Anda di halaman 1dari 12

FILSAFAT KOMUNIKASI-8

-Etika Moral dalam Proses Komunikasi

-Hak-hak berkomunikasi sebagai bagian dari Hak-hak asasi manusia

-Demokratisasi Komunikasi

-Hakikat transaksi Produk Berfikir

-Etika Moral dalam Proses Komunikas

BUTONMAGZ--Sebagai makhluk sosial, kita tentu tahu bahwa etika adalah termasuk hal
mendasar dalam kehidupan manusia. Terlebih lagi kita sebagai orang Indonesia yang sedari
kecil sudah biasa diajari tentang sopan santun, tata krama, dan adat kebiasaan.

Etika sendiri merupakan cabang utama ilmu filsafat yang mempelajari mengenai nilai-nilai
mengenai benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab yang menjadi standar dan penilaian
moral dalam masyarakat atau publik. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethikos
yang berarti timbul karena kebiasaan

Etika Menurut Ahli

Meski kita sudah cukup familiar dengan etika, namun sebagai cabang ilmu tentunya etika
memiliki pengertian secara ilmiah. Terdapat beberapa pengertian etika menurut para ahli,
yaitu:
 Prof. DR. Franz Magnis Suseno : “Ilmu yang mencari orientasi atau ilmu yang
mmberikan arah dan pijakan dalam tindakan manusia.”
 James J. Spillane SJ : “Etika adalah mempertimbangkan dan memperhatikan tingkah
laku manusia dalam mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan moral, yang
mana lebih mengarah pada penggunaan akal budi manusia untuk menentukan benar
atau salah.”
 Maryani dan Ludigdo : “Seperangkat norma, aturan, atau pedoman yang mengatur
segala perilaku manusia, baik yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan,
yang dianut oleh sekelompok masyarakat.
Jenis-Jenis etika

Setelah memahami mengenai pengertian etika, selanjutnya kita perlu memahami apa saja
jenis-jenis etika. Secara garis besar, etika dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Etika Umum
Sesuai dengan namanya, etika umum adalah etika yang membahas mengenai kondisi dasar
dan umum tindakan  manusia secara etis. Standar bertindak secara etis ini yang kemudian
dijadikan acuan untuk manusia dalam bertindak dan bertingkah laku. Etika umum telah
diterapkan sebagai tolak ukur secara umum dalam menilai baik atau buruk dan benar atau
salah suatu hal atau tindakan. Beberapa standar yang termasuk etika umum adalah adat
istiadat yang berlaku, norma masyarakat, dan  norma agama.

Kebalikan dari etika umum yang bersifat general, etika khusus adalah etika yang mencakup
prinsip-prinsip pada bidang kehidupan tertentu. Etika khusus ini erat kaitannya dengan peran,
profesi atau bagian tertentu dalam masyarakat. Misalnya, etika khusus seorang anak, etika
khusus pelajar, etika khusus dokter, etika khusus jurnalis, dan lain sebagainya.

b. Etika khusus
Dibagi lagi ke dalam dua kategori, yaitu:
1. Etika individual, yaitu etika khusus yang mencakup standar dan acuan sikap manusia
terhadap dirinya sendiri. Misalnya, seorang manusia harus paham bagaimana
menghargai dirinya sendiri dengan tidak melakukan hal-hal yang merugikan diri
sendiri seperti memakai narkoba atau bunuh diri.
2. Etika sosial, yaitu etika khusus yang mencakup standar dan acuan sikap manusia
terhadap orang lain, lingkungan, dan publik sebagai anggota dari masyarakat sosial.
Misalnya, seorang manusia harus memahami bagaimana bersikap dengan orang lain.
Aliran Etika

Selain terbagi menjadi dua jenis, etika juga terbagi ke dalam empat aliran. Aliran-aliran etika
yaitu:
Deontologis, adalah etika yang memandang bahwa nilai dari sebuah tindakan tidak dilihat
dari tercapainya tujuan, namun dari niat baik yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan tersebut.
1.   Teologis. Berbeda dengan etika deontologis yang tidak mementingkan tujuan, etika
ini intinya adalah tujuan atau akibat dari sesuatu. Jadi etika ini menyatakan bahwa
walaupun manusia sudah memilliki niat baik dalam bertindak, tetap saja harus diiringi
dengan tujuan akhir yang baik juga.
2.   Egoisme. Dalam egoisme, manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan
diri dengan hal-hal yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan tidak mempedulikan
orang lain. Egoisme adalah mementingkan kepentingan dan urusan pribadi diatas
kepentingan orang lain, untuk mengejar tujuan pribadi.
3.   Utilitarisme. Diambil dari kata latin utilis yang artinya bermanfaat, utilitarisme
adalah tindakan yang dilakukan manusia untuk memberi manfaat kepada orang lain,
baik di sekitarnya maupun cakupan masyarakat yang lebih luas lagi.
Etika Dalam Komunikasi

Sebagai makhluk sosial, tentunya komunikasi tidak lepas dari kehidupan sehari-hari kita. Dan seperti
yang telah diulas sebelumnya, komunikasi sebagai bagian dari kehidupan juga memiliki etika di
dalamnya. Etika komunikasi merupakan salah satu dari etika khusus, karena membahas bagian
tertentu dari kehidupan manusia. 

Etika sendiri merupakan nilai dan norma yang berlaku untuk dijadikan pandangan dan standar
manusia dalam bertindak dan bertingkah laku. Dalam kaitannya dengan komunikasi, etika
komunikasi mencakup segala nilai dan norma yang menjadi standar dan acuan manusia dalam
berkomunikasi dengan orang lain. Etika komunikasi menilai mana tindakan komunikasi yang baik dan
buruk berdasarkan standar yang berlaku.

Karena komunikasi merupakan salah satu hal yang krusial dalam kehidupan manusia, maka penting
bagi kita untuk memahami mengenai etika komunikasi. Tanpa adanya etika komunikasi, dapat
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kesalahpahaman, pertengkaran, perselisihan, dan lain
sebagainya. Selain itu, etika komunikasi yang tidak diketahui dan diterapkan akan menyebabkan
hubungan kita dengan orang lain jadi buruk. Tentunya itu akan berakibat tidak baik, karena
bagaimanapun juga kita adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan dan dibutuhkan orang lain.

Guna menghindari terjadinya hal-hal seperti itu, kita akan membahas lebih lanjut mengenai etika
komunikasi apa saja yang penting dan mendasar dalam kehidupan sehari-hari.

Etika dalam komunikasi ada beragam dan tentunya tidak akan cukup jika dibahas semua disini. Pada
tulisan ini, kita akan membahas beberapa etika dalam komunikasi yang sering kita lakukan dan temui
sehari-hari

a. Memulai Pembicaraan
Dalam keseharian, tentunya kita pernah bertemu dengan keadaan  yang membuat kita harus atau
ingin memulai pembicaraan dengan orang lain. Namun ada hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Lihat keadaan calon lawan bicara.


Apakah dia terlihat sedang sibuk atau terburu-buru? Kalau iya, mungkin kita harus mencoba
berbicara lain kali. Karena nanti kita justru akan mengganggu orang itu dan membuatnya tidak
nyaman.
2. Ramah dan sopan.
Sapa lah lawan bicara anda dengan ramah dan sopan, namun tidak terkesan dibuat-buat. Kita bisa
mengajukan pertanyaan basa-basi untuk pembuka seperti apa kabar, mau kemana, dari mana, dan
semacamnya.
  3. Jangan hanya bicara, dengarkan juga.
Kebanyakan orang mengasumsikan komunikasi selalu berkaitan dengan bicara, padahal tidak hanya
itu. Mendengarkan juga salah satu bagian dari komunikasi, dan hal ini sangat penting untuk
dilakukan. Ketika kita terlalul sibuk bicara dan tidak memperhatikan apa yang diucapkan lawan
bicara, kita seperti tidak menghargainya.

b.Komunikasi Tatap Muka

Komunikasi tatap muka bisa dibilang komunikasi yang hampir setiap hari kita lakukan. Berikut
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi tatap muka atau langsung:

1. Tatap mata lawan bicara.


Hal yang pertama harus dilakukan adalah menatap lawan bicara kita. Jangan sampai kita malah
melihat ke arah yang lain dan membuat lawan bicara terganggu atau merasa tidak diperhatikan. Jika
kesulitan menatap langsung pada mata lawan bicara, kita bisa melihat ke arah garis tengah antara
kedua matanya (yang sejajar dengan hidung).

2. Jaga intonasi dan kecepatan bicara.


Bicaralah dengan suara yang stabil, tidak terlalu pelan atau terlalu tinggi. Keduanya bisa
menyebabkan orang salah mengerti dan tidak paham apa yang kita bicarakan. Selain itu, bicaralah
dengan kecepatan normal supaya dapat disimak dengan baik.

3. Lontarkan pertanyaan.
Sekali lagi, jangan hanya sibuk bicara dan tidak menyimak apa yang dibicarakan lawan bicara kita.
Dengarkanlah baik apa yang dikatakan lawan bicara, dan sahutilah dengan melontarkan pertanyaan
atau pernyataan.

c.Komunikasi Lewat Media

Seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi, komunikasi melalui media bisa dibilang sebagai
komunikasi yang paling sering kita lakukan. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan:

1. Perhatikan gaya tulisan dan tanda baca.


Karena komunikasi lewat media kebanyakan mengandalkan tulisan, kita harus lebih berhati-hati
dengan gaya bahasa yang kita tulis. Apakah sudah tepat, atau seperti orang marah? Selain itu,
penggunaan tanda baca juga sangat penting terutama tanda seru. Sebaiknya kita meminimalisir
penggunaan tanda seru atau huruf besar semua, karena cenderung membuat orang berpikir kalau
kita marah.

2. Atur intonasi (jika menelpon).


Menelpon memang terdengar suara, namun mimik dan ekspresi wajah tidak dapat terlihat. Karena
itu kita perlu mengatur intonasi suara kita ketika sedang menelpon. (Baca juga: Teori Ilmu
Komunikasi)

3. Pikirkan apa yang ingin ditulis.


Komunikasi lewat media memungkinkan kita untuk berpikir sedikit lebih lama mengenai apa yang
akan kita komunikasikan. Gunakan kesempatan itu untuk mengkomunikasikan hal-hal dengan lebih
baik dan menyortir kalimat yang tidak patut. Tidak perlu terburu-buru, orang juga tahu kalau
mengetik itu membutuhkan waktu lebih lama daripada bicara langsung. Tapi jangan juga
membiarkan pesan orang tidak dibalas lama, karena itu akan membuat orang bertanya-tanya dan
salah paham.

4.Menyambut Tamu
Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyambut tamu:

a.Berpakaian yang rapi dan pantas.


Meskipun berada di rumah sendiri, dalam menyambut tamu kita seharusnya memakai pakaian yang
pantas. Tentu tidak akan enak dilihat tamu jika kita hanya berpakaian daster atau baju yang kotor.

b.. Menyuguhkan minuman.


Terkadang tamu akan bilang tidak usah jika ditawari minuman, namun meski begitu kita perlu
menyediakannya. Bisa jadi si tamu malu atau basa-basi saja. Tidak perlu memaksakan menyuguhkan
yang berlebihan, namun setidaknya minuman yang minimal ada.

c. Sampaikan terima kasih.


Tamu bertandang ke rumah kita dengan menempuh perjalanan dan menyisihkan waktunya untuk
bertemu kita. Karena itu, sampaikanlah ungkapan penghargaan kita pada tamu karena telah
berkunjung.
 
Teknik Komunikasi yang Baik

Sebagai hal yang selalu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi harus dilakukan dengan
baik. Berikut adalah beberapa teknik komunikasi yang baik:

Bicara dengan jelas.


Komunikasi intinya adalah menyampaikan pesan kepada lawan bicara, dan tugas kita adalah
bagaimana agar pesan tersebut sampai sesuai dengan keinginan kita. Yang paling penting adalah
bicara apa yang kita maksudkan dengan jelas, supaya tidak ada kesalahpahaman.
 
Mendengarkan dengan baik.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, mendengarkan adalah hal yang sangat penting dalam
komunikasi. Tanpa kita berusaha mendengarkan baik, komunikasi yang terjalin tidak akan efektif.
Kita tidak memperhatikan apa yang dibicarakan orang lain dan membuat komunikasi jadi terhambat.

Perhatikan lawan bicara.


Kita berkomunikasi dengan lawan bicara, maka kita harus perhatikan lawan bicara kita. Dengan
begitu, lawan bicara merasa dihargai dan komunikasi berjalan lebih lancar. Kalau sudah begitu,
hubungan yang terjalin dengan lawan bicara pun akan terus terjalin dengan baik.

Konfirmasi jika merasa salah paham.


Dalam berkomunikasi, kita tidak dapat terhindar dari adanya kesalahpahaman. Kesalahpahaman bisa
terjadi karena berbagai hal, misalnya gangguan lingkungan atau ketidakfokusan kita dalam
menyimak. Karena itu, perlu dikonfirmasikan langsung hal yang disalahpahami guna meluruskan
keadaan.

Perhatikan komunikasi non-verbal.


Seperti yang dibahas sebelumnya, komunikasi bukan hanya soal bicara atau verbal. Ada juga aspek-
aspek komunikasi non-verbal dan justru peranannya jauh lebih besar dibanding komunikasi verbal.
Contoh dari komunikasi non-verbal adalah gestur tubuh, mimik wajah, penampilan, tanda baca, dan
lain sebagainya.

Etiket Komunikasi

Etiket dikenal juga sebagai tata krama, yang mengatur sikap dan tindakan manusia dalam bergaul
dengan manusia lain berdasarkan standar sopan santun dan adab. Etiket sebenarnya secara sadar
atau tidak sudah banyak kita pelajari dan pahami sedari kecil. Namun untuk lebih jelasnya lagi,
berikut adalah contoh dari etiket komunikasi:
     Pengunaan bahasa yang baik dan intonasi yang sesuai.
     Mengucapkan permisi ketika lewat di depan orang lain.
     Mengucapkan tolong ketika minta bantuan.
     Mengucapkan terima kasih ketika mendapat bantuan.
     Mengucapkan maaf ketika melakukan  kesalahan.
     Menghormati orang-orang yang lebih tua.
     Mengurangi kebiasaan menyela ucapan orang lain.

Manfaat Mempelajari Etika Komunikasi

Setelah membahas berbagai hal mengenai etika komunikasi, berikut adalah manfaat dari
mempelajari etika komunikasi:
     Melancarkan komunikasi dengan orang lain.
     Memahami apa yang dikomunikasikan orang lain.
     Diterima dalam sosial masyarakat karena mengikuti etika yang berlaku.
     Memperkuat hubungan yang terjalin dengan orang lain.
     Pesan yang disampaikan dapat diterima dengan lebih baik.
     Dihargai orang lain karena kita menghargai mereka juga.
     Tidak bertindak sembarangan dan seenaknya dalam berkomunikasi.
Demikian pembahasan mengenai etika komunikasi. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi
anda yang mencari informasi mengenai etika, etika komunikasi, etiket, etika dalam
komunikasi, teknik komunikasi yang baik, dan manfaat etika komunikasi. (ref)

#sumber; https://www.butonmagz.id/2019/02/etika-komunikasi-etiket-teknik-dan.html

Hak-hak Berkomunikasi sebagai bagian dari Hak-hak asasi manusia

Setiap 28 September 2016, dunia memeringati Hari Hak untuk Tahu (The International Day
of Right to Know). Kita, di Indonesia, turut memeringati hari yang penting tersebut.

Hak untuk tahu adalah salah satu hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Pasal
14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa “setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya” dan “setiap orang berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.”

Hak untuk tahu merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia, karena dijamin
di dalam Pasal 18 F UUD 1945, yaitu bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan
memperoleh informasi.

Oleh karena telah menjadi hak yang melekat pada setiap warga negara, maka di dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ditegaskan di
Pasal 2 ayat (3) bahwa setiap informasi publik harus dapat diperoleh secara cepat dan tepat
waktu.

Kategori informasi publik, ada yang bersifat terbuka dan dirahasiakan. Untuk kategori yang
terbuka, ada beberapa jenis, yaitu informasi yang diumumkan berkala (Pasal 9), diumumkan
serta merta (Pasal 10), tersedia setiap saat (Pasal 11), dan berdasarkan permintaan (Pasal 22).
Sedangkan untuk yang bersifat rahasia, mencakup rahasia negara (Pasal 6 ayat (3) huruf A),
rahasia pribadi (Pasal 6 ayat (3) huruf B), dan rahasia bisnis (Pasal 6 ayat (3) huruf C).
Komnas HAM sendiri sudah mengatur kategorisasi informasi ini di dalam Peraturan Komnas
HAM No. 001C/PER.KOMNAS HAM/III/2014 tentang Pelayanan Informasi Publik di
Lingkungan Komnas HAM.

Dalam Pasal 15 disebutkan bahwa informasi yang tersedia setiap saat adalah diantaranya
perjanjian di lingkungan Komnas HAM, informasi tentang rencana strategis dan rencana
kerja Komnas HAM, informasi tentang daftar hasil penelitian/pengkajian, informasi tentang
daftar serta hasil pemantauan, informasi tentang daftar serta hasil mediasi, informasi tentang
daftar dan hasil dari penyuluhan, dan informasi tentang daftar dan hasil pelayanan
pengaduan.

Informasi yang dikecualikan diantaranya adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU


tentang Keterbukaan Informasi Publik, informasi tentang kasus yang sedang ditangani dalam
bidang mediasi dan penyelidikan pro justicia, informasi yang berkaitan dengan hal kerja pro
justisia, informasi tentang identitas diri yang bersifat rahasia yang dapat menganggu
pelaksanaan tugas Komnas HAM, dan informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi
komisioner, staf, dan pejabat Komnas HAM.

Oleh karena hak untuk tahu menjadi instrumen penting dan strategis bagi pengembangan diri
setiap orang, maka setiap lembaga publik baik di ranah eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif, wajib menyampaikannya kepada publik. (MDH)

*sumber foto depan: Komisi Informasi Prov. DI. Yogyakarta

Demokratisasi Komunikasi

Media massa sangat berpengaruh pada kemajuan demokrasi suatu negara. Sebab proses
komunikasi politik yang melibatkan media dalam pembangunan demokrasi suatu negara
dipengaruhi oleh tidak hanya faktor internal media itu sendiri, tetapi juga faktor eksternal
seperti para aktor politik dan masyarakat pemilih. Aktor politik yang cenderung mengejar
kepentingan sesaatnya, akan cenderung memanfaatkan media untuk mengontrol opini public
dengan mempresentasikan pesan dan simbol-simbol yang mendukung kepentingannya.
 
Pemikiran itu merupakan hasil diskusi yang terungkap dalam kuliah umum yang
diselenggarakan oleh Prodi Komunikasi Unika Atma Jaya Jakarta, pada Senin, 30 September
2013, dengan tema “Media and Political Communication in Democracy”, yang
menghadirkan pembicara tamu dari Prancis, Prof. Jacques Gerstle (Profesor Emiritus di
Departemen Ilmu Politik, Universitas Paris I Pantheon Sorbonne).
Menurut Prof. Jacques Gerstle, media memiliki dua peran penting dewasa ini. Pertama,
sebagai ruang publik (public sphere) yang telah mengalami evolusi dalam bentuk modernnya
seperti televisi. Kedua, sebagai sarana komunikasi politik yang dapat dimanfaatkan oleh para
aktor-aktor politik terlebih ketika berkompetisi dalam pemilu.
Oleh karena itu, komunikasi politik modern sangat ditopang oleh media televise dan
pengukuran agregat opini public lewat survei. Hasil survei yang diberitakan lewat televise
dapat membaca dampak yang menguntungkan bagi aktor politik tertentu, tetapi bisa juga
kurang menguntungkan bagi yang lainnya. Intinya, pencitraan dalam komunikasi politik para
elit dewasa ini terbentuk dari perpaduan antara hasil survey dan kekuatan media televisi.
 
Dalam salah satu tulisannya Mediatizing the Economy and Manufacturing Presidential
Popularity (2007-2010) ,bersama Abel Francois, Professor Jacques Gerstle menjelaskan
bahwa popularitas adalah inti dari komunikasi politik dalam pemilu. Popularitas biasanya
tinggi pada awal-awal hasil pemilihan, dan mulai menurun terus-menerus pada tahun-tahun
berikutnya. Professor Gerstle mengusung suatu model untuk pengukuran popularitas presiden
dengan melihat variabel-variabel penting, yaitu: economic conjuncture, international crisis,
dan
scandals.  
 
Dalam kuliah umum ini juga muncul pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta, diantaranya
bagaimana strategi partai politik atau kandidat dalam memenangkan pemungutan suara
kelompok tertentu (focused group), serta seberapa besar peran tim sukses kandidat dalam
memenangkan seorang kandidat presiden dalam pemilu
Diskusi public ini diselenggarakan di Ruang Multimedia Unika Atma Jaya. Dihadiri oleh
sekitar 100 mahasiswa yang sebagian besar merupakan mahasiswa prodi Komunikasi.
Disamping itu juga hadir perwakilan dari Kedutaan Prancis di Jakarta dan beberapa dosen
dari prodi Komunikasi. Acara ini dibuka oleh dekan Fiabikom, Dr. A. Prasetyantoko dan
dipandu dengan sangat baik oleh Dr. Rory Hutagalung (Salvatore).

#sumber ; https://atmajaya.ac.id/web/KontenFakultas.aspx?gid=berita-
fakultas&ou=fiabikom&cid=Media-dan-Komunikasi-Politik-dalam-Demokrasi

Hakikat Transaksi Produk Berfikir

Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan landasan berpikir bagi setiap usaha manusia
di dalam mengenal dan mengembangkan eksistensinya, melakukan tugasnya dengan bertitik
tolah pada beberapa ciri pemikiran, yaitu:

1.Berpikir Rasional, Sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir. Meskipun demikian,


tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir dimaksud dapat dikategorikan sebagai
berfilsafat. Ciri pemikiran filsafat pertama-tama harus bersifat rasional, bukan perasaan
subyektif, khayalan, atau imajinasi belakah. Ciri pemikiran rasional menunjukkan bahwa baik
kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran filsafat itu sendiri harus dapat diterima secara akal
sehat, bukan sekedar mengikuti sebuah common sense (pikiran umum). Ciri pemikiran
filsafat yang rasional itu membuat filsafat disebut sebagai pemikiran kritis atau “ilmu kritis”.
Pemikiran kritis filosofis memiliki dua aspek, yaitu kritis (critics) dan krisis (crycis). Berpikir
kritis (critics) artinya, berpikir bukan untuk sekedar menerima kenyataan atau menyesuaikan
diri dengan kenyataan pemikiran atau pandangan orang (termasuk dalamnya dogma atau
ajaran-ajaran, keyakinan, dan ideologi apa pun) sebagaimana apa adanya. Justru, inti dari ciri
pemikiran filsafat yang kritis (critics) ini adalah berpikir dalam rangka mengkritik,
meragukan, dan mempertanyakan segala sesuatu, sampai mencari dan memndapatkan dasar-
dasar pertanggungjwaban intelektual atau argumentasi-argumentasi yang mendasarnya yang
tidak mungkin dapat diragukan atau dipertanyakan lagi oleh siapa pun dan kapan pun.
Filsafat, dengan pemikiran kritis (rasio kritis)-nya ini, ingin melakukan pengkajian, penelitian
secara mendalam guna dapat menemukan inti pemikiran atau kebenaran sesungguhnya yang
dicari. Filsafat, dalam hal ini, tidak menolak kesalahan tetapi mempertanyakan mengapa
orang bisa melakukan kesalahan dalam berpikir?. Immanuel Kant yang terkenal sebagai
bapak filsuf kritis menyebut rasio kritis ini sebagai “kritik rasio munri” (Critics ratio vernun).
Pemikiran filsafat yang berciri “rasio kritis” ini, tidak ingin terjebak di dalam sebuah
pemikiran yang umum (common sence), juga tidak ingin terjebak di dalam kesesatan,
kekeliruan, atau kesalahan berpikir (baik dalam proses berpikir maupun dalam menarik
kesimpulankesimpulan pemikiran) yang tersembunyi di dalam sistim pemikiran atau sistim
keyakinan. Ciri pemikiran filsafat tersebut, oleh oleh Plato, disebut sebagai berpikir dialogis
atau oleh Rene Descartes disebut berpikir dengan metode “keraguan kritis” yang dengannya,
orang tidak diperdaya oleh kekeliruan atau kesalahan umum

2.Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crycis. Menurut Jurgen
Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang tidak ingin terbelenggu dalam
sangkar rasio tetapi bergulat dengan realitas 40 kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali,
determinasi, dan pembusukan budaya. Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk
melakukan penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis (penyakit
sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan represi yang cenderung mendistorsi akal sehat
manusia.

3.Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin menggali dan
menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk menemukan dan mengangkat
dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke permukaan. Melalui cara pemikiran yang demikian
itu, diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah
pertanggunganjawaban yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat dan pikiran
keilmuan itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan bahwa orang tidak perlu
terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat kebenarannya
secara fundamental, dan dengan demikian, ia tidak muda terjebak ke dalam pemikiran yang
sesat dan keliru atau kejahatan. Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah
proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan strategi bagi pemikiran itu
sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian) zaman dengan
berbagai arus pemikiran baru apa pun.

4.kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang melanggengkan atau


memandegkan dirinya di dalam berbagai keterkungkungan dogma atau ideologi yang beku
dan statis. Justru, ia selalu berusaha membangun kejataman budi untuk mampu mengeluarkan
diri kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki, menyempurnakan, dan
mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan penemuan-penemuan
(invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih brilian, terbuka, dan kompetitif dalam
merespons tuntutan zaman serta kemajuan-kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan,
baik pada tataran ide maupun moral. Ciri pikiran filsafat tersebut mengandaikan sebuah
kekuatan transformasi dan seni “mengolah budi” (kecerdasan) guna mampu melakukan
imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam
berbagai lakon aktual.

5.Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir logis
(terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar). Pemikiran filsafat tidak
hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide, penalaran, dan kreatifitas budi secara
serampangan (sporadis). Justru, pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau
menggolonggolongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta
menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya dengan kata
(pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi) melalui sistim-sistim penalaran
yang tepat dan benar. Pemikiran filsafat selalu bergerak selangkah demi selangkah, dengan
penuh kesadaran (pengujian diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna
secara terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau langkah berpikir
yang tertib, tertanggung jawab, dan saling berhubungan secara teratur.
6. Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan pemikiran
yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat. Pemikiran filsafat tidak pernah
akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang 41 terbatas, ia akan menerobos mencari dan
menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran umum.
Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian yang terpisah
menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan) dalam sebuah
bagian yang utuh dan universal, sebagai sebuah kenyataan eksistensisal yang khas
manusiawi.

7. Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat menyeluruh dan
utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih bermakna daripada bagian-perbagian.
Holistik artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran)
sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat yang demikian perlu dikembangkan mengingat
hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan
kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang
menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena
manusia sebab hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta
pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh
pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan
kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta beranekaragam. Pikiran,
sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah
yang berpikir, tetapi justru manusia lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia
maka pikiran tidak memiliki arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan
akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan
sebagai kesatuan yang utuh.

8. Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide, konsep atau gagasan.
Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan taraf berpikir dari sekedar
pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta fisik yang terbatas pada keterbatasan
jangkuan indera manusia untuk menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang
utuh, integral (terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak melalui bentuk –
bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah fakta fisik selalu
terbatas pada apa adanya karena sifatnya terbatas menurut sebuah penampakan inderawi yang
sejauh dapat dilihat, didengar, atau diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan
pada taraf-taraf berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan
menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang mampu memberi arti,
memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya aneka pencerapan inderawi
tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun secara sistematis. Pemikiran abstraktif,
berusaha membebaskan orang dari cara berpikir terbatas dengan hanya “menunjukkan” untuk
makin mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan “memahami dan “menjelaskan”.
Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada tataran kemampuan berimajinasi,
membangun kohenrensi, dan korelasi secara utuh dan terstruktur guna menunjukkan peta
keutuhannya, dengan segala fenomenanya secara detail sehingga dapat dijelaskan secara
lengkap dan sempurna.

9. Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri berpikir abstrak
yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi
abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi ketaraf
pemahaman dan panalaran. Melalui itu, orang tidak hanya berhenti pada informasi sekedar
menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih meningkat pada taraf membangun pemikiran
dan pemahaman tentang mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai dimensi bentuk
pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif memungkinkan adanya transendensi
untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas tentang aneka kenyataan. Tegasnya, melalui
ciri pemikiran filsafat yang spekulatif dimaksud, orang tidak sekedar hanya menerima sebuah
kenyataan (kebenaran) secara informatif, sempit, dan dangkal, tetapi dengan sikap kritis, dan
penuh imajinasi untuk memahami (verstending) dan mengembangkannya secara luas dalam
berbagai khasana pemikiran yang beraneka. Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang
mengandung pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum yang ada.
Berpikir secar filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam
semesta secara utuh sehingga orang dimungkinkan untuk mengembangkannyadalam berbagai
aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.
10. Berpikir secara reflektif. Maksudnya, filsafat selalu berpikir dengan penuh pertimbangan
dan penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh dan mendalam. Ciri pemikiran
filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak cenderung
membenarkan diri, tetapi selalu terbuka membiarkan diri dikritik dan direnungkan secara
berulang-ulang dan makin mendalam, untuk sambil mencari inti terdalam dari pemikiran
dimaksud, juga menemukan titik-titik pertautannya secara utuh dengan inti kehidupan
manusia yang luas dan problematis. Berpikir reflektif memungkinkan proses internalisasi
(pembathinan) setiap pemikiran filosofis, sehingga pikiran itu sendiri bukan hanya mampu
mencerminkan isi otak, tetapi isi kehidupan secara utuh menjadi sebuah gaya kehidupan yang
khas.
11. Berpikir humanistik. Ciri pemikiran filsafat ini hendak letakkan hakikat pemikiran itu
pada nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan sebagai titik orientasi, pengembangan,
dan pengendalian pemikiran itu sendiri. Maksudnya, pemikiran dan segala anak pinaknya,
baik dalam bentuk pengetahuan, ilmu, atau teknologi harus dapat menunjukkan sebuah
pertanggungjawaban pada sebuah tugas kemanusiaan yang nyata. Bagi filsafat, pikiran atau
pengetahuan itu adalah pikiran yang khas manusia, bahkan pikiran seorang anak manusia
untuk sebuah tugas kemanusiaan. Ciri pemikiran filsafat, karenanya memiliki dasar, sumber
dan tanggungjawab kemanusiaan yang diemban. Berpikir humanistik bukan saja berpusat
pada manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh sebuah tanggungjawab manusiawi. Inti
kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan sumber aktual bagi proses berpikir maupun
penerapan hasil pikiran itu sendiri.
12. Berpikir kontekstual. Ciri pemikiran ini hendak menunjukkan bahwa pikiran bukan
sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas eksistensi dengan konteksnya yang nyata dan jelas.
Maksudnya, setiap pemikiran filsafat, selalu bertumbuh dan berkembang dalam konteks
hidup manusia secara nyata. Pikiran filsafat karenanya, merupakan bagian dari cara berpikir
dan cara bertindak manusia atau masyarakat dalam menyiasati dan memecahkan 43 masalah-
masalah kehidupannya secara nyata. Pemikiran kontekstual mengandaikan kejeniusan lokal
(local genius) dalam membangun sebuah struktur keberadaan. Pemikiran filsafat juga
mencirikan sebuah pemikiran yang fungsional dalam menyiasati serta membangun
tanggungjawab budaya maupun sosial kemasyarakatannya.
13. Berpikir eksistensial. Ciri pemikiran filsafat ini bermaksud menunjukkan bahwa pikiran
itu adalah pikiran manusia, karenanya, setiap pemikiran selalu mengandaikan harapan,
kecemasan, kerinduan, keprihatinan dan aneka kepentingan manusia sebagai sebuah
manifestasi eksistensial. Pikiran itu sendiri adalah sebuah tanda keberadaan atau fenomena
eksistensi, dengan pikirannya, manusia membudayakan diri dan memenuhi kodrat
eksistensialnya sebagai eksistensi yang bermartabat. Berpikir eksistensial, mengandaikan
sebuah ciri pemikiran yang khas, yang bukan saja berpikir dalam kerangka keilmuan, tetapi
justru pemikiran dalam rangka pengembangan eksistensi jati diri dan kehidupan secara utuh.
14. Berpikir kontemplatif. Ciri pemikiran filsafat ini diarahkan untuk menajamkan kepekaan
diri, ketajaman bathin, serta kemampuan mengenal kekuatan dan kelemahan, dan kesadaran
otodidik dalam diri. Melalui pemikiran kontemplatif dimaksud, setiap pemikir, filsuf, atau
ilmuwan mampu menasihati dan membimbing diri (menangani diri) dengan penuh
kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan. Ciri berpikir kontemplatif mampu membimbing
para subyek (pemikir) sedemikian rupa, sehingga mampu melalukan koreksi, perbaikan, dan
penyempurnaan atas segala cara berpikir maupun hasil pemikiran itu sendiri sehingga tidak
terjebak dalam keangkuhan, sikap ideologis, dan pembenaran diri menjadi “kekuatan serba
oke”, yang secara buta mentukangi aneka kebohongan dan kejahatan. Berpikir kontemplatif
membimbing orang untuk makin memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi
yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat yang beradab
dan bermartabat.
E. Sumber: Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta. The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta. Keraf Gorys, 1992,
Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7 Watloly, A. Tanggung Jawab
Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara
Mengerjakannya ( belum diterbitkan)
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/48c8b900998237e1fd58ebe75b742bcb
.pdf

Anda mungkin juga menyukai