Anda di halaman 1dari 55

Peran Psikologi Olahraga dan Psikologi Kepelatihan dalam Olahraga

20:55 Tonang Juniarta Peran Psikologi Olahraga dan Psikologi Kepelatihan dalam Olahraga Oleh: Tonang Juniarta A. PENDAHULUAN Olahraga merupakan kebutuhan manusia. Melalui olahraga diharapkan didapatkan tubuh yang sehat dan bugar sehingga mampu meningkatkan produktitas kerja. Dalam keadaan sakit, mudah lelah dan tidak bugar bisa dipastikan bekerja tidak bisa maksimal. Olahraga adalah aktifitas yang berkaitan dengan gerak tubuh. Menurut undang-undang no. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional BAB VI pasal 17 disebutkan bahwa olahraga dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1) olahraga pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani , 2) Olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran dan kesenangan, dan 3) Olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Berdasarkan hasil Semiloka Nasional Ilmu Keolahragaan (2000) dihasilkan bahwa selain ketiga kelompok tersebut di atas juga ada kelompok olahraga rehabilitasi yaitu jenis kegiatan olahraga, atau latihan jasmani yang menekankan tujuan bersifat terapi atau aspek psikis dan perilaku. Kelompok olahraga yang lain adalah olahraga kesehatan yaitu jenis kegiatan olahraga yang lebih menitikberatkan pada upaya mencapai tujuan dan fitness yang tercakup dalam konsep well being melalui kegiatan berolahraga. Dalam mengembangkan semua kelompok olahraga tersebut perlu didukung berbagai disiplin ilmu yang lain, seperti: ilmu faal, gisi, perkembangan motorik, biomekanika, psikologi da lin sebagainya. Dalam aktifitas olahraga prestasi khususnya faktor psikis menjadi hal penting yang sering lupa/dilupakan selama proses latihan maupun dalam pertandingan. Faktor psikologis atau sering disebut mental atlet diibaratkan sebagai obor yang memacu semangat dan menghasilkan kinerja maksimal atlet. Diakui bahwa psikologi semakin berperan dalam dunia olahraga maupun dunia kepelatihan. Secara lebih khusus hal ini dipelajari melalui psikologi olahraga maupun psikologi kepelatihan. Psikologi olahraga akan membahas mengenai mental dalam aktivitas olahraga. Dalam suatu kondisi fisik yang sudah lelah sekalipun, apabila secara mental tangguh maka fisik masih bisa dipaksa untuk bekerja, namun tidak demikian sebaliknya. Apabila mental sudah down maka fisik prima pun seolah kurang berarti dalam situasi pertandingan. Mengingat pentingnya pengaruh dan peranan psikologi olahraga dan kepelatihan dalam olahraga, maka akan diuraikan bagaimana peran psikologi olahraga dan psikologi kepelatihan. Untuk memberikan pemahaman secara runtut dan holistik, dalam makalah ini akan dibahas pengertian psikologi, peran psikologi olahraga dan psikologi kepelatiha dalam aktifitas olahraga. B. KAJIAN TEORI Pengertian psikologi secara umum Psikologi berasal dari bahasa yunani psyche yang artinya jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Secara harfiah psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari jiwa. Sedangkan secara

bahasa, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia karena pada dasarnya jiwa adalah sesuatu yang abstrak sehingga tidak bisa diamati. Obyek kajian psikologi adalah manusia, jadi yang dipelajari adalah jiwa manusia. Pada hakekatnya jiwa tidak bisa dipelajari karena jiwa merupakan unsur yang abstrak, unobservable akan tetapi dapat amati melalui perilaku seseorang. Psikologi mempelajari tingkah laku masnusia yang bisa diamati (observable) dan yang dapat di ukur (measurable). Jiwa tercermin pada perilaku seseorang, perilaku yang merupakan ekspresi kejiwaan seseorang. Jadi obyek kajian psikologi dapat dipelajari melalui perilaku manusia Contoh: seorang psikolog dapat mengetahui bahwa seseoarng melakukan penipuan melalui gejala-gejala perubahan yang terjadi pada perilaku maupun aspek-aspek fisiologisnya (seperti keluarnya keringat yang berlebihan, gemetar, keringat dingi, ataupun perubahan raut muka dsb) Sekilas mengenai sejarah psikologi Psikologi adalah ilmu yang tergolong muda (sekitar akhir 1800an) tetapi, manusia telah memperhatikan masalah psikologi. Banyak filosof Yunani yang telah memberikan perhatian pada bidang ini, mereka banyak memberikan sumbangan dalam bidang psikologi. Pada waktu itu psikologi masih berbentuk wacana belum menjadi ilmu pengetahuan. Walaupun sejak dulu telah ada pemikiran tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan dengan adanya pemikiran tentang ilmu yang mempelajari alam, akan tetapi karena kekompleksan dan kedinamisan manusia untuk dipahami, maka psikologi baru tercipta sebagai ilmu sejak akhir 1800-an yaitu dengan berdirinya laboratorium Wundt oleh wilhelm wundt di University of Leipszig sebagai laboratorium psikologi pertama di dunia. Dengan berdirinya laboratorium ini pula, lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan, sehingga tahun berdirinya laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan. (Syarat Ilmu Pengetahuan: Memiliki obyek (tingkah laku), memiliki metode penelitian (sejak laboratorium Wundt didirikan psikologi telah membuktikan memiliki metode ilmiah), sistematis, dan bersifat universal. Psikologi memiliki tiga fungsi sebagai ilmu yaitu: a) Menjelaskan, Yaitu mampu menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi, b) Memprediksikan Yaitu mampu meramalkan atau memprediksikan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi, dan c) Pengendalian yaitu mengendalikan tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. Psikologi Olahraga Psikologi olahraga merupakan hasil perkembangan dari psikologi umum. Menurut Khonstman (1951) yang dikutip Herman Subarjah (2000: 1) menyebutkan bahwa medan kajian psikologi adalah tingkah laku manusia dalam keadaan tertentu, misalnya manusia dalam keadaan panik dipelajari dalam psikologi massa, atau manusia dalam proses produksi misalnya dipelajari dalam psikologi industri. Sejalan dengan perkembangan waktu dan kebutuhan terhadap psikologi dalamolahraga, maka dikembangkan dan diterapkan psikologi olahraga. Batasan dan pengertian psikologi olahraga, salah satunya dikemukakan oleh John D. Lawther, seorang guru besar pendidikan jasmani dari Pensylvania State University yaitu Sport psychologi is the study of human behavior in sport situation. It focusses on both learning and performance, and conciders both participans and spectator. Secara bebas bida diartikan bahwa psikologi olahraga adalah studi tentang tingkah laku manusia dalam situasi olahraga, focus kajiannya adalah pada belajar dan performa, dan memperhitungkan baik pelaku maupun penonton. Weinberg and gould (1999) mengartikan psikologi olahraga sebagai studi khusus mengenai manusia dan perilakunya dalam aktivitas olahraga dan latihan (ICSSPE, sport and exercise psikologi, hal. 161 bar. 3). Jadi, psikologi olahraga dapat diartikan sebagai psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi secara

langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat mempengaruhi penampilan (performance) atlet tersebut. Pengertian Psikologi Kepelatihan Psikologi kepelatihan adalah ilmu yang mempelajari tingkahlaku dan pengalaman individu yang terjadi dalam proses interaksi antara pelatih dan atlet dan gejala-gejala yang timbul sebagai akibat perlakuan yang diberikan pelatih. Manfaat mempelajari psikologi kepelatihan (Sudibyo Setyabroto, 1993: 10) a. Para pelatih lebih memahami gejala-gejala psikologik yang terjadi pada diri atlet, baik gejala yang dapat mempengaruhi meningkat/merosotnya prestasi atlet b. Dapat memprediksi dampak yang menguntungkan./merugikan atlet c. Dapat melakukan tindakan yang sesuai Bagaimana perkembangannya saat ini? Kian tahun psikologi olahrga kian mengalami peningkatan kajian dan mengalami perkembangan yang berarti. Jadi, di satu pihak seorang psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan profesinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya. Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam. Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa C. PEMBAHASAN 1. Bagaimana konsep dari psikologi olahraga, apa bedanya dengan psikologi latihan? Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam pendekatannya,

beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar, yaitu: a) Mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu, b) Memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk: 1. Membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak 2. Membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar 3. Meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan, dan 4. Memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995). Sekalipun belum begitu jelas letak perbedaannya, Weinberg dan Gould (1995) telah berupaya untuk menjelaskan bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997). Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada upaya membahas masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya. Sekalipun demikian, kedua bidang ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks sosial dan sosial terbentuk karena adanya individu-individu. Di samping itu kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor kompetisi dalam olahraga Mengapa perlu psikologi olahraga? Pembinaan olahraga prestasi merupakan proses yang panjang dan rumit. Banyak ilmu yang mendukung untuk pencapaian prestasi optimal seoarang atlet. Salah satunya adalah psikologi, karena manusia adalah makhluk dwi tunggal yaitu terdiri dari jasmani dan rohani yang menjadi satu. Dengan demikian kedua aspek tersebut harus digali, dilatih dan diarahkan untuk mencapai derajat fungsi optimalnya masing-masing. Fenomena yang sering kita dapati adalah, timpangnya pemberian porsi latihan antara fisik dan psikis. Seringkali fisik dijadikan dasar utama tanpa memperhitungkan aspek psikisnya. Hal ini jelas keliru dan perlu adanya upaya perbaikan konsep dalam sistem pelatihan cabang olahraga. Aspek psikis atlet ibarat obor yang siap membakar

semangat atlet untuk mengeluarkan segala kemampuannya yang telah didapatkan dari proses latihan yang terakumulasi peningkatannya. Kemampuan teknik dan fisik seseorang tidak akan begitu berarti ketika kejiwaannya (mental) tidak mampu mengerakkan untuk tampil optimal. Seringkali kelelahan fisik bisa diatasi dengan arousal (kegairahan). Artinya walaupun secara fisik atlet sudah mengalami kelelahan yang sangat, namun muncul apa yang disebut scond wind yang mampu menggerakkan fisik untuk terus bekerja. pakah sekarang bisa kita katakan bahwa aspek fisik tidak perlu dilatihkan?? Bagaimana perkembangannya saat ini? Kian tahun psikologi olahraga kian mengalami peningkatan kajian dan mengalami perkembangan yang berarti. Jadi, di satu pihak seorang psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya. Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam. Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa. D. PENUTUP Kesimpulan Psikologi diperlukan dalam olahraga guna menjelaskan/explanatif, memprediksi/prediktif, mengendalikan/krontrol perilaku dalam aktifitas olahraga. Saran Setiap kelompok olahraga perlu mempelajari dan menerapkan psikologi olahraga/kepelatihan untuk efektifitas dalam mencapai tujuan yang diinginkan dari melakukan olahraga.

KAJIAN PUSTAKA Bimo Walgito (1997). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta. Andi Offset Depdiknas (2002). Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta Herman Subarjah (2000). Psikologi Olahraga. Jakarta. Depdiknas Singgih D Gunarso (2004). Psikologi Olahraga Prestasi. Jakarta. PT. BPK Gunung Mulia. Sudibyo Setyobroto (1993) Psikologi Kepelatihan. Jakarta. CV. Jaya Sakti. -------------------------(2001). Mental Training. Solo -------------------------(2002) Psikologi Olahraga. Jakarta. PT. Aneng Kasong Anem. UU RI No. 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Kemenegpora Weinberg R.S & Gould.D.(2003). Foundations of Sports &Exercise Psychology. United State. Human Kinetics. Posted in: Artikel

Sinergi Psikologi Olahraga dalam Program Latihan

mental training Psikologi olahraga merupakan salah satu instrumen dalam sebuah proses latihan untuk meningkatkan performa atlet. Bersama dengan biomekanik, nutrisi serta kedokteran, psikologi memberi asupan agar program penciptaan atlet berprestasi menjadi lebih terarah dan efektif. Kenyataannya, belum banyak pelatih yang menyadari peran, fungsi dan bentuk yang bisa diberikan oleh psikologi olahraga dalam melatih para atletnya. Ada dua aliran psikologi olahraga yang bisa diterapkan dalam konteks hubungan dengan para atlet. Yang pertama adalah psikologi klinis. Aliran ini merupakan salah satu cabang psikologi yang secara spesifik berkaitan dengan gangguan-gangguan emosional atau kepribadian yang dialami oleh manusia. Penerapan dalam konteks olahraga, psikolog klinis menjadi partner bagi manajemen dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kejiwaan yang dialami baik oleh atlet, pelatih maupun pengurus cabang olahraga tersebut. Persoalan-persoalan kejiwaan yang umum dialami oleh para atlet antara lain gangguan makan (eating disorders), jenisnya adalah Bulimia atau Anorexia, gangguan tidur, gangguan kecemasan akut, gangguan kepribadian dan sebagainya. Psikolog klinis dalam olahraga harus mampu menjadi konselor atau terapis bagi atlet-atlet yang mengalami gangguan-gangguan tersebut. Perannya tidak berkaitan secara langsung dengan proses latihan dan secara otomatis tidak berkaitan dengan para pelatih dalam lapangan.

