Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

SINDROM KORORNER AKUT

Disusun oleh :

Harith Naufal Subrata 170100050


Habib Al-Kahfi Nasution 170100054
Adrian Joshua Velaro 170100138

PEMBIMBING:
dr. Faisal Habib, Sp.JP(K) FIHA

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN


KARDIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah berjudul ”Sindrom Koroner Akut”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Kardiologi Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Dalam proses penyusunan makalah ini,
penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada dr. Faisal Habib,
Sp.JP(K) FIHA selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan
membantu penulis selama proses penyusunan makalah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan penulisan makalah di kemudian hari. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi
penulisan ilmiah di masa mendatang.

Medan, Mei
2021

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Penguji

dr. Faisal Habib, Sp.JP(K) FIHA

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..i
LEMBAR PENGESAHAN….…………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………...iii
DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL…………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang…………………………………………….1

1.2 Tujuan Penulisan…………………………………………..2

1.3 Manfaat Penulisan…………………………………………2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………….…………………..3


2.1 Sindrom Koroner Akut……………………………………3

2.2 Troponin. ………………………………………………..11

2.3 Terapi SKA………………………………………………13

BAB III STATUS PASIEN……………………………………………..24

BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………31
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………32

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Spektrum SKA................................................................10

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG.........................9
Tabel 2.2 Jenis Dan Dosis Penyekat Beta Untuk Terapi IMA .........15
Tabel 2.3 Jenis dan Dosis Nitrat ………………………..................16
Tabel 2.4 Jenis dan Dosis penghambat Kanal Kalsium Untuk Terapi
IMA...................................................................................................17
Tabel 2.5 Jenis dan Dosis Antiplatelet Untuk Terapi IMA...…… ...19
Tabel 2.6 Jenis dan Dosis Antikoagulan Untuk Terapi IMA...…….20
Tabel 2.7 Jenis dan Dosis inhibitor ACE Untuk Terapi IMA...… ...22

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kumpulan gejala dari penyakit arteri
koroner trombotik, dimana kondisi ini akibat dari iskemik miokardial, dan yang
termasuk SKA adalah Unstable Angina Pectoris (UAP), ST Elevasi Miocard
Infarction (STEMI) dan Non ST Elevasi Miocard Infarction (NSTEMI) (Yuniaty,
2012).

Penyakit jantung koroner adalah salah satu penyakit degeneratif yang menjadi
masalah serius di dunia karena prevalensinya yang terus meningkat. Penyakit
jantung koroner ini disebabkan oleh manifestasi aterosklerosis di pembuluh darah
koroner dan banyak menyerang individu-individu di usia produktif (Ariandiny,
Afriwardi and Syafri, 2014).

Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian terbanyak di dunia.


Pada tahun 2030, WHO memerkirakan hampir 23,6 juta penduduk dunia meninggal
akibat penyakit kardivaskular. Setiap tahunnya di Amerika, hampir 1,36 juta orang
dirawat dengan sindrokm koroner akut, dengan 0,81 juta diantaranya mengalami
infark miokard dan sisanya mengalami unstabe angina (UA). Sekitar dua pertiga
pasien dengan infark miokard merupakan NSTEMI dan sisanya merupakan
STEMI. Penyakit kardiovaskular di Indonesia terbanyak yaitu, hipertensi, penyakit
jantung koroner, gagal jantung, dan stroke. Prevalensi penyakit jantung koroner
berdasarkan riset data kesehaan dasar pada tahun 2013 menurut diagnosis dan
gejala sebesar 1,5% yang jika dibandingkan dengan riset yang sama pada tahun
2007, mengalami penurunan dari angka 7,2% (Jamil, 2017).

Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) merupakan salah satu RS


Jantung rujukan nasional di Indonesia yang salah satu jenis pelayananan adalah
pengobatan pasien SKA. Berdasarkan total jumlah klien yang masuk ke UGD
PJNHK Pada tahun 2011 didapatkan jumlah klien yang di diagnosa SKA adalah

1
24,2%. Dari jumlah tersebut didapatkan jumlah klien yang di diagnosa UAP :
39,7%, NSTEMI : 35,9%, dan yang di diagnosa STEMI : 24,4%. Dan dari januari
2012 sampai april 2012 tercatat dari 3841 klien yang masuk UGD PJNHK, 751
kasus dengan SKA dengan diagnosa UAP sebanyak 267 kasus, NSTEMI 257 kasus
dan STEMI 227 kasus (Yuniaty, 2012).

1.2 TUJUAN PENULISAN

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai Sindrom Koroner Akut


untuk melengkapi tugas di Departemen Kardiologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan mengenai


Sindrom Koroner Akut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SINDROM KORONER AKUT


2.2.1 Defenisi

Sindrom koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan


ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke
otot jantung (miokardium). Sindrom koroner akut ini merupakan sekumpulan
manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria (Stoppler dan Sheill,
2008). Sindrom Koroner Akut (SKA) melibatkan kumpulan penyakit jantung yang
meliputi infark miokard dengan elevasi segmen ST, infark miokard tanpa elevasi
segmen ST, dan angina pectoris yang tidak stabil (Kumar dan Cannon, 2009)
Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi karena
serangkaian pembentukan trombus sehingga menyebabkan penyumbatan parsial
ataupun total pada pembuluh darah.

2.1.2 Faktor Risiko

Secara garis besar, faktor risiko terjadinya SKA dibagi menjadi dua, yaitu
faktor risiko yang tidak dapat diperbaiki (non modifiabble) yang terdiri dari usia,
jenis kelamin, dan riwayat penyakit keluarga, serta faktor risiko yang dapat
diperbaiki (modifiabble), yang terdiri dari hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas,
diabetes melitus, hiperurisemia, aktivitas fisik yang kurang, stress, dan gaya hidup.

2.1.2.1 Rokok

Efek rokok menambah beban miokard dikarenakan rangsangan yang


dihasilkan katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi
karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menjadikan takikardi,
vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas pembuluh darah,
dan merubah 5-10% Hb menjadi karboksi-Hb sehingga meningkatkan
risiko terkena SKA. (Torry, 2014)
3
2.1.2.2 Hipertensi

Hipertensi dapat berpengaruh terhadap jantung melalui peningkatan beban


jantung yang dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan dapat
mempercepat timbulnya ateresklerosis. Hal ini dikarenakan aliran darah
yang tinggi memberikan tekanan yang tinggi terhadap dinding pembuluh
darah arteri koroner yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya
ateresklerosis koroner. (Torry, 2014)

2.1.2.3 Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya

Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah


arteri. Sehingga, lumen pembuluh darah menyempit. Hal ini yang disebut
aterosklerosis.
Penyempitan pembuluh darah ini dapat mengakibatkan penurunan aliran
darah yang sampai ke jantung, sehingga suplai dan penerimaan oksigen
jantung menjadi tidak seimbang, yang akhirnya bermanifestasi sebagai
nyeri dada. (Torry, 2014)

2.1.3 Patogenesis
2.1.3.1 Inisiasi Aterosklerosis

Aterosklerosis adalah proses pembentukan plak yang teritama terjadi pada


tunika intima dari arteri sedang-besar. Proses yang terus berlangsung selama
hidup seseorang sampai pada akhirnya akan bermanefestasi sebagai
Sindrom Koroner Akut. Beberapa faktor risiko memegang peranan penting
dalam proses ini, seperti hiperkolesterolemia, hupertensi, diabetes, dan
merokok. Faktr-faktor risiko ini merusak endotel dari pembuluh darah, yang
memegang peranan penting pada proses ini. Disfungsi endotel ditandai
dengan penurunan bioavaibilitas dari nitrit oksida dan peningkatan produksi
berlebihan dari endotelin 1, yang memengaruhi hemostasis dari pembuluh

4
darah yaitu meningkatkan ekspresi molekul adhesin dan meningkatkan
trombogenisitas darah. (Kumar dan Cannon, 2009)

2.1.3.2 Perkembangan Plak Aterosklerotik

Saat endotel pembuluh darah rusak, sel-sel inflamasi, terutama monosit,


bermigrasi menuju lapisan subendotel dengan berikatan pada molekul
adhesin endotel, kemudian sel-sel ini berdiferensiasi menjadi makrofag.

Makrofag ini kemudian akan mengoksidasi Low-density lipoprotein (LDL)


yang juga sebelumnya telah penterasi ke dalam dinding arteri, yang berubah
menjadi foam cell dan membentuk fatty streaks.

Makrofag yang telah teraktivasi ini akan melepaskan zat-zat kemoatraktan


dan sitokin-sitokin yang akan lebih mnegaktifkan proses ini dengan
merekrut lebih banyak sel-sel otot pembuluh darah yang akan mensisntesis
komponen matriks ekstraseluler pada lokasi terbentuknya plak. (Kumar dan
Cannon, 2009)

2.1.3.3 Ruptur Plak, Atherombosis, dan SKA

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Davies, 1990, studi otopsi


menjukkan bahwa, rupturnya plak menyebabkan hampir dari 75% kasus
fatal Infark Miokard, sedangkan 25% sisanya disebabkan oleh erosi
permukaan endotelium. (Kumar dan Cannon, 2009)
Trombosis terjadi karena dua proses yang berbeda. Pertama, dikarenakan
oleh ekspansi proses denudasi dari endotel yang kemudian menyebabkan
area yang besar dari jaringan penyambung subendotel dari plak terekspos.
Trombus kemudian terbentuk melekat pada permukaan plak. Proses ini
kemudian dikenal dengan nama erosi endotel/endothellium errosion.
(Davies, 2000)

5
Studi obervasional menunjukkan hubungan yang erat antara kehilangan sel
endotel dengan kemungkinan peran dari makrofag. Makrofag-makrofag ini
sangat teraktivasi dan menyebabkan kematian sel endotel dengan cara
apoptosis dan juga produksi dari protease yang memotong perlengketan sel
endotel dari dinding pembuluh darah. (Davies, 2000)

Kedua, robekan kapsul plak membuat inti lipid dari plak terekspos dengan
darah dari lumen arteri. Area inti sangat trombogenik, mengandung tissue
factor, fragmen kolagen, dan permukaan kristalin yang dapat mempercepat
terjadinya koagulasi. Pada awalnya, trombus hanya akan terbentuk di dalam
plak itu sendiri, kemudian akan melebar, dan bahkan dapat memasuki lumen
arteri. (Davies, 2000)

Distrupsi plak seperti erosi endotel, merupakan reflesksi dari tingkatan


aktifitas inflamasi di dalam plak. Penutup/cap dari plak tersebut adalah
struktur dinamis terdiri dari matriks jaringan penyambung, yang secara
reguler terganti dan dipelihara oleh sel otot polos. Proses inflamasi
menurunkan sintesis kolagen dengan menghambat sel otot polos, yang
menyebabkan kematian sel tersebut dengan apoptosis.

Makrofag juga memproduksi metaloproteinase yang mampu mendegradasi


semua komponen dari matriks jaringan penyambung, termasuk kolagen.
Metaloproteinase ini disekresi ke dalam jaringan dalam bentuk yang tidak
aktif, yang kemudian diaktifkan oeh plasmin. Metaloproteinase yang
diproduksi oleh makrofag diregulasi oleh sitokin proinflamasi seperti
TNFα.

Distrupsi plak sekarang lebih dikenal sebagai fenomena penghancuran


otomatis yang berkaitan dengan aktivasi inflamasi yang ditingkatkan.
(Davies, 2000)

2.1.4 Gejala Klinis

6
SKA terlihat timbul secara mendadak, padahal proses terjadinya penyakit ini,
memerlukan waktu yang lama (kronik). Lebih dari 90% terjadinya sindrom koroner
akut adalah faktor dari plak atherosklerosis dengan berlanjut ke pembentukan plak
dari trombus intra koroner. (Torry, 2014) Trombus ini mengubah daerah yang
mulanya sempit karena plak, menjadi sebuah oklusi parah atau total, dan
mengakibatkan aliran darah terganggu dan menyebabkan ketidakseimbangan
antara suplai dan permintaan oksigen jantung. (Torry, 2014)

Bentuk SKA tergantung pada derajat destruksi koroner dan berkaitan dengan
iskemia. Sebagian oklusi trombus memberikan gejala angina tidak stabil/unstable
angina dan bila telah terjadi necrosis miokard maka digolongkan sebagai Infark
Miokard tanpa ST Elevasi. Selanjutnya, jika trombus telah menutup semua lumen
arteri secara total, hal ini akan mengakibatkan iskemia yang lebih parah, dan daerah
yang terkena necrosis menjadi lebih luas, maka gejala yang akan tibu berupa Infark
miokard dengan ST elevasi. (Torry, 2014)

Sifat nyeri yang ditimbulkan sangat khas. Sifat nyeri angina menjadi lebih progresif
kresendo, yaitu terjadi peningkatan dalam intensitas, frekuensi, dan lamanya
episode serangan jika dibandingkan dengan yang dialami selama ini.
Juga angina yang serangannya tidak tentu, dapat terjadi pada waktu kegiatan atau
sedang istirahat. Sifat nyeri yang khas seprti ini digolongkan sebagai angina tidak
stabil.

2.1.5 Diagnosis
2.1.5.1 Anamnesis

Keluhan berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina
atipikal). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermitten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering kali diikuti keluhan penyerta seprti diaporesis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
7
Presentasi angina tipikal yang sering dijumpai antara lain, neyri didaerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indegstion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diterangkan. Hilangnya keluhan
angina seteah terapi nitrat sublingual, tidak prediktif sebagai diagnosis SKA.
(PERKI, 2015)

2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidenifikasi faktor pecetus iskemia,


komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan menyingkirkan diagnosis banding.
(PERKI, 2015)

2.1.5.3 EKG

Gambaran EKG yang ditemukan pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/prasangka baru, elvasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.

Penilaian segmen ST dilakukan pada J point dan ditemukanpada dua sadapan yang
bersebelahan. Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama
dengan pasien LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ prasangkaan baru
mengingat pasien tersebut merupakan kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu,
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat sesegera mungkin
mendapat terapi reperfusi sebelum pemeriksaan marker jantung tersedia. (PERKI,
2015)

Adanya Keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NTEMI)
atau Angina Pectoris tidak stabil (APTS/UAP). Gambaran EKG dengan depresi
segmen ST atau inversi gelombang T. (PERKI, 2015)

8
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-
V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis
kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun
adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada
perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia,
adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan
V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV
dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi
segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh
segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi
di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST
dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien
dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia (PERKI, 2015).

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark


V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Tabel 2.1 Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi
segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi
segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi
segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-
V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat
dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat

9
terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut (PERKI, 2015).

2.1.5.4 Biomarker

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau Troponin I/T merupakan biomarker nekrosis


jantung dan Troponin I/T menjadi biomarker nekrosis jantung mempunyai
akurasitas, sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dari CK-MB. Bahkan
troponin I/T mulai menggantikan CK-MB sebagai marker yang digunakan untuk
mendeteksi nekrosis miokard.(Kumar dan Cannon, 2009)

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB ataupun troponin I/T


menunjukkan kadar yang normal dalam waktu 4-6 jam setelah awitan SKA,
Sehingga, jika kadarnya negatif dalam kurun waktu tersebut, maka pemeriksaan
troponin I/t, Ck-MB harus diulang 8-12 jam setelah awitan pertama SKA. (PERKI,
2015)

CK-MB mempunyai waktu paruh yang singkat, sehingga cocok digunakan sebagai
marker nekrosis miokard dalam infark berulang. (Kumar dan Cannon, 2009)

10
Gambar 2.1 Spektrum SKA

2.2 TROPONIN

Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan keluar ke ruangan interstisial dan
masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskular lokal dan aliran limfatik.
(Samsu dan Sargowo, 2007)

Dari Filatov et al, 1999, tiap-tiap troponin memberikan fungsi khusus diantaranya,
Troponin C mengikat Ca2+, troponin I menghambat aktivitas ATPase dengan
aktomiosin, dan troponin T mengatur ikatan troponin dengan tropomiosin. (Samsu
dan Surgowo, 2007)

Tiga unit troponin kompleks dan tropomiosin terletak di dalam filamen aktin dan
sangat penting dalam kontraksi otot/otot jantung yang dimediasi oleh kalsium.
Karena Troponin C tidak spesifik terhadap otot jantung dan tidak digunakan dalam
mendiagnosis kerusakan otot jantung. Struktur troponin I dan T yang ditemukan di
otot jantung berbeda dengan yang ditemukan di otot skelet, sedangkan untuk
struktur troponin C yang ditemukan di kedua tempat tersebut identik.

11
Kadar cTnT mulai meningkat setelah 3-5 jam setelah jejas, mencapai puncak dalam
12-48 jam, dan kembali normal dalam 5-14 hari. Sedangkan kadar cTnI meningkat
setelah 3 jam setelah terjadi jejas, mencapai puncak dalam 24 jam, dan kembali
normal dalam 5-10 hari. (Samsu dan Surgowo, 2007)

Adanya nekrosis miokard yang kecil, yang tidak terdeteksi oleh EKG maupun oleh
CK-MB dan menunjukkan risiko tinggi IMA, dan kematian jangka panjang maupun
pendek, dapat dideteksi dengan pemeriksaan toponin. Troponin T dan I juga
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk memonitor keberhasilan
terapi reperfusi (angioplasti koroner dan trombolisis arteri koroner). (Samsu dan
Surgowo, 2007)

2.2.1 Troponin T (cTnT)

Troponin T ditemukan pada otot skeletal dan jantung selama pertumbuhan janin,.
Troponin T juga ditemukan dalam keadaan jejas otot, pada penyakit otot (mis,
polimiositis), regenersi otot, gagal ginjal kronik. Hal ini dapat mengurangi
spesifisitas troponin T terhadap jejas otot jantung.

Menurut Gavaghan, 1999 Kadar Troponin T yang meningkat 3-5 jam setelah jejas,
membuat diagnosis adanya perluasan daerah infark dan adanya kejadian ulangan
infark menjadi terganggu. Spesifistas diagnosis Infark Miokard Akut (IMA)
menggunakan troponin T memang tinggi, tetapi beberapa faktor dapat mengurangi
spesifisitas tersebut. Gen untuk cTnT ditemukan pada otot skelet selama
pertumbuhan janin. Saat terjadi jejas otot dan selama proses regenerasinya, otot
skelet nampaknya kembali ke keadaan janin, yang melepas cTnT ke dalam aliran
darah. Selain itu, kadar cTnT juga meningkat pada pasien dengan gagal ginjal
kronik, hal ini terjadi diduga myopati akibat gagal ginjal kronik tersebut. (Samsu
dan Surgowo, 2007)
12
2.2.2 Troponin I (cTnI)

Troponin hanya merupakan petanda pada jejas miokard, dan keberadaan tidak
ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin, setelah trauma atau jejas,
ataupun selama regenerasi otot skeletal. Troponin I sangat spesifik terhadap
jaringan miokard, tidak ditemukan dalam darah orang sehat, dan menunjukkan
peningkatan yang tinggi di atas batas atas pada pasien dengan IMA. Dari Gavaghan,
1999, Troponin I lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan CK-MB pada
jaringan miokard dan sangat akurat dalam mendeteksi kerusakan jantung. Troponin
I meningkat pada kondisi-kondisi seperti miokarditis, kontusio kardiak, dan setelah
pembedahan jantung. Adanya cTnI dalam serum menunjukkan telah terjadi
kerusakan miokard. (Samsu dan Surgowo, 2007)

Sensitivitas troponin I 100% terhadap kejadian IMA, tidak dipengaruhi oleh


penyakit otot skeletal, trauma otot skeletal, penyakit gaga ginjal, ataupun
pembedahan. Kekurangan cTnI ini adalah keberadaannya lama di dalam serum,
sehingga sulit untuk mengetahui kejadian re-infark. Tetapi, di sudut lain, hal ini
juga bisa menjadi suatau keuntungan kepada pasien yang datang ke rumah sakit
beberapa hari setelah awitan infark. (Samsu dan Surgowo, 2007)

2.2.3 Metode Pemeriksaan Troponin

Uji troponin dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitaif dengan metode yang
beragam. Cara uji yg relatif simpel dan banyak digunakan adalah
immunokromatografi. Sebagai contoh adalah Tropospot-I , yaitu suatu uji
immunokromatografi in vitro untuk menentukan secara kualitatif cTnI dalam serum
manusia sebagai alat bantu diagnosis IMA. (Suwo dan Sargowo, 2007)

2.3 TERAPI
Strategi invasif melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien
dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi
ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:

13
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high
risk)
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam

Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria
risiko tinggi (high risk) primer

3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam


Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau
dengan gejala berulang

4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif

Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin.
Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan
dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:

 Nyeri dada tidak berulang


 Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
 Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6
hingga 9)
 Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga
9)
 Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI
juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan
strategi konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini
berdasarkan evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test
untuk menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk
perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif.

14
Risk Score >3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan
revaskularisasi. Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan
penjelasan di atas.

Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:

2.2.1 Anti Iskemia

a) Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak
pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi
oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi.

Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi
kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam
pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B).
Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta
kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk
klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I-B). Beberapa penyekat beta yang sering dipakai
dalam praktek klinik dapat dilihat pada tabel 12.

Penyekat beta Selektivitas Aktivitas agonis parsial Dosis untuk angina


Atenolol B1 - 50-200 mg/hari
Bisoprolol B1 - 10 mg/hari
Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari, titrasi sampai maksimum 2x25 mg/hari
Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari
Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

15
Tabel 2.2 Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA

b) Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah
dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.

1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut
dari episode angina.
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena
jika tidak ada indikasi kontra.

3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung,


atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin
converting enzymes inhibitor (ACE-I).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang
tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat
ditentukan.

Nitrat Dosis

16
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit) Oral 15-80
mg/hari dibagi 2-3 dosis Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg (trinitrin, TNT, glyceryl
trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

Tabel 2.3 Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

c) Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek


vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node.
Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan
AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut
di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB,
terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi
angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI
umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam
mengatasi keluhan angina.

1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien


yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-
C).
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas
III-B).

17
Penghambat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 mg/hari

Tabel 2.4 Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA

d) Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya
untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang
diberikan (Kelas I-A).
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra
seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor
ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran
cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam
faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi
bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan
sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-
C).
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
18
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari (Kelas I-A).
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien
yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor (Kelas I-B).
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP
tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).

9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP


yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk
CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi
(Kelas IIa-C).
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-
B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-
2 selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).

Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan


jenis stent.

Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100 mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari

19
Tabel 2.5 Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

e) Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor


glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian
iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan
DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang
terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak
disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada
pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-
A).

f) Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet


secepat mungkin.

1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan


terapi antiplatelet (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia,
dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara subkutan (Kelas I-A).
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP
(Kelas I-B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan
risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin
berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
20
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia (Kelas I-C).
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari
Bolus i.v. 60 U/g, dosismaksimal 4000 U.
Heparin tidak
Infus i.v. 12 U/kg selama24-48 jam dengan dosis maksimal 1000
terfraksi
U/jam target aPTT 11/2-2x kontrol

Tabel 2.6 Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

g) Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan

1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan


risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat
indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan
dipilih targen INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C).
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada
penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih
terpilih (Kelas IIb-B).

h) Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi


remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard

21
yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung
klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut,
walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti
menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek
antiaterogenik.

1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali


ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik
(PGK) (Kelas I-A).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain
seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard
yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas I-
B).

Inhibitor ACE dosis


Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

Tabel 2.7 Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA

i) Statin

Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi
diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus
diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah
menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A).
22
Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit,
dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL (Kelas
I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk
dicapai.

23
BAB III
STATUS PASIEN
Rekam Medik
No: 83.17.76 Tanggal: 21/03/2021 Hari: Sabtu

Nama Pasien: Torang Sitorus Umur: 63 tahun Seks: LK

Pekerjaan: Dosen Alamat: Jl. Pengilar XI No.


XI Medan
Tlp: - Hp: 082367695881

Keluhan utama: Nyeri Dada

Anamnesis:
 Nyeri dada dirasakan + 3 hari yang lalu pada pukul 22.00
(21/04/2021). Nyeri dada dirasakan seperti tertimpa beban di
bagian dada serta perut, Penyebaran (-), Keringat dingin (-),
Mual & Muntah (+), Karena kelelahan, di pagi hari pada pukul
03.00 (22/04/2021) dibawa ke RS Mitra Sejati dan diberi 4 tablet
di bawah lidah. Riwayat seperti ini pernah dirasakan 1 bulan lalu,
tetapi pasien tidak konsumsi obat.
 Riwayat sesak napas disangkal
 Riwayat jantung berdebar disangkal
 Riwayat kaki bengkak disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat DM disangkal
 Riwayat merokok dijumpai, tetapi sudah berhenti sejak 10 tahun
yang lalu
24
Faktor resiko PJK: Laki-laki >45 tahun, ex smoker, hipertensi
Riwayat penyakit terdahulu: ACS
Riwayat pengobatan: aspilet 160mg/loading, CPG 300mg/loading, Inj.
Arixtra 2,5mg/24 jam, Simvastatin 1x20mg, ISDN 3x5mg

Dinding thoraks: Inspeksi: dbn


Palpasi: dbn
Perkusi: dbn
Auskultasi: S1 S2 (+) reg, murmur (-), Gallop (-)
Jantung: S1 (+) S2 (+) S3 (-) S4(-)
Murmur (+/-) : - Tipe: PSM, MDM, Ej SM,
EDM,
Punctum maximum: Radiasi:
Paru: Suara pernafasan: Vesikuler
Suara tambahan: Ronkhi: - Wheezing: -
Abdomen: Palpasi hepar/lien: soepel
Asites (+/-): -
Ekstremitas: Superior: sianosis - clubbing -

25
Inferior: edema - Pulsasi Arteri: +

Interpretasi rekaman EKG:

SR, QRS Rate 66x/i, Normoaxis,P wave (+), P wave dur 0,08s, PR int
0,16s, QRS duration 0,08s, T inverted di lead V1-V4, LVH (+), VES
(-)
Kesimpulan: Sinus Ritme + Iskemik anterolateral + LVH

26
SR, QRS Rate 60x/i, Normoaxis, P wave (+), P wave dur 0,08s, PR int
0,20s, QRS duration 0,08s, T inverted di lead V1-V4, LVH (+), VES
(-)
Kesimpulan: Sinus ritme + iskemik anterolateral

SR, QRS rate 66x/i, Normoaxis, P wave (+), P wave dur 0,08s, PR int
0,20s, QRS duration 0,08s, T inverted di lead V1-V4, LVH (+), VES
(-)
Kesimpulan: Sinus ritme + iskemik anterolateral + LVH
27
Interpretasi foto thoraks AP

CTR 52%, Segmen aorta dilatasi segmen po Normal, Apex (N),


Kongesti (-), Infiltrat (-)
Kesimpulan: Ao dilatasi

Hasil laboratorium:

Angiografi Koroner
RCA: Normal
LM: Normal
LAD: Stenosis 30% di distal
LCX: Normal

Hasil Lab Darah Lengkap:


Hb 15,2 g/dL
Leukosit 9.000 m3
28
Jumlah Trombosit 161.000 /uL
LED 8 mm/jam
Hematokrit 44 %
Eritrosit 4,9 juta/mm3
MCV 89 fl
MCH 30 pg
MCHC 34 g/dL
RDW 12 %
FDW 12 fl
MPV 9 fl
Eosinofil -%
Basofil -%
Neu Batang 1%
Neu Segmen 88 %
Limfosit 8%
Monosit 3%

Test Gula Darah:


Glucosa Drh Ad Random 124 mg/dl

Imuno-serologi:
Sars COV-2 Antigen Negative

Hasil Lab PK:


Waktu Protrombin
Pasien 12,6 detik

29
Kontrol 14,2 detik

APTT
Pasien 27,7 detik
Kontrol 30,8 detik

Waktu Trombin
Pasien 16,6 detik
Kontrol 19,6 detik

Lemak
Kolesterol 205 mg/Dl
Trigliserida 137 mg/dL
Kolesterol HDL 50 mg/dL
Kolesterol LDL 158 mg/dL

Diagnosis kerja:
- Fungsional: UAP
- Anatomi: Stenosis 30% di distal
- Etiologi: Atherosclerosis

Diferensial diagnosis:
- ACS (NSTEMI, STEMI)
- Gagal Jantung

30
BAB IV
KESIMPULAN
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke
otot jantung (miokardium). SKA terlihat timbul secara mendadak, padahal proses
terjadinya penyakit ini, memerlukan waktu yang lama (kronik). Lebih dari 90%
terjadinya sindrom koroner akut adalah faktor dari plak atherosklerosis dengan
berlanjut ke pembentukan plak dari trombus intra koroner.
SKA adalah suatu situasi kegawat daruratan yang dikarakteristikkan dengan
onset terjadinya iskemia miokardium dan mengakibatkan kematian
jaringan miokardium, bila tidak ada penanganan segera. SKA meliputi unstable
angina, non–elevasi ST segment (NSTEMI), dan elevasi ST segment.
Tujuan penatalaksanaan pada sindroma koroner akut adalah mencegah
nekrosis sel-sel miokardium dan mengupayakan terjadinya reperfusi ke jaringan
miokardium

31
DAFTAR PUSTAKA

Ariandiny, M., Afriwardi, A. and Syafri, M. (2014) ‘Gambaran Tekanan Darah


pada Pasien Sindrom Koroner Akut di RS Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun
2011-2012’, Jurnal Kesehatan Andalas, 3(2), pp. 191–195. doi:
10.25077/jka.v3i2.85.

Jamil, M. (2017) ‘PERBEDAAN RERATA NILAI TROPONIN PADA PASIEN


SINDROM KORONER AKUT DENGAN ST ELEVASI DAN SINDROM
KORONER AKUT TANPA ST ELEVASI DI ICCU RUMAH SAKIT
DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR TAHUN 2016’, pp. 13–14.

Yuniaty, Y. (2012) ‘Hubungan jenis kelamin dengan tanda dan gejala sindrom
koroner akut di unit gawat darurat pusat jantung nasional harapan kita 2013’.

Shiell WC dan Stoppler MC. 2008. Dalam: Webster’s new world Medical
Dictionary. Ed 3. New Jersey: Wiley publishing

Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management,


Part 1. Mayo Clinic Proc. 2009;84(10):917

Torry SRV, Panda A.L, Ongkowijaya J. Gambaran Faktor Risiko Penderita


Sindrom Koroner Akut. 2014. Jurnal E-Clinic;2(1):2-3

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015.


Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Ed 3. Diakses melalui laman
http://jki.or.id

Samsu N, Sargowo D. Sensitivitas dan Spesifitas Troponin T dan I pada


Diagnosis Infark Miokard Akut. 2007. Majalah Kedokteran Indonesia;57(10):366-
371

32

Anda mungkin juga menyukai