Oleh:
Pembimbing:
Trauma saat ini merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan merupakan
salah satu penyebab utama dari kematian terutama pada usia remaja dan usia
dewasa muda. Pada tahun 1998, diperkirakan 5,8 juta orang meninggal dunia oleh
karena trauma. Di Amerika Serikat, diperkirakan 12.400 orang meninggal dunia
setiap bulannya oleh karena trauma. Disebutkan bahwa rerata umur pasien trauma
adalah antara umur 29-34 tahun dan disebutkan pula bahwa pria lebih banyak
yang mengalami trauma (60-80% dari kasus yang terjadi) daripada wanita (1)
Kematian akibat cedera diproyeksikan meningkat dari 5,1 juta menjadi 8,4 juta
(9,2% dari kematian secara keseluruhan) dan diestimasikan menempati peringkat
ketiga disability adjusted life years (dalys) pada tahun 2020. Sebagian besar
negara didunia mengalami epidemi trauma tetapi peningkatan jumlah yang tinggi
terjadi di negara yang sedang berkembang
Dampak Sistemik dari Trauma (First Hit) Terjadinya respon inflamasi pasca
trauma merupakan bagian dari reaksi fisiologis terhadap suatu trauma. Derajat
dari inflamasi tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal (derajat trauma) serta
faktor internal (predisposisi genetik seseorang)(4) Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa stimulasi beberapa mediator inflamasi terjadi segera setelah
terjadinya trauma. Terdapat beberapa sitokin yang berperan penting dalam proses
inflamasi pasca trauma. Disebutkan juga bahwa terdapat hubungan antara derajat
suatu trauma dengan kadar inflammatory markers, contohnya adalah terjadi
peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 dalam plasma pasien dengan injury severity
score≥25. Sitokin yang Berperan dalam Inflamasi Pasca Trauma (5) Pengukuran
sitokin proinflamasi sangat beramanfaat dalam penggunaan klinis. dikatakan
bahwa IL-6 merupakan marker yang lebih dapat dipercaya (6). Selain terjadi
imunostimulasi yang bersifat selektif, pada tubuh pasien pasca trauma juga terjadi
imunosupresi. Setelah trauma, produksi immunoglobulin dan interferon
berkurang sehingga meningkatkan risiko pasien tersebut untuk terinfeksi yang
kemudian nantinya dapat berkembang menjadi sepsis. Selain itu, pada tubuh
pasien juga terjadi gangguan pada kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan
kandungan enzim lisosom.
Beberapa trauma tertentu disebutkan lebih sering meyebabkan infeksi Diantara
trauma ekstremitas, fraktur femur dikatakan berhubungan dengan meningkatnya
risiko untuk outcome yang buruk. Hal tersebut dikarenakan fraktur femur
berkaitan dengan kerusakan jaringan lunak serta perdarahan yang cukup
signifikan (7)
Dampak Sistemik dari Prosedur Pembedahan (Second Hit)Seorang pasien
multiple trauma yang awalnya dalam kondisi moderat kemudian akibat dari
pembedahan, kondisi pasien tersebut dapat memburuk. Yang termasuk second
hit, antara lain infeksi, transfusi darah, serta intervensi pembedahan. Dengan
adanya pemahaman tersebut, maka diciptakan suatu konsep damage control
surgery yang bertujuan untuk meminimalisir stress terhadap Pasien yang tidak
stabil dengan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pascatrauma. Second hit
merupakan resiko tambahan dari first hit dan bila kombinasi kedua hal tersebut
cukup parah maka akan mengganggu keseimbangan fisiologis pada tubuh pasien
serta akan meningkatkan risiko untuk terjadinya SEPSIS dan ARDS
I.5. Klasifikasi Kondisi Pasien Multiple Trauma
Setelah dilakukan assessment dan intervensi awal maka kondisi pasien sebaiknya
diklasifikasikan diantara empat kategori dengan tujuan untuk memandu langkah
medis berikutnya.
Keempat klasifiksasi tersebut adalah :
1. Stable
2. borderline
3. unstable
4. in extremis
Kategori ini berdasarkan atas derajat keparahan trauma, adanya cedera spesifik,
dan keadaan hemodinamik. Sebelum pasien dimasukkan dalam salah satu
kategori, terlebih dahulu harus dicapai end points of resuscitation. Yang termasuk
end points of resuscitation adalah hemodinamik yang stabil,saturasi oksigen yang
stabil, kadar laktat di bawah 2mmol/L, tidak ada gangguan koagulasi, temperatur
yang normal, urine output di atas 1 mL/kg/jam, dan tidak diperlukannya
dukungan inotropic (4)
1. Stable
Pasien stable bila pasien tidak memiliki cedera yang mengancam jiwa dengan
segera, berespon terhadap terapi awal, dan memiliki hemodinamik stabil tanpa
dukungan inotropik. Pada pasien juga tidak terdapat gangguan fisiologis, seperti
koagulopati, respiratory distress, atau ongoing occult hypoperfusion yang
bermanifestasi sebagai gangguan keseimbangan asam basa, serta pada pasien
tidak terdapat hipotermia. Pasien dalam kondisi stable memiliki physiologic
reserve untuk mampu bertahan menghadapi tindakan pembedahan yang panjang
(7)
2. borderline
3. Unstable
Pasien dikatakan unstable bila kondisi hemodinamik pasien masih tidak stabil
walaupun telah dilakukan resusitasi awal. Pada pasien tersebut berisiko tinggi
untuk mengalami perburukan secara cepat, yang kemudian diikuti dengan
multiple organ failure dan kematian. Pada kategori ini maka penatalaksanaan
menggunakan damage control approach, dimana pendekatan tersebut
menekankan rapid life saving surgery hanya bila diperlukan secara absolut serta
diikuti dengan mentransfer pasien ke Intensive Care Unit / ICU untuk stabilisasi
dan monitoring lebih lanjut. Disarankan untuk dilakukan temporay stabilization
dari fraktur dengan menggunakan external fixation dan juga dilakukan
hemorrhage control.
Tindakan pembedahan yang kompleks sebaiknya ditunda hingga tercapainya
kondisi pasien yang stabil serta respon inflamasi telah berkurang. Hal tersebut
bertujuan untuk mengurangi dampak second hitdari suatu tindakan pembedahan
(8)
4. In Extremis
Pasien yang termasuk kategori in extremis adalah pasien yang akan meninggal
akibat cedera yang terlalu parah dan sering didapatkan adanya ongoing
uncontrolled blood loss. Pasien tersebut tetap severely unstable walaupun telah
dilakukan usaha resusitasi yang agresif.
Pada pasien tersebut juga ditemukan triad of death, yaitu hipotermia, asidosis,
dan koagulopati. Sebaiknya tetap dilakukan damage control approach yang
bertujuan untuk menyelamatkan jiwa kemudian setelah tindakan tersebut pasien
ditransfer ke ICU
untuk invasive monitoring dan advanced hematological, pulmonary, dan
cardiocvascular support. Cedera orthopaedi dapat distabilkan dengan cepat
dengan menggunakan external fixation Tindakan pembedahan yang bersifat
rekonstruktif sebaiknya ditunda dan dapat dikerjakan bila nyawa pasien
terselamatkan (8)
Algoritma penanganan pasien multiple trauma
I.6. Prioritas dan waktu Pembedahan pada Pasien Multiple Trauma
Pada pasien multiple trauma, keputusan untuk menentukan cedera yang akan
ditangani terlebih dahulu dapat menjadi sulit, terutama bila cedera tersebut
berbahaya dan dapat menyebabkan gangguan hemodinamik. Ketika cedera yang
berbeda memerlukan tindakan spesialisasi yang berbeda maka dapat
menimbulkan perbedaan pendapat mengenai prioritas tindakan yang akan
dilakukan. Waktu untuk pembedahan harus mempertimbangkan kondisi pasien
serta respon pasien terhadap resusitasi awal (4)
I.7. Penatalaksanaan pada Pasien Multi Trauma
Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah untuk
membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk
memastikan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal
tersebut dapat dicapai dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan
volume replacement (8) Untuk penanganan awal digunakan konsep damage
control, yaitu kontrol terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta
penutupan luka atau rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi
fisiologis pasien di ICU, yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila
kondisi pasien memungkinkan (4)
II.1. Definisi
Adalah kontrol terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta
penutupan rongga abdomen sementara. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi
fisiologis pasien di ICU, yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila
kondisi pasien memungkinkan. (4) Strategi bedah untuk mengatasi trias of death,
yaitu, asidosis, hipotermia, dan koagulopati, hal ini sering terjadi pada pasien
yang luka parah. Pendekatan Damage Control Surgery mengurangi angka
kematian hingga 50%
Konsepnya berasal dari Angkatan Laut AS (awal 1900-an) dimana personel yang
sakit diterapi sementara untuk bisa bertahan dan cukup stabil untuk mencapai
pelabuhan dan dilakukan perbaikan definitif
II.2.Sejarah
Kontrol perdarahan dan laparotomi dini telah dilakukan di awal abad 20.
Tahun 1908: Pringle melakukan Kompresi luka Liver dengan pack dan
kompresi untuk menghentikan perdarahan dari hati, Halsted, dan
Schroeder. Meskipun dengan packing, perdarahan ulang masih terjadi.
Namun, cara ini tetap menjadi andalan perawatan sampai akhir Perang
Dunia II.
