Anda di halaman 1dari 2

Teori Pemrosesan Informasi

Telah dikembangkan sejumlah teori dan model pemrosesan informasi oleh para
pakar seperti Biaehler dan Snowman (1986), Baine (1986), dan Tennyson (1989). Teori
tersebut berpijak pada tiga asumsi yaitu :
1. Bahwa antara stimulus dan respon terdapat suatu seri tahapan pemrosesan
informasi di mana pada masing-masing tahapan dibutuhkan sejumlah waktu
tertentu.
2. Stimulus yang diproses melalui tahapan-tahan tadi akan mengalami perubahan
bentuk atau isi.
3. Salah satu dari tahapan mempunyai kapasitas yang terbatas (Lusiana, 1992).
Dari ketiga asumsi tersebut, dikembangkan teori tentang komponen struktur dan
pengatur alur pemrosesan informasi (proses kontrol). Komponen pemrosesan informasi
dipilah menjadi tiga berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta
terjadinya “lupa”.
Ketiga komponen tersebut adalah:
1) Sensory receptor, merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar. Di
dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, informasi hanya dapat
bertahan dalam waktu yang sangat singkat, dan informasi tadi mudah terganggu
atau berganti.
2) Working memory, diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian
(attention) oleh individu.
Karakteristik WM adalah:
(1) ia memiliki kapasitas yang terbatas, yaitu kurang 7 slots, informasi di dalamnya
hanya bertahan kurang dari 15 detik apabila tanpa upaya pengulangan/rehearsal
(2) informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya.
3) Long term memory, diasumsikan (1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki
oleh individu, (2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, dan (3) bahwa sekali
informasi disimpan di dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang.
Howard (1983) berpendapat bahwa informasi yang disimpan di dalam LTM dalam
bentuk prototipe, yaitu suatu struktur representasi pengetahuan yang telah dimiliki
yang berfungsi sebagai kerangka untuk mengkaitkan pengetahuan baru.
Tennyson (1989) mengemukakan bahwa proses penyimpanan informasi
merupakan proses mengasimilasikan pengetahuan baru pada pengetahuan yang
telah dimiliki, yang selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan.
C. Teori Belajar Menurut Landa
Menururt Landa dalam Irawan (2001:17-18), ada dua proses berfikir yaitu:
(1) proses berfikir algoritmik, yaitu proses berfikir sistematis, tahap demi tahap,
linier, teratur, sekuensial, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu.
(2) proses berfikir heuristik, yaitu cara berfikir divergen, menyebar menuju ke
beberapa target sekaligus.
D. Teori Belajar Menurut Pask dan Scott
Menurut Pask dan Scott, membedakan cara berfikir menyeluruh atau “wholist”
dan serial atau “serialist”.
1. Cara berfikir menyeluruh adalah berfikir yang cenderung melompat ke
depan, langsung ke “gambaran lengkap ” sebuah sistem informasi atau cenderung
mempelajari sesuatu dari tahap yang paling umum, kemudian bergerak kearah yang
lebih khusus (rinci).
2. cara berfikir serialist sama dengan pendekatan algoritmik, namun cara
berfikir menyeluruh tidak sama dengan pendekatan heuristic.
Teori sibernetik lebih menekankan pada sistem informasi yang akan dipelajari,
tetapi kurang memperhatikan bagaimana proses belajar berlangsung, sehingga teori ini
dianggap sulit dipraktekkan. Aplikasi dalam kegiatan instruksional teori ini adalah
sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional.
2.Menentukan materi pelajaran.
3. Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi tersebut.
4. Menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi itu (apakah
algoritmik ataukah heuristik).
5. Menyusun materi pelajaran dalam urutan yang sesuai dengan sistem informasinya.
6. Menyajikan materi dan membimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai dengan
urutan materi pelajaran (Haryati, 2017).

Anda mungkin juga menyukai