Anda di halaman 1dari 53

Review Artikel

Pendekatan Damage Control Surgery pada Pasien Multitrauma

Oleh:

Agus Eko Susilo,dr

Pembimbing:

dr.Pesta Parulian M. SpAn

SMF/Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2018

Pendekatan Damage Control Surgery pada Pasien


Multitrauma
Bab I. Pendahuluan

I.1. Latar Belakang

Trauma saat ini merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan merupakan
salah satu penyebab utama dari kematian terutama pada usia remaja dan usia
dewasa muda. Pada tahun 1998, diperkirakan 5,8 juta orang meninggal dunia oleh
karena trauma. Di Amerika Serikat, diperkirakan 12.400 orang meninggal dunia
setiap bulannya oleh karena trauma. Disebutkan bahwa rerata umur pasien trauma
adalah antara umur 29-34 tahun dan disebutkan pula bahwa pria lebih banyak
yang mengalami trauma (60-80% dari kasus yang terjadi) daripada wanita (1)
Kematian akibat cedera diproyeksikan meningkat dari 5,1 juta menjadi 8,4 juta
(9,2% dari kematian secara keseluruhan) dan diestimasikan menempati peringkat
ketiga disability adjusted life years (dalys) pada tahun 2020. Sebagian besar
negara didunia mengalami epidemi trauma tetapi peningkatan jumlah yang tinggi
terjadi di negara yang sedang berkembang

Insiden terjadinya trauma meningkat secara signifikan di negara miskin dan


negara berkembang. Fenomena ini disebabkan oleh karena meningkatnya
mobilisasi di negara –negara tersebut, yang kemudian tergantung pada kendaraan
transportasi untuk melakukan kegiatan ekonomi. Peningkatan penggunaan
kendaraan bermotor di negara-negara tersebut sering tidak disertai dengan
peningkatan kuantitas serta kualitas infrastruktur penunjang, misalnya
ketersediaan jalan, regulasi transportasi yang baik, fasilitas keamanan suatu
kendaraan, serta sistem edukasi mengenai tata cara berlalu lintas yang baik dan
benar. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan tingginya angka kejadian
trauma di negara-negara miskin dan berkembang (1)
Banyak fasilitas kesehatan di perifer tidak mampu menangani banyak korban
sekaligus dari kecelakaan yang melibatkan bis penumpang atau bencana lainnya.
Luka bakar yang berat juga banyak dijumpai didaerah kota maupun diluarnya.

I.2. Multi trauma


Multi trauma didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ
yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara lebih khusus, multi
trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan yang
cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang
kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang
letaknya jauh dan sistem organ vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma
secara langsung (2)

Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam menetapkan


prioritas.
Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan
Survey Primer, seperti :
• Obstruksi jalan nafas
• Cedera dada dengan kesukaran bernafas
• Perdarahan berat eksternal dan internal
• Cedera abdomen
Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan dilakukan
berdasar prioritas (triage) Hal ini tergantung pada pengalaman penolong dan
fasilitas yang ada. Demikian halnya bila ditemukan multi trauma
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini
disebut survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit.
Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak
sistim organ yang cedera
I.3. Epidemiologi
Multiple trauma mempunyai konseskuensi yang serius terhadap pasien dan
apabila pasien terselamatkan maka akan disertai dengan disability yang cukup
serius dan akan menghambat pasien tersebut dalam beraktivitas sehari-hari di
rumah, tempat pekerjaan, dan masyarakat

Trauma adalah penyebab ketiga terbesar kematian dan kecacatan di seluruh


dunia, terutama usia dekade keempat di negara berkembang.Lebih dari 5 juta
orang meninggal akibat trauma pada tahun 2002, lebih dari 90% terjadi di negara
ber-kembang. Dari tahun 2000-2020, kematian akibat kecelakaan lalu lintas
diperkirakan meningkat 83% di negara berkembang.Akibat trauma dapat berupa
kecacatan fisik, psikologis, dan keuangan (3)

I.4. Patofisiologi Trauma

Dampak Sistemik dari Trauma (First Hit) Terjadinya respon inflamasi pasca
trauma merupakan bagian dari reaksi fisiologis terhadap suatu trauma. Derajat
dari inflamasi tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal (derajat trauma) serta
faktor internal (predisposisi genetik seseorang)(4) Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa stimulasi beberapa mediator inflamasi terjadi segera setelah
terjadinya trauma. Terdapat beberapa sitokin yang berperan penting dalam proses
inflamasi pasca trauma. Disebutkan juga bahwa terdapat hubungan antara derajat
suatu trauma dengan kadar inflammatory markers, contohnya adalah terjadi
peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 dalam plasma pasien dengan injury severity
score≥25. Sitokin yang Berperan dalam Inflamasi Pasca Trauma (5) Pengukuran
sitokin proinflamasi sangat beramanfaat dalam penggunaan klinis. dikatakan
bahwa IL-6 merupakan marker yang lebih dapat dipercaya (6). Selain terjadi
imunostimulasi yang bersifat selektif, pada tubuh pasien pasca trauma juga terjadi
imunosupresi. Setelah trauma, produksi immunoglobulin dan interferon
berkurang sehingga meningkatkan risiko pasien tersebut untuk terinfeksi yang
kemudian nantinya dapat berkembang menjadi sepsis. Selain itu, pada tubuh
pasien juga terjadi gangguan pada kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan
kandungan enzim lisosom.
Beberapa trauma tertentu disebutkan lebih sering meyebabkan infeksi Diantara
trauma ekstremitas, fraktur femur dikatakan berhubungan dengan meningkatnya
risiko untuk outcome yang buruk. Hal tersebut dikarenakan fraktur femur
berkaitan dengan kerusakan jaringan lunak serta perdarahan yang cukup
signifikan (7)
Dampak Sistemik dari Prosedur Pembedahan (Second Hit)Seorang pasien
multiple trauma yang awalnya dalam kondisi moderat kemudian akibat dari
pembedahan, kondisi pasien tersebut dapat memburuk. Yang termasuk second
hit, antara lain infeksi, transfusi darah, serta intervensi pembedahan. Dengan
adanya pemahaman tersebut, maka diciptakan suatu konsep damage control
surgery yang bertujuan untuk meminimalisir stress terhadap Pasien yang tidak
stabil dengan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pascatrauma. Second hit
merupakan resiko tambahan dari first hit dan bila kombinasi kedua hal tersebut
cukup parah maka akan mengganggu keseimbangan fisiologis pada tubuh pasien
serta akan meningkatkan risiko untuk terjadinya SEPSIS dan ARDS
I.5. Klasifikasi Kondisi Pasien Multiple Trauma

Setelah dilakukan assessment dan intervensi awal maka kondisi pasien sebaiknya
diklasifikasikan diantara empat kategori dengan tujuan untuk memandu langkah
medis berikutnya.
Keempat klasifiksasi tersebut adalah :
1. Stable
2. borderline
3. unstable
4. in extremis
Kategori ini berdasarkan atas derajat keparahan trauma, adanya cedera spesifik,
dan keadaan hemodinamik. Sebelum pasien dimasukkan dalam salah satu
kategori, terlebih dahulu harus dicapai end points of resuscitation. Yang termasuk
end points of resuscitation adalah hemodinamik yang stabil,saturasi oksigen yang
stabil, kadar laktat di bawah 2mmol/L, tidak ada gangguan koagulasi, temperatur
yang normal, urine output di atas 1 mL/kg/jam, dan tidak diperlukannya
dukungan inotropic (4)

1. Stable
Pasien stable bila pasien tidak memiliki cedera yang mengancam jiwa dengan
segera, berespon terhadap terapi awal, dan memiliki hemodinamik stabil tanpa
dukungan inotropik. Pada pasien juga tidak terdapat gangguan fisiologis, seperti
koagulopati, respiratory distress, atau ongoing occult hypoperfusion yang
bermanifestasi sebagai gangguan keseimbangan asam basa, serta pada pasien
tidak terdapat hipotermia. Pasien dalam kondisi stable memiliki physiologic
reserve untuk mampu bertahan menghadapi tindakan pembedahan yang panjang
(7)

2. borderline

Dikatakan borderline bila pasien telah distabilkan dan berespon terhadap


resusitasi awal tetapi memiliki beberapa manifestasi klinis atau cedera sebagai
berikut :
 ISS <40
 Hipotermia dengan temperatur <35° C
 Mean pulmonary arterial pressureawal >24 mm Hg atau
peningkatan > 6mmHg pada pulmonary artery pressure selama
dilakukannya intramedullary nailing atau tindakan operasi lainnya
 Multiple injuries (ISS >20) yang disertai dengan trauma thorak
(AIS >2)
 Multiple injuries yang disertai dengan cedera abdomen dan pelvis
yang parah serta mengalami syok hipovolemik pada awal datangnya
pasien tersebut (systolic BP <90 mm Hg)
 Adanya kontusio paru pada pemeriksaan radiologis
 Pasien dengan fraktur femur bilateral
 Pasien dengan cedera kepala sedang atau berat (AIS >3)

Faktor-faktor di atas berkaitan dengan outcome yang buruk dan berisiko


menyebabkan kondisi pasien memburuk. Pada pasien tersebut harus tetap
dilakukan pengawasan dan dapat pula digunakan invasive monitoring (7)

3. Unstable

Pasien dikatakan unstable bila kondisi hemodinamik pasien masih tidak stabil
walaupun telah dilakukan resusitasi awal. Pada pasien tersebut berisiko tinggi
untuk mengalami perburukan secara cepat, yang kemudian diikuti dengan
multiple organ failure dan kematian. Pada kategori ini maka penatalaksanaan
menggunakan damage control approach, dimana pendekatan tersebut
menekankan rapid life saving surgery hanya bila diperlukan secara absolut serta
diikuti dengan mentransfer pasien ke Intensive Care Unit / ICU untuk stabilisasi
dan monitoring lebih lanjut. Disarankan untuk dilakukan temporay stabilization
dari fraktur dengan menggunakan external fixation dan juga dilakukan
hemorrhage control.
Tindakan pembedahan yang kompleks sebaiknya ditunda hingga tercapainya
kondisi pasien yang stabil serta respon inflamasi telah berkurang. Hal tersebut
bertujuan untuk mengurangi dampak second hitdari suatu tindakan pembedahan
(8)

4. In Extremis

Pasien yang termasuk kategori in extremis adalah pasien yang akan meninggal
akibat cedera yang terlalu parah dan sering didapatkan adanya ongoing
uncontrolled blood loss. Pasien tersebut tetap severely unstable walaupun telah
dilakukan usaha resusitasi yang agresif.
Pada pasien tersebut juga ditemukan triad of death, yaitu hipotermia, asidosis,
dan koagulopati. Sebaiknya tetap dilakukan damage control approach yang
bertujuan untuk menyelamatkan jiwa kemudian setelah tindakan tersebut pasien
ditransfer ke ICU
untuk invasive monitoring dan advanced hematological, pulmonary, dan
cardiocvascular support. Cedera orthopaedi dapat distabilkan dengan cepat
dengan menggunakan external fixation Tindakan pembedahan yang bersifat
rekonstruktif sebaiknya ditunda dan dapat dikerjakan bila nyawa pasien
terselamatkan (8)
Algoritma penanganan pasien multiple trauma
I.6. Prioritas dan waktu Pembedahan pada Pasien Multiple Trauma

Pada pasien multiple trauma, keputusan untuk menentukan cedera yang akan
ditangani terlebih dahulu dapat menjadi sulit, terutama bila cedera tersebut
berbahaya dan dapat menyebabkan gangguan hemodinamik. Ketika cedera yang
berbeda memerlukan tindakan spesialisasi yang berbeda maka dapat
menimbulkan perbedaan pendapat mengenai prioritas tindakan yang akan
dilakukan. Waktu untuk pembedahan harus mempertimbangkan kondisi pasien
serta respon pasien terhadap resusitasi awal (4)
I.7. Penatalaksanaan pada Pasien Multi Trauma

Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah untuk
membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk
memastikan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal
tersebut dapat dicapai dengan cara konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan
volume replacement (8) Untuk penanganan awal digunakan konsep damage
control, yaitu kontrol terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta
penutupan luka atau rongga abdomen. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi
fisiologis pasien di ICU, yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila
kondisi pasien memungkinkan (4)

Bab II. Damage control surgery

II.1. Definisi
Adalah kontrol terhadap perdarahan dan kontaminasi, irigasi, packing, serta
penutupan rongga abdomen sementara. Selanjutnya dilakukan stabilisasi fungsi
fisiologis pasien di ICU, yang kemudian diikuti dengan pembedahan definitif bila
kondisi pasien memungkinkan. (4) Strategi bedah untuk mengatasi trias of death,
yaitu, asidosis, hipotermia, dan koagulopati, hal ini sering terjadi pada pasien
yang luka parah. Pendekatan Damage Control Surgery mengurangi angka
kematian hingga 50%

Konsepnya berasal dari Angkatan Laut AS (awal 1900-an) dimana personel yang
sakit diterapi sementara untuk bisa bertahan dan cukup stabil untuk mencapai
pelabuhan dan dilakukan perbaikan definitif
II.2.Sejarah

 Kontrol perdarahan dan laparotomi dini telah dilakukan di awal abad 20.
 Tahun 1908: Pringle melakukan Kompresi luka Liver dengan pack dan
kompresi untuk menghentikan perdarahan dari hati, Halsted, dan
Schroeder. Meskipun dengan packing, perdarahan ulang masih terjadi.
Namun, cara ini tetap menjadi andalan perawatan sampai akhir Perang
Dunia II.
 Dilanjutkan oleh Halsted dengan menempatkan lembaran karet di antara
hati dan membungkusnya, untuk melindungi parenkim hati
 Rhage, awal 1970-an, mengenalkan perihepatic pack di beberapa RS dan
keberhasilan tercatat pada sekelompok pasien
 Tahun 1970-1980an : Lucas dan Ledgerwood, Feliciano melakukan
perihepatic-packing pada cedera hati
 Tahun 1981 Feliciano dkk melaporkan pada 10 pasien dengan perdarahan
exsanguinating hepatic dengan tingkat kelangsungan hidup 90%, dan ahli
bedahpun mulai mempertimbangkan perihepatic packing sebagai teknik
yang layak
 Tahun 1983: Harlan Stone Pertama menggunakan konsep laparotomi yang
dipersingkat.(9)
 Pada tahun 1983, Stone et al .menyarankan bahwa gangguan koagulopati
berkontribusi terhadap hasil yang buruk pada pasien Mereka mengusulkan
sebuah prosedur yang cepat, memperbaiki gangguan koagulopati, dan
melakukan operasi definitif
 Pada 1990-an, presentasi pasien trauma berubah. Ada lebih banyak luka
tembak yang ditemukan, karena tren yang mengkhawatirkan ini, maka ada
kelompok trauma di University of Pennsylvania mulai melakukan konsep
Damage control surgery pada korban trauma penetrasi perut. Konsep ini
adalah melakukan prosedur operasi yang cepat untuk kontrol perdarahan,
dilanjutkan ICU resuscitation, dan kembali ke kamar operasi untuk
perawatan definitif
 Pada tahun 1997, Rotondo dan Rotondo dan Zonies melaporkan tinjauan
kumulatif 20 tahunan tentang literatur angka kematian dan morbiditas
menggunakan prinsip-prinsip damage control surgery untuk cedera hati.
Dalam ulasan mereka dari 495 pasien, mereka menemukan mortal-tingkatnya
44% dan tingkat morbiditas 39%.
 Kemudian tinjauan pustaka diperluas untuk mencakup selain trauma hati,
tingkat kematian meningkat menjadi 60% dan tingkat morbiditas meningkat
menjadi 43%. Ketika kedua ulasan digabungkan, tingkat kematian 52% dan
tingkat morbiditas menjadi 40%. Meskipun komplikasi dan angka kematian
tinggi, prinsip damage control surgery terus berlanjut dan diterima. Kemudian
muncul konsep baru yaitu Damage control pada korban trauma penetrasi perut
.Konsep-konsep ini adalah prosedur yang cepat untuk kontrol perdarahan,
dilanjutkan optimalisasi di ICU dan kembali dilakukan operasi untuk
perawatan definitif [10]
 DCR dikembangkan dari pengalaman militer dalam pengelolaan perdarahan
selama konflik di Afghanistan dan Irak. Pada tahun 2007, Holcomb dan
rekannya menggambarkan DCR sebagai 'strategi pengobatan dini proaktif
dalam menangani triad of death. Hodgetts dan koleganya memilih definisi
yang lebih luas, yang memasukkan manajemen pra-rumah sakit dan kontrol
perdarahan dalam pendarahan yang hebat. Mereka mendefinisikan DCR
sebagai: 'pendekatan sistematis untuk trauma besar yang menggabungkan
paradigma ABC dengan serangkaian teknik klinis mulai dari titik cedera
hingga pengobatan definitif untuk meminimalkan kehilangan darah,
memaksimalkan oksigenasi jaringan, dan mengoptimalkan hasil'. (11)
II.3. Patofisiologi

Pemahaman yang tepat tentang patofisiologi pasien dengan pendarahan ekstrem


adalah fondasi di mana prinsip Damage Control Surgery (DCS) dikenalkan.(14)
Istilah " bloody vicious cycle" yang mengacu pada kondisi fisiologis pasien dengan
perdarahan hebat, diikuti oleh adanya triad yang mematikan dimana terjadi
hipotermia, koagulopati,dan asidosis metabolik (12)

Hipotermia
Mayoritas pasien trauma utama adalah hipotermia saat tiba di gawat darurat
karena kondisi lingkungan di tempat kejadian. Perlindungan yang tidak
memadai, pemberian cairan intravena, dan kehilangan darah yang berkelanjutan
akan memperburuk keadaan hipotermik. Haemorrhagic shock menyebabkan
penurunan perfusi dan oksigenasi sel dan produksi panas yang tidak adekuat.
Hipotermia memiliki efek sistemik yang dramatis pada fungsi tubuh tetapi yang
paling penting dalam konteks ini memperburuk koagulopati dan mengganggu
mekanisme homeostasis darah.

Hipotermia menyebabkan disritmia jantung; mengurangi curah jantung,


menggeser kurva saturasi oksigenasi hemglobin ke kiri, sehingga mencegah
pemuatan oksigen ke sel; dan mempengaruhi clotting cascade. (13)
Kehilangan panas yang terjadi selama laparotomi diatasi dengan pemanasan
cairan intravena, gas anestesi hangat, dan selimut konveksi udara panas, perkiraan
kehilangan panas selama prosedur konservatif diperkirakan 4,6 ° C per jam.
Begitu juga mempersingkat waktu durante operasi laparotomi, akan membatasi
kehilangan panas, sehingga memungkinkan terjadinya clotting cascade.
Jurkovich et al melaporkan bahwa mortality meningkat dari 40% menjadi 100%
ketika suhu core pasien menurun dari 34 ° C menjadi kurang dari 32 ° C.
Hipotermia diduga mempengaruhi clotting cascade dengan membatasi
temperatur-sensytes, enzim serine esterase mengaktifkan disfungsi trombosit,
kelainan endotel, dan perubahan dalam sistem fibrinolitik [14]. Kegagalan
metabolik juga akan mengakibatkan kondisi hipotermi [15]
Koagulopati juga dipengaruhi oleh kejadian hipotermi. Rohrer dan Natale
menemukan bahwa uji koagulasi standar dikalibrasi pada suhu 37 ° C tidak secara
akurat mencerminkan pembekuan yang terjadi pada pasien hipotermia. Dengan
penurunan suhu, baik waktu prothrombin dan waktu tromboplastin secara signifikan
meningkat [17].
Disfungsi trombosit, pada percobaan pada hewan dengan kondisi perdarahan
hebat dan hipotermi, terjadi karena penurunan plasma thromboxane levels yang
disebabkan oleh perubahan fungsi dari situs reseptor GIIIb-Ila. Selanjutnya, efek
dilusi yang diketahui pada faktor trombosit V dan VIII ditambah dengan efek dari
hipotermia akibat clotting cascade disfungsional
Rewarming
Menghentikan operasi sejenak dan menyediakan tempon hangat, menutup
dinding perut adalah langkah pertama dalam proses rewarming. Hal ini akan
membantu proses resusitasi dengan memungkinkan faktor pembekuan bekerja,
dengan demikian akan menghasilkan kontrol perdarahan dan pembersihan
asidosis laktat. Proses rewarming harus dilanjutkan di ICU. ICU harus
dipanaskan hingga 85 ° F ATAU SETARA DENGAN 30 C. harus ada
pemberitahuan ke ICU sebelum Pasien dating, Lepaskan linen basah dan
dikeringkan, kain hangat digunakan pada kepala pasien, pemanas udara di
nyalakan, selimut penghangat harus menutupi pasien dan dihidupkan pada suhu
40 ° C. Semua jalur transfusi harus memiliki penghangat [4,9,29 Pasien harus
memiliki suhu hingga 37 ° C dalam 4 jam kedatangan di ICU. Jika suhu inti pasien
tidak merespon dan tetap rendah dari 35 ° C, pleura lavage dengan saline hangat
melalui tiple chest tubes harus dipertimbangkan (18)

Pemanasan arteriovenosa bisa digunakan seperti perangkat Rapid Fluid


Warmer, perangkat penghangat digunakan pada saat transfer dari kamar operasi
ke ICU. Suhu target harus ditetapkan 37 ° C

Asidosis
Asidosis adalah hasil dari hipoperfusi dan akibat hutang oksigen ke jaringan
sehingga terjadi pergeseran dari metabolisme aerobik ke anaerobik. Pada tingkat
selular terjadi asidosis laktik, hipoksia selular yang terjadi pada lingkungan
oksigen yang relatif kaya akibat shunting oksigen pada hasil tingkat sel akibat
oksigen delivery tidak cukup untuk mempertahankan metabolisme aerobik
Penggunaan laktat sebagai penanda keberhasilan resusitasi dipergunakan secara
luas.
Abramson dkk. [21] menunjukkan bahwa jika pasien trauma mampu
membersihkan laktat dalam 24 jam, diperkirakan akan survive100%. Begitu juga,
jika laktat tidak dibersihkan dalam waktu 24 jam, hanya 14% survive.

Beberapa penelitian telah mendokumentasikan nilai laktat darah sebagai indeks


oksigen untuk mengetahui morbiditas, dan mortalitas pada syok hemoragik (19)

Koreksi Asidosis

Asidosis pasien biasanya terkoreksi pada saat dilakukan resusitasi secara adekuat.
Hutang oksigen dilunasi, dan pasien kembali dari metabolisme anaerobik hingga
aerobik. Kami jarang menggunakan natrium bikarbonat selama resusitasi kecuali
pH kurang dari 7,2, dan jika agen kardiotonik digunakan, karena agen itu berkerja
lebih baik dalam lingkungan yang tidak terlalu asam.
Syok Hemoragik yang tidak teratasi akan menyebabkan perfusi seluler tidak
adekuat, metabolisme anaerobik dan produksi asam laktat. Hal ini menyebabkan
asidosis metabolik yang makin memberat dan mengganggu mekanisme
pembekuan darah dan meningkatkan koagulopati dan kehilangan darah.

Koreksi Koagulopati

Penyebabnya adalah Multifactorial & melibatkan semua komponen sistem


koagulasi. (Hess JR, BrohiK et.al). Enam faktor utama saling mempengaruhi
adalah trauma Jaringan , Syok, Hipotermia, Haemodilusi, Acidosis & Inflamasi
bagian ke 2 DCS mungkin memerlukan waktu 24 hingga 48 jam untuk
mengembalikan fisiologi "normal". Antisipasi kebutuhan transfusi massif. Burch
et al. melaporkan bahwa selama 24 pertama jam, mereka rata-rata 9,8 unit
PRBCs, 8,8 unit plasma beku segar (FFP), dan 10,7 unit trombosit per pasien.
Kelompok Morris [24] melaporkan hal yg sama rata-rata 9,5unit PRBC, 8 unit
FFP, dan 6,2 unit trombosit selama 24 jam pertama resusitasi. Angka kematian
untuk 2 kelompok ini adalah 70% dan Masing-masing 66%. Aturan 10 unit
(masing-masing 10 unit PRBC, FFP, dan trombosit) selama 24 jam pertama.
Target, produk darah diberikan sampai waktu protrombin kurang dari 15 detik
dan trombosit lebih dari 100.000 / mm3 (20)

Kriopresipitat diberikan ketika tingkat fibrinogen kurang dari 100 mg / dL dan


harus diberikan setiap 4 jam sampai tingkat fibrinogen lebih besar dari 100 mg /
dL[29]. Penggunaan faktor rekombinan VIIa (rFVIIa), dan pro agen hemostatik
(21) untuk perbaikan koagulopati yang berhubungan dengan perdarahan hebat.
Studi menunjukkan bahwa rFVIIa aman dengan insiden konplikasi yang rendah
namun tetap di waspadai komplikasi perdarahan nonsurgerys yang mengancam
jiwa
Hipotermia, asidosis, dan konsekuensi transfusi darah masif semuanya mengarah
pada kejadian koagulopati. Bahkan jika kontrol perdarahan mekanis dapat
dicapai, pasien dapat terus mengeluarkan darah. Hal ini menyebabkan syok
hemoragik yang memburuk dan memperburuk hipotermia dan asidosis,
memperpanjang bloody vicious cycle

Beberapa penelitian telah berupaya untuk menempatkan level ambang pada


parameter ini. Beberapa menyatakan bahwa konversi ke prosedur DCS harus
dilakukan jika pH di bawah 7,2, suhu inti di bawah 32C atau pasien telah
menerima lebih dari satu transfusi volume darah. Namun, walau begitu jika level
ini telah ada, artinya juga keadaan ini sudah terlambat. (22)
The Lethal Triad

II.4. Filosofi

Damage control surgery adalah mengembalikan ke kondisi fisiologi normal baru


kemudian anatomi normal. Prinsipnya adalah membuat pasien hidup dengan cara
menghindari hipotermia, mencapai kondisi hemostasis. melakukan reseksi usus
awal tanpa anastamosis. kontrol kontaminasi dan merekonstruksi pada operasi
kedua atau selanjutnya setelah pasien stabil dan dapat mentoleransi operasi yang
lama.
Kapan Pasien dilakukan prosedur Damage control surgery, jika :

 Skor Keparahan Cedera> 25, Cedera yang mengancam jiwa.


 SBP <70 mmHg.
 Asidosis (pH <7,25).
 Hipotermia (suhu <34 ° C)
 Syok
 Gabungan viskus berongga dan cedera organ vaskular atau vaskularisasi.
 Coagulopathy (INR> 1.4). (23)

Ada empat topik utama yang penting dalam pemilihan pasien:

I. Fisiologis yang kritis

a. Hipotermia (<35 ° C)
b. Asidosis (pH <7,2 atau defisit basis> 8)
c. Koagulopati
i. Perdarahan non mekanik
ii. PT
iii. Trombositopenia
iv. Hipofibrinemia
v. Kebutuhan akan transfusi masif (kebutuhan lebih dari > 10 unit darah
merah atau kebutuhan penggantian cairan tubuh)
d. Lama waktu untuk operasi definitif (> 90 menit)
e. Ketidakstabilan hemodinamik atau hipoperfusi yang sudah ada sebelumnya

II. Cedera kompleks yang terkait dengan hilangnya cadangan fisiologis


a. Trauma tumpul energi tinggi
b. Banyak luka tembus
c. Cedera visceral dikombinasikan dengan trauma vaskular mayor
d. Cedera melewati rongga tubuh (trauma kepala tertutup, besar cedera
vaskular, dan trauma panggul)

III. Kondisi lain pada pasien trauma


a. Cedera yang lebih baik ditangani dengan cara non-bedah seperti hati atau
Cedera panggul dikoreksi dengan embolisasi angiografi
b. Variasi dalam cadangan fisiologis (lansia)

(24)
II.5. Apa yang dilakukan pada Damage control surgery

PART 0 :

Early recognition Hemorrhage control

The Damage Control Sequence

Apa yang dilakukan pada Damage control surgery

 Bagian 0 : Prehospital dan Resusitasi Dini


 Bagian I : Operasi utama dan Kontrol perdarahan
 Bagian II : Perawatan kritis di ICU
 Bagian III : Reoperasi terencana/ definitiv

Bagian 0 : Prehospital dan Resusitasi Dini

PART 0 :

Early recognition Hemorrhage control

Adalah fase paling awal dari proses pengendalian kerusakan,terjadi pada pra-
rumah sakit dan berlanjut ke unit gawat darurat, mengenali pola cedera untuk
mengidentifikasi pasien yang mungkin bisa dilakukan damage control Resusitasi
(DCR) dan segera transfer ke ruang Operasi

Lakukan pemasangan infus akses iv - besar, Induksi dan intubasi dengan tehnik
RSI (jika diperlukan), drainase dada jika diindikasikan, pencegahan hipotermia,
Hentikan pendarahan menggunakan torniket atau tekanan langsung. Jika pasien
mengalami perdarahan yang tidak terkompresi, praktekkan hipotensi permisif.
Transfer cepat ke fasilitas perawatan medis. Ukur gas darah. lakukan DCR, dan
transportasi ke ruang operasi. Antibiotik intravena spektrum luas dan profilaksis
tetanus harus diberikan. Siagakan kamar operasi beserta tim dan Alat termasuk
penghangat. Penekanan Tahap 0 adalah screening pasien yang di dapatkan
berisiko berkembang Trias of death dan berindikasi bisa dilakukan Damage
control surgery.

Damage Control Resusitasi (DCR)

Efek buruk dari resusitasi cairan berlebihan pada hemostasis telah diakui selama
bertahun-tahun dan penundaan resusitasi cairan atau permisif hipotensi telah lama
diperbolehkan / advokasi. Perkembangan yang lebih baru adalah pengenalan
koagulopati endogen. Pada sebagian besar pasien trauma berat saat tiba di rumah
sakit mengalami 'koagulopati traumatik akut' akibat terluka parah dan biasanya
menghasilkan prognosis yang buruk. Resusitasi modern adalah pergantian
volume akibat perdarahan hebat, melakukan hipotensi permisif dan pengobatan
awal koagulopati diantisipasi dengan produk darah

Sebuah studi observasional pasien yang menjalani DCS laparotomi menunjukkan


hubungan dengan peningkatan kelangsungan hidup untuk pasien yang menjalani
DCR. Hal ini mungkin menghasilkan fisiologi perioperatif yang lebih baik dan
mengurangi kebutuhan untuk DCS.

DCR :

• Resusitasi ABC

• Hipotensi permisif

• Batasan kristaloid dengan penggunaan awal darah dan produk darah

• Penggunaan awal TXA (Tranexamic Acid)

Penggunaan awal darah dan produk darah

Melakukan transfusi darah lebih awal ,Targetkan koagulopati dengan Rasio yang
lebih tinggi dari fresh frozen plasma (FFP) : PRBC akan memberikan manfaat
pada kelangsungan hidup pada pasien trauma.

Rasio optimal darah, FFP, trombosit, dan produk lain PROPPR (pragmatis, acak
optimal trombosit dan rasio plasma)

Protokol transfusi massive

Pemberian produk darah telah terbukti mengurangi mortalitas dan morbiditas


pada pasien trauma mayor yang membutuhkan transfusi masif. Untuk itu perlu
prasarana Bank darah yang bisa menydiakan darah dalam jumlah besar, mampu
memberikan pelayanan un-cross match dan cross-match,. Bisa menyediakan
fasilitas penyimpanan / GSH dan ketersediaan darah di samping bed pasien
/ditangan

Protokol transfusi massive saat ini digunakan untuk pasien trauma dewasa di
Queen's Medical Centre, Nottingham, Inggris.

Paket 1: 4 unit PRBC.

Paket 2 dan semua paket berikutnya: 6 unit PRBC; 4 unit FFP; 1 kolf platelet ; 2
kolf cryoprecipitate.

Imaging

Untuk mempercepat proses diagnostik trauma tembus pada pasien yang tidak
stabil, diperlukan minimal sinar-X diagnostik. Foto toraks setelah intubasi untuk
mengkonfirmasi penempatan ETT dan mengidentifikasi haemo-, pneumotoraks,
atau keduanya yang mungkin membahayakan pasien selama transportasi ke
kamar operasi. Foto polos berguna untuk mengkonfirmasi ada tidaknya benda
asing. Stabilitas tulang belakang, foto pelvis untuk melihat fraktur dan stabilisasi
pelvis setelah dilakukan fiksasi pelvis. CT scan trauma dilakukan setelah pasien
trauma dapat distabilkan di Ruang resusitasi. Bagamanapun keterlambatan ke
ruang operasi akibat proses diagnostik harus dihindari

Tahap 1: Damage control surgery di Kamar operasi


Persiapan

Sebelum pasien tiba di OR, staf OR harus memiliki ruang yang siap untuk
kedatangan pasien ekstrem. Peralatan resusitasi harus tersedia, ruang operasi
harus disiapkan untuk pasien trauma, persiapan alat seperti set laparotomi
standar, vaskular, dan instrumen (termasuk gergaji sternal). Persediaan pack
laparotomi harus tersedia, troli yang dilengkapi dengan peralatan DCS harus
tersedia di dalam atau langsung berdekatan dengan kamar operasi Posisi lead
elektrokardiogram dan peralatan untuk observasi tidak boleh menghalangi
paparan bedah. Pembedahan tidak boleh ditunda karena pemasangan arteri line
atau cvc. Ruangan harus dipanaskan hingga 85 ° F, di dapatkan informasi akan
adanya Pasien yang tidak stabil sedang dalam perjalanan ke OR. Selain itu, alat
penghangat (Arctic Sun, Medivance, Louisville,CO) harus dipanaskan terlebih
dahulu dan siap. Perdarahan durante operasi segera kontrol dengan cara packing,
ligasi, penjepit, atau tamponade balon kateter. Ketika perdarahan sudah dapat
dikendalikan, perhatikan terjadinya kontaminasi. Lakukan kontrol dengan cepat,
pemeriksaan seluruh usus, tutup jahitan / penjepitan perfora- visceral Tidak ada
upaya rekonstruksi yang dilakukan selama fase ini ,tutup dinding perut
sementara, dengan teknik seperti menggunakan beberapa klip handuk,
menggunakan benang nilon, untuk mengurangi infeksi, gunakan vakum packing.
Manfaatnya untuk mempertahankan fasia dan mempercepat penutupan kulit
sehingga memungkinkan untuk prosedur selanjutnya seperti radiologi
diagnostic,angiografi / radiografi harus dilakukan tanpa klem yg menghalangi
foto/ fluoroskopi. Risiko teknik ini adalah kompartemen perut tidak bisa bebas
sehingga berpotensi terjadi intra-abdominal hipertensi dan berkembang menjadi
kompartemen abdominal Jika kulit tidak bisa ditutup, biasanya dilakukan dengan
vakum jacket.

Prinsip pada Operasi Primer


• Penerapan teknik sederhana pada laparotomi untuk mengontrol perdarahan
dan kontaminasi secara cepat
• Tunda rekonstruksi definitif
• Lakukan packing Intraabdominal pada permukaan organ yang terluka
• Cedera vaskular diligasi

Damage Control Surgery pada Trauma Leher, adalah eksplorasi segera


• Perdarahan yang tidak terkendali
• Hematoma yang berkembang cepat
• Perdarahan pulsatil
• Sensasi teraba atau bruit yang terdengar
• Kompromi neurologis fokal
• Pulsasi yang hilang atau menurun di leher atau lengan

Damage Control Surgery pada Trauma Dada

Tujuan torakotomi di sini adalah untuk menghentikan pendarahan dan


mengembalikan fungsi fisiologi agar bisa bertahan hidup; misalkan seperti
kontrol kebocoran udara dengan menggunakan stapler besar lebih disukai
daripada reseksi paru. Lesi pada pembuluh darah besar dapat diatasi dengan
intraluminal shunt atau Fogarty balon untuk mencapai kontrol distal di daerah
yang tidak dapat di jangkau

Tujuan dari torakotomi adalah untuk:


(1) Melihat ventilasi dengan mengamati pengembangan paru kiri
(2) Membuka perikardium untuk evakuasi tamponade perikardial
(3) Menerapkan tekanan oklusif dan klem aorta descending untuk
mengembalikan perfusi sentral ke otak dan jantung
(4) Memberikan kompresi jantung langsung untuk mensirkulasikan darah
(5) mengontrol perdarahan yang terlihat, Jika tekanan digital atau oklusi
tidak cukup untuk mengendalikan perdarahan ventrikel, bisa terjadi
perdarahan sementara dengan kateter Foley atau balon tamponade
Fogarty, perbaikan jahitan, atau staple

Damage Control Surgery pada Trauma Paru danTracheobronchial


Prinsip untuk mengontrol perdarahan atau kebocoran udara dapat meliputi:
(1) reseksi paru nonanatomik
(2) traktomi pulmonal
(3) pneumonektomi.
Damage Control Surgery pada Trauma Perut

seperti melakukan packing untuk kontrol perdarahan pada hati, packing limpa,
ligasi organ berongga pada luka berdarah, kontrol kontaminasi,
Laparotomi dilakukan pada Pasien dengan cedera Blunt atau Menembus
Trauma penetrasi dengan hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan segera
operasi. Indikasi laparotomi adalah :
• Hipovolemi berkelanjutan yang tidak respon terhadap resusitasi cairan.
• Ruptur Diafragma, berdasarkan CXR.
• Pneumoperitoneum
• Tanda yang jelas dari peritonitis
• DPL dengan hasil positif
• Cedera tembus dengan isi perut terburai keluar

Damage Control Surgery pada Trauma Tulang Belakang adalah melakukan


eksplorasi luka, mentikan pendarahan, mengontrol kontaminasi seperti
kemungkinan adanya luka dari esofagus, melakukan packing, menutup luka
sementara

Antisipasi dini dan kewaspadaan bila :

 Pasien dengan luka sangat parah dengan perdarahan terus-menerus dari


cedera pembuluh besar perut.
 Cedera pada aorta suprarenal, arteriorrhaphy lateral harus
dipertimbangkan, penjepitan aorta pada periode ini dapat membuat iskemia
viseral, dan eksaserbasi anomali fisiologis.
 Hematoma retrohepatik yang dikontrol dengan packing tidak boleh
dieksplorasi
 Cedera vena cava inferior, dapat diligasi. Namun, ligasi vena cava inferior
suprarenal biasanya berhubungan dengan gagal ginjal.
 Perdarahan dari dalam parenkim hepatik sering dapat diawali dengan
kompresi manual.

Damage Control Surgery pada trauma pankreas dan usus

Ditangani dengan kontrol perdarahan sederhana, debridemen jaringan, dan


drainase. Cedera pankreas distal arteri mesenterika superior dapat dikelola
dengan pancreatectomy distal dan drainase tertutup. (22)

Kontrol perdarahan

Eksplorasi untuk menentukan tingkat cedera

kontrol perdarahan : ambil cloting, packing, bila ada lakukan Suction salvage sel
untuk memaksimalkan pengambilan dan pengembalian darah autologus. Lakukan
ligasi, shunting/ menjepit, pasang balon kateter untuk tamponade cedera vaskular,
Jika pasien tetap sangat hipotensi setelah packing, cari sumber perdarahan arteri
dan kontrol aliran aorta. Oklusi manual aorta pada hiatus diaphragmatic dapat
dilakukan dengan cepat untuk mengontrol exsanguination perut dan memberi
waktu kepada tim anestesi untuk mengejar penggantian volume; manuver ini juga
telah terbukti meningkatkan perfusi serebral dan miokardial. Untuk cedera
vaskular mayor, pilihan pengendalian kerusakan adalah ligasi pembuluh darah
atau penempatan shunt intravaskular sementara di arteri. Jika sirkulasi stabil,
fasciotomy bisa dilkukan setelah perdarahan dapat dikendalikan.

Cedera limpa, ginjal, dan pankreas ditangani dengan reseksi total atau parsial.
Pendarahan dari laserasi hati setelah trauma tumpul dapat dilakukan pack tampon
dan dikontrol dengan manuver Pringle (oklusi infiltrasi vena hepatik dengan
kompresi porta hepatis ditepi lateral ligamen gastrohepatik).
Strategi lain dapat digunakan agen hemostatik topikal (seperti kolagen
mikrofibril, Tachosil ™, atau lem fibrin), angio-embolisasi dapat menjadi teknik
yang berguna untuk pengobatan pembuluh pendarahan jauh di dalam parenkim
hati. Bahkan ketika hemostasis tampaknya telah tercapai, beberapa pusat akan
secara rutin melanjutkan ke angiografi setelah laparotomi awal pada cedera hati
yang kompleks dan sering menemukan perdarahan sebelumnya yang tidak
terduga atau fistula arteri vena.

Temporary packing, bisa dilakukan untuk memberikan tamponade pada


perdarahan hati, panggul, dan retroperitoneal

Temporary abdominal closure, beberapa teknik yang digunakan seperti Bogotá


bag — kantong IV steril (3 liter) yang dijahit pada kulit. Vacuum pack - Wound
VAC

Kontrol kontaminasi

Prioritas kedua adalah untuk mengontrol kontaminasi tumpahan isi usus atau urin
dari cedera viskus berongga. Perforasi usus diperbaiki dengan menggunakan satu
lapis jahitan/ stapler linier. tingkat cedera dinding usus sering tidak jelas pada
operasi awal; ini dapat menyebabkan iskemia usus yang tertunda dan perforasi,
mengancam anastomosis dan stoma. Oleh karena itu, viabilitas usus selalu dinilai
ulang pada operasi berikutnya

Cedera duktus bilier dan pankreas dapat dilakukan drainase sederhana untuk
membentuk fistula terkontrol.

Kontaminasi empedu, isi pankreas, atau isi usus dari rongga perut lebih bahaya
daripada yang disebabkan oleh urin. cedera pada kandung kemih dapat diperbaiki
dengan jahitan terutama dan kemudian dikeringkan dengan kateter Foley.
Setelah semua cedera vaskular dan viskus telah dikendalikan, packing intra-
abdomen dilakukan dan dapat memberikan tamponade yang memadai tanpa
menghambat sirkulasi darah

Penutupan perut

Penutupan perut adalah langkah terakhir sebelum dipindahkan ke ICU. penutupan


fasia tidak direkomendasikan pada laparotomi awal. Cedera reperfusi dan
kebocoran kapiler yang sedang berlangsung selama resusitasi akan menyebabkan
edema dinding usus dan perut bisa terjadi dan berpotensi menyebabkan hipertensi
intra-abdomen (IAH) dan sindrom kompartemen abdomen (ACS). Dalam situasi
ini, sejumlah metode sementara (misalnya, tas Bogota, hingga perangkat
komersial yang dibuat khusus, Semua bergantung pada prinsip dasar untuk
mencegah edema, ketegangan jahitan kulit, drainage cairan.

Prosedur lebih lanjut

prosedur radiologi intervensi untuk guiding kontrol perdarahan untuk perdarahan


yang sulit teratasi walupun telah dilakukan tampon, misal pada cedera hepatik,
retroperitoneal, panggul, atau otot dalam yang kompleks yang, karena lokasinya
yang sulit, tidak dapat di eksplorasi Radiologi intervensi dapat melakukan
intervensi endovaskular di ruang operasi

Semua tindakan ini dilakukan dengan bijaksana dan bertujuan untuk memulihkan
fisiologi dengan mengorbankan rekonstruksi anatomi. DCR harus berlangsung di
seluruh tahap 0 dan tahap I dan merupakan bagian integral dari strategi DCS

Prioritas Perawatan dimulai dari


• P - Perlindungan dengan APD
• D - Keputusan untuk memulai, melanjutkan atau menghentikan resusitasi
trauma
• A – Airway : pastikan patensi Airway dan C-kontrol servikal.
• B – Breathing : pastikan ventilasi adekuat
• C - Sirkulasi: Periksa sirkulasi, hentikan pendarahan eksternal, pastikan infus
lancar dan tranfusi darah berjalan, identifikasi Perdarahan Internal, cegah
munculnya triad of death dengan DCR
• D - DekompresiIntracranium
• E - Ekstremitas & eksposur yang jelas namun cegah hipotermia Kam
22 CW et al: World J. Emerg. Med. 2010, Vol. 1 (2): 86.

Tahap 2: Critical Care

Fokus tim harus beralih ke resusitasi sekunder, yakni memperbaiki


asidosis dan koagulopati pasien, memaksimalkan hemodinamik,
mengoptimalkan oksigen delivery dan konsumsi, melakukan rewarming,
support ventilator, pemantauan abdominal compartemen syndrome. Selanjutnya
mengulangi identifikasi cedera, Penatalaksanaan perawatan abdomen yang
terbuka
Resusitasi
Targetnya adalah perbaikan perfusi yang dibuktikan oleh keluaran urin yang
adekuat, pemulihan tanda-tanda vital, dan pembersihan asidosis laktat
Biasanya, pengukuran asam laktat dilakukan bersama hitung darah lengkap, faal
koagulasi dan profil kimia, termasuk magnesium, kalsium, dan fosfor.

Jika asam laktat gagal dihilangkan atau justru naik dilakukan Resusitasi cairan
volume tinggi dengan Ringer laktat hangat dilanjutkan maintenance250 cc /
jam. Target DO2 lebih besar dari 600 mL / menit / m2 dan konsumsi oksigen
indeks (VO2I) lebih besar dari 150 mL / menit / m2 dalam 12 jam pertama
pasien di ICU [29,30,32]. SVO2 68% hingga 72%. hemoglobin di atas 10-g /
dL
Dukungan inotropik seharusnya dipertimbangkan. Penambahan vasopressor
seharusnya dimulai dengan hati-hati dan hanya setelah volume yang adekuat

Ventilator
Teknik seperti gas inspirasi yang dihangatkan hingga 40 ° C. Pada Pasien
multitrauma, terutama mengenai thorak potensial berkembang menjadi cedera
paru akut dan ARDS. Menggunakan ARDSNet low tidal volume support
avoiding barotrauma.Faktor lain yg mempengaruhi dicurigai adalah volume
resusitasi besar-besaran, bisa mencapai lebih dari 2 L / jam selama resusitasi
awal ini. Berpotensi terjadi edema paru, abdominal kompartemen dan atau
berkembang menjadi intra-abdominal hipertensi sehingga akan mendorong intra
thorakal pressure. Tujuan dari strategi ventilasi adalah untuk menjaga
oksigenasi dan ventilasi tetapi juga untuk mencegah volutrauma.

Strategi ini adalah mengatur volume tidal awal 6 hingga 8 cc / kg dalam upaya
untuk menjaga peak inspiratory pressure (PIP) kurang dari 40 torr untuk
mempertahankan low plateau pressure. Fraksi oksigen (FiO2) awalnya
ditetapkan 100% dan diturunkan sesuai target saturasi oksigenasi lebih besar
dari atau sama dengan 93%. Ini sering membutuhkan PEEP. Awalnya
ditetapkan pada 5 cm H2O dan meningkat dalam 2 hingga 3 cm H2
Tentang kenaikan PEEP selanjutnya demi untuk mengurangi FiO2 itu kurang
dari 60%. Tingkat PEEP tinggi untuk menjaga oksigenasi. Namun akan
menghambat aliran balik vena dan efek preload, biasanya pada level 15 cm
H2O. I: E rasio dikurangi untuk membantu dalam oksigenasi, memungkinkan
hypercapnea pasif untuk mempertahankan pH > 7,2. Jika rasio I: E dibalik/
reserve dengan penambahan sedasi intravena, analgesik, dan paralitik adalah
upaya untuk mengontrol upaya ventilasi pasien.
P / F rasio kurang dari 250, dilakukan rotational therapy Pasien ditempatkan
pada tempat tidur rotokinetik dan diputar di kedua arah dalam sudut busur 40 °
dari posisi terlentang. Selain terapi rotokinetik, prone posisi digunakan untuk
meningkatkan mismatch ventilasi / perfusi. Posisi tengkurap sendiri merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan fraktur atau cedera tulang belakang tetapi
bisa digunakan pada pasien dengan open abdomen.

Tehnik selanjutnya adalah oscillating ventilator (HFOV 3100B,SensorMedics


Corporation, Yorba Linda, CA) dilakukan bila terjadi hipoksia berat

Dukungan fisiologis pada pasien post-op DCS sangat penting untuk bertahan
hidup, seperti Core rewarming : Cairan resusitasi hangat, selimut, udara hangat.

Koreksi asidosis : Asidosis pasien biasanya terkoreksi pada saat dilakukan


resusitasi secara adekuat. Resusitasi yang tepat dengan produk darah, koloid,
dan / kristaloid. Oksigenasi yang adekuat sehingga terjadi kondisi aerobik
Gunakan natrium bikarbonat bila pH kurang dari 7,2, dan jika agen
kardiotonik digunakan.Koreksi koagulopati : Penggantian factor pembekun
darah. Identifikasi cedera : Lakukan survei tersier pasien,:pemeriksaan CT scan
dan angiografi

Pantau Abdominal Compartement Syndrom

ACS adalah suatu kondisi di mana tekanan intraabdominal meningkat yang


akhirnya mempengaruhi sirkulasi / ventilasi, dan mengancam fungsi dan
kelangsungan hidup usus. Terjadi pada trauma abdomen disertai pembengkakan
visceral, hematoma, atau penggunaan packing tampon

Pengukuran dilakukan menggunakan tekanan dikandung kemih (normal = 0).


Pengukuran tekanan kandung kemih merupakan variabel yang baik untuk diuji
dan diikuti; namun, intervensi untuk ACS harus terjadi ketika dicurigai atau
secara klinis ada

Fisiologi ACS.

Curah jantung dan aliran balik vena menurun. Penurunan aliran darah ke hati,
usus, dan ginjal dapat mengakibatkan anuria. Kedua hemidiafragma terdorong
ke atas, volume toraks berkurang dan terjadi peningkatan tekanan saluran napas
atas.Vena sentral, kapiler pulmonal, dan tekanan atrium kanan meningkat akibat
tekanan intraabdominal yang tinggi. PO2 menurun karena peningkatan tekanan
saluran napas dan kelainan ventilasi / perfusi.
Tahap 3: Operasi Terencana setelah kondisi optimal

Indikasi operasi definitif :

1. Temperatur sentral ≥ 36°C

2. Asidosis sudah terkoreksi

3. Profil koagulopati daam batas normal

Pack tampon harus dibiarkan di tempatnya sampai hemodinamik pasien stabil


dan pastikan faktor pembekuan darah baik, pack dikeluarkan secara perlahan
dengan kontrol perdarahan

Operasi selanjutnya adalah perbaikan organ dan menutup fasia ,meskipun


perkiraan fascia tidak dapat ditutup seharusnya tidak menghalangi re-ekplorasi
awal, re-ekplorasi harus terjadi setelah koreksi hipotensi, asidosis, hipotermia,

dan koagulopati. Biasanya terjadi 24-48 jam setelah operasi awal. Namun,
pengaturan waktu dapat ditentukan oleh masalah klinis yang mendesak lainnya,
seperti ACS, iskemia tungkai, Dalam kasus packing duodenum, pankreas,
ginjal, kandung kemih, atau hati dengan kontaminasi akibat di bungkus usus
kotor, harus di ambil dan dibersihkan. (24)
References
1 (Barkin et al), Barkin, J. L., Wisner, K. L., Bromberger, J. T., Beach, S. R., Terry, M. A., &
Wisniewski, S. R. 1998

2. Trentz O L, 2000 AO Principle of Fracture Management. Chapter 5.3 Polytrauma:


Pathophysiology, Priorities, and Management. New York. 2000;661-74. Chawda MN

3. Chong CL, Ooi S. Commonly used scoring systems. In: Ooi S, Manning P, editors. Guide
to the essentials in emergency medicine. 2 Nd ed. Singapore: McGraw-Hill; 2015.
4. Craig S R et al., 2005
5. Giannouids P V et al., 2004) Predicting outcome after multiple trauma: which scoring
system? Chawda MN1, Hildebrand F, Pape HC, Giannoudis PV
6. Rockwood, 2006
7. Solomon,2001;Rockwood,2006
8. Waibel, B.H danRotondo, M.MF:Rev.Col.Bras. Cir. 2012, 39 (4):314.Schreiber, M.A.:
Crit. Clin. 2004, 20: 101- 2
9. Rotondo MF, Schwab CW, McGonigal MD, et al. “Damage control”: An approach for
improved survival in exsanguinating penetrating abdominal injury. J Trauma. 1993;35
10.https://www.researchgate.net/publication/7082209_Damage_Control_Surgery
The_Intensivist%27s_Role
11. Kashuk JL, Moore EE, Millikan JS, et al. Major abdominal vascular trauma: a unified
approach. J Trauma. 1982;22:672-679.
12. Burch JM, Denton JR, Noble RD. Physiologic rationale for abbreviated laparotomy. Surg
Clin North Am. 1977;77:779.
13. Cosgriff N, Moore EE, Sauaia A, et al. Predicting life-threatening coagulopathy in the
massively transfused trauma patient: hypothermia and acidoses revisited. J Trauma.
1997;42:857-862.
14. Krishna G, Sleigh JW, Rahman H. Physiological predictors of death in exsanguinating
trauma patients undergoing conventional trauma surgery. Aus N Z J Surg. 1998;68:826-829.
15. Rohrer MJ, Natale AM. Effect of hypothermia on the coagulation cascade. Crit Care
Med. 1992;20:1402-1405.
16. Toschlog EA, Dulabon GR, Rotondo MF. Shock. In: Pappas TN, Purcell GP, eds.
Unbound Surgery. Unbound Medicine, 2004. Available at: http://www.unboundsurgery.com.
17. Rotondo MF, Schwab CW, McGonigal MD, et al. “Damage control”: An approach for
improved survival in exsanguinating penetrating abdominal injury. J Trauma. 1993;35:375-
383
18. Jurkovich G, Greiser W, Luterman A, et al. Hypothermia in trauma victim: ominous
predictor of survival. J Trauma. 1987;27:1019-1024.
19. Abramson D, Scalea TM, Hitchcock R, et al. Lactate clearance and survival following
injury. J Trauma. 1993;35:584-589.
20. Cheatham ML. Intra-abdominal hypertension and the
abdominal compartment syndrome. New Horizons. 1999;7:96.

21 The Intensivist's Role. Available from:


https://www.researchgate.net/publication/7082209_Damage_Control_Surgery--
The_Intensivist%27s_Role [accessed Oct 17 2018].

22 https://www.researchgate.net/publication/7082209_Damage_Control_Surgery--
The_Intensivist%27s_Role

(23) Midwinter, M. J .: JR. Med.Corp Angkatan Darat, 155 (4): 32424


https://www.researchgate.net/publication/308569803_Damage_Control_Surgery

24 https://www.researchgate.net/publication/308569803_Damage_Control_Surgery

Bb
Case Report

Nama M. Nur Nasrudin/21 th/65 kg/160 cm/Bmi 25,4/12675096


Diagnosa Internal bleeding Closed fraktur femur S
PS ASA 3D dengan penyulit Syok hipovolemik, Internal bleeding Dilakukan
Tindakan Laparotomi eksplorasi
Lama operasi jam 11.15 – 13.15 (2 jam)
Tanggal 29-5-2018, pukul 10.00 WIB Pasien tiba di RES

Primary Survey
A: Airway + C-Spine control
 Jalan nafas bebas, suara nafas tambahan (snoring (-), gargling (-))
 Cervical spine stabil
Tindakan Resusitasi : Mempertahankan jalan nafas tetap bebas
B : Breathing + Ventilation
 Spontan respiras, RR 36x/m, Suara napas Ves/Ves, Rh -/-, Whz -/-, SpO2
90% (Udara bebas)
 Gerakan dada simetris +/+, jejas (-)
Tindakan Resusitasi :
 Beri O2 NRM 10 lpm  SaO2 98-99%, RR : 20-28x/mnt
 Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi tetap adekuat, Observasi RR
dan SaO2 tiap 15 menit

C : Circulation + Bleeding
 Perfusi Dingin Kering Pucat, CRT>2 detik TD : tidak terukur (monitor),
Nadi 168x/mnt (regular cepat,isi kurang, lemah)
Tindakan Resusitasi :
 Pasang EKG monitor + pasang saturasi O2 + Tensi
 Terp asang IV line dengan Surflo 18 G pada tangan sebelah kiri dan
pasang IV line baru tangan kanan dengan Surflo 18 G
 Pastikan iv line lancer, Masuk cairan RL 500 ml dan Gelofusin 1500 ml
 TD 106/55, nadi : 145x/mnt
 Terpasang kateter urine inisial urine 50 mL
D : Disability : Alert
Tindakan Resusitasi :
 Observasi kesadaran tiap 15 menit
E : Environment/Event
 Trauma
 Jejas pada abdomen kiri atas sampai ke tengah (tampak gambaran ban
sepeda motor)
 Tampak femur kiri sudah terbebat dan terpasang spalk (immobilisasi)
Tindakan Resusitasi : Lakukan log roll untuk mencari jejas dan trauma di
tempat lain

History of illness
 Pada tanggal 28/5/2018, pukul 18.00 WIB, pasien naik sepeda motor
dengan kecepatan 60 km/jam tanpa helm menabrak sepeda motor lain
dengan arah yang berlawanan, pasien mengeluh nyeri perut karena
terbentur stang sepeda motor, pasien ingat saat kejadian , pusing, tidak
muntah, tidak mual. Kemudian Pasien dibawa ke Rumah Sakit, pukul
20.00 WIB Pasien dibawa ke RS Ibnu Sina, sampai di IGD RS Ibnu Sina
pasien di terima dengan kondisi syok, Perfusi Dingin Kering Pucat, CRT
>2 detik TD : tidak terukur (monitor), Nadi 168x/mnt (regular cepat,isi
kurang, lemah) Pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, kemudian
dilakukan resusitasi koloid 500 ml + kristaloid 3500 ml + 400 ml WB,
Dokter melakukan KIE keluarga tentang kondisi Pasien saat itu, resiko
yang bisa terjadi, rencana rujuk bila kondisinya bisa transportable ke
RSDS. Malam harinya, setelah kondisi dianggap transportable dan setelah
keluarga setuju untuk di rujuk, Pasien berangkat dirujuk pada pukul
(00.30) 29/5/2018, dan pukul 02.00 WIB Pasien tiba di RSDS dengan
hemodinamik kembali tidak stabil, diterima di Triase dengan tensi tidak
terukur, nadi lemah 160x/mnt, Pasien langsung dibawa masuk ke Ruang
Resusitasi

Secondary Survey

B1 : Airway bebas, suara napas tambahan (-), obstruksi (-), Jejas di wajah (-),
Brill hematoma (-/-), Battle Sign (-/-), Ottorhea (-/-), Cervical stabil, Fraktur
maxilofacial (-)
B2 : TD = 106/55, N = 145x/menit (regular, isi cukup,kuat angkat)
Tak Tampak Jejas pada thorax
Pulmo : Simetris, Nasal flare (-), Retraksi (-), RR : 24x/mnt
Vesikular/Vesikular, Ronchi -/- Wheezing -/- SpO2 98-99%, dengan O2 NRM
10 lpm
Cor : S1 S2 Tunggal murmur(-), gallop(-)
B3 : GCS 456, Pupil Bulat Isokor 3mm/3mm dengan reflek cahaya (+/+), VAS
4-5
B4 : Terpasang kateter, produksi urin inisial 50 ml (warna kuning pekat) Perfusi
dingin kering merah
B5 : didapatkan Jejas (+) memanjang dari hipokondrium kiri ke umbilicus
(bentuk ban sepeda motor), Soefl (-), defans muscular (+), nyeri tekan (+),
Bising usus (+) menurun, NGT (+) produksi merah gelap
B6 : edema extremitas (-), deformitas femur S (terpasang bidai dan perban)

Ample didapatkan
- A : Makanan (-), Obat (-)
- M : (-)
- P : DM (disangkal), HT (disangkal)
- L : Terakhir makan dan minum jam 04.00 (28/5/18)
- E : Trauma (KLL motor vs motor)

Planning diagnose : DL,SE,LFT,RFT,BGA,APTT,PPT,HBsAg,HIV,GDA


Monitoring Vital sign, balance cairan, kesadaran
Terapi :
• Posisi inline O2 Simple Mask 10 lpm
• IVFD maintenance 1500 RL/24 jam
• Segera naik OK IGD
Balance cairan + 1990 ml

Rontgen thorax (RS NU Tuban;28-05-18

Rontgen abdomen (RS NU Tuban;28-05-18)

Laboratorium RS Dr. Soetomo29/05/2018, 09.47 WIB


Hb 14,4 Na BUN 21 OT 104
141

Hct 42,8 K 5,5 SK 2,67 PT 77

> 200
Wbc 2,28 Cl 107 APTT Alb 3
(26,1)

> 100 Non


Plt 9000 GDA 103 PPT HbSAg
(11,1) reaktif

CRP - HIV NR

Assessment :
- Syok hipovolemik
- Internal bleeding
- Closed fraktur femur S

Pasien kami asses dengan PS ASA 4D, dengan penyulit


- Internal bleeding hemodinamik tidak stabil
- Post syok hipovolemik
- Oligouri
- Hipotermi
- Trombositopeni
- Hipoalbumin
- Peningkatan LFT

Problem actual pada sistem cardiovaskular adalah TD = tidak terukur, N =


168x/menit (regular, isi kurang,lemah) Cor : S1 S2 Tunggal murmur(-) gallop(-)
hal ini mungkin akibat perdarahan masiv yang sedang terjadi, walaupun telah
dilakukan bebat tekan namunlpotensial masih terjadi perdarahan, terutama
organ intraabdomen. Pasien ini mengalami Syok hipovolemi, rencana yang akan
kita lakukan adalah pemberian cairan resusitasi,Transfusi darah bila perlu.
Pada sistem neurologis, GCS masih 456, Pupil bulat Isokor 3mm/3mm, RC +/+,
namun potensialpasien mengalami penurunan kesadaran, delirium, apalagi bila
perdarahan masih terus berlangsung.

Sistem Urogenital, terpasang kateter dengan produksi urine 10 ml selama di


RES, pada pasien telah terjadi Oligouria akibat hiovolemia, tindakannya adalah
mengevaluasi kecukupan cairan target produksi urine : 0,5-1 ml/kg/jam,
menjaga MAP diatas 70, agar MAP ginjal terpenuhi. Namun pemberiah cairan
resusitasi berlebihan akan bisa mengakibatkan usus edema dan di tambah bila
terjadi perdarahan intra abdominal akibat Cedera pada solid/hollow organ akan
berpotensial terjadi Distensi abdomen, mengakibatkan intra abdominal
hipertensi ataupun abdominal compartement syndrome sehingga akan
mengganggu ventilasi, tindakan yang dikerjakan adalah puasa, Pasang NGT
untuk dekompresi, evaluasi tanda akut abdomen, cek Hb berkala untuk melihat
trend. Pada Pasien ini juga potensial terjadi Infeksi yang bisa berujung pada
sepsis, akibat paparan luka.
Tindakan yang dikerjakan adalah pemberian Antibiototik spektrum luas,
dilakukan debridement pada luka, pemberian analgetik, memberikan Transfusi
bila perlu

Konsultasi dengan dr Herdiani SpAn, FIPM melaporkan kondisi pasien dan


permasalahannya, Advis:
• Segera siapkan untuk operasi (surgical resusitasi)
• Tranfusi darah O universal jika perlu

Kondisi di OK IGD
Sistem Respirasi :
A : Bebas, B: Spontan, RR 22x/m, Simetris, Vesikular +/+, Rhonchi-/-
Wheezing -/- SpO2 97-98% dengan oksigen NRM 10 lpm
Sistem Sirkulasi :
Perfusi hangat kering merah, TD : 100/60 mmHg, Nadi : 110x/mnt (regular, isi
cukup, kuat angkat) , S1S2 tunggal, murmur -, gallop -
Sistem CNS : GCS 456, Pupil bulat isokor 3/3 mm, refleks cahaya +/+ suhu
33°C
Sistem Urogenital : BAK terpasang kateter, produksi urin oligouri
Sistem Digestif :
Abdomen distended (+), defans muscular (+), nyeri tekan (+), tampak jejas
diperut (+)
Sistem Muskuloskeletal :
didapatkan Edema -/-, defromitas femur S (terpasang bidai dan perban coklat)
Prosedur Anestesi:
Persiapan
Siap pasien, obat, alat, mesin anestesi dilakukan pengecekan alat, mesin anestesi
berfungsi dengan baik.
Siapkan Intra arteri line set/ ABP
Siap obat dan alat resusitasi, cek alat resusitasi berfungsi dengan baik
Siap suction menyala dan berfungsi dengan baik.
Siapkan selimut penghangat, AC ruangan OK di hangatkan, mesin penghangat
untujk transfusi darah. Pasang monitor : EKG, tekanan darah, pulse oksimetri,
stetoskop prekordial, suhu.Pastikan iv line terpasang dan menetes dengan lancar.
Pasang lebih dari 1 akses intra vena, Evaluasi ulang hemodinamik pasien.

Indukdi di OK IRD
Pre-Oksigenasi 5 menit
Induksi :
- Ketamine 70 mg
- Rocuronium 50 mg
Terpasang ETT no 7.5 cuff + , simetris +/+, vesikuler +/+, Batas bibir 20 cm,
dextra.
Maintenance:
• O2 + air (fio2 40%)
• Ketamine pump
• Support Norepineprin pump 100 Nano
Durante op

Kondisi hemodinamik, ABP 87-124/38-68 mmHg, Nadi 128-163 x/menit,


SpO2 99-100%, Suhu 33,8-36

Didapatkan :
• Ruptur gaster kurvatura mayor 2 buah (diameter 5 cm dan 8 cm)
• Ruptur lien grade 4 dengan bleeding aktif dari hilus
• Nekrosis omentum mayor
• Hematoma duodenum
• Hematoma retroperitoneal zona 2
• Hepar intak
• Diafragma intak
Dilakukan :
• Spleenectomy + Tandur lien
• Repair rupture gaster
• Cuci cavum abomen
• Evaluasi hollow organ dari ligamentum treitz – rectum intake

Balance Cairan Durante Operasi

Sistem Respirasi Sistem Sirkulasi Sistem CNS Sistem Urogenital Sistem


Digestif Sistem Muskuloskeletal
Kondsi di ROI
Sistem Respirasi :
A: Bebas, tube in
B: ventilator support, mode PCV, PS 14, PEEP 6, FiO2 50%, menghasilkan
MV 6,7-9,4 , TV 300-458, SpO2 95-99%

Sistem Sirkulasi :
Perfusi hangat, CRT < 2”, Nadi 127 x/Mnt, TD 105/56 mmHg, Cor: S1S2
tunggal, murmur (-), gallop (-)

Sistem CNS:
GCS 3x6, Pupil bulat isokor 3/3 mm, refleks cahaya +/+ Lateralisasi (-), suhu
37,1° C axila
Sistem Urogenital : BAK kateter, 100 ml pekat
Sistem Digestif Abdomen : post Laparatomi, Bu (+) menurun
Sistem Muskuloskeletal : Edema -/-, deformitas femur S

Assessment
• Post Laparatomi

Planning

 Pasien di ROI untuk resusitasi sekunder


 Diagnosis: DL, SE, Albumin, LFT, RFT, GDA, BGA, FH
 Monitoring: Vital sign, balans cairan, nyeri, kesadaran, tanda akut
abdomen
 Terapi :
• Ventilator support
0
• Head up 30
• rewarming
• Nebul dan suction berkala/6 jam
• Oral dan personal hygine 2x/hari
• Infus RL 1500 ml/24 jam
• Transfusi PRC bila hb < 10 gr/dl
• Transfusi FFP 5 bag
• Tranfusi TC 10 bag
• Tranfusi albumin bila albumin < 2,5
• Inj Omeprazole 1x40 mg iv
• Inj metamizole 1 gram/8 jam iv

Anda mungkin juga menyukai