Anda di halaman 1dari 39

PSIKOLOGI OLAHRAGA

Oleh :

Anas Amirul Ihsan

Mahasiswa Prodi Pendidikan Jasmani dan Olahraga

Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Keguruan

PROGRAM STUDI PENJAS

STKIP PGRI TRENGGALEK

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini, karyasiswa harus dapat :

1. Memahami pengertian dari Psikologi Olahraga

2. Menjelaskan sejarah singkat dari Psikologi Olahraga

3. Mengaplikasikan manfaat dari Psikologi Olahraga

1.2 Pengertian Psikologi Olahraga

Psikologi adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang

mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah. Para praktisi

dalam bidang psikologi disebut para psikolog. Para psikolog berusaha mempelajari peran

fungsi mental dalam perilaku individu maupun kelompok, selain juga mempelajari
tentang

proses fisiologis dan neurobiologis yang mendasari perilaku.

Menurut asal katanya, psikologi berasal dari Yunani Kuno: Psychē yang berarti jiwa

dan –logia/logos yang artinya ilmu, sehingga secara etimologis, psikologi dapat diartikan

sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari

jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi
membatasi

pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan

proses atau kegiatannya, sehingga psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu


pengetahuan

yang mempelajari tingkah laku dan proses mental.

Perilaku yang dipelajari adalah perilaku manusia dalam hubungan dengan

lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai yang kompleks. Perilaku manusia
ada

2
yang disadari, namun ada pula yang tidak disadari, dan perilaku yang ditampilkan
seseorang

dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri.

Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai

Psikologi Olahraga. Penerapan psikologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk

membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan
sebaikbaiknya tanpa adanya hambatan dan faktor-faktor yang ada dalam
kepribadiannya. Dengan

kata lain, tujuan umum dari Psikologi Olahraga adalah untuk membantu seseorang agar

dapat menampilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya.

Beberapa definisi yang lain antara lain : Psikologi Olahraga adalah studi tentang

tingkah laku manusia dalam situasi olahraga, fokus kajiannya adalah pada belajar dan

performa, dan memperhitungkan baik pelaku maupun penonton. Weinberg and Gould

(1995) mengartikan Psikologi Olahraga sebagai studi khusus mengenai manusia dan

perilakunya dalam aktivitas olahraga dan latihan. Jadi, Psikologi Olahraga dapat diartikan

sebagai psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang

mempengaruhi secara langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat

mempengaruhi penampilan (performance) atlet tersebut.

Weinberg and Gould (1995) mengemukakan bahwa Psikologi Olahraga :

1. Mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik

individu.

2. Memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi

perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya.

Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa Psikologi Olahraga secara spesifik

diarahkan untuk :

1. Membantu para profesional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi

3
puncak.

2. Membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih

bugar.

3. Meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan olahraga.

Seraganian (1993) serta Willis and Campbell (1992) secara lebih tegas

mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik Psikologi Olahraga

diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi


kognisi,

emosi dan performance. Jelas bahwa Psikologi Olahraga lebih diarahkan pada
kemampuan

prestasi pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet,

mengarahkan kegiatan olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam


berkompetisi,

misalnya untuk menang. Dengan kata lain, Psikologi Olahraga lebih terarah pada aspek

sosial dengan keberadaan lawan tanding.

1.3 Sejarah Singkat Psikologi Olahraga di Dunia

Salah satu studi pendahuluan dalam Psikologi Olahraga telah dilakukan oleh George

W. Fitz yang menyelidiki waktu reaksi (reaction time) yang tercantum dalam
“Psychological

Review“ tahun 1895. Fitz adalah Kepala Departemen Anatomi, Psikologi, dan Latihan
Fisik

pada Harvard’s Lawrence Scientific School sejak 1891 sampai 1899, dan sebagai

penanggungjawab berdirinya Laboratorium Pendidikan Jasmani yang pertama di


Amerika

Utara. Fitz telah menciptakan alat-alat untuk mengukur kecepatan dan ketepatan
seseorang

menyentuh objek yang dihadapi tiba-tiba dan dalam posisi yang tak terduga.

William G. Anderson, tokoh pendidikan jasmani terkemuka dan tokoh berdirinya

4
American Association for Health, Physical Education, Recreation and Dance (AAHPERD).

Selama tahun akademik 1897-1898 menyelesaikan eksperimen mengenai Mental


Practice,

Transfer of Training dan Transfer of Muscular Strength.

Psikologi Olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898.

Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika

mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap
sendiri.

Triplett menyimpulkan adanya pengaruh psikologis tertentu yang ia sebut sebagai faktor

keberadaan orang lain atau presence of others. Triplett juga melakukan penelitian
terhadap

anak-anak yang memancing. Ditemukan bahwa setengah dari anak-anak tersebut

dipengaruhi oleh keberadaan anak lain. Jadi ada pengaruh lingkungan sosial sebagai
faktor

munculnya sikap kompetitif. Sehubungan dengan dilakukannya penelitian tersebut ,


maka

Triplett dianggap sebagai orang pertama yang melakukan studi dalam Psikologi
Olahraga.

Tahun 1918, Coleman Robert Griffith melakukan studi terhadap atlet football dan

basket di University of Illinois tentang faktor-faktor psikologis pada atlet-atlet tersebut

antara latihan dan pertandingan. Ada tiga bidang perhatiannya dalam melakukan
penelitian

yaitu psychomotor learning, skilled performance, dan kepribadian. Ia menulis dua buku
yang

sangat terkenal yaitu The Psychology of Coaching tahun 1926 dan The Psychology of

Athletics tahun 1928. Griffith juga menulis 25 artikel ilmiah dari hasil penelitiannya
dalam

olahraga, sehingga disebut Father of Sport Psychology di Amerika Serikat.

Griffith lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk meneliti keterampilan

5
psikomotor, proses belajar, dan variabel-variabel kepribadian. Sehubungan dengan itu

Griffith mengembangkan sejumlah alat-alat tertentu meliputi :

1. Alat mengukur waktu reaksi otot yang diberi reaksi beban

2. Tes kecerdikan dalam baseball

3. Tes ketegangan otot dan relaksasi

4. Tes untuk membedakan empat tipe serial reactions times

5. Tes mengukur ketenangan, koordinasi otot-otot dan kemampuan belajar

6. Tes waktu reaksi tehadap sinar, suara, dan tekanan

7. Tes untuk mengukur kepekaan otot

8. Tes kesiapan mental yang dikembangkan khusus bagi atlet

Menjelang Perang Dunia I, Psikologi Olahraga di dunia sudah cukup eksis. Sementara

itu, di berbagai belahan dunia lain, Psikologi Olahraga mulai berkembang dan mendapat

tempatnya sendiri. Di Jepang, riset mengenai Psikologi Olahraga dan aktivitas fisik atau

Psychology of Physical Activity and Sport dilakukan tahun 1920 oleh Mitsuo Matsui.

Laboratorium Psikologi olahraga pertama di dunia didirikan oleh Carl Diem di

“Deutsche Hochscule Fur Leibesubungen“ di Berlin pada tahun 1920. Di Rusia A. Z. Puni

mendirikan Laboratorium Psikologi Olahraga di “Institute of Physical Culture“ di


Leningrad

pada awal tahun 1925.

Pasca Perang Dunia II, baik di Eropa maupun di AS dan Asia, perhatian terhadap

motor learning dan Psikologi Olahraga bermunculan kembali.

Di RRC, banyak bermunculan institusi yang memfokuskan pada pendidikan fisik/

jasmani atau physical education. Tahun 1942, Wu Wenzhong dan Xiao Zhonguo menulis

buku mengenai Psikologi Olahraga yang berjudul The Psychology of Physical Education.

Keduanya merupakan tokoh dari National Institute of Wu Shu.

6
Warren R. Johnson pada tahun 1949 mengawali penelitian mengenai bermacammacam
elemen stres dan dampaknya terhadap penampilan atlet. Tujuan dari salah satu

penelitian tersebut adalah membandingkan reaksi emosional sebelum bertanding pada

pemain sepak bola dan pegulat. Johnson berkesimpulan bahwa emosi kuat sebagai
gejala

wajar dari rasa takut dan resah sebelum bertanding tidak tampak sebagai faktor utama
yang

istimewa dalam sepak bola, tetapi pada indikasi yang kuat bahwa ini merupakan sesuatu

yang penting dan serius dalam gulat.

Setelah periode tersebut Psikologi Olahraga mengalami kemandekan. Baru pada

tahun 1960-an Psikologi OLahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini


ditandai

dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran


pada

Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport

Psychology (ISSP) oleh para ilmuwan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama

diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia.

Pada tahun 1966, sekelompok Psikolog Olahraga berkumpul di Chicago untuk

membicarakan pembentukan Ikatan Psikologi OLahraga. Yang kemudian dikenal dengan

nama North American Society for the Psychology of Sport and Physical Activity
(NASPSPA).

Jurnal pertama Psikologi Olahraga terbit tahun 1970 dengan nama The International
Journal

of Sport Psychology. Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979.

Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar

laboratorium memicu pembentukan Association for the Advancement of Applied Sport

Psychology (AAASP) pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi

terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga.

7
Perkembangan Psikologi Olahraga di RRC dilaporkan oleh: Ma Qiwei, dkk. pada

pertemuan Beijing Asian Games Scientific Congress, tanggal 16-20 September 1990,
sebagai

berikut:

1. Pada dekade 1956-1966, tulisan dan karangan mengenai Psikologi Olahraga dari luar

negeri mulai dikumpulkan dan diterjemahkan. Psikologi Olahraga berangsur-angsur

dijadikan mata kuliah resmi di Institut Pendidikan Jasmani.

2. Dekade 1979-1989 adalah periode saat Psikologi Olahraga berkembang pesat.

3. November 1979, dalam pertemuan tahunan Third Annual Academic Meeting of

China Society of Psychology di Tianjin, diresmikan berdirinya Physical Education and

Sport Psychology Commission.

4. Desember 1980 diresmikan berdirinya National Society of Sport Psychology yang

berafiliasi dengan Congress of China Society of Sport Science (CSSS).

Psikologi Olahraga kini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres

ISSP di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70
negara.

American Psychological Association telah memasukkan Psikologi Olahraga dalam divisi

mandiri yaitu Divisi 47 tentang Exercise and Sport Psychology.

1.4 Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia

Psikologi Olahraga di Indonesia merupakan cabang psikologi yang amat baru,

sekalipun pada praktiknya kegiatan para psikolog di dalam berbagai cabang olahraga di

Indonesia telah berlangsung beberapa tahun lamanya. Secara resmi Ikatan Psikologi

Olahraga (IPO) di Indonesia yang berada di bawah naungan Himpunan Psikologi


Indonesia

(HIMPSI) baru dibentuk tanggal 3 Maret 1999 dan baru ditandatangani secara resmi
pada

tanggal 24 Juli 1999 dan diketuai oleh Monty P. Satiadarma.

8
Tetapi, psikolog Singgih D. Gunarsa (d/h Go Ge Siong) bersama dengan psikolog

Sudirgo Wibowo (d/h Ng Tjong Ping) telah mempelopori kegiatan Psikologi Olahraga

bulutangkis nasional yang memanfaatkan jasa psikolog dan ilmu psikologi dalam
mencapai

puncak prestasi mereka, baik nasional maupun internasional. Peran psikolog Singgih D.

Gunarsa yang demikian besar di dalam mempelopori tumbuhnya Psikologi Olahraga di


tanah

air terus berlanjut selama kurang lebih dua dekade secara sendirian. Sekalipun ada

beberapa psikolog lain yang sesekali turut memberikan sumbangan ilmu kepada dunia

olahraga di tanah air, hanya Singgih D. Gunarsa lah yang secara resmi dan

berkesinambungan tercatat aktif berperan memberikan jasa psikologinya bagi


keolahragaan

di Indonesia.

Kesadaran mengenai betapa pentingnya faktor psikologis, faktor mental, sayangnya

tidak disertai dengan tersedianya tenaga khusus yang telah mempelajari bidang baru

tersebut secara formal. Pribadi-pribadi yang menyadari hal tersebut belajar sendiri dari

buku, kepustakaan, mengikuti seminar dan pertemuan-pertemuan internasional,


disamping

belajar dari pakar-pakar dalam bidang ini.

Kian tahun Psikologi Olahraga kian mengalami peningkatan kajian dan mengalami

perkembangan yang berarti. Seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum
tentu

memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak

dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih

terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial

dalam bidang Psikologi Olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis

memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan sehingga sebagai seorang


praktisi

9
ia tetap berada di atas landasan profesinya dengan mengikuti panduan etika yang
berlaku,

dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang

pendidikan formalnya.

Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi Psikologi Olahraga nasional

tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di


samping

itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi
bagi

para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang Psikologi

Olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi Psikologi Olahraga yang

meliputi:

1) Prinsip Psikologi Olahraga,

2) Peningkatan performance dalam olahraga,

3) Psikologi olahraga terapan,

4) Psikologi senam.

Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga

adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog

dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan

pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal

psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat
tersebut

adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet,
di

lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet

secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai

kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan

10
keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan
bahan

pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga


upaya

untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya,

seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini,

demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan
bagi

atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah
yang

serupa.

1.5 Manfaat Psikologi Olahraga

Peranan Psikologi Olahraga pada hakekatnya tidak berbeda dengan peranan ilmu

penegtahuan pada umumnya, yaitu menurut Kerlinger (1975; dalam KONI Pusat, 1995)

bahwa ilmu pengetahuan berperan dan berfungsi untuk : (1) dapat menjelaskan dan

memahami gejala (explanation and understanding), (2) dapat membuat perkiraan

(prediction) dengan secara tepat, dan (3) untuk dapat mengawasi (control) dan

mengendalikan gejala.

Sesuai dengan pendapat Kerlinger tersebut maka manfaat mempelajari Psikologi

Olahraga adalah sebagai berikut (KONI Pusat, 1995) :

a) Untuk dapat menjelaskan dan memahami tingkah laku atlet dan gejala-gejala

psikologi yang terjadi dalam olahraga pada umumnya. Ini sangat perlu dilakukan

karena tingkah laku manusia yang tampak (dapat dilihat) pada hakekatnya tidak

terlepas dari sikap (attitude) yang tidak tampak. Sikap individu dipengaruhi oleh

banyak faktor psikologis, seperti : sifat-sifat pribadi, motif-motif, pemikiran,

perasaan, pengalaman, pengetahuan, hambatan yang dialami hidup, dan


pengaruhpengaruh lingkungan lainnya.

11
2) Untuk dapat meramalkan atau dapat membuat prediksi dengan tepat
kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi pada atlet, berkaitan dengan
permasalahan

psikologis. Dengan membuat prediksi secara tepat, dapat ditentukan programprogram


dan target-target sesuai keadaan dan kemampuan atlet yang bersangkutan

serta dapat dihindarkan hal-hal yang kurang menguntungkan perkembangan atlet.

Misalnya dengan memahami sifat-sifat dan kemampuan atlet dapat diramalkan

kemungkinan bakat yang ada pada diri atlet tersebut, sehingga dapat diarahkan

untuk menekuni cabang olahraga yang sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuannya.

3) Untuk dapat mengontrol dan mengendalikan gejala tingkah laku dalam olahraga.

Dengan perlakuan-perlakuan untuk menanggulangi hal-hal yang kurang

menguntungkan, juga dapat memberi perlakuan-perlakuan untuk mengembangkan

kemampuan dan segi-segi positif yang dimiliki atlet. Misalnya atlet yang dihinggapi

rasa jemu berlatih (boredom) harus diberi perlakuan khusus dengan variasi latihan

yang menarik, bila atlet tersebut memiliki motif berprestasi tinggi maka perlu sering

diberi kesempatan untuk berlomba, dsbnya.

Latihan

1. Menurut Anda perlukah Anda mempelajari Psikologi Olahraga? Jelaskan jawaban

Anda!

2. Menurut Anda bolehkah Anda mempelajari Psikologi Olahraga? Jelaskan jawaban

Anda!

3. Bagaimanakah perkembangan Psikologi Olahraga di daerah Anda? Jelaskan jawaban

Anda!

12
BAB 2

KEPRIBADIAN DALAM OLAHRAGA

2.1 Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini, karyasiswa harus dapat :

1. Memahami dan mampu mengaplikasikan pengertian dari kepribadian.

2. Menggambarkan dan mampu mengaplikasikan pendekatan sifat kepribadian, dengan

referensi khusus pada teori Freud, Eysenck, dan Cattel.

2.2 Pengantar

Sejak lebih kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal balik antara

jiwa dan raga, atau antara gejala fisik dan psikis, telah menjadi bahan pembahasan para
ahli

psikologi. Ronge (1951) menyebutkan manusia sebagai suatu organisme, yang mengikuti

hukum-hukum biologi, hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dsb. Perasaan atau
emosi

memegang peranan penting dalam hidup manusia.

Semua gejala emosional seperti : rasa takut, marah, cemas, stres, penuh harap, rasa

senang dsb, dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang.


Perasaan

atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologis seperti : ketegangan otot,


denyut

jantung, peredaran darah, pernafasan, berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu.

Sehubungan itu semua maka jelaslah bahwa gejala psikis akan mempengaruhi

penampilan dan prestasi atlet. Dalam hubungan ini pengaruh gangguan emosional perlu

diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological stability"

atau keseimbangan psikis secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap
pencapaian

13
prestasi atlet.

Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang

tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu : misalnya untuk


mencapai

prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus

dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat

berkonsentrasi penuh meski ada gangguan angin atau suara, dllnya.

Untuk menjadi peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet

yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya konsentrasi,
kemauan

keras, koordinasi gerak yang baik, dan rasa keindahan ini semua akan dapat terganggu

apabila atlet yang bersangkutan mengalami gangguan mental.

Emosi atau perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena

emosi atlet disamping mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan
kehendak),

juga mempengaruhi aspek-aspek fisiologisnya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap

peningkatan atau merosotnya prestasi atlet.

Menurut Alderman (1974), penampilan atlet dapat ditinjau dari empat dimensi :

1. Dimensi kesegaran jasmani, berkaitan dengan sistem pernapasan dan jantung atlet,

daya tahan, kekuatan otot, dan fleksibilitas.

2. Dimensi ketrampilan yaitu koordinasi gerak, keindahan gerak, kelentukan, dan waktu

reaksi.

3. Dimensi pembawaan fisik, bisa dilihat dari segi-segi antropometri (tinggi dan berat

badan), dan kemampuan gerak.

4. Dimensi psikologis dan tingkah laku.

Beberapa referensi juga menyebutkan bahwa penampilan atlet dipengaruhi oleh :

14
1. Fisik. Berkaitan dengan stamina, kekuatan, fleksibilitas dan koordinasi. Perlu proses

untuk membentuk suatu kondisi fisik menjadi seperti apa yang ditargetkan dan

dapat dicapai melalui suatu prosedur latihan yang baik, teratur, sistematis, dan

terencana. Ada kondisi fisik yang berkaitan dengan bakat yang merupakan faktor

bawaan sejak lahir atau faktor keturunan. Artinya ada faktor-faktor yang bisa

dikembangkan tetapi dalam mengembangkan faktor-faktor tertentu, tentu tidak

dapat melewati kerangka batas dan faktor keturunan sejak lahir. Misalnya, stamina

yang berkaitan dengan kapasitas vital paru-paru yang dimiliki menjadi sesuatu yang

khas bagi diri seorang atlet, yang membedakannya dengan atlet lain. Begitu pula

dengan kekuatan.

2. Teknik. Dipengaruhi oleh berbagai ketrampilan dasar, baik bakat yang diperoleh

ketika dilahirkan maupun hasil belajar.

3. Psikis. Berkaitan dengan dorongan, akal, dan kecerdasan.

2.3 Pengertian Kepribadian

Salah satu pertanyaan paling dasar yang dihadapi oleh psikologi adalah “Mengapa

kita semua berbeda?" Tentu saja, dalam beberapa hal, kita semua sama, seperti dalam

struktur otak dan mekanisme persepsi dan daya ingat. Namun, ada perbedaan besar di

antara kita yaitu cara-cara kita berpikir, merasa dan berperilaku dalam menanggapi
situasi

tertentu. Psikologi kepribadian berkaitan dengan perbedaan-perbedaan individual.


Pervin

(1993) telah menawarkan definisi sederhana dari kepribadian: "Kepribadian merupakan

karakteristik dari orang untuk pola perilaku yang konsisten”. Secara umum, ada empat

faktor yang mempengaruhi bagaimana kita merespons suatu situasi tertentu yaitu :
genetik

yang menyusun kita, pengalaman masa lalu kita, sifat situasi di mana kita menemukan
diri

15
kita dan kehendak bebas kita. Masing-masing faktor ditekankan oleh satu atau lebih
teori

kepribadian.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh besar terhadap penampilan/kemampuan

bermain atlet (selain faktor fisik, teknik dan taktik) yaitu :

1. Komponen psikis (motivasi dan kepercayaan diri).

2. Jenis olahraga.

3. Tingkatan pertandingan.

4. Ciri kepribadian.

Personality atau kepribadian berasal dari kata Persona, kata persona merujuk pada

topeng yang biasa digunakan para pemain sandiwara di Jaman Romawi. Secara umum

kepribadian menunjuk pada bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi

individu-individu lainnya.

14

Gambar 2.1 Kepribadian digambarkan sebagai persona/topeng

(Sumber : dedihumas.bnn.go.id, 2015)

George Kelly memandang bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu

dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara Gordon Allport

merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang

membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang
bersangkutan.

Menurut Allport, kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem

psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran individu secara khas.
Allport

menggunakan istilah sistem psikofisik dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan
raga

16
manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
serta

diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Sedangkan

istilah khas dalam batasan kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu

memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama, karena
itu

tidak ada dua orang yang berperilaku sama.

Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga

sistem yaitu Id, Ego dan Superego. Dan tingkah laku, menurut Freud, tidak lain
merupakan

hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai

suatu struktur atau organisasi hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu yang

diorganisasi dan diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain kepribadian

dipandang sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah tingkah laku kita.

Sebagian besar batasan juga menekankan perlunya memahami arti perbedaan-


perbedaan

individual. Dengan istilah “kepribadian”, keunikan dari setiap individu ternyatakan. Dan

melalui studi tentang kepribadian, sifat-sifat atau kumpulan sifat individu yang

membedakannya dengan individu lain diharapkan dapat menjadi jelas atau dapat
dipahami.

Teori kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik dan atau khas
pada

diri setiap orang. Sebagian besar batasan menekankan pentingnya melihat kepribadian
dari

sudut “sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teori

kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan subjek atau individu atas


pengaruhpengaruh internal dan eksternal yang mencakup faktor-faktor genetik atau
biologis,

17
pengalaman-pengalaman sosial, dan perubahan lingkungan. Atau dengan kata lain,
corak

dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan dan

lingkungan.

2.4 Kepribadian Menurut Sigmund Freud

Gambar 2.2 Sigmund Freud, tokoh dari psikoanalisis

(Sumber : belajarpsikologi.com, 2015)

Sigmund Freud lahir di Freiberg, 6 Mei 1856, meninggal di London, 23 September

1939 pada umur 83 tahun. Ia adalah seorang Austria keturunan Yahudi dan pendiri
aliran

psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga

tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar

(unconscious). Konsep dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam

bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu, dia juga
memberikan

pernyataan bahwa perilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada

awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya.

Alam bawah sadar yang digambarkan Freud memiliki tiga unsur, yaitu Id, Ego dan

Superego.

1. Id

Id merupakan kepribadian yang asli, Id merupakan sumber dari kedua sistem/energi

yang lain yaitu Ego dan Superego. Id terdiri dari dorongan-dorongan biologis dasar
seperti

kebutuhan makan, minum dan seks. Di dalam Id terdapat dua jenis energi yang

bertentangan dan sangat mempengaruhi kehidupan dan kepribadian individu, yaitu


insting

kehidupan dan insting kematian. Insting kehidupan ini disebut libido. Dorongan-
dorongan

18
dalam Id selalu ingin dipuaskan dan dalam pemuasannya Id selalu berupaya
menghindari

pengalaman–pengalaman yang tidak menyenangkan. Oleh karenanya cara pemuasan


dari

dorongan ini disebut prinsip kesenangan (pleasure principle).

2. Ego

Ego merupakan energi yang mendorong untuk mengikuti prinsip kenyataan (reality

principle), dan beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip sekunder ini adalah

mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukannya suatu objek yang cocok untuk

pemuasan kebutuhan. Ego menjalankan fungsi pengendalian yang berupaya untuk

pemuasan dorongan Id itu bersifat realistis dan sesuai dengan kenyataan. Dengan kata
lain

fungsi Ego adalah menyaring dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh Id


berdasarkan

kenyataan.

3. Superego

Superego adalah suatu gambaran kesadaran akan nilai-nilai dan moral masyarakat

yang ditanamkan oleh adat istiadat, agama, orang tua, guru dan orang- orang lain pada

anak. Karena itu pada dasarnya Superego adalah hati nurani (concenience) seseorang
yang

menilai benar atau salahnya suatu tindakan seseorang. Itu berarti Superego mewakili
nilainilai ideal dan selau berorientasi pada kesempurnaan. Cita-cita individu juga
diarahkan pada

nilai-nilai ideal tersebut, sehingga setiap individu memiliki gambaran tentang dirinya
yang

paling ideal (Ego-ideal). Bersama-sama dengan Ego, Superego mengatur dan


mengarahkan

tingkah laku individu yang mengarahkan dorongan-dorongan dari Id berdasarkan


aturanaturan dalam masyarakat, agama atau keyakinan-keyakinan tertentu mengenai
perilaku

19
yang baik dan buruk.

Gambar 2.3 Id, Ego, dan Superego

(Sumber : everdnandya.wordpress.com, 2015)

2.5 Kepribadian Menurut Hans J. Eysenck

Hans J. Eysenck lahir di Jerman pada tanggal 4 Maret 1916. Dia menerima gelar

doktor di bidang psikologi dari University of London tahun 1940. Selama Perang Dunia II,
dia

bekerja sebagai psikolog di bagian gawat darurat perang. Teori kepribadian Eysenck

memiliki komponen biologis dan psikometris yang kuat.

Menurut Eysenck kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun

potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola

tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari empat
sektor

utama yang mengorganisir tingkah laku; sektor kognitif (intelligence), sektor konatif

(character), sektor afektif (temperament), sektor somatik (constitution).

Kepribadian menurut Eysenck memiliki empat tingkatan hirarkis, mulai dari hirarki

yang tinggi ke hirarki yang rendah : tipe – traits – habit – respon spesifik.

1. Hirarki tertinggi : Tipe, kumpulan dari trait.

2. Hirarki kedua : Trait, kumpulan kegiatan, kumpulan respon yang saling berkaitan

atau mempunyai persamaan tertentu.

3. Hirarki ketiga : Habitual Response, kebiasaan tingkah laku atau berpikir,

kumpulan respon spesifik, respons yang berulang-ulang terjadi kalau individu

menghadapi kondisi atau situasi yang sejenis.

4. Hirarki terendah : Spesific Response, tingkah laku yang dapat diamati, yang

berfungsi sebagai respon terhadap suatu kejadian.

Gambar 2.4 Empat tingkatan hirarki Eysenck

20
(Sumber : allpsych.com, 2015)

Gambar 2.5 Extraversion Trait

(Sumber : allpsych.com, 2015)

Ada tiga dimensi kepribadian menurut Eysenck, yaitu Extraversion (E), Neuroticism

(N), dan Psychoticism (P). Menurutnya Neurotisisme dan Psikotisisme itu bukan sifat

patologis. Tiga dimensi itu adalah bagian normal dari struktur kepribadian. Semuanya

bersifat bipolar; Extraversion-Intraversion, Neuroticism-Emotional Stability, dan

Psychoticism-Impulse Control. Orang yang memiliki skor tinggi pada tiga dimensi
tersebut

memiliki kecenderungan melakukan kriminalitas. Semua orang berada dalam rentangan

bipolar yang mengikuti kurva normal, artinya sebagian besar orang berada di tengah-
tengah

polarisasi. Masing-masing dimensi saling bertentangan dan merupakan tipe dari


kumpulan

sembilan trait, jadi semuanya ada 27 trait.

Eysenck membagi empat tipe kepribadian dasar, yaitu :

1) Tinggi N dan Rendah E : tipe Melankolis

2) Tinggi N dan Tinggi E : tipe Koleris

3) Rendah N dan Tinggi E : tipe Sanguinis

4) Rendah N dan Rendah E : tipe Plegmatis

Gambar 2.6 Empat tipe kepribadian Eysenck

EXTRAVERSION (E)

Extraversion Trait Intraversion Trait

Sociable, lively, active, assertive, sensation

seeking, carefree, dominance, surgent,

ventureso

21
Tidak sosial, pasif, ragu, pendiam, banyak

pikiran, sedih, penurut, pesimis, penakut,

tertutup, damai, tenang, dan terkontrol

Penyebab utama perbedaan antara extraversion dan intraversion adalah tingkat

keterangsangan korteks (CAL = Cortical Arousal Level), kondisi fisiologis yang sebagian
besar

bersifat keturunan. CAL rendah artinya korteks tidak peka, reaksinya lemah. Sebaliknya
CAL

tinggi, korteks mudah terangsang untuk bereaksi.

NEUROTICISM (N)

Trait dari neurotisisme adalah: anxious, depressed, guild feeling, low self esteem,

tension, irrational, shy, moody, emotional. Dasar biologis dari Neuroticism adalah
kepekaan

reaksi sistem saraf otonom (ANS = Autonomic Nervous System). Orang yang kepekaan
ANSnya tinggi, pada kondisi lingkungan wajar sekalipun sudah merespon secara
emosional

sehingga mudah mengalami gangguan neurotik. Neurotisisme dan ekstraversi bisa


digabung

dalam hubungan CAL dan ANS, dan dalam bentuk garis absis ordinat. Kedudukan setiap

orang pada bidang dua dimensi itu tergantung kepada tingkat ekstraversi dan

neurotisismenya.

PSYCHOTICISM (P)

Skor Psychoticism Tinggi Skor Psychoticism Rendah

Egosentris, dingin, tidak mudah

menyesuaikan diri, impulsif, kejam, agresif,

curiga, psikopatik dan anti sosial

Baik hati, hangat, penuh perhaitan, akrab,

tenang, sangat sosial, empatik, kooperatif,

22
dan sabar

Seperti extraversion dan neuroticism, psychoticism mempunyai unsur genetik yang

besar. Secara keseluruhan tiga dimensi kepribadian itu 75% bersifat herediter, dan
hanya

25% yang menjadi fungsi lingkungan. Dan pria memiliki skor yang lebih besar dibanding

wanita dalam dimensi psikotisisme karena hormon progesteron pria lebih besar
daripada

wanita.

Eysenck (1952; dalam Jarvis, 2006) awalnya mengusulkan bahwa kepribadian bisa

benar-benar dijelaskan dengan hanya dua sifat, extraversion dan neuroticism. Ekstravert

menggambarkan bagaimana seseorang itu hidup, bersosialisasi dan impulsif, sementara

neurotisisme menjelaskan bagaimana kestabilan emosi seseorang. Satu pertanyaan yang

timbul adalah Mengapa bisa tiga karakteristik yang berbeda seperti keaktifan, sosialisasi
dan

impulsif dikelompokkan bersama sebagai satu sifat. Jawabannya adalah bahwa, melalui

proses matematis yang disebut analisis faktor, Eysenck menemukan bahwa dalam
banyak

kasus, orang yang sama cenderung menjadi hidup, impulsif dan bersosialisasi. Ketika

perilaku karakteristik cenderung mengelompok bersama-sama dengan cara ini, kita


dapat

mengatakan bahwa mereka membentuk satu sifat. Ekstravert dan neurotisisme dapat

diukur dengan tes kepribadian yang disebut Eysenck Personality Inventory (EPI).
Beberapa

item dari EPI ditampilkan dalam Kotak 2.1.

Kotak 2.1 Contoh Item dari Eysenck Personality Inventory (EPI)

YA TIDAK

1. Apakah Anda sering lama untuk kegembiraan? [ ] [ ]

2. Apakah Anda sering perlu memahami teman-teman untuk menghibur Anda? [ ] [ ]

23
3. Apakah Anda biasanya riang? [ ] [ ]

4. Apakah Anda merasa sangat sulit untuk mengambil jawaban tidak? [ ] [ ]

5. Apakah Anda berhenti dan berpikir hal-hal di atas sebelum melakukan apapun? [ ] [ ]

(Sumber: Jarvis, 2006)

Pertanyaan 1, 3 dan 5 merupakan bagian dari skala ekstravert (E), sementara

pertanyaan 2 dan 4 merupakan bagian dari skala neurotisisme (N). Skala E dan N
masingmasing ditandai dengan skor 24. Skor tinggi pada skala E akan menunjukkan
bahwa Anda

sangat ekstravert sementara skor rendah akan menunjukkan bahwa Anda sangat
intravert,

yaitu, tenang, soliter, dan sama sekali tidak impulsif. Skor tinggi pada skala N akan

menunjukkan bahwa Anda sangat neurotik, yaitu, emosi tidak stabil, sedangkan nilai
yang

sangat rendah akan menunjukkan bahwa Anda adalah seorang yang sangat stabil, orang

yang tidak mudah terusik. Ini ditunjukkan dalam Kotak 2.2.

Kotak 2.2 Arti dari skor EPI

Skor EPI

Intravert 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 skala E 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Ekstravert

Stabil 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 skala N 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Neurotik

(Sumber: Jarvis, 2006)

Kebanyakan orang punya skor antara 5 dan 20 pada setiap skala. Dalam versi yang

lebih baru dari teorinya, Eysenck (1975) menambahkan ciri kepribadian ketiga, yaitu

psychoticism, ukuran seberapa lembut atau keras hati seorang individu. Faktor ini
kemudian

dimasukkan ke dalam skala ketiga dalam tes kepribadian Eysenck, Eysenck Personality

Questionnaire (EPQ). Dengan melihat salah satu dari empat tipe kepribadian seseorang,

ekstravert dan neurotisisme, atau temperamen kita dapat mengklasifikasikan mereka

24
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Empat tipe kepribadian Eysenck

(Sumber: Jarvis, 2006)

2.6 Kepribadian Menurut Raymond B. Cattell

Cattell tidak setuju dengan pandangan Eysenck bahwa kepribadian bisa dipahami

dengan melihat hanya tiga dimensi kepribadian. Sebaliknya ia berpendapat bahwa perlu

untuk melihat jumlah sifat yang jauh lebih besar untuk mendapatkan gambaran lengkap
dari

kepribadian seseorang. Seperti Eysenck, Cattell menggunakan teknik matematika analisis

faktor untuk melihat jenis perilaku apa yang cenderung dikelompokkan bersama-sama
pada

orang-orang yang sama. Dia mengidentifikasi 16 faktor kepribadian. 16 ciri-ciri


kepribadian

Cattell ini ditunjukkan dalam Kotak 2.3.

Kotak 2.3 Cattell’s 16 personality factors

reserved -- outgoing unintelligent -- intelligent

stable -- unstable humble -- assertive

sober -- happy-go-lucky expedient -- conscientious

shy -- adventurous tough-minded -- tender-minded

trusting -- suspicious practical -- imaginative

forthright -- shrewd placid -- apprehensive

conservative -- experimenting group-dependent -- self-sufficient

undisciplined -- controlled relaxed -- tense

(Sumber: Jarvis, 2006)

Cattell menghasilkan tes kepribadian mirip dengan EPI yang masing-masing diukur dari
16

25
sifat. Tes itu disebut 16PF, memiliki total 160 pertanyaan, 10 pertanyaan yang
berhubungan

dengan masing-masing faktor kepribadian. Contoh empat item dari skala kekuatan-ego

(expedient--conscientious) yang ditunjukkan dalam Kotak 2.4.

Eysenck menyatakan bahwa 16 faktor Cattell itu akan cocok dengan tiga miliknya.

Misalnya, faktor relaxed--tense, faktor placid--apprehensive, dan faktor stable--unstable

semua diwakili oleh sifat Eysenck neurotisisme. Argumen antara Eysenck dan Cattell
benarbenar hanya matematika. Untuk psikolog olahraga, yang penting terutama bukan
siapa yang

benar, tetapi tes mana yang lebih berguna dalam memahami performance olahraga.

Kotak 2.4 Contoh Item Skala kekuatan-ego dari 16PF

1. Jika Anda diberikan hidup untuk hidup lagi, apakah Anda

(a) Pada dasarnya ingin menjadi sama ATAU (b) Merencanakannya sangat berbeda

2. Apakah Anda pernah memiliki mimpi yang mengganggu?

(a) Ya ATAU (b) Tidak ada

3. Apakah suasana hati Anda kadang-kadang tampak tidak masuk akal bagi Anda?

(a) Ya ATAU (b) Tidak ada

4. Apakah Anda merasa lelah ketika Anda telah melakukan apa-apa untuk membenarkan

itu?

(a) Jarang ATAU (b) Sering

(Sumber: Jarvis, 2006)

2.7 Faktor-Faktor Pembentuk Kepribadian dan Pengukuran Kepribadian

Kepribadian merupakan hasil interaksi antara faktor keturunan dengan faktor

lingkungan. Dimana perkembangan kepribadian individu ditentukan oleh dua hal, yaitu :

1. Faktor intern, terdiri atas bawaan dan potensi psikologis. Potensi psikologis individu

yaitu potensi tentang diri individu yang dapat memilih/menolak sesuatu

26
aturan/stimulus lingkungan yang hendak mengembangkan dirinya.

2. Faktor ekstern, yaitu faktor-faktor di luar individu.

Pengukuran kepribadian dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode,

diantaranya adalah :

1. Observasi

2. Wawancara

3. Tes psikologi : rating scale, unstructured projective test, dan questionnaires

2.8 Kepribadian dan Penampilan Atlet

Ada hubungan positif antara kepribadian dan beberapa aspek penampilan atlet.

Menurut Ogilvie, ada delapan sifat khusus yang sangat erat berhubungan dengan

penampilan atlet antara lain: emosi stabil, ulet, cermat, tertib diri, yakin diri, ketegangan

kecil, percaya diri, dan terbuka. Sementara dari hasil penelitian pada 10 orang atlet

Indonesia yang memiliki prestasi tingkat dunia disebutkan bahwa terdapat tujuh ciri

kepribadian yang menunjang prestasi atlet yaitu : komitmen, ambisi prestatif, gigih,
kerja

keras, mandiri, cerdas, swakendali (Maksum, 2015). Ketujuh ciri kepribadian tersebut
telah

diuji secara empirik dan terbukti merupakan prediktor keberhasilan atlet meraih prestasi

tinggi. Lingkungan keluarga dan lingkungan olahraga memiliki pengaruh besar pada

terbentuknya ciri kepribadian dan munculnya prestasi atlet. Di lingkungan keluarga,


individu

yang memiliki pengaruh besar adalah orang tua, terutama ayah. Di lingkungan olahraga,

individu yang berpengaruh besar adalah pelatih dan sesama atlet.

Pengaruh pelatih terhadap kepribadian atlet :

a) Selama proses latihan dan pertandingan hubungan pelatih dan atlet membawa

pengalaman bersama yang memberi efek terhadap kepribadian atlet.

27
b) Semakin dekat hubungan pelatih dan atlet semakin besar atlet meniru kepribadian

pelatih.

c) Pelatih yang mengerti atlet dapat membantu atlet yang mengalami konflik. Konflik

atlet biasanya terjadi karena : ada perbedaan antara keinginan dengan tujuan,

perbedaan perasaan terhadap kompetisi, perbedaan antara kepentingan pribadi dan

regu.

Latihan

1. Menurut Anda apakah faktor kepribadian mempengaruhi performance atlet?

Jelaskan jawaban Anda!

2. Menurut Anda, petinju Mike Tyson tergolong tipe kepribadian manakah bila dilihat

dari kepribadian Eysenck? Jelaskan jawaban Anda!

3. Menurut Anda apakah faktor lingkungan dapat mempengaruhi kepribadian atlet?

Jelaskan jawaban Anda!

28
BAB 3

MOTIVASI DALAM OLAHRAGA

3.1 Tujuan pembelajaran

Pada akhir bab ini, karyasiswa harus dapat :

1. Menjelaskan dan mengaplikasikan pengertian dari motivasi

2. Menjelaskan dan mengaplikasikan dimensi dari motivasi

3. Memahami dan mampu mengaplikasikan teori dari motivasi

3.2 Pengertian Motivasi

a) Motivasi berasal dari kata latin Movere yang berarti bergerak atau berpindah.

Dari kata itu kemudian diperoleh kata motif dan motivasi.

b) Motif adalah penggerak, alasan, dorongan, kekuatan /potensi yang terdapat

dalam diri individu yang menyebabkan individu punya kecenderungan untuk

bertingkah laku.

c) Motivasi adalah kecenderungan untuk berperilaku secara selektif ke suatu arah

tertentu yang dikendalikan oleh adanya konsekuensi tertentu, dan perilaku

tersebut akan bertahan sampai sasaran perilaku dapat tercapai (Alderman,

1974).

d) Motivasi adalah Keterlibatan seseorang dalam aktivitas tertentu dalam upaya

memperoleh hasil atau sasaran tertentu (Morgan, 1986).

e) Motivasi merupakan arah dan intensitas usaha seseorang (Sage, 1977).

3.3 Dimensi Motivasi

Motivasi mengandung tiga komponen penting yang saling berkaitan erat, yaitu :

a. Kebutuhan. Kebutuhan timbul dalam diri individu apabila si-individu merasa

adanya kekurangan dalam dirinya (ada ketidakseimbangan antara apa yang

29
dimiliki dengan apa yang menurut persepsi si-individu harus dimiliki).

b. Dorongan. Untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, dalam diri siindividu akan


timbul dorongan berupa usaha pemenuhan kebutuhan secara

terarah. Maka, dorongan biasanya berorientasi pada tindakan tertentu yang

secara sadar dilakukan oleh seseorang/individu.

c. Tujuan. Komponen ketiga dari motivasi adalah tujuan. Pencapaian tujuan

berarti mengembangkan keseimbangan dalam diri seseorang/si-individu.

Aspek-aspek yang mempengaruhi atau menentukan intensitas motivasi (Gunarsa,

2004) :

1. Atlet itu sendiri

2. Hasil penampilan

3. Suasana pertandingan, seperti ada pelatih yang mendampingi, tekanan penonton

4. Tugas atau penampilan

Kebutuhan atlet sehingga mendorongnya berperilaku dalam aktivitas olahraga

menurut Martens (1987) karena :

1. Kesenangan, memperoleh kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan suatu

aktivitas, dan ketegangan;

2. Bertemu dengan sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan berhubungan

dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok;

3. Memperlihatkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan akan merasa

berharga.

Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Motivasi adalah keinginan untuk mencapai atau memuaskan suatu kebutuhan.

2. Motivasi untuk melakukan olahraga dapat datang dari diri sendiri, dikenal dengan

motivasi intrinsik, dapat pula datang dari lingkungan, atau disebutmotivasi ekstrinsik.

Di dalam proses pembinaan olahraga ada beberapa bentuk motivasi yang dibedakan

30
yaitu :

1. Motivasi secara umum, artinya motivasi seseorang untuk melibatkan diri di dalam

suatu aktivitas olahraga dalam upaya memperoleh hasil tertentu.

2. Motivasi berprestasi (achievement motivation) : orientasi seseorang untuk tetap

berusaha mendapatkan hasil yang terbaik semaksimal mungkin dengan dasar

kemampuan untuk tetap berupaya menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, karena

dengan itu ia merasa bangga (Gill, 1986). Achievement motivation ini merupakan

salah satu karakteristik yang menentukan kesuksesan atlet untuk meraih prestasi

(Cox et al., 1985).

Jenis-jenis motivasi :

1. Motivasi Intrinsik

Adalah motivasi yang datang dari dalam diri individu dan sedikit dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan sekitar. Penting bagi seorang atlet karena setiap individu mempunyai

individual differences yang membedakan dengan orang lain. Individual differences ini

meliputi kesenangan, tingkat kepuasan, kemampuan, penyesuaian diri, tingkat emosi,

kerentanan, dsbnya. Lebih ampuh untuk bisa memunculkan sebuah perilaku tertentu

karena motivasi ini berasal dari dalam diri sehingga mempunyai kecenderungan yang

lebih kuat dan tahan lama. Berbeda dengan motivasi ekstrinsik, ketika sumber motivasi

sudah hilang atau berkurang nilainya, maka perilaku yang diharapkan tidak akan muncul

a. Motivasi intrinsik untuk tahu (knowledge)

Seseorang melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena kesenangan untuk

belajar. Dalam konteks olahraga, motivasi ini penting dalam proses latihan untuk

memastikan bahwa mereka selalu terlibat dalam proses latihan dengan baik. Pelatih

harus selalu kreatif menciptakan metode latihan yang selalu memberi sesuatu yang

baru kepada para pemain.

31
b. Motivasi intrinsik yang berkaitan dengan pencapaian (accomplishment)

Manusia selalu memiliki naluri untuk mencapai sesuatu. Seseorang melakukan

aktivitas karena terdorong oleh kesenangan mencoba untuk melampaui dirinya

sendiri. Artinya ada keinginan untuk lebih dan lebih. Seorang pelatih bisa

menciptakan ini dengan membawa unsur kompetisi dalam proses latihan. Para

pemain harus selalu mengikuti kompetisi yang kompetitif dengan jenjang yang selalu

meningkat. Selain untuk mengevaluasi kemampuan, tapi juga agar selalu terfasilitasi

untuk melewati pencapaian yang sudah pernah diperoleh.

c. Motivasi intrinsik untuk merasakan stimulasi (stimulation)

Mendorong seseorang untuk terlibat dalam sebuah aktivitas dalam rangka

merasakan kenikmatan yang sensasional. Contohnya pada atlet panjat tebing,

pendaki gunung, adalah contoh orang-orang yang selalu ingin merasakan

pengalaman sensasional ini. Untuk atlet lain, dengan mendapat pencapaian

tertinggi maka pengalaman sensasional tercapai. Bayangkan jika seseorang

berhasil mendapatkan medali emas olimpiade, pasti luar biasa. Untuk itu atlet

harus selalu dirangsang untuk selalu men-set sasarannya setinggi mungkin.

2. Motivasi Ekstrinsik

Adalah motivasi yang datang dari luar individu. Dengan kata lain, motivasi yang

dimiliki seseorang tersebut dikendalikan oleh objek-objek yang berasal dari luar

individu. Seperti: hadiah, trofi, uang, pujian. Tidak selamanya bersifat sementara,

tapi dengan penanganan yang tepat, motivasi ini bisa memberi kekuatan yang tidak

kalah dengan motivasi ekstrinsik.

Jenisnya:

a. External regulation

Bahwa sebuah perilaku muncul dalam rangka mendapatkan benda-benda/sesuatu

32
yang bersifat eksternal (medali, trofi) dan dalam rangka menghindari tekanan

(tekanan sosial). Contoh: “Saya akan pergi berlatih hari ini karena saya tidak ingin

dicadangkan oleh pelatih pada pertandingan mendatang!”

b. Introjected regulation

Pemain mulai menginternalisasi alasan-alasan dari perilakunya. Internalisasi alasan

ini untuk mengganti external regulation. Mengganti kontrol eksternal dengan

sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri. Contoh: “Saya berlatih karena saya akan

merasa bersalah seandainya tidak datang.”

c. Regulated through identification

Pada fase ini, muncul perilaku-perilaku yang dinilai dan menjadi pilihan untuk

dilakukan. Pemain sudah bisa mengidentifikasi perilaku yang harus diambil. Contoh:

“Saya memilih untuk berlatih karena berlatih akan membantu saya tampil lebih baik

pada pertandingan mendatang.”

d. Integrated regulation

Pemain sudah memilih sebuah perilaku untuk dikerjakan yang bergerak dari motivasi

eksternal ke tindakan yang terpilih. Ada pilihan-pilihan aktivitas lain yang muncul

bersamaan dengan aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemain. Pada

tahap ini motivasi eksternal mencapai titik efektifnya karena sudah menjadi

pengatur perilaku atlet dan memberi kesadaran bagi atlet akan perilaku yang

seharusnya dilakukan. Contoh: “Lebih baik saya tinggal di rumah dibanding jalanjalan
dengan teman-teman. Jadi besok akan lebih siap saat bertanding.”

Studi mengenai motivasi pada hakekatnya merupakan studi tentang perilaku

manusia (Alderman, 1974) dimana motif merupakan salah satu determinan yang sangat

penting pendorong perilaku manusia. Menurut Anshel (1977) bila dilihat dari sumbernya

maka motivasi dibedakan menjadi :

a. Orientasi Pelaku (Participant Centered Orientation/PCO). Sumber motivasi terletak

33
pada diri individu yang bersangkutan.

b. Orientasi Situasional (Situational Centered Orientation/SCO). Lingkungan yang

memberi peluang dan memupuk motivasi seseorang.

c. Orientasi Interaksional (Interactional Orientation/IO). Motivasi yang terbentuk

karena kombinasi Faktor Pelaku dan Faktor Lingkungan.

3.4 Teori Motivasi

Beberapa teori mengenai motivasi yang akan dibahas adalah :

1. Teori hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) -- Abraham Maslow

2. Teori ERG -- Clayton Alderfer

3. Teori kebutuhan untuk maju (need for achievement) -- David McClelland

4. Teori motif dari Henry Murray

1. Maslow mengembangkan teori hierarchy of needs dimana kebutuhan manusia

dengan sendirinya membentuk semacam hierarki kebutuhan.

a) Physiological needs / kebutuhan fisiologis

b) Safety & security needs / kebutuhan akan rasa aman

c) Belongingness & love / kebutuhan sosial (rasa memiliki)

d) Self esteem & status / kebutuhan akan penghargaan dan status

e) Self actualization / kebutuhan akan aktualisasi diri

Motivasi membuat seseorang mau berperilaku dan apabila suatu kebutuhan telah
dicapai

maka kebutuhan yang lebih tinggi akan jadi kebutuhan baru.

2. Alderfer

Membagi kebutuhan menjadi :

a. Existence

Yaitu keinginan akan kesejahteraan fisiologis dan material.

b. Relatedness

34
Yaitu keinginan untuk memuaskan hubungan antar personal.

c. Growth

Yaitu keinginan akan perkembangan dan pertumbuhan psikologis berkelanjutan.

3. Motif sosial dari David Mc.Clelland

Berpendapat bahwa motif sosial dapat dibedakan dalam :

a. n-achievement / motif berprestasi yaitu keinginan untuk berprestasi.

b. n-affiliation/ motif berafiliasi yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan

orang lain, membina hubungan baik, menjalin hubungan baru, dan

berteman.

c. n-Power/ motif berkuasa yaitu perilaku individu menanamkan pengaruh atas

orang lain.

4. Teori motif dari Henry Murray

Mengemukakan suatu daftar dari 20-an kebutuhan yang pada umumnya mendorong

manusia untuk bertindak/berperilaku. Kebutuhan-kebutuhan bervariasi, ada yang

berlawanan (n-nurturance, n-affiliation, n-aggression, n-autonomy, dll). Salah satunya


nachievement yaitu konsep motif berprestasi. Untuk menggambarkan kepribadian

individu. Adanya kebutuhan/keinginan untuk berprestasi (virus n-ach). Keinginan,

hasrat, kemauan, dorongan untuk dapat unggul, yaitu mengungguli prestasi yg pernah

dicapainya sendiri atau megungguli prestasi orang lain. Tercermin dari perilaku individu

yang selalu mengarah pada suatu standar keunggulan (standard of excellence). Suka

akan tugas-tugas yang menantang, tanggung jawab secara pribadi, terbuka akan umpan

balik.

Untuk memahami keadaan atlet :

 Pelatih harus peka terhadap kebutuhan atlet.

 Perlu mendengarkan keinginan dan kebutuhan atlet.

Sehingga sebagai pangkal-tolak menimbulkan motivasi, maka atlet hendaknya :

35
 Diberi penghargaan, pengakuan atas prestasi yang telah dicapai.

 Diberi tantangan untuk berusaha lebih keras.

Teknik yang dapat digunakan oleh pelatih dalam meningkatkan motivasi atlet :

1. Motivasi verbal

2. Motivasi behavioral (perilaku)

3. Motivasi insentif

4. Supervisi

5. Gambar-gambar

6. Khayalan mental

Sementara menurut Anshel (1997) ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk

meningkatkan motivasi atlet agar mencapai prestasi optimal, yaitu :

a) Saling mengenal diantara anggota tim

b) Terencana

c) Berorientasi ke masa depan

d) Mengembangkan keterampilan

e) Memberikan penghargaan

f) Menanamkan disiplin secara tegas bukan keras

g) Mencari kesamaan pandangan

h) Membuat kegiatan melatih menjadi menarik, misal memvariasikan bentuk

latihan

i) Bersikap konsisten terutama dalam menerapkan aturan

j) Lebih menekankan pada proses daripada hasil

k) Waspada terhadap kecenderungan berpikir negatif

l) Mengembangkan sikap saling menghargai

m) Peka terhadap perlunya atlet untuk istirahat, cuti, liburan

36
n) Mengembangkan sikap kepemimpinan diantara kelompok atlet

o) Memberikan masukan yang wajar atas kekeliruan atlet, sebaliknya juga atas

keberhasilan

p) Tahu membatasi diri dan bersikap konsisten dalam menerapkan disiplin

q) Tidak mempermalukan, mengintimidasi, dan mengkritik kepribadian atlet

Teknik meningkatkan motivasi (Whitehead, 1995) :

1. Tekankan pada penguasaan teknik secara individual

Diwujudkan dalam bentuk memberikan umpan balik atau masukan-masukan yang

konkrit, dan jangan cenderung menyalahkan karena pelatih yang hanya berfokus

pada kesalahan cenderung akan mengurangi nilai dari masukannya dan

kemungkinan membuat atlet menjadi stres.

2. Jangan terlalu membandingkan antar teman latihan

Membandingkan antar teman latihan cenderung akan merusak motivasi atlet. Hal ini

disebabkan oleh rasa ketidakpuasan dan munculnya rasa malu sehingga akan

menyebabkan timbulnya rasa frustrasi dari atlet tersebut. Ketika seorang atlet terlalu

sering dibandingkan, maka harga diri atlet tersebut menjadi terganggu.

3. Memberikan banyak pilihan saat latihan

Secara konseptual motivasi intrinsik menekankan pada keingintahuan dan

penguasaan. Untuk itu proses latihan harus bervariasi sehingga atlet mempunyai

banyak pilihan. Pilihan inilah yang akan membuat atlet menyesuaikan diri dengan

kemampuannya, sehingga persepsi atas penguasaan materi menjadi lebih baik.

4. Jangan merusak fokus intrinsik dengan pemberian reward yang tidak tepat

Pemberian reward (hadiah) yang tidak tepat sasaran akan merusak motivasi intrinsik

dari seorang atlet. Di dalam proses latihan, motivasi yang muncul dari para atlet

seharusnya adalah keingintahuan, keinginan untuk memperbaiki diri atau keinginan

37
untuk mendapatkan sensasi dari teknik yang dijalankan. Bentuk reward akan

cenderung membuat atlet menjadi terdorong untuk mendapatkan hadiah tersebut.

Oleh karenanya proses pemberian reward harus tepat sasaran.

5. Buat latihan menjadi menyenangkan

Latihan yang menyenangkan akan membuat tekanan menjadi berkurang. Keinginan

untuk semakin tahu dan semakin bisa akan muncul jika situasi latihan

menyenangkan.

6. Jangan mengubah situasi latihan menjadi membosankan

Proses latihan pada dasarnya adalah aktivitas ang menyenangkan, tapi pelatih

terkadang membuat proses latihan menajdi sesuatu yang menjemukan karena

berbagai macam penyebab. Penyebab yang paling umum adalah variasi latihan yang

tidak cukup menarik. Pelatih seharusnya menciptakan variasi-variasi latihan yang

bisa merangsang para atlet untuk selalu berusaha dan berkompetisi. Jika proses

latihan tidak banyak menuntut kerja atlet, maka proses latihan tersebut akan

berubah menjadi menjemukan.

7. Tingkatkan pemahaman terhadap tujuan latihan dengan melatihkan nilai-nilai utama

dalam olahraga tersebut

Seseorang akan menjalani proses latihan dengan serius ketika mereka paham

dengan kebutuhan latihan mereka. Untuk itu proses latihan harus benar-benar

dipahami oleh para atlet.

Latihan

1. Menurut Anda, perlukah seorang pelatih mengetahui motivasi dari atlet binaannya?

Jelaskan jawaban Anda!

2. Berdasarkan pengalaman Anda, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi

seorang atlet? Jelaskan jawaban Anda!

38
3. Menurut Anda, apakah pemberian reward (baik berupa hadiah, uang, mobil, rumah,

dll) kepada atlet berprestasi perlu diberikan terutama untuk meningkatkan motivasi

atlet? Jelaskan jawaban Anda!

39

Anda mungkin juga menyukai