Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

TEKNIK INSTRUMENTASI AV SHUNT


DENGAN CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)
DIRUANG BEDAH TKV LANTAI 5

Oleh :
RYAN EKO PURNOMO SIDDIK
1611400034

INSTALASI BEDAH SENTRAL


Rumah Sakit dr. Saiful Anwar MALANG
Tahun 2017
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep dasar
1.1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus filtration
rate (GFR) (Nahas & Levin,2010).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) adalah kondisi dimana ginjal mengalami
penurunan fungsi secara lambat,  progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana
kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan
elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009)
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Sedangkan gangguan  fungsi ginjal  yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus
yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2007).
AV Shunt (Arterial Vena Shunt) adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara
menghubungkan arteri radialis dengan vena cephalica sehingga terjadi fistula
arteriovena sebagai akses dialisis ( Havens, L. & Terra, R. P, 2005).

1.2. Jenis AV-Shunt


Ada 3 cara pelaksanaan AV-Shunt yaitu :
1. END TO END : vena distal diikat lalu dipotong.arteri distal diikat lalu dipotong.
Potongan arteri disambung dengan potongan vena.

2. END TO SITE : vena distal diikat lalu dipotong.arteri dibebaskan lalu ditegel – diklem
dengan sateensky – dibelah – vena dipotong – disambung dengan arteri yang dibelah
3. SITE TO SITE : Vena disayat berlubang, arteri juga disayat berlubang lalu di sambung

1.3. Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan
bilateral.
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli
arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubuler
ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.

1.4. Klasifikasi
1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
a. Stadium I  : Penurunan cadangan ginjal
b. Stadium II : Insufisiensi ginjal
Kadar kreatinin serum meningkat, Nokturia dan poliuri (karena kegagalan
pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1)      Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2)      Sedang
15% - 40% fungsi ginjal normal
3)      Kondisi berat
2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat,  ginjal sudah tidak dapat menjaga
homeostasis cairan dan elektrolit,  air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma,
dengan BJ 1,010
2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian
CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
a. Stadium 1   : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG
yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
b. Stadium 2   : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -89
mL/menit/1,73 m2)
c. Stadium 3   : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m 2)
d. Stadium 4   : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m 2)
e. Stadium 5   : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal.

1.5. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah
atau mengobati komplikasi (Smeltzer, 2001; Rubenstain dkk, 2007).
Terapi konservatif tidak dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat
progres dari penyakit ini karena yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal
baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal.

1.6. Indikasi Operasi


Pasien dengan End Stage Renal Disease (ESRD) yang memerlukan akses
vaskular untuk dialisis berulang dan jangka panjang.

1.7. Kontra Indikasi Operasi


a. Lokasi pada vena yang telah dilakukan penusukan untuk akses cairan intravena,
vena seksi atau trauma.
b. Pada vena yang telah mengalami kalsifikasi atau terdapat atheroma.
c. Tes Allen menunjukkan aliran pembuluh arteri yang abnormal.

1.8. Deskripsi
Pembuatan AV shunt merupakan tindakan bedah yang dilakukan untuk
mempermudah akses hemodialisa dengan tujuan meningkatkan aliran vena sehingga
dapat dilakukan kanulasi aliran darah ke mesin hemodialisa dengan kecepatan sekitar
200 cc/menit, 3 kali seminggu. Pada dasarnya akses ini harus dipersiapkan sebelum
pasien menjalani hemodialisa sehingga hasil dari AV shunt ini baik, disamping
mempermudah pemilihan arteri dan vena yang sesuai. Syarat AV shunt:
1. Memudahkan akses berulang ke sirkulasi
2. Aliran darah dapat ditutup secara cepat dengan relatif mudah.
3. Tahan lama dalam pemakaian dengan sedikit intervensi.
4. Bebas dari komplikasi mayor.
5. Tahan terhadap infeksi.
Operasi AV shunt yang dilakukan merupakan implementasi dari panduan
Dialisis Outcomes Quality Initiative (DOQI) pada manajemen penatalaksanaan akses
vaskular  tahun 1997. Melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain ahli nefrologi,
ahli bedah, dan ahli radiologi intervensi.
Operasi AV shunt dilakukan secara side to side anastomosis atau side to end
anastomosis atau end to end anastomosis antara arteri radialis dan vena cephalica
pada lengan non dominan terlebih dahulu. Operasi dilakukan pada lokasi paling
distal sehingga memungkinkan dilakukan operasi lebih proksimal jika gagal. Dapat
dilakukan pada ekstremitas bawah jika operasi gagal atau tidak dapat dilakukan pada
ekstremitas atas.

1.8.1.Teknik Penyambungan atau Anatomosis Pada AV – Shunt


a. Side to end adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh
darah vena yang dipotong dengan sisi pembuluh darah arteri.
b. Side to side adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan sisi
pembuluh darah vena dengan sisi pembuluh darah arteri.
c. End to end adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh
darah vena yang dipotong dengan pembuluh darah arteri yang juga di potong
d. End to side adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh
darah arteri yang dipotong dengan sisi pembuluh darah vena.
Teknik penyambungan side to end merupakan teknik yang tersering dilakukan
karena aliran darah vena yang menuju ke jantung adalah yang terbesar
volumenya dan mencegah terjadinya hipertensi vena selain itu teknik ini juga
dapat mencegah pembengkakan.

Radiocephalic AV shunt: a End-to-end with bent artery, b End vein-to-side


artery, c Side-to-side, d End artery-to-side vein

1.8.2.Persyaratan Pembuluh Darah pada Tindakan AV Shunt


a. Persyaratan pada pembuluh darah arteri:
1. Perbedaan tekanan antara kedua lengan < 20 mmHg
2. Cabang arteri daerah palmar pasien dalam kondisi baik dengan melakukan tes
Allen.
3. Diameter lumen pembuluh arteri ≥ 2.0 mm pada lokasi dimana akan
dilakukan anastomosis.
b. Persyaratan pada pembuluh darah vena:
1. Diameter lumen pembuluh vena ≥ 2.0 mm pada lokasi dimana akan dilakukan
anastomosis.
2. Tidak ada obstruksi atau stenosis
3. Kanulasi dilakukan pada segmen yang lurus

1.8.3.Tempat Pemilihan Pembuatan AV Shunt


Berdasarkan Dialisis Outcomes Quality Initiative (DOQI) Guidelines tahun
2000, tempat pemilihan AV Shunt dilakukan pada:
a. Arteri radialis dengan vena cephalica (Brescia Cimino)
b. Arteri brachialis dengan vena cephalica
c. Bahan sintetik AV graft (ePTFE = expanded polytetrafluoroethylene)
d. Arteri brachialis dengan vena basilika
e. Kateter vena sentral dengan “cuff”

Arterio-venous anatomi extremitas atas

1.8.4.Waktu Terbaik untuk AV Shunt


Waktu terbaik untuk AV Shunt adalah pada masa awal setelah penderita
dinyatakan menderita gagal ginjal tahap akhir. Keuntungannya adalah
memudahkan ahli bedah untuk melakukan operasi karena kualitas pembuluh
darah belum terkena trauma penusukan dan komplikasi lain dari penyakit yang
menyertai gagal ginjal seperti penyakit yang menyebabkan terjadinya
arterosklerosis atau hiperpalsia sel pembuluh darah.

B. Konsep Asuhan Keperawatan CKD


1. Persiapan Pasien :
a. Anamnesis
1. Pada pasien gagal ginjal  yang akan dilakukan tindakan ini meliputi :
– Hemodialisa ini untuk permanen atau sementara
– Kondisi arteri dan vena apakah ada riwayat flebitis, arteritis dsb.
2. Penggunaan lengan, dimana operasi dilakukan pada lengan yang non
dominan.
3. Jadwal hemodialisa, karena operasi dilakukan sekurangnya 24 jam
setelahnya dengan harapan efek heparin telah hilang, juga pada pemakai
obat antikoagulan lainnya harus diperhatikan bahaya trombosis dan
perdarahan.
4. Keluhan sesak pada posisi berbaring, sehubungan dengan posisi waktu
operasi.
5. Adanya riwayat komorbid seperti : diabetes akan mempersulit tindakan.
b. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan yang penting ialah kondisi jantung dan paru sehubungan
dengan pasien terlentang saat operasi. Bila pasien sesak dalam posisi
terlentang maka harus dilakukan perbaikan fungsi jantung dan paru.
2. Pada pemeriksaan lokal dilihat kondisi kulit, edema atau tidak, patensi vena,
diameter vena, adanya trauma/hematom, kekuatan denyutan arteri
dibandingkan kiri dan kanan yang idealnya tidak berbeda 5 – 10 mmHg.
Idealnya untuk vena lebih dari 2 mm dengan panjang yang cukup, denyut
arteri yang cukup kuat serta tidak teraba sklerotik (sering pada arteri
subklavia).
3. Pemeriksaan Penunjang. Bila patensi arteri ataupun vena diragukan secara
klinis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks sonografi (scanning)
untuk menilainya. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan selain darah
rutin ialah waktu perdarahan dan pembekuan
c. Tes Allen
Tes allen dilakukan jika arteri ulnaris sulit dipalpasi.
Fungsi : mengetahui patensi dari arteri ulnaris dan arteri radialis.
1. Posisikan pasien di hadapan anda dengan lengan lurus dan telapak tangan
berada di atas
2. Tekan arteri radial dan ulnar pada pergelangan tangan
3. Dengan arteri ditekan, perintahkan pasien untuk menggenggam berulang-
ulang sehingga telapak tangan pucat
4. Ketika tangan pasien memucat, lepaskan tekanan pada arteri ulnaris dan
perhatikan telapak tangan, nilai apakah warnanya berubah menjadi merah
muda. Kemudian lepaskan seluruh tekanan, nilai:
– Jika tetap pucat, Tes Allen positif aliran tidak normal
– Merah muda, Tes Allen negatif aliran normal
5. Ulangi langkah 2-4 untuk menilai arteri radial.

2. Teknik operasi
Teknik operasi pada AV shunt meliputi:
a. Pasien terlentang dengan lengan di atas meja operasi.
b. Dinilai keadaan arteri radialis dan vena sefalika, kemungkinan sklerosis,
trombosis, flebitis dan kondisi lokal seperti infeksi kulit.
c. Asepsis dan antisepsis meliputi proksimal lengan sampai jari-jari.
d. Anestesi lokal pada daerah operasi 3 jari proksimal cubiti.
e. Insisi pada radius distal, 3 jari proksimal cubiti transversal, melalui daerah arteri
dan vena, menembus kutis dan subkutis secara tajam dan tumpul.
f. Dilakukan eksplorasi mencari vena dibebaskan dan ditegel proksimal dan distal.
Potong bagian tengah, bagian proximal dimasukkan NGT no. 6 untuk spooling
dengan larutan heparin. Setelah diyakini lancar, vena disimpul sementara dengan
NGT spooling tetap didalam vena. Vena distal di ligasi dengan zeide 3/0.
g. Arteri radialis dikenali, dibebaskan dari jaringan sekitar dan ditegel proksimal
dan distal. Setelah arteri dibebaskan, lakukan klem dengan statinski, berikan
handmess dan mess no. 11 pada operator untuk incisi arteri sebelum dilakukan
penyambungan dengan vena
h. Dilakukan anastomosis end vena ke side arteri, membentuk sudut 30 derajat.
Jahitan continue dengan prolene 7.0. Setelah siap disimpul, tegel vena ditarik
perlahan, tegel simpul arteri dilepaskan agar udara keluar, aliran arteri akan
lancar keluar dan simpul diikat. Dicari kebocoran yang ada, di tekan dengan
kassa kering.
i. Bila kebocoran tidak berhenti dan besar, dicari simpul yang longgar dan
dieratkan dan dijahit tambahan.
j. Dievaluasi adanya thrill pada vena.  
k. Luka operasi dibersihkan.
l. Luka operasi ditutup lapis demi lapis.

Before A-V Shunt


after A-V shunt

3. Waktu Penggunaaan AV Shunt sebagai Akses Hemodialisa


Penggunaaan AV Shunt biasanya di rekomendasikan oleh ahli bedahnya.
Sebagai pertimbangan bahwa pernyembuhan pembuluh darah yang lengkap atau
sempurna terjadi pada akhir minggu ke lima atau 35 hari setelah operasi,
sedangkan luka jaringan kulit sudah kering mulai 2 hari post operasi dan
penyembuhan epitel luka kulit terjadi pada akhir minggu ke dua.
Apabila setelah waktu yang ditentukan (direkomendasikan) ahli bedah
perawat belum bisa atau belum cukup berani menggunakan AV Shunt yang
biasanya disebabkan oleh: aliran darah vena (bruit/tril) masih kecil, pembuluh
darah vena belum nampak saat di inspeksi,palpasi dan pembengkakan, maka
laporkan ke ahli bedah dan sarankan pasien untuk kembali melakukan latihan
diantarnya dengan mengepal-ngepalkan tangan dan digunakan untuk aktivitas
biasa.
Berdasarkan Penelitian dari Prof.Hendro S.Y dr.Sp.B-KBV.Ph.D dan
dr.Marven dalam Skripsi S-2 Kedokterannya menunjukan bahwa penggunaan
AV Shunt untuk HD kurang dari 7 hari setelah operasi dibandingkan dengan
lebih dari 7 hari setelah operasi secara statistik menunjukan perbedaan yang
tidak nyata dalam hal terjadinya komplikasi tromboisi, perdarahan dan infeksi.
Berdasarkan penelitian tersebut maka AV Shunt dapat digunakan sesegera
mungkin untuk HD apalagi untuk pasien dengan kedua femoral yang sudah
bengkak dan tidak terpasang sub clavia dengan pertimbangan lain yang
disebutkan sebelumnya.

4. Komplikasi Operasi AV Shunt


Komplikasi pasca pembedahan ialah terjadi stenosis, trombosis, infeksi,
aneurysma, sindrom “steal” arteri, gagal jantung kongestif.
a. Stenosis
– Stenosis dapat terjadi akibat terjadinya hiperplasia intima vena cephalica
distal dari  anastomosis pada A-V shunt radiocephalica sehingga A-V shunt
tidak berfungsi. Sedangkan pada penggunaan bahan sintetis ePTFE terjadi
stenosis akibat hiperplasia pseudointima atau neointima. Stenosis merupakan
faktor penyebab timbulnya trombosis sebesar 85%.
– Hiperplasis intima timbul karena:
– Terjadinya cedera vaskular yang ditimbulkan baik oleh karena operasinya
ataupun kanulasi jarum yang berulang yang kemudian memicu terjadinya
kejadian biologis (proliferasi sel otot polos vaskular medial à sel lalu
bermigrasi melalui intima àproliferasi sel otot polos vaskular intima à
ekskresi matriks ekstraselular intima).
– Tekanan arteri yang konstan pada anatomosis vena, khususnya jika terjadi
aliran turbulen, dapat menyebabkan cedera yang progesif terhadap dinding
vena tersebut.
– Compliance mismatch antara vena dengan graft pada lokasi anastomosis
– Rusaknya integritas dan fungsi daripada sel endotelial
– PDGF (platelet derived growth factor), bFGF (basic fibroblast growth factor),
IGF-1 (insulin growth factor-1) turut memicu terjadi hiperplasia intima
dengan mekanismenya masing-masing
b. Trombosis
Muncul beberapa bulan setelah dilakukannya operasi. Sering diakibatkan karena
faktor anatomi atau faktor teknik seperti rendahnya aliran keluar vena, tehnik
penjahitan yang tidak baik, graft kinking, dan akhirnya disebabkan oleh stenosis
pada lokasi anastomosis.Penanganan trombosis meliputi trombektomi dan revisi
secara pembedahan. Trombosis yang diakibatkan penggunaan bahan sintetik
dapat diatasi dengan farmakoterapi (heparin, antiplatelet agregasi), trombektomi,
angioplasti dan penanganan secara pembedahan.
c. Infeksi
Kejadian infeksi jarang terjadi. Penyebab utama ialah kuman Staphylococcus
aureus. Jika terjadi emboli septik maka fistula harus direvisi atau dipindahkan.
Infeksi pada penggunaan bahan sintetik merupakan masalah dan sering
diperlukan tindakan bedah disertai penggunaan antibiotik. Pada awal infeksi
gunakan antibiotik spektrum luas dan lakukan kultur kuman untuk memastikan
penggunaan antibiotik yang tepat. Kadang diperlukan eksisi graft.
d. Aneurysma
Umumnya disebabkan karena penusukan jarum berulang pada graft. Pada AV
fistula jarang terjadi aneurysma akibat penusukan jarum berulang tetapi oleh
karena stenosis aliran keluar vena.
e. Sindrom “steal” arteri
Dikatakan sindrom “steal” arteri jika distal dari ekstremitas yang dilakukan AV
shunt terjadi iskemik. Hal ini disebabkan karena perubahan aliran darah dari
arteri melalui anastomosis menuju ke vena yang memiliki resistensi yang rendah
ditambah aliran darah yang retrograde dari tangan dan lengan yang memperberat
terjadinya iskemik tersebut. Pasien dengan iskemik ringan akan merasakan
parestesi dan teraba dengan distal dari anastomosis tetapi sensorik dan motorik
tidak terganggu. Hal ini dapat diatasi dengan terapi simptomatik. Iskemik yang
berat membutuhkan tindakan emergensi pembedahan dan harus segera diatasi
untuk menghindari cedera saraf.
f. Hipertensi vena
Gejala yang nampak ialah pembengkakan, perubahan warna kulit dan
hiperpigmentasi. Paling sering disebabkan karena stenosis dan obstruksi pada
vena. Lama kelamaan akan terjadi ulserasi dan nyeri. Manajemen penanganan
terdiri dari koreksi stenosis dan kadang diperlukan ligasi vena distal dari tempat
akses dialisis.
g. Gagal jantung kongestif
AV shunt secara signifikan akan meningkatkan aliran darah balik ke jantung.
Akibatnya akan meningkatkan kerja jantung dan cardiac output, kardiomegali
dan akhirnya terjadi gagal jantung kongestif pada beberapa pasien.
Penanganannya berupa koreksi secara operatif.

5. Mortalitas
Angka kematian setelah tindakan AV shunt 0%. Kematian umumnya
dikarenakan penyakit penyebabnya yaitu End Stage Renal Disease.

6. Perawatan Post Operasi


Pasca bedah penderita dapat dipulangkan. Dilakukan pembebatan pada daerah
yang di operasi. Daerah yang dilakukan AV shunt tidak diperkenankan untuk IV
line, ditekan atau diukur tekanan darahnya. Jahitan diangkat setelah hari ke 7.

7. Evaluasi Keberhasilan AV shunt


Hari ke 7, ke 14 tentang adanya aliran (thrill)
Yang dievaluasi:
a. Klinis
b. Adanya getaran seirama denyut jantung pada daerah yang dilakukan AV
shunt
8. DIAGNOSA PRE INTRA POST

a. Diagnosa Pre Operatif

Diagnosa I

Kecemasan berhubungan dengan suasana menjelang pembedahan


Tujuan : Pasien tidak cemas, pasien mengerti tentang prosedur operasi.

Kriteria Evaluasi : Pasien mengatakan paham dengan penjelasan petugas, pasien


mengerti serta mau berbicara dan mengungkapkan perasaannya kepada petugas, pasien
tampak tenang.
Implementasi Rasional
Menyambut dengan ramah serta Pasien yang merasa diterima oleh petugas akan
memanggil nama saat pasien masuk mendapatkan dukungan psikologis yang dapat
ke ruang sementara. menurunkan stimulus rasa cemas.
Pemangilan nama akan memberikan rasa aman
pada pasien dan menegaskan bahwa dia
merupakan pasien yang benar untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik.
Memberi lingkungan yang tenang Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
dan jangan berbicara tentang diperlukan. Suasana tenang akan meningkatkan
pembedahan efektifitas pemberian premedikasi. Perbincangan
yang tidak menyenangkan atau percakapan yang
harus dihindari karena dapat diartikan berbeda
oleh pasien yang sedang mendapatkan sedative
Mengorientasikan pasien terhadap Orientasi dapat menurunkan kecemasan
prosedur pra induksi dan aktivitas
yang diharapkan (kolaborasi dengan
anastesi
Memberi kesempatan kepada pasien Dapat menghilangkan ketegangan terhadap
untuk mengungkapkan ansietasnya kekhawatiran yang tidak diekspresikan
Evaluasi 1. Pasien merasakan tenang
2. Pasien mengikuti prosedur kegiatan operasi
dari mulai pembiusan sampai pasien sadar
b. Diagnosa Intra Operatif

Diagnosa I
Resiko kekurangan cairan b/d perdarahan dan ketidakseimbangan input dan
output cairan
Tujuan : Kebutuhan cairan terpenuhi

Kriteria evaluasi :
1. Mempertahankan keseimbangan cairan , adekuat yang dibuktikan dengan
tanda vital stabil, nadi perifer normal, turgor kulit baik dan membran
mukosa lembab.
2. Selama intraoperatif tidak terjadi gangguan hemo dinamik akibat
perdarahan serius
Implementasi Rasional
Kolaborasi dengan Membandingkan keluaran actual dan yang
anastesi :mengawasi diantisipasi membantu dalam evaluasi stastis
pemasukan dan pengeluaran atau kerusakan ginjal
cairan

Produksi urine ( 0,5 cc / kg


BB /jam), produksi urine

Kolaborasi dengan anastesi : Sebagai indikator hidrasi atau volume sirkulasi


mengawasi tanda vital, dan kebutuhan intervensi
evaluasi nadi,pengisian
kapiler, turgor kulit dan
membran mukosa

Kolaborasi dengan anastesi : Untuk mempertahankan volume sirkulasi


memberikan cairan IV

Kolaborasi dengan anastesi : Dehidrasi berat menurunkan cairan jantung dan


memeriksa adanya perfusi jaringan terutama jaringan otak
perubahan dalam status
mental dan sensori
Menghitung jumlah Penghitungan perdarahan dari kasa kecil , bila
pemakaian kasa: kasa basah berarti perdarahan10cc dan bila
kasa tidak terlalu basah perdarahan 5 cc

Evaluasi Tidak terjadi perubahan TTV secara signifikan


dan kebutuhan cairan terpenuhi ditandai
dengan pengeluaran urine selama op

Diagnosa II
Risiko cedera intraoperatif berhubungan dengan pengaturan posisi bedah,
prosedur invasif bedah
Tujuan : risiko cedera intra operatif sekunder pengaturan posisi bedah, prosedur
invasif bedah tidak terjadi
Kriteria Evaluasi :
1. Pascaoperatif tidak ditemukan cedera tekan dan cedera listrik.
2. Perhitungan kassa, deppers dan instrumen sesuai dengan jumlah yang
dikeluarkan.
3. Tidak ditemukan adanya kram otot.
Implementasi Rasional
Mengkaji ulang identitas pasien. 1. Perawat ruang operasi memeriksa
kembali identitas pasien: melihat
kembali lembar persetujuan tindakan,
riwayat kesehatan, hasil pemeriksaan
fisik, dan berbagai hasil pemeriksaan;
dan memeriksa kembali rencana
perawatan praoperatif yang berkaitan
dengan rencana perawatan intraoperatif.

2. Pemeriksaan darah terutama kadar


trombosit, waktu pembekuan, dan
waktu pendarahan. Adanya hasil yang
abnormal pada pemeriksaan ini
bermanifestasi pada kewaspadaan yang
sangat tinggi oleh ahli bedah dan
asisten operasi dalam melakukan
prosedur bedah.
Menyiapkan kamar bedah yang 1. Perawat sirkulasi melakukan persiapan
sesuai dengan jenis pembedahan tempat operasi sesuai prosedur yang
pasien. biasa dan jenis pembedahan yang akan
dilaksanakan. Tim bedah harus diberi
tahu jika terdapat kelainan kulit yang
mungkin dapat menjadi kontraindikasi
pembedahan
Menyiapkan meja bedah dan Meja bedah akan disiapkanperawat
asesori pelengkap sesuai dengan sirkulasi dan disesuaikan dengan jenis
jenis pembedahan pembedahan. Perawat sirkulasi
mempersiapkan aksesori tambahan meja
bedahagar dalam pengaturan posisi dapat
efektif dan efisisen
Menyiapkan saranan pendukung Sarana pendukung seperti alat pengisap
pembedahan lengkap, kassa dan deppers dalam kondisi
siap pakai
Menyiapkan alat hemostasis dan Alat hemostasis merupakan fondasi dari
cadangan alat dalam kondisi siap tindakan operasi untuk mencegah terjadinya
pakai perdarahan serius akibat kerusakan
pembuluh darah arteri. Perawat memeriksa
kemampuan alat tersebut untuk
menghindari cedera akibat perdarahan
intraoperasi.
Membantu ahli bedah pada saat Insisi bedah memerlukan skalpel (alat
dimulainya insisi penjepit) dan pisau bedah yang sesuai
dengan area yang akan dilakukan insisi.
Perawat instrumen bertanggung jawab
menyerahkan alat insisi dan
mempersiapkan couter listrik yang
diperlukan dalam tindakan hemostatis.
Asisten pertama berperan membantu
menyerap darah yang keluar saat dan
menjepit pembuluh darah akibat kerusakan
vaskular pada area insisi dengan
menggunakan spons dan klem arteri
Membantu ahli bedah pada saat Peran perawat perioperatif baik asisten
akses bedah tercapai sesuai bedah, perawat instrumen dan sirkulator
dengan tujuan pembedahan mendukung ahli bedah agar tujuan
pembedahan dapat tercapai.
Menghitung jumlah instrumen, 1. Jumlah instrumen sebelum insisi
kassa dan deppers 2. Jumlah kassa kecil sebelum insisi
3. Jumlah deppers sebelum insisi
4. Jumlah Big Kas sebelum insisi
5. Jumlah jarum round sebelum
Evaluasi 1. Tidak terjadi injury dari pengaturan
posisi.
2. Jumlah kassa, deppers, instrumen dan
jarum lengkap.
3. Tidak terjadi injury pada prosedur
invasive pembedahan.

Diagnosa III
Risiko infeksi intraoperatif berhubungan adanya port de entree prosedur bedah,
penurunan imunitas efek anestesi
DO : Ada luka insisi pada tangan
Tujuan :
optimalisasi tindakan asepsis dapat dilaksanakan selama prosedur intrabedah
Kriteria Evaluasi :
1. Area operasi dan peralatan tetap dalam keadaan steril.
Implementasi Rasional
Mengkaji ulang identitas 1. Perawat ruang operasi memeriksa
pasien dan pemeriksaan kembali riwayat kesehatan, hasil
diagnostic pemeriksaan fisik, dan berbagai hasil
pemeriksaan. Pastikan bahwa alat
protese dan barang berharga telah
dilepas
2. Riwayat kesehatan yang mempunyai
risiko penurunan imunitas seperti pasien
yang memiliki riwayat hipertensi dan
diabetes melitus
3. Hasil pemeriksaan darah albumin untuk
menentukan aktivitas agen-agen obat
dan pertumbuhan jaringan luka
4. Berbagai protase yang masih belum
dilepas akan memberikan akses pajanan
yang mengontaminasi area steril
Menyiapkan sarana scrub Sarana scrub, meliputi tempat cuci tangan
(cuci tangan bedah) atau wastafel khusus cuci tangan bedah,
cairan antiseptik cuci tangan pada
tempatnya, sikat khusus cuci tangan bedah
yang tidak menyebabkan goresan, handuk
tangan steril, gaun yang terdiri dari gaun
kedap air atau skoret, bisa terbuat dari
plastic atau oscar dan baju bedah steril, duk
penutup, dan duk berlubang dalam kondisi
lengkap dan sikap pakai .
Menyiapkan instrumen Manajemen instrumen dari perawat scrub
sesuai jenis pembedahan sebelum pembedahan disesuaikan dengan jenis
pembedahan. Sebagai antisipasi apabila
diperlukan instrumen tambahan, perawat
mempersiapkan alat cadangan dalam suatu
tromol steril yang akan memudahkan
pengambilan apabila diperlukan tambahan alat
instrumen
Melakukan manajemen Manajemen asepsis selalu berhubungan dengan
asepsis prabedah pembedahan dan perawatan perioperatif.
Asepsis prabedah meliputi tekhnik aseptik atau
pelaksanaan scrubbing cuci tangan (lihat
kembali bab manajemen asepsis)
Melakukan manajemen 1. Manajemen asepsis dilakukan untuk
asepsis intraoperasi menghindari kontak dengan zona steril (lihat
kembali manajemen asepsis) meliputi
pemakaian baju bedah, pemakaian sarung
tangan, persiapan kulit, pemasangan duk,
penyerahan alat yang diperlukan petugas
scrub dengan perawat sirkulasi
2. Manajemen asepsis intraoperasi merupakan
tanggung jawab perawat instrumen dengan
mempertahankan integritas lapangan steril
selama pembedahan, dan bertanggung jawab
untuk mengkomunikasikan kepda tim bedah
setiap pelanggaran teknik aseptik atau
kontaminasi yang terjadi selama pembedahan
Menjaga kesterilan alat yang Alat – alat yang terjaga kesterilannya dapat
digunakan operasi menurunkan infeksi luka operasi.
Melakukan teknik handling Teknik handling yang benar dapat
instrumen dengan benar mempersingkat waktu operasi sehingga area
operasi tidak terpapar udara terlalu lama
sehingga dapat menurunkan kejadian infeksi.
Melakukan kolaborasi Antibiotik bisa menekan pertumbuhan bakteri.
dengan dokter dalam
pemberian antibiotik post
operasi
Evaluasi 1. Tidak terjadi infeksi
2. Penyembuhan luka operasi baik

c. Diagnosa Post Operatif

Diagnosa II
Nyeri berhubungan dengan cedera jaringan lunak, kerusakan neuromuskular
pasca bedah.
Tujuan : dalam waktu 1 jam nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria Evaluasi :
TTV dalam batas normal.
Rasa nyeri berkurang dan pasien terlihat lebih tenang.
Implementasi Rasional
mengkaji kemampuan Banyak faktor fisiologi (motivasi, afektif,
kontrol nyeri pasien kognitif, dan emosional) yang dapat
mempengaruhi persepsi nyeri.
Mengkaji persiapan Persiapan praoperatif yang diterima oleh pasien
pengelolaan nyeri praoperatif (termasuk informasi tentang apa yang
diperkirakan dan dukungan psikologis) adalah
faktor yang signifikan dalam menurunkan
ansietas dan nyeri yang dialami dalam periode
pascaoperatif.
Mengkaji skala nyeri Skala nyeri pascaoperatif tergantung pada
persepsi fisiologis dan psikologis individu,
toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak
insisi. Sifat prosedur, dan kedalaman trauma
bedah.
Melakukan manajemen nyeri Istirahat secara fisiologis akan menurunkan
keperawatan. kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk
Mengistirahatkan pasien memenuhi kebutuhan metabolisme basal.
Mengajarkan teknik relaksasi Meningkatkan asupan O2 sehingga menurunkan
pernapasan dalam saat nyeri nyeri sekunder dari iskemia spina.
muncul
Mengajarkan teknik distraksi Distraksi (pengalihan perhatian) dapat
pada saat nyeri menurunkan stimulasi internal.
Memanajemen lingkungan Lingkungan tenang akan menurunkan stimulasi
lingkungan harus tenang, nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung
batasi pengunjung dan akan memebantu meningkatkan kondisi O2
istirahatkan pasien ruangan yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada di ruangan. Istirahat
akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan
perifer.
Melakukan manajemen Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa
sentuhan sentuhan dukungan psikologis dapat membantu
menurunkan nyeri. Masase ringan dapat
meningkatkan aliran darah dan membantu
suplai darah dan oksigen ke area nyeri.
Meningakatan pengetahuan Pengetahuan membantu mengurangi nyerinya
tentang penyebab nyeri dan dan mengembangkan kepatuhan pasien
menghubungkan berapa lama terhadap rencana terupetik.
nyeri akan berlangsung
Kolaborasi dengan dokter Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga
untuk pemberian analgesik. akan berkurang.
Evaluasi 1. Rasa nyeri berkurang
2. Pasien tenang

Anda mungkin juga menyukai