Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN KUALITAS TIDUR DENGAN MENTAL

EMOSIONAL PADA ANAK DAN REMAJA

Falerin Melia P. G0018068

Syania Shabrina G0018202

Tasya Hana N. G0018204

Tika Tazkiya T. G0018208

Uswatun Insani M. G0018212


PENDAHULUAN

Tidur adalah salah satu kebutuhan manusia. Tidur menjadi cara manusia untuk

beristirahat memulihkan keadaan. Selain memulihkan keadaan fisik, tidur juga

memulihkan keadaan psikis manusia. Fungsi tidur antara lain adalah menyimpan

energi, adaptasi, dan konsolidasi memori. Akan tetapi, tidur tidak selalu berlangsung

baik. Sejak bayi pun gangguan tidur itu sudah ada. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dari 208 anak usia 4-6

tahun taman kanak-kanak Kota Semarang, 73,6% nya mengalami gangguan tidur.

Semakin bertambahnya usia, hal-hal yang mengganggu kualitas tidur semakin

kompleks, terlebih ketika peralihan dari anak-anak menuju dewasa atau disebut masa

remaja. Ketika remaja, terjadi perubahan emosional, pola pikir, kebiasaan, dan

aktivitas. Banyak tantangan yang harus dilalui oleh remaja. Apabila tantangan itu

tidak bisa dikelola dengan baik, hal itu akan menjadi masalah yang mengganggu

dirinya. Masalah tersebut bisa saja memberi dampak negatif untuknya dan bahkan

mengganggu kesehatan mental emosionalnya. Data pada tahun 2013 dari Riset

kesehatan dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa 6% atau 14 juta penduduk

Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional.

Gangguan mental emosional pasti disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor

yang memungkinkan adalah kualitas tidur. Mental emosional adalah bagian dari

kondisi psikis manusia, sedangkan kondisi psikis itu dipengaruhi juga oleh tidur.

Berdasarkan penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung,

46 % siswa di salah satu sekolah menengah memiliki kualitas tidur baik dan 54 %

siswa memiliki kualitas tidur yang buruk. Penelitian tersebut juga menunjukkan

korelasi kualitas tidur dengan mental emosional.

Pada tulisan ini akan dibahas hubungan antara kualitas tidur dan kondisi mental
emosional pada anak dan remaja. Selain itu, tulisan ini juga membahas faktor-faktor

penyebab gangguan tidur pada anak dan remaja.


ISI

Masalah tidur pada anak-anak seringkali berdampak buruk pada kualitas

hidup anak dan pengasuh. Sebagian besar anak-anak mengalami insomnia

sementara/sesekali, insomnia yang lebih persisten membawa peningkatan risiko

masalah mood dan perilaku, kegagalan akademis, dan bahkan kondisi kesehatan yang

memburuk. (Owens, 2019)

Insomnia Psikofisiologis.

Salah satu jenis insomnia yang mampu mempengaruhi kondisi mental anak adalah

Insomnia Psikofisiologis. Insomnia psikofisiologis dapat mengganggu onset tidur

pada anak, terutama pada anak-anak yang beranjak dewasa/remaja. Hal ini ditandai

dengan kecemasan pada anak, khususnya karena peningkatan fisiologis dan

emosional yang berkaitan dengan tidur. Anak-anak yang terkena seringkali memiliki

kecemasan yang berlebihan mengenai dampak dari masalah tidur mereka, sehingga

mengganggu kemampuan mereka untuk tidur. (Owens, 2019)

Insomnia jenis ini merupakan kombinasi berbagai faktor seperti kerentanan genetik,

gangguan medis, atau kondisi kejiwaan. Faktor-faktor pencetus lain yang mungkin

adalah stres akut, kebiasaan tidur yang buruk, penggunaan kafein, atau tidur siang

yang tidak tepat. (Owens, 2019)

Faktor Penyebab Insomnia pada Anak

Insomnia masa kanak-kanak melibatkan faktor intrinsik (faktor bawaan), dan faktor

ekstrinsik (rangsangan lingkungan atau respons pengasuh) yang menyebakan

masalah tersebut: (Owens, 2019)


Faktor intrinsik yang mempengaruhi atau berkontribusi pada masalah tidur

adalah temperamen anak, masalah medis, preferensi sirkadian, cacat perkembangan

saraf, atau gangguan kecemasan. (Owens, 2019)

Faktor ekstrinsik meliputi karakteristik orang tua atau pengasuh yang

mengganggu kemampuan mereka untuk menetapkan batas yang jelas tentang waktu

tidur. Faktor-faktor ini dapat mencakup penyakit mental, stres emosional, atau jam

kerja yang panjang. Faktor lingkungan dapat berkontribusi pada pengaturan batas

waktu tidur yang buruk atau asosiasi onset tidur yang negatif. Contohnya termasuk

akomodasi tempat tinggal yang mengharuskan seorang anak untuk berbagi kamar

tidur dengan saudara kandung, orang tua, atau anggota keluarga tambahan (misalnya,

kakek-nenek) yang tinggal di rumah. (Owens, 2019)

Dalam banyak kasus, masalah tidur mewakili kombinasi faktor intrinsik dan

ekstrinsik. Sebagai contoh, anak-anak "cerewet" cenderung menolak setiap alternatif

yang diberikan oleh pengasuh. Ketika menanggapi perilaku tersebut, orang tua yang

tidak berpengalaman dapat secara tidak sengaja meningkatkan perilaku anak yang

tidak diinginkan (yaitu, menangis atau turun dari tempat tidur) dengan memberikan

perhatian dan penguatan, alih-alih mengabaikan perilaku anak. (Owens, 2019)

Kontribusi dari faktor intrinsik dan ekstrinsik diilustrasikan dalam studi

kohort kembar (usia rata-rata 16 bulan), yang memperkirakan bahwa sekitar 26

persen dari variasi dalam durasi tidur disebabkan oleh efek genetik dan 66 persen

untuk efek lingkungan. Sebuah studi pada pasangan kembar menunjukkan bahwa

durasi tidur siang hari sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan durasi

tidur malam hari sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik. Namun, pada

periode sekitar 18 bulan, pengaruh lingkungan memiliki efek yang lebih penting pada

tidur malam di usia selanjutnya. (Owens, 2019)


Tidur dapat mengembalikan control kognitif dan dapat mengatur keadaan emosi

Gangguan tidur adalah komorbiditas dan kadang-kadang merupakan faktor prediksi

terindikasinya berbagai penyakit kejiwaan termasuk gangguan depresi mayor,

kecemasan, gangguan stres pasca-trauma, dan kecanduan narkoba

Salah satu substrat molekul pengatur tidur yang penting secara langsung

memodulasi aktivitas kolinergik adalah adenosin. Kesadaran yang berkepanjangan

menginduksi akumulasi ekstraseluler kadar adenosin di berbagai daerah otak,

termasuk otak depan basal, di mana neuron kolinergik adalah produsen utama

adenosine. Aktivasi reseptor adenosin mengurangi potensi aksi penembakan basal

neuron kolinergik otak depan dengan mengurangi rangsangan membrane intrinsik,

serta mengurangi input sinaptik rangsang.

Mengingat pentingnya Output kolinergik otak depan untuk terjaga dan gairah,

diambil kesimpulan logis penumpukan adenosin otak depan basal dan penurunan

berikutnya dari hasil kolinergik otak depan basal berkontribusi terhadap peningkatan

pengaturan tidur setelah terjaga berkepanjangan. Hal ini kemudian dapat merubah

control konitif dan pengaturan emosi. (Ping Mu, 2019).

Tidur berkaitan dengan pengaturan emosi. Gangguan tidur pada anak umumnya

tidak terdeteksi secara dini, karena umumnya dianggap hal yang tidak berbahaya oleh

beberapa orang tua. Factor – factor yang mempengaruhi gangguan tdur pada anak

ternyata bukan karena tingkat pendidikan dan penghasilan orang tua, melainkan

karena benda-benda elektronik seperti hp, televise, intrnet, dll. Selain itu penerapan

sleep hygine berupa jam tidur anak, penggunaan lampu redup saat tidur, kebersihan

tempat tidur, dan larangan adanya benda elektronik di dalam kamar tidur. Paparan

sinar dari televise , computer, gadget ternyata bisa mengganggu sekresi hormone
melatonin sehingga berefek juga pada siklus tidur. Gangguan tidur bisa mengganggu

respon amigdala otak, dimana amigdala berperan dalam pusat pengaturan emosi dan

tingkah laku. Saat gangguan tidur dialami seorang anak, akan terjadi hiperaktivitas

amigdala.pada anak dengan gangguan tidur ditemukan kadar sekresi hormone

kortisol tinggi, dimana saat kadar hormone kosrtisol tinggi menyebabkan anak lebih

emosional.

Kualitas tidur dapat dinilai dari durasi tidur atau lamanya tidur, latensi tidur

(durasi ketika akan tidur sampai terttidur), kualitas tidur subjektif atau penilaian

kualtias tidur menurut individu itu sendiri, efisiensi tidur sehari-hari (perbandingan

jumlah total jam tidur dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur), gangguan

tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi di siang hari. Sedangkan mental

emosional dipengaruhi beberapa hal, antara lain jenis kelamin, individu yang tinggal

bersama, dan jumlah saudara kandung. Gangguan tidur dipengaruhi oleh penggunaan

kafein, rokok, alkohol, dan bahkan penggunaan gadget dan media sosial. Gangguan

tidur dapat berupa kurangnya durasi tidur. Hal tersebut dapat menstimulasi kesulitan

emosional sehingga meningkatkan stres dan cemas, serta meningkatkan reaksi

simpatetik terhadap stimulus yang tidak menyenangkan. (Meita dkk., 2019)

Siswa yang tidak tinggal bersama orang tuanya atau kehilangan orang tua

cenderung lebih rentan terhadap depresi. Adanya hubungan antara saudara kandung

juga memengaruhi mental emosional remaja. Sedangkan penggunaan kafein

menyebabkan penurunan kualitas tidur pada remaja. Sebuah penelitian menyebutkan

bahwa penggunaan sosial media dan gadget menyebabkan remaja rentan mengalami

depresi. Sosial media dan gadget juga mengurangi durasi tidur remaja.

Kualitas mental emosional dapat dinilai pada lima komponen, yaitu emosional,

perilaku, hiperaktivitas dan hubungan antar teman sebaya, dan perilaku prososial.
Pada hasil data penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran

Bandung, tampak korelasi antara data kualitas tidur dengan kualitas mental remaja

atau siswa sekolah menengah. Berdasarkan data, siswa dengan kualitas tidur yang

buruk (54%) tampak kesulitan meregulasi emosinya, salah satu contohnya mudah

marah. Sedangkan antara kualitas tidur dengan hiperaktivitas, hubungan teman

sebaya, dan prososial tidak ada korelasi yang bermakna.

Masalah-masalah tidur seperti susah tidur, menahan kantuk, atau terbangun lebih

awal dapat menyebabkan kecemasan atau depresif. Kurang tidur atau durasi tidur

pendek juga dapat mengurangi mood dan meningkatkan kecemasan. (Meita dkk.,

2019)
KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, bisa diambil kesimpulan :

1. Gangguan tidur memang berhubungan erat dengan emosional seseorang. Tidur

dapat memulihkan psikis seseorang.

2. Kualiras tidur yang buruk mengakibatkan remaja kesulitan mengatur emosinya.

3. Kami setuju dengan hasil penelitian-penelitian tersebut karena pelaksanaannya

dilakukan dengan sangat detail walaupun penelitian dengan kuesioner bisa

menimbulkan bias.
DAFTAR PUSTAKA

Owens, J. A. (2019). ‘Behavioral sleep problemsin children’, Uptodate, pp. 1-17

Lukmasari A, Hartanto F, Bahtera T, Heru Muryawan M. ‘Association between Sleep


Disturbance and Mental Emotional Problem in 4-6 Years Old Children in
Semarang.’. Sari Pediatri 2017;18(5):345-9

Dhamayati M, Faisal, Maghfirah C. Hubungan Kualitas Tidur dan Masalah Mental


Emosional pada Remaja Sekolah Menengah. Sari Pediatri : 2019.

Mu, Ping. Huang, Yanhua H. Cholinergic system in sleep regulation of emotion and
motivation. Pharmalogical Research : 2019.

Begüm DAG, Fatma Yasemin KUTLU.The relationship between sleep quality and
depressive symptoms in adolescent. Turk J Med Sci (2017) 47: 721-727

Anda mungkin juga menyukai