Aliran yang kedua, dan menjadi salah satu elemen vital dalam proses latihan adalah psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan merupakan salah satu cabang psikologi yang memberikan metode dan dasar bagi sebuah proses pendidikan dalam arti yang luas. Proses latihan menjadi salah satu bentuk pendidikan dalam situasi olahraga. Psikolog pendidikan memegang peranan yang cukup vital dalam pembentukan mental para atlet agar mencapai prestasi yang maksimal. Secara umum, peran psikolog pendidikan dalam olahraga adalah menjadi asisten pelatih (bersama pelatih fisik, ahli nutrisi, dan dokter) untuk memberi masukan pelatih dalam menyusun program latihannya. Psikologi aliran ini yang kemudian akan kita sebut dengan psikolog olahraga. Perhatikan Program Latihan Dalam menjalankan perannya, psikolog olahraga mendasarkan programnya pada program yang dibuat oleh pelatih. Secara umum, pelatih akan membagi program latihannya menjadi dua periodisasi yakni, microcycle dan macrocycle. Microcycle adalah program yang dibuat dalam logika waktu yang lebih pendek, misalnya harian dan mingguan. Sedangkan macrocycle adalah kumpulan dari beberapa microcycle dan merupakan sasaran akhir tahun dari seorang atlet. Secara sederhana, microcycle mempunyai sasaran-sasaran jangka pendek, sedangkan macrocycle adalah sasaran puncaknya. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah kalender kompetisi. Sebagai bahan evaluasi latihan, seorang atlet memerlukan kompetisi yang rutin dan bersifat meningkat. Kompetisi yang rutin dan kompetitif akan memberikan kesempatan baik bagi para atlet maupun pelatih untuk melihat perkembangan dan mengevaluasi kekuarangan-kekurangan yang mungkin masih ditemui. Kompetisi sendiri biasanya dibedakan menjadi dua jenis, yang pertama adalah Kompetisi Antara dan yang kedua adalah kompetisi utama. Untuk beberapa cabang olahraga, kompetisi utama diadakan dalam bentuk seri yang dilangsungkan selama satu tahun. Dengan mengantongi program latihan dari pelatih, para psikolog olahraga baru bisa membuat program dengan sasaran peningkatan kualitas mental bertanding dari para atlet. Program-program psikolog olahraga tidak hanya berupa pendampingan bagi para atlet, tapi berbentuk program latihan yang membekali keterampilan psikologis kepada para atlet.

Keterampilan-keterampilan mental tersebut akan sangat berguna untuk pemain agar mereka mampu menangani masalah-masalah psikologis yang sering mengganggu penampilan, seperti kecemasan, motivasi, percaya diri, daya juang dan sebagainya.Tidak hanya dalam pertandingan, keterampilan ini juga akan menciptakan mental yang kuat saat menjalani latihan. Keterampilanketerampilan mental tersebut tersebut antara lain: Self talk, imagery training, relaksasi dan sebagainya. Sebagai kesimpulan, program yang dibuat oleh psikolog olahraga harus selalu menunjang program yang dibuat oleh para pelatih kepala. Tujuannya adalah satu, membentuk atlet yang mempunyai mental yang tangguh, motivasi prima serta konsentrasi yang mendukung mereka untuk mendapatkan gelar juara. Para pelatih atau pembina cabang olahraga yang serius ingin menciptakan atlet-atlet yang berkualitas hendaknya mulai memikirkan untuk menggandeng unsur ilmu pengetahuan yang lain. Karena olahraga modern sekarang ini tidak cukup mengandalkan bakat, tapi proses pembinaan dan latihan menjadi elemen vital dalam mencetak para calon juara. Negara-negara dengan tradisi prestasi olahraga yang tinggi telah menerapkan ini dengan baik, mengapa Indonesia tidak memulainya dari sekarang? Guntur Utomo

http://psikologiolahraga.wordpress.com/2009/07/21/sinergi-psikologi-olahraga-dalam-programlatihan/

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Psikologi olahraga merupakan mata kuliah yang sangat penting dalam perkuliahan olahraga. Sebagai mana telah di ketahui psikologi olahraga peran yang sangat penting dalam membentuk mental atlet dan mengantarkan atlet kejenjang juara. Peran mental dalam kegiatan olahrga telah banyak di teliti oleh para psikologi dan atlet-atlet di unia. Bukan hanya mental yang mengantarkan atlet kejenjang juara, tetapi motivasi dalam kegitan olahraga itu sangat penting psikologi olahraga itu sangat penting. Psikologi olahraga juga bukan hanya mengantarkan atlet menjadi juara akan tetapi juga membentuk karakter atlet yang lebih baik. Dengan adanya resumen psikologi olahraga di harapkan menambah wawasan dan pengetahuan khususnya mengenai psikologi olahraga.

1.2 Tujuan Untuk mengetahui proses pisikologi dan seberapa penting psikologi olahraga dalam kegiatan olahraga. Untuk mengetahui sebatas mana mahasiswa dapat menguasai mata kuliah psikologi olahrag

1.3 Rumusan Masalah 1.3.1 Sejarah psikologi olahraga 1.3.2 Psikologi dalam olahraga 1.3.3 Kepribadian 1.3.4 Kepribadian atlet 1.3.5 Motivasi dalam olahraga

1.3.6 Tehnik meningkatkan motivasi 1.3.7 Strategi meningkatkan motivasi 1.3.8 Ketegangan dan kecemasan 1.3.9 Emosi 1.3.10 Agresivitas 1.3.11 Mental training 1.3.12 Pembinaan mental training

BAB II PEMBAHASAN

PENGERTIAN PSIKOLOGI OLAHRAGA Psikologi secara umum dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang gejala kejiwaan manusia. Sedangkan kejiwaan atau jiwa adalah merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak, yang berarti tidak dapat dilihat dan belum dapat diungkapkan secara jelas dan lengkap. Oleh karena itu, untuk mengungkapnya para ahli cenderung untuk mempelajari kejiwaan yang terjelma ke dalam jasmani manusia dalam bentuk perilaku fisik, yaitu segala aktivitas, perbuatan, atau penampilan diri manusia dalam hidupnya. Dengan demikian sebenarnya bahwa perilaku manusia merupakan pencerminan dari kejiwaannya, sehingga psikologi dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang perilaku atau tingkahlaku manusia. Psikologi olahraga adalah merupakah salah satu cabang ilmu yang relatif baru, yaitu merupakan salah satu hasil perkembangan dari psikologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

sejak akhir abab ke-19 para ahli psikologi telah berusaha menerapkan hasil-hasil penelitian psikologi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya tumbuh dan berkembang apa yang disebut sebagai psikologi terapan (applied psychology) di berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah dalam bidang olahraga. Pada awalnya psikologi hanya mengembangkan diri secara vertical, artinya bahwa psikologi berkembang hanya terbatas dalam lingkup disiplin ilmunya sendiri, yaitu tentang kejiwaan manusia sebagai individu (belum dikaitkan dengan hal lain disekitarnya). Sedangkan manusia sebenarnya bukan hanya individu, melainkan juga merupakan makhluk sosial, yang berarti segala perilaku tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan. Dengan demikian memaksa para ahli psikologi tidak hanya mengembangkan disiplin ilmunya secara vertical melainkan juga harus mengembangkan psikologi secara horisontal. Maksudnya adalah bahwa psikologi mulai mengembangkan diri dengan memasuki disiplin ilmu yang lain. Oleh karena olahraga juga merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, maka dalam perkembangan secara horisontal psikologi juga memasuki bidang olahraga, dan muncullah Psikologi Olahraga. Dengan demikian sebenarnya bahwa psikologi olahraga adalah merupakan perpaduan antara psikologi dan olahraga.

Definisi-definisi psikologi olahraga: 1. Khonstamm (1951) menyebutkan adanya psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya manusia dalam keadaan panik dipelajari oleh psikologi massa, manusia dalam proses di perusahaan atau pabrik dipelajari oleh psikologi industri dan sebagainya 2. Rohrer dan Sherrif (1950) dalam penelitian di Connecticut Utara pada tahun 1949 membuktikan bahwa individu mengadakan reaksi yang berbeda dalam situasi sebagai anggota kelompok dengan situasinya sendiri sebagai individu. 3. Psikologi olahraga adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku dan pengalaman manusia berolahraga dalam interaksi dengan manusia lain dan dalam situasi-situasi social yang merangsangnya (sudibyo setyobroto, 1989) Dikutip dari : buku psikologi olahraga

DR SUDIBYO SETYOBROTO Drs. MAHMUD YUNUS

2.1 SEJARAH SINGKAT PSIKOLOGI OLAHRAGA

Psikologi olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898. Norman Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri. Baru tahun 1925 laboratorium psikologi olahraga pertama di Kawasan Amerika Utara berdiri. Pendirinya adalah Coleman Griffith dari Universitas Illinois. Griffith tertarik pada pengaruh faktor-faktor penampilan atletis seperti waktu reaksi, kesadaran mental, ketegangan dan relaksasi otot serta kepribadian. Dia lalu menerbitkan dua buah buku, The Psychology of Coaching (1926)- buku pertama di dunia Psikologi Olahraga-dan The Psychology of Athletes (1928). Pada tahun yang sama, di Eropa sebenarnya juga berdiri sebuah laboratorium Psikologi Olahraga yang didirikan oleh A.Z Puni di Institute of Physical Culture in Leningrad. Namun Laboratorium Psikologi Olahraga pertama di dunia sebenarnya didirikan tahun 1920 oleh Carl Diem di Deutsce Sporthochschule di Berlin, Jerman. Setelah periode tersebut psikologi olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun 1960an psikologi olahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia. Pada tahun 1966, sekelompok psikolog olahraga berkumpul di Chicago untuk membicarakan pembentukan semacam ikatan psikologi olahraga. Mereka kemudian dikenal dengan nama North American Society of Sport Psychology and Physical Activity (NASPSPA). Journal Sekolah pertama yang dipersembahkan untuk psikologi olahraga keluar tahun 1970 dengan nama The International Journal of Sport Psychology. Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium memicu pembentukan Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP) pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga. Kini Psikologi Olahraga sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres International Society of Sport Psychology Conference Di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American Psychological Association pun telah memasukkan psikologi olahraga dalam divisi mandiri yakni divisi 47. Penerbitan dan jurnal pun sudah sangat banyak. Beberapa penerbitan dan jurnal tersebut adalah (a) International Journal of Sport Psychology (1970); (b) Journal of Sport Psychology (1979) yang kemudian berubah nama menjadi 1988 Journal of Sport and Exercise Psychology; NASPSPA pada tahun 1988. penerbitan lain adalah The Sport

Psychologist (1987)sekarang, Journal of Applied Sport Psychology (1989) sekarang, serta The Psychology of Sport and Exercise.

http://psikologi-olahraga.blogspot.com/2007/05/sejarah-singkat-psikologi-olahraga.html

2.2 PSIKOLOGI DALAM OLAHRAGA 2.2.1 Pentingnya Psikologi Dalam Olahraga Griffith di kenal sebagai Bapak Psikologi Olahraga. Ia banyak melakukan studi melalui rangkaian pengamatan informasi pada berbagai cabang olahraga dan menyusun tes sebagai tolak ukur. Tiga bidang pengamatan dan setudinya ialah : 1. keterampilan psikomotor 2. proses belajar 3. corak ragam kepribadian Beberapa ungkapan menarik mengenai pentingnya factor psikis (mental) atau yang sering disebut sebagai factor non-teknis, di kemukakan oleh para psikolog olahraga, pelatih maupun atlet sendiri. 1. James E Loehr (1982), mengatakan at least 50 percent of the process of playing well is the result of mental and psychological factors. Jelas disini ditekankan pentingnya factor mental-psikolog. 2. Steven j. danis (1985), psikologi olahraga dari Pennsylvania, mengatakan The difference between an outstanding athletic perfoprmance and a good athletic performance really has very little to do with phsycal skills. It is mostly related to mental skills. Factor mental yang berpengaruh besar pada atlet. 3. Sehubungan dengan teknis, Stepherd mead penulis buku mengatakan bahwa, tennis is at least 50 percent psychological.

2.2.2 Psikologi Yang Diterapkan Dalam Olahraga

A. Psikologi Perkembangan Dalam psikologi perkembangan dikenal interaksi antara bakat dan lingkungan (nature vs nurture). Kalau bakat sudah ditemukan, usaha pencetakan atlet sangat diperlukan. Keberhasilan korea selatan atau jepang dalam olahraga di tingkat dunia jelas menujukan keberhasilan mencetak atlet. Pada Negara maju, tentunya dengan pengetahuan yang maju serta di tunjang peralatan canggih, mereka berhasil mengembangkan para etlet sampai ke puncak penampilannya sajajar dengan atlet-atlet dunia lainnya (tentu tidak pada semua cabang olahraga).

B. Psikologi Belajar Proses belajar menjadi ciri umum dari individu yang sedang tumbuh dan berkembang. Belajar bisa belangsung secara pasif melalui intansi atau secara aktif yang sengaja di buat, diprogramkan atau diintruksikan. Banyak penampilan yang Nampak sekarang ini adalah hasil proses belajar (aktif atau pasif). Proses pembentukan ini banyak mempergunakan dasar dan konsep psikologi belajar. Dalam usaha mencentak atlet yang baik perlu usaha keras dan berbagai pihak. Pada atlet pemula atau muda usia, peran serta dari keluarga (orang tua) besar sekali, dari minat dan bakat, dari kemampuan teknis sebagai bakat (potensi) yang dimiliki harus bisa di munculkan (aktualisasi) menjadi prestrasi.

C. Psikologi kepribadian L.Cooper (1969) telah melakukan penelitian dalam jangka waktu lama, yakni dari tahun 1937 sampai tahun 1967. Ia menyimpulkan antara lain : that atheletes wereclearly achievement oriented. Aspek kepribadian yang cukup dominative dalam penampilan atlet ialah motivasi, emosi dan kognisi.

D. Psikologi Sosial Proses sosialisasi menjadi salah satu aspek yang perlu mendapat pehatian khusus, agar pandangan dan sikap-sikapnya terhadap orang lain tidak menjadi sempit. Kepercayaan diri berkaitan pula dengan pengaruh sekelilingnya. Dalam hal ini yang jelas adalah pengaruh penonton. Penonton adalah sekelompok massa yang bisa menekan perasan atlet,

sekalipun dalam hal-hal tertentu dapat menjadi pendorong positif kearah penampilannya yang optimal. Pendekatan psikologi social dapat diarahkan untuk mengubah sikap penyesuaian diri serta kepercayaan diri seorang.

E. Psikometri Penilaian terhadap atlet merupakan usaha untuk menentukan langkah-langkah dalam pembinaan lebih lanjut atau mengambil tindakan-tindakan cepat sesuai dengan kebutuhannya. Penilaian ini menjadi masalah yang rumit dalam olahraga. Seorang pelatih tinju bisa menilai kelemahan-kelemahan petinjunya, meskipun penilaian itu tidak selalun sama dengan pelatih lain. Demikian pula pelatih-pelatih lain dalam cabang olahraga tennis, tennis meja, bulu tangkis, taekwondo, pencak silat, bahkan juga dalam olahraga kelompok seperti bola basket, bola voli dan sepak bola. Kreteria untuk melakukan penilaian acapkali tidak jelas, kabur dan terlalu penyusunan tes agar validitas dan reliabilitasnya terjamin. Penggunaan psikometri harus menjadi kebijaksanaan dan bahkan peraturan sehingga semua hal, yang akan ditentukan mengenai kepribadian atlet dapat dilakukan dengan dasar patokan yang mantap.

2.3 KEPRIBADIAN Seorang atlet dasarnya tidak dapat dipisahkan dangan kepribadianya, karena manusia dengan segala potensi dan tingkahlakunya merupakan kesatuan yang utuh (integrated). Berdasarkan teori pendekatan elekticholistic, individu (atlet) dipandang sebagai keutuhan organic biologi, psiko-edukatif, sosio-kultural dan spiritual yang satu sama lain saling mempengaruhi dan saling menentukan sehingga tidak dapat dipisahkan. Menurut pendekatan Humanistik, manusia itu mempunyai potensi (fisik, psikis dan social) yang dapat dikembangkan, sehingga dapat memiliki kepribadian dewasa dan terpadu (integrated personality).

2.3.1 Peran Masing-masing Fungsi Kepribadian Dalam Kehidupan

1. Fungsi organ-biologik, yang mencakup fungsi fisik, anatomi dan fisiologi secara nyata dapat diamati dan di ukur. 2. Fungsi psiko-edukatif secara luas adalah fungsi kejiwaan atau mental dan secara khusus adalah fungsi kepribadian yang bersifat abstrak, tak mudah diamati dan di ukur. 3. Fungsi social cultural adalah fungsi social dan budaya yang ikut berpengaruh dalam kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Fungsi ini bersifat absttrak dan tak mudah di ukur, namun lebih mudah di bicarakan 4. Fungsi spiritual adalah fungsi yang berhubungan dangan keyakinan hidup maupun halhal yang bersifat moral. Maka dari itu seorang atlet dengan segala potensi, ketrampilan dan penampilannya tidak dapat dipisahkan dengan tingkah laku atau kepribadiannya.

2.3.2 Konsep Tentang Kepribadian akan dikemukakan sacara singkat berbagai pengertian atau definisi di tinjau dari berbagai disiplin ilmu : a. Dari Etimologi, kepribadian adalah sesuatu yang dimiliki seseorang yang membedakan mutu pribadinya dari pribadi orang lain. b. Dari Teologi, misalnya menurut : 1. Agama Hindu, kepribadian merupakan tiga anggota dan ligkaran semesta yaitu Brahma, Syiwa dan Wisnu. 2. Agama Kristen, kepribadian adalah anggota trinitas yang setara dengan Inner Self yang hakiki. 3. Agama Islam, ada kepribadian yang hakiki dan yang Mijizi. Hakiki adalah Pribadi Tuhan Y.M.E, yang bersifat mutlak, yaitu sebagai pencipta. Sedangkan Mijizi yang di ciptakan (manusia) yang tunduk pada hokum waktu dan tempat serta mengikuti proses alam. 4. Dari Filosofi ternyata banyak sekali pandangan tentang kepribadian yang dikemukakan diantaranya : John Locke, kepribadian adalah bukan sifat kesadaran akan diri sendiri, melaikan pada pikiran, wujud inteligensi yang mempunyai akal pikiran, dan dapat memikirkan diri sebagai diri sendiri. d. Dari Hukum kepribadian sering diberikan pengertian sebagai suatu kesatuan masyarakat yang sejati dan setia hidup dalam suatu kehidupan yang berkaitan. e. Dari Sosiologi kepribadian adalah integrasi dari sifat biologis yang menetapkan peranan dan status orang di dalam masyarakat dan terbentuknya kepribadian karena pengaruh social.

f. Dari Biologi misalnya menurut Cerl May, kepribadan itu adalah apa yang nampak atau tingkah laku yang terlihat secara lshiriah sehingga merangsang orang lain ( nilai rangsang yang ada pada diri seseoarang ). g. Dari fisikolog kepribadian adalah pola tertiggi yang mengespresikan intergritas dan cirriciri khas tingkah laku individualisme tersebut.

2.3.3 Pendekatan Studi Kepribadian

Teori Psikodinamik

Pelopornya adalah Sigmud Freud, akan tetapi dalm perkembangan selanjutnya pengikut psikoanalisa / psikodinamik ini mengusulkan diadakan perubahan-perubahan dari teori Freud yang asli, maka muncul tokoh-tokoh Neo Freudian seperti Erik Erison. Teori Psikodinamik Freud adalah cara-cara terapi terhadap gangguan kepribadian terutama didasarkan atas observasi klinis yang ekstensif pada pasien neurotic dan dari analisis diri.

Teori Trait atau Sisat (trait theory)

Teori trait ini di pelopori oleh Gordon W. Allport dan tidak akan di bahas panjang lebar. Posisi dasar trait (sifat) dapat diterangkan dengan istilah sifat yang dimiliki individu. Sifat-sifat ini dipandang sebagai sinonim dengan predisposisi untuk bertingkah laku secara khas. Sifat-sifat ini dilihat sebagai sesuatu yang stabil, lestari dan konsisten terhadap berbagai macam situasi yang berbeda.

2.4 KEPRIBADIAN ATLET 2.4.1 Pengukur Kepribadian Atlet Pengukuran kepribadiaan atlet / calon atlet, yang lazim di gunakan psikolog, adalah metode observasi, wawancara atau test psikologik. Pemilihan dalam menggunakan metode yang tepat dan efisien digunakan seruan dengan kebutuhan dan tujuannya.

Hasil pemeriksaan psikologis yang komplit dan terperinci dapat memberikan gambaran keadaan kepribadian atlet, baik yang berhubungan dengan inteligensinya maupun aspekaspek kepribadiaan lainnya, misalnya : sikap kerja, minat dan sebagainya. Para psikolog alahraga seperti C.H. Cofer dan W.R. Johnson (1960) membedakan teknik pengukuran kepribadiaan atlet ini dalam 3 macam yaitu : 1. Reting Scale. 2. Unstructured Projective Test. 3. Questionaires. Yang paling umum digunakan dalam psikologi olahraga adalah questioner, karma sifatnya lebih obyektif, sah dan handal, terdiri dari Unstructured Projective Test seperti Rorschach, TAT (Thematic Apperception Tast), Draw A Man (DAM), dan sebagainya.

2.4.2 Kepribadian Dan Penampilan Atlet Sejak tahun 60-an beberapa psikolog olahraga berusaha untuk menjelaskan hubungan antara kepribadiaan dan penampilan atlet. Kebanyakan menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara kepribadian dan beberapa aspek penampilan atlet. Banyak kasus menujukan bahwa secara statistic ada hubungan korelatif, tetapi bukan hubungan sebab akibat. Sementara itu dari statistic dapat di simpulkan bahwa dalam kehidupan atlet ada hubungan erat kemampuan dan sifat ekstroversinya (Menurut Kane 1980), dan yang tak dapat disimpulkan adalah : apakah keistimewaan kepribadiaan itu penyebab penampilan yang istimewa. Laporan kronologis Cofer Johnson (1960), yang meringkas tentang kepribadian dari berbagai kelompok atlet, menolak pendapat umum mengenai adanya hal-hal yang bersifat khusus pada atlet, B.C. Ogilve (1968, 1976) dipihak lain meringkas sebagai macam penyelidikan dan menyimpulkan ada 8 sifat khusus yang sangat erat dangan penampilan atlet, yakni emotional stability (kematangan emosi), tough mindedness (keuletan), conscientiousness (kecermatan), self discipline (tertibdiri), self assurance (yakin diri), low tension (ketegangan kecil).

2.4.3 Pengaruh Pelatih Pada Kepribadian Atlet Sebagian besar waktu dan energi dicurahkan untuk berpartisipasi dalam olahraga. Semakin dekat hubungan antara pelatih dan atlet, semakin besar kemungkinan seorang atlet meniru sebagai kepribadian pelatih. Ahli psikologi yang bekerja untuk suatu regu mendapati bahwa regu yang berhasil, pelatih dan pemain biasanya mempunyai data kepribadiaan yang hamper sama. Sedangkan dalm

regu yang sering kalah ditunjukan ketidaksamaan profil kepribadian antara pelatih dan atlet. L.B. Hendry (1969) membandingkan estimasi beberapa pelatih dan perenang yang berprestasi internasional tentang pelatih ideal sebagai berikut : nampaknya pelatih terkenal dan perenang top mempunyai kesamaan sifat, yaitu dominant, stabil, berinteligensinsi dan teliti, realistis, praktis, percaya diri, berkemauan keras, dan membuat keputusan sendiri. Perenang mempunyai kepribadian seperti ini dapat mengatasi krisis dalam kompetisi, demikian pula pelatih yang berkepribadian seperti ini, dapat mengorganisasikan dan mengontrol atletnya. B.S, Rushall (1970) tidak terlalu percaya pada data statistic dan mengatakan kira-kira sebagai berikut : Buat pelatih yang percaya bahwa kepribadian adalah penampilan, maka metode ini membantu sebagai prosudur seleksi atlet.

2.4.4 Perubahan Kepribadian Dari Pengalaman Berolahraga Kepribadian di tentukan oleh factor genetica dan pengalaman lingkungannya. Kepribadian banyak dipengaruhi oleh kegiatan olahraga. Selanjutnya L. Gedda (1964) dan lainnya mengemukakan bahwa atlet Olimpiade dan keluarganya melakukan aktivitas olahraga yang sama. Hal ini menujukan bahwa kualitas fisik dan psikis yang khusus berasal dari keturunan yang sama. B.C. Olgive (1968) menyatakan bahwa : 1. Karena sukses pada kompetisi, wanita lebih percaya diri dan kurang ketrgantungan. 2. Kompetisi meningkatkan kesetabilan emosi. 3. Dengan meningkatnya umur, ketegangan dan rasa takut berkurang, lebih mampu mengontrol diri. J.W. Kistler (1957) menemukan sikap yang kurang baik diperhatikan oleh mahasiswa perguruan tiggi yang punya berbagai pengalaman olahraga di bandingkan dengan mahasiswa yang bukan atlet. Juga D.Richardson (1962) mengatakan bahwa berbagai atlet juara menujukan kualitas yang kurang simpatik di bandingkan dengan atlet biasa. Sngat sukat untuk merumuskan apakah kekhususan ini adalah hasildari pengalaman olahraga, atau atlet menjadi sukses karena mereka memiliki sifat khusus ini. Namun demikian, kelihatannya terdapat kaitan antara nilai ideal masyarakat dan kenyataan tingkah laku atlet yang banyak mengikuti kompetisi.

2.5 MOTIVASI DALAM OLAHRAGA Berbagai permasalahan di dalam pembinaan olahraga merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh para pembinaan olahraga di Indonesia. Sentral permasalahan pembinaan olahraganya sendiri di Indonesia menjadi hancur. Sebagai orang berpendapat bahwa atlet kurang dimotivasi untuk berprestasi. Berbagai upaya diharapkan dapat meningkatkan motivasi atlet termasuk di dalam pemberdayaan motivator dengan harapan agar atlet termotivasi untuk berprestasi. Hanya sayang sampai saat ini dampak pemberdayaan motivator belum juga dirasakan, karena: 1. Mungkin rumusan motivasi itu sendiri belum berjalan jelas, seolah-olah hanya menbangkitkan semangat jua kepada prajurit untuk berperang.Karna motivasi bukan satusatunya factor yang menjadi kendala bagi etlet untuk berprestasi, kerna di dalam oahraga setidaknya sejumlah aspek seperti kondisi, emosi dan prilaku, di samping motivasi memiliki peranan yang sama pentingnya dalam mempengaruhi prestasi atlet (Smith, 1993). 2. Motivasi baik bersifat Intrinsik maupun Eksrtinsik harus terarah pada suatu sasaran tertentu. 3. Motivasi di pengaruhi oleh beberapa factor yang sangat komplesk, termasuk didalamnya intensitas atau dasarnya tekanan (strees) yang menghambat seseorang untuk mengembangkan motivasinya (Weingerg & Gould 1995).

2.5.1 PENGERTIAN MOTIVASI 1. Menurut David Krech (1962), motivasi adalah kesatuan keinginan dan tujuan yang menjadi pendorong tingkah laku. 2. Menurut Barelson dan Steiner (1980), motivasi adalah kekuatan dari dalam menggerakan dan mengarahkan atau membawa tingkah laku kearah tujuan. 3. E.J. Murray (1994), motivasi adalah factor internal dari dalam yang mengintergransikan tigkah laku seseorang. 4. M.L Kalmesh (1983), motivasi adalah kecendrungan yang mengarahkan dan memilih tingkah laku yang terkendali sesuai dengan kondisi dan kecendrungan mempertahankan sampai tujuan tercapai. 5. Robert.N. Singer (1986), motivasi adalah dorongan untuk mencapai tujuan, Robert Singer membagi dua dorongan: Fisik dan Motif sosiai 6. W.S. Winkel (1983), Wahjosumidjo (1985), Kemlesh (1983), membagi motivasi menjadi dua:

Motivasi Intrinsik Motivasi Ekstrinsik

2.5.2 TEORI MOTIVASI Ada beberapa teori motivasi yang cukup menarik untuk di bicarakan, yakni Teori Hedonisme, Teori Naluri, Teori Kebudayaan, Teori Kebutuhan dan Teori Berprestasi.

1. Teori Hedonisme Teori ini mengatakan bahwa manusia memilih aktifitas yang menyenangkan dan mengenyampingkan yang tidak menyenagkan. 2. Teori Naluri Setiap manusia memiliki naluri yang berbeda-beda, seperti naluri mempertahankan diri, mengembangkan diri dan mengembangkan jenis. 3. Teori Kebudayaan menghubungkan Teori ini menghubungkan tingkah laku manusia berdasarkan pola kebudayaan tempat ia berada. 4. Teori Kebutuhan Pada dasarnya manusia mempunyai banyak kebutuha fisik maupun psikis. Kebutuhan fisik seprti makan, minum, oksigen. Sedangkan kebutuhan psikis seperti afeksi (rasa kasih sayang), aman, aktulisasi (meningkatkan diri).

Maslow membagi kebutuhan manusia pada lima tingkatan: 1. Kebutuhan mempertahankan hidup (psychological Needs) 2. Kebutuhan rasa nyaman (Safety Neesd) 3. Kebutuhan sosial (Sosial Neesd) 4. Kebutuhan akan penghargaan / harga diri (Esteem Neesd) 5. Kebutuhan aktualisasi diri (Self Actualization)

5. Teori Berprestasi Mendorong individu untuk berperestasi.

2.5.3 MOTIVASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK 1. Motivasi Intrinsik Motivasi Intrinsik adalah dorongan dari dalam yang menyebabkan individu berpartisipasi. Dorongan ini bawaan sejak lahir sehingga tidak dapat di pelajari.

2. Motivasi Ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik adalah dorongan yang berasal dari luar individu yang menyebabkan individu berpartisipasi dalam olahraga. Dorongan ini berasal dari pelatih, guru, orang tua, bangsa atau berupa hadiah, sertifikat penghargaan atau bunus. Motivasi ekstrinsik dapat di pelajari dan tergantung pada besarnya nilai penguat itu dari waktu ke waktu.

2.5.4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI Menurut Krech, R.S. Crutchfield dan E.L. Ballachey (1962), motivasi di pengaruhi oleh : pengalaman akan pemenuhan kebutuhan, perasaan dan pikiran dalam diri individu, dan lingkungannya. Menurut Kemlesh (1983), kondisi factor yang mempengaruhi motivasi dalam pendidikan jasmani dan olahraga adalah: 1. Sehat fisik dan mental. Kesehatan fisik-psikis merupakan kesatuan organis yang memungkinkan mitivasi berkembang. 2. Lingkungan yang sehat dan menyenangkan. 3. Fasilitas lapangan dan alat yang baik untuk latihan. 4. Olahraga yang disesuaikan dangan bakat dan naluri. 5. Program pendidikan jasmani yang menuntut aktivitas.

Motivasi keolahragaan di pengaruhi oleh faktor intern dan ekstren. Faktor intern adalah bawaan atlet, tingkat pendidikan, pengalaman masalalu, cita-cita dan harapan individu. Faktor ekstern adalah fasilitas, sarana, dan lapangan, metode latihan dan lingkungan.

2.6 TEKNIK MENINGKATKAN MOTIVASI

Beberapa teknik untuk meningkatkan motivasi adalah teknik verbal, tingkah laku, insentif, supertisi, cintra mental.

2.6.1 Teknik Verbal Teknik Verbal dapat dilakukan dengan cara :


Pembicaraan yang dapat membangkitkan semangat Pendekatan terhadap individu Diskusi

Langkah-langkah yang perlu di perhatikan dalam melakukan taknik verbal yaitu sebagai berikut : a. Memberikan pujian terhadap apa yang telah dilakukan oleh atlet dan jelas apa yang dibuatnya. Untuk memberikan atlet agar percaya diri dan mampu menampilkan kemampuanya dangan baik. b. Berikan koreksi dan sugesti c. Berikan semacam petunjuk yang dapat meyakinkan atlet bahwa dengan latihan yang baik ia dapat mengatasi semua kelemahan.

2.6.2 Teknik Tingkah Laku (Behavioral) Keberhasilan atlet dalam latihan maupun dalam pertandingan menuntut sikap tertentu, seperti jujur, sportif, tekun, kreatif, dinamis, dan dedikasi yang tinggi terhadap tugas-tugas dan latihan. Agar dapat di wujudkan menjadi tingkah laku atlet, maka pelath harus memperagakan sikap-sikap tersebut dalam tingkah laku sehari-hari.

Teknik ini menekankan relasi antara pelatih dan atlet. Peltih hendaknya berlaku sebagai bapak terhadap anak-anaknya, pada saat-saat tertentu berlaku sebagai pemimpin tehadap anggota dan sebagai guru terhadap muridnya.

2.6.3 Teknik Insentif Teknik insentif ini memberikan hadiah yang berupa materi atau lainnya. Tujuan teknik ini ialah menambah semangat berlatih atau bertanding, meningkatkan gairah untuk berprestasi, meningkatkan kosentrasi dan menenangkan pertandingan.

2.6.4 Supertisi Supertisi adalah kepercayaan akan sesuatu yang secara logis atau ilmiah kurang diterima, namun di anggap membawa keberuntungan dalam bertanding atau kopentisi. Contoh bagi pemain bola, sepatu bola yang harus dipakai mulai kaki kanan, masuk pertandingan harus melangkah kaki kanan.

2.6.5 Citra Mental (Mental Image) Citra mental dimaksudkan melatih atlet membuet gerak-gerakan yang benar melalui imajinasi. Setelah gerak-gerakan dimatangkan dalam imajinasi kemudian benar-benar dilaksanakan untuk dievaluasi.

2.7 MOTIVASI DAN STRATEGI MENINGKATKAN MOTIVASI ATLET

2.7.1 Fungsi dan Relevan Motivasi dalam Olahraga Mengenai fungsi-fungsi motivasi manusia pada umumnya dan para atlet khususnya sangat penting bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia plahraga, baik para pelatih, pembinaan dan atlet sendiri. Untuk itu pengetahuan dan usaha-usaha mengenal motivasi sangat diperlukan oleh pihak-pihak tersebut. Selanjutnya Carron, ada empat factor yang mempengaruhi motivasi. Keempet factor tersebut oleh Carron dikelompokan atas demensi-demensi sebagai berikut:

1. Demensi dalam diri atlet sendiri. 2. Demensi hasil-hasil penampilan atlet. 3. Demensi kompetisi. 4. Demensi kekuasaan tugas atlet yang mencakup upan balik yang diberikan oleh pelatih.

2.7.2 Masalah-masalah Mengenai Motivasi Masalah motivasi intrinsic dan ekstrinsik mula-mula timbul bukan dalam dunia olahraga, melaikan dalam kegiatan manajerial dunia bisnis sejak tahun 20-30 tahun yang lalu. Edward deci (1978) merumuskan motivasi intrinsic sebagai berikut : .Intrinsically motivated behaviour is behaviour which is motivated by a persons innate need to feel competent and self determining in dealing with his environment. Rumusan diatas menujukan bahwa makin orang merasa bahwa tindakan-tindakannya ditentukan oleh dirinya sendiri, dengan demikian mungkin perasaan mampu, makin tinggi motivasi intrinsiknya.

2.7.3 Strategi Peningkatkan Motivasi dalam Olahraga Telaaah strategi peningkata motivasi dalam olahraga yang diciptakan dan dikembangkan oleh para ahli memberikan kesan bahwa masing-masing strategi yang telah mereka susun hanya menyentuk aspek morivasi dan prilaku tertentu yang diharapkan dari para atlet. Kekhususan strategi itudapat dilihatdari petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan program latihannya, yakni : Sasaran prilaku harus dirumuskan dalam istilah-istilah yang nyata dan teramati. Sasaran prilaku harus dirinci dengan jelas. Latihan harus dipantau secara konsisten. Nyatakan dengan jelas factor-faktor yang berpengaruh. Pergunakan sekurang-kurangnya system ngajar. Jangan terlalu banyak berfikir.

Taat azaslah. Hal yang sangat mengembirakan dalam psikologi olahraga pada umumnya dan strategi atau program peningkatan motivasi dalam olahraga pada khusus nya adalah makin berkembangnya pandangan yang lebih luas dan dinamis mengenai tindakan olahraga, yang tidak disoroti semata-mata dari sudut atlet sendiri melainkan dari proses interaksi antara atlet dan situasi.

2.7.4 Strategi Alderman untuk motivasi Atlet Muda Usia Menurut Alderman, ada dua hal yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh pelatih yng ingin menyusun strategi tersebut, yakni : pemahaman terhadap motivasi atlet-atlet muda usia dan terhadap lingkungan olahraga. Motivasi atlet muda, menurut Alderman, lebih merupakan motivasi intensif, di dalam kegiatan olahraga itu mereka menemukan berbagai pengalaman yang memperkuat partisipasi mereka. Setelah mengetahui motivasi-motivasi yang dominan, maka pelatih perlu menciptakan situasi yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, yakni situasi dan suasana yang memberikan kesempatan unruk menggambarkan kemampuan (excellence), suasana kelompok yang akrab (affiliation), dan situasi yang mengelorakan semangat bertanding (stress). Untuk itu para pelatih perlu mengenal dan memahami benar kehidupan pribadi atletnya, serta mampu memanfaatkan lingkungan (temasuk pelatih) serasi, maka dapat di harapkan prestrasi-prestrasi yang baik akan bermunculan.

2.8 KETEGANGAN DAN KECEMASAN

2.8.1 Kesiapan Atlet Dalam upaya untuk mencapai suatu prestasi seorang atlet harus memiliki potensi jasmaniahrohaniah, factor lain yang mempengaruhi pencampaiaan prestasi misalnya : cuaca, tempat pertandingan, alat-alat dan sebagainya (factor exsternal)., dan juga dibutuhksn program pembinaan di aspek psikologis yang menunjang berprestasi diantaranya : 1. Motivasi tinggi

2. Aspirasi kuat (keinginan) 3. Ketahanan mental 4. Kematangan pribadi Dan pembinaan psikologis yang dapat menggagu pencapaian prestasi diantaranya : 1. Ketegangan / kecemasan 2. Motivasi rendah 3. Obsesi 4. Gangguan emosional 5. Keraguan / takut

2.8.2 Ketegangan atau Kecemasan pada Atlet Istilah lain dari ketegangan / kecemasan yang popular di sebut stress. Stress adalah tekanan / suatu yang terasa menekan dalam diri seseorang, ketegangan timbul dari factor dalam dan dari luar. Kecemasan adalah suatu reaksi situasional dari ketegangan, dalam olahraga kompetitip akan muncul situasi tegang yang potensial. Tanpa ketegangan menjelang pertandingan atlet dapat dinyatakan masih tidur, ketegangan yang dimaksudkan sebagai kesiapan mental. 2.8.3 Sumber Ketegangan

Sumber ketegangan dari dalam maksudnya penyebab ketegangan berasal dari atlet sendiri, contohnya adanya pikiran negative karma di cemoohkan atau di marahi, adanya pikiran puas diri, atlet sangat mengandalkan kemampuan teknisnya. Dari luar, contohnya rangsangan yang membingungkan, pengaruh masa, saingan yang bukan tandingannya, kehadiran atau ketidak hadiran seorang pelatih.

2.8.4 Gejala Ketegangan a. Gejala fisik


Gelisah Peregangan pada otot-otot ekstermitasPerubahan irama pernapasan Terjadinya kontraksi otot setempat, pada dagu, sekitar mata dan rahang

b. Gejala fisikis

Gangguan pada perhatiaan dan kosentrasi Perubahan emosi Menurunnya rasa percaya diri Timbulnya obsesi Tiada motivasi

2.8.5 Dampak Ketegangan Terhadap Kemampuan Gerak Ketegangan / stress sebenarnya yaitu istilah fisikal yang berarti penggunaan kekuatan besar terhadap objek untuk merusak / merubah bentuknya. Dampak ketegangan bisa fisik / mental, sebab ketegangan merupakan rangsangan yang mengganggu keseimbangan organisme baik biologis ataupun psikologis. Hal ini membuktikan adanya hubungan tombal balik psiko-fisik, bila aspek psikis terganggu maka fungsi fisik juga ikut terganggu yang pada gilirannya akan menggu keterampilan motorik.

2.9 EMOSI 2.9.1 Pengertian Emosi Emosi adalah keadaan mental yang ditandai oleh perasaan yang kuat dan diikuti ekspresi motorik yang berhubungan dengan suatu objek atau situasi exsternal. Suatu emosi dapat berubah-ubah dari saat lain ada emosi nya stabil ada juga yang labil. Emosi dapat berupa takut, marah, gembira, tegang, kecewa dan rasa cemas. Cemas merupakan pengaruh emosional yang besar dalam penampilan dan prestasi. Gejolak emosi yang ditandai teggang (strees) adalah momok bagi atlet karena dapat menggangu keseimbangan, misalnya : gemetar, lemas, kejang otot, membuyarnya kosentrasi atau tidak focus. 2.9.2 Anatomi Otak Susunan syaraf manusia terdiri dari susunan syaraf perifer dan susunan syaraf pusat terdiri dari otak dan sumsum atak belakang. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), batang otak (medulla oblogata), dan jembatan otak (pons cerebri).

Bagian otak yang terlibat dalam emosi atau rasa cemas ialah cotex cerebri (bagian otak luar, cerebrum) 2.9.3 Keadaan Siaga Keadaan siaga adalah istilah netral yang mencerminkan aktifitas susunan syaraf simpatis. Meningkatkan kesiagaan menyebabkan menyempitnya bidang perhatian atlet. Drajat kesiagaan yang sangat tinggi menyebabkan distrabilitas yaitu gejolak dimana atlet tak dapat berkosentrasi terhadap hal yang spesifik. Distrabilitas marupakan indikasi yang jelas bagi atlet bahwa kesiagaan yang terlalu tinggi itu perlu di turunkan.

2.9.4 Rasa Cemas pada Atlet Rasa cemas adalah suatu perasaan subjektif akan kekekuatan dan meningkatnya kegairahan secara fisiologik. Trait anxiety (tarit-A) gambaran kepribadian. Perasaan yang takut akan ketakutan dan ketegangan di ikuti dengan naiknya aktifitas fisiologik. Sumber eksternal kecemasan bagi atlet dapat berupa, pertandingan itu sendiri, factor penonton atau sarana keberhasilan yang di tentukan baik oleh pelatih, masyarakat atau yang berwenang. 2.9.5 Kompetisi dalam Olahraga dan Rasa Cemas Kompetisi dalam olahraga adalah salah satu contoh situasi objekrif yang dapat meningkatkan state-A atau stress. Ada beberapa factor perasaan cemas yang di rasakan oleh atlet yaitu : 1. Factor acaman terhadap ego, misalnya bila atlet bermain buruk di keritik pelatih di depan orang banyak. 2. Faktor antisipasi positif, misalnya hasil pertandingan belum di tentukan tetapi sudah ada keinginan akan suatu hasil hal ini terjadi bila dua tim sama-sama mengharapkan kemenangan. 3. Kepastian adanya hasil negative, misalnya rasa cemas ini di alami tim yang mempunyai riwayat kegagalan dan sudah merasa kalah lagi dalam pertandingan mendatang.

Rasa cemas sebelum kompetisi Rasa cemas sebelum kompetisi menghasilkan dua factor penting yaitu: 1. Pola perasaan cemas pada atlet yang berpengalaman lama seringkali berbeda dengan atlet yang belum berpengalaman.

2. Rasa cemas sebelum kompetisi menurut grafik U-terbalik. W.D fenz (1975) atlet yang berpengalaman maupun yang belum berpengalaman, kecemasan naik sampai satu puncak dan kemudian menurun secara bertingkat pada saat benar-benar meloncat, pada terbang laying.

2.9.6 Hubungan antara Penampilan dan keadaan siaga Disini tugas pelatih adalah menolong atlet untuk mencapai tigkat kesiagaan yang optimal sehingga menghasilkan penampilan yang terbaik. Ada dua teori dasar mangenai hubungan penampilan dan kesiagaan yaitu: Teori U-terbalik adalah teori multidimensional tentang penampilan dan factor belajar. Teori ini mencakup banyak sub teori yang menerangkan mengapa banyak antara kesiagaan dan penampilan bentuk kurva kwadrat. Sedangkan teori dorongan menujukan adanya hubungan linier antara kesiagaan dan penampilan.

2.9.7 Mengukur Kecemasan Untuk mengukur trait-A terdapat beberapa test :


Taylor Manifest Anxiety (TMAS) test ini terdiri dari 50 item dangan alternative jawaban ya/tidak. Spielberger Trait Anxiety Inventory (TAI) untuk mengukur general non transitory anxienty. Test ini terdiri dari 20 item. Sport Competition Anxiety Test (SCAT) merupakan modifikasi TAI yang dikembangkan oleh R Martens. Terdiri dari 15 item, jawaban dalam bentuk 3 skala Likert.

2.10 AGRESIVITAS DALAM OLAHRAGA 2.10.1 Pengertian Agresivitas

Agresivitas adalah pola laku yang dibudidayakan untuk mencedrai. Dari pengamatan berbagai pola laku agresif dan agresivitas dapat di simpulkan bahwa : agresivitas merupakan pola laku permusuhan yang bisa di wujudkan dalam penyerangan atau dalam bentuk mempermainkan, menggoda orang lain. Menueut k. Lorenz, agresivitas merupakan dorongan alami yang wajar dan perlu penyaluran untuk mencegah timbulnya permusuhan. Teori yang senada dengan teori Lorenz, mengatakan bahwa manusia mempunyai dorongan agresif sebagai penggerak agresivitas yang muncul secara teratur. Pola laku agresif mempunyai fungsi khusus dalam mempertahankan suatu jenis yakni Phylogenetis. Bertolak dari fungsi pertahanan, agresivitas bisa di golongkan dalam dua, yaitu agsesivitas interspecies dan agresivitas intraspecies. J Dollard dkk melakukan penelitian untuk mencari sebab-sebab dan sifat-sifat agresif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

Agresivitas merupakan prilaku yang mempelajari dan diperolah melalui ulangan penguatan (reinforcement) dan persyaratan (conditioning) Agresivitas dipelajari pada situasi social dangan cara mengamati dan meniru prilaku orang lain.

2.10.2 Agresivitas Dalam Olahraga Untuk mengurangi kericuhan dan sgresivitas yang timbul, maka pertandingan di luar lingkungan sekolah sendiri sangat dibatasi. Bahkan pertemuan antara kelas, yang di bisa menyebabkan agresivitas, juga diadakan. Uji kemampuan cabang olahraga beregu tidak hanya diselingi oleh kekerasa fisik antara pemain, tetapi sering diakhiri dengan kekerasan fisik penonton. Peristiwa bentrok fisik pada pertandingan ataupun sesuai pertandingan ataupun sesuai pertandingan terjadi di mana-mana. Ada beberapa pandangan mengenai olahraga dan agresivitas. Barry M. Mongillo : olahraga meningkatkan kesehatan mental dan kesejastraan jiwa. Olahraga bisa membebaskan permusuhan yang dialami, agresivitas dan persaingan. Olahraga mengurangi kenakalan, kesejahatan dan fisik.

2.10.3 Pola Laku Agresif Dan Agresivitas Agresivitas berhubungan erat dengan kekerasan fisik yang bertujuan mengurangi kondisi fisik pihak lainnya agar dapat memastikan kemenangannya. Ada beberapa sebab agresivitas.

Sebab yang bersal dari luar pertandingan, yaitu berpangkal pada kombinasi alienasi dan anatomi social dan berpangkal pada pertentangan-pertentangan yang sudah ada. Sebab yang timbul dalam arena pertandingan, yaitu mencari sumber ketegangan dan olahraga sebagai penggati perang.

Faktor yang mempercepat timbulnya keributan dan kekerasan 1. Penggemar tidak realistis terhadap penampilan regu, berharap terhadap regu terlalu tinggi. 2. Ikatan yang penggemar dan regu pujaannya. 3. Hasil pertandingan regu pada pertandingan sangat berbeda. 4. Wasit dan ofisial kurang kompoten, terlalu memihak pada salah satu regu yang bertanding. 5. Banyak pelanggaran pada pemulaan pertandingan.

2.10.4 Usaha Prevantif Terhadap Tingkah Laku Agresif Penonton Dan Atlet Dilakukan dengan 2 (dua) Cara : 1. Umum : melalui jalur pendidikan moral formal dan informal mengembangkan nilai dan moral. 2. Khusus : melalui bimbingan atlet, khususnya kepribadian atlet. Atlet perlu mengalami internalisasi peraturan cabang olahraga yang ditekuni.

2.11 MENTAL TRAINNING 2.11.1 Meningkat Dan Merosotnya Prestasi Atlet Strategi mental training dan perlakuan (treatment) yang di latihkan harus disesuaikan dengan keadaan individual atlet, selaiin harus disesuaikan dengan keadaan sebagian besar anggota team, karena ada mental training yang ditunjukan kepada atlet orang perorang. Sehubungan itu perlu diketahui beberapa gejala yang sering terjadi pada atlet, baik gejala yang perlu dikembangkan, maupun gejala-gejala yang menimbulkan gangguan atau hambatan

pencapaian pertasi. Penetapan strategi mental training selain disesuikan dengan sifat-sifat pembawaan, juga disesuaikan dengan situasi pada waktu itu, misalnya sedang menghadapi pertandingaan yang menentukan atau sesudah kalah pertandingan di mana seluruh anggota tim merasa terpukul dan merasa sangat malu dengan kekalahan yang dialami. 2.11.2 Gejala Psikologik Yang Perlu Dikembangkan Disamping motivasi, ada beberapa gejala psikologik yang sangat penting dan menentukan pencapaian perstasi, yaitu antara lain percaya diri, rasa herga diri, disiplin, tanggung jawab, penguasaan diri, sikap dan konsep diri. Disamping itu, perlu di perhatikan adanya gejala-gejala psikologik yang dapat menimbulkan gangguan, antara lain boredom, fatique, stalene stress, anxiety dan frustasi. Agresivitas yang mengandung segi-segi positif juga dapat berdampak negetif dan perlu di perhatikan dalam upaya peningkatan prestasi.

Motif Berprestasi

Sifat-sifat mitof di antaranya sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. merupakan sumber penggerak dan pendorong dari dalam diri subjek yang terorganisasi terarah pada tujuan tertentu secara selektif untuk mendapat kepuasan atau menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan dapat disadari atau tidak disadari ikut menentukan pola kegiatan bersifat dinamik, dapat berubah dan dapat di pengaruhi merupakan ekpresi dari suatu emosi atau afeksi ada hubungannya dangan unsure kognitif dan afektif motivasi merupakan determinan sikap dan kinerja

Percaya Diri (Self Confidence)

Kepercayaan pada diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam pembinaan mental atlet. Percaya pada diri sendiri akan menimbulkan rasa aman. Kepercayaan diri sendiri biasanya berhubungan erat dengan emotional security makin matap kepercayaan pada diri sendiri makin mantap pula emotional security nya, hal ini akan terlihat pada sikap dan tingkah laku yang tidak mudah bimbang, tenang, tegas, dan sebagainya. Menurut Robert N. Sigger (1984), menghadapi atlet yang kurang percaya diri sendiri (lack of confidence), pelatih dapat membantu atlet merasakan identitas dirinya (sence of identity), yaitu lebih memahami keadaan yang terjadi pada dirinya.

Rasa Harga Diri (Self Esteem)

Kebutuhan akan rasa harga diri tidak akan terpenuhi atau terpuaskan tanpa adanya orang lain, demikian menurut Alderman (1974), dan kebutuhan rasa harga diri ini dapat terpenuhi melalui hubungan interpersonal dengan orang lain (pelatih, sesame atlet, dan penonton). Sehubungan dengan pendapat tersebut, maka rasa harga diri dapat dibina melalui ketergabungan atlet dalam kelompok-kelompok olahrga yang dipandang elite oleh para atlet atau masyarakat.

Disiplin Dan Tanggung Jawab

Disiplin adalah sikap atau kesediaan psikologik untuk menepati atau mendukung nilai-nilai atau norma yang berlaku. Atlet yang disiplin akan berusaha menepati ketentuan, tata tertib, dan biasanya patuh pada pembuat peraturan (Pelatih atau Pembina). Disiplin atlet apabila dikembangkan lebih lanjut dapat menimbulkan kesadaran yang mendalam untuk menepati segala bentuk nilai-nilai, meskipun tidak ada yang mengawasi bahkan akhirnya juga akan mematuhi rancana-rencana yang dibuatnya, sesuai dengan pengetahuan tantang hal-hal yang diaggap baik. Kesadaran yang timbul dari dalam dirinya sendiri, tanpa adanya pengawasan dari orang lain, menimbulakan disiplin diri sendiri. Atlet yang memiliki disiplin sendiri sadar untuk melakukan latihan sendiri, tanpa ada yang memerintah dan mengawasi. Ia sudah mempunyai rasa tanggung jawab untuk menepati dan mendukung nilai-nilai yang diaggap baik dan tepat untuk dilakukan.

Penguasaan Diri

Penguasaan diri erat hubungan nya dengan kematangan emosional atlet, tegas nya atlet yang dapat menguasai diri berarti dapat menguasai emosionalnya dalam menghadapi segala bentuk stimulasi yang tidak cocok dangan perasaannya. Atlet yang dapat menguasai diri berarti juga dapat mengontrol emosinya, dapat menahan nafsu menghadapi kekecewaan, rasa marah, dan sebagainya. John D. Lawter, (1972) mengemukakan bahwa dalam keadaaan overstress threshold, yaitu tingkat batas ambang ketegagan akan terjadi interfrensi (gangguan) dalam penampilan seorang atlet.

2.11.3 Gejala Psikologi Yang Dapat Menimbulkan Gangguan

Boredom, Fatique dan Staleness

Boredom, adalah perasaan jemu tau bosan, sehigga atlet tidak bergairah untuk melakukan latihan-latihan ataupun pertandingan. Boredom terjadi pada atlet apabila latihan-latihan kurang bervariasi, latihan bersasaran penigkatan kemampuan fisik dan kurang memperhatikan aspek psikis atlet, khususnya yang berhubungan dengan minat motivasi atlet. Jenis-jenis kelelahan yang dialami atlet adalah physical fatique atau kelelahan fisik dan mental fatique atau kelelahan mental. Physical fatiqeu terjadi karena atlet mengalami kelelahan otot-ototnya sehigga tidak dapat melakukan aktivitas fisik, terjadi ketegangan otot, badan merasa lemas dan sebagainya.

Stress, Anxiety dan Frustasi

Setiap orang mempunyai ambang stress (stress tershold) tersendiri. Dalam kenyataan dapat terjadi gejala yang dinamakan over-stress threshold, yaitu stress yang memuncak melebihi ambang batas stress yang di kuasai seseorang. Sudah barang tentu hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap penampilan individu yang bersangkutan. Menurut Suparinah dan Sumarno Markam (1982), jika stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus menerus, maka akan timbul kecemasan. Kecemasan adalah suatu perasaan tak berdaya, perasaan tak aman, tanpa sebab yang jelas. Perasaan cemas atau anxiety kalau dilihat dari kata anxiety berarti perasaan tercekik. Menurut Sappenfield (1945) frustasi dapat terjadi pada saat individu mulai melihat adanya gangguan kepuasannya. Apabila pemenuhan kebutuhan atau pencapaian kepuasan tidak terpenuhi, maka atlet dapat mengalami frustasi. Frustasi positif dapat di tafsirkan bahwa pada diri individu yang bersangkutan ada rintangan terhadap kemajuan individu mencapai tujuan, tanpa adanya pengaruh dari luar (perlakuan) yang membatasi tercapainya kepuasan.

Tindakan Agresif

Dalam olahraga sering kita lihat seorang atlet yang mendapat hukuma menjadi marah tidak terkendali, lalu memukul wasit. Tindakan agresif memukul wasit tersebut memungkinkan di landasi keadaan kejiwaan atlet yang mengalami frustasi. Sesuai pendapat Dollard, dkk, yang mengemukakan ; Agression is always a consequence of frustration to mean that frustration always leads to aggressive behaviour. (Magargree & Hokanson, 1970).

Sehubungan dengan tindakan agresif yang dilakukan seseorang, tetapi bukan karena orang tersebut mengalami frustasi, Raven dan Rubin (1976) mengemukakan pandapat beberapa gejala, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Tindakan agresif instrumental Tindakan agresif atas dasar meniru Tindakan agresif atas dasar perintah Tindakan agresif dalam hubungannya dengan peran social Tindakan agresif karena pengaruh kelompok

2.11.4 Menetapkan Strategi Pembinaan Mental Semua upaya pembinaan mental, baik itu perlakuaan sehari-hari, bimbingan dan konseling, maupun mental training, harus terkait dengan tujuan akhir dari mental training maupun pembinaan mental. Chung Sung Tai (1988) juga mengungkapkan pandangan dasar mengenai perlunya mental training agar atlet mencapai prestasi puncak, antaralain di kemukakan perlu di kosentrasi untuk dapat mencapai prestasi tinggi. Menurut Chung Sung Tai di samping pendekatan holistic, maka mental training juga selalu berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan atlet, oleh kerena itu mental training tidak sama antara yang satu dengan bangsa lain. Salah satu tujuan mental training adalah melatih bagaimana menemukan cara-cara untuk mendapat mengontrol diri, cara yang biasa dilakukan sehari-hari untuk mengontrol sesuatu dengan kemampuan penuh kesadaran dan keteguhan hati (tekad yang bulat). Upaya penting dalam mental training adalah menumbuhkan pikiran positif (positive thinking) terhadap sekitar dan juga terhadap diri sendiri, sekitar dan gambaran tentang pribadi ideal, yang diharapkan akan membentuk citra diri. Citra diri dan persepsi diri yang berbeda-beda akan menghasilkan sikap dan tindakan yang berbeda pula.

2.12 SISTEMATIKA PEMBINAAN MENTAL TRAINNING 2.12.1 Prinsip Dasar Mental Training 1. 2. 3. 4. 5. Tidak terlepas dari hukum psiko-psikologi Fisik dan psikis tidak boleh di abaikan Motivasi harus di utamakan / harus selalu di perhatikan Percaya diri Harus di siplin

6. Kemauan yang kuat atau kemauan keras 7. Kosentrasi yang penuh 8. Mampu mengontrol diri 9. Harus dapat mengsugesti diri 10. Pemikiran yang positif 11. Citra diri 12. Konsep diri 13. Rasa tanggung jawab 14. Meditasi

2.12.2 Sistematika Mental Training Mengenai sistematika mental training sebagaimana telah disinggung di muka, Unestahl (1994) mengemukakan pembagian tahap-tahap mental training atas tiga tahap, yaitu (1) mental conditioning, (2) mental skill training, serta (3) mental strength training. Pembagian tahap-tahap mental training ini bersifat umum, dan kiranya perlu dikembangkan lebih lanjut sesuai sasaran dan tujuan terakhir yang akan dicapai. Mengigat setiap atlet memiliki sifat dan kemampuan yang berbeda, yang membutuhkan perhatian khusus dan perlakuan yang berbeda pula, maka mental training harus di dahului dengan penelitian diagnistik, kemudian ditetapkan sasaran yang perlu diperhatikan untuk dijadikan objek atau target perlakuaan. Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh meliputi : (1) penelitian diagnostic, (2) penelitian sasaran, (3) menetapkan strategi perlakuaan, dan (4) bentuk perlakuaan meliputi (bimbingan dan konseling, dan mental training)

2.12.3 Pentahapan Dalam mental Training Hasil penelitian dan studi pustaka tentang citra diri dan konsep diri sudah di bicarakan di muka, dapatlah diajukan sistematika mental training. Penulis aggap sangat penting untuk memberi landasan dasar bertindak dan bertingkah laku, yaitu dengan pembentukan citra diri yang positif konstruktif. Sebagai salah satu perlakuaannya adalah dengan melakukan intospeksi dan pengembangan diri melalaui meditasi.

2.12.4 Latihan Pendahuluan Dan latihan Dasar Latihan pendahuluan mental training (preliminary training) pada dasarnya meliputi latihan dangan sasaran atau tujuan sabagai berikut :

1) Menyiapkan keserasian perkembangan fisik dan mental atlet, meningkatkan proses metabolisme, dan latihan pernapasan, rileksasi, kosentrasi untuk menormalkan fungsifungsi fisiologik dan posikologik. Sistematika Mental Training

Latihan Pendahuluan Meningkatkan kondisi mental dan fisik (rileksasi dan kosentrasi) Pembentukan sikap positif-konstruktif (positive thinking & positive feeling)

Latih Dasar

Pembentukan citra diri Pengendalian emosi, penguasaan diri Meditasi

Latihan-latihan Mental

Latihan kecakapan / ketrampilan mental (mental skill training) Latihan menguatkan mental (mental strength training) Meditasi Pemantapan & Pembentukan Konsep Diri Pemantapan keterampilan dan penguatan mental Pembentukan konsep diri agar mempu menghadapi berbagai permasalahan dan mempunyai rencana hidup yang lebih mantap

Sumber : Sudubyo, 1994. Mental Training Basad on Javanese 2) Menyiapkan fisik dan mental sehigga lebih siap menerima latihan mental, untuk meningkatkan keterampilan dan menguatkan mental.

Latihan Ketrampilan Dan Penguatan Mental

meningkat atau merosotnya kinerja atlet sangat ditentukan oleh kesiapan mental atlet, dan selanjutnya juga ditentukan oleh ketahanan mental atlet. Makin disadari bahwa sifat-sifat kepribadian (personality traits) dan kemampuan kemapuan psikologik sangat berperan dalam meningkatkan kinerja atlet. Kesiapan mental dapat diupayakan dengan latihan keterampilan mental (mental skill training) yaitu suatu keterampilan dalam menyiapkan diri menaggung beban mental, baik beban mental yang berupa hambatan-hambatan yang datang dari diri atlet itu sendiri, seperti kurang rasa percaya diri, merasa belum siap melakukan pertandigan, mengatasi gejolak emosional.

Latihan ketrampilan mental dan latihan penguatan mental harus dilakukan atas dasar penelitian diagnostikndengan menggunakan pendekatan individual. Tiap-tiap individu menujukan sifat-sifat dan kemampuan-kemampuan yang berbeda-beda, serta kekuatan dan kelemahan yang berbeda pula, oleh karena itu, perlu ditetapkan sasaran pembinaan dan program latihan mental sesuai kedaan dan kebutuhan tiap-tiap individu.

Latihan Tingkat Lanjutan Latihan tingkat lanjut ini dimaksudkan untuk pemantapan mental atlet dan pembentukan konsep diri. The ideal performing state (IPS) bukan lah sesuatu yang bersifat tetap, dan dapat berubah apabila atlet belum memiliki kesiapan mental dan ketahanan mental yang kokoh atau mantap, sehubungan itu diperlukan terus-menerus latihan pemantapan mental atlet. Latihan pemantapan mental dilakukan dengan tujuan lebih meningkatkan kemampuan mental atlet dan menguragi hambatan-hambatan yang timbul dari kekurangan yang ada pada diri atlet. Program pemantapan mental ini didasarkan atas asumsi bahwa tidak ada manusia sempurna, jadi atlet pun tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu harus diamati dengan seksama perkembanga sikap dan mentalnya, dalam hubungan ini pendekatan dari aspek kognitif, konatif dan aspek afektif-emosional akan sangat membantu dalam upaya lebih memahami perkembangan kesiapan dan ketahanan mental atlet.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Resume ini mencakup per bab dalam buku ajaran Psikologi Olahraga yang disusun olah Drs. Kopli. Psikologi dalam kehidupan mengembangkan gaya hidup dan mengispirasi, serta pada saat yang bersama membentuk contoh sehat bagi orang-orang yang mencari panduan panduan dan dorongan dalam kehidupan. 3.2 Saran Sebaiknya psikologi dalam diri kita harus di jaga juga, agar kita bisa mengontrol diri kita untuk membentuk karakter kepribadian yang baik. Amin!!!

DAFTAR PUSTAKA

Dikutip dari buku ajaran Psikologi Olahraga yang disusun oleh Drs. Kopli. http://psikologi-olahraga.blogspot.com/2007/05/sejarah-singkat-psikologi-olahraga.html

DAFTAR ISTILAH

Akuisis : Meninitik beratkan pada penelitian guna menghasilkan perolehan Argumentasi : Pendapat Birorientasi : Berdasarkan Biologi : Ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup Conscenctioushess : kecermatan Demintrasi : Dijabarkan, ditentangkan

Desensitization : Pengebalan Efek : Dampak Ego : mementingkan diri sendiri dalam keadaan tertentu Eksperimen : Uji coba Ekstrinsik : Bawaan dari luar Emosi : keadaan mental yang ditandai oleh perasaan yang kuat dan diikuti ekspresi motorik yang berhubungan dengan suatu objek atau situasi exsternal. Emotional stability : Kemantapan emosi Error : Rusak, kesalahan Estimilasi : Pendapat Evaluasi : Proses penilaian Fenomena : Pusat perhatian Focus : Suatu hal untuk pencapaian kosentrasi Formal : Resmi dan berwadah tempat Ganjaran : Hukuman atau peringatan Imitasi : Tiruan Independent : Perorangan Interaksi : Hubungan yang satu dengan yang lain Intrinsic : Bawan lahir Koleksi : Berbagai Macam Kompetinsi : Pertandingan Kompetitif : Berdaya saing Konsep : Susunan Konsisten : Berpegang teguh Kualitas : Kelebihan Lestari : Bertahan Logis : Pemikiran yang berdasarkan logika atau akal sehat Low tension : ketegangan kecil Maksimal : Banyak Mekanisme : Sistem kerja Minimal : kecil Motivasi : Dorongan untuk melakukan sesuatu Neurofik : Sistem saraf inti / pusat Objektif : Mengarah pada sasaran Observasi : Suatu proses yang dilakukan secara merata Observasi lilenis : Pengamatan atas sumber masalah, gangguan atau penyakit Otomatis : melakukan sesutau yang seolah-olah bergerak sendiri atau tanpa fikir Pelopor : Pendiri dan penegak Persentase : Memaparkan, menerangkan Personal data record : Pencatatan data pribadi Potensi : Bakat Predictor : Orang yang memperkirakan Prediktif : Perkiraan Prediktif : Perkiraan Presdiposisi : Sifat Profil : Asal mula

Psikodinamik : Cara terapi terhadap gangguan kepribadian berdasrkan oservasi Psikolog : Orang yang menangani kejiwaan Psikologi : Ilmu yang mempelajari tentang jiwa Psikologis : Berkaitan dengan jiwa Publikasi : Memperkenalkan keorang banyak Questioner : Satuan proses pertanyaan Realitas : Pemikiran yang berdasarkan logika Respon : Tanggapan, reaksi Rigid : Kaku Riset : Pnelitian Seleksi : Penyaringan Self assursnce : Yakin diri Self discipline : Tertib diri Sininim : Persamaan Situasi : Keadaan yang mencakup lingkungan sekitar Sosialosasi : Saling berhubungan satu individu dengan individu yang lain Sparing : lawan dalam suatu pertandingan Stabil : seimbang Supertisi : kepercayaan sesuatu yang secara logis dan ilmiah Terapi : Rileksasi pada satu titik Varian : Bermacam-macam

Pengertian Psikologi Olahraga dengan Methodologi Kepelatihan A. Pengertian Psikologi Olahraga 1. Apakah Psikologi Olahraga?

Sep 23, '08 8:21 PM untuk semuanya

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai yang kompleks. Perilaku manusia ada yang disadari, namun ada pula yang tidak disadari, dan perilaku yang ditampilkan seseorang dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri. Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai psikologi olahraga. Penerapan psikologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa adanya hambatan dan factor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari psikologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya. 2. Mengapa Psikologi Olahraga Diperlukan dalam Olahraga? Meningkatnya stres dalam pertandingan dapat menyebabkan atlet bereaksi secara negatif, baik dalam hal fisik maupun psikis, sehingga kemampuan olahraganya menurun. Mereka dapat menjadi tegang. denyut nadi meningkat, berkeringat dingin, cemas akan hasil pertandingannya, dan mereka merasakan sulit berkonsentrasi. Keadaan ini seringkali menyebabkan para atlet tidak dapat menampilkan permainan terbaiknya. Para pelatih pun menaruh minat terhadap bidang psikologi olahraga, khususnya dalam pengendalian stres. Psikologi olahraga juga diperlukan agar atlet berpikir mengenai. mengapa mereka berolahraga dan apa yang ingin mereka capai? Sekali tujuannya diketahui, latihan-latihan ketrampilan psikologis dapat menolong tercapainya tujuan tersebut.3. Bagaimanakah Psikologi Olahraga Dapat Membantu Atlet Agar Memiliki Mental yang Tangguh? Mental yang tegar, sama halnya dengan teknik dan fisik, akan didapat melalui latihan yang terencana, teratur, dan sistematis. Dalam membina aspek psikis atau mental atlet, pertama-tama perlu disadari bahwa setiap atlet harus dipandang secara individual, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Untuk membantu mengenal profil setiap atlet, dapat dilakukan pemeriksaan psikologis, yang biasa dikenal dengan psikotes, dengan bantuan psikometri. Profil psikologis atlet biasanya berupa gambaran kepnbadian secara umum, potensi intelektual. dan fungsi daya pikimya yang dihubungkan dengan olahraga. Profil atlet pada umumnya tidak berubah banyak dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, orang sering beranggapan bahwa calon atlet berbakat dapat ditelusun semata-mata dari profil psikologisnya. Anggapan semacam ini keliru, karena gambaran psikologis seseorang tidak menjamin keberhasilan atau kegagalannya

dalam prestasi olahraga, karena banyak sekali faktor lain yang mempengaruhinya. Beberapa aspek psikologis dapat diperbaiki melalui latihan ketrampilan psikologis (diuraikan kemudian) yang terencana dan sistematis, yang pelaksanaannya sangat tergantung dari komitmen si atlet terhadap program tersebut. B. Aspek-aspek Psikologis yang berperan dalam OlahragaPengaruh faktor psikologis pada atlet akan terlihat dengan jelas pada saat atlet tersebut bertanding. Berikut ini akan diuraikan beberapa masalah psikologis yang paling sering timbul di kalangan olahraga, khususnya dalam kaitannya dengan pertandingan dan masa latihan. 1. Berpikir Positif Berpikir positif dimaksudkan sebagai cara berpikir yang mengarahkan sesuatu ke arah positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi terlebih-lebih bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berpikir positif, maka akan berpengaruh sangat baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi, dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Berpikir positif merupakan modal utama untuk dapat memiliki ketrampilan psikologis atau mental yang tangguh. Pikiran positif akan diikuti dengan tindakan dan perkataan positif pula, karena pikiran akan menuntun tindakan. Sebagai contoh, jika dalam bermain bulutangkis terlintas pikiran negatif seperti, takut salah, takut out, takut bola pukulannya tanggung dan sebagainya, maka kemungkinan terjadi akan lebih besar. Karena itu cobalah dan biasakan untuk selalu berpikir positif, hindari yang negatif. Demikian juga dalam memberikan instruksi kepada atlet. Daripada mengatakan: Kamu ini susah sekali sih diajarnya, salah terus! Awas, jangan berhenti sebelum bisa!, lebih baik mengatakannya dengan cara yang positif walaupun maksudnya sama: Ayo, coba lagi pelan-pelan, kamu pasti bisa melakukannya. Perhatikan, tangannya, begini langkahnya, ke sini kena bolanya, di sini ayo dicoba. Sebagai pelatih, tunjukkan Anda percaya bahwa atlet Anda memiliki peluang untuk dapat berprestasi baik. Cemooh, celaan, dan kritik yang pedas yang tidak pada tempatnya, justru akan membuat atlet bereaksi negatif dan berakibat akan menurunkan motivasi yang diikuti dengan penurunan prestasi. 2. Penetapan Sasaran Penetapan sasaran (goal setting) merupakan dasar dan latihan mental. Pelatih perlu membantu setiap atletnya untuk menetapkan sasaran, baik sasaran dalam latihan maupun dalam pertandingan. Sasaran tersebut mulai dan sasaran jangka panjang, menengah, sampai sasaran jangka pendek yang lebih spesifik. Untuk menetapkan sasaran, ada tiga syarat yang perlu diingat agar sasaran itu bermanfaat, yaitu: a. Sasaran harus menantang. Sasaran yang ditentukan harus sedemikan rupa, sehingga atlet merasa tertantang untuk dapat

mencapai sasaran tersebut. b. Sasaran harus dapat dicapai. Buatlah sasaran itu cukup tinggi, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Atlet harus merasa bahwa sasaran yang ditetapkan itu dapat tercapai jika ia berusaha keras. Jika sasaran terlalu tinggi, sehingga atlet merasa mustahil dapat mencapainya, maka motivasi berlatihnya akan menurun. Demikian pula, jika sasaran tersebut terlalu mudah untuk dapat dicapai, maka atlet merasa tidak perlu berlatih keras karena ia akan dapat mencapai sasaran tersebut. c. Sasaran harus meningkat. Mulai dari sasaran yang relatif rendah, kemudian buatlah sasaran tersebut makin lama makin tinggi, semakin sulit tercapainya jika atlet tidak berlatih keras. Dalam setiap latihanpun biasakanlah selalu ada sasaran yang harus dicapai. Dan target yang bersifat umum, lalu uraikan lagi secara lebih spesifik. Dan target untuk suatu kompetisi jangka panjang, uraikan menjadi target atau sasaran jangka pendek, sampai target untuk setiap latihan. Sasaran yang ditetapkan tersebut, hendaknya juga ditetapkan kapan harus tercapainya, dan bagaimana pula cara mengukumya atau apa ukurannya secara objektif. Sedapat mungkin, buatkan grafik pencapaian sasaran tersebut agar terlihat jelas arah dan peningkatannya. 3. Motivasi Motivasi dapat dilihat sebagai suatu proses dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu sebagai usaha dalam mencapai tujuan tertentu. Motivasi yang kuat menunjukkan bahwa dalam diri orang tersebut tertanam dorongan kuat untuk dapat melakukan sesuatu. Ditinjau dari fungsi diri seseorang, motivasi dapat dibedakan antara motivasi yang berasal dan luar (ekstrinsik) dan motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri (intrinsik). Dengan pendekatan psikologis diharapkan atlet dalam setiap penampilannya dapat memperlihatkan motivasi yang kuat untuk bermain sebaik-baiknya, sehingga dapat memenangkan pertandingan. Motivasi yang baik tidak mendasarkan dorongannya pada faktor ekstrinsik seperti hadiah atau penghargaan dalam bentuk materi. Akan tetapi motivasi yang baik, kuat, dan lebih lama menetap adalah faktor intrinsik yang mendasarkan pada keinginan pribadi yang lebih mengutamakan prestasi untuk mencapai kepuasan diri daripada hal-hal yang material. Untuk mengembangkan motivasi intrinsik ini, peran pelatih dan orangtua sangat besar. Pelatih perlu melakukan pendekatan dan menumbuhkan kepercayaan diri pada atlet secara positif. Ajarkan atlet untuk dapat menghargai diri sendiri, oleh karena itu, pelatih harus memperlihatkan bahwa ia menghargai hasil kerja atlet secara konsekuen. 4. Emosi Faktor-faktor emosi dalam diri atlet menyangkut sikap dan perasaan atlet secara pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya. Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai

perasaan seperti senang, sedih, marah, cemas, takut, dan sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap orang. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana kita mengendalikan emosi tersebut agar tidak merugikan diri sendiri. Pengendalian emosi dalam pertandingan olahraga seringkali menjadi faktor penentu kemenangan. Para pelatih harus mengetahui dengan jelas bagaimana gejolak emosi atlet asuhannya, bukan saja dalam pertandingan tetapi juga dalam latihan dan kehidupan sehari-hari. Pelatih perlu tahu kapan dan hal apa saja yang dapat membuat atletnya marah, senang, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan demikian pelatih perlu juga mencari data-data untuk mengendalikan emosi para atlet asuhannya. yang tentu saja akan berbeda antara atlet yang satu dengan atlet lainnya. Gejolak emosi dapat mengganggu keseimbangan psikofisiologis seperti gemetar, sakit perut, kejang otot, dan sebagainya. Dengan terganggunya keseimbangan fisiologis maka konsentrasi pun akan terganggu, sehingga atlet tidak dapat tampil maksimal. Seringkali seorang atlet mengalami ketegangan yang memuncak hanya beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Demikian hebatnya ketegangan tersebut sampai ia tidak dapat melakukan awalan dengan baik. Apalagi jika lawannya dapat menekan dan penonton pun tidak berpihak padanya, maka dapat dibayangkan atlet tersebut tidak akan dapat bermain baik. Konsentrasinya akan buyar, strategi yang sudah disiapkan tidak dapat dijalankan, bahkan ia tidak tahu harus berbuat apa. Disinilah perlunya dipelajari cara-cara mengatasi ketegangan (stress mana- gement). Sebelum pelatih mencoba mengatasi ketegangan atletnya. terlebih dulu harus diketahui sumber-sumber ketegangan tersebut. Untuk mengetahuinya, diperlukan adanya komunikasi yang baik antara pelatih dengan atlet. Berikut ini dijelaskan secara terpisah mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan emosi. 5. Kecemasan dan Ketegangan Kecemasan biasanya berhubungan dengan perasaan takut akan kehilangan sesuatu, kegagalan, rasa salah, takut mengecewakan orang lain, dan perasaan tidak enak lainnya. Kecemasankecemasan tersebut membuat atlet menjadi tegang, sehingga bila ia terjun ke dalam pertandingan maka dapat dipastikan penampilannya tidak akan optimal. Untuk itu, telah banyak diketahui berbagai teknik untuk mengatasi kecemasan dan ketegangan yang penggunaannya tergantung dari macam kecemasannya. Sebagai usaha untuk dapat mengatasi ketegangan dan kecemasan, khususnya dalam menghadapi pertandingan, lakukanlah beberapa teknik berikut ini : a. Identifikasikan dan temukan sumber utama dan permasalahan yang menimbulkan kecemasan. b. Lakukan latihan simulasi, yaitu latihan di bawah kondisi seperti dalam pertandingan sesungguhnya. c. Usahakan untuk mengingat, memikirkan dan merasakan kembali saat-saat ketika mencapai penampilan paling baik atau paling mengesankan. d. Lakukan latihan relaksasi progresif, yaitu melakukan peregangan alau pengendoran otot-otot tertentu secara sistematis dalam waktu tertentu.

e. Lakukan latihan otogenik, yaitu bentuk latihan relaksasi yang secara sistematis memikirkan dan merasakan bagian-bagian tubuh sebagai hangat dan berat. f. Lakukan latihan pernapasan dengan bernapas melalui mulut dan hidung serta secara sadar bernapas dengan menggunakan diafragma. g. Dengarkan musik (untuk mengalihkan perhatian). h. Berbincang-bincang, berada dalam situasi sosial (untuk mengalihkan perhatian). i. Membuat pernyataan-pernyataan positif terhadap diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang diperlukan saat itu. j. Lain-lain yang dapat mengurangi ketegangan. 6. Kepercayaan Diri Dalam olahraga, kepercayaan diri sudah pasti menjadi salah satu faktor penentu suksesnya seorang atlet. Masalah kurang atau hilangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri akan mengakibatkan atlet tampil di bawah kemampuannya. Karena itu sesungguhnya atlet tidak perlu merasa ragu akan kemampuannya, sepanjang ia telah berlatih secara sungguh-sungguh dan memiliki pengalaman bertanding yang memadai. Peran pelatih dalam menumbuhkan rasa percaya diri atletnya sangat besar. Syarat untuk untuk membangun kepercayaan diri adalah sikap positif. Beritahu pemain di mana letak kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Buatkan program latihan untuk setiap atlet dan bantu mereka untuk memasang target sesuai dengan kemampuannya agar target dapat tercapai jika latihan dilakukan dengan usaha keras. Berikan kritik membangun dalam melakukan penilaian terhadap atlet. Ingat, kritik negatif bahkan akan mengurangi rasa percaya diri. Jika pemain telah bekerja keras dan bermain bagus (walaupun kalah), tunjukkan penghargaan Anda sebagai pelatih. Jika pemain mengalami kekalahan (apalagi tidak dengan bermain baik), hadapkan ia pada kenyataan objektif. Artinya, beritahukan mana yang telah dilakukannya secara benar dan mana yang salah, serta tunjukkan bagaimana seharusnya. Menemui pemain yang baru saja mengalami kekalahan harus dilakukan sesegera mungkin dibandingkan dengan menemui pemain yang baru saja mencetak kemenangan. 7. Komunikasi Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi dua arah, khususnya antara atlet dengan pelatih. Masalah yang sering timbul dalam hal kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara pelatih dengan atletnya adalah timbulnya salah pengertian yang menyebabkan atlet merasa diperlakukan tidak adil, sehingga tidak mau bersikap terbuka terhadap pelatih. Akibat lebih jauh adalah berkurangnya kepercayaan atlet terhadap pelatih. Untuk menghindari terjadinya hambatan komunikasi, pelatih perlu menyesuaikan teknik-teknik komunikasi dengan para atlet seraya memperhatikan asas individual. Keterbukaan pelatih dalam hal pogram latihan akan membantu terjalinnya komunikasi yang baik, asalkan dilakukan secara objektif dan konsekuen. Atlet perlu diberi pengertian tentang tujuan program latihan dan fungsinya bagi tiap-tiap individu.

Sebelum program latihan dijalankan, perlu dijelaskan dan dibuat peraturan mengenai tata tertib latihan dan aturan main lainnya termasuk sanksi yang clikenakan jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang telah dibuat tersebut. Jadi, hindarilah untuk memberlakukan suatu sanksi yang belum pernah diberitahukan sebelumnya. Misalnya, seorang atlet minum Coca Cola dalam latihan, lalu dihukum oleh pelatih. Atlet tersebut bingung dan bertanya-tanya mengapa ia dihukum karena ia tidak pernah dijelaskan sebelumnya oleh pelatih bahwa dalam latihan dilarang minum minuman bersoda. Demikian pula dalam hal pelaksanaanya. Peraturan yang sudah dibuat, haruslah dijalankan secara konsekuen. Artinya, jika seorang atlet dihukum karena melanggar peraturan tertentu, maka jika ada atlet lain yang melanggar peraturan yang sama ia pun harus mendapat hukuman yang sama. Demikian pula jika atlet yang sama melakukannya lagi di kemudian hari. Pelatih pun perlu bersikap objektif dan berpikir positif. Bersikap objektif maksudnya adalah bersikap sesuai dengan kenyataan atau fakta apa adanya tanpa menyangkutpautkan dengan hal lain. Jika pelatih marah terhadap atlet karena misalnya si atlet datang terlambat dalam latihan, maka hukumlah atlet itu hanya atas keterlambatannya, jangan dihubungkan dengan hal-hal lain (ingat, hukuman tersebut harus sudah tertera dalam tata tertib latihan). 8. Konsentrasi Konsentrasi merupakan suatu keadaan di mana kesadaran seseorang tertuju kepada suatu obyek tententu dalam waktu tertentu. Makin baik konsentrasi seseorang, maka makin lama ia dapat melakukan konsentrasi. Dalam olahraga, konsentrasi sangat penting peranannya. Dengan berkurangnya atau terganggunya konsentrasi atlet pada saat latihan, apalagi pertandingan, maka akan timbul berbagai masalah. Dalam olahraga, masalah yang paling sering timbul akibat terganggunya konsentrasi adalah berkurangnya akurasi lemparan, pukulan, tendangan & tembakan sehingga tidak mengenai sasaran. Akibat lebih lanjut jika akurasi berkurang adalah strategi yang sudah dipersiapkan menjadi tidak jalan, sehingga atlet akhimya kebingungan, tidak tahu harus bermain bagaimana dan pasti kepercayan dirinya pun akan berkurang. Untuk menghindari keadaan tersebut, perlu dilakukan latihan berkonsentrasi. 9. Evaluasi Diri Evaluasi diri dimaksudkan sebagai usaha atlet untuk mengenali keadaan yang terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar atlet dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan dirinya pada saat yang lalu maupun saat ini. Dengan bekal pengetahuan akan keadaan dirinya ini maka pemain dapat memasang target latihan maupun target pertandingan dan cara mengukurnya. Kegunaan lainnya adalah untuk mengevaluasi hal-hal yang telah dilakukannya, sehingga memungkinkan untuk mengulangi penampilan terbaik dan mencegah terulangnya penampilan buruk. Oleh karena itu, pelatih perlu menginstruksikan atletnya untuk memiliki buku catatan harian mengenai latihan dan pertandingan. Minta pemain untuk menuliskan kelemahan dan kelebihan

diri sendiri, baik dalam segi fisik, teknik, maupun mental. Kemudian koreksilah jika menurut Anda sebagai pelatih ada hal-hal yang tidak sesuai atau ada yang kurang. Biasakan agar atlet mengisi buku tersebut secara teratur. Ajak atlet untuk menuliskan di dalam bukunya hal-hal yang intinya sebagai berikut: - Target jangka panjang, menengah, dan jangka pendek dalam latihan dan pertandingan. - Sesuatu yang dilakukan dan dipikirkan sebelum latihan atau pertandingan. - Suatu gerakan atau penampilan mengesankan. - Catatan mengenai kelemahan dan kelebihan lawan yang akan dihadapi dan strategi menghadapinya. - Hasil dan jalannya pertandingan. - Hal yang mengganggu emosi atau membuat penampilan jadi buruk. - Penghargaan yang didapat atas suatu keberhasilan. Pastikan bahwa buku tersebut diisi secara teratur oleh setiap atlet. Namun perlu diingat bahwa pelatih jangan terlalu memaksa untuk membaca buku harian atlet. Biarkan itu menjadi bagian dan rahasia pribadi mereka. Yang perlu dipantau oleh pelatih adalah bahwa atlet mempunyai bahan bagi dirinya sendiri untuk melakukan evaluasi. C. Persiapan PertandinganSetelah atlet dilatih baik fisik, teknik, strategi, maupun mentalnya dengan program latihan yang tepat, maka untuk menguji hasil latihannya adalah dengan lterjun ke dalam pertandingan. Tentunya diharapkan bahwa setiap pemain akan dapat menampilkan seluruh kemampuannya yang didapat dan latihan. Namun acapkali pemain tampil di bawah form, artinya ia tidak dapat menampilkan seluruh kemampuan yang dimilikinya pada saat pertandingan. Untuk mengatasi hal seperti di atas, perlu diciptakan situasi yang mendukung yang tercapainya prestasi optimal dan dilakukan perwapan mental untuk menghadapi suatu pertandingan agar si atlet dapat menampilkan seluruh kemampuannya, sehingga tercapailah prestasi puncak. Ada empat tahap penting dalam persiapan menuju pertandingan, yaitu (1). Sebelum hari pertandingan (2). Pada hari pertandingan (3). Saat pertandingan (4). Setelah hari pertandingan. Berikut uraiannya dalam contoh persiapan pertandingan bulutangkis: 1. Sebelum Hari Pertandingan a. Kumpulkan data mengenai kekuatan dan kelemahan lawan. Jika memungkin- kan, putarlah rekaman pertandingannya. Kemudian susunlah strategi untuk menghadapinya. Untuk pemain ganda, diskusikan strategi tersebut dengan pasangannya.

b. Pantau kemajuan atlet, baik fisik maupun mentalnya dengan memperhatikan bagaimana tingkat konsentrasinya, bagaimana irama, timing, power, dan kelancaran menjalankan ketrampilannya serta sikapnya terhadap latihan secara umum. c. Pantau tingkat kecemasan atlet dengan melihat ekspresi wajahnya apakah cerah atau murung: apakah sinar matanya letih atau segar dan awas. Juga perhatikan suasana hatinya, bagaimana kualitas tidur dan makannya, apakah ia mengalami faktor-faktor psikosomatis seperti sakit perut, nyeri otot, sesak nafas, demam, batuk, keringat dingin, dan sebagainya. d. Pada saat tidak latihan, pastikan bahwa atlet tidak hidup dan berpikir mengenai pertandingannya 24 jam sehan. Berikan aktivitas yang menyenangkan bagi dirinya yang dapat memberikan suasana gembira, sehingga ia bisa mengalihkan pikirannya sejenak dari pertandingan. e. Satu hari menjelang pertandingan, biasanya cukup latihan ringan saja dan tidak perlu berada di lapangan terlalu lama. Pada malam hari sebelum bertanding, tidurlah pada saat yang tepat, tidak perlu tidur terlalu cepat. Sebelum tidur, lakukan latihan relaksasi dan visualisasi. Jika pertandingan besok dilakukan pagi atau siang hari, siapkan alat-alat perperlengkapan pertandingan, termasuk baju ganti dan perlengkapan cadangan malam ini juga agar esok tidak terburu-buru. Pastikan semua dalam keadaan baik. 2. Pada Hari Pertandingan a. Bangun tidur pada saat yang tepat, malamnya harus tidur cukup dan tidak berlebihan. Kemudian lakukan aktivitas rutin kebiasaan sehari-hari, seperti sembahyang, berdoa, stretching, sarapan (perhatikan kapan harus makan dan apa yang harus dimakan), latihan relaksasi dan visualisasi, memeriksa kembali perlengkapan pertandingan termasuk cadangannya. Mulailah hari ini dengan gembira, optimis, dan berpikir positif. b. Berangkatlah ke tempat pertandingan pada saat yang tepat. Perhitungkan jarak ke tempat pertandingan, bagaimana mencapainya, kemacetannya dan sebagainya. Tidak perlu berangkat terlalu cepat, namun jangan sampai terlambat, sehingga tidak ada waktu untuk istirahat, penyesuaian dan pemanasan. c. Di tempat pertandingan pelatih perlu mengenali atlet mana yang berada didekat temantemannya dan mana yang lebih suka menyendiri. Pastikan di lapangan mana atlet yang akan bertanding, jangan lupa melapor panitia. Untuk pertandingan pertama, pastikan atlet sudah hapal dimana letak ruang ganti, WC, ruang kesehatan, tes doping, tempat ganti senar, dan sebagainya. d. Sambil melakukan pemanasan, atlet hendaknya meningkatkan level `semangat dlan tetap berpikir positif. Pelatih dapat mengingatkan strategi yang akan diterapkan secara sekilas. Lakukan stroke dengan penuh konsentrasi yang kemudian dapat dilanjutkan denganvisualisasi clan relaksasi. 3. Saat Bertanding

Saat bertanding tiba, bukan waktunya lagi untuk memikirkan teknik memukul atau bagaimana harus melangkah. Itu semua sudah dilatih dalam latihan dan sudah dihayati dalam visualisasi. Sekarang saatnya tinggal mengulang-ulang kejadian yang sudah divisualisasikan dan melakukannya sesuai dengan situasi saat ini. Sekarang adalah saatnya melakukan konsentrasi penuh hanya pada bola dan jalannya pertandingan. Anjurkan atlet untuk: a. Memantau clan menyesuaikan tingkat kecemasan, lakukan relaksasi. b. Pusatkan perhatian semata-mata hanya terhadap permainan yang sedang dijalani. Kesalahan yang baru atau pernah terjadi, clan yang mungkin terjadi jangan dihiraukan. c. Berpikir positif dan optimis, jangan biarkan pikiran-pikiran negatif. d. Jangan terlalu banyak menganalisa. e. Bermainlah dengan irama sendiri, jangan terbawa irama lawan. f. Menjalankan strategi yang telah disiapkan. Jangan diubah jika strategi itu berjalan. Lakukan evaluasi singkat, jika strategi tidak jalan, lakukan penyesuaian dengan alternatif strategi yang sudah dipersiapkan. g. Hindari hal-hal negatif seperti, menyalahkan diri sendiri secara berlebihan, berbicara terhadap diri sendiri berlebihan, berpikir negatif, meragukan kemampuan clan menyerah sebelum pertandingan selesai. h. Jika bermain bagus, jangan bertanya mengapa clan mengganti apapun; biarkan berjalan demikian. Jangan mengendor jika sedang leading (memimpin pertandingan), clan tidak perlu kasihan jika lawan mendapat angka nol. 4. Setelah Hari Pertandingan a. Mintalah atlet mencatat hal-hal posisitf maupun negatif yang dirasa berpengaruh terhadap penampilannya dalam pertandingan tadi. Bukan hanya yang bersifat teknik, taktik, clan strategi, tetapi juga yang bersifat mental, bahkan hal-hal kecil lainnya. Catat hasil tersebut dalam buku evaluasi si atlet. b. Evaluasi penampilan dalam pertandingan tadi. Apakah mencapai sasaran? c. Putuskan apakah perlu diadakan penyesuaian terhadap program latihan. d. Pusatkan perhatian terhadap aspek-aspek positif dari penampilan dalam pertandingan. D. Pelatih Sebagai Pembina Mental AtlitPelatih dalam olahraga dapat mempunyai fungsi sebagai pembuat atau pelaksana program latihan, sebagai motivator, konselor, evaluator dan yang

bertanggung jawab terhadap segala hal yang berhubungan dengan kepelatihan tersebut. Sebagai manusia biasa, pelatih sama halnya dengan atlet, mempunyai kepribadian yang unik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap pelatih memiliki kelebihan dan kekurangan, karena itu tidak ada pelatih yang murni ideal atau sempura. Dalam mengisi peran sebagai pelatih, seseorang harus melibatkan diri secara total dengan atlet asuhannya. Artinya, seorang pelatih bukan hanya melulu mengurusi masalah atau hal-hal yang berhubungan dengan olahraganya saja, tetapi pelatih juga harus dapat berperan sebagai teman, guru. orangtua, konselor, bahkan psikolog bagi atlet asuhannya. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa atlet sebagai seorang yang ingin mengembangkan prestasi, akan mempunyai kepercayaan penuh terhadap pelatihnya. Keterlibatan yang mendalam antara pelatih dengan atlet asuhannya harus dilandasi oleh adanya empati dan pelatih terhadap atletnya tersebut.Empati ini merupakan kemampuan pelatih untuk dapat menghayati perasaan atau keadaan atletnya, yang berarti pelatih dapat mengerti atletnya secara total tanpa ia sendiri kehilangan identitas pnbadinya. Untuk mengerti keadaan atlet dapat diperoleh dengan mengetahui atau mengenal hal-hal penting yang ada pada atlet yang bersangkutan. Pengetahuan sekadarnya saia tidak cukup bagi pelatih untuk mengetahui keadaan psikologi atletnya. Dasar dan sikap mau memahami keadaan psikologi atletnya adalah pengertian pelatih bahwa setiap orang memiliki sifat-sifat khusus yang memerlukan penanganan khusus pula dalam hubungan dengan pengembangan potensinya. Kepribadian seorang pelatih dapat pula membentuk kepribadian atlet yang menjadi asuhannya. Hal terpenting yang harus ditanamkan pelatih kepada atletnya adalah bahwa atlet percaya pada pelatih bahwa apa yang diprogramkan dan dilakukan oleh pelatih adalah untuk kebaikan dan kemajuan si atlet itu sendiri. Untuk bisa mendapatkan kepercayaan tersebut dari atlet, pelatih tidak cukup hanya memintanya, tetapi harus membuktikannya melalui ucapan, perbuatan, dan ketulusan hati. Sekali atlet mempercayai pelatih maka seberat apapun program yang dibuat pelatih akan dijalankan oleh si atlet dengan sungguh-sungguh. (Sumber: PEDOMAN PRAKTIS BERMAIN BULUTANGKIS, Oleh: PB PBSI)

Ruang Lingkup Psikologi Olahraga


Seiring dengan semakin besarnya industri olahraga, psikologi olahraga memegang peranan yang cukup signifikan. Dalam olahraga prestasi, peran psikolog olahraga dominan dalam mendongkrak prestasi para atlet. Misalnya dalam peningkatan motivasi, menghilangkan kecemasan, stress. Selain itu, peran seperti proses penyembuhan emotional disorders yang kerap di alami oleh para atlet profesional seperti anorexia, penggunaan obat terlarang, agresifitas, persoalan atlet dengan lingkungan keluarga, penonton, fans. Lihat yang sudah dilakukan oleh psikolog yang menangani Adriano, striker Inter Milan, dalam proses pengembalian perfomanya.

Bidang lain yang menjadi wilayah kerja psikologi olahraga adalah dalam konteks pelatihan. Di Eropa maupun Amerika, psikolog olahraga sudah terlibat dalam proses pelatihan para atlet. Peran vital pun dimainkan disini. Seorang psikolog menjadi partner bagi para pelatih dalam rangka menciptakan metode pelatihan yang efektif. Tentu saja dengan bekal ilmu psikologi. Perpaduan ilmu fisik manusia dengan ilmu psikis membuat pemahaman terhadap manusia lebih komplet. Banyak metode pelatihan yang merupakan sumbangan langsung dari dunia psikologi olahraga. Selain dengan terjun langsung di lapangan, psikologi olahraga juga memberi sumbangan melalui riset. Riset tentang hubungan antara gerak tubuh dan konsep mental memberikan masukan bagi pengembangan teknik kepelatihan maupun pengembangan cabang olahraga itu sendiri. Di awal kemunculannya, psikologi olahraga memang berperan untuk membantu menemukan teknik pelatihan yang efektif dan efisien dalam mengembangkan kemampuan atletis para atlet. Penelitian tentang waktu tempuh pembalap sepeda adalah tonggak sejarah munculnya psikologi olahraga. Bidang pendidikan juga tidak luput dari dunia psikologi olahraga. Para psikolog olahraga banyak yang terjun langsung memberi pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus bagi pelatih dalam konteks pemahaman terhadap manusia untuk diimplementasikan dalam proses pencetakan para atlet. Tidak hanya dalam konteks olahraga prestasi, psikologi olahraga juga berperan pengembangan olahraga sebagai salah satu sarana mencapai psychological well being atau untuk mencapai kesehatan mental bagi masyarakat. Karena terbukti bahwa olahraga merupakan salah satu sarana yang efektif untuk menghilangkan stress maupun depresi. Bisa dikatakan bahwa saat ini dunia olahraga profesional maupun amatir sudah sangat tergantung pada kehadiran psikologi olahraga. Pengembangan cabang ilmu ini tentu akan memberi kontribusi yang semakin besar pada peningkatan kualitas atlet maupun cabang olahraga itu sendiri di masa depan. Sayang memang, dunia olahraga Indonesia belum begitu memperhatikan aspek mental dalam pengembangan atlet. Peran psikolog olahraga di Indonesia pun baru sebatas konsultan bagi tim maupun atlet. Bidang garap dan ruang lingkup lain dari psikologi olahraga belum digarap dengan

maksimal. Namun, semua harus dilakukan dengan penuh optimisme bahwa psikologi olahraga di Indonesia akan tumbuh berkembang dalam dunia olahraga Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai