Sebagai ilmu yang berisi kebijakan, politik ekonomi Islam berisi teori aturan dasar
mengenai kebijakan pengelolaan kekayaan negara. Di antara teori-teori yang berkembang adalah
teori tanggung jawab negara (mas’uliyah ad-daulah) yang meliputi konsep tanggung jawab
sosial (tadhamum al-ijtima’i), teori keseimbangan sosial (tawadzun al-ijtima’i) dan teori
investasi negara (tadakhkhul ad-daulah).
Selain teori itu, teori yang berkembang dalam siyasah maliyah adalah teori kebijakan.
Teori landasan, topangan dan payung kebijakan. Teori landasan kebijakan menyangkut konsep
tahuhid, keadilan, dan kelestarian. Teori topang kebijakan menyangkut konsep hak kepemilikan,
penguasaan dan pemindahan hak milik. Semantara itu, teori payung kebijakan mengangkut
konsep etika, yaitu kesadaran tertinggi nurani seorang pengambil kebijakan dalam mengelola,
mendistribusikan dan menggunakan kekayaan.
Sebagai salah satu cabang ilmu lahir dari fiqh, siyasah maliyah memiliki akar yang sama
dengan induknya, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Al-Quran dan Al-Hadits diposisikan sebagai
sebagai sumber doktrin yang aksiomatis, artinya kebenaran-kebanaran yang diyakini, bukan
pertanyaan-pertanyaan ilmiah. Aksioma ini melahirkan berbagai penafsiran yang menjadi
pengetahuan normatif yang berbentuk fiqh. Dari ilmu fiqh, lahirlah fiqh siyasah. Secara spesifik
dari fiqh siyasah lahirlah siyasah maliyah. Siyasah maliyah memiliki dua bidang kajian, yaitu
tentang keijakan pengelolaan keuangan dan pengelolaan sumber daya alam.
Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum Internasional
Di samping itu tanggung jawab negara (state responsibility) muncul sebagai akibat dari
adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara (equality and sovereignty of state) yang
terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu
negara yang terlanggar haknya untuk menuntut suatu hak yaitu berupa perbaikan (reparation). 2
Meskipun suatu negara mempunyai kedaulatan atas dirinya, tidak lantas negara tersebut dapat
menggunakan kedaulatannya tanpa menghormati kedaulatan negara-negara lain.
Didalam hukum internasional telah diatur bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan
kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena apabila suatu negara
menyalahgunakan kedaulatannya, maka negara tersebut dapat dimintai suatu
pertanggungjawaban atas tindakan dan kelalaiannya. Istilah tanggung jawab negara hingga saat
ini masih belum secara tegas dinyatakan dan masih terus berkembang untuk menemukan
konsepnya yang mapan dan solid. Oleh karena masih dalam tahap perkembangan ini, maka
sebagai konsekuensinya, pembahasan terhadapnya pun dewasa ini masih sangat
membingungkan.
Hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum internasional yang mapan tentang
tanggung jawab negara. Umumnya yang dapat dikemukakan oleh para ahli hukum internasional
dalam menganalisa tanggung jawab negara hanya baru pada tahap mengemukakan syarat-syarat
atau karakteristik dari pertanggungjawaban suatu negara. Meskipun demikian para ahli hukum
internasional telah banyak mengakui bahwa tanggung jawab negara ini merupakan suatu prinsip
yang fundamental dari hukum internasional.3
1
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya,
Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia, h. 28.
2
Hingorani, 1984, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, h. 241.
3
Huala Adolf, 1991, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, CV Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Huala Adolf I), h. 174.
Dalam hukum internasional dikenal 2 (dua) macam aturan yakni:
- Primary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan hak dan kewajiban negara
yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan atau instrumen lainnya; dan
- Secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana dan apa
akibat hukum apabila primary rules tersebut dilanggar oleh suatu negara. Secondary rules
inilah yang disebut sebagai hukum tanggung jawab negara (the law of state
responsibility).4
Pasal 1 Draft Articles International Law Comission 2001 menegaskan bahwa setiap
tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan suatu tanggung jawab.5
Prinsip dalam rancangan pasal inilah yang dianut dengan teguh oleh praktek negara dan
keputusan-keputusan pengadilan serta telah menjadi doktrin dalam hukum internasional.6
4
Sefriani, 2010, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 266.
5
Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law Sixth Edition, Oxford University Press, New York, h. 244.
6
Huala Adolf, 1991, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, CV Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Huala Adolf I), h. 176.
Elemen Dan Fungsi Ekonomi Dalam Teori Negara
Sumber ekonomi yang terdapat di muka bumi ini merupakan karunia dan amanah
dari Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban
bagi setiap manusia untuk mengelolanya dengan baik untuk mencapai kesejahteraan bagi
seluruh manusia di muka bumi. Hal ini berimplikasi kepada setiap manusia untuk:
pertama, berusaha melakukan pengentasan kemiskinan dan pemenuhan semua kebutuhan
dasar manusia; kedua, pemanfaatan secara penuh dan efisien terhadap seluruh sumber
daya manusia dan alam untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum
atau penempatan yang maksimum atau tinggi untuk menyediakan marjin (kelebihan)
untuk penyesuaian atau harnonisasi antara tujuan spiritual (spiritual uplift) dan
kesejahteraan sosial (social welfare) dan meningkatkan standar hidup manusia; dan yang
terakhir, menghindari kondisi-kondisi yang membangkitkan pengurangan atau kelebihan
permintaan dan mengarahkan kepada peningkatan penggangguran atau inflasi.
Salah satu permasalahan yang cukup serius di era kontemporer ini adalah
terjadinya inflasi yang terus menerus diikuti dengan turunnya nilai riil dari mata uang dan
aset moneter. Stabilitas nilai mata uang merupakan sesuatu hal yang harus menjadi tujuan
utama tidak hanya dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang, tetapi juga untuk
keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Menurut Chapra, salah satu hal yang dapat menekan
tingkat inflasi adalah dengan mengontrol harga dan subsidi pada bahan makanan dan
barangbarang pokok yang dikonsumsi.
c) Hukum dan Tata Tertib
Hukum dan tata tertib merupakan bagian yang sangat penting dalam menjalankan
fungsi negara untuk mengatur dan melindungi masyarakat berkenaan dengan
perlindungan hidup dan hak miliknya. Hukum dan tata tertib di sini merupakan
determinan utama dalam pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta kebahagian dan
kesejahteraan setiap individu.
Dalam Islam, sesama muslim adalah bersaudara tanpa membedakan aspek kaya
miskin, hitam putih, dan lain sebagainya. Hal yang menjadi pedoman dasar perbedaan di
mata Allah hanyalah keimanan, karakter, dan hubungan manusia secara horizontal dan
vertikal. Ajaran Islam ini bagi setiap orang di masyarakat tidak bermakna kecuali jika
diikuti dengan keadilan sosial sehingga setiap orang akan memperoleh giliran untuk
berkontribusi kepada masyarakat dan tidak dieksploitasi oleh masyarakat lain. Keadilan
sosial ekonomi, pemerataan pendapatan, dan kesejahteraan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam Islam yang didasarkan pada konsep keadilan dan persaudaraan atau
ukhuwah. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalis yang menerapkan sistem pemerataan
pendapatan dan keadilan sosial ekonomi dan tidak didasarkan pada landasan spiritual dan
persaudaraan.
1) Kooperatif terhadap semua kontribusi kebajikan dan kesalehan serta menahan diri
dari perbuatan dosa.
2) Bekerja secara positif untuk kesejahteraan umat karena semua orang adalah keluarga
besar Tuhan. Kedua hal tersebut merupakan hal mendasar yang harus ada dalam
hubungan antar negara dan antar masyarakat yang hidup dalam negara Islam dengan
segala tanggung jawab yang universal.
Zakat merupakan alat bantu sosial mandiri yang menjadi kewajiban moral bagi
orang kaya untuk membantu mereka yang miskin dan terabaikan. Zakat tidak
menghilangkan kewajiban pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan melainkan hanya
membantu untuk menggeser tanggung jawab ini kepada masyarakat Kelompok sumber
daya persediaan yang lain adalah pendapatan dari sumber daya alam itu sendiri yang
harus dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh penduduk, sedangkan negara wajib
mengelola pendapatan-pendapatan tersebut dan tidak boleh diselewengkan atas nama
individu atau kelompok. Di samping itu, pajak sebagai sumber daya yang lain haruslah
dirancang secara modern. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur sosial dan fiskal secara
besar-besaran, percepatan pembangunan akan dapat terealisasi dengan baik dengan
sumber pendapatan pajak yang mencukupi. Sedangkan sumber daya yang lain adalah dari
pinjaman luar negeri bagi negara-negara muslim di saat terjadi defisit fiskal.
Konsep-konsep ini belum memiliki suatu bukti riil tentang keberhasilannya atas
korelasi antara kebijakan politik dan ekonomi dalam suatu negara Islam untuk
mewujudkan suatu kesejahteraan umat. Prinsip-prinsip dan tugas-tugas yang mengacu
pada norma-norma Islam dalam bingkai negara kesejahteraan Islam pun juga belum
menunjukkan keberhasilannya.7
7
Ariza Fuadi dan Purbayu Budi Santosa. Ekonomi Islam dan Negara Kesejahteraan (Welfare State). Jurnal
Dinamika Ekonomi Bisnis. Universitas Diponegoro. Vol. 12 No. 1. Maret 2015. Hal 12-15.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. 1991. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: CV Rajawali.
Dixon, Martin. 2007. Textbook on International Law Sixth Edition. New York: Oxford
University Press.
Fuadi, Ariza dan Purbayu Budi Santosa. Ekonomi Islam dan Negara Kesejahteraan (Welfare
State). Jurnal Dinamika Ekonomi Dan Bisnis. Universitas Diponegoro. Vol. 12 No. 1. Maret
2015.
Sefriani. 2010. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sujatmoko, Andrey. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor
Leste dan Lainnya. Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia.