jumlah ODMK terus bertambah di seluruh dunia.


Data World Health Organization (WHO) pada 2001 menyebutkan
jumlah ODMK di dunia mencapai sekitar 450 juta orang. Di Indonesia,
berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional, seperti
gangguan kecemasan dan depresi, sebesar 11,6% dari populasi orang
dewasa. Artinya, dengan jumlah populasi orang dewasa di Indonesia
lebih kurang 150 juta, maka terdapat sekitar 17,4 juta penduduk
dewasa menjadi ODMK.

Menurut data Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa


Universitas Indonesia, pada 2007 terdapat 12 persen----sekitar 24 juta
dari total penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 200 juta----dari
total penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, sedang,
dan ringan. Sedangkan menurut Profesor Dadang Hawari, jumlah
ODMK di Indonesia mencapai sekitar 50 juta orang.

Pertambahan jumlah ODMK dipicu banyak faktor, seperti stres,


kecewa, kena PHK, tidak memiliki pekerjaan, korban kekerasan, dan
trauma bencana alam. Jumlah yang sangat besar itu berpengaruh
signifikan­ terhadap­ perekonomian­ dunia.­ Sebab,­ produktivitas­ kerja­
orang yang menjadi ODMK akan menurun. Selain berpengaruh secara
ekonomi, ODMK juga memengaruhi tata kehidupan sosial politik dan
budaya.

Meskipun­ keberadaan­ ODMK­ berpengaruh­ signifikan­ terhadap­


perekonomian negara, tapi penanganan terhadap para ODMK masih
sangat tidak memuaskan. Di Indonesia stigma dan diskriminasi
terhadap ODMK terjadi merata di seluruh pelosok negeri.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

Pelanggaran HAM terhadap ODMK

Di mana pun ODMK memijakkan kakinya, dia selalu mendapat


stigma negatif. Para ODMK yang menjadi gelandangan di jalan-
jalan--karena keluarganya tidak mampu mengurusnya--hampir
selalu menjadi bahan ejekan, cemoohan, dicaci maki, bahkan dalam
beberapa kasus diludahi, dilempari batu, dan disuruh pergi. Beberapa
ODMK perempuan yang berparas lumayan cantik sering menjadi
objek pemerkosaan. Biasanya ODMK perempuan ini disuruh mandi
dulu, lalu diberi pakaian yang rapi, diberi makan, setelah itu beramai-
ramai para preman jalanan memerkosanya. Pemerkosaan dilakukan
berulang kali sehingga ODMK perempuan tersebut hamil. Setelah
melahirkan, anaknya diambil oleh yayasan-yayasan sosial.

Para ODMK di jalanan ini hidup dari satu tempat sampah ke


tempat sampah lainnya. Mereka mengais makanan sisa, berebut
dengan kucing atau anjing. Tidur di mana pun dia inginkan. Bahkan,
ada ODMK yang tergilas kereta api karena tertidur di rel kereta api.
Soal pakaian mereka tak peduli lagi, banyak ODMK di jalanan yang
bertelanjang bulat.

Sesekali bila pemerintah daerah menggelar operasi ketertiban


umum, maka para ODMK ditangkapi dengan paksa, dinaikkan ke
mobil, dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti sosial sudah
penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain. Tak aneh
bila antar-kabupaten kadang bersitegang karena tidak mau daerahnya
menjadi tempat penampungan atau tempat pembuangan ODMK dari
daerah lain.

Ternyata nasib ODMK di panti sosial tidak lebih baik dari ODMK
di jalanan. Panti sosial yang menampung ODMK terdapat di daerah
Cengkareng, Cipayung, Ceger, dan Kalideres. Kondisi di tempat
penampungan ini memprihatinkan. Selain ruangan yang terbatas
dan makanan yang tak memenuhi syarat gizi, kiriman obat-obatan
dari Departemen Kesehatan juga tak lancar. Dampaknya selama
2007 dilaporkan ada 257 orang yang meninggal dunia, sedangkan
pada 2008 ada 381 orang yang mati. Bila dihitung rata-rata ada satu
orang meninggal setiap hari. Sebagian besar dari mereka meninggal
dikarenakan kekurangan gizi, diare, dan anemia berat.

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

Selain kurangnya gizi ODMK di penampungan karena makanannya


yang tidak memenuhi syarat gizi, juga karena banyak di antara ODMK
yang enggan makan. Terkadang ODMK yang menolak makan dipukuli
sehingga mereka menjadi tambah sakit. Jatah makan ODMK di panti
sosial adalah Rp 15 ribu untuk 3 kali makan. Dana yang disediakan itu
hanya untuk 200 ODMK. Tapi, kenyataannya jumlah ODMK di panti
jumlah bisa mencapai 433 orang.

Diare menerpa ODMK karena kesehatan lingkungan panti sosial


yang tidak terjaga dengan baik. Kapasitas ruangan yang overload
membuat ruangan yang ditempati ODMK berjubel, jorok, dan kumuh.
Dalam ruangan dengan ukuran 8 x 11 meter persegi bisa berisi 20
orang. Contohnya Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Jalan
Bina Marga, Cipayung, Jakarta Timur, ini yang mampu menampung
230 orang. Namun kenyataannya, ODMK yang ditampung sudah men-
capai 433 orang.

ODMK yang sakit di panti sosial----misalnya diare----biasanya dirujuk ke


rumah sakit (RS) rujukan. Tapi celakanya, RS rujukan sering overload
kapasitasnya. Jika pihak RS menyatakan tidak mampu menampung,
maka pihak panti sosial hanya bisa pasrah sambil menunggu antrean
ruang kosong. Akhirnya ODMK yang sakit dapat meninggal karena
kehabisan cairan.

Nasib ODMK di rumah sakit jiwa (RSJ) konon lebih beruntung.


Benarkah? Ternyata tidak juga. Kondisi RSJ di Indonesia masih serba
terbatas, mirip dengan panti-panti penampungan: ruangan terbatas,
makanan kurang bergizi, suasana mirip penjara, dan jumlah ODMK
melebihi kapasitas.

Di Indonesia saat ini jumlah RSJ hanya ada 34 buah. Pada 2010
menjadi tinggal 32 buah. Dan RSJ itu tidak tersebar merata di seluruh
provinsi di Indonesia. Artinya, ada beberapa provinsi yang tidak
memiliki RSJ.

Di Jakarta sekitar 50 persen pasien RSJ dibiarkan telantar di


bangsal rumah sakit. Para pasien itu telantar karena bila RSJ sudah
menyatakan sembuh, para keluarga pasien cuek; tidak ada niat untuk
membawa kembali ke rumah. Sekitar 30-50 persen dari jumlah pasien

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

RSJ di Jakarta tidak diambil keluarganya. Akibatnya, kapasitas rumah


sakit menjadi tidak mencukupi. Apalagi, dari tahun ke tahun jumlah
ODMK terus bertambah. Perbandingan (rasio) penderita gangguan
jiwa di Indonesia adalah 18,5 orang dari setiap 1.000 orang Indonesia
mengalami gangguan jiwa. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rasio
menurut Survei Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/
WHO) yang menunjukkan bahwa satu (1) dari setiap 1.000 penduduk
dunia mengalami gangguan jiwa.

Para ODMK di RSJ yang tidak dijemput keluarganya, maka bisa


tinggal seumur hidup di RSJ. Bahkan, ada ODMK yang kemudian
bekerja di RSJ ketika sudah sembuh karena tidak tahu harus ke
mana dan bekerja apa. Banyak dari ODMK yang tidak berani pulang
ke rumah karena di rumah sering tidak mendapat perlakuan yang
manusiawi. Mereka memilih tetap di RSJ walaupun kondisinya serba
terbatas.

Lantas bagaimana nasib ODMK yang tinggal bersama keluarganya?


Di Indonesia setidaknya ada 4 tipe keluarga dalam menghadapi ODMK.
Pertama adalah keluarga kaya dan peduli pada ODMK. Kedua adalah
keluarga kaya, tapi tidak peduli pada ODMK. Ketiga adalah keluarga
miskin dan peduli pada ODMK. Keempat, keluarga miskin dan tidak
peduli pada ODMK.

Beruntunglah ODMK yang memiliki keluarga yang kaya dan


peduli pada nasibnya. Biasanya keluarga seperti ini akan terus
berjuang mencari obat untuk kesembuhan anggota keluarganya yang
menjadi ODMK. Mereka akan menempuh segala cara untuk mencari
pengobatan, baik alternatif, mistis, herbal, maupun ilmiah. Mereka
tidak malu dan tidak merasa ODMK sebagai aib. Mereka percaya
ODMK bisa diobati, dan mereka sangat percaya dukungan keluarga
menjadi sarana utama untuk menunjang kesembuhan ODMK. Tapi,
keluarga yang seperti itu sangat sedikit jumlahnya.

Mayoritas keluarga di Indonesia masih menganggap ODMK


sebagai aib. Maka, bila ada anggota keluarganya yang menjadi ODMK,
mereka memilih menyembunyikannya, mengucilkannya, atau bahkan
menelantarkannya, membuangnya, atau tidak mengakuinya sebagai
anggota keluarganya. Dengan dalih untuk menjaga keselamatan

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

semua pihak, maka bila ada anggota keluarganya yang menjadi


ODMK, keluarga di Indonesia memilih untuk memasungnya, terutama
bila tidak mampu membawanya ke RSJ atau tidak mampu membiayai
pengobatannya.

Pasung terjadi hampir di seluruh pelosok Tanah Air. Di Jombang,


Jawa Timur, ada cerita memiriskan yang dialami Luluk Komariyah.
Perempuan berusia 33 tahun ini tinggal di Dusun Kucung, Desa
Banyuarang, Kecamatan Ngoro, Jombang, Jawa Timur. Luluk dipasung
oleh ayahnya, Imam Mansyur atau Surdi, sejak usia 18 tahun gara-
gara mengalami gangguan jiwa. Alasan pemasungan adalah untuk
memudahkan mengontrol dan menjaga hal terburuk apabila Luluk
tiba-tiba mengamuk. Selama dipasung Luluk mengalami tindakan
pemerkosaan. Tercatat Luluk pernah melahirkan hingga empat kali.
Belum diketahui lelaki yang menghamili Luluk. Anak-anak Luluk
diasuh oleh orang lain.

Berkat dorongan dari media massa dan Woman Crisis Centre


Jombang, Pemerintah Kabupateng Jombang bersedia turun tangan.
Luluk akhirnya dirawat di Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang.
Setelah­menjalani­perawatan­intensif,­kondisi­fisik­dan­psikologi­Luluk­
membaik. Kini Luluk dirawat di Rumah Sakit Jiwa Lawang.

Kisah pasung lainnya berasal dari Aceh. Cut Manyak, 56 tahun,


warga Rhing Krueng, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya,
memasung suaminya, Mahmud, 68 tahun, hampir 30 tahun lamanya.
Mahmud dipasung di sebilah kayu besar. Di kayu itu terdapat dua
lubang untuk memasung kedua kaki suaminya. Pemasungan itu
dilakukan karena Mahmud mengalami gangguan jiwa yang muncul
secara tiba-tiba. Menurut Cut Manyak, tindakannya bertujuan untuk
mencegah agar suaminya tidak diganggu atau dipukul orang lain.
Kondisi seperti yang dialami Mahmud juga dialami ratusan warga
Aceh lainnya. Di Aceh ada sekitar 200 penderita gangguan jiwa yang
dipasung oleh keluarganya.

Di Depok, Provinsi Jawa Barat, dua orang pemuda kakak beradik


bernama Asmadi, 26 tahun, dan Ahmad, 21 tahun, dipasung karena
mengalami gangguan jiwa. Mereka dipasung karena sering mengamuk
dan membahayakan warga sekitarnya. Asmadi dan Ahmad dipasung

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

dalam kondisi bugil di tempat yang berbeda. Asmadi dipasung di kebun


milik warga yang terletak di samping rumahnya, sedangkan Ahmad
dipasung tepat di depan rumah.

Asmadi dipasung dengan rantai yang dipaku ke dalam tanah,


sedangkan Ahmad hanya dirantai di samping amben atau kasur kayu.
Ayah kedua pemuda tersebut, Yahya, mengatakan, Asmadi, anak
pertamanya, sudah dipasung selama tiga tahun.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Mahyidin dipasung keluarganya


selama satu setengah tahun. Kakinya dijepit bongkahan balok kayu.
Tangannya kadang juga dirantai. Pemuda berusia 21 tahun warga Desa
Jago, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat (NTB), itu dipasung karena mengalami gangguan jiwa setelah
pulang kerja dari Malaysia.

Mahyidin hanyalah satu dari puluhan eks tenaga kerja Indonesia


(TKI) yang mengalami gangguan jiwa setelah pulang dari Malaysia.
Banyak TKI yang mengalami gangguan jiwa karena mereka
mengalami tekanan di semua tahap pengiriman TKI, mulai rekrutmen,
penampungan, pemberangkatan, penempatan, pemulangan, hingga
pasca-pemulangan. Pemerintah tidak memberikan dukungan
fasilitas yang memadai terhadap para TKI. Padahal, mereka adalah
penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas.

Bila TKI mengalami masalah di luar negeri, pemerintah tidak


menyediakan tenaga konseling kejiwaan. Bahkan, ketika TKI diburu
seperti anjing oleh aparat Pemerintah Malaysia atau negara lain
di mana dia berada, pemerintah malah tutup mata. TKI dibiarkan
mengurus nasibnya sendiri: yang kuat akan tetap hidup, yang tidak
kuat akan mati atau mengalami gangguan jiwa. TKI yang menderita
gangguan jiwa ini, antara lain, dapat ditemui di daerah Nunukan.
Mereka dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan. Mereka adalah mantan
TKI yang bekerja di Malaysia. Di beberapa daerah transit lainnya juga
sering ditemui TKI yang mengalami gangguan jiwa.

Selain TKI yang menjadi ODMK, di penjara juga banyak narapidana


yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi penjara di Indonesia yang
overload, tidak memenuhi standar kesehatan, makanan yang tidak

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

bergizi, dan aparat yang kurang bersahabat menyebabkan banyak


narapidana menjadi stres. Celakanya ketika stres, pihak pengelola
penjara tidak menyediakan tenaga konseling kejiwaan (psikiater).
Malahan, narapidana yang stres sering mendapat perlakuan yang
tidak manusiawi, seperti dipukuli, dicaci maki, dan diisolasi.

ODMK sepertinya tak mendapat tempat yang layak untuk


mempertahankan hak-haknya sebagai manusia dan untuk memulihkan
dirinya. Hampir di semua lingkungan dia mendapat perlakuan yang
tidak manusiawi.

Hak-hak ODMK di bidang sipil politik (sipol) dan ekonomi sosial


budaya (ekosob) tak lagi diabaikan oleh negara. Di bidang politik, pada
Pemilu 2009 hak pilih ODMK tidak diakomodasi oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Indonesia. KPU tidak menyediakan tempat pemungutan
suara (TPS) di RSJ. Jangankan RSJ, di rumah sakit umum (RSU) saja
KPU tidak menyediakan TPS.

KPU menganggap ODMK tidak memiliki hak pilih karena Pasal


14 (a) UU Pemilu menyatakan bahwa syarat untuk menjadi pemilih
harus nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya. Pasal
ini seharusnya tidak diterapkan secara otomatis terhadap semua
ODMK. Karena, menurut catatan klinik-klinik perawatan, lebih dari
80 persen ODMK mengerti dan mampu membedakan mana perilaku
sosial yang baik dan mana yang buruk. Tentunya, mereka tidak akan
mengalami kesulitan kalau sekadar mencontreng tanda gambar pada
pemilu.

Di bidang kesehatan, ODMK sering tidak mendapat layanan jika


berobat menggunakan kartu asuransi keluarga miskin (gakin). Mereka
juga tidak dilayani di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat.
Padahal, puskesmas adalah ujung tombak layanan kesehatan yang
sangat diandalkan masyarakat. Hanya ada beberapa puskesmas yang
menyediakan layanan khusus ODMK. Yang jelas, layanan kesehatan
untuk ODMK dari segi availability (ketersediaan), accessibility (adanya
akses), acceptability (dapat diterima menurut etika dan kebudayaan),
dan quality (kualitas) masih sangat memprihatinkan.

Di bidang ekonomi, ODMK atau mantan ODMK juga kesulitan

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka dianggap tidak cakap


bekerja dan berbahaya bagi orang lain. Di bidang yang lain, ODMK
atau mantan ODMK masih terus mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif.

Penutup

Nasib ODMK yang terpinggirkan dan memprihatinkan akan


terus terjadi bila tidak ada upaya-upaya konkret untuk menghapus
stigma dan diskriminasi terhadap mereka. Penghapusan stigma dan
diskriminasi merupakan langkah awal untuk mengeliminasi segala
bentuk pelanggaran HAM terhadap ODMK.

Upaya eliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK dapat


dilakukan melalui berbagai upaya. Pertama, adalah upaya pencegahan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan kampanye dan
penyuluhan kepada masyarakat tentang ODMK. Persepsi publik yang
selama ini keliru terhadap ODMK perlu diluruskan. Masyarakat harus
diedukasi secara aktif untuk lebih peduli kepada ODMK. Program
penyuluhan ini harus terus berkelanjutan, terarah, dan terpadu.

Kedua, upaya pengobatan. Untuk mengobati ODMK, negara


wajib menyediakan layanan kesehatan sesuai dengan standar WHO.
Penyediaan layanan tersebut dapat dilakukan secara bertahap,
terarah, dan terpadu. Negara harus memperbaiki sarana dan
prasarana kesehatan untuk ODMK yang saat ini sudah ada. Negara
juga harus menyediakan anggaran yang memadai, memperbanyak
tenaga medis dan memperbaiki kualitasnya, serta menyediakan obat-
obatan yang memadai. Dan yang tak kalah penting, negara harus
segera menyediakan layanan kesehatan untuk ODMK di puskesmas-
puskesmas. Puskesmas memiliki peran vital karena jumlahnya lebih
dari 8.000 di seluruh Indonesia dan mudah dijangkau masyarakat.

Ketiga, upaya rehabilitasi. Rehabilitasi harus dilaksanakan sebagai


program yang terintegral dengan pengobatan. Sebab, selama ini banyak
ODMK yang sudah ditetapkan sembuh kemudian kambuh lagi karena
tidak adanya upaya rehabilitasi secara konkret. Upaya rehabilitasi
akan sangat efektif bila melibatkan peran serta masyarakat dan
keluarga secara aktif.

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

Selain tiga upaya di atas, negara sebagai pemangku kewajiban


untuk pemenuhan HAM ODMK juga harus segera membenahi sektor
kebijakan yang menyangkut ODMK. Kebijakan-kebijakan terkait
ODMK perlu dibenahi, ditata ulang, dan diselaraskan dengan semangat
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ODMK.

Kepustakaan
1. Hasyim dkk, M. Fuad., Agama dan Kesehatan Mental, http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/19/agama-dan-
kesehatan-mental/.
2. Irmansyah, ahli kesehatan jiwa di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”Biarkan Penderita Gangguan
Jiwa Ikut Pemilu”. Kompas.
3. http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit-menurut.html.
4. http://www.forumbebas.com/thread-55139.html.
5. “Perawatan Orang Gila di Panti Tak Manusiawi, Tak Mau Makan, Kurang Gizi, Dipukuli, Tewas”, http://www.metrobalikpapan.
co.id/index.php?mib=berita.detail&id=15609.
6. “Panti Laras Krisis Obat dan Kekurangan Obat Sakit Gila”, http://www.hupelita.com/baca.php?id=71367.
7. Nograhany Widhi K. “50% Orang Gila Terlantar di RSJ”, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/
tgl/08/time/143537/idnews/839391/idkanal/10.
8. Melly Febrida. “Overload-nya Panti Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa”, http://www.detiknews.com/read/2007/10/02/181121/8
36992/10/overload-nya-panti-rehabilitasi-pasien-gangguan-jiwa.
9. “Nasib Jadi TKI di Malaysia, Mereka Teraniaya hingga Gila”, http://www.gatra.com/2002-06-10/artikel.php?id=18148.
10. “Orang Gila Berkeliaran”, http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/46507.
11. “Jumlah Orang Gila Menggila”, http://hariansib.com/?p=45980.
12. “Sakit Jiwa (1) Pasung di Kampung Stres”, http://www.vhrmedia.com/Pasung-di-Kampung-Stres-kisah1784.html.
13. Kunjungan Staf RSJ & Mahasiswa Norwegia, “Pasung, Antara Cinta dan Pelanggaran HAM”, http://serambinews.com/news/
view/16207/pasung-antara-cinta-dan-pelanggaran-ham.
14. “Orang Tua Pasung Kakak Beradik Tiga Tahun di Depok”, http://cilacap-online.com/berita-nasional/198-orangtua-pasung-ka
kak-beradik-tiga-tahun-di-depok.pdf.
15. Wikipedia bahasa Indonesia, “Penyakit mental”, http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_jiwa.
16. “Sakit Jiwa = Aib?”, http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1045.
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


Kesehatan Jiwa
dalam Perspektif Global

Hervita Diatri
Meskipun banyak faktor psikososial yang terjadi saat ini pada
masyarakat dan berpotensi besar menyebabkan masalah
kesehatan jiwa, namun perhatian terhadap aspek kesehatan
jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi
akibat kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah
kesehatan jiwa. Akibatnya manajemen yang komprehensif,
melibatkan banyak sektor, dan mampu melindungi hak asasi
orang dengan gangguan jiwa menjadi sulit untuk diciptakan.
Hal tersebut berujung pada tidak tertatalaksananya masalah
kesehatan jiwa dengan baik dan membawa dampak negatif bagi
individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.

Tulisan ini dibuat dengan cara mengelaborasikan beberapa


sumber pustaka, baik lokal maupun internasional, untuk membandingkan kondisi yang ada
di Indonesia dengan kondisi yang ada secara global. Beberapa data penelitian digabungkan
dengan pendapat kualitatif dari beberapa ahli di bidang kesehatan jiwa juga disajikan.

Data-data tersebut diharapkan akan mampu memberikan gambaran tentang besarnya


masalah kesehatan jiwa, termasuk dampak yang diakibatkan. Tulisan ini juga akan
memberikan pemahaman mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa beserta
klasifikasinya. Kesemuanya ditujukan untuk semakin meningkatkan pemahaman dan
kesadaran bahwa masalah kesehatan jiwa tidak bisa dipisahkan dari masalah kesehatan,
dan merupakan masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama setiap unit dalam
struktur masyarakat dan berbagai sektor terkait.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


Kesehatan Jiwa
dalam Perspektif Global

No Health without Mental Health1

K
enyataan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa
sesuai dengan slogan di atas memang nyata menjadi sebuah
kebutuhan bagi semua orang. Slogan lain seperti Men Sana in
Corpore Sano, ”di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”,
menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak dapat dipisahkan dari
kesehatan jiwa.

Kesehatan merupakan kebutuhan hidup setiap manusia. Karena,


kesehatan memungkinkan seseorang untuk dapat hidup produktif.
­Definisi­kesehatan­yang­dianut­sampai­sekarang­pada­dasarnya­mengacu­
pada preambule dari WHO Constitution 1948 yang menyebutkan bahwa:

Health is a state of complete physical, mental, and social wellbeing,


not­merely­the­absence­of­diseases­or­infirmity.­The­enjoyment­of­the­
highest attainable standard of health is one of the fundamental rights
of every human being without distinction of race, religion, political
belief, economic or social condition.

Berdasarkan­definisi­di­atas,­jelaslah­bahwa­kebutuhan­akan­“sehat”­
yang­ dimaksud­ tidak­ hanya­ meliputi­ kesehatan­ fisik,­ melainkan­
juga kesehatan mental/jiwa dan sosial dengan porsi yang seimbang,
memandang manusia secara utuh.2

Hal serupa juga diakomodasi dalam UU RI tentang Kesehatan No. 23


Tahun 2009 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat,

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

baik­secara­fisik,­mental,­spritual­maupun­sosial,­yang­memungkinkan­
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi,
sebenarnya tersirat di sini bahwa kesehatan jiwa adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari kesehatan (bagian integral) dan unsur utama
dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup yang utuh. Sejahtera
sebenarnya tidak dapat diukur semata-mata hanya secara sosial mau-
pun ekonomis.1,3

Memperhatikan secara khusus kondisi di Indonesia yang masih


terus berlangsung hingga saat ini terkait banyaknya kejadian
bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan isu psikososial
lainnya, masyarakat memiliki potensi masalah kesehatan jiwa yang
cukup tinggi. Potensi tersebut tidak secara eksklusif berdampak bagi
sekelompok orang, namun seluruh masyarakat Indonesia, terutama
kelompok masyarakat yang rentan, seperti anak, perempuan, usia
lanjut, para pengungsi, dan kelompok minoritas lainnya. Data Riset
Kesehatan Dasar tahun 20074 di 33 provinsi dan 440 kabupaten/
kota menunjukkan bahwa gangguan mental emosional (depresi dan
anxietas) dialami oleh sekitar 11,6% populasi usia di atas 15 tahun
(24.708.000 orang). Sedangkan sekitar 1.065.000 orang (0,48% populasi)
mengalami gangguan jiwa berat (psikosis).

Meskipun data menunjukkan angka kebutuhan yang cukup besar


dan mendesak, ironisnya masalah kesehatan jiwa masih dipandang
sebelah mata dan termarginalkan dalam rencana pembangunan
kesehatan manusia Indonesia. Banyak faktor yang berpengaruh untuk
terciptanya kondisi ini. Salah satunya adalah kurangnya pengertian
dan informasi mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa,
faktor potensial yang menjadi latar belakang timbulnya masalah
kesehatan jiwa, dampak yang akan ditimbulkan pada kehidupan
individu tersebut, serta bagaimana seharusnya masalah kesehatan
jiwa dapat dikelola. Tulisan ini akan membahas keseluruhan aspek
informasi yang diperlukan tersebut.

Apa Itu Kesehatan Jiwa

Berbicara tentang kesehatan jiwa artinya bukan sekadar terbebas


dari gangguan jiwa, namun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh
semua­orang.­Definisi­kesehatan­jiwa­menurut­WHOe adalah perasaan

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

sehat dan bahagia, serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat


menerima orang lain sebagaimana adanya, dan mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Jadi, kesehatan jiwa meliputi:

a. Bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya. Perasaan nyaman


terhadap diri sendiri dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk:
• menghadapi berbagai perasaan, seperti rasa marah, takut,
cemas, cinta, iri, rasa bersalah, dan rasa senang,
• mengatasi kekecewaan dalam kehidupan,
• mempunyai harga diri yang wajar,
• menilai dirinya secara nyata, tidak merendahkan, dan tidak
pula berlebihan, dan
• merasa puas dengan kehidupan sehari-hari.

b. Bagaimana perasaan seseorang terhadap orang lain. Perasaan


nyaman terhadap orang lain dapat dilihat dari kemampuan
seseorang untuk:
• mencintai dan menerima cinta dari orang lain,
• mempunyai hubungan pribadi yang tetap,
• mempercayai orang lain,
• menghargai pendapat orang lain yang berbeda,
• menjadi bagian dari kelompok, serta
• tidak memperdaya orang lain dan tidak membiarkan dirinya
diperdaya oleh orang lain.

c. Bagaimana cara seseorang mengatasi stres yang terjadi dalam


kehidupan sehari-hari. Aspek tersebut membahas kemampuan
seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam hal:
• menetapkan tujuan hidup yang nyata untuk dirinya,
• mengambil keputusan,
• menerima tanggung jawab,
• merancang masa depan,
• menerima ide dan pengalaman baru, dan
• merasa puas dengan pekerjaannya.

Kapan Seseorang Disebut Memiliki Gangguan Jiwa

Berdasarkan data WHO tahun 2001 secara global dijumpai 450 juta
penduduk dunia mengalami gangguan jiwa, dengan rincian 150 juta

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

(33,3%) di antaranya menderita gangguan depresi, 90 juta gangguan


penggunaan zat dan alkohol, 38 juta epilepsi, 25 juta skizofrenia, serta
hampir 1 juta melakukan bunuh diri setiap tahun.5

Data besaran masalah kesehatan jiwa yang lain menunjuk-


kan bahwa 25% dari seluruh penduduk dunia pernah mengalami
sedikitnya satu kali gangguan jiwa dan perilaku pada suatu masa
dalam hidupnya. Gangguan jiwa adalah suatu kondisi klinis dalam
pikiran, perilaku, dan suasana perasaan yang menimbulkan penderi-
taan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan fungsi
psikososial (pendidikan, pergaulan, pekerjaan, dan pemanfaatan
waktu senggang).1,6,7 Gangguan jiwa yang sering ditemui di masyara-
kat, di antaranya:8

a. Gangguan Jiwa Psikotik


Gangguan psikotik merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan
adanya hendaya (ketidakmampuan) berat dalam menilai kenyataan/
realitas atau dalam membedakan antara fantasi dan realitas. Gejala-
gejala yang muncul, di antaranya adalah waham, halusinasi, hendaya
berat dalam perawatan diri, dalam fungsi sosial (misalnya menarik
diri dari pergaulan sosial), serta dalam pekerjaan sehari-hari/yang
biasa dilakukan.

b. Gangguan Jiwa Non-psikotik


Kelompok gangguan jiwa ini menunjukkan suatu kondisi gangguan
jiwa tanpa hendaya dalam menilai kenyataan/realitas atau dalam
membedakan antara fantasi dan realitas. Gangguan yang sangat
beragam dan sering dijumpai ini, antara lain:

- Gangguan Depresi
Adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh perasaan sedih yang
mendalam dan hilangnya minat terhadap hal-hal yang biasanya
dinikmati. Berhubungan dengan gangguan jiwa ini, bunuh
diri merupakan gejala yang perlu mendapat perhatian karena
merupakan penyebab kematian kedua di Eropa setelah kecelakaan
lalu lintas, sementara di Cina bunuh diri merupakan penyebab
utama kematian pada usia 15-35 tahun. Di Indonesia sendiri angka
terjadinya bunuh diri dirasakan semakin meningkat saat ini.
Namun sayangnya, belum ada data yang menunjukkan hal ini.

20 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

- Anxietas/Kecemasan
Adalah gangguan jiwa yang ditandai adanya kecemasan yang
berlebihan dan muncul dalam berbagai gejala, antara lain pikiran
yang terus berulang tanpa bisa dikendalikan (obsesif), tindakan
berulang yang tidak bisa dikendalikan untuk menjalankan pikiran
obsesif (kompulsif), rasa takut yang berlebihan terhadap suatu
obyek­ atau­ suatu­ hal­ (fobia),­ maupun­ gejala-gejala­ penyakit­ fisik­
yang tidak dapat diterangkan (hipokondriasis dan somatisasi).

- Kelompok gangguan jiwa lain yang juga perlu mendapat


perhatian terkait dengan masalah dan disabilitas yang
ditimbulkannya adalah:

1. Gangguan mental organik. Ini meliputi berbagai gangguan jiwa


yang disebabkan oleh adanya penyakit, serta cedera atau rudapak-
sa otak yang berakibat disfungsi otak.
2. Penyalahgunaan zat psikoaktif. Penggunaan zat psikoaktif yang
menyebabkan terjadinya ketergantungan dapat menimbulkan
gangguan pada fungsi pekerjaan dan pergaulan sosial. Prevalensi
gangguan penggunaan zat psikoaktif sangat bervariasi menurut
zat yang digunakan di berbagai tempat dan berbagai kelompok
dalam populasi. Di samping penggunaan rokok, penyalahgunaan
alkohol umumnya banyak dijumpai. Perkiraan prevalensi global
untuk penggunaan zat adalah 2,8% pada laki-laki dan 0,5% pada
perempuan, dengan variasi yang sangat luas.
3. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa. Ini mencakup
berbagai keadaan dan pola perilaku yang cenderung menetap dan
merupakan ekspresi dari gaya hidup yang khas dari individu serta
cara berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Termasuk
di dalamnya berbagai macam gangguan kepribadian (gangguan
kepribadian ambang, antisosial, paranoid, dan lain-lain); gangguan
kebiasaan dan impuls (judi patologis, bakar patologis, curi patologis,
dan lain-lain); gangguan identitas jenis kelamin, gangguan preferensi
seksual­ (pedofilia,­ sadomasokisme,­ dan­ lain-lain);­ serta­ gangguan­
psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan
dan orientasi seksual.
4. Gangguan perkembangan jiwa pada anak dan remaja. Termasuk
dalam kelompok gangguan ini adalah retardasi mental, gangguan
jiwa yang terjadi (muncul) pada masa kanak dan remaja, yang

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 2


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

ditandai oleh keterlambatan perkembangan fungsi akibat dari


gangguan pada proses perkembangan biologis (susunan saraf).
Gangguan ini berlangsung terus-menerus serta sering mengalami
kekambuhan, walau akan berkurang dengan bertambahnya usia
anak. Di negara kaya dijumpai 3% populasi mempunyai IQ kurang
dari 70%, sementara hanya 4 per 1.000 mempunyai IQ kurang dari
50% (tergolong dalam retardasi mental sedang dan berat). Data lain
menunjukkan tingginya insiden retardasi berat di negara miskin.

Keterangan di atas secara jelas menggambarkan bahwa masalah


kesehatan jiwa sangat bervariasi dan menuntut perhatian yang tidak
sedikit. Perhatian terutama ditujukan untuk mencegah masalah
tersebut terjadi atau mengatasi sebab dari masalah.

Bagaimana Gangguan Jiwa Bisa Terjadi

Penelitian dan pembahasan mengenai sebab timbulnya atau


meningkatnya problem kesehatan jiwa di masyarakat menjadi
pembicaraan dan perdebatan, mulai dari masyarakat umum hingga
tingkat ilmiah. Konsep bio-psiko-sosial memandang manusia dan
permasalahannya dengan sangat kompleks.8

Faktor biologis saat ini menjadi fokus perhatian para peneliti dengan
semakin berkembangnya kemampuan untuk mendeteksi hingga
tingkat sel. Penelitian genetik menunjukkan bahwa pada beberapa
kasus angguan jiwa, seperti skizofrenia dan gangguan afektif bipolar,
faktor genetik berperan sebagai faktor predisposisi penting untuk
merencanakan aspek preventif. Penelitian lain menunjukkan secara jelas
perubahan keseimbangan berbagai macam zat kimia otak sebagai dasar
terjadi gangguan jiwa. Hal ini berdampak secara positif pada semakin
berkembangnya berbagai jenis terapi psikofarmaka yang tersedia.

Beberapa penyakit yang memengaruhi susunan saraf pusat berpotensi


untuk menjadi penyebab gangguan fungsi otak, terutama pada aspek
pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Penyakit infeksi (termasuk TBC
dan HIV/AIDS), trauma kepala, penyakit vaskuler yang berhubungan
dengan perubahan pola hidup, degeneratif, dan gangguan tumbuh
kembang pada anak akibat malnutrisi masih menjadi masalah klasik
penyebab gangguan jiwa di negara berkembang, termasuk Indonesia.

22 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

Hubungan lain aspek biologis dan gangguan jiwa tergambar pula


secara kompleks pada kasus komorbiditas antara gangguan jiwa dengan
penyakit­ fisik.­ Depresi­ dan­ anxietas­ merupakan­ komorbiditas­ yang­
sering dijumpai pada penyakit tidak menular, seperti pada penyakit
jantung koroner, infark miokard, dan diabetes tipe II. Tahun 2003, WHO
melaporkan­ prevalensi­ depresi­ pada­ berbagai­ penyakit­ fisik,­ antara­
lain tuberkulosis (46%), HIV/AIDS (44%), kanker (33%), stroke (31%),
epilepsi ( 30%), hipertensi (29%), DM (27%), miokard infark (22%), dan
10% depresi dijumpai pada populasi umum. Penyakit menular seperti
HIV/AIDS merupakan faktor risiko depresi dan gangguan kognitif.
Depresi juga dikaitkan dengan kepatuhan berobat terhadap anti retro
viral. Kesehatan reproduksi (ibu dan anak) dijumpai hubungan antara
gangguan jiwa dan gangguan ginekologik. Depresi ibu dihubungkan
dengan­perkembangan­fisik­dan­psikologik­bayi­yang­buruk.­

Globalisasi memungkinkan luasnya jaringan dan mudahnya


akses, termasuk terhadap penyalahgunaan zat. Masalah kesehatan
jiwa yang diakibatkannya tidak hanya berhubungan dengan dampak
penggunaan langsung (akibat intoksikasi, putus zat), namun juga efek
jangkapanjang, seperti sindrom amotivasional pada penyalahgunaan
ganja dan gejala paranoid akibat penyalahgunaan amfetamin jenis
stimulan.

Faktor psikologis yang berhubungan dengan pola asuh,


pembentukan citra diri, interaksi individu, dan pola pemecahan
masalah memengaruhi kerentanan seseorang terhadap masalah
kesehatan jiwa. Sebagai contoh, urbanisasi yang menuntut kompetisi
dalam segala hal berdampak pada terabaikannya mutu interaksi dan
curah ekspresi di dalam keluarga. Pola asuh yang tidak konsisten,
atau pola interaksi dengan kekerasan, memengaruhi mekanisme
pemecahan masalah dan koping terhadap stresor.

Problem kemiskinan, kondisi sosial ekonomi yang cenderung tidak


stabil,­ pengangguran,­ konflik,­ bencana,­ stigma,­ diskriminasi,­ serta­
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mengubah tatanan sosial
yang ada di masyarakat secara bermakna. Kemajuan di bidang informasi
yang memperluas akses terhadap berbagai macam informasi sedikit
banyak berpengaruh pada pola pikir, perasaan, dan tingkah laku para
pengguna layanan informasi tersebut. Satu sisi yang perlu mendapat

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 2


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

perhatian adalah ketika informasi tersebut sulit untuk disaring, baik


dari jenis tayangan maupun pengguna layanannya. Sebagai contoh,
paparan terhadap tindak kekerasan, berbagai peristiwa bunuh diri,
maupun­seksualitas­dan­pornografi­bila­dikonsumsi­oleh­anak­maupun­
remaja secara bebas, berpotensi terjadinya masalah, seperti bunuh diri
pada anak, tawuran atau perilaku seksual bebas.

Kemiskinan,­ gangguan­ fisik,­ dan­ gangguan­ jiwa­ dapat­ digambar-


kan sebagai sebuah lingkaran yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Beberapa gangguan jiwa yang dikaitkan dengan kemiskinan
adalah bunuh diri, gangguan mental emosional (depresi dan anxietas),
gangguan penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif (1,5%) masalah
perkembangan anak dan remaja, serta gangguan stres pasca-trauma
akibat tindak kekerasan dan trauma psikososial lain (penggusuran
dan kriminalitas).

Dampak yang Ditimbulkan oleh Gangguan Jiwa

Sesuai­dengan­definisinya,­gangguan­jiwa­menimbulkan­disfungsi­
dan hendaya (penderitaan) bagi diri dan orang lain. Hal itu tentu saja
berkaitan dengan kata produktivitas. Berbicara tentang kesehatan
dan produktivitas, beberapa data menunjukkan bahwa masalah ke-
sehatan jiwa memengaruhi tingkat produktivitas individu secara
umum, bahkan menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan
memengaruhi indeks pembangunan manusia (human developmental
index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia.

Sekretariat Negara menyebutkan bahwa Indeks Daya Saing Indonesia


tahun 2007 berada di peringkat ke-5 dan Indeks Pembangunan Manusia
berada di peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN.9 Data lain dari Global
Competitive Rate (GCR) yang dihitung dan dianalisis oleh World Economic
Forum bekerja sama dengan berbagai organisasi lokal di masing-masing
negara, melaksanakan survei selama 2 tahun pada 134 negara di dunia
menampilkan performa Indonesia di tahun 2008-2009 ada pada peringkat
ke-55, turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.j Kondisi
ini menunjukkan secara nyata kebutuhan masyarakat akan upaya
peningkatan kesehatan jiwa sangatlah mendesak.

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

Sebuah penelitian tingkat dunia yang menghitung disability-


adjusted life years (DALYs)10 menunjukkan bahwa gangguan jiwa
adalah kelompok penyakit tertinggi yang mengakibatkan beban. Data
DALYs dari World Health Report tahun 2002 menunjukkan bahwa
gangguan neuropsikiatri menimbulkan beban besar dibandingkan
­penyakit­ akibat­ trauma­ fisik­ (injuries) dan HIV/AIDS. Data lain,
DALYs dari Australial menunjukkan bahwa di antara kelompok
penyakit tidak menular gangguan neuropsikiatri (khususnya depresi,
penyalahgunaan zat psikoaktif, dan skizofrenia) menimbulkan
beban yang lebih tinggi dibandingkan kelompok penyakit pembuluh
darah dan kanker. Selanjutnya dari data DALYs Australia tersebut
menunjukkan bahwa pada kelompok usia produktif (15-34 tahun),
gangguan jiwa seperti anxietas dan depresi menjadi gangguan tertinggi
yang menghasilkan peningkatan beban.4

Beban terkait gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu,


melainkan juga sistem lain (keluarga dan masyarakat). Sebagai
contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak paripurna akan
berdampak pada meningkatnya risiko tindakan kekerasan yang
sering kali tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap
berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak kekerasan
terhadap diri sendiri, yang salah satunya berupa tindakan bunuh
diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu
sisi semakin meningkatkan stigma dan diskriminasi terhadap orang
dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang
“tidak mampu”.

Stigma dan diskriminasi mengakibatkan hilangnya banyak


kesempatan, baik bagi penderita maupun keluarga. Kesempatan
meliputi banyak hal, mulai dari kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, pekerjaan, termasuk kesempatan untuk berperan sebagai
bagian dari masyarakat, misalnya kehilangan hak suara dalam
pemilihan umum, hingga kehilangan akses untuk mendapat fasilitas
layanan kesehatan yang memadai karena kurangnya perhatian
terhadap masalah kesehatan jiwa. Semua kondisi ini merujuk pada
masalah pengangguran, kemiskinan, gelandangan, dan berbagai
macam perlakuan salah dan tindak kekerasan.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 2


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

Beban yang diterima oleh keluarga tidak jauh berbeda dengan


apa yang dialami penderita, baik secara ekonomi, sosial maupun
psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena ketidaktahuan keluarga
untuk berperan membantu, termasuk ketidakmampuan untuk
mengakses layanan kesehatan jiwa yang lebih disebabkan karena
ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat masyarakat. Kondisi
terakhir diperjelas dengan data penelitian yang melibatkan 15 kasus
pasung di Kabupaten Samosir. Data tersebut menunjukkan bahwa
lebih dari 70% penderita yang dipasung pernah menjalani perawatan
di sarana kesehatan jiwa, namun tidak dapat dilanjutkan karena
masalah ekonomi dan besarnya upaya untuk bisa menjangkau
layanan kesehatan tersebut.13

Perlakuan salah hingga pemasungan sering kali dipicu oleh


semua beban ini. Dharmono, dkk (2006)14 dalam survei yang
dilakukan terhadap penderita skizofrenia yang dirawat di empat
tempat perawatan khusus di Jakarta dan Bogor melaporkan bahwa
61,7% penderita mengalami berbagai perilaku tidak menyenangkan,
seperti­ kekerasan­ fisik,­ kekerasan­ emosional,­ kekerasan­ seksual,­
kekerasan ekonomi, penelantaran, dan berbagai campuran tindak
kekerasan di atas. Tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh
berbagai pihak, terutama oleh keluarga (50,6%), selebihnya oleh
tetangga, perawat RS, teman, orang lain, polisi, petugas sosial, dan
dokter RS.

Penelitian mengenai pasung di Kabupaten Samosir dan Nanggroe


Aceh Darussalam juga menunjukkan bahwa penyebab terjadinya
pemasungan oleh keluarga lebih banyak terkait dengan tindakan
penyelamatan dan perlindungan.15,16 Tindak penyelamatan yang
dimaksud, baik bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
maupun masyarakat.

Dari semua gambaran di atas, jelas bahwa masalah kesehatan


jiwa tidak hanya menimbulkan dampak bagi penderita, namun
juga keluarga, masyarakat, hingga negara. Jelas pula tergambar
bahwa masalah kesehatan jiwa bukan monopoli sektor kesehatan
saja, karena dampak yang terjadi juga terkait dengan sektor sosial,
pendidikan, ketenagakerjaan dan produktivitas, serta keamanan
dan hukum. Perhatian dan kerja sama lintas sektor terkait mutlak

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

diperlukan untuk menurunkan dampak tersebut yang akan


berujung pada peningkatan kualitas hidup penderita, keluarga, dan
masyarakat.

Tantangan dan Solusi

Masalah kesehatan jiwa sangatlah kompleks. Artinya, tidak hanya


berdampak bagi individu, juga bagi keluarga dan masyarakat, bahkan
hingga tingkat tatanan negara. Masalah kesehatan jiwa bukan hanya
masalah sektor kesehatan, namun juga menyangkut sektor non-
kesehatan. Sayangnya perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa
sangatlah minim. Kesehatan jiwa masih belum menjadi prioritas,
seolah kesehatan jiwa bukan menjadi bagian dari kesehatan,
meskipun data-data telah menunjukkan bahwa masalah kesehatan
jiwa mengakibatkan beban terbesar di antara semua penyakit.

Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya


informasi dan pemahaman banyak pihak tentang kesehatan jiwa,
mulai dari tingkat individu di tatanan masyarakat hingga para
pengambil kebijakan. Terfokusnya masalah kesehatan jiwa hanya
pada gangguan jiwa berat dan fasilitas layanan kesehatan jiwa besar
(rumah sakit jiwa) menjadi sebab kurangnya kesempatan untuk
pengembangan lebih lanjut dan luputnya perhatian terhadap berbagai
bentuk gangguan jiwa lain yang terbukti menyebabkan disabilitas
bermakna. Stigma dan diskriminasi yang ada di masyarakat yang
sering menempatkan penderita pada posisi ”tidak layak” karena
dianggap tidak mampu, pada kenyataannya lebih banyak dipicu oleh
masalah kurangnya pemahaman bahwa orang dengan gangguan jiwa
mampu untuk pulih dan berfungsi baik di masyarakat. Stigma ini
pulalah yang mengakibatkan seseorang merasa sulit untuk meminta
pertolongan ketika menyadari kondisi yang berbeda dan mengganggu
dalam dirinya.

Semua kondisi di atas juga mendasari timbulnya banyak kebijakan


yang tidak memfasilitasi orang dengan gangguan jiwa untuk lebih baik.
Salah satunya adalah tidak terjangkaunya akses layanan kesehatan
jiwa di masyarakat. Ketidakterjangkauan akses ini lebih banyak
berhubungan dengan ketidakmampuan secara maksimal dalam segi
layanan maupun obat yang tersedia di tingkat layanan kesehatan

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 2


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

primer. Ini akibat sangat terpusatnya pembangunan sistem kesehatan


jiwa di rumah sakit besar yang tidak mudah dijangkau oleh masyarakat
karena­masalah­geografis­dan­ekonomi.­Kurangnya­pengetahuan­dan­
kepedulian para tenaga kesehatan juga mengakibatkan masalah
dalam kemampuan deteksi dan manajemen. Manajemen yang kurang
baik mengakibatkan individu tidak dapat berfungsi dengan baik, dan
pada ujungnya tidak akan pernah mengubah pandangan masyarakat
tentang masalah kesehatan jiwa.

Oleh karenanya, diseminasi informasi secara tepat dan terus-


menerus sangatlah diperlukan. Diseminasi informasi tidak hanya
menjadi perhatian sektor kesehatan, namun juga sektor lain, termasuk
mereka yang bergerak di bidang layanan hukum dan perlindungan
pada hak asasi masyarakat. Kelompok terakhir sangat diharapkan
perannya, terutama untuk memengaruhi para pemegang kebijakan,
dalam hal menciptakan kondisi yang kondusif untuk proses pemulih-
an. Kondisi tersebut meliputi tersedianya layanan kesehatan yang
memadai dan terjangkau, memberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk meningkatkan kapasitas diri, baik melalui sektor pendidikan
maupun pekerjaan, dan tersedianya perangkat hukum yang mampu
melindungi orang dengan gangguan jiwa dari perlakuan salah, baik
oleh keluarga, masyarakat maupun negara yang seharusnya memiliki
tanggung jawab terbesar.

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

Kepustakaan
1 Lancet Series Global Mental Health, 2007.
2 Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa, Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM,
“Draf Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa”, Jakarta, September 2005.
3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
4 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Tahun 2007.
5 Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat,
Buku Pedoman Kesehatan Jiwa (Pegangan bagi Kader Kesehatan), Jakarta, 2003.
6 World Health Organization Regional Office for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through
Legislation, New Delhi, October 2001.
7 WHO-Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Layanan Medik, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III (saduran dari ICD-X), Jakarta, 1993.
8 Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan, “Draf Kebijakan di Bidang Kesehatan Jiwa Tahun 2009-2014”.
9 Soekartawi. Mendesak, Kebijakan Revitalisasi Pendidikan untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa. Sekretariat Negara Republik
Indonesia. 2007. Diunduh dari: http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=521 pada tanggal 9
November 2009.
10 Porter ME, Schwab K., The Global Competitiveness Report 2008-2009, World Economic Forum, Geneva, Switzerland, 2008.
11 World Health Organization Regional Office for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through
Legislation, New Delhi, October 2001.
12 Minas H, “Mental Health System Development: Role of Professional Association”, dipresentasikan dalam Kongres Nasional VI
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Manado, 3 November 2009.
13 Minas H, Diatri H, Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. Int J Ment Health Syst 2008, 2:8.
14 Dharmono S dkk (2006), Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Jakarta, Departemen Psikiatri FKUI/RSCM.
15 Diatri H, Minas H, Pasung: a Consequence of Insufficient Mental Health Services in Indonesia, Presented at the 4th International
Stigma Conference (Stigma and Discrimination: Evidence for Action) in London (Institute of Psychiatry, Kings College London
and the World Psychiatric Association Scientific Section on Stigma and Mental Illness), January 2009.
16 Hayuning T, Pasung: Family Experience in dealing with the deviant in Bireuen, Nangroe Aceh Darussalam, Amsterdam, 2009.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 29


ODMK dan Pemenuhan HAM

Yosep Adi Prasetyo


Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Indone-
sia sama sekali belum mendapatkan perhatian memadai dari
pemerintah Indonesia. Mereka ini sering kali didiskriminasi oleh
keluarga, masyarakat sekeliling, media maupun negara.
Tak jarang mereka dibuang atau dibiarkan berkeliaran di
jalanan, atau dipasung seumur hidup. Sebagian dari mereka
dianggap sudah bukan manusia lagi. Sepanjang hidup mereka
mengalami stigmatisasi, pelecehan, pembedaan perlakuan
(unequal before the law), pengusiran, penyerangan, peren-
dahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Pen-
anganan ODMK tak ayal merupakan bagian dari kewajiban
hak asasi yang harus segera dilakukan oleh negara. Saatnya
pemerintah memikirkan hak sipol dan ekosob bagi para
ODMK di negeri ini yang jumlahnya disinyalir telah mencapai lebih dari 20 persen jumlah
penduduk di negeri ini.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ODMK dan Pemenuhan HAM

A
genda pemajuan dan penegakan HAM sebetulnya merupakan
bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal
munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998
ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia yang merupakan Piagam HAM bagi negeri Indone-
sia, melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu
belum diubah.

Sejak reformasi berbagai produk hukum dilahirkan


memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak
sipil dan politik. Antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU
HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk
MPR,­DPR,­dan­DPRD,­UU­Otonomi­Daerah,­UU­ratifikasi­Konvensi­
PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, serta UU
­ratifikasi­Konvensi­Anti­Diskriminasi­Rasial.

Pemerintah­ Indonesia­ pada­ 2005­ telah­ meratifikasi­ dua­ kovenan­


internasional yang penting, yaitu Kovenan Internasional mengenai
Hak Sipil Politik (International Covenan on Civil and Political Rights,
ICCPR) menjadi UU No. 12 Tahun 2005 dan International Covenan
on Culture, Social, and Economic Rights (ICCSER) menjadi UU No.
11 Tahun 2005. Namun, pada tataran implemantasi, pemenuhan hak
ekosob tak semaju hak sipol. Padahal, sesungguhnya hak sipil-politik
dan hak ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dipisahkan.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

Selain­ amendemen­ UUD’45­ dan­ ratifikasi­ ICCSER,­ beberapa­


undang-undang terkait dengan hak ekosob.1 Hal ini secara tidak
langsung didorong atau dipaksa oleh Rencana Aksi Nasional HAM
(RANHAM) periode 1998-2003 yang dibuat Presiden Habibie dan
RANHAM periode 2004-2009 yang dibuat Presiden Megawati.

Harapan besar akan adanya kemajuan kondisi hak asasi di era


reformasi muncul ketika pemerintahan SBY-Kalla menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009
dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006. Dalam RPJMN
disebutkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami sebatas ketidak-
mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar
dan adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok
orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.2

Prinsip dan Parameter HAM

Apa sebenarnya hak asasi manusia (HAM) itu? HAM adalah hak
seorang manusia yang sangat asasi dan tidak bisa diintervensi oleh
manusia di luar dirinya atau oleh kelompok atau oleh lembaga mana
pun untuk meniadakannya. HAM pada hakikatnya telah ada sejak
seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya hingga ia
lahir, dan sepanjang hidupnya hingga pada suatu saat ia mati.

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


­ anusia,­sebagaimana­dicantumkan­dalam­Pasal­1,­HAM­didefinisikan­
M
sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.

1 Antara lain adalah UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU No.
21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.

2 Selain merumuskan RPJMN dan RKP, pemerintahan SBY-Kalla juga menetapkan tiga sasaran pembangunan ekonomi, yaitu
(1) mengurangi pengangguran dari 9,5% pada tahun 2003 menjadi 6,7% di tahun 2009, (2) menurunkan tingkat kemiskinan
dari 16,6% pada tahun 2004 menjadi 8,2% di tahun 2009, dan (3) meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada
tahun 2003 menjadi 7,2% di tahun 2009. Keterangan ini berasal dari Gembong Priyono (Sekretaris Wakil Presiden RI) dalam
makalah diskusi berjudul “Pembangunan Berwawasan HAM”.

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

Hak asasi manusia bersifat universal, pengakuan bahwa untuk


semua dan setiap orang melekat harkat dan martabat kemanusiaan
yang tidak ditentukan oleh latar belakang ras, warna kulit, agama,
seks, keyakinan politik, serta latar belakang sejarah.3 Ini juga berarti
bahwa masyarakat internasional mempunyai tanggung jawab universal
untuk bertindak mengoreksi pelanggaran atas hak asasi manusia yang
terjadi.

Secara umum perspektif mengenai HAM terdiri dari delapan hal.


Pertama, bahwa HAM itu adalah sebuah hal yang berlaku secara
universal (universality). Meski ada berbagai nilai moral dan etik
yang tersebar di seluruh dunia, namun pada dasarnya HAM tak
dapat berubah. Yang kedua, HAM mengutamakan penghormatan
kepada martabat manusia (human dignity). Ketiga, HAM mengakui
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM) bahwa setiap umat manusia dilahirkan merdeka
dan sederajat dalam harkat dan martabatnya. Semua manusia
memiliki posisi yang setara (equity). Keempat, HAM tidak mengenal
pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan,
serta status kelahiran atau lainnya (non-discrimination).

Kelima, HAM yang melekat pada setiap individu itu tak bisa
direnggut, dilepaskan, atau dipindahkan (inalienability). Keenam,
HAM baik sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, semuanya bersifat
menyatu (inherent) dalam harkat dan martabat manusia (indivisibility).
Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap
hak lainnya. Ketujuh, HAM itu saling berkaitan dan bergantung satu
sama lain (interrelated and interdependence). Kedelapan, HAM lebih
merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkannya. Negara
dan dan para pemangku kewajiban lainnya harus bertanggung jawab
untuk menaati dan mewujudkan pemenuhan hak asasi.

Dalam pelaksanaan HAM ada berbagai instrumen, baik nasional


maupun internasional, yang menjadi acuan utama sebagaimana
tergambar dalam Bagan 1 dan Bagan 2.

3 Peringatan sedunia 5O tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1998 mengambil tema: All Human Rights for All.
Menegaskan bukan hanya semua orang memiliki hak asasi yang sama, tapi juga hak-hak tersebut menyangkut semua hak
asasi manusia, meliputi hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, hak komunal maupun hak individual.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

Hardlaw lainnya
Genosida CERD CEDAW

Sejumlah
Piagam PBB ICCPR
1945 Instrumen Khusus
Hardlaw

DUHAM Instrumen CAT CRC CMW


1948 Utama

Instrumen Rekomendatif
Softlaw
ICESCR
Pedoman Aturan Deklarasi Prinsip
Riyadh Beijing Wina Paris
CERD Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Rasial
CAT Konvensi Internasional ttg Menentang Penyiksaan Sejumlah Softlaw lainnya
CMW Konvensi Internasional ttg Hak-Hak Pekerja Migran
CEDAW Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan
CRC Konvensi Internasional ttg Hak Anak

Bagan 1. Instrumen HAM Internasional

UU yang merupakan tindak lanjut


ratifikasi kovenan internasional

KI ttg Hak UU No 68
Pol Perempuan Th 1958

Tap MPR No KI ttg Penghapusan UU No 7


17/1998 Diskriminasi Th 1984
Thd Peremuan

Kepres No 36
KI ttg Hak Anak Th 1990
UU 39/1999
ttg HAM
KI Anti Apartheid Kepres No 48
UU 1945 dalam Olahraga Th 1993

KI Melawan
Penyiksaan dan UU No 5
UU 26/2000 Th 1998
Huk Kejam Lain

KI Penghapusan UU No 28
Diskriminasi Rasial Th 1999
UU lain
UU No 11
KI ttg Hak Ekosob Th 2005

UU No 12
KI ttg Hak Sipol Th 2005

Bagan 2. Instrumen HAM nasional

Negara sebagai Pemangku Kewajiban

Pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah negara, dalam


hal ini adalah pemerintah. Kalau saja mau membuka-buka dokumen
tentang komentar umum mengenai pasal-pasal dalam Deklarasi

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), maka kita akan menyadari


kesalahan ini.

Semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa


perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara. Negara
harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk, antara
lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi
(to fullfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect)
adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan
intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate).

Hukum HAM

Pemangku HAM Pemangku Kewajiban

Individu Negara

To Respect To Protect To Fullfil

Commision Ommission

Bagan 3. Alur hukum HAM

Negara---tidak bisa tidak---memang harus memenuhi hak-hak warga


negara, seperti hak atas rasa aman, hak hidup, hak atas perumahan,
hak atas pangan, hak atas pendidikan, dan hak atas pekerjaan.
Atas inisiatif itulah kemudian negara, dalam hal ini pemerintah,
membentuk berbagai departemen, kementerian, dan BUMN. Juga
beberapa badan lain yang mendapat mandat khusus, seperti Badan
Urusan Logistik yang bertanggung jawab atas persediaan dan bahan-
bahan kebutuhan pokok (sembako). Di Indonesia, negara---dalam hal
ini pemerintah--merupakan pihak satu-satunya yang berhak untuk
menguasai dan mengelola semua kekayaan alam dan bumi di negeri
ini sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

Tugas pemerintah untuk memenuhi hak asasi warga negara adalah


dengan melakukan investasi dalam bidang kehakiman, penjara,
kepolisian, serta menyediakan alokasi sumber daya untuk kemampuan
masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus berinvestasi di bidang
kesehatan, pendidikan, dan bidang kesejahteraan lainnya serta alokasi
sumber daya untuk kemampuan masyarakat.

Pemerintah harus membangun dan mengembangkan infrastruktur,


seperti menambah panjang, lebar, dan kualitas jalanan, serta
membangun rumah, sekolah, dan rumah sakit. Selain itu, juga
menyediakan tenaga kesehatan, pendidikan, dan aparat hukum.
Dalam melaksanakan pembangunan pemerintah harus memasukkan
alokasi anggaran bagi peningkatan berbagai fasilitas dan layanan
publik dalam APBN/APBD.

Pemerintah juga harus mampu membuat kebijakan migas dan


ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil yang bisa mencegah
kian menganganya jurang kemiskinan. Riset Bank Dunia yang
menggunakan standar kemiskinan sebesar Rp 1.800 atau sekitar $AS 2
per hari menemukan angka kemiskinan yang sungguh mencengangkan.
Dengan ukuran tersebut, orang miskin di Indonesia kini membengkak
mencapai angka 49%. Artinya, ada lebih dari 110 juta orang miskin
di Indonesia. Laporan United Nation Development Program (UNDP)
2007 meletakkan Indonesia dalam urutan ke-107 dalam hal capaian
Indeks Pembangunan Manusia. Indonesia berada di bawah negara
yang­ baru­ mengakhiri­ konflik,­ seperti­ El­ Salvador­ (103),­ Aljazair­
(104), Vietnam (105), dan wilayah pendudukan Palestina (106). Betapa
memalukannya hal ini.

Korupsi atas dana-dana pembangunan fasilitas dan peningkatan


pelayanan publik sebetulnya bukan sekadar kejahatan ekonomi,
tapi juga memiliki dimensi kejahatan hak asasi manusia. Selain itu,
pilihan program pembangunan harusnya lebih berorientasi kepada
indikator pemenuhan hak asasi manusia dibanding pilihan renovasi
rumah dinas, pembelian mobil dinas atau hal lain yang lebih menjurus
kepada peningkatan kesejahteraan individu pejabat.

Sebagai pemangku kewajiban, pemerintah harus segera melakukan


upaya-upaya pencegahan agar pelanggaran HAM melalui tindakan

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

pembiaran (by ommission) tak berlanjut. Pemerintah punya pekerjaan


untuk mencermati kembali berbagai peraturan daerah (perda) yang
kini jumlahnya telah melebihi angka 1.000, baik yang berupa perda
otonomi, perda syariah, maupun perda ketertiban yang berpotensi
menghambat pelaksanaan UU No. 11/2005 dan UU No. 12/2005.
Berbagai macam perda yang tumpang-tindih dan bertabrakan dengan
kedua undang-undang tersebut harus segera dicabut karena berpotensi
menghambat pelaksanaan hak ekosob dan juga sipol.

Kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan

Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Indonesia


sama sekali belum dimasukkan dalam kelompok sasaran yang
perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia.
Padahal, sebetulnya kelompok ini--bila dilihat lebih lanjut--bisa
dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups)
sebagaimana kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja
migran.

Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai negara


lain, ODMK sering kali mengalami diskriminasi oleh keluarga,
masyarakat sekeliling, media, maupun oleh negara. Model
diskriminasi yang dialami oleh ODMK adalah secara berlapis-lapis
(lihat Bagan 4). Ketika seorang diketahui sebagai ODMK, maka
dia akan didiskriminasi oleh keluarganya. Dalam banyak kasus
keluarga kemudian mengasingkannya. Giliran berikutnya adalah
diskriminasi oleh masyarakat sekeliling, media, dan kemudian
negara.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

Perilaku sebagai kekerasan fisik secara


Perilaku Iangsung: Intimidasi, pemukulan, penyiksaan,
pembunuhan

Sikap Sistem

Kekerasan
yang terlihat

Kekerasan yang tak terlihat


(di bawah perrnukaan)

Sistem sebagai model kekerasan yang


Sikap sebagai sumber kekerasan: melembaga: diskriminasi dalam pendidikan,
Kebencian, kecurigaan, prasangka, ketakutan pekerjaan, ekonomi, pelayanan umum,
ketakpercayaan, rasialisme, seksisme, penyangkalan hak dan kemerdekaan, segregasi
intoleransi, nilai-nilai budaya yang sempit sosial oleh negara, kebijakan pemukiman,
perlindungan politis, dll

Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem)

Pelaku kekerasan secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi


dua, yaitu non-aktor negara (non-state actors) dan aktor negara (state
actors). Untuk pelaku non-aktor negara, antara lain adalah keluarga
atau orang lain di rumah, tetangga, teman, perawat rumah sakit,
mantri, dan dokter. Sedangkan untuk pelaku yang merupakan aktor
negara adalah polisi, satuan polisi pamong praja (satpol PP), petugas
sosial (PNS), petugas lembaga pemasyarakatan, dan pejabat negara.

Bentuk yang dialami mulai dari pelecehan, stigmatisasi, pembedaan


perlakuan (unequal before the law), pengusiran, penyerangan,
perendahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Lihat
Bagan 5 berikut.

Barangkali kita juga me-review beberapa kerusuhan yang terjadi


pada menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto yang
konon dipicu oleh orang-orang yang dituduh sebagai ODMK. Antara
lain kerusuhan Pekalongan pada 1996, kerusuhan Makassar pada

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

1996, serta pembunuhan dukun santet dan sejumlah “orang gila” di


Banyuwangi dan sejumlah kota di Jawa Timur pada 1996-1977. Namun,
dari semua kerusuhan itu tak ada satu pun yang diusut secara tuntas,
terutama apa yang menjadi faktor pemicu dan siapa yang bertanggung
jawab atas kerusuhan.

Kekerasan fisik
Kekerasan ekonomi

Kekerasan emosional

ODMK
Kombinasi

Kekerasan seksual

Penelantaran

Bagan 5. Ragam kekerasan yang dialami ODMK

Tindakan dan serangan yang ditujukan kepada ODMK, tak bisa tidak
dikarenakan memang karena adanya persepsi yang salah mengenai
ODMK. Kelompok ODMK sering dipandang salah oleh masyarakat,
terutama oleh mereka yang menganut pandangan fundamentalisme
agama dan juga masyarakat tradisionalis yang masih percaya pada hal-
hal di luar nalar. Selain itu, masyarakat kerap menggunakan ukuran
norma (kenormalan), kebiasaan, ataupun hukum yang terbatas dan
diskriminatif. Juga pendapat atau penafsiran yang lebih bertumpu
pada pendapat individu.

Ada sejumlah orang yang menganggap ODMK sebagai hal yang


merupakan dosa atau kutukan Tuhan. Karena kutukan itulah, ODMK
kemudian tersingkir dari dunia kemanusiaan. Ada pula yang meni-
lai bahwa ODMK merupakan orang dengan perilaku yang menyim-
pang yang melakukan sesuatu yang tak pada tempatnya, karena itu-

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

lah mereka perlu diasingkan. Yang lain mengatakan bahwa kegilaan


itu adalah sebuah penyakit sehingga muncul istilah “tidak waras”,
“pikiran terganggu”, “otak terganggu”, “jiwa terganggu”, dan lain-lain.

Secara hukum, seorang ODMK juga dibedakan dan tak mendapat


perlakuan yang sama di depan hukum (unequal before the law). Karena
itulah ODMK sering mengalami diskriminasi dan tak dianggap sebagai
individu di muka hukum.4 Ada pula yang berpendapat ODMK sebagai
kelompok orang yang berisiko yang diasosiasikan sebagai kelompok
yang membahayakan atau meresahkan masyarakat.5

Perspektif Baru Masalah Kejiwaan dan Kewajiban Negara

Masalah kejiwaan pada dasarnya adalah sebuah kenyataan sosial


yang harus diterima. Belum pernah ada penelitian atau sensus
mengenai jumlah ODMK di seluruh Indonesia. Namun, ketika di
kawasan Aceh pada 2003 diberlakukan Keadaan Darurat Militer, ada
penelitian yang menyatakan bahwa 70% masyarakat Aceh menderita
gangguan kejiwaan. Secara perkiraan, dalam sebuah negara terdapat
sekitar sepuluh hingga dua puluh persen dari total jumlah penduduk
yang umumnya menderita gangguan kejiwaan. Kalau angka perkiraan
ini digunakan, maka di Indonesia terdapat kurang lebih 23 hingga
50 juta jiwa berstatus sebagai ODMK. Sekitar 3 juta ODMK perlu
mendapat perawatan intensif dan hanya 599 jiwa yang dibiayai oleh
negara.

Dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan, bisa ditarik


adanya hubungan kausalitas antara dampak kemerosotan ekonomi
yang menimbulkan kemiskinan dengan meningkatnya kekacauan
mental dan perilaku di kalangan masyarakat (lihat Bagan 6). Artinya,
ada kaitan langsung antara tak terpenuhinya hak-hak ekosob, baik
akibat krisis ekonomi, kesalahan kebijakan pemerintah, maupun
yang merupakan bentuk pelanggaran HAM dengan meningkatnya
prevalensi ODMK.

4 Pemantauan Komnas HAM saat pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada 2009 lalu menyimpulkan bahwa
KPU tak menfasilitasi ODMK untuk bisa mengikuti pemilihan. Lihat laporan Tim Pemantauan Komnas HAM tentang Pileg
2009 dan Pilpres 2009.
5 Contoh dari legalisasi pendapat ini adalah salah satu pasal dalam Peraturan Daerah Pemda DKI mengenai Ketertiban Umum
yang melarang orang yang diindikasikan sebagai menderita gangguan jiwa untuk berkeliaran di taman-taman atau di
tempat umum.

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

Dampak Ekonomi Kemiskinan


Biaya kesehatan melangit Kemerosotan ekonomi
Kehilangan pekerjaan Pendidikan rendah
Produktivitas menurun Tanpa pekerjaan

Kekacauan Mental &


Perilaku
Meningkatnya rasa
frustasi
Kurangnya perhatian
Meningkatnya kekerasan

Bagan 6. Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan

Namun demikian, harus dipahami bahwa gangguan kejiwaan


memiliki berbagai tingkatan. Secara garis besar gangguan mental bisa
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu non-psikotis dan psikotis.
Untuk jenis non-psikotis terdiri dari gangguan cemas, gangguan
somatoform, depresi, gangguan kepribadian, dan lain-lain. Sedang
gangguan psikotis meliputi skizofrenia (ada 5 tipe), gangguan afektif
berat dengan gejala psikotis (meliputi bipolar manik dan depresi berat),
skizoafektif,­ psikosis­ polimorfik­ akut,­ gangguan­ waham­ menetap,­
psikosis non-organik lainnya, dan gangguan psikotis organik.

Pada ODMK ringan hampir semua kegiatan kemasyarakatan mam-


pu dilaksanakan dengan baik dan mereka sama seperti orang-orang
lain. Kelompok ini memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan war-
ga negara pada umumnya. ODMK yang telah menjalani pengobatan
optimal atau gejala-gejalan gangguan jiwa tidak muncul lagi dapat
digolongkan dalam kelompok masyarakat pada umumnya. ODMK
yang lebih berat dan mendapatkan pengobatan optimal akan memi-
liki kemampuan yang lebih sedikit (terbatas) dibandingkan dengan

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

orang normal, tetapi mereka masih tetap warga negara Indonesia


dan seharusnya mendapatkan perlindungan negara. Mereka masih
bisa menjalankan fungsi sosialnya dengan keterbatasan-keterbatasan
tertentu dan bekerja di bidang pekerjaan tertentu. Bagi ODMK,
meski telah mendapatkan pengobatan optimal, tetap tidak mampu
menjalankan fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan atau menjalankan
kehidupannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam hal ini, negara
harus bertanggung jawab melindungi mereka. Kenyataannya, sampai
saat ini perhatian pemerintah terhadap dua kelompok tersebut masih
sangat kurang.

Di Indonesia, sejak tahun 1970-an telah dibentuk Direktorat


Kesehatan Jiwa di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan yang mengelola 33 rumah sakit jiwa di seluruh
Indonesia. Kebanyakan rumah sakit jiwa hanya ada di ibu kota provinsi
atau di sebuah kota di setiap provinsi. Sementara masih ada beberapa
provinsi yang tak memiliki satu pun rumah sakit jiwa. Situasi ini
menyulitkan ODMK yang membutuhkan penanganan dunia medis,
mengingat pelayanan kesehatan jiwa tak bisa diakses pada tingkat
layanan semacam puskesmas. Di lapangan sering kali dijumpai
realitas bahwa ODMK lebih banyak ditangani Dinas Sosial ketimbang
Dinas Kesehatan. Hal ini seharusnya tak boleh terjadi dan idealnya
justru penanganan ODMK seharusnya melibatkan upaya sinergi
berbagai departemen pemerintah. Jaminan hak pasien juga tercantum
di sejumlah pasal dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992.

Namun dalam kenyataan, pelayanan terhadap orang dengan


masalah kesehatan jiwa masih jauh dari harapan. Dari total orang
dengan gangguan jiwa yang terlaporkan, hanya sejumlah kecil yang
mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa. Jenis pelayanan kesehatan
jiwa ini meliputi rawat jalan dan inap di rumah sakit dan puskesmas,
serta layanan rehabilitasi di panti dan unit layanan psikososial
lainnya.

Kendala dalam pelayanan medis di rumah sakit dan puskesmas,


antara lain sebagian besar pelayanan diberikan oleh dokter umum dan
hanya sebagian kecil yang ditangani oleh dokter spesialis kesehatan
jiwa. Lebih jauh, kompetensi para dokter umum dalam menangani orang
dengan gangguan jiwa dirasakan masih terbatas. Hal ini dikarenakan

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

kurangnya sarana pelatihan dalam meningkatkan kemampuan para


dokter umum. Sementara itu kendala dalam layanan non-medis
(psikologis, sosial, dan spiritual), antara lain tidak tersebarnya tenaga
non-medis secara merata.

Kendala lain adalah keterbatasan tersedianya obat-obatan bagi


pasien dengan gangguan jiwa. Apabila obat tersebut tersedia, harganya
belum terjangkau oleh sebagian masyarakat. Karena pada umumnya
orang dengan gangguan jiwa memerlukan pengobatan dalam waktu
yang lama, maka faktor biaya pengobatan merupakan salah satu
penyebab terputusnya proses pengobatan.

Prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi pada kelompok keluarga


berpendidikan rendah, keluarga bermasalah, dan keluarga yang
­tinggal­ di­ daerah­ konflik.­ Umumnya­ mereka­ termasuk­ golongan­
ekonomi rendah yang akan menambah kesulitan dalam pembiayaan
kesehatan.

Dalam upaya pelayanan terhadap orang dengan gangguan jiwa, hak


dan martabatnya senantiasa harus diperhatikan. Meskipun mereka
kompeten (gangguan jiwa ringan atau yang telah diobati), namun
sering kali keluarga atau petugas kesehatan menganggap mereka
inkompeten dan memperlakukan mereka secara paternalistik, seperti
memaksa berobat atau memaksa minum obat.

Berkait dengan proses pengobatan pada masalah kesehatan jiwa, ada


anggapan keliru (stigma) di masyarakat, antara lain bahwa gangguan
jiwa tidak bisa disembuhkan, merupakan penyakit keturunan dan
kutukan. Selain itu, ada anggapan keliru tentang rumah sakit jiwa
dan tenaga kesehatan jiwa yang menghambat keinginan keluarga dan
individu untuk mencari pengobatan masalah kesehatan jiwa.

Ada anggapan keliru di masyarakat bahwa gangguan jiwa


merupakan penyakit keturunan, tidak tersembuhkan, dan kutukan.
Hal ini akan menyebabkan keluarga sulit menerima kenyataan
apabila salah satu anggota keluarga mengalami ganguan jiwa. Situasi
ini juga bisa menimbulkan aib dalam keluarga dan dianggap merusak
martabat atau kehormatan keluarga dan keturunan selanjutnya.
Untuk itu, keluarga berusaha menyembunyikan anggota keluarga yang

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

mengalami gangguan jiwa dengan cara memasung dan mengisolasinya


dari masyarakat. Sebagian keluarga tetap mengupayakan pengobatan,
namun dilakukan secara diam-diam.

Individu dengan gangguan jiwa juga sering ditemukan di tempat-


tempat umum dan dianggap sebagai orang-orang yang mengganggu
ketertiban umum dan keindahan kota.6 Oleh karena itu, mereka
sering ditangkap oleh petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP)
dan dimasukkan ke panti sosial. Kenyataannya, keadaan panti sosial
di Indonesia tidak dilengkapi dengan sarana pelayanan kesehatan
jiwa yang memadai. Dengan demikian penempatan orang dengan
gangguan jiwa di instalasi ini bukanlah merupakan solusi yang baik.
Pada mereka yang diketahui keluarganya, petugas mengupayakan
untuk mengembalikan orang dengan gangguan jiwa. Namun, kerap
kali terjadi penolakan dari pihak keluarga dengan berbagai alasan.

Tantangan lain yang dihadapi oleh keluarga individu dengan


gangguan jiwa datang dari komunitasnya. Hal ini terutama terjadi jika
orang dengan gangguan jiwa tersebut menunjukkan gejala gangguan
jiwa berat sehingga mengganggu ketenteraman masyarakat. Sering
kali keluarga tidak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan tidak
mampu membawanya ke layanan kesehatan yang tersedia. Akibatnya,
masyarakatlah yang mengatasi masalah orang dengan gangguan jiwa,
antara lain dengan memasung, mengikat, dan mengasingkannya dari
lingkungan.

Di dalam masyarakat pelayanan pengobatan terhadap orang


dengan gangguan jiwa amat bervariasi, mulai dari pengobatan
konvensional (kedokteran dan psikologi) sampai kepada berbagai
bentuk pengobatan alternatif. Beberapa bentuk pengobatan alternatif
dapat melanggar hak-hak asasi orang dengan gangguan jiwa, seperti
mengikat, merendam dalam air, atau “diasapi” di atas bara api, di
mana proses pengobatan selalu tanpa persetujuan yang bersangkutan.

6 Tak dipahaminya masalah gangguan kejiwaan yang memiliki dimensi potensi pelanggaran HAM tampak jelas dari isi Perda
DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Dalam Pasal 41 perda ini, dinyatakan bahwa “setiap orang yang
mengidap penyakit yang meresahkan masyarakat tidak diperkenankan berada di jalan, jalur hijau, taman, dan tempat-tem-
pat umum lainnya” dan dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang yang mengidap penyakit yang
meresahkan contohnya adalah “orang gila”. Hasil kajian Komnas HAM pada awal 2008 merekomendasikan agar Departemen
Dalam Negeri membatalkan perda yang muatannya banyak bertentangan dengan prinsip HAM ini.

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

Selain melanggar hak-hak asasi, metode pengobatan alternatif juga


dapat membahayakan kesehatan, bahkan menyebabkan kematian.
Namun, dalam praktiknya berbagai bentuk penyimpangan terjadi
dalam berbagai bentuk, baik pembiaran terhadap pelanggaran hak-
hak warga negara maupun tidak.

Mencegah Pelanggaran HAM terhadap ODMK

Apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah pelanggaran hak


asasi ODMK? Ada beberapa hal, antara lain pemberlakuan asas non-
diskriminasi dan persamaan di depan hukum. Asas non-diskriminasi
dan persamaan di depan hukum: dilarang untuk mengeleminasi atau
menyingkirkan orang atau kelompok ODMK dari lingkungan mereka,
pekerjaan, pendidikan, imigrasi, perjalanan internasional, perumahan,
dan keamanan sosial (social security).

Dalam hak atas kesehatan, kaum ODMK juga harus diperlakukan


sama, yaitu mendapatkan layanan kesehatan, mulai dari upaya
pencegahan hingga pengobatan, terutama untuk kelompok masyarakat
berstatus sosial bawah. Selain itu, harus ada jaminan terhadap hak
atas kebebasan pribadi yang menghargai pilihan dan juga menjaga
kerahasiaan mengenai kesehatan pribadi.

Selain itu, pemerintah harus mewujudkan hak atas pendidikan


dan informasi, yaitu jaminan atas persamaan untuk mendapatkan
pendidikan yang layak, dan informasi mengenai penanggulangan
ODMK dan pengobatan gangguan kejiwaan. Kaum ODMK tak boleh
dimarginalkan sebagaimana juga kelompok minoritas.

Pemerintah juga harus memberikan jaminan hak ODMK untuk


terbebas dari perbuatan di luar kemanusiaan, penyiksaan, dan
hukuman kejam lainnya.7 Pemerintah harus mencegah terjadin-
ya penyiksaan terhadap ODMK di kalangan masyarakat, misal-
nya praktik pemasungan atau pemenjaraan atau pengucilan di

7 Pelaku kekerasan terhadap ODMK dalam hal ini bisa dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok non-state actors
yang terdiri dari keluarga, orang lain di rumah, tetangga, teman, perawat rumah sakit, mantri, hingga dokter; dan kelompok
state actors yang terdiri dari polisi, satpol PP, petugas sosial (PNS), petugas lembaga pemasyarakatan, dan pejabat negara
yang kerap membuat kebijakan yang keliru.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


ODMK DAN PEMENUHAN HAM

tempat-tempat yang kondisinya sangat buruk. Pemerintah harus


memberlakukan larangan untuk memasukkan kelompok ODMK ke
dalam tempat-tempat khusus dengan maksud untuk melecehkannya.

Pada dasarnya kaum ODMK juga memiliki kemerdekaan dan


keamanan sebagai pribadi. Negara harus menjamin agar orang atau
kaum ODMK tak dilecehkan atau diserang secara semena-mena,
ditangkap, diasingkan, atau dimasukkan ke karantina. Negara, dalam
hal ini pemerintah, juga harus memenuhi hak untuk berpartisipasi
dalam politik dan kehidupan budaya, baik memberikan jaminan
kepada pada individu dan atau kelompok ODMK untuk berpartisipasi,
terlibat langsung maupun mengevaluasi berbagai kebijakan yang
dibuat pemerintah.

Pemerintah juga harus menjamin hak ODMK untuk bisa menikah


dan membentuk keluarga. Pemerintah juga harus memberlakukan

larangan untuk pemaksaan tes pra-pernikahan, serta memastikan


bahwa tak ada hambatan bagi kelompok ini untuk menikah.

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Lampiran.
Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

Matrik Dimensi HAM Dalam Isyu ODMK


PENGHORMATAN PERLINDUNGAN PEMENUHAN (penyediaan sumber-
(tidak ada gangguan dalam (mencegah pelanggaran daya dan hasil-hasil kebijakan)
pelaksanaan hak) oleh pihak ke tiga)
Hak-hak sipil Pemerintah berkewajiban membuat Pemerintah harus mengupayakan Pemerintah harus melakukan
dan politik UU untuk melindungi dan menjamin tindakan untuk mencegah pelaku investasi, mengalokasikan anggaran,
hak ODMK, meratifikasi kovenan non-negara melakukan pelanggaran membangun tempat dan fasilitas
internasional, melakukan harmonisasi seperti penyiksaan, kekerasan dan kehatan, memberikan subsidi dalam
hukum (UU, PP, Keppres, Permen, intimidasi kepada kelompok ODMK bidang kehakiman, penjara, kepolisian,
Perpres hingga Perda) agar ti- tenaga medis di bidang kedokteran jiwa,

ODMK DAN PEMENUHAN HAM


dak terjadi penggunaan hukum serta alokasi sumberdaya dan anggaran
untuk penyiksaan, pembunuhan pendidikan buat petugas agar memiliki
tanpa pengadilan, penghilangan pengetahuan dan kemampuan dalam
paksa, penahanan sewenang- memahami permasalahan ODMK
wenang, pengadilan yang tidak adil,
pengabaian dan intimidasi pada
saat pemilihan umum, pencabutan
hak pilih dan berperan serta dalam
kehidupan politik, dll
Hak-hak Pemerintah berkewajiban membuat Pemerintah harus melakukan Pemerintah harus melakukan
ekonomi, UU dan peraturan hukum yang tindakan untuk mencegah pelaku pemenuhan secara progresif; investasi
sosial dan melindungi ODMK dari tindakan non-negara berperilaku diskriminatif di bidang kesehatan, pendidikan dan
budaya diskriminasi dan memastikan agar kepada kelompok ODMK hingga bidang kesejahteraan lainnya serta
hak atas kesehatan, pendidikan membatasi akses dalam bidang alokasi sumberdaya untuk kemampuan
dan kesejahteraan terpenuhi, kesehatan, pendidikan serta bidang masyarakat dalam memahami dan
serta ada alokasi sumberdaya untuk kesejahteraan lainnya menerima kelompok ODMK, membuka
melindungi ODMK lapangan kerja bagi kelompok ODMK
agar bisa hidup lebih mandiri
9
Masalah Bioetika dan HAM
pada Layanan Kesehatan Jiwa

Irmansyah
Tulisan ini memberikan uraian tentang permasalahan bioetika
dan hak asasi pada layanan kesehatan jiwa. Bioetika adalah
hal yang mencakup berbagai disiplin untuk memberi pedoman
dalam menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan
dalam bidang biologi dan ilmu kedokteran. Sedangkan etika
kedokteran sendiri adalah bagian dari bioetika. Sesuai dengan
prinsip etika, tujuan bioetika dalam layanan kesehatan adalah
memaksimalkan manfaat medis dan meminimalkan risiko klinis
dari penyakit.

Bioetika dan HAM dalam layanan kesehatan adalah pembicaraan


mengenai isu yang sama. Bioetika adalah pedoman moral dari
profesi kesehatan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien,
sekaligus menjamin penghormatan pada martabat manusia serta melindungi HAM dan
kebebasan-kebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional kesehatan juga akan
melanggar atau mengabaikan HAM penderita. Tulisan ini menekankan perlunya mewajibkan
rumah sakit membentuk dewan pengawas dengan salah satu anggotanya adalah pasien atau
perwakilan ODMK untuk mencegah terjadinya pelanggaran etik dan HAM terhadap ODMK.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009
Masalah Bioetika dan HAM
pada Layanan Kesehatan Jiwa

Pendahuluan

tika­ yang­ juga­ dikenal­ sebagai­ “filsafat­ moral”­ adalah­ cabang­

E dari­ ilmu­ filsafat­ yang­ mencari­ jawaban­ atas­ pertanyaan­


mengenai moral; konsep tentang baik dan buruk, benar dan
salah, keadilan, dan sebagainya1. Salah satu cabang etika adalah
“etika normatif” yang membahas hal-hal praktis dalam menjalankan
prinsip-prinsip moral untuk selalu menjalankan hal-hal yang ideal,
atau dikenal sebagai kode etik profesi tertentu. Dalam profesi yang
berhubungan dengan kehidupan, termasuk profesi kesehatan,
dikenal istilah bioetika yang dapat diartikan sebagai pedoman moral
dalam bertindak melayani kehidupan (manusia). Bioetika mencakup
berbagai disiplin untuk memberi pedoman dalam menjawab berbagai
masalah yang ditimbulkan dalam bidang biologi dan ilmu kedokteran.
Sedangkan etika kedokteran sendiri adalah bagian dari bioetika.
Sesuai dengan prinsip etika, tujuan bioetika dalam layanan kesehatan
adalah untuk memaksimalkan manfaat medis dan meminimalkan
risiko klinis dari penyakit2.

Hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat


pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan YME
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia3. HAM
harus dihormati dan dilindungi dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk saat individu mengalami gangguan jiwa dan sebagai
konsumen (pasien) dalam sistem layanan kesehatan jiwa. Pembicaraan
bioetika dan HAM dalam layanan kesehatan adalah pembicaraan

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

mengenai isu yang sama. Bioetika adalah pedoman moral dari profesi
kesehatan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien, sekaligus
menjamin hormat pada martabat manusia serta melindungi HAM dan
kebebasan-kebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional
kesehatan juga akan melanggar atau mengabaikan HAM penderita.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk menjalankan bioetika dan


HAM cukup tinggi. Ini dapat dilihat dari berbagai perundangan yang
diterbitkan maupun lembaga-lembaga negara yang didirikan. Dalam
hal bioetika tiap profesi yang berhubungan dengan layanan kesehatan
telah memiliki etika profesi masing-masing, seperti etika kedoktean,
etika psikologi, dan etika perawat. Di samping itu, pemerintah pada
tahun 2004 juga telah membentuk Komisi Bioetika Nasional (KBN)
yang bertugas untuk: 1) memajukan telaah prinsip-prinsip bioetika,
2) memberi pertimbangan pada pemerintah mengenai aspek bioetika
dalam penelitian, pengembangan, serta penerapan ilmu pengetahuan
dan teknologi, dan 3) menyebarluaskan pemahaman tentang
bioetik4. Khusus untuk profesi kedokteran, sesuai amanat UU No.
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah dibentuk Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedok-
teran Indonesia (MKDKI). Salah satu tugas KKI adalah melakukan
pembinaan terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan
etika profesi. Sementara MKDKI adalah badan otonom dari KKI
yang secara khusus bertugas menerima pengaduan, memeriksa, dan
memutuskan kasus pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu pelang-
garan terhadap aturan-aturan atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam pelaksanaan pelayanan, termasuk pelanggaran terhadap etika
kedokteran atau bioetika5. Juga dalam organisasi profesi Ikatan Dokter
Indonesia terdapat Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
khusus melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap dugaan
pelanggaran etika anggotanya.

Dalam bidang HAM, Indonesia juga telah memiliki berbagai


perangkat perundangan, seperti UUD 45 yang memuat 37 pasal
tentang HAM sehingga merupakan salah satu UUD yang paling
lengkap memuat HAM. Selain itu, Indonesia memiliki UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM, UU No. 11 dan 12 Tahun 2005 yang merupakan
­ratifikasi­ dari­ konvenan­ internasional­ serta­ berbagai­ perundangan­
lain. Indonesia juga telah memiliki Komisi Nasional tentang HAM

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

(Komnas HAM, 1999), lembaga pengadilan HAM, dan kementrian


HAM. Berbagai peraturan dan perundangan yang ada seharusnya
sudah sangat mencukupi untuk menjalankan layanan yang sesuai etika
dan sekaligus memberikan perlindungan terhadap HAM penderita.
Namun sayang, berbagai pelanggaran HAM terhadap penderita dalam
kehidupan masyarakat maupun dalam layanan kesehatan tetap terjadi
mesti kita telah memiliki berbagai perundangan yang lengkap6.

Orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) harusnya diperlakukan


secara manusiawi dan bermartabat sesuai dengan hak yang dimilikinya
sebagai manusia. Namun, dalam dalam kehidupan bermasyarakat
banyak dari mereka yang mengalami berbagai diskriminasi, isolasi
sosial, pelayanan yang tidak manusiawi, dan bahkan perlakuan
yang merendahkan martabat. Seperti pemasungan, pengisolasian
dari kehidupan sosial, penolakan dari tempat kerja dan sekolah,
pemukulan dan berbagai tindak kekerasan lain, serta bulying dan
bentuk penghinaan yang lain.

Nasib kurang baik dari penderita gangguan jiwa bukan hanya


dialami dalam kehidupan di tengah masyarakat, namun juga terjadi
dalam layanan kesehatan jiwa tempat di mana penderita gangguan
jiwa seharusnya mendapatkan perlindungan dan pertolongan. Tulisan
ini akan menyampaikan berbagai dugaan bentuk pelanggaran bioetika
dan HAM, khususnya dalam sistem layanan kesehatan, penyebab
terjadinya, serta berbagai usulan upaya memperbaikinya.

Prinsip-Prinsip Bioetika

Sumber dari etika adalah kaidah dasar moral (moral principles


atau ethical guidelines) yang dikatakan sebagai acuan tertinggi
dari moralitas manusia atau acuan generalisasi etik yang menun-
tun suatu tindakan kemanusiaan7. Kesadaran akan perlunya pedo-
man etik dalam layanan kesehatan muncul dari banyaknya laporan
kasus penyalahgunaan (abuses) terhadap subjek dalam penelitian
klinis oleh para peneliti, termasuk institusi penelitian pada era 1970-
an. Kongres Amerika kemudian membentuk Komisi Nasional untuk
menyelidiki etika penelitian yang terjadi serta menginstrusikan untuk
mengembangkan prinsip etika dasar untuk dijadikan pedoman dalam

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

melakukan penelitian yang mengenakan subjek manusia. Komisi


ini (selanjutnya disebut the National Commision for the protection of
Human Subject) mengembangkan prinsip etika dasar yang dimaksud
yang diberlakukan terhadap berbagai penelitian yang menggunakan
manusia sebagai subjek, yaitu respect for person, bertujuan untuk me-
lindungi hak otonomi tiap individu dan memperlakukan tiap individu
dengan penuh rasa hormat. Prinsip ini menjadi pedoman dalam pem-
buatan informed consent; beneficence, bertujuan untuk memaksimal-
kan manfaat penelitian dan meminimalkan risiko; serta justice, bertu-
juan untuk memastikan perlakuan yang adil dan tidak mengekploitasi
subjek penelitian serta sebagai pedoman dalam seleksi subjek pene-
litian. Dokumen ini, selanjutnya dikenal sebagai the Belmont report,
berpengaruh penting dalam perkembangan prinsip-prinsip bioetika
dan menjadi versi awal dalam perkembangan prinsip dasar atau kai-
dah dasar moral dari bioetik.

Karya lain yang penting dalam perkembangan bioetik ditulis oleh


Childress & Beauchamp dalam bukunya The Principles of Biomedical
Ethics (1994). Keduanya menuliskan secara sistematik 4 kaidah
dasar moral (KDM) utama yang hingga kini merupakan rujukan
utama dalam bioetika. Keempat KDM yang dapat dijadikan pegangan
pembenaran moral dari dokter atau tenaga kesehatan yang bergerak
dalam bidang biomedik ini adalah beneficience, non-maleficience, justice,
dan autonomy8. Keempat kaidah ini juga menjadi roh utama dalam
dokumen internasional lain yang penting, yaitu Universal Declaration
on Bioethics and Human Rights yang telah diterima secara aklamasi
dalam sidang umum UNESCO, Oktober 2005. Deklarasi UNESCO ini
adalah instrumen yang tidak mengikat, namun dalam perjalannya
nanti akan menjadi awal dari perumusan dan penerapan konvensi
dan hukum domestik yang mengikat9. Prinsip-prinsip yang disepakati
dalam deklarasi ini nantinya juga akan menjadi fokus pengembangan
pendidikan dalam arti luas, khususnya sumber penyusunan silabus
dalam hal etika keilmuan, etika penelitian, dan bioetika9.

Kaidah Dasar Moral Beneficience (Tindakan Berbuat Baik)

Berbagai kaidah yang mengharuskan kita untuk mencegah kerugian


(harms), memaksimalkan keuntungan serta mempertimbangan

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

keseimbangan antara risiko dan keuntungan atas satu tindakan.


Beberapa kaidah umum yang termasuk di sini adalah melindungi dan
mempertahankan hak yang lain, mencegah teradi kerugian pada yang
lain, serta menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain.
Dalam layanan kesehatan kaidah ini menjadi dasar dalam tindakan
yang mengutamakan kepentingan pasien dan atau keluarga, serta tidak
mengutamakan kepentingan dokter/rumah sakit. Termasuk usaha-
usaha untuk memaksimalkan akibat baik dari satu tindakan sehingga
jauh lebih banyak dari kerugian atau akibat buruk dari layanan.

Kaidah Dasar Moral Nonmaleficence (Tidak Merugikan)

Kaidah ini mengharuskan perlakuan atau tindakan yang tidak


melukai atau merugikan individu. Dalam layanan kesehatan ini
berarti tidak berbuat jahat atau menimbulkan penderitaan pada
pasien, termasuk upaya untuk meminimalisasi akibat buruk. Misalnya
menghentikan pengobatan yang sia-sia atau yang menimbulkan nyeri
atau ketidaknyamanan lainnya.

Dalam tindakan yang dilakukan, dokter wajib menggunakan kaidah


ini saat pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya
sesuatu yang penting dengan keyakinan dokter dapat mencegah
timbulnya bahaya, dan tindakan yang dilakukan telah terbukti efek-
tif untuk menimbulkan lebih banyak manfaat bagi pasien dibanding
dengan kerugian dari dokter. Kaidah ini juga dapat diartikan sebagai
larangan bagi dokter terhadap pasien untuk membunuh (misalnya
melaksanakan suntik mati bagi narapidana), menahan pasien
(menimbulkan inkapasitas), serta menghalangi kenikmatan hidup
pasien.

Kaidah Dasar Moral Justice (Keadilan)

Kaidah ini mengharuskan tindakan yang adil dalam manfaat, risiko,


serta dampak atau nilai. Keadilan berarti memberikan perlakuan
yang sama untuk situasi yang sama, untuk setiap orang, bukan atas
dasar selera dan diskriminasi (contoh, mengutamakan relasi dan

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

keluarga). Tetapi, ini bukan penyamarataan yang membabi buta.


Dalam kedaruratan misalnya, layanan akan didahulukan terhadap
pasien yang gawat karena kebutuhan untuk diselamatkan nyawanya
atau dihindari cacatnya, meskipun ia datang belakangan.
Termasuk dalam kaidah dasar ini adalah keadilan secara sosial,
yaitu kebijakan untuk melaksanakan dan memberikan kemakmuran
dan kesejahteraan bersama, contoh menetapkan alokasi anggaran
kesehatan dengan prioritas tertentu, seperti QALY (quality adjusted
life-years) atau DALY (disability adjusted life-years).

Kaidah Dasar Moral Autonomy

Kaidah ini bertujuan untuk memberlakukan rasa hormat pada


penderita sebagai individu yang memiliki kebebasan dan mengakui
kemampuan penderita untuk memutuskan apa yang terbaik untuk
dirinya. Ini berarti upaya untuk memahami pandangan pasien,
menolong pasien dalam bermusyawarah, serta negosiasi atau diskusi
timbal balik tentang rencana terapi dengan mempersilakan pasien
untuk memutuskan. Yang termasuk dalam kaidah ini adalah tell the
truth,­menghormati­privasi­pasien,­melindungi­informasi­konfidensial,­
meminta persetujuan untuk berbagai tindakan yang akan dijalankan,
dan membantu pasien membuat keputusan penting bila diminta.

Dilema Etik

Setiap KDM memiliki ketegaran (kualitas kekuatan) yang berbeda-


beda dalam situasi yang berbeda dan bersifat kontinum. Satu KDM
dapat menjadi alasan penting dalam bertindak atau juga dapat diabai-
kan sama sekali, mengingat adanya kepentingan atas kaidah lain
yang lebih utama. Dalam tiap kasus nyata, keempat KDM mempunyai
ketegaran sendiri-sendiri, dan dapat dapat secara logis diurutkan dari
yang paling kuat hingga yang paling lemah. Namun, dalam praktik
layanan kesehatan, sering dijumpai empat KDM saling berbenturan,
dan setelah dilakukan analisis yang mendalam akhirnya memuncul-
kan 2 KDM yang paling dominan dan mengabaikan sementara 2 KDM
lain. Keadaan inilah yang menimbulkan dilema etik.

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

Dalam menghadapi dilema etik, tiap orang dapat memiliki argumen


kuat untuk berpihak pada salah satu KDM. Proses adu argumentasi untuk
menetapkan mana yang lebih diutamakan dalam dilema etik jauh lebih
penting dari keputusan keberpihakan pada salah satu KDM. Proses adu
argumen ini akan meningkatkan perhatian dan kesadaran semua pihak
akan pentingnya unsur lain (etik), selain perhatian pada masalah klinis.

Salah satu cara menghadapi dilema etik adalah dengan prinsip


prima facie, yaitu “yang sudah jelas kebenarannya; tidak memerlu-
kan pembuktian kecuali ditemukan bukti sebaliknya”. Contohnya,
dalam keadaan darurat yang memerlukan tindakan segera, sementara
penderita kehilangan kesadarannya terdapat dilema etik antara
autonomy (kaidah untuk menghormati pasien dan meminta izin
pasien untuk melakukan tindakan) dan nonmaleficence (kaidah untuk
menyelamatkan pasien). Tanpa perlu pembuktian, maka jelas kaidah
autonomy diabaikan dan nonmaleficece diutamakan. Tindakan medis
dapat dilakukan segera tanpa menunggu atau meminta persetujuan
pasien dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa (kepentingan yang
lebih baik).

Tiap KDM mempunyai prima facie sendiri yang secara sederhana


dapat dikatakan sebagai berikut10: Dalam konteks beneficence prinsip
prima facie-nya adalah suatu keadaan umum, pasien berada dalam
kondisi wajar yang berlaku pada banyak pasien lainnya. Dalam hal
ini dokter telah melakukan kalkulasi untuk memastikan kebaikan
atas tindakan yang diambil akan lebih banyak dibandingkan dengn
kerugiannya. Pada nonmaleficence, prinsip prima facie-nya adalah
ketika dalam keadaan darurat, saat diperlukan intervensi medik
untuk menyelamatkan nyawa (seperti contoh dilema etik di atas). Ini
dapat juga dalam situasi mengutamakan pasien yang rentan, mudah
dimarginalkan atau pasien anak-anak, lanjut usia atau juga pasien
perempuan. Pada autonomy, prima facie muncul pada tindakan elektif
(dipersiapkan, bukan darurat) pada pasien yang berpendidikan,
pencari nafkah, dewasa, dan berkepribadian matang. Sementara
justice, memperhatikan hak orang lain yang setara dalam mengalami
gangguan kesehatan. Termasuk memperhatikan hak-hak sosial
masyarakat atau komunitas sekitar pasien.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

Berbagai Dugaan Pelanggaran Bioetika terhadap ODMK dalam


Layanan Kesehatan

Kepastian pelanggaran etik, harus melalui proses penyelidikan


menyeluruh melalui pemeriksaan dan pembuktian legal. Kesulitannya
adalah, karena etik didasarkan pada moral umum yang menginginkan
berbuat baik atau bermaksud menghasilkan yang terbaik sehingga
perdebatan atas pelanggaran etik menjadi bersifat subjektif dan
berbeda untuk tiap kasus. Karenanya, meski jelas adanya pelanggaran
etika, tanpa keputusan legal, maka terhadap kasus nyata tersebut
tetap harus dikatakan hanya sebagai dugaan pelanggaran etik.

Layanan terhadap ODMK, berpotensi memunculkan berbagai


dugaan pelanggaran bioetika karena beberapa hal, yakni adanya stig-
ma masyarakat yang membuat pasien tidak ingin layanannya diketa-
hui orang lain, banyak layanan yang bersifat tertutup, kemampuan
pasien untuk mengambil keputusan terganggu, sikap merendahkan
dari masyarakat (termasuk petugas layanan kesehatan) terhadap pen-
derita, dan bentuk gangguan kesehatan jiwa yang tidak menampak-
kan­gejala­fisik.

Seperti pada dugaan malapraktik, dugaan pelanggaran etik dapat


terjadi bila tindakan layanan kesehatan yang dilakukan menimbulkan
hasil yang tidak sesuai harapan. Namun, ini berbeda degan dugaan
malapraktik yang umumnya diadukan oleh pasien. Maka, dugaan
masalah etik bisa muncul dari pengaduan sesama profesional dalam
layanan kesehatan serta dapat juga muncul tanpa mengakibatkan
hasil tindakan yang tidak dinginkan.

Dugaan pelanggaran etik dan HAM, serta dugaan malapraktik


terhadap ODMK jarang terdengar atau dilaporkan, baik melalui
pengadilan maupun pada Komnas HAM11. Tidak adanya laporan resmi
bukan berarti tidak ada dugaan pelanggaran etik dan HAM terhadap
penderita gangguan jiwa. Yang banyak terjadi adalah penderita dan
keluarga tidak pernah melaporkan dugaan pelanggaran etik dan
HAM karena mereka tidak menyadari tentang hak asasi mereka,
serta karena takut akan mencemarkan nama baik penderita dan atau
keluarga. Berikut beberapa contoh dugaan pelanggaran etik dan HAM
yang terjadi dalam layanan kesehatan.

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

Pada Fasilitas Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa

Mengingat terjadinya gangguan dalam proses pikir, ODMK


dapat tidak menyadari tentang kondisi kesehatannya. Karenanya,
sebagian besar menolak untuk diobati atau dirawat. Dalam keadan
gaduh gelisah atau munculnya perilaku melukai diri sendiri, rawat
paksa harus dilakukan demi kepentingan pasien sendiri, keluarga,
dan lingkungan sekitarnya. Perawatan paksa ini adalah pelanggaran
terhadap kaidah dasar otonomi. Namun, pada keadaan darurat
rawat paksa bisa dibenarkan mengingat adanya dasar kaidah moral
nonmaleficence. Masalahnya sering terjadi hak otonomi pasien tidak
segera dikembalikan, meskipun pasien sudah tidak dalam keadaan
darurat, atau kemampuan pasien untuk menilai keadaannya sudah
membaik. Akibatnya sering terjadi perawatan yang berlarut-larut,
meski pasien sudah layak dipulangkan, dengan alasan sosial (keluarga)
dan mengabaikan keinginan pasien untuk keluar dari perawatan.
Tindakan seperti ini dapat diduga melanggar kaidah otonomi dan
nonmeleficence karena mengabaikan pasien dan menimbulkan inkapa-
sitas.

Dalam perawatan sering dijumpai prosedur perawatan yang


merugikan ODMK dan berpotensi melanggar etik. Misalnya untuk
menenangkan pasien sering digunakan cara-cara kekerasan, baik
­verbal­ maupun­ fisik.­ Pasien­ dibentak,­ dimarahi,­ atau­ diisolasi­ jika­
tidak patuh pada pengobatan yang direncanakan. Suatu survei
terhadap penderita skizofrenia yang dirawat di 2 rumah sakit di
Jakarta menunjukkan 61,7% pernah mengalami tindak kekerasan yang
dilakukan oleh keluarga, anggota masyarakat biasa, polisi, petugas
sosial, serta perawat dan dokter12. Prosedur isolasi sering dengan cara-
cara yang bisa merugikan atau menyakitkan pasien, misalnya mengikat
dengan kuat di tempat tidur. Pada beberapa fasilitas rawat masih
dijumpai pengisolasian pasien pada ruangan yang tidak layak, seperti
membiarkan pasien buang air besar di ruang yang sama. Tindakan-
tindakan seperti ini berpotensi melanggar kaidah dasar nonmalefi-
cence, yaitu melakukan sesuatu yang merugikan pasien. Contoh lain
yang sejenis adalah memberi makan malam dan memasukkan pasien
kembali ke ruang perawatan terlalu awal, dengan alasan kekurangan
tenaga untuk mengawasi pasien bila makan terlalu malam diberikan;

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

mengharuskan pasien menggunakan “seragam” pasien selama dirawat;


mengeksploitasi pasien untuk melakukan pekerjaan rutin rumah sakit
tanpa upah yang wajar dengan alasan bagian dari terapi rehabilitasi.

Pada Fasilitas Rawat Jalan

Sering dijumpai pasien hanya diwakili keluarga saat konsultasi


(berobat jalan) dengan alasan pasien tidak ingin berobat. Kadang
dokter memberikan obat cair yang bisa diberikan pada pasien dengan
diam-diam. Bila hanya satu atau dua kali, masih bisa ditoleransi
sebagai upaya yang akan menguntungkan pasien, paling tidak untuk
kesinambungan pengobatan. Namun, bila terjadi terus-menerus tentu
pengobatan tidak akan maksimal karena dokter tidak melakukan
pemeriksaan secara langsung. Selain mengabaikan kaidah otonomi,
kondisi ini berpotensi merugikan pasien karena berbagai akibat buruk
dari pengobatan tidak bisa dipantau dengan baik. Untuk menghindar
dari pelanggaran etik, maka keluarga dapat diminta untuk berusaha
lebih serius membawa pasien ke klinik, atau sebaliknya klinik rawat
jalan memberikan layanan kunjungan rumah untuk memastikan
pengobatan yang optimal dan tidak merugikan pasien.

Pada klinik rawat jalan yang ramai, untuk mengoptimalkan layanan,


dokter melakukan pemeriksaan beberapa pasien sekaligus dalam
satu ruangan. Dalam terapi kelompok keadaan seperti ini memang
direncanakan. Namun dalam layanan individu, maka pemeriksaan
sekaligus seperti ini jelas berpotensi melanggar hak privasi yang
merupakan bagian penting dari kaidah otonomi.

Dalam Layanan Kesehatan Umum

Dengan alasan tidak memiliki tenaga spesialis untuk masalah


kesehatan jiwa, rumah sakit sering menolak mengobati ODMK, meski
dalam keadaan darurat sekalipun. Dalam pertemuan dengan beberapa
pengelola panti rehabilitasi sosial milik Dinas Sosial DKI Jakarta,
diungkapkan bahwa beberapa rumah sakit umum menolak merawat
ODMK­ yang­ mengalami­ gangguan­ kesehatan­ fisik,­ meski­ kondisi­
kesehatan jiwanya relatif terkendali. Akhirnya banyak ODMK yang

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

meninggal­ karena­ masalah­ kesehatan­ fisik­ sederhana,­ seperti­ diare­


atau gizi buruk.

Dikotomi dan pemisahan fungsi dalam layanan kesehatan


berdampak negatif pada ODMK. Rumah sakit umum menolak karena
mengangggap bukan bidangnya. Panti rehabilitasi sosial merasa hanya
sebagai tempat penampungan individu dengan masalah sosial dan
bukan tempat layanan kesehatan, sehinggga tidak memiliki fasilitas
kesehatan yang memadai untuk menangani masalah kesehatan
ODMK yang berada di panti sosial ini. Akibatnya terjadi potensi
pelanggaran terhadap kaidah nonmaleficence karena pengabaian serta
justice. Dari kasus di atas, sebaiknya panti sosial yang juga menangai
ODMK sebagai sesama manusia tetap mengindahkan kaidah-kaidah
moral dasar untuk selalu melakukan hal yang terbaik bagi sesama
manusia.

Dalam layanan puskesmas juga sering terjadi pengabaian ODMK


dengan menolak mengobati pasien dan segera merujuk (bahkan
kadang tanpa memeriksa) ODMK ke rumah sakit jiwa. Tindakan ini
berpotensi melanggar kaidah moral justice (diperlakukan berbeda
­dengan­penderita­gangguan­fisik),­nolmaleficence karena mengabaikan
penderita yang membiarkan penderita menjadi lebih buruk, serta juga
beneficence karena tidak memaksimalkan sumber daya yang ada di
puskesmas untuk mengurangi penderitaan ODMK.

Dalam Sistem Layanan Kesehatan

Justice adalah kaidah dasar moral utama yang sering diabaikan


dalam sistem kesehatan secara umum dalam melayani ODMK. Ini
dapat dilihat dari keadilan dalam anggaran. Masalah kesehatan jiwa
yang menimbulkan beban hingga 13% hanya mendapat anggaran yang
kurang dari 1% dari anggaran kesehatan13. Akibatnya penyediaan obat-
obatnya menjadi sulit dan kadang dengan harga yang tidak terjangkau.
Begitu juga dengan sumber tenaga profesional, ketersediaannya jauh
dari kebutuhan. Dalam bidang asuransi atau sistem pembiayaan,
banyak yang menolak menanggung klaim ODMK, atau kalaupun ada
harus menanggung premi yang lebih besar.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

Upaya Pencegahan

Banyaknya dugaan pelanggaran etik terhadap ODMK, salah satu


penyebabnya adalah kurangnya kesadaran dari ODMK maupun
keluarga atas hak-hak yang dimilikinya. Untuk itu, program
pemberdayaan penderita dan keluarga dapat menjadi prioritas dalam
upaya pencegahan dugaan pelanggaran etik. Pemberdayaan ODMK
atau keluarga juga dapat diwujudkan dengan mewajibkan rumah sakit
membentuk dewan pengawas dengan salah satu anggotanya adalah
pasien atau perwakilannya. Juga diperlukan pendampingan ODMK
oleh LSM atau badan lain selama menjalani proses pengobatan untuk
melindungi pasien dari pelanggaran etik. Program pendampingan
ini terbukti berdampak positif terhadap perjalanan penyakit ODMK,
mengurangi perawatan di rumah sakit, dan mengurangi beban
ekonomi14.

Penanganan terpadu idealnya ada pada semua layanan kesehatan.


Pada fasilitas kesehatan jiwa seharusnya juga memperhatikan
­masalah­ kesehatan­ fisik,­ demikian­ juga­ sebaliknya,­ pada­ fasilitas­
layanan kesehatan umum juga memperhatikan masalah kesehatan
jiwa. Demikin juga dalam berbagai bentuk layanan yang lain, seperti
pada berbagai panti rehabilitasi sosial, panti jompo, rumah singgah,
penyediaan layanan kesehatan jiwa, dan kesehatan umum, adalah hal
yang penting.

Berbagai program ideal untuk mencegah pelanggaran etik di


atas akan dapat terlaksana apabila didukung dengan peraturan
perundangan yang kuat. Karenanya, upaya untuk memiliki UU
Kesehatan Jiwa harus terus didorong. UU ini dapat “memaksa”
pemerintah dan masyarakat untuk sadar akan hak-hak ODMK,
sekaligus secara sadar mendorong perubahan layanan sehingga tidak
berpotensi melanggar etik.

Kesimpulan

Berbagai perundangan dan lembaga telah ada untuk melindungi


ODMK dari pelanggaran etika dan HAM. Namun, adanya stigma
yang kuat serta kurangnya kesadaran berbagai pihak akan potensi

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MASALAH BIOETIKA DAN HAM PADA LAYANAN KESEHATAN JIWA

pelanggaran etik dan HAM terhadap ODMK menyebabkan masih


sering dijumpai pelanggaran etik dan HAM terhadap ODMK. Untuk
itu, upaya yang sistematis perlu dilakukan bersama-sama. Pemerintah
dapat mengeluarkan peraturan atau perundangan yang terkuat untuk
memaksakan perubahan yang berpihak pada ODMK, serta melakukan
upaya edukasi yang terus-menerus untuk mengurangi stigma. Upaya
lain yang juga harus dilakukan adalah meningkatkan kesadaran akan
masalah etik dan HAM terhadap semua layanan kesehatan serta
terhadap pasien dan keluarganya. Upaya bersama dan terus-menerus
dipastikan dapat melindungi penderita dari pelanggaran etika dan
HAM.

Kepustakaan

1 Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Ethics, download 30 November 2009.


2 Beuchamp T and DeGrazia D, Principles and Principlism in Hand Book of Bioethics: taking stock of the field from philosophical
perspective, edited by Khushf G, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 2004.
3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Praktik Kedokteran.
4 Nazif AH (ed), Komisi Bioetika Nasional; Bioetika dan Hak-Hak Asasi Manusia, 2007, Komisi Bioetika nasional, Jakarta.
5 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
6 Irmansyah, Prasetyo A, Minas H, “Human rights of persons with mental illness in Indonesia: more than legislation is needed”,
International Journal of Mental Health Systems, 2009, 3:14.
7 Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams & Wilkins. Baltinore, USA, 1995, hal. 19.
8 Childress and Beauchamp, the principle of biomedical ethics, 1994, Oxford University Press, Oxford.
9 Nazif AH, “Universal Declaration on Bioethics and Human Right”, Kisah perjalanan, rumusan dan prospeknya, paper pada
pendidikan dan pelatihan Bioetik, Center for Bioethics, Medico-legal and Human Right, 2008.
10 Purwadianto A, “Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilema Etik dan Penyelesaian Kasus Konkret Etik”,
paper pada Pertemuan Nasional III Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia, FKUI, Jakarta 30 November–2 Desember
2004.
11 Laporan Komnas HAM, 2007, 2008.
12 Dharmono S: Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa, 2006, Departemen Psikiatri Universitas Indonesia, Jakarta.
13 Wolrd Health Organization, Mental Health Atlas, 2005, WHO, Geneve.
14 Rosenman S, Korten A, Newman L, Efficacy of continuing Advocacy in Involuntary Treatment, Psychiatric Services, August 2000,
51:8, 1029-1033.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009
Instrumen Internasional
Terkait Hak Asasi Orang
dengan Masalah Kejiwaan*

Albert Maramis**
Tulisan ini membahas tentang aturan-aturan yang ada di
tingkat internasional terkait masalah ODMK. Peran instrumen
internasional HAM diperlukan dalam mendukung perlindungan
HAM bagi ODMK karena kelompok ini termasuk yang paling
rentan. Mereka sering dihadapkan pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk mempertahankan hak-haknya sehingga
dengan mudah mengalami eksploitasi, penghinaan, dan
pelanggaran hak-hak dasar. Tulisan ini juga menyampaikan
saran agar para pembuat kebijakan di Indonesia benar-benar
memperhatikan keberadaan aturan-aturan internasional tersebut.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


Instrumen Internasional Terkait Hak
Asasi Orang dengan Masalah Kejiwaan*

Pendahuluan

Orang dengan gangguan jiwa berisiko sangat tinggi untuk mengalami


pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM). Di seluruh Indonesia
beribu-ribu orang menghabiskan beberapa tahun hidupnya, bahkan
hampir seluruh hidupnya, dalam institusi yang justru menempatkan
mereka pada risiko tersebut dan mengurangi haknya untuk hidup di
tengah masyarakat.1,2

Stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa masih banyak yang


melekat di masyarakat dan menyebabkan diskriminasi terhadap
mereka. Ini berakibat pada berkurangnya kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan, pelayanan kesehatan dan sosial, pendidikan
dan pelatihan, transportasi, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu,
orang dengan gangguan jiwa bahkan mengalami perlakuan salah dan
kekerasan.3

Dalam hukum HAM internasional, hubungan antara HAM dan


kesehatan semakin penting maknanya sejalan dengan meluasnya
norma dan infrastruktur melewati berbagai tingkatan yurisdiksi,
domestik sampai internasional. Selama enam puluh tahun terakhir
upaya gerakan sosial internasional yang besar, yaitu gerakan HAM
dan gerakan hak penyandang cacat, telah berpuncak pada terkaitnya
kesehatan dan HAM.4

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

Hubungan antara HAM dan kesehatan tercermin dalam gambar


berikut ini:

Penyiksaan Perbudakan
Kekerasan
Praktik terhadap
tradisional perempuan
yang
berbahaya
Pelanggaran
HAM yang
berakibat sakit
(ill-health)

Hak untuk
Kese- berpartisipasi
hatan
&
Hak atas Mengurangi HAM Promosi atau
informasi kerentanan pelanggaran Bebas dari
terhadap sakit HAM melalui diskriminasi
(ill-health) pengembangan
melalui HAM kesehatan
Hak atas
pendidikan Bebas untuk
bergerak
Hak atas
makanan & Hak akan
nutrisi Hak atas privasi
air

Untuk mencegah diskriminasi terhadap orang dengan masalah


kejiwaan, diperlukan legislasi yang adekuat. Ditambah lagi, kebijakan
yang meningkatkan atau tak menghiraukan stigma terkait gangguan
jiwa dapat mencetuskan diskriminasi ini. Pemerintah sendiri dapat
melakukan diskriminasi dengan mengeluarkan orang dengan gangguan
jiwa dari berbagai aspek kewarganegaraan, seperti pemilu, mengemudikan
kendaraan, memiliki dan menggunakan harta benda, hak atas reproduksi
seksual dan perkawinan, serta akses terhadap pengadilan.1

Sebagai kerangka kerja untuk menyusun legislasi nasional mengenai


orang dengan masalah kejiwaan atau untuk meregulasi sistem
kesehatan jiwa dan pelayanan sosial diperlukan hukum internasional
tentang hak asasi manusia, baik itu yang berasal dari PBB maupun
instrumen regional. 1

Pada Konferensi San Francisco di tahun 1945 yang menyebabkan


terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah diusulkan suatu

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

“Deklarasi tentang Hak Esensial Manusia” yang disusun oleh Dewan


Ekonomi dan Sosial. Sejak semula dokumen tersebut telah dibagi dua,
yakni deklarasi yang menetapkan prinsip umum hak asasi manusia
dan konvensi atau kovenan yang memuat komitmen yang mengikat.
Dokumen pertama berupa Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration on Human Rights) disahkan pada
tanggal 10 Desember 1948.6

Karena perbedaan pandangan negara-negara anggota PBB mengenai


hak-hak sipil dan politik yang bersifat negatif dan hak-hak ekonomi, sosial,
dan kultural yang bersifat positif7, maka konvensi yang sedang disusun
dibagi menjadi dua kovenan, yakni satu memuat hak-hak sipil dan politik
serta yang satu lagi memuat hak-hak ekonomi, sosial, dan kultural.8

Beberapa Instrumen Internasional tentang Hak Asasi Manusia

Instrumen internasional hak asasi manusia yang ada cukup


beragam dan kekuatannya mencerminkan seberapa jauh mereka
mewakili “hukum keras” (hard law) atau “hukum lunak” (soft law).
Hukum keras menunjukkan hukum internasional yang menciptakan
hak yang dapat diterapkan pada pengadilan internasional dan dalam
negeri, sedangkan hukum lunak bersifat tidak mengikat secara hukum
tetapi dapat menjadi kekuatan persuasif atau dapat digunakan dalam
debat untuk menimbulkan rasa malu bagi pemerintah.9

Instrumen PBB yang bersifat mengikat, contohnya UN Convention


on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons
with Disabilities, UN Universal Declaration of Human Rights, UN
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,
UN International Covenant on Civil and Political Rights, dan UN
Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment. Sedangkan instrumen PBB yang tidak
mengikat, misalnya UN Principles for the Protection of Persons with
Mental Illness (MI Principles), UN Declaration on the Rights of Disabled
Persons, dan UN Standard Rules on the Equalization of Opportunities
for Persons with Disabilities.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (UN Universal


Declaration of Human Rights)

Pasal 1 dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia


(DUHAM) menyatakan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Karenanya, orang
dengan gangguan jiwa juga berhak untuk menikmati dan dilindungi
hak-hak mendasarnya.10

DUHAM yang terdiri dari 30 pasal dirancang oleh perwakilan


berbagai daerah di dunia dengan latar belakang hukum dan budaya
yang berbeda. Deklarasi ini merupakan muara dari pengalaman
selama Perang Dunia II dan mencerminkan sikap global tentang
hak-hak yang dimiliki oleh seluruh umat manusia. Pada 10 Desember
1948 DUHAM dikumandangkan oleh Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di Paris melalui resolusi SU PBB Nomor 217
A (III). Ini adalah standar umum yang harus dicapai oleh semua
orang dan negara. Deklarasi ini telah dijabarkan dalam traktat
internasional, instrumen regional, serta konstitusi dan undang-
undang nasional.11

DUHAM bersama dengan the International Covenant on Economic,


Social and Cultural Rights (ICESCR, 1966) dan the International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR, 1966) beserta kedua
protokol opsionalnya, merupakan apa yang dikenal sebagai the
“International Bill of (Human) Rights”. Diterimanya kedua kovenan pada
tahun 1966 oleh Majelis Umum PBB melengkapi the International Bill
of Human Rights.­Setelah­kedua­kovenan­itu­diratifikasi­oleh­negara-
negara dalam jumlah yang cukup, pada tahun 1976 the International
Bill of Rights mencapai kekuatan hukum internasional.11
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR, 1966)

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau The


International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) adalah
traktat multilateral yang disahkan oleh Sidang Umum PBB pada
tanggal 16 Desember 1966 dan berlaku sejak 23 Maret 1976. Ia
mengikat negara-negara pihak (parties) untuk menghargai hak-hak
sipil dan politik setiap individu, termasuk hak untuk hidup, kebebasan

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

beragama, kebebasan berbicara, kebebasan untuk berkumpul dan


berserikat, hak memilih dan dipilih, serta hak untuk proses peradilan
dan persidangan yang adil.12

Sampai bulan Oktober 2009, kovenan ini mempunyai 72 negara


penandatangan dan 165 negara pihak. Indonesia telah melakukan
aksesi terhadap kovenan ini pada tanggal 23 Februari 2006 dan mulai
berlaku pada tanggal 23 Mei 2006.12 (UN Treaty Collection: ICCPR)

KIHSP/ICCPR ini merupakan bagian dari the International Bill


of Human Rights, bersama dengan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) dan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Kultural (International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR).13

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dimonitor oleh


Human Rights Committee. Komite ini bersifat permanen dan bertugas
untuk meneliti laporan berkala yang diajukan oleh negara anggota
tentang ketaatan mereka pada traktat. Anggota Human Rights
Committee dipilih oleh negara anggota, tetapi tidak mewakili negara
mana pun.13

KIHSP/ICCPR tidak mencantumkan perlindungan hak atas


­kesehatan­secara­spesifik.­Beberapa­hak­yang­terdapat­dalam­kovenan­
ini terkait langsung atau tidak langsung dengan pemenuhan hak
atas kesehatan. Yang terkait langsung, misalnya hak untuk tidak
mengalami penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam,
tidak manusiawi atau merendahkan (Pasal 7), hak untuk tidak menjadi
subjek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan bebas/free
consent (Pasal 7), dan hak untuk tidak diperbudak atau dipaksa
melakukan pekerjaan (Pasal 8).14

Hak-hak dalam KIHSP/ICCPR yang secara tidak langsung terkait


dengan pemenuhan hak atas kesehatan, termasuk hak untuk tidak
didiskriminasi (Pasal 2 dan 3), hak untuk hidup (Pasal 6), hak untuk
kebebasan dan keamanan seseorang (Pasal 9), hak akan kebebasan
bergerak bagi setiap orang yang sah menurut hukum berada dalam
wilayah negara pihak (Pasal 12), hak atas privasi, yang berarti tidak
seorang pun yang boleh mengalami gangguan terhadap privasi,

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

keluarga, rumah atau surat-menyurat, atau serangan yang melanggar


hukum terhadap kehormatan atau reputasinya (Pasal 17), hak
akan kebebasan berpikir, berprinsip, dan beragama (Pasal 18), hak
akan kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan untuk mencari,
menerima, dan memberikan informasi dan ide apa pun (Pasal 19), hak
untuk berkumpul secara damai dan kebebasan berserikat, termasuk
membentuk dan bergabung dengan serikat buruh (Pasal 21 dan 22),
hak keluarga yang merupakan kelompok alamiah dan fundamental
dari masyarakat untuk mendapat perlindungan dari masyarakat dan
negara (Pasal 23[1]), hak laki-laki dan perempuan untuk menikah
dengan bebas (Pasal 23[2]-[3]), dan hak setiap anak berdasarkan
statusnya sebagai anak di bawah umur untuk dilindungi oleh keluarga,
masyarakat, dan negara tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna
kulit, seks, bahasa, agama, asal negara dan sosial, serta harta benda
atau kelahiran (Pasal 24).14

Yang nyata berhubungan dengan hak orang penyandang cacat dan


orang dengan masalah kejiwaan, misalnya Pasal 7 dan 26. Dengan
Pasal 7, ICCPR melindungi dari penyiksaan, perlakuan yang kejam,
serta tidak manusiawi atau merendahkan. Hal ini berlaku bagi
institusi medis, terutama yang menyediakan pelayanan psikiatrik.
Komentar umum tentang Pasal 7 mengharuskan pemerintah untuk
menyediakan informasi tentang penahanan di rumah sakit jiwa, hal-hal
yang dilakukan untuk mencegah perlakuan sewenang-wenang, proses
pengaduan yang tersedia bagi orang yang dimasukkan ke institusi
psikiatrik, dan keluhan yang terdaftar selama periode pelaporan. 1

Komentar­umum­tentang­Pasal­26­mendefinisikan­perlindungan­dari­
diskriminasi terhadap orang penyandang cacat. Sementara komentar
umum yang dihasilkan oleh badan pengawas HAM merupakan sumber
penting dalam interpretasi pasal-pasal konvensi HAM. Komentar
umum bersifat tidak mengikat, tetapi mewakili pandangan resmi serta
interpretasi yang seharusnya dari konvensi.1

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan


Kultural (International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights/ICESCR, 1966)

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

Pada tanggal 16 Desember 1966 Kovenan Internasional tentang


Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Kultural (International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR) disahkan oleh Sidang
Umum PBB dan mulai berlaku tanggal 3 Januari 1976. Pelaksanaannya
dimonitor oleh UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights.
Indonesia telah mengaksesi kovenan ini pada tanggal 23 Februari
2006. Sementara sampai saat ini terdapat 160 negara pihak untuk
ICESCR ini.15

ICESCR merupakan bagian dari the International Bill of Human


Rights, bersama dengan Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) dan the International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR), termasuk protokol opsional pertama dan kedua.16

Pasal 12 ICESCR menjamin hak setiap orang untuk menikmati


­standar­ pencapaian­ tertinggi­ akan­ kesehatan­ fisik­ dan­ mental­ (UN
Treaty Collection: ICESCR). Komentar Umum 5 yang disahkan
oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 1996,
menyebutkan bahwa hak atas kesehatan itu termasuk hak untuk
mengakses pelayanan rehabilitasi. Hal ini berarti juga hak akan akses
terhadap pelayanan yang meningkatkan otonomi.16

Komentar Umum 14 oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Kultural


bermaksud membantu negara-negara mengimplementasikan Pasal
12 ICESCR. Di situ tertulis bahwa hak akan kesehatan mengandung
kebebasan dan hak, termasuk hak seseorang untuk mengendalikan
kesehatan dan tubuhnya, kebebasan dalam hal seks dan reproduksi,
serta hak untuk terbebas dari campur tangan, seperti hak untuk
terbebas dari siksaan, pengobatan medis tanpa persetujuan, dan
eksperimentasi. Hak yang ada juga termasuk hak atas sistem
perlindungan kesehatan yang menyediakan kesempatan yang setara
untuk menikmati tingkat kesehatan tertinggi yang dapat dicapai.17

Selanjutnya Komentar Umum 14 juga menyatakan bahwa hak akan


kesehatan membawa tiga macam kewajiban negara, yakni kewajiban
untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi. Kewajiban untuk
menghormati mengharuskan negara berhenti mengganggu, secara
langsung maupun tidak, penikmatan hak atas kesehatan. Kewajiban
untuk melindungi mengharuskan negara untuk mengambil langkah-

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

langkah mencegah pihak ketiga yang akan menghambat jaminan yang


diberikan oleh Pasal 12. Kewajiban untuk memenuhi berarti kewajiban
untuk memfasilitasi, menyediakan, dan meningkatkan; mewajibkan
negara untuk mengambil langkah legislatif, administratif, keuangan,
hukum, promosi, dan sebagainya guna perwujudan sepenuhnya hak
atas kesehatan.17

Beberapa hak lain yang juga dilindungi dalam International Bill of


Rights termasuk hak akan integrasi ke komunitas, hak akan akomodasi
yang layak (Komentar Umum 5 ICESCR), hak akan kebebasan dan
keamanan seseorang (Pasal 9 ICCPR), dan kebutuhan akan tindakan
afirmatif­ untuk­ melindungi­ hak­ orang­ dengan­ disabilitas,­ termasuk­
orang dengan gangguan jiwa.1

Instrumen Internasional Lainnya

Konvensi PBB tentang Hak Anak mengandung perlindungan HAM


yang relevan bagi anak dan remaja, termasuk perlindungan dari
­segala­bentuk­penganiayaan­fisik­dan­mental,­non-diskriminasi,­hak­
untuk hidup, mencintai dan berkembang, kepentingan terbaik bagi
anak, serta menghargai pandangan anak. Ada beberapa pasal yang
sangat terkait dengan kesehatan jiwa, yaitu Pasal 23 yang mengakui
bahwa­anak­dengan­disabilitas­mental­atau­fisik­memiliki­hak­untuk­
menikmati kehidupan yang layak dalam kondisi yang menjamin
martabat, meningkatkan kemandirian, dan memfasilitasi anak
untuk berpartisipasi di masyarakat; Pasal 25 mengakui hak untuk
mendapatkan telaah berkala atas pengobatan yang diberikan pada
anak di dalam institusi perawatan, perlindungan atau pengobatan
­kesehatan­fisik­atau­mental;­Pasal­27­menyebutkan­hak­setiap­anak­
akan­ standar­ kehidupan­ yang­ adekuat­ bagi­ perkembangan­ fisik,­
mental, spiritual, moral, dan sosial anak; Pasal 32 mengakui hak
anak untuk dilindungi dari melakukan pekerjaan yang berbahaya
bagi atau mengganggu pendidikan mereka, atau membahayakan
­kesehatan­ atau­ perkembangan­ fisik,­ mental,­ spiritual,­ moral­ atau­
sosial.18

Konvensi PBB menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman


yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan, juga terkait dengan

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

kesehatan jiwa. Pasal 16 membuat negara yang menjadi pihak dari konvensi
ini bertanggung jawab untuk mencegah perbuatan atau perlakuan atau
hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan.19

Prinsip-Prinsip Perlindungan bagi Orang dengan Penyakit


Jiwa dan Perbaikan Perawatan Kesehatan Jiwa (Principles for the
protection of persons with mental illness and the improvement of mental
health care atau juga dikenal sebagai MI Principles) disahkan melalui
Resolusi Sidang Umum PBB 46/119 Tahun 1991. Dokumen ini mem-
buat terangkatnya kebutuhan orang yang menderita gangguan jiwa,
menekankan hak akan akses terhadap perawatan kesehatan jiwa
yang adekuat, serta menetapkan prinsip kesetaraan antara psikiatri
dan bidang kedokteran lainnya. Dokumen ini menekankan pentingnya
praktik non-diskriminasi dalam sistem pelayanan kesehatan. Hak-hak
yang dimiliki pengguna pelayanan, menurut prinsip-prinsip ini, ter-
masuk hak untuk mengakses fasilitas kesehatan jiwa setara dengan
akses terhadap fasilitas kesehatan untuk penyakit lainnya, hak untuk
pengobatan, dan perawatan yang memenuhi standar yang sama de-
ngan yang diperuntukkan bagi orang dengan penyakit lain, atau hak
orang yang dimasukkan ke fasilitas kesehatan jiwa untuk mendapat-
kan sumber daya yang sama dengan pelayanan kesehatan lain. Meski-
pun dokumen ini tidak mengikat secara hukum, dinyatakan dengan
jelas bahwa negara anggota PBB diharapkan menerapkan sepenuhnya
prinsip-prinsip tersebut.20

Prinsip-prinsip ini menyatakan bahwa hak sipil, politik, ekonomi,


sosial, dan kultural yang terpenting dan kebebasan fundamental orang
dengan disabilitas mental adalah:20
• Hak untuk perawatan medis (Prinsip 1.1).
• Hak untuk diperlakukan dengan manusiawi dan penghargaan
(Prinsip 1.2).
• Equal protection right (Prinsip 1.4).
• Hak untuk dirawat di komunitas (Prinsip 7).
• Hak untuk memberikan persetujuan (informed consent) sebelum
menerima pengobatan apa pun (Prinsip 11).
• Hak atas privasi (Prinsip 13).
• Kebebasan untuk berkomunikasi (Prinsip 13).
• Kebebasan beragama (Prinsip 13).
• Hak atas perawatan suka rela di rumah sakit (voluntary admission)
(Prinsip 15 and 16).

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

• Hak atas jaminan proses pengadilan (Prinsip 17).

Namun sayangnya, ada beberapa hal yang kurang menguntung-


kan dari prinsip-prinsip ini. Pertama, ia tidak mempunyai kedudukan
sebagai traktat internasional yang resmi. Kedua, negara tidak ditun-
tut untuk mengadopsi prinsip-prinsip ini sebagai standar minimum
untuk perlindungan bagi orang dengan penyakit jiwa. Ketiga, dalam
beberapa hal, khususnya tentang persetujuan pengobatan, prinsip-
prinsip ini menghilangkan hak pasien daripada memperkuatnya.
Keempat, prinsip-prinsip ini tidak menyediakan cara untuk melurus-
kan atau memonitor, serta memeriksa atau menyupervisi oleh badan
internasional yang independen.21

Implikasi dari Instrumen Internasional

Ada perbedaan aspek hukum antara konvensi HAM internasional


(seperti ICCPR dan ICESCR) dan resolusi Sidang Umum PBB (seperti
MI Principles). Konvensi masuk ke dalam kategori hukum inter-
nasional yang “keras”, sedangkan resolusi Sidang Umum masuk ke
dalam kategori hukum internasional yang “lunak”. Instrumen hukum
lunak dalam bidang HAM disebut juga “standar” HAM dan dianggap
sebagai “tidak mengikat” (non-binding). Sebaliknya, hukum keras
dianggap sebagai “mengikat”.22

Dalam kategori hukum HAM internasional yang mengikat terdapat


dua sumber, yakni hukum internasional biasa (customary international
law) dan konvensi.23 Customary international law dibentuk oleh prinsip-
prinsip hukum yang telah diterima secara luas oleh pemerintah dan
akademisi sebagai bersifat mengikat sehingga tidak diperlukan lagi
prinsip hukum tertulis.24 Prinsip-prinsip hukum lunak yang sejalan
dengan waktu menjadi diterima secara luas dapat “mengeras” men-
jadi hukum internasional yang mengikat, contoh dalam hal ini adalah
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Dalam­ hal­ konvensi,­ dengan­ meratifikasi­ traktat­ HAM­ yang­ ada,­


pemerintah negara-negara mengikatkan diri untuk menghargai dan
mempromosikan HAM bagi rakyatnya. Mereka juga harus menjamin
bahwa pengembangan, penerapan dan telaah atas hukum, kebijakan,

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

serta praktik sejalan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh traktat


tersebut. Individu dan organisasi, seperti LSM, dalam melakukan ad-
vokasi dapat merujuk pada kewajiban pemerintah yang dicantumkan
pada­traktat­yang­telah­diratifikasi.

Beberapa traktat mengharuskan pemerintah memberikan laporan


berkala kepada badan monitoring traktat yang ada, serta menggam-
barkan langkah-langkah yang telah diambil dalam rangka mematuhi
traktat tersebut. Individu dimungkinkan untuk mengadu kepada
badan pengawas yang ada, tergantung pada traktatnya, dan apakah
negara menyetujui hal ini. Apabila traktat telah menjadi bagian dari
hukum nasional, individu dapat juga melakukan langkah hukum di
pengadilan nasional.

Penutup

Peran instrumen internasional HAM diperlukan dalam mendukung


perlindungan HAM orang dengan masalah kejiwaan karena kelompok
ini termasuk yang paling rentan. Mereka sering dihadapkan pada
keadaan yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan hak-
haknya sehingga dengan mudah mengalami eksploitasi, penghinaan,
dan pelanggaran hak-hak dasar mereka.25

Proses pembuatan perundangan yang baru menuntut adanya


telaah yang menyeluruh dari standar HAM internasional yang ter-
kait dengan orang dengan masalah kejiwaan, atau secara luas orang
dengan disabilitas (termasuk disabilitas mental). Di samping itu, ang-
gota parlemen, pengambil kebijakan, dan aktivis non-pemerintah yang
mengembangkan­perundangan­juga­harus­meneliti­kewajiban­spesifik­
yang­ diminta­ oleh­ tiap­ konvensi­ yang­ telah­ diratifikasi­ pemerintah,­
termasuk instrumen-instrumen regional.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


INSTRUMEN INTERNASIONAL TERKAIT HAK ASASI ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN

* (Pandangan yang dituliskan dalam artikel ini tidak dengan sendirinya mencerminkan keputusan, kebijakan, atau pandangan WHO).
** National Professional Officer for Mental Health and Tobacco Free Initiative, WHO Country Office for Indonesia.

Kepustakaan
1. WHO: WHO Resource Book on Mental Health, Human Rights and Legislation. WHO, Geneva, 2005.
2. Minas H: Mentally ill patients dying in social shelters in Indonesia. The Lancet, 374: 9690, Pages 592 - 593, 22 August 2009.
3. Minas H, Diatri H: Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. Int J Ment Health Syst 2008, 2:8.
4. Gable L, Gostin LO: Mental Health as a Human Right. Swiss Human Rights Book, Vol. 3, pp. 249-261, Rüffer & Rub, 2009.
5. WHO. Linkages between Health and Human Rights. http://www.who.int/hhr/HHR%20linkages.pdf. Retrieved 31 – 12 – 2009.
6. UN. Fact Sheet No.2 (Rev.1), The International Bill of Human Rights. http://www.ohchr.org/Documents/Publications/
FactSheet2Rev.1en.pdf. Retrieved 2 – 1 – 2010.
7. Sieghart P: The International Law of Human Rights. Oxford University Press, 1983.
8. United Nations General Assembly Resolution 543, February 5, 1952.
9. Fennell P: Human rights, bioethics, and mental disorder. Med Law 27(1):95-107, 2008.
10. United Nations Universal Declaration of Human Rights, 1948.
11. Wikipedia, the free encyclopedia. Universal Declaration of Human Rights. http://en.wikipedia.org/wiki/Universal_Declaration_
of_Human_Rights. Retrieved 27 – 12 – 2009
12. UN Treaty Collection: International Covenant on Civil and Political Rights. http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.
aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-4&chapter=4&lang=en. Retrieved 26 – 12 – 2009.
13. Wikipedia, the free encyclopedia. International Covenant on Civil and Political Rights. http://en.wikipedia.org/wiki/International_
Covenant_on_Civil_and_Political_Rights. Retrieved 5 – 1 – 2010.
14. WHO EMRO. Health and Human Rights: International Covenant on Civil and Political Rights. http://www.who.int/hhr/Civil_
political_rights.pdf. Retrieved 31 – 12 – 2009.
15. UN Treaty Collection: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.
aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-3&chapter=4&lang=en. Retrieved 26 – 12 – 2009.
16. Wikipedia, the free encyclopedia. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. http://en.wikipedia.org/wiki/
International_Covenant_on_Economic,_Social_and_Cultural_Rights. Retrieved 5 – 1 – 2010.
17. Committee on Economic, Social, and Cultural Rights: General Comment No. 14: The right to the highest attainable standard of
health. Geneva, Twenty-second session 25 April-12 May 2000. http://www.aspire-irl.org/General%20Comment%2014.pdf.
Retrieved 8-1-2010.
18. UN Convention on the Rights of the Child. http://www2.ohchr.org/english/law/pdf/crc.pdf. Retrieved 8 – 1 – 2010.
19. United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. http://untreaty.
un.org/english/treatyevent2001/pdf/07e.pdf. Retrieved 8 – 10 – 2010.
20. UN Principles for the protection of persons with mental illness and the improvement of mental health care. http://www2.ohchr.
org/english/law/principles.htm. Retrieved 8 – 10 – 2010.
21. Harding TW: Human rights law in the field of mental health: a critical review. Acta Psychiatr Scand 101:24-30, 2000.
22. Rosenthal E, Sundram CJ: The Role of International Human Rights in National Mental Health Legislation. WHO, Geneva, 2004.
23. Janis MW: An Introduction to International Law. Little, Brown, 1988.
24. Weissbrodt D, Fitzpatrick J, Newman F: International Human Rights: Law, Policy, and Process. LexisNexis; 3rd Edition, 2001.
25. Lehmets A: Rights of the Persons with Mental Illness in Europe http://www.phil.gu.se/sffp/reports/19.%20Lehtmets.pdf. Retrieved
4 – 1 – 2010.

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Sejarah Perlindungan ODMK
(Orang dengan Masalah
Kejiwaan) dalam Hukum Indonesia

Pandu Setiawan
Tulisan ini mengupas sejarah perlindungan terhadap ODMK. Dalam
catatan sejarah, ternyata kolonial Belanda telah meletakkan dasar-
dasar hukum bagi penanganan ODMK di Hindia Belanda. Pada 30
Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit (Keputusan Kerajaan)
dan pada 14 Mei 1867 dikeluarkan Keputusan Gubernur Jenderal
untuk dibangunnya rumah sakit jiwa di Hindia Belanda. Atas dasar
itulah berdiri beberapa rumah sakit jiwa yang hingga kini masih
menjadi pilar bagi penanganan ODMK di Indonesia. Antara lain RSJ
Bogor pada 1876, RSJ Lawang pada 1902, RSJ Solo pada 1919, RSJ Magelang pada 1923,
RSJ Jakarta pada 1924, serta RSJ Surabaya dan RSJ Semarang pada 1929. Hingga 1940
terdapat 16 RSJ di 16 provinsi. Namun, pelayanan kesehatan jiwa pada saat itu masih san-
gat tertutup, bahkan mirip seperti penjara (custodial care). Dasar hukumnya adalah “het
Reglemen op het Krankzinnigenwezen” (STBL 1897 No. 54). Yang menarik adalah bahwa
salah satu pertimbangan kuat dalam suatu keputusan kerajaan adalah banyaknya pasien
gangguan jiwa yang didapat dalam satu survei sehingga harus disatukan dalam satu
fasilitas perawatan dan tidak “berkeliaran” di masyarakat.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009
Sejarah Perlindungan ODMK
(Orang dengan Masalah Kejiwaan)
dalam Hukum Indonesia

I. Pengantar

S
ungguh suatu hal yang tidak mudah untuk menyusun sejarah
tentang hal ini. Ini sangat ditentukan oleh perkembangan
konsep-konsep tentang ilmu kedokteran/kedokteran jiwa,
pelayanan kesehatan jiwa, ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya, serta
kondisi-kondisi sosio-kultural ekonomi yang selalu ikut memberikan
warna dalam cara pandang kita sebagai profesional, non-profesional
maupun masyarakat awam, terhadap isu yang tidak populer dan
terpinggirkan sampai sekarang.

II. Pengertian

ODMK adalah singkatan yang dicoba dipopulerkan sejak satu


tahun terakhir untuk menggantikan istilah “gila”, “miring”, “kurang
waras”, “sinting”, dan lain sebagainya yang sangat stigmatis. ODMK
antara lain digunakan dengan analogi pengurangan stigma seperti
ODH (orang dengan HIV/AIDS).

Maka, konsep ODMK sebaiknya bertolak dari suatu konsep yang


telah diakui dan dipakai oleh profesional, baik pada tingkat nasional
maupun global. Indonesia telah memiliki PPDGJ III/1993 (Pedoman
Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia). Tujuan
disusunnya pedoman ini adalah dapat dipakai sebagai referensi dalam
bidang pelayanan kesehatan, pendidikan kedokteran/kesehatan, serta
bidang penelitian.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

Dalam konsep ini gangguan jiwa setidaknya mempunyai tiga hal


yang penting:

1. Adanya gejala klinis yang bermakna (sindrom/pola perilaku dan


pola psikologis).
2. Gejala tersebut menimbulkan penderitaan (distress).
3. Gejala tersebut menimbulkan disabilitas.

Secara­sederhana­struktur­klasifikasi­PPDGJ­III­terdiri­dari:

1. Gangguan mental organic.


2. Gangguan mental psikotik.
3. Gangguan neurotic dan gangguan kepribadian.
4. Gangguan masa kanak-kanak, remaja, dan perkembangan.

Keempat kelompok ini mencakup 100 kategori diagnosis. Kalau


kita sepakat dengan penggunaan istilah ODMK, maka akan lebih jelas
bila disebutkan dengan:

• Orang dengan skizofrenia,


• Orang dengan retardasi mental,
• Orang dengan gangguan neurotik, dan
• Orang dengan ketergantungan zat.

Perlindungan terhadap ODMK:

Istilah perlindungan dalam konteks ODMK adalah sesuatu yang


relatif baru di Indonesia. Ini dapat kita diskusikan bentuk dan cara
yang berubah sepanjang kurun waktu sejalan dengan perubahan
konsep layanan kesehatan jiwa yang berkembang. Karakteristik dari
gangguan jiwa, cara terapi, tempat terapi, dan penyedia layanan yang
sampai sekarang masih penuh dengan stigma memengaruhi upaya
perlindungan yang ingin dikembangkan. Mungkin bisa kita sepakati
bahwa dalam konsep “perlindungan” diartikan sebagai sesuatu rangkap
legislasi, regulasi, implementasi, serta monitoring untuk memastikan
mereka mendapat hak-hak asasi mereka yang sama dengan orang
lain.

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

III. Hukum di Bidang Kesehatan Jiwa di Indonesia

Referensi untuk hal ini relatif sangat terbatas. Kalau kita ambil
sebagai awal adalah pada waktu zaman Hindia Belanda, pada tanggal
30 Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit (Keputusan Kerajaan)
dan pada tanggal 14 Mei 1867 dikeluarkan Keputusan Gubernur
Jenderal untuk dibangunnya rumah sakit jiwa di Indonesia. Atas
dasar keputusan ini, maka berturut-turut didirikan:

• RSJ Bogor tahun 1876.


• RSJ Lawang tahun 1902.
• RSJ Solo tahun 1919.
• RSJ Magelang tahun 1923.
• RSJ Jakarta tahun 1924.
• RSJ Surabaya dan RSJ Semarang tahun 1929.

Sampai dengan tahun 1940 terdapat 16 RSJ di 16 provinsi. Pelayanan


kesehatan jiwa pada saat itu bersifat sangat tertutup, bahkan mirip
seperti penjara (custodial care). Dasar hukumnya adalah “het Reglemen
op het Krankzinnigenwezen” (STBL 1897 No. 54).

Yang menarik adalah bahwa salah satu pertimbangan kuat dalam


suatu keputusan kerajaan adalah banyaknya pasien gangguan jiwa
yang didapat dalam satu survei sehingga harus disatukan dalam satu
fasilitas perawatan dan tidak “berkeliaran” di masyarakat. Apakah ini
awal dari konsep perlindungan?

Tahun 1897 Tahun 1951 Tahun 1978


Krankzinnigengesticht RSJP (Rumah Sakit Jiwa Pusat) RSJ (Rumah Sakit Jiwa):
Doorgangs Huis RSJ (Rumah Sakit Jiwa) - Kelas A
Verpleegte Huis RPSJ (Rumah Perawatan Sakit Jiwa) - Kelas B
Kolonie KOSJ (Koloni Orang Sakit Jiwa - Kelas C

IV. Pada tahun 1966 Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara
di dunia yang mempunyai UU tentang kesehatan jiwa, yakni UU
Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 yang kemudian dilebur ke dalam
UU No. 23 Tahun 1992. Setelah itu dalam UU No. 23 Tahun 1992
terdapat 4 pasal tentang kesehatan jiwa, sementara dalam UU No.
36 Tahun 2009 terdapat 8 pasal tentang kesehatan jiwa. Selain itu,

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

beberapa undang-undang mempunyai keterkaitan dengan masalah


kesehatan jiwa, seperti UU kesejahteraan sosial, UU tentang cacat,
UU konsumen, UU HAM, dan UU rumah sakit.

Kalau kita mencermati “evolusi” pemikiran dalam produk legislasi


di bidang kesehatan jiwa didapatkan beberapa hal yang menarik,
seperti:

1. Konsep keswa berubah dan mendapatkan penekanan tertentu,


seperti tercantum secara jelas pada UU No. 36 Tahun 2009 yang
menekankan konsep “upaya”.
2. Cukup konsisten dalam penggunaan istilah gangguan jiwa dan
masalah psikososial.
3. Spektrum upaya pelayanan cukup luas, meskipun justru pada
UU No. 23 Tahun 1992 isu “penyaluran bekas penderita ke dalam
masyarakat”, lebih eksplisit dikemukakan.
4. Pada UU No. 36 Tahun 2009 lebih tergambar peran pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
5. Isu hak asasi ODMK, hak masyarakat, serta kewajiban peme-
rintah disebutkan dengan jelas.
6. Secara umum warna dari pasal-pasal di dalam UU masih
cenderung bersifat “inward looking” dalam arti lebih mengatur
dalam domain kesehatan.

Yang menyisakan masalah adalah UU No. 23 Tahun 1992 dan UU


No. 36 Tahun 2009 mengharuskan disusunnya peraturan pemerintah
(PP) yang mengatur lebih lanjut pasal-pasal di dalam UU. Suatu hal
yang membutuhkan kerja keras. Setidaknya ada beberapa kesepakatan
global dalam bentuk resolusi/konvensi oleh PBB dan perangkat-
perangkat komisi khusus, antara lain:

a. Office of the High Commission for Human Right tentang


“Principals for the Protection of Person with Mental Illness and the
Improvement of Mental Health Care” (General Assembly Resolution
No. 46/119 17 Desember 1991).
b. UU No. 5 Tahun 1998 tentang “Pengesahan Convention Againts
Torture and Other Cruel, in human or degrading treatment or
punishment”.

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

c. UU No. 11 Tahun 2005 tentang “Pengesahan internasional


covenant on economic, social, and cultural rights”.

Pokok-pokok prinsip yang tercantum dalam resolusi No. 46 / 119 17


Desember 1991 adalah:

1. Kemerdekaan fundamental dan hak-hak dasar.


2. Perlindungan untuk kelompok “minor”.
3. Kehidupan di komunitas.
4. Penentuan tentang gangguan jiwa.
5. Pemeriksaan medis.
6. Confidentiality.
7. Peran komunitas dan budaya.
8. Standar pelayanan.
9. Pengobatan.
10. Medikasi.
11. Constant untuk pengobatan.
12. Pemberitahuan atas hak-hak.
13. Hak dan kondisi di fasilitas kesehatan jiwa.
14. Sumber daya untuk fasilitas kesehatan jiwa.
15. Prinsip admisi (pemasukan pasien).
16. Pemasukan paksa (involuntary admission).
17. Latihan pemantau.
18. Pedoman-pedoman prosedural.
19. Akses untuk informasi.
20. Pelaku tindak kriminal.
21. Ilham.
22. Monitoring dan pembinaan.
23. Implementasi.
24. Jangkauan prinsip untuk fasilitas kesehatan jiwa.
25. Memastikan hak-hak yang tersedia.

V. Kelainan Kesehatan Jiwa

Sangat jelas terekam bahwa kelainan kesehatan jiwa di Indonesia


sejak jaman Belanda sampai kira-kira dua dekade yang lalu
orientasinya:
• Hanya pada RSJ dan beberapa RSU
• Terutama hanya untuk gangguan jiwa yang berat (psikosis).

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

• Dengan 35 RSJ berkapasitas 8.000 tempat tidur saat ini


sebenarnya gambaran ke depan agak memprihatinkan karena:

1. Secara rasio antara tempat tidur tersedia dibanding populasi/


ODMK adalah sangat pincang.
2. Upaya penguatan kapasitas internal RSJ menghadapi kendala
besar, baik dari jumlah maupun kompetensi kesehatan jiwa.
3. Persepsi pemerintah daerah sejak era desentralisasi tentang
perlunya RSJ dan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang baik
sangat buruk.
4. Meski andalan pemerintah untuk kesehatan jiwa adalah 1,5%
dari anggaran kesehatan yang hanya 3% dari APBN di mana
95%-nya terserap untuk rumah sakit jiwa, dana ini sangat kurang.
5. Disadari bahwa masalah muncul sejak dari “hulu” (pendidikan
latihan tenaga kesehatan/kedokteran) sampai dengan “hilir”
(fasilitas layanan).

Dengan gambaran seperti di atas, maka rumah sakit jiwa sering


digugat oleh banyak pihak sebagai institusi yankeswa resmi, di mana
layanan yang dilakukan masih sering mengabaikan hak-hak ODMK,
baik dari segi fasilitas, pilihan-pilihan terapi, privasi, sikap maupun
perilaku dari petugas-petugasnya. Memang beberapa program yang
dilakukan oleh organisasi perumahsakitan seperti PERSI/ARSADA
dan sebagainya dengan program Patient Safety, Hospital by Laws,
dan sebagainya memberi kontribusi yang lumayan, demikian pula
program yang dilakukan oleh perhimpunan profesi.

Kalau kita relatif bisa memantau kondisi di rumah sakit jiwa,


maka untuk memantau fasilitas layanan di komunitas seperti panti
ataupun di lingkungan komunitas sangat sulit dilakukan karena
belum tersusunnya sistem pemantauan. Terdapat kesan adanya
ketidakacuhan, mungkin ketidaktahuan ataupun ketidakpekaan,
tentang adanya masalah kesehatan jiwa serta besarannya yang
dianggap ringan.

VI. Diskusi

Mencermati uraian di atas, maka dalam penyusunan legislasi,


mungkin dalam bentuk undang-undang kesehatan jiwa harus

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:


a. Masing-masing kelompok ODMK mempunyai gambaran yang
berbeda-beda dengan masalah yang berbeda-beda pula.
b. Pemahaman tentang sebaran dan prevalensi ODMK di Indonesia
memberikan gambaran yang penting untuk rancangan legislasi,
baik yang bersifat nasional maupun lokal (Perda? Qanon?).
c. Beberapa gangguan jiwa yang muncul membutuhkan
pengaturan khusus, seperti kasus penyalahgunaan zat, ”psikopat”,
dan OD dengan masalah seksual.
d. Berubahnya orientasi pelayanan keswa dari hanya berbasis
rumah sakit menjadi kasus komunitas.
e. Kesiapan profesional keswa menghadapi paradigma baru yang
lebih peka terhadap isu HAM dan standar etika.
f. Kesiapan dan kesediaan mitra yang bergerak di bidang hukum
untuk berkolaborasi dengan profesional kesehatan jiwa merumuskan
kebijakan di atas.

Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan suatu kasus yang ekstrem,


misalnya:
A. Kasus Pasung. Kasus ini jumlahnya telah mencapai ribuan orang
dan berlangsung puluhan tahun dan tersebar di seluruh provinsi.
Bentuk pemasungan sangat beragam, mulai dari yang sederhana
seperti dikurung di dalam kamar, di rumah, sampai dengan yang
ekstrem dengan menempatkan ODMK di tempat khusus, di luar
rumah, bisa di halaman, “kandang”, atau “kerangkeng”, dan mungkin
dirantai, dibebani balok kayu, dan sebagainya sehingga kehidupan
sehari-harinya mirip dengan kehidupan yang diperlakukan kepada
binatang.

Pertanyaannya:
a. Bagaimana pandangan profesional, non-profesional, dan masyarakat
terhadap fenomena ini?
b. Bagaimana kita akan mengurai kompleksitas masalah ini?
c. Sudah adakah perangkat aturan yang dapat dijalankan secara
efektif?

B. Gelandangan psikotik. Ini juga masalah kronis yang terutama


ditentukan di kota besar serta di jalan-jalan antarkota.
a. Pada masa lalu selalu berulang kejadian, di mana setiap

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

menjelang pengumuman lomba adipura untuk kebersihan


kota, maka pemerintah kota berlomba-lomba “menggaruk”
dan “melempar” kelompok gelandangan ini ke daerah lain,
bahkan mengisolasi dalam suatu tempat yang sangat tidak
memenuhi syarat-syarat peralatan.
b. Sekitar tahun 1997-1998 di Jawa Timur terjadi suatu fenomena
“kasus ninja”, di mana terjadi semacam “paranoia massal”
dengan mencurigai setiap orang yang tidak dikenal
identitasnya yang pada malam hari dianggap sebagai “ninja”
yang akan mengacaukan masyarakat. Sebagai korban
terutama adalah gelandangan psikotik. Tercatat belasan
ODMK yang dibunuh/dibantai secara sangat biadab. Rumah
Sakit Jiwa Lawang, Malang, berprakarsa bersama jajaran
kepolisian dan tokoh agama/tokoh masyarakat menyeleksi
dan­mengonfirmasi­lebih­dari­100­orang­sebagai­ODMK­yang­
harus dirawat di rumah sakit jiwa. Pertanyaan:
• Bagaimana mungkin terjadi tindakan pembiaran atas
ODMK dengan perlakuan yang secara telanjang melanggar
HAM di ruang publik?

C. Penyalahgunaan narkoba. Perkembangan masalah ini dimulai


tantangan pada kita atas hal-hal sebagai berikut:
• Gambaran penyalahgunaan berubah, baik dari kelompok
usia, jenis zat yang dipakai, tingkat sosial yang dipakai, maupun
sebaran yang tidak hanya di daerah urban.
• Kurangnya fasilitas pelayanan keswa khusus untuk pe-
nyalahguna dan tersangkutnya mereka dalam kasus hukum
membuat puluhan ribu penyalahguna zat berada di lembaga
pemasyarakatan dan tempat-tempat tahanan lain. Dengan
dicampurkannya hunian untuk pelaku tindak kriminal,
bandar, maupun pengguna, akan berpotensi memberi efek
samping yang buruk, meskipun akhir-akhir ini ada upaya
untuk membuat lapas-lapas khusus narkoba dan adanya surat
edaran Mahkamah Agung yang meminta agar dipisahkan
antara bandar dan penyalahguna zat yang harus dirawat
di tempat khusus pelayanan rehabilitasi, baik rumah sakit
maupun panti, sebaiknya dibuat standardisasi yang ketat.

90 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

D. Setelah berkali-kali pemilu diadakan, tidak pernah disusun


suatu panduan untuk mengakomodasi penggunaan hak politik
memilih untuk ODMK. Pada satu pemilu sebagian ODMK didaftar
dan diberi hak pilih, bahkan disediakan TPS di rumah sakit jiwa,
tetapi pada pemilu yang lain, hal ini tidak tersedia. Akibatnya,
hanya dari data di rumah sakit jiwa mungkin lebih dari 6.000
ODMK yang kehilangan hak pilih. Kalau kita hitung prevalensi
OD psikosis, maka jumlahnya mungkin bisa mencapai ratusan ribu
orang.

Pertanyaan:
• Masalah ini domain utamanya ada di mana? KPU? Depdagri?
Depkumham?

VII. Kesimpulan

Dari bahasan di atas terungkap beberapa hal:


1. Pada awal sejarah pelayanan psikiatrik/kesehatan jiwa dimulai
dengan pembangunan rumah sakit jiwa di berbagai provinsi.
Sampai kira-kira beberapa dekade yang lalu orientasi kebijakan
adalah pada aspek kelembagaan rumah sakit jiwa dengan sedikit
pemikiran dalam ilmu kedokteran jiwa/ilmu kesehatan. Posisi
ODMK yang selalu lebih menang membuat belum adanya legislasi-
regulasi yang sungguh-sungguh memperhatikan sisi-sisi hak asasi
ODMK, seperti tercermin dari masih adanya berbagai dugaan
malapraktik.
2. Legislasi dan regulasi di bidang kesehatan jiwa relatif berjalan
sangat lancer. Hierarki perundang-undangan di Indonesia yang
mengharuskan penyusunan PP dan atau peraturan menteri sebagai
amanat undang-undang membuat hampir tidak ada basis legal
yang memadai untuk implementasi. Sebagai bukti sampai dengan
hari ini belum ada PP kesehatan jiwa yang kita punyai. Di bidang
perumahsakitan, regulasi lebih didominasi untuk konsolidasi organisasi
rumah sakit, sedangkan perangkat-perangkat untuk mengakomodasi
hak-hak pasien dan masyarakat lebih lambat muncul.
3. Pemahaman masyarakat, termasuk sebagian profesional,
terhadap hak asasi yang melekat pada ODMK sangat rendah. Hal
ini diperparah oleh masih adanya stigma terhadap gangguan jiwa,
ODMK, dan institusi yankeswa.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


SEJARAH PERLINDUNGAN ODMK

4. Sebenarnya komponen yang memperhatikan hak-hak ODMK


tersebar di berbagai undang-undang/regulasi di luar Departemen
Kesehatan, tetapi yang belum dilakukan adalah upaya khusus
untuk menyerasikannya.
5. Perubahan dalam sistem ketatanegaraan berupa desentralisasi
dan dalam upaya reformasi pelayanan kesehatan jiwa dari hanya
berbasis rumah sakit menuju kegiatan yang berbasis komunitas
memberikan implikasi yang serius dalam upaya pemenuhan
kebutuhan ODMK, meskipun bisa juga dipandang sebagai
keluhan.

VIII. Penutup

Perlindungan terhadap ODMK, apakah akan terpenuhi hanya


dengan perangkat legislasi/regulasi/policy, seperti PP Keswa, UU
Kesehatan Jiwa, Peraturan Menteri Kesehatan atau kebijakan nasional
kesehatan jiwa? Lagi-lagi determinasi untuk mengimplementasikan
dengan sungguh-sungguh semua perangkat tadi merupakan
kata kuncinya. Kesungguhan untuk mencapai hal ini sebenarnya
menggambarkan bagaimana kita menghargai martabat dan peradaban
masyarakat Indonesia.

92 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Pembangunan Sistem Kesehatan
Jiwa di Indonesia

Eka Viora
Tulisan ini membahas tentang pembangunan sistem kesehatan
jiwa di Indonesia. Sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia
di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pelayanan kesehatan
jiwa di institusi rumah sakit jiwa (RSJ). Kondisi ini menyebabkan
RSJ di Indonesia bukan lagi berfungsi sebagai pelayanan tersier
atau pusat rujukan, melainkan sebagai puskesmas “besar” karena
semua penderita gangguan jiwa yang sebetulnya bisa dilayani
di puskesmas dan RSU kabupaten/kota tetap ditangani di RSJ.
Tulisan ini menekankan perlunya komitmen kuat dari segenap
pihak, yakni para perencana, manajer, klinikus, dan lain-lain,
untuk mereformasi pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.
Agar benar-benar efektif, Indonesia perlu mengembangkan
sebuah sistem layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang
diberikan oleh keluarga, kelompok masyarakat, serta kader atau
pekerja sukarela.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


Pembangunan Sistem
Kesehatan Jiwa di Indonesia

Pendahuluan

O
rang dengan masalah kejiwaan (ODMK) mempunyai beragam
kebutuhan agar mereka dapat pulih dan berfungsi kembali
di masyarakat. Pengobatan yang optimal, kepatuhan dan
kontinuitas berobat, intervensi psikososial, serta rehabilitasi ber-
basis masyarakat merupakan faktor yang sangat berpengaruh un-
tuk menstabilkan gejala, serta meningkatkan kualitas hidup dan
kemandirian ODMK untuk berfungsi kembali secara sosial di ma-
syarakat. Beberapa fungsi sosial yang ingin dicapai adalah dapat
beradaptasi dengan lingkungan, dapat bekerja atau sekolah kem-
bali, mampu melakukan perawatan diri secara mandiri, tidak ber-
perilaku agresif, kehidupan spiritual membaik, dan merasa dirinya
berharga.

Sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia di Indonesia saat


ini didominasi oleh pelayanan kesehatan jiwa di institusi rumah sakit
jiwa. Kondisi ini menyebabkan rumah sakit jiwa (RSJ) di Indonesia
bukan lagi berfungsi sebagai pelayanan tersier atau pusat rujukan, me-
lainkan sebagai puskesmas “besar” karena semua penderita gangguan
jiwa yang sebetulnya bisa dilayani di puskesmas dan RSU kabupaten/
kota tetap ditangani di RSJ.

Stigma yang melekat pada ODMK merupakan hambatan utama


untuk menyediakan perawatan bagi orang yang mengalami gangguan
jiwa. Stigma tidak hanya terbatas pada penyakit, namun juga pada
orang yang sakit, keluarga, institusi yang memberikan perawatan,

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

obat psikotropika, dan petugas kesehatan jiwa. Stigma ini membuat


masyarakat dan pembuat keputusan melihat bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa dengan kurang diperhatikan dan keeng-
ganan untuk investasi sumber daya pada perawatan kesehatan jiwa.
Selanjutnya stigma menyebabkan diskriminasi dalam menyediakan
pelayanan­untuk­penyakit­fisik­bagi­penderita­gangguan­jiwa­dan­ren-
dahnya penggunaan prosedur diagnostik bila penderita gangguan jiwa
memiliki­penyakit­fisik.

Demikian pula persepsi yang ada di kalangan masyarakat, petu-


gas kesehatan, dan pemangku kebijakan masih beranggapan bahwa
satu-satunya pelayanan kesehatan jiwa adalah yang diselenggarakan
di RSJ. Pelayanan kesehatan jiwa yang diselenggarakan di puskes-
mas dan RSU dianggap akan menimbulkan stigma bagi pasien lain
serta berbagai alasan, seperti tidak tersedianya ruang khusus, tidak
ada tenaga dokter spesialis kedokteran jiwa, dan keterbatasan obat-
obatan psikofarmaka.

Persepsi yang salah di kalangan pemangku kebijakan dan petugas


kesehatan ini menyebabkan pelayanan kesehatan jiwa ditolak masuk
dalam kebijakan kewenangan wajib dan standar pelayanan minimal
bidang kesehatan di kabupaten dan kota beberapa tahun yang lalu.
Kebijakan revitalisasi puskesmas juga masih menempatkan kesehatan
jiwa hanya sebagai program pengembangan. Kedua kebijakan di atas
sering dijadikan alasan untuk tidak menyelenggarakan pelayanan
kesehatan jiwa di puskesmas. Namun, ternyata masih ada beberapa
provinsi, seperti Aceh dan DIY, yang pernah dilanda bencana gempa
dan tsunami menganggap kesehatan jiwa sebagai suatu kebutuhan
pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini ditetapkan dalam kebijakan
kesehatan jiwa yang menjadikan pelayanan kesehatan jiwa sebagai
program prioritas puskesmas.

Keterbatasan layanan kesehatan jiwa di tatanan komuni-


tas, pelayanan primer, dan sekunder menyebabkan masyarakat
sulit mengakses pelayanan kesehatan jiwa yang hanya ada di RSJ.
Pelayanan kesehatan jiwa yang ada di tatanan komunitas, primer,
sekunder, dan tersier, masing masing berdiri sendiri dan tidak ada
sistem rujukan dan kesinambungan pelayanan yang jelas antara RSJ
dengan RSU kabupaten/kota, puskesmas, dan masyarakat.

9 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

Adanya kesenjangan mendapatkan pengobatan (treatment gaps)


yang sangat besar karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan
jiwa, menyebabkan banyak penderita gangguan jiwa berat tidak men-
cari pertolongan pada tenaga kesehatan. Pada umumnya keluarga
dan masyarakat membawa ODMK berobat ke pengobatan tradisional,
pemuka agama, atau berbagai pengobatan alternatif. Namun, ada juga
keluarga yang membiarkan ODMK tidak mendapatkan pengobatan,
misalnya melakukan pemasungan atau membiarkan ODMK mengge-
landang di jalan raya.

RSJ biasanya baru dimanfaatkan sebagai pilihan akhir bila upaya


yang dilakukan tidak berhasil. Ironisnya, selama ODMK menjalani
perawatan di institusi psikiatri atau RSJ, intervensi yang dilakukan
belum optimal. Pendekatan medik psikiatrik masih mendominasi
pelayanan di institusi psikiatri.

Intervensi psikososial, seperti rehabilitasi psikososial, pelibatan


keluarga, dan pengasuh (caregivers), dalam upaya mempersiapkan
rencana pemulangan (discharge planning) pasien hampir tidak ada.
Padahal, upaya intervensi psikososial ini sangat dibutuhkan untuk
proses pemulihan (recovery) dan mempersiapkan ODMK kembali ke
masyarakat setelah keluar dari institusi psikiatri atau RSJ.

Ketidaksiapan pelayanan kesehatan primer, keluarga, dan


masyarakat dalam merawat ODMK pasca-rawat di institusi psikiatri
atau RSJ menyebabkan sering terjadi kekambuhan (relaps). Kondisi
ini menyebabkan keluarga kembali membawa ODMK untuk dirawat
di institusi psikiatri atau RSJ. Kekambuhan yang sering terjadi ini
menyebabkan keluarga takut membawa ODMK pulang ke rumah,
sehingga hampir di semua RSJ dijumpai ada ODMK yang telah ting-
gal bertahun-tahun sebagai “pasien inventaris”. Hari rawat yang lama
ini memengaruhi penampilan kinerja RSJ karena memberikan kesan
bahwa institusi psikiatri atau RSJ merupakan “panti sosial” tempat
menitipkan ODMK.

Pendekatan baru atau modernisasi pelayanan kesehatan jiwa


saat ini di berbagai belahan dunia telah banyak berubah, dari sistem
konvensional yang bersifat kustodial di institusi psikiatri atau RSJ
menjadi sistem yang seimbang antara pelayanan di tatanan sekunder,

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

primer, dan komunitas. Pelayanan kesehatan jiwa yang diintegrasikan


pada pelayanan kesehatan primer, seperti puskesmas dan pelayanan
sekunder di RSU kabupaten/kota, merupakan langkah yang penting
agar masyarakat dengan mudah dan cepat mengakses pelayanan ke-
sehatan jiwa.

Sistem Pelayanan Kesehatan Jiwa

Sistem pelayanan kesehatan jiwa adalah cara-cara yang digunakan


untuk memberikan intervensi yang efektif pada berbagai masalah ke-
sehatan. Beberapa komponen dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa
di Indonesia adalah:

A. Pelayanan Kesehatan Jiwa Terintegrasi ke Dalam Sistem


Pelayanan Kesehatan Umum

Ada dua kategori yang dijumpai dalam kelompok ini, yakni:

1. Pelayanan Kesehatan Jiwa pada Pelayanan Kesehatan Primer

Pelayanan kesehatan jiwa pada pelayanan kesehatan primer yang


ada di puskesmas dan jejaringnya ini mencakup berbagai kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, seperti:
• Pelayanan untuk diagnostik, penatalaksanaan, dan rujukan penderita
gangguan jiwa.
• Pelayanan kunjungan rumah (home visit) untuk perawatan ODMK.
• Berbagai kegiatan kegiatan promotif-preventif melalui upaya kesehatan
sekolah (UKS), misalnya memberikan keterampilan sosial untuk pen-
cegahan penyalahgunaan NAPZA serta gangguan perilaku lainnya.
• Berbagai kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
tentang masalah psikososial dan kesehatan jiwa.

2. Pelayanan Kesehatan Jiwa pada Rumah Sakit Umum

Beberapa pelayanan kesehatan jiwa yang dapat dikembangkan


pada rumah sakit umum (RSU), antara lain:
a. Psychiatric acute care unit (unit perawatan akut) di RSU.
b. Consultation liaison psychiatry.
c. Unit rawat jalan di RSU.

9 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

d. Dukungan dan bimbingan teknis kepada petugas di pelayanan


kesehatan primer.

B. Pelayanan Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat

Pelayanan kesehatan jiwa ini terbagi atas:

1. Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat Sektor Formal


Pelayanan ini mempunyai ruang lingkup yang luas dan bentuk
pelayanan yang berbeda-beda. Beberapa jenis pelayanan ini, seperti
pelayanan pemulihan (recovery), mobile crisis team, home visit, serta
pelayanan pada kelompok khusus seperti anak, remaja, usia lanjut,
perempuan, korban kekerasan, dan korban bencana.

Pelayanan ini dapat dilakukan oleh berbagai profesi kesehatan,


kesehatan jiwa, dan tenaga pendamping, serta membutuhkan kerja
sama tim yang kuat dengan puskesmas, RSU atau RSJ, serta pelayanan
kesehatan jiwa masyarakat di luar sektor kesehatan.

Beberapa contoh pelayanan kesehatan jiwa masyarakat sektor


formal yang tersedia adalah:
a. Pelayanan pemulihan (recovery) yang meliputi klinik–klinik kese-
hatan jiwa masyarakat, rumah singgah, dan bengkel kerja (shelther
workshop).
b. Pelayanan tim krisis keliling (mobile crisis team), yakni pelayana keliling
untuk memberikan dukungan dan pengawasan selama masa krisis.
c. Panti rehabilitasi yang merawat ODMK yang tidak memiliki keluarga.
d. Institusi keagamaan (pesantren, gereja) yang merawat ODMK.
e. Panti jompo yang merawat ODMK usia lanjut.
f. Perawatan di rumah yang dilakukan oleh petugas kesehatan jiwa
masyarakat dan kader kesehatan melalui kunjungan rumah (home
visit).
g. Lain-lain, seperti pelayanan hotline dan pelayanan di tenda pe-
ngungsian atau barak pada situasi bencana.

2. Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat Sektor Nonformal

Pelayanan kesehatan jiwa masyarakat sektor infornal ini terpisah


dari tenaga kesehatan atau profesi yang ditunjuk untuk memberikan

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 99


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

pelayanan kesehatan jiwa. Orang ini biasanya berasal dari masyarakat


setempat yang mungkin belum atau sudah menerima sedikit pelatihan
tentang kesehatan jiwa secara umum, dan mereka banyak memberi-
kan pelayanan ini langsung ke rumah orang dengan gangguan jiwa.
Pemberi pelayanan kesehatan jiwa masyarakat sektor informal
bukanlah tenaga inti pemberi pelayanan kesehatan jiwa, namun meru-
pakan tenaga yang sangat membantu pelayanan kesehatan jiwa.

Penyembuh tradisional, penyembuh kepercayaan, spiritual,


keagamaan, serta pengobatan asli dan alternatif adalah tenaga yang
sering memberikan pelayanan kesehatan jiwa sektor nonformal. Di
banyak daerah di Indonesia mereka merupakan ujung tombak bagi
kebanyakan ODMK dan kadang-kadang merupakan satu-satunya
pelayanan yang tersedia. Mereka umumnya diterima dengan baik dan
mudah diakses karena cenderung merupakan bagian dari masyara-
kat setempat. Selain itu, tokoh masyarakat, tokoh agama, relawan,
petugas bantuan kemanusiaan, dan lain-lain juga merupakan pemberi
pelayanan kesehatan jiwa sektor nonformal ini.

C. Pelayanan Kesehatan Jiwa Institusional

Ciri utama pelayanan ini adalah pelayanan mandiri sesuai


kekhususan sebagai pelayanan kesehatan jiwa. Pelayanan ini dapat
dibagi atas:

1. Pelayanan Kesehatan Jiwa di Institusi Khusus

Pelayanan kesehatan jiwa ini merupakan pelayanan yang dapat


memenuhi kebutuhan yang sangat khusus dan membutuhkan suatu
lingkungan institusional. Beberapa bentuk pelayanan yang banyak
dijumpai adalah:
• Pelayanan rawat inap khusus dengan sekuritas tinggi (pelayanan
psikiatri forensik).
• Pelayanan program pemulihan ketergantungan zat.
• Pelayanan pemulihan untuk anak dengan kebutuhan khusus, misalnya
autisme dan hiperaktif.
• Pelayanan psikogeriatrik untuk kasus demensia.

00 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

2. Pelayanan Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa ‘Tradisional’

Hampir semua masyarakat di Indonesia memiliki persepsi bahwa


pelayanan kesehatan jiwa identik dengan RSJ. Sehingga bila ada
daerah yang tidak memiliki RSJ, maka hampir dipastikan daerah
tersebut tidak tersedia pelayanan kesehatan jiwa. Kondisi ini me-
negaskan pada kita bahwa RSJ merupakan satu-satunya atau kompo-
nen penting pelayanan kesehatan jiwa. Ini tentu berlawanan dengan
paradigma baru kesehatan jiwa yang terjadi di dunia saat ini, dimana
pelayanan kesehatan jiwa harus tersedia di setiap tingkat pelayanan
kesehatan.

Pengorganisasian Sistem Pelayanan Kesehatan Jiwa

Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan tidak ada satu model


pelayanan kesehatan jiwa yang dapat memenuhi kebutuhan semua
daerah. Prinsip-prinsip umum untuk membangun sistem pelayanan
kesehatan jiwa di berbagai daerah di Indonesia, tentu harus disesuai-
kan dengan kondisi daerah masing-masing. Sering kali ODMK mem-
punyai lingkup kebutuhan yang kompleks yang tidak dapat dipenuhi
hanya oleh pelayanan kesehatan. ODMK, keluarga, dan masyarakat
merupakan mitra sejajar dalam piramida pelayanan kesehatan jiwa.
Oleh karena itu, kelompok ini perlu secara aktif berkomunikasi dan
bekerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan memenuhi kebu-
tuhan mereka.

A. Prinsip Pengorganisasian Pelayanan

Prinsip pengorganisasian pelayanan harus dipandang sebagai


bagian dari pelayanan kesehatan jiwa yang menyeluruh dari peng-
organisasian kembali pelayanan kesehatan jiwa yang ada selama ini.
Penekanannya ada pada sistem pemberian pelayanan terpadu untuk
memenuhi berbagai kebutuhan ODMK secara menyeluruh. Dalam
sistem yang menyeluruh dan terpadu ini, masing-masing tingkat pem-
beri pelayanan mempunyai peran yang penting dan saling melengkapi
satu sama lain.

Sebagai contoh, suatu strategi yang mendorong petugas puskesmas


mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa tanpa didukung oleh

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 0


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

kesiapan pelayanan di RSU kabupaten/kota dan pelayanan kesehat-


an jiwa masyarakat, kemungkinannya akan gagal. Pengorganisasian
kembali upaya kesehatan jiwa tidak dapat berdiri sendiri karena mem-
butuhkan dukungan, dan sebaliknya juga mendukung bagian-bagian
lain dalam suatu sistem pelayanan terpadu.

1. Accessibility. Kemudahan akses pelayanan kesehatan jiwa, baik


geografik­ maupun­ finansial,­ harus­ dekat­ dengan­ tempat­ tinggal­
ODMK untuk menjamin adanya pelayanan berkelanjutan.
2. Appropriateness. Pelayanan kesehatan jiwa harus mencakup semua
fasilitas dan program yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Untuk itu, pelayanan kesehatan jiwa perlu
melakukan koordinasi dan mencegah pemisahan upaya pelayanan.
Supervisi berkala perlu dilakukan untuk menjamin kesinambung-
an pelayanan.
3. Continuity. ODMK membutuhkan pelayanan yang komprehensif
dan berkesinambungan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
medik-psikologi dan sosial. Pelayanan ini juga membutuhkan
masukan dan koordinasi dengan pelayanan non-kesehatan, seperti
pelayanan sosial, perumahan, dan pekerjaan. Banyak ODMK
merasakan betapa sulitnya untuk memperoleh akses pelayanan
kesehatan jiwa jika mereka membutuhkan.
4. Effectiveness and efficiency. Pelayanan yang diberikan memiliki
bukti efektivitas suatu intervensi tertentu untuk mendapatkan
hasil klinis yang baik dan cost effective.
5. Responsiveness, yakni responsif dan fokus pada konsumen.
Pelayanan yang diberikan harus dapat menjawab berbagai
kebutuhan masyarakat atau ODMK melalui perencanaan dan
pelayanan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang secara sosio-
kultural sensitif.
6. Menghormati hak asasi manusia. Semua upaya pelayanan yang
diberikan harus dapat menjamin terjaganya dan dihormati-
nya hak asasi manusia. Pelayanan secara jelas dan tegas harus
mencerminkan keberpihakan pada rakyat. Harus diakui bahwa
rakyat mempunyai hak untuk memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Oleh karenanya, pelayanan kesehatan jiwa
diarahkan tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status
sosial ekonomi, namun semata-mata untuk menjadikan masyarakat
yang mandiri dalam hidup sehat.

02 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

B. Membuat Perpaduan Pelayanan yang Optimal

Hampir semua model pelayanan yang telah dibicarakan di atas


mempunyai kekuatan dan kelemahan sendiri. Masalah utama untuk
para perencana pelayanan adalah menentukan paduan yang optimal
dari berbagai tingkat pelayanan. Untuk itu, pelayanan kesehatan jiwa
perlu direncanakan secara holistis mencakup berbagai jenis pelayanan
dengan paduan yang optimal.

PERPADUAN OPTIMAL
PELAYANAN KESEHATAN JIWA
KUANTITAS PELAYANAN
Tinggi Rendah

PERAWATAN INDIVIDU

PKJ MASYARAKAT SEKTOR


NON FORMAL
PKJ MELALUI
Kebutuhan

PUSKESMAS

Biaya
PKJM PKJ
DI RSU

PKJ
SPESILIASTIK
DAN
RSJ

Rendah Tinggi

Gambar piramida pelayanan kesehatan jiwa di atas merupakan


diagram yang menggambarkan komponen berbagai pelayanan dalam
kaitan satu sama lain. Jelas terlihat bahwa masing-masing pelayanan
memiliki manajemen pelayanan sendiri-sendiri.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 0


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

C. Memadukan Pelayanan Kesehatan Jiwa dalam Pelayanan


Kesehatan Umum

Untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan pelayanan


yang terpisah dan tidak ada kontuinitas antara pelayanan di tingkat
komunitas, primer, sekunder, dan tersier, maka perlu untuk mengin-
tegrasikan pelayanan kesehatan jiwa pada semua tatanan pelayanan
tersebut. Untuk daerah dengan jumlah tenaga kesehatan jiwa terba-
tas, pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan umum
merupakan strategi paling mungkin dilaksanakan guna meningkat-
kan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.

Selain itu, banyak masalah kesehatan jiwa yang berhubungan


­ engan­ masalah­ kesehatan­ fisik,­ misalnya­ orang­ yang­ depresi­ atau­
d
cemas sering kali memperlihatkan gejala somatik, sehingga mereka
banyak yang mencari pertolongan pada pelayanan kesehatan umum.

Pelayanan­ terintegrasi­ ini­ akan­ mendorong­ identifikasi­ dini­ dan­


penatalaksanaan yang lebih tepat sehingga mengurangi disabilitas
akibat masalah kesehatan jiwa. Manfaat lain yang didapatkan adalah
memberikan kesempatan pada masyarakat untuk terlibat dalam
pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.

Keterpaduan pelayanan kesehatan jiwa ini dapat dilakukan pada


semua tingkat pelayanan kesehatan. Pada tingkat klinik pelayanan
kesehatan jiwa dapat dipadukan dengan pelayanan primer, sekunder,
dan tersier. Selain itu, ini juga perlu dipadukan dalam manajerial,
administrasi, dan sistem informasi. Perencanaan strategis untuk me-
madukan pelayanan kesehatan jiwa dilakukan antara lain dengan:
1. Menghitung berapa jumlah pelayanan kesehatan jiwa yang akan
dipadukan dalam sistem pelayanan kesehatan umum. Ini penting
untuk menjabarkan tanggung jawab.
2. Menyusun berapa anggaran untuk meneyelenggarakan pelayanan
­ kesehatan­jiwa­yang­meliputi­fisik,­peralatan,­dan­transportasi.
3. Menyusun pembagian tugas dan tanggung jawab dari berbagai
petugas pada setiap jenis pelayanan.
4. Menyusun perencanaan untuk pelatihan petugas yang dibutuhkan.
5. Menyusun strategi untuk menggerakan dan melibatkan anggota
masyarakat dan kelompok konsumen dalam setiap kegiatan.

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

a. Memadukan Pelayanan Kesehatan Jiwa pada Pelayanan


Primer

Untuk memadukan pelayanan kesehatan jiwa pada pelayan primer,


hal utama yang harus dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan petugas kesehatan di pelayanan kesehatan primer
dalam promosi kesehatan jiwa, serta deteksi dini dan penatalaksana-
an gangguan jiwa yang banyak dijumpai (common mental disorders) di
pelayanan kesehatan umum.

Hampir sebagian besar petugas pelayanan kesehatan primer memi-


liki beban kerja yang besar karena mereka dituntut untuk memberikan
berbagai program kesehatan yang hanya berkaitan dengan kelainan
fisik,­misalnya­TB,­malaria,­gizi,­KIA,­dan­imunisasi.­Pada­situasi­ini­
pelayanan kesehatan primer perlu menambah jumlah petugasnya bila
mereka memperoleh tambahan tugas kesehatan jiwa.

Salah satu isu penting agar keterpaduan ini berhasil adalah adanya
supervisi petugas di pelayanan primer oleh profesi kesehatan jiwa dara
RSU atau RSJ untuk mendiskusikan kesulitan dalam manajemen, dan
memberikan petunjuk tentang intervensi yang dapat dilaksanakan
oleh petugas kesehatan di pelayanan kesehatan primer. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah tersedianya psikofarmaka sesuai dengan
obat yang ada dalam daftar obat esensial nasional (DOEN) puskes-
mas.

b. Memadukan Pelayanan Kesehatan Jiwa pada RSU

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa di RSU ini meliputi


penyediaan tempat tidur untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa
akut, fasilitas rawat jalan, peralatan untuk tes khusus, dan obat psiko-
farmaka. Idealnya tenaga kesehatan di RSU adalah profesi kesehatan
jiwa, seperti psikiater, psikolog, perawat psikiatrik, dan pekerja sosial.
Petugas ini juga bertanggung jawab untuk memberikan supervisi bagi
petugas kesehatan di puskesmas. Namun, bila profesi kesehatan jiwa
ini tidak tersedia di RSU, maka dokter umum dan perawat RSU perlu
diberikan tambahan pelatihan keterampilan untuk penatalaksanaan
gangguan jiwa dan asuhan keperawatan jiwa.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 0


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

c. Menciptakan Hubungan antara Pelayanan Primer, Sekunder,


dan Tersier

Pelayanan kesehatan jiwa pada pelayanan kesehatan primer


merupakan entry point dan rujukan untuk berbagai upaya keswa.
Untuk dapat memberikan berbagai kebutuhan dan dukungan bagi
orang dengan masalah kesehatan jiwa, perlu suatu sistem rujukan
yang jelas. Meskipun pelayanan khusus kesehatan jiwa seperti RSJ
telah berkembang dengan baik, namun koordinasi antara pelayanan
RSJ dengan pelayanan primer dan masyarakat perlu ditingkatkan.
Bila hal ini tidak dilakukan, maka sering kali terjadi petugas pada
pelayanan kesehatan primer (puskesmas) tidak siap memberikan
bantuan atau intervensi bila pasien dalam keadaan atau situasi akut/
krisis.

d. Bentuk Pelayanan Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat


Formal dan Nonformal

Pelayanan ini merupakan mitra masyarakat sebagai tempat


perawatan ODMK setelah keluar dari perawatan dari institusi psikiatri
atau rumah sakit jiwa, misalnya adanya tim krisis keliling, pelayanan
manajemen kasus, day care, dan home visit. Pelayanan kesehatan
jiwa di Indonesia ini tidak mungkin dapat terbentuk dengan segera.
Karenanya, para perencana harus memutuskan pelayanan mana yang
menjadi prioritas utama dan kemudian dikembangkan secara berta-
hap dengan memusatkan upaya dan sumber daya untuk mengembang-
kan pelayanan ini.

Keluarga merupakan sumber daya penting bagi ODMK, dan mereka


membutuhkan dukungan aktif dari pelayanan masyarakat. Untuk itu,
perlu mengembangkan jaringan kerja non-pemerintah yang sudah ada
untuk memberikan pelayanan berbasis masyarakat, misalnya rumah
singgah, kelompok dukungan keluarga, kelompok tolong diri (self help
group), bengkel kerja, atau menggunakan sumber daya nonformal,
seperti kader, tokoh agama, dan tokoh perempuan untuk memberikan
pelayanan berbasis masyarakat.

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

e. Reformasi Rumah Sakit Jiwa ‘kustodial’

Kebutuhan biaya untuk menjalankan dan memelihara RSJ sangat


besar. Ini belum lagi dikaitkan dengan hasil klinis yang kurang baik
karena lamanya pasien menjalani perawatan di RSJ serta stigma dan
diskriminasi yang masih dirasakan oleh ODMK maupun oleh keluar-
ga dan masyarakat. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengurangi
ketergantungan pada RSJ sebagai pemberi pelayanan kesehatan jiwa.
Tetapi, RSJ ke depan diharapkan mampu menjadi pusat pelayanan ke-
sehatan jiwa unggulan (centre of excellent) sesuai kebutuhan masyara-
kat dan perannya sebagai pelayanan kesehatan jiwa tersier. Dalam
beberapa tahun ke depan diharapkan semua daerah perlu ada refor-
masi pelayanan kesehatan jiwa yang direncanakan secara bertahap
yang dimulai dengan:
1. Menyediakan pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas. Hal ini
meliputi pelatihan dokter, perawat, bidan, dan petugas kesehatan
lain­untuk­mengidentifikasi­dan­merawat­pasien­dengan­gangguan­
jiwa.
2. Menyediakan tempat tidur, fasilitas, dan petugas khusus di RSU
untuk mengatasi kasus kedaruratan psikiatri yang memerlukan
rawat inap di RSU untuk jangka waktu singkat atau kurang dari
14 hari.
3. Melatih ulang petugas RSJ agar mampu melakukan bimbingan dan
supervisi pada pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas dan RSU.
4. Menyediakan obat psikofarmaka di puskesmas dan RSU.
5. Memperkuat pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat
(formal dan informal) untuk membantu pemulihan pasien.

Reformasi pelayanan kesehatan jiwa dengan memadukan pelayanan


di rumah sakit kepada pelayanan di masyarakat dapat dimulai secara
bertahap, antara lain:
1. Mengurangi pasien rawat inap di RSJ dan dialihkan ke unit psikiatri
di RSU kabupaten/kota.
2. Bekerja sama dengan keluarga pasien yang akan dikeluarkan dari
RSJ untuk memberikan bantuan dan dukungan pada saat kembali
ke masyarakat.

Reformasi pelayanan kesehatan jiwa ini memerlukan komitmen yang


kuat dari perencana, manajer, dan klinikus untuk mewujudkannya.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 0


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

Banyak pengalaman negara-negara yang berhasil melakukan refor-


masi pelayanan kesehatan jiwa dengan melakukan deinstitusional-
isasi, namun untuk Indonesia keberadaan RSJ dan institusi psikiatrik
masih sangat dibutuhkan mengingat jumlah tempat tidur di seluruh
Indonesia yang hanya berjumlah 8.150 dengan rasio 0,38 tempat tidur
per 10 ribu. Rasio ini sangat kecil dibandingkan dengan negara lain di
dunia. Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk tidak melakukan
deinstitusionalisasi adalah belum adanya kesiapan pelayanan pada
tingkat komunitas, primer, dan sekunder. Pelayanan kesehatan jiwa
yang terintegrasi dari tatanan rumah sakit sampai ke komunitas perlu
dikembangkan untuk menjamin kesinambungan pelayanan.

Manajemen kasus (case management) merupakan salah satu dari


gerakan reformasi pelayanan kesehatan jiwa yang dapat dilaksanakan
secara berkesinambungan mulai dari rumah sakit sampai ke masyara-
kat (integrated hospital to community), serta menyediakan apa yang
dibutuhkan ODMK, kapan dibutuhkan, dan berapa lama dukungan
tersebut dibutuhkan. Manajemen kasus dapat memberikan dukungan
dan perawatan rawat jalan bagi ODMK secara perorangan atau tim
dan bertujuan untuk:
• Meningkatkan akses pasien gangguan jiwa berat kepada pelayanan
­ dan­memperbaiki­kesinambungan­dan­efisiensi­pelayanan.
• Menghubungkan ODMK dengan pelayanan medik yang intensif
atau pelayanan rehabilitatif.
• Menyediakan program penjangkauan (outrecah) untuk mengajak
ODMK kepada pelayanan.
• Menilai kebutuhan ODMK, serta mengatur kebutuhan pelayanan
dukungan (seperti perumahan dan latihan kerja).
• Monitoring pengobatan dan penggunaan pelayanan.
• Advokasi hak-hak pasien.

Berbagai jenis pelayanan kesehatan jiwa yang ada, baik primer,


sekunder, tersier maupun berbasis masyarakat, mempunyai kekuatan
dan kelemahan sendiri. Untuk itu, pelayanan kesehatan jiwa perlu
direncanakan secara holistik dan dapat ditentukan paduan yang
optimal dari berbagai tingkat pelayanan sehingga menjamin adanya
kesinambungan pelayanan jelas dari rumah sakit ke masyarakat serta
memiliki sistem rujukan, supervisi, dan monitoring yang jelas.

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

Model dalam Praktik (best practice model) Pembangunan Sistem


Kesehatan Jiwa di Indonesia

Beberapa langkah-langkah strategis yang telah diambil dalam


beberapa tahun ini untuk pembangungan sistem pelayanan kesehat-
an jiwa di Indonesia agar pelayanan kesehatan jiwa tersedia secara
luas, dengan memadukannya dalam pelayanan kesehatan primer di
puskesmas dan rumah sakit umum. Dengan berbagai keterbatasan
yang ada, kedua jenis pelayanan ini hanya tersedia bagi sebagian kecil
masyarakat, di daerah-daerah tertentu yang sudah merasakan kebu-
tuhan mendesak terhadap pelayanan kesehatan jiwa, misalnya daerah
pasca-bencana seperti Aceh dan DIY.

Berikut ini akan ditampilkan model dalam praktik (best practice


model) pelayanan kesehatan jiwa dalam pelayanan primer yang sudah
dilakukan di Provinsi Aceh.

Provinsi Aceh dengan jumlah penduduk 4,2 juta, memiliki 298


puskesmas yang tersebar di 18 kabupaten dan 5 kota. Hampir 86%
puskesmas atau 257 puskesmas telah menyelenggarakan pelayanan
kesehatan jiwa. Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas ini sudah
dimulai sejak tahun 2005 dan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh telah
menyatakan pelayanan kesehatan jiwa sebagai salah satu program
prioritas setara dengan enam (6) program pokok yang telah ditetapkan
pemerintah.

Pelayanan kesehatan jiwa di Provinsi Aceh membutuhkan investasi


yang cukup besar untuk:
• Melatih perawat kesehatan masyarakat (perkesmas) dengan 3 jenis
latihan yang meliputi pelatihan dasar (basic), menengah (interme-
diate), dan lanjut (advance). Fokus pelatihan dasar adalah mem-
berikan keterampilan perawatan pasien gangguan jiwa berat pada
tingkat individu dan masyarakat. Pengenalan masalah psikososial
di masyarakat merupakan fokus pelatihan menengah yang diberi-
kan kepada perawat. Sedangkan untuk pelatihan perawat tingkat
lanjut diberikan keterampilan promosi kesehatan jiwa, manajemen
kasus, dan riset. Saat ini sudah tersedia 547 perawat kesehatan
masyarakat di 257 puskesmas.
• Melatih 192 orang dokter puskesmas agar memiliki kemampuan

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 09


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

dan keterampilan untuk mendeteksi dan mengobati ODMK yang


banyak dijumpai di puskesmas, serta rujukan dari temuan kasus
yang didapatkan oleh kader dan perawat kesehatan masyarakat
yang melakukan penjangkauan ke masyarakat.
• Melatih 5.376 kader kesehatan di desa siaga dengan keterampilan
untuk mengenali dan menemukan kasus ODMK pada masyarakat.
• Melatih 96 fasilitator perawat kesehatan jiwa masyarakat (com-
munity mental health nurse) di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota untuk melakukan monitoring dan supervisi.

Sejak program ini diluncurkan pada pertengahan tahun 2005 sam-


pai dengan bulan Agustus 2008 telah ditemukan kasus gangguan
jiwa sebanyak 12.568 orang di seluruh Aceh (laporan Dinkes Provinsi
Aceh).

Sebanyak 7.833 kasus sudah dideteksi sebagai pasien gangguan


jiwa berat dan telah mendapatkan pengobatan, serta asuhan keper-
awatan oleh dokter dan perawat puskesmas. Di antara kasus tersebut
terdapat 143 orang pasien gangguan jiwa yang dipasung dan sudah
dilepas. Sampai saat ini ada 4.462 pasien gangguan jiwa yang dirawat
di tengah keluarganya dinyatakan sudah mandiri, bahkan sudah ada
yang bekerja dan mempunyai pengahsilan sendiri, misalnya dengan
membuat jala, beternak kambing, menyulam, dan berjualan pisang
goreng.

Untuk membangun sistem rujukan di tingkat kabupaten, sudah


dikembangkan dua RSU kabupaten di Aceh Besar dan Aceh Barat
yang memiliki unit perawatan intensif psikiatri (psychiatric intensive
care unit) dengan 10 tempat tidur. Unit perawatan intensif psikiatrik
ini dikelola oleh dokter umum dan perawat terlatih kesehatan jiwa,
dengan supervisi dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dari
RSJ yang berkunjung 1-2 kali per bulan.

Kesimpulan

Perpaduan pelayanan kesehatan jiwa ke dalam pelayanan kesehatan


primer dan RSU merupakan strategi untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas.
Perpaduan ini merupakan dasar untuk reorientasi pelayanan dari

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

berbasis institusi rumah sakit ke pelayanan yang berbasis masyarakat.


Perpaduan pelayanan kesehatan jiwa ke dalam pelayanan kesehatan
primer ini membutuhkan investasi untuk melatih petugas kesehatan
agar mampu mengenali dan merawat ODMK.

Pelayanan kesehatan jiwa masyarakat perlu dibentuk agar


reformasi pelayanan kesehatan jiwa bisa berhasil. Oleh karena itu,
daerah-daerah harus bisa memanfaatkan jejering yang ada, terutama
yang disediakan oleh lembaga nonpemerintah.

Reformasi pelayanan RSJ bukan hanya memulangkan pasien


rawat inap jangka panjang dari RSJ, namun juga merupakan suatu
proses untuk mengarahkan kembali pemberian pelayanan dari
berbasis institusi di RSJ menjadi berbasis masyarakat. Reformasi RSJ
harus mengikuti, bukan mendahului pendirian pelayanan berbasis
masyarakat. Sumber daya kesehatan jiwa pada pelayanan tersier
ini harus dimanfaatkan untuk memberikan bimbingan dan supervisi
kepada petugas di pelayanan primer dan sekunder. Sedapat mungkin
ada upaya redistribusi pasien rawat inap dari RSJ ke RSU kabupaten/
kota untuk kasus kedaruratan psikiatrik.

Pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang diberikan


oleh keluarga, kelompok masyarakat, dan kader atau pekerja sukarela
harus dimaksimalkan dengan meningkatkan pengenalan dan
pemahaman tentang gangguan jiwa, perawatan, dan keterampilan
manajemen dan psikoedukasi. Karenanya, keterlibatan konsumen
kesehatan jiwa dan kelompok keluarga dalam perencanaan pelayanan
harus ditingkatkan.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


PEMBANGUNAN SISTEM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

Kepustakaan

1. Depkes, Rencana Strategi Kesehatan Jiwa Indonesia, 2001.


2. The Lancet, Global Mental Health - ental health awareness needs to be integrated in to the all aspects of health and social policy,
health system planning and delivery of primary and secondary general health care, 2007.
3. WHO (2001a), Mental health: new understanding, new hope, WHR 2001, Geneva.
4. WHO, Organization of Services for mental health, Geneva, 2003.

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Menembus Kabut Kehidupan
(Pengalaman Orang dengan
Masalah Kejiwaan)

Lili Suwardi
Pengalaman hidup sebagai ODMK, ditulis Lili Suwardi dengan
menarik. Ia memulai ceritanya sebagai anak bungsu yang tidak
diinginkan kelahirannya. Namun, Tuhan menakdirkan lain. Ia
terus hidup dalam perut ibu yang tidak menginginkannya.

Ketika di SLTA ia mulai menemukan keanehan dirinya. Selulus


SLTA, ia mulai menghadapi problem riil, yaitu mencari pekerjaan
yang cocok bagi dirinya. Sebuah hal membuatnya mulai diserang
kecemasan dan dianggap sebagai “orang gila” yang tak dapat
melakukan apa-apa. Yang dilakukannya hanya minum obat,
mengantuk, tidur, dan keluar-masuk rumah sakit. Ia tidak
mendapat dukungan yang memadai dari keluarga. Sebuah hal
yang kemudian membuatnya beberapa kali mencoba bunuh diri.
Sebuah obat antipsikotik berdosis 1.470 miligram membuat dirinya
tak sadarkan diri selama 4 hari. Namun, ia berhasil keluar dari belitan masalah serta kini eksis se-
bagai blogger dan aktivis dalam Gugus Tugas Nasional Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di
Indonesia. Ia juga menjadi pengurus ornop bernama Perhimpunan Jiwa Sehat, sebuah organisasi
konsumen dan keluarga orang dengan masalah kejiwaan.

Tidak ada yang salah dengan pengalaman, yang mungkin salah adalah penilaian kita.
Leonardo da Vinci (1452-1519)

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


Menembus Kabut Kehidupan
(Pengalaman Orang dengan Masalah Kejiwaan)

A
ku terbangun tengah malam itu, beranjak dari tempat tidur,
dan duduk di kursi di kamarku di lantai atas. Aku duduk
merenung sendirian, mengingat apa yang terjadi hari kemarin,
kemarinnya kemarin, dan bagaimana semua ini terjadi. Hidup selalu
punya awal, dan beginilah awal hidupku.

Aku lahir di Jakarta pada tanggal 2 April 1979, sebagai anak


bungsu dengan ibu yang tidak menginginkan kelahiranku. Ia pernah
berusaha menggugurkan kandungannya pada usia fetusnya masih
1 bulan. Kami adalah keluarga guru yang miskin. Yang bahkan
kesulitan untuk membiayai makan anak-anaknya. Ibuku bertanya
kepada tetangganya, “Cara apakah yang ampuh untuk menggugurkan
kandungan?” Ibuku diberi saran: minuman beralkohol. Maka, ia
pun membelinya Anggur Cap Orang Tua, menyimpannya di meja,
dan sedikit demi sedikit dalam beberapa hari menuangkannya serta
meminumnya, hingga habis satu botol. Namun, Tuhan menakdirkan
lain, aku terus hidup, dalam perut ibu yang tidak menginginkannya.
Dan sembilan bulan kemudian, lahirlah aku ke dunia.

Aku tumbuh dan berkembang. Ibuku ternyata kemudian


membesarkanku dengan kasih sayangnya, walaupun aku adalah anak
yang semula ditolaknya. Aku adalah anak yang tergolong cerdas dalam
taraf usiaku. Nilaiku selalu yang terbaik di sekolahku, aku pun aktif
dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Namun, ada satu
hal yang dikeluhkan ibuku, di rumah aku adalah anak yang terlalu
pendiam dan penyendiri. Aku hampir-hampir tak pernah ke luar

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

rumah. Aku hanya keluar dari tempat tinggalku jika ada keperluan,
seperti ke warung atau salat Jumat. Aku tak pernah bergaul dengan
anak tetangga. Bahkan, aku tak hafal letak rumah mereka.

Aku dikelilingi oleh khayalan yang membuatku seakan-akan tak


membutuhkan orang lain. Setiap hari, ketika sendiri, tokoh khayalanku
itu menarikku ke dalam lingkaran dunia mereka. Aku menangis
ketika mereka bersedih, dan aku tersenyum ketika mereka bahagia,
walaupun tak ada yang tahu aku punya kawan khayalan seperti itu
karena aku tak pernah menceritakannya pada orang lain. Tak ada
yang dapat melepaskan ikatan batin di antara kami. Termasuk ibuku
yang selalu membujukku untuk ke luar rumah, untuk sekadar bermain
petak umpet atau mengobrol dengan kawan-kawan.

Perilakuku yang demikian sebenarnya ada sebabnya. Semasa aku


masih duduk di bangku kelas 2 SD, aku pernah dilarang bermain
oleh ayahku. Aku tak boleh berkomunikasi dengan anak tetangga
yang aku kenal karena, menurutnya, mereka nakal-nakal. Namun,
menurut pengakuan saudara-saudara kandungku ketika telah besar,
ternyata ayahku menerapkan aturan yang sama terhadap semua
anak-anaknya. Lalu mengapa hanya aku yang kemudian hanyut
dalam lingkaran khayali dan menyendiri? Kini, setelah menyadari
semua itu aku tahu bahwa itulah yang dinamakan “kecenderungan”.
Hal yang tidak dimiliki oleh kakak-kakakku dan sebagian besar anak-
anak yang lain.

Ketika memasuki SMP perilakuku menjadi hal yang benar karena


perubahan dalam diri kakak keempatku. Ia bergaul dengan anak
tetangga dan tiap malam mabuk-mabukan. Ayah dan ibuku memujiku,
karena aku adalah anak yang baik dan tidak membuat susah orang
tua. Aku adalah tipe anak yang terhindar dari pergaulan yang salah,
karena aku memang hanya bergaul di sekolah, sebab di rumah aku tak
punya kawan.

Orang tuaku menjual rumahnya ketika aku lulus SMP sesaat setelah
ayahku pensiun. Kami pindah ke Sumedang, Jawa Barat, yang lebih
nyaman untuk perkembanganku dan kakak keempatku. Aku gembira,
kemampuan sosialku berkembang dengan pesat, walaupun tidak bisa
menandingi orang yang aktif secara sosial semenjak kecil. Aku punya

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

sahabat-sahabat yang enak diajak bicara, tetangga-tetangga yang


simpatik, dan alam yang luar biasa indah yang membuatku merasa
selalu harus mensyukuri keagungan Tuhan.

Namun, aku diserang kehilangan minat. Tiba-tiba sekolah bukanlah


hal yang menarik lagi untukku. Belajarku jadi tak teratur, aku malas
mengerjakan PR, aku kesulitan untuk mempertahankan kehadiranku
di sekolah. Orang tuaku mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
Aku tak bisa menjawab, karena memang aku tak tahu jawabannya.
Aku dengan susah payah mempertahankan semangat belajarku, dan
aku gagal. Aku kini jadi seorang pemalas dan kehilangan keinginan.
Aku merasa sangat letih, padahal aku tidak melakukan apa-apa.

Kukira­aku­menderita­sakit­fisik­yang­parah­yang­belum­kuketahui.­
Aku izin tak bersekolah untuk berobat. Namun, tak ada satu dokter
pun yang tahu kenapa aku ini. Aku mulai mencari pertolongan ke
tempat yang jauh. Aku pergi ke Bekasi, ke rumah kakak ketigaku.
Kakak ketigaku mengajak untuk berobat ke kawannya, seorang
paranormal. Dan ia mendeteksi bahwa ada yang sedang tidak suka
dengan keluargaku, dan ia telah mengirim teluhnya. Ia bermaksud
menunjukkan teluhnya kepada ayahku. Namun, karena ayahku kuat
secara gaib dan aku lemah, maka akulah yang terkena.

Aku tidak masuk sekolah selama 3 bulan, karena sang paranormal


yang kawan kakakku itu melarangku untuk kembali ke Sumedang.
Sebab, jika aku kembali sebelum teluhnya dicabut, maka aku akan
terkena serangan gaib kembali.

Setelah 3 bulan berlalu, aku pun masuk kembali. Namun, apa mau
dikata, aku tetap memiliki perasaan yang sama dengan sebelumnya.
Aku tetap tak punya semangat untuk bersekolah. Aku hanya diam di
rumah, berbaring di kamarku, dan memandang langit-langit. Bagiku
saat itu, hanya Tuhanlah yang mengerti apa yang terjadi pada diriku.
Saat itu pula, aku tak tahu apa-apa tentang diriku. Aku merasa begitu
bodoh.

Orang tuaku mulai memarahiku. Mereka mengatakan bahwa aku


sama saja dengan kakak keempatku yang bengal dan bukan seorang
yang membahagiakan orang tua. Aku terpuruk dalam jurang yang

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

membingungkan akan apa gerangan yang terjadi. Aku berpikir dan


berpikir, dan tetap tak punya jawabannya. Akhirnya aku memutuskan
sesuatu pada suatu hari. Aku pergi ke apotek dan membeli obat yang
kutahu. Aku pulang dan menyimpannya di dalam lemariku. Aku
meminum obatku ketika gelap mulai datang, lalu aku pun pergi tidur.

Malam itu aku tidur nyenyak sekali, aku terjaga pada tengah malam.
Dengan limbung aku berjalan ke kamar mandi. Tiba di kamar mandi
aku memuntahkan isi perutku. Napasku tersengal-sengal. Aliran
darah dalam tubuhku sangat terasa sehingga membuat tanganku
gemetaran. Aku menggelosor di lantai dan bertanya-tanya, mengapa
aku tak mati, padahal sudah kutelan banyak obat. Aku tertunduk
lesu. Malam itu aku kalah, tapi aku juga tak mati. Dengan susah
payah aku kembali ke kamarku. Esoknya aku bangun dengan tatapan
heran keluargaku karena tiba-tiba tubuhku jadi demikian lemah. Tak
kukatakan pada siapa pun tentang apa yang terjadi pada malam tadi.
Aku menyimpannya rapat-rapat, sebab kupikir tak ada gunanya jika
kuceritakan pada orang lain, karena mereka takkan mengerti.

Aku tersaruk-saruk melanjutkan sekolah. Jika saja guru-guru di


sekolahku tidak bersikap penuh pengertian, pasti aku sudah gagal
lulus dan menjadi pengangguran serta mabuk di pinggir jalan seperti
kakak lelakiku yang nomor empat. Tiap-tiap orang menjalani takdir
yang berbeda, dan demikian pula aku dan kakak lelakiku itu.

Aku lulus SMU dan tidak melanjutkan sekolahku ke universitas


karena tak ada biaya, walaupun aku sudah lulus ujian di STT Telkom,
Bandung. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari kerja. Aku pergi
dengan seribu harapan ke Bekasi, ke rumah kakakku untuk mencari
pekerjaan, karena bagi sebagian orang, kota besar adalah oase di
tengah gurun ketidakpastian masa depan. Namun, aku tidak berhasil
mendapatkan pekerjaan yang cocok. Akhirnya setelah beberapa lama,
aku mulai diserang kecemasan akan masa depanku di hari nanti. Aku
banyak berdiam. Kakak perempuanku yang di Bekasi tidak dapat
banyak membantuku. Ia kini hanyalah seorang ibu rumah tangga yang
kehilangan pekerjaannya, karena saat itu Indonesia sedang dirundung
krisis multidimensi.

Pada suatu hari kakakku yang di Tangerang meneleponku. Ia

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

mengundangku untuk pergi ke rumahnya, karena anaknya tak


ada yang menunggui serta pembantunya pulang kampung dan tak
kembali. Sebagai saudara kandung yang baik, aku menurutinya. Aku
menjaga anaknya yang pada waktu itu semuanya masih bersekolah di
SD dengan penuh ketulusan selama beberapa bulan.

Aku sungguh tidak mengharapkan apa-apa, aku hanya


mengharapkan perlakuan baik, dan itulah yang tidak kudapatkan
dari suami kakakku (kakak iparku). Ia sepertinya benci jika aku
tinggal di situ. Aku bingung. Aku harus menunggui keponakanku
yang masih kecil-kecil karena memang mereka tak ada yang menjaga
sewaktu­kakak­dan­kakak­iparku­bekerja.­Namun,­aku­punya­konflik­
dengan kakak iparku, sementara mereka tidak berhasil mendapat-
kan pembantu. Akhirnya aku memilih pergi dari rumah itu. Aku tak
dapat berdamai dengan orang yang tak menghargai ketulusanku. Aku
kembali ke Bekasi.

Seminggu kemudian, kakak pertamaku yang di Tangerang menyu-


sulku dan menyampaikan permohonan maaf suaminya. Mereka me-
minta agar aku kembali ke rumahnya di Tangerang. Aku ragu-ragu,
namun aku ingat akan keponakanku di sana. Akhirnya aku bersedia
kembali dan memulai semuanya dari awal. Tetapi, lebih indah kata
daripada kenyataan. Setelah aku tinggal beberapa lama di sana kakak
iparku bersikap sama saja seperti sebelumnya. Aku jadi muak. Aku
akhirnya meninggalkan rumah itu dan kali ini aku pulang ke Sumed-
ang, ke rumah orang tuaku.

Kota Sumedang yang indah, kini jadi dingin, kaku, dan sepi
mencekam. Setelah aku tak lagi punya kawan sekolah, karena mereka
telah melanjutkan kuliahnya atau bekerja di kota lain, aku sangat
kesepian. Saat tak ada siapa-siapa, aku selalu melihat ke dalam diriku.
“Apa yang kau bisa lakukan saat ini? Kau hanyalah manusia yang
gagal dalam segala hal. Kau tidak disukai banyak orang”, demikian
gaung dalam pikiranku yang menyerangku setiap saat. Temanku
hanya mesin tik, hadiah dari sepupuku yang diberikannya waktu
aku lulus SMU. Aku mencoba menulis sesuatu yang mungkin dapat
membuka masa depanku, sebuah novel. Aku sangat sensitif bertemu
orang lain, termasuk ayah dan ibuku sendiri. Aku sangat ketakutan
dengan kedatangan tetangga. Aku hanya bergaul dengan bunyi dedas

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

mesin tik yang timbul ketika aku mengetikkan kata-kata untuk novel-
ku. Tapi, aku tak dapat mengalahkan gaung dalam kepalaku dan juga
perasaanku yang semakin jatuh ke dalam lembah keputusasaan.

Aku kini bahkan sensitif terhadap suara batuk dan dehaman,


karena bunyinya seperti suara petir yang mampu membuatku terlonjak
dari tempat duduk. Aku mulai mendengar tetanggaku menyindir
keanehanku, karena tak lagi pernah ke luar rumah. Aku tak lagi dapat
melanjutkan menulis novelku, aku diserang perasaan depresi yang
amat sangat. Aku letih. Kini kerjaku hanya berbaring di tempat tidur
dan tak mau beraktivitas apa-apa.

Ibuku khawatir akan kondisiku. Aku dibawanya berobat ke


berbagai paranormal. Namun, aku tak sembuh juga. Sementara
aku sering marah-marah karena mendengar tetangga mengucapkan
cemoohannya kepadaku. Ibuku memutuskan untuk menjual rumahnya
karena percaya pada ucapan salah satu paranormal, bahwa tetangga
di depanku selalu mengirimkan teluhnya agar keluarga kami tidak
bahagia. Rumah kami dijual oleh orang tuaku. Kami pindah ke Bekasi.
Namun, alangkah hebatnya siksaan yang kualami di rumah baruku
di Bekasi itu. Suara tetangga yang mencemooh memenuhi telingaku
setiap detik sehingga membuatku semakin tak berkutik. Bahkan,
aku tak berani untuk menggeser tubuhku ketika badai suara itu
menyerangku. Karena jika aku bergerak, maka suara mereka semakin
keras.

Ibuku semakin khawatir dengan kondisiku. Aku telah mencoba


untuk berobat ke Poli Psikiatri RSCM, namun tak melanjutkan
pengobatan karena aku tak kuat untuk bepergian naik bus dan melihat
banyak orang. Ibuku mencoba menemaniku, namun aku masih tak
sanggup juga. Aku kemudian berhenti dari pengobatan, dan ibuku
dengan paham lamanya kembali mendatangi paranormal yang dapat
mengerti permasalahanku. Aku akhirnya menyerah saja dan menuruti
apa yang dilakukan oleh orang tua dan semua saudara kandungku.
Tapi, semuanya gagal. Dan aku mulai berpendapat bahwa mungkin
sudah takdirnya aku begini, menderita gangguan yang tak terdeteksi.

Aku putus asa, mengalami depresi yang dalam, dan berpikir bahwa
semuanya tak berguna. Ibuku mulai sakit-sakitan karena memikirkan

20 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

aku. Ia koma dan kata dokter yang memeriksanya, ia menderita


tumor otak. Operasi takkan dapat menyembuhkannya. Ia kemudian
meninggal pada bulan November 2002.

Aku semakin larut dalam lara yang tanpa akhir. Aku mulai takut
untuk tinggal di rumah, karena tetangga-tetangga mulai berniat
jahat terhadapku dan menertawakanku setiap saat. Aku pergi dan
menggelandang di jalanan, menginap di masjid yang tak dikunci. Aku
tak punya orang-orang yang mengasihiku, aku sangat sedih.

Pada suatu malam aku menangis karena betapa sukarnya


untuk sekadar hidup tenang. Aku memandang ke langit tinggi dan
membayangkan Tuhan ada di baliknya. Aku berdoa: “Jadikanlah kasih
sayang di antara hati kami, dan jangan jadikan kebencian meliputi
hati kami.” Doa yang kemudian kuulang-ulang dalam tiap malam yang
senyap. Doa itu adalah ritualku saat itu.

Pada suatu malam, aku kehilangan semua barang-barangku saat


menginap di masjid dan kakakku membujukku agar aku bersedia
dimasukkan ke Sanatorium Dharmawangsa (RSJ swasta di Jakarta
Selatan). Aku setuju, pengobatan lama yang gagal dimulai lagi.
Kondisiku membaik, kini aku minum antipsikotik dan didiagnosis
mengalami skizofrenia. Perawatanku dilanjutkan di RSCM untuk
mengurangi beban pengeluaran perawatan di Sanatorium. Sepanjang
lamanya penyakitku aku dirawat 7 kali dalam 4 rumah sakit yang
berbeda. Suara-suara yang kudengar masih ada, tapi aku dapat
melawannya. Aku mulai sanggup mengobrol dengan orang lain,
karena ketakutanku jauh berkurang. Sayangnya, tak pernah ada yang
mengatakan kalau aku harus minum obat secara teratur, serta tak
ada yang menjelaskan apa guna berbagai obat-obatan yang kuminum.
Defisit­informasi­kuatasi­dengan­mencari­informasi­di­warnet­jika­aku­
sedang berada di luar perawatan.

Keluargaku kecuali kakak kandungku menganggap bahwa aku


adalah “orang gila” yang tak dapat melakukan apa-apa. Kerjanya
hanya minum obat, mengantuk, tidur, dan keluar-masuk rumah sakit.
Aku tak dapat mendapatkan dukungan yang memadai dari keluargaku
sendiri. Beberapa tahun berlalu seperti itu. Dan pada tahun 2007, saat
kekecewaan atas sikap keluargaku itu memuncak, aku dimarahi oleh

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 2


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

kakak yang selama ini mendukungku karena aku telah menghabiskan


banyak sekali biaya untuk pengobatan. Aku tak punya orang yang bisa
diajak bicara, aku merasa bahwa aku telah dianggap sebagai parasit
keluarga. Aku merasa dibenci dan akhirnya, karena merasa tak punya
orang yang mengerti, aku bunuh diri untuk yang kedua kalinya. Kali
ini dengan antipsikotik dan obat anti kecemasanku sendiri, dengan
dosis 1.470 miligram. Aku tak sadarkan diri selama 4 hari.

Seperti sebelumnya malaikat Izrail tak sudi menyambangi


alamatku. Aku pulih, dan ketika kembali ke rumah, yang kuterima
adalah ejekan dari kakak ipar dan caci maki dari kakak kandungku.
Aku mengunci diri di kamarku, minum obat agar tidur di siang hari,
dan bangun tengah malam agar aku dapat memandang bintang-
bintang dan membayangkan Tuhan ada di baliknya. Aku merenung di
dalam sepi. Apa yang harus kulakukan setelah semua ini terjadi?

Setelah aku agak pulih dari depresiku, aku berpikir bahwa aku
harus melakukan sesuatu. Aku kemudian mendirikan Milis Skizofrenia
Indonesia (http://groups.yahoo.com/group/skizofrenia_indonesia),
dan beberapa lama setelah itu, Blog Skizofrenia (http://skizo-friend.
blogspot.com). Dengan keduanya aku memulai perjuangan online-ku.

22 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

Blog Skizofrenia hingga saat ini masih kuisi dengan informasi-


informasi yang kuanggap berguna bagi masyarakat. Walaupun aku
masih takut untuk menceritakan kisah hidupku di sana. Untuk
menghindari stigma, kugunakan nama samaran Anta Samsara, dari
bahasa Sansekerta yang artinya “akhir derita”.

Dengan nama samaran yang sama, aku menulis sebuah psikomemoar


tentang perjalanan pemulihan skizofreniaku, judulnya “Gelombang
Lautan Jiwa”. Aku kerap kali dihinggapi perasaan bimbang dan tak
yakin dengan semuanya sehingga memoar itu tak kunjung mencapai
hasil­finalnya.­Aku­merasa­bahwa­aku­bukanlah­contoh­yang­baik­dari­
orang yang menghadapi penyakitnya. Aku bukanlah orang yang tabah
menghadapi cobaan, karena aku pernah berusaha mengakhiri hidupku
sendiri. Jika perasaan itu menyerangku, aku berhenti menulis.

Pada bulan Oktober 2008, setelah aku testimoni di Universitas


Atmajaya, aku diterima menjadi anggota Gugus Tugas Nasional
Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia. Aku bertemu orang-
orang yang menentukan dalam perjalanan hidupku selanjutnya.

Pada tanggal 5 Desember 2008, aku beserta 17 orang lainnya


mendirikan Perhimpunan Jiwa Sehat, sebuah organisasi konsumen
dan keluarga orang dengan masalah kejiwaan. Organisasi tempatku
bekerja hingga saat ini. Dalam rapat pendirian organisasi itu, aku
disepakati untuk jadi sekretaris umum. Yang dimufakati untuk jadi
ketua umum adalah Yeni Rosa Damayanti.

Perlahan namun pasti organisasi kami berkembang, dengan


jumlah anggota yang terus bertambah. Baru tiga bulan berdiri kami
sudah mengadakan audiensi ke Komisi IX DPR RI. Dan pada bulan
Juni 2009, kami mengadakan audiensi ke Komnas HAM mengenai
kematian orang dengan masalah kejiwaan di Panti Laras. Kami pun
sering mengadakan acara sharing, karena kami tahu, seperti yang
aku rasakan sendiri, bahwa orang dengan masalah kejiwaan (ODMK)
dan keluarganya membutuhkan dukungan dari orang lain. Tanpa
kehadiran orang lain di sisi mereka, hidup mereka sungguh berat.

Pada bulan Juli 2009, aku dan 5 kawanku dari Perhimpunan Jiwa
Sehat, terbang ke Melbourne, Australia, untuk mengikuti International

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 2


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

Mental Health Leadership Program selama 6 minggu. Kami mempelajari


sistem kesehatan jiwa di negara bagian Victoria. Enam minggu yang
membuatku iri akan kondisi di Negeri Kanguru itu. Juga membuatku
gemas akan kondisi kesehatan jiwa di Indonesia, karena jika
dibandingkan, keadaannya bagaikan langit dan bumi. Negara bagian
Victoria punya sistem yang tertata rapi dari mulai tingkat puskesmas
hingga lembaga-lembaga di atasnya. Tak ada diskriminasi bagi ODMK
karena mereka juga diikutsertakan dalam menjalankan dan meninjau
sistem yang sudah ada. Termasuk undang-undangnya, Mental Health
Act 1986. Salah satu perbedaan penting dalam perbedaan sistem
kesehatan jiwa antara Australia dan Indonesia adalah keterlibatan
pemerintahnya. Pemerintah di sana mau membiayai hidup ODMK yang
tidak bekerja dengan Aus$ 500 per dua minggu. Mereka juga bersedia
membiayai penelitian-penelitian yang terkait dengan kesehatan jiwa.
Sementara di sini tak ada yang peduli, walaupun lebih dari 500 orang
meninggal di Panti Laras dalam jangka waktu 3 tahun terakhir; obat
dikenai pajak yang tinggi, dan anggaran bagi kesehatan jiwa hanyalah
1,5 % dari keseluruhan anggaran kesehatan, padahal bebannya 13 %.
Ada banyak hal yang didapat dari Australia, dan ada banyak hal pula
yang sekadar mimpi yang sulit direalisasikan.

Sejak bekerja di Perhimpunan Jiwa Sehat, kondisiku membaik,


walaupun kadang-kadang aku terluka dengan sikap keluargaku yang
dingin. Namun, karena aku produktif, stigma dalam keluargaku jauh
menurun dibandingkan dahulu.

Hingga sekarang aku masih sering berjalan kaki mengenangkan


kala aku menggelandang di jalanan. Dan hatiku sungguh tersentuh
jika melihat gelandangan psikotik berkeliaran sambil meracau
sendirian. Aku merasa melihat diriku dahulu, diri yang tak jua lekang
dari ingatan. Dulu aku juga pernah tinggal selama 19 hari dengan
orang-orang dari Panti Laras di sebuah rumah sakit pemerintah di
Jakarta. Aku amat dekat dengan kenyataan menyedihkan dari sistem
kesehatan jiwa di Indonesia.

Aku teringat kawanku di sebuah tempat perawatan di Cilacap pada


tahun 2007. Ia dimasukkan ke dalam sel 1 X 2 meter dan melakukan se-
galanya di dalamnya (termasuk makan, mandi, dan buang hajat). Pada
suatu malam, ia didatangi oleh halusinasinya dan meracau sendirian.

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

Sang paranormal, yang seharusnya merawatnya dengan kasih say-


ang, malah menyiramnya dengan air kolam yang dingin. Ia menggigil,
aku mendatanginya diam-diam setelah paranormal itu kembali ke
kamarnya. Aku menawarinya selimut, dan ia berterima kasih. Ia dan
aku dapat tidur di ruangan masing-masing dengan beban yang saling
terbagi. Namun, aku terkejut, pada pagi harinya sang paranormal
dengan nada keras mengatakan jangan pernah memberikannya selimut
lagi. Sebab, ia dikuasai oleh setan dan air kolam bagus untuknya. Aku
kemudian dilarang untuk mengajaknya mengobrol, hanya karena ia
menderita penyakit yang lebih parah dariku. Kondisinya tak kunjung
membaik, saat aku memutuskan untuk pergi dan tak kembali dari
tempat perawatan yang tak manusiawi itu.

Aku teringat akan sahabatku, yang pada suatu senja di tahun 2003
menyatakan sudah jengah dengan perawatan dalam jangka waktu yang
lama, dan pada suatu dini hari dengan kawan-kawannya memutuskan
untuk kabur dari bangsal psikiatri. Mereka mengaku merasa bahagia
saat itu. Tapi, mereka tertangkap oleh mantri yang mengejarnya,
dijebloskan kembali ke dalam bangsal, dan dipukuli beramai-ramai
hingga tulang panggul sahabatku itu retak. Tak ada yang pernah
bertanya mengapa mereka kabur. Yang ada hanyalah cacian bahwa
mereka bukanlah pasien yang patuh pada aturan. Ia sangat terpukul
dan berubah jadi pendiam.

Kami bertemu lagi pada tahun 2008 saat aku mengunjungi rumah
sakit yang sama. Ia mengaku sudah berkali-kali dimasukkan dalam
perawatan oleh keluarganya semenjak saat terakhir kami berpisah di
tahun 2003 itu. Ia mengaku merasa berputar-putar dalam lingkaran
yang sama. Tak pernah ada jalan keluar. Ia mengatakan sambil
menatap mataku, “Maukah kamu melakukan sesuatu untukku?”
Aku bilang, apa itu. Ia mengatakan, “Teleponlah aku. Aku ingin
ada yang berbicara padaku bukan sebagai orang yang senantiasa
menilai bagaimana penyakitku. Tapi, yang berbicara sebagai seorang
sahabat.”

Aku menelepon nomor yang diberikan olehnya beberapa kali pada


tahun itu. Tapi, orang yang menerima selalu mengatakan salah
sambung. Aku termangu, sahabatku itu tetap tak punya kawan bicara.
Dan mungkin hingga saat aku menuliskan pengalaman ini ia tetap

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 2


MENEMBUS KABUT KEHIDUPAN

berputar dalam lingkaran yang semakin menjenuhkan. Aku ingin


membantu waktu itu tapi tak dapat berbuat banyak.
Aku ingat obat Clozapine dan Diazepam sejumlah 1.470 mg yang
kuminum di saat aku bunuh diri untuk kedua kalinya. Aku teringat
kakak lelakiku yang pemabuk dan meninggal di saat ia mulai mengerti
bahwa aku menderita skizofrenia. Aku teringat rumahku yang damai
di Sumedang yang tiba-tiba berubah menjadi neraka saat aku mulai
mengalami skizofrenia.

Aku teringat Ibu. Aku teringat ayah. Mereka adalah dua orang
yang dalam kekurangannya selalu berusaha untuk membuatku pulih.
Aku mencintai mereka.

Aku duduk di kursi kayu di rumahku pada tengah malam itu,


membuat tulisan ini, mengenangkan, dan membayangkan semuanya.
Yang lewat, yang tercatat, dan yang mungkin datang. Lewat jendela
aku melihat langit penuh bintang, dan aku tahu Tuhan ada di baliknya.
Ia menyaksikan hidupku dan hidup kita. Dalam hati, aku yakin pada
suatu hari ia akan membebaskan kita dari semua kesulitan yang
menimpa. Karena, cobaan hidup adalah tempaan yang membuat kita
semakin kuat, dan bukan sebaliknya.

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Tinjauan Buku
Kekuasaan di Tengah Kegilaan
Judul Buku: Madness and Civilization
Penulis: Michel Foucault
Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Yudi Santoso
dengan judul Kegilaan dan Peradaban dan diterbitkan oleh Ikon
Teralitera, Yogyakarta, 2002.
Tebal: xv+342 halaman

LR. Baskoro
Inilah buku yang memotret peradaban Eropa pada abad
pertengahan, abad 15 hingga abad 18, sebagai masa yang
murung, yang kemudian mempengaruhi semua hasil budi
dan daya manusia Eropa. Baik seni, politik, kesusasteraan dan
seterusnya.

Madness and Civilization ditulis Foucault saat ia menjadi


dosen di Swedia pada 1961. Latar belakang Foucault yang
pernah berurusan dengan masalah kejiwaan -- ia pernah
depresi hingga harus melakukan konsultasi rutin dengan
psikiater -- agaknya menjadi penyebab kenapa Foucaut
demikian tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan
kejiwaan. Pengaruh lainnya, bisa jadi karena ayahnya
adalah seorang dokter.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 2


2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009
Kekuasaan di Tengah Kegilaan

M
adness and Civilization, edisi bahasa Indonesianya
diterjemahkan oleh Yudi Santoso, “Kegilaan dan Peradaban,”
menggambarkan situasi masyarakat Eropa saat diterjang
oleh bala penyakit lepra. Manusia lepra, sebagai “manusia kalah,”
di tengah benua yang oleh Foucault disebut “ kurungan besar,”
tidak sekadar menjadi pecundang, juga dimerosotkan hakikat
kemanusiaannya menjadi sesuatu yang tak berarti apa-apa. Lebih dari
sekadar kekalahan.

Manusia-manusia ini dikapalkan, dilayarkan dan dibuang


serta dipenjarakan. Beratus-ratus ribu manusia lepra, dengan
ketidakberdayaan mereka sebagai manusia – mewarnai dunia
peradaban Eropa. Kekuasaan dijadikan alat bukan untuk membela
atau menyelamatkan, sebaliknya, mengirim mereka ke rumah-rumah
sakit gila.

Tak diperlukan alasan untuk membela mereka yang dijangkiti


penyakit ini – atau meminta maaf atas tindakan pengucilan – karena,
bahkan gerejapun menilai itu bagian dari rencana Allah. ”Meskipun
lepra telah hilang dari dunia dan komunitas gereja, eksistensinya masih
tetap dianggap sebagai manifestasi konstan Tuhan, karena penyakit ini
merupakan tanda kemarahan sekaligus anugerahNya. ’Saudaraku,’ kata
gereja Wina, ’sesuatu yang menyenangkan Allah bahwa anda terinfeksi
penyakit ini, karena sekaligus anda telah memperoleh anugerah yang
besar di tangan Allah kita yang sangat ingin menghukum anda karena
semua dosa anda di dunia ini,’ (hal. 5).

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 29


TINJAUAN BUKU

Foucault menggambarkan ratusan ribu orang, nyaris setiap hari


diangkut dengan ”kapal kebodohan,” diberangkatkan dari pelabuhan
untuk dikirim ke negeri-negeri lain. Bahkan, ada kalanya para kapten
diperintahkan untuk melemparkan para penderita penyakit kusta itu
ke tengah laut. ”Maka dari itu kita lebih baik memahami implikasi
yang sangat menarik dari pelayaran orang gila dan prestisen untuk
meraihnya. Di satu sisi, kita tidak boleh meminimalisir keefektifan
praktik yang tidak perlu diragukan lagi: memberikan orang gila
kepada para pelaut berarti menjamin secara permanen bahwa mereka
tidak akan berkeliaran lagi di sekitar dinding kota; ini untuk menjamin
bahwa mereka pergi sejauh mungkin; ini membuatnya menjadi
tawanan dari penderitaannya sendiri ....

Foucault menulis, tak mudah untuk menemukan makna yang tepat


atas kebiasaan ini. Umumnya, demikian Foucault, mungkin akan
menduga bahwa itu diartikan sebagai ekstradisi orang-orang gila dari
wilayah hukum kota-kota besar mereka; sebuah hipotesis yang tidak
berfakta karena orang-orang gila tertentu, bahkan sebelum rumah
sakit-rumah sakit khusus dibangun untuk mereka, telah ditaruh di
rumah - rumah sakit dan dirawat sedemikian rupa; di Hotel Dieu di
Paris, tempat tidur mereka diatur seperti layaknya di asrama.

Eropa -- terutama Perancis tumpah darah Foucault – yang kelam,


muram, dan ketidakberdayaan gereja dan ketidakacuhan para
penguasa, kaum borjuis, adalah ”dunia” yang sakit. Masyarakat yang
sakit, tak mungkin bisa melakukan apa-apa layaknya manusia sehat.
Pikiran mereka yang sakit membutuhkan psikiater untuk membuat
terang jiwa-jiwa mereka. Tubuh-tubuh mereka yang terkurung dalam
rumah-rumah sakit jiwa, adalah tubuh-tubuh yang kalah. Peradaban
yang kalah, tersungkurnya nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai penganut
strukturalisme, Foucault mengeritik dengan keras tindakan-tindakan
penguasa yang makin mengkelamkan Eropa di abad pertengahan
hingga ujung abad 20-an itu.

***

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


TINJAUAN BUKU

Untuk memahami buah pikiran Foucault, maka, mau tidak mau,


mestilah kita menengok latar belakang kehidupan dan pergaulan
­intelektual­filsuf­yang­dilahirkan­di­Poitiers,­Prancis,­pada­15­Oktober­
1926 ini.

Lahir dari kalangan keluarga menengah, ayahnya, Paul Foucault,


seorang ahli bedah terkemuka, awalnya menginginkan anaknya
mengikuti jejaknya. Foucault tak tertarik. Ia lebih senang mendalami
filsafat­dan­ilmu-ilmu­humanistik.

Pasca perang dunia kedua, Foucault masuk Ecole Normale


Superieure, pintu gerbang untuk karier bidang humanistik di Prancis.
Saat di Ecole Normale Superieure inilah ia terkena depresi yang
menyebabkan ia mesti berkonsultasi dengan psikiater. Pertemanannya
dengan sang psikiater itu yang menyebabkan ia, kemudian, tertarik
pada ilmu psikiater dan psikologi, bidang pengetahuan yang sangat
kental mewarnai banyak karya tulisnya.

Sebagai intelektual Foucault juga terlibat pada gerakan-gerakan


politik yang saat itu marak di Eropa. Ia, misalnya, atas pengaruh
gurunya, Louis Althusser, pernah bergabung dengan Partai
Komunis Prancis (1950-1953). Namun, beberapa tahun kemudian ia
mengundurkan diri sebagai tanda protes terhadap apa yang dilakukan
Stalin di Uni Sovyet.

Foucault mengajar di banyak universitas. Ia pernah mengajar di


Universitas Warsawa, Universitas Hamburg, Universitas Clermont
Ferrand, Universitas Tunisia, hingga Universitas Buffalo dan
Universitas Barkeley.

Tapi, periode terpentingnya adalah ketika pada 1970 ia ditunjuk


memimpin the College de France. Di sini ia diangkat sebagai profesor
sejarah sistem pemikiran. Pada periode ini aktivitas politik Foucault
tetap tak berhenti. Ia, misalnya, pernah bersimpati para gerakan-
gerakan sayap kiri Prancis. Pada periode ini pula Foucault, yang saat
itu mulai melakukan proyek penulisan enam edisi bukunya, Sejarah
Seksualitas -- yang hingga akhir hayatnya tak selesai -- dianggap telah
”menyatukan” banyak pemikiran di Prancis.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


TINJAUAN BUKU

Beberapa tahun setelah menjadi dosen tamu di beberapa universitas


di Amerika Serikat, pada 1979, Foucault melakukan perjalanan ke
Iran. Di sana ia menemui dan mewawancarai sejumlah intelektual
Iran yang ikut gerakan mendukung revolusi Iran.

Tulisan-tulisannya tentang Iran dipublikasikan di Italia, Prancis,


dan Inggris. Esai-esainya tentang Iran itu memancing kritikan dari
kalangan intelektual yang menilai Foucault tidak memiliki pola kritik
yang jelas terhadap rezim baru Iran.

Selain Madness and Civilization, beberapa pikiran Foucault


terangkum dalam buku-bukunya, antara lain, The History of
Sexuality, The Order of Things, The Bird ot the Clinic, dan Discipline
and Punished.

Madness and Civilization ini sendiri pernah mendapat kritikan


keras­dari­filsuf­Derida.­Hubungan­kedua­pemikir­penting­Prancis­ini­
pernah renggang selama 15 tahun sebelum akhirnya bersahabat lagi
pada awal 1980-an. Foucault meninggal pada 25 Juni 1984 di Paris
karena diduga terkena penyakit yang berkaitan dengan Aids.

***

Lalu dari mana kesembuhan bisa diperoleh oleh kegilaan? Terapi


kegilaan, demikian menurut Foucault, tidak berfungsi di dalam rumah
sakit yang pemimpinnya diwajibkan untuk melayani atau memeriksa.
Tubuh orang gila dianggap sebagai tempat bagi kehadiran penyakit
yang dapat dilihat dan solid: darimana penyembuhan-penyembuhan
fisik­ meminjam­ maknanya­ dari­ sebuah­ persepsi­ moral­ dan­ sebuah­
terapi moral atas tubuh.

Foucault memang mengkritik moralitas atas penistaan tubuh-tubuh


orang gila. Jelas, yang dituju Foucault adalah kaum borjuis yang kala
itu tengah di pucuk kekuasaan peradaban Eropa. Orang gila, orang
lepra -- dua golongan yang mewakili manusia yang tersingkir, tapi
memberi pengaruh kepada semua yang ada di sekelilingnya -- layak
dan mesti diasingkan di dalam rumah-rumah sakit.

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


TINJAUAN BUKU

Mereka harus dibelenggu, kaki diikat rantai, dan tak mendapat hak
apapun sebagai manusia semestinya. Tapi, yang tidak dapat disangkal
dan dihindarkan, kegilaan mereka telah ”masuk” dan mempengaruhi
tata kehidupan dari segala sisi kehidupan manusia sehat. Tindakan
yang diambil penguasa, sebagai akibat dari kegilaan orang gila – yang
terus menerus mengganggu -- sebenarnyalah tindakan gila pula. Di
sini, Foucault menilai, kegilaan seperti ini, kelak akan terulang dan
terulang lagi.

Maka semestinya sejumlah cara diambil untuk menyelesaikan


kegilaan peradaban ini. Tidak bisa langsung selesai, tetapi ia melalui
sejumlah tahap, sejumlah jalan.

Cara itu adalah, Konsolidasi, Pemurnian, Pencelupan, dan


Pengaturan atas Gerakan Pengobatan ideal, menurut Foucault akan
mengambil bagian juga dalam penyembuhan jiwa dan membantu
”mereka” menaklukan penyebab-penyebab yang menulari mereka.

Mengambil bagian dalam penyembuhan seperti ini berarti


berjuang melawan gangguan semu yang padanya mereka menjadi
tokoh utamanya meskipun dalam diri mereka sendiri. Karena itulah,
pada akhirnya, kata Foulcault, pengobatan ideal akan memberi
mereka ”kesolidan” cukup besar untuk menghalang-halangi uap-
uap yang mencoba mencekik mereka, membuat mereka tak berdaya
dan merampas mereka dalam badai. Untuk melawan fermentasi,
pengobatan dengan seluruh aspeknya harus diberikan ”semangat-
semangat” Charras yang anti lepra” atau yang terbaik dari semuanya,
air Ratu Hungaria yang terkenal, keasaman lenyap dan roh-roh meraih
kembali pengaruh mereka yang benar. (hal. 187).

Dalam konteks kegilaan yang terus berjalan dari abad-abad


itulah, Foucault menilai, di dalam reorganisasi raksasa, relasi antara
kegilaan dan rasio, dan keluarga, pada abad ke delapan belas, telah
memainkan sebuah bagian yang menentukan. Harga diri patriarki
dihidupkan kembali di sekitar kegilaan pada kalangan raja-raja dan
kaum borjuis. Sedimentasi historis inilah yang kemudian dibawa
psikoanalisis kepada cahaya, menyelaraskannya melalui sebuah
mitos baru pemaknaan sebuah tujuan yang kiranya menandai semua
budaya barat dan mungkin semua peradaban.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


TINJAUAN BUKU

Madness and Civilization, seperti bukunya yang lain, memang


­ enunjukkan­kekuatan­–­dalam­kerumitan­pikiran­Foucault­–­filsuf­
m
terkemuka Prancis ini pemahamannya atas sejarah. Foucault sendiri,
saat berceramah di berbagai universitas, selalu menekankan, bahwa
semua buah pikiranya yang ia tulis bukan ditujukan untuk pendengar.
”Saya menulis untuk pengguna, bukan pembaca ....” Bukunya, memang
menjadi referensi lintas disiplin ilmu.

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Biodata Para Penulis

Albert Maramis

Pria berpembawaan serius tapi lembut ini menamatkan pendidikan


dokter umum di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair)
pada 1986. Lalu dia meraih gelar psikiater dari RSUD/Fakultas
Kedokteran Unair pada 1999. Selain itu, dia juga mengikuti ”Fellow
Harvard-Melbourne International Mental Health Leadership Program
2001-2002”. Albert termasuk orang yang rajin menulis. Tercatat dia
telah menulis 96 buah makalah ilmiah dan 5 buah buku.

Kini dia berkarier sebagai Dosen Tamu Departemen Psikiatri FKUI/


RSUPN Cipto Mangunkusumo dan bekerja di WHO Indonesia: National
Professional­ Officer­ for­ Mental­ Health­ &­ Tobacco­ Free­ Initiative.­
Sedangkan soal organisasi, dia mengurusi Bidang Organisasi PP
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI)
(2005-2009); Sekretaris Kolegium Psikiatri Indonesia (2004-2006,
2007-2009, dan 2009-2013); anggota Seksi Skizofrenia PDSKJI (1999-
), Sekretaris (2009-2013); anggota Psychiatric Society for Informatics
(1997- ); anggota World Federation for Mental Health (1998- ); anggota
World Psychiatric Association-Educational Liaison Network (1999- );
anggota International Early Psychosis Association (1999- ); anggota
Masyarakat Indonesia untuk Studi Trauma/Indonesian Society for
Traumatic Stress Studies (2002- ); anggota Pusat Kajian Bencana
FKUI (2002- ); dan anggota International Society for Bipolar Disorders
(2004- ).

Eka Viora

Perempuan yang selalu tampak energik ini lahir di Painan, 30 Juni


1958. Dia berhasil meraih gelar dokter pada 1986 dari Universitas
Sriwijaya, Palembang. Kemudian pada 1995 ia berhasil meraih
gelar dokter spesialis kedokteran jiwa dari Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Selain itu, ibu yang murah senyum ini juga

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


mendapat tambahan ilmu dengan mengikuti “International Mental
Health Leadership Training”, Melbourne University, Victoria (2006),
“Disaster Mental Health Training”, Hyogo Institute, Kobe, Jepang
(2005), “Drug and Alcohol Problem-Short Course”, Adelaide University,
South Australia (2004), dan “Training of Trainer-Voluntary Counseling
and Testing-HIV/AIDS, WHO-SEARO”, Thailand, Bangkok (2003).

Ibu yang tinggal di Vila Ilhami, Karawaci, Tangerang, Banten, ini


dipercaya menjadi Kepala Subdirektorat Bina Pelayanan Kesehatan
Jiwa di Sarana Kesehatan Ditjen Pelayanan Medik Depkes RI
sejak 2006. Karier pertamanya dimulai sebagai Dokter Puskesmas
Kecamatan Kampar, Riau (1987-1989). Kemudian berturut-turut
menjadi Dokter RSU Kabupaten Kampar Riau (1989-1991), Peserta
Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (1991-1995), Staf Dokter
RSCM Jakarta (1995-1997), Psikiater/Ketua Komite Medik RSJ Pusat
Pekanbaru (1997-2000), serta Kepala Subdirektorat Pencegahan
dan Penanggulangan NAPZA Ditjen Bina Pelayanan Kesehatan
Masyarakat Depkes (2000-2006).

Hervita Diatri

Ramah dan santun. Begitulah kesan yang akan Anda rasakan bila
bertemu dengan psikiatri alumnus Universitas Indonesia (UI) tahun
2006 ini. Vita, begitu dia biasa dipanggil, juga menyelesaikan pendidi-
kan dokter di UI pada tahun 2000 dengan predikat cum laude. Karena
bidang psikiatri merupakan profesi yang disukainya, tak aneh bila
perempuan kelahiran 24 Juni 1976 ini banyak mengikuti pelatihan
terkait kesehatan jiwa. Antara lain, pada Agustus 2008 dia mengi-
kuti “Pelatihan Kepemimpinan Program di Bidang Kesehatan Jiwa”
di Melbourne, Australia. Lalu, pada Juni 2007 mengikuti “Course on
Leadership and Professional Skills Development for Young Psychia-
trists” di Hong Kong.

Sekretaris Gugus Tugas Nasional Pembangunan Sistem Kesehatan


Jiwa Indonesia ini memiliki banyak pengalaman kerja. Sejak 2006
hingga kini dia tercatat sebagai dosen di Jurusan Psikiatri Fakultas
Kedokteran (FK) UI. Ia juga memberikan advokasi aspek hukum
terkait masalah kesehatan jiwa di Aceh 2007 dan terlibat penanganan

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


psikologis untuk para korban bom Kuningan, Jakarta, pada 2004-
2005.

Selain itu, perempuan yang tercatat sebagai fasilitator dan


pelatih di Pusat Studi Bencana Alam dan Kekerasan FKUI ini juga
memiliki sejumlah pengalaman riset di bidang kesehatan jiwa. Dia
juga telah menerbitkan beberapa tulisan terkait masalah kesehatan
jiwa. Antara lain, “Cognitive Remediation for Chronic Schizophrenic”,
Mitra Schizophrenia Magazine, 2002. “Pasung: Physical restraint
and­confinement­of­the­mentally­ill­in­the­community”,­International
Journal on Mental Health System Development, 2008, second author,
dan “Domestic Violence Impact (In Mental Health Perspective)”,
Faculty of Medicine, University of Indonesia, publisher, 2008, author.

Irmansyah

Pria berkacamata ini lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia (FKUI) pada tahun 1986. Setelah itu ia berhasil merampungkan
studi psikiatri di Jurusan Psikiatri FKUI pada 1994. Lalu, dia pun terus
menjelajah dunia psikiatri dengan mengikuti training dan pendidikan
terkait psikiatri di Australia (1996), Singapura (1999), Belanda (2000),
dan Amerika (2005). Pria yang mendalami bidang bioethics ini memi-
liki banyak pengalaman kerja. Ia pernah menjabat sebagai Kepala
Klinik Psikiatri Rumah Sakit Umum Tangerang (1994-1996), Direktur
Riset Jurusan Psikiatri UI (2000-2004), dan Dosen Senior di Jurusan
Psikiatri UI (2007–kini). Lalu mulai 1 Februari 2009, pria yang men-
jadi anggota World Federation of Societies of Biological Psychiatry ini
tercatat sebagai Direktur Bina pelayanan Kesehatan Jiwa Departe-
men Kesehatan Republik Indonesia.

Ketua Seksi Schizophrenia di Asosiasi Psikiatri Indonesia ini


banyak memiliki pengalaman riset di bidang kesehatan jiwa.
Antara lain, dia pernah terlibat dalam kegiatan “Rapid Assessment
of­ Mental­ Health­ Needs­ and­ Resources­ among­ IDPs­ in­ conflicted­
areas in Indonesia (Madura, Ambon, Tobelo, and West Kalimantan)
supported by WHO Jakarta”, September 2001, sebagai principal
investigator.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


Anggota Gugus Tugas Nasional Pembangunan Sistem Kesehatan
Jiwa di Indonesia juga memiliki banyak pengalaman menulis. Antara
lain, dia menulis “Strategy to empower families of schizophrenia in
developing countries”, ASEAN journal of Psychiatry, June 2006; 7(1):
58-65. Selain itu, ia juga rajin menulis tentang masalah kesehatan jiwa
di media massa nasional, seperti majalah mingguan Tempo, Koran
Tempo, Kompas, dan Media Indonesia. Tak hanya itu, dia juga banyak
memiliki pengalaman kerja lapangan. Antara lain, ia terlibat sebagai
external evaluators untuk proyek “International Organization for
Migrations (IOM)” di Aceh (2008) dan menjadi sukarelawan kesehatan
jiwa pasca-gempa bumi di Sumatra Barat (November 2009).

Lili Suwardi

Lajang kelahiran Jakarta, 2 April 1979, ini tercatat sebagai


Sekretaris Umum Perhimpunan Jiwa Sehat/PJS (2008–kini). Sebagai
aktivis pejuang hak-hak orang dengan masalah kejiwaan (ODMK),
Lili sering hadir sebagai narasumber beragam acara diskusi terkait
masalah kesehatan jiwa. Ia juga beberapa kali memberikan testimoni
terkait masalah ODMK. Pada 2006 Lili pernah memberikan testimoni
dalam focus group discussion tentang “Pemberdayaan Konsumen,
Keberpihakan Hukum dan Etik terhadap Penderita Gangguan jiwa”,
serta “Kampanye Antistigma” yang diselenggarakan oleh Departemen
Psikiatri FKUI, dan memberikan testimoni dalam seminar bioethics
medis dengan topik “Keberpihakan Hukum dan Etik terhadap
Penderita Gangguan Jiwa”, yang diselenggarakan oleh Universitas
Atmajaya.

Selain memberikan testimoni, pria yang pernah mengenyam


pendidikan English for translation di Universitas Terbuka ini juga
rajin mengampanyekan perlunya pemenuhan hak-hak ODMK melalui
publikasi dan internet. Tercatat pada 2003 ia pernah membuat tulisan
tentang “Melawan Stigma lewat Bahasa”, Mitra Skizofrenia, edisi ke-6
(Januari-Maret 2003). Dia juga mendirikan milis skizofrenia, http://
groups.yahoo.com/group/skizofrenia_indonesia/ (2007), mendirikan
blog skizofrenia, http://skizo-friend.blogspot.com/ (2008), dan
­menjadi­pemain­utama­dalam­film­Forgotten Voices,­film­tentang­hak­
politik kelompok rentan, produksi Komnas HAM bekerja sama dengan

 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


School Broadcasting Media (SBM). Ia juga tetap aktif menulis news
mail (newsletter lewat email) “Jiwa Sehat”, jurnal kesehatan jiwa yang
diterbitkan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat.

Lili yang tercatat sebagai anggota Gugus Tugas Nasional


Pembangunan Kesehatan Jiwa di Indonesia (2008-kini) ini pun pernah
menjadi peserta “Leadership on Mental Health System Development
in Indonesia” yang diselenggarakan oleh Gugus Tugas Nasional
Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia (2009) dan peserta
“Pelatihan Kader Kesehatan Jiwa” yang diselenggarakan oleh Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (2009).

LR Baskoro

Dunia jurnalistik tidak menjauhkan Lestantya Ravisavitra Baskoro,


demikian­nama­lengkapnya,­dari­dunia­filsafat.­Sehari-hari­alumnus­
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, ini adalah Redaktur
Hukum Majalah Tempo. Di Tempo, sebelum ditunjuk menjadi redaktur
bidang hukum, ia menjabat Kepala Biro Jakarta Tempo News Room
(TNR), kantor berita Tempo yang menyuplai berita untuk Koran Tempo
dan Tempo Interaktif.

Di sela-sela tugasnya sebagai wartawan, LR Baskoro kerap


memberi pelatihan tentang jurnalistik dan etika jurnalistik untuk para
wartawan, baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Sejumlah buku yang
telah­ditulisnya,­antara­lain,­biografi­mantan­Kapolri­Jenderal­Widodo­
Budidarmo, Jurnalisme Lingkungan, dan Jurnalisme Menggerakkan,
serta yang segera diterbitkan, Jurnalisme Hukum dan Jurnalisme
Tanpa Menghakimi.­ Hingga­ kini,­ filsafat­ dan­ hukum­ merupakan­
dua bidang yang sangat diminatinya. Karena itu, tak heran bila dua
buku bidang itulah yang memenuhi perpustakaan pribadinya. (Email:
baskoro@mail.tempo.co.id)

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 9


Pandu Setiawan

Inilah orang yang paham seluk-beluk rumah sakit jiwa (RSJ). Pria
kelahiran Jogjakarta, 28 Desember 1946, ini berhasil menyelesaikan
pendidikan dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
pada tahun 1971. Lalu ia pun berhasil lulus dari Psikiatri FKUI pada
tahun 1976. Setelah itu, berturut-turut ia menjabat sebagai Direktur
RSJ Banjarmasin/Tamban (1976-1984), Direktur RSJ Solo (1984-
1996), Direktur RSJ Lawang (1996-2003), Direktur Pelayanan Medik
Spesialistik Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2003-2005),
dan Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa (2005-2007).

Di bidang organisasi, suami dari E.S. Ingrid Cynthiani ini tercatat


berkiprah sebagai Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi
Kalimantan Selatan (1979-1983), Ketua PDSKJI Solo (1984-1996),
Ketua PDSKJI Malang (1998-2003), Ketua Umum PDSKJI (2002-
2006), President ASEAN Federation of Psychiatry and Mental Health
(2002-2006), Dewan Penyantun PDSKJI (2005-2009), Ketua Jejak
Komunitas Kesehatan Jiwa Indonesia (2001-sekarang), part time
consultant Kesehatan Jiwa dan Psikososial untuk IOM, World Bank,
dan Kabupaten Aceh Utara, part time consultant untuk RSJ Magelang,
serta konsultan psikiatri.

Rusman Widodo

Saat pertama kali menjejakkan kakinya di Komnas HAM, pria


kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Januari 1973, ini diserahi
tanggung jawab sebagai penyuluh HAM dan mengurusi penerbitan
Komnas HAM. Beragam training HAM telah diikuti, antara lain,
“Training on Trainer (ToT) Hak Asasi Manusia” (2008), “Sub Regional
Training Workshop on National Human Rights Institutions and
Human Rights Defenders”, Bangkok (2007), “Pelatihan Penyelidikan
Proyustisia” (2006), “Workshop Strategi Kampanye Publik” (2006-
2007), “Pelatihan Hak Asasi Internally Displaced Persons/IDPs”
(2005), dan “Human Rights Training” (2005). Ia juga pernah mengikuti
“Pelatihan Kepemimpinan untuk Pembangunan Sistem Kesehatan
Jiwa Indonesia” di Jakarta (2009).

0 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009


Sebelum bergabung dengan Komnas HAM, alumnus terbaik
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran tahun 1998 ini
berkiprah sebagai jurnalis di berbagai media massa, antara lain, tabloid
Pasarinfo (2004-2005), majalah all about Kemang (2003-2005), majalah
Business & BUMN Review (2004), majalah berita FOKUS Indonesia
(2003-2004), dan majalah FORUM Keadilan (1999-2003). Kiprahnya di
organisasi, antara lain dijalani sebagai Koordinator Forum Wartawan
Berpuisi/FWB (2002) dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta (2003-kini).

Pria yang kini aktif mengampanyekan pemenuhan HAM untuk


orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) ini pernah menghasilkan
beberapa karya, antara lain, buku antologi puisi Forum Wartawan
Berpuisi, Maka Gumamku Adalah Bahasa­ (2002),­ tim­ pembuat­ film­
animasi HAM Petualangan di Dunia 1012 (2006-2007); tim pembuat
buku Potret Buram HAM Indonesia (2006), tim pembuat komik
Petualangan di Dunia 1012 (2005), tim pembuat buku Panduan Buruh
Migran di Malaysia, Arab Saudi, dan Taiwan (2005), serta aktif menulis
berbagai artikel.

Yosep Adi Prasetyo

Pria kelahiran Malang, 20 Juni 1959, ini menjadi anggota Komnas


HAM periode 2007-2012. Sebelum bergabung di Komnas HAM,
lelaki yang akrab dipanggil Stanley ini berkarier sebagai jurnalis.
Karier di media massa, antara lain menjadi konsultan UNOTIL
(2006), ombudsman tabloid Suara Perempuan Papua (2004-kini),
ombudsman Acehkita (2003-kini), dan Direktur Komersial dan Umum
PT Melin/Radio 68H (2000-2004). Sedangkan karier organisasinya,
yaitu tercatat sebagai anggota Majelis Etik AJI Jakarta (2003-2005),
pendiri dan anggota Board Institute for Media and Social Studies
(2003-kini), anggota IRIP Board (Melbourne), serta penerbit majalah
Inside Indonesia (2001-2002). Selain itu, ia juga menjadi anggota Tim
Pokja Reformasi Polri (2003-kini), anggota Pokja Defence Reform dan
anggota tetap FGD Pro-Patria (2002-kini), serta Board Yayasan Kippas
Medan.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009 


Meskipun pendidikannya berasal dari Jurusan Elektro Fakultas
Teknik Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga (1988), Stanley
fasih berbicara persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud),
dan pertahanan keamanan (hankam). Pria yang kini fasih berbicara
persoalan­HAM­ini­telah­menelurkan­banyak­artikel,­buku,­film,­serta­
tulisan-tulisan tentang kesehatan jiwa dan orang dengan masalah
kejiwaan (ODMK).

2 Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

Anda mungkin juga menyukai