Dilanjutkan oleh Halsted dengan menempatkan lembaran karet di antara
hati dan membungkusnya, untuk melindungi parenkim hati
Rhage, awal 1970-an, mengenalkan perihepatic pack di beberapa RS dan
keberhasilan tercatat pada sekelompok pasien
Tahun 1970-1980an : Lucas dan Ledgerwood, Feliciano melakukan
perihepatic-packing pada cedera hati
Tahun 1981 Feliciano dkk melaporkan pada 10 pasien dengan perdarahan
exsanguinating hepatic dengan tingkat kelangsungan hidup 90%, dan ahli
bedahpun mulai mempertimbangkan perihepatic packing sebagai teknik
yang layak
Tahun 1983: Harlan Stone Pertama menggunakan konsep laparotomi yang
dipersingkat.(9)
Pada tahun 1983, Stone et al .menyarankan bahwa gangguan koagulopati
berkontribusi terhadap hasil yang buruk pada pasien Mereka mengusulkan
sebuah prosedur yang cepat, memperbaiki gangguan koagulopati, dan
melakukan operasi definitif
Pada 1990-an, presentasi pasien trauma berubah. Ada lebih banyak luka
tembak yang ditemukan, karena tren yang mengkhawatirkan ini, maka ada
kelompok trauma di University of Pennsylvania mulai melakukan konsep
Damage control surgery pada korban trauma penetrasi perut. Konsep ini
adalah melakukan prosedur operasi yang cepat untuk kontrol perdarahan,
dilanjutkan ICU resuscitation, dan kembali ke kamar operasi untuk
perawatan definitif
Pada tahun 1997, Rotondo dan Rotondo dan Zonies melaporkan tinjauan
kumulatif 20 tahunan tentang literatur angka kematian dan morbiditas
menggunakan prinsip-prinsip damage control surgery untuk cedera hati.
Dalam ulasan mereka dari 495 pasien, mereka menemukan mortal-tingkatnya
44% dan tingkat morbiditas 39%.
Kemudian tinjauan pustaka diperluas untuk mencakup selain trauma hati,
tingkat kematian meningkat menjadi 60% dan tingkat morbiditas meningkat
menjadi 43%. Ketika kedua ulasan digabungkan, tingkat kematian 52% dan
tingkat morbiditas menjadi 40%. Meskipun komplikasi dan angka kematian
tinggi, prinsip damage control surgery terus berlanjut dan diterima. Kemudian
muncul konsep baru yaitu Damage control pada korban trauma penetrasi perut
.Konsep-konsep ini adalah prosedur yang cepat untuk kontrol perdarahan,
dilanjutkan optimalisasi di ICU dan kembali dilakukan operasi untuk
perawatan definitif [10]
DCR dikembangkan dari pengalaman militer dalam pengelolaan perdarahan
selama konflik di Afghanistan dan Irak. Pada tahun 2007, Holcomb dan
rekannya menggambarkan DCR sebagai 'strategi pengobatan dini proaktif
dalam menangani triad of death. Hodgetts dan koleganya memilih definisi
yang lebih luas, yang memasukkan manajemen pra-rumah sakit dan kontrol
perdarahan dalam pendarahan yang hebat. Mereka mendefinisikan DCR
sebagai: 'pendekatan sistematis untuk trauma besar yang menggabungkan
paradigma ABC dengan serangkaian teknik klinis mulai dari titik cedera
hingga pengobatan definitif untuk meminimalkan kehilangan darah,
memaksimalkan oksigenasi jaringan, dan mengoptimalkan hasil'. (11)
II.3. Patofisiologi
Hipotermia
Mayoritas pasien trauma utama adalah hipotermia saat tiba di gawat darurat
karena kondisi lingkungan di tempat kejadian. Perlindungan yang tidak
memadai, pemberian cairan intravena, dan kehilangan darah yang berkelanjutan
akan memperburuk keadaan hipotermik. Haemorrhagic shock menyebabkan
penurunan perfusi dan oksigenasi sel dan produksi panas yang tidak adekuat.
Hipotermia memiliki efek sistemik yang dramatis pada fungsi tubuh tetapi yang
paling penting dalam konteks ini memperburuk koagulopati dan mengganggu
mekanisme homeostasis darah.
Asidosis
Asidosis adalah hasil dari hipoperfusi dan akibat hutang oksigen ke jaringan
sehingga terjadi pergeseran dari metabolisme aerobik ke anaerobik. Pada tingkat
selular terjadi asidosis laktik, hipoksia selular yang terjadi pada lingkungan
oksigen yang relatif kaya akibat shunting oksigen pada hasil tingkat sel akibat
oksigen delivery tidak cukup untuk mempertahankan metabolisme aerobik
Penggunaan laktat sebagai penanda keberhasilan resusitasi dipergunakan secara
luas.
Abramson dkk. [21] menunjukkan bahwa jika pasien trauma mampu
membersihkan laktat dalam 24 jam, diperkirakan akan survive100%. Begitu juga,
jika laktat tidak dibersihkan dalam waktu 24 jam, hanya 14% survive.
Koreksi Asidosis
Asidosis pasien biasanya terkoreksi pada saat dilakukan resusitasi secara adekuat.
Hutang oksigen dilunasi, dan pasien kembali dari metabolisme anaerobik hingga
aerobik. Kami jarang menggunakan natrium bikarbonat selama resusitasi kecuali
pH kurang dari 7,2, dan jika agen kardiotonik digunakan, karena agen itu berkerja
lebih baik dalam lingkungan yang tidak terlalu asam.
Syok Hemoragik yang tidak teratasi akan menyebabkan perfusi seluler tidak
adekuat, metabolisme anaerobik dan produksi asam laktat. Hal ini menyebabkan
asidosis metabolik yang makin memberat dan mengganggu mekanisme
pembekuan darah dan meningkatkan koagulopati dan kehilangan darah.
