Anda di halaman 1dari 25

Makalah Fiqh Ushul Fiqh

SEJARAH PERKEMBANGAN ILME FIQH DAN USHUL FIQH

Di Susun Oleh : Kelompok 3

Mariska Chairani (180204024)

Siti Nazarina (180204022)

Dosen Pembimbing : Muhammad Iqbal, S.Ud, M.Ag.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA BANDA ACEH

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

2019
Daftar Isi

Daftar isi............................................................................................................. 1

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang.................................................................................... 2

B. Rumusan Masalah............................................................................... 2

BAB II Pembahasan

A. Sejarah Fiqh....................................................................................... 3
B. Sejarah Ushul Fiqh............................................................................ 10
C. Aliran Ushul Fiqh..............................................................................19

BAB III Penutup

Kesimpulan........................................................................................... 23

Kritik dan Saran.................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah perkembangan ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh berkembang


secara perlahan dengan timbulnya permbaharuan - pembaharuan yang
mengakibatkan adanya proses penyempurnaan dalam setiap ilmu tersebut.
Perkembangan ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh tersebut mengakibatkan adanya
perbedaan paham dalam memehami ilmu tersebut sehingga muncul aliran
– aliran baru yang memiliki landasan hukum yang sesuai dengan Al –
Qur’an dan Hadits. Namun penerapannya berbeda – beda sesuai dengan
aliran yang dianut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan fiqh dari awal kemunculan hingga
sekarang?
2. Bagaimana sejarah perkembangan ushul fiqh dari awal kemunculan
hingga sekarang?
3. Apa saja aliran yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Fiqh
a. Zaman Rasulullah SAW
1) Periode Mekkah (610 M-623 M)
Pada periode ini istilah fiqh belum dikenal, tetapi banyak
menekankan pada keyakinan akidah islam yang terbentuk kepercayaan pada
keesaan Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab Allah, hari kiamat,
serta qada dan qadar sehingga nyaris tidak berbicara mengenai aturan-aturan
hukum beribadah. Pada periode ini belum ada perangkat aturan yang baku
dalam menetapkan bentuk, waktu, serta luasnya kegiatan yang di anggap
ibadah tersebut. Aturan hukum baru dimulai ketika perintah untuk pertama
kali melakukan hijrah ke madinah sebagai upaya tindakan penyelamatan diri
dari penyiksaan kaum Quraisyi.
Sementara shalat sendiri merupakan hadiah dari perjalanan isra’ dan
mi’raj masih merupakan refleksi tanda penghambatan dari makhluk kepada
sang khaliq. Aturan waktu, cara, dan jumlah rakaat belum terungkap dengan
jelas saat itu. Pelaksanaan shalat hanya diserahkan kepada pribadi-pribadi
yang berkenan saja tanpa unsur pemaksaan. Pelaksanaan shalat yang masih
baru ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui
masyarakat kafir Quraisyi demi keselamatan diri sendiri.
Menurut Hudari Bik, awalnya shalat bukanlah merupakan kewajiban,
tetapi hanya seruan-seruan biasa, tetapi kemudian secara bertahap shalat
menjadi kewajiban tetapi belum diterangkan secara jelas bilangan rakaatnya.
Kemuadian, Rasulullah SAW menetapkan tata cara shalat, waktu, dan
jumlah rakaat sebelum melakukan hijrah ke Madinah. 1

2) Periode Madinah ( 12 Rabiul Awal 11 H / 8 Juni 632 M)


1
Sapiudin shidiq, ushul fiqh edisi 1, ( Jakarta : Kencana, 2017 ), hlm. 10.

3
Periode ini ditandai dengan adanya pengaturan hidup sebagai hamba
dan sebagai anggota masyarakat. Hukum yang dipakai berdasarkan wahyu
dan ditafsirkan secara ketat oleh Nabi Muhammad SAW sendiri dengan
bimbingan Allah SWT. Ayat-ayat Al-Qur’an banyak banyak mengandung
dasar hukum, baik mengenai ibadat maupun menganai hidup
kemasyarakatan yang disebut dengan ayat al-ahkam. Ayat al-ahkam inilah
yang menjadi dasar hukum yang dipakai untuk mengatur masyarakat dalam
islam.
Jika al-ahkam dibandingkan dengan seluruh jumlah ayat Al-Qur’an,
maka ayat al-ahkam sanga sedikit. Menurut Abd. Al-Wahab Khallaf, jumlah
ayat al-ahkam hanya 5,8% dari seluruh ayat Al-Qur’an yang dapat diperinci
sebagai berikut :
1. Ayat-ayat yang bersangkutan dengan ibadah shalat, puasa, haji,
zakat, dan lain-lain berjumlah 140 ayat.
2. Ayat-ayat yang bersangkutan dengan hidup bermasyarakat,
perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebaginya jumlahnya 70 ayat.
3. Ayatayatyang bersangkut dengan hidup perdagangan/perekonomian,
jual beli, sewa menyewa, penjam meminjam, gadai, kontrak, dan
lain-lain jum;ahnya 70 ayat.
4. Ayat yang bersangkutan dengan kejahatan berjumlah 30 ayat.
5. Ayat yang bersangkut dengan hubungan islam dangan non islam
berjumlah 13 ayat.
6. Ayat-ayat yang bersangkut dengan pengadilan berjumlah 13 ayat.
7. Ayat yang bersangkut dengan hubungan kaya dan miskin berjumlah
13 ayat.
8. Ayat yang bersangkut dengan kenegaraan berjumlah 10 ayat 2
pembinaan hukum pada era Makkah bersifat global (mujmah) yang
hanya sedikit saja Al-Qur’an mengenukakan hukum-hukum secara
detail (tafsiliyah). Adapun pembinaan hukum pada era madinah Al-
Qur’an telah mengemukakan di dalam perincian-perincian hukum

2
Nurhayati, ali imram sinaga, fiqh ushul fiqh , ( Jakarta : Pranada Media Group ). hlm, 9

4
dibandingkan dengan Makkah terlebih-lebih yang berhubungan
dengan kebendaan. Oleh karena itu, sebagian besar ayat-ayat Yng
dapat di-instinbat-kan hukumnya adalah Madaniyyah, sedangkan
ayat-ayat Makkiyah hanya menerangkan hukum-hukum yang
memelihara akidah seperti haramnya menyembelih yang tidak
menyebutkan nama Allah di dalamnya.

b. Zaman Khulafa’ Al-Rasyidin (11 H / 632 M)


Sepeninggal Rasulullah SAW kaum muslim dipimpim oleh empat
orang khalifah secara bertahap, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar ibn
Khattab, Udma ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib. Pada era kemimpinan
mereka di sadari banyak persoalan hukum yang muncul tanpa bimbingan
nabi mereka lagi. Mereka harus berudaha mencari jalan keluar/ijtihat dari
persialan yang dibutuhkan masyarakat.3
Dari kondisi inilah muncul mujtahid fardhiy (pesial) dari kalangan
sahabat-sahabat. Ada yang menyelesaikan hukum secara sendiri-sendiri dan
ada pula yang bermusyawarah terlebih dahulu. Sebagian sahabat menerima
Hadits dari Nabi SAW dahulu menjadikan hal itu sebagai istanbath
hukumnya, sedangkan sahabat yanag tidak menerima hadits dengan
sendirinya bertanya kepada sahabat yang lebih mengetahui hadits yang
3
berkenaan dengan persoalan hukum yang dihadapi masyarakat.
Menurut Huarik Bik mencatat ada beberapa sahabat besar, sahabt
kecil, dan tabi’in yang berprofesi sebagai mujtahiddi berbagai daerah
berbeda pada periode ini, seperti :
1) Wilayah Madinah terdiri dari : Aisyah binti As-Shiddiq, ‘Abdullah
inm Umar, ‘Ali ibn Husain, Yahya ibn Sa’ide, Rabi’ahibn
‘Abdurrahman Wahid.
2) Wilayah Mekkah terdiri dari : ‘Abdullah ibn Abbas, Mujahid ibn
Jabir Maula, ‘Ikrimah Maula ibn Abbas, Abu Zubair Muhammad ibn
Muslim Tadarus Maula.

3
Nurhayati, ali imram sinaga, fiqh ushul fiqh ,...., hlm.11.

5
3) Wilayah Kuffah terdiri dari : Al-Qamah ibn Qais, Masruq ibn Ajda,
‘Ubaidah ibn Amr As-Silamai, Amir ibn Syira’il.
4) Wilayah Basrah terdiri dari : Anas ibn Malik, Abu Aliyah ibn Rafi’,
Qatadah ibn Di’amah ad-Dausi.
5) Wilayah Syam terdiri dari : ‘Abdulullah ibn Amr ibn ‘As, Abdul
Khalir Marsad ibn ‘Abdulullah Al-Yazini.
6) Wilayah Yaman terdiri dari : ‘Abdulullah ibn Abdurrahman Gunmin,
Aizulullah ibn Abdullah, Raja’ ibn Hayah, ‘Umar ibn Abdul Aziz.
7) Wilayah Mesir terdiri dari : Tawus ibn Kaisan, Wahab ibn
Munabbih, yahya ibn Abu Kasir Maula Tayyi.4

c. Zaman Abad 1 Hijriyah / 662 M Sampai dengan abad VII


Hijriyah / 1258 M
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, sebagian besar
sahabat pergi meninggalkan kota Madinah menuju kota-koya yang baru di
bangun seperti Kuffah, Bashrah, Syam, Mesir, dan lain-lain. Di kota-kota ini
mereka mengajarkan ilmu fiqh, mengembangkan agama dan meriwayatkan
hadits-hadits. Umat islam di daerah-daerah itu pun bersdatanfan ke pusat
kota u tuk menerima fiqh dan ilmu dari sahabat-sahabt itu. Murid-murid itu
diberi gelar sebagai tabi’in sebagaimana murid tabi’in disebut dengan tabi’
tabi’in. Dalam periode inilah Fiqh dipandang sebagai ilmu yang berdiri
sendiri.
Kondisi ini menimbulkan pertentangan di kalangan tabi’insehingga
dibagilah mereka kedalam dua golongan besar, yaitu :
1) Golongan Ahl al-Hasits yang mengeluarkan hukum dari hadits-hadits
yang mereka telah terima saja dan tidak menggunakan ra’yu/qiyaa
terhadap persoalan yang tidak didapati hadits. Umumnya yang
menerapkan situasi ini adalah ulama hijaz, seperti Malik ibn Anas,
Sufyan as-Sauri, Ahmad ibn Hanbal, dan Daud.
2) Golongan Ahl ar-Ra’yu (Ahl al-Qiyas) yang menetapkan hukum
dengan hadits. Jika tidak mereka dapati hadits yang mereka terima,
4
Nurhayati, ali imram sinaga, fiqh ushul fiqh ,....., hlm. 11.

6
maka menggunakan qiyas.umumnya yang menerapkan situasi ini
adalah ulama Iraq, seperti Abu Hanafah dan sahabat-sahabatnya.
Pasa masa inilah istilah Qurra’ berubah menjadi istilah fiqaha dan
ulama.5
Pertentangan yang terjadi pada periode ini dalam hal dasar-dasar
yang digunakan dalam meng-istinbath-kan hukum dari syariat dapat
diuraikan dalam beberapa hal, yaitu :
1) Pertentangan tentang sunnah
2) Pertentangan tentang penggunaan qiyas, ra’yu, dan istihsan.
3) Pertentangan tentang ijma’.
4) Pertentangan tentang persoalan pembebanan hukum (taktif)6

Meskipun pertentangan selalu terjadi pada periode ini, tetapi


periode ini telah melahirkan banyak fuqaha dan ulama ternama, bahkan di
antaranya pendiri-pendiri mazhab antara lain :
1) Abu Hanifah al-Nu’man ibn sabit dari keturunan persia lahir di
kuffah pada tahun 700 M. Meninggalkan karangan diantaranya:
kibat al-Ash, kitab al-Ziadat, kitab Al-Jami’ al-sagir. Mazhab ini
dipakai oleh kerajaan usmani dan di zaman Bani abbas di Irak. Dan
secara resmi dipakai oleh negara Suria, Libanon, dan Mesir.
2) Malik ibn Anas lahir di Madinah tahun 713 M. Imam Malik
termasuk perawi hadits, maka todak heran dalm men-istinbat-kan
hukum banyak menggunakan hadits-hadits . buku monumentalnya
adalah kitab al-muwaththa’, yaitu suatu buku yang sekaligus
merupakan buku hadits dan buku fiqh. Mazhab Maliki banyak
dianud di Hejaz, Maroko, Tubis, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan
Kuwait.
3) Muhamad ibn Idris al-Syafi’i lahir di Gazza tahun 767 M yang
berasal dari suku Quraisyi. Al-Syafi’i berpegang pada lima sumber
yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau Konsensus. Imam Syafi’i
5
Nurhayati, ali imram sinaga, fiqh ushul fiqh ,...., hlm. 16.

66
Nurhayati, ali imram sinaga, fiqh ushul fiqh ,...., hlm. 18.

7
banyak memakai sunnah sebagi sumber hukum, behkan membuat
sunnah dekat sederajat dengan Al-Qur’an. Imam Syafi’i ahli hukum
islam pertama yang menyusun ilmu ‘ushul fiqh yang terkandung
dalam kitab al-risalah. Mazhab Syafi’i banyak dianut di daerah
perdesaan Mesir, Palestina, Suiriah, Lebanon, Irak, Hijaz, India,
Indonesia, Persia, dan Yaman.
4) Ahmad bin Hanbal lahir di baghdad pada tahun 780 M. Selain ahli
dalam bidang hukum. Ia memakai lima sumber hukum , yaitu Al-
Qur’an, sunnah, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat
tantangan dari sahabat lain, pendapat seseorang atau beberapa
sahabat dengan syarat sesuai dengan al-qur’an, serta sunnah, hadits
mursal, dan qiyas, tetapi hanya dalam keadaan terpaksa. Mazhab
Hambali terdapat di Irak, Mesir, Suriah, Palestina, dan Arabia. Di
Saudi Arabia mazhab ini merupakan mazhab resmi negara. Diantara
mazhab yang empat yang ada sekarang. Mazhab hambali merupakan
mazhab yang paling sedikit penganutnya.7
5) Daud ibn ‘Ali-shafani (202-270 H) yang mendirikan mazhab al-
zhahiri. Dia murid imam al-Syafi’i, tetapi berpegang pada arti zahir
atau tersurat dalam teks Al-Qur’an dan sunnah. Ia menolak qiyas dan
ijma’. Pengikutnya yang termasyhur adalah ‘Ali ibn Hazm di
Andulasia.
6) ‘Abdurrrahman ibn Umr al-Auza lahir pada tahun 88 H dan wafat
tahun 157 H sebagai pendiri mazhab al-Auza yang pernah dianut di
Suria dan Audalunsia, tetapi dengan datangnya mazhab Maliki dan
Syafi’i, mazhab ini lenyap di abad II hijriah.
7) Zaid ibn aAli Zain Al-‘abidin lahir pada tahun 980 h dan wafat tahun
122 H yang mendirikan mazhab Zaidiyah. Pendapat-pendapatnya
tidak berbeda jauh dengan sistem yang dipakai oleh ulama-ulama
mazhab yang lain, yaitu sumber utama adalah Al-Qur’an dan sunnah.
Pengkut-pengikutnya menambah dengan penggunaan qiyas, istihsan,
dan masalih al-mursalah.

7
Sapiudin shidiq, ushul fiqh edisi 1, ( Jakarta : Kencana, 2017 ), hlm. 13.

8
8) Mazhab Sy’iah Dua Belas yang memegang Al-Qur’an dan sunnah
sebagi sumber utama, tetapi hadits yang mereka terima hanyalah
hadits yang sanadnya kembali kepada ahl al-bait. Qiyas dalam
pandangan satu golongan boleh di pakai, tetapi pada golongan lain
ditolak. Imam terbesar pada mazhab syi’ah ini adalah Ja’far al-Sadiq
(80-147 H). Mazhab ini dianut oleh negara Iran.8
Setelah periode ini, mulailah kemampuan ijtihat berangsur-angsur
menurut kualitasnya sampai menuju pertengahan abad VII Hijriah (656 H /
1258 M- 1198 H / 1800 M). Seorang mujaddin ( pembaru) yang hidup pada
masa kemunduran intelektual ini menyatakan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Hal ini dikarenakan banyaknya fatwa-fatwa yang dikeluarkan tidak
didasarkan pada prinsip ijtihad yang sebenarnya dan dipengaruhi fanatisme
mazhab yang berlebihan sehingga terkadang saling menyalahkan,
mengkafirkan, dan menganggap fatwa mazhabnya yang paling benar.
Beberapa abad kemudian, Muhammad Abduh menyatakan bahwa
pintu ijtihad telah terbuka kembali karena kemampuan ulama berijtihat telag
bangkit kembali sekalipun fanatisme mazhab belum sirna.
Setelah ini, mulailah Masa’il al-Fiqhiyah diperbincangkan ulama
disebabkan kaum muslim telah tersentuhan dengan modernisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan tan teknologi (IPTEK) dari barat sehingga
memerlukan ijtihad dan hukum baru.

B. Sejarah Ushul Fiqh

Pada abad 1 hijriah ushul fiqh belum menjadi sebuah disiplin ilmu,
hal ini dikarenakan masih bercampur antara ushul fiqh dan ilmu fiqh.
Pencampuran dilatar belakangi karena dalam penetapan hukum yang selalu
mengandalkan turunan wahyu dan ilham dari tuhan. Terkadang pula menjadi
sunah serta dikuatkan oleh ijtihad fithri – nya tanpa memerlukan dasar dan

8
Nurhayati, ali imram sinaga, fiqh ushul fiqh , ( Jakarta : Pranada Media Group ). hlm, 22.

9
kaidah dalam meng – istinbat – kan hukum9. Namun pada abad ke 11 hijriah
barulah mulai muncul ilmu ushul fiqh namuan tetap masih dengan campuran
seperti pada abad sebeelumnya. Sepeninggal Rasulullah para sahabat
berfatwa dan memberikan keputusan pada suatu masalah menurut nash yang
mereka pahami melalui penguasaannya dalam bahasa arab. Mereka tidak
memerlukan kaidah bahasa untuk meng –istinbat – kan suatu hukum yang
belum ada nas nya, mereka menggunakan pengetahuan dalam membuat
undang – undang yang diperoleh selama bergaul denhhan Rasulullah.
Mereka menerapkan asbabul wurud dan asbabul nuzul dan memanfaatkan
pengmatannya dari tujuan – tujuan syar’i dalam memberikan beban hukum
kepada mukallaf.

Dalam pertumbuhan pada tingkat pertama ilmu ushul fiqh belum


merupakan ilmu yang berdiri sendiri, meelainkan ia masih berserak – serak
dalam kitab fiqh yang difungsikan oleh fuqaha’ sebagai argumentasi
menetapkan hukum fiqh serta untuk menerangkan cara mengambilhukum
dari dalil yang dikemukakan. Orang yang pertama – tama mengumpulkan
tulisan usul fiqh yang masih bercampur dengan kodifikasi fiqh islam
menjadi suatu perangkat ilmu yang terpisah lagi berdiri sendiri (menurut
Ibnu Nadim) adalah Abu Yusuf, salah seorang murid Imam Abu Hanifah .
Namun tulisan tersebut tidak sampai kepada kita untuk dikaji lebih lanjut.
Adapun orang yang pertama mengodifikasi pembahasan dan kaidah ilmu
ushul fiqh dalam suatu kitab yang sangat berharga dan dapat dikaji oleh
generasi sekarang ialah Imam Muhammad Idris Al Syafi’. Karya beliau
kemudian dituturkan kembali oleh muridnya Al – Rabi’ al- Muradi, bernama
Ar – Risalah. Masalah utama yang dikemukakan dalam ushul fiqh
diantaranya adalah ijtihad, qiyas, nasakh dan takhsis hal ini sudah ada pada
zaman Rasulullah dan sahabat. Kasus umum mengenai ijtihad adalah
penggunaan ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’adz
Ibnu Jabal( Abu daud). Sebagai konsekuensi dari ijtihad adalah Qiyas,
karena penerapan ijtihad dalam persoalan yang bersifat juz’iyah harus
dengan qiyas. Adapun pemahaman tentang takhsis dapat dilihat dalam cara
9
Rachmat syafe’i, Ilmu Ushul fiqh, ( Bandung : CV Pustaka Setia.2007) , hlm,.26.

10
Abdullan Bin Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil, pendapat ini
berdasarkan ayat 4 dan 6 surah Al- Thalaq, menurutnya ayat ini turun
setelah turun ayat tentang iddah yang ada pada surah Al – Baqarah ayat 228.
Dari kasus tersebut terkandung pemahaman Usul bahwa nash yang dataang
kemudian dapat menasakh atau men-takhsis yang terdahulu.(Abu Zahrah :
11).

Dari penjelasan singkat diatas dapat dilihat bahwa sejak zaman Nabi,
sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum islam megalami
perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam suatu tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum
berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Dan pelu diingat bahwa
ushul fiqh pada zaman Rasullullah hanya bersumber pada Al – quran dan
sunah namun pada masa sahabat berdasarkan Al – quran, sunah dan ijtihad
atau kesepakatan para sahabat.10 Sejarah ushul fiqh dibagi dalam dua garis
besar, yaitu :

a. Ushul Fiqh sebelum dibukukan

Jauh sebelum dibukukannya ushul fiqh ulama terdahulu telah


membuat teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing –
masing.Daalam haal ini masih terdapat banyak ketidakspakatan dan masih
banyak para mujtahid yang belum membukukan hasil karyanya.

1) Masa Sahabat

Wafatnya Rasulullah menggores catatan baru dalam penetapan


hukum.Munculnya para sahabat besar setelah Nabi wafat melahirkan
pemasalahan baru yang tidak ada pada zaman Nabi terkait dengan metode
penetapan hukum. Untuk menetapkan hukum baru maka diantara sahabat
berijtihad dengan bersumber kepada al – quran dan hadis.Maka pada masa

10
Sapiudin, ushul fiqh edisi 1,..., hlm, 13.

11
sahabat sumber hukum bukan lagi dalam dua hal tersebut namuan dalam al –
quran, hadis dan ijtihad para sahabat.Menurut Abu Zahrah munculnya ilmu
susl fiqh bebarengan dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih dulu
dibukukan sebelumnya, karena menurut Abu Zahrah fiqh sebagai produk
tidak mungkin terwujud tanpa adaanya metodologi istinbat.Dan metode ini
adalah inti dari bagian ushul fiqh.11

Fiqh sebagai produk ijtihad telah muncul sejak masa sahabat.Dalam


melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan kaidah -
kaidah usul fiqh meskipun kaidah itu belum dibukukan sebagai disiplin
ilmu. Kemahiran mereka dalam ijtihad disamping pengaruh dari penharuh
bimbingan Rasulullah juga penguasaan mereka terhadap bahasa arab yang
sangat baik. Mereka yang kemudian dikenal dengan banyak melakukan
ijtihad adalah yang mengikuti langsung praktik tasyri’ dari Rasulullah.
Mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul selalu menyertainya dan
menyaksikan langsung praktik ijtihad Rasul, sehingga mereka sangat
memahami bagaimana cara memahami ayat dan penangkap tujuan
pembentukan hukumnya.

Imam Khundri Bek memberikan komentar yang positif terhadap


praktik ijtihad para sahabat “setelah Rasul wafat mereka suadah siap
menghadapi perkembangan sosial yang menghendaki pemecahan hukum
dengan melakukan ijtihad meskipun kaidah usul fiqh belum dirumusan
secara tertulis. Cara yang ditempuh para sahabat untuk melakukan ijtihad
adalah dengan cara mempelajari teks al – quran dan kemudian sunah (Abd
Wahhab Abu Sulaiman, guru besar usul fiqh Universitas ummul qura
Mekkah/dikutip oleh Satria Efendi). Jika tidak ditemukan pada dua sumber
tersebut maka mereka melakukan ijtihad, baik secaraperorang maupun
mengumpulkan para sahabat untuk musyawarah.Hasil yang mereka
dapatkan disebut dengan ijma’ sahabat.Selain menggunakan qiyas, mereka
juga menggunakan istilah yang didasari oleh maslahah mursalah seperti
mengumpulkan al – quran dalam satu mushaf.

11
Sapiudin, ushul fiqh edisi 1,..., hlm, 19.

12
Dapat disimpulkan bahawa para sahabat telah menggunakan ijma’,
qiyas, dan istislah (maslahah mursalah) jika hukum sesuatu tidak ditemukan
didalam al – quran dan sunah. Dengan demikian, prakarsa ijtihad yang
dilakukan sahabat setelah Rasulullah wafat telah mampu memenuhi
masyarakat ketika itu. Menurut Abu Zahra, ijtihad para sahabat kemudian
mewariskan metodologi yang dijdikan dasar dalam merumuskan ushul fiqh.

2) Masa Tabiin

Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode berikutnya,


yaitu masa tabiin, tabi’ al – tabi’in serta imam – imam mujtahid sekitar abad
kedua dan ketiga hijriah. Pada masa ini Daulah Islamiyah sudah semakin
berkembang dan banyak muncul kejadian baru.Berbagai kesulitan,
perselisihan dan pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu
per satu muncul. Semua persoalan ini menambah beban kepada imam
mujtahid untuk membuka cakrawala yang lebih luas terhadap lapangan
ijtihad yang membawa konsekuensi semakin meluasnya lapangan hukum
syariat islam ( hukum fiqh) dan hukum beberapa peristiwa yang masih
bersifat kemungkinan (prediksi). Sumber yang mereka gunakan pada waktu
itu adalah sumber hukum pada dua periode sebelumnya ( periode Nabi dan
periode sahabat). Jadi sumber hukum fiqh pada periode ini terdiri dari
hukum Allah ( Al – quran), Rasul (sunah), fatwa dan keputusan sahabat
Rasul serta fatwa mujtahid.12

Abu zahra dalam bukunya menyimpulkan bahwa pada masa ini


metode istinbat sudah mengalami perluasan yang pesat dikarenakan
banyaknya kejadian yang muncul akibat bertambah luasnya wilayah
kekuasaan islam. Fenomena ini mebawa konsekuensi kepada munculnya
permasalahan baru yang memerlukan pemecahan hukumnya. Diantara tabiin
yang memiliki kemampuan tinggi untuk berfatwa adalah Said bin al –
musayyab (15 H- 94 H) d Madinah, Al - qamaah ibn qays( 62 H), Ibrahim
al – Nakha’i (96 H). Sumber istinbat hukum pada masa ini merujuk kepada

12
Sapiudin, ushul fiqh edisi 1,..., hlm, 21

13
Alquran, sunah Rasul, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah
jika tidak didapatkan hukumnya didalam nas.

3) Mujtahid sebelum Imam Syafi’i

Pada masa Imam Mujtahid sebelum imam syafi’i dikenal dua totoh
besar yaitu imam abu hanifah dan iama malik bin anas. Kedua tokoh
mujtahid ini telah memperlihakan penggunaan metode yang lebih jelas.
Imam abu hanifah pendiri mazhab Hanafi menggunakan dasar istinbatnya
secara berurutan yaitu al – quran, sunah dan fatwa sahabat dan jika tidak
terdapat pada ketiga para sahabat. Iamam hanafiah jika dihadapkan oleh
beberapa pendapat yang berbeda, maka ia memilih salah satu pendapat dan
tidak akan mengeluarkan pendapat baru. Imam abu hanifah tidak berpegang
kepada pendapat tabiin karena posisinya sejajar dengan mereka. Dalam
melakukan ijtihad, imam abu hanifah dikenal sebagai mujtahid yang banyak
menggunakan qiyas dan istihsan. Imam abu hanifah tidak tidak
meninggalkan karyanya dalam bidang susul fiqh.13

Imam malik bin anas dalam ijtihadnya juga memiliki metode yang
cukup jelas, seperti terlihat pada sikapnya dalam mempertahankan praktik
ahli Madinah sebagai sumber hukum. Satu hal penting yang perlu dicatat
bahwa sampai pada masa Imam Malik sendiri tidak meninggalkan karyanya
dalam bidang usul fiqh.Dari hal tersebut menunjukkan bahwa banyak dari
kalangan sahabat yang mempelajari usul fiqh namun hanya saja belum
dibukukan secara sistematis dan terperinci.Pada masa para mujtahid inipun
sudah tamapak corak – corak perbedaan dalam meemahami suatu kaidah
dalam memutuskan suatu hukum.

b. Pembukuan Usul Fiqh

Usul fiqh dianggap penting untuk dibukukan karena perkembangan


wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan
timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya.
Untuk itu, para ulama sangat membutuhkan kaidah hukum yang sudah

13
Sapiudin, ushul fiqh edisi 1,..., hlm, 23.

14
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan suatu
hukum. ( Abdul Azis Al – Sa’di: 17). Sebenarnya jauh sebelum
dibukukannya para ulama telah membuat teori yang dipegang oleh para
pengikutnya masing – masing.Tak heran jiak pengikut para ulama tersebut
mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah usul
fiqh.Ilmu usul fiqh telah tumbuh pada aabd kedua hijriah, pada abada
pertama hijriah ilmu ini belum tumbuh, karena belum dirasa perlu,
Rasulullah berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) berdasarkan al –
quran dan hadis dan berdasarkan naluriyah yang bersih tanpa memerlukan
ushul atau kaidah yang dijadikan sebagai sumber istinbat hukum.Adapun
para sahabat membuat hukum berdasarkan dalil nas yang dapat mereka
pahami dari aspek kebahasaan semampu mereka, dan untuk memhaminya
secara baik diperlukan kaidah bahasa. Disamping itu, mereka juga
melakukan istinbat hukum yang tidak terdapat dalam nas berdasarkan
kemampuan mereka.brdasarkan ilmu tentang hukum islam yang telah
mereka kuasai disebabkan lamanya lamanya pergaulan mereka bersama
Nabi serta menyaksikan asbabun nuzul (subab turunnya ayat al – quran) dan
asbabul wurud (sebab turunnya hadis) jadi pada waktu itu benar – benra
sudah memahami tujuan hukum syariat serta dasr pembentukannya.14

Setelah kekuasaan islam semakin bertambah luas dan bangsa arab


memperluas pergaulannya dengan bangsa lain baik secra tulisan ataupun
secara lisan. Sehingga terjadilah penyerapan bahasa asing dalam bentuk
mufradat dan tata bahasa kedalam bahasa yang menimbulkan kesamaran dan
kemungkinan lain dalam rangka memahami nas. Dari latar belakang itulah
perlu disusun batasan dan kaidah bahasa, yang dengan kaidaah itu nas dapat
dipahami sebagaimana orang araab memahaminya. Tercatat dalam sejarah
ketika pembukuan tentang hukum islam berkembang, banyak terjadi
perdebatan antara ahlul hadis dan ahlul al ra’yi (akal). Dipihak lain sisi
banyak juga orang – orang yang yang tak ahli agama (ahlu ahwa)
menjadikan sesuatu sebagai hujah padahal itu bukan bukanlah suatu hujah
semua ini merupakan dorongan yang kuat untuk menyusun batasan- batasan
14
Sapiudin shidiq, ushul fiqh edisi 1, ( Jakarta : Kencana, 2017 ), hlm. 17.

15
tentang dalil syariat, syaratnya dan cara menggunakan dalil tersebut. Semua
kaitan dengan dalil serta batasannya ataupun kaidahnya itulah yang disebut
dengan ilmu usul fiqh. Ssebelum imam syafii tercatat orang yang pertama
kali menghimpun kaidah yang bercerai berai dalam suatu kumpulan adalah
imam abu yusuf seorang pengikut dari imam hanafi , tetapi kumpulan ini
tidak samapai kepada kita. Adapun orang yang pertama kali melakukan
kodefikasi kaidah dan bahasan lainnya adalah Imam muhammad bin idris al
–syafii ynag meninggal pada tahun 204 H. Kemudian hasil pentadwinan
(kodifikasi) diberi nama kitab Ar – Risalah, yang merupakan kitab pertama
dalam ilmu usul fiqh maka dari itu dikatakn bahwa orang yang pertama kali
menyusun ilmu usul fiqh adalah Imam syafii.15

Dijelaskan oleh satria efendi bahwa kitab Ar – Risalah berarti


sepucuk surat pada mulanya adalah lembaran surat yang dikirimkan oleh
Imam syafii kepada Abdurrahman al – mahdi seorang ulama ahli hadis pada
waktu itu. Masa pembukuan usul fiqh yang dilakukan imam syafii besamaan
dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan keislaman dari masa Harun
al Rasyid (145 H – 193H ) khalifah ke – 5 dinasti abbasiyyah hingga
dilanjutkan oleh puteranya al ma’mun (170 H – 218 H). Setelah imam syafii
menyusun kitabnya kemudian para ulama berbondong – bondong menyusun
kitab usul fiqh dalam bentuk yang panjang lebar (ishab) dan ringkas (‘ijaz).
Karya ilmiah dibidang ilmu suusl fiqh setelah imam syafii yang tercatat pada
abad ke 3 H dilanjutkan juga dengan karya – karya dari imam yang lainnya,
seperti kitab ibtal al qiyas oleh daud al zahiri pendiri mazhab zahiri.
Menurut Abdul Wahhab dalam kitabnya Khulasat Tarikh Al – Tasyri Al –
Islami pada pertengahan abad ke -4 terjadi kemunduran dalam kegiatan
ijtihad di bidang fiqh, dalam pengertian tidak ada lagi orang yang
mengkhususkan diri untuk membentuk mazhab baru. Namun pada kegiatan
tersebut bidang usul fiqh tetaplah berkembang, ilmu ini tetap berperan
sebagai alat pengukur kebenaran pendapat yang telah terbentuk sebelumnya.
Khusus didalam bidang pemikiran fiqh islam abad ke – 4 mempunyai
karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasri’ islam. Pemikiran
15
Sapiudin shidiq, ushul fiqh edisi 1, ....,hlm. 19.

16
liberal islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. Bhal yang
perlu dicatat sebagai ciri khas perkembangan ilmu ushul fiqh pada abad 4
H yaitu munculnya kitab usul fiqh yang membahas tmasalah usul fiqh secara
utuh dan tidak sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.
Kalaupun ada yang membahas kitab – kitab tertentu, hal itu semata – mata
untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
(Sulaiman: 162). Selain itu, materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab
yang berbeda dengan kitab sebelumnya dan menunjukkan bentuk yang lebih
sempurna, sebagaimana yang tampak dalam kitab Fushul fi al - ushul karya
Abu Bakar Ar-Razi.16 Hal ini merupakan corak tersendiri dalam
perkembangan ilmu usul fiqh pada awal abad ke 4 H. Dalam abad 4 H mulai
tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya
metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqh. Hal ini terlihat
dalam masalah mencari makna dan pengertian sesuatu yang dalam ilmu
Ushul fiqh Al – Hudud Yang merupkan suatu hal yang belum pernah
dijumpai dalam kitab sebelumnya.

Dalam sejarah perkembangan ilmu usul fiqh pada abad 5 dan 6 H


merupakan periode penulisan kitab usul fiqh yang terpesat, yang diantaranya
terdapat kitab yang menjadi kitab standard dalam pengkajian ilmu usul fiqh.
Kitab – kitab usul fiqh yang ditulis pada zaman ini disamping
mencerminkan adanya kitab usul fiqh bagi masing – masing madzhab juga
menunjukkan adanya dua aliran usul fiqh yakni aliran Hanafiyah atau yang
dikenal aliran aliran Fuqaha dan aliran mutakallimin. Ulama yang terkenal
dalam aliran Hanafiyah salah satunya adalah Abu Zayd Ad – Dabusy dan
ualam yang terkenal dalam aliran mutakallimin adalah Imam al haramain
dari golongan mu’tazilah (Ibnu Khaldun : 455 – 456). Pada masa ini juga
terdapat kitab - kitab yang penting diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Kitab Al – Mughni Fi al – Abwab al – Adl Wa at – Tawhid yang ditulis


oleh al – Qadhi Abd al – Jabbar yang berisi tidak hanya kaidah fiqh
namun juga kaidah ilmu kalam yang bercorak mu’tazilah.

16
Sapiudin shidiq, ushul fiqh edisi 1, ( Jakarta : Kencana, 2017 ), hlm. 20.

17
b. Kitab Al – mu’mad fi Al – Ushul Fiqh ditulis oleh Abu Al – Husain Al –
basri yang beraliran mu’tazilah. Kitab ini dalah karya yang paling
sempurna dan menjadi sumber utama bagi para ulama Mu’tazilah
bahkan dinilai salah satu dari nempat standar kitab usul fiqh yang
dijadikan rujukan oleh umumnya pengkaji usul fiqh sesudahnya
c. Kitab Al – Burhan fi Ushul al – fiqh ditulis oleh Abu Al – ma’li Abd. Al
– malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al – Juwaini Imam Al - Haramain.
Kitab ini menunjukkan keorisiniln dan kebebasan cara bepikir sehingga
dalam berbagaai hal ia berbeda dengan ay – syafii, Al – Ash’ri dan Al –
Baqilani. Meskipun kitab ini merupakan kebanggaan aliran asy – syafii
ulama – ulama dan terkemuka dan mazhab malikiyyah menaruh
perhatian dan membuat syarah untuknya, hal ini mungkin disebabkan
adanya kemiripan pendapat dengan pendapat Imam Malik dalam
masalah Istihsan dan maslahah mursalah.17
d. Kitab al – mustashfa min ilm Al – ushul, ditulis oleh Abu hamid Al –
Ghazali yang dikenal sebagai hujjah al – islam.Ia dikenal sebagai ulama
yang mendalami fiqih, filsafat dan tsawuf sekaligus. Menurut Ibnu
Khaldun kitab ini adalah kitab terkahir dari standar usul fiqh. Hasil
ijtihad Al – ghazali yang terpenting dalam kitab ini adalah penolakan
terhaddaap hadis mursal ; dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan
Malik dan Abu Hanifah. Ia juga menolak pendapat bahwa fatwa sahabat
dapat dijadikan hujjah jika sahabat lainnna mendiamkannya. Menurut Al
– ghazali fatwa itu belum dapat dijadikan hujjah sebelum yakin bahwa
diamnya para sahabat itu menyetujui fatwa itu. Menurut Al - Ghazali
setiap mujtahid memiliki nilai kebenaran pada pendapatnya masing –
masing. Ia tidak setuju bahwa hanya satu diantara semua ijtihad yang
benar, sedangkan yang lainnya salah.18

Demikianlah dalam abad ke 5 dan 6 H tampil para fuqaha yang


memiliki pemikiran yang orisinil dan liberal, yang ditandai dengan
timbulnya perbedaan pendapat dalam masalah tertentu. Dalam abad ini pula

17
Sapiudin shidiq, ushul fiqh edisi 1,..., hlm. 10.
18
Rachmat syafe’i, ilmu ushul fiqh, ( Bandung : CV Pustaka Setia) hlm, 39.

18
kita dapat melihat aktivutas para ulama metakallimin, baik asy’riyah ataupun
mu’tazilahyang memberi perhatian terhadap penulisan kitab – kitab ushul
fiqh, disamping itu kitab ushul fiqh dalam periode ini telah terpengaruh oleh
corak pemikiran kalamiyah, filsafat, dan manthiqiyah. Pengaruh ini
berkembang pada abad ke 5 dan 6 H.

C. Aliran Ushul Fiqh


Maraknya kajian ushul fiqh setelah imam syafi’i sebagai penemu
ushul fiqh terus berkembang yang diwarnai oleh kecendrungan yang berbeda
dalam merumuskan kaidah dalam memahami Al-Qur’an dan sunnah yang
memang sudah jauh terjadi sebelumnya, namun pada masa itu tampak jelas
aliran shul fiqh mengkristal menjadi tiga aliran, yaitu :

a. Jumhur Ulama Ushul Fiqh


Disebut jumhur ulama karena aliran ini dianut oleh mayoritas ulama
yang terdiri dari kalangan ulama Makkiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah.
Disebut juga aliran Syafi’iyah, karena orang yang pertama kali mewujudkan
cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah Imam Syafi’i. Disebut juga aliran
mutakallimi karena para pakar dibidang ini setelah Imam Syafi’i adalah dari
kalangan mutakallimi (para ahli ilmu kalam) seperti imam al-Juwaeni, al-
Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam al-Ghazali.
Aliran jumhur ulama dalam metode pembahasannya disadari oleh
logika yang bersifat sendual dan pembuktian oleh kaidah0-kaidah yang ada.
Fokus perhatian mereka tidak diarahkan kepada soal penerapan kaidah
terhadap hukum yang trlah ditetapkan oleh imam mujtahid atau hubungan
kaidah dengan masalah furu’ (masalah khalifah). Tetapi apasa yang
dianggap rasoinal dan tersdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok
hukum syariat islam baik sesuai dengan masalah furu’ dalam berbagai
mazhab atau menyalahinya.

19
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembahasan ushul fiqh
pada aliran ini bersifat teoretis tanpa disertai contoh dan bersifat murni
karena tidak mengacu pada mazhab fiqh tertentu yang sudah ada.19

b. Aliran Hanafiyyah (Ahnaf) atau Fuqaha


Metode Ahnaf dicetus oleh Imam Abu Hanifah dan dikembangkan
oleh ulama Hanafiyyah. Aliran ini juga disebut dengan aliran fuqaha (ahli
fiqh), karena sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman kepada
pendapat fiqh dan pendpat para muridnya serta melengkapinya dengan
contoh-contoh.20
cara yang digunakan oleh aliran nin dengan menggunakan istiqra’
(induksi),terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan
mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka
ginakan. Sehingga metode ini mengambil konkluksi darinya. Metode yang
dipakai oleh aliran Hanafiyyah dalam menyusun kaidah0kaidah, ditempuh
berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah menyandarkan
ijtihadnya kepada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyah tersebut.
Jadi, mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai cabang dari
kaidah itu.
Adapun yang mendorong hubungan mreka untuk membuktikan
kaidah-kaidah itu adalah beberapa hukum yang telah di istinbatkan oleh
imamnya dengan bersandar kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang
bersifat teoristis.
Adapun kitab-kitab yang dikenal dalam aliran ini yaitu:
a. Kitab Taqwin al-Adillah, karangan Abu Zaid al-Dabusi.
b. Kitab ushul, karangan Fatrul Islam.
c. Kita al-Manar, karangan al-Hafidh an-Nasafi .
d. Al-Fushul fi al-Ushuli, karangan Abu Bakar al-Hashash.
e. Kitab Ushul, karangan al-Kurkhi.
f. Kitab Ushul, karangan al-jashsas.
19
Sapiudin shidiq, ushul fiqh edisi 1, ( Jakarta : Kencana, 2017 ), hlm. 23
20
Sapiudin, ushul fiqh edisi 1,...., hlm, 24.

20
g. Ta’sis al-Nazhar, karangan al-Dabusi.
h. Kitab Ushul al-Bazdawi, karangan al-Bazdawi.
i. Al-Mabsuth, karangan al-Sarkhasi21

c. Metode Campuran

Aliran ini juga disebut dengan aliran fuqaha (ahli fiqh), karena
sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Mereka
memerhatikan kaidah ushuliyah tentang masalaah yang disepakati dan
mengemukakan dalil atas kaidah itu serta memerhatikan penerapan terhadap
masalah fiqh far’iyah dan relevansinya dengan kaidah itu. Berikut beberapa
kitab yang termasuk aliran campuran yaitu :

1. Kitab al – Nizham karangan al – Bazhawi.


2. Al – ahkam karangan Mudhaffaruddin Al Baghdadi Al Hanafi.
3. Al taudhih karangan Shadrus Sya’riyah.
4. At tahrir karangan Al – Kamal Bin Hammam.
5. Jamu’ al – jawami’ karangan Ibnu Subki.
6. Irsyad al – fukhul litahqiqi al – haqqi min al- ilmi al ushul karangan al –
syaukani.
7. Kitab usul fiqh karangan khudari bek.
8. Taushil al – wushul ila ilmi al – wushul karangan Syeikh Muhammaf
Abdurrahman Aid Al – Mihlawi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
21
Sapiudin, ushul fiqh edisi 1 ,...., hlm, 26.

21
1. Ilmu fiqh dan ushul fiqh merupakan suatu disiplin ilmu yang mulai
muncul pada abad ke 1 H bersamaan dengan beberapa ilmu lainnya,
perkembangan ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh digolongkan kedalam
tahapan yang berbeda. Hal ini dikarenakan, ilmu fiqh dan ilmu ushul
fiqh memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Pada awal
perkembangannya ilmu fiqh adalah ilmu yang muncul lebih cepat dari
ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh sendiri muncul pada awal abad 1 H.
2. Ilmu ushul fiqh muncul pada abad ke – 3 H dengan perkembangan yang
sempat mengalami kemerosotan. Setelah beberapa abad barulah para
mujtahid mengembangkan ilmu ushul fiqh sehingga ilmu fiqh dan ushul
fiqh saling melengkapi satu sama lain. Selain itu, disiplin ilmu ini juga
memiliki periodisasi dalam proses perkembangan dan penyempurnaan
serta proses pembukuan. Ilmu ini juga menjadi dasar suatu displin ilmu
yang digunakan para mujtahid untuk meng - istinbat- kan suatu hukum
pada zaman dulu hingga sekarang.
3. Ilmu ini juga melahirkan beberapa aliran – aliran yang terbaru seperti
Jumhur Ulama Ushul Fiqh (disebut jumhur ulama karena aliran ini
dianut oleh mayoritas ulama yang terdiri dari kalangan ulama Makkiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabillah). Aliran hanifiyah atau Ahnaf Aliran ini juga
disebut dengan aliran fuqaha (ahli fiqh). Metode Campuran merupakan
sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh, Mereka
memerhatikan kaidah ushuliyah tentang masalaah yang disepakati dan
mengemukakan dalil atas kaidah itu serta memerhatikan penerapan
terhadap masalah fiqh far’iyah dan relevansinya dengan kaidah itu.

B. Kritik Dan Saran


Penulis telah memberikan gambaran umum tentang sejarah fiqh dan
ushul fiqh. Namun tidak menutup kemungkinan, banyak persoalan seputar

22
tema yang diangkat yang belum tuntas, sehingga perlu tinjauan kembali
dari para pembaca, dan lebih khusus dosen pembimbing untuk
memberikan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah
ini. Semoga pemyusunan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

Ali imran, Sinaga Nurhayati, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta : Prenada media group, 2018.

Rachmat syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Cv Pustaka Setia, 2007.

23
Sapiuddin shidiq, ushul fiqh edisi 1, Jakarta : Kencana, 2017.

24

Anda mungkin juga menyukai