Anda di halaman 1dari 50

USULAN PENELITIAN

PENGARUH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM


PENGEMBANGAN DESA WISATA TERHADAP
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DESA WISATA
PAKSEBALI, KECAMATAN DAWAN

Usulan Penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyusun
skripsi S1 Program Studi Ekonomi Pembangunan

Diajukan Oleh:
KADEK SURYA ADI MAHARDIKA
1607511122

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-undang Dasar 1945, tujuan bangsa Indonesia adalah

memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara

umum, kesejahteraan memiliki pengertian dimana seseorang mampu memenuhi

kebutuhan dasarnya. Pengertian ini juga didukung oleh Undang-undang Nomor 6

Tahun 1974 dimana disebutkan bahwa kesejahteraan sosial merupakan tata

kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spiritual yang diliputi oleh

rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin, yang memungkinkan

bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga

serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban

manusia sesuai dengan Pancasila.

Peningkatan hidup masyrakat ditandai dengan berkurangnya kemiskinan,

tingkat hidup yang lebih layak, tingkat pendidikan yang lebih baik, dan

peningkatan produktivitas. Sedangkan menurut Soesiolowati (2006:6) dalam

Hukom (2014) kesejahteraan masyrakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

dasar yang tercermin dari rumah yang layak, tercukupinya kebutuhan sandang dan

pangan, biaya pendidikan dan kesehatan yang murah dan berkualitas atau kondisi

dimana setiap individu mampu memaksimalkan utilitasnya pada tingkat batas

anggaran tertentu dan kondisi dimana tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani.

1
Tingkat kesejahteraan setiap daerah dalam satu negara tidaklah sama.

Salah satu yang menyebabkan hal ini terjadi adalah perbedaan sumber pendapatan

dan pendapatan daerah itu sendiri. Perbedaan tersebut tidak akan menjadi masalah

yang serius ketika mampu dimanfaatkan dengan maksimal untuk kepentingan

bersama. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tingkat kesejahteraan di

masing-masing provinsi tidaklah sama, bahkan setiap kabupaten. Seperti halnya

pada Provinsi Bali yang setiap kabupatennya memiliki perbedaan sumber

pendapatan, sehingga terjadi perbedaan pada tingkat kesejahteraanya.

Provinsi Bali terdiri atas Sembilan kabupaten, dimana hampir semua

mengandalkan pariwisata dikarenakan Bali tidak memiliki sumber daya alam

(bahan tambang) yang melimpah seperti di daerah-daerah lain yang ada di

Indonesia. Kondisi inilah yang menjadi landasan pemikiran pemerintah Provinsi

Bali untuk selalu mengembangkan pariwisata secara berkelanjutan, untuk mencpai

kesejahteraan. Pembangunan kepariwisataan di Bali adalah pariwisata budaya

yang dilaksanakan berdasarkan pada asas manfaat, kekeluargaan, kemandirian,

keseimbangan, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata,

demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu

dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana. Selama 1960-an. Pariwisata mulai

membangkitkan harapan di antara orang Indonesia pada umumnya dan di antara

orang Bali sendiri, dan industri pariwisata mulai diharapkan untuk memainkan

peran utama dalam perekonomian Bali (Bendesa dan Sukarsa, 1980).

Pembangunan kepariwisataan Bali bertujuan untuk mendorong pemerataan

kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi

2
kesejahteraan masyarakat sehingga terwujud cita-cita, yaitu kepariwisataan untuk

Bali dan bukan Bali untuk kepariwisataan, hal tersebut sesuai dengan yang

tercantum pada Perda Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan

Budaya Bali

.Kunjungan para wisatawan ke Bali selalu mengalami peningkatan, baik

wisatawan mancanegara maupun domestik. Kendati demikian, persentase

peningkatan kunjungan selalu berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh beberapa

kondisi yang melanda Bali, baik kondisi yang terjadi karena alam seperti gempa

bumi, letusan gunung dan iklim panas, maupun kondisi yang terjadi karena

direncanakan manusia seperti pemilihan umum, sampah dan pembakaran hutan.

Tabel 1.2 menunjukan jumlah kunjungan wisatawan ke Bali tahun 2014-2018.

Tabel 1.2 Tabel Kunjungan Wisatawan ke Bali tahun 2014-2018

Jumlah Kunjungan Jumlah Kunjungan


No Wisatawan Total Kunjungan
Wisatawan Domestik
Tahun Mancanegara
Orang persen Orang persen Orang persen
2014 3.766.638 6.394.307 10.160.945
2015 4.001.835 6,24 7.147.100 11,77 11.148.935 9,72
2016 4.927.937 23,14 8.643.680 20,94 13.571.617 21,73
2017 5.697.739 15,62 8.735.633 1,06 14.433.372 6,34
2018 6.070.473 6,54 9.757.991 11,70 15.828.464 9,66
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018

Melihat tingginya andil Bali terhadap wisman nasional maka tidak bisa dipungkiri

bahwa keberhasilan target wisman nasional sangat ditentukan oleh capaian

wisman Bali pada tahun 2019, sehingga diperlukan perencanaan promosi wisata

yang baik (Rukini, 2015)

3
Pariwisata merupakan ekspor utama (termasuk lima besar) sebagai

penyumbang devisa pada negara-negara berkembang (Suardana, 2015). Hal

senada juga disampaikan oleh Booth, 1990 bahwa banyak negara berkembang

yang menghadapi masalah mendesak seperti penciptaan lapangan pekerjaan dan

deficit neraca pembayaran menganggap pariwisata sebagai solusi. Pariwisata

sudah dikenal sebagai kontributor potensial dalam sector perekonomian

berdasarkan pengalaman panjang dari berbagai negara yang bergantung pada

pariwisata (Lean, et al., 2014). Dampak ekonomi yang dihasilkan oleh pariwisata

internasional telah menjadi faktor vital dalam pertumbuhan ekonomi dan

hubungan ekonomi internasional di banyak negara berkembang (Ekanayake &

Aubrey, 2012). Oleh karena itu banyak negara mengembangkan sector pariwisata

termasuk Indonesia.

Peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali tidak serta merta membawa

pengaruh positif yang merata terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto

(PDRB) per kabupaten di Provinsi Bali. PDRB merupakan jumlah keseluruhan

nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari semua kegiatan perekonomian

diseluruh wilayah dalam periode tahun tertentu yang pada umumnya dalam waktu

satu tahun. Berikut merupakan tabel yang menunjukan PDRB kabupaten/kota di

Provinsi Bali atas dasar harga kostan tahun 2014-2018.

4
Tabel 1.3 PDRB Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan 2014-2018 Provinsi

Bali (Milyar Rupiah)

PDRB Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan 2014-2018


Kabupaten/Kot (Milyar Rupiah)
a
2014 2015 2016 2017 2018
Jembrana 7.134,97 7.576,31 8.027,93 8.452,35 8.924,87
Tabanan 1.190,80 12.644,52 13.420,55 14.141,51 14.950,23
Badung 27.458,06 29.170,24 31.157,37 33.053,32 35.283,96
Gianyar 14.269,42 15.168,55 16.125,28 17.008,76 18.031,30
Klungkung 4.536,35 4.813,39 5.115,61 5.387,61 5.683,86
Bangli 3472.30 3686.10 3916.10 4124.74 4.351,56
Karangasem 8.482,88 8.991,75 9.524,23 10.007,70 10.556,49
Buleleng 17.741,75 18.818,62 19.950,72 21.025,50 22.206,96
Denpasar 26.778,59 28.422,70 30.273,39 32.109,43 34.168,10
Provinsi Bali 121.779,13 129.137,91 137.192,52 144.964,20 154.150,98
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018

Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa ada kesenjangan yang cukup

signifikan antara beberapa kabupaten di Provinsi Bali. Terjadinya

kesenjangan/disparitas antarwilayah membawa implikasi terhadap tingkat

kesejahteraan masyarakat antarwilayah (Yasa, 2015). Kesenjagan ini disebabkan

oleh perbedaan sumber pendapatan di masing-masing daerah kabupaten di Bali.

Misalkan kabupaten Badung dan Gianyar yang terkenal dengan pariwisatanya,

Kabupaten Tabanan dan Bangli dari hasil pertanianya serta kabupaten lain dengan

potensinya masing-masing, yang menimbulkan perbedaan pada pendapatan antar

kabupaten tersebut. Seperti pada tahun 2018, PDRB Kabupaten Klungkung

5
menempati posisi kedua terendah dibandingkan 8 kabupaten lainya di Provinsi

Bali. Jika pemerintah Kabupaten Klungkung telah memahami dengan benar

potensi ekonomi Kabupaten Klungkung dan dapat memanfaatkannya dengan baik,

maka bukan tidak mungkin Produk Domestik Regional Bruto dapat meningkat

dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Klungkung dapat melampaui pertumbuhan

ekonomi Provinsi Bali (Kesuma, 2015). Berdasarkan hal tersebut, Kabupaten

Klungkung harus meninjau kembali potensi yang dapat dijadikan unggulan di

daerah tersebut.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan dan cita-

cita bangsa Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum untuk masyarakat.

Mulai dari pembukaan lapangan pekerjaan, pemberian subsidi hingga pemindahan

pusat pembangunan agar terjadi pemerataan. Namun cara paling efektif untuk

mencapai kesejahteraan tersebut adalah dengan mewujudkan kemandirian

masyarakat. Ketika tingkat kemandirian masyarakat meningkat, memungkinkan

memperkuat budaya dalam meningkatkan keinginan untuk menambah ke-

sempatan memanfaatkan peluang yang mengarah pada pengoptimalan partisipasi

masyarakat untuk tujuan pembangunan bersama mencapai kesejahteraan

(Widjajanti, 2011). Salah satu cara meningkatkan kemandirian masyarakat ialah

dengan melakukan pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk mendorong masyarakat

agar mampu berperan aktif dalam segala aspek pembangunan, dengan

mewujudkan masyarakat yang mandiri, sehingga pemberdayaan masyarakat juga

sebagai proses terencana untuk meningkatkan skala/upgrade utilitas dari objek

6
yang diberdayakan (Wenno, 2015). Priyono (1996) dalam Arsiyah (2019)

memberikan makna pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menjadikan suasana

kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural,

baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional

maupun dalam bidang politik, ekonomi, psikologi dan lain-lain. Timothy (1999)

dalam Dewi dkk (2013) mengatakan sangatlah penting agar semua pemangku

kepentingan, yaitu pemerintah, pihak swasta dan elemen masyarakat untuk terlibat

dalam pengambilan keputusan dan melihat pentingnya pendidikan dan pelatihan

di bidang pariwisata bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kapasitas

masyarakat, terutama dalam menerima manfaat pariwisata.

Pemberdayaan hendaknya dilakukan dalam seluruh sektor pembangunan

ekonomi, salah satu diantaranya adalah pariwisata. Dewasa ini pariwsata dituntut

mampu mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, sehingga istilah

pariwisata berkelanjutan mulai sering terdengar. Pariwisata berkelanjutan berarti

pariwisata yang tidak hanya menitikberatkan pada tujuan ekonomi semata, namun

juga pada lingkungan, budaya, adat dan seluruh kelestarian ekosistem dimana

pariwisata tersebut dikembangkan. Salah satu cara untuk mewujudkan pariwisata

berkelanjutan adalah dengan memberdayakan masyarakat dalam pengembangan

pariwisata. Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pariwisata diwujudkan

dengan konsep Desa Wisata melalui pendekatan Community Based Tourism.

Community Based Tourism (CBT) merupakan konsep pengembangan yang

mengutamakan partisipasi masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata.

Menurut Murphy dalam Rizkyanto dan Topowijono (2018) menyetakan bahwa

7
ada tiga pihak penting dalam pariwisata, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat

dengan peran dan fungsinya masing-masing. Masyakat sebagai salah satu

pemangku kepentingan memiliki fungsi dan peran yang penting dalam

mewujudkan keberhasilan pengembangan pariwisata (Rizkyanto dan Topowijono,

2018). Konsep dalam CBT sangatlah erat kaitanya dengan pemberdayaan

masyarakat, dimana masyarakat diberdayakan terlebih dahulu agar mampu

mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya dan mampu mewujudkan

kemandirian, sehingga pada pengembangan desa wisata masyarakat dapat

diberdayakan untuk mengelola desa wisatanya sendiri (A’inun, 2014).

Pembangunan berbasis masyarakat adalah wacana yang harus dikedepankan untuk

mencapai keberhasilan pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor

pariwisata (Amerta, 2017). Dalam konteks pariwisata, CBT telah dilihat sebagai

cara alternatif menuju pencapaian pengembangan masyarakat. Dengan demikian,

pada tahun 2000, diusulkan bahwa pariwisata berbasis masyarakat juga

mendapatkan popularitas dari strategi untuk konservasi dan pengembangan

(Jugmohan dan Giampiccoli, 2017). Inilah yang dilakukan salah satu desa di

Kabupaten Klungkung untuk mewujudkan kesejahteraan melalui pemberdayaan

masyarakat, yang ingin dicapai oleh Desa Wisata Paksebali dalam

mengembangkan pariwisata.

Desa Paksebali ditetapkan sebagai desa wisata pada tahun 2017 melalui

Peraturan Bupati No. 2 Tahun 2017. Pengembangan desa wisata di Desa

Paksebali sudah mulai gencar dilakukan sejak tahun 2016 yang diawali dengan

langkah pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) melalui Keputusan

8
Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Klungkung Nomor 80

Tahun 2016 Tentang Pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa

Paksebali Kecamatan Dawan. Pengembangan pariwisata tidak serta merta hanya

memandang sudut pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga harus

memperhatikan keletarian alam, lingkungan sekitar dan sumber daya, serta

kebudayaan (Andriani dan Pitana, 2011). Itulah mengapa Desa Paksebali memilih

pengembangan wisata dengan konsep Desa Wisata bebasis masyarakat atau

Community Based Tourism (CBT).

Pengembangan desa menjadi Desa Wisata dapat memaksimalkan potensi

lokal yang ada di desa tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

(Mustagin, 2017). Pengembangan ini juga dilakukan oleh Desa Wisata Paksebali

dalam mengembangkan Desa Wisata, yaitu dengan memberdayakan masyarakat

lokal dalam pengembangannya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai komponen

pariwisata yang sejak awal memang sudah dilakukan oleh masyarakat lokal, mulai

dari dibentuknya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang terdiri dari warga

Desa Paksebali itu sendiri dan bertugas untuk merancang konsep pariwisata yang

dikembangkan, profesi guide yang bertugas untuk memandu wisatawan yang juga

diisi oleh masyarakat lokal, transportasi lokal, pegawai restaurant, pemilik

homestay hingga bagian marketing yang bertugas memasarkan Desa Wisata

Paksebali diisi oleh masyarakat lokal. Hal ini memang menjadi tujuan utama dari

pengembangan pariwisata oleh Desa Paksebali untuk mengikutsertakan peran

aktif masyarakat dalam membangun Desa Wisata. Konsep inilah yang disebut

dengan CBT (Community Based Tourism), dimana melalui pemberdayaan

9
masyarakat nantinya diharapkan mampu mencapai kesejahteraan masyarakat

sekitar, utamanya di Desa Wisata Paksebali.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan maka rumusan

masalah penelitian diuraikan sebagai berikut.

1) Bagaimana pengaruh pemberdayaan masyarakat lokal terhadap Implementasi

Commununity Based Tourism di Desa Wisata Paksebali?

2) Bagaimana pengaruh pemberdayaan masyarakat dan Implementasi

Commununity Based Tourism terhadap kesjahteraan masyarakat di Desa

Wisata Paksebali?

3) Apakah Implementasi Commununity Based Tourism memediasi pengaruh

pemberdayaan masyarakat lokal terhadap kesejahteraan masyarakat di Desa

Wisata Paksebali?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang di paparkan diatas, maka tujuan

penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

1) Untuk menganalisis pengaruh pemberdayaan masyarakat lokal terhadap

implementasi Commununity Based Tourism di Desa Wisata Paksebali.

10
2) Untuk menganalisis pengaruh pemberdayaan masyarakat lokal dan

implementasi Commununity Based Tourism terhadap kesejahteraan

masyarakat Desa Wisata Paksebali.

3) Untuk menganalisis peran Commununity Based Tourism dalam memediasi

pengaruh pemberdayaan masyarakat lokal terhadap kesejahteraan masyarakat

di Desa Wisata Paksebali.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang dapat

diperoleh dari penelitia diuraikan sebagai berikut.

1) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh

pemberdayaan masyarakat lokal dalam mengembangkan kepariwisataan di

Desa Wisata Paksebali. Hasil penelitian ini dapat dijadikan untuk menambah

bahan pustaka baik sebagai pelengkapan maupun sebagai pembanding dari

penelittian-penelitian berikutnya. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan

memunculkan penelitian-penelitian baru di kabupaten-kabupaten lainya.

2) Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti emperis terhadap

pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengembangan desa wisata di

Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Hasil penelitian ini dapat

dimanfaatkan oleh pemerintah Kabupaten Klungkung dalam penentuan

kebijakan-kebijakan terkait pengembangan desa wisata lainya di kecamatan-

kecamatan lainya di Kabupaten Klungkung.

11
12
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Definisi Pariwisata dan Desa Wisata

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan

disebutkan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan

didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,

pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Pariwisata merupakan kegiatan

perjalanan yang dilakukan dari tempat tinggal ke suatu daerah tertentu dengan

maksud bersenang-senang, mewujudkan rasa ingin tahu serta menghabiskan

waktu luang tanpa bermaksud untuk menetap (Saputro, 2011 dalam Hijriati dan

Rina, 2014). Batasan pariwisata secara khusus sebagai komponen pokok

pariwisata adalah: (1) orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan

ke lebih dari dua atau tiga tempat disebut traveler, (2) orang atau sekelompok

orang yang melakukan perjalanan kurang dari 12 bulan dan tanpa bermaksud

untuk menetap, serta bukan bertujuan untuk mencari nafkah pada tempat tujuan

perjalanan disebut dengan visitor, (3) orang atau sekelompok orang yang

melakukan perjalanan minimal menghabiskan 24 jam pada tempat yang

dikunjungi disebut dengan tourist.

Pariwisata merupakan aspek sosial-ekonomi yang memungkinkan

perpindahan orang ke negara atau tempat di luar lingkungan mereka yang biasa

13
untuk keperluan pribadi, bisnis, dan professional (Tabash, 2017). Orang yang

melakukan perjalanan wisata dan bermaksud untuk menetap sementara waktu

pada suatu daerah disebut sebagai wisatawan (Kementrian Pariwisata, 2018).

Melalui pengertian tersebut, definisi wisatawan dapat dibagi menjadi dua, yaitu

wisatawan dalam negeri dan wisatawan manca negara. Wisatawan dalam negeri

merupakan orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke suatu

tempat di dalam wilayah negaranya sendiri, namun berada di luar lingkungan

tempatnya tinggal dalam kurun waktu sekurang-kurangnya semalam dan tidak

lebih dari satu tahun. Sedangkan wisatawan mancanegara merupakan orang atau

sekelompok orang yang melakukan perjalanan wisata keluar dari negaranya,

dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.

Menurut Wiendu (1993) desa wisata merupakan integrasi antara atraksi,

akomodasi dan berbagai fasilitas lainya yang menyatu dengan tatanan dan tradisi

yang berlaku dalam lingkungan masyarakat sekitar. Menurut Muliawan (2008)

dalam Atmoko (2014) Desa Wisata adalah desayang memiliki potensi keunikan

dan daya tarik wisata yang khas, baik berupa karakter fisik lingkungan alam

pedesaan maupun kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang dikelola dan

dikemas secara menarik dan alami dengan pengembangan fasilitas pendukung

wisatanya, dalam suatu tata lingkungan yang harmonis dan pengelolaan yang baik

dan terencana sehingga siap untuk menerima dan menggerakkan kunjungan

wisatawan ke desa tersebut, serta mampu menggerakkan aktifitas ekonomi

pariwisata yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat

setempat.

14
Semua yang ditawarkan desa wisata tentu merupakan keaslian suasana

yang ada di desa, baik dari kehidupan social, ekonomi, budaya, adat istiadat, ciri

khas bangunan, tata ruang desa yang unik dan semua yang menjadi ciri khas desa

merupakan atraksi yang dapat dikembangkan menjadi komponen pariwisata,

seperti atraksi, akomodasi dan keutuhan wisata lainya. Menurut Muliawan (2008)

dalam Atmoko (2014) prinsip pengembangan desa wisata merupakan sebuah

produk wisata alternatif yang mampu memicu pembangunan berkelanjutan pada

pedesaan yang pengelolaannya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1)

Menggunakan sarana dan prasarana masyarakat setempat (2) Memberikan

keuntungan pada masyarakat setempat (3) Melibatkan masyarakat setempat (4)

Menerapkan pengembangan produk wisata pedesaan (5) Berskala kecil untuk

memudahkan terjalinya hubungan timbal-balik dengan masyarakat setempat.

Dalam pengembangan desa wisata sebagai obyek wisata perlu dipahami

sejak awal bila masyarakat setempat bukan sebagai obyek pasif namun justru

sebagai subjek aktif. Sebuah lingkungan perdesaan dapat dipandang sebagai

obyek sekaligus sebagai subjek wisata. Sebagai obyek artinya desa tersebut

merupakan tujuan kegiatan pariwisata sedangkan sebagai subyek adalah sebagai

penyelenggara, apa yang dihasilkan oleh desa akan dinikmati oleh masyarakatnya

secara langsung dan peran aktif masyarakat sangat menentukan kelangsungannya

(Raharjana,2005). Maka dari itu pengembangan desa wisata akan sangat

bergantung pada peran aktif masyarakat, begitu juga sebaliknya. Pengembangan

desa wisata yang dilakukan oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk

masyarakat akan menghasilkan produk wisata yang berkualitas, tidak hanya

15
berdampak pada ekonomi saja, namun juga akan sangat berdampak pada

kelestarian adat dan budaya yang berkembang di masyarakat, lingkungan sekitar,

dan semua aspek yang ada pada desa tersebut, sehingga model pengembangan

wisata dengan konsep desa wisata merupakan langkah yang tepat.

2.1.2 Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah upaya atau cara untuk

membuat masyarakat menjadi mandiri agar mampu berperan aktif dalam segala

aspek pembangunan, sehingga pemberdayaan masyarakat juga sebagai proses

terencana untuk meningkatkan skala/upgrade utilitas dari objek yang

diberdayakan (Wenno, 2015). Priyono (1996) dalam Arsiyah (2019) memberikan

makna pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menjadikan suasana

kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural,

baikdalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional

maupun dalam bidang politik, ekonomi, psikologi dan lain-lain. Memberdayakan

masyarakat mengandung mak-na mengembangkan, memandirikan, men-

swadayakan dan memperkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah

terhadap kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan.

Pemberdayaan umumnya merujuk pada kemampuan orang, seperti

kelompok rentan dan lemah sehingga mereka kurang mampu dalam 1)

memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom),

dalam arti tidak hanya bebas dalam berpendapat, namun bebas dari

kebodohan, kelaparan, serta kesakitan; 2) menjangkau sumber-sumber

16
produktif yang mampu meningkatkan kesejahteraan melalui perolehan barang

dan jasa yang diperlukan serta perolehan peningkatan pendapatan; dan 3)

berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka serta

proses pembangunan (Indiradewi, 2016). Pemberdayaan masyarakat harus dilihat

sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai kebijakan,

program dan pembangunan, baik di tingkat daerah maupun pusat, sehingga sangat

efektiv untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan merupakan konsep

multidimensi yang mengingatkan transformasi pribadi, pencapaian individu dan

kolektif dalam menghadapi penindasan (Kaiser dan Lara, 2015)

Pemberdayaan ini penting dilakukan seiring dengan pergeseran paradigma

pembangunan dari pembangunan ekonomi dan kondisi fisik sosial ke

pembangunan sumber daya manusia (SDM) dengan tujuan merubah pola pikir

masyarakat yang modern dan berwawasan, menciptakan wirausaha yang handal di

wilayahnya, meningkatkan kemandirian dan daya saing dan meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan (Wenno, 2015). Dari paradigm tersebut peran serta

partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangatlah diperlukan. Menurut

Andriyani (2017) bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat melalui

pengembangan desa wisata dapat dilihat dari beberapa indicator sebagai berikut:

1) Penyadaran, pada tahap ini dilakukan sosialisasi dan atau pelatihan dalam

pengembangan desa wisata kepada masyarakat sekitar.

2) Pelaksanaan, pada tahap ini dapat dilihat dari peran dan keterlibatan

masyarakat dalam menyediakan fasilitas-fasilitas yang diperlukan

17
wisatawan, seperti makan dan minum, tempat tinggal dan semua fasilitas

pendukung.

3) Pemberian daya, pada tahap ini dapat dilihat dari bantuan pemerintah

terhadap pengembangan desa wisata, baik pendanaan maupun pemberian

sarana fisik lainnya.

Pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif masyarakat

yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Sasaran utama

pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan tidak memiliki daya,

kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif atau masyarakat

yang terpinggirkan dalam pembangunan. Pemberdayaan masyarakat tidak sebatas

ekonomi, namun juga secara politis sehingga pada akhirnya masyarakat akan

mempunyai posisi tawar baik secara nasional maupun internasional (Friedmann,

1992 dalam Yuliarmi, 2013). Dalam pariwisata, dimensi politik pemberdayaan

mengacu pada kemampuan berbagai kelompok kepentingan masyarakat untuk

memiliki suara mereka terwakili dalam proyek pengembangan pariwisata

(Aghazamani dan Carter, 2017). Tujuan akhir dari proses pemberdayaan

masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat

meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang dimi-

likinya (Widjajanti, 2011)

2.1.3 Community Based Tourism (CBT)

Community Based Tourism (CBT) atau yang dapat diartikan sebagai

pariwisata berbasis masyakat merupakan pariwisata yang berfokus pada

18
kepemilikan, manajemen dan keterlibatan anggota masyarakat dalam

pengembangan pariwisata (Bank Dunia (2000), UN-ESCAP (2001), REST

(2003), dan Ashley, Roedan Goodwin (2001) dalam Suriya, 2010). CBT

menekankan partisipasi masyarakat desa dalam kegiatan pariwisata, agar manfaat

atau keuntungan dari pengembangan pariwisata dapat dirasakan juga oleh

masyarakat desa. Community based tourism merupakan suatu pendekatan

pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal baik yang

terlibat langsung maupun yang tidak terlibat langsung pada industry pariwisata

(Hausler, dalam Purnamasari, 2011). Hal ini dilakukan dengan bentuk

memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwisata

yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih

demokratis termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan pariwisata yang

lebih adil bagi masyarakat lokal.

Pariwisata berbasis masyarakat (CBT) adalah tentang keadilan sosial,

pemberdayaan, pemerataan manfaat, tindakan redistributif, kepemilikan sektor

pariwisata dan pengembangan masyarakat holistic (Giampiccoli, 2018). Gagasan

ini disampaikan untuk mengkritisi pembangunan pariwisata yang seringkali

mengabaikan peran serta masyarakat lokal di daerah tujuan wisata. Konsep CBT

merupakan dasar dari sustainable tourism development yang menegaskan bahwa

masyarakat bukan lagi menjadi objek pembangunan akan tetapi sebagai penentu

pembangunan itu sendiri (Ardika (2005), dalam Purnamasari, 2011). CBT jelas

merupakan cara yang efektif untuk menerapkan koordinasi kebijakan,

menghindari konflik antara berbagai pelaku dalam pariwisata, dan mendapatkan

19
sinergi berdasarkan pertukaran pengetahuan, analisis, dan kemampuan di antara

semua anggota masyarakat (Guzman, 2011)

Menurut Hatton (1999:2) dalam Wiwin (2018) CBT dapat dikatagorikan

menjadi empat prinsip yaitu social, ekonomi, budaya dan politik. Prinsip sosial

menurut berkaitan otorisasi kepada komunitas untuk memberi ijin, mendukung,

membangun dan mengoperasikan kegiatan wisata yang ada di wilayahnya. Lalu

prinsip ekonomi berkaitan dengan sistem pembagian keuntungan yang timbul dari

pengembangan industri pariwisata. Sedangkan berkaitan dengan prinsip ekonomi

dapat diterjemahkan ke dalam 3 bentuk yaitu (1) joint venture dalam usaha

pariwisata dimana dari keuntungan yang diperoleh wajib menyisihkan

keuntungan bagi komunitas (berupa CSR atau dana bagi hasil), (2) asosiasi yang

dibentuk komunitas untuk mengelola kegiatan wisata dimana keuntungannya

juga dibagikan kepada komunitas, (3) usaha kecil atau menengah yang merekrut

tenaga kerja dari kumunitas.

Penerapan konsep CBT memiliki keunggulan yang dapat dirasakan

langsung oleh masyrakat. Salah satu keunggulannya adalah adanya sumber daya

lokal yang dikelola oleh masyarakat lokal atau desa. Sumber daya lokal yang

dimaksud tidak serta merta hanya pada masyarakatnya saja, namun juga meliputi

sumber daya alam, budaya yang dimiliki desa tersebut dan infrastruktur. Oleh

karena semua dikelola oleh masyarakat lokal, maka bentuk tanggungjawab

terhadap semua potensi atau sumber daya lokal akan lebih kuat. Hal ini

dikarenakan kepemilikan lokal sehingga dampak positif atau negatif dari

pengembangan pariwisata akan kembali ke masyarakat itu sendiri. Selain

20
keunggulan diatas, konsep CBT akan menciptakan keanekaragaman sistem

pengelolaan wisata antar daerah, sesuai dengan potensi yang dimiliki daerahnya

masing-masing. Manyara dan Jones (2007) dalam Salazar (2012) menegaskan

bahwa kekuatan utama dari konsep CBT dalam pariwisata adalah potensinya

untuk memberdayakan masyrakat pedesaan dan untuk membuat kontribusi yang

subtansial bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Menurut Hausler (2005:1) dalam Wiwin (2018) terdapat indikator-

indikator penting CBT yaitu sebagai berikut:

1) Keterlibatan masyarakat lokal dalam managemen dan pengembangan

pariwisata.

2) Berkembangnya fasilitas-fasilitas penunjang pariwisata, dimana

kepemilikannya oleh masyarakat lokal di desa wisata.

3) Masyarakat lokal menerima manfaat dari pengembangan desa wisata.

Secara konseptual, prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah

menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan

masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga manfaat

kepariwisataan sebesar-besarnya diprioritaskan keperuntukannya bagi

masyarakat. Sasaran utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan

kesejahteraan masyarakat setempat di kawasan pembangunan pariwisata

(Rizkianto dan Topowijono, 2018). Ini sesuai dengan konsep pembangunan

berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan berarti mencapai keseimbangan antara

perlindungan lingkungan dan pembangunan ekonomi manusia dan antara

kebutuhan saat ini dan masa depan (Singh, 2014).

21
2.1.4 Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan sosial merupakan tata kehidupan dan penghidupan sosial

materiil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan

ketenteraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk

mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan

sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan

menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan

Pancasila (UU Nomor 6 Tahun 1974). Kesejahteraan merupakan sebuah kondisi

dimana seorang dapat memenuhi kebutuhan pokok, baik itu kebutuhan makanan

dan minuman, pakaian, tempat tinggal yang baik untuk menjalankan dan

melanjutkan pendidikan serta pekerjaan yang memadai untuk menunjang kualitas

hidupnya sehingga hidunya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan atau

kekhawatiran sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir batin (Fahrudin, 2012)

Tingkat hidup masyrakat ditandai dengan berkurangnya kemiskinan,

tingkat hidup yang lebih layak, tingkat pendidikan yang lebih baik, dan

peningkatan produktivitas. Sedangkan menurut Soesiolowati (2006:6) dalam

Hukom (2014) kesejahteraan masyrakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

dasar yang tercermin dari rumah yang layak, tercukupinya kebutuhan sandang dan

pangan, biaya pendidikan dan kesehatan yang murah dan berkualitas atau kondisi

dimana setiap individu mampu memaksimalkan utilitasnya pada tingkat batas

22
anggaran tertentu dan kondisi dimana tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani.

Indikator kesejahteraan berdasarkan paparan teori tersebut dapat diuraikan antara

lain, yaitu:

1) Pendapatan, yang mampu memenuhi sandang, pangan, dan papan dengan

baik.

2) Kesehatan, mampu memenuhi standar kesehatan.

3) Pendidikan, terpenuhi akses pendidikan.

4) Tabungan, kepemilikan tabungan untuk masa yang akan datang.

Kesejahteraan dapat diartikan sebagai kemakmuran yaitu keadaan dimana

kebutuhan manusia terpenuhi dengan wajar, terus menerus, dan secara kongkrit

itu berarti tersedianya barang dan jasa kebutuhan hidup tidak hanya untuk

memungkinkan hidup tetapi juga untuk mempermudah sehingga orang-orang

dapat hidup dengan layak. Mengukur kesejahteraan secara objektif menggunakan

patokan tertentu yang relative baku, seperti menggunakan pendapatan per kapita,

dengan mengasumsikan terdapat tingkat kebutuhan fisik untuk semua orang hidup

layak.

2.2 Kerangka Konseptual

Konsep penelitian ini menganalisis tentang Pemberdayaan Masyarakat

Lokal dalam Pengembangan Desa Wisata di Desa Paksebali, Klungkung. Variabel

dependen pada penelitian ini adalah kesejahteraan masyarakat. Variabel

independen dalam penelitian ini adalah pemberdayaan masyarakat dan

Implementasi Community Based Tourism (CBT).

23
Pariwisata berkelanjutan dapat dikatakan berjalan ketika pengembangan

pariwisata berbasis masyarakat mampu dijalankan (Arieta, 2010). Pada dasarnya

pariwisata berkelanjutan dapat menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal,

meningkatkan pendapatan, pekerjaan serta konservasi ekosistem setempat.

Penerapan pariwisata berkelanjutan bila dikaitkan dengan pemberdayaan

masyarakat dapat dilihat dari salah satu pendekatan dalam pengembangan

pariwisata yaitu community based tourism atau pariwisata berbasis masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat memungkinkan masyarakat dapat mandiri dengan

akses ke sumber-sumber daya yang ada di masyarakat tersebut. Pemberdayaan

bisa dikatakan sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk

berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas kebijakan yang mempengaruhi

kehidupan mereka. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh

keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi

kehidupannya, dan kehidupan orang lain.

Dalam CBT, masyarakat akan terlibat langsung dalam pengembangan

program desa wisata, sehingga menerima manfaat langsung dari pengembangan

ini melalui pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat memungkinkan masyarakat

dapat mandiri dengan akses ke sumber-sumber daya yang ada di masyarakat

tersebut (Mustangin, 2017). Pemberdayaan dikatakan sebuah proses dimana orang

menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas

kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Ketika tingkat kemandirian

masyarakat meningkat, memungkinkan memperkuat budaya dalam meningkatkan

keinginan untuk menambah ke-sempatan memanfaatkan peluang yang menga-rah

24
pada pengoptimalan partisipasi masyarakat untuk tujuan pembangunan bersama

mencapai kesejahteraan (Widjajanti, 2011).

Berdasarkan permasalahan dan kajian pustaka yang telah dikemukakan di

atas, maka kerangka konseptual dari penelitian tentang Pemberdayaan Masyarakat

Lokal dalam Pengembangan Desa Wisata di Desa Paksebali, Klungkung ini dapat

dijelaskan pada Gambar 2.1 sebagai berikut.

Implementasi
Keterlibatan
Community Based
Masyarakat (Y1.1)
Tourism (Y1)

Kepemilikan
Fasilitas (Y1.2)

Bekerja di Bidang
Pariwisata (Y1.3)

Pemberdayaan Kesejahteraan
Masyarakat (X1) Masyarakat (Y2)

Sosialisasi (X1.1) Pendapatan (Y2.1)

Pengkapasitasan (X1.2) Pendidikan (Y2.2)

Pendayaan (X1.3) Kesehatan (Y2.3)

Hubungan Baik
dengan Komunitas
(Y2.4)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian Pengaruh Pemberdayaan


Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Desa Wisata Paksebali,
Kecamatan Dawan

25
Keterangan:

= Variabel Indikator = Hubungan Regresi

= Variabel Laten = Hubungan Dimensional

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka di atas, maka dapat

dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1) Pemberdayaan masyarakat berpengaruh positif terhadap Implementasi

Community Based Tourism (CBT) di Desa Wisata Paksebali, Kecamatan

Dawan, Kabupaten Klungkung.

2) Pemberdayaan masyarakat dan Implementasi Community Based Tourism

(CBT) berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat di Desa Wisata

Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.

3) Implementasi Community Based Tourism (CBT) memediasi pengaruh

pemberdayaan masyarakat terhadap kesejahteraan masyarakat di Desa Wisata

Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.

26
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan

penelitian kualitatif yang berbentuk asosiatif. Rancangan penelitian kuantitatif

disebut juga sebagai penelitian yang menggunakan paradigm positivism, yaitu dari

teori-teori dan temuan orang lain kemudian disusun hipotesis sesuai masalah

penelitian yang akan dipecahkan (Sugiyono, 2014:13). Hipotesis tersebut

kemudian diuji melalui data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini.

Penelitian kuantitatif yang berbentuk asosiatif bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara dua variable atau lebih (Sugiyono, 2014:55). Dalam penelitian

ini, penelitian asosiatif digunakan untuk mengetahui pengaruh antara variable

bebas terhadap variable terikat yaitu pengujian variable pemberdayaan masyarakat

terhadap kesejahteraan masyarakat di Desa Wisata Paksebali, Kecamatan Dawan,

Kabupaten Klungkung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer yang didapat dari penyebaran kuisioner. Teknik analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalur (path analysis).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Wisata Paksebali, Kecamatan Dawan,

Kabupaten Klungkung. Penelitian ini dilakukan untuk melihat peran dan manfaat

yang diperoleh masyarakat lokal dalam pengembangan Desa Wisata Paksebali.

27
Desa Wisata Paksebali telah melakukan pengembangan desa wisata sejak 2017

dan telah melakukan banyak perubahan seperti pada objek-objek wisata baik

wisata budaya, alam hingga wisata spiritual. Pengembangan desa wisata di Desa

Wisata Paksebali dilakukan mulai dari dusun, sehingga keterlibatan masyarakat

lokal jelas. Desa Wisata Paksebali terdiri dari lima dusun yaitu, Dusun Bucu,

Dusun Kanginan, Dusun Kawan, Dusun Peninjoan dan Dusun Timbrah.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian ini memfokuskan pada variable pemberdayaan

masyarakat, implementasi community based tourism serta pengaruhnya terhadap

kesejahteraan masyarakat di Desa Wisata Paksebali, Kecamatan Dawan,

Kabupaten Klungkung.

3.4 Identifikasi Variabel

Variable-variabel dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai

berikut:

a) Variabel eksogen adalah variabel yang dapat mengakibatkan perubahan pada

variabel terikat (dependent variable) (Sugiyono, 2014:59). Variabel bebas

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan masyarakat (X1)

b) Variabel mediasi (intervening variable) adalah variabel yang memediasi

hubungan antara independen dengan variabel dependen melalui hubungan

tidak langsung (Suyana Utama, 2016:160). Variabel intervening dalam

penelitian ini adalah community based tourism (Y1)

28
c) Variabel endogen (Y) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

bebasnya (Sugiyono, 2014:59). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel

terikatnya adalah kesejahteraan masyarakat di Desa Wisata Paksebali,

Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung (Y2)

Tabel 3.1 Variabel Laten dan Variabel Indikator

No Variabel Laten Variabel Indikator


Sosialisasi (X1.1)
Pemberdayaan
1 Pengkapasitasan (X1.2)
Masyarakat (X1)
Pendayaan (X1.3)
Keterlibatan Masyarakat (Y1.1)
Community Based
2 Kepemilikan Fasilitas(Y1.2)
Tourism (Y1)
Bekerja di Bidang Pariwisata (Y1.3)
Pendapatan (Y2.1)
Pendidikan (Y2.2)
Kesejahteraan
3 Kesehatan (Y2.3)
Masyarakat (Y2)
Hubungan Baik dengan Komunitas (Y2.4)

c.5 Definisi Operasional Variabel

Untuk menghindari kesalahan alam mengartikan variable yang dianalisis,

maka berikut ini akan dijelaskan definisi tentang operasional variable yang

masing-masing akan diukur definisi operasional variable dari masing-masing

variabel yang diukur menggunakan skala likert, yaitu sebagai berikut:

1) Pemberdayaan masyarakat (X1) adalah persepsi masyarakat untuk ikut

berpartisipasi dalam pengembangan Desa Wisata Paksebali. Peberdayaan

masyarakat diukur dengan menggunakan tiga indicator, yaitu:

(1) Sosialisasi: masyarakat diberitahu atau dikenalkan mengenai desa wisata.

29
(2) Pengkapasitasan: masyarakat diberi pelatihan mengenai teknis

pengembangan desa wisata.

(3) Pendayaan: masyarakat didampingi dan dibina dalam proses ikut

mengembangkan desa wisata

2) Implementasi Community based tourism (Y1) merupakan penerapan dari

pendekatan dalam pengembangan pariwisata yang mengutamakan peran dan

partisipasi aktif masyarakat dalam pengembangan pariwisata, yang diukur

dengan menggunakan tiga indicator:

(1) Keterlibatan masyarakat: masyarakat terlibat dalam perencanaan,

pelaksanaan dan pengawasan pengembangan desa wisata.

(2) Kepemilikan fasilitas: fasilitas penunjang pariwisata dimiliki masyarakat.

(3) Bekerja di bidang pariwisata: masyarakat bekerja di bidang pariwisata

akibat pengembangan desa wisata.

3) Kesejahteraan masyarakat (Y2) merupakan merupakan keadaan dimana

seseorang pada keadaan baik dan cukup. Kesejahteraan masyarakat diukur

dengan empat indicator, yaitu:

(1) Pendapatan: masyarakat memiliki pendapatan yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan.

(2) Pendidikan: terpenuhinya akses di bidang pendidikan.

(3) Kesehatan: terpenuhinya standar kesehatan keluarga

(4) Hubungan baik dengan komunitas: terjadinya hubungan yang baik antara

masyarakat tersebut di lingkungan tempatnya tinggal.

30
c.6 Jenis dan Sumber Data

c.6.1 Jenis data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini yakni:

1) Data kuantitatif adalah data yang berupa angka dan dapat dihitung dengan

satuan hitung. Data kuantitatif dalam penelitian ini yaitu daftar pertanyaan

yang terdapat di kuisioner penelitian mengenai pemberdayaan masyarakat,

community based tourism dan kesejahteraan masyarakat di Desa Wisata

Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.

2) Data kualitatif adalah data yang berupa kata, kalimat, gerak tubuh, ekspresi

wajah, bagan, gambar, dan foto yang member makna terhadap fakta-fakta

yang diperoleh di tempat penelitian. Data kualitatif dalam penelitian ini yaitu

pedoman observasi, serta pedoman dalam wawancara (Sugiyono, 2014:14).

c.6.2 Sumber Data

Berdasarkan cara memperolehnya, data dibagi menjadi data primer dan

data sekunder. Data primer dan data sekunder dalam penelitian ini yaitu

(Sugiyono, 2014:402):

1) Data primer adalah data yang berasal langsung dari sumber data yang

dikumpulkan secara khusus dan berhubungan langsung dengan masalah

penelitian yang akan diteliti. Data primer dalam penelitian ini diperoleh

melalui penyebaran kuisioner dengan mencantumkan daftar pertanyaan yang

telah disiapkan terlebih dahulu dan wawancara langsung dari responden.

31
2) Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media

perantara seperti orang lain atau dokumentasi instansi tertentu, seperti Badan

Pusat Statistik Kota Denpasar.

c.7 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur

fenomena alam maupun sosial yang diamati, memperoleh data atau informasi

yang lengkap dalam melakukan suatu penelitian (Sugiyono, 2014:398). Secara

spesifik, fenomena ini disebut dengan variabel penelitian. Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu pedoman observasi dan, pedoman

wawancara yang diukur dengan skala likert, sehingga perlu diuji validitas dan

realibilitasnya.

c.8 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel

c.8.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan dapat diambil kesimpulannya (Sugiyono, 2014:115). Populasi

dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tingga di Desa Wisata Paksebali

yang ditunjukan dari tabel 3.2 sebagai berikut:

32
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Desa Wisata Paksebali, Kecamatan Dawan,
Kabupaten Klungkung 2018
Laki -
No Nama Dusun Jumlah KK Jiwa Perempuan
Laki
1 Bucu 324 1320 671 649
2 Kanginan 407 1521 767 754
3 Kawan 171 676 353 323
4 Peninjoan 309 1172 568 604
5 Timbrah 222 892 438 454
Total 1433 5581 2797 2784
Sumber: Profil Desa Wisata Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten
Klungkung 2018

c.8.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2014:116). Sampel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah jumlah kepala keluarga di Desa Wisata Paksebali, Kecamatan Dawan,

Kabupaten Klungkung. Pemilihan kepala keluarga sebagai subjek penelitian

karena merekalah yang merasakan dampak langsung dari pengembangan desa

wisata berbasis pemberdayaan masyarakat di Desa Wisata Paksebali, Kecamatan

Dawan, Kabupaten Klungkung. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian

ini ditentukan berdasarkan pendekatan Slovin, yang menggunakan rumus sebagai

berikut:

N
n= ..................................................................................................... (3.1)
1+ N e 2

Dimana:
n : ukuran sampel
N : ukuran populasi
e : nilai krisis (5 persen)

33
Berdasarkan jumlah kepala keluarga di Desa Wisata Paksebali, Kecamatan

Dawan, Kabupaten Klungkung yakni sebanyak 1433, maka perhitungan sampel

dalam penelitian ini sebagai berikut:

1433
n= 2
1+(1433 x 0,05 )

n=¿ 93,47 di bulatkan menjadi 93

Berdasarkan perhitungan diatas, maka jumlah sampel yang diambil

sebanyak 93 kepala keluarga Desa Wisata Paksebali, Kecamatan Dawan,

Kabupaten Klungkung.

c.8.3 Metode Penentuan Sampel

Metode penentuan sampel yaitu menggunakan teknik probability sampling

dengan metode proportionate stratified random sampling dan dilakukan dengan

cara undian pada pengambilan sampel. Sugiyono (2014: 118-119) menyatakan

bahwa penentuan sampel metode proportionate stratified random sampling

digunakan apabila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan

berstrata secara proporsional. Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan

berdasarkan jumlah kepala keluarga masyarakat yang ada di Desa Wisata

Paksebali yaitu sebanyak 1.433 kepala keluarga.

c.9 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu :

1) Observasi

34
Observasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan

langsung dan pencatatan secara sistematis terhadap obyek yang akan diteliti.

Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara pengamatan dan pencatatan

mengenai pelaksanaan teori.

2) Wawancara Terstruktur

Wawancara terstruktur adalah wawancara yang telah dirancang secara

sistematis serta telah diketahui tentang tempat dan variabel yang diteliti.

Peneliti menggunakan instrument penelitian yaitu pedoman wawancara dan

kuisioner sebagai pedoman untuk melakukan observasi (Sugiyono, 2014: 204-

205).

3) Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam adalah proses mendapatkan informasi sesuai

masalah yang difokuskan dalam penelitian dengan cara Tanya-jawab sambil

bertatap muka anatar peneliti dengan responden. Wawancara dilakukan

dengan cara peneliti memberikan beberapa oertanyaan yang telah disusun

sebelumnya ynag sifatnya tidak mengikat sehingga banyak pertanyaan baru

yang muncul saat wawancara dan responden menjawab pertanyaan tersebut.

Peneliti juga dapat membawa buku catatan dan handphone untuk membantu

mencatat dan merekam percakapan saat wawancara berlangsung. Data yang

dapat diperoleh dari metode ini adalah informasi yang lebih lengkap,

pengetahuan, dan pendapat responden mengenai pengembangan Desa Wisata.

c.10 Teknik Analisis Data

35
Dalam penelitian ini digunakan analisis persamaan struktural (SEM)

dengan alternative Partial Least Square PLS (component based SEM). Model

Persamaan Struktural atau Structural Equation Model (SEM) adalah teknik-tehnik

statistika yang memungkinkan pengujian suatu rangkaian hubungan yang relatif

kompleks secara simultan dan berjenjang. Hubungan yang kompleks dapat

dibangun antara satu atau beberapa variabel dependen dengan satu atau beberapa

variabel independen. Dalam SEM kemungkinan suatu variable merupakan

variabel konstruk atau variable laten yang dibentuk oleh beberapa indicator, dan

kemungkinan juga terdapat suatu variable yang berperan ganda yaitu sebagai

variabel independen pada suatu hubungan, namun menjadi variabel dependen

pada hubungan lain mengingat adanya hubungan kausalitas yang berjenjang. PLS

tidak mensyaratkan data harus dalam skala interval atau rasio, pendekatan PLS

bersifat distribution free, yakni tidak mengasumsikan data harus berdistribusi

tertentu, misalnya harus berdistribusi normal. Data yang akan diolah dapat berupa

data nominal, ordinal, interval, dan rasio.

Sesuai dengan yang digambarkan dalam kerangka konsep hubungan

antarvariabel dalam penelitian ini secara lengkap disajikan pada Gambar 2.1

diatas.

Dengan menggunakan teknik PLS menspesifikasikan hubungan antar

variabel, antara lain: 1) inner model, 2) outer model, dan 3) pengaruh tidak

langsung yang diuraikan sebagai berikut:

c.10.1 Outer Model

Outer model sering juga disebut mearurement model atau model

pengukuran yang merupakan hubungan antara indikator dengan variavel latennya.

Sesuai dengan Gambar 4.1, dalam penelitian ini terdapat tiga model pengukuran

36
yang semuanya merupakan indikator reflektif, yaitu: a) Pemberdayaan

Masyarakat, b) Implementasi CBT, dan c) Kesejahteraan Masyarakat.

a) Outer Model Pemberdayaan Masyarakat terdiri dari 3 indikator, dengan

persamaan:

X11 = λ11 X1 + ν11 ..........................................................................................(4.1)

X12 = λ11 X1 + ν12 ..........................................................................................(4.2)

X13 = λ13 X1 + ν13 .........................................................................................(4.3)

Keterangan:

X1 = Pemberdayaan Masyarakat
X11 = Sosialisasi
X12 = Pengkapasitasan
X13 = Pendayaan
λ 1, λ 2, dan λ 3 = loading factor
ν1, ν2 dan ν3 = noise atau kesalahan pengukuran

b) Outer Model Implementasi CBT terdiri dari 3 indikator, dengan persamaan:

Y11 = λ11 Y1 + ν11.................................................................................(4.4)

Y12 = λ12 Y1 + ν12....................................................................................................................................... (4.5)

Y13 = λ13 Y1 + ν13.................................................................................(4.6)

Keterangan:
Y1 = Implementasi CBT
Y11 = Keterlibatan Masyarakat
Y12 = Kepemilika Fasilitas
Y13 = Bekerja di Bidang Pariwisata
λ 21, ….. λ 26 = loading factor
ν21, ....... ν26 = noise atau kesalahan pengukuran

c) Outer Model Kesejahteraan Masyarakat terdiri dari 4 indikator, dengan

persamaan:

37
Y21 = λ21 Y2 + ν31.................................................................................(4.10)

Y22 = λ22 Y2 + ν32.................................................................................(4.11)

Y23 = λ23 Y2 + ν33....................................................................................................................................... (4.12)

Y24 = λ24 Y2 + ν34.................................................................................(4.12)

Keterangan:

Y2 = Kesejahteraan Masyarakat
Y21 = Pendapatan
Y22 = Pendidikan
Y23 = Kesehatan
Y24 = Hubungan Baik dengan Komunitas
λ 31, ….. λ34 = loading factor
ν31, ....... ν34 = noise atau kesalahan pengukuran

Evaluasi model pengukuran atau outer model dilakukan dengan beberapa

cara, yaitu:

(1) Convergent Validity (CV) pada indikator reflektif yaitu dengan melihat

korelasi atau loading antara variabel terukur dengan variabel latennya.

Nilai yang ditoleransi minimal 0,50 dianggap cukup (Chin, 1998 dalam

Ghozali, 2011). Meskipun kurang dari 0,50 karena jumlah sampel cukup

besar, yang penting diperhatikan diperhatikan adalah t statistiknya tidak

kurang dari |1,96|.

(2) Discrimanant Validity (DV) pada indikator reflektif yaitu dengan melihat

crossloading terhadap konstruk atau latennya. DV yang bagus apabila

indikatornya memiliki crossloading lebih pada konstruknya dibandingkan

terhadap konstruk lainnya. Metode lain intuk melihat discrimanant

38
validity (DV) adalah dengan melihat square root of average variance

extracted ( akar AVE) setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk

dengan konstruk lainnya dalam model. Jika nilai akar kuadrat AVE setiap

konstruk lebih besar dibandingkan dengan korelasi antara konstruk dengan

konstruk lainnya dalam model, maka konstruk yang bersangkutan

dikatakan memiliki discrimanant validity (DV) yang baik. Direkomendasi

bahwa nilai AVE yang lebih besar dari 0,50. Formula menghitung AVE

adalah sebagai berikut:

∑λi2 …………………………………(4.16)
AVE =
∑λi 2 + ∑var(ε)

Keterangan:

λi = loading factor ke indicator


var(ε) = 1 - λi2

(3) Composite Reliability (ρc) umumnya digunakan untuk indikator reflektif

yang bertujuan untuk mengukur konsistensi internal suatu kosntruk, di

samping Cronbach Alpha yang sering digunakan. Dengan output PLS

maka composite reliability dapat dihitung dengan formula sbb:

(∑λi )2 …………………………………(4.17)
Ρc =
(∑λi)2 + ∑var(ε)
Keterangan:
λi = loading factor ke indicator
var(ε) = 1 - λi2
1) Inner Model

39
Dalam PLS inner model juga disebut inner relation yang menggambarkan

hubungan antar variabel laten berdasarkan substansi teori. Model persamaan

dalam penelitian ini sesuai dengan Gambar 4.1 adalah:

Y1 = β1 X1 + ε1.............................................................................................(4.18)

Y2 = β2X1 + β3Y1 + ε2..................................................................................(4.19)

Keterangan:

X1 = Pemberdayaan Masyarakat
Y1 = Implementasi CBT
Y2 = Kesejahteraan Masyarakat
β1, β2, dan β3 = koefisien jalur
ε1 dan ε2 = inner residual
Evaluasi terhadap inner model dilakukan dengan melihat besarnya

koefisien jalur strukturalnya, dan juga nilai uji t statistiknya yang diperoleh

dengan metode bootstrapping. Di samping itu juga diperhatikan R2 untuk

variable laten dependen. Nilai R2 sekitar 0,67 dikatakan baik, 0,33 dikatakan

moderat, sedangkan 0,19 dikatakan lemah.

Selain R2, model PLS juga dapat dievaluasi kemampuan prediksinya atau

predictive prevelance melalui Stone-Geiser Q Square test (Ghozali, 2011),

dengan formula:

∑D E D
Q2 =1−
∑D O D .......................................................................................(4.21)

Keterangan:
D = omission distance
E = jumlah kuadrat prediksi

40
O = jumlah kuadrat observasi

Nilai Q2 juga dapat diperoleh dengan formula:

Q2 =1−(1−R21 )(1−R22 ) ...........................................................................(4.22)

Nilai Q2 yang memiliki di atas nol memberikan makna bahwa model yang

dibuat memiliki predictive prevelance, sebaliknya nilai Q2 di bawah nol

memberikan makna bahwa model yang dibuat kurang memiliki predictive

prevelance.

c.10.2 Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung atau Uji Peran Variabel

Mediasi

Pengaruh langusng dapat dilihat dari hasil output PLS Path koefisien.

Sedangkan untuk mengetahui adanya peran variabel mediasi atas pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen dalam PLS secara otomatis akan

mengeluarkan hasilnya, melalui pengaruh tidak langsung (Indirect Effect).

c.10.3 Pengujian Pengaruh Langsung

(1) Pengaruh langsung pemberdayaan masyarakat terhadap community based

tourism.

(a) Rumusan Hipotesis

H0 : β1 ≤ 0, berarti pemberdayaan masyarakat tidak berpengaruh

positif atau tidak berpengaruh terhadap implementasi

community based tourism.

41
H1 : β1 ¿ 0, berarti pemberdayaan masyarakat berpengaruh positif

terhadap implementasi community based tourism.

(b) Taraf nyata 5persen tingkat keyakinan 95persen

(c) Kriteria pengujian

Apabila nilai probabilitas lebih besar dari α = 0,05 (p > 0,05), maka

H0 diterima dan H1 ditolak.

(d) Simpulan

Jika p > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Ini berarti bahwa

variable pemberdayan masyarakat tidak berpengaruh positif

terhadap implementasi community based tourism. Sebaliknya, bila

p ≤ 0, maka H0 ditolak.ini berarti bahwa variable pemberdayaan

masyarakat berpengaruh positif terhadap implementasi community

based tourism.

(2) Pengaruh langsung pemberdayaan masyarakat dan implementasi

community based tourism terhadap kesejahteraan masyarakat.

(a) Rumusan Hipotesis

H0 : β1 ≤ 0, berarti pemberdayaan masyarakat dan implementasi

community based tourism tidak berpengaruh positif

terhadap kesejahteraan masyarakat.

H1 : β1 ¿ 0, berarti pemberdayaan masyarakat dan community

based tourism berpengaruh positif terhadap

kesejahteraan masyarakat.

(b) Taraf nyata 5 persen tingkat keyakinan 95 persen

42
(c) Kriteria pengujian

Apabila nilai probabilitas lebih besar dari α = 0,05 (p > 0,05), maka

H0 diterima dan H1 ditolak.

(d) Simpulan

Jika p > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Ini berarti bahwa

variable pemberdayan masyarakat dan implementasi community

based tourism tidak berpengaruh positif terhadap kesejahteraan

masyarakat. Sebaliknya, bila p ≤ 0, maka H0 ditolak. Ini berarti

bahwa variable pemberdayan masyarakat dan implementasi

community based tourism berpengaruh positif terhadap

kesejahteraan masyarakat.

(3) Pengaruh langsung pemberdayaan masyarakat terhadap kesejahteraan

masyarakat.

(a) Rumusan Hipotesis

H0 : β1 ≤ 0, berarti pemberdayaan masyarakat tidak berpengaruh

positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

H1 : β1 ¿ 0, berarti pemberdayaan masyarakat berpengaruh positif

terhadap kesejahteraan masyarakat.

(b) Taraf nyata 5 persen tingkat keyakinan 95 persen

(c) Kriteria pengujian

Apabila nilai probabilitas lebih besar dari α = 0,05 (p > 0,05), maka

H0 diterima dan H1 ditolak.

(d) Simpulan

43
Jika p > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Ini berarti bahwa

variable pemberdayan masyarakat tidak berpengaruh positif

terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, bila p ≤ 0, maka H 0

ditolak. Ini berarti bahwa variable pemberdayan masyarakat

berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

Pada tingkat signifikansi 5 persen kriteria pengujian yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1) Uji mediasi variable implementasi community based tourism (Y1) atas

hubungan pemberdayaan masayrakat (Y1) terhadap kesejahteraan

masyarakat (Y2).

(a) Formulasi Hipotesis

H0 : Implementasi Community based tourism (Y1) bukan sebagai

variable mediasi pengaruh pemberdayaan masyarakat (X1)

terhadap kesejahteraan masyarakat (Y2)

H1 : Implementasi Community based tourism (Y1) sebagai variable

mediasi pengaruh pemberdayaan masyarakat (X1) terhadap

kesejahteraan masyarakat (Y2)

(b) Pada taraf nyata akan didapat nilai t-tabel sebesar 1,66388

(c) Kriteria pengujian

Jika t-hitung ≤ t-tabel (1,66388), maka H0 diterima yang berarti

bahwa implementasi community based tourism (Y1) bukan

merupakan variable intervening. Jika t-hitung > t-tabel (1,66388),

44
maka H0 ditolak yang berarti bahwa community based tourism (Y1)

merupakan variable intervening.

(d) Perhitungan

a 1b 2
t= …………………………………………(12)
Sa1b2

Keterangan:

- Pengaruh langsung diperoleh dari PLS.

(e) Kesimpulan

Kesimpulan diperoleh berdasarkan hasil perhitungan dan kriteria

pengujian.

45
DAFTAR RUJUKAN

Aghazamani, Yeganeh & Carter A. Hunt. 2017. Empower in Tourism: A Review


of Peer-Reviewed Literature. Tourism Review International. Vol 21.
A’inun N, Fildzah, Hetty Krisnani dan Rudi Saprudin Darwis. 2014.
Pengembangan Desa Wisata Melalui Konsep Community Based
Tourism. Prosiding Ks: Riset & PKM. Vol 2 (3).
Amerta, I Made Suniastha. 2017. Community Based Tourism Development.
International Journal of Social Sciences and Humanities. Vol 1 (2).
Andriani, Dini dan I Gd Pitana. 2011. Ekowisata: Teori, Apliakasi dan Implikasi.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia. Vol 6 (2).
Andriyani, Anak Agung Istri. 2017. Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Pengembangan Desa Wisata Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan
Sosial Budaya Wilayah (Studi Di Desa Wisata Penglipuran Bali). Jurnal
Ketahanan Nasional. Vol 23 (1).
Arieta, Siti. 2010. Community Based Tourism Pada Masyarakat Pesisir;
Dampaknya Terhadap Lingkungandan Pemberdayaan Ekonomi. Jurnal
Dinamika Maritim. Vol 2 (1).
Arsiyah. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembangunan Ekonomi Desa
(Studi Kasus Pemberdayaan Masyarakat Industri Kecil). Jurnal Wacana.
Vol 12 (2).
Atmoko, T. Prasetyo Hadi. 2014. Strategi Pengembangan Potensi Desa Wisata
Brajan Kabupaten Sleman. Jurnal Media Wisata. Vol 12 (2).
Badan Pusat Statistik. 2018. PDRB Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan 2014-
2018 Provinsi Bali (Milyar Rupiah).

Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Bali tahun 2014-
2018.
Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke
Indonesia tahun 2014-2019.
Bendesa, I.K.G & I. M Sukarsa. 1980. An Economic Survey of Bali. Bulletin of
Indonesian Economic Studies. Vol 16 (2).
Booth, Anne. 1990. The Tourism Boomb in Indonesia. Bulletin of Indonesian
Economic Studies.Vol 26 (3).
Dewi, Made Heny Urmila. 2013. Pengembangan Desa Wisata Berbasis Partisipasi
Masyarakat Lokal di Desa Wisata Jatiluwihtabanan, Bali. Kawistara.
Vol 3 (2).

46
Ekanayake, E.M & Aubrey E. Long. 2012. Tourism Development and Economic
Growth in Developing Countries. The International Journal of Business
and Finance Research. Vol 6 (1).
Fahrudin, Adi. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Ghozali, Imam, 2011. Structural Equation Modelin Metode Alternative dengan
Partial Least Square. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponogoro.
Giampiccoli, Dr Andrea. 2018. Community-Based Tourism Development Model
and Community Participation. African Journal of Hospitality, Tourism
and Leisure. Vol 7 (4).
Guzman, Tomas Lopez, Sandra Sanchez-Canisares, Victor Pavon. 2011.
Community - Based Tourism in Developing Countries: A Case Study.
Journal of Tourism. Vol 6 (1)
Hijriati, Emma dan Rina Mardiana. 2014. Pengaruh Pariwisata Berbasis
Masyarakat Terhadap Perubahan Kondisi Ekologi, Sosial Dan Ekonomi
Di Kampung Batusuhunan, Sukabumi. Jurnal Sosiologi Pedesaan. Vol 2
(3)
Hukom, Alexandra. 2014. Hubungan Ketenagakerjaan Dan Perubahan Struktur
Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Ekonomi
Kuantitatif Terapan. Vol 7 (2).
Indiradewi, Ni Made Ayu dan A.A Istri Ngurah Marhaeni. 2016. Evaluasi
Program Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan pada Masyarakat Pesisir.
Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan. Vol 9 (11).
Jugmohan, Sean & Andrea Giampiccoli. 2017. Community-based Tourism
Development: A Possible Educational Gap. Jornal Anthropologist. Vol
30 (1).
Kaiser, Angela A & Lara Rusch. 2015. Trade-offs in empowerment through social
action: voices from Detroit. Community Development. Vol 46 (4).
Kementrian Pariwisata Republik Indonesia. 2010. Undang-undang Nomor 10
Tentang Kepariwisataan.
Kementrian Pariwisata Republik Indonesia. 2019. Laporan Akuntabilitas Kinerja
Kementrian Pariwisata (LAKIP) 2018.
Kesuma, Ni Luh Aprilia, dan I Made Suyana Utama. 2015. Analisis Sektor
Unggulan dan Pergeseran Pangsa Sektor-Sektor Ekonomi Kabupaten
Klungkung. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan. Vol (8) 1.

47
Lean, Hooi Hooi, Sio Hing Chongb, and Chee-Wooi Hooyc. 2014. Tourism and
Economic Growth: Comparing Malaysia and Singapore. Journal of
Economics and Management. Vol 8 (1).
Mustangin, Desy Kusniawan, Nufa Pramina Islami, Baruna Setya Ningrum, Eni
Prasetyawati. 2017. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi Lokal
Melalui Program Desa Wisata di Desa Bumiaji. Jurnal Pemikiran dan
Penelitian Sosiologi. Vol (1).
Pemerintah Kabupaten Klungkung. 2017. Peraturan Bupati Klungkung Nomor 2
tahun 2017 tentang Penetapan Desa Wisata.
Purnamasari, Andi Maya. 2011. Pengembangan Masyarakat Untuk Pariwisata di
Kampung Wisata Toddabojo Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol 22 (1).
Raharjana, Titi Destha. 2012. Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian
Partisipasi Lokal Dalam Membangun Desa Wisata Di Dieng PlateAU.
Kawistara. Vol 2 (3).
Rizkianto, Neno, dan Topowijono. 2018. Penerapan Konsep Community Based
Tourism Dalam Pengelolaan Daya Tarik Wisata Berkelanjutan (Studi
Pada Desa Wisata Bangun, Kecamatan Munjungan, Kabupaten
Trenggalek). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB). Vol 58 (2)
Rukini, Putu Simpen Arini, dan Esthisatari Nawangsih. 2015. Peramalan Jumlah
Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) ke Bali Tahun 2019:
Metode ARIMA. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan. Vol. 8 (2).
Salazar, Noel B. 2012. Community-Based Cultural Tourism: Issues, Threats and
Opportunities. Journal of Sustainable Tourism. Vol 20 (1).
Singh, Ms. Vineeta. 2014. An Impact and Challenges of Sustainable Development
in Global Era. Journal of Economics and Development Studies. Vol 2 (2)
Suardana, I Wayan dan Ni Gusti Ayu Susrami Dewi. 2015. Dampak Pariwisata
Terhadap Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir Karangasem:
Pendekatan Pro Poor Tourism. PIRAMIDA. Vol 6 (2).
Sugiyono. 2013. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suriya, Komsan. 2010. Impact of Community-based Tourism in a Village
Economy in Thailand: An Analysis with VCGE Model.
Tabash, Mosab I. 2017. The Role of Tourism Sector in Economic Growth: An
Empirical Evidence from Palestine. International Journal of Economics
and Financial Issues. Vol 7 (2).
Undang-Undang Reublik Indo nesia. 1974. Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.

48
Utama Suyana. 2012. Aplikasi Analisis Kuantitatif. Edisi Kedua. Denpasar:
Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Wenno, Noviar F. 2015. Prospek Agroindustri Pala di Wilayah Pesisir (Suatu
Studi Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Desa Seith
Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah). PIRAMIDA. Jurnal
Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Vol 9 (2).
Widjajanti, Kesi. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi
Pembangunan. Vol 12 (1).
Wiwin, I Wayan. 2018. Community Based Tourism dalam Pengembangan
Pariwisata Bali. Jurnal Budaya. Vol 3 (1).
Yasa, I Komang Oka Artana dan Sudarsana Arka. 2015. Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi dan Disparitas Pendapatan antar Daerah Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi Kuantitatif
Terapan. Vol 8 (1).
Yuliarmi, Ni Nyoman & A.A.I.N Marhaeni, I.A.N Saskara, Sudarsana Arka, Ni
L.P. Wiagustini. 2013. Keberdayaan Industri Kerajinan Rumah Tangga
Untuk Pengentasan Kemiskinan Di Provinsi Bali (Ditinjau dari Aspek
Modal Sosial dan Peran Lembaga Adat). PIRAMIDA. Jurnal
Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Vol 9 (1).

49

Anda mungkin juga menyukai