9212 33276 1 PB
9212 33276 1 PB
MULTIKULTURAL INDONESIA
Umar Sholahudin
Program Studi Sosiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Email : umar.sholahudin@gmail.com
Abstrak
Artikel ini mengkaji tentang globalisasi, antara peluang dan ancaman bagi masyarakat multikultural Indonesia.
Globalisasi telah membawa perubahan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, khususnya
bagi masyarakat Indonesia yang multikultural. Arus deras globalisasi yang terus bergerak menerobos berbagai
lini kehidupan masyarakat dan mereduksi batas wilayah bangsa-negara. Globalisasi akan membawa dua
konsekwensi sekaligus bagi masyarakat kultiultural Indonesia, yakni bagaimana peluang dan ancaman
globalsiasi terhadap masyarakat multikultural Indonesia. Studi ini menggunakan pendekatan studi kepustakaan,
dimana data dan informsai yang relevan dengan topik atau masalah yang menjadi objek kajian dan dihimpun
dari berbagai sumber ilmiah dan sumber-sumber lain. Kerangka teoiritis yang digunakan dalam studi ini adalah
teori homogenisasi budaya. Hasil dari kajian kepusatakan ini, menunjukkan bahwa arus globalisasi akan
memberi ancaman sekaligus peluang bagi masyarakat multikultural Indonesia. Peluang yang dapat
dimanfaatkan adalah munculnya kesadaran kolektif tentang hidup bersama dalam perbedaaan yang bersifat ko-
eksistensi. Sementara itu, ancaman yang perlu diwaspadai, yakni menguatnya homogenisasi budaya yang dapat
menggerus dan mencerabut akar budaya lokal. Karena itu, masyarakat multikultural Indonesia tidak hanya
dituntut berfikir dan bertindak lebih kritis dan cerdas dalam menghadapi berbagai dampak subversif dan
destruktif dari globalisasi, tetapi lebih dari itu mampu membangun imunitas keberagaman.
Kata kunci: globalisasi; peluang; ancaman; masyarakat multikultural; indonesia
Abstract
This article examines globalization, between opportunities and threats for Indonesia's multicultural society.
Globalization has brought changes in the social, political, economic, and cultural life of the people, especially
for multicultural Indonesians. The swift flow of globalization that continues to move through various lines of
life of people and reduce the borders of nations. Globalization will bring two consequences at the same time for
the Indonesian cultural community, namely how the opportunities and threats of globalization to Indonesia's
multicultural society. This study uses a literature study approach, where data and information relevant to the
topic or problem are subject to study and compiled from various scientific sources and other sources. The
theoritical framework used in this study is the theory of cultural homogenization. The results of this literature
study indicate that the current of globalization will pose a threat as well as an opportunity for Indonesia's
multicultural society. An opportunity that can be exploited is the emergence of a collective awareness about
living together in differences that are co-existent. Meanwhile, the threat that needs to be watched out for is the
strengthening of cultural homogenization that can erode and uproot the roots of local culture. Therefore,
Indonesian multicultural society is not only required to think and act more critically and intelligently in dealing
with the various subversive and destructive effects of globalization, but more than that it is able to build
diversity immunity.
103 | J S P H
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol 4, No 2, Desember 2019
104 | J S P H
Globalisasi: Antara Peluang Dan Ancaman Bagi Masyarakat Multikultural Indonesia, Umar Sholahudin
satu dengan yang lain. Mengikuti integrasi jurang pemisah yang dalam. Banyak di antara
sistem ekonomi nasional ke dalam sistem kita merasa ada di dalam cengkeram kekuatan
ekonomi global, dalam aspek budayapun akan yang melampaui kemampuan kita. Dengan kata
terjadi hal yang sama. globalisasi menuntut lain, kehidupan kita bagaikan dalam dalam sel
adanya pengintegrasian sistem budaya nasional penjara; dikungkung dan dikendalikan secara
ke dalam sistem budaya global. Dalam dominan dan hegemonis oleh sebuah kekuatan
pandangan kaum modernism, globalisasi dan besar, yakni idiologi dan kekuatan liberalism
modernisasi akan melahirkan homogenisasi dan kapitalisme dunia yang direpresentasikan
kultural (penyeragaman budaya). oleh Barat-Amerika.
Dalam konteks Indonesia, di bidang Para teoritisi globalisasi menyatakan,
politik dan demorkatisasi milsanya, Gerakan setiap negara apapun dan dimanapun tak bisa
mahasiswa 1998 yang begitu massif dan menghindari dan berpaling dari arus globlisasi
ekspresif di seluruh kota-kota besar telah yang sejartinya dalah lanjutan dari idiologi
mamaksa Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun developmentalisme (idiologi pembangunan)
lebih lengser. Jatuhnya rezim otoritarianisme di yang mengadopsi teori-teori modernisasi. Paham
bawah kendali Soeharto ini telah membuka pembangunan dan teori-teori modernisasi ini
pintu akan lahirnya era demokratisasi, yakni yang menjadi bagian dari media dominasi
proses menuju demokrasi. Selain karena faktor karena teori tersebut direkayasa menjadi
domestik, arus demokratisasi di Indonesia, tak paradigma dominan untuk perubahan sosial
dapat dilepaskan dengan arus proyek global Dunia Ketiga oleh Negara-negara industry maju.
demokrasi yang dijalankan dan disebarkan Barat Dengan kata lain, dominasi dan kolonialisasi
ke berbagai negara di dunia dan yang tak dapat tidak hanya terjadi secata fisik, melainkan
dilupakan juga adalah krisis ekonomi juga turut melalui hegemoni yakni dominasi melalui
menyumbang kejatuhan rejim Soeharto. Begitu produksi pengetahuan (Faqih, M. 2001).
juga di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Ada Pada gambaran lain, globalisasi juga
pola yang sama dan seragam, bagaimana dapat memperkuat identitas kultural, termasuk
kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya agama. Menguatnya Identitas Agama (Islam,
masyarakat negara-bangsa, termasuk masyarakat Kristen, dan sebagainya) ini dimanifestasikan
Indonesia di set-up dengan menggunakan satu dalam bentuk munculnya gerakan sosial-
sistem dunia baru. Dalam konteks ini ada upaya keagamaan. Gerakan ini merupakan respon
“uniformitas” dengan mengunakan standar- atau “counter attack” terhadap dominasi sosial,
standart nilai internasional. politik, ekonomi, dan budaya Barat yang
Para teoritisi, penganjur dan penganut membelenggu masyarakat non Barat atau Asia,
globalisasi percaya dan yakin, bahwa termasuk Indonesia. Kelompok radikal
kesejahteraan dan kemakmuran “bersama” akan fundamentalisme agama menilai modernisasi
dapat diwujudkan dengan membuat dan dan westernisai yang terjadi dan berlangsung
mensepakati tatanan baru dengan standart dan cukup lama dalam masyarakat Asia (baca:
nilai baru di antara negara-negara yang bersifat khususnya indonesia) ternyata tidak
global. Selain itu, Para globalis positif dan memberikan perbaikan bagi kehidupan
optimistis menanggapi dengan baik masyarakatnya, justru yang terjadi proses
perkembangan semacam itu dan menyatakan perusakan dan penghilangan nilai dan tradisi
bahwa globalisasi akan menghasilkan lokal yang berjalan secara massif dan sistematis.
masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung Dalam konteks Indonesia, munculnya gerakan-
jawab. Akan tetapi, Dalam pandangan A. gerakan sosial-keagamanan dalam bentuk aksi
Giddens (2001: 15-25), globalisasi ternyata unjuk rasa dan solidaritas dunia Islam, yang
tidak menjamin kehidupan masyarakat semakin mengecam tindakan kolonialisme Barat dan
tenang, nyaman dan aman, namun justru Amerika Serikat di negara-negara Islam, seperti
melahirkan kegelisahan, serta ditandai dengan
105 | J S P H
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol 4, No 2, Desember 2019
106 | J S P H
Globalisasi: Antara Peluang Dan Ancaman Bagi Masyarakat Multikultural Indonesia, Umar Sholahudin
dan masyarakat di dalam negara-bangsa (Jurnal seimbang. Globalisasi juga melahirkan pola
Asian Ethnicity, Vol. 7 No. 2, Juni 2006). hubungan yang tidak seimbang dan sarat
Tesis homogenisasi budaya menyatakan dominasi negara maju atas negara berkembang
bahwa globalisasi, kapitalisme, dan atau miskin.
konsumerisme cepat atau lambat akan Homogenisasi budaya yang dirancang dan
mendorong hilangnya keanekaragaman budaya. disebarluaskan melalui globalisasi, kapitalisme,
Tesis ini menekankan tentang kekhawatiran dan konsumerisme semakin merombak tata laku
meningkatnya “kesamaan” budaya massa dan dan pola perilaku budaya masyarakat (lokal).
berasumsi mulai hilangnya otonomi budaya- Keseragaman juga telah menimbulkan
budaya lokal. Kerena semuanya direduksi dan kekacauan dan hilangnya identitas sosio-kultural
terintegrasi ke dalam sistem budaya global. di tingkat masyarakat. Identitas sosio-kultural
Penetrasi budaya global yang dominan masyarakat semakin tergerus seiring dengan
direpresentasikan oleh budaya Barat dan kuatnya dan gencarnya penetrasi budaya global
Amerika ayang semakin kuat dan keras sering (Barat). Contoh yang paling sederhana dalam
bergulirnya globalisasi. Di mana di sana ada masalah perilaku dan budaya makan.masyarakat
standarisasi yang dibalut dengan idiologi kita sudah gandrung dengan pola makan instan
liberalisme dan kapitalisme ala Barat (baca: Mcdonald, KFC, dll). Budaya
Homogenisasi kultural memiliki serba instan juga merembet pada aspek
kecenderungan sangat kuat akan mendorong kehidupan yang lain. Gaya hidup, norma, dan
hilangnya keragaman budaya, sekaligus nilai, adat dan kebiasaan, keyakinan agama, pola
sebaliknya menghapuskan otonomi dan identitas kehidupan keluarga, cara produksi, dan
budaya lokal. Nilai, norma dan lembaga sosial konsumsi masyarakat pribumi rusak akibat
dan kultural masyarakat –pelan tapi pasti- akan penetrasi dan homogenisasi kultur Barat modern
mengalami proses erosi yang terstruktur, (Sztompka, 2004).
sistematis dan massif yang kemudian berujung Dalam konteks global, modernisasi dan
pada pelenyapan struktur budaya lokal. westernisasi yang usung oleh negara Barat
Perlu diingat bahwa globalisasi, dengan idiologi kapitalismenya telah melakukan
kapitalisme dan konsumerisme bukanlah agenda penetrasi terhadap berbagai komoditas nilai,
atau proyek global yang tanpa nilai dan gaya hidup, cara berfikir, norma sosial ala
kepentingan. Globalisasi, kapitalisme, dan budaya Barat. Semua itu terus mengusik
konsumerisme adalah proyek global yang keseharian masyarakat lokal. Bahkan
dirancang dan dijalankan secara matang, masyarakat lokal tak sekedar mendapatkan
terstruktur dan sistematis oleh negara-negara penetrasi budaya, tapi lebih kejam dari itu
industri maju (kapitalis) untuk menata sistem adalah apa yang sebut Herbert Schiller
kehidupan global ini menjadi seragam sesuai (1969,1985) sebagai Imperalisme Kultural.
dengan nilai, ideology dan kepentingan mereka. Menurut Schiller, industri media dan
Konsekwensi dari rancangan global tersebut komunikasi global didominasi oleh perusahaan-
tentu saja akan berdampak pada hilangnya perusahaan yang dikendalikan oleh Amerika
berbagai kearifan lokal dan beragaman budaya Serikat. Schiller menunjukkan bahwa jaringan
lokal. Budaya lokal “dipaksa” tunduk pada TV AS, yang menghubungkan para
kemauan dan kepentingan global atau negara- subkontraktor pertahanan atau militer dengan
negara industry maju. Ini mengingatkan nalar pemerintah federal. Media massa masuk ke
pikir saya pada pernyataan Anthony Gidden dalam jaringan sistem kapitalis dengan cara
(2001:XVI) yang mengatakan, globalisasi telah menyediakan dukungan idologis untuk
merombak cara hidup kita besar-besaran. Ia kapitalisme, khususnya untuk perusahaan
bermula dari Barat, membawa jejak kuat transnasional.
kekuasaan politik dan ekonomi Amerika, serta
mempunyai konsekwensi yang sangat tidak
107 | J S P H
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol 4, No 2, Desember 2019
108 | J S P H
Globalisasi: Antara Peluang Dan Ancaman Bagi Masyarakat Multikultural Indonesia, Umar Sholahudin
jauh dapat ditonton jutaan orang pada waktu sosial, semakin terkikis dan digantikan idiologi
bersamaan. Suguhan pengalan cultural yang dan budaya individualism.
sama itu (Olimpiade, konser rock, epak bola, Gustavo Esteva Madhu Suri Prakash
dan sebagainya) menyatukan selera, persepsi, memberikan analisis dan kritik tajam atas tiga
dan pilihan mereka. Aliran budaya pilar yang sekaligus “mitos” proyek globalisasi;
konsumerisme merebak dengan cepat. Aliran Pertama, Konsep otoritas dan otonomi “pribadi
barang konsumsi seperti Coca Cola, menjangkau perorangan (individual self), Kedua, konsep
seluruh penjuru dunia (Sztompka, 2004). universalitas “hak azazi manusia” (human
Globalisasi dan modernisasi inilah rights); dan Ketiga, konsep kemajuan
mendapat kritik tajam dari kalangan “pembangunan” (development). Para pengajur
postmodernisme. Kalangan Postmo mengatakan, proyek globalisasi yakin bahwa tiga mitos
modernisasi –berikut perangkat-perangkat tersebut yang akan menjadi “masa depan dunia”
modernnya- telah gagal menciptkan kehidupan dan merupakan suatu keniscayaan, sehingga
masyarakat yang lebih baik; lebih sejahtera, mereka yang menolaknya akan tergilas habis
berkeadilan, bermartabat, dan berkemanusian. oleh roda sejarah (Demokrasi Radikal: Otonomi
Di bidang budaya, modernisasi dan Lokal, Bukan Globalisasi, Jurnal Ilmu Sosial
homogenisasi kultural telah membawa Transformatif “WACANA” No. II, 1999.).
masyarakat (lokal) kehilangan identitas Globalisasi yang di dalamnya ada
kulturalnya. modernisasi yang –salah satunya- diwujudkan
Globalisasi dan homogenisasi budaya dalam praktek homogenisasi kultural, secara
merupakan kampanye besar-besaran yang nyata telah menimbulkan kecemasan,
dilakukan oleh negara-negara industri maju atau ketakutaan, eksploitasi, kemiskinan massal,
kapitalis Barat untuk menyakinkan seluruh menumpuknya keluhan dan ketidakpuasan, dan
dunia bahwa pilihan terakhir dan terbaik bagi dehumanisasi (harga diri sebagai manusia yang
masa depan semua Negara di dunia adalah berada semakin terdegradasi secara massif,
tuntuk pada hukum-hukum ekonomi pasar bebas identitas ke-manusia-annya semakin
yang kapitalistik dalam kerangka sistem politik menghilang). Tidak hanya nilai kemanusiannya
yang “demokratis” ala Barat. Homogenisasi saja yang menghilang, tapi juga identitas
kultural selalu hadir dalam wajah-wajah kultural lainnya. Jati diri masyarakat yang
globalisasi ekonomi, politik, sosial dan budaya. original yang penuh dengan kebersamaan dan
Proses dan praktek homogenisasi kultural semakin kabur dan bahkan tereduksi oleh
tersebut dilakukan melalui cara kekerasan budaya global yang berwatak materialistik.
(coersif) dan soft-knowladge atau hegemoni. Dalam konteks msyarakat Indonesia,
Dan inilah gaya imperalisme budaya di abad globalisasi telah melahirkan kecenderungan
modern. baru, yakni munculnya kultural hybrid, budaya
Karena itu, korbannya (baca: masyarakat gado-gado, budaya tanpa identitas. Warga
berserta identitas sosio-kulturalnya) ada yang masyarakat atau komunitas masyarakat
langsung tak berdaya menghadapi “penjajahan Indonesia mengakomodasi dan mengadopsi
budaya” Barat tersebut. Kita bisa melihat nilai dan budaya yang beragam dari berbagai
masyarakat kita yang sangat gandrung pada dunia. Sementara budaya dan tradisi lokal
mode pakaian (fashion), perilaku dan pola Indonesia sendiri semakin termarjinalisasi.
makan, dan budaya ala Barat lainnya yang Contoh yang paling konkrit adalah fenomena
semua itu bisa diakses dalam hitungan detik, anak-anak kita yang lebih suka permainan
Modal sosial dan budaya “genuine” yang selama Gadget daripada permainan tradisional, seperti
ini telah berjalan bertahun-tahun, turun- Petak Umpet, Bola Bekel, gundu, Lompat Tali,
temurun, dan memberikan kontribusi positif dan sebagainya. Selain itu, munculnya gaya
pada ikatan sosial, kolektivisme, dan solidaritas hidup dan pola makan anak-anak zaman
sekarang, yakni muncul komunitas pemuda-
109 | J S P H
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol 4, No 2, Desember 2019
110 | J S P H
Globalisasi: Antara Peluang Dan Ancaman Bagi Masyarakat Multikultural Indonesia, Umar Sholahudin
memberi tempat bagi terpeliharanya identitas yang muncul adalah budaya dominan, yakni
lokal dan kepercayaan partikularnya masing- budaya global atau lebih diasosiasikan dengan
masing, dan di pihak lain memberi kesempatan budaya Barat.
bagi sebuah proses terjadinya integrasi sosial, Menurut Bhikhu Parekh, seorang tokoh
politik, budaya, dan ekonomi baik di tingkat multikulturalis dan pakar teori politik yang
nasional maupun yang ada pada level global namanya dikenal luas secara internasional di
(www.komunitasdemokrasi.or.id). dunia ilmu-ilmu sosial, dalam bukunya yang
Keragaman budaya tersebut harus terbaru berjudul A New Politics of Identity:
dihadirkan sebagai bentuk ekspresi eksotisme Political Principles for an Interdependent World
komunitas etnik yang lokal dan partikular, (2008) mengatakan bahwa salah satu tantangan
sebagai antitesa dari rasionalitas dan modernitas masyarakat multicultural dalam kehidupan
budaya global yang memaksakan keseragaman. global adalalah bagaimana membangun prinsip
Karena itu, dalam konteks global, masyarakat politis mendasar yang bisa memberi arah bagi
multikultaral harus cermat untuk memperhatikan sebuah dunia global. Prinsip dasar yang
apa yang disebut sebagai perangkap budaya dimaksud Parekh adalah sebuah politik identitas
globalisasi. Globalisasi yang sedang yang baru. Globalisasi memang menantang
berlangsung dapat membuat masyarakat menjadi identitas-identitas tradisional seperti identitas
terasing pada dua hal sekaligus: terasing dari suku, budaya, agama atau bahkan identitas
habitat kita sendiri dan dari dunia yang nasional. Tantangan itu terjadi karena
mengelilingi kita. Perangkap ini dapat membuat globalisasi tampak menghapus batas-batas suku,
kita terkecoh karena multikulturalisme yang budaya, agama, negara dan batas-batas sosial
dalam asasnya tak berbeda dengan pendekatan lain seperti gender atau orientasi seksual. Di
Asimilasi. Namun demikian, proses asimilasi hadapan globalisasi, batas-batas tradisional yang
budaya ataupun akulturasi budaya justru memisahkan antar suku, budaya, agama dan
mengakibatkan terjadinya proses dislokasi, negara tampak menghilang. Menghadapi
disorientasi, disafiliasi, dan disintegrasi. Ini tak tantangan global seperti ini, suku, budaya,
lepas dari idiologi dan watak global yang agama, negara serta batas sosial yang lain, tidak
berusaha untuk melakukan homogenisasi ada pilihan lain kecuali beroperasi di dalam
budaya. sebuah konteks historis yang baru, mengikuti
Singkatnya, masyarakat multukultural, semua perubahan dan mengambil langkah
termasuk masyarakat Indonesia akan pemahaman baru termasuk pemahaman atas
menghadapi ancaman yang cukup serius dari krisis identitas tradisional yang lama melekat
arus globalisasi dan modernisasi, yakni; dalam diri anggota masyarakat.
