Anda di halaman 1dari 6

1.

A) Hakikat tanggung jawab adalah menerima yang diwajibkan dan melaksanakan tugas
sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal ini sekaligus menegaskan
bahwa setiap orang terikat pada kewajiban melakukan tanggung jawab masing-masing.
Hal ini sejalan dengan pengamalan sila kedua Pancasila khususnya terkait keberadaban.
Hak dan kewajiban merupakan dua hal yang saling terikat satu sama lain. Pemenuhan
keduanya merupakan ciri pengamalan Pancasila. Baik hak dan kewajiban tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. kata tanggung jawab diartikan sebagai keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (jika terjadi apa-apa dapat dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dan sebagainya). Menurut kamus yang sama, tanggung jawab (dalam
bidang hukum) diartikan sebagai fungsi menerima pembebanan akibat sikap pihak sendiri
atau pihak lain. Adapun kata bertanggung jawab diartikan sebagai (a) berkewajiban
menanggung, (b) memikul tanggung jawab, dan (c) menanggung segala sesuatunya.
Pada dasarnya, tanggung jawab merupakan keharusan untuk menanggung segala
konsekuensi atau akibat yang timbul karena perkataan atau perbuatan tertentu serta
karena keadaan atau tuntutan tertentu. Semua individu dewasa yang normal paham bahwa
setiap individu akan menanggung akibat dari dan atas segala perkataan dan perbuatannya
–– kata-kata ‘menanggung akibat’ itulah yang lebih gamblangnya lazim disebut tanggung
jawab. Namun, selain segala sesuatu yang timbul dari diri sendiri, ada hal eksternal lain
yang menyebabkan manusia diharuskan memiliki rasa tanggung jawab. Hal eksternal lain
itu, misalnya, lingkungan sosial. Tanpa mengeluarkan perkataan atau melakukan
perbuatan tertentu pun, dalam konteks kehidupan sosial setiap individu akan dituntut
untuk turut bertanggung jawab menciptakan hal-hal positif demi kebaikan bersama.
       Tanggung jawab menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Sebagai makhluk yang dianugera-hi akal dan perasaan sekaligus sebagai makhluk sosial,
manusia dihadapkan pada keharusan untuk mempu-nyai rasa tanggung jawab. Bayi dan
anak-anak umum-nya dianggap belum perlu menanggung beban tang-gung jawab karena
belum memiliki kematangan jiwa dan pikiran sehingga segala tanggung jawab mereka
lazim diambil alih orang tuanya, tetapi semua orang yang telah dewasa dan secara
kejiwaan sehat diharus-kan bertanggung jawab atas banyak hal yang terkait dengan
kehidupannya –– atas perbuatannya, perkata-annya, keputusannya, dan sebagainya.
       Keharusan manusia untuk memiliki dan melaksanakan tanggung jawab, antara lain, juga
terkait dengan tuntutan hukum dan sosial. Hukum, yang lazim dirumuskan bersama untuk
mengatur tingkah laku individu, mengharuskan semua anggota masyarakat untuk
memikul tanggung jawab dalam dua sisi yang berbeda: di sisi satu diharuskan menjaga
ketertiban dan kepentingan umum dan di sisi lain harus bersedia menerima hukuman jika
perbuatannya melanggar aturan hukum –– karena itu, seringkali kita dengar ungkapan
“Siapa berani berbuat, harus berani bertanggung jawab.” Adapun dari sisi sosial, demi
kerekatan dan keutuhan hidup bersama, setiap individu diharuskan turut bertanggung
jawab mewujudkan ketertiban, keamanan, kerukunan, dan kedamaian dengan saling
menghormati, saling menghargai, saling tolong, toleran, solider, dan sebagainya.
B) Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD
1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV yang dilakukan sejak
tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD
1945 mengalami banyak perubahan, konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan
sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia.19
Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam
UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang
tampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang
diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948. 20 Di dalam
UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia
(state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang
menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.” Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab
konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk
melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.21 SJSN merupakan program
negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan hak asasi manusia dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk
sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi
masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu
C) (1)Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat. Ketiga prinsip terbut
tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri. Ada hubungan yang sangat erat dan saling
mempengaruhi, masing-masing adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai
prinsip lainnya, dan ketiganya adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai
manajemen publik yang nbaik. Walaupun begitu, akuntabilitas menjadi kunci dari semua
prinsip ini (Asian Development Bank, 1999). Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1)
kemampuan menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen
pertama (istilah yang bemula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan
bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana
sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan
sumber daya tersebut. Miriam budiardjo (1998, 107-120) mendefinisikan akuntabilitas
sebagai “pertanggung jawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada
mereka yang memberi mandat itu”. Akuntabilitas bermakna pertanggung jawaban dengan
menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga
pemerintahan, sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan
kondisi saling mengawasi (checks and balancers system). Lembaga pemerintahan yang
dimaksud eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem
peradilan), serta legislatif (MPR dan DPR).

2 A) Filsuf raja adalah konsep yang diajukan pemikir Yunani Plato yaitu seorang penguasa


yang merupakan ahli filsafat. Ia mengajukan konsep ini di buku Republik-nya, dan
menurut Plato, pemerintahan yang ideal seharusnya dipegang seorang filsuf raja. Dengan
ilmu filsafatnya, filsuf raja ini diharapkan memiliki moral yang baik dan tidak mudah
terkena godaan, serta dengan pengetahuannya dapat membantu dan memperbaiki
kehidupan masyarakat yang ia perintah. Setelah dibawakan Plato, konsep ini
mempengaruhi cara pemerintahan Kekaisaran Romawi dan beberapa monarki Eropa yang
dikenal dengan istilah absolutisme tercerahkan. Ide ini juga dikembangkan oleh Al-
Farabi yang menulis bahwa filsuf raja ini juga haruslah orang yang saleh dan taat
beragama. Konsep ini juga mempengaruhi Ayatollah Khomeini dan konsep pemerintahan
yang ia pelopori di Republik Islam Iran

B) Kebijakan publik adalah alat untuk mencapai tujuan publik, bukan tujuan orang
perorang atau golongan dan kelompok. Meskipun sebagai alat (tool) keberadaan
kebijakan publik sangat penting dan sekaligus krusial. Penting karena keberadaannya
sangat menentukan tercapainya sebuah tujuan, meskipun masih ada sejumlah prasyarat
atau tahapan lain yang harus dipenuhi sebelum sampai pada tujuan yang dikehendaki.
Krusial karena sebuah kebijakan yang di atas kertas telah dibuat melalui proses yang baik
dan isinya juga berkualitas, namun tidak otomatis bisa dilaksanakan kemudian
menghasilkan sesuai yang selaras dengan apa yang dinginkan oleh pembuatnya. Juga
krusial karena sebuah kebijakan bisa - dan seringkali terjadi - diperlakukan seolah lebih
penting atau sejajar dengan tujuan yang hendak dicapai, padahal ia hanyalah sekedar alat,
meskipun alat yang sangat penting. Tidak jarang, bagi sebagian orang atau kelompok
tertentu, kebijakan ditempatkan sedemikian penting, sehingga melupakan esensi
dasarnya. Tarik menarik dalam perjuangan menyusun dan menetapkan kebijakan seolah
lebih penting dari upaya lain yaitu bagaimana mencari cara yang lebih efektif dan efisien
dalam mencapai tujuan. Biaya besar yang dikeluarkan untuk menyusun kebijakan adalah
cerminan betapa pentingnya sebuah kebijakan dan sekaligus cerminan akan perlakuan
berlebihan seolah hadirnya kebijakan lebih penting dari upaya pencapaian tujuan yang
sebenarnya. Memang perlakukan yang demikian dapat dimengerti karena tanpa kebijakan
publik yang tepat, maka tujuan yang dikehendaki sulit dicapai. Namun sekali lagi harus
proporsional karena sejatinya ia adalah sebuah alat, meskipun bukan alat yang biasa
dalam mencapai sebuah tujuan organisasi. Rumusan sederhana dan terkesan
mensimplifikasi makna kebijakan publik tersebut adalah rumusan singkat untuk
mensederhanakan pemahaman mengenai maksud dan tujuan kebijakan. Secara
konseptual, sejatinya arti penting dan ruang lingkup kebijakan publik jauh lebih luas
daripada rumusan tersebut sebagaimana akan dikemukakan dalam bab selanjutnya yang
mengupas tentang konsep dan pengertian kebijakan publik menurut para ahli. Dari
rumusan sederhana ini diharapkan mewakili dan sekaligus memudahkan pemahaman
akan arti pentingnya kebijakan publik dalam sebuah organisasi yang bernama negara
karena sejatinya keberadaan organisasi itu juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan.
Tujuan tersebut biasanya dituangkan dalam konstitusi jika ia sebuah negara atau
anggaran dasar jika ia organisasi privat. Begitu juga tujuan sebuah kebijakan yang lebih
operasional biasanya dituangkan dalam konsiderans atau pasal-pasal umum dari
kebijakan tersebut. Prinsipnya, diantara tujuan itu tidak boleh bertentangan, baik dengan
kebijakan yang lebih tinggi atau kebijakan yang menjadi acuannya serta di dalam
kebijakan itu sendiri. Tentu tidak semua kebijakan publik memiliki nilai atau bobot yang
sama jika dilihat dari sudut tingkat pentingnya. Ada kebijakan yang sangat penting dan
mendesak, namun tidak sedikit yang tergolong bukan skala prioritas, meskipun semua
kebijakan publik memiliki nilai strategis atau sama sama penting. Semua itu tergantung
dari isi dan tujuan yang hendak dicapai. Dan lagi-lagi persoalan tujuan menjadi sesuatu
yang penting dan menjadi tolok ukur nilai startegis kebijakan. Bisa saja kebijakan yang
sama memiliki makna strategis yang berbeda di daerah atau tempat lain. Logika serupa
juga berlaku bagi sebuah negara dimana sebuah kebijakan tertentu dianggap sangat
penting dan mendesak, sementara bagi negara lain tidak diperlakukan

3. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara dengan
memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara untuk mengambil keputusan.
Sistem pemerintahan demokrasi membuat seluruh warga negar berhak untuk berperan
aktif secara langsung maupun tidak langsung dalam merumuskan, mengembangkan, dan
menetapkan suatu undang-undang.

Demokrasi memiliki beberapa unsur-unsur penting didalam pelaksanaannya. Unsur-


unsur dalam demokrasi adalah.

1. Adanya partisipasi masyarakat secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat,


berbangsa, dan bernegara.
2. Adanya pengakuan supremasi hukum
3. Adanya pengakuan kesamaan antara setiap warga negara
4. Adanya kebebasan dalam berpendapat, beragama, pemilihan, dan lain-lain
5. Adanya pengakuan supremasi sipil atas militer

4. Pengalaman kegagalan birokrasi dalam menjalankan fungsi idealnya sebagai alat mencapai
tujuan negara, yaiotu kemakmuran dan keadilan masyarakat, dimasa Orde Baru tentu saja
menjadi pengalaman buruk yang harus di perbaiki di masa depan. Namun bukanlah menjadi
pekerjaan yang mudah seperti membalikan telapak tangan. Mentalitas yang telah menjadi
kebiasaan selama 30 tahun lebih di masa Orde Baru tak bisa di hapuskan begitu saja dengan
cepat. Warisan-warisan kultural birokrasi Orba masih kokoh sehingga menyulitkan untuk
melakukan reformasi birokrasi. Tradisi birokrasi yang militeristik di masa lalu, tak
membiasakan para aparatur negara untuk bekerja dengan visi, mereka terbiasa dengan
menunggu perintah dan itupun harus dilakukan dengan teknis. Namun, betapa sulitnya,
transformasi birokrasi haruslah tetap dijalankan mengingat besarnya tantangan-tantangan
yang dihadapi bangsa dan negara di masa kini maupun masa depan. Selain perubahan rezim,
perubahan lain yang melingkupi dunia birokrasi di Indonesia saat ini adalah
diberlakukannya otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah merupakkan manifestasi
proyek membangun sustu tata kehidupan bangsa yang semakin demokratis dan partisipatif.
Adanya dua momen yaitu perubahan rezim dan penerapan otonomi daerah ini, merupakan
kesemp[atan emas bagi birokrasi untuk membanguin dirinya menjadi suatu birokrasi baru
yang jauh lebih bermutu dan lebih efektif ketimbang sebelumnya.
3HUWDQ\DDQ\DQJWLPEXODGDODK³.HDUDKPDQDNDQELURNUDVLLWXKDU
XVEHUXEDK GDODPSHQ\HOHQJJDUDDQWDWDSHPHULQWDKDQ\DQJEDLN"¥
Sosok kultur birokrasi yang mampu menopang penyelenggaraan good governance dilakukan
melalui simbiosis dua determinan perilaku birokrasi yaitu antara behavioral consequences
dari struktur dan prosedur formal yang mengacu pada weberian bureaucracy, di satu pihak.
Dan di lain pihak behavioral consequences dari determinan kultural yang berakar dari
sejarah sosial bangsa. Nilai-nilai weberian birokrasi yang mendasarkan pada prinsip-prinsip
efisiensi, rasionalitas, kepastian, calculability yang berakar pada intelectual culture dapat
mendorong timbulnya berbagai reformasi administrasi di kalangan birokrasi. (Moelyarto,
1996: 4) Pengalaman masa orba menunjukkan bahwa melalui mekanisme pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan oleh Irjenbang, BPKP, Inspektorat, waskat dan lainnya
mampu memberikan tekanan dalam pelaksanaannya untuk berada dalam relnya. Namun
demikian unsur-unsur rasional weberian masih melekat kultur determinan dari perilaku
birokrasi. Kecenderungan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh sifat kepemimpinan nasional
yang mengalami proses sosialisasi ke budaya Jawa, sehingga birokrasinya merefleksikan
javanese style of leadership. Nilai-nilai budaya Jawa seperti prinsip rukun dan harmony,
sabar, ojo nggege mongso, ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri
handayani sangat mewarnai kultur birokrasi. Hubungan patron klien yang mewarnai
hubungan antara pemerintah dan masyarakat, prinsip monoloyalitas yang merefleksikan
hubungan kawulo gusti, penekanan pada aspek-aspek ritual yang mengejawantahkan postur
theatrical state, lebih dari aspek aspek substansial, kesemuanya membuktikan pengaruh
budaya jawa di dalam birokrasi. Dan lebih dari pada itu, nilai budaya jawa tadi secara tidak
langsung melalui proses akulturasi juga tersosialisasikan pada birokrat non jawa. Akan
tetapi perlu di ingat bahwa kultur yang sepintas bersifat detrimental terhadap proses
transformasi struktural, namun sebenarnya dapat dikonversikan menjadi sumber budaya
yang positif bagi penyelenggaraan pemerintahan.. Prinsipprinsip paternalisme, misalnya
dapat menjadi sumber yang kuat untuk mobilisasi massa. Shame cultute dapat
ditransformasikan menjadi wahana kontrol yang efektif dan tetap relevan menjadi dasar
sistem pengawasan dari masyarakat. (Moeljarto, 1996: 7)

Anda mungkin juga menyukai