Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan


Aplikasi Keperawatan Transkultural pada Bayi atau Balita

Disusun Oleh :
SGD 2, Kelas A-3
Putri Hisaanah (131511133015) Mitha Mulia V. (131611133135)
Alfia Dwi S. (131611133105) Nafiul Ikroma W. (131611133149)
Afita Nur Dwiyanti (131611133114) Indah Azhari (131611133146)
M. Dzakkiyul F. W. (131611133115) Siti Nur Aisa (131611133138)
M. Rezza Romadlon(131611133126) Happy P. R (131611133127)
Alfiana Permatasari (131611133130) Esti Ristanti (131611133129)

Dosen Pembimbing: Sylvia Dwi Wahyuni S.Kep., Ns., M.Kep.

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena atas limpahan rahmat serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Psikososial dan Budaya dalam
Keperawatan yang berjudul “Aplikasi Keperawatan Transkultural pada
Bayi atau Balita”.

Ucapan terimakasih kami haturkan kepada seluruh pihak yang


berkontribusi dalam penyusunan makalah ini khususnya kepada dosen
pembimbing mata kuliah Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan, Ibu
Sylvia Dwi Wahyuni S.Kep., Ns., M.Kep. yang telah membimbing kami
selama perkuliahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan
saran dari pembaca sangat dibutuhkan guna perbaikan dan penyempurnaan
makalah berikutnya. Atas kontribusi tersebut, kami ucapkan terimakasih.

Penulis,

2
Kelompok SGD 2

3
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR .................................................................................. 2

DAFTAR ISI ................................................................................................. 3

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 4

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 5

1.3 Tujuan .................................................................................................... 6

1.4 Manfaat.................................................................................................... 6

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Definisi Transkultural Nursing................................................................ 7

2.2 Konsep dan Prinsip dalam Askep Transkultural...................................... 8

2.3 Ragam Transkultural pada Bayi/Balita di Indonesia............................... 14

2.4 Peran Perawat Menghadapi Ragam Transkultural.................................. 19

2.5 Asuhan Keperawatan Transkultural pada Bayi/Balita............................. 21

BAB 3 PENUTUP

3.1 Simpulan.................................................................................................. 25

3.2 Saran........................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 26

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam keluarga terjadi interaksi antar budaya, adaptasi serta
mempertahankan budaya dimana budaya merupakan keyakinan atau
perilaku yang diturunkan atau diajarkan manusia kepada generasi
berikutnya. Karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut : (1)
budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada
budaya yang sama persis, (2) budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis
karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga
mengalami perubahan dan (3) budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan
manusianya sendiri (Leininger, 1978).

Dari hasil SKRT 2001, kematian neonatal (bayi baru lahir) adalah
180 kasus. Kasus lahir mati berjumlah 115 kasus. Jumlah seluruh kematian
bayi adalah 466 kasus. Distribusi kematian neonatal sebagian besar di
wilayah Jawa Bali (66,7%) dan di daerah pedesaan (58,6%). Menurut
umur kematian, 79,4% dari kematian neonatal terjadi sampai dengan usia
7 hari, dan 20,6% terjadi pada usia 8-28 hari. Selain masalah medis salah
satu penyebabnya adalah faktor budaya.

Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan


manusia. Di era globalisasi sekarang ini dengan berbagai perubahan yang
begitu ekstrem menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek
sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak merebak di kalangan
masyarakat adalah berbagai perlakuan perawatan yang diberikan pada
bayi/balita yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial
budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada.

Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan


budaya seperti berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara
makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali

5
membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan
bayi/balita.

Menjadi seorang perawat bukanlah hal yang mudah. Seorang


perawat harus siap fisik maupun mental, karena tugas seorang perawat
sangatlah berat. Perawat yang siap melayani klien yang memiliki budaya
yang berbeda-beda mempunyai tantangan yang besar dalam mengubah
pola kehidupan masyarakat yang mempunyai dampak negatif tehadap
kesehatan masyarakat. Disadari atau tidak Tidak mudah mengubah pola
pikir ataupun sosial budaya masyarakat.