Pertama, menjadikan yang beragam menjadi Identitas merupakan salah satu tema
seragam. Keberadaan entitas dan komunitas sentral di hadapan globalisasi. Sentralnya tema
budaya yang beragam dan telah hidup ini bisa dipahami karena globalisasi membawa
berdampingan (co-existency) cukup lama, efek historis baru yang tak bisa dipungkiri yakni
dipaksa berintegrasi masuk ke dalam sistem sebuah masyarakat global atau lebih khusus lagi
budaya global yang seragam. Kedua, sebuah masyarakat multikultural seperti
keseragaman atau homogenisasi budaya akan Indonesia. Identitas memberi rasa keberakahan
berpotensi merusak dan menghancurkan dan juga rasa memiliki. Di dalam buku barunya
masing-masing identitas budaya. Konflik dan tersebut, Bhiku Parekh mencoba menata ulang
perpecahan bukan tidak mungkin akan terjadi bagaimana identitas-identitas tradisional bisa
jika keseragaman terlalu dipaksakan. Ketiga, ditata dalam abad global yang kita hadapi. Bagi
ancaman meleburnya budaya lokal yang unik Parekh, di tengah sebuah dunia global, identitas-
masuk ke dalam budaya global yang bersifat identitas tradisional perlu diintegrasikan ke
materialistik. Sehingga pelan tapi pasti, entitas dalam sebuah identitas manusiawi yang
budaya budaya lokal akan semakin terkikis, universal di mana orang dan masyarakat bisa
111 | J S P H
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol 4, No 2, Desember 2019
berakar dalam tradisi tertentu tetapi juga terbuka manusia yang universal sebagai sebuah politik
kepada tradisi lain atau menjadi anggota identitas yang baru.
masyarakat tertentu tetapi juga merasa menjadi Membaca argumen Parekh, orang akan
bagian dari umat manusia sebagai satu segera bertanya tentang dasar dan mesin apa
komunitas global. yang menggerakkan politik identitas baru ini.
Dalam konteks Indonesia, globalisasi Sambil membaharui sejumlah jawaban atas
pada saat yang sama juga dapat memberi pertanyaan seperti itu, menurut Parekh, politik
peluang hadirnya kesadaran-kesadaran baru dari identitas baru ini perlu didasari oleh etika dan
individu dan kelompok masyarakat untuk tanggung jawab global dan disemangati oleh roh
kembali pada identitas awalnya, yakni Identitas solidaritas antar manusia. Parekh tidak begitu
masyarakat Indonesia yang berbasis pada saja menutup mata atas kenyataan perbedaan
budaya Indonesia. Munculnya ekspresi-ekspresi politis, budaya dan sosial antar masyarakat atau
budaya dari berbagai daerah dalam sebuah acara komunitas. Tetapi ia memahami atau lebih tepat
formal dan nonformal kenegaraan atau dalam memberi definisi baru atas politik perbedaan.
sebuah eksebisi budaya daerah. Selain itu, Baginya, perbedaan adalah sumber-sumber
munculnya gerakan sosio-kultural dari energi moral yang kaya yang perlu diberi
sekelompok masyarakat untuk kembali struktur baru dalam terang harmoni identitas
mencintai produk-produk dalam negeri atau universal. Perbedaan dan nilai universal karena
anak negeri, dan berbagai ekspresi budaya itu bukanlah dua hal yang bertentangan tetapi
lainnya yang saat ini sudah semakin menggejala saling melengkapi. Di sini, partikularitas atau
di tengah derasnya arus globalsiasi, termasuk perbedaan dihargai, tetapi bukan partikularisme
globalsiasi budaya. Semua itu menunjukkan yang memandang perbedaan sebagai horison
bahwa, masyarakat multikultural Indonesia yang absolut dalam pemahaman atas identitas
memiliki potensi dan daya tahan atau imunitas dan pencapaian nilai universal sebagai sebuah
yang cukup besar untuk menghadapi arus mimpi utopia; hal yang universal dijunjung,
globalsiasi atau homogenisasi budaya yang tetapi bukan universalisme yang memandang
bersifat kolonialistik. Daya imunitas budaya ini perbedaan-perbedaan sebagai penjara-penjara
dapat tumbuhkembangkan, baik scara struktural yang menyengsarakan hidup bersama dan
(baca: negara) maupun kultural (baca: komunitas umat manusia
masyarakat) secara konsisten dan
berkesinambunga, dengan prinsip mampu Peluang bagi Masyarakat Multikultaral
berinteraksi dengan dunia global dengan tanpa Indonesia
melunturkan nilai dan identitas budaya lokal.. Globalisasi, yang di dalamnya ada
Argumen Parekh memang tampak liberal modernisasi dan dan westernisasi yang begitu
tetapi pada saat yang sama argumennya ini massif dan invansif ternyata mengakibatkan
menantang ancaman-ancaman global yang perubahan sosial yang begitu besar dalam
tengah kita hadapi seperti fundamentalisme masyarakat Negara non Barat atau Asia,
religius, terorisme dan perang melawan teror. termasuk Indonesia. Perubahan tersebut tidak
Politik identitas memang sejauh ini dipahami saja pada tataran struktural, namun juga pada
dan diarahkan dalam artian identitas personal tataran kultural. Struktur sosial, politik, ekonomi
dan identitas kolektif seperti identitas yang dan budaya masyarakat mengalami perubahan
dibangun atas dasar gender, orientasi seksual, yang dratis, dimana struktur-struktur tersebut
suku, agama dan bangsa. Tentu saja identitas dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan
seperti ini penting tetapi pada saat yang sama semangat dan prinsip yang terkandung dalam
sebuah afirmasi atas identitas manusiawi yang idiologi modernisasi dan westernisasi yang
universal sangat krusial di mana identitas khusus berwatak liberalistik. Pada saat yang bersamaan,
bisa ditempatkan dalam bingkai identitas kondisi ini yang kemudian memaksa masyarakat
Asia atau Negara –Negara non Barat untuk
112 | J S P H
Globalisasi: Antara Peluang Dan Ancaman Bagi Masyarakat Multikultural Indonesia, Umar Sholahudin
menanggalkan sistem nilai-nilai, norma sosial, banyak buku. Karena buku adalah representasi
ekonomi, politik dan budayanya. Dengan kata pengalaman orang lain.
lain, nilai-nilai luhur masyarakat Asia yang Keempat, terbuka dan siap bersedia
diwujudkan dalam sebuah identitas kultural atau bekerjasama; sebagai masyarakat multicultural,
agama, semakin tercerabut dari akarnya dan sikap terbuka dalam bekerjasama akan
digantikan dangan nilai dan norma kehidupan meningkat perluang dan kesempatan untuk
ala Barat. mendapatkan keuntungan. “rejeki” orang bisa
Dalam konteks pergaulan global, menjadi berasal dari proses pergaulan, interaksi, dan
kesadaran bersama bahwa perubahan bukan kerjasama. Dengan bekerjasama, individu atau
untuk dihindari tapi untuk dihadapi. Pada titik kelompok bisa saling berkontribusu. Sikap
ini, bagaimana masyarakat multikulral siap dan eksklusif jsutru akan semakin mengasingkan
mampu menghadapi konsekwensi dari sebuah entitas budaya dalam masyarakat multicultural.
perubahan global tersebut. Sebagai bagian dari Kelima, tabah menghadapi kekecewaan dan
budaya dan kehidupan global, tentu saja kemunduran; di tengah kompetisi yang semakin
masyarakat multikultural tidak perlu hanyut ketat, kegagalan bukan dijadikan sebagai “aib”
pada pengaruh global yang berkencenderungan yang membuat frustrasi dan merasa minder.
pada upaya penyeragaman budaya. Bagaimana Kegagalan dapat dijadikan sebagai pelecut untuk
masyarakat multicultural mampu menjaga dan melakukan sesuatu yang lebih baik. Kegagalan
memelihara multikulturalisme-nya dalam bukanlah hal yang negatif bila dihadapi secara
masyarakat global?. cerdas. Kata pepatah; kegagalan adalah
Globalisasi bagi masyarakat multukultural kesuskesan yang tertunda.
Indonesia justru harus dimanfaatkan sebagai Dalam konteks persaingan global, sikap
peluang positif untuk membangun kesadaran optimis harus terus ditumbuh-kembangkan
baru yang lebih imune, yakni memperkuat sehingga kita akan selalu memiliki masa depan.
kolektivitas dalam perbedaan. Karena salah satu Dalam konteks masyarakat multicultural,
dampak dan sekaligus ancaman dari globalisasi indvidu atau kelompok yang beragam dituntut
adalah munculnya gesekan dan konflik sosial, untuk saling saling sapa, interaksi, bekerjsama,
politik, budaya dan ekonomi. Di tengah sehingga masing-masing tidak merasa terasing.
persaingan global yang semakin ketat, baik Masing-masing entitas budaya optimis mampu
individu maupun kelompok/negara berusaha menjaga keharmonisan dan kohesi sosialnya
untuk menancapkan perngaruhnya (sosial, ntuk mencapai cita-cita masyarakat
politik, ekonom, budaya, militer) ke berbagai multikultural yang benar-benar membumi.
negara, baik dengan cara halus (softskill) Keenam, bersikap jujur (ability to be
maupun cara paksaan atau kekerasan (hardskill). honest); tanpa kejujuran, keberhasilan yang
Nils A Shapio, Editor Gallery Magazine, diraih bersifat semu dan sementara. Jika
berpendapat, ada enam kiat sukses menghadapi kepalsuan sudah terbongkar, runtuhlah seluruh
tantangan globalisasi; Pertama, membuat bangunan usaha susah payah yang telah
perencanaan yang cermat. Di tengah kehidupan dibangun (Mahfud: 2006:112-116).
yang semakin kompetitif, perencanaan yang
cermat merupakan sebuah keniscayaa. Dengan PENUTUP
perencanaan, keberhasilan menjadi lebih mudah. Globalisasi telah melahirkan aspek
Kedua, latihan dan pengalaman; latihan dan peluang dan tantangan atau ancaman, dampak
pengalaman akan meningkatkan profesionalisme positif dan negatif, bagi kehidupan masyarakat
seseorang dalam berbagai bidang kehidupan. baik dalam tingkat tingkat global maupun lokal.
Ketiga, bersedia belajar dari orang lain; sumber Dalam konteks ini, masyarakat multikultural
belajar menurut teori pendidikan, tidaklah langsung maupun tidak langsung akan
sebatas pada guru dalam antian pengajaran merasakan dampak dari globalisasi. Politik
formal di sekolah. Kita dapat pula belajar dari multikulturalisme akan berpotensi menghadapi
113 | J S P H
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol 4, No 2, Desember 2019
ancaman dan tantangan yang sangat serius, salah Giddens, Anthony., (2001), Runway World;
satu idiologi globalisasi adalah homogenisasi Bagaimana Globalisasi Merombak
budaya. Dan idiologi ini sangat jelas Kehidupan Kita?, PT. Gramedia
bertentangan dengan idiologi dan spirit Pustaka Utama, Jakarta
multukulturalisme. Parekh, B., (1997)., National Culture and
Karena itu, masyarakat multicultural Multiculturalism. In Kenneth
dituntut untuk lebih kritis dan cerdas dalam Thompson (ed) Media and Cultural
menghadapi berbagai dampak subversif dan Regualtion, London-Thousand Oaks,
destruktif dari globalisasi yang akan merusak Calif: Sage Publication in Association
tatanan sosio-kultural masyarakat yang beragam. with the Open University;
Keragaman bukanlah untuk disamakan, tapi Polanyi, Karl., (2003), Transformasi Besar;
dibiarkan hidup secara alamiah untuk bisa hidup Asal-Usul Politik dan Ekonomi Zaman
berdampingan (co-existency) dalam perbedaan. Sekarang, terj. M. Taufik Rahman,
Perbedaan dan keragaman harus dijaga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
dipelihara dan dikembangkan sebagai kekuatan Mahfud, Choirul,. (2008), Pendidikan
yang positif dalam membangun keharmonisan Multikulral, Pustaka Pelajar,
sosial sehingga kehidupan ini bagaikan pelangi Yogyakarta.
yang begitu indah dan eksotik serta menarik Sztompka, Piotr., (2004), Sosiologi Perubahan
untuk menjadi tontotan publik. Sosial, Prenada Media Group, Jakarta.
Bagi masyarakat multukultural atau Yang Hoong, Chang., (2006), Assimilation,
multikulturalisme bisa dijadikan sebagai Multiculturalism, Hybridity: The
peluang positif untuk merekatkan nilai, norma- Dillemmas of the Etnic Chinese in
norma sosial kolektif dalam perbedaan dan Post-Suharto Indonesia, Junal Asian
keberagaman. Masyarakat multkultural bisa Ethnicity, Volume 7, No. 2, Juni 2006,
bersikap lebih kritis, dewasa, dan selektif dalam Taylor & France Group, Carfax
memilih dan memilah nilai, norma-norma yang Pulishing, France.
diproduksi oleh globalisasi (baca: modernisasi Saifudin A.F., (2006)., Membumikan
dan kapitalisme) mana yang bisa memberi Multikulturalism di Indonesia, Jurnal
kontribusi postif bagi pengembangkan Antropologi Sosial-Budaya
masyarakat multikulral yang lebih baik dan “ETNOVISI”, Vol. II, No. 1, April
matang. 2006, UI Jakarta.
114 | J S P H