Anda di halaman 1dari 10

BAB III

LANDASAN TEORI

1. MESO (Monitoring Efek Samping Obat)


Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan
kerja farmakologi. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi
dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor risiko yang
sebagian besar sudah diketahui. Beberapa contoh efek samping diantaranya (Kemenkes,
2016):
1. Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik).
2. Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan).
3. Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena
penggunaan jangka lama).
4. Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat -
withdrawal syndrome).
5. Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal
kehamilan (efek teratogenik)

Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena
seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh.
Efek farmakologik yang terjadi secara ekstrem akan menimbulkan pengaruh buruk
terhadap sistem biologik tubuh (Kemenkes, 2016). MESO merupakan kegiatan
pemantauan setiap respons terhadap obat yang tidak dikehendaki (ROTD) yang terjadi
pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan
terapi. MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary
reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal
sebagai “Form Kuning”. Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan
digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas MESO dan juga
pelaporannya dilaukukan oleh sejawat tenaga kesehatan diantaranya : dokter, dokter
spesialis, dokter gigi, apoteker, bidan perawat, dan tenaga Kesehatan lain yang sebagai
healthcare provider. MESO digunakan sebagai alat yang dapat digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare)
(BPOM,2012).
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping obat perlu dilaporkan, baik efek
samping yang belum diketahui hubungan kausalnya (KTD/AE) maupun yang sudah pasti
merupakan suatu ESO (ADR). Tenaga kesehatan sangat dihimbau untuk dapat melaporkan
kejadian efek samping obat yang terjadi segera setelah muncul kasus diduga ESO atau
segera setelah adanya kasus ESO yang teridentifikasi dari laporan keluhan pasien yang
sedang dirawatnya. Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan ke dalam
formulir pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia. Dalam penyiapan pelaporan KTD
atau ESO, tenaga kesehatan dapat menggali informasi dari pasien atau keluarga pasien.
Untuk melengkapi informasi lain yang dibutuhkan dalam pelaporan dapat diperoleh dari
catatan medis pasien. Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu KTD atau ESO
dengan menggunakan formulir kuning, adalah sebagai berikut (BPOM,2012):

a. Kode sumber data : Diisi oleh Badan POM


b. Informasi tentang penderita
- Nama (singkatan) : Diisi inisial atau singkatan nama pasien, untuk menjaga
kerahasiaan identitas pasien.
- Umur : Diisi angka dari tahun sesuai umur pasien. Untuk pasien
bayi di bawah 1 (satu) tahun, diisi angka dari minggu
(MGG) atau bulan (BL) sesuai umur bayi, dengan diikuti
penulisan huruf MGG atau BL, misal 7 BL.
- Suku : Diisi informasi nama suku dari pasien, misal suku Jawa,
Batak, dan sebagainya.
- Berat Badan : Diisi angka dari berat badan pasien, dinyatakan dalam
kilogram (kg).
- Pekerjaan : Diisi apabila jenis pekerjaan pasien mengarah kepada
kemungkinan adanya hubungan antara jenis pekerjaan
dengan gejala atau manifestasi KTD atau ESO. Contoh:
buruh pabrik kimia, pekerja bangunan, pegawai kantor, dan
lain-lain
- Kelamin : Agar diberikan tanda (X) sesuai pilihan jenis kelamin yang
tercantum dalam formulir kuning. Apabila pasien berjenis
kelamin wanita, agar diberi keterangan dengan
memberikan tanda (X) pada pilihan kondisi berikut: hamil,
tidak hamil, atau tidak tahu.
- Penyakit Utama : Diisikan informasi diagnosa penyakit yang diderita pasien
sehingga pasien harus menggunakan obat yang dicurigai
menimbulkan KTD atau ESO
- Kesudahan : Diisi informasi kesudahan /outcome dari penyakit utama,
penyakit utama pada saat pasien mengeluhkan atau berkonsultasi tentang
KTD atau ESO yang dialaminya. Tterdapat pilihan yang
tercantum dalam formulir kuning agar diberikan tanda (X)
sesuai dengan informasi yang diperoleh. Kesudahan
penyakit utama dapat berupa: sembuh, meninggal, sembuh
dengan gejala sisa, belum sembuh, atau tidak tahu.
- Penyakit atau : Diisi informasi tentang penyakit/kondisi lain di luar
kondisi lain yang penyakit utama yang sedang dialami pasien bersamaan
menyertai dengan waktu mula menggunakan obat dan kejadian KTD
atau ESO. Terdapat pilihan yang tercantum dalam formulir
kuning, agar diberikan tanda (X) sesuai informasi yang
diperoleh, yang dapat berupa: gangguan ginjal, gangguan
hati, alergi, kondisi medis lainnya, dan lain-lain sebutkan
jika di luar yang tercantum. Informasi ini bermanfaat untuk
proses evaluasi hubungan kausal, untuk memverifikasi
kemungkinan adanya faktor penyebab lain dari terjadinya
KTD atau ESO.
c. Informasi tentang KTD atau ESO
- Bentuk/manifestasi : Diisi informasi tentang diagnosa KTD atau ESO yang
KTD/ESO dikeluhkan atau dialami pasien setelah menggunakan obat
yang dicurigai. Bentuk/manifestasi KTD atau ESO dapat
dinyatakan dengan istilah diagnosa KTD atau ESO secara
ilmiah atau deskripsi secara harfiah, misal bintik
kemerahan di sekujur tubuh, bengkak pada kelopak mata,
dan lain-lain
- Saat /tanggal mula : Diisi tanggal awal terjadinya KTD atau ESO, dan juga
terjadi. jarak interval waktu antara pertama kali obat diberikan
sampai terjadinya KTD atau ESO.
- Kesudahan KTD : Diisi informasi kesudahan /outcome dari KTD/ESO yang
atau ESO dialami oleh pasien, pada saat laporan ini dibuat. Terdapat
pilihan yang tercantum dalam formulir kuning, agar
diberikan tanda (X) sesuai dengan informasi yang
diperoleh. Kesudahan penyakit utama dapat berupa:
sembuh, meninggal, sembuh dengan gejala sisa, belum
sembuh, atau tidak tahu.
- Riwayat ESO yang : Diisi informasi tentang riwayat atau pengalaman ESO yang
pernah dialami pernah terjadi pada pasien di masa lalu, tidak terbatas
terkait dengan obat yang saat ini dicurigai menimbulkan
KTD/ESO yang dikeluhkan, namun juga obat lainnya.
d. Obat
- Nama Obat : Ditulis semua nama obat yang digunakan oleh pasien, baik
yang diberikan dengan resep maupun yang digunakan 20
atas inisiatif sendiri, termasuk suplemen, obat tradisional
yang digunakan dalam waktu yang bersamaan. Nama obat
dapat ditulis dengan nama generik atau nama dagang.
Apabila ditulis nama generik, apabila diketahui nama
pabrik atau industri farmasi dapat ditambahkan. Apabila
ditulis nama dagang, tidak perlu ditulis nama pabrik atau
industri farmasi.
- Bentuk Sediaan : Ditulis bentuk sediaan dari obat yang digunakan pasien.
Contoh: tablet, kapsul, sirup, suspensi, injeksi, dan lain-
lain.
- Beri tanda (X) : Sejawat Tenaga Kesehatan dapat membubuhkan tanda (X)
untuk obat yang pada kolom obat yang dicurigai menimbulkan KTD/ESO
dicurigai yang dilaporkan, sesuai informasi produk atau pengetahuan
dan pengalaman sejawat tenaga kesehatan terkait hal
tersebut.
- Cara Pemberian : Ditulis cara pemberian atau penggunaan obat oleh pasien.
Contoh: oral, rektal, topikal, i.v, i.m, semprot, dan lain-
lain.
- Dosis/Waktu : Ditulis dosis obat yang digunakan oleh pasien, dinyatakan
Dosis dalam satuan berat atau volume. Waktu: Ditulis waktu
penggunaan obat oleh pasien, dinyatakan dalam satuan
waktu, seperti jam, hari dan lain-lain.
- Tanggal mula : Ditulis tanggal dari pertama kali pasien menggunakan obat
yang dilaporkan, lengkap dengan bulan dan tahun
(Tgl/Bln/Thn).
- Tanggal akhir : Ditulis tanggal dari kali terakhir pasien menggunakan obat
yang dilaporkan atau tanggal penghentian penggunaan
obat, lengkap dengan bulan dan tahun (Tgl/Bln/Thn).
- Indikasi : Ditulis jenis penyakit atau gejala penyakit untuk maksud
penggunaan penggunaan masing-masing obat.
- Keterangan : Ditulis semua keterangan tambahan yang kemungkinan ada
Tambahan kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan
gejala KTD/ESO yang dilaporkan, misal kecepatan
timbulnya ESO, reaksi setelah obat dihentikan, pengobatan
yang diberikan untuk mengatasi ESO.
- Data Laboratorium : Ditulis hasil uji laboratorium dinyatakan dalam parameter
(bila ada) yang diuji dan hasilnya, apabila tersedia.
e. Informasi Pelapor : Cukup Jelas. Informasi pelapor diperlukan untuk
klarifikasi lebih lanjut dan follow up, apabila diperlukan.

Tiga Jenis Pelaporan MESO, diantaranya (Kemenkes, 2016) :

1. Insidentil : dilakukan pada pertemuan antar RS atau laporan kasus di majalah / bulletin
2. Sukarela : Spontan dan dikoordinir oleh pusat
3. Intensif di RS : Data yang diperoleh merupakan data intern RS, yang selanjutnya
dianalsis oleh tim

Tersedia beberapa algoritma atau alat untuk melakukan analisis kausalitas terkait
KTD (Kejadian Tidak Diinginkan)/ ESO (Efek Samping Obat). Pendekatan yang
dilakukan pada umumnya adalah kualitatif sebagaimana Kategori Kausalitas yang
dikembangkan oleh World Health Organization (WHO), dan juga gabungan kualitatif dan
kuantitatif seperti Algoritma Naranjo. Di dalam formulir pelaporan ESO (Efek Samping
Obat) atau formulir kuning, tercantum tabel Algoritma Naranjo, yang dapat digunakan
untuk melakukan analisis kausalitas per individu pasien (BPOM,2012).
Algoritma atau skala Naranjo dapat digunakan untuk mengidentifikasi ROTD (Reaksi
Obat yang Tidak Diinginkan) secara lebih kuantitatif. Algoritma Naranjo terdiri dari 10
pertanyaan sederhana. Setiap pilihan jawaban atas pertanyaan tersebut memiliki skor nilai
yang berbeda. Setiap kolom dijumlahkan ke bawah dan hasil penjumlahan kolom
dijumlahkan. Nilai total dari hasil pengisian algoritma tersebut akan membantu
menggolongkan ROTD ke dalam beberapa kemungkinan, yaitu skor 0 (Doubtful) yang
berarti ragu-ragu, 1-4 (Possible) cukup mungkin, 5-8 (Probable) kemungkinan besar
terjadi efek samping dari obat yang dicurigai, dan ≥ 9 (highly probable) sangat mungkin
terjadi kejadian efek samping dari obat yang dicurigai. (Kemenkes, 2011). Di dalam
formulir pelaporan ESO atau formulir kuning, tercantum tabel Algoritma Naranjo, yang
dapat digunakan oleh tenaga kesehatan untuk melakukan analisis kausalitas per individu
pasien. Pelaporan efek samping obat dapat dilakukan dengan menggunakan formular
kuning dan dikirimkan melalui pos ke pusat farmako vigilance atau MESO Nasional
Badan POM. Atau secara online melalui https://e-meso.pom.go.id/ (BPOM, 2012).

Referensi :

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat
(Meso) Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta : Direktorat Pengawasan Distribusi Produk
Terapetik dan PKRT Badan POM RI.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pembentukan Tim Penyusun Pedoman


Visite. Keputusan Direktur Jendral Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Farmasi Rumah Sakit dan Klinik.
Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
BAB IV
STUDI KASUS

1. Studi Kasus MESO (Monitoring Efek Sampinng Obat)

Pelaporan efek samping obat telah dilakukan di RSPAL dr. Ramelan Surabaya
dengan mengisi form kuning yang dapat diunduh di website Badan Pengawas Obat dan
Makanan (https://e-meso.pom.go.id) .Pasien dengan nama Tuan ES berumur 53 tahun
mengeluh mual, muntah, demam batuk dan ruam. Keluhan ini diduga karena adanya efek
samping penggunaan obat TB. Kejadian efek samping yang terjadi pada pasien dilaporkan
ke Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan format sebagai berikut :
Gambar 1. Formulir Pelaporan MESO
Setelah mengisi dan mengirimkan formulir kuning ke BPOM, BPOM bersama tim terkait
akan melakukan verifikasi dan validasi melalui pembahasan hubungan kausilitas ESO dari
laporan yang diterima. Hasil pengkajian hubungan kausal akan dikim kembali sebagai
feedback kepada pelapor dan juga dikirimkan ke WHO sebagai database efek samping obat.
Berdasarkan perhitungan menggunakan algoritma Naranjo, skala kemungkinan terjadinya
efek samping yang terjadi pada Tuan ES adalah 5 (Probable). Hal ini menandakan kejadian
efek samping dari obat yang dicurigai kemungkinan dapat terjadi (BPOM, 2012). Diketahui
Tuan ES mengkonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkolosis) dengan merek pro TB 4 yang
berisikan rifampicin 150mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400mg, ethambutol 275 mg.
Setelah mengkonsumsi pro TB 4, Tuan ES mengeluh mengalami ruam, mual, muntah, batuk
dan demam. Berdasarkan artikel yang dikemukakan oleh Ton (2008), terapi multiobat TB
dapat menimbulkan berbagai efek samping obat mulai dari kondisi ringan hingga berat.
Reaksi obat yang merugikan terkait terapi OAT dapat terjadi di beberapa organ, yang paling
umum adalah gangguan kulit, hepatotoksisitas, dan intoleransi gastrointestinal.
Di antara semua jenis ESO, ruam makulopapular merupakan efek samping yang paling
umum dengan persentase sekitar hampir 95% dari semua kasus (Bigby, 2001). Semua jenis
OAT dapat menyebabkan ruam makulopapular walaupun beberapa penelitian melaporkan
kemungkinan besar penyebab utama terjadinya ruam disebabkan oleh pirazinamid, diikuti
dengan etambutol, kemudian isoniazid dan rifampisin. (Tan dkk, 2007). Lain halnya dengan
penelitian yang dikemukakan oleh Kusnindita dkk, uji tempel yang dilakukan pada 15 pasien
TB menunjukkan bahwa rifampisin adalah agen penyebab efek samping tertinggi diantara
obat TB lainnya, dimana makulopapular adalah salah satu bentuk paling umum dari
manifestasi alergi rifampisin, diikuti dengan urtikaria dan reaksi anafilaksis (Rahmawati dkk,
2018). Tan dkk. menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penghentian
pengobatan TB dan risiko kematian selama pengobatan fase intensif. Oleh karena itu, dokter
dan tenaga Kesehatan lainnya harus sangat berhati-hati dalam menentukan tingkat keparahan
ESO yang terjadi dan memutuskan apakah akan menghentikan satu atau semua jenis terapi
anti-TB serta kapan harus memulai kembali terapi dengan pertimbangan menyeluruh (Tan
dkk, 2007).
Referensi
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (Meso)
Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta : Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik
dan PKRT Badan POM RI.

Bigby, M. 2001. Rates of cutaneous reactions to drugs. Archives of dermatology. Vol. 137, p.
765–70.

Rahmawati, K.N., Wicaksono, D., Waskito,F., dan Febriana, S.A. 2018. Adverse Cutaneous
Drug Reactions Due to Antituberculosis Therapy in Dr. Sardjito General Hospital
Yogyakarta. Proceedings of the 23rd Regional Conference of Dermatology (RCD
2018). p. 186-189.
Tan, W.C., Ong, C.K., Lo Rang, S.C., Abdul Razak, M. 2007. Two years review of cutaneous
adverse drug reaction from first line anti-tuberculous drugs. Medical Journal of
Malaysia. Vol. 62, p. 143–146.

Anda mungkin juga menyukai