Anda di halaman 1dari 90

MODUL I.

AL QUR’AN KALAMULLAH DAN


KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kepercayaan kepada Al-Qura’an sebagai wahyu dari Allah
merupakan salah satu persyaratan keimanan sebagaimana tercantum
dalam rukun Iman. Setiap individu Muslim harus dapat meyakininya
tanpa keraguan. Keimanan dapat dibangun melalui argumentasi yang
logis tak terbantahkan. Modul ini diharapkan mampu menjelaskan
keimanan terhadap Al-Qur’an.

2. Ruang Lingkup
a. Al-Quran sebagai Kalamullah : Makna Bahasa dan Makna Syar’i,
Nama-nama Al-Qur-an, Bahasa Al-Qur’an, Bukti Al-Qur’an
Kalamullah, Bukti Pendukung Kalamullah, Konsekuensi Iman pada
Kalamullah
b. Kemukjizatan Al-Quran : Pengertian Kemukjizatan Al-Qur’an, Segi-
segi Kemukjizatan Al-Qur’an

3. Sasaran Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu memahami dan beriman kepada Al-Qur’an tanpa
keraguan
b. Mahasiswa dapat menjelaskan kemukjizatan Al-Qur’an dengan
argumentasi yang detail dan jelas

B. MATERI PEMBELAJARAN

AL-QUR’AN KALAMULLAH
Al-Qur’an adalah mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai bukti utama akan kenabian Muhammad SAW. Ia
diturunkan Allah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya,
serta membimbing mereka menuju jalan yang lurus.
Definisi
Kata Al-Qur’an menurut pengertian Bahasa Arab adalah mashdar (infinitif)
dari kata qara’a, yaqra’u, qira’atan, qur’anan yang berarti bacaan. Kata qur’an
yang berarti bacaan misalnya terdapat dalam ayat

َ ُ َّ َ َ ْ َ َ َ َ ُ ْ َ َ َ َّ
)١٨( ‫) فإِذا ق َرأن ُاه فاتب ِ ْع ق ْرآن ُه‬١٧( ‫إِن عليْ َنا َج َع ُه َوق ْرآن ُه‬
2

17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. 18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu. [QS Al Qiyamah (75):17-18]

Makna Bahasa
Qur’anahu dalam ayat tadi berarti qira’atahu (bacaannya atau cara
membacanya). Jadi, kata qur’an adalah mashdar menurun wazan “fu’lan” dengan
vokal “u” seperti “ghufran” dan “syukran”. Bila dalam Bahasa Arab disebutkan
qara’atuhu, qira’atan atau wa qur’anan, artinya adalah “saya membaca suatu
bacaan”. Di sini apa yang dibaca (maqru’) diberi nama qur’an (bacaan) yakni
penamaan maf’ul dengan mashdar. Kata qara’a itu sendiri mempunyai arti
mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf
dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapat. Inilah makna qur’an dalam
Bahasa Arab.
Tapi, Imam Syafi’i dan Imam Suyuthi berpendapat bahwa Al-Qur’an secara
Bahasa bukanlah merupajan kata bentukan (musytaq) dari kata qara’a seperti
penjelasan sebelumnya. Menurut mereka Al-Qur’an merupakan suatu nama
(‘alam) bagi kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sama
halnya dengan kitab-kitab lain seperti Taurat dan Injil yang diturunkan kepada
para Nabi-nya. Artinya, Al-Qur’an merupakan nama yang spesifik bagi kitab yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi menurut mereka, kata
Al-Quran itu bukanlah berarti bacaan, melainkan nama bagi suatu kitab Allah
SWT.

Makna Hukum (Syar’i)


Terdapat banyak definisi syar’I dari Al-Quran yang diberikan oleh para
ulama. Sebagian mereka memberikan definisi yang panjang lebar dan yang
lainnya memberikan definisi yang sangat ringkas. Salah satu definisi yang
lengkap dijelaskan oleh Muhammad Ali Al Hasan (1983) dalam kitab Al Manarfi
Ulum Al Qur’an :
“Al Qur’an huwa kalamullah al-mu’jiz al-munazzal’ala al-nabiyyi al-
manqul tawaturan wa al-muta’abbadu bihi tilawan”
Artinya Al-Qur’an adalah kalamullah yang bersifat mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi SAW yang dinukil secara tawatur dan membacanya
tergolong ibadah.
Pengertian kalamullah yang merupakan mukjizat dalam definisi tersebut
berarti tidak ada dalam Al-Qur’an kalam (ucapan) selain kalam Allah SWT.
Dengan pembatasan ini, berarti Al-Qur’an bukanlah ucapan manusia, jin ataupun
malaikat. Begitu pula Al-Qur’an bukanlah ucapan nabi atau rasul, karenanya
hadist tidak merupakan bagian dari Al-Qur’an.
Definisi tersebut juga membatasi bahwa Al-Qur’an hanya diturunkan
kepada Muhammad SAW. Kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan
rasul sebelumnya seperti shuhuf Nabi Ibrahim AS, Taurat yang diturunkan kepada
Nabi Musa AS, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS, bukanlah Al-
Qur’an.
3

Selain itu, Al-Qur’an dalam definisi di atas juga dibatasi dengan penukilan
(transmisi informasi) yang bersifat mutawatir, yaitu periwayatan yang dilakukan
oleh banyak orang yang karenanya mustahil bersepakat untuk berdusta. Maka
tidak termasuk Al-Qur’an qira’ah-qira’ah ahad (tidak mutawatir) seperti qira’ah

ََ ْ ُ ََْ
Ibnu Mas’ud dalam firman Allah tentang kaffarat pelanggaran sumpah :
ُ‫دتم‬ُّ َّ َ َ ُ ُ َُ َٰ ْ َّ ُ َّ ‫ك ُم‬ ُ ُ َُ َ
‫كن يؤاخِذكم بِما عق‬ ِ ‫اَّلل بِاللغوِ ِِف أيمان ِكم ول‬ ‫َل يؤاخِذ‬

ُ َ ُ َْ َ ُ َ َ َ َ ََْْ
َ ‫ك َّف‬
‫ِني م ِْن أ ْو َس ِط َما ت ْط ِع ُمون أهل ِيك ْم أ ْو ك ِْس َوت ُه ْم‬ َ َ ‫ام َع‬
َ ‫َشة ِ َم َساك‬ ُ ‫ارتُ ُه إ ْط َع‬ ‫اْليمانَۖ ف‬
ِ

ُ َ ْ َ ُ َ َّ َ َ َٰ َ َّ َ َ َ َ ُ َ َ ْ َ ْ َّ َ َ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ
ْ‫ِك ْم إ َذا َحلَ ْف ُتم‬
ْۚ ِ ‫يد ف ِصيام ثَلثةِ أيامٍۚ ذل ِك كفارة أيمان‬ ِ ‫أو َت ِرير رقبةٍۖ فمن لم‬
َ ُ ْ َ ُ َّ َ ُ َ ُ َّ ُ ِ َ ُ َ َٰ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ
)٨٩( ‫اَّلل لك ْم آيَاتِهِ ل َعلك ْم تشك ُرون‬ ‫واحفظوا أيمانك ْۚم كذل ِك يب ِني‬

89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). [QS Al Ma"idah (5):89]

Ibnu Mas’ud membacanya : “fashiyamu tsalatsti ayyamin mutatabi’ati,”


(maka kaffaratnya adalah puasa selama tiga hari berturut-turut). Jadi ada
tambahan kata “mutatabi’atin” yang berarti berturut-turut dalam qira’ah Ibnu
Mas’ud. Qira’ah ini tidak mutawatir, maka tidak dianggap bagian dari Al-Qur’an.
Dalam definisi Al-Qur’an di atas juga terdapat batasan bahwa pembacaan
Al-Qur’an digolongkan pada aktivitas ibadah, yakni ibadah mahdhah seperti
halnya shalat dan puasa. Maka, membaca hadist qudsi, misalnya, tidak dianggap
ibadah, sebab hadist qudsi tidak termasuk Al-Qur’an meskipun ia dinisbatkan
kepada Allah SWT.

Nama-nama Al-Qur’an
Muhammad Ali Ash Shabuni (1985) menyebutkan bahwa Al-Qur’an
mempunyai lima nama yaitu Al-Qur’an itu sendiri, Al-Furqan, Al-Tanzil, Al-
Dzikr, dan Al-Kitab.
Nama Al-Qur’an antara lain tersebut dalam ayat:

)١( ‫جي ِد‬ َ ْ ‫ٍۚق َوالْ ُق ْر‬


ِ ‫آن الم‬
ِ
1. Qaaf, Demi Al Quran yang sangat mulia, [QS Qaf (50):1]
4

َّ َ ُ َ ْ َ َ َّ َ ْ ُ ْ ُ ِ َ ُ َ ُ َ ْ َ َ َّ ْ َ ُ ْ َ َ َّ
ِ ‫إِن هَٰذا الق ْرآن َيهدِي ل ِل ِِت ِِه أقوم ويب َِش المؤ ِمن ِني اَّلِين يعملون الصاِل‬
‫ات‬ َ ِ

ْ َ ْ ُ َ َّ َ
ً ‫ج ًرا َكب‬
)٩( ‫ريا‬ِ ‫أن لهم أ‬

9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar [QS Al Isra" (17):9]

Nama Al-Furqan antara lain terdapat dalam ayat :

َ ُ َ ْ َ َٰ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َّ َ َّ َ َ َ َ
َ ‫ون ل ِلْ َعالَم‬
ً ‫ني نَذ‬
)١( ‫ِيرا‬ ِ ‫تبارك اَّلِي نزل الفرقان لَع عب ِده ِ ِِلك‬

1. Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, [QS Al Furqan (25) :1]

Nama Al-Tanzil terdapat dalam ayat


َْ ُ َ ‫يل َر ِب الْ َعالَم‬
ُ َ َ ُ َّ
ُ ُّ ِ‫) نَ َز َل به‬١٩٢( ‫ني‬
)١٩٣( ‫الروح اْلمِني‬ ‫زن‬
ِ ِ ِ ِ ‫ِإَونه َل‬
192. Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
193. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), [QS Ash Shu'ara" (26) : 192-193]

Nama Al-Dzikr diambil dari ayat:

َ ُ َ َ ُ َ َّ َ ْ ِ َ ْ َّ َ ُ ْ َ َّ
)٩( ‫ِلاف ِظون‬ ‫إِنا َنن نزْلا اَّلِكر ِإَونا َل‬

9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-


benar memeliharanya. [QS Al Hijr (15) :9]

Nama Al-Kitab misalnya diambil dari ayat

َ ُ َّ ُ َّ َ َ َ ُّ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َّ ُ ْ ‫) َوالْك َِتاب ال‬١( ‫حم‬


)٣( ‫) إِنا أنزْلاه ِِف ِللة مباركةٍۚ إِنا كنا منذِرِين‬٢( ‫ني‬
ِ ِ ‫ب‬ ‫م‬ ِ
1. Haa miim. 2. Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan, 3. sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi
peringatan. [QS Ad Dukhan (44) : 1-3]

Adapun apa yang dianggap sebagian ulama sebagai nama-nama Al-Qur’an,


seperti Al-Aziz (QS Fushshilat: 41), Al Majid (QS Al Buruj: 21) dan Al-Hakim
(QS Yasin: 2) sebenarnya bukanlah nama-nama Al-Qur’an melainkan sifat-sifat
(aushaf) dari Al-Quran.
5

Bahasa Al-Qur’an
Al-Qur’an telah mensifati dirinya sebagai kitab yang berbahasa Arab,
sebagaimana disebutkan pada ayat

ِ ‫بِل َِسان َع َر‬


)١٩٥( ‫ب ُّمبِني‬ِ
195. dengan bahasa Arab yang jelas. [Ash Shu'ara" (26):195]

َ ُ ْ َ ُ َّ َّ َ ً ُ ْ َّ
)٣( ‫إِنا َج َعل َناهُ ق ْرآنا ع َرب ِ ًّيا ل َعلك ْم تعقِلون‬

3. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu


memahami(nya). [Az Zukhruf (43): 3]

ُ َّ ‫ض ُّل‬
ُ ‫اَّلل َمن ي َ َش‬
‫اء َو َي ْهدِي‬
َ َ َِ َ
ِ ‫ان ق ْو ِمهِ ِِلُ َب ِني ل ُه ْمَۖ ف ُي‬ َ ‫َو َما أ َ ْر َسلْ َنا مِن َّر ُسول إ ََّل بل‬
‫ِس‬
ِ ِ ِ

َ ْ ‫يز‬
ُ ‫اِلك‬
)٤( ‫ِيم‬ ُ ‫اء ْۚ َو ُه َو الْ َعز‬
ُ ‫َمن ي َ َش‬
ِ
4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. [Ibrahim (14): 4]

Dengan demikian jelas bahwa Al-Qur’an seluruhnya adalah berbahasa Arab


dan tidak ada satu lafazh pun di dalamnya yang bukan Bahasa Arab.
Beberapa lafazh (kata) dalam Al-Qur’an yang berasal dari bahasa ‘ajam
(selain Arab), lafazh-lafazh itu telah mengalami pengaraban sehingga
kedudukannya kemudian menjadi bagian dari Bahasa Arab. Lafazh-lafazh itu
antara lain “al-qisthas”, yang terdapat dalam surat Al-Isra’: 35 dan Asy Syu’ara:
182. Kata tersebut aslinya dari Bahasa Romawi yang berarti timbangan. Juga kata
“sijjiil” yang ada dalam surat al-Fiil:4, Huud: 82, dan Al-Hijr: 74, yang aslinya
Bahasa Persia yang berarti batu dari tanah. Juga kata “misykat” dalam surat An-
Nuur: 35 yang aslinya dari Bahasa India -ada yang mengatakan dari Bahasa
Habasyah- yang berarti lobang di dinding yang tidak tembus. Juga kata “istabraq”
yang terdapat dalam surat Al-Kahfi: 31, Al-Dukhan: 53, Ar-Rahman: 54, dan Al-
Insan: 21, yang aslinya dalam Bahasa Persia berarti kain sutera tebal.
Semua lafazh-lafazh itu adalah lafazh mu’arrab (telah diarabkan), sehingga
kedudukannya sama dengan lafazh yang asli dari Bahasa Arab. Muhammad Ali
Al Hasan (1983) menyatakan bahwa pengaraban baru dengan pola pembentukan
kata (wazan) dan huruf-huruf Arab. Dengan proses ini, lafazh-lafazh yang berasal
dari selain Bahasa Arab telah masuk ke dalam bagian Bahasa Arab.
6

Bukti Al-Qur’an sebagai Kalamullah


Bukti (dalil) bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) adalah dalil
aqli mengingat Al-Qur’an adalah fakta yang dapat diindera, bukan termasuk
perkara yang gaib, seperti keberadaan syaitan, jin, malaikat, surge dan neraka.
Berkaitan dengan asal-usul Al-Qur’an, setidaknya terdapat tiga fakta, yakni:
Pertama, Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang berbahasa Arab yang tampak
secara langsung dari kenyataan bahwa Al-Qur’an memang menggunakan Bahasa
Arab semata dan dari pernyataan Al-Qur’an misalnya

َ ُ ْ َ ُ َّ َّ َ ً ُ ْ َّ
)٣( ‫إِنا َج َعل َناهُ ق ْرآنا ع َرب ِ ًّيا ل َعلك ْم تعقِلون‬

3. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu


memahami(nya). [Az Zukhruf (43):3]

Kedua, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an


juga menegaskan hal ini, seperti tersebut pada ayat
َ ُ َ َ َ ْ َ َ ُ َ َ َّ َّ َ ْ َ َّ َّ َ ُ َ ْ َ َ ْ ََْ َ ُْ
‫نزل مِن‬
ِ ‫نزل إِِلنا وما أ‬
ِ ‫اب هل تن ِقمون مِنا إَِل أن آمنا بِاَّللِ وما أ‬
ِ ‫قل ياأهل الكِت‬
َ ُ َ ْ ُ َ َ ْ َ َّ َ َ ُ ْ َ
)٥٩( ‫قبل وأن أكَثكم فاسِقون‬

59. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran
kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang
diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?
[Al Ma"idah (5): 59]

Ketiga, Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah sajalah yang menurunkannya,


tersebut pada ayat

َ ُ َ َ ُ َ َّ َ ْ ِ َ ْ َّ َ ُ ْ َ َّ
)٩( ‫ِلاف ِظون‬ ‫إِنا َنن نزْلا اَّلِكر ِإَونا َل‬

9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-


benar memeliharanya. [Al Hijr (15): 9]

Jadi secara faktual Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab yang dibawa
oleh Rasulullah Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa kitab ini berasal dari
sisi Allah. Maka, secara rasional hanya ada tiga kemungkinan asal Al-Qur’an
yakni:
Pertama, Al-Qur’an adalah buatan bangsa Arab, sebab Al-Qur’an berbahasa
Arab; Kedua, Al-Qur’an buatan Nabi Muhammad SAW, karena dialah yang
membawa Al-Qur’an; Ketiga, Al-Qur’an berasal dari sisi Allah SWT, sebab
demikianlah pernyataan yang ada dalam Al-Qur’an.
7

Kemungkinan pertama tidak bisa diterima. Sebab, kendati berulang kali


ditantang, faktanya bangsa Arab tidaklah pernah mampu membuat kitab serupa
Al-Qur’an
ُ ِ ُ َ َ َ ُ ُ ْ َ ْ ِ ِ َ ُ ُ ْ َ َ ْ َ َٰ َ َ َ ْ َّ َ َّ ِ ْ َ ْ ُ ُ
‫ون‬
ِ ‫ِإَون كنتم ِِف ريب مِما نزْلا لَع عبدِنا فأتوا بِسورة مِن مِثلِهِ وادعوا شهداءكم مِن‬
‫د‬

ُ ‫اَّللِ إن ُك‬
َ ‫نت ْم َصادِق‬
)٢٣( ‫ِني‬
َّ
ِ

23. Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. [Al Baqarah (2):23]

ُ ‫اَّللِ إن ُك‬
َ ‫نت ْم َصادِق‬ َّ ُ ِ ُْ ََ ْ َ ُ ْ َ ْ ِ َ ُ َُْ ُْ ُ ََْ َ ُ َُ َْ
‫ِني‬ ِ ‫ون‬
ِ ‫أم يقولون افَتاه َۖ قل فأتوا بِسورة مِثلِهِ وادعوا م ِن استطعتم مِن‬
‫د‬

)٣٨(

38. Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah:


"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan
panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu
orang yang benar". [Yunus (10):38]

َّ
‫ون اَّلل ِ إِن‬
ُ ِ ُْ ََْ َ ُ ْ َ َ َ َ ْ ُ ْ ِ َ ُ ْ ‫َتاهُ قُ ْل فَأْتُوا ب َع‬ َ ُ َُ َْ
َ َ ْ ‫ون اف‬
ِ ‫َش سور مِثلِهِ مفَتيات وادعوا م ِن استطعتم مِن د‬
ِ ِ َۖ ‫أم يقول‬

ُ ‫ُك‬
َ ‫نت ْم َصادِق‬
)١٣( ‫ِني‬

13. Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu",


Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika
kamu memang orang-orang yang benar". [Hud (11):13]

Seandainya Al-Qur’an bukan dari sisi Allah, niscaya mereka sanggup


memenuhi tantangan sebagaimana tersebut dalam berbagai ayat di atas untuk
membuat kitab serupa dengan Al-Qur’an. Mereka memang berulang kali mencoba
dengan mengadakan berbagai pertemuan-pertemuan yang diikuti pada ahli sastra
dan bahasa, tapi usaha-usaha itu gagal karena ternyata yang dihasilkan sangat jauh
dari Al-Qur’an. Seorang tokoh sastrawan Quraisy yang bernama Walid bin
Mughirah akhirnya mengakui keunggulan Al-Qur-an yang tidak dapat disamai
dengan ucapan (kalam) manusia, sebagaimana ditutur beliau:
“Demi Allah, aku adalah yang paling tahu tentang syair Arab diantara
kalian, baik itu rajaznya (prosanya), qashidahnya, maupun syair-syair jinnya.
Demi Allah, Al-Qur’an itu tidak mirip sedikitpun dengan itu semua. Dan demi
Allah, ucapannya itu manis dan indah, yang atasnya berbuah dan yang bawahnya
subur. Sungguh dia itu tinggi, taka da yang lebih tinggi darinya …”
Jadi, telah terbukti menurut riwayat mutawatir bahwa orang-orang Arab
tidak mampu mendatangkan semisal Al-Qur’an.
8

Kemungkinan kedua, yaitu bahwa Al-Qur’an dibuat Muhammad SAW, juga


tidak bisa diterima. Mengapa? Ada dua sebab. Pertama, Muhammad SAW juga
termasuk orang Arab. Kalau seluruh orang Arab tidak mampu memenuhi
tantangan untuk membuat semisal Al-Qur’an, maka Nabi Muhammad juga tidak
mampu melakukannya. Apalagi Nabi adalah orang yang ummi (tidak bisa
membaca dan menulis), tentu lebih tidak bisa lagi. Andai saja Nabi Muhammad
bisa membuat Al-Qur’an, tentunya orang-orang Arab lain yang lebih menguasai
sastra dari Nabi Muhammad akan lebih bisa membuat Al-Qur’an. Kedua, gaya
Bahasa dalam tutur kata Nabi sebagaimana yang terekam dalam hadist-hadist
ternyata sangat berbeda dengan gaya bahasa Al-Qur’an. Sekalipun seseorang
barangkali bisa berbicara dalam dua gaya bahasa, namun mengeluarkan ungkapan
dalam intensitas yang tinggi dalam dua gaya bahasa pada satu waktu sebagaimana
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah SAW, adalah suatu hal yang
mustahil terjadi. Kalua pun ada yang berupaya keras melakukannya, kemiripan di
antara dua gaya bahasa yang dia ungkapkan akan kerap kali terjadi. Gaya bahasa
Al-Qur’an jelas berbeda dari gaya bahasa hadist. Ini menunjukkan bahwa Al-
Qur’an bukanlah perkataan (kalam) Nabi Muhammad SAW.
Bahkan karena sangat berbedanya antara gaya bahasa Al-Qur’an dengan
hadist tersebut, orang-orang Arab saat itu melontarkan tuduhan bahwa Al-Qur’an
memang bukan berasal dari Muhammad, melainkan dari seorang pemuda
Nashrani bernama Jabr yang mengajari beliau. Namun Al-Qur’an menyangkal hal
ini
َ َ َ ُ ُْ َّ ُ َ ِ ‫َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َّ ُ ْ َ ُ ُ َ َّ َ ُ َ ِ ُ ُ َ َ ر‬
ٌّ‫ون إِِلْهِ أ ْع َج ِِم‬‫حد‬
ِ ‫ولقد نعلم أنهم يقولون إِنما يعل ِمه بَشٌۗ ل ِسان اَّلِي يل‬

‫ب ُّمب ر‬ ََ ‫َ َ َ َ ر‬
)١٠٣( ‫ني‬ِ ٌّ ِ ‫وهَٰذا ل ِسان عر‬
103. Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al
Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang
mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah
dalam bahasa Arab yang terang. [An Nahl (16): 103]

Jelaslah bahwa kemungkinan Al-Qur’an merupakan buatan Muhammad


tidak dapat diterima akal sehat dan pikiran jernih.
Dengan demikian, hanya kemungkinan ketigalah yang benar, yaitu Al-
Qur’an hanya berasal dari sisi Allah SWT. Benarlah firman Allah SWT

َ ْ َ‫ِيق َّاَّلِي ب‬
ِْ‫ني يَ َديه‬ َ ‫اَّلل ِ َو َلَٰكن تَ ْصد‬
َّ ُ َٰ َ َ ْ ُ َ ُ ْ ُ ْ َ َٰ َ َ َ َ َ
ِ ‫ون‬
ِ ‫وما َكن هذا القرآن أن يفَتى مِن د‬

)٣٧( ‫ني‬ ِ َ ْ‫يل الْك َِتاب ََل َري‬


َ ‫ب فِيهِ مِن َّر ِب الْ َعالَم‬ َ ََْ
‫وتف ِص‬
ِ ِ
9

37. Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu)
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah
ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. [Yunus
(10):37]

ً َّ ً ُ َ َ َ ُ َّ ْ َْ َ َ َ َّ َّ ِ َ ْ َ َّ ُ َ َ َ ْ ُ
)٦( ‫ض إِنه َكن غفورا رحِيما‬ٍۚ ِ ‫ات واْلر‬
ِ ‫الّس ِِف السماو‬ ُ
ِ ‫قل أنزَل اَّلِي يعلم‬

6. Katakanlah: "Al Quran itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit
dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al Furqan
(25):6]

Bukti Pendukung Kalamullah


Bahwa Al-Qur’an berasal dari sisi Allah, bukan buatan manusia, juga
dibuktikan dengan adanya fakta-fakta ilmiah yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayat al-Qur’an. Fakta-fakta ilmiah yang sedemikian canggih itu baru terbukti
pada masa modern kini yang menunjukkan Al-Qur’an tidak mungkin dikarang
oleh Muhammad SAW. Dengan kata lain, Al-Qur’an itu hanya dari sisi Allah
saja, bukan dari yang lainnya.
Diantara fakta-fakta ilmiah itu antara lain tentang atmosfer bumi. Allah
berfirman

َ ُ ْ َ ُ ً ُ ْ َّ ً ْ َ َ َّ َ ْ َ َ َ
)٣٢( ‫اء َسقفا َّمفوظاَۖ َوه ْم ع ْن آيَات َِها ُمع ِرضون‬‫وجعلنا السم‬

32. Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka
berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. [Al Anbiya" (21):32]

Para ilmuwan sekarang menjelaskan kepada kita bahwa “atap yang


terpelihara” dalam ayat di atas adalah lapisan atmosfer, yaitu udara yang berlapis-
lapis di atas bumi. Seandainya atmosfer tidak ada, niscaya jutaan meteor yang
setiap hari terbakar di angkasa akan jatuh mengenai kita dan membakar segala
sesuatu di bumi. Atmosfer telah dijadikan Allah bagaikan atap yang kokoh yang
melindungi bumi beserta segenap mahluk hidup di dalamnya.
Fakta ilmiah lainnya adalah tentang pergiliran siang dan malam secara
َ َ َٰ َ َ ْ َّ ُ َّ َ َّ َ َْ َّ ‫اَّلل َّاَّلِي َخ َل َق‬
cepat. Allah SWT berfirman
ُ َّ َ َّ
ُ َّ ‫ك ُم‬
‫ى لَع‬ ‫ات َواْل ْرض ِِف سِتةِ أيام ثم استو‬ َ ‫الس َم‬
ِ ‫او‬ ‫إِن رب‬

َْ َّ َ ‫ج‬ُ ُّ‫الش ْم َس َوالْ َق َم َر َواْل‬


َّ َ ً َ ُ ُ ُ ْ َ َ َ َّ َ ْ َّ ْ ْ
ِ ‫وم ُم َسخ َرات بِأم ِره‬ ‫ال َع ْر ِش ُيغ ِِش الليل اْلهار يطلبه حثِيثا و‬

َّ َ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ َ َ َ
َ ‫اَّلل َر ُّب الْ َعالَم‬
ُ
)٥٤( ‫ني‬ ِ ‫أَل َل اْللق واْلمر ٌۗ تبارك‬

54. Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
10

mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. [Al A'raf (7):54]

Maksud ayat di atas, bahwa siang dan malam, masing-masing saling


mengikuti secara cepat dengan tidak terputus. Ayat tersebut mengandung suatu
isyarat tentang rotasi bumi yang menyebabkan timbulnya siang dan malam.
Demikian pula firman Allah SWT
َ َ َ َ َّ ُ ِ َ ُ َ َ َّ َ َ َ ْ َّ ُ ِ َ ُ ِ َ ْ َ َْْ َ َّ ‫َخلَ َق‬
َ ‫الس َم‬
‫ات واْلرض بِاِل ِقٍۖ يكوِر الليل لَع اْلهارِ ويكوِر اْلهار لَع‬ ِ ‫او‬
َ َ
)٥( ‫ار‬ ُ ‫ُك َيْري ِْل َجل ُّم َس ًِّم أ ََل ُه َو الْ َعز‬
ُ ‫يز الْ َغ َّف‬ ٌّ ُ َ َ َ ْ َ َ ْ َّ َ َّ َ َ ْ َّ
َۖ ‫اللي ِلٍۖ وسخر الشمس والقمر‬
ِ ِ
5. Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam
atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-
masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. [Az Zumar (39):5]

ْ َ ٌّ ُ َْ َّ َّ َّ َّ ُ ُ
َ ‫الليْ َل ِف اْلَّ َهار َو ُيول ُِج اْلَّ َه‬
‫ار ِِف الليْ ِل َو َسخ َر الش ْم َس َوالق َم َر َۖ ُك ي ِري‬ ِ ِ ‫يول ِج‬

َ ُ ْ َ َ ُ َ ُ ْ َ َ َّ َ ُ ْ ُ ْ ُ َ ْ ُ ُّ َ ُ َّ ُ ُ َٰ َ ًّ َ ُّ َ َ
‫ِم ذل ِكم اَّلل ربكم َل الملكْۚ واَّلِين تدعون مِن دونِهِ ما يمل ِكون مِن‬ ٍۚ ‫ِْلجل مس‬

)١٣( ‫ق ِْط ِمري‬

13. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang
(berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang
kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. [Fatir

َ ُ َ َْ ََ ٌّ ُ َ ْ َّ َ َ َّ َ َ ْ َّ َ َ َ َّ ُ
(35):13]

)٣٣( ‫حون‬ ‫ار َوالش ْم َس َوالق َم َر َۖ ُك ِِف فلك يسب‬‫َوه َو اَّلِي خلق الليل واْله‬

33. Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-
masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. [Al Anbiya" (21):33]

Kosmonov Rusia, Yuri Gagarin, ketika terbang ke angkasa mengatakan


bahwa dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri pergiliran gelap dan cahaya
yang cepat di permukaan bumi karena adanya rotasi bumi.
Demikian pula fakta ilmiah tentang peran lebah betina dalam masyarakat
lebah. Lebah betinalah yang membuat sarang, mengumpulkan sari-sari dari bunga
dan dia pula yang menghasilkan madu. Hal ini terdapat di dalam firman Allah
SWT
11

َ ُ ْ َ َّ َ َ َّ َ َ ً ُ ُ َ ْ َ َّ َ ْ َّ َ َ ُّ َ َ ْ َ َ
‫اْلبا ِل بيوتا ومِن الشج ِر ومِما يع ِرشون‬ َٰ ‫وأو‬
ِ ‫َح ربك إَِل اْلح ِل أ ِن اَّتِذِي مِن‬
‫ُ ُ َ َ َ ر ُّ ْ ر‬
‫اب ُّم َتل ِف‬
َْ ًُُ َِ َُ ُ ُ ْ َ
‫ك ذلَل ْۚ َي ُر ُج مِن بطون ِها َش‬ َّ ِ ُ ‫) ُث َّم ُلُك مِن‬٦٨(
ِ ‫ُك اثل َم َر‬
ِ ِ ‫ات فاسل ِِك سبل رب‬ ِ ِ
َ ُ َّ َ َ َ ْ َ ِ ً َ َ َ َٰ َ َّ َّ ِ ‫َ ر‬ ُ ُ َْ َ
ِ ‫ألوانه فِيهِ شِفاء ل ِلن‬
)٦٩( ‫اس إِن ِِف ذل ِك َلية ل ِقوم يتفكرون‬

68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah (betina): "Buatlah (ittakhidzi) sarang-sarang
di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
69. kemudian makanlah (kuli) dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah (fasluki)
jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu)
yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-
orang yang memikirkan. [An Nahl (16):68-69]

Allah SWT mengarahkan seruan pertama kali kepada lebah dalam bentuk
umum, kemudian mengkhususkan seruan itu kepada lebah betina dan menjelaskan
bahwa Dia mengilhamkan kepada mereka (lebah betina) untuk mendirikan sarang-
sarang lebah, mengumpulkan sari bunga-bungaan dalam pohon dan memproduksi
madu. Perintah ittakhidzi, kuli dan fasluki merupakan perintah untuk muannats
(manusia perempuan atau hewan betina). Jadi, lebah-lebah betina itulah yang
melakukan semua itu. Ilmu cara membedakan lebah jantan dan betina, struktur
sosial lebah, kepemimpinan dalam lebah, perilaku dan kebiasaan lebah baru
terungkap belakangan ini seiring dengan berkembangnya penelitian tentang itu.
Semua fakta ilmiah itu pada masa Rasulullah SAW belum diketahui, dan baru
diketahui pada abad sekarang.
Demikian pula tentang fakta ilmiah mengenai peran semut betina dalam
masyarakat semut, yakni bahwa semut betinalah yang memerintah dan melarang,
bukannya yang jantan terungkap pada firman Allah
َ ‫َّ ْ َ َ ْ َ َ ر‬ َ
َ ُ ُ ُ ْ ُ
‫ت ن ْملة يَاأ ُّي َها اْلَّ ْمل ادخلوا َم َساك َِنك ْم َل‬ َٰ َ َ ‫ِت إ ِ َذا أتَ ْوا‬
‫لَع َوادِ اْلم ِل قال‬ َٰ َّ ‫َح‬

َ ْ َ ُ ُ ُ َ ُ َْ
)١٨( ‫َي ِط َم َّنك ْم ُسليْ َمان َو ُج ُنودهُ َوه ْم َل يَش ُع ُرون‬

18. Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut (betina): Hai
semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan
tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari"; [An Naml (27):18]

Disini Allah SWT menjelaskan bahwa yang mengeluarkan perintah bagi


semut-semut untuk masuk ke tempat-tempat mereka adalah namlatun, yaitu semut
betina. Dan tidak pernah diketahui pada masa yang lalu bahwa semut-semut
betina itulah yang memerintahkan dan melarang. Bahkan mana semut jantan dan
mana semut betina masih sulit dibedakan. Hal inipun tidak diketahui kecuali pada
zaman sekarang.
12

Inilah beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang membuktikan pula bahwa Al-
Qur’an berasal dari Allah SWT semata, bukan buatan manusia, termasuk
Muhammad SAW. Pada masa Nabi Muhammad SAW ilmu pengetahuan yang
mengungkapkan hakikat ayat-ayat ini belum dikenal. Ilmu pengetahuan seperti ini
baru diketahui oleh manusia modern saat ini.

Konsekuensi Iman pada Kalamullah


Setelah keyakinan bahwa Al-Qur’an benar-benar merupakan Kalamullah
telah terbukti, selanjutnya wajib bagi setiap Muslim untuk: Pertama, beriman
kepada apa saja yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik yang menyangkut
perkara-perkara aqaid seperti iman kepada surga, neraka, Hari Kiamat, maupun
ahkam (hukum-hukum syariat), seperti kewajiban shalat, puasa, keharaman riba,
menjauhi zina, aturan-aturan jual beli, kepemimpinan Muslim, jihad dan hukum-
hukum lainnya. Seluruhnya wajib diimani. Tanpa kecuali. Karena seluruhnya
telah tercantum dalam Al-Qur’an yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila
seseorang tidak beriman pada satu atau dua ayat Al-Quran misalnya, kafirlah dia.
Rasul berkata,
“Barang siapa ingkar (kufur) terhadap satu ayat saja dari Al-Qur’an, maka
sungguh sungguh dia telah kafir”. (HR Ath Thabrani)
Oleh karena itu penolakan seseorang terhadap hukum-hukum syara’secara
keseluruhan atau sebagian, dapat menyebabkan kekafiran, baik hukum-hukum itu
berkaitan dengan ibadat, muamalah, ‘uqubat (sanksi), atau math’umat (hukum
yang berkaitan dengan makanan). Jadi seseorang yang kufur terhadap ayat

َ ‫الراكِع‬ َ َ ‫ار َك ُعوا‬


ْ َ َ َ َّ ُ َ َ َ َّ ُ ََ
)٤٣( ‫ني‬ ِ َّ ‫ع‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ة‬ ‫َك‬ ‫الز‬ ‫وا‬ ‫آت‬ ‫و‬ ‫ة‬ ‫َل‬ ‫الص‬ ‫وا‬ ‫ِيم‬ ‫ق‬‫وأ‬

43. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
[Al Baqarah (2):43]
Sama saja kufur terhadap ayat:

َ‫ان مِن‬ُ َ ْ َّ ُ ُ َّ َ َ َ َّ ُ ُ َ َ َ َّ َ ُ ُ َ َ َ ِ َ ُ ُ ْ َ َ َّ
‫الربا َل يقومون إَِل كما يقوم اَّلِي يتخبطه الشيط‬ ِ ‫اَّلِين يأكلون‬
ُ َّ ‫الر َباٌۗ َوأ َ َح َّل‬ َ
ِ ‫اَّلل ْاْلَيْ َع َو َح َّر َم‬
َ ‫الر َبا ْۚ َف َمن َج‬
ُ‫اءه‬ ِ ‫ال ْ َم ِِس َذَٰل َِك بأ َّن ُه ْم قَالُوا إ َّن َما ْاْلَيْ ُع مِثْ ُل‬
ِ ِ ِ ِ ْۚ
َّ ُ َ ْ َ َ َٰ َ ُ َ َ َ ْ َ َ َّ َ ُ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َٰ َ َ َ ِ َّ ِ ‫َ ْ َ ر‬
ٍِۖ‫موعِظة مِن ربِهِ فانتَه فله ما سلف وأمره إَِل اَّللَِۖ ومن َعد فأولئِك أصحاب اْلار‬
َ ُ َ َ ْ ُ
)٢٧٥( ‫اِلون‬
ِ ‫هم فِيها خ‬

275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
13

orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [Al Baqarah (2):275]

Demikian pula kufur terhadap ayat

َّ َ ِ ً َ َ َ َ َ َ ً َ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
ُ َّ ‫اَّللٌِۗ َو‬
‫اَّلل‬ ‫والسارِق والسارِقة فاقطعوا أيدِيهما جزاء بِما كسبا نكاَل مِن‬

‫َعز ر‬
‫يز َحك ر‬
)٣٨( ‫ِيم‬ ِ
38. Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al Ma"idah (5):38]

Sama saja kufur terhadap ayat


َُ َ ْ ْ َّ ْ َ َّ ُ َ َ ْ ُ ْ َ َ ُ َّ َ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ َ ِ ُ
‫ري اَّلل ِ بِهِ َوال ُمنخن ِقة‬
ِ ‫ِغ‬ ‫ل‬ ‫ِل‬ ‫ه‬ ‫أ‬ ‫ا‬‫م‬‫و‬ ‫ير‬
ِ ِ ‫ِزن‬ ‫اْل‬ ‫ح ِرمت عليكم الميتة واِلم وِلم‬

ُ ُّ َ َ َ ُ َ َ ْ ُ ْ َّ َ َ َّ ُ ُ َّ َ َ َ َ َ ُ َ َّ َ ُ َ ِ َ َ ُ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ْ َ
‫ب‬ِ ‫والموقوذة والمَتدِية واْل ِطيحة وما أكل السبع إَِل ما ذكيتم وما ذبِح لَع اْلص‬
ََ ُ َ َ َ َّ َ َ َ ْ َ ْ ‫ْ َ ْ َ ِ َ َٰ ُ ْ ْ ر‬ ْ َ َ
‫ِين كف ُروا مِن دِين ِك ْم فَل‬‫َوأن ت ْس َتقس ُِموا بِاْلزَلمٍۚ ذل ِكم ف ِسق ٌۗ اِلوم يئِس اَّل‬

ُ‫ضيت‬ َ َ َ ْ ْ ُ َْ َ ُ ْ َ ْ ََ ْ ُ َ ْ ُ َ ُ ْ َ ْ َ َ ْ َْ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َْ
ِ ‫َّتشوهم واخشو ِ ٍۚن اِلوم أكملت لكم دِينكم وأتممت عليكم ن ِعم ِِت ور‬

‫ور َّرح ر‬
‫ِيم‬ َ َّ ‫جان ِف ِِْلثْمٍۙ فَإ َّن‬
‫اَّلل َغ ُف ر‬ َ ْ ‫اض ُط َّر ِف َُّمْ َم َصة َغ‬
َ ‫ري ُم َت‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬ ً ‫ك ُم ْاْل ْس ََل َم د‬
َ ‫ِينا ْۚ َف‬ ُ َ
‫ل‬
ِ ِ ِ ِ ِ

)٣(

3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Ma"idah (5):3]
14

Kedua, menerima secara mutlak segala syariat, hukum, dan ketentuan-


ketentuan Allah yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan cara mengamalkan dalam
kehidupan individu, keluarga serta dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Inilah sikap seorang Muslim sejati, sebagaimana firman Allah SWT

ُ َ َ َ َّ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ ُ ِ َ ُ َٰ َّ َ َ ُ ْ ُ َ َ ِ َ َ َ َ
‫ي ُدوا ِِف أنفسِ ِه ْم‬
ِ ‫فَل وربِك َل يؤمِنون حِت َيكِموك فِيما شجر بينهم ثم َل‬

ً ‫ت َوي ُ َس ِل ُِموا ت َ ْسل‬


)٦٥( ‫ِيما‬ َ ْ‫َح َر ًجا ِم َِّما قَ َضي‬

65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. [An Nisa"(4):65]

Ketiga, rajin mengkaji dan membaca Al-Qur’an. Di atas telah disebutkan


Al-Qur’an adalah kitab yang membacanya adalah ibadah. Dengan rajin membaca
dan mengkaji seorang Muslim yang meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan
kalamullah akan makin memahami Al-Qur’an dan darinya akan mendapatkan
pahala.
Keempat, jikalau Syariah, hukum dan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-
Qur’an belum terwujud secara nyata, maka seorang Muslim yang mengimani Al-
Qur’an sebagai petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang batil akan
berjuang keras untuk menegakkan Al-Qur’an

KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
I’jaz (kemukjizatan) dalam Bahasa Arab artinya menisbatkan kelemahan
kepada orang lain (nisbat al ‘ajzi ila al ghair). Atau, menetapkan kelemahan bagi
orang lain (itsbat al ‘ajzi li al ghair). Lafazh I’jaz secara bahasa terdapat dalam
Al-Qur’an, misalnya pada ayat
َ َ َ َ َۡ ُ َ ۡ َ ٗ َ ُ ُ َّ َ َ َ َ
ٰٓ‫ِري َي ُهۥ ك ۡي َف يُ َوَٰرِي َس ۡو َءةَ أخِي ٍۚهِ قَال َي َٰ َو ۡيل َِت‬
ِ
ُ ‫ۡرض ل‬
ِ ‫ٱْل‬ ‫ِف‬
ِ ‫ث‬ ‫فبعث ٱَّلل غرابا يبح‬

َ ‫ي َس ۡو َء َة أ َ ِِخ فَأ َ ۡص َب َح م َِن ٱْلَّ َٰ ِدم‬


٣١ ‫ِني‬
َ ُ َ َۡ ُ ۡ َ َ َ
َ ‫ون م ِۡث َل َهَٰ َذا ۡٱل ُغ َراب فَأ ُ َوَٰر‬ ‫أعجزت أن أك‬
ٍۖ ِ ِ
31. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya.
Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini,
lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-
orang yang menyesal. [Al Ma"idah (5):31]

Dinamakan mukjizat (melemahkan) karena manusia di hadapan mukjizat itu


menjadi lemah (tidak mampu) untuk mendatangkan yang semisalnya. Mukjizat
pasti selalu berupa hal yang menyalahi kebiasaan (luar biasa), misalnya
menghidupkan orang mati pada Nabi Isa, melumpuhkan daya bakar api dalam
15

kisah Nabi Ibrahim, atau mencabut sifat menenggelamkan pada air bagi orang-
orang yang Bersama Nabi Musa AS.

Pengertian Kemukjizatan Al-Qur’an


Allah SWT membekali Nabi Muhammad SAW dengan mukjizat yang
kekal, yakni al Qur’anu al Karim. Ini berbeda dengan mukjizat para nabi dan
rasul terdahulu yang berupa mukjizat fisik inderawi yang hilang bersama dengan
wafatnya para nabi dan rasul itu. Misalnya Nabi Isa yang dapat menghidupkan
orang mati (dengan seizin Allah), Nabi Ibrahim yang tidak terbakar api, mukjizat
Nabi Musa berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular atau tidak tenggelam
dalam air laut. Sementara mukjizat Nabi Muhammad SAW berupa mukjizat
ruhiyah yang masuk akal, sekalipun tetap ada mukjizat lain yang bersifat materi.
Mukjizat Al-Qur’an bersifat kekal di sepanjang zaman untuk ditelaah oleh orang
yang memiliki hati dan pemikiran. Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW
bersabda
“Tiada seorang Nabi pun dari nabi-nabi yang terdahulu kecuali mereka
hanya diberi mukjizat yang sesuai, agar manusia mempercayainya, tetapi
(mukjizat) yang diberikan kepadaku adalah berupa wahyu (pengetahuan) yang
disampaikan oleh Allah kepadaku. Aku mengharapkan agar aku menjadi nabi
yang paling banyak pengikutnya.” (HR Bukhari)
Secara istilah, kemukjizatan Al-Qur’an artinya “Itsbat ajzi al basyar
mutafarriqina wa mujtami’ina ‘an al ityan bi mitslihi” (menetapkan kelemahan
manusia, baik secara terpisah-pisah maupun berkelompok, untuk mendatangkan
yang semisal Al-Qur’an).
Tujuan diadakannya mukjizat, termasuk mukjizat Al-Qur’an, adalah untuk
meyakinkan manusia bahwa orang yang membawanya adalah seorang rasul, atau
apa yang dikatakannya semata-mata adalah wahyu dari Allah.
Kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada Al-Qur’an itu sendiri, yaitu pada
lafazh-lafazh dan makna-maknanya. Jadi bukan terletak kepada sesuatu di luar zat
Al-Qur’an seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ahlush Shirfah. Menurut
mereka, kemukjizatan Al-Qur’an adalah karena adanya shirfah (pemalingan).
Maksudnya, Allah memalingkan hati manusia untuk menandingi Al-Qur’an
sehingga mereka merasa malas dan tidak bersemangat untuk mendatangkan
semisal Al-Qur’an. Jadi Allah telah menciptakan kelemahan atau menghilangkan
kemampuan pada diri manusia, sehingga akhirnya tidak mampu mendatangkan
yang semisal Al-Qur’an. Kalau sekiranya Allah tidak memalingkan hati manusia,
menurut pendapat ini, niscaya manusia akan mampu mendatangkan yang semisal
Al-Qur’an.
Namun Imam Suyuthi menjelaskan kelemahan pendapat ini dengan dalil
firman Allah SWT

َ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َٰ َ ۡ ْ ُ ۡ َ َ ٰٓ َ َ ُّ ۡ َ ُ ۡ ۡ ‫قُل َّلئن‬
َ ‫ٱج َت َم‬
‫ان َل يأتون‬
ِ ‫ء‬‫ر‬‫ق‬ ‫ٱل‬ ‫ا‬‫ذ‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ث‬
ِ ِ ‫م‬
ِ ‫ب‬ ‫وا‬ ‫ت‬‫أ‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫لَع‬ ‫ن‬ ‫ٱْل‬
ِ ‫و‬ ‫نس‬‫ٱْل‬
ِ ‫ت‬
ِ ‫ع‬ ِِ
ٗ ‫ب ِم ۡثلِهِۦ َول َ ۡو ََك َن َب ۡع ُض ُه ۡم ِ َْل ۡعض َظه‬
)٨٨( ‫ريا‬ ِ ٖ ِ
16

88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". [Al Isra" (17):88]

Ayat ini menunjukkan bahwa kelemahan manusia dan jin untuk


mendatangkan semisal Al-Qur’an, tetaplah disertai adanya kemampuan mereka.
Bukan berarti kemampuan mereka dicabut Allah. Kalau sekiranya kemampuan
mereka dicabut oleh Allah, maka tidak ada gunanya mereka disebut dalam ayat
tersebut ‘berkumpul’ untuk membuat serupa Al-Qur’an. Sebab berkumpulnya
manusia dan jin bila mayat tidak mampu membuat serupa Al-Qur’an tentu suatu
perkara yang tidak perlu diperkatakan lagi.
Qadhi Abu Bakar Al Baqilani berkata, “Salah satu hal yang membatalkan
pendapat shirfah ialah, kalaulah menandingi Al-Qur’an itu suatu perkara yang
dimungkinkan tapi mereka dihalangi oleh shirfah, maka berarti kalamullah (Al-
Qur’an) itu tidak mukjizat, melainkan shirfah itulah yang mukjizat. Dengan
demikian, kalamullah itu tidak mempunyai kelebihan apa pun atas klaim yang
lain.”
Kemukjizatan Al-Qur’an terbukti setelah ada tantangan kepada orang-orang
Arab untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’an, namun mereka tidak sanggup
memenuhi tantangan itu, padahal mereka sedemikian tinggi tingkat fashahah dan
balaghah-nya. Hal ini tiada lain karena Al-Qur’an adalah mukjizat.
Tantangan ini terjadi melalui tiga tahapan. Pertama, menantang mereka
dengan seluruh Al-Qur’an secara umum, mencakup manusia dan jin, melalui
firman-Nya

َ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َٰ َ ۡ ْ ُ ۡ َ َ ٰٓ َ َ ُّ ۡ َ ُ ۡ ۡ ‫قُل َّلئن‬
َ ‫ٱج َت َم‬
‫ان َل يأتون‬
ِ ‫ء‬‫ر‬‫ق‬ ‫ٱل‬ ‫ا‬‫ذ‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ث‬
ِ ِ ‫م‬
ِ ‫ب‬ ‫وا‬ ‫ت‬‫أ‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫لَع‬ ‫ن‬ ‫ٱْل‬
ِ ‫و‬ ‫نس‬‫ٱْل‬
ِ ‫ت‬
ِ ‫ع‬ ِِ
ٗ ‫ب ِم ۡثلِهِۦ َول َ ۡو ََك َن َب ۡع ُض ُه ۡم ِ َْل ۡعض َظه‬
٨٨ ‫ريا‬ ِ ٖ ِ
88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". [Al Isra" (17):88]

Kedua, menantang mereka dengan sepuluh surat, melalui firman-Nya:

ِ ُ ۡ َ َ ۡ َ ْ ُ ۡ َ َََ ُۡ
َٰ ۡ ِ َ ُ ۡ َ ْ ُ ۡ َ ۡ ُ ُ َٰ َ َ ۡ َ ُ ُ َ ۡ َ
‫ت وٱدعوا م ِن ٱستطعتم مِن‬ٖ ‫َش سورٖ مِثلِهِۦ مفَتي‬
ِ ‫أم يقولون ٱفَتىهَۖ قل فأتوا بِع‬

١٣ ‫ِني‬ ُ ‫ٱَّلل ِ إن ُك‬


َ ‫نت ۡم َص َٰ ِدق‬ َّ
‫ون‬
ُ
ِ ِ ‫د‬
13. Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu",
Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika
kamu memang orang-orang yang benar". [Hud (11):13]
17

Ketiga, menantang mereka dengan satu surat, melalui firman-Nya

َّ ُ ِ ُۡ ََ ۡ َ ْ ُ ۡ َ ۡ ِ َ ُ ْ ُ ۡ َ ۡ ُ ُ َٰ َ َ ۡ َ ُ ُ َ ۡ َ
‫ون ٱَّللِ إِن‬
ِ ‫أم يقولون ٱفَتىهَۖ قل فأتوا بِسورة ٖ مِثلِهِۦ وٱدعوا م ِن ٱستطعتم مِن د‬

ُ ‫ُك‬
َ ‫نت ۡم َص َٰ ِدق‬
٣٨ ‫ِني‬

38. Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah:


"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan
panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu
orang yang benar". [Yunus (10):38]

ْ ُ ۡ َ ۡ ْ ُ ۡ َ َ َ َٰ َ َ َ ۡ َّ َ َّ ِ ُۡ ُ
‫لَع ع ۡبدِنا فأتوا ب ِ ُسو َرة ٖ ِمِن ِمِثلِهِۦ وٱدعوا‬ ‫ب مِما نزْلا‬ َۡ
ٖ ‫ِإَون كنتم ِِف ري‬

٢٣ ‫ِني‬ ُ ‫ٱَّلل ِ إن ُك‬


َ ‫نت ۡم َص َٰ ِدق‬ َّ
‫ون‬
ُ ِ ُ ََٓ َ ُ
ِ ِ ‫شهداءكم مِن د‬
23. Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. [Al Baqarah (2):23]

Tantangan ini ternyata tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang Arab.


Ketidakmampuan untuk membuat padanan Al-Qur’an padahal mereka memiliki
daya untuk itu, merupakan bukti nyata akan kemukjizatan Al-Qur’an.

Segi-segi Kemukjizatan Al-Qur’an


Sebagian ulama menganggap bahwa di antara segi-segi kemukjizatan Al-
Qur’an, adalah penginformasian (ikhbar) Al-Qur’an terhadap kisah-kisah umat
terdahulu, penginformasian tentang sebagian apa yang akan terjadi di massa
datang, dan adanya sebagian hukum-hukum alam dalam Al-Qur’an yang belum
diketahui manusia pada saat turunnya Al-Qur’an. Yang terakhir ini sering disebut
dengan mukjizat ilmiah.
Segi-segi ini sebenarnya tidak dapat disebut segi-segi kemukjizatan Al-
Qur’an, karena dua alasan berikut: Pertama, yang dinamakan mukjizat adalah
menetapkan ketidakmampuan atau kelemahan manusia untuk mendatangkan
perkara yang semisal dengan perkara yang digunakan untuk menunjukkan
kelemahan itu sampai Hari Kiamat. Adapun apa yang dianggap segi-segi mukjizat
Al-Qur’an tersebut, yaitu mampu menceritakan masa lalu dan meramalkan masa
depan, serta mampu mengungkap sebagian hukum alam, ternyata juga mampu
dilakukan oleh manusia. Berarti terdapatnya segi-segi ini di dalam Al-Qur’an
bukan merupakan kemukjizatan Al-Qur’an, sebab ternyata manusia masih mampu
mendatangkan yang semisalnya.
Kedua, sesungguhnya ayat-ayat yang mengandung kisah-kisah umat
terdahulu, penginformasian masa depan, dan sebagian hukum alam, hanya
sebagian ayat dalam Al-Qur’an. Bila ayat-ayat semacam ini menurut pendapat itu
disebut mukjizat, maka konsenkuensi logisnya ayat-ayat atau surat-surat yang
18

tidak mengandung aspek-aspek tersebut, berarti tidak bersifat mukjizat. Padahal


Al-Qur’an keseluruhannya adalah mukjizat. Allah pun telah menantang orang-
orang Arab untuk mendatangkan satu surat semisalnya, seperti surat Al-Ikhlas,
Al-Falaq dan An-Nas, yang semuanya tidak mengandung apa yang mereka
anggap sebagai segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an.
Dengan demikian, perkara-perkara tersebut bukanlah segi-segi kemukjizatan
Al-Qur’an, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai dalil-dalil akan luasnya ilmu
Allah yang mencakup segala sesuatu. Bukan segi kemukjizatan Al-Qur’an.
Adapun kemukjizatan yang hakiki dari Al-Qur’an, yang terletak pada uslub
yang digunakan Al-Qur’an untuk mengungkapkan makna-makna. Orang-orang
Arab yang fashih telah menjangkau kemukjizatan ini, seperti yang diungkapkan
oleh Al Walid bin Mughirah seperti dikutip dari Sirah Ibnu Hisyam
“Sungguh kami telah mengenal seluruh syair … yang ringkas maupun yang
panjang, namun dia (Al-Qur’an) bukanlah syair … Sungguh kami telah
menyaksikan tukang-tukang sihir dengan sihir mereka, namun dia (Al-Qur’an)
bukanlah hembusan-hembusan dan buhul-buhul tali yang mereka gunakan untuk
menyihir … Demi Allah, ucapannya sungguh manis, akarnya benar-benar subur
dan cabangnya benar-benar berbuah”.
Abu Sulaiman Muhammad Al Khaththabi dalam kitabnya Bayan I’jaz al
Qur’an menjelaskan
“Al-Qur’an itu menjadi mukjizat tiada lain karena dia membawa lafazh-
lafazh yang paling fasih, yang terletak dalam susunan yang terbaik, sehingga
lafazh-lafazh ini mengandung makna-makna paling terang tentang tauhid kepada
Allah dan pensuciannya terhadap sifat-sifat-Nya. Al-Qur’an mengajak (manusia)
untuk mentaati-Nya, menjelaskan manhaj ibadah kepada-Nya dalam penghalalan
dan pengharaman, dalam yang haram dan yang mubah, dan dalam pemberian
peringatan dan pelurusan penyimpangan. Al-Qur’an juga memerintahkan yang
makruf dan melarang yang mungkar, menunjukkan akhlak yang mulia dan
mencegah akhlak yang hina. Semua ini terletak dalam tempatnya masing-masing
yang tidak bisa dipandang bahwa yang satu lebih utama daripada lainnya. Al-
Qur’an mengandung berbagai berita generasi terdahulu, juga bermacam-macam
azab Allah bagi mereka yang maksiat dan menentang-Nya. Al-Qur’an
menghimpun antara hujjah dan apa yang dibangun di atas hujjah itu (al muhtaj
lahu), menghimpun antara dalil dan apa yang dibangun di atas dalil itu (al
madlul alaihi). … Dan sudah diketahui bahwa mendatangkan hal-hal tersebut –
dengan uslub seperti ini -serta menghimpun semua seginya hingga teratur dan
tersusun rapi, adalah hal yang tidak mampu dilakukan manusia …”
Jadi segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an tiada lain terdapat pada uslub-nya.
Yaitu cara pengungkapan makna-makna dengan ungkapan-ungkapan bahasa.
Unsur-unsur uslub tersebut, menurut Abdullah (1990), adalah
Pertama, lafaz dan susunan kalimat (tarkib). Al-Qur’an telah datang dengan
uslub yang sangat unik dengan ucapan (kalam) yang baligh, serta susunan yang
mantap. Al-Qur’an tidak mengikuti bentuk syair yang mengikuti wazan-wazan
tertentu, tidak mengikuti bentuk natsar yang bersajak atau yang mursal (tak
bersajak)
19

Al-Qur’an mempunyai bentuknya sendiri yang unik, yang belum pernah


diketahui orang Arab sebelumnya. Bentuk unik ini tidak mampu ditandingi oleh
orang-orang Arab yang paling fasih. Memang ada yang telah mencobanya namun
mereka tidak mampu mendatangkan semisal Al-Qur’an.
Karena ketidakmampuan mereka itu, maka mereka lalu mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah perkataan seorang penyair, tukang sihir, atau tukang tenun
(kahin). Al-Qur’an membantahnya

َ َّ َ َ ٗ َ َ َ َ َ ُۡ ٗ َ َ َ ُ
٤٢ ‫ َوَل بِق ۡو ِل َكه ٖ ٍِۚن قل ِيَل َّما تذك ُرون‬٤١ ‫َو َما ه َو بِق ۡو ِل شاع ِٖرٍۚ قل ِيَل َّما تؤم ُِنون‬

41. dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman
kepadanya. 42. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran daripadanya. [Al Haqqah (69):41-42]

Kedua, nagham dalam Al-Qur’an. Nagham (jama’ dari naghmah) adalah


keindahan suara dalam bacaan (husnu al shaut fi al qira’ah). Urutan huruf dan
kata dalam Al-Qur’an nampak istimewa dengan nagham yang khusus yang tidak
terdapat dalam ucapan (kalam) manusia, baik dalam syair maupun natsr (prosa).
Jika Anda mendengarkan firman Allah SWT
َ ۡ ُّ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َّ َ َّ ُ ۡ َ َ ۡ َّ ُ ۡ ُ ۡ ُ ٓ َ َ
‫ وٱلصبحِ إِذا‬١٧ ‫ وٱِل ِل إِذا عسعس‬١٦ ‫ ٱْلوارِ ٱلكن ِس‬١٥ ‫سم بِٱْلن ِس‬
ِ ‫فَل أق‬

َّ َ
١٨ ‫ت َنف َس‬

15. Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, 16. yang beredar dan terbenam, 17.
demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, 18. dan demi subuh apabila fajarnya
mulai menyingsing, [At-Takwir (81):15-18]
maka anda akan merasakan huruf “s” (sin) yang berulang-ulang, yaitu pada kata bi
al khunnas (dengan bintang-bintang), al kunnas (yang tenggelam), ‘as’as
(meninggalkan gelapnya), dan kata tanaffas (menyingsing). Ini sangat sesuai
dengan makna yang hendak diungkapkan, yaitu keheningan malam dan
menyingsingnya fajar.
Lafazh-lafazh yang digunakan sangat terpilih untuk mengekspresikan
makna yang sesuai. Makna yang lembut diungkapkan dengan lafazh yang lembut,
sedangkan makna yang tegas atau keras diungkapkan dengan lafazh-lafazh yang
tegas dan lugas. Perhatikan lafazh-lafazh lembut untuk menunjukkan makna-
makna lembut ini
ٗ َ ۡ َ َّ َ ُ َ ٗ ۡ َ ً َ َ َ ُ َ َ َ َٗۡ َ َ َۡ َُۡ
َٰ
١٨ ‫ عينا فِيها تسِم سلسبِيَل‬١٧ ‫ويسقون فِيها كأسا َكن مِزاجها زجنبِيَل‬

17. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah
jahe. 18. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil. [Al Insan or Ad
Dahar (76):17-18]
20

Berulangnya huruf “s” (sin) atau “z” (zay) jelas mengesankan sesuatu yang
lembut, yaitu lafazh “yusqauna” (mereka diberi minum), “ka’san” (segelas),
“mizajuha” (campurannya), “zanjabila” (jahe), “tusamma” (dinamakan),
“salsabila” (salsabil). Semua lafazh ini sangat sesuai untuk mengungkapkan
makna-makna lembut, yaitu kenikmatan penghuni surga.
Adapun untuk makna-makna yang tegas dan keras, digunakan pula lafazh-
lafazh yang tegas seperti firman Allah

َ ۡ َ ٓ َ َ َٰ َّ َٰ ِ ٗ َ ۡ َ َ َّ َ َّ
٢٣ ‫ ْلِثِني فِيها أحقابا‬٢٢ ‫ني َمٔٔ َٗابا‬
ٗ َ ‫ِلطغ‬
ِ َّ ‫ ل‬٢١ ‫إِن ج َهن َم َكنت م ِۡرصادا‬
21. Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, 22. lagi menjadi
tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, 23. mereka tinggal di dalamnya berabad-
abad lamanya, [An Naba" (78):21-23]
Penggunaan huruf “d” (dal) dan “b” (ba) menunjukkan kesan ketegasan.
Perhatikan lafazh “mirshada” (tempat pengintai), “ma’aba” (tempat kembali),
“ahqaba” (berabad-abad lamanya). Pemilihan lafazh-lafazh ini sangat cocok
untuk mengekspresikan makna yang lugas, yaitu siksaan penghuni neraka
Jahanam.
Ketiga, dengan lafazh dan tarkib yang unik tersebut, dan juga dengan
nagham tersebut, Al-Qur’an mencakup makna-makna yang beranekaragam dan
serba mencakup, yang mengatur segenap aspek kehidupan. Misalnya firman Allah
SWT

َ ُ َّ َ ۡ ُ َّ َ َ َٰ َ ۡ َ ۡ ْ ُ ٰٓ َ ٞ َٰ َ َ َ ‫ك ۡم ِف ۡٱلق‬
ُ ََ
١٧٩ ‫ب لعلكم تتقون‬ ِ ‫ب‬ ‫ل‬ ‫ٱْل‬ ‫ِل‬
ِ ‫و‬‫أ‬ ‫ي‬ ‫ة‬‫و‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ِ
‫اص‬ ‫ص‬ ِ ِ ‫ول‬

179. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa. [Al Baqarah (2):179]
Lafazh yang ada dalam ayat di atas sangat ringkas namun maknanya luas.
Maknanya adalah jika manusia mengetahui bahwa jika dia membunuh akan
dibunuh (qishash), maka itu akan mencegahnya melakukan pembunuhan,
Sehingga dengan adanya qishash, manusia akan terhindar dari saling bunuh-
membunuh sesamanya. Dan dengan tidak adanya pembunuhan, berarti aka nada
kehidupan bagi manusia.
ََ ََ ََ ِ َۡ ََۡ َۡ َ َ ۡ َ َ ُ ُِ َ َٓۡ َ ََۡ
Contoh lainnya misalnya firman Allah
ۡ َ َ ٰٓ ‫َل أ ِم م‬
ٰٓ ِ ‫وأوحينا إ‬
‫اِف وَل‬
ِ ‫َّت‬ ‫َل‬ ‫و‬ ‫م‬
ِ ‫ٱِل‬ ‫ِف‬
ِ ِ ‫ه‬‫ي‬ ‫ق‬
ِ ‫ل‬ ‫أ‬ ‫ف‬ ِ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ت‬
ِ ‫ِف‬
‫خ‬ ‫ا‬ ‫ذ‬ ‫إ‬‫ف‬
ِ ٍِۖ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ع‬
ِ ‫ۡرض‬
ِ ‫وَس أن أ‬

َ ‫وه إ َ ِۡلك َو َجاعِلُوهُ م َِن ٱل ۡ ُم ۡر َسل‬ ُّ ٓ َّ ٓ َ ۡ َ


٧ ‫ِني‬ ِ ِ ُ ‫نٍۖ إِنا َراد‬ ِ ‫َتز‬
7. Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah
(pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan
menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. [Al Qasas (28):7]
Imam Suyuthi, dalam kitab al Itqan fi Ulum Al Qur’an (II/55), mengutip
perkataan Ibnu Al ‘Arabi : “Ini termasuk ayat Al-Qur’an yang paling fasih, sebab
21

di dalamnya ada dua perintah, dua larangan, dua pemberitahuan, dan dua berita
gembira.”
Berkumpulnya banyak makna yang beranekaragam dalam lafazh dan tarkib
yang tersusun sangat baik, adalah penampakan dari kemukjizatan Al-Qur’anul
Karim. Ringkasnya, Al-Qur’an adalah mukjizat Muhammad SAW yang kekal.
Mukjizat ini adalah bukti bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar kalamullah, dan
bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang Rasulullah (utusan Allah)
(Kurnia, Jati, & Yusanto, 2002).

C. DAFTAR PUSTAKA
Artikel dikutip secara lengkap dari : Kurnia, M. R., Jati, M. S., & Yusanto, M. I.
(2002). Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur'an dan Al-Hadits. Jakarta:
Khairul Bayan.

D. TAHAPAN PEMBELAJARAN
1. Berdoa
2. Dosen memberi materi perkuliahan mengenai Al-Quran Kalamullah
dan Kemukjizatan Al-Quran (08.00-9.20)
3. Tutor memberikan kuis menguji tingkat pemahaman mahasiswa terkait
Materi Pembelajaran (10.00-10.30). Setiap Mahasiswa diharapkan telah
membaca Materi Pembelajaran semalam/sehari sebelumnya.
4. Tutor memberikan penjelasan mengenai jawaban kuis (10.30-11.00)
5. Setiap Mahasiswa diminta membaca/menghapal Al-Quran dengan
dikoreksi oleh Tutor (11-12.00).
6. Lanjutan Tadarrus Al-Qur’an (13.00-14.00)
7. Tutor menjelaskan Tugas Modul I dan tips menyelesaikannya (14.00-
14.15)
8. Mahasiswa mengerjakan Tugas Modul I (14.15-15.30)
9. Mahasiswa mengumpulkan Tugas Modul paling lambat pukul 17.00
melalui google Class-room

E. TUGAS MODUL
Membuat esai dan Naskah Ceramah
1. Buatlah esai dan naskah ceramah dengan tema “Tadabbur Surat Al-
Qur’an” dalam 500 kata.
2. Tugas menjelaskan Kemukjizatan dan Makna surat-surat Al-Quran.
3. Sub-tema : Tutor memilih surat-surat pendek dalam Al-Quran dan
membagikan perkelompok
4. Tugas esai dikerjakan secara berkelompok sebanyak maksimal 3 orang
5. Tugas esai ditulis tangan.
6. Pustaka minimal dua kitab tafsir. Perpustakaan pusat UIN menyediakan
tafsir Al-Misbah, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
7. Tugas esai discan dan dikumpulkan pada pukul 17.00 melalui google
class room
8. Penilaian tugas berdasarkan kemampuan mengembangkan ide menjadi
tulisan yang menarik, tidak plagiasi dan kerjasama kelompok
9. Tugas naskah ceramah dikerjakan secara mandiri/per individu
22

10. Setiap mahasiswa menyusun naskah ceramah/khutbah akan berdasarkan


tema pada Tugas Modul I. Naskah akan dibacakan pada Modul II. Durasi
ceramah diperkirakan tujuh menit, termasuk doa dan salam. Tugas
dikerjakan mandiri.
23

MODUL II. NUZUL AL QUR’AN DAN ASBABUN NUZUL


A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pemahaman terkait makna/tafsir ayat Al-Qur’an harus didukung
dengan pengetahuan sejarah turunnya ayat tersebut. Penguasaan terhadap
tafsiran ayat wajib didukung dengan penguasaan Asbabun Nuzul. Selain
itu, terdapat berbagai hikmah yang dapat diperoleh dari sejarah turun-
Nya Al-Quran yang membantu dalam memahami keimanan kepada Al-
Quran sebagai salah satu wahyu Allah SWT.

2. Ruang Lingkup
a. Nuzul Al-Qur’an : Pengertian Nuzulul Qur’an, ayat pertama dan
terakhir turun, Bagaimana Al-Qur’an diturunkan, Hikmah
diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur.
b. Asbabun Nuzul : Definisi Asbabun Nuzul, Cara mengetahui
Asbabun Nuzul, Urgensi Asbabun Nuzul, Manfaat Ilmu Asbabun
Nuzul, Pengertian Diambil Berdasarkan Umumnya Lafazh

3. Sasaran Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu memahami Nuzul Al-Qur’an, khususnya proses
turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Mahasiswa mampu mengetahui fungsi dan urgensi Asbabun Nuzul
c. Mahasiswa mampu menyampaikan informasi keagungan Al-Quran
lewat ceramah

B. MATERI PEMBELAJARAN

NUZUL AL-QUR’AN
Allah SWT memuliakan umat Muhammad, yang dengan perantaraannya,
menurunkan Al-Qur’an sebagai penutup dari kitab-kitab samawi, menjadi
undang-undang kehidupan, pemecah persoalan, dan pengobat penyakit
masyarakat. Al-Qur’an juga merupakan tanda keagungan umat Muhammad
sebagai umat pilihan untuk bisa mengemban risalah samawiyah yang paling
mulia. Dengan turunnya Al-Qur’an, sempurnalah ikatan risalah samawiyah,
terpancarlah sinar cahaya ke seluruh penjuru dunia yang menandai sampainya
petunjuk Allah SWT kepada mahluk-Nya.
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT diturunkan ke dalam lubuk hati Nabi
SAW melalui malaikat Jibril. Allah SWT berfirman,

َ ُ َ َ ْ َ َٰ َ َ
َ ‫ون م َِن ال ْ ُمنذِر‬ َْ ُ
ِ‫) بِل َِسان َع َرب‬١٩٤( ‫ين‬ ‫ك‬ ِ‫َل‬ ‫ك‬ ‫ب‬ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫لَع‬ ١٩٣ ُ
‫ِني‬
‫م‬ ‫اْل‬ ‫وح‬ ُّ ِ‫نَ َز َل به‬
‫الر‬
ِ ِ ِ ) ( ِ

)١٩٥( ‫ُّمبِني‬
24

193. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), 194. ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, 195. dengan
bahasa Arab yang jelas. [Ash Shu'ara" (26):193-195]

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih


23 tahun. 19/30 bagian Al-Qur’an turun di Makkah (sebelum hijrah) selama 13
tahun. Sisanya diturunkan di Madinah (setelah hijrah) selama 10 tahun. Al-Qur’an
pertama kali turun pada malam Qadar (Lailatul Qadar) yaitu 17 Ramadhan, saat
Nabi berusia 40 tahun. Dan terakhir kalinya, al-Qur’an turun sembilan malam
sebelum wafatnya Nabi SAW pada 3 Rabi’ul Awal 11 H.

Pengertian Nuzul (Turun) Al-Qur’an


Kata nuzul (turun) dalam Bahasa Arab berarti hulul (berhenti/diam). Jika
dikatakan dalam Bahasa Arab, “nazala fulanun bi al-madinah” (Fulan telah turun
di kota), maka maksudnya adalah “halla fulanun bi al-madinah” (Fulan
tinggal/mampir di kota). Kata nuzul secara bahasa juga berarti “habatha min
‘uluwwin ilaa asfalin” (jatuh atau bergerak dari atas ke bawah), misalnya dalam
ungkapan “nazala fulanun minal jabal” (Fulan turun dari gunung).
Abu Syuhbah (1998) dalam kitab Al Madkhal Ila Dirasah, Al Qur’an,
menyatakan bahwa kedua makna bahasa dari kata nuzul tersebut dalam makna
hakikinya tidak pantas dinisbatkan pada Al-Qur’an, sebab pengertiannya
mengisyaratkan sesuatu yang bersifat jasmani, di mana di dalam prosesnya ada
tempat atau perpindahan. Padahal penurunan Al-Qur’an adalah suatu perkara gaib
yang tidak dapat diindera manusia. Maka dari itu, kata nuzul wajib dipahami
bukan menurut makna hakikinya, melainkan menurut makna majazinya (makna
metaforisnya).
Abu Syuhbah mengatakan bahwa makna majazi dari kata nuzul pada Al-
Qur’an adalah “al-i’lam bi tsubut al-alfazh wa al-huruf”, yaitu “pemberitahuan
melalui cara penetapan lafazh-lafazh dan huruf-huruf”. Dengan demikian
ungkapan “Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW (melalui
malaikat Jibril AS), dengan cara menetapkan lafazh-lafazh dan huruf-huruf ke
dalam hati Muhammad SAW.

Yang Pertama dan Terakhir Turun


Ayat yang pertama kali turun adalah surat Al ‘Alaq ayat 1 sampai 5

ْ َْ َ ْ ْ ََ َ َ ْ ََ َ َ َِ ْ َْْ
َ َ‫ك َّاَّلِي َخل‬
‫) اق َرأ َو َر ُّبك اْلك َر ُم‬٢( ‫نسان م ِْن علق‬‫اْل‬
ِ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫خ‬ )١( ‫ق‬ ِ ‫اقرأ بِاس ِم رب‬
َ ْ َ َ َ ْ َ َّ َ َ َ ْ َ َّ َ َّ
)٥( ‫نسان َما ل ْم َيعل ْم‬‫اْل‬
ِ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ) ٤( ‫م‬
ِ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫ال‬ِ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ِي‬
‫اَّل‬ )٣(

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, 2. Dia telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, 4.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. [Al 'Alaq (96):1-5]
25

Dalilnya adalah hadist dari Aisyah RA yang mengatakan :


“Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah SAW adalah mimpi
yang benar pada waktu tidur. Dia melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan
terangnya pagi hari. Kemudian dia suka menyendiri. Dia pergi ke gua Hira untuk
beribadah beberapa malam. Untuk itu ia membawa bekal. Kemudian dia pulang
kepada Khadijah RA, maka Khadijah pun membekalinya seperti bekal terdahulu.
Di gua Hira dia dikejutkan oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat datang
kepadanya dan mengatakan, ‘Bacalah!’ rasulullah menceritakan, maka aku pun
menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Malaikat itu kemudian memelukku
sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan dan dia berkata lagi,
‘Bacalah!’ Maka aku pun menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Lalu dia
merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi
dan dia berkata, ‘Bacalah!’ Maka aku pun menjawab ‘Aku tidak bisa membaca.’
Lalu dia merangkulku yang ketiga kali sampai aku kepayahan, kemudian dia
berkata, ‘Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan …
sampai dengan … Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (HR Bukhari)
Mengenai ayat yang pertama kali turun ini, ada beberapa ulama yang
berpendapat -antara lain sahabat Jabir bin Abdillah RA- bahwa yang dimaksud
adalah ayat
ََ ُ ِ ْ َ
)٢( ‫) ق ْم فأنذ ِْر‬١( ‫يَاأ ُّي َها ال ُم َّدث ُِر‬

1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. bangunlah, lalu berilah peringatan! [Al
Muddaththir (74):1-2]

Pendapat ini didasarkan pada hadist Shahihain dari Jabir bin Abdillah RA,
bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira. Maka ketika habis masa diamku,
aku turun lalu aku telusuri lembah. Aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan
ke kiri. Lalu aku melihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat
menakutkan. Khadijah lalu memerintahkan mereka untuk menyelimuti aku.
Mereka pun menyelimuti aku, lalu Allah menurunkan, ‘Hai orang yang
berselimut, bangunlah dan berilah peringatan’ (HR Bukhari dan Muslim).
Menanggapi pendapat ini, Imam Suyuthi mengatakan bahwa memang benar
bahwa surat Al Mudatstsir adalah surat yang pertama kali turun, dalam pengertian
surat pertama yang turun secara lengkap, bukan ayat yang pertama kali turun.
Surah Al-Mudatstsir telah turun secara lengkap, sebelum lengkapnya surat Al-
‘Alaq.
Jadi, ayat yang pertama kali turun secara mutlak tetap surat Al-‘Alaq ayat 1-
5, bukan surat Al-Mudatstsir. Hal ini juga ditunjukkan oleh Hadist Shahihain dari
Jabir bin Abdullah RA juga, bahwa Nabi SAW bersabda
“Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku angkat
kepalaku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku di gua Hira itu
duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Lalu aku pulang dan aku katakan,
26

‘Selimuti aku.’ Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan, ‘Hai orang
yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan’ (HR Bukhari dan Muslim).
Perkataan Nabi SAW, “tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku
di gua Hira itu duduk di atas kursi antara langit dan bumi” menunjukkan bahwa
malaikat yang mendatanginya itu sudah pernah dilihat sebelumnya di gua Hira.
Jadi, hadist Jabir ini datang kemudian setelah hadist Aisyah yang mengatakan
bahwa yang turun pertama kali adalah ayat Iqra’ dalam surat Al-Alaq ayat 1-5.
Sedangkan ayat yang terakhir turun adalah surah Al-Baqarah ayat 281

َ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ َّ ْ َ ُّ ُ َٰ َّ َ ُ َّ ُ َّ َ َ ُ ُ َّ
‫ت َوه ْم َل ُيظل ُمون‬ ‫َّف ُك نفس ما كسب‬ ‫َواتقوا يَ ْو ًما ت ْر َج ُعون فِيهِ إَِل اَّللَِۖ ثم تو‬

)٢٨١(

281. Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna
terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). [Al
Baqarah (2):281]

Dalilnya adalah hadist yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas
RA, bahwa dia berkata, “Sesuatu (ayat) yang terakhir kali turun dari Al-Qur’an
adalah : Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada
waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (HR An Nasa’i)
Ada yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir kali turun adalah ayat riba.
Ini didasarkan pada hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas RA, yang mengatakan
bahwa, “Ayat yang terakhir kali diturunkan adalah ayat mengenai riba.” Yang
dimaksud adalah firman Allah SWT

َ ْ ُّ ُ ُ َ ِ َ َ َ َ ُ َ َ َ َّ ُ َّ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
)٢٧٨( ‫الربا إِن كنتم مؤ ِمن ِني‬
ِ ‫ياأيها اَّلِين آمنوا اتقوا اَّلل وذروا ما ب ِِق مِن‬
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. [Al Baqarah (2):278]

Kedua pendapat di atas dapat dipadukan (di-jama’). Sebab kedua ayat yang
dikatakan terakhir kali turun tersebut (Al-Baqarah 278 dan 281) diturunkan
sekaligus sesuai tertib urutannya dalam mushaf, dan masih tergolong ke dalam
satu topik pembahasan, yaitu masalah riba. Setiap perawi meriwayatkan bahwa
sebagian dari yang diturunkan adalah yang terakhir kali diturunkan. Dan itu
memang benar. Dengan demikian, kedua pendapat mengenai ayat terakhir yang
diturunkan tersebut tidaklah saling bertentangan.
Ada lagi pendapat populer yang mengatakan, bahwa ayat terakhir yang
diturunkan adalah
27

ُ َ ُ
ُ‫كم‬ َ َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ ...
‫ضيت ل‬
ِ ‫اِلوم أكملت لكم دِينكم وأتممت عليكم ن ِعم ِِت ور‬

ً ‫ْاْل ْس ََل َم د‬
... ْۚ ‫ِينا‬ ِ
3. … Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. ... [Al Ma"idah (5):3]

Pendapat ini tidaklah benar. Menurut Muhammad Ali Ash Shabuni (1985)
ayat tersebut turun pada saat Haji Wada’, ketika Rasulullah ada di Arafah (Hari
Arafah). Padahal, setelah haji Wada’ itu Rasulullah masih hidup selama 81 hari.
Dan pada 9 malam sebelum Rasulullah wafat, turunlah surat Al-Baqarah ayat 281.
Jadi jelas ayat 3 dari surat Al-Maidah bukanlah ayat yang terakhir turun.

Bagaimana Al-Qur’an Diturunkan?


Menurut Manna’Khalili Al Qaththan (1996) dalam Mabahits fi Ulum Al-
Qur’an, pembahasan mengenai bagaimana Al-Quran diturunkan, bertitik tolak
pada tiga ayat berikut
َ ْ ُ ْ َ َٰ َ ُ ْ َ ِ َ ‫اس َو َب ِي‬ ُ ْ ُْ
َّ ‫آن ُه ًدى ِل‬ َ ُ َّ َ َ َ َ ُ ْ َ
‫ان‬
ٍۚ ِ ‫ق‬‫ر‬ ‫ف‬ ‫ل‬ ‫ا‬‫و‬ ‫ى‬ ‫د‬‫ه‬ ‫ال‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ات‬‫ن‬ ِ ِ ‫ِلن‬ ‫ر‬‫ق‬ ‫ال‬ ِ ‫ه‬‫ِي‬ ‫ف‬ ‫ل‬‫نز‬
ِ ‫شهر رمضان اَّلِي أ‬
ُ َ َ ً َ َ َ َ َ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ َّ
َٰ َ َ ‫يضا أ ْو‬
ٌَۗ ‫لَع َس َفر َفعِ َّدةر ِم ِْن أيَّام أ َخر‬ ُ َ َ
‫ف َمن ش ِه َد مِنك ُم الشه َر فليصمهَۖ ومن َكن م ِر‬

َٰ َ َ ‫اَّلل‬
‫لَع َما‬ َ َّ ‫ّبوا‬
ُِ‫ك‬
ِ
َ ُ َ َ َّ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ْ ُ ُ
‫َل‬
ِ ‫و‬ ‫ة‬ ‫د‬‫ع‬ِ ‫ال‬ ‫وا‬ ‫ل‬ ‫م‬
ِ ‫ك‬‫َل‬
ِ ‫و‬ ‫ّس‬ ‫ع‬‫ال‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ب‬
ِ ِ
ُ ‫ّس َو ََل يُر‬
‫يد‬ َ ْ ُ‫ك ُم الْي‬
ُ ُ َّ ُ ُ
ِ ‫ي ِريد اَّلل ب‬
َ ُ ْ َ ُ َّ َ ُ َ
)١٨٥( ‫ه َداك ْم َول َعلك ْم تشك ُرون‬

185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-
hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. [Al Baqarah (2):185]

ْ َْ َ َ ْ َ َ َّ
)١( ِ‫نزْلَاهُ ِِف ِلْلةِ القدر‬ ‫إِنا أ‬

1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. [Al Qadr
(97):1]
28

َ ُ َّ ُ َّ َ َ َ ُّ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َّ
)٣( ‫إِنا أنزْلاه ِِف ِللة مباركةٍۚ إِنا كنا منذِرِين‬

3. sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan


sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [Ad Dukhan (44):3]

Ketiga ayat di atas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi (QS
Ad-Dukhan:3) adalah malam Lailatul Qadar (QS Al-Qadr:1), dalam bulan
Ramadhan (QS Al-Baqarah:185). Hanya saja zhahir ayat-ayat tersebut seolah-olah
bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah, dimana Al-
Qur’an diturunkan selama 23 tahun, tidak hanya pada bulan Ramadhan,
melainkan juga di bulan-bulan yang lain. Juga tidak hanya diturunkan malam hari,
melainkan ada yang siang hari, sore hari dan seterusnya. Mengenai masalah ini,
terdapat dua pendapat utama di kalangan para ulama, yakni
Pendapat pertama. Yaitu pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah ulama serta
yang dijadikan pegangan oleh umumnya ulama. Menurut pendapat pertama ini,
Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap : pertama, dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul
Izzah di langit dunia secara sekaligus pada malam Lailatul Qadar. Kedua, dari
langit dunia ke bumi secara bertahap dalam masa 23 tahun.
Penurunan pertama tersebut terjadi pada malam yang diberkahi, yaitu
malam Lailatul Qadar, di mana diturunkan Al-Qur’an secara sekaligus ke Baitul
Izzah di langit pertama. Alasan yang demikian adalah hadist-hadist shahih dari
Ibnu Abbas, yakni:
1. Dari Ibnu Abbas RA, bahwa ia berkata, “Al-Qur’an ini dipisahkan dari Adz
Dzikr lalu diturunkan ke Baitul Izzah di langit pertama kemudian
disampaikan oleh Jibril kepada Nabi SAW.” (HR Hakim)
2. Dari Ibnu Abbas RA, bahwa ia berkata, “Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke
langit pertama (tempat turun secara berangsur-angsur). Dari sinilah Allah
menurunkan kepada Rasul-Nya sedikit demi sedikit” (HR Ath Thabrani).
3. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa ia berkata, “Al-Qur’an itu
diturunkan pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan ke langit pertama
secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur” (HR Al
Hakim dan Al Baihaqi)

Ketika riwayat tersebut dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Al Itqan
fi ‘Ulumi al-Qur’an dan beliau menjelaskan bahwa ketiganya adalah shahih.
Dikemukakan juga oleh Imam As Suyuthi riwayat dari Ibnu Abbas, di mana
ini ditanya oleh Athiyah bin Al Aswad, yang berkata, “Dalam hatiku terdapat
keraguan tentang firman Allah:
َ ْ ُ ْ َ َٰ َ ُ ْ َ ِ َ ‫اس َو َب ِي‬ ُ ْ ُْ
َّ ‫آن ُه ًدى ِل‬ َ ُ َّ َ َ َ َ ُ ْ َ
‫ان‬
ٍۚ ِ ‫ق‬‫ر‬ ‫ف‬ ‫ال‬‫و‬ ‫ى‬ ‫د‬ ‫ه‬ ‫ال‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ات‬‫ن‬ ِ ِ ‫ِلن‬ ‫ر‬‫ق‬ ‫ال‬ ِ ‫ه‬‫ِي‬ ‫ف‬ ‫ل‬‫نز‬
ِ ‫شهر رمضان اَّلِي أ‬

)١٨٥( ...
29

185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). [Al Baqarah (2):185]
Sebab ada yang diturunkan pada bulan Syawal, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah,
Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal dan Rabi’ul Akhir. Maka Ibnu Abbas
menjawab bahwa Al-Qur’an itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam
Lailatul Qadar secara sekaligus, yang kemudian diturunkan kepada Nabi secara
berangsur-angsur di sepanjang bulan dan hari.”

Pendapat kedua. Yang diriwayatkan dari Asy Sya’bi (w. 109 H), seorang
tabiin besar. Beliau berpendapat bahwa yang dimaksud dengan turunnya Al-
Qur’an dalam ketida ayat di atas (QS Al-Baqarah:185, Al_Qadr:1, Ad-Dukhan:3),
adalah permulaan turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah, bukan turunnya Al-
Qur’an sekaligus seperti pendapat pertama. Jadi permulaan turunnya Al-Qur’an
itu dimulai pada Lailatul Qadar di bulan Ramadhan, yang merupakan malam yang
diberkahi. Kemudian turunnya itu berlanjut sesudah itu secara berangsur-angsur
sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun. Dengan demikian, Al-Qur’an
turun hanya satu tahap saja, bukan dua tahap seperti pendapat pertama. Satu tahap
itu adalah Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur kepada Rasulullah, sebab
memang demikianlah yang dinyatakan Al-Qur’an
ً َ ُ َ ْ َّ َ َ ْ ُ َٰ َ َ َّ ََ ََُ ْ َ ُ َْ َ َ ً ْ ُ َ
)١٠٦( ‫زنيَل‬
ِ ‫اس لَع مكث ونزْلاه ت‬ ِ ‫وقرآنا فرقناه َِلقرأه لَع اْل‬

106. Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
[Al Isra" (17):106]

Dari dua pendapat di atas, manakah yang lebih kuat? Muhammad Ali Al
Hasan (1983) memandang bahwa pendapat kedualah yang lebih rajih (kuat),
dengan alasan-alasan berikut :
1. Bahwa turunnya Al-Qur’an dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit
dunia -secara sekaligus- adalah masalah gaib yang tidak boleh didasarkan
pada akal semata. Dengan kata lain, harus ada dalil syar’i yang menerangkan
hal tersebut. Dan ternyata tidak ada dalil syar’i tentang hal itu. Hadist-hadist
Ibnu Abbas yang menerangkan perihal turunnya Al-Qur’an dari Baitul Izzah
ke langit dunia, sebenarnya tidak dianggap sebagai hadist marfu’
(disandarkan kepada Nabi SAW)
2. Nama Al-Qur’an dapat digunakan untuk sebagian Al-Qur’an ataupun seluruh
Al-Qur’an. Satu ayat adalah Al-Qur’an, beberapa ayat adalah Al-Qur’an, dan
seluruh surat adalah juga Al-Qur’an. Maka dari itu, tidak benar beristidlal
bahwa Al-Qur’an seluruhnya telah turun pada bulan Ramadhan. Yang lebih
tepat, yang diturunkan pada bulan Ramadhan adalah permulaan Al-Qur’an,
bukan seluruh Al-Qur’an.
3. Pembedaan bahwa lafazh inzal untuk turun sekaligus, dan tanzil untuk turun
berangsur-angsur tidaklah berdasar pada satu dalil. Pengertian bahasa pun
tidak mendukung pembedaan tersebut.
30

Muhammad Ali Al Hasan (1983) memperkuat pandangannya ini dengan


mengemukakan hadist Aisyah yang menjelaskan ayat yang pertama kali turun,
yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Dengan demikian beliau hendak mengisyaratkan
bahwa untuk memahami makna ketiga ayat yang menjadi titik tolah pembahasan
bagaimana Al-Qur’an, seperti firman Allah
َ ْ ُ ْ َ َٰ َ ُ ْ َ ِ َ ِ َ َ َّ ِ ً ُ ُ ْ ُْ َ ُ َّ َ َ َ َ ُ ْ َ
‫ان‬
ٍۚ ِ ‫اس وبيِنات مِن الهدى والفرق‬ ِ ‫نزل فِيهِ القرآن هدى ل ِلن‬
ِ ‫شهر رمضان اَّلِي أ‬

)١٨٥(...

185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). [Al Baqarah (2):185]
yang dimaksud dengan ‘di dalamnya diturunkan Al-Qur’an’ (unzila fihi Al
Qur’an) adalah ‘didalamnya diturunkan permulaan Al-Qur’an, (bad’u Al-Qur’an),
bukan seluruh Al-Qur’an, sesuai hadist Aisyah RA di atas.

Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur


Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur itu mengandung hikmah yang
nyata, yakni : (1) meneguhkan hati Nabi SAW dalam menghadapi celaan dari
orang-orang musyrik, (2) menetapkan tantangan dan mukjizat kepada orang-orang
musyrik, (3) mempermudah hafalan dan pemahaman bagi Nabi dan para Sahabat,
(4) kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pentahapan dalam penetapan
hukum, (5) bukti yang pasti bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah.

ASBABUN NUZUL
Ditinjau dari ada tidaknya sebab turunnya (asbabun nuzul), ayat-ayat Al-
Qur’an terbagi dua : ada yang mempunyai dan ada yang tidak mempunyai
asbabun nuzul. Al Ja’bari (w.732 H), salah satu ulama perintis ilmu asbabun
nuzul, mengatakan, “turunnya Al-Qur’an terbagi menjadi dua, ada bagian yang
turun untuk pertama kali (tanpa asbabun nuzul), dan ada bagian yang turun setelah
peristiwa atau pertanyaan.
Jadi, tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai asbabun nuzul. Bahkan ayat
yang tidak mempunyai asbabun nuzul ternyata lebih banyak jumlahnya daripada
yang mempunyai asbabun nuzul. Misalnya ayat-ayat yang mengisahkan hal ihwal
umat terdahulu beserta para nabinya, atau yang menerangkan peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa lalu, atau yang menceritakan hal-hal gaib, atau yang
menggambarkan keadaan Hari Kiamat beserta keadaan surga dan neraka. Tapi,
meski sedikit, ada juga ayat-ayat tentang kisah yang diturunkan berkenaan dengan
sebab tertentu. Misalnya turunnya surat Yusuf seluruhnya karena adanya
keinginan sungguh-sungguh dari pada sahabat agar Nabi SAW berkenan
menceritakan kisah yang mengandung pelajaran dan peringatan. Demikian pula
turunnya kisah Dzulqarnain dalam surat Al-Kahfi ayat 83-101 karena ada
pertanyaan orang-orang Yahudi perihal Dzulqarnain kepada Nabi.
31

Asbabun nuzul mempunyai peran penting dalam memahami suatu ayat.


Karenanya, para ulama sangat memperhatikan ilmu asbabun nuzul ini, bahkan ada
yang menyusunnya secara khusus dalam sebuah kitab. Ali bin Al Madini, syaikh
(guru) Imam Bukhari, misalnya, menulis sebuah kitab tentang asbabun nuzul.
Selanjutnya, Al Wahidi (w. 427 H) menulis kitab yang berjudul Asbabun Nuzul.
Ibnu Hajar Al Asqalani menulis kita tentang asbabun nuzul juga dengan judul
Asbabun Nuzul. Al Ja’bari (w. 732 H) meringkas kitab Al Wahidi ini dengan
menghilangkan sanad-sanadnya. Imam Suyuthi (w. 852 H) juga menulis sebuah
kitab tentang asbabun nuzul yang berjudul Lubabun Nuqul fi Asbab An Nuzul.

Definisi Asbabun Nuzul


Masjfuk Zuhdi (1985) dalam buku Pengantar Ulumul Qur’an menjelaskan
asbabun nuzul adalah
“Maa nuzilat al ayah aw al aayat bisababihi,mutadhamminatan lahu aw
mujibatan lahu ‘anhu aw mubayyinatan lihukmihi zamana wuqu’ihi”
(Asbabun nuzul adalah suatu hal yang karenanya satu atau beberapa ayat
turun, yang mana ayat ini mengandung sebab tersebut, atau memberi jawaban
terhadapnya, atau menerangkan hukumnya pada saat terjadinya sebab itu)
Al Qaththan (1996) dalam Mabahits fi Ulum Al Qur’an, menyebut definisi
asbabun nuzul secara lebih ringkas sebagai
“Maa nuzila al qur’an bisababihi mubayyinan lahu zamana wuqu’ihi,
haditsatan kana aw su’alam”
(Asbabun nuzul adalah suatu hal yang karenanya Al-Qur’an, untuk
menerangkan status (hukum)nya, pada saat terjadinya sebab itu, baik berupa
peristiwa maupun pertanyaan)
Secara garis besar, asbabun nuzul terbagi menjadi dua, yakni berupa
peristiwa (haditsah atau waqi’ah) dan berupa pertanyaan (su’al). Kadang-kadang
ayat yang turun merupakan jawaban atau penjelasan terhadap suatu peristiwa atau
kejadian tertentu. Peristiwa atau kejadian yang karenanya turun satu atau beberapa
ayat sebagai jawaban dan penjelasan, itulah yang disebut dengan asbabun nuzul.
Kadang-kadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi SAW,
dengan maksud meminta ketegasan tentang suatu hukum atau penjelasan secara
terperinci tentang urusan agama. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,
Allah SWT menurunkan beberapa ayat. Peristiwa semacam ini juga termasuk
asbabun nuzul.
Contoh asbabun nuzul yang berupa peristiwa. Terdapat hadist yang
diriwayatkan Bukhari dari Khabbab bin Al Arat RA, ia berkata “Saya adalah
tukang besi. Saya mengutangkan kepada Ash Ibnu Wail. Suatu ketika saya datang
kepadanya untuk menagih piutangku”. Ia menjawab, “Saya tidak akan membayar
hutangku kepadamu sebelum engkau mengkufurkan Muhammad dan beralih
menyembah Al Lata dan Al ‘Uzza”. Saya menjawab, “Aku tidak akan
mengkufurkannya sehingga engkau dimatikan Allah dan dibangkitkan kembali”.
Jawab Ash Ibnu Wail, “Jadi, kelak aku akan mati dan dibangkitkan kembali?
Kalau begitu, tunggulah aku pada hari itu, nanti aku akan memberikan harta dan
anak untuk membayar hutang kepadamu”. Karena peristiwa ini Allah SWT
menurunkan ayat
32

َ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ ً َّ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ ْ َ َ َ َ
‫ب أ ِم اَّتذ‬ ‫) أطلع الغي‬٧٧( ‫ني َماَل َو َو ًِلا‬ ‫ت اَّلِي كفر بِآيات ِنا وقال ْلوت‬ ‫أفرأي‬

ُ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ ُ َ َ ُ ُ َ َ ُ ُ ْ َ َ َّ َ ً ْ َ َ ْ َّ َ
‫) َون ِرث ُه‬٧٩( ‫اب َم ًّدا‬
ِ ‫) ّلَك ْۚ سنكتب ما يقول ونمد َل مِن الع‬٧٨( ‫عِند الرحم َٰ ِن عهدا‬
‫ذ‬

ًَْ َ ََْ ُ َُ َ
)٨٠( ‫ما يقول ويأت ِينا فردا‬

77. Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia
mengatakan: "Pasti aku akan diberi harta dan anak". 78. Adakah ia melihat yang ghaib atau ia
telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah?, 79. sekali-kali tidak, Kami akan
menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya, 80. dan
Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu, dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri.
[Maryam (19):77-80]

Contoh asbabun nuzul yang berupa pertanyaan adalah hadist yang


diriwayatkan oleh Mu’adz ibn Jabal RA bahwasanya ia berkata, “Wahai
Rasulullah, orang-orang Yahudi telah mengerumuni kami dan mereka
mengajukan pertanyaan kepada kami tentang bulan, kenapa bulan itu pada
permulaannya nampak kecil, lalu bertambah besar sehingga bentuknya menjadi
rata dan bulat lalu berkurang lagi sehingga bentuknya kembali menjadi semula?”
Setelah adanya pertanyaan itu kepada Nabi, turunlah ayat

ُ ْ َ َ ُّ ْ َ ْ َ َ ِ َ ْ َ َّ ‫ِيت ل‬ َ
َ ِ ‫ك َعن ْاْله َِّلةٍِۖ ُق ْل‬
ُ ‫ِه َم َواق‬ َ َ َُ َْ
‫اس واِل ِجٌۗ وليس ال ِّب بِأن تأتوا‬ ِ ‫ِلن‬ ِ ‫۞يسألون‬

ْ‫كم‬ُ َّ َ َ َ َّ ُ َّ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ ْ ُ ْ َ َٰ َ َّ َ َّ ْ َّ َٰ َ َ َ ُ ُ َ ْ
‫كن ال ِّب م ِن اتِق وأتوا اْليوت مِن أبوابِها ْۚ واتقوا اَّلل لعل‬ ِ ‫اْلُ ُيوت مِن ظهورِها ول‬

َ ُْ
)١٨٩( ‫تفل ُِحون‬

189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-
rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung. [Al Baqarah (2):189]

Tidak termasuk dalam pengertian asbabun nuzul, bahwa turunnya surat Al-
Fiil berkenaan dengan kisah datangnya orang-orang Habasyah, atau bahwa
turunnya surat An-Nisa:125 adalah sehubungan dengan Ibrahim AS dijadikan
kesayangan Allah SWT. Sebab, asbabun nuzul adalah peristiwa pada masa Nabi
atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi. Peristiwa atau kejadian yang
menyertai turunnya surat Al-Fiil maupun ayat 125 dari surah An-Nisa tersebut
lebih tepatnya digolongkan berita pada masa lalu atau konteks tertentu dari suatu
ayat.
33

Cara mengetahui Asbabun Nuzul


Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa asbabun nuzul tidak bisa
diketahui semata-mata dengan akal (rasio). Asbabun nuzul hanya bisa diketahui
melalui riwayat yang shahih dan didengar langsung dari orang-orang yang
mengerahui turunnya Al-Qur’an, atau dari orang-orang yang memahami asbabun
nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in,
atau lainnya dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari pada ulama yang
sholeh dan dapat dipercaya. Al Wahidi dengan tegas menyatakan: “Tidak halal
berpendapat mengenai asbabun nuzul Al-Qur’an kecuali dengan berdasarkan
pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan
turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya
serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”
Jadi cara untuk mengetahui asbabun nuzul adalah melalui riwayat yang
shohih, bukan melalui ijtihad.

Urgensi Asbabun Nuzul


Para ulama menekankan pentingnya asbabun nuzul untuk memahami makna
ayat secara shohih, sebab sebagian ayat Al-Qur’an tidak dapat dipahami
maknanya dengan benar kecuali dengan memahami asbabun nuzulnya. Al-Wahidi
(w. 427 H) mengatakan “Tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat (dengan
benar) kecuali dengan mengetahui kisahnya dan penjelasan asbabun nuzulnya”.
Ibnu Taimiyah (w. 726 H) berkata, “Mengetahui asbabun nuzul akan membantu
memahami suatu ayat, sebab ilmu tentang sebab akan menghasilkan ilmu tentang
akibat (pemahaman ayat)”. Ibnu Daqiqil ‘Id (w.702 H) menyatakan, “mengetahui
asbabun nuzul adalah jalan yang kuat untuk memahami makna-makna Al-
Qur’an”.
Beberapa contoh ayat yang sangat sulit untuk dipahami maknanya tanpa
mengetahui sebab turunnya ayat tersebut adalah

ٞ َ ‫َ َّ ۡ َ ۡ ُ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ َ ُ َ ُّ ْ َ َ َّ َ ۡ ُ َّ َّ َّ َ َ َٰ ر‬
١١٥ ‫ب فأينما تولوا فثم وجه ٱَّللِْۚ إِن ٱَّلل وسِع عل ِيم‬ ْۚ ‫َشق وٱلمغ ِر‬
ِ ‫و َِّلل ِ ٱلم‬
115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. [Al
Baqarah (2):115]

Dari dhahir ayat tersebut secara sekilas dapat dipahami seolah-olah boleh
melakukan shalat menghadap ke arah selain kiblat karena ke mana pun kita
menghadap akan berjumpa dengan “wajah” Allah. Pemahaman seperti ini jelas
keliru besar. Salah satu syarat sahnya shalat tetap harus menghadap kiblat.
Dengan ilmu asbabun nuzul dapat dipahami dengan jelas bahwa ayat itu turun
berkaitan dengan seseorang yang tengah berada di dalam perjalanan (safar)
sehingga ia tidak dapat menentukan arah dengan jelas. Oleh sebab itu, orang yang
dalam perjalanan boleh melakukan “ijtihad” guna menentukan arah kiblat.
34

Bila seandainya setelah shalat ternyata arah yang dituju salah, berdasarkan
ayat di atas, ia tidak perlu shalat lagi. Jadi, ayat di atas hanya khusus untuk orang
yang tidak mengetahui arah kiblat. Ia tidak berlaku secara umum.
Contoh lain yang menunjukkan urgensi asbabun nuzul adalah pemahaman
terhadap ayat
ْ َ َّ َ َ ْ ٓ ُ َ َ ٞ
‫ت ُج َناح فِيما ط ِعموا إِذا ما ٱتقوا‬
ِ َٰ‫ٱلصل ِح‬ ِ َ ‫لَع َّٱَّل‬
َ َٰ َّ ْ ‫ِين َء َام ُنوا ْ َو َعملُوا‬ ََ َ َۡ
‫ليس‬

َ ‫سن‬
‫ِني‬ ِ ‫ِب ٱل ُمح‬ ُ َّ ‫ت ُث َّم َّٱت َقوا ْ َّو َء َام ُنوا ْ ُث َّم َّٱت َقوا ْ َّوأ َ ۡح َس ُن ْۚوا ْ َو‬
ۡ ۡ ُّ ‫ٱَّلل َُي‬ َ َٰ َّ ْ ‫َّو َء َام ُنوا ْ َو َعملُوا‬
ِ َٰ‫ٱلصل ِح‬ ِ
93. Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh
karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta
beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan
beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. [Al Ma"idah (5):93]
Ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan masalah khamr (minuman
keras). Dari zhahir (yang tersurat) susunan ayat di atas dapat dipahami seolah-olah
terdapat kebolehan meminum khamr. Sekali lagi, pemahaman seperti ini juga
sangat keliru. Berkenaan dengan khamr, diriwayatkan setelah larangan khamr
pada ayat

ٞ ‫اب َو ۡٱْلَ ۡز َل َٰ ُم ر ۡج‬ َ َ‫ّس َو ۡٱْل‬ َ ۡ ‫ِين َء َام ُن ٓوا ْ إ َّن َما‬ َ
َ
‫س ِم ِۡن ع َم ِل‬ ُ ‫نص‬ ُ ِ ‫ٱْل ۡم ُر َوٱل ۡ َم ۡي‬ َ ‫يَٰٓأ ُّي َها َّٱَّل‬
ِ ِ
َ ۡ ُ ُ َّ َ ُ ُ َ ۡ َ َٰ َ ۡ َّ
٩٠ ‫وه ل َعلك ۡم تفل ُِحون‬ ‫ٱلشيط ِن فٱجتنِب‬

90. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [Al Ma"idah (5):90]
Beberapa sahabat Rasulullah bertanya, “Bagaimanakah halnya dengan orang-
orang yang berperang di jalan Allah dan telah gugur sedang mereka biasa
meminum khamr padahal khamr tersebut adalah sesuatu yang kotor?”
Maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa peminum khamr sebelum
diharamkan sesuai surat Al-Maidah ayat 90 di atas, Allah telah memaafkannya.
Mereka tidak dihitung bersalah dan berdosa. Allah tidak akan memberikan
hukuman atas perbuatan seorang hamba sebelum Islam atau sebelum turunnya
pengharaman.
Berdasarkan contoh-contoh ini, jelaslah memahami asbabun nuzul adalah
suatu hal yang penting.

Manfaat Ilmu Asbabun Nuzul


Ada yang beranggapan bahwa ilmu asbabun nuzul tidak ada gunanya karena
hanya berkisar pada lapangan sejarah dan cerita. Menurut mereka, ilmu asbabun
nuzul tidak serta merta memudahkan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.
Anggapan seperti ini, menurut Al Qaththan (1996), tidak benar dan bahkan tidak
35

perlu didengar karena tidak berdasarkan argumen yang masyhur di kalangan para
ahli tafsir Al-Qur’an.
Manfaat dari ilmu asbabun nuzul menurut Ash Shabuni (1985) dan Al
Hasan (1983) adalah pertama, mengetahui segi illat yang melatarbelakangi
pensyariatan suatu hokum. Kedua, mengkhususkan hukum berdasarkan suatu
asbabun nuzul, menurut yang berpendapat bahwa “al ‘ibratu bi khusus as sababi”
(pengertian [ayat] diambil berdasarkan kekhususan sebab). Namun, menurut Al
Qaththan (1996) pendapat yang kuat adalah “al ‘ibratu bi ‘umumil lafzhi la bi
khususis syababi” (pengertian diambil berdasarkan keumuman lafazh, bukan
kekhususan sebab). Ketiga, menghindarkan prasangka yang mengatakan arti
hashr (pembatasan topik) dalam suatu ayat yang zhahirnya hashr. Keempat,
mengetahui nama orang yang menjadi sebab turunnya ayat, serta memberikan
ketegasan bila terdapat keragu-raguan. Kelima, memahami suatu makna dengan
benar dan menghilangkan kesulitan dalam memahami suatu ayat. Keenam, suatu
lafazh ayat kadang-kadang bersifat umum, namun terdapat dalil yang
mengkhususkannya. Dengan mengetahui asbabun nuzul, lafazh yang umum
diartikan secara khusus.
Ash Shabuni (1985) memberi beberapa contoh manfaat ilmu asbabun nuzul,
yakni:
Pertama, Marwan bin Al Hakam mengalami kesulitan dalam memahami
ayat:
َ َ ْ ُ َ ۡ َ ۡ َ َ ْ ُ َ ۡ ُ َ َ ُّ ُ َّ ْ َ َ ٓ َ َ ُ َ ۡ َ َ َّ َّ َ َ ۡ َ َ
‫حبون أن َيمدوا بِما لم يفعلوا فَل‬ ِ ‫أتوا وي‬ ‫َل َتسَب ٱَّلِين يفرحون بِما‬
َ ‫َ َُ ۡ َ َ ر‬ َ َ ۡ َ ِ َ َ َ ُ َّ َ َ ۡ َ
١٨٨ ‫م‬ٞ ‫اب أ ِِل‬‫اب ولهم عذ‬ ٍۖ ِ ‫َتسبنهم بِمفازة ٖ مِن ٱلع‬
‫ذ‬

188. Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa
yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka
kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa
yang pedih. [Al 'Imran (3):188]
Beliau memerintahkan kepada pembantunya, “Pergilah menemui Ibnu Abbas dan
katakana kepadanya, bila semua orang yang merasa bergembira dengan apa
yang telah dikerjakannya dan suka dipuji terhadap perbuatan yang belum
dikerjakannya akan disiksa, niscaya kita semua akan terkena siksa”. Ibnu Abbas
menjelaskan kepada pembantunya, “Ayat tersebut turun sehubungan dengan
persoalan Ahli Kitab (Yahudi) tatkala ditanya oleh Nabi SAW tentang sesuatu
persoalan di mana mereka tidak menjawab pertanyaan yang sebenarnya
ditanyakan, mereka lalu mengalihkan kepada persoalan yang lain serta
mengangap bahwa persoalan yang ditanyakan oleh Nabi kepadanya telah
terjawab. Setelah itu mereka meminta pujian kepada Nabi, maka turunlah ayat
tersebut di atas” (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi ayat di atas tidak bersifat umum, melainkan khusus mengenai kaum
Ahli Kitab.
Kedua, Urwah Ibnu Zubair juga mengalami kesulitan dalam memahami
makna firman Allah SWT
36

َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ ۡ َ َ ۡ ۡ َّ َ ۡ َ َ َّ ٓ َ َ ۡ َ َّ َّ
‫اح عل ۡيهِ أن َي َّط َّوف‬‫ٱلصفا َوٱل َم ۡر َوة مِن ش َعائ ِ ِر ٱَّللَِۖ فمن حج ٱْلَيت أوِ ٱعتم َر فَل جن‬ ‫۞إِن‬

١٥٨ ‫ِيم‬ َ َّ ‫ريا فَإ َّن‬


‫ٱَّلل َشاك رِر َعل ر‬ ٗۡ‫خ‬َ َ َّ َ َ َ َ َ
‫ب ِ ِهما ْۚ ومن تطوع‬
ِ
158. Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka
barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan
kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. [Al
Baqarah (2):158]
Menurut zhahir ayat dinyatakan bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah adalah
tidak wajib, bahkan sampai Urwah bin Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah
RA, “Hai bibiku, sesungguhnya Allah telah berfirman, ‘tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya,’ karena itu saya berpendapat bahwa tidak
apa-apa bagi orang yang melakukan ibadah haji atau umrah sekalipun tidak
melakukan sa’i antara keduanya”. Aisyah menjawab, “Hai keponakanku! Kata-
katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya sebagaimana yang kau katakana
niscaya Allah berfirman ‘tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara
keduanya”. Setelah itu Aisyah menjelaskan bahwasanya orang-orang Jahiliyah
dahulu melakukan sa’inya mengunjungi dua patung yang bernama Isaaf yang
berada di bukit Shafa dan Na’ilah yang berada di bukit Marwah. Tatkala orang-
orang masuk Islam, di kalangan sahabat ada yang merasa keberatan untuk
melakukan sa’i antara keduanya karena khawatir campur-baur antara ibadah Islam
dengan ibadah Jahiliyah. Maka turunlah ayat itu sebagai bantahan terhadap
keberatan mereka melakukan sa’i. Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat
Urwah berdasarkan sebab turun ayat.
Ketiga, sebagian imam mazhab mengalami kesulitan dalam memahami
makna syarat dalam firman Allah SWT
ٰٓ َّ َۡ َُ ََ ُ َ َۡ ُ ٓ ِ ۡ ۡ َ ٰٓ َّ
‫ٱرت ۡب ُت ۡم فعِ َّدت ُه َّن ثلَٰثة أش ُه ٖر َوٱل ِـي‬ ‫يض مِن ن َِسائِك ۡم إ ِ ِن‬ ِ ‫َوٱل ِـي يئِس َن م َِن ٱل َم‬
ِ ‫ح‬

ۡ‫ي َعل َّ َُلۥ مِن‬


ۡ َ َ َّ َّ َ َ َ َّ ُ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ َّ ُ ُ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ َٰ َ ْ ُ َ َ ۡ َ ۡ َ
‫لم َيِضنْۚ وأولت ٱْلۡحا ِل أجلهن أن يضعن ۡحلهنْۚ ومن يت ِق ٱَّلل‬

ٗ ۡ ُ ‫أ َ ۡمره ِۦ ي‬
٤ ‫ّسا‬ ِ
4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
[At Talaq (65):4]
Mazhab Zhahiriah berpendapat bahwa ayisah (wanita yang tidak lagi haid
karena sudah lanjut usia) tidak perlu masa iddah bila mereka tidak ragu. Namun,
menurut ulama lain pendapat tersebut tidak tepat. Kesalahpahaman mereka akan
37

nampak dengan diketahuinya asbabun nuzul, di mana ayat tersebut adalah


merupakan khithab (pembicaraan) bagi orang yang tidak mengetahui bagaimana
hukum masa iddah mereka (ayisah), serta mereka ragu-ragu apakah ada iddah
atau tidak bagi mereka. Jadi makna ‘in irtabtum” (jika Anda ragu-ragu) adalah
bila Anda bingung tentang bagaimana hukum mereka (ayisah) dan tidak tahu
bagaimana mereka menjalani masa iddah. Maka ayat tersebut turun untuk
menjawab pertanyaan itu. Ayat ini turun setelah ada sebagian sahabat yang
mengatakan bahwa di antara iddah kaum wanita ada yang tidak disebut dalam Al-
Qur’an, yaitu wanita yang masih kecil dan wanita yang tidak lagi haid karena
sudah lanjut usia. Setelah itu, turunlah ayat yang menjelaskan ketentuan hukum
tentang mereka.
Keempat, di antara contoh tentang ilmu asbabun nuzul sebagai sanggahan
terhadap dugaan hashr (pembatasan topik) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam

ٗ‫ون َم ۡي َت ًة أَ ۡو َدما‬
َ ُ َ َ ٓ َّ ٓ ُ ُ َ ۡ َ َ َ ً َّ َ ُ َّ َ َ ُ ٓ َ َ ٓ َّ ُ
Syafi’i tentang ayat
َ َٰ
‫وَح إَِل َّمرما لَع طاع ِٖم يطعمهۥ إَِل أن يك‬ ُ
ِ ‫جد ِِف ما أ‬ِ ‫قل َل أ‬

َ ۡ ‫ٱض ُط َّر َغ‬


ٖ‫ري بَاغ‬
ۡ َ َّ ۡ َ َّ ُ ً ۡ ۡ َ ‫َ َّ ُ ۡ ر‬ َ ً ُ ۡ َّ
ۡ َ ‫وحا أ ۡو‬
‫ري ٱَّلل ِ بِهِْۚۦ ف َم ِن‬
ِ ‫ِغ‬ ‫ل‬ ‫ِل‬ ‫ه‬‫أ‬ ‫ا‬‫ق‬ ‫ِس‬ ‫ف‬ ‫و‬‫أ‬ ‫س‬‫ج‬ِ ‫ر‬ ‫ۥ‬ ‫ه‬‫ن‬ ‫إ‬ ‫ف‬
ِ ٖ ِ‫ير‬ ‫ِزن‬
‫خ‬ َ ‫ِل‬
‫م‬ ‫مسف‬

َ َّ َ َّ َ َ َ َ
ٞ ‫ َّرح‬ٞ‫ك َغ ُفور‬
١٤٥ ‫ِيم‬ ‫وَل َعدٖ فإِن رب‬

145. Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al An'am (6):145]
Berkenaan hal ini, beliau mengungkapkan bahwa orang kafir ketika
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang
diharamkan Allah serta bersikap berlebihan, maka turunlah ayat tersebut sebagai
bantahan terhadap mereka. Dengan demikian seolah-olah Allah berfirman “Yang
halal hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu yang kamu anggap
halal.” Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas
melainkan sekedar menjelaskan ketentuan yang haram dan sama sekali tidak
menyinggung-nyinggung yang halal.
Imam Al Haramain berkata, “Uslub ayat tersebut sangat indah, kalau saja
Imam Syafii tidak mengatakan pendapatnya itu, niscaya kita tidak dibolehkan
menyalahi Imam Malik yang membatasi apa-apa yang diharamkan hanya pada
apa yang disebutkan dalam ayat di atas.”
Dengan demikian, sekalipun zhahir ayat menunjukkan hashr (pembatasan),
yakni yang haram adalah hanya yang disebut dalam ayat di atas, namun
persoalannya tidak demikian. Sebab, disamping yang tersebut pada ayat di atas,
masih ada lagi yang lain yang juga diharamkan. Hanya saja pengungkapannya
adalah berbentuk hashr, meskipun maknanya tidak demikian. Pengungkapan
dengan hashr dimaksudkan sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik yang
38

mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dihalalkan Allah dan yang menghalalkan


sesuatu yang sebenarnya diharamkan Allah. Berdasarkan hal ini tidak dapat
dikatakan bahwa katak, anjing dan kucing dan barang lain yang disebutkan dalam
ayat di atas adalah boleh dengan alasan yang diharamkan hanyalah bangkai,
darah, daging babi dan binatang yang disembelih bukan atas nama Allah. Hal ini
dipahami dari asbabun nuzul ayat tersebut.

Pengertian Diambil Berdasarkan Umumnya Lafazh


Seperti telah disebutkan, sebab nuzul merupakan peristiwa atau pertanyaan
yang karenanya turun ayat Al-Qur’an. Sekalipun demikian apakah berarti bahwa
hukum yang dikandungnya hanyalah khusus untuk peristiwa atau pertanyaan
tersebut saja ataukah juga berlaku umum sesuai keumuman lafazhnya?
Menjawab pertanyaan ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa pengertian
ayat didasarkan pada lafazh yang umum, bukan sebab yang khusus. Kaidahnya
adalah
“Al ‘ibratu bi ‘umum al lafzhi la bi khusus as sabab” (Pengertian diambil
berdasarkan umumnya lafazh, bukan khususnya sebab
Imam Suyuthi menjelaskan dalam kitab Al Itqan fi Ulum Al Qur’an bahwa
yang menjadi pedoman adalah keumuman lafazh. Para sahabat telah mengambil
makna ayat berdasarkan keumuman lafazhnya, bukan kekhususan sebab. Mereka
menerapkan keumuman ayat pada berbagai peristiwa padahal ayatnya turun untuk
sebab yang khusus, misalnya turunnya ayat zhihar kepada Salamah bin Shakhr
dan turunnya ayat li’an kepada Hilal bin Umayyah. Imam Suyuthi meriwayatkan
bahwa Ibnu Abbas berpegang pada keumuman lafazh ayat pencurian, padahal ia
turun pada sebab khusus. Najdah Al Hanafi berkata, Aku pernah bertanya kepada
Ibnu Abbas tentang firman Allah

َّ َ ِ ٗ َٰ َ َ َ َ َ َ َۢ َ ٓ َ َ َ ُ َ ۡ َ ْ ٓ ُ َ ۡ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
ُ َّ ‫ٱَّللٌِۗ َو‬
‫ٱَّلل َعزيزر‬
ِ ‫وٱلسارِق وٱلسارِقة فٱقطعوا أيدِيهما جزاء بِما كسبا نكَل مِن‬

ٞ ‫َحك‬
٣٨ ‫ِيم‬

38. Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al Ma"idah (5):38]
“Aku bertanya kepadanya, apakah ayat ini berlaku khusus atau umum? Ibnu
Abbas menjawab, ‘Bahkan ayat itu berlaku umum.’”
Ibnu Taimiyah berkata, “Dalam pembahasan ini (asbabun nuzul) seringkali
diungkapkan bahwa ayat ini turun dalam masalah ini -lebih-lebih lagi jika yang
disebutkan adalah orang tertentu- misalnya ayat zhihar turun mengenai istri
Tsabit bin Qais, ayat kalalah turun mengenai Jabir bin Abdillah, dan ayat
39

َ ‫ٱح َذ ۡر ُه ۡم أَن َي ۡفت ُن‬


َۢ‫وك َعن‬ ۡ ‫ٱَّلل َو ََل تَتَّب ۡع أَ ۡه َوا ٓ َء ُه ۡم َو‬
ُ َّ َ َ َ ٓ َ ُ َ ۡ َ ُ ۡ َ َ
‫وأ ِن ٱحكم بينهم بِما أنزل‬
ِ ِ
ُُ َۡ َ ُ َ ُ َّ ‫يد‬ ُ ‫ٱعلَ ۡم َأ َّن َما يُر‬
ۡ َ ْ ۡ َّ َ َ َ َ ۡ َ ُ َّ َ َ َ ٓ َ
‫َب ۡع ِض ما أنزل ٱَّلل إِِلك َۖ فإِن تولوا ف‬
ٌۗ‫ٱَّلل أن ي ِصيب ُهم بِبع ِض ذنوب ِ ِه ۡم‬ ِ
َ ُ ََ ٗ ِ ‫ِإَون َكث‬
ِ َّ‫ريا ِم َِن ٱْل‬
٤٩ ‫اس لفَٰسِقون‬
َّ

49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah),
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik. [Al Ma"idah:49]
turun untuk Bani Nadhir, dan sebagainya. Mereka yang berkata seperti itu tidak
bermaksud mengkhususkan hukum hanya bagi orang-orang tertentu, dan tidak
berlaku bagi orang lain. Mereka tidak bermaksud berpendapat demikian, sebab
tidak ada seorang muslim atau seorang berakal pun yang akan berpendapat
seperti itu.”
Dengan demikian, jelaslah bahwa bila suatu ayat turun karena sebab
tertentu, maka pengertian ayat tersebut didasarkan pada keumuman lafazhnya,
bukan kekhususan sebabnya.

C. DAFTAR PUSTAKA
Artikel dikutip secara lengkap dari : Kurnia, M. R., Jati, M. S., & Yusanto, M. I.
(2002). Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur'an dan Al-Hadits. Jakarta:
Khairul Bayan.

D. TAHAPAN PEMBELAJARAN
1. Berdoa
2. Dosen memberi materi perkuliahan mengenai Nuzulul Qur’an dan
Asbabun Nuzul (08.00-9.20)
3. Tutor memberikan kuis menguji tingkat pemahaman mahasiswa terkait
Materi Pembelajaran (10.00-10.30). Setiap Mahasiswa diharapkan telah
membaca Materi Pembelajaran semalam/sehari sebelumnya.
4. Tutor memberikan penjelasan mengenai jawaban kuis (10.30-11.00)
5. Setiap Mahasiswa diminta membaca/menghapal Al-Quran dengan
dikoreksi oleh Tutor (11-12.00).
6. Lanjutan Tadarrus Al-Qur’an (13.00-14.00)
7. Tutor menjelaskan Tugas Modul II dan tips menyelesaikannya (14.00-
14.15)
8. Mahasiswa berceramah masing-masing selama tujuh menit. Tutor dan
mahasiswa memberikan masukan terkait teknik dan materi ceramah.
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang disampaikan mahasiswa
penceramah(14.15-15.30)
40

9. Mahasiswa mengumpulkan naskah ceramah dan resume paling lambat


pukul 17.00 melalui google Class-room

E. TUGAS MODUL
Ceramah/Khutbah
1. Setiap mahasiswa telah menyusun naskah khutbah/ceramah sebagai tugas
Modul I
2. Setiap Mahasiswa berceramah selama tujuh menit termasuk doa dan
salam. Mahasiswa yang sedang tidak berceramah mencatat resume dan
memberikan masukan.
3. Tugas menjelaskan Kemukjizatan dan Makna surat-surat Al-Quran sesuai
Tugas Modul I
4. Tugas dikerjakan secara individu.
5. Penilaian berdasarkan kemampuan menguasai forum, diksi, pengusaan
materi, dan kedisiplinan.
41

MODUL III. PENGUMPULAN AL-QUR’AN DAN SURAT-


SURAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang disampaikan mulai dari masa
Rasulullah sampai dengan saat ini. Hingga saat ini otentitas/keaslian Al-
Qur’an tetap terjaga walaupun telah melewati masa selama 14 Abad.
Ayat-ayat tersebut diturunkan di sekitar Jazirah Arab, khususnya di kota
Makkah dan Madinah, dengan kekhususan dan kesesuaian kejadian pada
kota-kota tersebut. Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan dan
mengimani otentitas Al-Qur’an. Mahasiswa juga diharapkan mampu
mengkaji maksud dari surat-surat Makkiyah dan Madaniyah.

2. Ruang Lingkup
a. Pengumpulan Al-Qur’an : Pengumpulan di Masa Rasulullah SAW,
Pengumpulan di Masa Abu Bakar, Pengumpulan di Masa Utsman.
b. Makkiyah dan Madaniyah : Definisi, Manfaat Ilmu Al Makki wa Al
Madani, Teknik Mengenali Kategori Makkiyah dan Madaniyah,
Ciri-ciri Khas untuk Surat Makkiyah, Ciri Khas Aghlabi Surat
Makkiyah, Ciri Khas Surat Madaniyah

3. Sasaran Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu memahami proses pengumpulan Al-Qur’an
sehingga dapat meyakini otentitasnya.
b. Mahasiswa mampu memahami kategori Al-Qur’an berdasarkan
Makkiyah dan Madaniyah
c. Mahasiswa mampu mencari dan mengkaji secara mandiri ayat-ayat
khusus dari Kitab Tafsir

B. MATERI PEMBELAJARAN

PENGUMPULAN AL-QUR’AN
Pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) merupakan suatu tahap penting
dalam sejarah Al-Quran. Dari itu Al-Qur’an terpelihara dari pemalsuan dan
persengketaan mengenai ayat-ayatnya sebagaimana terjadi pada ahli kitab, serta
terhindar dari kepunahan. Mengenai pemeliharaan Al-Qur’an, Allah berjanji

َ ُ َ َ ُ َ َّ َ ۡ ِ َ ۡ َّ َ ُ ۡ َ َّ
٩ ‫حَٰ ِفظون‬‫إِنا َنن نزْلا ٱَّلِكر ِإَونا َلۥ ل‬

9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-


benar memeliharanya. [Al Hijr (15):9]
42

Ash Shabuni (1985) dan Al Hasan (1983) menerangkan bahwa kata


“pengumpulan” (al jam’u) untuk Al-Qur’an memiliki dua pengertian, yaitu
penghafalan (al hifzhu) dan penulisan (al kitabab).
Pengumpulan Al-Qur’an terbagi dalam dua periode; pertama periode Nabi
SAW; kedua periode Khulafaur Rasyidin, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan Khalifah Ustman bin Affan.

Pengumpulan di Masa Rasulullah SAW


Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, pengumpulan dan penyatuan Al-
Qur’an dilakukan dengan dua acara, yaitu pengumpulan dalam dada (penghafalan)
dan penulisan.
4. Pengumpulan dalam dada (penghafalan)
Pengumpulan dengan cara menghafal dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabat. Penghafalan ini sangat penting mengingat Al Qur’anul Karim turun
kepada Nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang diutus di tengah
kaum yang juga ummi. Allah SWT berfirman
ِ ِ َ ََ ْ ُ ٗ َ ُِِۡ َ َّ ُ
‫مٔن َر ُسوَل ِم ِۡن ُه ۡم َي ۡتلوا عل ۡي ِه ۡم َءايَٰتِهِۦ َو ُي َزك ِي ِه ۡم َو ُي َعل ُِم ُه ُم‬
ِِ ‫ه َو ٱَّلِي َب َعث ِِف ٱْل‬
ۡ َ َ َ ۡ
ُّ ‫ٱِل ِۡك َم َة ِإَون ََكنُوا ْ مِن َق ۡب ُل لَِف َض َلَٰل‬
٢ ‫ني‬
ٖ ِ ‫ب‬ ‫م‬ ٖ ِ ‫ٱلكِتَٰب و‬

2. Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka,
yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata, [Al Jumu'ah (62):2]

Sebagai orang yang ummi, mereka hanya mengandalkan kekuatan hafalan


dan ingatannya. Memang bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an memiliki
budaya menghafal. Kekuatan ingatan dan hafalan mereka luar biasa. Banyak di
antara mereka yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengingat di luar kepala
silsilah serta nasab mereka. Menulis, di masa itu, justru akan dianggap sebagai
bukti kelemahan hafalan. Penyair Zurrummah pernah kepergok sedang menulis,
lalu ia berkata, “Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis)
bagi kami adalah aib.”
Maka, ketika Al-Qur’an diturunkan dengan jelas dan tegas ketentuannya,
mereka pun menghafalkan ayat demi ayat dan surat demi surat. Menilai Al-Qur’an
sebagai bacaan yang sangat tinggi derajat kesusasteraannya dan kanduangan
isinya, mereka meninggalkan syair-syair kosong yang selama ini mereka hafalkan
karena merasa memperoleh ruh dari Al-Qur’an.
Nabi SAW sendiri menghiasi malam dalam shalat tahajjudnya dengan
membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan penuh penghayatan terhadap maknanya.
Dan saking lamanya berdiri, sampai kedua telapak kakinya menjadi bengkak. Ini
yang direkam Al-Qur’an
43

ِۡ‫ أ َ ۡو ز ۡد َعلَيه‬٣ ‫ِيَل‬


ً َ ُۡ ۡ ُ َ َُٓ ۡ ِ ٗ َ َّ َ ۡ َّ ُ ُ ِ َّ ُ ۡ َ ُّ َ ٰٓ َ
ِ ‫ ن ِصفهۥ أوِ ٱنقص مِنه قل‬٢ ‫ ق ِم ٱِلل إَِل قل ِيَل‬١ ‫يأيها ٱلمزمِل‬
ً َ َ ُۡ ِ
٤ ‫َو َرت ِِل ٱلق ۡر َءان ت ۡرت ِيَل‬

1. Hai orang yang berselimut (Muhammad), 2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam


hari, kecuali sedikit (daripadanya), 3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu
sedikit. 4. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. [Al
Muzzammil (73):1-4]

Rasulullah adalah orang yang paling menguasai dan paling hafal Al-Qur’an.
Ia menghimpun Al-Qur’an dalam hatinya yang mulia. Ia menjadi titik tumpuan
kaum Muslimin dalam masalah Al-Qur’an. Begitu juga para sahabat. Mereka
saling berlomba dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Segala kemampuan
mereka curahkan untuk menguasai dan menghafalkan Al-Qur’an. Mereka
mengajarkan kepada keluarganya, isteri serta kepada anak-anaknya di rumah
masing-masing, sehingga kalau ada orang yang melewati rumah mereka di waktu
malam yang gelap gulita akan terdengar alunan Al-Qur’an bagaikan gema suara
kumbang. Pada malam-malam Nabi acap berjalan melewati rumah para sahabat,
dan berhenti sejenak sambil mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Imam Bukhari
meriwayatkan sebuah hadist dari Abu Musa Al Asy’ari bahwasanya Rasul SAW
bersabda kepadanya.
“Tidakkah engkau melihat aku tadi malam ketika aku mendengar
bacaanmu? Sungguh kau telah diberi satu seruling dari seruling Nabi Daud”
(HR Bukhari).
Imam Muslim menambahkan dalam riwayat yang lain
“Aku (Abu Musa al Asy’ari) mengatakan, ‘Demi Allah wahai Rasulullah,
andaikan aku tahu bahwa engkau mendengarkan bacaanku, niscaya akan aku
tulis sebagai kenangan buatmu” (HR Muslim).
Dalam riwayat yang lain dari Rasulullah SAW, bersabda
“Saya mengetahui kelembutan alunan suara keturunan Asy’ari tentang
bacaan Al-Qur’an adalah pada malam hari, dan saya mengetahui rumah tinggal
mereka di waktu malam sewaktu mereka membaca Al-Qur’an padahal di siang
hari saya belum mengetahui di mana rumah mereka” (HR Bukhari dan Muslim).
Banyak sahabat yang dikenal sebagai orang yang hafal Al-Qur’an. Mereka
diutus Nabi ke seluruh pelosok kota dan kampung untuk mengajarkan dan
membacakan kepada penduduknya, sebagaimana kala sebelum hijrah ketika Nabi
mengutus Mush’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum ke Madinah untuk
mengajarkan Al-Qur’an dan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Makkas sesudah
hijrah untuk mengajarkan Al Qur’an.
Ubadah bin Shamit menyatakan bahwa jika seseorang berhijrah ke
Madinah, Nabi SAW segera menyerahkan kepada seseorang dari kami untuk
diajarkan Al-Qur’an kepadanya. Pada saat itu di masjid Rasulullah sering
terdengar suara keras dari orang-orang yang membaca Al-Qur’an sehingga
Rasulullah memerintahkan untuk melirihkan suara agar bacaan mereka tidak
saling mengganggu.
44

Para sahabat yang hafal Al-Qur’an pada masa Nabi SAW tak terhitung
jumlahnya. Antara lain, Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Amr bin Ash, Ibnu Zubair, Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Aisyah, Hafshah, Umma Salamah. Sahabat
penghafal Al-Qur’an ini yang mati syahid dalam Perang Yamamah saja lebih dari
70 orang. Demikian pula jumlah yang mati syahid dalam peristiwa Bi’r Ma’unah
juga sekitar 70 orang. Jadi jumlah penghafal Al-Qur’an yang mati syahid pada
dua perang itu saja sekitar 140 orang.
Berdasarkan fakta banyaknya sahabat yang hafal Al-Qur’an, maka beberapa
hadist yang membatasi jumlah penghafal dari kalangan sahabat dengan jumlah
tertentu seperti empat, lima, tujuh, atau delapan orang, misalnya hadist Anas bin
Malik dalam riwayat al-Bukhari, “Nabi telah wafat dan Al-Qur’an tidaklah
dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda’, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin
Tsabit, dan Abu Zaid”, tidaklah dapat dipahami secara zhahirnya. Kendati hadist
di atas berbentuk hashr (pembatasan) namun karena ada riwayat-riwayat lain yang
menunjukkan bahwa penghafal Al-Qur’an dari kalangan sahabat jumlahnya cukup
banyak, maka hadist seperti itu tidak dapat dipahami secara zhahir sebagai hashr.
Imam Zarqani dalam kitab Manahil Al Irfan (I/238) menukilkan pendapat Al
Mazari yang berkata, “Perkataan Anas bin Malik itu telah dipegang oleh
sekelompok orang mulhid (atheis), padahal seharusnya mereka tidak memegang
perkataan tersebut, sebab kita tidak dibenarkan memahaminya secara zhahir”.
Dalam kitab tersebut dinukilkan pula pendapat Imam Al Qurthubi yang
berkata,”Anas hanya menyebutkan empat orang itu karena dia sangat dekat
hubungannya dengan mereka”.
Jelaslah bahwa jumlah sahabat yang hafal Al-Qur’an cukup banyak dan
mencapai jumlah mutawatir, yaitu suatu jumlah dalam suatu periwayatan dalil
yang mustahil sepakat untuk berdusta.
Aspek penghafalan inilah yang menjadi ciri khas Al-Qur’an, betapa kitab
yang diturunkan Allah SWT ini bisa dengan tidak terlalu sulit dihafalkan dalam
dada. Para sahabat ketika itu dalam menukil Al-Qur’an tidak cukup hanya
berdasarkan tulisan dalam bentuk lembaran dan catatan, tapi juga pada hafalan.
Berbeda misalnya dengan Taurat atau Injil, tak ada seorang pun yang hafal dua
kitab itu. Kemudahan Al-Qur’an untuk dihafal merupakan bentuk pemeliharaan
Allah SWT atas Al-Qur’an.
ۡ َ ۡ ِ َ ُ ۡ َ ۡ َّ َ ۡ َ َ َ
١٧ ‫ّسنا ٱلق ۡر َءان ل ِلِك ِر ف َهل مِن ُّم َّدك ِٖر‬ ‫ولقد ي‬

17. Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah
orang yang mengambil pelajaran? [Al Qamar (54):17]

2. Pengumpulan dalam bentuk tulisan


Rasulullah SAW memiliki beberapa orang penulis wahyu (kuttabu al-
wahyi). Diantaranya, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal,
Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Khulafaur Rasyidin, Tsabit bin Qays, dan Khalid bin
Walid. Setiap turun ayat Al-Qur’an, Nabi memerintahkan mereka menulisnya
langsung di bawah bimbingan beliau. Mereka adalah sahabat terpilih yang dipilih
45

oleh Rasul dari kalangan sahabat yang terbaik dan indah tulisannya. Di kalangan
mereka banyak yang memiliki mushaf Al-Qur’an pribadi, seperti mushaf Ibnu
Mas’ud, Mushaf Ali, Mushaf Aisyah, dan lain-lain, yang ditulis sesuai dengan apa
yang didengar atau yang dihafal atas bimbingan Nabi SAW. Imam Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Anas RA bahwa ia berkata:
“Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh empat orang yang
kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin
Tsabit, dan Abu Zaid. Anas ditanya, ‘Siapa Abu Zaid itu?’ Ia menjawab, ‘Salah
satu pamanku” (HR Bukhari dan Muslim).
Mereka menulis Al-Qur’an pada pelepah-pelepah kurma, kepingan batu,
kulit/daun kayu, tulang binatang, dan sebagainya. Diriwayatkan dari Zaid bin
Tsabit RA bahwa ia berkata, “Kami menulis Al-Qur’an di hadapan Nabi pada
kulit binatang ternak.” Kertas pada masa itu belum ada. Yang ada baru di negeri-
negeri seperti Persia dan Romawi, itupun produksinya masih sangat terbatas.
Penulisan Al-Qur’an dilakukan sesuai tartib (urutan) ayat sebagaimana
ditunjukkan Nabi SAW sesuia perintah Allah SWT. Jadi, tertib ayat Al-Qur’an
adalah tauqifi (menurut ketentuan wahyu, bukan ijtihad). Artinya susunan ayat
dan surat dalam Al-Qur’an sebagaimana terlihat sekarang dalam mushaf-mushaf
adalah sesuai dengan perintah dan wahyu dari Allah SWT melalui Rasulullah
SAW. Malaikat Jibril AS bila membawa sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi,
ia berkata, “Hai Muhammad!, Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu
untuk menempatkannya pada urutan kesekian surat anu. Demikian pula halnya
Rasul memerintahkan kepada para sahabat, “Letakkanlah pada urutan ini,
setelah ayat yang berbunyi begini, sebelum ini.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbad
bahwa ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW jika turun kepadanya satu surat,
beliau memanggil para sebagian penulis wahyu. Beliau berkata, ‘Letakkan surat
ini di tempat yang disebut begini dan begini”.
Proses penulisan Al-Qur’an seperti itu berlangsung terus sampai Rasulullah
wafat. Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah sempurna dihafal oleh pada
sahabat dan lengkap tertulis di pelepah, kulit, kepingan batu, dan lain-lain. Jadi,
Al-Qur’an ditulis pada masa Nabi dan selesai juga pada masa Nabi SAW.

Pengumpulan di Masa Abu Bakar


Rasulullah SAW akhirnya wafat setelah tugas utama yang diemban, yakni
menyampaikan risalah Islam dan membimbing umat manusia ke jalan yang lurus,
telah tunai dilaksanakan. Sepeninggal Nabi, kepemimpinan umat dipegang oleh
Abu Bakar Ash Shiddiq. Semasa kepemimpinannya, muncul berbagai persoalan,
diantaranya menghadapi orang-orang yang keluar dari agama Islam (murtad) dan
memerangi para pengikut Musailamah Al Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi.
Terjadi pula perang, yang disebut perang Yamamah. Pada perang itu,
sebanyak 70 penghafal Al-Qur’an (huffazh) tewas. Keadaan ini sangat
mengkhawatirkan. Prihatin atas kondisi yang bila dibiarkan akan mengancam
keberlangsungan Al-Qur’an, Umar bin Kaththab segera menemui Abu Bakar yang
ketika itu sedang dalam keadaan sakit. Umar mengusulkan untuk segera
menghimpun atau mengumpulkan Al-Qur’an yang sementara ini berserakan di
sejumlah sahabat dan dihafal, karena khawatir akan lenyap seiring dengan makin
46

banyaknya huffazh yang meninggal. Pada mulanya, Abu Bakar merasa ragu.
Setelah dijelaskan oleh Umar tentang kepentingannya, akhirnya Abu Bakar
menerima usulan itu. Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan
tugas yang mulia tersebut. Ia lalu mengutus orang untuk menemui Zaid bin Tsabit
dan memintanya untuk segera mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Pada
awalnya, Zaid pun merasa ragu, tapi Allah melapangkan dadanya sebagaimana
halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Imam Bukhari
meriwayatkan
“Dari Zaid bin Tsabit RA, bahwa ia berkata, Abu Bakar mengirimkan berita
kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah setelah orang yang hafal Al-
Quran sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada disamping Abu Bakar.
Kemudian Abu Bakar mengatakan, ‘Umar telah datang kepadaku dan ia
mengatakan ‘Sesungguhnya pembunuhan pada pertempuran Yamamah telah
banyak terjadi terhadap para penghafal Al-Qur’an. Aku khawatir kalau
pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur’an terus menerus terjadi di setiap
pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur’an yang hilang. Saya
berpendapat agar Anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-
Qur’an.’ Aku (Abu Bakar) menjawab, ‘Bagaimana aku harus melakukan suatu
perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW?’ Umar RA menjawab,
‘Demi Allah itu adalah baik.’ Dan Ia berulang kali mengucapkannya sehingga
Allah melapangkan dadaku sebagaimana Dia melapangkan dada Umar. Dalam
hal itu aku sependapat dengan pendapat Umar.’ Zaid berkata, ‘Abu Bakar
mengatakan, ‘Anda adalah seorang pemuda yang cerdas, Aku tidak meragukan
kemampuan Anda. Anda adalah penulis wahyu dan Rasulullah SAW. Oleh karena
itu telitilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.’ Zaid menjawab, ‘Demi Allah
andaikata Aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung tidaklah akan berat
bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini.’ Saya
mengatakan, ‘Bagaimana Anda berdua akan melakukan perbuatan yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?’ Abu Bakar menjawab, ‘Demi Allah ini
adalah baik.’ Dan ia mengulanginya berulang kali sampai aku dilapangkan dada
oleh Allah SWT sebagaimana Dia telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kepingan batu,
pelepah kurma, dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an, sampai akhirnya
aku mendapatkan akhir surat At Taubah dari Abu Khuzaimah Al Anshari yang
tidak terdapat pada lainnya yaitu

ُ َ َ ‫ُ ۡ َ ر َ َ ۡ َ َ ُّ ۡ َ ر‬ ُ َ ِ ٞ ُ ٓ ۡ ََ
‫يص عل ۡيكم‬ ِ ‫لقد َجا َءك ۡم َر ُسول م ِۡن أنف‬
‫سكم ع ِزيز عليهِ ما عن ِتم ح ِر‬

ُ ُ ۡ َّ َ َ ۡ َ َ َ ُ َّ َ َٰ َ ٓ َ ُ َّ َ ۡ َ ۡ ُ َ ْ ۡ َّ َ َ َ ٞ َُ َ ۡ ُۡ
ٞ ‫وف َّرح‬
‫تَۖ َوه َو‬ ‫ فإِن تولوا فقل حس ِِب ٱَّلل َل إِله إَِل هوَۖ عليهِ توَّك‬١٢٨ ‫ِيم‬ ‫بِٱلمؤ ِمن ِني رء‬

١٢٩ ‫يم‬ ‫ظ‬ َ ‫َر ُّب ۡٱل َع ۡر ِش ۡٱل‬


‫ع‬
ِ ِ
47

128. Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. 129. Jika mereka berpaling (dari
keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-
Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". [At Tawbah
(9):128-129]

Dalam melakukan pengumpulan Al-Qur’an, Zaid bin Tsabit menempuh dua


cara. Pertama, terdapat dalam hafalan salah seorang sahabat. Kedua ditemukan
tertulis pada sahabat. Tapi apa yang tertulis ini tidak diterima kecuali disertai dua
orang saksi yang adil, yang bersaksi bahwa penulisannya dilakukan di hadapan
Nabi SAW. Bila salah satu dari kedua cara ini tidak dipenuhi maka lembaran
tersebut tertolak dan tidak dikumpulkan.
Kedua cara pertama dapat diketahui dari beberapa riwayat misalnya riwayat
Zaid bin Tsabit “…lalu aku meneliti Al-Qur’an dan mengumpulkan dari pelepah
kurma, lempengan batu, dan dari dada-dada para penghafal Al-Qur’an” (HR
Bukhari). Imam Abu meriwayatkan dalam Sunan-nya, “…Umar datang lalu
berkata, ‘Barangsiapa menerima sesuatu ayat dari Rasulullah, hendaklah dia
membawanya!’ Pada saat itu orang-orang menulis wahyu di atas lembaran-
lembaran dan pelepah-pelepah kurma. Dan Zaid tidak menerima sesuatu pun (dari
itu semua) hingga disaksikan oleh dua orang saksi” (Hadist riwayat Abu Dawud).
Perlu dipahami bahwa pengumpulan yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit
bukanlah penulisan (kitabah) kembali Al-Qur’an, melainkan pengumpulan
tulisan-tulisan Al-Qur’an dari para sahabat. Pengumpulan Al-Qur’an yang
dilakukan oleh Zaid bukanlah penulisan Al-Qur’an dari para penghafal Al-Qur’an,
melainkan pengumpulan lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis oleh para
penulis wahyu dihadapan Nabi SAW. Menurut Muhammad Husain Abdullah
(1990) lembaran-lembaran itu kemudian diikat oleh Zaid dengan benang dan oleh
Abu Bakar diberi nama “mushaf”.
Setelah Zaid selesai menjalankan tugasnya, lembaran-lembaran yang
terkumpul tersebut disimpan oleh Abu Bakar sampai ia wafat. Kemudian
disimpan pada Umar sampai beliau wafat dan kemudian disimpan di rumah
Hafsah binti Umar. Jelaslah bahwa pada masa Abu Bakar telah terjadi
pengumpulan Al-Qur’an -yang telah selesai ditulis sejak masa Rasulullah SAW-
menjadi sebuah kesatuan.

Pengumpulan di Masa Utsman


Latar belakang pengumpulan Al-Quran di masa Utsman RA berbeda dengan
pengumpulan pada masa Abu Bakar. Pada masa kepemimpinan Utsman, daerah
kekuasaan Islam telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai
daerah. Dan di masing-masing daerah berkembang bacaan (qiraah) sesuai dengan
bacaan dari sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca Al-Qur’an
mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah
bin Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abdullah bin Mas’ud, dan
sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa Al Asy’ari. Akibatnya, muncul di
antara mereka perbedaan tentang bunyi huruf dan bacaan. Tidak jarang masalah
48

ini menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Bahkan akibat perbedaan qiraah


dalam membaca Al-Qur’an itu, satu sama lain saling mengkufurkan.
Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata
“Pada masa pemerintahan Utsman seorang pengajar (hafizh Al-Qur’an)
mengajarkan bacaan (qiraah) seseorang kepada anak didiknya, pengajar yang
lain juga mengajarkan bacaan seseorang kepada anak didiknya. Dua kelompok
murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut
sampai kepada pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita
tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan mengatakan, ‘Kalian
yang ada dihadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat
tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya.’”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata
“Hudzaifah mendatangi Utsman. Hudzaifah sebelumnya telah memerangi
penduduk Syam dalam rangka penaklukan Armenia dan Azerbaijan bersama
penduduk Irak. Hudzaifah merasa terkejut menjumpai perbedaan mereka dalam
bacaan (qiraah) Al-Qur’an. Maka berkatalah Hudzaifah kepada Utsman, ‘Wahai
Amirul Mukminin, selamatkan umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-
Qur’an seperti perselisihan Yahudi dan Nashara …” (HR Bukhari)
Karena latar belakang tersebut Utsman dengan ketepatan pandangan
berpendapat untuk melakukan tindakan preventif. Ia mengumpulkan sahabat-
sahabat yang terkemuka dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah dalam
menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan. Mereka semua sependapat
agar Amirul Mukminin menyalin dan memperbanyak mushaf kemudian
mengirimkannya ke segenap daerh dan kota dan selanjutnya menginstruksikan
agar orang-orang membakar mushaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan
yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Utsman menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan yang hafalannya
dapat diandalkan, yakni Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al ‘Ash
dan Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam. Mereka semua berasal dari suku
Quraisy kecuali Zaid Ibnu Tsabit. Utsman mengatakan kepada mereka, “Bila
Anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan maka tulislah
berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
Quraisy.” Utsman lalu meminta kepada Hafshah binti Umar agar ia sudi
meminjamkan mushaf yang ada padanya sebagai hasil pengumpulan pada masa
Abu Bakar, untuk disalin dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan
lagi. Hafshah mengabulkannya.
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman ini bentuk aktivitasnya adalah
penyalinan yang berasal dari mushaf Abu Bakar -yang ayat-ayat sudah tersusun,
berasal dan tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma,
dan kulit-kulit binatang- ke dalam satu mushaf. Jumlah salinan yang dibuat ada
tujuh buah, yang kemudian dikirimkan ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain,
Bashrah, dan Kufah. Satu buah salinan disimpan di Madinah.
Setelah itu Utsman memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang
selainnya yang ada di kalangan sahabat. Mushaf Hafshah itu sendiri setelah
dipinjam untuk disalin dan diperbanyak, lalu dikembalikan kepadanya, hingga
49

Marwan bin Al Hakam ketika menjadi Wali Madinah membakar mushaf itu
setelah wafatnya Hafshah.

Perbedaan Pengumpulan Masa Abu Bakar dengan Utsman


Pengumpulan pada masa Abu Bakar dilatarbelakangi oleh banyaknya
huffazh yang gugur. Sedangkan pengumpulan pada masa Utsman dipicu oleh
adanya perbedaan dalam hal bacaan (qiraah) Al-Qur’an. Pengumpulan yang
dilakukan pada masa Abu Bakar dilaksanakan dengan cara mengumpulkan
berbagai tulisan dan lembaran Al-Qur’an yang ditulis oleh para penulis wahyu di
hadapan Nabi SAW pada satu tempat. Sedang yang pengumpulan pada masa
Utsman dilakukan dengan cara menyalin kembali apa yang telah terkumpul pada
masa Abu Bakar menjadi beberapa Salinan, lalu dikirimkan ke seluruh wilayah
pemerintahan Islam. Jadi, jelas sekali bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada sekarang
sama dengan yang ada pada masa Utsman, sama dengan mushaf yang ada pada
masa Abu Bakar, dan sama dengan Al-Qur’an yang ditulis dan dihafalkan pada
zaman Rasulullah SAW yang diwahyukan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril
AS kepada Rasulullah Muhammad SAW.

MAKKIYAH DAN MADANIYAH

Definisi
Ilmu al Makki wa al Madani didefinisikan sebagai ilmu yang membahas
klasifikasi surat-surat dan ayat-ayat yang diturunkan di Makkah dan Madinah.
Dikalangan ulama, terdapat beberapa pendapat tentang kriteria yang dipakai untuk
menentukan kategori surat atau ayat Makkiyah dan Madaniyah
Sebagian ulama menetapkan lokasi turunnya kalamullah (di Makkah dan
Madinah) sebagai dasar kategorisasi tersebut, sehingga mereka membuat definisi
tersendiri tentang Makkiyah dan Madaniyah. Makkiyah ialah surat atau ayat yang
diturunkan di Makkah, sekalipun sesudah Hijrah, sedangkan Madaniyah ialah
surat atau ayat yang diturunkan di Madinah.
Definisi ini ada kelemahannya karena hanya mencakup semua ayat dan
surat yang turun di daerah Makkah (termasuk Mina, Arafah dan sebagainya), dan
di daerah Madinah (termasuk Badar dan Uhud). Tapi, definisi ini tidak bisa
mencakup ayat Al-Qur’an yang turun di luar Makkah dan Madinah, seperti
misalnya surat At Taubah ayat 43 yang turun di Tabuk, dan surat Al Zuhruf ayat
45 yang turun di Baitul Maqdis pada malam Nabi melakukan Isra’.
Ada pula ulama yang menyatakan orang atau golongan yang menjadi
sasaran wahyu, sebagai kriteria penentuan kategori Makkiyah dan Madaniyah.
Mereka merumuskan definisi sebagai berikut: Makkiyah ialah surat atau ayat yang
khitabnya (seruannya) jatuh kepada penduduk Makkah, sedang Madaniyah ialah
surat atau ayat yang khitabnya (seruannya) jatuh kepada penduduk Madinah.
Dengan definisi ini, maka surat atau ayat yang dimulai dengan Ya ayyuhan
nas adalah Makkiyah, karena penduduk Makkah pada waktu itu umumnya masih
kafir, sekalipun seruan itu ditujukan pula pada selian penduduk Makkah. Sedang
ayat atau surat yang dimulai dengan Ya ayyuhalladzina amanu adalah Madaniyah
karena penduduk Madinah pada waktu itu umumnya sudah beriman, meskipun
seruan itu juga ditujukan kepada selain penduduk Madinah.
50

Definisi ini mengandung kelemahan, yakni


1. Tidak selalu ayat atau surat dimulai dengan seruan Ya ayyuhan nas atau Ya
ayyuhalladzina amanu. Misalnya surat Al Ahzab ayat 1.
2. Tidak selalu ayat atau surat yang dimulai dengan seruan Ya ayyuhan nas
adalah Makkiyah. Demikian pula tidak selalu ayat atau surat yang dimulai
dengan seruan Ya ayyuhalladzina amanu adalah Madaniyah. Misalnya surat
An-Nisa’ adalah Madaniyah, padahal permulaannya dengan Ya ayyuhan nas
(perhatikan surat An-Nisa’ ayat 1). Demikian pula surat Al-Baqarah adalah
Madaniyah, sekalipun di dalamnya pada ayat 21 terdapat seruan dengan Ya
ayyuhan nas. Sebaliknya surat Al Hajj adalah Makkiyah, meskipun pada
bagian akhir surat ini (ayat 77) dengan seruan Ya ayyuhalladzina amanu.
Adalagi ulama yang menetapkan bahwa masa turunnya ayat atau surat
adalah merupakan dasar penentuan Makkiyah atau Madaniyah-nya. Mereka
membuat definisi tentang Makkiyah dan Madaniyah sebagai berikut : Makkiyah
ialah surat atau ayat yang diturunkan sebelum Nabi Hijrah ke Madinah, sekalipun
turunnya di luar Makkah, sedang Madaniyah ialah surat atau ayat yang diturunkan
sesudah Nabi Hijrah, meskipun turunnya di Makkah.
Definisi terlahir inilah yang termasyhur (popular), karena mengandung
pembagian Makkiyah dan Madaniyah secara tepat. Menurut definisi ini, maka
surat Al-Maidah ayat 3:

ُ َ ُ َ َ َ ُ ۡ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ ۡ ُ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ ...
ۡ ‫ك ۡم ن‬
‫يت لك ُم‬ ‫ض‬
ِ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ِت‬
ِ ‫م‬ ‫ِع‬ ‫ٱِلوم أكملت لكم دِينكم وأتممت علي‬
َ ۡ
٣ ... ْۚ ‫ٱْل ۡسل َٰ َم د ِٗينا‬
ِ
3. … Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. ... [Al Ma"idah (5):3]
adalah Madaniyah, meskipun diturunkan di Arafah pada hari Jumat pada waktu
Nabi melakukan haji Wada’. Demikian pula surat An-Nisa’ ayat 58
َ َّ َ َۡ ُ ۡ َ َ َ َ َۡ
ِ ‫أهل ِها ِإَوذا حكمتم بني ٱْل‬
َ
ٰٓ‫ت إَِل‬ َٰ ُ ُ ُ ۡ َ َ َّ َّ
َ‫ك ۡم أَن تُ َؤ ُّدوا ْ ۡٱْلَ َم َٰن‬
‫اس أن‬ ِ ‫۞إِن ٱَّلل يأمر‬

َ ‫ٱَّلل ََك َن َسم‬


ٗ ‫يعَۢا بَ ِص‬ ُ ُ َ َّ َ َّ َّ ۡ َ ۡ ْ ُ ُ ۡ َ
َ َّ ‫كم بهِۦٓ إ َّن‬
٥٨ ‫ريا‬ ِ ِ ٌۗ ِ ‫َتكموا بِٱلعد ِل ٍۚ إِن ٱَّلل ن ِ ِعما ي ِعظ‬

58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [An Nisa" (4):58]
adalah Madaniyah, sekalipun diturunkan di Makkah, persisnya di Kabbah pada
tahun pembebasan kota Makkah.
Kendati definisi Makkiyah dan Madaniyah yang terakhir ini dipandang
paling shahih, namun secara objektif harus diakui bahwa ketiga definisi di atas
mengandung tiga unsur yang sama; masa, lokasi dan sasaran ayat atau surat yang
51

diturunkan. Bahkan juga sama-sama mengandung unsur yang keempat, yakni


topik (al maudhu)
Misalnya surat Al Mumtahanah. Dilihat dari segi lokasi turunnya, dari awal
sampai akhir surat ini turun di Madinah. Dilihat dari masa turun, surat ini turun
sesudah Hijrah. Dan dari segi objek sasaran, surat ini ditujukan kepada penduduk
Madinah. Dilihat dari topiknya, surat ini mengandung topik ujian mental dan
keimanan bagi orang-orang yang beriman. Mengingat bahwa surat Al
Mumtahanah ini mengandung empat unsur di atas, maka ulama memasukkan
surat ini ke dalam kategori ma nazala bi al Madinah wa hukmuhu makki (yang
turun di Madinah sedangkan hukumnya dimasukkan ke dalam ayat yang turun di
Makkah).
Demikian pula surat Al-Hujurat ayat 13
ْ ٓ ُ َ َ َ َ ٓ َ َ َ ٗ ُ ُ ۡ ُ َ ۡ َ َ َ َ ُ َ َ َ ِ ُ َ ۡ َ َ َّ ُ َّ َ ُّ َ ٰٓ َ
‫نَث وجعلنَٰكم شعوبا وقبائِل َلِ عارف ْۚوا‬َٰ ‫يأيها ٱْلاس إِنا خلقنَٰكم مِن ذكر وأ‬
ٖ
َ ‫َّ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ َّ َ ۡ َ َٰ ُ ۡ َّ َّ َ َ ر‬
١٣ ٞ‫ِيم خبِري‬ ‫إِن أكرمكم عِند ٱَّلل ِ أتقىك ْۚم إِن ٱَّلل عل‬

13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. [Al Hujurat (49):13]
Ayat ini turun di Makkah, pada hari pembebasan kota Makkah sesudah
Hijrah. Tujuan turunnya ayat ini mengingat umat manusia agar saling mengenal,
dan bahwa manusia itu asal usulnya ada yang sama atau satu. Dan ayat ini
ditujukan kepada kedua golongan yang ada pada waktu itu, yakni penduduk
Makkah dan Madinah.
Ayat yang semacam itu dipandang sebagai bukan Makkiyah atau
Madaniyah secara mutlak, tetapi dikatakan ma nazala bi al makkah wa hukmuhu
madani (ayat yang turun di Makkah, sedang hukumnya dimasukkan ke dalam ayat
yang turun di Madinah).

Manfaat Ilmu Al Makki wa Al Madani


Manfaat Ilmu Al Makki wa Al Madani banyak sekali. Al Zarqani dalam
kitab Manahilul ‘Irfan menerangkan sebagian dari kegunaan ilmu itu, yakni
1. Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui ayat yang mana yang Mansukh dan
nasikh. Yakni apabila terdapat dua ayat atau lebih mengenai suatu masalah,
sedang hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat itu bertentangan. Bila
diketahui bahwa ayat yang satu Makkiyah, sedangkan ayat yang lainnya
Madaniyah, maka sudah tentu ayat yang Makkiyah itulah yang dinasakh oleh
ayat yang Madaniyah, karena ayat yang Madaniyah lebih akhir turunnya.
2. Dengan ilmu ini pula, kita dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan
perkembangannya secara umum. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan
keyakinan kita terhadap ketinggian Islam di dalam mendidik manusia, baik
secara perorangan maupun secara kolektif.
52

3. Ilmu ini dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap keaslian, kesucian dan
sekaligus keagungan Al-Qur’an sampai hal-hal yang sedetail-detailnya,
mengetahui ayat-ayat yang mana turun sebelum Hijrah dan sesudahnya, ayat-
ayat yang diturunkan pada waktu Nabi berada di kota tempat tinggalnya
(berdomisilinya) dan ayat yang turun pada waktu Nabi sedang dalam
bepergian atau perjalanan, ayat-ayat yang turun pada waktu malam hari dan
siang hari, ayat-ayat yang turun pada waktu musim panas dan musim dingin
dan sebagainya.
Dr. Shubhi al Shalih dalam buku Mabahits fi Ulumi al Qur’an menyatakan,
dengan ilmu Al Makki wa Al Madani kita dapat mengetahui fase-fase (marhalah)
dakwah Islamiyah yang ditempuh oleh Al-Qur’an secara berangsur-angsur dan
yang sangat bijaksana itu, dan dapat pula mengetahui keadaan lingkungan atau
situasi dan kondisi masyarakat pada waktu turunnya ayat-ayat Al-Qur’an,
khususnya masyarakat Makkah dan Madinah. Dengan ilmu ini kita dapat pula
mengetahui uslub-uslub yang berbeda-beda, karena ditujukan pada golongan yang
berbeda-beda, yakni orang mukmin, orang musyrik dan orang ahlul kitab serta
orang-orang munafik.
Ilmu Al Makki wa Al Madani merupakan cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an yang
sangat penting untuk diketahui atau dikuasai oleh seorang mufassir. Sampai-
sampai kalangan ulama al muhaqqiqun seperti Abul Qasim al Naisaburi (ahli
nahwu dan Tafsir, w 406 H) tidak membenarkan orang menafsirkan Al-Qur’an
tanpa mengetahui ilmu Al Makki wa Al Madani.

Teknik Mengenali Kategori Makkiyah dan Madaniyah


Menyangkut masalah ini, al Ja’bari berkata, “Untuk mengetahui Makkiyah
dan Madaniyah surat-surat Al-Qur’an ada du acara yaitu : sama’i (jalan riwayat)
dan qiyasi (jalan membanding-bandingkan yang satu dengan yang lainnya).
Al Ja’bari menjelaskan bahwa yang dimaksud sama’i adalah yang sampai
berita turunnya kepada kita dengan salah satu dari pada dua jalan itu. Kemudian ia
memberikan contoh-contoh dan bukti-bukti (data dan fakta) yang menunjukkan,
bahwa dalam menentukan Makkiyah dan Madaniyah satu surat, dipergunakan
ijtihad (qiyasi).
Jika contoh-contoh yang diberikan al Ja’bari dan para ulama lain yang
menguasai pemahaman Al-Qur’an, dibandingkan, dapatlah dirumuskan
(disimpulkan) suatu dhabit qiyasi (pedoman analogis). Pedoman ini dapat
digunakan untuk membedakan surat-surat Makkiyah dan surat-surat Madaniyah.
Juga dapat menentukan ciri-ciri khas masing-masing kelompok kalamullah.
Dhabit qiyasi ini, dalam prakteknya jarang sekali meleset.

Ciri-ciri Khas untuk Surat Makkiyah


Sesuai dhabit qiyasi yang telah ditetapkan, ciri-ciri khas surat Makkiyah ada
dua macam. Pertama, ciri yang bersifat qath’i dan kedua ciri yang bersifat
aghlabi.
Ada enam ciri khas yang bersifat qath’i untuk surat Makkiyah
53

1. Setiap surat yang terdapat di dalamnya ayat sajdah adalah surat Makkiyah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah ayat sajdah ada 16 ayat.
2. Setiap surat yang terdapat di dalamnya lafadz “kalla” adalah Makkiyah. Al
Ummani dalam kitab Al Mursyid fi al Waqfi ‘inda Tilawat Al Qur’an,
menerangkan bahwa paruh akhir Al-Qur’an sebagian besar turun di Makkah.
Sasarannya pada umumnya golongan-golongan keras kepala atau yang apriori
menentang ajaran Islam. Maka, lafadz “kalla” dipakai untuk memberi
peringatan yang tegas dan keras kepada mereka.
3. Setiap surat yang terdapat di dalamnya ya ayyuhan nas dan tidak ada ya
ayyuhal ladzina amanu adalah Makkiyah, kecuali surat Al Hajj. Surat Al Hajj
ini, sekalipun pada ayat 77 terdapat ya ayyuhal ladzina amanu, tetap
dikategorikan Makkiyah.
4. Setiap surat yang terdapat kisah-kisah para Nabi dan umat-umat manusia
yang terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surat Al-Baqarah.
5. Setiap surat yang terdapat di dalamnya kisah Nabi Adam dan Iblis adalah
surat Makkiyah, kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang dimulai dengan huruf tahajji (huruf abjad) adalah Makkiyah
kecuali surat Al-Baqarah dan Al-Imran. Yang dimaksud dengan huruf tahajji
misalnya alif lam ra; alif lam mim
Kategori surat Al Ra’du masih diperdebatkan, tetapi menurut pendapat yang
lebih kuat, surat ini Makkiyah dilihat dari gaya bahasa dan kandungannya.
Keenam ciri khas tersebut di atas, dengan beberapa perkecualian,
merupakan ciri-ciri qath’i (tepat) untuk surat Makkiyah

Ciri Khas Aghlabi Surat Makkiyah


Adapun beberapa ciri khas lagi untuk surat Makkiyah, tetapi hanya bersifat
aghlabi. Artinya, ciri tersebut bersifat general dalam menunjukkan Makkiyah,
yakni
1. Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek-pendek (ijaz), nada perkataannya keras
dan bersajak.
2. Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan Hari Kiamat dan
menggambarkan keadaan surga dan neraka.
3. Mengajak manusia untuk berakhlak yang mulia dan berjalan di atas jalan
yang baik atau benar.
4. Membantah orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan dari
kepercayaan dan perbuatannya.
5. Terdapat banyak lafadz sumpah.

Ciri Khas Surat Madaniyah


Ciri-ciri khas yang membedakan antara surat Madaniyah dan surat
Makkiyah ada yang bersifat qath’i dan ada yang bersifat aghlabi. Ciri qath’i surat
Madaniyah antara lain
1. Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad (berperang) atau menyebut
hal perang dan menjelaskan hukum-hukumnya adalah Madaniyah.
54

2. Setiap surat yang memuat penjelasan secara terperinci tentang hukum pidana,
faraid atau warisan, serta hukum kemasyarakatan dan kenegaraan adalah
Madaniyah.
3. Setiap surat yang menyinggung hal ihwal orang-orang munafik adalah
Madaniyah, kecuali surat Al-Ankabut yang diturunkan di Makkah. Hanya
sebelas ayat yang pertama dari surat Al-Ankabut ini adalah Madaniyah dan
ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.
4. Setiap surat yang membantah kepercayaan atau pendirian atau tatacara
keagamaan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) dan mengajak mereka agar
tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan agamanya adalah Madaniyah,
seperti surah Al-Baqarah, Al-Imran, An-Nisa’, Al-Maidah dan At-Taubah
Adapun ciri-ciri khas yang bersifat aghlabi untuk Madaniyah antara lain
adalah
1. Sebagian surat-surat panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya pun panjang-
panjang (ithnah) serta gaya bahasanya cukup jelas di dalam menerangkan
hukum-hukum agama.
2. Menerangkan secara terperinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan
hakikat-hakikat keagamaan.

C. DAFTAR PUSTAKA
Artikel dikutip secara lengkap dari : Kurnia, M. R., Jati, M. S., & Yusanto, M. I.
(2002). Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur'an dan Al-Hadits. Jakarta:
Khairul Bayan.

D. TAHAPAN PEMBELAJARAN
1. Berdoa
2. Dosen memberi materi perkuliahan mengenai Pengumpulan Al-Qur’an
dan Surat-surat Makkiyah dan Madaniyah (08.00-9.20)
3. Tutor memberikan kuis menguji tingkat pemahaman mahasiswa terkait
Materi Pembelajaran (10.00-10.30). Setiap Mahasiswa diharapkan telah
membaca Materi Pembelajaran semalam/sehari sebelumnya.
4. Tutor memberikan penjelasan mengenai jawaban kuis (10.30-11.00)
5. Setiap Mahasiswa diminta membaca/menghapal Al-Quran dengan
dikoreksi oleh Tutor (11-12.00).
6. Lanjutan Tadarrus Al-Qur’an (13.00-14.00)
7. Tutor menjelaskan Tugas Modul III dan tips menyelesaikannya (14.00-
14.15)
8. Mahasiswa mengerjakan Tugas Modul III (14.15-15.30)
9. Mahasiswa mengumpulkan Tugas Modul paling lambat pukul 17.00
melalui google Class-room

E. TUGAS MODUL
1. Tugas membuat Penafsiran Ayat
2. Buatlah powerpoint dengan salah satu tema berikut : (akan dijelaskan
dosen tutor)
3. Carilah ayat-ayat terkait tema tersebut dengan menggunakan fasilitas
program Quran In Ms Word, kitab-kitab index Al-Qur’an, atau
55

menggunakan aplikasi dalam Playstore. Kata-kata kunci hanya untuk


mencari ayat-ayat yang terkait, sedangkan penafsirannya dikaji dengan
melihat tafsirnya dalam kitab-kitab tafsir.
4. Pustaka minimal dua kitab tafsir. Perpustakaan pusat UIN menyediakan
tafsir Al-Misbah, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
5. Powerpoint disusun untuk presentasi selama 20 menit (termasuk diskusi).
6. Tugas dikerjakan secara berkelompok sebanyak maksimal 3 orang
7. Tugas dikumpulkan pada pukul 17.00 melalui google class room
8. Penilaian tugas berdasarkan kemampuan mengembangkan ide menjadi
powerpoint yang menarik, kedalaman materi dan kerjasama kelompok
9. Tugas naskah ceramah dikerjakan secara mandiri/per individu
10. Tugas akan dipresentasikan pada Tugas Modul IV
56

MODUL IV. AQSAMUL QUR’AN


A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Ayat-ayat al-Qur’an beisi banyak perintah atau larangan sebagai
petunjuk untuk manusia dalam bentuk seruan qasam (sumpah). Lafazh-
lafazh tersebut menyebutkan sebuah seruan/kabar/informasi yang mana
dapat dimaknai menjadi salah satu dari hukum syara’, wajib, sunnah,
mubah, makruh atau haram. Mahasiswa diharapkan mampu memahami
konsep penunjukan makna agar mampu mendalami atau menggali hukum
dari ayat-ayat Allah.

2. Ruang Lingkup
Aqsamul Qur’an : Manthuq dan Mafhum, Mafhum Muwafaqah, Mafhun
Mukhalafah, ‘Am dan Khash, Mutlaq dan Muqayyad, Mujmal dan
Mubayyan, Muhkam dan Mutasyabih.

3. Sasaran Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu memahami penggunaan Aqsamul Qur’an dalam
memahami makna-makna dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan ayat-ayat tertentu berdasarkan
Kitab Tafsir dengan mendalam.

B. MATERI PEMBELAJARAN

AQSAMUL QUR’AN
Aqsamul Qur’an adalah pembahasan mengenai bagian-bagian (aqsam) Al-
Qur’an dari segi cara penunjukan makna (kaifiyah dalalah) dari lafazh-lafazh Al-
Qur’an. Misalnya mengenai manthuq dan mafhum, ‘am dan khash, mutlaq dan
muqayyad, mujmal dan mubayan, serta muhkam dan mutasyabih dari Al-Qur’an.
Pembahasan rinci dari istilah-istilah tersebut dapat dirujuk dalam kitab-kitab
Ulumul Qur’an yang mu’tabar (populer), misalnya Al Itqan fi Ulum Al Qur’an
karya Imam Suyuthi, Al Burhan fi Ulum Al Qur’an karya Imam Zarkasyi, dan
Mabahits fi Ulum Al Qur’an karya Subhi Shalih.

Manthuq dan Mafhum


Manthuq didefinisikan sebagai apa yang ditunjukkan oleh suatu lafadz pada
saat diucapkan. Contohnya ayat

َ‫ِند َك ۡٱلك َِّب‬


َ ‫س ًنا ْۚ إ َّما َي ۡبلُ َغ َّن ع‬
َٰ َ ۡ ۡ َ َ ۡ َ ُ َّ ٓ َّ ْ ٓ ُ ُ ۡ َ َّ َ َ ُّ َ َ َ َ
ِ َٰ
‫َض ربك أَل تعبدوا إَِل إِياه وبِٱلو ِِلي ِن إِح‬ َٰ ‫۞وق‬

َ َۡ ٓ َ ُ ُ َ َ
ٗ ‫ّلَك ُه َما فَ ََل َت ُقل ل َّ ُه َما ٓ أ ُ ِف َو ََل َت ۡن َه ۡر ُه َما َوقُل ل َّ ُه َما قَ ۡو َٗل َكر‬
٢٣ ‫يما‬ ِ ٖ ِ ‫أحدهما أو‬
57

23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-
kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [Al Isra" (17):23]
Ayat ini menunjukkan secara manthuq (definitive) pengharaman ta’fif
(mengucapkan ‘ah’) kepada orangtua. Jadi, manthuq adalah makna yang dapat
dipahami dari lafazh tanpa perlu mentransformasikan kepada makna yang terlintas
dalam benak yang menjadi tuntutan atau konsekuensi logis (ma’na dzihni lazim)
dari makna manthuq-nya. Misalnya, konklusi pemahaman adanya pengharaman
memukul kedua orangtua dari nash ayat di atas tidak bisa disebut manthuq, tapi
mafhum.
Wajib untuk diperhatikan bahwa dalalah manthuq (makna manthuq) dalam
Al-Qur’an harus dibawa kepada makna syar’i-nya karena memang Nabi SAW
dengan Al-Qur-an diutus untuk menjelaskan syariat.
Misalnya pemahaman kata “shiyam” dalam ayat

ُ َۡ
ۡ‫ِكم‬ َ َّ َ َ َ ُ َ َ ُ َ ِ ُ ُ ۡ َ َ َ ُ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ ٰٓ َ
‫ٱلصيام كما كتِب لَع ٱَّلِين مِن قبل‬
ِ ‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا كتِب عليكم‬

َ ُ َ ُ َّ َ
١٨٣ ‫ل َعلك ۡم ت َّتقون‬

183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, [Al Baqarah (2):183]
Kata ‘shiyam’ dalam ayat di atas pertama-tama harus dibawa kepada makna
syar’i-nya (al haqiqah al syar’iyah), yaitu “menahan diri (imsak) dari segala
sesuatu yang membatalkan puasa dari pagi sampai malam dengan disertai niat”.
Jika tidak diartikan dengan makna lughawi-nya (makna bahasanya) yaitu
menahan diri (al imsak)
Jika suatu lafazh tidak mempunyai makna syar’i, maka ia wajib diberi
makna ‘urfi-nya (al haqiqah al ‘urfiyah). Yakni makna yang telah dipakai dalam
adat kebiasaan (‘urf) yang ada pada masa Nabi SAW. Jika lafazh itu juga tidak
mempunyai makna ‘urfi, barulah dibawa kepada makna lughawi (al-haqiqah al-
lughawiyah)
Jadi urutan (tartib) pemberian makna lafazh secara manthuq adalah makna
syar’i, makna urfi, lalu makna lughawi. Dan semua itu adalah makna hakiki
(makna sebenarnya), bukan majazi (makna kiasan). Jika masih belum dapat
diberikan makna yang tepat pada suatu lafazh, barulah lafazh itu dibawa kepada
makna majazi-nya
Mafhum, adalah apa yang ditunjukkan oleh suatu lafazh tidak pada saat
diucapkan, tapi pada saat diam (tidak diucapkan). Jika makna dapat diambil saat
diam (al maskut ‘anhu) sesuai (muwafiq) atau sejalan dengan makna manthuqnya,
maka mafhum itu disebut mafhum muwafaqah. Jika makna yang diambil saat
diam itu berbeda atau berlawanan (mukhalif) dengan makna manthuqnya, maka
mafhum itu disebut mafhum mukhalafah. Jadi, mafhum ada dua, yaitu mafhum
muwafaqah dan mukhalafah.
58

Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah adalah makna yang ditunjukkan lafazh pada saat diam,
yang sesuai/searah dengan makna lafazh pada saat diucapkan. Mafhum
muwafaqah disebut juga fahwa al khithab atau lahn al khithab. Misalnya firman
Allah
ِ ُ ٓ َ ُ َّ ُ َ َ َ
٢٣ ‫ فَل تقل لهما أ ٖف‬...
...

23. … maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" …
[Al Isra":23]
Secara manthuq ayat ini mengharamkan ta’fif (mengucapkan ‘ah’) kepada
ibu bapak. Secara mafhum, ayat ini juga mengharamkan memukul dan menghina
keduanya, karena mengatakan ‘ah’ saja dilarang. Jadi, meski tidak disebut dalam
ayat, memukul apalagi membunuh tentu lebih haram lagi. Inilah yang disebut
mafhum muwafaqah. Disebut mafhum muwafaqah karena memukul kedua
orangtua sesuai atau sejalan (muwafiq) dari segi hukum haramnya dengan hukum
mengucapkan ‘ah’.
Kadang-kadang mafhum muwafaqah kedudukannya setara atau sama
(musawi) dengan hukum manthuq, yakni makna mafhum tidak menunjukkan
cakupan makna yang lebih luas daripada makna manthuq, seperti pada contoh
sebelumnya. Misalnya firman Allah

َ ُ ُ ۡ َ َ َّ ً ۡ ُ َٰ َ َٰ َ َ ۡ َ َٰ َ ۡ َ َ ُ ُ ۡ َ َ َّ َّ
َٗۖ‫ون ِف ُب ُطونِه ۡم نَارا‬
ِ ِ ‫إِن ٱَّلِين يأكلون أمول ٱِلتِم ظلما إِنما يأكل‬

ٗ ‫َو َس َي ۡصلَ ۡو َن َس ِع‬


١٠ ‫ريا‬

10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala (neraka). [An Nisa" (4):10]
Ayat ini dari segi manthuqnya adalah mengharamkan memakan harta anak
yatim secara zhalim. Dari segi mafhumnya, dapat juga dipahami adanya
pengharaman untuk membuang, menghilangkan atau membakar harta anak-anak
yatim. Jadi membuang, membakar atau segala tindakan yang menghilangkan harta
anak yatim adalah haram. Ini juga merupakan mafhum muwafaqah, karena sejalan
dari segi keharamannya dengan memakan harta anak yatim. Hanya saja kedua
hukum ini berkedudukan setara atau sama (musawi). Berbeda halnya dengan
hukum mengucapkan ‘ah’ dengan hukum memukul kedua orangtua. Kedua
hukum ini meskipun sama-sama haram akan tetapi tidak setara. Karena memukul
kedua orangtua lebih haram (jauh lebih berat kadar dosanya) daripada
mengucapkan ‘ah’.

Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah makna yang ditunjukkan lafazh pada saat diam,
yang berbeda atau berkebalikan dengan makna yang ditunjukkan lafazh pada saat
59

diucapkan. Mafhum mukhalafah oleh Ibnu Warak disebut juga dalilu al khithab.
Para ulama mendefinisikannya sebagai makna lafazh (dalalah lafazh) untuk
penetapan hukum dari apa yang tidak diucapkan (al-maskut ‘anhu) yang berbeda
atau berlawanan dengan apa yang ditunjukkan oleh manthuq, karena tidak adanya
pembatasan (qayid) yang mu’tabar dalam hukum.
Para ulama berbeda pendapat mengenai macam-macam mafhum
mukhalafah. Namun pendapat yang paling shahih menyatakan bahwa mafhum
mukhalafah ada empat macam, yaitu mafhum shifat, mafhum syarat, mafhum
ghayah, dan mafhum ‘adad.
Mafhum shifat adalah pengkaitan (ta’liq) status hukum dengan sifat yang
dapat dipahami sebagai illat (sebab hukum). Jika suatu sifat hilang, akan hilang
hukumnya, dan jika suatu sifat ada, maka aka nada pula hukumnya. Misalnya
firman Allah SWT
َ َ ْ ُ ُ َ ْ ٓ ُ َّ َ َ َ َ َ َۢ ُ َ ۡ ُ َ ٓ َ ْ ٓ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ ٰٓ َ
‫يبوا ق ۡو َمَۢا ِِبَ َهَٰل ٖة‬ ‫فتبينوا أن ت ِص‬ ٖ ‫إِن جاءكم فاسِق بِنبإ‬ ‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا‬

َٰ َ َ ْ ‫َف ُت ۡصب ِ ُحوا‬


َ ‫لَع َما َف َع ۡل ُت ۡم َنَٰ ِدم‬
٦ ‫ِني‬

6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
[Al Hujurat (49):6]
Ayat ini secara manthuq menunjukkan wajibnya melakukan ‘tabayyun’
(memeriksa atau mengkonfirmasi dengan teliti) suatu berita jika yang membawa
berita adalah orang fasik. Mafhum mukhalafah-nya, jika yang membawa berita
adalah orang yang adil (taqwa) dan tsiqah (dapat dipercaya) maka tidak wajib
melakukan ‘tabayyun’.
Mafhum syarat, adalah pengkaitan hukum dengan sesuatu dengan
menggunakan kata ‘in’ (jika) atau kata-kata yang lain yang merupakan adat
syarat, yakni kata yang menunjukkan persyaratan seperti ‘idza’ (jika).
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa masyrut (sesuatu
yang disyarati) tidak akan terwujud kecuali dengan adanya syarat, dan bahwa jika
syarat tidak ada maka masyrut pun menjadi tidak ada. Misalnya firman Allah

َّ ۡ َ َ ْ ُ ِ َ ُ َّ ُ ُّ ٓ َ ُ َ َ ۡ ُ ۡ ُ ِ ُ َ َ ُ ۡ َ ۡ َّ ُ ُ ۡ َ
‫أسكِنوهن مِن حيث سكنتم مِن وجدِكم وَل تضاروهن َِلضيِقوا علي ِهنْۚ ِإَون‬

ُ ُ َ ُ َ َ َ ۡ َ ََۡ َ َٰ َّ َ َّ ۡ َ َ ْ ُ َ َ ۡ َ َٰ َ ْ ُ َّ ُ
‫ِت يَض ۡع َن ۡحل ُه َّنْۚ فإِن أۡرض ۡع َن لك ۡم فَٔٔاتوه َّن‬ ‫ت ۡح ٖل فأن ِفقوا علي ِهن ح‬
ِ ‫ك ن أ ول‬

َٰ َ ۡ ُ ٓ َُ ُ ُۡ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ُ َ ۡ َ ْ ُ َ ۡ َ َّ ُ َ ُ ُ
٦ ‫ضع َلۥ أخرى‬ ِ ‫وف ِإَون تعاَستم فسَت‬
ٍۖ ٖ ‫أجورهن وأت ِمروا بينكم بِمعر‬
6. Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.
60

Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya. [At Talaq (65):6]
Ayat ini menunjukkan wajibnya nafkah jika istri (yang ditalaq) sedang
hamil. Jika tidak hamil, maka tidak wajib memberinya nafkah karena tidak
terwujudnya syarat pemberian nafkah (yaitu kehamilan). Para ulama juga sepakat
untuk membatalkan mafhum mukhalafah yang berupa mafhum syarat jika datang
nash-nash lain yang menunjukkan pembatalan hukumnya. Misalnya firman Allah
SWT

َ‫ٱَّلل مِن فَ ۡضلِهِۦ َو َّٱَّلِين‬


ُ َّ ‫ِت ُي ۡغن َِي ُه ُم‬
َٰ َّ ‫احا َح‬ َ
ً ‫ِك‬ َ ُ َ َ َ َّ
‫يدون ن‬ َۡ ۡ ََۡ
ٌۗ ِ ‫وليستع ِف ِف ٱَّلِين َل‬
ِ ُ ُ َ َ ٗۡ َ ۡ ۡ ُ ۡ َ ۡ ۡ ُ ُ َ َ ۡ ُ ُ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َّ َ َٰ َ ۡ َ ُ َ ۡ َ
‫يبتغون ٱلكِتب مِما ملكت أيمنكم فَكت ِبوهم إِن عل ِمتم فِي ِهم خرياَۖ وءاتوهم مِن‬
ْ ُ َ ۡ َ ِ ٗ ُّ َ َ َ ۡ َ َ ۡ ٓ َ ۡ َ َ ۡ ُ َ َ َ ْ ُ ۡ ُ َ َ ۡ ُ َٰ َ َ ٓ َّ َّ
‫َّما ِل ٱَّلل ِ ٱَّلِي ءاتىك ْۚم وَل تك ِرهوا فتيَٰتِكم لَع ٱْلِغاءِ إِن أردن َتصنا َِلبتغوا‬

ٞ ‫ َّرح‬ٞ‫ٱَّلل ِم َۢن َب ۡع ِد إ ۡك َرَٰهِه َّن َغ ُفور‬


َ َّ ‫هه َّن فَإ َّن‬ ۡ ُ َ َ َ ۡ ُّ َٰ َ َ ۡ َ َ َ
ُّ ‫كر‬
٣٣ ‫ِيم‬ ِ ِ ِ ِ ‫عرض ٱِليوة ِ ٱِلنيا ْۚ ومن ي‬
33. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki
yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah
yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk
melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak
mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. [An
Nur (24):33]
Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memaksa budak-budak
perempuan untuk melakukan perzinaan (pelacuran) jika mereka menghendaki
kesucian. Dengan mafhum mukhalafah, jika mereka tidak menghendaki kesucian
atau cenderung kepada kerusakan dan perbuatan keji (zina), apakah berarti boleh
memaksa mereka melacur? Kesimpulan seperti ini batil karena bertentangan
dengan firman Allah SWT
ٗ ٓ ٗ َ َٰ َ َ َ ُ َّ ٰٓ َ ِ ْ ُ َ ۡ َ َ َ
٣٢ ‫حشة َو َسا َء َسبِيَل‬
ِ ‫ٱلزن َۖ إِنهۥ َكن ف‬
ِ ‫وَل تقربوا‬
32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. [Al Isra" (17):32]
Dengan demikian, tidak boleh memaksa budak-budak perempuan untuk
melacur, baik mereka menghendaki kesucian atau tidak.
61

Mafhum ghayah adalah pengkaitan hukum dengan suatu tujuan (ghayah)


sehingga apa yang ada sesudah tercapainya tujuan, berkebalikan hukum atau
maknanya dengan sebelum tercapainya tujuan. Misalnya firman Allah SWT

َّ‫اس ل َّ ُهن‬ ُ َ ‫ك ۡم َوأ‬


ٞ َ ِ‫نت ۡم ْل‬ ُ َّ ٞ َ ِ‫ُ َّ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ ِ َ ِ َّ َ ُ َ َٰ َ ٓ ُ ۡ ُ َّ ْل‬
‫ٱلصيام ٱلرفث إَِل ن ِسائِك ْۚم هن اس ل‬
ٌۗ ِ ‫أحِل لكم ِللة‬
ۡ َ ُ َ ََ ُ َ َ َ َ َ ۡ ُ َ ُ َ َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ ُ َّ َ ُ َّ َ َ
َ ‫ٱل‬
‫َٰٔـن‬ ‫ف‬ ‫اب عل ۡيك ۡم َوعفا عنك ۡ َۖم‬‫عل ِم ٱَّلل أنكم كنتم َّتتانون أنفسكم فت‬

ُ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ُ ُ َ َ َّ َ َ َ َٰ َّ َ ْ ُ َ ۡ َ ْ ُ ُ َ ۡ ُ َ ُ َّ َ َ َ َ ْ ُ َ ۡ َ َّ ُ ُ َٰ َ
‫ب َِشوهن وٱبتغوا ما كتب ٱَّلل لك ْۚم وَّكوا وٱَشبوا حِت يتبني لكم ٱْليط ٱْلبيض‬

َ ُ َ ُ َ َ َّ ُ ُ َٰ َ ُ َ َ ۡ َّ َ َ َ ِ ْ ُّ َ َّ ُ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ ۡ َ ۡ َ
‫نت ۡم عَٰكِفون‬ ِ ‫مِن ٱْلي ِط ٱْلسو ِد مِن ٱلفج ِرٍۖ ثم أت ِموا‬
‫ٱلصيام إَِل ٱِل ِلٍۚ وَل تب َِشوهن وأ‬
َّ َ َ ُ َ ۡ َ َ َ َّ ُ ُ ُ َ ۡ
ُ ِ ‫وهاٌۗ َك َذَٰل َِك ُي َب‬
ُ َّ ‫ني‬
َّ ‫ٱَّلل َء َايَٰتهِۦ ل‬ َ َۡ
‫اس ل َعل ُه ۡم‬
ِ ‫ِلن‬ ِ ِ ‫ب‬ ‫ر‬‫ق‬ ‫ت‬ ‫َل‬ ‫ف‬ ِ ‫َّلل‬ ‫ٱ‬ ‫ود‬‫د‬ ‫ح‬ ‫ك‬ ‫ِل‬ ‫ت‬ ‫د‬
ِ ‫ج‬ َٰ
ِ ‫ِِف ٱلم‬
‫س‬

َ ُ
١٨٧ ‫َي َّتقون‬

187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah,
maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa. [Al Baqarah (2):187]
Manthuq ayat menunjukkan wajibnya berpuasa sampai permulaan malam
(waktu magrib). Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut (mafhum ghayah)
menunjukkan bahwa tidak wajib berpuasa setelah masuknya malam. Contoh lain,
adalah firman Allah
ََ ۡ ٓ َ ِ ْ ُ َ ۡ َ َٗ َ ُ ُۡ َ ۡ ‫ك َعن ٱل‬
َ َ ُ
‫يض وَل‬ ِ ‫ح‬ َ َ
ِ ‫َتلوا ٱلنِساء ِِف ٱلم‬ ِ ‫ٱع‬ ‫ف‬ ‫ى‬ ‫ذ‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫يض‬
ٍۖ ِ ‫ح‬ِ ‫م‬ ِ ‫َوي َ ۡسَٔٔلون‬

ُّ‫ٱَّلل َُيِب‬
َ َّ ‫ٱَّلل إ َّن‬ ُ ۡ َ ۡ َّ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َّ َ َ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َٰ َّ َ َّ ُ ُ َ ۡ َ
ُ َّ ‫ث أَ َم َر ُك ُم‬
ِ ْۚ ‫تقربوهن حِت يطهرنَۖ فإِذا تطهرن فأتوهن مِن حي‬

َ ‫ب ٱل ۡ ُم َت َط ِهر‬
٢٢٢ ‫ين‬ ِ
َ ‫ٱَل ََّٰوب‬
ُّ ‫ني َو ُيح‬ َّ
ِ ِ ِ
222. Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
62

campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. [Al
Baqarah (2):222]
Manthuq ayat di atas menunjukkan larangan mendekati (menggauli) istri-
istri ketika sedang haid sampai mereka suci. Mafhum ghayah-nya, boleh
mendekati mereka setelah mereka suci.
Mafhum ‘adad adalah pengkaitan hukum dengan suatu bilangan tertentu
yang menunjukkan bahwa selain bilangan itu menunjukkan hukum yang
berlawanan. Misalnya firman Allah SWT

ٗ َ ۡ َ َ َٰ َ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ٓ َ َ ُ َ َ ۡ َ ْ ُ ۡ َ ۡ َ َّ ُ َٰ َ َ ۡ ُ ۡ َ ُ ۡ َ َ َّ َ
‫ت ثم لم يأتوا بِأربع ِة شهداء فٱج ِِلوهم ثمن ِني جِلة‬ ِ ‫وٱَّلِين يرمون ٱلمحصن‬

َ ُ َ ۡ ُ َ ٰٓ َ ُ ٗ َ ً َ َ ْ ُ ۡ َ َ
٤ ‫َوَل تق َبلوا ل ُه ۡم ش َه َٰ َدة أبَداْۚ َوأ ْولئِك ه ُم ٱلفَٰسِقون‬

4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik. [An Nur (24):4]
Ayat di atas secara manthuq menunjukkan jumlah cambukan tertentu untuk
orang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, yaitu delapan puluh kali.
Mafhum ‘adad yang diambil dari ayat itu adalah haram mencambuk mereka lebih
dari delapan puluh kali.
Contoh lain
ٞ َۡ ُ ۡ ُ َۡ َ َۡ َ ََ ْ َ ُ ۡ ِ َّ ُ ْ ُ ۡ َ َّ َ ُ َ َّ
‫ِلةٍٖۖ َوَل تأخذكم ب ِ ِه َما َرأفة ِِف‬ ِ َٰ ‫ِلوا ُك َو‬
‫ح ٖد مِنهما مِائة ج‬ ِ ‫ٱلزان ِية وٱلز ِاِن فٱج‬

َ ‫ ِم َِن ٱل ۡ ُم ۡؤ ِمن‬ٞ‫ٱَّللِ َو ۡٱِلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخِر َو ۡل َي ۡش َه ۡد َع َذ َاب ُه َما َطآئ َفة‬


‫ِني‬
َّ َ ُ ۡ ُ ۡ ُ ُ َّ
ِ ٍِۖ ِ ‫ِين ٱَّللِ إِن كنتم تؤمِنون ب‬
ِ ‫د‬

2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman. [An Nur (24):2]
Ayat ini secara manthuq menunjukkan jumlah cambukan tertentu terhadap
perempuan dan laki-laki yang berzina, yaitu seratus kali. Mafhum ‘adad ayat
menunjukkan bahwa haram mencambuk lebih dari seratus kali.

‘Am dan Khash


‘Am atau ‘umum’ adalah lafazh yang mencakup semua apa yang pantas
baginya dengan satu lafazh (universe). Misalnya al-qaum, maka dengan hanya
sekali lafazh, sudah dapat meliputi semua, seperti kaum Arab, kaum Persia, kaum
63

Romawi, dan sebagainya. Juga lafazh ar-rajul, meski hanya diucapkan sekali
sudah mencakup semua laki-laki, apakah laki-laki sholeh, laki-laki jahat dan
sebagainya.
Dalam bahasa Arab, terdapat berbagai shigat (bentuk) kata yang
menunjukkan arti umum, di antaranya
4. Isim jenis (ismul jinsi) yang dima’rifatkan dengan alif lam, misalnya

َّ َ َّ َ ِ ٗ َٰ َ َ َ َ َ َ َۢ َ ٓ َ َ َ ُ َ ۡ َ ْ ٓ ُ َ ۡ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
ُ‫ٱَّلل‬‫وٱلسارِق وٱلسارِقة فٱقطعوا أيدِيهما جزاء بِما كسبا نكَل مِن ٱَّللٌِۗ و‬

‫َعز ر‬
ٞ ‫يز َحك‬
٣٨ ‫ِيم‬ ِ
38. Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al Ma"idah (5):38]
Al sariqu (laki-laki yang mencuri) dan al sariqatu (perempuan yang mencuri)
diungkapkan dengan alif lam, mencakup setiap pencuri laki-laki dan
perempuan.
5. Lafazh-lafazh kullu (setiap), kaaffah (keseluruhan), jami’ (seluruh), ajma’
(seluruh atau semua), misalnya pada firman Allah SWT

َ َ ۡ ُ َ ُ ُ َ ۡ َّ َ ُ َ َّ ۡ ُ َ َٓ ۡ َ ُّ ُ
‫ورك ۡم يَ ۡو َم ٱلقِ َيَٰ َمةٍِۖ ف َمن ُز ۡح ِز َح ع ِن‬ ‫ت ِإَونما توفون أج‬ ِ ‫ُك نف ٖس ذائِقة ٱل َم ۡو‬

ُ ُ ۡ ُ َٰ َ َ َّ ٓ َ ۡ ُّ ُ َٰ َ َ ۡ َ َ َ َ ۡ َ َ َ َّ َ ۡ َ ۡ ُ َ َّ
١٨٥ ِ‫ٱْلارِ وأدخِل ٱْلنة فقد فاز ٌۗ وما ٱِليوة ٱِلنيا إَِل متع ٱلغرور‬

185. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan. [Al 'Imran (3):185]

َّ
ُ‫ٱلش ۡي َطَٰن إنَّهۥ‬ َ ُ ُ ْ ُ َّ َ َ َ ٗ َّ ٓ َ ۡ ِ ْ ُ ُ ۡ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ ٰٓ َ
ِ ٍۚ ِ ‫ت‬ َٰ
ِ ‫ٱلسل ِم َكفة وَل تتبِعوا خطو‬ ِ ‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا ٱدخلوا ِِف‬

ُ َ
ٞ ‫و ُّمب‬ٞ ِ ‫ك ۡم َع ُد‬
٢٠٨ ‫ني‬ِ ‫ل‬

208. Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu. [Al Baqarah (2):208]

َ َ ۡ َ ۡ ُ ُّ ُ ُ َ ٰٓ َ َ ۡ َ َ َ َ
٧٣ ‫َج ُعون‬ ‫فسجد ٱلملئِكة ُكهم أ‬

73. Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, [Sad (38):73]


64

6. Lafazh man untuk mahluk berakal, baik yang menunjukkan syarat (man yang
berarti barangsiapa) atau istifham (man yang berarti siapakah). Misalnya
َ ۡ َّ ٰٓ َ ۡ ُ َ َ َ ِ َّ َ ٓ َ َ َ َ َ ۡ َ ُ ۡ َ ُ َ َ َ َ َ ۡ َ ٓ َ َ
‫ى إَِل مِثل َها‬ ‫من جاء بِٱِلسنةِ فلهۥ عَش أمثال ِهاَۖ ومن جاء بِٱلسيِئةِ فَل يز‬

َ َ ۡ َ ُ
١٦٠ ‫َوه ۡم َل ُيظل ُمون‬

160. Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan). [Al An'am (6):160]

ٞ َ ٞ ۡ َ ٓ ُ َ َ ُ َ ُ َ َٰ َ ُ َ ٗ َ َ ً ۡ َ َ َّ ُ ۡ ُ َّ َ َّ
١١ ‫من ذا ٱَّلِي يق ِرض ٱَّلل قرضا حسنا فيضعِفهۥ َلۥ وَلۥ أجر ك ِريم‬

11. Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang
banyak. [Al Hadid (57):11]
7. Lafazh ma untuk mahluk yang tidak berakal, baik dalam kalimat jaza’ (ma
yang berarti tidak) maupun kalimat istifham (ma yang berarti apakah),
misalnya

َّ َ َ َّ
َْۚ ‫ٱَّللِ ر ۡز ُق َها َو َي ۡع َل ُم ُم ۡس َت َق َّر َها َو ُم ۡس َت ۡو َد َعها‬ َۡ َّ‫۞و َما مِن َدآب‬
َ
ِ ‫لَع‬ ‫َل‬ِ ‫إ‬ ِ
‫ۡرض‬‫ٱْل‬ ‫ِف‬
ِ ‫ة‬
ٖ
ِٞ ُ
ُّ ‫ُك ِف ك َِتَٰب‬
٦ ‫ني‬ ‫ب‬
ٖ ِ ٖ‫م‬ ِ
6. Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). [Hud (11):6]

َ َ َ َٰ َّ ُ َ ‫اذا َخلَ َق َّٱَّل‬


‫ِين مِن دونِهِْۚۦ بَ ِل ٱلظل ُِمون ِِف ضل َٰ ٖل‬
َ َ
‫ون م‬ ُ َ‫ٱَّلل ِ فَأ‬
‫ر‬
َّ ُ ۡ َ َ َٰ َ
‫هذا خلق‬
ِ

١١ ‫ني‬ ُّ
ٖ ِ ‫مب‬
11. Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah
diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang
zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata. [Luqman (31):11]

8. Isim nakirah dalam kalimat nafi (negasi), misalnya


65

َ َ َّ َ ُ َّ ٞ ۡ َ َ َ ٞ َ ُ ُ ُ ۡ َ َ ُ ُّ َ ۡ ُّ َ ۡ َ ُ َّ َ َٰ َ ٓ َ ُ َّ
‫ت‬ َٰ َٰ
ِ ‫ٱَّلل َل إِله إَِل هو ٱلَح ٱلقيوم ْۚ َل تأخذهۥ سِنة وَل نوم ْۚ َلۥ ما ِِف ٱلسمو‬
َ َ َۡ َ َ ۡ َ ۡ َّ َ َ ۡ َّ َ َۡ
‫ني أيۡدِي ِه ۡم َو َما‬ ‫ۡرض َمن ذا ٱَّلِي يَشف ُع ع‬
‫ِندهُ ٓۥ إَِل بِإِذنِهِْۚۦ يعل ُم ما ب‬ ِ ‫َو َما ِِف ٱْل‬

َ َ َّ ‫ِشء ِم ِۡن ع ِۡلمهِۦٓ إ ََّل ب َما َشا ٓ َء َوس َِع ُك ۡرس ُِّي ُه‬ َ َ ُ ُ ََ ۡ ُ َۡ َ
ِ َٰ ‫ٱلسمَٰو‬
‫ت‬ ْۚ ِ ِ ِ ٖ ۡ ِ ‫ِيطون ب‬ ‫خلفهمَۖ وَل َي‬

ُ ‫ِل ۡٱل َع ِظ‬ ۡ


ُّ ِ ‫ُودهُۥ ح ِۡف ُظ ُه َما ْۚ َو ُه َو ٱل َع‬
ُ َ َۡ َ
َ ‫ۡرض َو ََل‬
٢٥٥ ‫يم‬ ٔٔ ‫ي‬ َۖ ‫وٱْل‬
255. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi
Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Al Baqarah (2):255]

9. Lafazh jama’ yang dima’rifatkan dengan idhafah. Misalnya

َ َ ۡ ُ َ ۡ َ َّ ۡ ُ َّ ۡ ُ ُ ُ ۡ َ ُ ۡ َّ َٰ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ ُ َ َٰ َ ۡ َ ْ ٓ ُ ُ ۡ َ َ َ
‫وَل تقتلوا أولدكم خشية إِمل ٖقٍۖ َنن نرزقهم ِإَوياك ْۚم إِن قتلهم َكن‬

ٗ ‫خ ِۡطٔٔٗا َكب‬
٣١ ‫ريا‬ِ
31. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah
yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar. [Al Isra"(17):31]

10. Isim-isim maushul, seperti alladzina, allati, dan sebagainya. Misalnya

َ‫ِلو ُه ۡم ثَ َمَٰن ِني‬ ۡ َ‫ون ٱل ۡ ُم ۡح َص َنَٰت ُث َّم ل َ ۡم يَ ۡأتُوا ْ بأَ ۡر َب َع ِة ُش َه َدا ٓ َء ف‬


ُ ِ ‫ٱج‬ َ ُ ۡ َ َ َّ َ
‫وٱَّلِين يرم‬
ِ ِ

َ ُ َٰ َ ۡ ُ ُ َ ٰٓ َ ْ ُ َ ٗ َ َ ً َ َٰ َ َ ۡ ُ َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ ٗ َ ۡ َ
٤ ‫سقون‬
ِ ‫جِلة وَل تقبلوا لهم شهدة أبداْۚ وأولئِك هم ٱلف‬

4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. [An Nur:4]

Khash
Khash disebut juga khushush atau takhshish didefinisikan sebagai
mengeluarkan sebagian apa yang dicakup oleh suatu lafazh, atau memindahkan
lafazh dari makna umum menuju arah makna khusus.
66

Takhshish dibagi menjadi dua, yakni muttashil dan munfashil. Takhshish


muttashil terwujud jika lafazh yang umum dan yang khusus terletak dalam satu
rangkaian nash. Sedang takhshish munfashil terwujud jika lafazh yang umum dan
yang khusus terletak secara terpisah tidak dalam satu rangkaian nash.
Takhshish muttashil terbagi lagi menjadi empat macam, yaitu takhshish
dengan istitsna’, takhshish dengan shifat, takhshish dengan ghayah, dan takhshish
dengan syarat.
Takhshish dengan istitsna’ (pengecualian) adalah takhshish dengan kata-
kata pengecuali (adat syarat) seperti illa, ghairu, siwa, dan sebagainya. Misalnya
ْ ۡ َ َ َ َ َٰ َ َٰ َّ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ َّ ۡ ُ َ َ َٰ َ ۡ َّ ۡ َۡ َ
‫ت وتواصوا‬ ِ ‫ إَِل ٱَّلِين ءامنوا وع ِملوا ٱلصل ِح‬٢ ‫ٱْلنسن ل ِِف خّس‬ ِ ‫ إِن‬١ ‫ۡص‬
ِ ‫وٱلع‬

٣ ‫ّب‬ َّ ‫اص ۡوا ْ ب‬


ۡ ‫ٱلص‬ َۡ ‫ب‬
َ ‫ٱِل ِق َوتَ َو‬
ِ ِ ِ ِ
1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al 'Asr (103):1-3]

Takhshish dengan shifat adalah takhshish yang memberikan sifat-sifat


tambahan pada lafazh yang bersifat umum. Misalnya

ُ َ َ ُ َ ُ ُ َ َ ُ ُ ُ ُ ُ ََ ۡ َ ُ
‫ت عل ۡيك ۡم أ َّم َه َٰ ُتك ۡم َو َب َناتك ۡم َوأخ َوَٰتك ۡم َوع ََّٰم ُتك ۡم َوخَٰل َٰ ُتك ۡم‬ ‫ح ِ ِرم‬

َ‫ٱلر َضَٰع ِة‬


َّ ‫كم ِم َِن‬ ُ ُ َٰ َ َ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ ٓ َٰ َّ ُ ُ ُ َٰ َ َّ ُ َ ۡ ُۡ ُ َََ ِ َۡ ُ َََ
‫ت وأمهتكم ٱل ِِت أۡرضعنكم وأخوت‬ ِ ‫وبنات ٱْلخ وبنات ٱْلخ‬

ۡ‫ك ُم َّٱلَِٰت َد َخ ۡل ُتم به َّن فَإن لَّم‬


ُ ٓ َِ ِ ُ ُ ُ َٰ َّ ُ ُ ُ ٰٓ َ َ َ ۡ ُ ٓ َ ُ َ َّ ُ َ
ِ ِِ ِ ِ ‫وأمهَٰت ن ِسائِكم وربئِبكم ٱل ِِت ِِف حجورِكم مِن ن ِسائ‬
َ َ ۡ ُ َ ۡ َ ۡ َ َّ ُ ٓ َ ۡ َ ُ ٰٓ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ُ َ َ َّ ۡ َ َ ْ ُ ُ َ
‫تكونوا دخل ُتم ب ِ ِهن فَل جناح عليكم وحلئِل أبنائِك ُم ٱَّلِين مِن أصلَٰبِكم وأن‬

ٗ َّ ٗ ُ َ َ َ َ َّ َّ َ َ َ ۡ َ َ َّ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ْ ُ َ ۡ َ
٢٣ ‫ني إَِل ما قد سلفٌۗ إِن ٱَّلل َكن غفورا رحِيما‬
ِ ‫َتمعوا بني ٱْلخت‬
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri-isterimu yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisa" (4):23]
67

Kata “isteri-isterimu” (nisa’ikum) di atas bersifat umum, baik yang sudah


dicampuri maupun belum. Lalu lafazh itu dikhususkan dengan sifat tambahan
“yang telah kamu campuri” (allati dakhaltum bihinna). Maksudnya, haram
menikahi anak perempuan isteri dari isteri yang sudah digauli. Jika isteri belum
digauli, boleh menikahi anak isteri tersebut.
Takhshish dengan ghayah, adalah takhshish dengan suatu batas keadaan
tertentu yang memberikan hukum berbeda bila batas itu terlampaui. Kata yang
dipakai seperti ilaa (sampai) dan hatta (hingga). Misalnya

َ ُ َُِ ََ
ُ َّ ‫ون َما َح َّر َم‬ ۡ َ َّ َ ۡ َ َ َّ ْ ُ َٰ َ
‫ٱَّلل‬ ‫ِين َل يُؤم ُِنون بِٱَّلل ِ َوَل بِٱِلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخ ِِر وَل َي ِرم‬
‫قتِلوا ٱَّل‬

َ‫ٱْل ۡز َي َة َعن يد‬ۡ ْ ُ ۡ ُ َّ َ َ َ ۡ ْ ُ ُ َ َّ َ ِ َ ۡ َ َ ُ َ َ َ ُ ُ ُ َ َ


ٖ ِ ‫ِت يعطوا‬ َٰ ‫ورسوَلۥ وَل يدِينون دِين ٱِل ِق مِن ٱَّلِين أوتوا ٱلكِتَٰب ح‬

َ َ ُ
٢٩ ‫َوه ۡم ص َٰ ِغ ُرون‬

29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk. [At Tawbah (9):29]
Pernyataan “sampai mereka membayar jizyah” adalah takhshish dengan
ghayah. Maksudnya kewajiban memerangi kaum kafir terus berlangsung, sampai
batas waktu tertentu, yaitu sampai mereka membayar jizyah dan tunduk kepada
hukum-hukum Islam.
Takhshish dengan syarat adalah takhshish dengan menyebutkan syarat-
syarat tertentu. Kata yang digunakan disebut kata-kata syarat (adawat asy syarthi)
misalnya idza, in, dan sebagainya. Misalnya

ۡ َ َ ۡ ُ َّ َ ۡ ً ۡ َ َ َ َ ُ ۡ َ ۡ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ۡ ُ َۡ َ َ ُ
َٰ
‫صية ل ِلو ِِلي ِن‬ ِ ‫كتِب عليكم إِذا حَض أحدكم ٱلموت إِن ترك خريا ٱلو‬

َ َّ ُ ۡ َ َ ًّ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ َۡ ۡ َ
١٨٠ ‫وف حقا لَع ٱلمتقِني‬ ٍۖ ِ ‫وٱْلقربِني بِٱلمعر‬
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. [Al Baqarah (2):180]
Kewajiban berwasiat dalam ayat di atas dikhususkan bila terdapat syaratnya,
yaitu “jika ia meninggalkan harta yang banyak” (in taraka khairan).
Adapun takhshish munfashil contohnya adalah
68

ۡ َ َ َّ ُ َ ُّ َ َ َ ٓ ُ ُ َ َ َٰ َ َ َّ ُ َ َ ۡ َّ َ َ َ ُ َٰ َ َّ َ ُ ۡ َ
َ‫ك ُت ۡم َن َما َخلَق‬ ‫س ِهن ثلثة قروءٖ ٍۚ وَل َيِل لهن أن ي‬ ِ ‫وٱلمطلقت يَتبصن بِأنف‬
َ َّ ‫ِف أَ ۡر َحا ِمه‬
َ َ ِ ُ َ ‫ٱَّللِ َو ۡٱِلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخِر َو ُب ُع‬
‫وَل ُه َّن أ َح ُّق ب ِ َر ِده َِّن ِِف ذ َٰل ِك‬
َّ َّ ۡ ُ َّ ُ
‫ب‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ؤ‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫ن‬ ُ َّ
ٓ ِ ‫ٱَّلل‬
ٍِۚ ِ ِ ِ

َّ َ ٌۗ ٞ َ َ َ َّ ۡ َ َ
ُ‫ٱَّلل‬ َ ِ َ ُ ۡ َ ۡ َّ ۡ َ َ َّ ُ ۡ َّ ُ َ َ ٗ َ ۡ ْ ٓ ُ َ َ ۡ
‫ال علي ِهن درجة و‬ ِ ‫ِلرج‬ ٍۚ ِ ‫إِن أرادوا إِصلَٰحا ْۚ ولهن مِثل ٱَّلِي علي ِهن بِٱلمعر‬
ِ ‫وف ول‬
‫َعز ر‬
‫يز َحك ر‬
٢٢٨ ‫ِيم‬ ِ
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. [Al Baqarah (2):228]
Kata “wanita-wanita yang ditalaq” dalam ayat di atas yang bersifat umum,
baik hamil maupun tidak. Lalu kata tersebut di-takhshish dalam ayat lain yang
terpisah (munfashil) menyatakan bahwa wanita yang hamil masa iddahnya sampai
ia melahirkan. Ayat yang mengkhususkan adalah,
ٰٓ َّ َ ُ ۡ َ ُ َ َٰ َ َ َّ ُ ُ َّ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ُ ٓ ِ ۡ ۡ َ ٰٓ َّ
‫يض مِن ن َِسائِك ۡم إ ِ ِن ٱرتبتم فعِدتهن ثلثة أشه ٖر وٱلـِي‬ ِ ‫َوٱلـِي يئِس َن م َِن ٱل َم‬
ِ ‫ح‬

ۡ‫ي َعل َّ َُلۥ مِن‬


ۡ َ َ َّ َّ َ َ َ َّ ُ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ َّ ُ ُ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ َٰ َ ْ ُ َ َ ۡ َ ۡ َ
‫لم َيِضنْۚ وأولت ٱْلۡحا ِل أجلهن أن يضعن ۡحلهنْۚ ومن يت ِق ٱَّلل‬

ٗ ۡ ُ ۡ َ
٤ ‫أم ِره ِۦ يّسا‬

4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-


perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya. [At Talaq (65):4]

Contoh lain adalah ketentuan haramnya menikahi wanita musyrik,

ۡ‫ ِمِن ُّم َۡش َك ٖة َولَو‬ٞ‫ ُّم ۡؤم َِن رة َخ ۡري‬ٞ‫ِت يُ ۡؤم َِّن َو َْلَ َمة‬
َٰ َ ۡ ُۡ ْ ُ َ ََ
َّ ‫كَٰت َح‬ ‫َش‬
ِ ْۚ ِ ِ ‫وَل تنكِحوا ٱلم‬
َ ۡ ُّ ِ ٞ ۡ َ ‫ ُّ ۡ ر‬ٞ ۡ َ َ َ ْ ُ ۡ ُ َٰ َّ َ َ ۡ ُۡ ْ ُ ُ ََ ۡ ُ َۡ َ ۡ َ
‫َش ٖك َول ۡو‬
ِ ‫م‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ري‬ ‫خ‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ؤ‬ ‫م‬ ‫د‬ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫و‬ ْۚ
‫وا‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ؤ‬ ‫ي‬ ‫ِت‬ ‫ح‬ ‫ِني‬ ‫ك‬‫َش‬
ِ ‫أعجبتكمٌۗ وَل تنكِحوا ٱلم‬
69

ۡ َ ْ ٓ ُ ۡ َ ُ َّ َ َّ َ َ ُ ۡ َ َ ٰٓ َ ْ ُ ۡ ُ َ َ ۡ َ
ُ‫ٱْل َّنةِ َوٱل ۡ َم ۡغف َرة ِ بإ ۡذنِهِۦ َو ُي َب ِني‬
َ
ِ َۖ ِ ِ ِ ‫أعجبكمٌۗ أولئِك يدعون إَِل ٱْلارٍِۖ وٱَّلل يدعوا إَِل‬

َ َّ َ َّ َ َّ ‫َء َايَٰتهِۦ ل‬
٢٢١ ‫اس ل َعل ُه ۡم َي َتذك ُرون‬
ِ ‫ِلن‬ ِ
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-
Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. [Al Baqarah:221]
Ayat tersebut bersifat umum, artinya wanita-wanita musyrik itu mencakup
Ahli Kitab maupun bukan ahli Kitab. Kemudian dikhususkan dalam ayat lain
yang terpisah (munfashil) yang membolehkan menikahi wanita-wanita ahli Kitab.
Ayat yang mengkhususkan itu adalah

ُ ُ َ َ َ ۡ ُ َّ ٞ ِ َ َٰ َ ۡ ْ ُ ُ َ َّ ُ َ َ َ ُ َٰ َ ِ َّ ُ ُ َ َّ ُ َ ۡ َ ۡ
‫امك ۡم‬ ‫ٱِلوم أحِل لكم ٱلطيِبتَۖ وطعام ٱَّلِين أوتوا ٱلكِتب حِل لكم وطع‬
‫ت م َِن‬ُ َٰ‫ت َوٱل ۡ ُم ۡح َص َن‬ َٰ ‫ِن‬َ ‫ت م َِن ٱل ۡ ُم ۡؤم‬ ُ َٰ َ ‫ت م َِن ٱل ۡ ُم ۡؤم َِنَٰت َوٱل ۡ ُم ۡح َص‬
‫ن‬ ُ َٰ ‫ن‬ َ ‫ِل ل َّ ُه ۡم َوٱل ۡ ُم ۡح َص‬ٞ ِ ‫ح‬
ِ ِ َۖ
َ
َ ‫ِي أ ۡخ‬ َّ ‫ني َو ََل ُم‬ َ ُ ََۡ َ ُۡ ۡ ُ َۡ َ ۡ ْ ُ ُ َ َّ
‫ان َو َمن‬
ٖ ‫د‬ ٓ ‫خذ‬ ِ ‫ت‬ َ ‫سفح‬
ِ ِ َٰ ‫م‬ ‫ري‬ ‫غ‬ ‫ِني‬ ‫ن‬ ‫ص‬ ِ ‫َّم‬ ‫م‬ ‫ِك‬ ‫ل‬ ‫ب‬ ‫ق‬ ‫ِن‬‫م‬ ‫ب‬ َ َٰ ‫ِت‬
‫ٱَّلِين أوتوا ٱلك‬
َ َٰ َ ۡ َ َ
ِ َ ُ َ ُ ُ َ َ َ َ ۡ َ َ َٰ َ ۡ ۡ ُ ۡ َ
]5-5:‫ [ المائدة‬٥ ‫ّسين‬ ِ ِ ‫ٱْليم ِن فقد حبِط عملهۥ وهو ِِف ٱٓأۡلخِرة مِن ٱلخ‬ ِ ِ ‫يكفر ب‬
5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi. [Al Ma"idah:5]

Mutlaq dan Muqayyad


Mutlaq didefinisikan sebagai lafazh yang menunjukkan makna (madlul)
yang luas pada jenisnya. Misalnya kalimat “ra’aytu rajulan” (saya melihat
seorang laki-laki). Kata rajulan bersifat mutlak dalam arti tidak disertai
penjelasan sifat-sifatnya apakah dia laki-laki Indonesia, Arab, dan sebagainya.
Juga misalnya kalimat “qara’tu kitaban” (saya membaca sebuah kitab). Kata
kitaban bersifat mutlak juga, dalam arti tidak diterangkan sifat-sifatnya apakah
kitab tafsir, hadist, fiqih, dan sebagainya.
Adapun muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan makna yang luas dalam
jenisnya disertai dengan pengikatan dengan salah satu sifat dari sifat-sifatnya.
Misalnya kalimat “ra’aytu rajulan urduniyan” (saya melihat seorang laki-laki
Yordania). Kata rajulan urduniyan merupakan lafazh muqayyad, karena sudah
diberi sifat yaitu Yordania. Misalnya juga “qara’tu kitaban tarikhiyyan” (saya
70

membaca kitab sejarah). Kata kitaban tarikhiyyan merupakan kata muqayyad juga
sebab sudah ditambahkan sifat pada kata kitaban, yaitu tarikh.
Contoh ayat yang bersifat mutlaq adalah
َ َۡ ِ َََ َ ُ َٰ َ ُ َ َّ َ
ُ ‫ون ل َِما قَالُوا ْ َف َت ۡحر‬
‫ير رقب ٖة مِن قب ِل أن‬
َ ُ ُ َ َّ ُ ۡ ٓ َ ِ
‫ود‬ ‫ع‬‫ي‬ ‫م‬ ‫ث‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ئ‬ ‫ا‬ ‫ِس‬ ‫ن‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ون‬ ‫وٱَّلِين يظ ِهر‬
ِ ِِ
َ َ ُ َ َ ُ َ ُ ۡ ُ َ َّ ٓ َ َ َ
ُ َّ ‫ون بهِۦ َو‬
٣ ٞ‫ٱَّلل ب ِ َما ت ۡع َملون خبِري‬ ْۚ ِ ‫يتماسا ْۚ ذَٰل ِكم توعظ‬
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah (58):3]

Kata tahriru raqabah (membebaskan budak) bersifat mutlak yaitu boleh


membebaskan budak muslim ataupun kafir.
Contoh lainnya
َ ۡ ُّ َّ َ َ ُ ُ َ ُ
ََۖ َٰ ‫ٱْليۡ َم‬ َ َ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ ٓ ۡ َّ ُ َّ ُ ُ ُ َ ُ َ
‫ن‬ ‫كن يؤاخِذكم بِما عقدت ُم‬ َٰ
ِ ‫َل يؤاخِذكم ٱَّلل بِٱللغوِ ِِف أيمن ِكم و‬
‫ل‬

ۡ‫ِيك ۡم أ َ ۡو ك ِۡس َو ُت ُه ۡم أَو‬


ُ ۡ َ َ ُ ۡ ُ َ َ ۡ َ ۡ َ َٰ َ َ َ َ َ ُ َ ۡ ٓ ُ ُ َ َٰ َّ َ َ
‫فكفرتهۥ إِطعام عَشة ِ مسكِني مِن أوس ِط ما تط ِعمون أهل‬
ْ ٓ ُ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ ُ َ َٰ َّ َ َ َٰ َ َّ َ َ َٰ َ َ ُ َ َ ۡ َ ۡ َّ َ َ َ َ َ ُ ۡ َ
‫يد ف ِصيام ثلثةِ أيا ٖمٍۚ ذل ِك كفرة أيمَٰن ِكم إِذا حلفت ْۚم وٱحفظوا‬ ِ ‫َت ِرير رقبةٍٖۖ فمن لم‬
َ ُ ۡ َ ُ َّ َ َ ُ َ ُ َّ ُ ِ َ ُ َ َٰ َ َ ۡ ُ َ َٰ َ ۡ َ
٨٩ ‫ٱَّلل لك ۡم َءايَٰتِهِۦ ل َعلك ۡم تشك ُرون‬ ‫أيمنك ْۚم كذل ِك يب ِني‬

89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). [Al Ma"idah:89]

Ungkapan fashiyamu tsalatsati ayyamin (maka kaffaratnya puasa selama


tiga hari) bersifat mutlak, dalam arti boleh puasa tiga hari berturut-turut, boleh
pula tidak berturut-turut.
Sedangkan contoh ayat muqayyad misalnya
71

ۡ‫ام َش ۡه َر ۡين ُم َت َتاب َع ۡني مِن َق ۡبل أَن َي َت َما ٓ َّساَۖ َف َمن ل َّ ۡم ي َ ۡس َتطع‬
ُ ‫َف َمن ل َّ ۡم َي ۡد فَص َي‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ۡ َ َّ ُ ُ ُ َ ۡ َ
َ ‫كَٰفِر‬ َّ ْ ُ ۡ ُ َ َٰ َ ٗ ۡ َ ِ ُ َ ۡ َ
ُ ‫ٱَّلل ِ َو َر‬
‫ين‬ ِ ‫ِل‬ ‫ل‬‫و‬ ٌِۗ ‫ٱَّلل‬ ‫ود‬‫د‬ ‫ح‬ ‫ك‬ ‫ِل‬ ‫ت‬‫و‬ ‫ِۦ‬ ْۚ ِ
‫وَل‬ ‫س‬ ِ ‫فإِطعام سِتِني مِسكِينا ْۚ ذل ِك َلِ ؤمِنوا ب‬
َ ‫َ َ ر‬
‫ر‬
٤ ‫عذاب أ ِِلم‬

4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa


dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan
yang sangat pedih. [Al Mujadilah:4]

Ungkapan fashiyamu syahrain mutatabi’aini (berpuasa dua bulan berturut-


turut) merupakan ungkapan yang muqayyad, yaitu sudah disertai penjelasan sifat-
sifat. Maka berpuasa di sini harus berturut-turut, tidak boleh secara berselang-
seling(tidak berturut-turut).
Contoh ayat muqayyad lainnya
َ
ُ‫َو َما ََك َن ل ُِم ۡؤمِن أن َي ۡق ُت َل ُم ۡؤم ًِنا إ ِ ََّل َخ َطٔٔٗاْۚ َو َمن َق َت َل ُم ۡؤم ًِنا َخ َطٔٔٗا َف َت ۡحرير‬
ِ
ُ ُ َّ َ َ َ َ َ ْ ُ َ ٓ َّ ۡ َ ٰٓ َ ‫ ُّ َ َّ َ ر‬ٞ َ َ َ ۡ ُّ َ َ َ
‫َل أهلِهِۦٓ إَِل أن يَ َّص َّدق ْۚوا فإِن َكن مِن ق ۡوم ع ُد ِوٖ لك ۡم َوه َو‬ ِ ‫رقبةٖ مؤمِن ٖة ودِية مسلمة إ‬
َ َّ َ َ
ٰٓ ِ ‫ ُّم َسل َم رة إ‬ٞ‫ق فَدِيَة‬ٞ َٰ‫ِيث‬
‫َل‬
َ ِ ُ َ ۡ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ ِۢ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ ََ ٞ ُۡ
‫ير َرق َبةٖ ُّمؤم َِنةٍٖۖ ِإَون َكن مِن قوم بينكم وبينهم م‬ ‫مؤمِن فتح ِر‬

َ َ َّ ٗ َ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ َ َ ۡ َ ۡ َّ َ َ َ ۡ ُّ َ َ َ ُ ۡ َ َ َۡ
‫ني ت ۡو َبة ِم َِن ٱَّللٌِۗ َوَكن‬
ِ ِ‫ع‬‫ب‬‫ا‬‫ت‬ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ن‬
ِ ‫ي‬ ‫ر‬‫ه‬ ‫ش‬ ‫ام‬ ‫ي‬ ‫ص‬
ِ ‫ف‬ ‫د‬‫ي‬ِ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫م‬‫ف‬ ‫ة‬
ٍۖ
ٖ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ؤ‬ ‫م‬ ‫ة‬
ٖ ‫ب‬ ‫ق‬‫ر‬ ‫ير‬ ‫ر‬
ِ ‫َت‬ ‫و‬ ‫ِۦ‬ ‫ه‬ِ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫أ‬

ٗ ‫ِيما َحك‬
٩٢ ‫ِيما‬ ُ َّ
ً ‫ٱَّلل َعل‬

92. Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka
dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [An
Nisa"(4):92]
72

Ayat tersebut menegaskan bahwa kaffarah bagi pembunuhan tidak sengaja


adalah membebaskan budak mukmin. Ini adalah lafazh muqayyad. Jadi tidak
boleh membebaskan budak non mukmin (kafir).
Dalam pembahasan mutlaq dan muqayyad, di antaranya terdapat kaidah
membawa mutlaq kepada muqayyad (hamlu al-mutlaq ‘ala al-muqayyad).
Maksudnya, kadang suatu lafazh bersifat mutlaq dalam satu nash, namun ternyata
dalam nash lain lafazh itu diberi tambahan sifat-sifat sehingga bersifat muqayyad.
Maka lafazh mutlaq pada nash pertama tadi harus dipahami sebagai lafazh yang
telah diikat dengan sifat-sifat tertentu meski sifat-sifat tertentu itu dinyatakan di
tempat lain. Misalnya
ُ َ َ ُۡۡ َ َّ ۡ َ َّ ُ ٓ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ ُ َّ َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َ ِ ُ
‫ري ٱَّللِ بِهِۦ وٱلمنخن ِقة‬
ِ ‫ِغ‬ ‫ل‬ ‫ِل‬ ‫ه‬ ‫أ‬ ‫ا‬‫م‬‫و‬ ‫ير‬
ِ ِ ‫ِزن‬ ‫ٱْل‬ ‫ح ِرمت عليكم ٱلميتة وٱِلم وِلم‬
َ َ َ ُ َ َ ۡ ُ ۡ َّ َ َ َّ ُ ُ َّ َ َ َ ٓ َ َ ُ َ َّ َ ُ َ ِ َ َ ُ ۡ َ ُ َ ُ ۡ َ ۡ َ
ُ ُّ‫لَع ٱْل‬
‫ب‬
ِ ‫ص‬ ‫وٱلموقوذة وٱلمَتدِية وٱْل ِطيحة وما أكل ٱلسبع إَِل ما ذكيتم وما ذبِح‬
ْ َ َ َ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ ‫َ َٰ ُ ۡ ۡ ر‬ َۡ َ
ََ ُ
‫ِين كف ُروا مِن دِين ِك ۡم فَل‬
‫ذل ِكم ف ِسق ٌۗ ٱِلوم يئِس ٱَّل‬ َٰ‫َوأن ت َ ۡس َت ۡقس ُِموا ْ بِٱْل ۡز َل ِ ٍۚم‬

ُ‫ضيت‬ َ َ َ ۡ ۡ ُ َۡ َ ُ ۡ َ ََۡ ۡ ُ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ َۡۡ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ َۡ


ِ ‫َّتشوهم وٱخشو ِ ٍۚن ٱِلوم أكملت لكم دِينكم وأتممت عليكم ن ِعم ِِت ور‬

‫ِيم‬ َ َّ ‫جان ِف ِِْلثۡم فَإ َّن‬


ٞ ‫ َّرح‬ٞ‫ٱَّلل َغ ُفور‬ َ ۡ ‫ُّم َم َصة َغ‬
َ ‫ري ُم َت‬ َۡ
‫ِف‬
ۡ
َّ ‫ٱض ُط‬
‫ر‬ ‫ن‬ َ ‫ك ُم ۡٱْل ۡس َل َٰ َم د ِٗينا ْۚ َف‬
‫م‬
ُ َ
‫ل‬
ِ ٖ ِ ٖ ِ ِ ِ

3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)


yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib
dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Ma"idah (5):3]

Ayat di atas antara lain mengharamkan memakan darah. Ini bersifat mutlak
baik darah yang mengalir (sudah keluar dari tubuh hewan) ataupun tidak mengalir
(masih ada dalam tubuh hewan). Namun selanjutnya, lafazh itu wajib dipahami
sebagai darah yang mengalir, karena ada ayat yang bersifat muqayyad berikut:
73

ٗ‫ون َم ۡي َت ًة أَ ۡو َدما‬
َ ُ َ َ ٓ َّ ٓ ُ ُ َ ۡ َ َ َٰ َ َ ً َّ َ ُ َّ َ َ ُ ٓ َ
ِ ُ
‫جد ِِف ما أوَح إَِل َّمرما لَع طاع ِٖم يطعمهۥ إَِل أن يك‬
َ ٓ َّ ُ
ِ ‫قل َل أ‬

َ ۡ ‫ٱض ُط َّر َغ‬


ٖ‫ري بَاغ‬
ۡ َ َّ ۡ َ َّ ُ ً ۡ ۡ َ ‫َ َّ ُ ۡ ر‬ َ ً ُ ۡ َّ
ۡ َ ‫وحا أ ۡو‬
‫ري ٱَّلل ِ بِهِْۚۦ ف َم ِن‬
ِ ‫ِغ‬ ‫ل‬ ‫ِل‬ ‫ه‬‫أ‬ ‫ا‬‫ق‬ ‫ِس‬ ‫ف‬ ‫و‬‫أ‬ ‫س‬‫ج‬ِ ‫ر‬ ‫ۥ‬ ‫ه‬‫ن‬ ‫إ‬ ‫ف‬
ِ ٖ ِ‫ير‬ ‫ِزن‬
‫خ‬ َ ‫ِل‬
‫م‬ ‫مسف‬

َ َّ َ َّ َ َ َ َ
ٞ ‫ َّرح‬ٞ‫ك َغ ُفور‬
١٤٥ ‫ِيم‬ ‫وَل َعدٖ فإِن رب‬

145. Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al An'am (6):145]
Jadi, darah yang dimaksudkan dalam surat Al-Maidah ayat 3 di atas adalah
darah yang mengalir. Inilah yang dimaksud dengan kaidah membawa mutlaq
kepada muqayyad.

Mujmal dan Mubayyan


Mujmal adalah lafazh yang pada saat disebutkan tidak dapat dipahami satu
makna tertentu, tapi lebih dari satu makna, sementara tidak ada keistimewaan satu
makna atas lainnya. Dengan ringkas, mujmal dapat disebut juga lafazh yang tidak
jelas dalalah-nya (maknanya).
Sebagai contoh
َ َ ۡ َ َ ُّ َ َ ُ ََ ََ ُ َ ُ َٰ‫َوٱل ۡ ُم َط َّل َق‬
ۡ َ َ َ‫ت ي‬
‫س ِه َّن ثلَٰثة ق ُر ٓو ٖء ٍۚ َوَل َيِل ل ُه َّن أن يَك ُت ۡم َن َما خل َق‬
ِ ‫َت َّبص َن بِأنف‬

َ َٰ َ َّ ِ َ ُّ َ َ َّ ُ ُ َ ُ ُ َ ۡ َ ۡ َ َّ َّ ۡ ُ َّ ُ َّ َ ۡ َ ُ َّ
ٓ ِ ‫ٱَّلل‬
‫ِف أرحا ِم ِهن إِن كن يؤمِن بِٱَّللِ وٱِلو ِم ٱٓأۡلخ ِِرٍۚ وبعوَلهن أحق بِر ِدهِن ِِف ذل ِك‬

ُ َّ ‫ ٌۗ َو‬ٞ‫ِلر َجال َعلَ ۡيه َّن َد َر َجة‬


ِ ‫وف َول‬ ُ ُ ََ ۡ
ۡ ‫اد ٓوا ْ إ ۡص َل َٰ ٗحا َول َ ُه َّن م ِۡث ُل َّٱَّلِي َعلَ ۡيه َّن بٱل ۡ َم‬
‫ٱَّلل‬ ِ ِ ِ ٍۚ ِ ‫ر‬ ‫ع‬ ِ ِ ْۚ ِ ‫إِن أر‬

‫َعز ر‬
‫يز َحك ر‬
٢٢٨ ‫ِيم‬ ِ
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. [Al Baqarah (2):228]
74

Kata tiga kali quru’ adalah lafazh yang mujmal, yang tidak jelas maknanya.
Sebab menurut bahasa, quru’ bisa berarti haidh dan bisa pula berarti suci (al-
thuhr)
Contoh ayat mujmal lainnya

َ ‫ٱلركِع‬
٤٣ ‫ني‬ َ ْ ُ َ ۡ ‫ٱلز َك َٰوةَ َو‬
ِ ََّٰ ‫ٱركعوا م َع‬ َّ ْ ‫لصلَ َٰوةَ َو َءاتُوا‬ ُ ‫َوأَق‬
َّ ‫ِيموا ْ ٱ‬

43. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
[Al Baqarah (2):43]

َ َ َّ َ َ َ َ َ ُ َ َّ ٞ َ ِ َ َۢ ُ َٰ ‫فِيهِ َء َاي‬
ِ َّ‫ِيمَۖ َو َمن دخل ُهۥ َكن َءام ِٗناٌۗ َو َِّلل ِ لَع ٱْل‬
‫اس ح ُِّج‬ َ ‫ام إبۡ َرَٰه‬
ِ ‫ت بيِنَٰت مق‬

َ ‫ِن َعن ۡٱل َعَٰلَم‬


ٌّ ‫ٱَّلل َغ‬
َ َّ ‫ك َف َر فَإ َّن‬
َ َ ‫يَل َو‬ٗ َ َۡ َ َ َ ۡ َ َۡۡ
٩٧ ‫ني‬ ِ ِ ِ ِ ‫ن‬ ‫م‬ ْۚ ِ ‫ت م ِن ٱستطاع إِِلهِ سب‬
ِ ‫ٱْلي‬

97. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. [Al 'Imran (3):97]

Dalam kedua ayat tersebut, kewajiban shalat dan haji masih bersifat mujmal.
Dalam hal shalat, tidak dijelaskan berapa kali sehari, berapa rakaatnya, dan
sebagainya. Dalam hal haji, tidak dijelaskan apakah dilakukan setahun sekali atau
seumur hidup sekali, dan sebagainya.
Mubayyan (disebut juga mufassar) adalah kebalikan dari mujmal, yaitu
lafazh yang telah jelas maknanya. Bayan didefinisikan sebagai mengeluarkan
sesuatu dari ketidakjelasan menuju kejelasan. Bayan berupa nash-nash yang
merinci ketentuan yang mujmal. Misalnya perbuatan (aqwal) atau perbuatan
(af’aal) dari Rasulullah SAW yang menjelaskan secara lebih detil tatacara shalat
dan haji. Sabda Nabi SAW
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”
“Ambillah oleh kalian dariku manasik haji kalian”

Muhkam dan Mutasyabih


Dasar pembahasan ayat muhkam dan mutasyabih adalah firman Allah surat
Al-Imran ayat 7

َ ُ َ ۡ ُّ ُ َّ ُ ‫ ُّ ۡ َ َ َٰ ر‬ٞ َٰ َ َ ُ ۡ َ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ َ ٓ َّ َ ُ
‫ب َوأخ ُر‬ َٰ
ِ ‫هو ٱَّلِي أنزل عليك ٱلكِتب مِنه ءايت َّمكمت هن أم ٱلك‬
‫ِت‬

َ‫ش َب َه م ِۡن ُه ٱبۡت ِ َغا ٓ َء ۡٱلفِ ۡت َن ِة َوٱبۡت ِ َغآء‬ َ ُ َّ َ َ ٞ ۡ َ ۡ ُ ُ َّ َّ َ َ ٞ َ َ َ ُ


َٰ َ َ ‫ون َما ت‬ َ َٰ ‫مت‬
‫شبِهَٰتَۖ فأما ٱَّلِين ِِف قلوب ِ ِهم زيغ فيتبِع‬
75

ۡ ِ ِٞ ُ َّ َ َ َ ُ َُ ۡ ۡ َ ُ ََّٰ َ ُ َّ َّ ٓ ُ َ ۡ َ ُ َ ۡ َ َ َ َۡ
‫تأوِيلِهَِۖۦ وما يعلم تأوِيلهۥ إَِل ٱَّللٌۗ وٱلرسِخون ِِف ٱل ِعل ِم يقولون ءامنا بِهِۦ ُك مِن عِن ِد‬

٧ ‫ب‬ َٰ َ ‫َر ِب َناٌۗ َو َما يَ َّذ َّك ُر إ ََّلٓ أ ُ ْولُوا ْ ۡٱْلَ ۡل‬
‫ب‬
ِ ِ ِ
7. Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. [Al 'Imran:7]

Ayat-ayat muhkam adalah ayat Al-Qur’an yang tidak menimbulkan


kesamaran atau keserupaan (isytibah) pada pendengar akan maknanya. Atau ayat
yang tidak mengandung makna kecuali hanya satu makna. Ayat muhkam adalah
ayat yang jelas maknanya dan dapat tersingkap secara terang, sedemikian
sehingga menghilangkan adanya kemungkinan (ihtimal) akan adanya makna lain.
Misalnya firman Allah
َ ُ َّ ُ ۡ ُ
١ ‫ٱَّلل أ َح رد‬ ‫قل ه َو‬

1. Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. [Al Ikhlas(112):1]

َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َّ َ ُ ُ َ َ ْ َٰ َ ِ َ ُ ُ ۡ َ َ َّ
‫وم ٱَّلِي َي َتخ َّب ُط ُه ٱلش ۡي َطَٰ ُن م َِن‬ ‫ٱلربوا َل يقومون إَِل كما يق‬
ِ ‫ٱَّلِين يأكلون‬
َ َ ْ َٰ َ ِ َ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ َّ َّ َ َ َ ْ َٰ َ ِ ُ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ َّ ْ ٓ ُ َ ۡ ُ َّ َ َ َٰ َ ِ َ ۡ
‫ٱلرب ْۚوا فمن‬ ِ ‫ٱلرب ٌۗوا وأحل ٱَّلل ٱْليع وحرم‬ ِ ‫س ذل ِك بِأنهم قالوا إِنما ٱْليع مِثل‬ ْۚ ِ ‫ٱلم‬
َ ٰٓ َ ْ ُ َ َ َ ۡ َ َ َّ َ ٓ ُ ُ ۡ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َٰ َ َ َ ِ َّ ِ ٞ َ ۡ َ ُ َ ٓ َ
‫جاءهۥ موعِظة مِن ربِهِۦ فٱنتَه فلهۥ ما سلف وأمرهۥ إَِل ٱَّللَِۖ ومن َعد فأولئِك‬

َ ُ َٰ َ َ ۡ ُ َّ ُ َٰ َ ۡ َ
٢٧٥ ‫أصحب ٱْلارٍِۖ هم فِيها خ ِِلون‬

275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [Al Baqarah(2):275]
76

َّ َ ِ ٗ َٰ َ َ َ َ َ َ َۢ َ ٓ َ َ َ ُ َ ۡ َ ْ ٓ ُ َ ۡ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
ُ َّ ‫ٱَّللٌِۗ َو‬
‫ٱَّلل َعزيزر‬
ِ ‫وٱلسارِق وٱلسارِقة فٱقطعوا أيدِيهما جزاء بِما كسبا نكَل مِن‬

ٞ ‫َحك‬
٣٨ ‫ِيم‬

38. Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al Ma"idah (5):38]

Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat muhkam, jelas maknanya dan tidak ada
kemungkinan adanya makna lain. Ayat pertama, secara jelas menyatakan bahwa
Allah itu Maha Esa (ahad). Tak ada kemungkinan sedikitpun makna lain bahwa
Allah itu bukan ahad. Ayat kedua juga jelas, menyatakan halalnya jual-beli dan
haramnya riba. Tak ada kemungkinan makna lain, yakni misalnya haramnya jual-
beli dan halalnya riba. Ayat ketiga juga jelas, bahwa hukuman bagi pencuri adalah
potong tangan. Tak ada kemungkinan makna lainnya bahwa hukumannya adalah
selain potong tangan, misalnya dipenjara, diberhentikan dari pekerjaan, atau
makna lainnya.
Adapun ayat mutasyabih, adalah ayat yang mengandung kesamaran atau
kesamaran (isytibah) bagi pendengarnya dan mengandung lebih dari satu makna
yang dapat dilakukan tarjih (pengunggulan salah satu makna) di antara beberapa
makna tersebut.
Contoh ayat mutasyabih adalah firman Allah SWT
َ َ ۡ َ َ ُّ َ َ ُ ََ ََ ُ َ ُ َٰ‫َوٱل ۡ ُم َط َّل َق‬
ۡ َ َ َ‫ت ي‬
‫س ِه َّن ثلَٰثة ق ُر ٓو ٖء ٍۚ َوَل َيِل ل ُه َّن أن يَك ُت ۡم َن َما خل َق‬
ِ ‫َت َّبص َن بِأنف‬

َ َٰ َ َّ ِ َ ُّ َ َ َّ ُ ُ َ ُ ُ َ ۡ َ ۡ َ َّ َّ ۡ ُ َّ ُ َّ َ ۡ َ ُ َّ
ٓ ِ ‫ٱَّلل‬
‫ِف أرحا ِم ِهن إِن كن يؤمِن بِٱَّللِ وٱِلو ِم ٱٓأۡلخ ِِرٍۚ وبعوَلهن أحق بِر ِدهِن ِِف ذل ِك‬

ُ َّ ‫ ٌۗ َو‬ٞ‫ِلر َجال َعلَ ۡيه َّن َد َر َجة‬


ِ ‫وف َول‬ ُ ُ ََ ۡ
ۡ ‫اد ٓوا ْ إ ۡص َل َٰ ٗحا َول َ ُه َّن م ِۡث ُل َّٱَّلِي َعلَ ۡيه َّن بٱل ۡ َم‬
‫ٱَّلل‬ ِ ِ ِ ٍۚ ِ ‫ر‬ ‫ع‬ ِ ِ ْۚ ِ ‫إِن أر‬

‫َعز ر‬
‫يز َحك ر‬
٢٢٨ ‫ِيم‬ ِ
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. [Al Baqarah (2):228]

Ayat di atas mengandung dua kemungkinan makna. Tiga kali quru’ dapat
berarti tiga kali suci atau tiga kali haidh. Lafazh quru’ dalam bahasa Arab
memang mengandung dua makna, yaitu haidh dan suci.
77

Contoh lainnya

ُ َ ٗ َ َ َ ۡ َ ُ ُّ َ َ َ ۡ َ
ۡ‫وه َّن َوقَد‬ ُ ۡ َّ
‫ف َرض ُت ۡم ل ُه َّن ف ِريضة فن ِۡصف َما‬ ‫مِن قب ِل أن تمس‬ ‫ِإَون َطلق ُت ُموه َّن‬

َّ ‫ٱْلِ ََِك ِح َوأَن َت ۡع ُف ٓوا ْ أ َ ۡق َر ُب ل‬


َْٰۚ ‫ِلت ۡق َو‬
‫ى‬ ُ‫أَ ۡو َي ۡع ُف َوا ْ َّٱَّلِي ب َيده ِۦ ُع ۡق َدة‬ َ ُ َ ٓ َّ ۡ َ
‫ف َرض ُت ۡم إَِل أن َي ۡعفون‬
ٍۚ ِ ِ

َ ُ َ ۡ َ َ َ َّ َّ ۡ ُ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ ْ ُ َ َ َ َ
‫ون بَ ِص ر‬
٢٣٧ ‫ري‬ ‫وَل تنسوا ٱلفضل بينك ْۚم إِن ٱَّلل بِما تعمل‬

237. Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan


mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah
seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu
lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. [Al Baqarah (2):237]

Lafazh “biyadihi ‘uqdatun nikah” (oleh orang yang memegang ikatan nikah)
mengandung dua kemungkinan, bisa berarti suami atau wali. Kalau diartikan wali,
maka yang memaafkan adalah wali, sehingga suami dibebaskan dari membayar
seperdua mahar. Kalau diartikan suami, maka yang memaafkan adalah suami,
sehingga suami membayar seluruh mahar.
Ayat mutasyabih lainnya misalnya ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat
Allah yang mengandung keserupaan dengan sifat mahluknya, misalnya bahwa
Allah mempunyai “tangan”, “wajah” dan sebagainya.
Misalnya firman Allah

َ ۡ ۡ َ َٰ َ َ ۡ ُ َ ِ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ َ
ِ
٢٧ ‫ٱْلكرام‬
ِ ‫ِق وجه ربِك ذو ٱْلل ِل و‬ َٰ ‫ويب‬

27. Dan tetap kekal Dzat/Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. [Ar
Rahman(55):27]

َ َ َّ َ َ ۡ ۡ َ َ ۡ َ َّ ُ َ َ َّ َ ُ َ ُ َ َّ َ َ ُ َ ُ َ َّ َّ
َ‫ث فَإ َّنما‬
ِ ‫إِن ٱَّلِين يبايِعونك إِنما يبايِعون ٱَّلل يد ٱَّلل ِ فوق أيدِي ِه ْۚم فمن نك‬

ٗ ‫ٱَّلل فَ َس ُي ۡؤت ِيهِ أ َ ۡج ًرا َع ِظ‬


١٠ ‫يما‬ َ َّ ‫َّف ب َما َع َٰ َه َد َعلَ ۡي ُه‬
َٰ َ َۡ ۡ َ َ
‫و‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ‫ِۦ‬
ۡ َ َٰ َ َ ُ ُ َ
ِ َۖ ‫ينكث لَع ن‬
‫ه‬‫س‬ِ ‫ف‬

10. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan
barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. [Al
Fath:10]

Sesuai dengan aqidah tanzihiyah, yaitu aqidah yang harus tetap mensucikan
sifat-sifat Allah, maka ayat-ayat di atas tentu tidak dapat dipahami menurut makna
78

zhahirnya atau makna hakikinya. Sifat-sifat Allah tidaklah serupa dengan sifat-
sifat mahluknya. Allah berfirman
َ ََۡ ۡ َ ُ ُ َ ِ ُ َ َ َۡ َ َ َّ ‫فَاط ُِر‬
‫سك ۡم أ ۡز َو َٰ ٗجا َوم َِن ٱْلنع َٰ ِم أ ۡز َو َٰ ٗجا‬
ِ ‫ۡرض َج َعل لكم م ِۡن أنف‬
ٍِۚ ‫ت َوٱْل‬
ِ َٰ ‫ٱلسمَٰو‬

َ ۡ ‫يع‬
ُ ‫ٱْل ِص‬
١١ ‫ري‬
َ
َّ ‫ َو ُه َو‬ٞ ‫َشء‬
ُ ‫ٱلس ِم‬ ۡ َ َۡ ُ ُ َۡ
َۖ ۡ ‫يذ َرؤك ۡم فِي ٍۚهِ لي َس ك ِمثلِهِۦ‬
11. (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah
yang Maha Mendengar dan Melihat. [Ash-Shura (42):11]

ُ َ َ ُ ُ ُ َّ ُ َ ۡ َ َ
٤ ‫ولم يكن َلۥ كف ًوا أحد‬
َۢ

4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". [Al Ikhlas (112):4]

Maka ayat-ayat mutasyabih yang menyatakan bahwa Allah mempunyai


“tangan” dan “wajah” hendaknya dipahami menurut makna majazinya, bukan
makna hakikinya, mengingat ada dalil yang mengharus kita untuk mengalihkan
makna hakiki menjadi makna majazi. “wajah” Allah dalam surat Ar-Rahman ayat
27 tersebut dapat ditakwilkan sebagai “Dzat” Allah, atau wujud Allah. Sedang
“tangan” Allah dalam dalam Al-Fath ayat 10 dapat ditakwilkan sebagai “qudrah”
Allah, ataupun nikmat Allah.
Perlu dipahami bahwa ayat-ayat mutasyabih bukanlah ayat yang tidak bisa
dipahami maknyanya, seperti pendapat sebagian ulama. Sebab, tidak ada satupun
ayat dalam Al-Qur’an, kecuali pasti mempunyai makna dan dapat dipahami
maksudnya. Maha suci Allah dari menurunkan ayat mustahil dipahami oleh
manusia.
Pendapat bahwa ada ayat yang tidak bisa dipahami maknanya, bertentangan
dengan nash Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Al-Quran adlah penjelasan atau
penerangan bagi manusia.
ُ َ َٰ َ َ َ َ ۡ َ ْ ُ ُ َ َۡ ْ ُ َ َٞ ُ ۡ ُ َۡ ۡ َ‫قَ ۡد َخل‬
‫ۡرض فٱنظروا كيف َكن عقِبة‬ ِ ‫ِريوا ِِف ٱْل‬
‫ت مِن قبل ِكم سَن فس‬
َ ُۡ
َ ‫ك ِ ِذب‬
‫ [ آل عمران‬١٣٧ ‫ني‬ِ ‫ٱلم‬
137. Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul). [Al 'Imran(3):137]

Jelaslah, bahwa ayat mutasyabih itu bukan ayat yang tidak bisa dipahami
maknanya, melainkan ayat yang masih dapat dipahami maknanya, hanya saja ia
mengandung lebih dari satu makna.
79

C. DAFTAR PUSTAKA
Artikel dikutip secara lengkap dari : Kurnia, M. R., Jati, M. S., & Yusanto, M. I.
(2002). Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur'an dan Al-Hadits. Jakarta:
Khairul Bayan.

D. TAHAPAN PEMBELAJARAN
1. Berdoa
2. Dosen memberi materi perkuliahan mengenai Aqsamul Qur’an (08.00-
9.20)
3. Tutor memberikan kuis menguji tingkat pemahaman mahasiswa terkait
Materi Pembelajaran (10.00-10.30). Setiap Mahasiswa diharapkan telah
membaca Materi Pembelajaran semalam/sehari sebelumnya.
4. Tutor memberikan penjelasan mengenai jawaban kuis (10.30-11.00)
5. Setiap Mahasiswa diminta membaca/menghapal Al-Quran dengan
dikoreksi oleh Tutor (11-12.00).
6. Lanjutan Tadarrus Al-Qur’an (13.00-14.00)
7. Tutor menjelaskan Tugas Modul IV (14.00-14.15)
8. Mahasiswa presentasi ppt berdasarkan Tugas Modul III (14.15-15.30)
9. Mahasiswa mengumpulkan resume paling lambat pukul 17.00 melalui
google Class-room

E. TUGAS MODUL
1. Tugas berupa presentasi dan diskusi dengan materi hasil tugas Modul III
2. Tugas dikerjakan secara berkelompok sesuai dengan kelompok Modul III
3. Mahasiswa presentasi ppt. Mahasiswa yang sedang tidak berceramah
mencatat resume dan memberikan masukan atau pertanyaan.
4. Tugas resume dikerjakan secara individu.
5. Penilaian berdasarkan kemampuan menguasai forum, diksi, pengusaan
materi, kedisiplinan, akhlak dan kerjasama antar anggota kelompok..
80

MODUL V. NASAKH DALAM AL QUR’AN, TAFSIR DAN


TA’WIL
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Beberapa perintah mengalami perubahan hukum pada masa
turunnya Al-Qur’an, atau masa sebelum Islam. Tetapi perubahan tersebut
tidak berlaku untuk saat ini sebab hukum bersifat konstan. Selain itu,
beberapa ayat dapat ditafsirkan khususnya ayat dengan makna yang jelas,
dan beberapa lagi hanya dapat ditakwilkan khususnya ayat-ayat
mutasyabihat. Mahasiswa diharapkan mampu memahami proses nasakh
hukum. Mahasiswa juga diharapkan mampu memahami perbedaan tafsir
dan ta’wil.

2. Ruang Lingkup
a. Nasakh dalam Al-Qur’an : Pengertian Nasakh, Landasan Hukum
Nasakh dan Ragam Nasakh
b. Tafsir dan Ta’wil : Pengertian Tafsir dan Ta’wil, Perbedaan Tafsir
dan Ta’wil, Keutamaan Tafsir

3. Sasaran Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu memahami Nasakh dalam Al-Qur’an.
b. Mahasiswa mampu memahami perbedaan tafsir dan ta’wil serta
perannya dalam memaknai Al-Qur’an
c. Mahasiswa mampu mengetahui keutamaan tafsir dan perbedaannya
dengan ta’wil

B. MATERI PEMBELAJARAN

NASAKH DALAM AL-QUR’AN

Pengertian Nasakh
Ada tiga makna nasakh menurut bahasa. Pertama, nasakh berarti
menghapus (al izalah). Misalnya terdapat dalam ungkapan “nasakhat al syamsu al
zhilla” (cahaya matahari telah menghapus bayang-bayang). Kedua, nasakh berarti
memindahkan (al naql), misalnya ungkapann “nasakhtu al kitab” (saya
memindahkan buku). Ketiga, nasakh berarti mengganti (tabdil), sebagaimana
uraian Ibnu Manzhur dalam Lisanu al Arab mengenai makna-makna nasakh.
Beliau mengatakan nasakh adalah “tabdilu al syai’ min al syai’ wa huwa
ghairuhu” (menggantikan sesuatu dengan sesuatu yang lain).
Makna nasakh per istilah, menurut sebagian ulama ushuliyyin (ulama ahli
ushul fiqih), adalah membatalkan hukum yang diambil dari nash terdahulu dengan
nash yang datang belakangan. Atau nasakh adalah khithab al Syari’ (seruan Allah
SWT) yang mencegah terus berlangsungnya hukum sebelumnya. Sebagian yang
81

lainnya mengatakan bahwa nasakh adalah hukum syara’ karena adanya khitab
syar’i.
Lebih lengkapnya Muhammad Ali Al Hasan mendefinisikan nasakh adalah
mengangkat hukum syara’ karena adanya suatu dalil syar’i (raf’u al hukmi al
syar’i bi dalil syar’i). Yang dimaksud dengan mengankat hukum (raf’u al hukmi)
adalah menghapus hukum (izalatu al hukm), yaitu mukallaf tidak lagi dituntut
untuk melaksanakannya.
Masih menurut Al Hasan, dari definisi tersebut dapat dipahami beberapa
alasan mengenai nasakh. Di antaranya hukum yang dinasakh haruslah merupakan
hukum yang bersifat syar’i atau hukum syara’, bukan hukum yang bersifat aqli
(ditetapkan bersadarkan akal). Di samping itu, dalil yang menasakh atau yang
mengangkat suatu hukum, juga harus berupa hukum syara’ yang datang
belakangan setelah hukum yang dinasakh. Kemudian, hukum yang dinasakh
haruslah tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya firman Allah SWT

ۡ َّ َ َ َ ِ ْ ُّ َ َّ ُ
١٨٧ ٍۚ‫ٱلصيام إَِل ٱِل ِل‬
... ِ ‫َٔۖ ثم أت ِموا‬...
187. … Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, .... [Al Baqarah
(2):187]

Tujuan yang disebut dalam ayat “ila al lail” (sampai malam) memberikan
makna bahwa puasa akan berakhir dengan masuknya malam. Namun, bukan
berarti bahwa tujuan yang menunjukkan berhentinya kewajiban menyempurnakan
puasa -yakni ‘ilal lail’- adalah ayat yang menasakh kewajiban menyempurnakan
puasa. Sebab ungkapan tersebut bersambungan langsung (ittishal) dengan hukum
yang pertama (yakni menyempurnakan puasa) yang terdapat dalam firman-Nya
“tsumma atimmu ash shiyam” (kemudian sempurnakanlah puasa itu). Jadi
potongan ayat “ilal lail” bukanlah rafi’ atau yang mengangkat keberlakuan
hukum, melainkan sekedar penjelasan (bayan) atau penyempurna (itmam)
terhadap pengertian kalimat, serta merupakan penetapan masa atau syarat bagi
penyempurnaan puasa. Yang disebut rafi’ adalah bila terdapat dalil kedua setelah
datangnya dalil pertama secara mutlak. Maksudnya, dalil yang pertama tadi akan
terus berlaku tanpa syarat, andaikata tidak ada nasakh.
Batasan lain mengenai terjadinya nasakh adalah bahwa nasakh dapat terjadi
bila terdapat pertentangan yang hakiki (ta’arudh haqiqi) antar dua dalil. Bila
pertentangannya bukan hakiki, misalnya dua dalil masih dapat dijama’
(dikompromikan), berarti tidak terjadi nasakh.

Landasan Hukum Nasakh


Adanya nasakh terlihat jelas dalam Al-Qur’an dan Ijma’ sahabat. Dan fakta
terjadinya nasakh (wuqu’ al nasakh) adalah bukti terbaik mengenai adanya
ketentuan ini (jawazu al nasakh). Bukti-bukti adanya nasakh terlihat dalam ayat-
ayat Al-Qur’an yakni
82

ِ ُ َٰ َ َ َ َّ َّ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َ ٓ َ ۡ ۡ َ ٓ َ ۡ ِ ۡ َ َۡ َ ُ َۡ َ ۡ ۡ َ َ َ
‫ُك‬
ِ ‫ري مِنها أو مِثل ِها ٌۗ ألم تعلم أن ٱَّلل لَع‬ ِ ‫۞ما ننسخ مِن َءاية أو ننسِها نأ‬
ٖ ‫ت ِِب‬

ۡ َ
‫َشءٖ قَد ر‬
١٠٦ ‫ِير‬

106. Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? [Al Baqarah (2):106]

ۡ َ ۡ َ َ ٓ َ َّ ْ ٓ ُ َ ُ ِ َ ُ َ ُ َ ۡ َ ُ َّ َ َ َ َ َ َّ ٗ َ َ ٓ َ ۡ َّ َ َ
‫نت ُمفَت ِۢ ْۚٔ بَل‬ ‫زنل قالوا إِنما أ‬ِ ‫ِإَوذا بدْلا ءاية مَكن ءايةٖ وٱَّلل أعلم بِما ي‬
َ َُ ۡ َ َ ۡ ُ َُ ۡ َ
١٠١ ‫أكَثهم َل يعلمون‬

101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu
adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. [An
Nahl (16):101]

Kedua ayat di atas menunjukkan telah terjadi nasakh dalam Al-Qur’an.


Imam Al Qurthubi dalam kitab tafsirnya al Jami’ li Ahkami Al-Quran
mengatakan, sababun nuzul ayat ini adalah kedengkian orang-orang Yahudi
kepada kaum Muslimin mengenai pergantian arah shalat ke Kabah setelah
sebelumnya mengarah ke Baitul Maqdis. Mereka mencela utusan itu. Menurut
mereka Muhammad telah memerintahkan para sahabatnya dengan sesuatu,
kemudian melarangnya. Berarti, menurut orang-orang Yahudi itu Al-Qur’an
hanyalah karangan Muhammad sehingga saling bertentangan satu sama lain.
Maka kemudian turunlah kedua ayat diatas.
Imam Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya Al-Kasysyaf menafsirkan firman
Allah dalam surat An Nahl ayat 101 di atas sebagai berikut.
“Penggantian ayat (tabdilu al ayah) adalah nasakh. Dan Allah SWT
menasakh syariat lama dengan syariat baru karena kemaslahatan. Allah SWT
Maha Mengetahui kemaslahatan dan kemudaratan. Maka Allah menetapkan apa
yang dikehendaki-Nya dan menasakh apa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-
Nya. Inilah makna firman Allah SWT ‘padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja.’”
Konsensus sahabat tentang terjadinya nasakh, dapat dilihat dari adanya
ijma’ (kesepakatan) mereka bahwa syariat Muhammad SAW telah menasakh
seluruh syariat-syariat sebelumnya. Juga dapat dilihat dari adanya ijma’ mereka
tentang nasakh kewajiban wasiat (atas kedua orang tua dan kerabat) dengan ayat-
ayat waris. Ijma’ sahabat ini juga merupakan dalil syar’i mengenai adanya nasakh
Al-Qur’an.
Kendati dalil-dali syar’i di atas sudah cukup membuktikan adanya nasakh,
tetap saja ada sebagian ulama muta’akhirin yang menolaknya. Terhadap pendapat
83

yang menolak nasakh ini, Ibnu Katsir menyatakan dalam kitab tafsirnya (Tafsir
Ibnu Katsir I/151)
“Yang membuat orang Yahudi menolak nasakh tiada lain adalah kekufuran
dan kesombongan. Padahal sesungguhnya tidak masuk akan argument yang
menolak terjadinya nasakh pada hukum-hukum Allah. Sebab, Allah berhak
menghukumi sesuai kehendak-Nya sebagaimana Allah berhak berbuat sesuai
kehendak-Nya. Nasakh sungguh telah terjadi pada hukum-hukum Allah dalam
kitab-kitabnya terdahulu dan syariat-syariat sebelumnya. Misalnya dulu Adam AS
dibolehkan menikahi anak perempuan dari anak lelakinya, kemudian sesudahnya
diharamkan. Demikian pula dulu Nuh AS -setelah turun dari perahunya-
dibolehkan memakan hewan apa saja lalu dinasakh sebagiannya. Demikian juga
menikahi dua orang perempuan bersaudara dulu halal bagi Israil (Yaqub AS) dan
anak-anak lelakinya, kemudian diharamkan dalam Taurat dan kitab-kitab
sesudahnya. Allah pun pernah memerintahkan Bani Israil untuk membunuh
orang-orang yang menyembah sapi yang dijadikan berhala, kemudian Allah
mengangkat hukum ini agar Bani Israil tidak punah oleh pembunuhan. … Banyak
sekali masalah nasakh kalau disebutkan, yang sebenarnya diakui oleh para
pengingkar nasakh.

Ragam Nasakh
Ada tiga macam nasakh. Pertama, nasakh hukum tanpa disertai nasakh
bacaan (tilawah). Kedua, nasakh bacaan tanpa disertai nasakh hukum. Ketiga
nasakh hukum dan bacaan sekaligus. Para ulama menyepakati nasakh yang
pertama, berbeda pendapat dalam dua yang lainnya.
1. Nasakh hukum tanpa nasakh bacaan
Contoh dari nasakh jenis pertama ini adalah ayat

َ َٰ َ ٗ َ َ َ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ َ ۡ َ ْ ُ ِ َ َ َ ُ َّ ُ ُ ۡ َ َٰ َ َ ْ ٓ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ ٰٓ َ
‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا إِذا نجيتم ٱلرسول فقدِموا بني يدي جنوىكم صدقة ْۚ ذل ِك‬

َ َّ ‫ك ۡم َوأ َ ۡط َه ُر ْۚ فَإن ل َّ ۡم ََت ُدوا ْ َفإ َّن‬


‫ َّرح ر‬ٞ‫ٱَّلل َغ ُفور‬
١٢ ‫ِيم‬
ُ َّ ٞ ۡ َ
‫خري ل‬
ِ ِ ِ
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.
Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah
(58):12]
Ayat ini telah mewajibkan memberikan sedekah sebelum pembicaraan
dengan Nabi SAW. Kemudian ayat ini dinasakh dengan firman Allah SWT
84

َّ َ َ َ ْ ُ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َٰ َ َ َ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ َ ۡ َ ْ ُ ِ َ ُ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ
ُ‫ٱَّلل‬ ‫ت فإِذ لم تفعلوا وتاب‬ ٍۚ ٖ ‫َٔأشفقتم أن تقدِموا بني يدي جنوىكم صدق‬
َ ُ َ ُ َ ‫ٱَّلل َو َر ُس‬
ُ َّ ‫وَل ْۚۥ َو‬
ُ ‫ٱَّلل َخب‬
‫ري َۢ ب ِ َما ت ۡع َملون‬ ُ ‫ٱلز َك َٰو َة َوأَط‬
َ َّ ْ ‫ِيعوا‬ َّ ْ ‫ٱلصلَ َٰو َة َو َءاتُوا‬ ُ ‫ك ۡم فَأَق‬
َّ ْ ‫ِيموا‬ ُ َۡ َ
‫ع لي‬
ِ

١٣

13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah (58):13]
Contoh lainnya, pada awal awal Islam Allah SWT, mewajibkan mengurung
atau menahan (al habs) wanita yang berzina di dalam rumah sebagai had (sanksi)
baginya.
ْ ُ َ َ ۡ ُ ِ ٗ َ َ ۡ َ َّ ۡ َ َ ْ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ ٓ َ ِ َ َ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َٰ َّ َ
‫حشة مِن ن ِسائِكم فٱستش ِهدوا علي ِهن أربعة مِنكمَۖ فإِن ش ِهدوا‬ ِ ‫وٱل ِِت يأت ِني ٱلف‬
ٗ َ ُ َّ َ َ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ َ ۡ َّ ُ َٰ َّ َ َ َ َّ َ ۡ ُ ُ ََۡ
١٥ ‫ٱَّلل ل ُه َّن َسبِيَل‬ ‫ِت يتوفىهن ٱلموت أو يعل‬ َٰ ‫وت ح‬
ِ ُ
‫ي‬ ُ ‫ٱْل‬ ‫ِف‬
ِ
َّ
‫ن‬ ‫وه‬ ‫فأمسِك‬

15. Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. [An Nisa" (4):15]

Hukum ini kemudian dinasakh dengan hukuman cambuk dan pengasingan


(taghrib) selama satu tahun (bagi yang belum menikah atau ghairu muhshan) dan
hukuman rajam dengan batu bagi yang sudah menikah (muhshan).

ٞ ََۡ َ ُ ۡ ُ َۡ َ َ َۡ َ ََ ْ َ ُ ۡ ِ َّ ُ ْ ُ ۡ َ َّ َ ُ َ َّ
‫ح ٖد مِنهما مِائة جِلةٍٖۖ وَل تأخذكم ب ِ ِهما رأفة ِِف‬ ِ َٰ ‫ِلوا ُك َو‬ ِ ‫ٱلزان ِية وٱلز ِاِن فٱج‬
ٞ َ ٓ َ َ ۡ ۡ ۡ َّ َ ُۡ ُ ُ َّ
‫نت ۡم تؤم ُِنون بِٱَّلل ِ َوٱِلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخ ِِرٍۖ َوليَش َه ۡد عذ َاب ُه َما َطائِفة ِم َِن‬ ‫ِين ٱَّلل ِ إِن ك‬ ِ ‫د‬
]2-2:‫ [ اْلِور‬٢ ‫ِني‬َ ‫ٱل ۡ ُم ۡؤ ِمن‬
2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. [An
Nur(24):2]
Yang dinasakh (mansukh) pada kedua contoh di atas adalah hukumnya,
sementara bacaannya tetap ada dalam Al-Qur’an. Sebab nsakah tidak terjadi
kecuali pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Nasakh tidak terjadi pada
ayat-ayat yang berhubungan dengan aqidah, pokok-pokok akhlak, kisah-kisah
85

(seperti kisah para nabi), dan pemberitaan (ikhbar) seperti pemberitaan tentang
surga dan neraka.
Meski para ulama menyepakati macam nasakh pertama ini, namun mereka
berbeda pendapat mengenai jumlah ayat yang dinasakh. Ada ulaman yang
menghitung sampai ratusan ayat. Ada yang sedang-sedang dan ada pula yang
sedikit.

2. Nasakh bacaan tanpa nasakh hukum


Jenis nasakh kedua, yakni bacaan tanpa disertai nasakh hukum, para ulama
berbeda pendapat mengenai keberadaannya. Ada yang mengatakan bahwa hal itu
ada dalam Al-Qur’an. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Umar
bin Khaththab dan Ubay bin Ka’ab bahwa keduanya berkata. “Dahulu pada kami
telah turun ayat Al-Qur’an yang berbunyi ‘Laki-laki tua dan perempuan tua
apabila mereka berzina maka rajamlah keduanya’”.
Ayat ini meskipun hukumnya tetap ada, akan tetapi bacaannya tidak lagi
terdapat dalam Al-Qur’an. Contoh lainnya adalah apa yang diriwayatkan dari
Ubay bin Ka’ab juga, bahwa dia berkata, “Dahulu surat Al-Ahzab sebanding
dengan surat Al-Baqarah atau bahkan lebih.” Ini berarti bahwa banyak ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah dinasakh bacaannya.
Namun, sebagian ulama menafikan terjadinya nasakh kedua ini. Dan ini
pendapat yang lebih kuat. Mereka menyatakan bahwa hal itu tidak terjadi karena
ayat-ayat yang dianggap di nasakh bacaannya itu tidaklah bersifat qath’i dari segi
tsubut (penyumberan dari Rasul). Ayat-ayat tersebut diriwayatkan secara ahad
(bukan mutawatir). Jadi yang dianggap dinasakh itu bukanlah bagian Al-Qur’an,
karena Al-Qur’an dari segi tsubut-nya haruslah bersifat mutawatir, bukan ahad.
Dengan demikian, karena ayat-ayat yang dianggap dinasakh bacaannya itu bukan
Al-Qur’an, maka sebenarnya tidak terjadi nasakh jenis kedua ini dalam Al-
Qur’an.

3. Nasakh hukum dan bacaan sekaligus


Sedangkan nasakh yang ketiga, yakni nasakh hukum dan bacaan sekaligus,
contohnya adalah apa yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Aisyah
bahwa dia berkata
“Pada kami turun ayat “asyru radha’atin ma’lumatinyahrumna” (sepuluh
kali susuan yang diketahui akan mengakibatkan hubungan mahram bagi wanita
yang menyusui). Lalu ayat ini dinasakh dengan ayat “khamsu ma’lumatin” (lima
kali susuan yang diketahui). Rasulullah kemudian wafat dan ayat ini termasuk
ayat Al-Qur’an yang mereka baca”
Bantahan terhadap nasakh kedua sebenarnya juga dapat ditujukan untuk
nasakh ketiga ini, sebab bagaimana mungkin Aisyah menyatakan dalam hadits itu
“Rasulullah kemudian wafat dan ayat-ayat itu termasuk ayat Al-Qur’an yang
mereka baca” padahal kita tahu bahwa ayat itu tidak ada dalam Al-Qur’an
sekarang, yaitu dalam mushaf Utsmani. Maka dari itu, mayoritas fuqaha tidak
mengambil hukum ini, dan tentunya mereka juga tidak mengambil bacaannya.
Mayoritas ulama juga tidak mengambil bacaan (qiraah) dari riwayat ahad,
seperti qiraah Ibnu Mas’ud tentang surah Al-Maidah ayat 89 “fashiyamu tsalatsti
86

ayyamin mutatabi’atin,” (maka kaffaratnya adalah puasa selama tiga hari berturut-
turut) yang di dalamnya ada tambahan kata mutatabi’atin. Banyak fuqaha yang
tidak menganggap qiraah ini sebagai Al-Qur’an, melainkan menganggapnya
sebagai hadist, meskipun didapati pada mushaf sahabat besar.

TAFSIR DAN TA’WIL

Pengertian Tafsir dan Ta’wil


Tafsir, secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar al fasr yang
berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna
yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “dlaraba – yadlribu” dan “nashara
– yanshuru”. Dikatakan “fasara (asy syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran” dan
“fassarahu”, artinya “abanahu” (menjelaskan).
Kata al tafsir dan al fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang
tertutup. Dalam Lisanul ‘Arab dinyatakan kata “al fasr” berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup, sedangkan kata “at-tafsir” berarti menyingkap maksud
sesuatu lafaz yang musykil atau pelik. Dalam Qur’an dinyatakan:

ً‫ٱِل ِق َوأ َ ۡح َس َن َت ۡفسِ ريا‬


َۡ ‫ك ب‬
َ َٰ َ ۡ َّ َ َ َ َ ُ ۡ َ َ َ
ِ ِ ‫ج ئن‬ ِ ‫وَل يأتونك بِمثل إَِل‬
33. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya
(tafsirnya). [Al Furqan (25):33]

Maksudnya, “yang paling baik penjelasan dan perinciannya”. Di antara


kedua bentuk kata, al fasr dan al tafsir, kata al tafsir -lah yang paling banyak
dipergunakan. Sementara menurut Al Baghdady, kalimat yang terakhir itu
bermakna pasti Kami datangkan kepadamu suatu kebenaran dengan lafaz (kata-
kata) yang lebih baik dan lebih jelas daripada yang mereka datangkan kepadamu.
Sebagian ulama berpendapat, kata “tafsir” (fasara) adalah kata kerja yang
terbalik, berasal dan kata “safara” yang juga berarti menyingkapkan (al kasf).
Kata-kata safarat al mar’ah shufura berarti perempuan itu menanggalkan
kerudung dan mukanya. La adalah “safirah” (perempuan yang membuka muka).
Kata-kata asfara ash shubhu artinya waktu subuh telah terang.
Menurut Ar Ragib, kata al fasr dan al safr adalah dua kata yang berdekatan
makna dan lafaznya. Tetapi yang pertama untuk (menunjukkan arti)
menampakkan (menzahirkan) makna yang ma’qul (abstrak), sedang yang kedua
untuk menampakkan benda kepada penglihatan mata. Itulah tafsir menurut
bahasa. Ringkasnya, tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan maksud dari suatu
lafaz (bayanu al murad bi al lafhz).
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah “ilmu
yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal
hal lain yang melengkapinya”. Dengan nada yang sama, Az-Zarkasyi menyatakan
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada
87

Muhammad SAW, menjelaskan makna-makna serta mengeluarkan hukum dan


hikmahnya.”
Adapun Ta’wil, secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali
ke asal, memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya. Berdasarkan hal ini,
ta’wil kalam (menakwilkan kalimat) dalam istilah mempunyai dua makna.
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya
mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau
sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan.
Kedua, ta’wilul kalam dalam anti menafsirkan dan menjelaskan maknanya.
Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tafsir-nya
dengan kata-kata “Pendapat tentang ta’wil firman Allah itu …begini dan
begitu…” dan kata-kata “Ahli ta’wil berbeda pendapat tentang ayat ini” Jadi yang
dimaksud dengan kata ta’wil di sini adalah tafsir. Pada titik ini jelaslah bahwa arti
tafsir dan takwil secara bahasa sama.
Walaupun demikian, menurut peristilahan syara’, kata ta’wil mempunyai
makna khusus, yaitu penjelasan yang dimaksud oleh makna (bayannu al murad bi
al ma’ani). Kata ini di dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Imran ayat 7

َ ُ َ ۡ ُّ ُ َّ ُ ‫ ُّ ۡ َ َ َٰ ر‬ٞ َٰ َ َ ُ ۡ َ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ َ ٓ َّ َ ُ
‫ب َوأخ ُر‬ َٰ
ِ ‫هو ٱَّلِي أنزل عليك ٱلكِتب مِنه ءايت َّمكمت هن أم ٱلك‬
‫ِت‬

َ‫ش َب َه م ِۡن ُه ٱبۡت ِ َغا ٓ َء ۡٱلفِ ۡت َن ِة َوٱبۡت ِ َغآء‬ َ ُ َّ َ َ ٞ ۡ َ ۡ ُ ُ َّ َّ َ َ ٞ َ َ َ ُ


َٰ َ َ ‫ون َما ت‬ َ
‫شبِهَٰتَۖ فأما ٱَّلِين ِِف قلوب ِ ِهم زيغ فيتبِع‬ َٰ ‫مت‬

ِٞ ُ َ ُ ُ ۡ ۡ َ ُ ََّٰ َ ُ َّ َّ ٓ ُ َ ۡ َ ُ َ ۡ َ َ َ َۡ
‫ٱلرسِخون ِِف ٱل ِعل ِم َيقولون َء َام َّنا بِهِۦ ُك ِ ِم ۡن عِن ِد‬ ‫تأوِيلِهَِۖۦ وما يعلم تأوِيلهۥ إَِل ٱَّللٌۗ و‬

َ ۡ َ ۡ ْ ُ ْ ُ ٓ َّ ُ َّ َّ َ َ َ َ ِ َ
‫ب‬ َٰ
ِ ‫ربِناٌۗ وما يذكر إَِل أولوا ٱْللب‬
7. Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-
cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal. [Al 'Imran:7]

Maka, Imam Al Qurthubi menegaskan “tafsir adalah penjelasan tentang


lafazh. Misalnya, firman Allah : La raiba fihi (tidak ada keraguan di dalamnya)
dijelaskan dengan makna la syakka fihi (tidak ada keraguan di dalamnya).
Sedangkan ta’wil adalah penjelasan makna yang dimaksud, seperti firman Allah
la raiba fihi ditakwilkan dengan: tidak ada keraguan di kalangan kaum yang
beriman, atau, karena ia sendiri merupakan kebenaran maka zatnya tak mungkin
dapat diragukan.
88

Perbedaan Tafsir dan Ta’wil


Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut.
Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang makna tafsir dan ta’wil, dapat
disimpulkan
1. Apabila yang dimaksud ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan
maknanya, maka “ta’wil” dan “tafsir” adalah dua kata yang berdekatan atau
sama maknanya. Termasuk pengertian ini ialah doa Rasulullah untuk Ibnu
Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami
agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.
2. Apabila ta’wil itu dimaksudkan sebagai esensi yang dimaksudkan dari suatu
perkataan, maka ta’wil dan thalah (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang
dituntut itu sendiri dan ta’wil dari kabar adalah esensi sesuatu yang diberikan.
Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup besar; sebab
tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan, dan penjelasan
ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan
ungkapan yang menunjukkannya. Sedang ta’wil ialah esensi sesuatu yang
berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Sebagai contoh, jika dikatakan
“Matahari telah terbit”, maka ta’wil ucapan ini ialah terbitnya matahari itu
sendiri. Inilah pengertian ta’wil yang lazim dalam bahasa Al-Qur’an
sebagaimana telah dikemukakan Allah berfirman

َّ ُ ِ ُۡ ََ ۡ َ ْ ُ ۡ َ ۡ ِ َ ُ ْ ُ ۡ َ ۡ ُ ُ َٰ َ َ ۡ َ ُ ُ َ ۡ َ
‫ٱَّلل‬
ِ ِ ‫ون‬‫د‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ع‬‫ط‬‫ت‬ ‫ٱس‬ ‫ن‬
ِ ‫م‬ ‫وا‬ ‫ع‬‫ٱد‬‫و‬ ‫ِۦ‬ ‫ه‬ِ ‫أم يقولون ٱفَتىهَۖ قل فأتوا بِسورة ٖ م‬
‫ل‬ ‫ِث‬

َ َٰ َ َ ُ ُ ۡ َ ۡ ۡ َ َّ َ َ ۡ ْ ُ ُ ۡ َ َ ْ ُ َّ َ ۡ َ َ َٰ َ ۡ ُ ُ
‫ِيطوا بِعِل ِمهِۦ ولما يأت ِ ِهم تأوِيله ْۚۥ كذل ِك‬ ‫إِن كنتم ص ِدق ِني بل كذبوا ب ِما لم َي‬

‫ني‬ ِ
َٰ َّ ُ َ َٰ َ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ َ ۡ ۡ َ
َ ‫ٱلظلِم‬ َ ‫َك َّذ َب َّٱَّل‬
‫ِين مِن قبل ِ ِهمَۖ فٱنظر كيف َكن عقِبة‬

38. Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah:


"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya
dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika
kamu orang yang benar". 39. Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang
mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka
penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul).
Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu. [Yunus (10):38-39]
Maksud ta’wil di situ ialah terjadinya sesuatu yang diberitakan tersebut.
3. Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Al-Qur’an atau tertentu
(pasti) dalam sunnah yang shahih karena maknanya jelas dan gamblang.
Sedangkan ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama.
4. Dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam (menjelaskan) lafaz
dan mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dalam (menjelaskan)
makna dan susunan kalimat.

Walaupun banyak pendapat seperti itu, Al Baghdady dengan mengutip


pendapat As Sayuthi menyebutkan bahwa perbedaan mendasar antara tafsir
89

dengan ta’wil adlah bahwa tafsir menerangkan maksud yang ada pada lafaz,
sedangkan ta’wil menerangkan maksud yang ada pada makna. Jadi, lanjutnya,
kalau ada orang yang menggunakan kata tafsir maka yang dimaksud adalah
penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab itu, tafsir didefinisikan sebagai ilmu untuk
memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk
menjelaskan semua maknanya, untuk menyimpulkan hukum-hukum dan
hikmahnya dengan bantuan ilmu bahasa Arab termasuk nahwu dan sharafnya,
ilmu bayan (sistematika dan metode penjelasan), ushul fiqih, dan ilmu qiraat
(ilmu tentang bacaan Al-Qur’an yang benar). Selain itu juga diperlukan
pengalaman tentang asbabun nuzul serta nasikh – mansukh.

Keutamaan Tafsir
Tafsir adalah ilmu paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia
merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasannya dan tujuannya. Objek
pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan
“tambang” segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat memahami tali
Agama Allah agar bisa dipegangi secara kokoh untuk meraih kebahagiaan hakiki.
Dan kebutuhan akan ilmu tafsir tidak pernah berakhir. Sebab, tanpa memahami
Al-Qur’an, hidup tak ubahnya seperti berjalan di tengah padang pasir pada tengah
malam tanpa tahu arah. Sebaliknya, dengan memahami Al-Qur’an arah dan aturan
hidup menjadi amat gamblang dan terarah seperti orang naik kereta api yang
melaju kencang di atas rel yang sudah pasti.

C. DAFTAR PUSTAKA
Artikel dikutip secara lengkap dari : Kurnia, M. R., Jati, M. S., & Yusanto, M. I.
(2002). Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur'an dan Al-Hadits. Jakarta:
Khairul Bayan.

D. TAHAPAN PEMBELAJARAN
1. Berdoa
2. Dosen memberi materi perkuliahan mengenai Nasakh dalam Al-Qur’an,
Tafsir dan Ta’wil (08.00-9.20)
3. Tutor memberikan kuis menguji tingkat pemahaman mahasiswa terkait
Materi Pembelajaran (10.00-10.30). Setiap Mahasiswa diharapkan telah
membaca Materi Pembelajaran semalam/sehari sebelumnya.
4. Tutor memberikan penjelasan mengenai jawaban kuis (10.30-11.00)
5. Setiap Mahasiswa diminta membaca/menghapal Al-Quran dengan
dikoreksi oleh Tutor (11-12.00).
6. Lanjutan Tadarrus Al-Qur’an (13.00-14.00)
7. Tutor menjelaskan Tugas Modul V dan tips menyelesaikannya (14.00-
14.15)
8. Mahasiswa mengerjakan Tugas Modul V (14.15-15.30)
9. Mahasiswa mengumpulkan Tugas Modul paling lambat pukul 17.00
melalui google Class-room

E. TUGAS MODUL
Membuat Naskah Ceramah
90

1. Buatlah naskah ceramah dengan tema “Kesehatan” dalam 500 kata


(pembagian tema akan dijelaskan oleh dosen tutor lebih lanjut.
2. Naskah menjelaskan tema berdasarkan tafsir surat-surat Al-Quran.
3. Tugas naskah dikerjakan secara mandiri
4. Tugas naskah ditulis tangan.
5. Pustaka minimal dua kitab tafsir. Perpustakaan pusat UIN menyediakan
tafsir Al-Misbah, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
6. Tugas naskah discan dan dikumpulkan pada pukul 17.00 melalui google
class room
7. Penilaian tugas berdasarkan kemampuan mengembangkan ide menjadi
tulisan yang menarik, kedalaman materi, dan tidak plagiasi
8. Tugas naskah ceramah dikerjakan secara mandiri/per individu
9. Naskah akan dibacakan pada Modul VI. Durasi ceramah diperkirakan
tujuh menit, termasuk doa dan salam.

Anda mungkin juga menyukai