Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS PENDEK

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 8 TAHUN DENGAN


MUSCULAR DYSTROPHY

Oleh :
Taufan Prasetya

Pembimbing :

dr. Alifiani Hikmah P, Sp.A(K)

PPDS – I ILMU KESEHATAN ANAK


FK UNDIP / RS Dr. KARIADI
SEMARANG
2014

0
BAB I
PENDAHULUAN

Distrofi muskular merupakan kelompok penyakit yang dapat dibedakan dengan


kelainan neuromuskular lainnya oleh empat kriteria diagnostik, yaitu kelainan primer
terjadi pada otot, bukan neurogenik, disebabkan karena kelainan genetika, merupakan
penyakit progresif dan yang terakhir ditemukan adanya degenerasi dari sel otot pada
beberapa derajat penyakit.1
DMD yang paling sering terjadi pada dystrophinopathy pada anak-anak, oleh
karena kehilangan komplit dari produk gen distrofin, protein subsarkolemma, yaitu
distrofin. Kondisi ini terjadi pada 1 dari 3500 kelahiran hidup anak laki-laki, tanpa
melihat etnik atau ras dan sekitar 8-10% wanita sebagai pembawa (carrier)
menunjukkan beberapa manifestasi klinis penyakit ini. 1,3,4,4 Bentuk alel lainnya, yaitu
BMD yang sangat jarang dan biasanya merupakan hasil dari mutasi kerangka gen
distrofin yang disebabkan menurunnya kuantitas serta kualitas protein distrofin,
menyebabkan peningkatan penyakit dengan beratnya bentuk serta onset, usia dari
anak-anak sampai dewasa.
DMD maupun BMD merupakan bentuk dari ekspresi fenotip dari defek gen
Xp21. Perbedaan besar fenotip berkaitan dengan abnormalitas dari Xp21.
Abnormalitas produk gen baik itu DMD maupun BMD tereduksinya bagian dari otot,
yaiut struktur protein dystrophin. Pada DMD, dystrophin normal hanya 0-5% dan
pada BMD normal hanya 5-20%. Onset BMD diketahui biasanya pada usia setelah 5
tahun, ketidakmampuan otot setelah usia 15 tahun dan dapat bertahan sampai usia
dewasa.2
Baik itu Duchenne muscular dystrophy (DMD), Becker muscular dystrophy
(BMD), dan Limb Girdle muscular dystrophies (LGMD) menampilkan proporsi
signifikan terhadap praktik neurologi neuromuskular pada anak dan dewasa.
Berlandaskan berbagai gejala yang melibatkan tim multidisiplin secara proaktif dapat
memperbaiki survival sampai dengan dewasa.3 Namun, pada laporan kasus yang akan

1
dibahas berikut, masih didapatkan kendala, baik itu dalam hal penegakkan diagnosis,
dimana pada kasus tersebut diagnosis hanya sampai dengan pemeriksaan EMG
(Electromiography), sehingga belum dapat ditegakkan jenis Muscular dystrophy pada
pasien tersebut. Dalam hal penatalaksanaan dibutuhkan keteraturan, kedisiplinan serta
dukungan orang-orang terdekat atau keluarga, yang nantinya akan mempengaruhi
prognosis pada pasien selanjutnya.

2
BAB II
KASUS
Kasus adalah seorang anak laki-laki yang saat datang ke RSUP dr. Kariadi, berusia 8
tahun, beralamat di Troso RT 07/RW 06, Kel. Pecangan, Kab. Jepara. Nomor rekam
medis C 322391. Datang pertama kali tanggal 10 November 2011 dengan keluhan
rujukan dari RSUD Jepara dengan suspek Duchene Musculorum Dystrophy.
Alloanamnesis dengan ibu penderita di C1L2 Bangsal anak, ± 4 bulan anak
mengeluh sulit saat berjalan. Bila berjalan terasa lemah pada tungkai kanan dan kiri
kemudian terjatuh. Bila bangun anak harus merangkak dan berpegangan pada dinding
atau lututnya sendiri untuk dapat berdiri kembali. Tidak ada kelemahan pada kedua
lengan dan tangan. Kesulitan berjalan ini semakin lama semakin berat. Tidak
didahului oleh demam, tidak ada kejang, tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Anak
bisa merasa kalau mau BAB dan BAK. Anak masih bisa masuk sekolah. Kemudian
anak dibawa ke RSUD Kartini Jepara, dikatakan kelainan saraf, dianjurkan untuk
rawat jalan dan dilakukan fisioterapi. Karena tidak ada perbaikan setelah 10x terapi
(2x/minggu), anak dirawat di RSUD Kartini Jepara selama 4 hari, didiagnosis suspek
Duchene Musculorum Dystrophy dan dirujuk ke RS Dr. Kariadi.
Dari riwayat penyakit dahulu tidak didapatkan riwayat kelemahan pada
anggota gerak, tidak ada riwayat trauma.
Dari riwayat penyakit keluarga didapatkan bahwa tidak ada anggota keluarga
yang sakit dengan kelemahan anggota gerak, tidak ada anggota keluarga terutama
laki-laki yang menderita penyakit seperti pasien. Berikut adalah Pedigree pasien :

3
Keterangan : Kakek penderita meninggal saat usia 55 tahun karena demam tinggi
Paman penderita meninggal saat usia 1 tahun karena demam tifoid

Ayah bekerja sebagai buruh bangunan. Penghasilan ±Rp 1.000.000,- per


bulan. Ayah menanggung 1 orang anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan
ditanggung Jamkesda. Kesan sosial ekonomi kurang.
Penderita merupakan anak pertama, lahir dari ibu G1P0A0, 20 tahun, hamil
cukup bulan, pemeriksaan kehamilan di bidan, tidak ada riwayat sakit selama
kehamilan, tidak minum obat dan jamu selain yang diberikan bidan. Lahir secara
spontan ditolong bidan, berat badan lahir 3500 gram, panjang badan lahir tidak tahu,
langsung menangis dan tidak pernah sakit dalam bulan pertama kehidupan. Imunisasi
dasar lengkap.
Riwayat makan dan minum anak sebelum sakit, anak mendapat ASI sejak
lahir sampai usia 2 tahun. Sejak usia 6 bulan sampai 8 bulan anak mendapat bubur
susu 2 kali sehari @ ½ sachet, buah pepaya, pisang diberikan kadang-kadang sejak
anak umur 4 bulan. Sejak umur 8 sampai umur 1,5 tahun anak diberi bubur nasi 3-4x
sehari @ 1-2 sendok dengan lauk bervariasi, tidak ditambahkan minyak atau
mentega, habis. Sejak usia 1,5 tahun sampai sekarang anak diberi makanan keluarga
yang terdiri dari nasi dengan lauk tahu, tempe, sayur 3x sehari @ ½-1 piring, habis.
Riwayat perkembangan anak kesan sesuai dengan anak lain seusianya. Bisa berjalan
saat usia 14 bulan. Saat ini anak kelas 3 SD, tidak ada riwayat tinggal kelas, anak
dapat mengikuti pelajaran di sekolahnya. Untuk pertumbuhan, BB lahir 3,5 kg, BB
saat ini 18 kg, kesan undergrowth.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan anak laki-laki, umur 8 tahun berat badan 18
kg, tinggi badan 119 cm. Kesan umum anak tampak sadar, kurang aktif, nafas
spontan adekuat, tidak ada lateralisasi. Tanda vital tekanan darah 90/60 mmHg, nadi
92x/menit, laju napas 22x/menit dan suhu 36,70C.

4
Kepala mesosefal dengan lingkar kepala 52 cm. Mata didapatkan pupil isokor
Ø 3mm/3mm, refleks cahaya +/+ normal, refleks kornea +/+ normal, refleks bulu
mata +/+ normal. Nervus kranialis dalam batas normal. Pemeriksaan dada tidak
tampak iga gambang dengan jantung dan paru tidak terdapat kelainan. Perut tampak
datar, turgor baik, tidak didapatkan pembesaran hepar maupun lien. Dari ekstremitas
atas didapatkan kekuatan 5/5/5 simetris kanan dan kiri, normotonus, refleks fisiologis
(+) normal, tidak ada refleks patologis, sensibilitas kanan dan kiri normal. Dari
ekstremitas bawah didapatkan kekuatan 3/3/3 simetris kanan dan kiri, hipotonus,
refleks fisiologis menurun, tidak didapatkan klonus, sensibilitas normal kanan dan
kiri normal, tampak pseudohipertrofi muskulus gastroknemius kanan dan kiri.
Didapatkan Gower sign dan waddling gait. Pemeriksaan antropometri dengan WHO
Anthropometri didapatkan kesan gizi kurang, perawakan normal (WAZ -2,66 SD,
HAZ -1,44 SD, BMI -2,63 SD) dengan berat badan ideal 22,5 kg.
Dari pemeriksaan laboratorium darah rutin dan elektrolit dalam batas normal.
Didapatkan peningkatan enzim transaminase SGOT 93 U/L (Normal 15-37 U/L),
SGPT 213 U/L (Normal 30-65 U/L), peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase
(CPK) 1532 U/L (Normal 21-232 U/L). Pada pemeriksaan elektromiografi
didapatkan hantaran saraf motorik (peak lantency, amplitude, MCV) dan sensorik
(peak lantency, amplitude, MCV) semua sampel saraf dalam batas normal. Pada
pemeriksaan EMG jarum didapatkan fibrilasi dan positive sharp wave pada semua
sampel otot, pada minimal effort didapatkan aMVP dengan amplitudo menurun dan
durasi yang normal pada semua sampel otot. Pada maximal effort didapatkan
recruitment yang menurun pada m. ekstensor carpi radialis longus sinistra, m.
gastrocnemius caput medialis dekstra, m. rektus femoris dextra, sedangkan m. biceps
dekstra dalam batas normal, kesan EMG mendukung muscular dystrophy, untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik disarankan untuk pemeriksaan EMG ulang 2 atau
3 bulan lagi. Pemeriksaan x-foto torakolumbal tidak didapatkan skoliosis.
Pemeriksaan x foto toraks tidak didapatkan kardiomegali. Pemeriksaan EKG dalam

5
batas normal, dan dari pemeriksaan ekhokardiografi didapatkan jantung dalam batas
normal.
Anak didiagnosis Muscular Dystrophy dd/Duchenne Muscular Dystrophy
(DMD) dan Becker Muscular Dystrophy (BMD) dan Gizi kurang. Anak dirawat di
bangsal C1L2, mendapat terapi prednison 5mg/8 jam, diet 1700 kalori, 60 gram
protein, dan diprogramkan fisioterapi, pemeriksaan biopsi otot dan pemeriksaan
genetik, serta pemberian suplementasi tablet kalsium 500 mg/12 jam. Pada hari
keperawatan ke-12 anak dipulangkan serta diprogramkan untuk kontrol teratur di poli
Anak 1 kali per bulan.

6
BAB III
PEMBAHASAN

I. Definisi
Muscular dystrophy merupakan kumpulan kelompok kelainan otot non inflamasi
progresif yang diturunkan tanpa disertai abnormalitas susunan saraf perifer
maupun pusat, akibatnya degenerasi serat saraf dan kehilangan kekuatannya.1,3,4
Baik itu Duchenne muscular dystrophy (DMD) ataupun Becker Muscular
Dystrophy (BMD) merupakan bagian dari dystropinopathies yang merupakan
kelompok muscular dystrophies yang disebabkan mutasi dari gen distrofin yang
berlokasi di regio Xp21.4 Produk gen abnormal pada DMD maupun BMD adalah
tereduksinya muatan otot dari struktural protein distrofin. Pada DMD, muatan
distrofin normal sebesar 0-5% dan pada BMD muatan distrofin normal 5-20%.2
Penyebab utama dari muscular dystrophies adalah mutasi gen distrofin
yang menyebabkan hilangnya protein distrofin pada DMD dan reduksi atau
terpotongnya gen distrofin pada BMD yang menyebabkan degenerasi otot.5

II. Epidemiologi
DMD merupakan kelainan Muscular Dystrophy yang paling sering diturunkan,
diperkirakan mempengaruhi 1 dari 3600 menjadi 1 dari 6000 kelahiran hidup
anak laki-laki, tanpa melihat etnik atau ras dan sekitar 8-10% wanita sebagai
pembawa (carrier) menunjukkan beberapa manifestasi klinis penyakit ini. 1,3,4,4
Data dari skrining neonatus selama 20 tahun menggambarkan insiden 1 dari
5.266 kelahiran anak laki-laki di Wales. Pada 1991 diperkirakan prevalensi DMD
2-48 per 100.000 kelahiran di Inggris (Level of Evidence I).6 Salah satu
penelitian didapatkan insidensi DMD di Kanada tidak berubah secara signifikan
antara 1969 – 2003 (1 dari 3.745 menjadi 1 dari 7.711 pada kelahiran bayi laki-
laki) (Level of Evidence I).7

7
Beberapa mutasi pada gen DMD berkembang menjadi bentuk ringan dari
muscular dystrophy, dikenal dengan BMD. BMD dilaporkan 1 dari 18.450
kelahiran bay laki-laki di Inggris, dengan prevalensi 2.38 per 100.000 populasi
(Level of Evidence I).8 BMD sebagai bentuk alel lainnya yang sangat jarang dan
biasanya merupakan hasil dari mutasi kerangka gen distrofin yang disebabkan
menurunnya kuantitas serta kualitas protein distrofin, menyebabkan peningkatan
penyakit dengan beratnya bentuk serta onset, usia dari anak-anak sampai dewasa.
Sebaliknya, DMD khas bermanifestasi sebelum usia 4 tahun, pasien BMD
dapat tanpa gejala dalam 10 tahun pertama. 4 Penderita DMD tanpa riwayat
penyakit yang sama dalam keluarga rata-rata baru terdiagnosa diatas usia 4,5
tahun. Konfirmasi melalui pemeriksaan molekuler sebaiknya harus dilakukan
untuk kepentingan klinis dan konseling genetik bagi anggota keluarga lainnya.31
Usia rata-rata bertahan pada DMD mendekati awal 20 tahunan, kisaran
antara remaja pertengahan sampai dengan usia 30 tahunan dan kadang-kadang
diluar kisaran tersebut. Sebaliknya, pada BMD, beberapa individu bertahan
pada usia paruh baya, tapi lainnya dapat bertahan sampai 80 tahunan.9

III. Faktor risiko


a. Keturunan
DMD merupakan bentuk dari terkait kromosom seks x (x-linked) resesif,
bentuk ringannya yaitu BMD. Sebagian besar DMD pada heterozigot karier
wanita subklinis. Namun bagaimanapun, identifikasi karier
dystrophinopathies dapat dipertimbangkan sebagai dasar klinis, seperti pada
keluarga dengan riwayat muscular dystrophy x-linked. Tetapi, diagnosis biopsi
otot dan analisis molekuler pada myopati dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi karier tanpa riwayat positif pada keluarga dengan
dystrophinopathy, yang dapat terjadi pada 10% wanita dengan hiperCK-emia
(Level of Evidence I).10

8
DMD selalu diturunkan dari pihak ibu. Inaktifasi 1 dari 2 kromosom x
terjadi ketika awal perkembangan embronik, kromosom 50% aktif didapat
dari maternal dan 50% dari paternal (Gambar 1). Gejala DMD karier pada
wanita berkisar dari ringan sampai dengan berat, sulit berjalan. Manifestasi
pada anak wanita biasanya menunjukkan beberapa gejala ringan dibandingkan
anak laki-laki, pada sedikit kasus mengalami kelainan berat serupa dengan
yang dialami anak laki-laki.10 Gejala yang serig terjadi kelemahan otot
proksimal ringan, yang biasanya asimetrik dan progresif. Hal tersebut
merupakan bentuk klinis dari fenotip BMD-like menjadi berat berupa DMD-
like.11
Prevalensi manifestasi DMD karier pada wanita berbeda pada
beberapa penelitian. Taylor dkk (2007) pernah melaporkan 2 dari 3 ibu DMD
karier yang menurunkan DMD pada pria. Sekitar 2.5-7.8% DMD karier pada
wanita mengalami kelemahan otot dan dikategorikan sebagai manifestasi
DMD karier (Level of Evidence I).12 Penelitian di Belanda yang pernah
dipublikasikan melaporkan 20% wanita karier menunjukkan gejala, 19%
kelemahan otot dengan pengukuran secara manual dan 8% menunjukkan
kardiomiopati dilatasi (Level of evidence IV).13 Prevalensi serupa pada
wanita dengan gejala yang diobservasi pada grup lain, 12% menunjukkan
kelemahan otot dan 7% didapatkan kardiomiopati (Level of evidence IV). 14
Beberapa manifestasi lain pada karier hanya menampilkan myalgia dan kram
tanpa kelemahan ekstremitas.15 Disamping itu, kasus yang tidak biasa seperti
kardiomiopati terisolasi tanpa kelemahan otot rangka (Level of evidence
IV).16 dan pernah dilaporkan keterlambatan perkembangan pada masa kanak-
kanak (Level of evidence IV).15

9
Gambar 1. X-linked resesif yang diturunkan oleh ibu dengan genetik karier
DMD9

b. Mutasi baru
Tidak semua anak laki-laki dengan DMD diturunkan dari ibu karier,
dijumpai adanya angka kejadian mutasi baru pada gen dystrophin yang tinggi,
menyebabkan adanya dua pertiga kasus DMD yang tidak memiliki riwayat
penyakit yang sama dalam keluarga. Passamo dkk melakukan studi
retrospektif pada 835 pasien DMD di Pusat Kardiomiologi dan Genetika
Kedokteran Naples, Italia selama 4 dekade (tahun 1961-2006), didapatkan
presentasi kasus familial DMD menurun dari dua dekade pertama sebanyak
59,6% menjadi 20% pada dua dekade berikutnya (Level of evidence IV).17
Manasa dkk dari India melapokan dari 12 pasien dengan DMD dan BMD
hanya 2 pasien dengan riwayat penyakit keluarga yang sama (Level of
evidence IV).18 Satu hal yang juga terintegrasi dalam proses diagnosis DMD
adalah upaya menegakkan status karier dari si Ibu. Meskipun DMD yang

10
diderita si anak merupakan hasil dari suatu mutasi baru, tetap dijumpai adanya
rata-rata 10% resiko pengulangan pada anak berikutnya dikarenakan germline
mosaicism. 42,26
Pada pasien ini tidak ditemukan riwayat keluarga dengan penyakit
yang sama, serta keluhan timbul ketika usia 8 tahun, kemungkinan karena
terjadi mutasi gen distrofin dan masih mungkin DMD ataupun BMD. Pada
orangtua pun belum dilakukan skrining sebagai karir DMD maupun BMD,
baik itu pemeriksaan genetik maupun pemeriksaan serum CK.

IV. Genetik dan Patogenesis


Sebuah tinjauan singkat dasar genetika molekuler dari DMD penting untuk
memahami pendekatan diagnostik dan memahami keterbatasan dari berbagai
teknik diagnostik. DMD disebabkan oleh mutasi gen distrofin di Xp21. Lokus
distrofin berisi 85 ekson dan mengkode dalam jumlah besar distrofin dengan
protein yang sedikit, bernama distrofin. Distrofin adalah protein berbentuk
batang, yang berlokasi di sisi sitoplasma dari sarkolema, yaitu terminal akhir dari
karboksil untuk mengikat distrofin yang juga berikatan dengan kompleks
glikoprotein pada sarkolema, sedangkan ujung aminoterminal berikatan dengan
aktin sitoskeletal.1,3,4

Distrofin menjadi penting untuk perlindungan sarkolema dari stres karena


kontraksi secara berulang dengan cara menyediakan ikatan langsung antara aktin
subsarkolemmal sitoskeletal dengan filamen intermedian pada serat otot dengan
matriks ekstraseluler (gambar 2). Selain itu, memiliki fungsi lain dalam
mengendalikan molekul sinyal seperti homeostasis neuronal nitrit oksida sintase
dan kalsium intrasitoplasma.1,3,4

11
Gambar 2. Kompleks Distrofin-glikoprotein. Hubungan distrofin dengan
filamin aktin didalam sitoplasma, dan kompleks distrofin-glikoprotein
membentuk jembatan melalui membran menuju subunit merosin dari
laminin pada matriks ekstraseuler.1

DMD disebabkan oleh mutasi gen distrofin, menyebabkan gangguan pada


kerangka baca, mengakibatkan reduksi besar atau ketiadaan distrofin pada otot
rangka dan jantung. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan
kandungan kalsium intrasitoplasma, diikuti oleh kerusakan serta degenerasi serat
otot. Beberapa distrofin isoform juga diekspresikan di dalam otak, dan defisiensi
distrofin dalam jaringan tersebut bertanggung jawab terhadap retardasi mental,
yang mempersulit perjalanan DMD pada hampir sepertiga kasus.3
Sekitar 65% pasien dengan DMD mengalami delesi intragenik out-of-
frame dan sekitar 10% mengalami duplikasi dari satu atau lebih ekson gen
distrofin. Pada pasien yang tersisa mengalami titik mutasi atau penyusunan ulang
gen lain yang lebih ringan (delesi intrinsik murni, insersi urutan berulang, mutasi
splice site). Biasanya, mutasi gen distrofin out-of-frame dapat mengakibatkan
reduksi besar atau tidak adanya distrofin pada otot sehingga menyebabkan
fenotip DMD, sedangkan mitasi pada frame menyebabkan ekspresi sebagian
fungsional trunkus protein, menngakibatkan muscular dystrophy ringan (BMD).

12
Hipotesis pergeseran frame berlaku pada lebih dari 90% kasus dan
umumnya digunakan baik untuk diagnosis atau untuk membedakan antara DMD
dan BMD. Namun ada pengecualian pada aturan pergeseran frame; mutasi
didalam frame pada pengkodean gen untuk domain yang krusial dari protein
distrofin (domain yang mengikat aktin dengan distroglikan) dapat menyebabkan
fenotipe DMD, sedangkan beberapa mutasi out-of-frame yang berhubungan
dengan BMD, disebabkan mekanisme yang berbeda seperti kompensasi oleh
melompatnya ekson atau reinisiasi kodon yang terletak di ahir gen 5’. DMD
merupakan kondisi terkait X resesif, tapi didapat insiden mutasi baru yang tinggi,
dan setidaknya sepertiga dari kasus tidak memiliki riwayat keluarga yang
positif.3
Setelah terjadi kerusakan distrofin pada DMD, secara alamiah
diasumsikan bahwa distrofin tersebut berhubungan dengan sarkolemma,
sehingga bila terjadi defisiensi distrofin akan mengakibatkan rusaknya membran
otot. Proses ini berlanjut menyebabkan hilangnya enzim otot, meliputi creatine
kinase (CK) dan selanjutnya berkembang menjadi kelemahan otot. Terikatnya
berbagai macam protein sakolemma membuat jauh lebih kompleks.
Kemungkinan interaksi antara berbagai macam protein dapat menginduksi
perubahan konformasi pada calsium channel yang mengakibatkan meningkatnya
aktifitas oleh karena meningkatnya kalsium intraseluler, khususnya melalui
abnormalitas dari interaksi asetilkolin-reseptor-sitoskeletal. Proses tersebut
mengakibatkan disfungsi mitokondrial dan akhirnya kematian sel, sehingga sel
otot yang nekrosis digantikan dengan jaringan lemak atau jaringan ikat.19
Jaringan otot memiliki potensi perbaikan yang terbatas. Pada DMD, kerusakan
serat otot tidak sepenuhnya terkompensasi oleh proliferasi sel satelit. Proses
inflamasi yang diikuti dengan nekrosis otot mengakibatkan fibrotic remodelling
dan akhirnya terjadi fatty cell replacement.19,20

13
V. Diagnosis
a. Anamnesis
DMD biasanya didiagnosis saat usia sekitar 5 tahun, diagnosis dapat dicurigai
lebih awal karena keterlambatan pada developmental milestones, seperti
keterlambatan berjalan sendiri atau berbicara, yang secara prospektif dapat
diketahui pada saat masa perkembangan.25
Secara klinis, sebenarnya dapat diketahui adanya kelainan muscular
dystrophy. Kelainan ini dapat tampak pada awal masa kanak-kanak dan sering
kali gejala awal terabaikan. Awalnya, keluhan dapat berupa kesulitan menaiki
tangga, berdiri dari lantai atau aktifitas yang sering melibatkan melibatkan
otot pelvis (Gower’ Sign). Lordosis sering dijumpai menyertai progresifitas
penyakit.1,2,26
Gejala lain yang mungkin dan sering dikeluhkan diantaranya
hipomotilitas lambung yang mengakibatkan muntah, nyeri perut dan distensi
secara tiba-tiba. Pada pasien dalam jumlah sedikit juga dapat ditemukan
riwayat diare, timbulnya malabsorpsi atau megakolon serta gangguan menelan
oleh karena gangguan fungsi motor di esofagus. Konstipasi, retensi feses dan
distensi bukan karena otot polos, tetapi karena kelemahan dari otot rektus
abdominus yang tidak cukup untuk meningkatkan tekanan intraabdomen
selama defekasi untuk menjaga peristaltik pengosongan rektum. 1
Pada pasien ini didapatkan riwayat perkembangan sesuai usia,
ditemukan gejala kesulitan berjalan dalam 4 bulan terakhir, juga ditemukan
kesulitan saat akan berdiri, anak harus merangkak atau berpegangan pada
dinding. Tidak ditemukan gejala lainnya, seperti demam, muntah maupun
kejang sebelumnya. Tidak ditemukan juga riwayat trauma sebelumnya.

b. Pemeriksaan fisik dan neurologis


Gejala klasik dari kelemahan otot proksimal yang selalui ditemui pada DMD
disebut sebagai manuver Gowers/ Gowers’ sign. Dalam manuver ini, akan

14
terlihat bahwa jika penderita hendak berdiri dari posisi duduk di lantai,
mereka harus berputar ke depan terlebih dahulu untuk kemudian menumpukan
kedua tangannya pada paha agar dapat berdiri tegak. Kelemahan ini bersifat
simetris. Gejala lain yang umum ditemui adalah pseudohipertrofi otot betis
(gastroknemius) oleh karena timbunan lemak dan hialin, dan bila pasien
berjalan memperlihatkan berjalan seperti bebek (waddling gait) (Level of
Evidence I).3,4,23 Dapat dibedakan dengan bentuk muscular dystrophy lainnya,
pada DMD dan BMD dapat ditemukan bentuk kelemahan otot yang serupa
dengan adanya pseudohipertrofi pada otot betis oleh karena kelemahan
terutama pada bagian proksimal dan bersifat progresif (Gambar 3).

Gambar 3. Distribusi yang


paling mendominasi
kelemahan otot pada beberapa
jenis dystrophy pada area
gelap
A. Duchenne dan Becker
B. Emery-Dreifuss
C. Limb-girdle
D. Facioscapulohumeral
E. Distal
F. Oculopharyngeal

Pemeriksaan klinis secara umum yang dapat dilakukan pada pasien


Muscular dystrophy diantaranya melihat dan mengamati bagaimana anak

15
tersebut berlari, melompat, memanjat tangga dan beranjak duduk dari
lantai.1,3,4,25,26
Muscular dystrophy merupakan kelainan neuromuskular herediter
bagian dari kelainan lower motor neuron (LMN). Apabila terjadi kelumpuhan
LMN akibat lesi bagian manapun, baik neuron, akson, motor end plate atau
otot, semuanya akan menunjukkan ciri-ciri lesi LMN yang sama. Dapat
dijumpai hipotoni, penurunan pada penilaian kekuatan otot melemah atau
sangat menurun. Refleks tendon pada pasien dengan muscular dystrophy akan
berkurang dan menghilang akibat progresifitas kontraktur otot, sehingga sendi
pada alat gerak menjadi kaku dan sulit digerakkan, berbeda dengan kelainan
neuropati, tidak terdapat refleks tendon profunda sejak awal. Oleh karena
kelainan tipe LMN, pemeriksaan neurologi patologis diantaranya tes Babinski
dan pemeriksaan klonus menunjukkan hasil negatif. Yang dapat membedakan
massa otot, pada Upper Motor Neuron (UMN) biasanya tidak dijumpai atropi,
sebaliknya pada LMN dapat dijumpai atropi, kadang disertai pula dengan
fasikulasi.1,4,5,21,22
Pembesaran jantung, takikardia persisten dan gagal jantung pada saat
yang sama ditemukan pada 50-80% pasien dan digambarkan secara signifikan
dengan adanya abnormalitas pada elektrokardiografi.1,2,4,31
Pemeriksaan fisik dan neurologi pada pasien kasus ini, didapatkan
beberapa tanda maupun gejala yang sesuai dengan beberapa referensi yang
ada, diantaranya didapatkan adanya Gowers’ sign dan Waddling gait,
tampak juga pseudohipertofi muskulus gastroknemius yag simetris kanan dan
kiri. Tidak didapatkan pula kardiomegali disertai gejala kelainan jantung
lainnya (takikardia, gagal jantung), baik dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan
foto rontgen toraks, EKG maupun Ekhokadiografi yang masih dalam batas
normal.

16
Proporsi yang signifikan pada anak-anak dengan muscular dystrophy
mengalami gangguan pada perkembangan intelektual yang mempengaruhi
kemampuan verbal hingga kemampuan lain yang lebih besar tingkatannya
dari pada kemampuan non-verbal. Defisit terjadi pada arsitektur kortikal dan
dendrit pada neuron yang normalnya dibentuk juga oleh distrofin. IQ rata-rata
pada anak-anak dengan DMD sekitar 85, namun retardasi mental tidak jarang
ditemukan pada DMD (Level of evidence IV).1,23,24 Pada pasien kasus ini
tidak didapatkan kecenderungan retardasi mental, dengan riwayat
perkembangan yang sesuai usia serta dapat mengikuti pelajaran disekolah
seperti anak-anak biasanya. Saat ini hanya didapatkan regresi perkembangan
pada sektor motorik kasar saja.

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan untuk menegakkan atau konfrmasi diagnosis DMD,
diantaranya:25,26
 Serum creatine kinase (CK); dilakukan sejak awal pada kasus curiga
DMD, dimana peningkatan drastis dari serum CK (setidaknya hingga 10-
20 kali lipat atau seringkali lebih dari itu) merupakan suatu kondisi yang
nonspesifik, namun selalu ditemukan pada pasien DMD. Sun dkk (2008)
pernah melaporkan CK pada 40 pasien dengan DMD meningkat diatas nilai
rata-rata (nilai referensi 35-174 U/L) pada usia 3-5 tahun (rata-rata 27750-
31173 U/L), selanjutnya akan menurun beriringan dengan bertambahnya
usia dan progresifitas klinis sebesar 8.7% (Level of Evidence II).27
 Elektromiografi (EMG) sebagai elektrodiagnosis pada pasien dengan
riwayat keuarga DMD nilainya sangat terbatas. EMG bermanfaat pada
kasus sporadik atau untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab
neurogenik pada kasus kelemahan otot seperti Spinal muscular Atrophy.
EMG digunakan untuk membedakan antara kelainan miopati dengan

17
neuropati. Hasil EMG sesuai dengan kelainan miopati, yaitu terlihat
peningkatan frekuensi, penurunan amplitudo dan penurunan aksi potensial
motorik, sedangkan kecepatan hantar saraf adalah normal. DMD
merupakan suatu kelainan miopati, bukan neuropati.Selain itu, EMG untuk
anak sangat tidak nyaman karena merupakan bentuk investigasi yang
invasif (Level of Evidence I).5 Bahkan pada beberapa literatur lainnya,
pemeriksaan EMG tidak dianjurkan dan tidak ada dalam pedoman
investigasi DMD.
 Pemeriksaan genetik molekuler; pada dekade terakhir menunjukkan
perbaikan yang pesat untuk mendeteksi mutasi pada gen distrofin.
Pemeriksaan ini mendokumentasikan mutasi distrofin tunggal dengan
prediksi yang akurat terhadap fenotip pada hampir 90% kasus. Pada pasien
curiga DMD merupakan gold standard untuk diagnosis, delesi gen
distrofin akan dijumpai pada sekitar 70% kasus, sementara kejadian
duplikasi didapatkan pada 6% kasus saja, dan selebihnya umumnya
mengalami point mutation (Level of Evidence I).3,26,28
 Biopsi otot untuk analisis distrofin memiliki peran penting untuk proses
diagnostik pada spesimen biopsi otot dan akan selalu menunjukkan hasil
yang abnormal, hal ini dapat mengarahkan kita kepada pemeriksaan
lanjutan untuk menegakkan diagnosis DMD. Biopsi otot dapat dilakukan
dengan cara biopsi otot terbuka untuk mendapatkan jumlah jaringan atau
sel agar adekuat jika muscular dystrophy tersebut masih didiagnosis
banding dengan DMD atau muscular dystrophy tipe lainnya, dan
pemeriksaan biopsi otot dengan jarum aspirasi yang bermanfaat jika
pemeriksaan hanya untuk DMD saja. Kunci pemeriksaan ini adalah
pemeriksaan spesimen dengan imunohistokimiawi untuk melihat tampilan
serta struktur sel otot, melihat regenerasi serta degenerasi otot, melihat

18
pertambahan jaringan ikat, jaringan lemak, serta enzim otot, dan imunoblot
untuk distrofin. (Level of evidence I).25,26,29
Dapat disimpulkan pada konfirmasi diagnosis pasien ini didapatkan
peningkatan SGOT (93 U/L) dan SGPT (213 U/L), peningkatan kadar serum CK
(1532 U/L). Tidak dilakukan pemeriksaan biopsi otot, meskipun pemeriksaan
genetik sudah dilakukan tetapi belum didapatkan hasil sampai dengan saat ini.
Pasien didiagnosis sebagai Muscular Dystrophy dengan diagnosis banding masih
mungkin DMD dan BMD dengan penegakkan diagnosis sampai dengan EMG,
dengan hasil konfirm sebagai Muscular Dystrophy, namun belum bisa ditentukan
tipe Duchenne ataupun Becker.
Dari salah satu referensi yang ada, dikatakan ketika ditemukan pasien
curiga DMD sebaiknya dipertimbangkan untuk mengetahui riwayat keluarga serta
mempertimbangkan 1 dari 3 hal dibawah ini, meliputi:26,31
1. Observasi fungsi otot abnormal pada sebagian besar anak laki-laki
2. Deteksi pada hasil pemeriksaan CK serum yang meningkat.
3. Setelah didapatkan peningkatan serum transaminase (SGOT dan SGPT, yang
diproduksi oleh otot selain oleh hepar), diagnosis DMD sebaiknya
dipertimbangkan sebelum biopsi hepar pada semua anak laki-laki. McMillan
dkk (2010) pernah melaporkan hasil yang linier antara SGOT, SGPT dan CK
pada anak laki-laki dengan DMD, dimana serum transaminase tinggi pada
anak laki-laki dengan DMD yang masih dapat berjalan. Namun, pada
akhirnya anak dengan peningkatan serum transaminase, harus dipastikan
temuan lainnya, yang meliputi tidak adanya riwayat klinis maupun keluarga
dengan kelainan fungsi hepar, hasil normal pada pemeriksaan biokimia
fungsi hepar lainnya (seperti alkalin fosfatase, gama-glutamil transferase,
albumin dan studi koagulasi) dan didapatkan peningkatan CK (Level of
Evidence II).30

19
Penegakkan diagnosis tersebut dapat ditelaah lebih lanjut pada algoritme gambar
berikut (gambar 4):26

Curiga DMD

Jika ditemukan riwayat keluarga: Jika pada riwayat keluarga ditemukan positif Pasien dengan peningkatan
Tidak dapat berjalan antara >16-18 bulan; DMD: transaminase yang tidak jelas
Gower’s sign (usia berapapun, terutama <5 tahun Curiga pada semua bentuk abnormalitas penyebabnya
fungsi otot

Skrining DMD:
Meningkatnya konsentrasi CK

Konfirmasi diagnosis

Biopsi otot: Bukan DMD:


Didapatkan mutasi pada pemeriksaan
Tidak ditemukan protein distrofin Dipertimbangkan diagnosis alternatif
delesi atau duplikasi distrofin

Pemeriksaan pengurutan genetik:


Ditemukan mutasi

Ya

Tidak
Terdiagnosis Dystrophinopathy

Paska diagnostik
 Pada pasien terdiagnosis dengan biopsi otot, juga diperlukan pemeriksaan genetik distrofin
 Pada pasien terdiagnosis dengan pemeriksaan genetik, biopsi otot sebagai pilihan untuk membedakan DMD dari fenotip yang ringan
 Dibutuhkan rujukan ke spesialis multidisiplin
 Konseling genetik sangat dianjurkan untuk smua anggota keluarga wanita berisiko
 Diperlukan dukungan pasien beserta keluarga, serta pasien dianjurkan untuk berhubugan dengan organisasi

Gambar 4. Algoritma penegakkan diagnosis DMD31

Pemeriksaan genetik masih dianjurkan setelah dilakukan biopsi otot,


meski didapatkan hasil positif. Namun, pemeriksaan biopsi otot tidak diperlukan
apabila telah dilakukan pemeriksaan genetik, selain karena pertimbangan
keamanan awalnya, juga dipertimbangkan efek traumatik yang akan didapatkan
oleh pasien. Walaupun, bila didapatkan hasil pemeriksaan genetik telah
dilakukan dan tidak teridentifikasi mutasi, tetapi konsentrasi CK meningkat serta

20
ditemukan gejala dan tanda klinis DMD, selanjutnya diperlukan tahap diagnostik
berikutnya yaitu biopsi otot. Hal ini juga dapat diterapkan pada kasus dimana
ditemukan riwayat kelarga dengan DMD dan dicurigai, namun mutasi pada
keluarga belum diketahui.26

VI. Diagnosis banding


Perlu dibedakan antara DMD dengan BMD, baik dari gambaran klinis serta
perjalanan penyakitnya, pada DMD didapatkan gambaran klinis berupa:9
 Kelemahan otot yang mempengaruhi postur, berjalan dan berlari, biasanya
dapat dilihat nyata pada usia 2-3 tahun.
 Kelemahan otot progresif yang biasanya menjadi ketergantungan pada
penggunaan kursi roda untuk mobilitas pada awal masa remaja.
 Pemendekan otot dapat berubah menjadi restriksi pergerakan sendi
(kontraktur) yang menyebabkan disabilitas.
 Perkembangan pada masa remaja dapat disertai dengan skoliosis, yang dapat
menyebabkan terganggu serta tidak nyaman saat bernapas.
 Terdapat masalah dengan otot jantung, tetapi biasanya sebatas menimbulkan
gejala atau membutuhkan pengobatan saja, meskipun hal ini sering terjadi.
 Individu dengan DMD biasanya tidak mengalami kerusakan intelektual,
namun sering terjadi disabilitas intelektual dibandingkan populasi umum.
Disabilitas intelektual ini tidak bersifat progresif

Pada BMD, manifestasi klinis relatif lebih ringan dibandingkan DMD dan
tingkat keparahannya sangat bervariasi, berikut yang dapat membedakan BMD
dengan DMD, diantaranya:9
 Kelemahan pada BMD lebih ringan dibandingkan dengan DMD
 Biasanya gejala timbul pada usia lanjut dan kondisi tersebut mungkin tidak
terdiagnosis sampai remaja atau dewasa

21
 Pengaruh terhadap persendian umumnya lebih ringan dibandingkan DMD
dan skoliosis merupakan masalah yang jarang terjadi
 Kerusakan yang signifikan terjadi pada pernapasan, jika terjadi biasanya
pada usia lanjut dibandingkan dengan DMD
 Jantung lebih jarang terpengaruhi dibandingkan dengan DMD, namun
kadang-kadang pengaruhnya sangat berat.
 Beberapa individu dengan BMD mampu berjalan hanya sampai akhir masa
remaja, sebagian lainnya pada usia lanjut.
Dikarenakan belum dapat ditegakkan jenis Muscular dystrophy pada
pasien ini, oleh karena belum dilakukan pemeriksaan biopsi otot dan belum
adanya hasil dari pemeriksaan genetik, berdasarkan manifestasi klinis pada
pasien ini masih mungkin didiagnosis banding dengan BMD, gejala timbul saat
usia pasien 8 tahun, tidak didapatkan kelainan jantung, belum ditemukan adanya
skoliosis. Kasus ini akan makin lebih jelas arah diagnosisnya bila perjalanan
penyakit pada pasien ini dapat diikuti.

VII. Tatalaksana
a. Farmakologi
Terapi farmakologi pada pasien DMD dengan glukokortikosteroid (prednison/
prednisolon dan deflazacort) merupakan terapi standar baku emas bagi kondisi
kelemahan otot yang diderita pasien DMD. 31 Metaanalisis dari 6 penelitian
randomized controlled trial terhadap pasien DMD yang dilakukan Manzur
dkk membuktikan bahwa terapi kortikosteroid pada DMD memperbaiki
kekuatan dan fungsi otot (Level of evidence I).32.
Dosis sehari-hari yang umum dianjurkan adalah sebesar 0.75
mg/kg/hari untuk prednison dan prednisolon, dan 0.9/mg/kg/hari untuk
deflazacort. Kedua macam kortikosteroid ini cendrung memberikan hasil yang
sama optimalnya, namun mereka berbeda dalam hal efek samping yang

22
ditimbulkan. Misalnya saja, deflazacort tidak terlalu menyebabkan
penambahan berat badan, namun golongan ini memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk menderita penyakit katarak asimtomatik.
Pada pasien ini mendapat terapi Prednison dengan dosis
0,75mg/kgBB/hari (5 mg/ 8 jam) setiap hari selama 2-3 bulan untuk menilai
ulang keuntungan dan tolerabilitas sebagai awal mula penggunaan steroid.
Program pemberian prednison pada pasien ini direncanakan sampai pasien
kehilangan fungsi ambulatorinya, disamping itu pemantauan secara berkala
dan jangka panjang terhadap munculnya efek samping dari steroid tersebut.
Pada jangka waktu pendek, efek samping steroid yang sering ditemukan
namun tidak berat.
Regimen pengobatan lain yang disarankan dalam upaya mengurangi
angka keja dian efek samping akibat penggunaan kortikosteroid antara lain
dengan cara: (1) Pemberian obat secara berselang-seling (alternate day
dosing), (2) Regimen dengan menggunakan dosis rendah harian, serta (3)
Regimen intermitten (misalnya 10 hari menggunakan kortikosteroid, dan 10
hari tidak menggunakan kortikosteroid). Penting untuk diingat bahwa tidak
ada satu pun dari ketiga pilihan regimen ini yang pernah diuji dengan tujuan
membandingkannya dengan jadwal dosis harian normal, sehingga efikasi
relatif ketiga regimen ini untuk pengobatan jangka panjang masih belum
diketahui.32,33
Menurut penelitian Balaban dkk, pemberian prednison dan deflazacort
pada anak dengan DMD selama 5,85±1,5 tahun terbukti bermanfaat untuk
memperlambat progresifitas penyakit (Level of Evidence III).34 Pada
penelitian Escolar dkk (2011). Melaporkan pemberian prednison per minggu
memiliki keuntungan yang sama dibandingkan denga standar pegobatan
prednison dosis harian dalam menjaga kekuatan otot serta mencegah
peningkatan indeks massa tubuh pada anak-anak dengan DMD pada periode
lebih dari 12 bulan. Selain itu pemberian kortikosteroid juga bermanfaat

23
dalam mencegah atau memperlambat terjadinya skoliosis, penurunan fungsi
paru serta memperlambat terjadinya kardiomiopati (Level of evidence I).35
Permasalahan yang muncul adalah pemberian steroid dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan berbagai macam efek samping, antara lain
hipertensi, osteoporosis, moon face, mual, muntah, hipokalsemia, peningkatan
SGOT/SGPT, hirsutisme, muncul striae pada kulit, cushing syndrome,
katarak, peningkatan tekanan intraokular, eksopthalmus, retensi natrium,
peningkatan nafsu makan yang menyebabkan peningkatan berat badan, dll.43
Dari hasil metaanalisis 6 penelitian randomized controlled trial yang
dilakukan Manzur dkk terhadap pasien DMD, didapatkan efek samping yang
paling sering muncul pada pemberian kortikosteroid antara lain: peningkatan
berat badan yang cepat, gangguan perilaku, cushing syndrome, dan hirsutisme
(Level of evidence I).32
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang juga dapat menurunkan
kepadatan mineral tulang dan efek ini dapat terlihat pada tulang belakang.
Patah tulang belakang pada anak laki-laki penderita DMD yang mendapatkan
terapi steroid dapat diatasi dengan menggunakan bisfosfonat intravena
dibawah pengawasan pakar metabolisme tulang. Saat ini belum ditemukan
bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan bifosfonat secara oral
sebagai tindakan profilaksis. Maka dari itu, tindakan profilaksis hanya
didasarkan pada nasihat mengenai pengaturan asupan kalsium dan vitamin D
melalui diet dan paparan sinar matahari, serta pemberian suplementasi jika
diperlukan, sebesar 1000 mg/hari bagi kalsium, dan 400 unit vitamin D.41
Pada pasien kasus ini suplementasi baru diberikan tablet kalsium saja,
belum mendapatkan vitamin D, dikarenakan vitamin D saat itu belum di
tanggung oleh pembiayaan kesehatan Jamkesda.

24
b. Farmakologi yang masih dalam pengembangan
 Obat-obatan lain dan diet suplementasi
Penggunaan Oxandrolon, steroid anabolik, tidak dipertimbangkan perlu
atau sesuai dengan atau tanpa terapi glikokortikoid. Toksin botulinum A
aman belum dilakukan penelitian untuk terapi pencegahan kontraktur pada
individu dengan DMD. RCT pada pemberian creatin pada DMD gagal
menunjukkan keuntungan yang baik. Jika pasien mendapatkan creatin dan
didapatkan disfungsi ginjal, maka sebaiknya suplementasi tersebut tidak
dilanjutkan. Suplementasi lain, seperti Co-Enzym Q10, Karnitin, Asam
Amino (Glutamin, Arginin), anti-inflamasi/ anti oksidan (Minyak ikan,
vitamin E, ekstrak teh hijau) dan lain sebagainya, digunakan oleh beberapa
orangtua dan disediakan oleh beberapa praktisi, namun efektifitasnya
belum diketahui secara baik dan suplementasi ini belum sepenuhnya
direkomendasikan.26
 Terapi genetik
Penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan terapi berbasis genetik telah
difasilitasi secara besar dengan menggunakan 2 hewan percobaan secara
alamiah, yaitu pada anjing dan tikus yang men-stop kodon pada ekson 23
akibat dari defisiensi distrofin, tetapi tidak menghentikan kelemahan atau
mereduksi rentang hidup. Berbagai macam strategi genetik bertujuan untuk
mngembalikan distrofin pada otot pernah terdaftar dengan dasar deskripsi,
diataranya Adeno-associated virus vector, utrophin upregulation, myoblast
transplantation, stem-cell tranplantation, modifikasi dystrophin mRNA
splicing dan readthrough of stop codon mutation (Level of Evidence
IV).26,36
 Antisense oligonukleotida (AOs)
Dua konsorsium Eropa menguji keamanan dan efikasi dari pemberian AOs
secara intramuskular pada manusia. Salahsatunya Van Deutekom dkk

25
melaporkan sintesis lokal dan restorasi sebagian distrofin pada lokasi
penyuntikan PRO051 AO di otot tibialis anterior pada 4 pasien, tanpa efek
samping (Level of Evidence IV).37

c. Non-Farmakologi
Fisioterapi
Kelemahan otot yang terjadi pada DMD bersifat progresif dan pada akhirnya
menyebabkan hilangnya kemampuan ambulansi mandiri penderita, oleh sebab
itu fisioterapi sangat penting dalam upaya mempertahankan fungsi otot pada
pasien DMD.26 Seluruh pasien DMD harus mendapat pelayanan fisioterapi
sejak saat diagnosis ditegakkan. Pada awalnya, prioritas fisioterapi akan
difokuskan pada usaha mempertahankan kesimetrisan otot. Hal ini
dikarenakan dapat timbulnya kontraktur yang asimetri pada tendon achilles,
serta pinggul, yang pada akhirnya dapat mengarah kepada timbulnya pelvic
obliquity dan lalu timbul skoliosis (Level of Evidence IV).38,39

Psikososial
Penatalaksanaan pasien DMD beserta keluarganya belum lengkap tanpa
dukungan psikososial. Pada banyak orangtua, stres dikarenakan masalah
psikososial pada anak-anak mereka, melebihi stres yang berkaitan dengan
aspek fisik dari penyakitnya. Faktor biologis (meliputi ketiadaan atau
kurangnya distrofin), faktor sosial dan emosional serta faktor pengobatan
(misal glukokortikoid) dapan memeiliki peran dalam kesehatan psikososial.
Secara umum, penyesuaian psikososial pada anak laki-laki dengan DMD
serupa dengan kondisi medis penyakit kronis lainnya. Intervensi psikososial
meliputi:26,31,47
 Psikoterapi, diantaranya pelatihan untutk orangtua, terapi individu,
kelompok, grup serta bersama keluarga

26
 Farmakologi, diantaranya selective serotonin re-uptake inhibitors untuk
kelainan depresi, cemas atau obsesif kompulsif
 Interaksi sosial, diantaranya upaya peningkatan kewaspadaan dan
pengetahuan, pelatihan keterampilan sosial, olahraga yang sudah
dimodifikasi, program kelompok remaja (kemping), kelompok kesenian,
menunggang kuda, terapi air, internet chat room dan program alamiah
lainnya
 Edukasi, diantaranya menilai neuropsikologis saat didiagnosis dan
sebelum masuk sekolah, mengukur defisit yang dapat diidentifikasi serta
program edukasi individual saat masuk sekolah
 Perawatan atau dukungan dari koordinator perawat, pelayanan kesehatan
dirumah, palliative care dan perawatan dirmah sakit yang dibutuhkan bagi
pasien dengan end-stage
Pada pasien tersebut baru diprogram untuk fisioterapi, namun belum
ditelusuri perkembangan saat ini, sehingga tatalaksana non-farmakologis
psikosial belum dilakukan.

d. Edukasi orang tua


Tatalaksana selain intervensi psikososial untuk pasien beserta keluarga,
terutama orang tua, diharapkan pula orangtua paham akan kondisi penyakit
Musucular dystrophy sebagai penyakit yang paling mungkin diturunkan, atau
terjadi pada anggota keluarga lainnya, disamping prognosis pasien yang buruk
dan progresif.
Adapun edukasi yang penting bagi orangtua diperlukan dengan
tujuan agar orangtua paham dan pasien pun mendapatkan dukungan,
diantaranya perihal konseling genetik, tatalaksana yang komprehensif serta
perjalanan ilmiah serta prognosis pada penyakit ini.

27
Konseling genetik sangat penting dan merupakan tes pada lini pertama
untuk status karier pada anggota keluarga perempuan karena sangat mungkin
germline mosaicism dimana pemeriksaan karier yang negatif tidak
menyingkirkan risiko mutasi, sehingga sangat perlu ditegakkan status karier
pada ibu, minimal pemeriksaan kadar serum CK pada ibu, atau pemeriksaan
genetik sebagai bagian dari konseling genetik bila memungkinkan.
Pada pasien ini telah diberikan edukasi (informed consent) mengenai
pentingnya dukungan orang tua (keluarga) serta ketaatan dan ketereraturan
minum obat serta pengenalan efek samping obat steroid yang mungkin
terjadi, baik dalam penggunaan jangka pendek maupun jangka panjang,
diantaranya adalah meningkatnya nafsu makan yang menyebabkan berat
badan naik, sehingga yang pada awalnya pasien dengan gizi kurang menjadi
gizi baik, tetapi peningkatan berat badan tersebut tidak sampai membuat
pasien menjadi overweight. Selain itu dijelaskan pula kemungkinan lain dari
efek obat steroid lainnya, yaitu moon face, hirsutisme dan lain-lain. Efek
samping dapat dipantau dan diminimalisir bila pasien nantinya rutin kontrol
ke RS secara berkala nantinya.
Disamping tatalaksana farmakologi steroid, dilakukan juga pada
pasien tatalaksana non famakologi, diantaranya fisioterapi yang diharapkan
orangtua sebagai pendukung agar anak tidak bosan secara rutin mengikuti
program tersebut. Selain tujuan, edukasi pun dititikberatkan pada manfaat
fisioterapi pada pasien, diantaranya untuk menghambat progresifitas dari
perjalanan penyakit ini. Edukasi mengenai perjalanan penyakit serta
prognosis sangat penting dijelaskan pada keluarga secara jelas.

28
VIII. Perjalanan alamiah, dampak serta upaya penanganan
Berdasarkan kajian beberapa literatur, diketahui bahwa DMD memiliki
perjalanan ilmiah serta dampak sangat luas terhadap fisik maupun psikososial
penderitanya sehingga dapat dilakukan upaya-upaya untuk pencegahan,
diantaranya:
 Progresifitas kelemahan otot, sampai dengan skoliosis31
Kelemahan otot yang terjadi bersifat progresif dan pada akhirnya
menyebabkan hilangnya kemampuan ambulansi mandiri penderita pada rata-
rata usia 9 tahun, dan berdasarkan definisi, pada usia 13 tahun terdapat
kondisi lain yang lebih ringan dari pada DMD yang juga disebabkan oleh
mutasi distrofin jika seorang anak laki-laki mampu berjalan pada saat dia
berusia lebih dari 13 tahun namun kemudian ia tidak dapat berjalan lagi pada
usia 16 tahun, maka kondisi seperti ini dikenal dengan istilah intermediate
muscular dystrophy (Level of Evidence IV).40,41,42
Pada kebanyakan kasus, progresifitas hilangnya kekuatan otot
melampaui saat hilangnya kemampuan ambulansi akan berakibat pada
skoliosis, gangguan pernafasan, serta kardiomiopati sebagai akibat dari
keterlibatan otot jantung dalam DMD. Awalnya, prioritas fisioterapi akan
difokuskan pada usaha mempertahankan kesimetrisan otot oleh karena
timbulnya kontraktur yang asimetri pada tendon achilles, serta pinggul, yang
pada akhirnya dapat mengarah kepada timbulnya pelvic obliquity dan lalu
timbullah skoliosis (Level of Evidence IV).38,39
Pemanjangan kemampuan ambulansi pada penderita seharusnya
bukanlah merupakan tujuan utama yang mengecilkan tujuan-tujuan dari
terapi lainnya. Kemampuan seorang pasien untuk turut berpartisipasi dalam
aktivitas fisik amatlah penting, dan penggunaan kursi roda manual juga
harus difasilitasi sedini mungkin dengan tujuan membantu mengkonservasi
energi disaaat aktivitas berjalan jauh dapat melelahkan. Kursi roda elektrik

29
dapat membantu menyediakan beberapa variasi posisi fungsional, namun
penggunaannya hanya dianjurkan jika si anak sudah mulai sulit untuk
berjalan. Posisi duduk khusus dan sandaran kepala juga harus dikenalkan
sedari awal sebelum terjadi proses adaptasi posisi yang buruk. 43
Pengawasan terhadap timbulnya skoliosis ini harus dimulai sebelum
hilangnya kemampuan ambulansi, dibarengi dengan tindakan profilaksis
berupa fisioterapi dan pembiasaan penggunaan penunjang postur serta posisi
duduk yang tepat untuk mencegah timbulnya asimetri pelvis. Ketika
skoliosis telah dideteksi secara klinis, pasien harus dirujuk untuk
mendapatkan pemeriksaan menyeluruh dan pilihan terapi pembedahan sudah
harus didiskusikan jika memang ada indikasi kearah itu.44
Penggunaan korset tulang belakang dapat memberikan rasa nyaman
dan keamanan postur bagi penderita DMD yang sudah tidak dapat menjalani
pembedahan tulang belakang dikarenakan adanya kardiomiopati yang
progresif. Namun tindakan pemakaian korset ini tidak dapat mencegah
timbulnya perburukan skoliosis yang diderita.44 Pada pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan foto lumbal pasien ini belum didapatkan adanya kelainan
bentuk tulang belakan ( skoliosis).
 Dampak terhadap pernapasan, meliputi penurunan drastis dari forced vital
capacity (FVC) yang dapat memprediksi timbulnya kegagalan sistem
pernafasan. Infeksi paru akan lebih sering dijumpai dan akan lebih sulit
untuk diterapi.45 Usia rata-rata dimana penderita biasanya menerima terapi
ventilasi elektif adalah 17 tahun. Penderita DMD juga harus mendapat
perawatan di ruang perawatan intensif jika mengalami perburukan kondisi
sistem pernafasan, terutama saat menderita infeksi (Level of Evidence IV).45
Pada kasus ini belum didapatkan tanda-tanda kegagalan napas, maupun
infeksi saluran pernapasan, serta belum dilakukan pemeriksaan spirometri
untuk menentukan nilai FVC.

30
 Dampak terhadap otot jantung diantaranya kardiomiopati, merupakan
komplikasi yang paling umum dijumpai pada penderita DMD, namun tanpa
adanya proses skrining, kardiomiopati dapat berkembang secara
asimtomatis, dan baru disadari saat timbulnya gejala dan tanda-tanda gagal
jantung. Dari penelitian kohort didapatkan komplikasi jantung pada DMD
yang diperkirakan sebagai penyebab utama kematian pada 10% pasien
DMD, keterlibatan jantung pre-klinins ditemukan pada 25% pasien dibawah
usia 6 tahun, meningkat 60% antara usia 6-10 tahun, dan selanjutnya
insidensi tersebut akan menurun (Level of Evidence I).46 Pada pasien ini
pun telah dilakukan pemeriksaan organ dan fungsi jantung, baik itu foto
toraks, EKG dan EMG, belum didapatkan adanya kelainan anatomi ataupun
fungsi jantung.
 Dampak psikososial, Sekitar 20-30% anak dengan penyakit kronis atau
keterbatasan fisik akan mengalami masalah perilaku dan psikologi pada
masa kanak-kanak atau remaja, lebih banyak 2x dibanding anak sehat. Selain
terhadap penderita, stress psikologis juga terjadi pada orangtua atau
pengasuh. Gangguan emosional dan depresi pada anak dapat terjadi akibat
citra diri yang negatif, ketergantungan akibat orangtua yang overprotective,
dikucilkan, dan kemarahan terhadap keterbatasan diri (Level of Evidence
I).47
 Dampak terhadap pendidikan, dimana masalah yang sering dihadapi anak
dengan kondisi kesehatan kronis adalah sering tidak masuk sekolah,
kesulitan naik kelas, berkurangnya fungsi kognitif, meningkatnya resiko
komplikasi karena ketidakteraturan minum obat (Level of Evidence
IV).31,48
 Dampak pada keluarga, dimana diagnosis DMD dapat menyebabkan syok
mental, stres, perasaan marah dan kesedihan pada anak yang dapat
menyebabkan anak sering merasa bersalah. Bantuan dan dukungan dari

31
keluarga lebih banyak dibutuhkan oleh anak dibandingkan dengan pasien
dewasa. Anak yang dipersiapkan dengan baik dan mengetahui terlebih
dahulu perjalanan alamiah penyakitnya, dan langkah preventif mana yang
terbaik untuk diikuti, memiliki taraf adaptasi yang lebih baik (Level of
Evidence IV).31

IX. Prognosis
Angka survival pada pasien DMD saat ini mengalami peningkatan melebihi 10
tahun dan mungkin karena dampak dari kombinasi ventilasi mokturnal dengan
manajemen terhadap jantung yang makin membaik. Penderita DMD yang tidak
diterapi rata-rata meninggal dunia pada umur 19 tahun, dimana 90% diantaranya
disebabkan oleh adanya gangguan sistem pernafasan, sementara 10% sisanya
diakibatkan oleh gangguan jantung. Berkat peningkatan perawatan klinis
terhadap pasien DMD, kini usia harapan hidup pasien DMD meningkat hingga
usia dewasa muda atau lebih (Level of evidence IV).41,42
Pernah dilakukan penelitian retrospektif dari tahun 1961-2006 oleh
Passmano dkk, dapatkan penyebab kematian banyak disebabkan komplikasi
jantung dan respirasi, dengan prevalensi respirasi hanya satu sampai dengan
tahun 1980. Secara keseluruhan rata-rata usia kematian karena komplikasi
jantung 19.6 tahun (13.4-27.5), disertai dengan peningkatan usia diatas 15 tahun.
Rata-rata usia kematian karena komplikasi respirasi 17.7 tahun (11.6-27.5) pada
pasien tanpa dukungan ventilator sementara pada pasien yang mendapatkan
ventilator mekanik usia kematian rata-rata meningkat sampai dengan 27.9 tahun
(Level of evidence IV).17
Prognosis pada kasus ini untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah ad
malam, untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah ad malam, dan untuk
fungsional (quo ad fungsionam) adalah ad malam.

32
BAGAN PERMASALAHAN

Diagnosis:
 Klinis: Gowers’ Sign, Waddling gait & pseudohipertofi m. Dampak perjalanan ilmiah :
gastrocnemius (Level of Evidence I)3,4,29
 Serum CK (Level of Evidence II)27  Motorik : Skoliosis (Level of
 EMG (hanya untuk menyingkirkan kelainan neurogenik (Level of Evidence IV)40,41,42
Evidence I)5
 Biopsi otot (Level of Evidence I)23,24,29
 Respirasi: gagal napas, infeksi paru
 Genetik (Gold standard; Level of Evidence I)3,24,28
(Level of Evidence IV)45
Pada pasien ini didapatkan Gowers’ sign, Waddling gait &
pseudohipertrofi m. Gastrocnemius, peningkatan serum CK (1532 Prognosis
U/L) & EMG konfirm muscular dystrophy. Belum dapat menentukan  Kardiovaskuler: Kardiomiopati Quo ad vitam : malam
jenis muscular dystrophy karena belum dilakukan biopsi otot & hasil (Level of Evidence I)46 Quo ad sanam :
genetik belum diketahui malam
 Psikososial: stres, gangguan Quo ad fungsionam :
emosional, depresi (Level of malam
Faktor Risiko : Evidence I)47
 Herediter pada 2/3 kasus (Ibu Muscular Dystrophy:
Pembawa) (Level of Evidence  DMD  Pendidikan: sering tidak masuk
I)12  BMD sekolah, tidak naik kelas,
 Mutasi gen baru pada 20% kasus berkurangnya fungsi kognitif
(Level of Evidence IV)17 (Level of Evidence IV)31,48

Tatalaksana :  Keluarga
 Farmakologi: prednison 5mg/8 jam (Level of Evidence I)32
 Nutrisi : Diet 1700 kalori, 60 gr Protein
 Fisioterapi (Level of Evidence I)44
 Psikososial Asuh-Asih-Asah

Efek samping :
 Hipertensi
 Osteoporosis
 Moon face 33
 Peningkatan nafsu makan
 Hirsutisme

BAB IV
KESIMPULAN

Kasus adalah seorang anak laki-laki usia 8 tahun dengan suspek DMD dd/
BMD disertai komorbid gizi kurang. Dilakukan perawatan selama 12 hari untuk
penegakkan diagnosis. Telah dilakukan pemeriksaan sesuai dengan pengelolaan
DMD yang sudah secara luas digunakan. Penegakkan diagnosis sebagai dasar
pengelolaan masih berdasarkan temuan klinis dan laboratorium, diantaranya
didapatkannya gejala klasik, diantaranya Gowers, Sign dan waddling gait, refleks
fisiologis yang menurun dan pseudohipertrofi pada muskulus gastroknemius kanan
dan kiri. Hasil dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan diantaranya
peningkatan enzim transaminase (SGOT/SGPT), peningkatan kadar CK serta
gambaran EMG yang mendukung muscular dystrophy. Pemeriksaan biopsi otot tidak
dilakukan dan pemeriksaan genetik masih belum diketahui hasilnya, oleh karena itu
pada pasien ini didiagnosis dengan DMD, namun masih mungkin BMD.
Pada pasien ini mendapatkan penatalaksanaan terapi kortikosteroid jangka
panjang, bukan untuk menyembuhkan, namun bertujuan untuk menghambat
kerusakan sel otot agar survival nya dapat meningkat. Selain tatalaksana
farmakologi, juga diperlukan tatalaksana lain untuk mengurangi bahkan mencegah
dampak yang mungkin terjadi sebagai perjalannya ilmiah penyakit ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

1 Menkes JH, Sarnat HB. Disease of the Motor Unit. Dalam: Menkes JH, Sarnat
HB, Maria BL. Child Neurology. Ed 7. Lippincott Williams and Wilkins
2006.16;970-1024
2 Flaccid Limb Weakness in Childhood. Dalam: Fenichel GM. Clinica Pediatric
Neurology A Signs and Symptoms Approach. Ed 6. Elsevier 2009.7:177-203
3 Manzur AY, Muntoni F. Diagnosis and New Treatment in Muscular Dystrophies.
Journal Neurolology Neurosurgery Psychiatry 2009.80:706-14
4 Escolar DM, Leshner RT. Muscular Dystrophies. Dalam: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, Schor NF. Prociple and Practice Pediatric Neurology. Ed 7.
Elsevier.2012;15:1570-1606
5 Sathasivam S. Muscular Dystrophies. The International Medical Journal
Malaysia. 2012;11(2):62-7
6 National Screening Committee Child Health Sub-Group. Report on Duchenne
Muscular Dystrophy. London: National Screening Committee; 2004. Available
from: http://tinyurl.com/3esvk4j.
7 Dooley J, Gordon KE, Dodds L, MacSween J. Duchenne muscular dystrophy: a
30-year population-based incidence study. Clin Pediatr (Phila). 2010;49(2):177-
9.
8 Bushby KM, Thambyayah M, Gardner-Medwin D. Prevalence and incidence of
Becker muscular dystrophy. Lancet. 1991;337(8748):1022-4.
9 Stewart KB. Fact Sheet Duchenne and Becker Types of Muscular Dystrophy.
The Australasian Genetics Resource Book Centre for Genetics Education.
http://www.genetics.edu.au. Diakses pada 12-01-2013.2007:1-4
10 Hoffman EP, Arahata K, Minetti C, Bonilla E, Rowland LP. Dystrophinopathy in
isolated cases of myopathy in females. Neurology 1992;42: 967-75

35
11 Soltanzadeh P, Friez MJ, Dunn D, von Niederhausern A, Gurvich OL, Swoboda
KJ, et al. Clinical and genetic characterization of manifesting carriers of DMD
mutations. Neuromuscul Disord 2010;20:499-504.
12 Taylor PJ, Maroulis S, Mullan GL, Pedersen RL, Baumli A, Elakis G, et al.
Measurement of the clinical utility of a combined mutation detection protocol in
carriers of Duchenne and Becker muscular dystrophy. J Med Genet 2007;44:368-
72.
13 Hoogerwaard EM, Bakker E, Ippel PF, Oosterwijk JC, Majoor-Krakauer DF,
Leschot NJ, et al. Signs and symptoms of Duchenne muscular dystrophy and
Becker muscular dystrophy among carriers in The Netherlands: a cohort study.
Lancet 1999;353:2116-9.
14 Grain L, Cortina-Borja M, Forfar C, Hilton-Jones D, Hopkin J, Burch M. Cardiac
abnormalities and skeletal muscle weakness in carriers of Duchenne and Becker
muscular dystrophies and controls. Neuromuscul Disord 2001;11:186-91
15 Ceulemans BP, Storm K, Reyniers E, Jr., Callewaert L, Martin JJ. Muscle pain as
the only presenting symptom in a girl with dystrophinopathy. Pediatr Neurol
2008;38:64-6.
16 Walcher T, Kunze M, Steinbach P, Sperfeld AD, Burgstahler C, Hombach V, et
al. Cardiac involvement in a female carrier of Duchenne muscular dystrophy. Int
J Cardiol 2010;138:302-5.
17 Passamano L, Taglia A, Palladino A, Viggiano E, D’Ambrosio P, Scutifero M, et
al. Improvement of survival in Duchenne Muscular Dystrophy: retrospective
analysis of 835 patients. Acta Myologica. 2012;XXXI:121-125
18 Manasa T, Tamilanban T, Nadhakumar L, Dharmamoorthy G. Prevalence of
Duchenne Muscular Dystrophy: a case report. IJPRC. 2012;2(1)2231-2781
19 Emery AE. Seminar The Muscular Dystrophies. Lancet 2002;359:687-95
20 Klinger W, Rott KJ, Horn FL, Schleip R. The Role of Fibrosis in Duchenne
Muscular Dystrophy. Acta Myologica 2012;XXXI:184-95

36
21 Chapman W. Chapman’s Orthopaedic Surgery (CD ROM), 3rd Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins 2001.p.4506-19
22 Saharso D, Herjana AY, Erny. Pemeriksaan Neurologis pada Bayi dan Anak.
Lokakarya Tumbuh Kembang Anak 2008;1-12
23 Nara P, Lumbantobing SM. Penyakit Unit Motor dan Sindrom Neurokutan.
Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar neurologi anak.
Jakarta:IDAI;1999:286-288.
24 Nardes F, Alexandra PQ, Araújo2, Ribeiro MG. Mental Retardation in Duchenne
Muscular Dystrophy. Jornal de Pediatrica 2012;88(1)6-16
25 Abbs S, Giraud ST, Bakker E, Ferlini A, Sejersen T, Mueller CR. Best Practise
Guidelines on Molecular Diagnostics in Ducene/Becker Muscular Dystrophies.
Neuromuscular Disorders 2010;20:422-427
26 Bushby K, Finkel R, Birnkrant DJ, Case LE, Clemens PR, Cripe L, et al.
Diagnosis and management of Duchenne muscular dystrophy, part 1: diagnosis,
and pharmacological and psychosocial management. The Lancet
2009;4422(09):1-6.
27 Sun SC, Peng YS, He JB. Changes of Serum Creatinine Kinase levels in
Children with Duchenne Muscular Dystrophy. Zhonggua Dang Dai Er Ke Za Zhi
2008;10:35-7
28 Schwartz M, Duno M. Improved molecular diagnosis of dystrophin gene
mutations using the multiplex ligationdependent probe amplification method.
Genet Test 2004;8(4):361–7.
29 Navarro C, Teijeira S, San Millán B. Pathology and diagnosis of muscular
dystrophies. Adv Exp Med Biol 2009;652:1-11.
30 MCMillan HJ, Gregas M, Darras BT, Kang PB. Serum Transaminase Levels in
Boys with Duchene and Becker Muscular Dystrophy. Pediatrics 2011; 127:e132-
7

37
31 Bushby K, Bourke J, Bullock R, Eagle M, Gibson M, Quinby. The
Multidisiplinary Management of Duchenne Muscular Dystrohy. Current
Paediatrics 2005;15:292-300.
32 Manzur AY, Kuntzer T, Pike M, Swan A. Glucocorticoid corticosteroids for
Duchenne Muscular Dystrophy. Cochrane database syst rev.
2008;23(1):CD003725.
33 Moxley RT 3rd, Pandya S, Ciafaloni E, Fox DJ, Campbell K. Change in natural
history of Duchenne muscular dystrophy with long-term corticosteroid treatment:
implications for management. J Child Neurol 2010;25(9):1116-29
34 Balaban B, Matthews DJ, Clayton GH, Carry T. Corticosteroid treatment and
functional improvement in Duchenne Muscular Dystrophy: long-term effect. Am
J Phys Med Rehabil. 2005;84(11):843-50.
35 Escolar DM, Hache LP, Clemens PR, McDonald PM, Viswanathan V, Komberg
AJ, et al. Randomized, blinded trial of weekend vs daily prednisone in Duchenne
muscular dystrophy.2011;77:444-52
36 Wells DJ. Therapeutic restoration of dystrophin expression in Duchenne
muscular dystrophy. J Muscle Res Cell Motil 2006;27:387–98
37 Van Deutekom JC, Janson AA, Ginjaar IB, et al. Local dystrophin restoration
with antisense oligonucleotide PRO051. New Engl J Med 2007;357:2677–86.
38 Eagle M. Report on the Muscular Dystrophy Campaign workshop: exercise in
neuromuscular diseases. Newcastle. Neuromuscul Disord 2002;12(10):975–83
39 Vullerot C, Girardot FO, Payan C, Fermanian J, Iwaz J, Lattre CD, Bernard C.
Monitoring changes and predicting loss of ambulation in Duchenne muscular
dystrophy with the Motor Function Measure. Developmentall Medicine & Child
Neurology 2009;10(1111):1-6
40 Verma D, Anziska Y, Cracco J. Review of Duchenne Muscular Dystrophy for
the Pediatrician in the Community. Clinical Pediatrics 2010;49(11):1011-1017.

38
41 Bushby K, Connor E. Clinical Outcome Measures for Trials in Duchenne
Muscular Dystrophy: Report from International Working Group Meetings.
Clinical Investigation 2011;1(9):1217-1235
42 Biggar WD. Duchenne Muscular Dystrophy. Pediatrics in Review
2006;27(83):82-87
43 Mannlein J, Pangilinan PH. Wheelchair seating for children with Duchenne
muscular dystrophy. J Pediatr Rehabil Med 2008;1(3):225-35
44 Karol LA. Scoliosis in Patients with Duchenne Muscular Dystrophy. The Journal
of Bone and Joint Surgery 2007;89:155-162
45 Finder JD, Birnkrant D, Carl J, et al. Respiratory care of the patient with
Duchenne muscular dystrophy: ATS consensus statement. Am J Respir Crit Care
Med 2004;170(4):456–65.
46 Bushby KMD, Muntoni F, Bourke JP. The management of cardiac complications
in muscular dystrophy and myotonic dystrophy. Proceedings of 107th ENMC
Workshop. Neuromuscul Disord 2003;13:166–72
47 Polakoff RJ, Morton AA, Koch KD, Rios CM. The psychososial and cognitive
Impact of Duchenne’s muscular dystrophy. Seminars in pediatrics Neurology.
1999;5(2):116-23
48 Rusmil K. Kualitas Hidup Remaja dengan Kondisi Penyakit Kronis. Adolescent
Health National Symposia: Current Challenges in Management. 2ed: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2011

39

Anda mungkin juga menyukai