Anda di halaman 1dari 26

Analisis Kronologi Pelanggaran HAM di

Indonesia
(Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf
Habibie, FREng s/d Sekarang)

Pembina : Rizki Rahmadani Silitonga, S.Pd


Di susun oleh kelompok 6 :
1. Rianti Budi Anggara
2. Gian Luigi Arrahman
3. Maharani Prawishayu lubis
4. Suci Sukma Rahayu
5. Naqiyah Islamiyah
6. Muhammad Zacky Alhadi

MAN BATAM
KOTA BATAM
TAHUN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatuallahi Wabaraktuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam semoga
terlimpahkan kepada baginda besar kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa'atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat. Nya, baik itu
berupa sehat jasmani maupun rohani kita, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah
ini sebagai tugas dari mata pelajaran PPKN pada bab "Hak Asasi Manusia dalam Prespektif
Pancasila” dengan Subbab "Pelanggaran HAM di Indonesia".
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang dapat memberi manfaat bagi kita semua. Apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar besarnya. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima kasih
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Batam, 25 Agustus 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………………………………………………….1
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………………3
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………….4
A. Latar Belakang………………………………………………………………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………………………………….…….5
C. Tujuan…………………………………………………………………………………………………………………..….5

BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………………….6
A. Pengertian Pelanggaran HAM………………………………………………………………………………..…6
B. Macam Pelanggaran HAM………………………………………………………………………………………..6
C. Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia…………………………………………………………………….8
D. Analisis kasus pelanggaran HAM dan penanganannya…………………………………………..…8
a. Konflik bersenjata di Desa Seuneubok Tejngoh, Aceh Timur………………..…
8
b. Konflik Poso………………………………………………………………………….…..……..…12
c. Peristiwa Bom Bali………………………………………………………………………………
15
d. Peristiwa Sampit….………………………………………………………………………………20
e. Kasus Pania, Papua 2014 ………………………………………………………..
…………..25
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………………………………..25
A. Kesimpulan………………………………………………………………………………………………….…………26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………….…..26

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) adalah perbuatan, tindakan individu atau
sekelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja,
atau karena kelalaian secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan
mencabut Hak Asasi Manusia. Pelanggaran HAM ini merupakan tindakan
pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara
atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan
yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.

Diantara hak manusia yang ada dalam UU No. 26 Tahun 2000 ialah hak untuk hidup,
tidak disiksa, pikiran dan hati nurani, hak beragama, tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak-hak lainnya, Dalam
kenyataan nya sering terjadi pelanggaran HAM khususnya terkait kejahatan
kemanusiaan, dan beberapa kasus yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan sebagai
kasus kejahatan kemanusiaan, namun pemerintah seolah tidak mengakuinya sebagai
kejahatan kemanusiaan atau mungkin memang bukan kasus kejahatan kemanusiaan.

Di Indonesia sendiri hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat di pisahkan dengan
pandangan yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NKRI 1945) yang terdapat dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 “Kemerdekaan adalah hak
segala bangsa”. Dalam pernyataan ini terkandung jelas pengakuan secara yuridis hak
asasi manuia tentang kemerdekaan sebagaimana yang terkandung dalam Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 1.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia adalah


seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberdaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dijunjung oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berhubung hak
asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa hak asasi manusia
tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber
dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga hak asasi
manusia itu tidak bisa dikurangi (non derogable rights).

Maraknya terjadi pelanggaran HAM di Indonesia khususnya pada zaman


pemerintahan presiden bj.habibi hingga saat ini. Pelanggaran HAM tersebut antara
lain yaitu;
1. Konflik bersenjata di Desa Seuneubok Tejngoh, Aceh Timur
2. Konflik Poso

4
3. Peristiwa Bom Bali
4. Peristiwa Sampit
5. Kasus Pania, Papua 2014

Indonesia sebagai negara hukum sudah memiliki dasar hukumya begitu juga dengan
pengaturan tentang hak asasi. Mengenai dasar negara hukum sudah diatur dalam
ketentuan Pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia serta mengenai Hak Asasi
Manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, kemudian dalam UUD RI 1945 diatur pada pasal 27 ayat 3, 28 A sampai J,
serta Pasal 30 ayat 1.
Dari latar belang tersebut kami tertarik untuk mengetahui kronologi kejadian yang
sesungguhnya dari kasus kasus pelanggaran HAM tersebut dan penyelesaiannya dari
kasus tersebut.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami merumuskan 2 rumusan masalah yang akan kami bahas
dalam makalah Ini, berikut adalah rumusan masalah dari makalah kami;

1) Bagaimana kronologi serta analisa pelanggaran-pelanggaran ham yang terjadi


pada zaman pemerintahan presiden bj habibie hingga Sekarang?
2) Bagaimana penanganan pemerintah atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
dan seperti apa penyelesaiannya?

C. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini kami bertujuan agar para pembaca dapat mengetahui
segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia khususnya pada
pemerintahan preseden b.j habibie hingga saat ini. Kami juga bertujuan agar
pembaca mengetahui penyelesaian dari kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut oleh
pemerintah dan di mata hukum. Makalah kami juga dapat di gunakan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca mengenai pelanggaran HAM di Indonesia
sejak pemerintahan presiden b.j habibie hingga saat ini.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pelanggaran HAM

Hak Asasi Manusia menurut UUD NRI tahun 1945, sebagai warga negara yang baik.
Hak Asasi Manusia merupakan Hak yang telah melekat dalam diri tiap manusia dan
harus di junjung tinggi oleh tiap masyarakat baik antar masyarakat yang berada
dalam negara republik Indonesia.

1. Soetandyo Winjosoebroto “Hak-hak mendasar (fundamental) yang diakui


secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat
dan kodratnya sebagai manusia.”
2. Muladi “HAM adalah hak yang melekat secara alamiah (inherent) pada diri
manusia sejak lahir, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan
berkembang sebagai manusia yang utuh.”
3. Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.”
HAM pada hakikatnya bersifat Alami dan diperoleh oleh manusia begitu saja karena dia
adalah manusia, hak ini adalah hak yang melekat pada manusia bahkan sejak awal
kehidupannya di dalam kandungan. Pelanggaran HAM merupakan setiap perbuatan
seseorang atau kelompok yang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian sehingga dapat menghilangkan nyawa orang lain.

B. Macam Pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM dapat di bagi menjadi beberapa macam, berikut ini macam-
macam pelanggaran Ham.
Menurut P.N.H Simanjuntak, S.H, macam-macam hak asasi manusia (HAM) antara
lain:
1. Hak asasi pribadi (personal rights) antara lain hak mengemukakan pendapat,
hak memeluk agama, hak beribadah menurut agama masing-masing, dan hak
kebebasan berorganisasi atau berserikat.
2. Hak asasi ekonomi (property rights) antara lain hak memiliki sesuatu, hak
menjual dan membeli sesuatu, hak mengadakan suatu perjanjian atau
kontrak, dan hak memiliki pekerjaan.
3. Hak asasi untuk mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama dalam
keadilan hukum dan pemerintahan (rights of legal equality), hak ini adalah
hak persamaan hukum.

6
4. Hak asasi politik (political rights) antara lain hak untuk diakui sebagai warga
negara yang sederajat, hak ikut serta dalam pemerintahan, hak memilih dan
dipilih dalam pemilu, hak mendirikan partai politik, serta hak mengajukan
petisi dan kritik atau saran.
5. Hak asasi sosial dan budaya (social cultural rights) antara lain hak untuk
memilih pendidikan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, dan hak untuk
mengembangkan kebudayaan.
6. Hak asasi untuk mendapat perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
hukum (procedural rights) antara lain hak mendapat perlakuan yang adil
dalam penggeledahan, penangkapan, peradilan, dan pembelaan hukum.
Adapun Ham dapat di bagi menjadi 2 yaitu, Ham Berat dan Ham ringan
1. Ham Berat
Pelanggaran HAM berat pelanggaran yang mengakibatkan timbulnya
perbuatan pidana terhadap raga, jiwa, martabat, peradaban, dan sumber
daya kehidupan manusia. Menurut UU Nomor 26 Tahun 2000, pelanggaran
HAM berat terbagi menjadi dua yaitu kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Kejahatan Genosida

 Membunuh anggota kelompok.


 Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental
 kemusnahan secara fisik.
 Memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok.
 Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.

Kejahatan Manusia

 Pembunuhan. pokok hukum


 Pemusnahan. internasional.

 Perbudakan.  Penyiksaan.

 Pengusiran atau  Perkosaan, perbudakan


pemindahan penduduk seksual, pemaksaan
secara paksa. kehamilan, pemandulan
secara paksa, dan bentuk
 Perampasan kemerdekaan kekerasan seksual lain.
atau kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang  Penghilangan orang secara
yang melanggar ketentuan paksa.
 Kejahatan apartheid
2. Ham ringan
HAM ringan adalah pelanggaran yang tidak mengancam nyawa seseorang,
tetapi tetap merugikan orang tersebut.

7
 Melakukan penganiayaan.
 Melakukan hal yang dapat mencemarkan nama baik seseorang.
 Menghalangi seseorang untuk menyampaikan aspirasinya dengan
berbagai cara.
 Melakukan aksi kekerasan dengan pemukulan.
 Mengambil barang atau hak milik orang lain.
 Menghalangi seseorang menjalankan ibadah.
 Melakukan pencemaran lingkungan.
 Melakukan perundungan, baik secara langsung maupun melalui media
sosial.
 Tindakan pemaksaan orang tua terhadap anaknya.

C. Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia

Masih banyak lagi kasus pelanggaran HAM di Indonesia , secara yuridis , pasal 1
Angka 66 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
asasi Manusia.
Dalam konteks Negara Indonesia, pelanggaran HAM merupakan tindak pelangran
kemanusian, baik dihukum oleh individu maupun instutusi lainnya terhadap hak
asasi manusia. Sedangkan pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Contoh kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia pada masa
pemerintahan B.J Habibie hingga saat ini antara lain, Yaitu:
1. Konflik bersenjata di Desa Seuneubok Tejngoh, Aceh Timur
2. Konflik Poso
3. Peristiwa Bom Bali
4. Peristiwa Sampit
5. Kasus Pania, Papua 2014

D. Analisis kasus pelanggaran HAM dan penanganannya

Konflik Bersenjata di Desa Seuneubok Tejngoh , Aceh Timur


Kabupaten Aceh Timur ialah sebuah kabupaten yang berada di sisi timur provinsi Aceh, yang
kaya akan minyak. Sebelum diterapkan Darurat Militer, kawasan Aceh Timur termasuk
kawasan hitam. Konflik di Aceh bisa dibagi dalam tiga fase, yaitu ;
1. Fase 1976-1979 ialah terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang di ketuai
oleh Hasan Tiro.
2. Fase 1989-1998 ditandai dengan diberlakukannya operasi jaring merah atau lebih
dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM), pada fase ini banyak korban rakyat
Aceh dan banyak muncul berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
3. Fase 1998- 2005 atau pasca DOM, di fase ini daerah provinsi Aceh diberlakukan
darurat militer yang bertujuan untuk meredakan konflik yang berkelanjutan.
Banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi seperti di Simpang Kuala, di Timur

8
kabupaten Aceh Timur yang dikenal sebagai “Tragedi Arakundo” ialah peristiwa
penembakan atau pembantaian warga sipil pada tahun 1999.
Para korban dianiaya oleh anggota militer setelah itu para korban-korban dinaikkan ke
dalam truk aparat militer baik yang sudah tewas maupun yang terluka. Setelah itu korban-
korban dibawa menuju jembatan sungai Arakundo. Ketika sampai di tempat tujuan, para
anggota militer langsung melempar semua korban-korban kedalam sungai itu. Perbuatan
para militer merupakan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh state
actor (actor negara atau aparat negara).
Kronologis Terjadinya Konflik

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersumber dari perbedaan pandangan tentang hukum Islam,
kekecewaan tentang distribusi SDA di Aceh, dan peningkatan jumlah pendatang dari Jawa ke
wilayah Aceh.
Pada akhirnya konflik yang terjadi sejak 1976 - 2005 ini justru merugikan kedua belah pihak
dan telah menelan korban sebanyak 15.000 jiwa.

(1976-1977)

Setelah adanya pernyataan dari Hasan Tiro di tahun 1976, milisi GAM mulai melakukan
gerakan-gerakan represif. Perlawanan yang terjadi melalui teknik gerilya itu menewaskan
milisi GAM dan juga masyarakat sipil. Namun gerakan milisi GAM berhasil digagalkan oleh
pemerintah pusat dan kondisi bisa dinetralusir.

(1989-1998)

GAM kembali melakukan aktivitas setelah mendapatkan dukungan dari Libya dan Iran
berupa peralatan militer, sehingga perlawanan mereka lebih tertata dan terlatih sehingga
sulit dikendalikan. Sehingga pemerintah merasakan munculnya ancaman baru, yang
kemudian menjadi alasan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Pembakaran desa-desa yang diduga menampung anggota GAM dibakar, dan militer
Indonesia menculik dan menyiksa anggota tersangka tanpa proses hukum yang jelas.
Sehingga terhadi setidaknya 7.000 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama
pemberlakuan DOM di Aceh.

(1998)

Lengsernya pemerintahan Orde Baru memberi peluang bagi GAM membangun kembali
kelompok mereka. Presiden BJ Habibie pada 7 Agustus 1998 mencabut status DOM dan
memutuskan menarik pasukan dari Aceh yang justru memberi ruang bagi GAM untuk
mempersiapkan serangan berikutnya.

(2002)

Pada 2002 kekuatan militer dan polisi di Aceh semakin berkembang dengan jumlah pasukan
menjadi sekitar 30.000 pasukan militer dan terus meningkat hingga sekitar 50.000 persenil.
Terjadi juga berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh milisi GAM yang
mengakibatkan jatuhnya ribuan korban dari pihak pemerintah.

9
(2003)

Masyarakat Aceh akan mengingat kejadian di tanggal 19 Mei 2003 di mana Aceh dinyatakan
sebagai daerah dengan status darurat militer.
Hal ini dilakukan setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan
Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Kesepakatan Helsinki
Pihak pemerintah Indonesia dan GAM pada 27 Februari 2005 bersama-sama memulai
langkah perundingan dengan melakukan pertemuan di Finlandia.
Delegasi Indonesia dalam perundingan itu diwakili oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil,
Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja. Pihak GAM diwakili oleh Malik
Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah.
Dari pertemuan tersebutlah muncul beberapa kesepakatan antara pemerintah Indonesia
dengan GAM untuk mencapai perdamaian. Kesepakatan tersebut terdiri dari enam bagian,
yaitu:

  Tentang Hak Asasi Manusia.


  Tentang Amnesti dan Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat,
  Tentang Pengaturan Keamanan.
  Tentang Pembentukan Misi Monitoring Aceh.
  Tentang Penyelesaian Perselisihan.

Kesepakatan Helsinki tercapai dengan perundingan yang berlangsung selama lima putaran,
dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005.
Perdamaian ini kemudian ditandai dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI di Helsinki, Finlandia.

PELANGGARAN HAM DI ACEH


Menurut pasal 1 angka 1 UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud
Hak Asasi Manusia itu adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Namun hal itu tidak dirasakan oleh rakyat Aceh, dimana pelanggaran berat HAM
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kelam rakyat Aceh yang hidup dalam
suasana konflik. Penderitaan korban banyak tercatat, yang dilakukan oleh badan-badan
pemerintah maupun organisasi non pemerintah sejauh ini belum melangkah jauh untuk
menjawab problem keadilan bagi korban kekerasan konflik Aceh.
Penyelidik resmi dan pengumpulan fakta atas pelanggaran HAM di Aceh telah melakukan
pengusutan sejak bulan Juli 1998 dan mengindikasikan adanya keterlibatan aparat
keamanan dalam pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Fakta dalam penyelesaian
pelanggaran HAM, diantaranya adalah:
1. Pada Juli 1998
Tim Gabungan Pencari Fakta DPR dibentuk. Pada bulan Oktober 1998 tim ini
mengumpulkan temuan sementaranya lebih dari 6.837 kasus pelanggaran HAM
sejak 1989-1998.

10
2. Agustus 1998
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan di Aceh.
Laporan pendahuluannya menyebutkan telah menemukan bukti-bukti adanya, paling
tidak 781 orang meninggal, 163 orang hilang, 368 kasus penyiksaan, dan 102 kasus
pemerkosaan yang terjadi antara tahun 1989 dan 1998.
3. Juli 1999
Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA) dibentuk melalui
sebuah instruksi presiden (masa pemerintahan Presiden Habibie). Dilaporkan bahwa
komisi ini telah mengumpulkan keterangan mengenai 7000 kasus pelanggaran HAM
di Aceh yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, meliputi diantaranya berupa
pembunuhan diluar jalur hukum, penyiksaan, penghilangan paksa, penahanan
sewenang-wenang, pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual.
4. November 1999
Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap lima kasus yang
direkomendasikan untuk diadili oleh KIPTKA. Lima kasus tersebut masing-masing
adalah kasus pemerkosaan di Pidie yang terjadi pada bulan Agustus 1996, yaitu ;
a. Kasus penyiksaan dan penghilangan paksa yang terjadi antara tahun 1997
dan 1998 disebuah tempat yang dikenal sebagai Rumoh Geudong di Pidie
b. Pembunuhan diluar jalur hukum terhadap tujuh warga sipil di Idi Cut, Aceh
Timur pada bulan Pebruari 1999
c. Pembunuhan diluar jalur hukum terhadap 35 warga sipil di simpang KKA,
Aceh Utara pada bulan Mei 1999
d. Pembunuhan di luar jalur hukum terhadap seorang ulama (Tgk. Bantaqiah)
dan para pengikutnya di desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, Aceh Barat
(Juli 1999)
Selain itu kasus-kasus yang disebutkan di atas, masih ada kasus-kasus lain yang merupakan
bagian dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang berlangsung sehari-hari berdasarkan
pemantauan Kontras antara Juli hingga Desember 1999 sebagai berikut:
1. Antara 4 Juli 1999-25 Desember 1999 setidaknya ada 194 warga sipil yang menjadi
korban kekerasan Aparat Keamanan, 22 diantaranya tewas dan 172 luka luka ringan
dan berar
2. Antara 19 Oktober-25 Desember 1999, setidaknya 290 korban pembunuhan
misterius umunya dengan pola petrus (penembak misterius), menelan korban
sebanyak: 239 sipil tewas dan 10 luka-luka dan sisanya sekitar 51 jiwa non-sipil.
3. Antara 16 April 1999-25 Desember 1999, setidaknya 902 unit bangunan terbakar,
terdiri dari Sekolah, kantor Camat dan gedung pemerintahan lainnya, dari sekian
jumlah tersebut, sekitar 80 persen atau 132 unit adalah bangunan sekolah dan sekita
191 bangunan dibakar oleh aparat keamanan dalam operasi sweeping
4. Antara 5 Agustus-25 Desember 1999 setidaknya 128 orang (105 sipil dan sisanya
militer) hilang diculik dan sebagian dari mereka ditemukan dalam keadaan tewas
yang mengenaskan
5. 2001 bawah operasi Rajawali ada 1216 kasus pelanggaran HAM, operasi dilakukan
untuk menemukan langkah komperhensif dalam menyelesaikan masalah Aceh
berdasarkan Inpres No 4/2001 di tengah-tengah Jeda Kemanusiaan
6. 2003-2004 Darurat Militer I dan II ada 1.326 kasus pelanggaran HAM, Kegagalan
perundingan damai antara RI dan GAM direspon dengan kebijakan darurat militer,

11
masa ini penyelesaian HAM sejumlah anggota TNI rendah dihukum. Statusnya
diturunkan menjadi Darurat Sipil sampai sekarang.

Konflik Poso
Kronologi
Konflik Poso I
1. Pada Jum'at, 25 Desember 1998 (Bertepatan dengan bulan Ramdhan 1419 H) di Poso,
Sulawesi Tengah. Sekelompok pemuda kristen mengkonsumsi miras dan membuat
keributan saat Sholat tarawih. Pengurus masjid mencoba mengingatkan. Kemudian para
pemuda kristen pergi meninggalkan area masjid. Lewat tengah malam kelompok
pemuda kristen itu kembali.
2. Ridwan (pemuda muslim Poso) yang sebelumnya telah mengingatkan pemuda Kristen
untuk tidak mabuk-mabukan tengah membangunkan sahur warga Kelurahan Sayo
dikejar dengan samurai oleh Roy Runtu (pemuda Kristen) dalam kondisi mabuk. Ridwan
berlari ke masjid, namun Ridwan ditebas hingga tewas di masjid oleh pelaku.
3. Kedua pihak (Islam dan Kristen) mengadu dengan kelompoknya. Salah seorang dari
kelompok Kristen mencari bantuan ke Tentena. Herman Parimo selaku tokoh kristen
Tentena membawa massa bergerak ke Poso kemudian membakar Pasar sentral Poso
dan mengadakan pawai keliling Poso untuk menunjukkan kemenangannya. Kabar Poso
sudah diduduki massa Tentena terdengar di Parigi dan Ampana (basis massa muslim).
Dengan koordinasi ustadznya masing-masing bergeraklah massa kedua kota itu ke Poso
4. Pengaduan ini memicu terjadi bentrokan dengan kerugian sekitar serratus orang luka-
luka, tiga sepeda motor terbakar, dan sejumlah rumah rusak. Menurut Radar Sulawesi
Tengah yang terbit pada 26 Desember 1998 kasus ini disinyalir sebagai kasus
perselisihan entis beragama. Pola kasus yang hampir sama terjadi hampir sepanjang
tahun 2000".
Konflik Poso II
1. Pada 17-19 April 2000 di Terminal Poso, dua pemuda pemabuk asal Desa Lambodia dan
Lawanga (desa Islam dan Kristen) tanpa alasan yang jelas terlibat pertikaian. Warga
kedua desa saling serang. Aksi bentrok massa meluas ke daerah sekitar Poso. Akibatnya,
tiga orang tewas, empat orang luka-luka, 267 rumah terbakar, enam mobil terbakar,
lima motor hangus, tiga gereja hancur, lima rumah asrama polisi hancur, ruang
Bhayangkari Polda terbakar dan kerugian materiil ditaksir mencapai Rp. 10 miliar.
Tersangka: 21 orang diperiksa sebagai saksf.
2. Pada 16 Mei 2000. Dedy seorang pemuda dari desa Kayamanya (suku Gorontalo) tengah
mengendarai motor Crystal pada malam hari, tiba-tiba dihadang sekelompok pemuda
Kristen yang mabuk di Desa Lambogia. Dedy sempat melarikan diri dengan motornya,
namun terjatuh sehingga tubuhnya mengalami luka-luka. Setelah diperban, kemudian
Dedy melaporkan pada teman-temanya di desa Kayamanya, bahwa ia dibacok oleh
pemuda kristen Lambogia".
3. Pada 17 Mei 2000, warga muslim Kayamanya (sekitar 20 orang beserta aparat)
mendatangi Kelurahan Lambogia untuk mencari oknum pelakunya namun disambut
dengan serbuan panah/peluncur dari warga Lambogia. Dan pada malamnya, warga
Kayamanya membakar Desa Lambogia sekitar 400 rumah serta sebuah gereja Beniel®.
4. Pada 19 Mei 2000, ditemukan mayat Muslim korban pembantaian di jalan Maramis
kelurahan Lambogia, dengan luka bacokan dan leher tertusuk panah. Kemudian warga

12
muslim terpancing emosi dan bergerak kembali membakar gereja Advent dan sebuah
gereja besar dekat terminal, gedung serba guna, SD, SMP dan SMA Kristen. Warga
kristen mengungsi ke kelurahan Pamona Utara (Tentena) dan Tagolu yang merupakan
basis Kristen. Setelah kejadian tersebut, umat Islam di Kelurahan Kowua bersiaga penuh
mengantisipasi serangan balasan. Seorang muallaf bernama Nicodemus yang kebetulan
bekerja di Tentena ditugaskan untuk memantau perkembangan warga Kristen di
Tentena. Setelah 2 minggu kemudian, Nico kembali ke Poso karena merasa dirinya
sedang diintai. Namun dari situ muncul kesepakatan untuk menginformasikan melalui
kata Sandi Pak Nasir (Nashara) datang berobat lanjut ke Poso berarti akan ada
penyerangan kaum Nasrani".
5. Pada 22 Mei 2000, Pak Maro (muallaf) dari kelurahan Lawanga, yang disusupkan di
Kelurahan Kelei, datang ke kediaman Ust. Abdul Gani, membawa pesan akan ada
penyerbuan pada shubuh hari. Pak Maro menyamar dengan memakai kalung salib dan
mentato tubuhnya. Di Kelei yang merupakan basis kristen pernah diadakan latihan
militer. Jam 5.30 sore ada interlokal dari Nicodemus di Tentena ke rumah pak Abdul
Gani memberitakan, bahwa "Pak Nasir (Nashara) akan berkunjung obat ke Poso malam
ini atau besok." Jam 7 malam, seorang pemuda bernama Heri Alfianto yang juga ketua
Remaja Masjid Kowua memberikan informasi bahwa di rumahnya yang kebetulan
terdapat TUT (Telepon Umum Tunggu), ada seorang Kristen yang diduga ingin
menggunakan jasa telepon bercerita kepadanya bahwa pada jam 2 malam akan ada
penyerangan dari masyarakat Flores (Kristen). Sekedar gambaran, Heri Alfianto dilihat
dari raut wajahnya mirip orang Kristen karena ibunya berasal dari Manado yang muallaf,
sehingga orang kristen mengira Heri juga orang Kristen. Penyerangan dilakukan per
kelompok kecil dengan sasaran KBL (Kayamanya, Bonesompe, Lawanga) dan menculik
tokoh tokoh Islam Poso, antara lain Haji Nani, Ust. Adnan Arsal, dll. Pada malam itu juga
dikumpulkan para tokoh yang tergabung dalam "Forum Perjuangan Umat Islam" yang
terbentuk sejak kerusuhan Poso jilid I di rumah Ust. Adnan Arsal dan langsung
mengkoordinasikan pembagian tugas penjagaan di pos-pos yang telah ditentukan.
Pertemuan itu selesai jam 21.30. Pada malam itu sudah tersebar isu penyerangan
terutama di Kecamatan Poso Pesisir, sehingga setiap warga, baik Islam dan Kristen,
berjaga-jaga mengamankan diri. Pada jam 24.00 rombongan Muspida beserta Ketua
DPRD Tk.ll Akram Kamarudin, menenangkan warga, memberitahukan kepada warga
Poso bahwa berdasarkan informasi Kapolsek Pamona Utara, Ramil Pamona Utara dan
Camat Pamona Utara isu penyerangan itu tidak benar dan menyesatkan. Akhirnya warga
yang tadinya berjaga di pos-pos bubar dan kembali ke rumah, kecuali warga di
Kelurahan Kowua. Bahkan pemuda Kowua membantah berita dari Muspida tersebut
karena yakin dengan info dari Nico di Tentena. Setelah itu muncul tanda bahaya berupa
kentungan pada tiang listrik dari desa seberang sungai, tepatnya di PDAM, Kelurahan
Gebang Rejo. Kemudian dikonfirmasikan melalui telepon ke Ust Adnan Arsal yang tinggal
di Gebang Rejo, namun dijawab bahwa sampai saat ini belum ada tanda pengerahan
massa yang melewati Desa Gebang Rejo. Tak berapa lama, Pak Adnan Arsal
memberitakan memang ada penyerangan dilakukan hanya oleh kelompok kecil
berpakaian ninja.

RESOLUSI KONFLIK
Pada tangga 18-20 Desember 2001 perdamaian antar kedua belah dihak diselenggarakan di
Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang dinamakan

13
"Deklarasi Malino". Dengan adanya deklarasi malino diharapkan keadaan Poso damai,
tenteran, dan sejahtera sebelum terjadi konflik. Adapun naskah Deklarasi Malino adalah
sebagai berikut:
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami yang mewakili masyarakat Muslim dan
Kristiani Poso serta kelompok-kelompok yang ada, setelah mengalami dan menyadari
bahwa konflik dan perselisihan yang berlangsung selama tiga tahun terakhir ini di
Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali, telah membawa penderitaan dan
kesengsaraan yang berkepanjangan bagi rakyat, maka dengan hati yang lapang serta jiwa
terbuka, sepakat:

1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.


2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian
sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan
darurat sipil, serta campur tangan pihak asing.
5. Menghilangkan seluruh fitnah dan tidak jujuran terhadap semua pihak dan
menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi
terciptanya kerukunan hidup bersama.
6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap
warga negara memiliki hak hidup, datang, dan tinggal secara damai dan
menghormati adat istiadat setempat.
7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah,
sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara
menyeluruh.
10. Menjalankan syarat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling
menghormati, dan menaati segala aturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk
undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan lainnya.

Pernyataan kesepakatan ini kami buat dengan ikhlas dan iktikad baik untu menjalankan.
Realisasi dari pertanyaan ini, akan dilaksanakan dengan agenda serta rencana sebagai
berikut:
I. Komisi Keamanan dan Penegakan Hukum (Lampiran I)
II. Komisi Sosial Ekonomi (Lampiran II)
Pemantauan pelaksanaan rencana tersebut, dilakukan oleh Tim Pemantau Nasional dan
Kelompok Kerja (pokja) yang dibentuk di daerah.

Setelah deklarasi Malino, banyak masyarakat yang mengupayakan penyelesaian konflik


Poso. Namun, masalah krusial dapat datang secara tiba-tiba, apabila perdamaian hanya
sebatas konsep belaka. Adapun beberapa anggapan masyarakat terhadap pemerintah
antara lain:
1) Terdapat diskriminasi dalam penanganan konflik Poso
2) Masyarakat merasa tidak puas atas proses hukum dalam penanganan konflik Poso

14
3) Pemerintah mengabaikan aspek sosial dan ekonomi
4) Pemerintah lamban dalam menyelesaikan konflik
Kerusuhan Poso merupakan suatu musibah demokrasi yang harus diselesaikan tanpa
menimbulkan masalah baru. Konflik Poso telah melahirkan berbagai dampak kerusakan.
Dampak kerusakan dari konflik Poso dibedakan dalam beberapa aspek, antara lain:
1. Budaya
• Pelanggaran ajaran agama demi tercapainya tujuan politik
• Keruntuhan nilai ' Sintuwu Maroso' sebagai wujud toleransi perbedaan dalam
kehidupan bermasyarakat
2. Hukum Sosial
• Adanya disintegrasi antar 2 kelompok (kelompok merah (Kristen) dan kelompok
putih (Islam))
• Memudarnya nilai nilai kemanusiaan
• Menurunnya stabilitas keamanan dan supremasi hukum
• Munculnya rasa dendam antar kedua belah pihak
3. Sosial Politik
• Kekacauan system pemerintahan daerah  Merosotnya kewibawaan pemerintah
daerah.
• Hilangnya nilai-nilai demokrasi.
• Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok tertentu.
4. Sosial Ekonomi
• Hancumya sumber ekonomi
• Penuruan perputaran roda ekonomi daerah,
• Peningkatan pengangguran disertai penurunan lapangan pekerjaan.

PERISTIWA BOM BALI


Latar Belakang Peristiwa Bom Bali 2002
Awal tahun 2000 menjadi tahun dimana globalisasi berkembang. Seperti yang kita ketahui
bersama awal tahun 2000 juga menjadi sebuah perbincangan dunia dan dengan mudah
Indonesia mengenai sebuah berkembang di masyarakat Indonesia mengenai kondisi yang
dialami oleh penduduk Palestina.
Dalam kasus Bom Bali 2002, salah satu pelaku yakni Ali Imran juga seorang muslim yang
memiliki empati yang besar kepada sesama muslim, Ali Imron mengatakan alasan mengapa
dirinya melakukan pengeboman.
Kondisi bangsa Indonesia yang saat itu sedang tidak stabil menjadi sebuah alasan mengapa
Ali Imran melakukan pengeboman kondisi tersebut yang menjadikan Ali Imron melakukan
pengeboman. Ketidak puasan dengan pemerintahan saat itu menjadi penyebab Ali Imran
melakukan pengeboman.
Unsur inter dimana hampir seluruh pelaku yang terlibat dalam Bom Bali pernah menempuh
pendidikan militer yang ada di Afghanistan, sosok seperti Ali Ghufron, Ali Imron, Imam
Samudera, Umar Patek, Dulamtin, dan yang lainnya, merupakan orang-orang yang memiliki
empati tinggi dengan kondisi rakyat Palestina, oleh karenanya mereka dengan sukarela
memilih untuk bergabung dan Net mendapatkan pelatihan militer di Afghanistan yang
bernama Akademi Militer Mujahiddin Afghanistan.
Dengan mereka melakukan pengeboman harapan dapat menjadi perhatian oleh kaum kafir
agar tidak lagi memerangi kaum muslim. Namun tentu saja pengeboman yang mereka
lakukan tidak langsung kepada para pelaku perang melainkan kepada orang atau simbol-

15
simbol yang dianggap mewakili orang-orang kafir. Apa yang terjadi terhadap Ali Imron bisa
dikatakan sebagai dampak adanya globalisasi yang kemudian membuatnya berempati dan
membantu muslim dengan cara membalas apa yang telah diterima muslim Afghanistan.
Tujuan Pengeboman
Peristiwa Bom Bali 2002, para pelaku mengharapkan sebuah tujuan mereka bisa tercapai
dengan cara melakukan pengeboman di Bali, salah satu pelaku pengeboman dan orang yang
mengatur skenario pengeboman yakni Ali Imron" mengatakan bahwa bom Bali “balasan
terhadap penyerangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya terhadap kaum
muslimin Afghanistan dan Somalia”, selain itu ditambahkan juga bahwa tujuan melakukan
pengeboman di Bali adalah untuk membalas dan melawan kezaliman Amerika Serikat dan
sekutunya.
Bali menjadi daerah di Indonesia yang banyak dikunjungi oleh turis mancanegara, hal ini
yang menjadi salah satu alasan Bali digunakan sebagai tempat peledakan. Sesuai dengan
tujuannya, mereka menganggap apabila telah melakukan pengeboman. mereka merasa
musuh umat islam akan ketakutan, dan akan menghentikan kezalimannya kepada umat
islam, terutama yang ada di Afghanistan, Bali juga dianggap sebagai simbol berkuasanya
Amerika di Indonesia, oleh karenanya jika mereka tidak bisa berperang langsung dengan
tentara-tentara kafir maka mereka akan menyerang apapun yang dianggap sebagai simbol
dari kekuasaan orang-orang kafir.
Dalam kasus Bom Bali 2002 misi dari para pelaku adalah untuk jihad dijalan Allah,
sebagaimana disampaikan oleh Ali Imron “saya akan memperkuat apa yang telah mereka
(Ali Ghufron, dan Imam Samudera) sampaikan, hal ini saya lakukann agar dunia mengetahui
bahwa pengeboman yang kami lakukan adalah dalam rangka jihad dijalan Allah".
Kronologis Bom Bali 2002
Diawali pada tahun 2000, terjadi permasalahan ketika munculnya Majelis Mujahidin
Indonesia sebagian besar teman-teman berbeda pendapat dengan tidak setuju jika
bergabung dengan Majelis Mujahidin Indonesia, dan sebagian lain menyetujuinya. Ketika
permasalahan ini belum selesai, namun justru Ali Ghufron menyampaikan perencanaan
pengeboman di Bali. Hingga pada sekitar Juli tahun 2002 Ali Imron kembali mendengar
bahwa akan ada pembahasan mengenai pelaksanaan pengeboman di Bali yang disampaikan
oleh Amrozi.
Pada pertengahan Agustus 2002, terjadi pertemuan di Solo dan juga telah direncanakan
bahwa pertemuan ini akan membahas tentang pengeboman di Bali, saat pertemuan di
kediaman Abdul Matin, dan dihadiri oleh Ali Ghufron, Umar Patek. Sawad, Idris. Amrozi,
Imam Samudera, Abdul Ghani, dan Ali Imron. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Imam
Samudera ketika membahas mengenai perencanaan pengeboman di Bali, ia pula yang
sekaligus membagi mengenai penugasan orang-orang yang akan terlibat dalam
pengeboman tersebut.
Pembagian tugasnya terbagi secara 3 garis besar;
1. Abdul Ghani, Umar Patek. dan Sawad
Bertugas meracik dan merakit bom serta menyiapkan perlengkapan bom
2. Amrozi di bantu Ali Imron
Bertugas membeli pupuk, mobil yang akan diledakkan, dan mengurusi masalah
dalam dunia teroris.
3. Idris
Bertugas sebagai pembawa uang dan bagian akomodasi ketika di Bali.
4. Amrozi

16
Bertugas dalam masalah transportasi.
Para pelaku juga telah memahami dan bagaimana menjalankan suatu aksi dengan
pengetahuan yang bisa dikatakan telah modern, seperti strategi yang dilakukan oleh
mereka, diantaranya yaitu; siasat ketika membeli mobil yang bernomor polisi Bali, Amrozi
harus membeli dengan menggunakan identitas palsu. Semua identitas mobil harus
dihilangkan dengan cara digerinda atau cara yang lain. Dalam pelaksanaan pengeboman
nanti, bom rompi harus diledakkan lebih dulu untuk memancing sasaran agar lebih
mendekat ke bom mobil yang akan diledakkan. Dan pada saat pelaksanaan pengeboman,
yang masih tinggal di Bali hanya akan melakukan bom bunuh diri saja. Hal-hal seperti itu
mereka pelajari ketika di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Dimana saat disana
mereka mendapatkan beberapa pengetahuan yang akan mereka gunakan ketika melakukan
aksi jihad melawan orang kafir nantinya, pengetahuan-pengetahuan tersebut antara lain,
Materi agama yang diajar oleh ustadz Mustaqim, untuk pengetahuan perang mereka di
berikan materi 'Tacticdan Field Engineering' yang diajar oleh ustadz Mustofa alias abu
TolutTolut. Selain itu ada pula materi 'Map Reading' yang diajar oleh ustadz Nu'aim,
beberapa materi tidak hanya diajar oleh satu orang, seperti pada materi Field Engineering
yang diajar oleh ustadz Mughirah dan Abu Tholut dan ustadz Arqam. Sebagai materi
pendamping mereka juga mendapatkan materi weapon Training dan Barisberbaris yang
diajar oleh ustadz Sulaiman alias Nasir Abbas. Selain itu ada pula ustadz Haris yang
mengajarkan materi tactic Pada 8 September 2002, Imam Samudera, Abdul Matin, dan Idris
menjemput Amrozi di Lamongan, hal ini dimaksudkan untuk mengajak Amrozi mengantar
Imam Samudera dan Abdul Matin ke Bali dengan tujuan mereka akan menjadi 2 orang
pertama yang akan tinggal di Bali untuk mengawali persiapan. Selain itu juga bertujuan
untuk melihat keadaan tempat yang akan dijadikan sebagai tempat peledakan Rom Disini
bisa terlihat bagaimana pentingnya sosok Imam Samudera sebagai pemimpin dalam aksi
pengeboman, hal ini juga sesuai dengan sala alasan yang dapat mempengaruhi seseorang
menjadi teroris yakni hubungan guru d murid, disini sosok Imam Samudera ditempatkan
sebagai guru meskipun tidak pernah menjadi sosok pengajar sekalipun, hal ini dikarenakan
Imam Samudera telah lebih lama berkecimpungf dalam dunia teroris.
Sekitar akhir September Dr Azhari dan Noordin M. Top datang ke numah Amrozi, dalam
perencanaan Dr Azhari dan Noordin M. Top bukanlah orang yang direncanakan ikut dalam
aksi pengehoman, rencana dari Dr Azhari dan Noordin M. Top sendiri hanya ingin menemui
Ali Ghufron, namun ketika bertemu dengan Ali Ghufron saat itu juga Al Ghufron berfikiran
untuk menjadikan mereka berdua sebagai salah satu orang yang ikut terlibat. Dr Azhari
sendiri menjadi orang yang ahli dalam bidang pembuatan bom, oleh karenanya Ali Ghufron
menempatkan Dr Azhari untuk membantu dalam pembuatan bom. Sedangkan Noordin M.
Top sendiri orang yang ahli dalam bidang lapangan, dan ia menjadi orang yang membantu
mengatur strategi dalam eksekusi pengehoman. Secara logika seharusnya mereka berdua
bisa saja mengatakan tidak untuk ikut serta dalam mengambil bagian dari aksi pengeboman
di Bali, namun karena pemahaman yang telah mereka pegang teguh, mereka dengan
senang hati ikut serta dalam aksi tersebut.
4 Oktober 2002, Abdul Matin dan Dr Azhari menuju ke rumah Amrozi dengan maksud akan
berangkat bersama ke Bali, sekaligus Amrozi melaksanakan tugasnya untuk menyediakan
mobil yang akan di gunakan sebagai media bom. Kemudian Abdul Matin, Ali Ghufron, Dr
Azhari, dan Ali Imron berangkat menuju Bali dengan menggunakan mobil. dan Amrozi
bersama Mubarok berangkat dengan mobil yang akan diledakkan. Sejak 5 Oktober sebagian
dari para pelaku telah berada di Bali, dan sebagiannya lagi seperti Imam Samudera dan Idris

17
berangkat ke Bali setelah itu, di Bali para pelaku mengontrak sebuah rumah yang terletak di
Jalan Pulau Menjangan no 18 Denpasar. Dan semenjak itu segala sesuatu persiapan
pengeboman dilakukan di rumah kontrakan tersebut.
Pada 12 Oktober 2002, diawali pada pukul 10.00 WITA, para pelaku sedang mempersiapkan
bom yang akan diledakkan, salah satunya adalah Ali Imron yang saat itu sedang memasang
dan menyesuaikan sepeda motor yang akan digunakan untuk mengantarkan bom. dimana
modifikasi motor ini digunakan sebagai suksesor skenario pengeboman yang akan dilakukan
di Konsulat Amerika Serikat, dimana dalam modifikasi motor itu diberikan tombol agar
seolah-olah motor sedang mogok, agar tidak menarik perhatian petugas keamanan di
Konsulat Amerika yang ada di Bali Kemudian sekitar pukul 13.00 WITA, salah satu pelaku
yakni Idris datang ke rumah kontrakan dengan Jimmi dan Iqbal yang akan menjadi orang
yang bunuh diri dengan meledakkan bom. Bom yang digunakan sendiri terdiri dari tiga bom,
yakni bom mobil, bom rompi, dan bom jinjing.
Dalam bom mobil terdapat 12 detonator, yang terdiri dari 7 detonator elektrik dan 5 non
elektrik Sedangkan dalam bom rompi dan bom jinjing masing-masing terdiri dari 3
detonator elektrik!". Pada pukul 20.30 WITA, Ali Imron telah bersiap dengan bom jinjing
yang akan diledakkan di depan Kantor Konsulat Amerika, sesampainya di depan kantor Ali
Imron menjalankan skenarionya dengan mematikan motornya melalui tombol yang sudah
dimodifikasi. saat itu di depan kantor terdapat polisi dikarenakan saat yang terlalu banyak.
Ali Imron mengubah rencana yang seharusnya bom diletakkan di pagar depan Konsulat
Amerika, akhirnya diletakkan di trotoar jalan yang berada di sebelah kanan Konsulat
Amerika, sebelum meninggalkan bom yang telah aktif tersebut, agar tidak ada orang yang
melihat dan memastikan isi kotak sampah tersebut, Ali Imron memberi kotoran manusia
dan melumurinya pada kotak sampah tersebut. Dan segera menuju rumah kontrakan untuk
menjemput Jimmi dan Iqbal yang akan menjadi pelaku yang bunuh diri dengan bom.
Sekitar pukul 22.30 WITA mobil yang dikendarai oleh Ali Imron dengan Jimmi dan Iqbal
berangkat lewat jalan satelit lalu ke kiri lewat jalan kawe, kemudian mobil berjalan lurus
hingga di pertigaan jalan Imam Bonjol, kemudian belok ke kiri hingga akhirnya belok ke
kanan ke arah jalan Legian. Dan setelah sampai di pertigaan jalan Legian Kuta, Ali Imron
meninggalkan mobil dan menyerahkan kepada Jimmi untuk mengendarai mobil yang akan
diledakkan, dan Ali Imron berjalan ke pertigaan untuk menemui Idris yang telah menunggu
dengan mengendarai sepeda motor. Di awali bom rompi yang dibawa oleh Iqbal yang
diledakkan oleh Iqbal di Paddy's Pub, yang sesaat setelahnya disusul dengan bom mobil
yang diledakkan di depan Sari Club.
D. Dampak Bom Bali 2002
Dalam hukum sebab akibat, suatu perbuatan pasti memunculkan efek atau akibat dari apa
yang terlah terjadi. entah akibat tersebut nantinya akan diterima oleh sang pembuat
perbuatan, ataupun orang lain. Dalam kasus bom Bali sendiri tentu. memberikan dampak,
terlebih suatu tragedi seperti Bom Bali telah menjadi peristiwa Nasional bahkan bisa
dikatakan Internasional, karena orang-orang yang menjadi korban juga berasal dari luar
Indonesia.
Peristiwa Bom Bali ini memberikan dampak langsung dan tidak langsung, adanya korban,
baik korban meninggal ataupun korban yang menerima perawatan, kerusakan infrakstruktur
dan sarana umum menjadi dampak langsung terjadinya peristiwa Bom Bali. Sedangkan
dampak tidak langsung seperti terjadinya keberangkatan besar-besaran dari Bali yang
dilakukan oleh para wisatawan, baik wisatawan dalam negeri ataupun luar negeri. Tidak

18
hanya itu dampak juga dirasakan dari menurunnya, kunjungan wisatawan mancanegara ke
Bali.
Korban-korbannya berasal dari 20 negara, termasuk Indonesia. Ini merupakan peristiwa
teroris terburuk sepanjang sejarah di Indonesia. Sebuah mobil meledakan klub malam yang
dipenuhi oleh turis asing di pulau Bali, memercikan lautan api yang membunuh 202 orang
dan melukai 300 lainnya.
ANALISIS:
Bom Bali merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah pariwisata Indonesia. Aksi-
aksi terorisme seperti itu perlu diantisipasi di masa mendatang mengingat pariwisata
Indonesia terus berkembang dan menjadi tulang punggung perekonomian negara dan
mayarakat. Peristiwa Bom Bali I pada 2002 dan Bom Bali II pada 2005 sangat memukul
pariwisata Indonesia, khususnya provinsi Bali. Daerah yang semula mengandalkan
pendapatan dari pariwisata secara tiba-tiba diguncang aksi terorisme yang mengakibatkan
banyak korban jiwa.
Menimbang kekejaman terorisme yang melahirkan berbagai penderitaan korban mestinya
membuat negara menyadari bahwa aspek perlindungan HAM korban teror wajib diperkuat.
Memperkuat perlindungan HAM korban terorisme menurut hemat penulis adalah dengan
menjamin hak-hak mereka sebagai korban aksi terorisme, yang diamanatkan oleh Undang-
Undang (UU) No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU
No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terpenuhi.
Dalam UU No. 15/2003, disebutkan bahwa korban terorisme berhak mendapatkan hak
restitusi dan kompensasi. Restitusi, ganti rugi kepada korban yang dibayarkan oleh pelaku,
hampir pasti tak dapat diharapkan. Mirisnya, hak kompensasi atau ganti rugi negara kepada
korban karena gagal memberikan rasa aman. juga tak pernah terbayarkan sebab pemberian
kompensasi menurut UU tersebut mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Berdasarkan
pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA), lembaga yang memperhatikan terhadap
korban terorisme, dari ratusan korban terorisme yang ada di Indonesia, mulai korban Bom
Bali 2002 hingga korban Bom Thamrin 2016, belum ada satu pun yang mendapatkan
kompensasi dari negara.
Hak-hak korban terorisme dalam UU No. 15/2003 yang terabaikan ini harus menjadi
perhatian bersama seiring dengan adanya rencana revisi UU tersebut yang kini tengah
digodok pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selama hak kompensasi belum
terbayarkan, selama itu pula negara menanggung hutang kepada para korban terorisme.
Sementara itu, hak-hak korban terorisme yang diatur dalam UU No. 31/2014 mencakup
bantuan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK), lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU tersebut, telah mulai
memberikan hak-hak kepada sebagian korban. Dari ratusan korban terorisme yang ada di
Indonesia, LPSK baru dapat menjangkau puluhan di antara mereka disebabkan bermacam
kendala, termasuk tentang assessment korban.

Peristiwa Perang Sampit


Sejarah perang Sampit tahun 2001 merupakan bagian dari beberapa insiden yang sudah
terjadi sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi dalam
kurun waktu Desember 1996 hingga Januari 2007 yang menewaskan 600 orang. Awal mula
bibit konflik pada Peristiwa Sampit terjadi sejak diadakannya proses transmigrasi oleh
pemerintah kolonial Belanda. Warga Madura tiba di Kalimantan pertama kali pada tahun

19
1930 dalam program transmigrasi pemerintah Belanda yang dilanjutkan oleh pemerintah RI.
Hingga tahun 2000, para transmigran mencapai 21 persen populasi di Kalimantan Tengah.
Warga Madura kian hari semakin agresif dalam persaingan dengan suku Dayak sehingga
suku Dayak tidak puas akan hal tersebut. Sejak kedatangannya di Kalimantan, warga Madura
telah berhasil menguasai banyak bidang perekonomian dan industri komersial seperti
perkayuan, penambangan dan perkebunan. Banyak versi yang beredar mengenai pemicu
sejarah perang Sampit tahun 2001. Salah satunya konon disebabkan oleh pembakaran
sebuah rumah warga Dayak yang disebabkan oleh warga Madura dan memicu sejumlah
anggota suku Dayak membalas membakar rumah – rumah warga Madura.
Versi lain yang dikemukakan oleh Prof. Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak bahwa suku
Dayak mempertahankan diri setelah beberapa anggotanya diserang. Lalu ada versi bahwa
seorang warga Dayak dibunuh setelah disiksa sekelompok warga Madura akibat sengketa
judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2001. Sekelompok warga Dayak kemudian
menyerang rumah warga Madura yang bernama Matayo untuk balas dendam atas kejadian
di Kerengpangi keesokan harinya dan menewaskan empat penghuni rumah. Serangan itu
juga memicu keinginan balas dendam dari sekelompok warga Madura lainnya.
Mereka mendatangi rumah seorang warga Dayak bernama Timil yang konon
menyembunyikan salah seorang pelaku penyerangan. Timil berhasil diamankan oleh polisi,
namun warga Madura membakar rumahnya dan juga rumah kerabatnya, mengakibatkan
penghuninya tewas. Peristiwa inilah yang banyak dijadikan acuan mengenai penyebab
konflik lebih besar antara etnis Dayak dan Madura dalam sejarah perang Sampit. Warga
Madura berhasil bertahan selama dua hari sejak penyerangan ke rumah Matayo, mereka
bahkan berani menyisir pemukiman – pemukiman warga Dayak karena merasa sedang
diatas angin.
Pada 20 Februari 2001 situasi berbalik arah dengan kedatangan sejumlah besar orang Dayak
dari luar kota ke Sampit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Richi Andika Marry dalam
skripsinya, warga Dayak menggunakan berbagai jenis senjata tradisional seperti mandau,
lunju atau tombak, sumpit, senjata api yang disebut dum – dum seperti pahlawan nasional
dari Madura, tetapi ada juga yang menggunakan celurit dan sejumlah bom rakitan.
Selama terjadinya sejarah perang Sampit, diperkirakan sekira 500 hingga hampir 1500 orang
tewas versi Garry van Klinken, dan ribuan hingga ratusan ribu orang Madura yang selamat
terpaksa mengungsi keluar dari Sampit. Kerusuhan bahkan meluas hingga Kualakayan yang
jaraknya sekitar 100 km di sebelah utara Sampit dan ke Palangkaraya.
Pembersihan etnis yang dilakukan oleh warga Dayak terus berlanjut selama beberapa
minggu ke seluruh Kalimantan Tengah hingga ke wilayah ujung jalan raya Trans Kalimantan
bahkan hingga ke Kuala Kapuas di sebelah Tenggara, bahkan hingga ke Pangkalan Bun di
sebelah Barat.
Besarnya jumlah korban tewas yang terjadi dalam sejarah perang Sampit terjadi karena suku
Dayak dalam puncak kemurkaannya mem-praktekkan ritual perburuan kepala (Ngayau atau
Kayau). Ritual ini sebenarnya sudah dihentikan melalui perjanjian Tumbang Anoy pada
tahun 1884.
Pemenggalan kepala itu terjadi sebelumnya didahului dengan ritual adat yang membuat
pelakunya berada di alam bawah sadar. Mereka diberikan ilmu yang membuatnya dapat
membedakan mana etnis Madura dan yang bukan untuk menentukan sasarannya.
Akhir Konflik Sampit
Penyebab utama dalam sejarah perang Sampit adalah perbedaan karakter antara suku
Dayak dan Madura. Salah satu penyebabnya adalah bahwa suku Dayak sebagai penduduk

20
yang menirukan adat pahlawan nasional dari Kalimantan kerap tersisihkan oleh sepak
terjang orang Madura sebagai pendatang, yang seringkali dikatakan tidak menyesuaikan diri
dengan bumi tempatnya berpijak.
Suku Dayak berulang kali harus berpindah tempat karena desakan para penebang kayu yang
masuk semakin dalam ke hutan, belum lagi adanya larangan untuk menambang di tanah asli
mereka, juga berbagai sektor perekonomian dan kehidupan yang dikuasai orang Madura,
dan lemahnya penegakan hukum terhadap orang Madura yang melakukan kejahatan
terhadap orang Dayak sehingga terkesan berat sebelah.
Tidak adanya pihak ketiga yang berusaha menjembatani dengan baik pada konflik kedua
etnis ini juga turut memperburuk situasi. Bukti bahwa perekonomian dikuasai etnis Madura
yang menjadi salah satu penyebab perang Sampit bisa dilihat bahwa setelah mereka
mengungsi, warga Sampit lainnya kesulitan mencari sembako karena toko – toko eceran
tutup.
Untuk mencegah kondisi semacam ini terulang kembali, diperlukan adanya semacam
perlindungan berdasar hukum terhadap komunitas etnis dari pemerintah daerah setempat
sesuai rekomendasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Saat ini Sampit dikenal
sebagai kota yang damai, sejahtera dan penduduk yang rukun.
Tidak sampai setahun setelah sejarah perang Sampit terbongkar, penduduk mulai berbenah.
Warga Madura kembali berdatangan dan sejak itu Sampit mengalami perkembangan serta
kemajuan pesat di bidang ekonomi dan industri. Kerusuhan besar yang terjadi pada tahun
2001 tentunya telah mengajarkan bahwa pertikaian antar warga apapun etnisnya hanya
akan mendatangkan akibat berupa kekalahan kedua pihak dan tidak ada pemenang
sebenarnya dari tragedi tersebut.

Analisis Kasus Konflik Sampit


Jika melihat konflik Sampit, awal mula terjadinya dikarenakan adanya konflik antar
individu. Pembunuhan, perkosaan, kekerasan oleh individu satu terhadap individu
lain yang berbeda etnis menyebabkan meluasnya konflik dari konflik individu ke arah
konflik antar etnis dalam kasus ini Dayak dan Madura. Pada awalnya suku Madura
inilah yang memulai melakukan kerusuhan terhadap suku Dayak padahal suku
Madura disini merupakan pendatang. akibatnya pada Februari 2001 meletuslah
konflik antar suku Madura dan suku Dayak. Dampak dari konflik sampit
mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura
kehilangan tempat tinggal, Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal
kepalanya oleh suku Dayak. Cara penyelesaian dilakukan banyak hal untuk meredam
konflik antara lain:
1. Menerjunkan satuan pengamanan dari POLRI dan TNI ke lokasi kerusuhan. Misalnya:
• Dengan memberikan seruan kepada semua pihak pertikaian.
• Mengadakan evakuasi para korban dan warga Madura kewilayah tetangga.
• Melaksanakan patroli dan menempatkan pasukan pada tempat yang rawan
pertikaian.
2. Melakukan tindakan persuasif dan preventif terhadap kelompok yang bertikai untuk
mengantisipasi berkembangnya kerusuhan yang meluas. Seperti mengeluarkan
himbauan yang disampaikan media massa dan elektronik serta mobil keliling secara
kontinyu.
3. Meyakinkan Gubernur.para Bupati dan Camat di Kalimantan Tengah agar tidak
mengambil jalan pintas memulangkan suku Madura kepulau Madura. Karena warga

21
Madura tinggal didaerah Kalimantan Tengah.
4. Sudah sejak tahun 1930 apabila Pemerintah memulangkan suku Madura ke pulau
Madura akan mengakibatkan kecemburuan social.
Konflik sampit ini selesai karena adanya kerendahan hati dari tokoh-tokoh Madura
untuk memulai perdamaian dan terjadilah perjanjian perdamaian antara kedua suku
apabila disalah satu pihak ada yang melanggar akan dikenakan sanksi hukum.
Untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk perdamaian dibuatlah Tugu
Perdamaian sebagai tanda perdamaian antara kedua suku. Tugu tersebut
ditempatkan di bundaran Jl. Jend Sudirman Sampit-Pangkalan bun km 3.
Hukum Instrument Nasional Tentang Pelanggaran HAM Berdasarkan dari Kasus
Sampit
Peristiwa Sampit ini bisa disebut kejahatan genosida dimana ada aksi yang
bermaksud untuk memusnahkan kelompok etnik tertentu. Kejahatan genosida ini
termasuk ke dalam kegiatan yang mengancam keamanan manusia.
Secara teori, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM):
• Pasal 4 UU Pengadilan HAM; "Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
• Pasal 7 UU Pengadilan HAM: "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
1. Kejahatan genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan kemanusiaan.
• Pasal 8 UU Pengadilan HAM: "Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras.
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara
1. membunuh anggota kelompok
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota
anggota kelompok
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
• Pasal 9 UU Pengadilan HAM: "Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1. Pembunuhan
2. Pemusnahan
3. Perbudakan
4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional
6. Penyiksaan
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual

22
lain yang setara
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama. jenis
kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universall sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional.
9. Menghilangkan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.

Kasus Pania, Papua


Kasus ini dimulai pada 7 Desember 2014. Peristiwa awal berasal dari sekelompok
pemuda yang menegur anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa
mobil dan tidak menyalakan lampu. Namun, teguran tersebut berakibat pada
pertengkaran yang menyebabkan penganiayaan terhadap tiga remaja laki-laki
tersebut.
Pada 8 Desember 2014 di Distrik Enarotali, Kabupaten Paniai, rombongan
masyarakat mendatangi Polres Enarotali dan Koramil untuk melakukan protes dan
meminta penjelasan atas kejadian yang terjadi di tanggal 7 Desember 2014.
Masyarakat melakukan unjuk rasa dengan tarian adat di halaman Polres dan
Koramil. Tarian tersebut dilakukan sebagai bentuk pernyataan sikap terhadap
penyiksaan dan pelecehan yang dilakukan oleh aparat. Aparat membubarkan aksi
masyarakat dengan melakukan penembakan. Peristiwa penembakan penduduk asli
Papua oleh polisi dan aparat militer menyebabkan 4 orang tewas akibat luka tusuk
dan peluru panas. Terdapat 21 orang yang juga terkena luka akibat penganiayaan.
Salah satu korban yang paling muda adalah seorang anak yang berusia 8 tahun yang
mendapatkan luka tembakan di tangan.
Setelah peristiwa yang terjadi di Paniai, pada tanggal 7 Januari 2015 Komnas HAM
membentuk Tim Penyelidikan Fakta (TPF). Tugas TPF ini adalah untuk memberikan
rekomendasi kepada pemerintah. Kemudian, di tahun yang sama pada 18-20
Februari. Manager Nasution (ketua) TPF bertemu dengan para saksi mata dan
korban.
Hasil dari pertemuan tersebut bahwa terdapat indikasi pelanggaran terhadap empat
unsur HAM. Adapun unsur tersebut adalah hak bebas dari penganiayaan, hak
perempuan, hak hidup, dan hak anak.
Komnas HAM pun melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti selama kurang
lebih lima tahun, mulai dari tahun 2015-2020. Berdasarkan hasil penyelidikan yang
dilakukan oleh Tim Ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat, maka
dikeluarkanlah keputusan paripurna. Secara aklamasi diputuskan. Ditemukan bukti
bahwa pihak kepolisian melakukan pelanggaran, namun tidak masuk dalam
kerangka pelanggaran HAM berat.
Bentuk Penyelesaian yang Saat Ini dilakukan Komnas HAM selaku lembaga yang
berwenang untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini telah mengumpulkan
bukti dengan melalui berbagai prosedur hukum untuk terus menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Paniai, Papua. Berdasarkan keterangan pers
Nomor 023/Humas/KH/VI/2020 yang dikeluarkan oleh Komnas HAM yang
menjelaskan bahwa pada tanggal 20 Mei 2020 berkas penyelidikan projusticia
peristiwa Paniai dikembalikan. Pengembalian berkas tersebut bukan untuk pertama

23
kalinya, sebelumnya Komnas HAM juga telah menerima pengembalian berkas dari
Jaksa Agung pada 19 Maret 2020, Alasan berkas tersebut dikembalikan karena
masih belum memenuhi syarat formil dan syarat materil.
Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan Komnas HAM adalah dengan
melakukan penyelidikan kasus Paniai tersebut.
1. Komnas HAM memeriksa 26 orang saksi, melakukan pemeriksaan di tempat kejadian
perkara, memeriksa dokumen yang mendukung penyelesaian kasus ini, juga telah
melakukan diskusi dengan beberapa ahli. Saksi penting dari penyelidikan tersebut
diantaranya adalah Menkopolhukam beberapa perwira POLRI, dan petugas
keamanan di Papua dan Paniai. Namun, pihak TNI selaku sumber informasi dari
kasus tersebut tidak mengindahkan panggilan dari pihak Komnas HAM untuk
memberikan keterangan. Tidak hanya itu. Komnas HAM juga telah mengumpulkan
bukti uji forensik senjata api, baik itu mengenai prosedur penggunaan senjata
maupun prosedur uji forensik Karena telah ditetapkan sebagai kasus pelanggaran
HAM berat maka dari itu pihak yang kemudian berwenang untuk menyelesaikan
kasus ini ialah Kejaksaan Agun.
2. Pada tanggal 3 Desember 2021 Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perintah
penyidikan. Berdasarkan hal tersebut dibentuklah tim penyidik untuk melakukan
pengusutan telah dikumpulkan oleh Komnas HAM sebelumnya belum cukup untuk
memperkuat dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan agar pelakunya dapat
segera ditemukan. Dengan belum terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM
berat yang ada di Indonesia membuat prinsip yang telah termaktum dalam Pasal 1
ayat (3) bahwa Indonesia sebagai negara hukum, tidak teramalkan secara
keseluruhan untuk rakyat". Perlindungan HAM yang telah runtut diatur dalam
peraturan Perundang- undangan masih terasa sangat jauh untuk dikatakan berjalan
dengan baik. Keadilan yang dijanjikan oleh negara banya menjadi aturan diatas
kertas yang pengamalannya belum berjalan secara maksimal.
Berdasarkan penjelasan pada poin-poin diatas, terdapat beberapa faktor yang
menghambat penyelesaian kasus HAM berat di Paniai, antara lain:
1. Komunikasi yang kurang terbangun antara Komnas HAM dan Kejagung
menjadi hal yang pelu diperhatikan,
2. Kurangnya bukti awal yang dimiliki oleh Komnas HAM membuat Kejagung
mempertimbangkan laporan yang telah dibuat.
3. Adanya suatu kepentingan demi menjaga nama baik salah satu instansi
menyebabkan terhambatnya proses penyelidikan yang dilakukan oleh
Komnas HAM. Janji Pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM berat di Paniai yang belum menemukan titik terang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam negara Indonesia kita memang setiap warga negara mempunyai hak untuk
hidup dengan aman dan damai, tidak ada tekanan dari pihak manapun. setiap orang
yang hidup dinegara Indonesia mempunyai hak untuk melakukan apa saja sesuai
dengan yang telah dibuat peraturan pemerintah. Sebagai pemerintah di Indonesia

24
juga dalam membuat peraturan dan perundang-undangan yang mempertimbangkan
dengan baik supaya terjadinya keadilan antar umat yang satu dengan yang lainya.

Pelanggaran pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia baik yang di lakukan oleh
pihak aparat pemerintah, individualisme, kelompok, atau antar golongan golongan
tertentu merupakan hal yang bertentangan dengan pancasila dan undang undang
dasar negara Indonesia.

Diharapkan pelanggaran pelanggaran HAM yang telah terjadi pada masa lampau
tidak terulang kembali pada masa depan dan tidak ada kasus kasus pelanggaran
HAM yanh terjadi berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Menuju Demokrasi. Jakarta: TCH Mandin Pambudi, A. 2007. Kontroversi Kudeta Prabowo
Yogyakarta: Media Pressindo.
Poesponegoro, MD dan Nugroho Notosusanto. 1993. Seajarah Nasional Indonesia Jilid V.
Jakarta: Balai Pustaka
Muhammad Rizky Widhiarto, Eddy Riffa'i, Tri Andrisman. ANALISIS
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATASAN MILITER TERHADAP TINDAK PIDANA
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT (Studi Kasus Talang Sari). Unila Adhi P 2008.
Emi Agustina, MENCERMATI FENOMENA DIBALIK KERUSUHAN POSO (ANALISIS MENURUT
TEORI ROBERT K MERTON). Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional. Pinokio, 2009.

Konflik Poso, Fadly http://konflikposo.blogspot.co.id/2009/03/konflik-poso.html, diakses


19 Agustus 2022.
Anonim, Deklarasi Malindo Untuk Poso,
http://blogs.unpad.ac.id/boenga/2011/08/24/deklarasi-malino-untuk poso/, diakses 19
Agustus 2022.
Tengah. Anonim, 2013. Kerusuhan Poso, https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso,
diakses 19 Agustus 2022.
Dahniar Maha, 2015. Analisis Konflik Poso,
http://dahniarmaharegulerb.blogspot.co.id/2015/04/analisis konflik poso.html, diakses
19 November 2015.

Pulungan, M. S. (2003). Dinamika Konflik di Papua Pasca Orde Baru. Jurnal Hukum dan
Pembangunan, 33(4), hlm. 516-540.
Radjab, S. (2018). Politik Hukum Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Era
Pemerintahan Jokowi-JK. Jurnal Politik Profetik, 6(2), hlm. 151-172.
Ramadhan, F. dkk. (2020). Penataan Ulang Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan
dalam Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Berat. Veritas et Justitia, 6(1), hlm. 172-212.
Sari, Y. P. (2021). Pelanggaran HAM pada Peristiwa Penyiksaan yang Berujung pada
Terbunuhnya Dua Warga Sipil di Papua oleh Aggota TNI. Jurnal Hukum dan Dinamika
Masyarakat, 19(1), him. 53-60.
Andrey Sujatmoko, Hak Atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan
Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional, Jurnal
Ilmu Hukum Volume 3 Nomor 2, 2016
Firanti, 2009, Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia

25
Berat, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan
Pelanggaran HAM yang Berat, Jakarta: Komnas HAM RI, 20

26

Anda mungkin juga menyukai