Koreksi Koagulopati
II.4. Filosofi
a. Hipotermia (<35 ° C)
b. Asidosis (pH <7,2 atau defisit basis> 8)
c. Koagulopati
i. Perdarahan non mekanik
ii. PT
iii. Trombositopenia
iv. Hipofibrinemia
v. Kebutuhan akan transfusi masif (kebutuhan lebih dari > 10 unit darah
merah atau kebutuhan penggantian cairan tubuh)
d. Lama waktu untuk operasi definitif (> 90 menit)
e. Ketidakstabilan hemodinamik atau hipoperfusi yang sudah ada sebelumnya
(24)
II.5. Apa yang dilakukan pada Damage control surgery
PART 0 :
PART 0 :
Adalah fase paling awal dari proses pengendalian kerusakan,terjadi pada pra-
rumah sakit dan berlanjut ke unit gawat darurat, mengenali pola cedera untuk
mengidentifikasi pasien yang mungkin bisa dilakukan damage control Resusitasi
(DCR) dan segera transfer ke ruang Operasi
Lakukan pemasangan infus akses iv - besar, Induksi dan intubasi dengan tehnik
RSI (jika diperlukan), drainase dada jika diindikasikan, pencegahan hipotermia,
Hentikan pendarahan menggunakan torniket atau tekanan langsung. Jika pasien
mengalami perdarahan yang tidak terkompresi, praktekkan hipotensi permisif.
Transfer cepat ke fasilitas perawatan medis. Ukur gas darah. lakukan DCR, dan
transportasi ke ruang operasi. Antibiotik intravena spektrum luas dan profilaksis
tetanus harus diberikan. Siagakan kamar operasi beserta tim dan Alat termasuk
penghangat. Penekanan Tahap 0 adalah screening pasien yang di dapatkan
berisiko berkembang Trias of death dan berindikasi bisa dilakukan Damage
control surgery.
Efek buruk dari resusitasi cairan berlebihan pada hemostasis telah diakui selama
bertahun-tahun dan penundaan resusitasi cairan atau permisif hipotensi telah lama
diperbolehkan / advokasi. Perkembangan yang lebih baru adalah pengenalan
koagulopati endogen. Pada sebagian besar pasien trauma berat saat tiba di rumah
sakit mengalami 'koagulopati traumatik akut' akibat terluka parah dan biasanya
menghasilkan prognosis yang buruk. Resusitasi modern adalah pergantian
volume akibat perdarahan hebat, melakukan hipotensi permisif dan pengobatan
awal koagulopati diantisipasi dengan produk darah
DCR :
• Resusitasi ABC
• Hipotensi permisif
Melakukan transfusi darah lebih awal ,Targetkan koagulopati dengan Rasio yang
lebih tinggi dari fresh frozen plasma (FFP) : PRBC akan memberikan manfaat
pada kelangsungan hidup pada pasien trauma.
Rasio optimal darah, FFP, trombosit, dan produk lain PROPPR (pragmatis, acak
optimal trombosit dan rasio plasma)
Protokol transfusi massive saat ini digunakan untuk pasien trauma dewasa di
Queen's Medical Centre, Nottingham, Inggris.
Paket 2 dan semua paket berikutnya: 6 unit PRBC; 4 unit FFP; 1 kolf platelet ; 2
kolf cryoprecipitate.
Imaging
Untuk mempercepat proses diagnostik trauma tembus pada pasien yang tidak
stabil, diperlukan minimal sinar-X diagnostik. Foto toraks setelah intubasi untuk
mengkonfirmasi penempatan ETT dan mengidentifikasi haemo-, pneumotoraks,
atau keduanya yang mungkin membahayakan pasien selama transportasi ke
kamar operasi. Foto polos berguna untuk mengkonfirmasi ada tidaknya benda
asing. Stabilitas tulang belakang, foto pelvis untuk melihat fraktur dan stabilisasi
pelvis setelah dilakukan fiksasi pelvis. CT scan trauma dilakukan setelah pasien
trauma dapat distabilkan di Ruang resusitasi. Bagamanapun keterlambatan ke
ruang operasi akibat proses diagnostik harus dihindari
Sebelum pasien tiba di OR, staf OR harus memiliki ruang yang siap untuk
kedatangan pasien ekstrem. Peralatan resusitasi harus tersedia, ruang operasi
harus disiapkan untuk pasien trauma, persiapan alat seperti set laparotomi
standar, vaskular, dan instrumen (termasuk gergaji sternal). Persediaan pack
laparotomi harus tersedia, troli yang dilengkapi dengan peralatan DCS harus
tersedia di dalam atau langsung berdekatan dengan kamar operasi Posisi lead
elektrokardiogram dan peralatan untuk observasi tidak boleh menghalangi
paparan bedah. Pembedahan tidak boleh ditunda karena pemasangan arteri line
atau cvc. Ruangan harus dipanaskan hingga 85 ° F, di dapatkan informasi akan
adanya Pasien yang tidak stabil sedang dalam perjalanan ke OR. Selain itu, alat
penghangat (Arctic Sun, Medivance, Louisville,CO) harus dipanaskan terlebih
dahulu dan siap. Perdarahan durante operasi segera kontrol dengan cara packing,
ligasi, penjepit, atau tamponade balon kateter. Ketika perdarahan sudah dapat
dikendalikan, perhatikan terjadinya kontaminasi. Lakukan kontrol dengan cepat,
pemeriksaan seluruh usus, tutup jahitan / penjepitan perfora- visceral Tidak ada
upaya rekonstruksi yang dilakukan selama fase ini ,tutup dinding perut
sementara, dengan teknik seperti menggunakan beberapa klip handuk,
menggunakan benang nilon, untuk mengurangi infeksi, gunakan vakum packing.
Manfaatnya untuk mempertahankan fasia dan mempercepat penutupan kulit
sehingga memungkinkan untuk prosedur selanjutnya seperti radiologi
diagnostic,angiografi / radiografi harus dilakukan tanpa klem yg menghalangi
foto/ fluoroskopi. Risiko teknik ini adalah kompartemen perut tidak bisa bebas
sehingga berpotensi terjadi intra-abdominal hipertensi dan berkembang menjadi
kompartemen abdominal Jika kulit tidak bisa ditutup, biasanya dilakukan dengan
vakum jacket.
seperti melakukan packing untuk kontrol perdarahan pada hati, packing limpa,
ligasi organ berongga pada luka berdarah, kontrol kontaminasi,
Laparotomi dilakukan pada Pasien dengan cedera Blunt atau Menembus
Trauma penetrasi dengan hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan segera
operasi. Indikasi laparotomi adalah :
• Hipovolemi berkelanjutan yang tidak respon terhadap resusitasi cairan.
• Ruptur Diafragma, berdasarkan CXR.
• Pneumoperitoneum
• Tanda yang jelas dari peritonitis
• DPL dengan hasil positif
• Cedera tembus dengan isi perut terburai keluar
Kontrol perdarahan
kontrol perdarahan : ambil cloting, packing, bila ada lakukan Suction salvage sel
untuk memaksimalkan pengambilan dan pengembalian darah autologus. Lakukan
ligasi, shunting/ menjepit, pasang balon kateter untuk tamponade cedera vaskular,
Jika pasien tetap sangat hipotensi setelah packing, cari sumber perdarahan arteri
dan kontrol aliran aorta. Oklusi manual aorta pada hiatus diaphragmatic dapat
dilakukan dengan cepat untuk mengontrol exsanguination perut dan memberi
waktu kepada tim anestesi untuk mengejar penggantian volume; manuver ini juga
telah terbukti meningkatkan perfusi serebral dan miokardial. Untuk cedera
vaskular mayor, pilihan pengendalian kerusakan adalah ligasi pembuluh darah
atau penempatan shunt intravaskular sementara di arteri. Jika sirkulasi stabil,
fasciotomy bisa dilkukan setelah perdarahan dapat dikendalikan.
Cedera limpa, ginjal, dan pankreas ditangani dengan reseksi total atau parsial.
Pendarahan dari laserasi hati setelah trauma tumpul dapat dilakukan pack tampon
dan dikontrol dengan manuver Pringle (oklusi infiltrasi vena hepatik dengan
kompresi porta hepatis ditepi lateral ligamen gastrohepatik).
Strategi lain dapat digunakan agen hemostatik topikal (seperti kolagen
mikrofibril, Tachosil ™, atau lem fibrin), angio-embolisasi dapat menjadi teknik
yang berguna untuk pengobatan pembuluh pendarahan jauh di dalam parenkim
hati. Bahkan ketika hemostasis tampaknya telah tercapai, beberapa pusat akan
secara rutin melanjutkan ke angiografi setelah laparotomi awal pada cedera hati
yang kompleks dan sering menemukan perdarahan sebelumnya yang tidak
terduga atau fistula arteri vena.
Kontrol kontaminasi
Prioritas kedua adalah untuk mengontrol kontaminasi tumpahan isi usus atau urin
dari cedera viskus berongga. Perforasi usus diperbaiki dengan menggunakan satu
lapis jahitan/ stapler linier. tingkat cedera dinding usus sering tidak jelas pada
operasi awal; ini dapat menyebabkan iskemia usus yang tertunda dan perforasi,
mengancam anastomosis dan stoma. Oleh karena itu, viabilitas usus selalu dinilai
ulang pada operasi berikutnya
Cedera duktus bilier dan pankreas dapat dilakukan drainase sederhana untuk
membentuk fistula terkontrol.
Kontaminasi empedu, isi pankreas, atau isi usus dari rongga perut lebih bahaya
daripada yang disebabkan oleh urin. cedera pada kandung kemih dapat diperbaiki
dengan jahitan terutama dan kemudian dikeringkan dengan kateter Foley.
Setelah semua cedera vaskular dan viskus telah dikendalikan, packing intra-
abdomen dilakukan dan dapat memberikan tamponade yang memadai tanpa
menghambat sirkulasi darah
Penutupan perut
Semua tindakan ini dilakukan dengan bijaksana dan bertujuan untuk memulihkan
fisiologi dengan mengorbankan rekonstruksi anatomi. DCR harus berlangsung di
seluruh tahap 0 dan tahap I dan merupakan bagian integral dari strategi DCS
Jika asam laktat gagal dihilangkan atau justru naik dilakukan Resusitasi cairan
volume tinggi dengan Ringer laktat hangat dilanjutkan maintenance250 cc /
jam. Target DO2 lebih besar dari 600 mL / menit / m2 dan konsumsi oksigen
indeks (VO2I) lebih besar dari 150 mL / menit / m2 dalam 12 jam pertama
pasien di ICU [29,30,32]. SVO2 68% hingga 72%. hemoglobin di atas 10-g /
dL
Dukungan inotropik seharusnya dipertimbangkan. Penambahan vasopressor
seharusnya dimulai dengan hati-hati dan hanya setelah volume yang adekuat
Ventilator
Teknik seperti gas inspirasi yang dihangatkan hingga 40 ° C. Pada Pasien
multitrauma, terutama mengenai thorak potensial berkembang menjadi cedera
paru akut dan ARDS. Menggunakan ARDSNet low tidal volume support
avoiding barotrauma.Faktor lain yg mempengaruhi dicurigai adalah volume
resusitasi besar-besaran, bisa mencapai lebih dari 2 L / jam selama resusitasi
awal ini. Berpotensi terjadi edema paru, abdominal kompartemen dan atau
berkembang menjadi intra-abdominal hipertensi sehingga akan mendorong intra
thorakal pressure. Tujuan dari strategi ventilasi adalah untuk menjaga
oksigenasi dan ventilasi tetapi juga untuk mencegah volutrauma.
Strategi ini adalah mengatur volume tidal awal 6 hingga 8 cc / kg dalam upaya
untuk menjaga peak inspiratory pressure (PIP) kurang dari 40 torr untuk
mempertahankan low plateau pressure. Fraksi oksigen (FiO2) awalnya
ditetapkan 100% dan diturunkan sesuai target saturasi oksigenasi lebih besar
dari atau sama dengan 93%. Ini sering membutuhkan PEEP. Awalnya
ditetapkan pada 5 cm H2O dan meningkat dalam 2 hingga 3 cm H2
Tentang kenaikan PEEP selanjutnya demi untuk mengurangi FiO2 itu kurang
dari 60%. Tingkat PEEP tinggi untuk menjaga oksigenasi. Namun akan
menghambat aliran balik vena dan efek preload, biasanya pada level 15 cm
H2O. I: E rasio dikurangi untuk membantu dalam oksigenasi, memungkinkan
hypercapnea pasif untuk mempertahankan pH > 7,2. Jika rasio I: E dibalik/
reserve dengan penambahan sedasi intravena, analgesik, dan paralitik adalah
upaya untuk mengontrol upaya ventilasi pasien.
P / F rasio kurang dari 250, dilakukan rotational therapy Pasien ditempatkan
pada tempat tidur rotokinetik dan diputar di kedua arah dalam sudut busur 40 °
dari posisi terlentang. Selain terapi rotokinetik, prone posisi digunakan untuk
meningkatkan mismatch ventilasi / perfusi. Posisi tengkurap sendiri merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan fraktur atau cedera tulang belakang tetapi
bisa digunakan pada pasien dengan open abdomen.
Dukungan fisiologis pada pasien post-op DCS sangat penting untuk bertahan
hidup, seperti Core rewarming : Cairan resusitasi hangat, selimut, udara hangat.
Fisiologi ACS.
Curah jantung dan aliran balik vena menurun. Penurunan aliran darah ke hati,
usus, dan ginjal dapat mengakibatkan anuria. Kedua hemidiafragma terdorong
ke atas, volume toraks berkurang dan terjadi peningkatan tekanan saluran napas
atas.Vena sentral, kapiler pulmonal, dan tekanan atrium kanan meningkat akibat
tekanan intraabdominal yang tinggi. PO2 menurun karena peningkatan tekanan
saluran napas dan kelainan ventilasi / perfusi.
Tahap 3: Operasi Terencana setelah kondisi optimal
dan koagulopati. Biasanya terjadi 24-48 jam setelah operasi awal. Namun,
pengaturan waktu dapat ditentukan oleh masalah klinis yang mendesak lainnya,
seperti ACS, iskemia tungkai, Dalam kasus packing duodenum, pankreas,
ginjal, kandung kemih, atau hati dengan kontaminasi akibat di bungkus usus
kotor, harus di ambil dan dibersihkan. (24)
References
1 (Barkin et al), Barkin, J. L., Wisner, K. L., Bromberger, J. T., Beach, S. R., Terry, M. A., &
Wisniewski, S. R. 1998
3. Chong CL, Ooi S. Commonly used scoring systems. In: Ooi S, Manning P, editors. Guide
to the essentials in emergency medicine. 2 Nd ed. Singapore: McGraw-Hill; 2015.
4. Craig S R et al., 2005
5. Giannouids P V et al., 2004) Predicting outcome after multiple trauma: which scoring
system? Chawda MN1, Hildebrand F, Pape HC, Giannoudis PV
6. Rockwood, 2006
7. Solomon,2001;Rockwood,2006
8. Waibel, B.H danRotondo, M.MF:Rev.Col.Bras. Cir. 2012, 39 (4):314.Schreiber, M.A.:
Crit. Clin. 2004, 20: 101- 2
9. Rotondo MF, Schwab CW, McGonigal MD, et al. “Damage control”: An approach for
improved survival in exsanguinating penetrating abdominal injury. J Trauma. 1993;35
10.https://www.researchgate.net/publication/7082209_Damage_Control_Surgery
The_Intensivist%27s_Role
11. Kashuk JL, Moore EE, Millikan JS, et al. Major abdominal vascular trauma: a unified
approach. J Trauma. 1982;22:672-679.
12. Burch JM, Denton JR, Noble RD. Physiologic rationale for abbreviated laparotomy. Surg
Clin North Am. 1977;77:779.
13. Cosgriff N, Moore EE, Sauaia A, et al. Predicting life-threatening coagulopathy in the
massively transfused trauma patient: hypothermia and acidoses revisited. J Trauma.
1997;42:857-862.
14. Krishna G, Sleigh JW, Rahman H. Physiological predictors of death in exsanguinating
trauma patients undergoing conventional trauma surgery. Aus N Z J Surg. 1998;68:826-829.
15. Rohrer MJ, Natale AM. Effect of hypothermia on the coagulation cascade. Crit Care
Med. 1992;20:1402-1405.
16. Toschlog EA, Dulabon GR, Rotondo MF. Shock. In: Pappas TN, Purcell GP, eds.
Unbound Surgery. Unbound Medicine, 2004. Available at: http://www.unboundsurgery.com.
17. Rotondo MF, Schwab CW, McGonigal MD, et al. “Damage control”: An approach for
improved survival in exsanguinating penetrating abdominal injury. J Trauma. 1993;35:375-
383
18. Jurkovich G, Greiser W, Luterman A, et al. Hypothermia in trauma victim: ominous
predictor of survival. J Trauma. 1987;27:1019-1024.
19. Abramson D, Scalea TM, Hitchcock R, et al. Lactate clearance and survival following
injury. J Trauma. 1993;35:584-589.
20. Cheatham ML. Intra-abdominal hypertension and the
abdominal compartment syndrome. New Horizons. 1999;7:96.
22 https://www.researchgate.net/publication/7082209_Damage_Control_Surgery--
The_Intensivist%27s_Role
24 https://www.researchgate.net/publication/308569803_Damage_Control_Surgery
Bb
Case Report
Primary Survey
A: Airway + C-Spine control
Jalan nafas bebas, suara nafas tambahan (snoring (-), gargling (-))
Cervical spine stabil
Tindakan Resusitasi : Mempertahankan jalan nafas tetap bebas
B : Breathing + Ventilation
Spontan respiras, RR 36x/m, Suara napas Ves/Ves, Rh -/-, Whz -/-, SpO2
90% (Udara bebas)
Gerakan dada simetris +/+, jejas (-)
Tindakan Resusitasi :
Beri O2 NRM 10 lpm SaO2 98-99%, RR : 20-28x/mnt
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi tetap adekuat, Observasi RR
dan SaO2 tiap 15 menit
C : Circulation + Bleeding
Perfusi Dingin Kering Pucat, CRT>2 detik TD : tidak terukur (monitor),
Nadi 168x/mnt (regular cepat,isi kurang, lemah)
Tindakan Resusitasi :
Pasang EKG monitor + pasang saturasi O2 + Tensi
Terp asang IV line dengan Surflo 18 G pada tangan sebelah kiri dan
pasang IV line baru tangan kanan dengan Surflo 18 G
Pastikan iv line lancer, Masuk cairan RL 500 ml dan Gelofusin 1500 ml
TD 106/55, nadi : 145x/mnt
Terpasang kateter urine inisial urine 50 mL
D : Disability : Alert
Tindakan Resusitasi :
Observasi kesadaran tiap 15 menit
E : Environment/Event
Trauma
Jejas pada abdomen kiri atas sampai ke tengah (tampak gambaran ban
sepeda motor)
Tampak femur kiri sudah terbebat dan terpasang spalk (immobilisasi)
Tindakan Resusitasi : Lakukan log roll untuk mencari jejas dan trauma di
tempat lain
History of illness
Pada tanggal 28/5/2018, pukul 18.00 WIB, pasien naik sepeda motor
dengan kecepatan 60 km/jam tanpa helm menabrak sepeda motor lain
dengan arah yang berlawanan, pasien mengeluh nyeri perut karena
terbentur stang sepeda motor, pasien ingat saat kejadian , pusing, tidak
muntah, tidak mual. Kemudian Pasien dibawa ke Rumah Sakit, pukul
20.00 WIB Pasien dibawa ke RS Ibnu Sina, sampai di IGD RS Ibnu Sina
pasien di terima dengan kondisi syok, Perfusi Dingin Kering Pucat, CRT
>2 detik TD : tidak terukur (monitor), Nadi 168x/mnt (regular cepat,isi
kurang, lemah) Pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, kemudian
dilakukan resusitasi koloid 500 ml + kristaloid 3500 ml + 400 ml WB,
Dokter melakukan KIE keluarga tentang kondisi Pasien saat itu, resiko
yang bisa terjadi, rencana rujuk bila kondisinya bisa transportable ke
RSDS. Malam harinya, setelah kondisi dianggap transportable dan setelah
keluarga setuju untuk di rujuk, Pasien berangkat dirujuk pada pukul