Dari fenomena diatas dapat dilihat bahwa asuhan keperawatan


keluarga terutama pada bayi/balita tidak lepas dari budaya atau
transkultural yang selalu dapat mempengaruhi hasil dari pengkajian
asuhan keperawatan bayi/balita sehingga perlu menelaah kembali asuhan
keperawatan keluarga mulai dari pengkajian, penentuan diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi sampai dengan evaluasi dengan
pendekatan transkultural sehingga dapat meningkatkan kemampuan
keterampilan profesional yang meliputi kemampuan intelektual, teknikal
dan interpersonal dalam melaksanakan asuhan keperawatan khususnya
dalam bayi/balita. Dalam makalah ini akan membahas asuhan keperawatan
keluarga dengan pendekatan transkultural secara teori, aplikasi di lapangan
sampai dengan kesenjangan antara teori dan lapanan.

Proses keperawatan komunitas juga memperhatikan adanya


perbedaan budaya di masing-masing daerah, karena hal itu Leininger
(1978) mendefinisikan transkultural di keperawatan sebagai: “ bidang
kemanusiaan dan pengetahuan pada studi formal dan praktik dalam
keperawatan yang difokuskan pada perbedaan studi budaya yang melihat
adanya perbedaan dan kesamaan dalam perawatan, kesehatan, dan pola
penyakit didasari atas nilai-nilai budaya, kepercayaan dan praktik budaya
yang berbeda di dunia, dan menggunakan pengetahuan untuk memberikan
pengaruh budaya yang spesifik pada masyarakat.”

6
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana definisi transcultural nursing?
1.2.2 Apa saja pengaruh transcultural nursing kepada keperawatan?
1.2.3 Bagaimana ragam transkultural pada bayi/balita di indonesia?
1.2.4 Apa saja peran perawat menghadapi ragam transkultural pada
bayi/balita di indonesia?
1.2.5 Bagaimana asuhan keperawatan transkultural pada bayi/balita?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui tentang definisi transcultural nursing.
1.3.2 Mengetahui transcultural nursing kepada keperawatan.
1.3.3 Mengetahui ragam transkultural pada bayi/balita di indonesia.
1.3.4 Mengetahui perawat menghadapi ragam transkultural pada bayi/balita
di indonesia.
1.3.5 Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan transkultural pada
bayi/balita.
1.4 Manfaat
1.4.1 Mendapatkan pengetahuan mengenai ragam transkultural pada
bayi/balita di indonesia.
1.4.2 Perawat menambah pengetahuan mengenai hal yang harus dilakukan
pada bayi/balita dengan menggunakan Asuhan Keperawatan yaitu
pendekatan transkultural.

7
8
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Transcultural Nursing


Transkultural berasal dari kata trans dan culture, trans berarti alur
perpindahan jalan lintas atau penghubung. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, trans berarti melintang, melintas, menembus , melalui. Kultur
berarti budaya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kultur berarti
kebudayaan, cara pemeliharaan, pembudidayaan. Jadi, transkultural dapat
diartikan sebagai lintas budaya yang mempunyai efek bahwa budaya yang satu
mempengaruhi budaya yang lain atau pertemuan kedua nilai – nilai budaya yang
berbeda melalui proses interaksi sosial.
Sebelum mengetahui lebih lanjut keperawatan transkultural, perlu kita
ketahui apa arti kebudayaan terlebih dahulu. Kebudayaan adalah suatu system
gagasan, tindakan, hasil karya manusia yang diperoleh dengan cara belajar dalam
rangka kehidupan masyarakat. (koentjoroningrat, 1986). Wujud-wujud
kebudayaan antara lain:
 Kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan
 Kompleks aktivitas atau tindakan
 Benda-benda hasil karya manusia
Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of knowledge yang
dapat dikembangkan dan diaplikasikan dalam praktek keperawatan. Teori
transkultural dari keperawatan berasal dari disiplin ilmu antropologi dan
dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konteks atau
konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan
nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat.
Menurut Leinenger, sangat penting memperhatikan keragaman budaya dan
nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut
diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural
shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu
beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya.

9
Keperawatan transkultural adalah ilmu dengan kiat yang humanis yang
difokuskan pada perilaku individu/kelompok serta proses untuk mempertahankan
atau meningkatkan perilaku sehat atau sakit secara fisik dan psikokultural sesuai
latar belakang budaya. Sedangkan menurut Leinenger (1978), keperawatan
transkultural adalah suatu pelayanan keperawatan yang berfokus pada analisa dan
studi perbandingan tentang perbedaan budaya.
Tujuan  dari transcultural nursing adalah untuk mengidentifikasi, menguji,
mengerti dan menggunakan norma pemahaman keperawatan mengenai
transkultural  dalam meningkatkan kebudayaan spesifik dalam asuhan
keperawatan. Asumsinya adalah berdasarkan teori caring, caring adalah esensi
dari, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan.
Perilaku caring diberikan  kepada manusia sejak lahir hingga meninggal dunia.
Human caring merupakan fenomena universal dimana, ekspresi, struktur polanya
bervariasi diantara  kultur satu tempat dengan tempat lainnya.

2.2 Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural


Konsep transcultural nursing (Leininger, 1978, 2002) berfokus pada
perbandingan dan analisis perilaku kepedulian budaya yang berbeda dengan
tujuan pengembangan budaya-spesifik dan budaya-universal praktik asuhan
keperawatan.
Konsep dalam keperawatan transkultural adalah :
2.2.1 Budaya
Norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang
dipelajari, dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak
dan mengambil keputusan.
2.2.2 Nilai budaya
Keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau suatu
tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
2.2.3 Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan

10
Merupakan bentuk yang optimal dalam pemberian asuhan
keperawatan.
2.2.4 Etnosentris
Budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain adalah persepsi yang
dimiliki individu  menganggap budayanya adalah yang terbaik.
2.2.5 Etnis
Berkaitan dengan manusia ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut cirri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
2.2.6 Ras
Perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada
mendiskreditkan asal muasal manusia. Jenis ras umum dikenal
kaukasoid, negroid, mongoloid.
2.2.7 Etnografi/Ilmu budaya
Pendekatan metodologi padapenelitian etnografi memungkinkan
perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada
pemberdayaan budaya setiap individu.
2.2.8 Care
Fenomena yang berhubungan dengan bimbingan bantuan,
dukungan perilaku pada individu, keluarga dan kelompok dengan
adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun
potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan
manusia.
2.2.9 Caring
Tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada
keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan
kondisi kehidupan manusia
2.2.10 Culture care
Kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, kepercayaan dan
pola ekspresi digunakan untuk membimbing, mendukung atau
memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk

11
mempertahankan kesehatan, sehat dan berkembang bertahan hidup
dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
2.2.11 Cultural imposition
Kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan kepercayaan,
praktek dan nilai karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat
lebih tinggi dari kelompok lain.

Untuk membantu perawat dalam menvisualisasikan teori


Leininger, maka Leininger menjalaskan teorinya dengan Model Sunrise.
Model ini adalah sebuah peta kognitif yang bergerak dari yang paling
abstrak, ke yang sederhana dalam menyajikan faktor penting teorinya
secara holistik.

12
Sunrise model dikembangkan untuk memvisualisasikan dimensi
tentang pemahaman perawat mengenai budaya yang berdeda-beda.
Perawat dapat menggunakan model ini saat melakukan pengkajian dan
perencanaan asuhan keperawatan, pada pasien dengan berbagai latar
belakang budaya. Meskipun model ini bukan merupakan teori, namun
setidaknya model ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memahami
aspek holistik, yakni biopsikososiospiritual dalam proses perawatan klien.
Selain itu, Sunrise model ini juga dapat digunakan oleh perawat komunitas
untuk menilai faktor cultural care pasien (individu, kelompok, khususnya
keluarga) untuk mendapatkan pemahaman budaya klien secara
menyeluruh. Sampai pada akhirnya, klien akan merasa bahwa perawat
tidak hanya melihat penyakit serta kondisi emosional yang dimiliki pasien.
Namun, merawat pasien secara lebih menyeluruh. Adapun sebelum
melakukan pengkajian terhadap kebutuhan berbasis budaya kepada klien,
perawat harus menyadari dan memahami terlebih dahulu budaya yang
dimilki oleh dirinya sendiri. Jika tidak, maka bisa saja terjadi cultural
imposition.
Paradigma keperawatan transkultural (Leininger 1985), adalah cara
pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam asuhan keperawatan
yang sesuai  latar belakang budaya, terhadap 4 konsep sentral
keperawatan yaitu :
2.2.1 Manusia; Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang
memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna
untuk menetapkan pilihan dan melakukan pilihan. Menurut Leininger
(1984) manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan
budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and
Davidhizar, 1995).
2.2.2 Sehat; Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien
dalam mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit.
Kesehatan merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam
konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan memelihara

13
keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas
sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu
ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang
adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
2.2.3 Lingkungan; didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang
mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien.
Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien
dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk
lingkungan yaitu: fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah
lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah
katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di
daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada
matahari sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan
struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga
atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam
lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan
yang berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah
keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau
kelompok merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa
dan atribut yang digunakan.
2.2.4 Keperawatan; Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau
rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada
klien sesuai dengan latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan
ditujukan memnadirikan individu sesuai dengan budaya klien. Strategi
yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan/
mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi budaya dan
mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1991).
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang
berdasarkan 7 komponen yang ada pada ”Sunrise Model” yaitu :

14
2.2.1 Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau
mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji: persepsi sehat sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi
klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini.
2.2.2 Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang
amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi
yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya,
bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji
oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara
pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan
kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
2.2.3 Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama
lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga,
dan hubungan klien dengan kepala keluarga.
2.2.4 Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan
ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk.
Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat
penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji
pada faktor ini diantaranya adalah, posisi dan jabatan yang dipegang
oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan,
makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan
dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.

15
2.2.5 Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu
dikaji pada tahap ini diantaranya adalah, peraturan dan kebijakan
yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga
yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
2.2.6 Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh.
Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya adalah,
pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki
oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian
biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
2.2.7 Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-
bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini diantaranya
adalah, tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta
kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman
sakitnya sehingga tidak terulang kembali.

2.3 Ragam Transkultural Pada Bayi/Balita Di Indonesia


Andrew dan Boyle (1995), budaya adalah sesuatu yang kompleks yang
mengandung pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan
kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota
komunikasi setempat. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,

16
tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan
cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia
yang meliputi kebudayaan material dan kebudayaan non material, 
kebudayaan itu diperoleh manusia sebagaia nggota masyarakat, kebudayaan
itua dalah kebudayaan manusia dan hampir semua tindakan manusia adalah
kebudayaan. Telah dijelaskan bahwa adanya akal dan budidaya pada
manusia, telah menyebabkan adanya perbedaan cara dan pola hidup diantara
keduanya.
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali
merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di
masyarakat. Sebagian besar kematian anak di Indonesia saat ini terjadi pada
masa baru lahir (neonatal), bulan pertama kehidupan. Seperti di negara-
negara berkembang lainnya yang mencapai status pendapatan menengah,
kematian anak di Indonesia telah mengalami penurunan, seiring dengan
peningkatan pendidikan ibu, kebersihan rumah tangga dan lingkungan, serta
peran tenaga kesehatan. Perilaku masyarakat sebagai akibat adanya
perubahan sosial budaya ada 2 yaitu:
1. Akibat Positif
Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat
yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan disebut adjusment,
sedangkan bentuk  penyesuaian dengan gerak perubahan disebut
integrasi. Apabila perubahan sosial budaya tersebut tidak
berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai dan norma maka
perilaku masyarakat akan positif.
2. Akibat Negatif
Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya
tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Keadaan
masyarakat yang tidak memiliki kemampuan dalam menyesuaikan
disebut maladjustment. Jika perubahan sosial budaya tersebut

17
menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka perilaku
masyarakat akan negatif.

Beberapa kebudayaan daerah yang berkaitan dengan kesehatan bayi baru lahir:

1. Di Daerah Manggarai

Upacara adat Cear Cumpe , yaitu upacara adat manggarai pada bayi baru
lahir. Bayi diarak kepada semua tamu yang datang, khususnya ibu – ibu dengan
maksud sebagai ucapan selamat datang pada bayi yang baru lahir, dilakukan
pada hari ke lima bayi baru lahir. Segi positifnya, dapat membina kasih sayang
antara keluarga dan bayi, meningkatkan asupan gizi ibu karena dihidangkan
makanan lezat dan bergizi. Namun, segi negatifnyanya, tamu yang datang dapat
beresiko menularkan penyakit kepada bayi.

Saat tidur bayi diletakkan benda – benda tajam di dekat bayi, dengan
maksud mengusir roh – roh jahat. Secara ilmiah, tidak ada hubungan antara
benda-benda tajam dengan roh jahat. Yang ada malah benda-benda tajam
tersebut akan beresiko mencederai bayi.

Kebiasaan “DUM” , yaitu bayi didekatkan di api kemudian salah satu


keluarga memencet hidung bayi dengan tangannya yang terlebih dahulu di
hangatkan di dekat api tujuannya agar hidung bayi lebih mancung. Tidak
hubungannya menarik hidung dengan mancung tidaknya hidung, semua
tergantung dari bentuk tulang hidungnya dan itu sudah bawaan. Kebiasaan ini
malah menyakiti bayi.

2. Di Daerah Jawa

Bayi baru lahir harus dibedong yang dipercaya dapat membuat tulang kaki
bayi lurus dan kuat untuk berjalan. Hampir setiap bayi memiliki kaki yang
tampak bengkok, begitulah fisiologis kaki bayi. Ini disebabkan karena ia masih
terbiasa dengan posisi meringkuk ketika masih berada didalam rahim. Seiring
berjalannnya waktu, kakinya akan lurus dengan sendirinya. Pada kenyataannya,
dibedong dapat mengganggu peredaran darah bayi. Jantungnya akan terpaksa

18
bekerja lebih berat untuk memompa darah karena tubuhnya dibebat terlalu berat.
Bahkan, ini beresiko membahayakan tulang panggul, dapat menyebabkan
dislokasi panggul dan paha. Beberapa ibu membedong bayi untuk melindungi
dari dingin, baik karena faktor cuaca atau setelah mandi. Sebenarnya baju lengan
panjang dan celana panjang pun sudah cukup untuk menghangatkan tubuh si
kecil.

Bayi baru lahir harus dipakaikan gurita hingga umur tiga bulan atau sampai
bayi dapat tengkurap. Dipercaya dapat menjaga perut bayi menjadi tidak melar,
dapat menahan talipusat sehingga talipusat tidak tertarik, juga untuk menjaga
agar tulang belakang tidak bengkok. Bayi bernapas dengan otot-otot pada
perutnya. Jadi, memasangkan gurita justru manghambat pernapasannya.
Perutnya yang kembung sudah bentuk alamiah. Jika memang harus memakaikan
gurita jangan mengikat terlalu kencang terutama di bagian dada agar jantung dan
paru-parunya bisa berkembang dengan baik. Dan jika tujuannya supaya pusar
tidak bodong sebaiknya di pakaikan hanya di pusar dan ikatannya pun tidak
kencang.

Mitos-mitos yang lahir di masyarakat ini kebenarannya kadang tidak


masuk akal dan bahkan dapat berbahaya bagi ibu dan bayi. Hal ini
dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang merawat bayi
baru lahir. Mitos-mitos merawat bayi baru lahir yang berkembang di
masyarakat diantaranya adalah:

a) Menggunting bulu mata agar lentik


Bulu mata berfungsi melindungi mata dari gangguan benda-benda
asing. Jika dipotong, fungsinya tidak lagi dapat bekerja secara optimal.
Panjang pendeknya bulu mata sudah menjadi bawaan dari bayi itu sendiri.
b) Beri setetes kopi agar bayi tidak step (kejang)
Belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan hal ini. Bahkan
pemberian kopi pada bayi jelas berbahaya karena mengandung kafein yang
akan memacu denyut jantungnya bekerja lebih cepat.
c) Jangan menyusui bayi jika bunda sedang sakit

19
Penyakit yang diderita ibu menyususi tidak dapat ditularkan
melalui ASI. Sebaliknya, saat ibu sedang sakit tubuh si ibu akan
menghasilkan sistem kekebalan tubuh yang lebih banyak dan akan ikut ke
dalam ASI yang jika diminum si bayi, akan meningkatkan sistem
kekebalan tubuhnya. Yang tidak boleh adalah menyusui bayi saat sakit
tanpa ada pelindung untuk ibu, contohnya pakai masker penutup mulut
dan hidung saat flu karena akan memularkan penyakit, jadi bukan karena
ASI.
d) Apakah bayi perlu dipakaikan bedak setelah mandi atau sehabis ganti
popok?
Lebih baik, oleskan baby cream. Karena penggunaan bedak di
daerah lipatan seperti tangan, kaki atau selangkangan dapat menggumpal.
Jika gumpalan ini bercampur dengan keringat akan menjadi sarang
berkembangnya kuman dan bisa menyebabkan iritasi. Partikel bedak yang
terhirup bisa mengganggu pernapasannya.
e) Bayi yang mengalami kuning beberapa hari pasca kelahirannya harus
dijemur di ruangan terbuka.
Penyakit kuning yang diderita bayi merupakan proses alamiah dari
pemecahan sel darah ibunya. Proses ini memang dapat terbantu oleh sinar
matahari. Tapi kini, kontak langsung sudah tidak disarankan. Sebaiknya,
jemur dibalik kaca selama kira-kira 15 menit untuk masing-masing bagian
depan dan punggung bayi.
f) Ketika bayi demam harus dikompres air dingin.
Setelah dikompres, tubuh yang awalnya panas mungkin akan terasa
dingin begitu diraba. Akan tetapi, ini bukan pertanda bahwa si kecil
membaik. Sebaliknya, suhu dingin dari kompresan tersebut akan mengirim
sinyal yang salah kepada tubuh anak. Tubuh mungilnya akan menganggap
bahwa cuaca sedang dingin dan akhirnya merasa perlu memproduksi panas
lagi. Jadi, lebih baik kompres dengan air hangat agar tubuhnya berhenti
memproduksi panas.

20
g) ASI pertama yang berwarna kekuningan merupakan ASI yang sudah basi
dan tidak baik dikonsumsi bayi.
ASI pertama adalah kolostrum yang mengandung zat kekebalan
tubuh dan kaya akan protein. Warna dan penampilan ASI putih keruh serta
encer sering pula diasumsikan sebagai ASI kualitas jelek. Warna dan
kejernihan ASI sangat tergantung bahan nutrien yang terkandung di
dalamnya. Tak ada ibu yang mempunyai ASI seputih dan seindah
penampilan susu formula. Namun begitu, kualitas ASI tak dapat ditandingi
oleh susu formula manapun.
h) Bayi harus tidur dengan botol susu.
Penggunaan alat ini memang membantu bayi tidur lebih cepat.
Akan tetap penggunaan botol susu dapat meningkatkan resiko si kecil
terkena infeksi telinga karena susu yang seharusnya diminum justru
mengalir ke saluran eusthacius (penghubung antara tenggorokan bagian
belakang dan telinga bagain belakang ). Jadi, jika ingin memberi si kecil
susu melalui botol, sebaiknya angkat dulu si kecil dan pastikan kepalanya
lebih tinggi dari badan.

2.4 Peran Perawat dalam Menghadapi Ragam Transkultural pada Bayi atau
Balita Di Indonesia

Dalam hal ini perawat menjembatangi antara system perawatan


yang dilakukan masyarakat awam dengan system perawatan professional
melalui asuhan keperawatan. Eksistensi peran perawat tersebut
digambarkan oleh Leininger. Oleh karena itu perawat harus mampu
membuat keputusan dengan rencana tindakan keperawatan yang harus
diberikan kepada masyarakat. Jika disesuaikan dengan proses
keperawatan, hal tersebut merupakan tahap perencanaan tindakan
keperawatan.

21
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien harus tetap
memerhatikan tiga prinsip asuhan keperawatan yaitu:

2.4.1 Culture care preservation/maintenance, yaitu prinsip membantu,


memfasilitasi atau memerhatikan fenomena budaya guna membantu
individu menentukan tingkat kesehatan dan gaya hidup yang
diinginkan.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang
telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya.
1. Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang
proses melahirkan dan perawatan bayi.
2. Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan
klien.
3. Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan
perawat.
2.4.2 Culture care accommodation/negotiation, yaitu prinsip membantu,
memfasilitasi, atau memerhatikan fenomena budaya yang ada, yang
merefleksikan cara-cara untuk beradaptasi, bernegosiasi, atau
mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup individu atau
klien.
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini
dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu
yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar
dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan.
1. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien.
2. Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan.

22
3. Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana
kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien
dan standar etik.
2.4.3 Culture care repatterning/restructuring, yaitu prinsip merekonstruksi
atau mengubah desain untuk membatu memperbaiki kondisi kesehatan
dan pola hidup klien kearah yang lebih baik dan menguntungkan.
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang
dimiliki merugikan status kesehatan. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan
yang dianut.
1. Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang
diberikan dan melaksanakannya.
2. Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok.
3. Gunakan pihak ketiga bila perlu.

Para perawat membantu individu dan kelompok untuk


meningkatkan atau mempertahankan kondisi manusia dengan menerapkan
pengetahuan tentang intervensi cara merawat yang terkait budaya.

Pemahaman yang benar pada diri perawat mengenai budaya klien,


baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat, dapat mencegah
terjadinya culture shock maupun culture imposition. Culture shock terjadi
saat pihak luar (perawat) mencoba mempelajari atau beradaptasi secara
efektif dengan kelompok budaya tertentu (klien). Klien akan marasakan
perasaan tidak nyaman, gelisah dan diseriontasi karena perbedaan nilai
budaya, kayakinan dan kebiasaan. Sedangkan culture imposition adalah
kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam-diam
maupun terang-terangan, memaksakan nilai-nilai budaya, kayakinan, dan
kebiasaan/ perilaku yang dimilikinya kepada individu, keluarga atau
kelompok dari budaya lain karena mereka meyakini bahwa budayanya
lebih daripada budaya lain.

23
Peran perawatan dalam memperbaiki kesehatan masyarakat yang
beragam pada umumnya mengacu pada berbagai prinsip seperti
melakukan pengkajian kulturologis (ilmu budaya), melakukan self
assessment secara kebudayaan, mencari pengetahuan mengenai budaya
local, mengenai aspek politik dari kelompok yang beragam beserta
kebudayaan, meningkatkan kepekaan dan menyediakan pelayanan yang
kompoten secara kultural, serta mengenali masalah kesehatan yang
berdasarkan budaya

2.5 Asuhan Keperawatan Transkultural Pada Bayi/Balita


2.5.1 Kasus
Seorang ibu datang ke Puskesmas Sawah Pulo membawa bayi
perempuannya bernama A yang berusaia 3 bulan. Ibu klien mengeluh bahwa
anaknya sering sakit-sakitan, seperti flu dan demam. Setiap anaknya sakit ibu
klien hanya mengobati anaknya dengan ramuan seadanya atau membawanya
ke dukun bayi untuk dipijit tanpa segera dibawa ke Puskesmas. Berdasarkan
pengkajian didapatkan bahwa sejak bayi tersebut lahir, sang ibu tidak
memberikan ASI dikarenakan sang ibu beranggapan bahwa ASI yang
pertama kali keluar (kolostrum) sebagai ASI yang rusak dan tidak baik
diberikan kepada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Namun,
pada kenyataannya kolostrum sangat berperan dalam menambah daya
kekebalan tubuh bayi sehingga bayi tidak mudah sakit.
2.5.2 Pengkajian
Pengkajian  pada model transcultural in nursing meliputi :
1. Faktor Teknologi ( Technological Factors )
 Persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi
untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini : untuk
memperoleh kesembuhan pada anaknya, ibu membawa anaknya ke
dukun bayi, setelah beberapa hari tidak terjadi perubahan lalu ibu
klien membawa anaknya ke puskesmas.

24
 Alasan mencari bantuan kesehatan : untuk memperoleh
kesembuhan anaknya
 Persepsi sehat sakit : Ibu beranggapan bahwa keadaan anaknya
yang rentan sakit tersebut disebabkan oleh penyakit biasa. Ibu klien
tidak menyadari bahwa pemberian kolostrum pada bayi baru lahir
itu penting untuk meningkatkan daya imunitas pada bayi.
 Kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan : Ibu klien
hanya mengobati anaknya dengan ramuan seadanya tanpa segera
dibawa ke petugas kesehatan
2. Faktor Agama dan Falsafah Hidup ( Religious and Phylosophical
Factors )
Dalam kasus ini masyarakat kerinci menganggap bahwa kolostrum
adalah ASI yang sudah rusak dan tidak baik diberikan kepada bayi
karena warnanya yang kekuning-kuningan.
3. Faktor Sosial dan Keterikatan Kekeluargaan (Kinship ties and
Social Factors )
 Nama lengkap : An. A
 Nama panggilan dalam keluarga : An. A
 Umur : 3 bulan
 Tempat dan tanggal lahir : Bantul, 05 Juni 2014
 Jenis kelamin : Perempuan
 Status : Anak kandung
 Pengambilan keputusan dalam anggota keluarga : Orang Tua
 Hubungan klien dengan kepala keluarga : Anak
4. Faktor Nilai – Nilai Budaya dan Gaya Hidup ( Cultural Values
and Lifeways )
 Bahasa yang digunakan : Bahasa Jawa
 Posisi jabatan kepala keluarga dalam lingkungan masyarakat:
warga
 Kebiasaan membersihkan diri : Mandi 2x sehari

25
 Kebiasaan makan : mengkonsumsi ASI
5. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku
Pada kasus pembuangan kolostrum ini, tidak ada peringatan atau
penyuluhan mengenai cara dan dampak dari tidak memberikan pola
pemberian ASI dengan baik dan benar.
6. Faktor Ekonomi ( Economical Factors )
 Sumber ekonomi yang dimanfaatkan oleh klien : Sumbangan
keluarga
 Pekerjaan klien : Belum bekerja
 Sumber biaya pengobatan : JAMKESMAS
 Tabungan yang dimiliki keluarga : Simpanan pribadi
7. Faktor Pendidikan ( Educational Factors )
Semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat, pengetahuannya
juga akan semakin kurang sehingga masyarakat kurang mengetahui
dampak dari pembuangan kolostrum bedong bayi dan melakukan
bedong bayi tanpa rasional, sehingga membuat masyarakat terus
mempertahankan persepsinya yang salah.
2.5.3 Intervensi Keperawatan
Hambatan komunikasi verbal (00051)
Domain :5
Kelas :5
Definisi : Penurunan, pelambatan, atau ketiadaan kemampuan untuk menerima,
memproses, mengirim, dan/atau menggunakan sistem simbol.
Diagnosa NOC NIC
Hambatan  Memahami dan  Melibatkan keluarga
komunikasi verbal mengidentifikasi dalam pemberian
berhubungan anggapan budaya edukasi kepada klien
dengan masyarakat tentang atau masyarakat.
ketidaksesuaian “kolostrum”.  Melakukan negosiasi
budaya  Mengidentifikasi sejauh atau kesepakatan
mana pengetahuan dengan masyarakat

26
masyarakat mengenai dimana kesepakatan
“kolostrum” berdasarkan berdasarkan
pandangan medis. pengetahuan biomedis,
 Membangun hubungan pandangan klien dan
saling percaya antara standar etik.
klien atau masyarakat  Melakukan evaluasi
dengan perawat. dan monitor untuk
 Memberikan edukasi memantau perubahan
berorientasi kesehatan pola kebiasaan atau
secara perlahan kepada kebudayaan pasien
klien atau masyarakat
mengenai manfaat
pemberiaan kolostrum
kepada bayi

2.5.4 Evaluasi
a) Masyarakat menunjukkan kepatuhan kepada edukasi dan saran
yang diberikan.
b) Masyarakat dapat merubah anggapan negatif tentang kolostrum
dan dapat memberikan pola pemberian ASI sesuai dengan konsep
medis.
c) Masyarakat dapat beradaptasi dengan budaya baru.

27
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Transkultural adalah ilmu dengan kiat yang humanis yang difokuskan
pada perilaku individu/kelompok serta proses untuk mempertahankan atau
meningkatkan perilaku sehat atau sakit secara fisik dan psikokultural sesuai
latar belakang budaya. Sedangkan menurut Leinenger (1978), trannscultural
nursing adalah suatu pelayanan keperawatan yang berfokus pada analisa dan
studi perbandingan tentang perbedaan budaya.
Berdasarkan kasus yang ada di makalah ini dapat diambil kesimpulan
bahwa tidak sepenuhnya mitos-mitos yang beredar benar adanya. Ada
beberapa mitos atau kepercayaan budaya yang belum tentu benar, namun
tetap berkembang secara turun temurun. Beberapa mitos tersebut perlu
diluruskan agar tidak menimbulkan salah persepsi yang bisa berakibat fatal.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya pembelajaran tentang transkultural pada
bayi/balita ini, perawat dapat meningkatkan pelayanan dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan latar belakang kebudayaan mereka, dan mampu mengubah
tentang paradigma masyarakat terhadap mitos-mitos yang telah turun
menurun terjadi di masyarakat.
Kita sebagai perawat dapat melakukan intervensi keperawatan dengan
mengubah budaya masyarakat yang ada dengan restrukturisasi budaya
mereka. Sehingga, model asuhan keperawatan dengan transcultural in
nursing ini sangat tepat dipakai dalam pemberian asuhan keperawatan dalam
kehidupan sehari-hari, karena dapat memberikan asuhan keperawatan yang
lebih lengkap dan rinci sesuai dengan kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat.

28
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Efy. Keragaman Budaya dan Perspektif Transkultural dalam


Keperawatan.
http://staff.ui.ac.id/internal/132051049/material/transkulturalnursing.pdf.
Aplication pdf (18 Oktober 2011)

Andrew, M.M. and Boyle, J.S. (1995). Transcultural Concepts in Nursing Care.
2nd Ed.

Arnita Yuni et al, (2017). Persepsi Perawat tentang Penggunaan Neonatal


Behavioral Assessment Scale sebagai Intervensi Awal dalam Meningkatkan
Interaksi Ibu-Bayi Di Puskesmas Kota Banda Aceh: Sebuah Studi Kualitatif.
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah: Aceh.

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Bakhtiar et al, (2015). Faktor Transkultural Persepsi Kesehatan Ibu Dengan


Balita ISPA. Jurnal Ilmu Keperawatan 3:1.

J Christensen, Paula W,. Kenney J. (2009). Proses Keperawatan Aplikasi Model


Konseptual. Buku Kedokteran: Jakarta.

Rahmawati N. I. (2016), Dukungan Informasional Keluarga Berpengaruh dalam


Pemberian ASI Eksklusif di Desa Timbulharjo Sewon Bantul. JNKI, Vol. 4,
No. 2.

Sumijatun. (2011). Membudayakan Etika dalam Praktik Keperawatan, Salemba


Medika: Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai