PENDAHULUAN
Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang ditandai adanya
proses inflamasi nekrosis dinding pembuluh darah. Pembuluh darah yang terkena
dapat arteri atau vena dengan berbagai ukuran. Vaskulitis pembuluh darah sedang
adalah vaskulitis yang terutama mempengaruhi arteri sedang, yang didefinisikan
sebagai arteri viseral utama dan cabangnya. Penyakit Kawasaki dan poliarteritir
nodosa adalah varian utama dari vaskulitis pembuluh darah sedang.
Penyakit kawasaki yang juga dikenal dengan mucocutaneous lymph node syndrome
adalah vaskulitis multisistem akut terutama mengenai bayi dan anak <5 tahun, dengan
gambaran klinis berupa demam lima hari atau lebih tanpa sebab yang jelas disertai
dengan injeksi konjungtiva noneksudatif bulbar bilateral, tidak nyeri, injeksi atau
fisura pada bibir, injeksi faring atau strawberry tongue, eritema pada telapak tangan
atau kaki, edema pada kedua tangan atau kaki atau deskuamasi periungual, eksantema
polimorfik dan limfadenopati servikal nonsupuratif akut (diameter > 1,5 cm).1 Terapi
pada penyakit Kawasaki bertujuan untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler
dengan mengurangi inflmasi arteri coroner, miokard, mencegah thrombosis serta
mengurangi gejala simptomatik. Terapi pilihan fase akut adalah immunoglobulin
intravena (IGIV) dan aspirin.
Poliarteritis nodosa (PAN) adalah necrotizing arteritis pada arteri menengah atau
kecil tanpa glomerulonefritis atau vaskulitis di arteriol, kapiler, atau venula, dan tidak
1
terkait dengan sitoplasma antineutrophil antibodi (ANCAs). 20 Poliarteritis nodosa
sistemik jarang. Etiologi CPAN tidak diketahui. Poliarteritis nodosa kulit mungkin
dianggap sebagai penyakit dimediasi kompleks kekebalan tubuh. Direct
immunofluorescence (DIF) sering menunjukkan deposit IgM dan C3 mempengaruhi
dinding arteri. PAN merupakan penyakit multisistem dengan keluhan demam,
berkeringat, penurunan berat badan, nyeri otot yang parah dan sakit sendi. 22
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit Kawasaki pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Tomisaku
Kawasaki di Jepang pada tahun 1967 sebagai mucocutaneous lymph node
syndrome. Penyakit Kawasaki ditemukan hampir di seluruh dunia dan
menyerang semua ras, terutama Jepang, Korea, dan Taiwan yaitu 69
hingga 218 kasus per 100.000 anak usia < 5 tahun. Insidens penyakit
Kawasaki meningkat secara perlahan di negara maju termasuk Jepang dan
Inggris dan lebih tinggi di negara berkembang seperti India. 2 Penyakit
Kawasaki sendiri masih belum dikenal dengan baik di Indonesia. Di
Indonesia sendiri, diperkirakan terdapat sekitar 5.000 kasus baru setiap
tahun, tetapi kasus yang dapat didiagnosis tercatat <200 kasus per tahun
atau hanya 4% kasus sehingga masih ada 96% kasus yang belum
3
terdeteksi.3 Selama periode tahun 2003 hingga tahun 2013, hanya
dilaporkan sebanyak 667 kasus di Indonesia.4
4
2.1.4 GEJALA KLINIS
Manifestasi penyakit ini dibagi kedalam tiga fase yaitu :
a. Fase akut
Fase akut terjadi pada 7-14 hari pertama awitan gejala yang
merupakan periode demam tinggi dan dapat berlangsung hingga 1-2
minggu bahkan menetap hingga 3-4 minggu bila tidak diobati.11 Pada
fase akut, didapatkan gambaran klinis berupa demam tinggi, injeksi
konjungtiva, perubahan mukosa oral dan ekstremitas, eksantema
polimorfik, serta limfadenopati servikal unilateral.
Demam yang terjadi umumnya >39 C, remiten, tidak respon terhadap
antipiretik dan umumnya mereda setelah 1-2 minggu.12 Injeksi
konjunctiva ditemukan pada 80-90% kasus, timbul 2-4 hari setelah
awitan gejala dan menetap selama 1-2 minggu. Ciri injeksi konjuntiva
pada penyakit Kawasaki ini adalah bilateral, tanpa eksudat, tidak
nyeri, dan ditemukan zona avaskuler sekitar iris yang disebut limbal
sparing.13 Perubahan mukosa oral berupa bibir merah, bengkak dan
kering, faring hiperemis, dan lidah merah dengan papil yang menonjol
disebut strawberry tongue ditemukan hampir pada semua kasus.12,13
5
Gambar 1. Strawberry tongue
Perubahan ekstremitas khas berupa eritema pada telapak tangan dan
kaki, edema non-pitting pada lengan dan tungkai disertai dengan nyeri
yang menyebabkan pasien sulit menggegam benda dan berjalan.
Eksantema polimorfik ditemukan pada >80% kasus, umumnya setelah
2-5 hari demam. Eksantema ini dapat berupa skarlantiniformis,
morbiliformis, eksantema urtikaria atau kombinasi ketiganya.
Eksantema dimulai di wajah menyebar ke ekstremitas dan menyatu
pada perineum. Limfadenopati servikal ditemukan pada 50-75% kasus,
umumnya unilateral, nyeri, diameter > 1,5 cm, keras, tidak
berfluktuasi dan diatas kulit eritem.13
Pada fase ini, juga ditemukan adanya gangguan pada organ dan
jaringan lain misalnya gangguan musculoskeletal (artritis dan
artralgia), gastrointestinal (diare, nyeri abdomen, hepatitis, dan
hydrops of gallbladder), genitourinarius (urethritis, neurologic
(meningitis aseptic), kardiovaskuler (takikardia, efusi pericardium,
penurunan fungsi ventrikel kiri, dan kardiomegali) serta gangguan lain
misalnya otitis, eritem dan indurasi pada bekas parut vaksin BCG.14
6
b. Fase subakut
Fase subakut terjadi pada hari ke 14-25 setelah awitan gejala. Pada
fase ini akan terjadi perbaikan demam dan eksantema, dapat
ditemukan adanya deskuamasi periungual pada jari tangan dan/atau
kaki, terutama 2-3 minggu setelah awitan demam. Pada kasus berat,
deskuamasi dapat meulasi ke telapak tangan dan kaki. Deskuamasi
periungual tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis dini karena
baru muncul pada fase subakut.14 Selama fase ini, gangguan
kardiovaskuler mulai terlihat jelas terutama pada pasien yang tidak
diobati. Gangguan vaskuler dapat berupa aneurisma arteri coroner,
efusi pericardium dan infark miokard. Selain itu dapat juga ditemukan
adanya artritis sendi bsar, yaitu lutut dan pergelangan kaki.12
7
c. Fase konvalesen
Fase konvalesen terjadi pada hari ke 26 awitan sampai laju endap
darah (LED) normal yaitu hari ke 42 sampai 70 sejak awitan gejala
muncul. Pada fase ini sering ditemui adanya garis transversal
sepanjang kuku yang disebir dengan Beau’s line, namun gambaran ini
tidak spesifik untuk penyakit Kawasaki. Pada fase ini, anak
menunjukkan perbaikan klinis tetapi kelainan jantung dapat terus
berlangsung. Evaluasi kondisi jantung dilakukan pada fase ini dan jika
ditemukan aneurisma, kondisi jantung dievaluasi kembali satu tahun
kemudian.13
8
b. Miokarditis
Miokarditis menjadi gambaran dini penyakit Kawasaki. Beratnya
mikarditis tidak berhubungan dengan resiko terjadinya aneurisma
coroner. Kelainan kontraktilitas miokard diduga karena beredarnya
toksin dan aktivasi sitokin. Timbulnya miokarditis pada fase akut
penyakit ini berhubungan dengan efek jangka panjang dari fungsi
miokard. Sebagian besar penyakit Kawasaki akan menyebabkan
kelainan kontraktilitas miokard pada pemeriksaan ekokardiografi,
namun pemberian immunoglobulin dini dapat memperbaiki fungsi
miokard.16
c. Regurgitasi katup
Regurgitasi katup mitral bisa terjadi karena disfungsi otot papilaris,
infark miokard atau valvulitis. Regurgitasi katup mitral terjadi setelah
fase akut yang biasanya sekunder dari iskemia miokard. Regurgitasi
aorta ditemukan pada 5% kasus dan dihubungkan dengan valvulitis.
Regurgitasi katup aorta lebih sering ditemukan pada fase akhir dan
biasanya memerlukan operasi penggantian katup.17
2.1.5 DIAGNOSIS
Pada tahun 2004, American Heart Association (AHA) mempublikasikan
kriteria diagnosis penyakit Kawasaki klasik dan tidak lengkap. Kriteria ini
meliputi demam lima hari atau lebih tanpa penjelasan rasional dan
memenuhi setidaknya empat dari lima kriteria dibawah ini :
a. Injeksi konjungtiva non eksudatif bulbar bilateral yang tidak nyeri
b. Satu dari perubahan orofaring berikut : injeksi atau fisura pada bibir,
injeksi faring, atau strawberry tongue
c. Satu dari beberapa perubahan ekstremitas berikut : eritem pada telapak
tangan atau kaki, edema pada kedua tangan atau kaki atau deskuamasi
periungual
9
d. Eksantema polimorfik
e. Limfadenopati servikal non supuratif akut (diameter > 1.5 cm)
Kriteria laboratorium yang mendukung yaitu albumin < 3,0 g/dl, anemia,
peningkatan SGOT dan SGPT, trombosit > 450.000/mm3, leukosit >
15.000/mm3, pemeriksaan urinalisa menunjukkan leukosit > 10/LPB.
Gambaran ekokardiografi yang mendukung yaitu adanya perivascular
brightness, lack of tapering, penurunan fungsi ventrikel kiri, regurgitasi
mitral, efusi pericardial, skor Z LAD atau RCA senilai 2-2.5.6
2.1.6 TERAPI
Terapi pada penyakit Kawasaki bertujuan untuk mencegah komplikasi
kardiovaskuler dengan mengurangi inflmasi arteri coroner, miokard,
mencegah thrombosis serta mengurangi gejala simptomatik. Terapi pilihan
10
fase akut adalah immunoglobulin intravena (IGIV) dan aspirin. Pada
pasien akut yang tidak berespon dengan terapi ini memerlukan terapi lain
yaitu IGIV dosis tambahan, kortikosteroid, infliximab, siklosporin dan
metotreksat.18
Pemberian IGIV dosis tunggal 2 g/kgBB dikombinasikan dengan aspirin
oral 30-50 mg/kgBB/hari pada 10 hari pertama demam dapat mengurangi
resiko kelainan arteri coroner.18 Aspirin dosis sedang-tinggi diberikan
sampai 2-3 hari bebas demam kemudian diturunkan menjadi 3-5
mg/kgBB/hari. Aspirin dihentikan pada minggu ke 2-3 dan 6-8 serta kadar
CRP dalam batas normal.19 Penggunaan kortikosteroid pada penyakit
Kawasaki masih diperdebatkan. Metilprednisolon intravena dosis denyut
30 mg/kgBB/hari selama 3 hari diberikan pada pasien yang resisten terapi
awal IGIV.18
2.1.7 KOMPLIKASI
Penyakit Kawasaki ini pada dasarnya self limiting disease dengan
angka kematian yang rendah.5 Komplikasi serius pada penyakit Kawasaki
adalah penyakit jantung didapat pada anak anak, yang terjadi apabila
dalam 10 hari pertama demam anak tidak menerima pengobatan yang
tepat, anak akan beresiko mengalami kelainan arteri coroner sebesar 20-
25%.1 Angka kematian akibat penyakit Kawasaki sangat rendah yakni
0.01 – 0.2% namun komplikasi terhadap kardiovaskuler dapat progresif
dan menetap.5 Terdapat 15-25% kasus yang tidak diobati dan mengalami
kelainan kardiovaskuler berupa dilatasi dan aneurisma arteri coroner yang
menyebabkan infark miokard, rupture aneurisma dan kematian
mendadak.6 Infark miokard terjadi akibat thrombosis aneurisma atau
stenosis arteri coroner. Ruptur aneurisma jarang ditemukan, umumnya
timbul pada bulan pertama setelah awitan.7 Mikarditis selama fase akut
terjadi >50% dan umumnya membaik dengan terapi IGIV.
11
Walaupun penyakit ini merupakan penyakit inflamasi multisystem yang
mengenai banyak organ dan jaringan, namun belum ditemukan adanaya
komplikasi serius pada organ lain kecuali jantung dan pembuluh darah.7
2.1.8 PROGNOSIS
Penyakit Kawasaki ini pada dasarnya self limiting disease dengan
angka kematian yang rendah yakni 0.01 – 0.2% namun komplikasi
terhadap kardiovaskuler dapat progresif dan menetap.5
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Poliarteritis nodosa sistemik adalah penyakit yang jarang. PAN pada
kulit lebih sering ditemui tetapi kejadian sebenarnya banyak tidak
diketahui. Vaskulitis kulit ini mempengaruhi semua usia, mulai dari 3-81
tahun. Sementara kebanyakan studi kecil tidak menunjukkan dominasi
gender di antara pasien dengan CPAN, satu studi besar menemukan rasio
laki-laki: perempuan = 1: 1.7. Usia rata-rata pada saat diagnosis adalah
12
43,5 tahun (kisaran 6-72) untuk pasien tanpa ulserasi kulit, dan 47 tahun
(kisaran 16-81) bagi mereka dengan ulserasi.21
Poliartertis Nodosa adalah penyakit yang jarang ditemukan dengan
insidens diperkirakan 4 sampai 10 orang per 1 juta penduduk, yang
biasanya mengenai laki laki umur antara 40 sampai 60 tahun.21
13
glomerulonefritis. Namun, pada pasien dengan hipertensi berat,
glomerulosklerosis dapat bersamaan dengan glomerulonefritis. Arteri paru
tidak terlibat dan keterlibatan arteri bronkial jarang.24
14
- Keterlibatan kulit terjadi paling sering pada kaki dan sangat
menyakitkan.
b. Saraf
- Neuropati perifer yang sangat umum 50-70%. Termasuk
kesemutan, mati rasa dan /atau nyeri di tangan, lengan, dan kaki.
- Lesi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi 2-3 tahun setelah
timbulnya PAN dan dapat menyebabkan disfungsi kognitif,
penurunan kesadaran, kejang dan defisit neurologis.
c. Ginjal
- Vaskulitis arteri ginjal dapat menyebabkan protein dalam urin,
gangguan fungsi ginjal, dan hipertensi.
- Persentase kecil pasien memerlukan dialisis.
d. Tractus gastrointestinal
- Nyeri perut, perdarahan gastrointestinal (kadang keliru
inflammatory bowel disease)
- Perdarahan, infark usus, dan perforasi jarang terjadi, tapi sangat
serius.
e. Jantung
- Keterlibatan klinis jantung biasanya tidak menimbulkan gejala
- Namun, beberapa pasien berkembang menjadi infark miokard
(serangan jantung) atau gagal jantung kongestif.
f. Mata
Scleritis atau peradangan pada sklera
g. Genital
Infark testis.23
15
2.2.5 DIAGNOSIS
PAN mudah didiagnosis setidaknya terdapat 3 dari 10 kriteria ACR
didukung diagnosis vaskulitis berdasarkan radiografi atau patologis.
Adapun kriterianya sebagai berikut :
a. Penurunan berat badan 4 kg atau lebih
b. Livedo Reticularis
c. Nyeri testis
d. Mialgia atau kelemahan kaki kelemahan/nyeri
e. Mononeuropati atau polineuropati
f. Tekanan darah diastolik lebih besar dari 90 mm/Hg
g. Blood Urea Nitrogen (BUN) atau tingkat kreatinin tidak terkait dengan
dehidrasi atau obstruksi
h. Adanya HbSAg atau antibodi dalam serum
i. Arteriogram menunjukkan aneurisma atau oklusi arteri visceral
j. Biopsi kecil atau menengah arteri yang mengandung neutrofil
polimorfonuklear
16
yang menuju ke ginjal, hati atau saluran pencernaan. 23 Angiografi visceral
juga diperlukan untuk melihat kondisi organ yang diperkirakan mengalami
gangguan akibat PAN. Lesi tipikal arteriografi untuk PAN adalah
mikroaneurisma fusiform atau arterial saccular (diameter 1-5 mm), yang
biasanya disertai dengan adanya lesi stenosis, predominan di cabang arteri
ginjal, mesenterika, dan hepatica.26
17
Diagnosis dikonfirmasi oleh biopsi menunjukkan perubahan patologis di
arteri berukuran sedang. Tempat biopsi dapat bervariasi. Kebanyakan
biopsi yang diambil dari kulit, saraf atau otot.23
2.2.6 TERAPI
Setelah diagnosis, pasien diobati dengan kortikosteroid dosis tinggi. Obat
imunosupresan lainnya juga ditambahkan untuk pasien dengan penyekit
tertentu. Saat ini, kortikosteroid menjadi dasar pengobatan. Penambahan
siklofosfamid adalah standar perawatan untuk pasien dengan PAN
idiopatik dengan steroid refrakter atau termasuk keterlibatan organ utama.
Kombinasi ini dapat memberikan kelangsungan hidup berkepanjangan
untuk pasien ini. Sebaliknya, untuk hepatitis B terkait PAN, pengobatan
18
mencakup kortikosteroid dengan agen antivirus dan plasmapheresis.
Siklofosfamid tidak rutin dianjurkan pada hepatitis B terkait PAN dimana
penggunaan steroid dengan siklofosfamid pada pasien ini ditujukan untuk
meningkatkan replikasi virus. obat antivirus yang digunakan meliputi
vidarabine atau interferon alfa-2b. Agen biologis telah diteliti pada pasien
dengan PAN dimana tidak sensitif terhadap steroid dan mengalami PAN
berulang. Suatu laporan kasus menjelaskan keberhasilan penggunaan
rituximab dan infliximab. Plasma exchange telah digunakan pada
beberapa pasien PAN yang parah. 24
Praktek umum penggunaan dosis tinggi oral prednison pada 1 mg/kg/hari.
Metilprednisolon juga bisa diberikan misalnya dengan dosis pulse 1.000
mg intravena setiap hari diulang lebih dari 3 hari, sebelum memulai
prednison oral. Dosis prednisone dapat mulai dikurangi satu bulan
kemudian jika status klinis pasien dan ESR membaik mencapai normal.
Pengurangan dosis prednison bertahap > selama 12 bulan ke depan sampai
berhenti.24
Terapi siklofosfamid dapat dimulai pada pasien dengan keterlibatan serius
pada organ utama atau steroid-refractory PAN. Siklofosfamid dapat
diberikan pulse intravena (IV) bulanan atau sebagai pil setiap hari.
Siklofosfamid pulse IV memiliki onset yang cepat, memungkinkan dosis
kumulatif lebih rendah diberikan dan mengekspos pasien terhadap
toksisitas potensial periode lebih pendek daripada rejimen oral. Potensi
toksisitas siklofosfamid yang akan dibahas mencakup peningkatan risiko
kanker kandung kemih, keganasan hematologi, sistitis hemoragik, fibrosis
kandung kemih, penekanan sumsum tulang, dan kegagalan gonad.24
Pada kasus PAN terkait infeksi Hepatitis B, agen antivirus dimulai setelah
steroid dihentikan untuk meningkatkan imunologi hepatosit yang
terinfeksi HBV dan mendukung serokonversi. Salah satu agen
mengandung vidarabine, yang digantikan oleh interferon-α2b dan
19
kemudian oleh lamivudine. Dianjurkan agar lamivudine dilanjutkan
selama 6 bulan atau berhenti pada saat serokonversi hepatitis B surface
antibody. Plasma exchanges digunakan sebagai terapi tambahan dengan
antivirus. Pertukaran plasma dilakukan 3 kali per minggu selama 3
minggu, dua kali seminggu selama 2 minggu dan kemudian sekali
seminggu. Pertukaran plasma berhenti setelah serokonversi hepatitis B
antigen menjadi hepatitis B antibody terjadi atau setelah pemulihan klinis
dipertahankan selama 2-3 bulan.24
2.2.7 PROGNOSIS
Sebelum ketersediaan terapi yang efektif, PAN yang tidak diobati
biasanya berakibat fatal dalam beberapa minggu hingga bulan kedepan.
Sebagian besar kematian terjadi sebagai akibat dari gagal ginjal, jantung
atau komplikasi gastrointestinal.
Adanya salah satu dari 5 faktor berikut memprediksi kemungkinan
peningkatan kematian:24
a. Insufisiensi ginjal (serum kreatinin >1,58 mg dL)
b. Proteinuria (>1 g/d)
c. Keterlibatan GI (perdarahan, perforasi, infark, pankreatitis)
d. Kardimiopati
e. Keterlibatan SSP
20
Giant cell arteritis (GCA) adalah suatu peradangan pada lapisan
pembuluh darah arteri, yang ditandai oleh infiltrate inflamasi limfosit dan
sel raksaasa pada arteri kranial 27. GCA adalah bentuk paling umum dari
vaskulitis sistemik, dengan kejadian antara 15-25 kasus per 100.000 orang
di atas usia 50 tahun. Insiden GCA meningkat seiring bertambahnya usia,
hampir secara eksklusif mempengaruhi orang berusia 50 tahun atau lebih
dan sedikit lebih banyak menyerang wanita. GCA jarang terjadi pada
populasi Asia dan Karibia/ Afrika berkulit htam28.
2.3.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini menyerang sekitar 1 dari 1000 orang berusia diatas 50
tahun dan lebih sering terjadi pada wanita dengan ratio sekitar 2:1.
Faktanya, salah satu kriteria diagnostik yang paling konstan adalah usia di
atas 50 tahun. Dengan peningkatan harapan hidup yang progresif selama
beberapa dekade terakhir, prevalensi GCA cenderung meningkat secara
bertahap meskipun tingkat insiden tetap seperti yang dijelaskan dalam
beberapa penelitian29.
Insiden GCA ditemukan meningkat di beberapa daerah, dalam
penelitian lain ada kecenderungan ke arah tingkat yang lebih rendah, dan
lainnya menjelaskan stabilitas. Kesadaran yang lebih tinggi tentang
penyakit dengan mengunjungi dokter dan meremehkan bentuk ekstra-
tengkorak yang lebih atipikal di masa lalu mungkin telah memainkan
peran dalam variasi ini. Menariknya, mungkin karena dokter lebih akrab
dengan penyakit ini, beberapa seri telah menunjukkan penurunan
manifestasi visual dalam beberapa tahun terakhir30,31.
21
spesimen biopsi telah menggoda beberapa peneliti untuk berhipotesis
bahwa infeksi setidaknya dapat memicu reaksi inflamasi. Namun,
penjelasan patogen yang tepat dari temuan ini, jika ada, masih harus
dijelaskan. Mikroorganisme yang telah terlibat termasuk virus varicella
zoster, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan parvovirus
B19, tetapi agen infeksius belum secara pasti terbukti mempunyai peran
penyebab utama atau menjadi satu-satunya pemicu imunologi32.
Giant cell atritis terutama mempengaruhi arteri sedang dan besar dari
cabang kranial eksternal dari aorta. Proses patologis yang terjadi di GCA
diringkas di bawah ini33,34:
a) Berlangsung dari pemicu yang tidak diketahui, terjadi maturasi
abnormal dari sel dendritik vaskular (DC) tunika adventitia dinding
pembuluh besar. Hal ini mengakibatkan terjadinya perekrutan DC dan
mengaktifkan diferensiasi cluster (CD) 4+ sel T naif.
b) Sel CD4 + naif diaktifkan dan berdiferensiasi menjadi sel T helper
(Th) 1, sel Th17 dan T regulasi (Treg).
c) Makrofag dalam tunika adventitia dinding pembuluh menghasilkan IL-
6 dan IL-1β. Di dalam media tunika, makrofag mengeluarkan
metaloproteinase, yang menurunkan lamina elastis internal dan
jaringan ikat lainnya. ROS dan IL-6 yang disekresikan berkontribusi
pada inflamasi, kerusakan vaskular lokal. Kerusakan pembuluh darah
dan faktor pertumbuhan makrofag seperti VEGF dan faktor
pertumbuhan platelet menyebabkan hiperplasia intima dan selanjutnya
stenosis dan oklusi vaskular.
d) Pada beberapa pasien, IFN-γ mendorong diferensiasi dan fusi
makrofag yang sangat aktif untuk membentuk sel raksasa berinti
banyak. Sel raksasa ini juga mengeluarkan sitokin dan faktor
pertumbuhan.
22
e) Sel-sel arteri yang terkena merespons kerusakan melalui repair
disfungsional. Hal ini menyebabkan penebalan tunika media, oklusi
luminal, iskemia dan akhirnya diakhiri dengan kerusakan organ.
23
Gambar 5. Gejala dan tanda GCA serta arteri yang terlibat37.
a) Anamnesis
Sakit kepala - ini adalah gejala yang paling umum, tetapi tidak selalu
ada. Jika ada biasanya terjadi sakit kepala temporal yang parah
meskipun GCA dapat muncul dengan nyeri oksipital atau parietal.
Onsetnya sering tersembunyi tetapi juga bisa akut. Rasa sakitnya
biasanya bersifat tumpul tetapi hal ini bervariasi37.
Gejala visual - tanyakan tentang gejala visual pada siapa pun yang
mengalami sakit kepala. Apakah ada kehilangan penglihatan atau
diplopia sebagian atau seluruhnya? Tanyakan secara spesifik tentang
kedua mata. Jika pasien mengalami keterlibatan mata unilateral,
24
kemungkinan mata lainnya terkena pada saat yang sama adalah 20-
50%37.
Nyeri kulit kepala - apakah ada nyeri pada kulit kepala saat menyikat
rambut?
Gejala konstitusional - kelelahan, penurunan berat badan, anoreksia, dan
keringat atau demam sering muncul. Namun, diagnosis banding, seperti
infeksi dan keganasan, juga harus dipertimbangkan37.
Nyeri pada rahang saat mengunyah (klaudikasio rahang), ini adalah
komplikasi iskemik yang paling umum. Biasanya nyeri terjadi setelah
beberapa menit mengunyah otot masseter, karena iskemia. Klaudikasio
lidah sangat jarang menjadi gejala yang muncul dan terjadi pada sekitar
2-4% pasien.Klaudikasio rahang (atau lidah) dikaitkan dengan high
risiko komplikasi iskemik 37.
Nyeri dan kekakuan otot proksimal - pasien dengan polymyalgia
rheumatica (PMR) yang terjadi bersamaan dapat melaporkan nyeri otot,
terutama pada lengan dan tungkai proksimal, dan kekakuan di pagi hari
biasanya berlangsung selama beberapa jam. Mereka sering merasa sulit
bangun dari tempat tidur di pagi hari37.
b) Pemeriksaan Fisik
Arteri temporalis palpasi arteri temporalis yang akan dicari nyeri tekan,
manik-manik yang terasa seperti gumpalan keras kecil, dan / atau denyut
berkurang atau tidak ada, misalnya dengan membandingkannya dengan
bagian lain37.
Pemeriksaan vascular mencari gambaran vaskulitis pembuluh besar
seperti bising (misalnya arteri karotis atau subklavia), penurunan denyut
arteri, atau perbedaan tekanan darah antar lengan37.
Mata periksa ketajaman visual dan lapang pandang, cari neuropati optik
iskemik anterior sekunder akibat GCA, yang mungkin muncul sebagai
kehilangan penglihatan monokuler (selama beberapa jam hingga hari).
25
Beberapa pasien melaporkan kehilangan penglihatan (baik bagian
bawah atau atas dari bidang visual secara selektif terpengaruh) atau
skotoma. Periksa refleks pupil apakah ada defek aferen relatif akibat
iskemia saraf optik, dan lakukan funduskopi. Temuan funduskopi tidak
spesifik untuk GCA dan mungkin termasuk bercak kapas, edema,
cakram pucat, atau bahkan perdarahan37.
Kulit kepala rasakan nyeri tekan di kulit kepala; jangan batasi
pemeriksaan hanya pada kulit di atas arteri temporal karena arteri yang
menyuplai kulit kepala juga bisa terlibat. Lakukan pemeriksaan umum
menyeluruh, termasuk (tetapi tidak terbatas pada) sistem kardiovaskular,
pernapasan, dan perut untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya
Table 337.
2.3.5 DIAGNOSIS
Saat mengklasifikasikan pasien dengan vaskulitis, kriteria American
College of Rheumatology Tabel 2, dapat membantu, tetapi ini bukan
sebagai kriteria diagnostik, kriteria ini mudah digunakan dan dapat
membantu memulai pengobatan dini dan memicu rujukan spesialis37.
26
Laju endap darah seringkali meningkat (lebih dari 100 mm/jam)
Pemeriksaan darah lainnya yang dapat menunjukkan gambaran anemia
normositik normokrom. Biopsi arteri temporalis merupakan diagnosis
pasti untuk penyakit ini. Dapat pula dilakukan pemeriksaan pencitraan
kepala dengan MRI untuk menyingkirkan penyakit lainnya37.
Kriteria diagnosis menurut komite klasifikasi International Headache
Society adalah bila terdapat salah satu berikut ini: arteri temporalis
superfisialis yang bengkak dan nyeri tekan, laju endap darah meningkat,
nyeri kepala menghilang dalam 48 jam sejak terapi steroid diberikan.
Diagnosis harus dipastikan dengan biopsi arteri temporalis, karena
prosedur ini dapat dilakukan dengan mudah di bawah anestesia lokal.
Hasil biopsi bisa normal meskipun penyakitnya aktif bila bahan biopsi
yang diambil tidak representatif karena arteri temporalis yang terkena
tidak menyeluruh. Angiografi kadang-kadang diperlukan untuk
memastikan arteritis sebagai penyebab penurunan visus37.
27
dengan PMR persisten yang mengalami nyeri punggung bawah
inflamasi, korset panggul yang dominan dan atau nyeri tungkai yang
menyebar43.
2.3.7 PENATALAKSANAAN
Diagnosis dan pengobatan dini GCA dapat mencegah perkembangan
komplikasi serius, seperti kehilangan penglihatan. Bahkan saat dirawat,
kehilangan penglihatan bisa terjadi dan bersifat permanen. Sebelum
pengobatan kortikosteroid digunakan untuk mengobati GCA, kehilangan
penglihatan tercatat hingga 30-60% pasien. Jika tidak diobati, hingga
setengah dari individu dengan GCA dapat kehilangan penglihatan
unilateral dalam beberapa hari hingga minggu gejala37.
Kortikosteroid dosis tinggi harus diberikan segera dan sedini mungkin
untuk memperbaiki visus. Bila diagnosis dicurigai, terapi awal jangan
menunggu hasil patologi dari biopsi arteri temporalis. Pengobatan yang
tertunda dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan secara tiba-tiba. Jika
tidak ada gejala iskemik (klaudikasio rahang atau gejala visual), dapat
memulai prednisolon 40 mg setiap hari secara oral. Jika pasien
mengalami klaudikasio rahang, risiko kehilangan penglihatan tinggi maka
28
terap menggunakan prednisolon 60mg. Jika pasien sudah memiliki gejala
visual apa pun, maka pemberian segera metilprednisolon intravena selama
3 hari diperlukan untuk mempertahankan penglihatan Gambar 627,37.
29
Terapi farmakologi memberikan hasil yang bervariasi pada masing
masing individu. Biasanya membaik dalam waktu 4-6 minggu setelah
terapi. Penting juga untuk melakukan pendekatan follow up, karena
keterlibatan pembuluh darah besar dapat terjadi bertahun-tahun setelah
pengenalan awal penyakit. Teknik pencitraan yang lebih baru seperti
FDG-PET / CT, MRI atau CT-ngiografi dapat menjadi bantuan untuk
diagnosis dan juga untuk tindak lanjut pasien40.
2.4.2 EPIDEMIOLOGI
Untuk jangka waktu yang lama, arteritis Takayasu telah dianggap
sebagai vaskulitis yang terbatas pada wanita dari Asia Timur, karena
terutama menyerang wanita muda di Jepang, India, dan Meksiko. Penyakit
ini biasanya dimulai pada dekade kedua kehidupan dengan penundaan
rata-rata sekitar 15 bulan antara onset dan diagnosis. Baru-baru ini,
bagaimanapun, telah ditunjukkan bahwa arteritis Takayasu dapat
mempengaruhi kedua jenis kelamin, semua usia dan semua kelompok
etnis, dengan fenotipe yang berbeda di negara yang berbeda; Selain itu,
30
pada setiap subkelompok pasien, menunjukkan pola keterlibatan vaskular,
manifestasi klinis, dan prognosis yang berbeda46.
31
Tidaklah mudah untuk menentukan kriteria obyektif dan subyektif dari
arteritis Takayasu karena gambaran klinis penyakit ini berbeda pada
kelompok etnis yang berbeda, pada pria dan wanita dan pada usia yang
berbeda. Oleh karena itu, penggunaan kriteria yang diusulkan untuk
mengklasifikasikan pasien sebagai penderita arteritis Takayasu atau untuk
mendaftarkannya dalam studi klinis sering kali tidak tepat bila diterapkan
di samping tempat tidur pada pasien individu untuk tujuan klinis46.
Klasifikasi klinis pertama diajukan oleh Ishikawa pada tahun 1978: ini
menyiratkan empat tingkat keparahan dan didasarkan pada riwayat alami
penyakit tanpa adanya pengobatan khusus dan pada komplikasi vaskulitis.
32
Empat komplikasi utama adalah retinopati, hipertensi sekunder,
regurgitasi aorta, dan pembentukan aneurisma, masing-masing
diklasifikasikan sebagai ringan, sedang atau berat pada saat diagnosis
Tabel 4 46.
33
Tabel 5. Kriteria American College of Rheumatology untuk diagnosis
klinis arteritis Takayasu.
34
Tabel 6. Kriteria modifikasi Sharma untuk diagnosis klinis arteritis
Takayasu
2.4.4 DIAGNOSIS
a) Marker Serologi
Hingga saat ini, tidak ada penanda serologis perjalanan penyakit yang
dapat diandalkan yang telah diidentifikasi. Di masa lalu, normalisasi
ESR digunakan sebagai kriteria remisi, tetapi baru-baru ini telah
ditunjukkan bahwa ia memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang
rendah, karena LED meningkat pada hampir setengah dari pasien
dalam remisi klinis, sementara itu normal pada 28% pasien. pasien
dengan penyakit aktif. Konsentrasi serum interleukin-6 dan diatur pada
aktivasi sel T normal yang diekspresikan dan disekresikan (RANTES)
meningkat pada pasien dengan penyakit aktif dan konsentrasi yang
sejajar dengan aktivitas penyakit. Demikian pula, tingkat matriks
metaloproteinase-3 dan metaloproteinase-9 dapat digunakan sebagai
penanda aktivitas, sedangkan konsentrasi serum metaloproteinase-2
35
yang tinggi dapat menunjukkan adanya arteritis Takayasu tanpa ada
hubungannya dengan aktivitas tersebut 46.
b) Radiologi
Angiografi adalah standar emas untuk evaluasi lesi vaskular; dalam
panangiografi tertentu memungkinkan penilaian yang tepat dari
perluasan penyakit, yang berkorelasi dengan tingkat keparahannya.
Beberapa penulis menggarisbawahi tingginya insiden keterlibatan
koroner pada arteritis Takayasu (15%) dan merekomendasikan untuk
melakukan pemeriksaan koronarografi. Penilaian pembuluh darah paru
dengan angiografi tidak secara universal direkomendasikan untuk
pasien dengan gejala hipertensi pulmonal. Namun, teknik non-invasif
(yaitu pemindaian paru) telah menunjukkan kelainan perfusi paru pada
sekitar dua pertiga pasien tanpa gejala. Angiografi memungkinkan
klasifikasi topografi yang berkorelasi dengan keterlibatan anatomi,
manifestasi klinis, dan prognosis: pada tahun 1994 Konferensi
Takayasu di Tokyo mengusulkan klasifikasi angiografi yang
memungkinkan untuk membedakan subkelompok pasien yang berbeda
dengan enam pola keterlibatan dengan embel-embel "C" atau "P
”Untuk menunjukkan keterlibatan koroner atau paru, masing-masing
(Gambar 7)46.
36
Gambar 7. Klasifikasi arteritis Takayasu berdasar pemeriksaan
angiografi.
37
mengevaluasi arteri berukuran sedang. NMR adalah metode alternatif
yang baik untuk CT, terutama angio-NMR, yang sama atau lebih
sensitif daripada angiografi dalam mendeteksi lesi pembuluh darah
besar. Namun, ini kurang sensitif dalam mendeteksi keterlibatan
cabang yang lebih kecil dan mungkin melebih-lebihkan derajat
stenosis di arteri ginjal dan subklavia46.
Baru-baru ini, beberapa penelitian tentang penggunaan diagnostik
teknik ultrasonografi telah dipublikasikan: ekografi intraoesofageal
dan intravaskular memungkinkan untuk mengatasi batas ekografi
konvensional berkat probe frekuensi tinggi. Pada arteritis Takayasu,
ekografi intravaskular memungkinkan untuk mendeteksi kelainan kecil
pada dinding aorta yang tidak ditunjukkan oleh teknik lain. Akhirnya,
pada banyak pasien dengan arteritis Takayasu, rontgen dada mungkin
merupakan pemeriksaan pertama yang menunjukkan diagnosis:
kalsifikasi linier dari lengkung aorta dan aorta desendens toraks tanpa
keterlibatan aorta asendens mungkin menunjukkan arteritis Takayasu
di fase akhir 46,47.
38
aneurisma benar atau salah, terutama mengenai aorta toraks dan
abdominalis desendens. Diseksi dan ruptur merupakan komplikasi
penting daripada stenosis khas arteritis Takayasu. Insiden komplikasi
ruptur dan perdarahan dari arteritis Takayasu aneurisma rendah. Sifilis
cenderung menyerang kelompok usia yang lebih tua, dengan kalsifikasi,
menyelamatkan aorta toraks yang turun, dan stenosis bukan merupakan
gambaran. Hipertensi akibat displasia fibromuskular juga merupakan
diagnosis banding yang penting46.
Meskipun serupa dalam banyak hal, termasuk keterlibatan aorta pada
10–15% pasien dengan arteritis sel raksasa, Michel dkk menyarankan
bahwa arteritis sel raksasa dan arteritis Takayasu dapat dibedakan
berdasarkan alasan klinis. Dalam sebuah penelitian terhadap 280 pasien,
217 dengan arteritis sel raksasa dan 63 dengan arteritis Takayasu yang
diidentifikasi melalui bank data kriteria ACR vasculitis, mereka
menemukan bahwa usia 40 tahun saat onset penyakit adalah faktor
tunggal yang paling diskriminatif. Mengecualikan usia dari analisis, latar
belakang etnis dan tanda klinis insufisiensi vaskular ekstremitas atas,
kekakuan bahu, dan nyeri kulit kepala adalah variabel yang menyebabkan
diagnosis yang benar pada 95% pasien46.
2.4.6 PENATALAKSANAAN
Pengobatan arteritis Takayasu dimulai dengan pengendalian farmakologis
arteritis akut untuk menginduksi remisi klinis, diikuti dengan pengobatan
kelainan vaskular. Perawatan medis menggunakan kortikosteroid sebagai terapi
lini pertama dengan regimen dosis yang serupa dengan yang digunakan untuk
mengobati granulomatosis Wegener; Rutin standar adalah memulai dengan
prednison 0,7-1 mg / kg / hari selama 1-3 bulan dengan pengurangan bertahap
setelah remisi diperoleh. Namun, hanya setengah dari pasien yang responsif
terhadap kortikosteroid dan inilah alasan mengapa pendekatan terapeutik lain
39
telah diusulkan. Agen imunosupresan adalah agen terapeutik yang efisien seperti
yang ditemukan pada vaskulitis sistemik; pada pasien yang resisten terhadap
kortikosteroid atau dengan penyakit berulang setelah kortikosteroid dikurangi,
pengobatan sitotoksik dengan siklofosfamid (1-2 mg / kg / hari), azatioprin (1-2
mg / kg / hari), atau metotreksat (0,3 mg / kg / minggu) dimulai. Tidak ada
penelitian yang secara jelas menunjukkan bahwa satu obat sitotoksik lebih baik
daripada yang lain; oleh karena itu, pilihan didasarkan pada tolerabilitas dan
keamanan. Saat ini, pengobatan berbasis bukti terbaik termasuk kortikosteroid
dimana 50% pasien merespon dan metotreksat dimana 50% merespon. Baru-baru
ini, mycophenolate mofetil, penghambat sintesis nukleotida guanin, dan agen
biologis alfa faktor nekrosis antitumor telah diusulkan pada pasien yang tidak
responsif terhadap agen imunosupresor lainnya46.
Aspek lain adalah pengobatan komplikasi vaskulitis, seperti hipertensi dan
trombosis. Pengobatan hipertensi mungkin sulit dan diperburuk dengan
penggunaan kortikosteroid dengan efek samping penahan cairan; Selain itu,
adanya stenosis arteri ginjal tidak memungkinkan penggunaan inhibitor enzim
pengubah angiotensin. Perawatan bedah diperlukan bila komplikasi stenosis atau
oklusi atau aneurisma yang lebih jarang berkembang serupa dengan pasien yang
terkena penyakit lain; Pembedahan harus dilakukan bila pasien dalam keadaan
remisi untuk menghindari komplikasi akibat peradangan seperti restenosis,
kegagalan anastomosis, trombosis, perdarahan dan infeksi. Perawatan
endovaskular merupakan alternatif yang menarik untuk terapi stenosis dan
oklusi, karena ini menghindari morbiditas signifikan yang terkait dengan operasi,
yang melibatkan paparan pembuluh besar di dada dan perut. Berbagai laporan
dan rangkaian kasus telah diterbitkan yang menjelaskan pengobatan
endovaskular stenosis dan oklusi di pembuluh besar, aorta, dan arteri ginjal
pasien yang terkena arteritis Takayasu46.
Angioplasti arteri ginjal efektif dalam mengurangi Hipertensi dengan cepat.
Masih ada beberapa peringatan yang harus diperhatikan saat mempertimbangkan
pengobatan endovaskular: pertama-tama, tidak mudah, tanpa adanya biopsi
arteri, untuk mendeteksi lokasi pada fase aktif penyakit di mana prosedur
40
endovaskular harus dihindari; Selain itu, mengingat usia awal penyakit yang
masih muda, prosedur dengan daya tahan yang tidak memadai mungkin
memerlukan beberapa revisi selama hidup pasien 46.
Indikasi pembedahan meliputi hipertensi dengan stenosis arteri ginjal kritis,
aktivitas pembatasan klaudikasio ekstremitas dalam kehidupan sehari-hari,
iskemia serebrovaskular atau stenosis kritis dari tiga atau lebih pembuluh darah
otak, regurgitasi aorta sedang, dan iskemia jantung dengan keterlibatan arteri
koroner yang dikonfirmasi. Secara umum, pembedahan adalah dianjurkan pada
saat penyakit diam untuk menghindari komplikasi, yang meliputi restenosis,
kegagalan anastamotik, trombosis, perdarahan, dan infeksi 46.
Pembedahan mungkin tidak diperlukan untuk penyakit arkus aorta dan
splanknikus sebagai akibat dari perkembangan kolateral yang luas. Namun,
pengalaman bedah baru-baru ini untuk stenosis arkus aorta toraks kritis dan
risiko stroke dari National Institutes of Health, USA menyimpulkan bahwa
stenosis kritis harus diperbaiki untuk mencegah stroke, dengan cangkok yang
berasal dari aorta asendens. Keterlibatan arteri ginjal paling baik diobati dengan
angioplasti transluminal perkutan. Penempatan stent setelah angioplasti untuk
lesi ostial, lesi segmen panjang, pengurangan stenosis yang tidak lengkap, dan
diseksi aman dan efektif. Perawatan bedah radikal untuk aneurisma toraks
direkomendasikan jika secara teknis memungkinkan karena lebih banyak
Prosedur paliatif gagal untuk mencegah pembentukan aneurisma berulang atau
untuk meminimalkan risiko operasi selanjutnya46.
41
2.4.7 PERJALANAN DAN PROGNOSIS
42
adanya peradangan pembuluh darah, namun juga benar adanya gejala
iskemik tidak selalu menunjukkan adanya peradangan aktif pada dinding
pembuluh darah. Kriteria untuk penyakit aktif secara sewenang-wenang
didefinisikan sebagai onset baru atau memburuk setidaknya dua dari
empat ciri berikut: gambaran sistemik, peningkatan ESR, tanda dan gejala
iskemia vaskular atau peradangan dan gambaran angiografik yang khas49.
43
BAB 3
PENUTUP
Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang ditandai adanya
proses inflamasi nekrosis dinding pembuluh darah. Pembuluh darah yang terkena
dapat arteri atau vena dengan berbagai ukuran.
Penyakit kawasaki yang juga dikenal dengan mucocutaneous lymph node syndrome
adalah vaskulitis multisistem akut terutama mengenai bayi dan anak <5 tahun.
Penyakit Kawasaki merupakan penyakit jantung didapat pada anak yang paling sering
ditemukan di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. Penyakit
Kawasaki ini pada dasarnya self limiting disease dengan angka kematian yang
rendah.5 Komplikasi serius pada penyakit Kawasaki adalah penyakit jantung didapat
pada anak anak, yang terjadi apabila dalam 10 hari pertama demam anak tidak
menerima pengobatan yang tepat, anak akan beresiko mengalami kelainan arteri
coroner sebesar 20-25%.
Poliarteritis nodosa sistemik jarang. PAN pada kulit lebih sering ditemui tetapi
kejadian sebenarnya banyak tidak diketahui. Vaskulitis kulit ini mempengaruhi
semua usia, mulai dari 3-81 tahun. Etiologi CPAN tidak diketahui. PAN merupakan
penyakit multisistem dengan keluhan demam, berkeringat, penurunan berat badan,
nyeri otot yang parah dan sakit sendi. Sebelum ketersediaan terapi yang efektif, PAN
yang tidak diobati biasanya berakibat fatal dalam beberapa minggu hingga bulan
kedepan. Sebagian besar kematian terjadi sebagai akibat dari gagal ginjal, jantung
atau komplikasi gastrointestinal.
44
DAFTAR PUSTAKA
45
12. Mancini AJ, Adir AS. Other viral diseases. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Shaver JV, penyunting. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier
Saunders; 2012.h.1346-65.
13. Cohen BA. Reactive erythema. Dalam: Cohen BA, penyunting. Pediatric
Dermatology. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2010.h.161-99.
14. Yim D, Curtis N, Cheung M, Burgner D. Update on Kawasaki disease:
epidemiology, etiology, and pathogenesis. J Pediatr Child Health. 2013;1-5.
15. Newburger JW, Takahashi M, Gerber MA, Gewitz MH, Tani LY, Burns JC,
et al. Diagnosis, treatment, and long-term management of Kawasaki disease:
A statement for health professionals from the committee on rheumatic fever,
endocarditis, and Kawasaki disease, council on cardiovascular disease in the
young, American Heart Association. Pediatrics 2004;114:1708-33.
16. Moran AM, Newburger JW, Sanders SP. Abnormal myocardial mechanics in
Kawasaki disease:rapid response to gammaglobulin. Am Heart J
2010;139:217-23.
17. Guidelines for medical treatment of acute Kawasaki disease: Report of the
Research Committee of the Japanese Society of Pediatric Cardiology and
Cardiac Surgery. Pediatr Int. 2014;56:135-58.
18. McMorrow Tuohy Am, Tani LY, Cetta F. How many echocardiograms are
necessary for follow-up evaluation of patients with Kawasaki disease?. Am J
Cardiol. 2001;88:328- 30.
19. Burns JC, Glode MP. Kawasaki syndrome. Lancet 2004; 364:533-44.
20. Chen M, Kallenberg CG. ANCA-associated vasculitides—advances in
pathogenesis and treatment. Nat Rev Rheumatol 2010; 6:653–64.
21. Morgan Joseph Aaron, Schwartz A Robert. Cutaneous polyarteritis nodosa: a
comprehensive review. International Journal of Dermatology 2010 ; 49: 750–
756.
46
22. Kawakami T, Yamazaki M, Mizoguchi M, et al. High titer of
antiphosphatidylserine–prothrombin complex antibodies in patients with
cutaneous polyarteritis nodosa. Arthritis Rheum 2007; 57: 1507–1513.
23. Artikel Jurnal Dalam Format Elektronik. Dana Jacobs Kosmin. Polyarteritis
Nodosa. Online Journal diakses pada 22 Januari 2021. Tersedia dari
http://emedicine.medscape.com.
24. Artikel Jurnal Dalam Format Elektronik. Johns Hopkins Vasculitis Center.
Polyarteritis Nodosa. Online Journal diakses pada 22 Januari 2021. Tersedia
dari http://www.hopkinsvasculitis.org/types-vasculitis/polyarteritis-nodosa.
25. Javier OBB, Carolina MP, Ledmar JV, Tenja. Polyarteritis Nodosa. Acta
Medica Columbiana ed 45 2020;45.
26. Jose HR, Marco AA, Sergio PG, Maria CC. Diagnosis and classification of
polyarteritis nodosa. Journal of Autoimmunity : Elsevier 48-49 (2014) 84-89
27. Buttgereit F, Dejaco C, Matteson E, Dasgupta B. Polymyalgia rheumatica and
giant cell arteritis: a systematic review. JAMA. 2016;315:2442–58.
28. Weyand CM, Goronzy JJ. Giant-cell arteritis and polymyalgia rheumatica. N
Engl J Med. 2014;371:50–7.
29. González-Gay MA, Pina T. Giant cell arteritis and polymyalgia rheumatica:
an update. Curr Rheumatol Rep. 2015;17(2):6
30. Yates M, Graham K, Watts RA, MacGregor AJ. The prevalence of giant cell
arteritis and polymyalgia rheumatica in a UK primary care population. BMC
Musculoskelet Disord. 2016;17:285.
31. Catanoso M, Macchioni P, Boiardi L, Muratore F, Restuccia G, Cavazza A, et
al. Incidence, prevalence, and survival of biopsy-proven giant cell arteritis
innorthern Italy during a 26-year period. Arthritis Care Res (Hoboken). 2017;
69(3):430–8.
47
32. Rhee RL, Grayson PC, Merkel PA, Tomasson G. Infections and the risk of
incident giant cell arteritis: a population-based, case-control study. Ann
Rheum Dis. 2017;76(6):1031–5
33. Al-Mousawi AZ, Gurney SP, Lorenzi AR, Pohl U, Dayan M, Mollan SP.
Reviewing the pathophysiology behind the advances in the management of
Giant Cell Arteritis. Ophthalmol Ther. 2019;8:177–93.
34. Mollan SP, Horsburgh J. Profile of tocilizumab and its potential in the
treatment of giant cell arteritis. Eye Brain. 2018;10:1–11.
35. Carmona F, Martín J, Gonzalez-Gay MA. New insights into the pathogenesis
of giant cell arteritis and hopes for the clinic. Expert Rev Clin Immunol.
2016;12:57–66.
36. Ortiz-Fernández L, Carmona FD, López-Mejías R, et al. Crossphenotype
analysis of Immunochip data identifies KDM4C as a relevant locus for the
development of systemic vasculitis. Ann Rheum Dis. 2018;77:589–95.
Lazarewicz K dan Watson P. Giant cel arteritis. BMJ. 2019;:3-9.
37. Lazarewicz K dan Watson P. Giant cel arteritis. BMJ. 2019;:3-9.
38. Gajree S, Borooah S, Dhillon N, Goudie C, Smith C, Aspinall P. Temporal
artery biopsies in South East Scotland: a five year review. J R Coll Physicians
Edinb. 2017;47:124–8.
39. Kermani T, Warrington KJ, Crowson CS, Ytterberg SR, Hunder GG, Gabriel
SE, et al. Large-vessel involvement in giant cell arteritis: a population-based
cohort study of the incidence-trends and prognosis. Ann Rheum Dis.
2013;72:1989–94.
40. Gonzalez-Gay MA, Ortego-Jurado M, Ercole L, Ortego-Centeno N. Giant cell
arteritis: is the clinical spectrum of the disease changing. BMC Greiatrics.
2019;19(200):1-7.
41. Ernst D, Baerlecken NT, Schmidt RE, Witte T. Large vessel vasculitis and
spondyloarthritis: coincidence or associated diseases? Scand J Rheumatol.
2014;43(3):246–8.
48
42. González-Gay MA, Matteson EL, Castañeda S. Polymyalgia
rheumatica.Lancet. 2017;390(10103):1700–12.
43. Prieto-Peña D, Martínez-Rodríguez I, Loricera J, Banzo I, Calderón-Goercke
M, Calvo-Río V, et al. Predictors of positive (18) F-FDG PET/CT-scan for
large vessel vasculitis in patients with persistent polymyalgia rheumatica.
Semin Arthritis Rheum. 2018.
44. Mollan SP, Begaj I, Mackie S, O’Sullivan EP, Denniston AK. Increase in
admissions related to giant cell arteritis and polymyalgia rheumatica in the
UK, 2002-13, without a decrease in associated sight loss: potential
implications for service provision. Rheumatology. 2015;54:375–7.
45. Lyons HS, Quick V, Sinclair AJ, Nagaraju S, Mollan SP. A new era for giant
cell arteritis. The Royal College of Ophthalmologists. 2018;1-14.
46. Maffei, S., Di Renzo, M., Bova, G., Auteri, A. and Pasqui, A., 2016.
Takayasu's arteritis: a review of the literature. Internal and Emergency
Medicine, 1(2), pp.105-112.
47. Dejaco C, Ramiro S, Duftner C, et al. EULAR recommendations for the use
of imaging in large vessel vasculitis in clinical practice. Ann Rheum Dis
2018;77:636–43
48. Hayden JA, Cote P, Bombardier C. Evaluation of the quality of prognosis
studies in systematic reviews. Ann Intern Med 2018;144:427–37.
49. Van der Heijde D, Aletaha D, Carmona L, et al. 2019 update of the EULAR
standardised operating procedures for EULAR-endorsed recommendations.
Ann Rheum Dis 2019;74:8–13.
49