LANDASAN TEORI
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena
seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh.
Efek farmakologik yang terjadi secara ekstrem akan menimbulkan pengaruh buruk
terhadap sistem biologik tubuh (Kemenkes, 2016). MESO merupakan kegiatan
pemantauan setiap respons terhadap obat yang tidak dikehendaki (ROTD) yang terjadi
pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan
terapi. MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary
reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal
sebagai “Form Kuning”. Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan
digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas MESO dan juga
pelaporannya dilaukukan oleh sejawat tenaga kesehatan diantaranya : dokter, dokter
spesialis, dokter gigi, apoteker, bidan perawat, dan tenaga Kesehatan lain yang sebagai
healthcare provider. MESO digunakan sebagai alat yang dapat digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare)
(BPOM,2012).
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping obat perlu dilaporkan, baik efek
samping yang belum diketahui hubungan kausalnya (KTD/AE) maupun yang sudah pasti
merupakan suatu ESO (ADR). Tenaga kesehatan sangat dihimbau untuk dapat melaporkan
kejadian efek samping obat yang terjadi segera setelah muncul kasus diduga ESO atau
segera setelah adanya kasus ESO yang teridentifikasi dari laporan keluhan pasien yang
sedang dirawatnya. Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan ke dalam
formulir pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia. Dalam penyiapan pelaporan KTD
atau ESO, tenaga kesehatan dapat menggali informasi dari pasien atau keluarga pasien.
Untuk melengkapi informasi lain yang dibutuhkan dalam pelaporan dapat diperoleh dari
catatan medis pasien. Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu KTD atau ESO
dengan menggunakan formulir kuning, adalah sebagai berikut (BPOM,2012):
1. Insidentil : dilakukan pada pertemuan antar RS atau laporan kasus di majalah / bulletin
2. Sukarela : Spontan dan dikoordinir oleh pusat
3. Intensif di RS : Data yang diperoleh merupakan data intern RS, yang selanjutnya
dianalsis oleh tim
Tersedia beberapa algoritma atau alat untuk melakukan analisis kausalitas terkait
KTD (Kejadian Tidak Diinginkan)/ ESO (Efek Samping Obat). Pendekatan yang
dilakukan pada umumnya adalah kualitatif sebagaimana Kategori Kausalitas yang
dikembangkan oleh World Health Organization (WHO), dan juga gabungan kualitatif dan
kuantitatif seperti Algoritma Naranjo. Di dalam formulir pelaporan ESO (Efek Samping
Obat) atau formulir kuning, tercantum tabel Algoritma Naranjo, yang dapat digunakan
untuk melakukan analisis kausalitas per individu pasien (BPOM,2012).
Algoritma atau skala Naranjo dapat digunakan untuk mengidentifikasi ROTD (Reaksi
Obat yang Tidak Diinginkan) secara lebih kuantitatif. Algoritma Naranjo terdiri dari 10
pertanyaan sederhana. Setiap pilihan jawaban atas pertanyaan tersebut memiliki skor nilai
yang berbeda. Setiap kolom dijumlahkan ke bawah dan hasil penjumlahan kolom
dijumlahkan. Nilai total dari hasil pengisian algoritma tersebut akan membantu
menggolongkan ROTD ke dalam beberapa kemungkinan, yaitu skor 0 (Doubtful) yang
berarti ragu-ragu, 1-4 (Possible) cukup mungkin, 5-8 (Probable) kemungkinan besar
terjadi efek samping dari obat yang dicurigai, dan ≥ 9 (highly probable) sangat mungkin
terjadi kejadian efek samping dari obat yang dicurigai. (Kemenkes, 2011). Di dalam
formulir pelaporan ESO atau formulir kuning, tercantum tabel Algoritma Naranjo, yang
dapat digunakan oleh tenaga kesehatan untuk melakukan analisis kausalitas per individu
pasien. Pelaporan efek samping obat dapat dilakukan dengan menggunakan formular
kuning dan dikirimkan melalui pos ke pusat farmako vigilance atau MESO Nasional
Badan POM. Atau secara online melalui https://e-meso.pom.go.id/ (BPOM, 2012).
Referensi :
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat
(Meso) Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta : Direktorat Pengawasan Distribusi Produk
Terapetik dan PKRT Badan POM RI.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Farmasi Rumah Sakit dan Klinik.
Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
BAB IV
STUDI KASUS
Pelaporan efek samping obat telah dilakukan di RSPAL dr. Ramelan Surabaya
dengan mengisi form kuning yang dapat diunduh di website Badan Pengawas Obat dan
Makanan (https://e-meso.pom.go.id) .Pasien dengan nama Tuan ES berumur 53 tahun
mengeluh mual, muntah, demam batuk dan ruam. Keluhan ini diduga karena adanya efek
samping penggunaan obat TB. Kejadian efek samping yang terjadi pada pasien dilaporkan
ke Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan format sebagai berikut :
Gambar 1. Formulir Pelaporan MESO
Setelah mengisi dan mengirimkan formulir kuning ke BPOM, BPOM bersama tim terkait
akan melakukan verifikasi dan validasi melalui pembahasan hubungan kausilitas ESO dari
laporan yang diterima. Hasil pengkajian hubungan kausal akan dikim kembali sebagai
feedback kepada pelapor dan juga dikirimkan ke WHO sebagai database efek samping obat.
Berdasarkan perhitungan menggunakan algoritma Naranjo, skala kemungkinan terjadinya
efek samping yang terjadi pada Tuan ES adalah 5 (Probable). Hal ini menandakan kejadian
efek samping dari obat yang dicurigai kemungkinan dapat terjadi (BPOM, 2012). Diketahui
Tuan ES mengkonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkolosis) dengan merek pro TB 4 yang
berisikan rifampicin 150mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400mg, ethambutol 275 mg.
Setelah mengkonsumsi pro TB 4, Tuan ES mengeluh mengalami ruam, mual, muntah, batuk
dan demam. Berdasarkan artikel yang dikemukakan oleh Ton (2008), terapi multiobat TB
dapat menimbulkan berbagai efek samping obat mulai dari kondisi ringan hingga berat.
Reaksi obat yang merugikan terkait terapi OAT dapat terjadi di beberapa organ, yang paling
umum adalah gangguan kulit, hepatotoksisitas, dan intoleransi gastrointestinal.
Di antara semua jenis ESO, ruam makulopapular merupakan efek samping yang paling
umum dengan persentase sekitar hampir 95% dari semua kasus (Bigby, 2001). Semua jenis
OAT dapat menyebabkan ruam makulopapular walaupun beberapa penelitian melaporkan
kemungkinan besar penyebab utama terjadinya ruam disebabkan oleh pirazinamid, diikuti
dengan etambutol, kemudian isoniazid dan rifampisin. (Tan dkk, 2007). Lain halnya dengan
penelitian yang dikemukakan oleh Kusnindita dkk, uji tempel yang dilakukan pada 15 pasien
TB menunjukkan bahwa rifampisin adalah agen penyebab efek samping tertinggi diantara
obat TB lainnya, dimana makulopapular adalah salah satu bentuk paling umum dari
manifestasi alergi rifampisin, diikuti dengan urtikaria dan reaksi anafilaksis (Rahmawati dkk,
2018). Tan dkk. menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penghentian
pengobatan TB dan risiko kematian selama pengobatan fase intensif. Oleh karena itu, dokter
dan tenaga Kesehatan lainnya harus sangat berhati-hati dalam menentukan tingkat keparahan
ESO yang terjadi dan memutuskan apakah akan menghentikan satu atau semua jenis terapi
anti-TB serta kapan harus memulai kembali terapi dengan pertimbangan menyeluruh (Tan
dkk, 2007).
Referensi
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (Meso)
Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta : Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik
dan PKRT Badan POM RI.
Bigby, M. 2001. Rates of cutaneous reactions to drugs. Archives of dermatology. Vol. 137, p.
765–70.
Rahmawati, K.N., Wicaksono, D., Waskito,F., dan Febriana, S.A. 2018. Adverse Cutaneous
Drug Reactions Due to Antituberculosis Therapy in Dr. Sardjito General Hospital
Yogyakarta. Proceedings of the 23rd Regional Conference of Dermatology (RCD
2018). p. 186-189.
Tan, W.C., Ong, C.K., Lo Rang, S.C., Abdul Razak, M. 2007. Two years review of cutaneous
adverse drug reaction from first line anti-tuberculous drugs. Medical Journal of
Malaysia. Vol. 62, p. 143–146.