(00.30) 29/5/2018, dan pukul 02.00 WIB Pasien tiba di RSDS dengan
hemodinamik kembali tidak stabil, diterima di Triase dengan tensi tidak
terukur, nadi lemah 160x/mnt, Pasien langsung dibawa masuk ke Ruang
Resusitasi
Secondary Survey
B1 : Airway bebas, suara napas tambahan (-), obstruksi (-), Jejas di wajah (-),
Brill hematoma (-/-), Battle Sign (-/-), Ottorhea (-/-), Cervical stabil, Fraktur
maxilofacial (-)
B2 : TD = 106/55, N = 145x/menit (regular, isi cukup,kuat angkat)
Tak Tampak Jejas pada thorax
Pulmo : Simetris, Nasal flare (-), Retraksi (-), RR : 24x/mnt
Vesikular/Vesikular, Ronchi -/- Wheezing -/- SpO2 98-99%, dengan O2 NRM
10 lpm
Cor : S1 S2 Tunggal murmur(-), gallop(-)
B3 : GCS 456, Pupil Bulat Isokor 3mm/3mm dengan reflek cahaya (+/+), VAS
4-5
B4 : Terpasang kateter, produksi urin inisial 50 ml (warna kuning pekat) Perfusi
dingin kering merah
B5 : didapatkan Jejas (+) memanjang dari hipokondrium kiri ke umbilicus
(bentuk ban sepeda motor), Soefl (-), defans muscular (+), nyeri tekan (+),
Bising usus (+) menurun, NGT (+) produksi merah gelap
B6 : edema extremitas (-), deformitas femur S (terpasang bidai dan perban)
Ample didapatkan
- A : Makanan (-), Obat (-)
- M : (-)
- P : DM (disangkal), HT (disangkal)
- L : Terakhir makan dan minum jam 04.00 (28/5/18)
- E : Trauma (KLL motor vs motor)
> 200
Wbc 2,28 Cl 107 APTT Alb 3
(26,1)
CRP - HIV NR
Assessment :
- Syok hipovolemik
- Internal bleeding
- Closed fraktur femur S
Kondisi di OK IGD
Sistem Respirasi :
A : Bebas, B: Spontan, RR 22x/m, Simetris, Vesikular +/+, Rhonchi-/-
Wheezing -/- SpO2 97-98% dengan oksigen NRM 10 lpm
Sistem Sirkulasi :
Perfusi hangat kering merah, TD : 100/60 mmHg, Nadi : 110x/mnt (regular, isi
cukup, kuat angkat) , S1S2 tunggal, murmur -, gallop -
Sistem CNS : GCS 456, Pupil bulat isokor 3/3 mm, refleks cahaya +/+ suhu
33°C
Sistem Urogenital : BAK terpasang kateter, produksi urin oligouri
Sistem Digestif :
Abdomen distended (+), defans muscular (+), nyeri tekan (+), tampak jejas
diperut (+)
Sistem Muskuloskeletal :
didapatkan Edema -/-, defromitas femur S (terpasang bidai dan perban coklat)
Prosedur Anestesi:
Persiapan
Siap pasien, obat, alat, mesin anestesi dilakukan pengecekan alat, mesin anestesi
berfungsi dengan baik.
Siapkan Intra arteri line set/ ABP
Siap obat dan alat resusitasi, cek alat resusitasi berfungsi dengan baik
Siap suction menyala dan berfungsi dengan baik.
Siapkan selimut penghangat, AC ruangan OK di hangatkan, mesin penghangat
untujk transfusi darah. Pasang monitor : EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,
stetoskop prekordial, suhu.Pastikan iv line terpasang dan menetes dengan lancar.
Pasang lebih dari 1 akses intra vena, Evaluasi ulang hemodinamik pasien.
Indukdi di OK IRD
Pre-Oksigenasi 5 menit
Induksi :
- Ketamine 70 mg
- Rocuronium 50 mg
Terpasang ETT no 7.5 cuff + , simetris +/+, vesikuler +/+, Batas bibir 20 cm,
dextra.
Maintenance:
• O2 + air (fio2 40%)
• Ketamine pump
• Support Norepineprin pump 100 Nano
Durante op
Didapatkan :
• Ruptur gaster kurvatura mayor 2 buah (diameter 5 cm dan 8 cm)
• Ruptur lien grade 4 dengan bleeding aktif dari hilus
• Nekrosis omentum mayor
• Hematoma duodenum
• Hematoma retroperitoneal zona 2
• Hepar intak
• Diafragma intak
Dilakukan :
• Spleenectomy + Tandur lien
• Repair rupture gaster
• Cuci cavum abomen
• Evaluasi hollow organ dari ligamentum treitz – rectum intake
Sistem Sirkulasi :
Perfusi hangat, CRT < 2”, Nadi 127 x/Mnt, TD 105/56 mmHg, Cor: S1S2
tunggal, murmur (-), gallop (-)
Sistem CNS:
GCS 3x6, Pupil bulat isokor 3/3 mm, refleks cahaya +/+ Lateralisasi (-), suhu
37,1° C axila
Sistem Urogenital : BAK kateter, 100 ml pekat
Sistem Digestif Abdomen : post Laparatomi, Bu (+) menurun
Sistem Muskuloskeletal : Edema -/-, deformitas femur S
Assessment
• Post Laparatomi
Planning