Anda di halaman 1dari 5

Zakaria 8 : 1 – 17

Tujuh puluh tahun masa pembuangan telah membuat hidup bangsa Yehuda dan Israel terpuruk. Di tanah
pembuangan Babelonia, mereka tidak diperhitungkan sebagai warga negara. Ketika dipanggil pulang, hanya
segelintir dari mereka yang merespons.
Tuhan memulangkan mereka ke tanah perjanjian sebagai tindakan penyelamatan (7-8). Tuhan
menggerakkan hati Raja Koresy agar mengizinkan mereka pulang. Hal itu merupakan tindakan Allah yang
nyata dalam sejarah.
Setelah mereka menetap, Tuhan masih berbicara kepada sisa-sisa orang Yehuda. Pertama, mereka harus
menguatkan hati. Tuhanlah yang mengerjakan semua kebaikan itu, sehingga mereka bisa pulang ke tanah
perjanjian. Tuhan berjanji akan mengubah hidup mereka menjadi berkat (9-13).

Kedua, jika mereka melaksanakan hukum yang benar, mendatangkan damai di pintu-pintu gerbang,
merancang kebaikan, mengucapkan kata-kata dengan benar, dan ibadah yang benar, mereka akan
mengalami kepenuhan kebaikan Tuhan (14-19).
Dengan melakukan semua itu, mereka akan mengalami sukacita dan kegirangan. Ibadah kepada Tuhan
menjadi suatu kegairahan oleh karena pembebasan dan komitmen baru yang telah mereka perbuat.

Yehuda tetaplah umat Tuhan. Mereka adalah biji mata-Nya. Tuhan sangat mengasihi bangsa ini, sehingga
selalu memberi kesempatan baru kepada mereka. Oleh karena itu, seharusnya mereka mesti serius
melakukan firman Tuhan. Dengan begitulah, mereka akan menjadi berkat bagi dunia.

Umat Kristen, menurut Petrus, adalah milik kepunyaan Allah dan imamat rajani (1Ptr. 2:9). Oleh karena itu,
kita harus memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Imamat rajani harus berperilaku yang patut
dijadikan teladan oleh sesama, misalnya, menjadi pendoa dan panutan di dalam persekutuan, sehingga orang
lain bisa mendapat berkat. Kesaksian hidup apa yang telah Anda tunjukkan kepada orang lain hari ini?
Doa: Tolong kami, ya Allah, untuk menjadi saluran berkat-Mu. [RP]
Sukacita Atas Keselamatan
Mazmur 98:1-9
Banyak hal di dalam hidup kita yang dapat membuat kita bahagia dan bersukacita sehingga kita
mengucap syukur kepada Tuhan dan memuji Dia. Namun tidak sedikit juga orang yang lupa untuk
mengucap syukur dengan apa yang diterimanya di dalam hidupnya. Apakah kita hanya akan mengucap
syukur ketika kita dalam keadaan sukacita saja?
Ada seorang ibu memiliki dua orang anak yang masih duduk dibangku sekolah, si ibu berjanji
kepada anaknya, ia akan memberikan hadiah apabila anak-anaknya tersebut mendapatkan nilai yang bagus
di sekolah. Pada suatu ketika anak-anaknya pun mendapatkan nilai yang bagus di sekolahnya dan
memberitahukan hal tersebut kepada sang ibu dan meminta hadiah seperti yang telah dijanjikan oleh ibunya
tersebut. Lalu ibu tersebut menjawab: “nanti ibu berikan”, akan tetapi sampai beberapa hari ke depan, hadiah
tersebut tidak didapatkan oleh si anak. Hal ini membuat anak-anak bertanya-tanya kenapa ibunya tidak
memberikan hadiah yang telah dijanjikannya. Anak pertama tetap menanti hadiah tersebut dan tetap
semangat di sekolah sementara anak kedua menjadi tidak semangat lagi untuk belajar, karena janji yang
tidak ditepati oleh ibunya tersebut.
 Saudara-saudari melalui ilustrasi tersebut ada dua karakter yang dapat kita lihat yaitu anak pertama
yang tetap setia menanti hadiah yang telah dijanjikan dan anak kedua tidak mau menantikan hadiah lagi.
Di dalam nats pada saat ini  dijelaskan bagaimana Allah menjanjikan keselamatan kepada umat
manusia yang percaya serta setia menantikan keselamatan tersebut. Bagaimana bangsa Israel menyambut
keselamatan yang telah dijanjikan itu, bahwa Allah akan menggenapi janji itu sehingga bangsa Israel
bersukacita, bersorak-sorai bernyanyi mengumandangkan pujian syukurnya kepada Allah. Selanjutnya yang
akan kita lihat adalah bagaimana Allah membebaskan umat Israel dari tanah Mesir membutuhkan waktu
yang sangat panjang dan menguji kesabaran umat Israel pada saat itu.
Demikian pulalah halnya dengan umat Kristen pada saat ini, Kedatangan Yesus Kristus, untuk
menyelamatkan kita umat yang percaya tentunya membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang.
Bagaimanakah kita dalam masa penantian itu? Apakah kita sabar menanti atau kita memilih untuk berhenti.
Kedatangan Yesus merupakan sebuah hadiah bagi orang-orang yang percaya dan setia menantikan waktu
itu. Dalam proses penantian yang lama itu tentunya banyak tantangan yang kita hadapi, sekarang yang
terpenting adalah bagaimana kita menghadapi tantangan tersebut, apakah kita mampu untuk menghadapinya
atau sebaliknya tantangan tersebut yang mengalahkan kita. Tentunya ketika berhasil menghadapi tantangan
tersebut, ada rasa sukacita yang besar dalam hati kita. Sukacita inilah yang akan kita tunjukkan dalam
memuji Tuhan atas hadiah keselamatan yang kita terima.
Pada saat seseorang memuji Tuhan, tentunya ada banyak alasan mengapa kita melakukan hal
tersebut. Seperti ketika kita bisa hidup, bernafas, dapat bekerja dan lain sebagainya. Ketika kita memuji
Tuhan juga pasti banyak cara yang berbeda-beda, ada sebagian dari orang yang memuji Tuhan dengan
bernyanyi, berdoa, bersukacita melakukan pekerjaannya dan lain sebagainya yang mungkin kita lakukan
sebagai wujud kita dalam memuji Tuhan.
Oleh karena itulah saudara-saudari, melalui nats ini kita diajak untuk memuji Tuhan atas keselamatan yang
kita dapatkan melalui Yesus Kristus. Bagaimana kita menghayati keselamatan tersebut yang kita dapatkan
hanya semata-mata anugerah Tuhan kepada kita bukan karena kemampuan kita?
Baiklah keselamatan yang kita perolah itu dapat dirasakan oleh orang lain dan seluruh ciptaan. Penerimaan
akan Yesus Kristus sebagai Juruselamat terlihat dari pola hidup kita yang berubah kepada hidup yang baru.
Sebagai orang yang telah menerima keselamatan tersebut, sudah sepantasnya kita menyampaikan ucapan
syukur melalui pujian, karya kita dalam hidup kita sehari-hari sehingga nama Tuhan semakin dipermuliakan.
Amin..
Tuhan Memberkati
Lukas 17 : 11 – 19
Dibanding penulis kitab Injil yang lain (Matius, Markus dan Yohanes), maka penulis Injil Lukas lah yang
memberikan perhatian sangat besar terhadap orang Samaria. Misalnya cerita indah yang dicatat Lukas
mengenai orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:30-37); selanjutnya, kisah orang Samaria yang
disembuhkan Tuhan Yesus  karena kusta (Lukas 17:11-19). Bahkan Yesus mengutus murid-murid-Nya
untuk bermisi ke Samaria juga dicacat oleh Lukas (Lukas 9:52-53). Meskipun misi itu ditolak oleh orang
Samaria. Ketika Yesus menyuruh para pengikut-Nya untuk menjadi saksi-Nya di Yerusalem dan di seluruh
Yudea, maka tidak ada masalah sejauh itu. Tetapi ketika Yesus menambahkan
Samaria, tentu sangat mengherankan bagi pengikut-Nya yang berasal dari Yahudi. Hal ini tentu sangat asing
bagi orang Yahudi, karena bagai mana pun orang Samaria tetap dianggap bangsa kafir, rendah, berdosa,
tidak bermoral dan bahkan dianggap anjing (Lht. Markus 7:27-28 dan Matius 15:25-26). Mengapa bisa
demikian?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka ada baiknya kita melihat latar belakang kota Samaria, terutama
dalam bidang keagamaan. Samaria adalah ibu kota Israel Utara. Sebelum ditaklukan Asyur tahun 722 SM,
Israel Utara telah hidup bersinkretisme atau menyembah dewa bangsa-bangsa sekitarnya, seperti bangsa
Hamat, Arabia bagian selatan, dan Asyur. Kerja sama dalam bidang politik dan ekonomi adalah menjadi
sarana yang tepat mengenai masuknya penyembahan berhala di ibu kota Israel Utara (Samaria). Bahkan
praktik penyembahan berhala juga mereka lakukan di dalam Bait Suci di Betel. Misalnya menyembah dewa
Molokh (dewa sembahan bani Amon), yang kepadanya mereka mempersembahkan kurban berupa anak
sulung manusia. Selanjutnya, setelah ditaklukan kerajaan Asyur, kehidupan keagamaan Israel Utara semakin
bobrok, yaitu mereka menyembah dewi Asheradan dewi-dewi sembahan Asyur lainnya. Kawin campur pun
tak terhindarkan setelah mereka hidup berbaur atau bergaul dengan orang-orang Asyur. Selanjutnya, mereka
juga menyembah dewa Baal, yaitu dewa kesuburan orang Kanaan.
Demikianlah konteks keagamaan di Samaria saat itu. Itulah sebabnya, penduduk Samaria dipandang rendah,
dianggap bangsa tak ber-Tuhan dan dicap sebagai bangsa kafir, berdosa, terpinggirkan, dan terhina. Alasan
yang tidak kalah kuatnya atas anggapan di atas adalah masalah masalah kawin campur. Kawin campur
dengan bangsa non-Israel adalah sama artinya dengan menodai kemurnian mereka sebagai umat Israel dan
bangsa pilihan Allah. Selain itu, kawin campur juga sama artinya dengan menukar Allah Yang Esa dengan
dewa-dewa sembahan bangsa non-Israel. Itulah konsep pemikiran yang ditanamkan orang Israel, yang masih
menganggap dirinya murni, belum ternodai, tidak pernah melakukan kawin campur dengan wanita bangsa-
bangsa non-Israel.

Konsep pemikiran seperti yang dijelaskan di atas tetap menjadi warisan yang tak terhapuskan hingga pada
jaman kehidupan Yesus. Itulah sebabnya, orang Samaria dalam teks Lukas 17:11-19 yang disembuhkan
Yesus disebut sebagai orang asing. Label ini mengindikasikan bahwa pada saat itu penduduk kota Samaria
tetap tidak dianggap sebagai bangsa yang kasihi oleh Tuhan. Tetapi justru tetap dipandang sebelah mata,
yakni sebagai bangsa yang tidak beriman, kafir, sesat dan tidak ber-Tuhan. Penduduk kota Samaria seolah-
olah tidak pernah diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kejahatan-kejahatan
yang mereka lakukan di masa lalu. Secara tidak langsung bangsa Israel mengatakan: “kami orang saleh,
suci, tidak berdosa, umat pilihan Allah, sedangkan kalian, sampai kapan pun tetap sebagai umat berdosa dan
tidak ber-Tuhan”. Bahkan penulis Injil Yohanes mengatakan, bahwa orang Israel tidak pernah bergaul
dengan orang Samaria (Yoh. 4:1-42).Sungguh pemikiran yang sempit, angkuh, sombong dan picik.

Itulah sebabnya, Lukas mengemukakan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh orang Samaria, yang selama
ini ditutup-tutupi. Secara tidak langsung, Lukas ingin mengatakan bahwa Tuhan saja memberikan
kesempatan kepada mereka yang bertekat menyesali dan memperbaiki kelakuan dan sikapnya yang jahat.
Tapi mengapa, sesama manusia justru justru kejamnya melebihi Tuhan? Pernyataan-pernyataan memang
patut diajungi dua jempol. Lukas begitu demokratis dan sangat terbuka menyatakan bahwa kebaikan itu
justru datang dari pikah, yang selama ini dipandang hina dan kafir. Lukas melihat, bahwa kehadiran Yesus
ternyata berusaha menghapuskan pemikiran yang keliru itu, yang selama ini dipermanenkan oleh orang-
orang Yahudi. Yesus telah merobohkan tembok pemisah antara Yahudi dan Samaria. Apa yang dilakukan
Yesus ternyata memperihatkan bahwa Dia sangat mencintai persatuan, dan sekaligus untuk menyatakan
bahwa Tuhan mengasihi semua manusia tanpa terkecuali. Itulah juga yang mau diperlihatkan oleh Lukas
17:11-19.

Perhatikan kata “perbatasan” pada ayat 11! Ini memperlihatkan, bahwa perbatasan itu sengaja dibangun
untuk memisahkan pihak orang yang SUCI dan yang BERDOSA, yang KAFIR dan
yang BERTUHAN dan seterusnya. Dengan kata lain, yang Israel, yang suci dan ber-Tuhan tidak boleh
memasuki daerah atau kota orang berdosa dan kafir (Samaria), karena haram hukumnya. Tetapi Yesus justru
melakukan perbuatan yang dipandang haram oleh orang Yahudi. Perhatikan  kalimat “Ketika Ia (Yesus)
memasuki suatu desa datanglah orang kusta menemui Dia” (ayat 12). Kalimat di atas memberitahukan
kepada kita, bahwa desa yang tidak disebutkan namanya itu kemungkinan sengaja dibangun khusus sebagai
tempat tinggal untuk orang-orang yang terkena penyakit kusta. Itulah sebabnya, desa itu dikatakan terletak
di perbatasan antara Samaria dan Galilea. Artinya, entah itu orang dari Samaria atau dari Yerusalem, Galilea
dst, diisolasi di desa tersebut. Karena penyakit kusta adalah penyakit menular, maka mereka berdiri agak
jauh dari Yesus (lih. ayat 13). Seruan mereka meminta belas kasihan dari Yesus memperlihatkan, betapa
tersiksanya mereka, apalagi tidak dianggap oleh keluarga dan tidak pernah dikasihi, diobati, dan dibawa ke
tabib oleh saudara-saudaranya. Kecuali setelah mereka sembuh baru boleh pulang ke rumah masing-masing.
Kemungkinan yang sembilan orang itu langsung pulang ke rumahnya masing-masing. Mereka lupa, bahwa
mereka telah disembuhkan oleh Yesus.
Pertanyaannya, apakah Yesus tidak tahu, bahwa mereka akan pulang setelah disembuhkan, sehingga hanya
orang Samaria lah yang harus mengucap syukur? Saya yakin sepenuhnya bahwa Yesus tahu hal itu. Tetapi
mengapa Yesus masih menyembuhkan mereka? Jawabannya HANYA KARENA KASIH. Perhatikan kata
“memandang” pada ayat 14! Dalam bahasa aslinya (Yunani) mengunakan kata “eido” bentuk imperatif
(perintah)! Artinya, Yesus tidak hanya melihat kemudian membiarkan, tetapi melihat dengan penuh belas
kasihan dan harus menyembuhkan mereka. Kemungkinan yang sembilan orang itu adalah orang Yahudi.
Itulah sebabnya Yesus menyuruh mereka memperlihatkan apa yang telah mereka alami kepada imam-imam.
Tetapi, setelah sembuh ternyata mereka lupa pada Yesus dan tidak mengucap syukur pada Tuhan. Dan
justru orang yang dianggap hina yang ingat bahwa dirinya harus mengucap syukur pada Yesus.

Ucapan syukur dari yang hina itu diperlihatkan secara gamblang pada ayat 15-16. Dikatakan
demikian: 15.Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan
Allah dengan suara nyaring,16.lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya.
Orang itu adalah seorang Samaria.Kalimat “memuliakan Allah dengan suara nyaring” pada ayat 15
memperlihatkan, betapa bahagianya ketika ia telah sembuh, dan kata “tersungkur” pada ayat 16 untuk
memperlihatkan betapa tulusnya ucapan syukur yang dia panjatkan kepada Allah. Melihat kesungguhan dan
ketulusan ucapan syukur itu, maka Yesus mengatakan: Berdirilah dan pergilah, imanmu telah
menyelamatkan engkau (ayat 19). Sungguh ucapan syukur yang begitu tulus dan mulia. Meskipun
dipandang hina dan kafir atau tidak ber-Tuhan, oleh mereka yang menganggap dirinya benar, kudus dan ber-
Tuhan, tetapi melalui peristiwa itu, Yesus memperlihatkan betapa Allah melihat hati yang tulus dan penuh
kerendahan hati untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu. Tetapi serenmtak dengan itu, Yesus
memperlihatkan, bahwa orang Samaria juga dikasihi oleh Allah.

Maka alangkah memalukannya hal itu bagi orang Israel ketika Yesus mengatakan, bahwa yang sembilan
orang itu tidak memuliakan Allah (baca ayat 17-18). Perhatikan kalimat tanya Yesus berikut: Di manakah
yang sembilan orang itu? Secara tidak langsung, Yesus ingin mengatakan: di mana letak kesucian kalian
sebagai umat pilihan Allah? Kemudian Yesus meneruskan perkataannya dengan nada yang lebih tegas
demikian: Tidak adakah mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?.
Secara tidak langsung, Yesus ingin mengatakan bahwa: mengapa kalian yang kudus, yang tidak berdosa,
dan menganggap diri ber-Tuhan, tetapi justru tidak memperlihatkan bahwa hidup kalian ber-
Tuhan? Dengan kata lain, jika mereka adalah umat ber-Tuhan, tetapi mengapa mereka tidak mengucap
syukur pada Tuhan, tetapi justru mengabaikannya? Melainkan orang yang dianggap hina, kafir, asing, dan
tidak ber-Tuhan (orang Samaria) yang mengucap syukur. Kalimat itu pasti sangat menyakitkan, memukul
dan memalukan bagi orang Yahudi yang mendengarnya saat itu. Maka, harus diakui bahwa itu adalah salah
satu alasan mengapa Yesus sangat dibenci oleh orang Yahudi, dan punyak kebencian itu terbukti ketika
Yesus diSalibkan.
Jika kita merefleksikan teks di atas dalam kehidupan kita sehari-hari, bukankah pemikiran yang sama
dengan pemikiran orang Yahudi yang sering kita pelihara dan agung-agungkan? Kita cenderung
menganggap diri kitalah orang yang paling suci, kudus, ber-Tuhan dan telah diselamatkan oleh Tuhan
Yesus, dan kita menklaim bahwa kita pasti masuk surga. Mereka yang beragama lain kita anggap kafir,
berdosa, tidak ber-Tuhan dan pasti menjadi penghuni neraka. Pernyataan yang sangat sombong, arogan,
angkuh, picik dan sempit. Bahkan tidak jarang sesama warga gereja pun kita sering menghakimi sesama kita
sebagai pendosa (orang yang berdosa dan terus-menerus melakukan dosa), tetapi kita lupa bahwa diri kita
masih manusia dan bukan Tuhan. Kita cenderung melihat seberapa besar dosa orang lain dibandingkan
melihat seberapa besar dosa yang ada di dalam diri kita. Perkataan dan perbuatan-perbuatan kita tidak
menunjukan bahwa kita adalah orang ber-Tuhan. Demikian juga dalam ucapan syukur, yaitu justru mereka
yang kita anggap tidak ber-Tuhan yang rajin mengucap syukur pada Tuhan. Sementara kita lebih mengikuti
apa yang dilakukan oleh yang sembilan orang tadi, yaitu lupa dan bahkan tidak mau bersyukur atas apa yang
telah Tuhan berikan dan lakukan dalam hidup kita. Jika sikap itu yang kita pelihara, maka kita harus belajar
dari orang Samaria, yang hina dan dianggap berdosa, tetapi memperlihatkan bahwa dirinya adalah orang
yang beriman kepada Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai