Anda di halaman 1dari 29

GLOBALISASI

Globalisasi menjadi satu kata yang nyaring terdengar di seluruh dunia pada abad
21 ini. Pro–kontra pun mewarnai perjalanan globalisasi sebagai sebuah
fenomena perubahan yang terjadi secara menyeluruh, dirasakan secara kolektif,
dan mempengaruhi banyak orang (lintas wilayah - lintas negara) yang
mempengaruhi gaya hidup dan lingkungan kita. Dunia memang berubah dan
globalisasi adalah dunia yang terhubung (connected world) seolah tanpa batas.

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi yang memudahkan


pertukaran informasi, globalisasi makin tidak dapat dihindari, suka tidak suka
globalisasi akan terus berjalan. Pertukaran ide makin instan, tidak hanya ide
dalam artian ideologi, tetapi juga ide pertukaran manusia, ide pertukaran
ekonomi, ide pertukaran materi, yang semua terjadi makin mudah dan cepat.
Bahkan transaksi keuangan lintas-benua semakin dimungkinkan. Dalam hitungan
detik, sejumlah uang dengan nominal sangat besar dapat menyeberang benua.
Dengan menguasai kapital, kita bisa melakukan apa saja dengan waktu sangat
cepat dan cara sangat mudah.

Ini dibuktikan dengan data dari Laporan Pembangunan Manusia UNDP (1999)
yang memperlihatkan negara-negara industri –mempunyai capital besar- saat ini
memegang 97% dari total jumlah paten diseluruh dunia. Sumber yang sama
mengungkapkan  adanya jurang perbedaan pendapatan antara orang terkaya
kelima di dunia dan termiskin kelima di dunia -diukur dari rata-rata pendapatan
nasional perkepala- meningkat dari 30 orang miskin untuk 1 orang kaya ditahun
1960 menjadi 74 orang miskin untuk 1 orang kaya ditahun 1977. Dari data
tersebut memperlihatkan bahwa ada persoalan dengan globalisasi.  

1|Page
Beragam pertanyaan bisa dimunculkan terkait dengan hal tersebut. Apa dan
bagaimana sesungguhnya globalisasi –secara khusus globalisasi ekonomi karena
terkait dengan kapital-, dampaknya terhadap masyarakat, dan kedaulatan
berbangsa dan bernegara menarik untuk didiskusikan dan dikritisi. Pertanyaan
lebih khusus selanjutnya terkait dengan peran negara. Apakah globlisasi ini
mengubah atau menggeser peran negara dalam pengelolaan ekonomi? Dan
sejauhmana pergeseran itu terjadi?

Globalisasi adalah pasar yang mengglobal atau kapitalisme global. Pasar adalah
nama lain dari kapitalisme dan kapitalisme global adalah perubahan nama dari
kapitalisme internasional, karena  kapitalisme secara kuantitatif telah membesar
secara luar biasa. Kata global mengandung arti lingkupnya yang kompak,
terintegrasi dan menyatu, menggantikan ekonomi nasional dan regional.

Globalisasi semacam ini mengandung dua ciri utama, yaitu :

1. Multilateralisme, kekuasaan badan-badan antar pemerintah dan


koherensi atau kerjasama erat diantara World Bank-IMF-WTO.
2. Transnasionalisasi,  menguatnya monopoli dan konsentarsi modal dan
kekuasaan  ekonomi kepada korporasi besar dunia atau trans national
corporation (TNC) atau multi national corporation (NMC).

Pengertian globalisasi tersebut berujung pada prinsip dan paham ekonomi neo-
liberal, yang digagas dan dikembangkan oleh teori kontemporer Negara yang
menjadi salah satu prespektif dalam mainstream theories on state, yaitu
neoliberal prespective   dikembangkan oleh Albert Fislow. Pokok pandangan dari
neoliberalisme bahwa kebebasan individu dapat berjalan sepenuhnya dengan
campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi.

Pandangan ini mengadung beberapa poin, yaitu:

2|Page
1. Aturan pasar yang membebaskan perusahaan dari setiap keterikatan
yang dipaksakan pemerintah,
2. Memotong pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial,
3. Deregulasi untuk mendukukung pasar pasar bebas,
4. Privatisasi ekonomi,
5. Menghapus konsep barang-barang publik atau komunitas, dan
6. Membuka ekonomi nasional untuk perdagangan internasioanal dan
investasi asing.

Teori neo-liberal yang meminimalkan peran negara dalam pengelolaan ekonomi


terlahir dari sejarah panjang pemikiran-pemikran yang digagas dan
dikembangkan para pemikir dan ilmuwan politik sekaligus ekonom. Ini berbeda
dengan teori kontemporer lain dengan prespektif struktural yang menekankan
pada cara negara menyediakan infrastruktur dan suprastruktur bagi ekonomi
dikembangkan oleh Gramsci dan Poulantzas.

Bicara tentang globalisasi ekonomi tidak bisa terlepas dari pasar bebas yang kini
telah menjadi ideology dunia bagaikan agama. Agar globalisasi berjalan lebih
cepat, mesin-mesin globalisasi -seperti IMF, Bank Dunia, ADB- semakin diperkuat
perannya dan dibangun system secara seragam untuk diberlakukan di seluruh
dunia. Proses integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam system global inilah
yang disebut globalisasi. Keampuhan pasar bebas dihembuskan oleh para ahli
ekonomi dengan   landasan teorinya. Penelitian-penelitian juga dilakukan untuk
melegitimasi bahwa segala kebijakan populis yang memberi proteksi kepada
rakyat hanyalah berakibat pada pemborosan belanja Negara (inefisiensi).

Bagi kelompok pro- globalisasi, bisa menggunakan data-data pendukung untuk 


menyatakan bahwa perusahaan multinasional asing (MNC) mempunyai
perananan yang semakin penting terhadap perkembangan ekonomi nasional
suatu Negara, terutama peran dalam peningkatan produksi dan membuka

3|Page
lapangan pekerjaan baru. Namun itu tidak terjadi di semua Negara. Di Jerman
dan Prancis misalnya, perusahaan asing memberikan kontribusi yang hampir
sama dengan perusahaan domestik nasional. Bahkan di Jepang sebagai Negara
dengan kekuatan ekonomi terbesar ke dua di dunia, perusahaan asing masih
sangat sedikit dan hanya mempekerjakan 0.8% dari jumlah total lapangan kerja
di Jepang.

Data-data tersebut semakin mengukuhkan pandangan kelompok pro- globalisasi


bahwa korporasi global (MNC) tidak berdampak buruk tetapi justru mempunyai
peranan penting dalam ekonomi nasional. Pernyataan itu semakin diperkuat
dengan berbagai kebijakan, program dan aksi positif MNC untuk pengembangan
perusahaan dan tanggung jawab social (corporate social responsibility). Soal gaji
misalnya, perusahaan asing membayar pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji
rata-rata nasional.6 Perusahaan asing juga menciptakan lapangan pekerjaan
lebih cepat dibandingkan perusahaan domestik sejenis. Di Amerika contohnya,
jumlah lapangan kerja yang diciptakan perusahaan asing mencapai 1.4% per
tahun dari 1989 s/d 1996, sedang perusahaan domestic hanya 0,8%. Selain itu
perusahaan asing tidak segan mengeluarkan biaya di bidang reseach and
development (R&D) di negara di mana mereka menanamkan investasinya.7 Data
lain menyebutkan perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak
dibandingkan perusahaan domestic.8 Namun data lain dari Laporan
Pembangunan Manusia UNDP (1999) menunjukkan hal yang berbeda. Pada
tahun 1977 terdapat pelebaran jurang perbedaan pendapatan antara orang
terkaya kelima di dunia dan termiskin kelima di dunia -diukur dari rata-rata
pendapatan nasional perkepala. Kondisi ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya
dan semata-mata hanya karena takdir Tuhan tetapi karena ada grand design
yang sengaja dibuat oleh manusia.

Dalam perkembangan selanjutnya, pasar bebas yang menjadi idiologi baru 


disuntikkan oleh lembaga-lembaga keuangan multi nasional -di bawah kendali

4|Page
World Bank dan IMF- kepada negara miskin dan berkembang sebagai resep
untuk ‘membangun‘ Negara Selatan. Resepnya adalah proses privatisasi sector-
sektor kebijakan public, termasuk listrik, air dan perumahan. Hasil privatisasi bisa
diduga, antara lain peningkatan pengganguran, turunnya nilai pendapatan riil
dan pajak perusahaan, setengah juta orang kehilangan pekerjaan, gaji golongan
termiskin turun 20 persen, dan kenaikan harga air dan listrik (Bond, 2001).

Inilah yang sering disebut oleh kelompok penentang globalisasi sebagai jaman
penjajahan baru -seringkali disebut neo kolonialisme- dimana penjajahan bukan
bersifat fisik tapi penjajahan pada teori dan ideologi.  

Catatan di atas memperlihatkan karakteristik utama globalisasi yaitu paradoks –


bahkan kontradiksi- globalisasi, yang membuka peluang bagi perusahaan
multinasional  untuk berperan besar dalam perekonomian nasional sekaligus
melahirkan ancaman bagi Negara dan rakyat.  Ancaman terhadap perdamaian
dan keamanan global, kemiskinan gobal, lingkungan global dan migrasi masal
adalah ruang-ruang yang menyediakan berbagai fakta paradoksial dan
problematika globalisasi.

Dalam sebuah buku tentang Globalisasi karangan Friedman yang kemudian


dikutip oleh penulis independent Wigrantoro Roes Setyadi dianalisakan bahwa
Globalisasi, ujar Friedman tidak hanya sekedar sebuah fenomena dan bukan pula
sebuah trend yang akan lewat begitu saja. Lebih serius dari itu, Friedman
melihatnya sebagai sebuah sistem yang muncul menggantikan gerakan
internasional sebelumnya, Perang Dingin antara paham kapitalis yang didukung
Amerika di blok barat dan paham komunis yang didukung oleh Uni Sovyet di blok
timur.

Jika dalam Perang Dingin alasan utamanya adalah perbedaan ideologi, dunia
seolah dibagi menjadi blok barat dan blok timur, blok kapitalis dan blok sosialis –
komunis, sementara mereka yang tidak termasuk ke dalam dua blOk tersebut

5|Page
menamakan dirinya blok dunia ketiga, maka dalam globalisasi terjadi integrasi
kapital, teknologi, dan informasi melewati batas – batas negara. Wujudnya,
globalisasi mendorong runtuhnya sekat – sekat ideologi politik antar negara,
antar blok, dan menjadikan dunia sebagai pasar tunggal, yang oleh Al Gore(1998)
disebutnya sebagai global village.

Mereka yang gagap terhadap perubahan sistem baru (globalisasi) ini dalam
banyak kasus mengalami hambatan dalam pengembangan diri yang
menjadikannya semakin tertinggal dari negara – negara yang relatif siap
menghadapi arus globalisasi.

Misalnya saja, coba kita bayangkan bersama, jika suatu pagi, tiba – tiba seorang
eksekutif tidak tahu lagi isi berita pagi yang dibacanya di koran atau ditontonnya
di TV, di kantor menjadi tambah tidak mengerti ketika bisnis investasi yang sudah
ditekuninya sekian tahun tiba – tiba tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Menghubungi rekannya di kantor pemerintah, jawabannya sungguh di luar
dugaan, “..terjadi perubahan kebijakan karena desakan lembaga keuangan
internasional..”

Kejadian yang sebenarnya secara pelan berlangsung tetapi tidak dirasakannya,


dan baru terasa ketika segala sesuatu harus berubah.

Menurut Mas Wigrantoro, Friedman menguraikan bahwa pada titik tertentu


globalisasi akan mempengaruhi substansi kebijakan domestik dan mendesak
pemerintah suatu negara untuk memperbaiki hubunggannya dengan lembaga –
lembaga internasional. Pada saat itulah, karena sebagian besar bisnis di negara –
negara sedang membangun sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan regulasi
pemerintah, dampak globalisasi baru dirasakan oleh kalangan bisnis setempat.

Tidak hanya dalam kalangan dunia pebisnis, ternyata Friedman juga jeli melihat

6|Page
tekanan yang ditimbulkan oleh globalisasi terhadap budaya lokal, demografi,
tradisi dan harmoni masyarakat. Digambarkan pula bagaimana masyarakat
tertentu merasa dijahili oleh pelaku globalisasi, dan dalam konteks ini, solusi
keseimbangan adalah solusi terbaik yang ditawarkan menurut Friedman. Solusi
ini diajukan dengan pemikiran dasar bahwa globalisasi tidak dapat dicegah, yang
dapat dilakukan adalah bagaimana mengimbangi laju globalisasi sehingga
masyarakat tradisional tidak semakin terpuruk.

Globalisasi tidak hanya integrasi kapital, teknologi dan informasi,tapi lebih dari
itu. Globalisasi bias meningkat sebagai fenomena perubahan geopolitik melalui
desakan – desakan ekonomi internasional, yang pada gilirannya memunculkan
kompleksitas tidak hanya pada elite politik, namun juga berdampak pada pelaku
ekonomiyang berada di posisi perintisnya.

Seperti halnya telah says jelaskan sebelumnya bhawa dalam globalisasi, ideologi
politik menjadi tidakterlalu penting, ia digantkan oleh kepentingan ekonomi.
Dimana jika pada masa perang dingin dan atau era sebelumnya kolonisasi
bersifat fisik, suatu negara menjajah negara lain, dalam globalisasi penjajahan
secar fisik sudah tidak trendi, alasan perluasan bisnis, penyebaran investasi, atau
pengembangan pasar menjadi alasan sah penjajahan ekonomi oleh suatu bangsa
terhadap bangsa lain. Fenomena McDonald, Coca Cola, Internet, dan berbagai
merek dagang terkenal di dunia lainnya yang berhasil di pasar internasional
dapat kita lihat sebagai bukti nyata sarat kebenaran tanpa suara.

Dari sisi pelaku, jika di masa lalu penjajahan dilakukan oleh negara atas negara
(meski dalam kasus penjajahan Belanda atas Indonesia diawali oleh VOC sebagai
misi dagang Kerajaan Belanda) dalam globalisasi “penjajahan ekonomi”dilakukan
oleh Korporasi sebagai pelaku dominan. Keputusan investasi korporasi
internasional, dalam banyak hal mempengaruhi nasib (regulasi dan kebijakan)
suatu bangsa. Kasus perebutan hak pengolahan minyak di ladang Cepu misalnya,

7|Page
merupakan keputusan manajemen Exxon (suatu raksasa perusahaan minyak
Amerika) yang berdampak pada kebijakan perminyakan Indonesia. Pelaku lain
yang sempat mendominasi halaman utama media cetak internasional di tahun
1997-98 berkaitan dengan globalisasi adalah George Soros. Soros terkenal
sebagai investor keuangan yang piawai dan disebut sebagai telah menggoyang
atau bahkan meruntuhkan perekonomian banyak negara di Asia – termasuk
Indonesia – karena keputusannya dalam berbisnis valuta asing di berbagai pasar
saham internasional. Bill Gates dapat dikatakan sebagai pendorong globalisasi
dengan produk teknologi informasi Microsoft, sehingga menjadi monopoli dunia
dalam industri piranti lunak sistem operasi komputer, di sisi lain Bill menikmati
hasil jerih payahnya sebagai individu terkaya di dunia.

Jika kita melihat contoh-contoh mereka yang berhasil dengan globalisasi, seakan-
akan dengan adanya globalisasi, setiap orang jadi memiliki peluang yang sama
untuk berhasil dan menuai rupiah atau dollar dalam ekonomi internasional. Jika
berpikir secara ideal, bias saja globalisasi menjadi penolong bagi rakyat miskin
dunia. Namun, sayang sungguh sayang, alih-alih menolong, yang ada globalisasi
hanya semakin memarjinalkan kaum beruang dan pekerja karena ternyata dalam
globalisasi ada satu syarat penting yang tidak boleh kita lupakan dalam setiap
tindakan. Yakni adanya Potensi diri untuk menguasai dan bersaing dengan pihak
lain.

Dengan kata lain, dalam globalisasi, jika tak merasa cukup modal, jangan berani
untuk maju jika tak ingin hancur.

Globalisasi bagaikan karta karun hasil perkembangan informasi tehnologi yang


memungkinkan melihat seluruh wajah dunia dalam satu layar lebar, termasuk
implementasi pasar bebas dan paham neoliberal di berbagai Negara. Pasar bebas
sebagai ideology dari sudut pandang neoliberal dengan ‘The Washington

8|Page
Consensus’-nya melihat bahwa peran negara haruslah dibuat sekecil-kecilnya,
karena swasta dapat melakukan apapun yang dilakukan oleh individu.

Globalisasi dengan neo-liberalnya telah merubah peran dan kewenangan Negara


di di underdevelop and developing society. Peran pembuat regulator ekonomi
tidak lagi dipegang oleh Negara tetapi pasar. Kekuasaan negara dan kebijakan
ekonomi nasional menjadi tidak lagi memiliki signifikansi dan efektivitas.13
Namun kondisi berbeda terjadi di Negara maju sebagai pelopor pasar bebas.
Sejarah menunjukkan bahwa di Negara maju peran negara sangat penting untuk
mencapai kemajuan pembangunan yang dicapainya saat ini (World Bank 1987,
Shafaeddin 1998, Chang 2001). Ini dikarenakan para kapitalis sangat tergantung
pada kekuasaan negara untuk menyokong kekuasaan ekonominya, memperkuat
hak kepemilikannya, serta mengatur tata sosial dan kondisi-kondisi yang
menguntungkan bagi proses ekspansi dan akumulai capital (Wood, 2005). Tanpa
dukungan kekuasaan negara, kekuasaan ekonomi akan terjatuh dalam stagnasi.
Tanpa intervensi negara (melalui sumberdaya dan aparatus kekuasaannya),
ekspansi dan akumulasi kapital tak mungkin berlangsung secara besar-besaran.
Lebih-lebih dalam era imperialisme, di mana pemenuhan kebutuhan dalam
negeri sangat tergantung pada pasokan dari luar negeri, keterlibatan negara,
terutama AS, sangat jelas terlihat.

Double standard dipakai oleh Negara-negara maju yang mempunyai power dan
capital. Tidak mengherankan kalau  Chang (2001) menyebutkan bahwa promosi
liberalisasi dari negara-negara maju itu adalah untuk ‘menendang tangga’
(kicking away the ladder) supaya  negara-negara berkembang tidak bisa memakai
tangga itu untuk ‘mengejar’ ketertinggalannya. Dengan demikian Negara maju
dapat terus mendikte dan mengexploitasi sumber daya yang ada di Negara
berkembang dengan beragam kemasan. Negara ini akan tetap menjadi miskin
bahkan bisa bertambah semakin miskin dan selalu tergantung. Dan melahirkan

9|Page
neo kolonialisme dimana penjajahan bukan bersifat fisik tapi penjajahan pada
teori dan ideologi.

10 | P a g e
REALIS MEMANDANG GLOBALISASI

Diawali dengan sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang
Dunia I dan II, realisme muncul sebagai arus utama pendekatan hubungan
internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan kaum idealis, terutama
pembahasan tentang ‘perang’. Pendekatan pemikir Idealis dinilai lemah karena
terlalu meremehkan ‘power,’ dan terlalu menyanjung tinggi rasionalitas manusia,
bahkan meyakini bahwa negara bangsa telah mencacah sekian besar
kepentingan bersama demi mengatasi ‘momok’ perang. Debat-debat mengenai
permasalahan power, rasionalitas, kepentingan bersama dan perang, mulai
muncul pada masa generasi baru realism (E.H. Carr, H.J. Morgenthau, Reinhold
Niebuhr, Frederick Schuman, George Kennan, dkk.) di akhir 1930-an, dimana
mereka menekankan pada kemaha-luasan ‘power’ dan pertarungan alami-politik
antar bangsa.

Sebenarnya pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman Thucydides (The


Melian Dialogue 460-406BC), N. Machiavelli (1496-1527), T. Hobbes (1588-1679)
dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism. Realisme klasik
menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih
untuk melindungi negaranya ; Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike
AS pasca containment Perang Dingin. Hal ini muncul dari asumsi bahwa
lingkungan internasional tidak ada yang ‘superior,’ tidak ada satu-satunya
kekuatan yang lebih tinggi yang dapat mengatur seluruh penduduk dunia.
Sementara tiap negara akan selalu berusaha memaksimalkan kepentingan
nasionalnya masing-masing. Kondisi dunia yang anarki ini menjadikan ‘Balance of
Power’ sedemikian penting untuk dijaga, tentunya dengan kode etik hukum
internasional (versi Barat) sebagai konsensusnya. Untuk itu, Meinecke

11 | P a g e
mengatakan, negara perlu menguatkan dan menyehatkan dirinya sebagai
langkah pertama. Tetapi Machavelli juga menyarankan agar jangan sampai
negara mengorbankan kepentingannya sendiri dalam memenuhi etika
internasional karena sesungguhnya realisme memandang prinsip moral universal
itu tidak ada, meski di tataran domestik, realis masih mengharapkan adanya
etika politik yang menjamin kekuatan internal negara. ‘Raison d’etat’ inilah yang
akhirnya menjadi prekursor standar ganda.

Dalam realis, negara dianggap sebagai aktor utama dan satu-satunya yang
legitimate dalam melakukan hubungan antar bangsa, dan peran negarawan
menjadi luar biasa penting dalam rekomendasi para pemikir realis.

Di dalam wacana realisme klasik maupun modern terdapat kesepahaman akan


segitiga ‘Tripel S’, yaitu ‘Statism’, ’Survival’, dan ‘Self-help’.

Statism adalah fokus dari realisme, dimana terdapat dua ‘klaim’ yang dinamis
dalam kestatisan hubungan antar bangsa. Pertama, secara teori, dalam world
politics, negara adalah aktor utama dan seluruh aktor yang lainnya tidak memiliki
tingkat signifikansi yang sebanding dengan state. Kedua, ‘kedaulatan’ negara
menjadi penanda adanya komunitas politik mandiri, di mana ia memiliki otoritas
hukum di wilayah tersebut. Intinya statism di sini lebih berat melihat Negara
sebagai satu-satunya actor dalam dunia Internasional dan dalam proses
Hubungan Internasional.

Survival, tujuan utama pengorganisasian negara adalah keteraturan dalam


mempertahankan kehidupan masyarakat, ini adalah kepentingan nasional
terbesar yang harus disadari setiap pemimpin politik. Pemimpin politik ini jua-lah
yang akan menentukan sikap negaranya dalam pandangannya atas keamanan
internasional serta kerja sama, apakah offensive atau deffensive. Dan
kepentingan ekonomi, budaya, serta yang lain hanyalah dianggap sebagai bagian
dari ‘low politics’. Dalam rangka menyelenggarakan keamanan negara itu pula,

12 | P a g e
pemimpin harus memberlakukan kode etik yang digunakan untuk menghukumi
tindakan seseorang/sebuah institusi, yaitu berdasarkan akibat yang
ditimbulkannya, bukan berdasarkan pada benar-tidaknya tindakan tersebut.
Jikalau-pun ada sebuah moral universal, bagi politikus realis, hal ini hanya
berlaku pada komunitas tertentu saja. Kesimpulannya, survival adalah hal yang
hakiki dalam dunia Internasional dan dalam proses hubungan internasional, di
mana setiap Negara hars bertahan dengan arus gelombang di dunia
internasional.

Self-help, pemikir realis berasumsi bahwa tidak akan ada satu negara pun di
dunia ini yang berani menjamin eksistensi kita secara struktural baik ditingkat
domestik maupun internasional (dilema keamanan – meski tidak semua konflik
yang terjadi, baik domestik maupun internasional disebabkan oleh security
dilemma, akan tetapi secara historis lebih banyak disebabkan oleh negara
‘predator’). Dalam politik internasional tidaklah mungkin ada jalinan
persahabatan, kepercayaan, dan kehormatan yang logikanya akan mengurangi
power gain sebuah state. Yang terjadi hanyalah kondisi ketidakpastian yang
disebabkan tiadanya pemerintahan global. Sebagaimana yang pernah
diungkapkan oleh salah satu pemikir realis, bahwa tidak ada teman atau musuh
yang abadi, yang ada hanya kepentingan nasional. Karena itu apa yang akan kita
dapatkan adalah hasil jerih payah kita sendiri. Siapa yang menabur benih, maka
dia akan menuainya kembali.

Singkatnya, paradigm realis itu meyakini bahwa actor satu-satunya dalam dunia
internasional adalah Negara dimana cara pandangnya terhadap dunia bersifat
anarkis yang menganggap bahwa perang dan damai adalah suatu fenomena
dunia yang bersifat wajar yang berangkat dari individu-individu yang membentuk
Negara tersebut yang kemudian oleh orang-orang realis meyakini bahwa
perdamaian akan terkontrol dengan adanya balance of power yang bertugas
sebagai penyeimbangan keadaan dunia internasional dimana agenda

13 | P a g e
internasional yaitu hanya memusatkan perhatian pada kekuasaan dan proses
politik internasionalnya dipusatkan pada targetan untuk mewujudkan
kepentingan nasional.

Muncul kemudian kasus ‘Globalisasi’ baik bnerupa fenomena dari realitas social
dunia internasional dan atau merupakan suatu keadaan yang dibentuk baik itu
oleh Negara atau individu.

Jika memakai kacamata realis, globalisasi adalah suatu keadaan bentukan dari
oknum atau actor Negara tertentu yang tentunya ada peranan kepentingan
nasional Negara tersebut untuk diwujudkan. Jika kita melihat suatu hal secara
realism aka kita akan melihat bagaimana Negara tersebut menentukan
kebijakannya akan suatu hal.

Secara realis, menurut saya, globalisasi adalah hal yang wajar berupa bentukan
real dari kegiatan sebuah Negara untuk memperluas kekuasaannya. Jika
berbicara tentang realis, kita kan berbicara tentang bagaimana fenomena dunia
internasional ini sangat keras dimana setiap Negara akan mengusahakan setiap
kegiatan pun untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya, salah satunya dengan
cara globalisasi ini. Globalisasi di sini adalah suatu proses yang bertugas sebagai
pembawa nilai-nilai tertentu dari suatu Negara asal nilai tersebut untuk dipahami
atau dilaksanakan dan malah keberhasilan terbesar akan dicapai jika nilai
tersebut berkuasa di Negara tujuan. Namun, kita harus membatasi apa yang kita
lihat hanya dalam konteks Negara nya yang berperan.

Jika mengambil contoh konkret dalam bidang teknologi misalnya, secara kasat
mata, sebagai warga Negara Indonesia yang senantiasa menjalani kehidupan di
tanah air kita yang tercinta ini, sangat jelas bahwa globalisasi teknologi yang
terjadi di bangsa kita ini dari Jepang. Apa pun merk dagang dan organisasi yang
berada di balik alat teknologi tersebut, tapi kita hanya melihat bahwa Jepang lah
yang melebarkan sayapnya di negri kita ini.

14 | P a g e
Hal ini jika dipandang secara Realis. Namun, secara sadar, tentunya ada banya
organisasi transnasional, MNC, dan berbagai macam komunitas lain yang
bergerak, dan tidak sangat umum hubungan yang terbentuk hanya lintas
kegiatan kenegaraan saja. Ada banyak komponen ternyata di dalamnya. Dalam
bidang klebudayaan misalnya, pendidikan, ekonomi, atau bahkan yang lebih
buruk jika gaya hidup sudah bisa di-globalisasikan dan juga komponen inti di
dalamnya misalnya agama.

Jika kita sudah aware dengan hal seperti ini, maka kita tidak lagi memandang
globalisasi itu secara realis, tapi kita sudah mengganti kaca mata kita tanpa sadar
dengan kacamata liberalis untuk mengiris lagi helai demi helai globalisasi di dunia
internasional.

15 | P a g e
Liberalis memandang globalisasi

Ensiklopedi Britannica 2001 deluxe edition CD-ROM, menjelaskan bahwa kata


liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara etimologis berarti
falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara
dalam melindungi hak-hak warganya. Makna senada juga terdapat dalam
Wikipedia.
Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi
Prancis berupa sistem merkantilisme, feodalisme, dan gereja roman Katolik.
Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam
kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari
falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman
renaissance dan juga dari golongan Whings semasa Revolusi Inggris yang
menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja.

Secara paradigm, jika dirunut dari sejarah berdirinya paradigm liberalis,


paradigm ini baru popular setelah Perang Dunia I. Jika melihat sesuatu dengan
cara pandang liberalis, ada nilai yang kita lihat, bahwa ternyata suatu hal itu bisa
berdampak ke berbagai aspek yang merupakan komponen dari bagian umum
tersebut. Selain itu, melihat sesuatu secara liberalis pun hamper bias dikatakan
bahwa kita juga melihat suatu hal menurut tatanan idealnya.

Jika kita tinjau dengan pendekatan historis, paradigm ini baru muncul setelah
meletusnya Perang Dunia I dimana Negara-negara di dunia kemudian menyadari
akan indahnya sebuah perdamaian. Negara-negara yang ada di dunia kemudian
menyadari bahwa dibutuhkannya suatu lembaga legal yang bertaraf

16 | P a g e
internasional yang menaungi Negara-negara yang berdaulat dalam satu wadah
untuk menuju pada sebuah tujuan internasional yakni terwujudnya perdamaian
dunia dan kesejahteraan yang merata.

Ternyata ada banyak komponen dalam sebuah Negara, baik organisasi domestic
Negara tersebut, organisasi formalnya yang diakui secara legal oleh Negara yang
bersangkutan, atau bahkan individu yang merupakan unsure terkecil pembentuk
Negara. Dalam liberalis, mereka semua adalah actor, jadi tidak seperti realis yang
hanya menganggap bahwa actor utama dalam dunia internasional itu hanya
Negara. Ada banyak aspek yang diperhatikan.

Paradigma ini yang kemudian akan kita jadikan kacamata untuk melihat
fenomena globalisasi di dunia internasional sekarang ini.

Bebicara tentang liberalis, maka kita akan berbicara tentang kebebasan, tanpa
sekat, dan dimana setiap pihak memiliki kesetaraan dalam mengusahakan apa
yang mereka bias usahakan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang
mengikat mereka untuk tidak sewenang-wenang. Begitu pun jiks kits berbicsrs
tentsang globalisasi, tidak ada sekat territorial yang memisahkan sehingga secara
umum kita juga bias bilang kebebasan.

Dalam melihat fenomena globalisasi dengan kacamata liberalis, ternyata


globalisasi itu tidak hanya pada ruang lingkup Negara saja. Ada banyak hal
ternyata yang telah diglobalisasikan dalam dunia internasional sekarang ini.
Misalnya saja ideology, gaya hidup, pendidikan, dan bahkan yang paling parah
agama.

Contoh Konkret misalnya adalah gaya hidup hedonism yang banyak dianut oleh
kaum muda kita sekarang ini. Tanpa sadar, mereka telah terkurung dalam

17 | P a g e
hegemoni barat yang mereka yakini bagus dan paling terdepan dalam peradaban
yang lagi lagi tanpa sadar ternyata ini semua adalah hasil permainan media yang
menyihir mind set kita untuk tidak berpikir lagi secara independen. Dalam hal
pendidikan misalnya maraknya sistem pendidikan yang berbasis internasional
yang di anut oleh sekolah-sekolah negeri di kota kita sekarang ini. Tanpa sadar ;
lagi ; kita sebenarnya belum siap untuk hal tersebut, baik dari tenaga pengajar
dan sarana dan prasarana yang mendukung. Tapi kita dipaksakan untuk ikut
dalam keadaan seperti ini,, karena kita tidak punya piluihan lagi. Itulah
globalisasi.

18 | P a g e
Marxist Approach Memandang
Globalisasi

Karl Marx tentulah bukan nama yang asing termasuk pemikirannya tentang
konsep negara yang berangkat dari pemikiran konflik kelas;kaum borjuis dan
proletar mengenai pembagian pendapatan dan pengharapannya tentang
kebersammaan, tokoh lainnya ialah Hobson dengan pemahaman tentang
kapitalisme sebagai penjajahan baru; Imprealisme, Lenin dengan pemahamannya
tentang kapitalism sebagai sesuatu yang tak dapat dihindari serta Luxemburg
tentang revolusi sebagai satu-satunya cara untuk memakanai tranpormasi
masyarakat. Dari semua tokoh diatas sangatlah jelas mengutarakan pemahaman
yang kritis tentang bagaiman sistem kapitalisme itu bekerja dan memnjadi
sebuah babak penjajahan baru dalam tatanan masyarakat global karena mau
tidak mau faktor ekonomi memang telah menjadi sebuah faktor utama dalam
upaya untuk mengembngkan negara masing-masing.

Marx melihat bahwa pada masa dia mengamati tentang fenomena ekonomi
dunia, perekonomian merupakan tempat eksploitasi manusia dan perbedaan
kelas. Marx mengambil pendapat Zero Sum dari merkantilisme dan memakainya
pada hubungan kelas selain negara. Sehingga pada tahun 1847 Fredrich Engels
dan Karl Marx mengumandangkan perlawanan tanpa kompromi terhadap sistem
kapitalisme yang dikenal dengan “Manifesto komunis”. Mereka berfikir bahwa
melalui perlawanan ini kaum tertindas, terutama proletariat (kaum buruh) harus

19 | P a g e
mendapat perlakuan adil, dengan menciptakan suatu masyarakat tanpa kelas
(classless society), bahkan tanpa negara (stateless society) dengan pandangan
dasar bahwa kekayaan serta sarana produksi tidak boleh berada dalam
kekuasaan kaum minoritas atas kaum kelas atas secara pribadi tetapi harus
menjadi hak semua masyarakat secara kolektif. Artinya setiap individu dapat
memperoleh apa yang menjadi haknya bukan berdasarkan capital yang dimiliki,
jasa yang telah diberi atau berdasarkan status sosialnya, tetapi berdasarkan
kebutuhannya.
Ada sepuluh alasan yang membuat paham marxisme menjadi begitu
kental dan dapat diterima oleh kaum buruh, adapun alasan-alasan itu adalah :
1. Marxisme menyediakan sebuah perspektif strategis untuk memenangkan
perjuangan kelas, menyukseskan kemerdekaan nasional dan mendirikan
solidaritas kelas pekerja internasional. Marxisme menggabungkan tiga
elemen esensial guna memperdalam pemahaman revolusioner untuk
terlibat dalam perjuangan kelas yaitu:
a. Perbandingan sejarah pengalaman perjuangan di negara-negara yang
berbeda dan juga pengalaman waktu yang berbeda dalam negara yang
sama.
b. Marxisme yang berdasarkan pada konsepsi materialis tentang sejarah,
memberi dasar pada hubungan dialektik antara organisasi ekonomi,
perjuangan kelas, negara, ideologi politik dan organisasi dalam
menentukan arah sejarah. Marxisme menolak pandangan mekanis
tentang sejarah sebagai ditentukan oleh “ide-ide” atau oleh “para elite”
c. Marxisme menyediakan analisis kelas yang canggih tentang kekuatan-
kekuatan sosial dan perjuangan, yang menentukan besaran skala dan
perubahan jangka-panjang. Ia menolak penafsiran borjuis tentang
sejarah, yang berpusat pada “individu” (Manusia Agung) atau “teori
elite” tentang sejarah. Marxisme tidak menolak pentingnya

20 | P a g e
kepemimpinan, namun mereka setuju bahwa “kepemimpinan” adalah
produk gerakan sosial dan pengetahuan lahir dari pengalaman kelas.
2. Marxisme menyediakan kunci untuk memahami dasar-dasar dari seluruh
produksi, distribusi dan nilai-kerja. Mengenai basis pemusatan kerja
(centrality of labor), Marxisme menyediakan sebuah dasar teori dan praktek
untuk memahami mengapa perjuangan kelas menjadi kekuatan penggerak
kemajuan sejarah.
3. Marxisme menyediakan kritik yang sangat lengkap terhadap neoliberalisme

dan alternatif ekonomi dan politik yang sangat jernih dan koheren.
Marxisme juga menyediakan kritik yang jernih tentang privatisasi dan
pembelaan mengenai kepemilikan publik, menolak pembayaran utang luar
negeri dan pembelaan tentang pentingnya investasi dalam pasar lokal,
watak kelas dari program penyesuaian struktural dan alternatif bagi
sosialisasi sektor-sektor strategis dalam ekonomi (energi, kelistrikan,
keuangan, perdagangan luar negeri, dsb).
4. Marxisme menegaskan tentang keuntungan praktek dan moral dari

solidaritas kelas melawan “solusi-solusi” individualistik terhadap


permasalahan-permasalahan struktural seperti upah, kesehatan dan
keamanan kerja. Walaupun sering dikecualikan, sejarah menunjukkan
bahwa banyak kemenangan diraih kelas pekerja melalui organisasi kolektif.
5. Marxisme menyediakan basis material bagi pembanguan solidaritas
internasional dan mengungkap kesalahan-kesalahan sejarah tentang
kolaborasi kelas antara serikat buruh Amerika Serikat dan negara imperialis
serta perusahaan-perusahaan multinasional. Poin Marxis bagi
internasionalisasi kapital sebagai pembentukan basis material dan
kebutuhan bagi kelas pekerja untuk mengorganisasikan diri secara lintas
batas nasional sebagai basis bagi kesamaan program dan anti-imperialisme.
6. Marxisme menyediakan pemahaman yang jernih tentang hubungan kelas,

jender, ekologi dan kebangsaan (nation). Marxisme mengakui ketimpangan

21 | P a g e
dalam kelas (antara ras dan jender) dan juga ketimpangan dan perbedaan
kelas dalam jender, etnik dan kelompok-kelompok rasial. Marxisme
mengombinasikan perjuangan kelas melawan kapital dan kekaisaran dengan
sebuah perjuangan sosial dalam kelas pekerja untuk jender, ras dan
persamaan etnik.
7. Marxisme menyediakan satu-satunya pemahaman yang jernih dan
menyeluruh tentang imperialisme: bagaimana sistem ini beroperasi, apa
tuntutan-tuntutannya dan konsekuensi-konsekuensinya yang
menghancurkan bagi bangsa tertindas. Teori Marxis tentang imperialisme
secara tegas menolak investasi asing, perdagangan bebas dan neo-
kolonialisme dalam bentuk NAFTA, ALCA dan Plan Colombia melalui
pengungkapan peran sentral negara-negara imperialis dalam
mengonsentrasikan keuntungan dan mengontrol pasar.
8. Marxisme menjelaskan mengapa kelas pekerja memainkan peran utama

dalam perjuangan melawan penghisapan kapital melalui titik dimana


mereka berperan utama dalam produksi dan distribusi. Jika kelas pekerja
menutup pabrik-pabrik, bank-bank, sarana transportasi, sistem energi dan
kelistrikan, pasti ekonomi tidak berfungsi; keuntungan kapitalis menurun
hingga akhirnya bangkrut.
9. Perspektif Marxis tentang masa depan alternatif yakni masyarakat sosialis,

didasarkan pada pengalaman praktek mengenai produksi sosial, perjuangan


kolektif dan kemenangan transisional, yang memperluas kekuasaan
pengambilan keputusan kelas pekerja. Kaum Marxis tidak “bermimpi”
tentang masyarakat masa depan. Mereka juga tidak mengusung sosialisme
sebagai sebuah “utopia.” Bagi kaum Marxis, sosialisme ditunjukkan dalam
solidaritas sehari-harinya (everyday solidarity), membagi pengalaman
kemenangan kolektif dan pemajuan sosialisasi pelayanan-pelayanan sosial.
Sosialisme, kepemilikan bersama, tidak “berakhir pada dirinya sendiri” tetapi
bermakna bagi kebebasan individu yang seluas-luasnya, jaminan sosial dan

22 | P a g e
waktu luang yang tersedia banyak untuk belajar, bermain dan memperkaya
pengalaman personal. Tujuan akhir sosialisme adalah sebuah “Manusia
Baru” yang memiliki kebebasan personal yang mengasyikkan dan dalam
prakteknya memiliki tanggung jawab sosial.
10. Marxisme juga menyediakan baik sejarah negatif maupun sejarah positif. Sisi
negatif “Marxisme” adalah ia dibangun di atas landasan abstrak ekspresi
metafisika “Hegelian,” yang “tak pernah menyentuh bumi” yang tidak
memiliki analisis yang konkret dan terpisah dari perjuangan kelas. Padahal
Marxisme bersifat historis dan empiris, dimana teori digunakan untuk
memahami sejarah yang konkret dan pengalaman-pengalaman
kontemporer.

Jika berbicara tentang Marxist Approach, kita akan lebih banyak berbicara dari
segi ekonominya, dari segi kebebasan hak yang notabenenya dimiliki oleh para
kaum buruh, dan bagaimana keadaan ekonomi itu pun sangat berpengaruh
terhadap hubungan negara-negara dalam dunia internasional, dalam
menentukan politik luar negeri suatu negara, dan dalam menentukan politik
internasionalnya.

Pemahaman tentang Marxist ternyata masih terlalu umum, pandangannya


mengenai fenomena ekonomi sekarang ini terlalu luas. Muncullah kemudian
pemikir-pemikir yang merupakan pengikut Marxist namun lebih mengkhususkan
pembahasannya pada spesialisasi tertentu seperti halnya Immanuel Wallerstein
dengan teori sistem dunianya, Antonio Gramscis dengan Gramscismnya, tak
ketinggalan Frankfurt School dengan Mazhab Frankfurtnya mengenai Critical
Theory. Masih banyak juga teori lain yang mengikuti pendekatan marxist dalam
penjabarannya namun merupakan pengembangannya yang berangkat dari
pendekatan Marxist seperti teori Constructivism.

23 | P a g e
Untuk selanjutnya lebih baik kita menganalisis mengenai World System Theory
yang dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein. Wallerstein mengkategorikan
dunia sebagai sistem yang mengatur proses pendistribusian sumberdaya dari
pinggiran ke inti. Dalam pemetaannya kemudian, dikembangkan bahwa negara –
negara yang berada di kelas inti memiliki jenis negara industri dan menganut
paham demokratis dan pinggiran adalah kelompok negara-negara berkembang
atau kasarnya negara terbelakang yang mengekspor bahan baku. Kemudian
dikenal juga istilah pasar yang merupakan daerah eksploitasi dari negara inti ke
negara pinggiran.
Adapun definisi Wallerstein untuk menjelaskan World System sendiri saya kutip
dari wikipedia.org adalah sebagai berikut :
"... sebuah sistem sosial, yang memiliki batas-batas, struktur, anggota
kelompok, pengesahan aturan, dan koherensi. kehidupan yang terdiri dari
konflik yang memaksa terus bersama dengan ketegangan dan merobek
selain itu karena setiap kelompok berusaha untuk selalu remold ke para
keuntungan. Ia memiliki karakteristik sebuah organisme, yang belum
memiliki kehidupan yang lebih dari span-nya di beberapa karakteristik
mengubah menghormati dan tetap stabil dalam lain. Satu yang dapat
menetapkan sebagai struktur di waktu yang berbeda dalam kuat atau
lemah dari segi logika internal yang berfungsi. "[1]

Dunia ini telah tersistem oleh sebuah aturan tata kerja pemasaran bahan baku
yang kemudian akan dikembangkan dalam perkembangan ekonomi dunia.
Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa dalam World System Theory
diyakini ada yang disebut negara inti dan negara pinggiran. Negara pinggiran di
sini adalah negara yang sebenarnya kaya akan sumberdaya alam, namun tidak
memiliki cukup sarana untuk mengolahnya menjadi barang jadi untuk kemudian
dijual dengan harga yang lebih murah. Jadi, negara-negara pinggiran tidak

24 | P a g e
memiliki pilihan lain selain memasarkan produk bahan baku atau bahan
mentahnya untuk dibawa ke pasar dunia dengan target pasar negara inti. Negara
inti pun sebenarnya sebaliknya, miskin akan sumberdaya alam, namun cukup
memiliki kapabilitas yang besar dalam memanfaatkan potensi apa yang
dimilikinya. Mereka sadar bahwa mereka kuat dalam pembangunannya yang
kemudian akan berdampak bagus pula pada perkembangan teknologinya dalam
hal ini sarana dan prasarana untuk mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
Sangat sederhana sebenarnya. Negara inti membeli bahan baku dari negara
pinggiran dengan harga yang lumyan murah ; sebut saja membeli rotan Rp 500,-.
Bahan baku atau rotan ini pun kemudian diolah menjadi kursi rotan yang indah
atau barang jadi dengan nilai jual sangat tinggi misalnya Rp 10.000,- yang
kemudian dibawa kembali ke kelompok negara pinggiran untuk menjadi
konsumsi barang pinggiran.

Konsep seperti ini lah yang kemudian dipakai oleh beberapa perusahaan –
perusaan MNC dalam globalisasi sekarang ini. Sebut saja misalnya perusahaan
Nike, Aqua, Unilever, Coca Cola Company, dll.

Globalisasi ditinjau dari kacamata World System Theory sangat jelas dapat
tergambarkan secara gambling. Dunia yang berkelas-kelas, dan kelas-kelas yang
dijelaskan dalam World System Theory memiliki keterikatan yang sangat kuat.

Kemudian kita akan membahas masalah Gramscism, sebuah teori yang juga
dikembangkan dengan pendekatan Marxist, yang dikemukakan oleh pemikir kiri
yang terkenal dengan konsep Hegemony nya, Antonio Gramsci. Jika Wallerstein
dengan Teori sistem dunianya tadi lebih banyak berbicara tentang keadaan kelas
yang ada di dunia akibat potensi sumberdaya dan kemampuan mengolah
sumberdayanya, maka jika kita berbicara tentang Gramsci, kita akan lebih banyak
berbicara tentang hegemoni yang dikeluarkan oleh negara terhadap warganya

25 | P a g e
dan kaitannya dengan ekonomi. Berbicara tentang Gramsci maka kita akan
berbicara tentang hegemoni, jika mengingat masalah hegemoni, maka globalisasi
adalah suatu sistem yang sangat berkaitan dan mengakar tenang perluasan
sesuatu melintasi sekat teritorial dengan cara terkuatnya melalui hegemony.

Untuk melihat fenomena Globalisasi dengan kacamata gramscis, saya akan lebih
banyak berbicara tentang media. Mengingat media adalh pihak yang sangat
berperan besar dalam proses pendistribusian informasi dari pihak yang bertugas
mencari informasi kepada masyarakat yang bersifat menerima informasi. Sarana
TV adalah sarana paling mutakhir dalam penyebaran hegemony, dan globalisasi
serta pengaruhnya pun paling banyak disebarkan lewat TV. Persepsi tentang
kuatnya ekonomi negara-negara utara, negara-negara barat kepada kita
sehingga kita meyakini dengan percaya bahwa mereka memang kuat itu pun
disebarkan lewat TV. No Alternative, kata Margareth thetcher mungkin.
Begitulah Globalisasi dalam bidang ekonomi disebarkan lewat media televisi,
produk-produk Globalisasi bisa dikenal oleh saudara-saudara kita di daerah
pelosok yang kemudian melunturkan budaya nasional yang selama ini kita
junjung tinggi, mematikan pasar tradisional, dan tentu saja menyukseskan dan
memberi keuntungan yang semakin banyak bagi mereka yang sebenarnya telah
untung banyak dan tanpa sadar telah membodoho kita yang menjadi
pengkonsumsi barang produk kapitalis itu. Sempat miris juga hati ini ketika ingat
kembali pengalaman yang kudapatkan saat berlibur ke Sinjai, kampung
halamanku, ketika semua rumah keluarga yang saya dan keluarga kunjungi
menyuduhkan Coca Cola, Fanta, dan Sprite, betul-betul tidak ada alternatif lain.
Ingatan ini kemudian terbawa kembali pada suatu ketika berdiskusi dengan
seorang teman tentang keprihatinan kami mengenai gambar-gambar yang
beredar di internet, dimana di wilayah Afrika, di kampung pengungsian, anak-
anak kecilnya disuguhkan minuman Coca Cola yang jika diperhatikan dengan
seksama, sangat kontras dengan kulit gosong dan kehidupan sosial yang sedang

26 | P a g e
mereka alami. Hegemoni Globalisasi betul-betul telah menggila dipelosok
belahan dunia mana pun.

Kemudian masuk pada Critical Theory. Critical Theory adalah gabungan dari
beberapa teori dari beberapa pemikir yang cukup terkenal tentang apa yang
mereka pahami dan mereka analisa dari fenomena sekitar mereka. Inti yang saya
pahami dari Critical theory adalah sebuah teori yang akan selalu mengkritik dan
tidak memiliki solusi karena mereka sadar bahwa pada umumnya segala sesuatu
itu memiliki peluang untuk dikritik jadi tidak ada penyelesaian akhir.

Muncul kemudian persoalan ketika menganalisis Globalisasi dengan pisau Critical


Theory. Globalisasi adalah sebuah fenomena yang sedang berlangsung dalam
kehidupan keseharian kita sekarang ini, dan secara Critical Theory, tentu
Globalisasi memiliki peluang untuk dikritik. Kritik untuk Globalisasi mungkin
banyak keluar dari pemikir-pemikir anti-Globalisasi. Secara Critical Theory,
Globalisasi adalah suatu sistem yang kembali tidak berjalan pada tataran
idealnya, sebenarnya, dengan tidak adanya sekat teritorial yang kemudian
menyebabkan kebebasan dalam segala hal, diharapkan terjadinya emansipasi
dalam berbagai hal. Adanya partisipasi aktif dari setiap pihak. Tidak seperti apa
yang terjadi sekarang ini, dimana pihak yang kaya akan semakin kaya dan pihak
yang kalah akan semakin bobrok. Sebenarnya, diharapkan agar pihak yang
memiliki potensi lebih dapat membimbing pihak yang ada di level sedikit di
bawah untuk kemudian bisa sama-sama bersaing dalam dunia internasional
sehingga terciptanya kesetaraan dunia dan kesejahteraan dalam berbagai
bidang.

Susah memang, apa yang baru saja saya kritik tentang Globalisasi dan
Kapitalisme yang sedang berlaku sekarang ini terdengar sangat ideal, tapi

27 | P a g e
begitulah Critical Theory, akan selalu mengkritik setiap fenomena yang ada di
dunia.

PENUTUP

Globalisasi adalah suatu fenomena sosial yang jika ditinjau dengan kaca mata
Grand Theory dalam Ilmu Hubungan Internasional misalnya Realis, Liberalis, dan
Marxist Approach adalah sebuah rekayasa dari pihak tertentu dan untuk
kepentingan tertentu.

Globalisasi tidak dapat dicegah, apalagi dihentikan, proses itu tengah


berlangsung sekarang, kita hanya bisa menjaga diri sendiri dengan meng-filter
setiap hal yang mungkin saja berdampak pada diri kita.

Tetap sederhana.

28 | P a g e
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Hasanuddin Makassar
Nur Utaminingsih

29 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai