Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tempe merupakan makanan tradisional dari Indonesia yang selama ini sudah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat. Masyarakat gemar mengkonsumsi tempe selain karena
harga yang murah, juga karena kandungan gizi dan sumber protein nabati yang begitu
besar. Tempe merupakan makanan yang berbahan dasar dari kedelai serta mudah untuk
membuatnya, sehingga tempe dapat dijadikan lahan industri rumahan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh.
Hal ini dikarenakan kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa
kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia (Kasmidjo, 1990).
Produksi kedelai pada tahun 2012 hanya sebesar 843,15 ribu ton, sementara kebutuhan
secara nasional sebesar 2,3 juta ton ([BPS] 2014). Akhirnya, pemerintah melakukan
impor kedelai dari negara lain untuk memenuhi kekurangan akan kebutuhan kedelai di
dalam negeri. Padahal kedelai tersebut menjadi bahan baku utama untuk produk pangan
yang dibuat di dalam negeri seperti tempe, tahu, tauco, kecap, susu kedelai,kembang tahu,
dan lain sebagainya.
Menurut Hidayat (2008), selain jenis tempe kedelai ada jenis tempe yang lain, yakni tempe
leguminosa non kedelai dan tempe non leguminosa. Tempe leguminosa non kedelai diantaranya
adalah tempe benguk, tempe kecipir, tempe kedelai hitam, tempe lamtoro, tempe kacang hijau,
tempe kacang merah, dsb. Sedangkan jenis tempe non leguminosa diantaranya tempe
gandum, tempe sorghum, tempe campuran beras dan kedelai, tempe ampas tahu, tempe
bongkrek, tempe ampas kacang, dan tempe tela. Diharapkan dari modifikasi bahan baku
kedelai ini akan mengurangi konsumsi terhadap kedelai tanpa menghilangkan manfaat dari
sifat tempe tersebut
Tempe dibuat dengan proses fermentasi pada media padat (Solid-State Fermentation)
dengan bantuan Rhizopus oryzae. Fermentasi pada tempe ini nantinya akan terbagi dalam 3
fase yaitu : fase pertumbuhan cepat, fase transisi dan fase pembusukan. Selama proses
fermentasi, bahan akan diinkubasi yang bertujuan untuk sterilisasi.
1.2. Tujuan Percobaan

1. Membuat tempe dari kacang kedelai dan kacang merah


2. Mengetahui pengaruh bahan dasar, media pembungkus, banyaknya ragi terhadap
kualitas tempe.
3. Mengevaluasi pengaruh kondisi proses terhadap kualitas tempe
1.3. Manfaat Percobaan

1. Mahasiswa dapat mengetahui serta mampu membuat tempe dari kacang kedelai
dan kacang merah
2. Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh bahan dasar, media pembungkus,
banyaknya ragi terhadap kualitas tempe.
3. Mahasiswa dapat mengevaluasi pengaruh kondisi proses terhadap kualitas tempe
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengertian Tempe


Menurut Kasmidjo (1990) tempe yang baik harus memenuhi syarat mutu secara fisik
dan kimiawi. Tempe dikatakan memiliki mutu fisik jika tempe itu sudah memenuhi ciri-
ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :
A. Warna Putih
Warna putih ini disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh pada permukaan
biji kedelai.
B. Tekstur Tempe Kompak
Tempe yang baik mempunyai bentuk kompak yang terikat oleh miselium
sehingga terlihat berwarna putih dan bila diiris terlihat keeping kedelainya (Lestari,
2005).
C. Aroma dan rasa khas tempe
Terbentuk aroma dan rasa yang khas pada tempe disebabkan terjadinya
degradasi komponen – komponen dalam tempe selama berlangsungnya proses fermentasi.
Tempe dengan kualitas baik mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang
merata pada permukaannya memiliki struktur yang homogen dan kompak serta berasa
berbau dan beraroma khas tempe. Tempe dengan kualitas buruk ditandai dengan
permukaannya yang basah struktur tidak kompak adanya bercak bercak hitam, adanya
bau amoniak dan alkohol serta beracun (Astawan 2004).
Syarat mutu tempe yang digunakan merupakan syarat mutu yang berlaku secara
umum di Indonesia berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3144-2009), seperti
tercantum pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1. Syarat Mutu Tempe menurut SNI 01-3144-2009

Sumber : Bandan Standardisasi Nasional (2009)


Berdasarkan tabel di atas dapat di lihat bahwa persyaratan untuk bau, warna, dan
rasa adalah normal. Besarnya kadar air, abu dan protein secara berturut-turut yaitu
maksimal 65% (b/b), maksimal 1,5% (b/b), dan minimal 16% (b/b). Sedangkan untuk
cemaran mikroba E.coli maksimal 10.

3.2 Manfaat Tempe

1. Protein yang terdapat dalam tempe sangat tinggi, mudah dicerna sehingga baik
untuk mengatasi diare.
2. Mengandung zat besi, flafoid yang bersifat antioksidan sehingga menurunkan
tekanan darah.
3. Mengandung superoksida desmutase yang dapat mengendalikan radikal bebas, baik
bagi penderita jantung.
4. Penanggulangan anemia. Anemi ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin
karena kurang tersedianya zat besi (Fe), tembaga (Cu), Seng (Zn), protein, asam
folat dan vitamin B12, di mana unsur-unsur tersebut terkandung dalam tempe.

3.3 Jenis-Jenis Tempe

Jenis-jenis tempe yang dibuat di Indonesia tergantung dari bahan bakunnya.


Beberapa diantaranya ada tempe kedelai, tempe benguk, tempe kecipir, tempe
gembus, tempe lamtoro, tempe kacang hijau, dan tempe kacang merah.

3.4 Teori Fermentasi

Fermenasi berasal dari kata fervere (Latin), yang berarti mendidih,


menggambarkan aksi ragi pada ekstrak buah selama pembuatan minuman beralkohol.
Pengertian fermentasi agak berbeda antara ahli mikrobiologi dan ahli biokimia.
Pengertian fermentasi dikembangkan oleh ahli biokimia yaitu proses yang menghasilkan
energi dengan perombakan senyawa organik. Ahli mikrobiologi industri memperluas
pengertian fermentasi menjadi segala proses untuk menghasilkan suatu produk dari
kultur mikroorganisme.
Fermentasi juga dapat diartikan sebagai suatu disimilasi senyawa-senyawa
organik yang disebbakan oleh aktivitas mikroorganisme. Disimilasi merupakan reaksi
kimia yang membebaskan energi melalui perombakan nutrien. Pada proses disimilasi,
senyawa substrat yang merupakan sumber energi diubah menjadi senyawa yang lebih
sederhana atau tingkat energinya lebih rendah. Reaksi disimilasi merupakan aktivitas
katabolik sel.
Proses fermentasi mendayagunakan aktivitas suatu mikroba tertentu atau campuran
beberapa spesies mikroba. Mikroba yang banyak digunakan dalam proses fermnetasi
antara lain khamir, kapang dan bakteri. Kemajuan dalam bidang teknologi
fermnetasi telah memungkinkkan manusia untuk memproduksi berbagai produk yang
tidak dapat atau sulit diproduksi melalui proses kimia. Teknologi fermentasi merupakan
salah satu upaya manusia dalam memanfaatkan bahan-bahan yang berharga relatif
murah bahkan kurang berharga menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi dan
berguna bagi kesejahteraan hidup manusia.
Secara umum ada empat kelompok fermentasi yang penting secara ekonomi

1. Fermentasi yang memproduksi sel mikroba (biomass)

Produk komersial dan biomass dapat dibedakan menjadi produksi yeast untuk
industri roti dan produksi sel mikroba untuk digunkan sebagai makanan manusia dan
hewan.
2. Fermentasu yang menghasilkan enzim dari mikroba

Secara komersil, enzim dapat diproduksi oleh tanaman, hewan dan mikroba, namun
enzim yang diproduksi oleh mikroba memiliki beberapa keunggulan yaitu, mampu
dihasilkan dalam jumlah besar dan mudah untuk meningkatkan produktivitas bila
dibandingkan dengan tanaman atau hewan
3. Fermentasi yang menghasilkan metabolit mikroba

Metabolit mikroba dapat dibedakan menjadi metabolit primer dan metabolit


sekunder. Produk metabolisme primer yang dianggap penting contohnya etanol, asam
sitrat, polisakarida, aseton, butanol dan vitamin. Sedangkan metabolit sekunder yang
dihasilkan mikroba contohnya antibiotik, pemacu pertumbuhan, inhibitor enzim dan
lain-;lain.
4. Proses transformasi

Sel mikroba dapat digunakan untuk mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain
yang masih memiliki kemiripan struktur namun memiliki nilai komersial yang lebih
tinggi. Proses transformasi dengan menggunkan mikroba ini lebih baik bila dibandingkan
dengan proses kimia, berkaitan dengan reagen kimia yang lebih sedikit. Selain itu proses
dapat berlangsung pada suhu rendah tanpa membuthkan katalis logam berat.

3.5 Hal-Hal yang Mempengaruhi Hasil Fermentasi


1. Bibit tempe yang digunakan harus masih aktif (bila diremas tidak menggumpal ).

2. Kondisi lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30˚C, pH awal 6.8,
kelembaban
nisbi 70-80%.

3. Proses pengelupasan kulit dimaksudkan untuk mempercepat proses fermentasi


agar berjalan dengan baik karena adanya kulit kedelai yang dapat menghambat
proses penetrasi miselium Rhizopus.
4. Fermentasi akan berjalan baik pada kisaran suhu hangat ruangan karena proses insersi
o
lag phase membutuhkan suhu yang cukup. Jika suhu dibawah 25 C dapat
mempercepat Aspergillus flavus dan Mycotoxin yang beracun.

5. Warna kuning khas tempe merupakan hasil biosintesis β-carotene dan Rhizopus
oligosporus yang menandakan proses fermentasi berjalan cukup baik.
Setelah melakukan praktikum, untuk meninjau hasil ada beberapa kriteria untuk
mengindikasikan bahwa tempe yang dibuat mempunyai kualitas yang baik. Kriteria
tersebut antara lain :
A. Tekstur : lembut dan antar kacang-kacangan terikat erat menjadi satu dalam
miselium putih
B. Aroma : tidak menghasilkan ammonia berlebihan, aroma khas tempe
C. Warna : kuning yang merupakan biosintesis β-carotene
D. Rasa : tidak menghasilkan rasa manis berlebihan, khas tempe

3.6 Rhizopus oryzae

Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan tempe.
Jamur ini aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan mampu menghasilkan
asam laktat. Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan mengurai lemak kompleks menjadi
trigliserida dan asam amino. Selain itu jamur ini juga mampu menghasilkan protease.
Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus oryzae tumbuh baik pada kisaran pH
3,4-6. Pada penelitian, semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat
sampai pH 8,4, sehingga jamur semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk
pertumbuhan jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya,
tetapi kebutuhan air untuk jamur lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan
kadar air, jumlah nutrien dalam bahan juga dibutuhkan oleh jamur.
Ciri-ciri R. oryzae secara umum, antara lain ialah hifa tidak bersekat (senositik),
hidup sebagai saprotrof, yaitu dengan menguraikan senyawa organik. Pembuatan tempe
dilakukan secara aerobik. Reproduksi aseksual cendawan R. oryzae dilakukan dengan cara
membentuk sporangium yang di dalamnya terdapat sporangiospora. Pada R. oryzae
terdapat stolon, yaitu hifa yang terletak di antara dua kumpulan sporangiofor (tangkai
sporangium). Reproduksi secara seksual dilakukan dengan fusi hifa (+) dan hifa (-)
membentuk progamentangium. Progamentangium akan membentuk gametangium.
Setelah terbentuk gamentangium, akan terjadi penyatuan plasma yang disebut
plasmogami. Hasil peleburan plasma akan membentuk cigit yang kemudian tumbuh
menjadi zigospora. Zigospora yang telah tumbuh akan melakukan penyatuan inti yang
disebut kariogami dan akhirnya berkembang menjadi sporangium kecambah. Di
dalamsporangium kecambah setelah meiosis akan terbentuk spora (+) dan spora (-) yang
masing-masing akan tumbuh menjadi hifa (+) dan hifa (-).
Sifat-sifat Rhizopus oryzae, yaitu koloni berwarna putih berangsur-angsur menjadi
abu-abu, stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga kuning kecoklatan.
Sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, baik tunggal atau dalam
kelompok (hingga 5 sporangiofora), rhizoid tumbuh berlawanan dan terletak pada posisi
yang sama dengan sporangiofora. Terdapat sporangia globus atau sub globus dengan
dinding berspinulosa (duri-duri pendek), yang berwarna coklat gelap sampai hitam bila
telah masak. Kolumela oval hingga bulat dengan dinding halus atau sedikit kasar.
Rhizopus oryzae memiliki spora bulat, oval atau berbentuk elips atau silinder. Suhu
optimal untuk pertumbuhan jamur ini adalah 350C, minimal 5-70C dan maksimal 440C.
Berdasarkan asam laktat yang dihasilkan Rhizopus oryzae termasuk mikroba
heterofermentatif.
3.7 Fermentasi pada tempe
Mekanisme fermentasi yang terjadi pada pembuatan tempe adalah sebagai berikut :
1. Fase Pertumbuhan Cepat (0-30 jam fermentasi)
Pada fase ini terjadi penaikan jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan
jamur cepat, terlihat dengan terbentuknya miselia pada permukaan biji yang semakin
lama semakin lebat sehingga menunjukkan massa yang lebih kompak.
2. Fase Transisi (30-50 jam fermentasi)

Fase ini merupakan fase optimal fermentasi tempe dimana tempe siap dipasarkan. Pada
fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan
jamur yang tetap, flavor spesifik tempe optimal dan tekstur lebih kompak
3. Fase Pembusukan atau Fermentasi Lanjutan (50-90 jam fermentasi)
Pada fase ini terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan
jamur menurun, dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi
perubahan flavor karena degradasi protein lanjut yang membentuk ammonia.

3.8 Fungsi Reagen

1.Kacang-kacangan : sebagai medium fermentasi sekaligus sebagai bahan dasar


. tempe
2.Ragi : mengandung spora Rhizopus oligosporus sebagai
. inokulum
dalam proses fermentasi
3. Air : mencuci, merendam, dan mengukus kedelai

3.9 Uji Hedonik dan Analisa Sensori

Evaluasi sensori atau organoleptik adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan


indera manusia untuk mengukur tekstur, penampakan, aroma dan flavor produk pangan.
Penerimaan konsumen terhadap suatu produk diawali dengan penilaiannya terhadap
penampakan, flavor dan tekstur. Oleh karena pada akhirnya yang dituju adalah
penerimaan konsumen, maka uji organoleptik yang menggunakan panelis (pencicip yang
telah terlatih) dianggap yang paling peka dan karenanya sering digunakan dalam menilai
mutu berbagai jenis makanan untuk mengukur daya simpannya atau dengan kata lain
untuk menentukan tanggal kadaluwarsa makanan. Pendekatan dengan penilaian
organoleptik dianggap paling praktis lebih murah biayanya.
Pengujian sensori (uji panel) berperan penting dalam pengembangan produk
dengan meminimalkan resiko dalam pengambilan keputusan. Panelis dapat
mengidentifikasi sifat-sifat sensori yang akan membantu untuk mendeskripsikan produk.
Evaluasi sensori dapat digunakan untuk menilai adanya perubahan yang
dikehendaki atau tidak dikehendaki dalam produk atau bahan-bahan formulasi,
mengidentifikasi area untuk pengembangan, menentukan apakah optimasi telah
diperoleh, mengevaluasi produk pesaing, mengamati perubahan yang terjadi selama
proses atau penyimpanan, dan memberikan data yang diperlukan bagi promosi produk.
Penerimaan dan kesukaan atau preferensi konsumen, serta korelasi antara pengukuran
sensori dan kimia atau fisik dapat juga diperoleh dengan eveluasi

sensori. Pada saat ini telah tersedia berbagai metode analisa organoleptik. Para
peneliti harus mengetahui dengan jelas keuntungan dan kerugian metode-metode
tersebut.
Pada prinsipnya terdapat 3 jenis uji organoleptik, yaitu uji pembedaan
(discriminative test), uji deskripsi (descriptive test) dan uji afektif (affective test). Kita
menggunakan uji pembedaan untuk memeriksa apakah ada perbedaan diantara contoh-
contoh yang disajikan. Uji deskripsi digunakan untuk menentukan sifat dan intensitas
perbedaan tersebut. Kedua kelompok uji di atas membutuhkan panelis yang terlatih atau
berpengalaman. Sedangkan uji afektif didasarkan pada pengukuran kesukaan (atau
penerimaan) atau pengukuran tingkat kesukaan relatif. Pengujian Afektif yang menguji
kesukaan dan/atau penerimaan terhadap suatu produk dan membutuhkan jumlah
panelis tidak dilatih yang banyak yang sering dianggap untuk mewakili kelompok
konsumen tertentu.

1. Pengujian Deskriminatif (Pembedaan)


Uji diskriminatif terdiri atas dua jenis, yaitu uji difference test (uji pembedaan)
yang dimaksudkan untuk melihat secara statistikadanya perbedaan diantara contoh dan
sensitifity test, yang mengukur kemampuan panelis untuk mendeteksi suatu sifat
sensori. Diantara uji pembedaan adalah uji perbandingan pasangan (paired comparation
test) dimana para panelis diminta untuk menyatakan apakah ada perbedaan antara dua
contoh yang disajikan; dan uji duo- trio (dou-trio test) dimana ada 3 jenis contoh (dua
sama, satu berbeda) disajikan dan para penelis diminta untuk memilih contoh yang
sama dengan standar. Uji lainnya adalah uji segitiga (traingle test), yang sama
seperti uji duo-trio tetapi tidak ada standar yang telah ditentukan dan panelis harus
memilih satu produk yang berbada. Berikutnya adalah uji rangking (ranking test) yang
meminta para panelis untuk merangking sampel-sampel berkode sesuai urutannya untuk
suatu sifat sensori tertentu. Uji sensitivitas terdiri atas uji treshold, yang menugaskan
para penelis untuk mendeteksi level treshold suatu zat atau untuk mengenali suatu zat
pada level tresholdnya. Uji lainnya adalahuji pelarutan (dilution test) yang mengukur
dalam bentuk larutan jumlah terkecil suatu zat dapat terdeteksi. Kedua jenis uji di atas
dapat menggunakan uji pembedaan untuk menentukan treshoild atau batas deteksi.

2. Uji Deskriptif
Uji deskripsi didisain untuk mengidentifikasi dan mengukur sifat-sifat sensori.
Dalam kelompok pengujian ini dimasukkan rating atribut mutu dimana suatu atribut
mutu dikategorikan dengan suatu kategori skala (suatu uraian yang menggambarkan
intensitas dari suatu atribut mutu) atau dapat juga “besarnya” suatu atribut mutu
diperkirakan berdasarkan salah satu sampel, dengan menggunakan metode skala rasio.
Uji deskripsi digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik sensori yang penting
pada suatu produk dan memberikan informasi mengenai derajat atau intensitas
karakteristik tersebut. Uji ini dapat membenatu mengidentifikasi variabel bahan
tambahan (ingredien) atau proses yang berkaitan dengan karakteristik sensori tertentu
dari produk. Informasi ini dapat digunakan untuk pengembangan produk baru,
memperbaiki produk atau proses dan bergunajuga untuk pengendalian mutu rutin. Uji
deskriptif tgerdiri atas Uji Scoring atau Skaling, Flavor Profile & Texture Profile Test
dan Qualitative Descriptive Analysis (QDA). Uji skoring dan skaling dilakukan
dengan menggunakan pendekatan skala atau skor yang dihubungkan dengan desnripsi
tertentu dari atribut mutu produk. Dalam sistem skoring, angka digunakan untuk menilai
intensitas produk dengan susunan meningkat atau menurun.
Pada Uji flavor/texture Profile, dilakukan untuk menguraikan karakteristik aroma
dan flavor produk makanan, menguraikan karakteristik tekstur makanan. Uji ini dapat
digunakan untuk mendeskripsikan secara komplit suatu produk makanan, melihat
perbedaan contoh diantara group, melakukan identifikasi khusus misalnya off-flavor
dan memperlihatkan perubahan intensitas dan kualitas tertentu. Tahap ujinya meliputi :
Orientasi sebelum melakukan uji, tahap pengujian dan tahap analisis dan interpretasi
data. Panelis kepala atau panel leader menerangkan tujuan dari pengujian dan
menyajikan contoh yang akan diuji, termasuk produk yang ada di pasaran. Istilah-
istilah yang akan digunakan dikembangkan dalam diskusi dan digunakan juga
contoh referensi. Pengujian dilakukan dua sesi, yaitu sesi tertutup dan sesi terbuka.
Pada sesi tertutup setiap panelis melakukan pengujian secara individu dan mencatat
hasilnya, sedangkan pada sesi terbuka setiap panelis melaporkan hasilnya dan
didiskusikan dengan pemimpin analisa. Analisis dan interpretasi data merupakan
tanggung jawab pemimpin analisa yang harus mampu mengekspresikan hasil
daripanelis, sehingga bisa dengan mudah dimengerti. Biasanya dalam uji ini tidak ada
analisis statistik. Uji Qualitatif Descriptive Analysis digunakan untuk menilai
karakteristik atribut mutu sensori dalam bentuk angka-angka kuantitatif. Dalam
industri uji QDA ini bermanfaat antara lain untuk :
A. Menilai mutu produk baru terhadap produk lama, terhadap mutu produk
saingan, menilai pengaruh penanganan terhadap suatu produk atau terhadap
beberapa perubahan dalam pengolahan.
B. Untuk mendapatkan mutu produk yang seragam dari waktu-ke waktu, dari
pengolahan ke
pengolahan, analisa deskripsi dapat menolong penyelidikan penyebab
perubahan atau ketidakseragamandapat segera diketahui dan tindakan
perbaikan dapat segera dilakukan.
C. Jika pasar suatu produk mundur, makadapat dilakukan diagnosis penyebab
kemunduran, apakah karena mutu produk menurun atau sebab lainnya.
D. Dengan analisis ini dapat pula diketahuimutu hasil pengolahan dan
menentukan apakah mutu produk mengalami penyimpangan dari waktu ke
waktu.

Prosedur QDA meliputi Seleksi dan training panelis, mengembangkan istilah,


Evaluasi sensori dan Analisis data dan interpretasi hasil. Seleksi dimulai dengan
menyeleksi calon panelis yang besar, misalnya 100 orang atau lebih. Calon panelis dapat
diambil dari karyawan administrasi, pengolahan atau R & D. Kepada calon panelis
dilakukan uji kemampuan dalam membedakan sifat sensori, misalnya dengan
menggunakan uji segitiga. Dari calon panelis dapat dipilih 6 sampai 9 orang panelis
untuk QDA. Kepada panelis terpilih kemudian dilakukan latihan dengan diberi briefing
atau instruksi mengenai konsep, tujuan dan pendekatan untuk QDA kemudian diberi
latihan dengan menguji produk dimana mereka dapat menggunakan persepsi mereka
terhadap atribut mutu. Latihan dapat dilakuakan selama satu jam setiap hari atau 2 jam
dua kali seminggu sehingga panelis siap mengembangkan deskripsi prosuk. Dalam
pengembangan istilah, panelis diminta menuliskan istilah-istilah yang sebaiknya
digunakan dalam menguraikan penampakan, flavor, bau dan tekjstur dari produk. Dalam
sesi ini diberikan bermacam-macam produk untuk memungkinkan mendapatkan
bermacam-macam tingkatan mutu atau karakteristik dari produk yang diberikan. Istilah-
istilah tersebut kemudian didiskusikan, dipilih dan dibakukan. Dalam pelaksanaan
pengujian QDA digunakan score sheet yang dibuat berdasarkan tahapan sebelumnya,
dan biasanya menggunakan skala garis misalnya sebagai berikut : Lemah Sedang
Kuat
Kemudian garis tersebut diberi skala angka setelah pengujian selesai dan dilakukan
beberapa sesi ulangan pengujian (4 – 6 sesi ulangan).
Analisis data dilakukan sebagai berikut :
 QDA score dikonversikan ke skala angka.
 Hitung nilai setiap panelis per ulangan
 Ambil nilai rata-rata seluruh panelis
Transformasikan ke dalam grafik majemuk, misalnya sebagai berikut :

Sumber: Ebookpangan.com

3. Metoda Afektif
Metode ini digunakan untuk mengukur sikap subjektif konsumen terhadap produk
berdasarkan sifat-sifat organoleptik. Hasil yang diperoleh adalah penerimaan
(diterima atau ditolak), kesukaan (tingkat suka/tidak suka), pilihan (pilih satu dari yang
lain) terhadap produk. Metode ini terdiri atas Uji Perbandingan Pasangan (Paired
Comparation), Uji Hedonik dan Uji Ranking. Uji perbandingan pasangan digunakan
untuk uji pilihan. Panelis diminta memilih satu contoh yang disukai dari dua contoh
yang disajikan. Prosedurnya adalah sebagai berikut : Dua contoh yang diberi kode
disajikan bersamaan dengan cara penyajian yang sama, misalnya dalam bentuk ukuran,
suhu dan wadah. Panelis diminta memilih mana yang disukai. Untuk mendapatkan
hasil yang baik, jumlah panelis disarankan lebih dari 50 orang. Uji hedonik
merupakan pengujian yang paling banyak digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan
terhadap produki. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik, misalnya sangat suka,
suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan lain-lain. Skala
hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendaki.
Dalam analisi datanya, skala hedonik ditransformasikan ke dalam skala angka dengan
angka manaik menurut tingkat kesukaan (dapat
5, 7 atau 9 tingkat kesukaan). Dengan data ini dapat dilakukan analisa statistik.
Dalam uji rangkaing diuji 3 aatau lebih contoh dan panelis diminta untuk
mengurutkan secara menurun atau manaikmenurut tingkat kesukaan (memberi
peringkat). Panalis dapat diminta untuk meranking kesukaan secara keseluruhan atau
terhadap atribut tertentu seperti warna atau flavor.
menyusun peringkat atau ranking berdasarkan tingkat kesukaannya
Contoh diberi kode dan disajikan secara seragam, dan disajikan bersamaan.
Panelis diminta
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.10. Bahan dan Alat yang digunakan

A. Bahan yang digunakan

1. Kacang kedelai
2. Kacang merah
3. Ragi tempe
4. Air secukupnya
5. Daun Jati
6. Daun Pisang
7. Plastik aerasi

B. Alat yang digunakan

1. Panci
2. Kain
3. Kompor
4. Timbangan
5. Batang Pengaduk
6. Sendok

3.11. Cara Kerja

1. Bersihkan semua bahan baku dari batu kerikil dan kotoran lainnya.

2. Cuci bahan baku kemudian rendam selama 8-10 jam, lalu tiriskan.

3. Kupas kulit bahan baku sampai bersih, lalu cuci kembali agar kulit arinya hilang
semua

4. Kukus bahan baku atau rebus selama ±30 menit menggunakan air secukupnya

5. Keringkan bahan baku, kemudian sebar dengan ketebalan (1-2 cm ) agar


mempercepat pengeringan.
7. Timbang bahan baku lalu tambahkan ragi sesuai variabel.

8. Campur bahan baku dan ragi sesuai variabel hingga rata.

9. Bungkus dengan pembungkus sesuai variabel, kemudian inkubasi selama 3 hari.


10. Amati perubahan setiap harinya :berat, warna, aroma, tekstur miselium pada tempe
11. Melakukan skoring atau penilaian sebagai berikut
Untuk parameter warna, aroma, dan tekstur miselium menggunakan
skala 1-5.

Skala 1 = sangat buruk atau hasil pengamatan


mendekati bahan baku
Skala 2 = buruk
Skala 3 = cukup
Skala 4 = baik
Skala 5 = sangat baik atau hasil pengamatan mendekati
tempe yang telah jadi

6. Bahan baku akan mendingin jika tampak kering ( tidak basah lagi ) maka sudah bias
diinokulasi
DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. Tiga Serangkai. Solo.

-------,2006. Pengujian Organoleptik (Evaluasi Sensori)Dalam Industri


Pangan.
Ebookpangan.com

BPS, B.P.S., 2014. Produksi Tanaman Pangan 2014,

Jakarta. BSN, B.S.N., 2009. SNI 3144:2009 - Tempe Kedelai,

Indonesia.

Direktorat Jenderal Industri Kecil. 2007. Kemasan Flexible. Jakarta : Departemen Perindustrian

Dwinaningsih, Erna Ayu. 2010. Karakteristik Kimia Dan Sensori Tempe Dengan Variasi
Bahan Baku Kedelai/Beras Dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama
Fermentasi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret (hlm 40-45)

Erna Ayu Dwinaningsih. 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe Dengan Variasi
Bahan Baku Kedelai/Beras Dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama
Fermentasi. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Negeri Sebelas
Maret.

Harun Alrasyid. 2007. Peranan I.soflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan
Komorbid.
Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran USU Medan

Hidayat, N. 2008. Fermentasi Tempe. http://ptp2007.files.wordpress.com/2008/03/fermentasi-


tempe.pdf

Kasmidjo. 1990. Mikrobiologi Pangan dan Pemanfatannya. Angkasa: Bandung.

Kuswanto, R. K., Sudarmadji, Slamet. 1989. Mikrobiologi Pangan. UGM.

Yogyakarta.

Lestari, E. 2004. Pengaruh Penambahan Bekatul Sebagai Bahan Pengisi Tempe


Terhadap
Kadar Protein Tempe Kedelai. [Skripsi]. UMS.

Supriyono, SP. 2003. Memproduksi Tempe. Proyek Pengembangan Sistem dan


Standar
Pengelolaan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

Anda mungkin juga menyukai