Anda di halaman 1dari 12

1

SITUASI
GANGGUAN
PENGLIHATAN
Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata manusia menyerap >80% informasi
visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Namun gangguan terhadap penglihatan
banyak terjadi, mulai dari gangguan ringan hingga gangguan yang berat yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan perlu mendapatkan perhatian.

Untuk menangani permasalahan gangguan penglihatan dan kebutaan, IAPB (International Agency for the
Prevention of Blindness) bekerjasama dengan WHO memperkenalkan program Vision 2020: The Right to Sight
pada 18 Februari 1999. Vision 2020: The Right to Sight adalah suatu inisiatif global untuk penanggulangan
gangguan penglihatan dan kebutaan di seluruh dunia pada tahun 2020. Vision 2020 adalah kemitraan yang
memberikan bimbingan, teknis dan sumber daya dalam bentuk agenda program yang dapat diadaptasi
oleh negara-negara anggotanya. Indonesia telah menetapkan komitmennya untuk ikut dalam inisiatif global
tersebut pada tanggal 15 Februari 2000 oleh Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden saat itu.

Dalam upaya mencapai Vision 2020 ini WHO telah menetapkan setiap hari Kamis minggu kedua di bulan
Oktober sebagai Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day, disingkat sebagai WSD) yang sudah dilaksanakan
sejak tahun 2000. Tahun 2018 ini WSD jatuh pada tanggal 11 Oktober. Tema utama WSD tahun ini yang
diangkat oleh WHO melanjutkan tema sebelumnya yaitu “Universal Eye Health” dengan pesan khusus “Eye
Care Everywhere”, sedangkan tema nasional membawa pesan “Mata Sehat untuk Semua”.

Sebagai titik awal perencanaan program penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan yang
direkomendasikan oleh WHO melalui Vision 2020 adalah ketersediaan data mengenai situasi gangguan
penglihatan dan kebutaan di suatu wilayah atau negara melalui metode survei yang dapat diandalkan.
Ketersediaan data ini sangat penting agar program penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
dirancang berdasarkan permasalahan yang muncul di masyarakat sehingga dapat dilakukan perencanaan
program yang efektif dan efisien.

Pada dokumen WHO, WHA 66.4 tahun 2013, Menuju Universal Eye Health 2014-
2019, terdapat tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan
kesehatan mata di tingkat nasional di suatu negara, yaitu:
• Prevalensi kebutaan dan gangguan penglihatan.
• Jumlah tenaga kesehatan mata.
• Jumlah operasi katarak, yang dapat berupa angka CSR (Cataract
Surgical Rate) atau CSC (Cataract Surgical Coverage).
Ketiga indikator ini merupakan target global dan telah ditetapkan pula di
dalam action plan. Target penurunan prevalensi gangguan penglihatan yang
dapat dicegah sebesar 25% di tahun 2019 dari baseline tahun 2010. Untuk
Indonesia, sesuai Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan di
Indonesia Tahun 2017-2030, target penurunan prevalensi gangguan
penglihatan yang dapat dicegah pada tahun 2030 sebesar 25% dari
prevalensi hasil Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) Tahun
2014-2016.
2
Situasi Gangguan Penglihatan Global
Hasil systematic review dan meta-analysis dari data berbasis populasi yang relevan dengan gangguan
penglihatan dan kebutaan global yang dipublikasikan tahun 1980-2015 mendapatkan hasil pada tahun 2015
diperkirakan dari 7,33 triliun penduduk dunia terdapat 253 juta orang (3,38%) yang menderita ganguan
penglihatan, yang terdiri dari 36 juta orang mengalami kebutaan, 217 juta mengalami gangguan penglihatan
sedang hingga berat. Di samping itu terdapat 188 juta orang mengalami gangguan penglihatan ringan.

Klasifikasi gangguan penglihatan yang digunakan adalah sesuai dengan klasifikasi WHO, yaitu berdasarkan
tajam penglihatan. Gangguan penglihatan ringan jika tajam penglihatan berkisar <6/12 - ≥6/18, gangguan
penglihatan sedang dan berat jika tajam penglihatan berkisar <6/18 - ≥3/60 dan buta jika tajam penglihatan
kurang dari 3/60. Istilah gangguan penglihatan merujuk pada kebutaan dan gangguan penglihatan berat-
sedang.

Jika dibandingkan dengan tahun 1990 maka prevalensi gangguan penglihatan telah menurun yaitu dari
4,58% menjadi 3,38% di tahun 2015 sedangkan kebutaan menurun dari 0,75% di tahun 1990 menjadi 0,48%
di tahun 2015.

Sebesar 55% penderita gangguan penglihatan adalah perempuan. Sedangkan menurut umur, proporsi
terbesar terjadi pada umur 50 tahun ke atas, yaitu 86% dari penderita kebutaan, 80% dari penderita gangguan
penglihatan sedang hingga berat dan 74% dari penderita gangguan penglihatan ringan.

Tabel 1
Estimasi Prevalensi Gangguan Penglihatan Global Tahun 2015

Prevalensi (%)
Gangguan
Umur Populasi Gangguan
Penglihatan
Buta Penglihatan
Berat dan
Ringan
Sedang
Total 7,33 milyar 0,49 2,95 2,57

Laki-laki 3,70 milyar 0,43 2,64 2,35


0-49 tahun 2,92 milyar 0,08 0,74 0,81
50-69 tahun 613 juta 0,93 6,78 6,46
≥70 tahun 169 juta 4,55 20,33 14,05

Perempuan 3,64 milyar 0,55 3,27 2,79


0-49 tahun 2,78 milyar 0,09 0,82 0,89
50-69 tahun 634 juta 1,03 7,48 6,99
≥70 tahun 222 juta 4,97 21,87 14,57

Sumber :
1. Vision Loss Expert Group. Magnitude, temporal trends, and projections of the global prevalence of blindness and distance and
near vision impairment: a systematic review and meta-analysis
2. https://atlas.iapb.org
3
Gambar 1
Lima Negara dengan Prevalensi Gangguan Penglihatan Terbesar
(Buta dan Gangguan Penglihatan Berat-Sedang)

Afghanistan Pakistan
(9,09%) (7,54%)
Laos
(7,71%)
Nepal
Eritrea (8,17%)
(7,66%)

Sumber : Vision Loss Expert Group. Magnitude, temporal trends, and projections of the global prevalence of blindness and distance
and near vision impairment: a systematic review and meta-analysis
Lima negara dengan prevalensi gangguan penglihatan terbesar (buta dan gangguan penglihatan berat-
sedang) adalah Afghanistan (9,09%), Nepal (8,17%), Laos (7,71%), Eritrea (7,66%) dan Pakistan (7,54%).
Sedangkan lima negara dengan jumlah penduduk yang mengalami gangguan penglihatan terbanyak adalah
Cina, India, Pakistan, Indonesia dan Amerika Serikat.

Penyebab gangguan penglihatan terbanyak di seluruh dunia adalah gangguan refraksi yang tidak terkoreksi
(48,99%), diikuti oleh katarak (25,81%) dan Age related Macular Degeneration (AMD, 4,1%). Sedangkan
penyebab kebutaan terbanyak adalah katarak (34,47%), diikuti oleh gangguan refraksi yang tidak terkoreksi
(20,26%), dan glaukoma (8,30%). Lebih dari 75% gangguan penglihatan merupakan gangguan penglihatan
yang dapat dicegah.

Gambar 2
Distribusi Penyebab Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (%) Estimasi Global Tahun 2015

Gangguan Penglihatan Kebutaan


1.16 0.79

1.65 14.71
2.78
25.46
4.1 0.98
1.07 34.47

3.46
48.99
5.64
25.81
8.3 20.62

Gangguan Refraksi Kekeruhan Kornea


Gangguan Refraksi Kekeruhan Kornea
Katarak Retinopati Diabetik
Katarak Retinopati Diabetik
AMD Trachoma
AMD Trachoma
Glaukoma Lainnya
Glaukoma Lainnya

Sumber :http://atlas.iapb.org
4
Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan di Indonesia
Data nasional terkini mengenai besaran masalah gangguan indera penglihatan bersumber dari Rapid
Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) tahun 2014-2016. RAAB merupakan metode survei standar untuk
pengumpulan data gangguan penglihatan dan kebutaan yang direkomendasikan oleh WHO, melalui Global
Action Plan (GAP) 2014 – 2019. RAAB merupakan survei berbasis populasi untuk penderita kebutaan dan
gangguan penglihatan dan layanan perawatan mata pada orang-orang berumur 50 tahun ke atas, mengingat
berbagai penelitian didapatkan sekitar 85% kebutaan terdapat pada umur 50 tahun dan lebih. RAAB dapat
memberikan prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan, penyebab utamanya, output dan kualitas
layanan perawatan mata, hambatan, cakupan bedah katarak dan indikator lain dari layanan perawatan mata
di daerah geografis tertentu.

Survei RAAB di Indonesia sampai saat ini telah dilakukan di 15 provinsi pada tahun 2014-2016 yaitu 3 provinsi
di Sumatra, 4 provinsi di Jawa, 1 provinsi di Kalimantan, 2 provinsi di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua untuk dapat mewakili kondisi Indonesia.

Prevalensi Kebutaan
Prevalensi kebutaan pada penduduk Indonesia umur 50 tahun ke atas hasil RAAB di 15 provinsi berkisar
antara 1,4% (Sumatera Barat) sampai 4,4% (Jawa Timur) seperti dapat dilihat pada peta berikut.

Gambar 3
Prevalensi Kebutaan pada Penduduk Umur ≥50 Tahun di Indonesia
Tahun 2014-2016

INDONESIA: 3,0%

Sumber : RAAB 2014-2016, Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan.

Dari data di 15 provinsi tersebut, dihitung prevalensi kebutaan pada penduduk umur 50 tahun ke atas di
Indonesia sebesar 3,0%.
%
5

0
10
20
30
40
50
60
70
Su

100

80
90
ma
ter
aU
tar
a
Su
ma
ter
% % aB
ara
t
Su

100
100

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
ma
ter
aS
ela

Laki-Laki
tan

Gangguan Refraksi
Sumatera Utara Sumatera Utara

Perempuan
DK
Sumatera Barat Sumatera Barat I Ja
kar
t a
Sumatera Selatan Sumatera Selatan Jaw
aB
ara
DKI Jakarta DKI Jakarta t
Jaw
aT
Jawa Barat Jawa Barat en
ga
h

Jawa Tengah Jawa Tengah Jaw


aT
im
ur

Katarak yang tidak dioperasi


Jawa Timur Jawa Timur

Bali Bali Nu
Ba
li
sa
Te

Sumber : RAAB 2014-2016, Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan


ng
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat ga
ra
Ba
Pterigium

Nu rat
Gambar 4

sa
Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Timur Te
ng
ga
ra
Tim
Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Ka
ur
lim
an
tan
Sulawesi Utara Sulawesi Utara Se
Glaukoma

lat
an
Su
Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan law
esi
Uta
ra
Maluku Maluku
di 15 Provinsi di Indonesia Tahun 2014-2016

Su
law
esi
Papua Barat Papua Barat Se
lat
an
71.7

81.0
INDONESIA INDONESIA
Ma
Distribusi Penyebab Kebutaan pada Penduduk Umur ≥50 Tahun

luk
u
Pa
pu
aB
ara
t
IND
ON
Penyakit Segmen Posterior Lainnya

ES
IA
77.7
6
Penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan terbesar pada penduduk umur di atas 50
tahun di Indonesia adalah katarak yang tidak dioperasi dengan proporsi sebesar 77,7%. Katarak
merupakan penyebab utama kebutaan baik pada laki – laki (71,7%) maupun perempuan (81,0%).

Katarak dan Cataract Surgical Rate (CSR)


Katarak atau kekeruhan lensa mata merupakan penyebab utama kebutaan di lndonesia, 77,7% kebutaan
disebabkan oleh katarak. Sedangkan prevalensi kebutaan akibat katarak pada penduduk umur 50 tahun ke
atas di Indonesia sebesar 1,9%.
Gambar 5
Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak pada Penduduk Umur ≥ 50 Tahun di Indonesia
Tahun 2014-2016
INDONESIA: 1,9%

Sumber : RAAB 2014-2016, Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan.

Katarak merupakan proses degeneratif yang sangat dipengaruhi umur. Dengan meningkatnya umur harapan
hidup maka proporsi penduduk umur ≥50 tahun akan meningkat sehingga jumlah penderita katarak juga
akan makin meningkat.

Kebutaan akibat katarak merupakan kebutaan yang dapat disembuhkan yaitu melalui operasi dengan biaya
yang tidak terlalu mahal dan dapat dibiayai dalam Jaminan Kesehatan Nasional. Besarnya proporsi kebutaan
akibat katarak menunjukkan masih banyaknya penderita katarak yang belum dioperasi.

Cataract Surgical Rate (CSR) adalah angka operasi katarak per satu juta populasi per tahun, sedangkan
Cataract Surgical Coverage (CSC) adalah jumlah orang yang telah menjalani operasi katarak dibandingkan
dengan jumlah orang yang memerlukan operasi katarak baik di satu atau kedua matanya. Angka CSC dapat
diketahui dari survei RAAB, karena perangkat lunak yang digunakan telah memuat pula perhitungan CSC.
Sedangkan angka CSR harus dihitung melalui pengumpulan data jumlah operasi katarak yang telah dilakukan
per tahun di suatu daerah/negara lalu dibagi per satu juta populasi.

CSC di Indonesia sebesar 52,7% pada penderita katarak dengan tajam penglihatan <3/60 (buta), 43,3%
pada penderita katarak dengan tajam penglihatan <6/60 dan 25,6% pada penderita katarak dengan tajam
penglihatan <6/18. CSC pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
7
Gambar 6
Cataract Surgical Coverage di 15 Provinsi di Indonesia Tahun 2014-2016

100

90
80
70
60
52.7
50 43.3
%

40
30 25.6
20
10
0

ur

an

ra

an

IA
a

tan

ur

t
li

r at
ara

ara

ara
luk
Ba
tar

ga

Uta
Tim

ES
kar

im

lat

lat
Ba
ela

en
aU

aB

aB

aB
Ma

ON
Se

Se
aT
I Ja

esi
ra

ra
aS

aT
ter

Jaw

pu
ter

IND
tan
Jaw

esi
ga

ga
DK

law
ter

Jaw

Pa
ma
ma

ng

law
ng

an

Su
ma
Su

Te
Su

Te

lim

Su
Su

sa

sa

Ka
Nu

Nu
VA < 3/60 VA < 6/60 VA < 6/18

Sumber : RAAB 2014-2016, Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan.


Catatan: VA: Visual Acuity (tajam penglihatan)
Alasan utama penderita katarak di Indonesia belum dioperasi bervariasi di beberapa provinsi, antara lain
disebabkan tidak mengetahui jika menderita katarak dan tidak tahu katarak bisa disembuhkan (Papua Barat
43,5%, NTT 44,4%, Bali 26,8%, Jawa Tengah 41,3%, Kalimantan Selatan 45,3% dan Sumatera Selatan 40,3%),
alasan biaya (Maluku 36,6%, Sulawesi Utara 40,5%, NTB 25,5%, Jawa Timur 31,5%, Jawa Barat 31,9%, Sumatera
Barat 33,3%, dan Sumatera Utara 33,3%), merasa tidak perlu dioperasi (Sulawesi Selatan 49,7%), dan takut
dioperasi (Jakarta 30,3%).
Gambar 7
Alasan Belum Operasi Katarak di 15 Provinsi di Indonesia Tahun 2014-2016

Papua Barat
Maluku
Sulawesi Utara
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Barat
Bali
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sumatera Utara

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Merasa tidak perlu Takut dioperasi


Biaya Treatment denied by provder
Tidak tahu bisa disembuhkan Tidak bisa akses pengobatan

Sumber : RAAB 2014-2016, Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan.


Untuk menghitung CSR idealnya berdasarkan register katarak, yang saat ini belum ada di Indonesia.
Kementerian Kesehatan dan Komite Mata Nasional sedang mengembangkan register yang sederhana untuk
pencatatan operasi katarak regular dan massal.

Untuk memperhitungkan CSR, digunakan data dari JKN/BPJS Kesehatan dan didapatkan jumlah operasi katarak
sekitar 300.000 per tahun. Dengan asumsi 70% penduduk Indonesia terdaftar di JKN/BPJS Kesehatan maka
diperkirakan CSR di Indonesia ± 1.600, sementara target CSR sesuai Peta Jalan Penanggulangan Gangguan
Penglihatan di Indonesia Tahun 2017-2030 adalah sebesar 2.000- 3.000 di tahun 2030.
8
Pelayanan Kesehatan Mata di Indonesia

Upaya Penanggulangan Gangguan Penglihatan


lndonesia telah bergabung dengan program penanggulangan kebutaan Global Vision 2020 pada tahun 2000
dan membentuk koordinator nasional dan rencana aksi pada tahun 2005. Pada tahun 2015 Kementerian
Kesehatan merestrukturisasi koordinator nasional menjadi Komite Mata Nasional.

Kementerian Kesehatan bersama Komite Mata Nasional, PERDAMI, dan Non Government Organization (NGO)
merancang 5 poin strategi, yaitu:

1. ldentifikasi besarnya permasalahan gangguan penglihatan melalui survey RAAB.


2. Analisis situasi dan pembuatan Plan of Action.
3. Pelatihan sumber daya manusia untuk kesehatan mata.
4. Penguatan sistem rujukan.
5. lntegrasi pelayanan kesehatan mata dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Seluruh strategi tersebut dikonsepkan melalui Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia
Tahun 2017-2030 yang selesai disusun pada tahun 2017.

Penanggulangan gangguan penglihatan di Indonesia saat ini diprioritaskan pada katarak, kelainan refraksi,
glaukoma, retinopati diabetikum, Retinopathy of Prematurity (RoP) dan low vision. Mengingat katarak
merupakan penyebab dari 77,7% kebutaan dan kebutaan karena katarak dapat dicegah/diobati dengan
efektif, maka prioritas penanggulangan gangguan penglihatan dalam Peta Jalan Penanggulangan Gangguan
Penglihatan di Indonesia adalah menurunkan prevalensi gangguan penglihatan akibat katarak, dengan tetap
melakukan upaya penanggulangan gangguan penglihatan dengan penyebab lain.

Upaya penanggulangan gangguan penglihatan dilakukan melalui pencegahan, pengendalian dan penanganan,
dengan pendekatan siklus hidup.
Gambar 8
Upaya Promotif dan Preventif Sesuai Siklus Hidup

Lansia

Deteksi dini
Dewasa
-Katarak
Deteksi dini -Gangguan
Remaja refraksi
-Katarak -Glaukoma
Deteksi dini -Gangguan -Diabetik
ama Anak-Anak
pa n pert gangguan refraksi retinopathy
ehidu refraksi
hari k -Glaukoma
1.000 Deteksi dini
Balita -Diabetik
gangguan
retinopathy
refraksi
Bayi Deteksi dini

Hidup
Deteksi dini
Siklus
-Katarak
Ibu Hamil
-Gangguan
Deteksi dini -Katarak
refraksi
kelainan pada kontingental
kehamilan -ROP

Sumber : Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan.


9
Upaya deteksi dini dilakukan terintegrasi dalam kegiatan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang (SDIDTK), penjaringan kesehatan anak sekolah (UKS), Pos Pembinaan Terpadu
Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) dan Upaya Kesehatan Kerja (UKK). Di Posbindu PTM saat
ini sedang dikembangkan upaya deteksi dini gangguan penglihatan dimana kader melakukan
pemeriksaan tajam penglihatan kepada pengunjung posbindu dengan metode sederhana yaitu hitung
jari atau E-tumbling, dan jika ditemukan gangguan penglihatan kader akan merujuk ke fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) terdekat.

Untuk mendukung ketersediaan data mengenai gangguan penglihatan, Kementerian Kesehatan bekerja
sama dengan RS Mata Cicendo mengembangkan aplikasi sistem informasi berbasis web/android yang
disebut SIGALIH. SIGALIH merupakan aplikasi bagi Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit,
Puskesmas sampai dengan posbindu untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisa data penduduk
yang mengalami gangguan penglihatan khususnya katarak yang bertujuan untuk menurunkan angka
kebutaan. Aplikasi ini dipergunakan secara berjenjang, mulai dari kader di posbindu sampai dengan petugas
surveilans di tingkat pusat. Pada tahun 2018 sistem informasi SIGALIH telah diujicoba di 7 provinsi, yaitu: DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Maluku, dan Sulawesi Selatan.

Tenaga dan Sarana Kesehatan terkait Kesehatan Mata


Penanganan gangguan penglihatan membutuhkan tenaga dokter spesialis mata. Dalam Strategic Plan for
Vision 2020: The Right to Sight – Elimination of Avoidable Blindness in the South East Asia Region, ditargetkan
distribusi dokter spesialis mata sebesar 1:50.000 penduduk pada tahun 2020. Untuk Indonesia, sesuai Peta
Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia Tahun 2017-2030, ditargetkan distribusi dokter
spesialis mata sebesar 1:250.000 penduduk.
Tabel 2
Jumlah Dokter Spesialis Mata Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2018
Jumlah Dokter Jumlah Dokter
No Provinsi No Provinsi
Mata Mata
1 Aceh 36 18 Nusa Tenggara Barat 16
2 Sumatera Utara 96 19 Nusa Tenggara Timur 4
3 Sumatera Barat 99 20 Kalimantan Barat 8
4 Riau 31 21 Kalimantan Tengah 5
5 Jambi 13 22 Kalimantan Selatan 9
6 Sumatera Selatan 116 23 Kalimantan Timur 33
7 Bengkulu 2 24 Kalimantan Utara 0
8 Lampung 13 25 Sulawesi Utara 92
9 Bangka Belitung 2 26 Sulawesi Tengah 9
10 Kepulauan RIau 5 27 Sulawesi Selatan 145
11 DKI Jakarta 403 28 Sulawesi Tenggara 1
12 Jawa Barat 304 29 Gorontalo 4
13 Jawa Tengah 202 30 Sulawesi Barat 0
14 DI Yogyakarta 139 31 Maluku 4
15 Jawa Timur 403 32 Maluku Utara 2
16 Banten 49 33 Papua Barat 1
17 Bali 85 34 Papua 7
Indonesia 2.338
Sumber : PP Perdami, data per 10 September 2018
10
Gambar 9
Jumlah Penduduk Dilayani oleh Satu Orang Dokter Spesialis Mata
Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2018
INDONESIA
DKI JAKARTA 25,255 155.618
SULAWESI UTARA 26,219
DI YOGYAKARTA 26,469
BALI 48,857
SUMATERA BARAT 52,488
SULAWESI SELATAN 58,761 Target: 250.000
SUMATERA SELATAN 69,417
JAWA TIMUR 96,396
KALIMANTAN TIMUR 103,838
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
SUMATERA UTARA
JAWA BARAT 138,943
JAWA TENGAH 145,185
RIAU 153,650
BANTEN 167,199
JAMBI 204,658
GORONTALO 243,985
NUSA TENGGARA BARAT 261,969
SULAWESI TENGAH 283,309
KEPULAUAN RIAU 302,224
MALUKU 319,632
KALIMANTAN SELATAN 394,609
PAPUA 421,617
KALIMANTAN TENGAH 443,310
MALUKU UTARA 449,911
KALIMANTAN BARAT 499,007
LAMPUNG 581,173
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 598,697
PAPUA BARAT 624,405
BENGKULU 686,407
NUSA TENGGARA TIMUR 871,510
SULAWESI TENGGARA 937,472 2,499,540
SULAWESI BARAT - 1,280,015
KALIMANTAN UTARA -

Sumber : PP Perdami, data per 10 September 2018, diolah oleh Pusdatin, Kementerian Kesehatan
Di Indonesia terdapat 2.338 orang dokter spesialis mata yang terdaftar di Perdami atau rasionya dibandingkan
jumlah penduduk Indonesia sebesar 1: 155.618. Untuk seluruh Indonesia, rasio distribusi dokter spesialis
mata telah mencapai target, namun distribusinya belum merata. Terdapat 19 provinsi yang rasionya belum
mencapai 1:250.000.

Pelayanan kesehatan spesialis mata dilaksanakan di berbagai klinik utama, rumah sakit umum dan rumah
sakit khusus mata. Sampai dengan akhir tahun 2017 terdapat 28 rumah sakit khusus mata di Indonesia
dengan 729 tempat tidur.

Penanggulangan gangguan penglihatan di Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan
sektor kesehatan namun juga membutuhkan peran lintas sektor, organisasi profesi dan masyarakat, termasuk
sektor swasta dan lembaga non pemerintah (NGO). NGO internasional yang saat ini bekerja sama dengan
Pemerintah Indonesia ada 3, yaitu Christoffel Blinden Mission (CBM), Helen Keller Internasional (HKI) dan
The Fred Hollows Foundation (FHF). Peranan lintas sektor seperti organisasi profesi, sektor swasta, dan NGO
tersebut terkoordinasi melalui keanggotaan di Komite Mata Nasional.
11
Daftar Pustaka
Bourne RRA, Flaxman SR, Braithwaite T, Cicinelli MV, Das A, Jonas JB, et al.; Vision Loss Expert Group (2017).
Magnitude, temporal trends, and projections of the global prevalence of blindness and distance
and near vision impairment: a systematic review and meta-analysis. Lancet Glob Health. 2017
Sep;5(9):e888–97.https://www.thelancet.com/journals/langlo/article/PIIS2214-109X(17)30293-0/
fulltext#%20.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Hasil Survey Rapid Assessment
of Avoidable Blindness Tahun 2014 – 2016 di Indonesia.
IAPB Vision Atlas. https://atlas.iapb.org.
Kementerian Kesehatan (2017). Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia Tahun 2017-
2030.
WHO SEARO (2000). Strategic Plan for Vision 2020: The Right to Sight – Elimination of Avoidable Blindness
in the South East Asia Region.

TIM REDAKSI :

Penanggung Jawab : Didik Budijanto Kontributor : Direktorat Pencegahan dan


Redaktur : Rudy Kurniawan Pengendalian Penyakit Tidak
Penyunting : Nuning Kurniasih Menular (Rohani Simanjuntak),
Penulis : Fetty Ismandari Badan Litbangkes (Lutfah Rif’ati),
Persatuan Dokter Spesialis Mata
Indonesia (Yeni Dwi Lestari)
Desainer Grafis/ Layouter: Rizqitha Maula

Kementerian Kesehatan RI

2018 Pusat Data dan Informasi


Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9 Lantai 10 Blok A
Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai