Anda di halaman 1dari 15

PELAYANAN KEFARMASIAN

MAKALAH MONITORING EFEK SAMPING OBAT

Dosen Pembimbing :
Apt. Ika Andrian, M.Farm.

Disusun Oleh Kelompok 3 :


Retno Indah Setianingrum 1804101003
Nabila Bintang Ramadhani 1804101006
Dentha Lorenza P.P. 1804101013
Rahmawati Ariyan Chandra 1804101014
Siti Zulaika 1804101020

UNIVERSITAS PGRI MADIUN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN SAINS
PROGRAM STUDI FARMASI
2021
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Pelayanan Kefarmasian.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Madiun, 1 Mei 2021

Penyusun
TINJAUAN PUSTAKA
1. Monitoring Efek Samping Obat
a. Pengertian Monitoring Efek Samping Obat
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah program
pemantauan keamanan obat yang sudah beredar ( pasca-pemasaran).
Meso atau monitoring efek samping obat sangat diperlukan hal ini
bertujuan untuk pemantauan efek samping obat yang sudah beredar
masih perlu dilakukan karna penelitian atau ijin yang dilakukan sebelum
obat diedarkan, baik uji preklinis maupun uji klinis belum sepenuhnya
mengungkapkan efeksamping obat utamanya efek samping yang jarang
terjadi atau pun yang timbul setelah penggunaan obat untuk jangka waktu
yang lama.
b. Pelaksanaan Monitoring Efek Samping Obat
Program MESO menggunakan metode pelaporan secara sukarela
(Voluntary reporting) dari tenaga kesehatan dengan formulir pelaporan
yang dirancang sesederhana mungkin sehingga memudahkan
pengisiannya (formulir kuning).
Hasil pengkajian aspek keamanan berdasarkan laporan ESO di
Indonesia atau informasi ESO internasional, dapat digunakan untuk
pertimbangan suatu tindak lanjut regulatori berupa pembatasan indikasi,
pembatasan dosis, pembekuan atau penarikan ijin edar dan penarikan
obat dari peredaran untuk menjamin perlindungan keamanan masyarakat.
Indonesia telah tercatat sebagai negara anggota dalam kegiatan WHO-
UMC Collaborating Centre for International Drug Monitoring. Untuk itu
laporan ESO di Indonesia yang diterima oleh Pusat MESONasional dari
Saudara, akan dikirim ke “Pusat Monitoring Efek Samping Obat
Internasional” (WHO-UMC Collaborating Centre), di Uppsala, Swedia.
Data ESO dari seluruh dunia yang dikirimkan termasuk dari Indonesia,
selanjutnya akan masuk dalam data base Pusat MESO Internasional.
Drug Regulatory Authorities (DRAs) dari negara-negara anggota saling
bertukar menukar informasi berkaitan drug safety melalui e-mail
Vigimed Lists.
Laporan efek samping yang dikaji/evaluasi sesuai derajat/tingkat
kegawatan efek samping dan/atau insidens atau hal lain, hasilnya dapat
berbentuk saran serta tindak lanjut terhadap kasus yang bersangkutan
oleh pihak regulatori, dan dipublikasi di dalam bulletin BERITA MESO.
Pusat MESO Nasional sangat mengharapkan dan menghargai peran aktif
untuk berpartisipasi di dalam kegiatan MESO dengan cara mengirimkan
laporan efek samping produk terapetik yang dijumpai.
c. Pengisian Form Monitoring Efek Samping Obat
Dalam pelaporan efek samping obat (ESO) , tenaga kesehatan
dapat menggali informasi dari pasien atau keluarga pasien untuk
melengkapi informasi lain yang dibutuhkan. Informasi yang diperlukan
dalam pelaporan suatu efek samping obat dapat menggunakan formulir
kuning.
a. Kode sumber data di isi oleh Badan POM
b. Informasi tentang penderita
Nama (singkatan) Diisi inisial atau singkatan nama pasien, untuk menjaga
kerahasiaan identitas pasien
Umur : Diisi angka dari tahun sesuai umur pasien. Untuk pasien bayi di
bawah 1 (satu) tahun, diisi angka dari minggu (MGG) atau bulan
(BL) sesuai umur bayi, dengan diikuti penulisan huruf MGG atau
BL, misal 7 BL.
Suku : Diisi informasi nama suku daripasien, misal suku Jawa,
Batak,dan sebagainya.
Berat badan : Diisi angka dari berat badan pasien, dinyatakan dalam
kilogram (kg).
Pekerjaan : Diisi apabila jenis pekerjaan pasien mengarah kepada
kemungkinan adanya hubungan antara jenis pekerjaan dengan
gejala atau manifestasi KTD atau ESO. Contoh: buruh pabrik
kimia, pekerja bangunan, pegawai kantor, dan lain-lain.
Kelamin : Agar diberikan tanda(X) sesuai pilihan jenis kelaminyang
tercantum dalam formulir kuning. Apabila pasien berjenis
kelamin wanita,agar diberi keterangan dengan memberikan
tanda (X) pada pilihan kondisi berikut:hamil, tidak hamil,atau
tidak tahu.
Penyakit utama : Diisikan informasi diagnosa penyakityang diderita pasien
sehingga pasien harus menggunakan obat yang dicurigai
menimbulkan KTD atau ESO
Kesudahan penyakit Diisi informasi kesudahan/outcome dari penyakit utama, pada
utama : saat pasien mengeluhkan atau berkonsultasi tentang KTD atau
ESO yang dialaminya. Terdapat pilihan yang tercantum dalam
formulir kuning, agar diberikan tanda (X) sesuai dengan
informasi yang diperoleh. Kesudahan penyakit utama dapat
berupa: sembuh, meninggal, sembuh dengan gejala sisa,
belum sembuh,atau tidak tahu.
Penyakit/kondisi lain Diisi informasi tentang penyakit/ kondisi lain di luar penyakit
yang menyertai : utama yang sedang dialami pasien bersamaan dengan waktu
mula menggunakan obat dan kejadian KTD atauESO. Terdapat
pilihan yang tercantum dalam formulir kuning, agar diberikan
tanda (X) sesuai informasi yang diperoleh,yang dapat berupa:
gangguan ginjal, gangguan hati,alergi, kondisi medis lainnya,
dan lain-lain sebutkan jika di luar yang tercantum. Informasi
ini bermanfaat untuk proses evaluasi hubungan kausal, untuk
memverifikasi kemungkinan adanya faktor penyebablain dari
terjadinya KTD atau ESO.
2. Tuberkulosis
a. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC adalah penyakit
kronis yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium
Tuberculosis yang ditularkan melalui dahak (droplet) dari penderita TBC
kepada individu lain yang rentan (Ginanjar, 2008). Bakteri
Mycobacterium Tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan
batang ramping, kurus, dan tahan akan asam atau sering disebut dengan
BTA (bakteri tahan asam). Dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang
panjangnya sekitar 2-4 μm dan lebar 0,2 –0,5 μm yang bergabung
membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada kondisi lingkungan
(Ginanjar, 2010).
b. Etiologi Tuberkulosis
Sumber penularan penyakit Tuberkulosis adalah penderita
Tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman Tuberkulosis masuk
ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman Tuberkulosis
tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan
oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi
Tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut.
c. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah
batuk yang tidak spesifik tetapi progresif. Penyakit Tuberkulosis paru
biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas. Biasanya
keluhan yang muncul adalah :
a. Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
b. Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang
/ mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai
batuk purulent (menghasilkan sputum)
c. Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru
d. Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila
infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e. Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit
kepala, nyeri otot dan keringat di waktu di malam hari
d. Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah :
a. Pemeriksaan Diagnostik
b. Pemeriksaan sputum
c. Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum). Positif jika diketemukan
bakteri taham asam.
d. Skin test (PPD, Mantoux)
e. Rontgen dada
f. Pemeriksaan histology
g. Biopsi jaringan paru
h. Pemeriksaan elektrolit
i. Analisa gas darah (AGD)
j. Pemeriksaan fungsi paru
e. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
OAT Lini Pertama
Jenis Sifat Efek samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer (Gangguan saraf tepi),
psikosis toksik, gangguan fungsi hati,
kejang.
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome(gejala influenza berat),
gangguan gastrointestinal, urine berwarna
merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak
nafas, anemia hemolitik.
Gangguan gastrointestinal, gangguan
Pirazinamid (Z)
Bakterisidal fungsi hati, gout arthritis.
Nyeri ditempat suntikan, gangguan
Streptomisin (S)
Bakterisidal keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
perifer.

OAT Lini Kedua


Grup Golongan Jenis Obat
A Florokuinolon  Levofloksasin (Lfx)

 Moksifloksasin (Mfx)

 Gatifloksasin (Gfx)*
B OAT suntik  Kanamisin (Km)
lini kedua
 Amikasin (Am)*
 Kapreomisin (Cm)
Streptomisin (S)**
C OAT oral lini  Etionamid (Eto)/Protionamid
Kedua (Pto)*
 Sikloserin (Cs) /Terizidon (Trd)*
 Clofazimin (Cfz)

 Linezolid (Lzd)

D D1 OAT lini 1  Pirazinamid (Z)

 Etambutol (E)
 Isoniazid (H) dosis tinggi

D2 OAT baru  Bedaquiline (Bdq)


 Delamanid (Dlm)*
 Pretonamid

(PA-824)*
D3 OAT  Asam para
tambahan aminosalisilat (PAS)
 Imipenem- silastatin
(Ipm)*
 Meropenem (Mpm)*
 Amoksilin clavulanat
(Amx-Clv)*
 Thioasetazon (T)*
Keterangan:
*Tidak disediakan oleh program
**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan
pada kondisi tertentu dan tidak disediakan oleh program
f. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan yang digunakan adalah ;
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
 Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
 Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT
lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin,
Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya
serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

REVIEW JURNAL
JUDUL : Monitoring Efek Samping Obat Anti-Tuberkulosis
(OAT) Pada Pengobatan Tahap Intensif Penderita TB
Paru Di Kota Makassar
PENULIS : Akhmadi Abbas
TAHUN TERBIT : 2017
JURNAL TERBIT : Vol. 3 No. 1 (2017) Journal of Agromedicine and
Medical Sciences
1. Pendahuluan
Secara global, jumlah kasus baru tuberkulosis pada tahun 2010
sebanyak 8,8 juta kasus dengan jumlah kematian 1,4 juta jiwa. Indonesia
merupakan salah satu Negara dengan prevalensi kasus TB yang tinggi di
dunia (WHO, 2011). Indonesia menduduki peringkat keempat diantara
Negara High Burden Countries (HBCs) dengan prevalensi TB yang tinggi
setelah Negara India, Cina dan Afrika Selatan (Kemenkes RI, 2012).
Tingginya kejadian tuberkulosis disebabkan karena cepatnya penyebaran
bakteri yang diakibatkan oleh penularan penyakit yang begitu mudah yaitu
melalui percikan Droplet nuclei yang mengandung Mycobacterium
tuberculosis. Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu upaya dalam
pengendalian TB adalah pengobatan dengan metode DOT’S (Directly
Observed Treatment of Short Course) (Kemenkes RI, 2013).
Morbiditas dan mortalitas penyakit TB merupakan permasalahan yang
serius, terutama akibat munculnya efek samping Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) (Sari dkk., 2014). Sebagian besar penderita merasa tidak tahan
terhadap efek samping OAT yang dialami selama pengobatan (Marx et al,
(2012) dan Cavalcante et al, (2010)). Efek samping tersebut antara lain; tidak
ada nafsu makan, mual, muntah, sakit perut, pusing, sakit kepala, gatal-gatal,
nyeri Sendi, Kesemutan, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
Warna kemerahan pada air seni (urine) (Kemenkes RI, 2014). Beratnya efek
samping yang dialami tersebut akan berdampak pada kepatuhan berobat
penderita dan bahkan dapat berakibat putus berobat (loss to follow-up) dari
pengobatan (Sari dkk).
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terkait
monitoring efek samping OAT pada penderita TB Paru yang menjalani
pengobatan tahap awal (intensif) di Kota Makassar. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi efek samping OAT yang dialami penderita TB Paru
selama menjalani pengobatan tahap awal (intensif).
2. Metode Penelitian
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terkait
monitoring efek samping OAT pada penderita TB Paru yang menjalani
pengobatan tahap awal (intensif) di Kota Makassar. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi efek samping OAT yang dialami penderita TB Paru
selama menjalani pengobatan tahap awal (intensif). Variabel yang diteliti
meliputi: tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit perut, pusing, sakit
kepala, gatal-gatal, nyeri Sendi, Kesemutan, gangguan penglihatan, dan
gangguan pendengaran. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
seluruh penderita TB Paru yang berobat di Puskesmas Kota Makassar,
sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah penderita baru TB Paru yang
terkonfirmasi BTA (+) dan menjalani pengobatan tahap intensif di Puskesmas
Kota Makassar, usia ≥ 18 tahun, tidak memiliki penyakit penyerta, tidak
memiliki riwayat penyakit yang sama dengan efek samping OAT dan tidak
hamil. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling yakni setiap penderita yang datang berobat ke puskesmas
dan memenuhi kriteria, maka dimasukkan sebagai sampel penelitian hingga
mencukupi jumlah sampel. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan
data primer.
3. Hasil Penelitian
Berdasarkan data tabel 1 menunjukkan bahwa, persentase penderita
tuberkulosis lebih banyak pada kelompok umur 19-27 tahun (39,6%) dan
terendah adalah kelompok umur 55-63 tahun (5,1%). Proporsi penderita lebih
banyak pada jenis kelamin laki-laki sebesar 67,2% dibanding jenis kelamin
perempuan sebesar 32,7%. Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase
penderita lebih banyak pada tingkat pendidikan SMA (39,6%) dan SD
sebanyak 34,4%, sedangkan persentase terendah pada tingkat pendidikan S1
dan S2 masing-masing sebesar 1,7%. Penderita tuberkulosis sebagian besar
(70,6%) bekerja sebagai swasta dan hanya 3,4% sebagai PNS.
Gambar selanjutnya menunjukkan bahwa jenis efek samping OAT yang
paling banyak dialami oleh penderita TB selama pengobatan tahap intensif
adalah nyeri sendi (81%). Efek lain yang banyak dialami oleh penderita
adalah mual (79,3%), gatal-gatal (77,6%), kurang nafsu makan (75,9%),
pusing (67,2%) dan kesemutan (50%). Adapun efek yang paling rendah
adalah gangguan pendegaran (6,9%).
4. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita TB Paru mengalami
efek samping OAT selama menjalani pengobatan tahap intensif (2 bulan
pertama). Hal ini sejalan dengan penelitian Sari dkk. (2014) bahwa efek
terbesar yang dialami penderita yakni pada bulan pertama dan kedua
pengobatan (tahap intensif). Efek ini akan menurun seiring berjalannya waktu
pengobatan. Tingginya efek samping pada minggu pertama dan kedua karena
priode tersebut merupakan priode awal mengkonsumsi OAT.
Menurut Tjay dan Rhardja (2007) bahwa munculnya efek samping
suatu obat disebabkan karena adanya kerja sekunder obat yakni efek tak
lansung akibat kerja utama obat misalnya antibiotika spektrum luas termasuk
OAT dapat mengganggu keseimbangan bakteri usus dan menimbulkan
defisiensi vitamin. Hal tersebut terjadi karena seseorang yang mengkonsumsi
obat-obat antibiotika sebagian kecil diresorpsi oleh kulit di dalam darah
bergabung dengan salah satu protein. Kompleks antara antibiotika dengan
protein dinamakan antingen. Bila antingen ini berulangkali masuk kedalam
aliran darah seseorang yang berpotensi hipersensitifitas (Tjay dan Rhardja,
2007) setelah priode laten setidaknya 1 atau 2 minggu (Goodman dan
Gilman, 2006), maka limfosit-B akan membentuk zat-zat penangkis tertentu
yaitu antibodies dari tipe yang juga disebut reagin, mengikat diri pada
membran mast-cell tanpa menimbulkan gejala. Berdasarkan hal tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa besarnya efek samping yang dialami penderita
pada minggu pertama dan kedua disebabkan karena pada tahap tersebut
merupakan tahap awal dimana zat obat yang dikonsumsi penderita bereaksi
dengan anti bodi tubuh yang menyebabkan munculnya reaksi alergi (efek
samping) OAT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis efek samping OAT
yang paling banyak dialami penderita adalah nyeri sendi. Adapun efek lain
yang juga banyak dialami penderita adalah mual, gatal-gatal, kurang nafsu
makan, pusing dan kesemutan. Hal ini sejalan dengan penelitian Sari dkk.
(2014) bahwa efek samping yang paling banyak dialami penderita pada bulan
pertama dan kedua adalah mual, pusing, gatal dan nyeri sendi. Penelitian ini
didukung oleh Caroll et al. (2012), bahwa efek samping utama yang paling
sering timbul adalah gangguan pencernaan (mual, muntah, diare dan nyeri
perut), gangguan nyeri sendi, gangguan psikis, gangguan visual dan gangguan
syaraf. Menurut Kemenkes RI (2014) bahwa munculnya efek samping dari
OAT FDC dapat disebabkan oleh salah satu atau lebih jenis obat yang
dikandungnya. Adapun jenis obat yang terkandung dalam FDC antara lain;
Rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (P), streptomisin (S) dan
Etambutol (E).
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil monitoring penderita TB Paru di Kota Makassar,
dapat disimpulkan bahwa proporsi penderita yang mengalami efek samping
OAT setiap minggunya lebih besar. Proporsi penderita yang mengalami efek
samping OAT lebih besar pada minggu pertama dan kedua. Jenis efek
samping OAT yang paling banyak dialami adalah nyeri sendi. Efek samping
lain yang banyak dialami oleh penderita TB adalah mual, gatal-gatal, kurang
nafsu makan, pusing dan kesemutan. Berdasarkan hal tersebut, maka
monitoring rutin efek samping OAT perlu senantiasa dilakukan oleh petugas
kesehatan. Selain itu, penelitian intervensi perlu dilakukan untuk
meminimalkan efek samping OAT yang dialami penderita dalam rangka
meningkatkan kepatuhan berobat dan mencegah penderita TB Paru putus
berobat.

Anda mungkin juga menyukai