Anda di halaman 1dari 33

SKRIPSI

“Maskulinisasi Ikan Cupang (Betta splendens. ) Melalui Perendaman Madu


Dengan Konsentrasi Berbeda”

OLEH

JODHIE S. O. LUMAMULY

NIM: 2015 - 65 - 003

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan cupang (Betta splendens) merupakan jenis ikan hias air tawar dan

merupakan komoditas ikan hias yang ada di Indonesia yang memiliki nilai

ekonomis tinggi baik untuk pasar dalam negeri maupun pasar ekspor. Ikan

cupang disukai pada semua kalangan mulai dari anak-anak hingga orang

dewasa. Selain itu ikan cupang merupakan jenis ikan yang cukup mudah untuk

dibudidayakan.

Ikan cupang memiliki 3 jenis yaitu, cupang hias, cupang adu, dan

cupang liar. Cupang hias merupakan jenis cupang yang keindahannya terletak

pada bentuk ekornya saat mengembang. Walaupun termasuk ikan yang sangat

agresif dan cenderung mempertahankan daerah teroterialnya, tetapi

keindahannya cupang hias bisa dinikmati tanpa harus menyiksa dan

membuatnya bertarung, seperti yang harus dilakukan terhadap ikan cupang

jenis adu. Ikan cupang jantan memiliki corak warna dan bentuk ekor yang lebih

indah dibandingkan ikan cupang betina, sehingga peminat dan permintaan

pasar untuk ikan cupang jantan sangat tinggi. Sehingga untuk memenuhi

permintaan ikan cupang jantan perlu adanya teknik budidaya yang

memaksimalkan produktivitas ikan cupang jantan yaitu dengan teknik

maskulinisasi.

Maskulinisasi merupakan salah satu bentuk pengubahan kelamin (seks

reversal) yang mengarahkan kelamin ikan dari betina genotipe ke jantan

fenotipe dengan menggunakan hormone endrogen sebelum masa diferensiasi

1
seks (Arfah dkk. 2013). Pada umumnya, dalam kegiatan budidaya perairan,

untuk memproduksi ikan monoseks jantan dapat dilakukan dengan

menggunakan hormon steroid (Utomo, 2008). Hormon steroid yang sering

digunakan dalam teknologi sex reversal adalah hormon seperti hormon 17α-

metiltestoteron (MT), estradiol-17β dan aromatase inhibitor (Ukhroy, 2008).

Namun demikian hormon 17α-metiltestoteron memiliki efek samping yang

dapat menyebabkan pencemaran, kerusakan hati pada hewan uji hingga

menyebabkan kematian (Djihad, 2015). Selain itu, hormon ini berpotensi

sebagai endocrine residue agent, karena MT sulit untuk didegradasi secara

alami (Conteras-Sancez dan Fitzpatrick 2001).

Bahan lain yang telah terbukti mampu untuk proses ini pada ikan

adalah aromatase inhibitor seperti fadrozole (Kwon dkk. 2000). Namun

demikian, aromatase inhibitor termasuk obat yang tidak dijual bebas sehingga

tidak mudah diperoleh. Selain itu, penggunaan bahan perangsang steroid yang

tidak tepat dapat mengakibatkan kematian, kemandulan, dan pencemaran

lingkungan yang merugikan organisme lain. Madu merupakan bahan alami

mengandung flavonoid chrysin yang diduga dapat berfungsi sebagai

penghambat kerja enzim aromatase atau sebagai aromatase inhibitor (Dean

2004). Madu bersifat ramah lingkungan, dan kandungan mineralnya tinggi,

terutama kalium.

Kalium dalam madu dapat berfungsi sebagai pengarah diferensiasi

kelamin ikan melalui modulasi peredaran testosteron, dan pengendalian

tindakan androgen (Capelo dkk. 2001). Penggunaan madu untuk pengubahan

2
kelamin (sex reversal) telah dilakukan baik melalui pakan maupun

perendaman.

Sehubung dengan tingginya permintaan ikan cupang jantan, maka


perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang metode maskulinisasi menggunakan
bahan alami yang aman dan mudah didapat seperti madu alami. Penggunaan
madu pada proses maskulinisasi ikan bisa saja gagal jika menggunakan dosis
madu yang tidak benar. Untuk mengetahui dosis yang baik maka dilakukan
maskulinisasi ikan dengan pemberian dosis madu yang berbeda. Berdasarkan
hasil penelitian pendahulu diketahui bahwa batas konsentrasi letalnya adalah 7
ml/L dengan lama waktu perendaman 12 jam. Sehingga selang konsentrasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0 ml/L (sebagai kontrol), 5 ml/L, 6
ml/L dan 7 ml/L.

1.2 Rumusan Masalah

Ikan cupang (Betta splendens) merupakan jenis ikan hias air tawar

dan merupakan komoditas ikan hias yang ada di Indonesia yang memiliki nilai

ekonomis tinggi baik untuk pasar dalam negeri maupun pasar ekspor. Ikan

cupang jantan memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan banyak diminati

masyarakat karena memiliki variasi warna yang menarik. Salah satu cara untuk

meningkatkan produksi ikan jantan adalah melalui pengarahan kelamin.

(Huwoyon dkk., 2008). Salah satu cara untuk memproduksi populasi monoseks

adalah dengan teknologi sex reversal, yakni suatu teknologi yang mengarahkan

perkembangan kelamin menjadi jantan atau betina semua. Sex reversal

dilakukan pada saat gonad ikan belum terdiferensiasi menjadi jantan atau

betina. Cara yang umum dilakukan untuk memperoleh populasi ikan monoseks

adalah dengan menggunakan hormon steroid 17α-metiltestosteron (MT).Akan

tetapi penggunaan hormon 17α-metiltestosteron memiliki efek samping yang

3
dapat menyebabkan pencemaran dan menyebabkan kerusakan hati pada hewan

yang diuji hingga menyebabkan kematian (Djihad, 2015). Selain itu, MT juga

sulit untuk didegradasi secara alami, sehingga berpotensi sebagai endocrine

residue agent (Conteras-Sancez dan Fitzpatrick 2001).

Bahan lain yang telah terbukti efektif untuk sex reversal pada ikan

adalah aromatase inhibitor seperti fadrozole (Kwon dkk. 2000). Namun

demikian, aromatase inhibitor termasuk obat yang tidak dijual bebas sehingga

tidak mudah diperoleh. Selain itu, penggunaan bahan perangsang steroid yang

tidak tepat dapat mengakibatkan kematian, kemandulan, dan pencemaran

lingkungan yang merugikan organisme lain. Madu merupakan bahan alami

mengandung flavonoid chrysin yang diduga dapat berfungsi sebagai

penghambat kerja enzim aromatase atau sebagai aromatase inhibitor (Dean

2004). Madu bersifat ramah lingkungan, dan kandungan mineralnya tinggi,

terutama kalium.

Kalium dalam madu diduga dapat berfungsi sebagai pengarah

diferensiasi kelamin ikan melalui modulasi peredaran testosteron, dan

pengendalian tindakan androgen (Capelo dkk. 2001). Penggunaan madu untuk

sex reversal telah dilakukan baik melalui pakan maupun perendaman. Namun

demikian konsentrasi madu yang salah pada proses maskulinisasi bisa saja

mengakibatkan kegagalan pada proses maskulinisasi. Dari penjelasan di atas

maka di rumuskanlah berapa konsentrasi madu hutan yang tepat untuk sex

reversal ikan cupang (Betta splendens).

4
1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum madu

untuk maskulinisasi ikan cupang dan juga tingkat kelangsungan hidup larva

ikan cupang setelah proses maskulinisasi.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

konsentrasi optimum madu terhadap pengaruh maskulinisasi ikan cupang

sebagai bahan sex reversal alami dan dapat menghasilkan kelulusan hidup

tertinggi pasca perlakuan perendaman madu untuk proses maskulinisasi.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cupang

Klasifikasi atau yang biasa disebut taksonomi (sistem penamaan), Ikan

hias cupang memiliki nama ilmiah Betta splendens (Gambar 1.). Urutan

penamaan ikan cupang menurut Daelami (2001) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Osteichthyes

Ordo : Percomorphoidei

Famili : Anabantidae

Genus : Betta

Spesies : Betta splendens

Gambar 1. Ikan Cupang (Betta splendens) (Google images)

Ikan cupang (Betta splendens.) terkenal karena sifatnya yang agresif dan

kebiasaan hidupnya berkelahi dengan sesama jenis, sehingga dinamakan

fighting fish. Warna tubuh ikan ini berwarna-warni, sehingga menjadi daya

tarik para penggemar dan penghobi untuk mengoleksinya. Warna-warna

klasik seperti merah, hijau, biru, abu-abu, dan kombinasinya banyak

6
dijumpai. Warna-warna baru juga bermunculan dari kuning, putih, jingga,

hingga warna-warna metalik seperti tembaga, platinum, emas, dan

kombinasinya (Perkasa, 2001).

Ikan cupang (Betta splendens) merupakan ikan yang memiliki banyak

bentuk (Polymorphisme), seperti ekor bertipe mahkota/serit (crown tail), ekor

setengah bulan/lingkaran (half moon), ekor pendek (plakat) dan ekor tipe

lilin/selendang (slayer) dengan sirip panjang dan berwarna-warni. Keindahan

bentuk sirip dan warna sangat menentukan nilai estetika dan nilai komersial

ikan hias cupang (Yustina dkk, 2003).

2.2 Reproduksi Ikan Cupang

Proses pemijahan ikan cupang berlangsung dengan cara betina

mengeluarkan telur-telurnya dan jantan membuahi dan memunguti telur-telur

serta meletakkannya didalam sarang busa. Setiap ikan cupang (Betta

splendens) dapat menghasilkan rata-rata telur sekitar 400-500 butir dalam

satu kali proses pemijahan. Cupang jantan akan menjaga sarang, merawat

telur, dan larva yang menetas sekitar dua hari kemudian. Pada habitat aslinya,

beberapa jenis ikan cupang ditemui mengerami telurnya di dalam mulut

(Mouthbreeder). Dalam satu periode pemijahan biasanya anak cupang hias

yang hidup mencapai 60% betina dan 40% jantan. Padahal cupang hias yang

laku di pasaran hanya yang berjenis kelamin jantan, kecuali untuk tujuan

sebagai induk betina (Perkasa, 2001).

7
2.3 Habitat Ikan Cupang

Ikan cupang (Betta splendens) hidup di daerah tropis, terutama di benua

Asia sampai Afrika. Habitat asalnya berupa perairan dangkal berair jernih,

seperti daerah persawahan atau anak sungai yang memiliki temperatur 24 –

270C dengan kisaran pH 6,2 – 7,5 serta tingkat kandungan mineral terlarut

dalam air atau kesadahan (hardnees) berkisar 5 – 12 dH. Pada umumnya ikan

cupang sanggup bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik pada

kisaran pH 6,5 – 7,2 dan hardnees berkisar 8,5 – 10 dH. Akan tetapi saat ini

ikan cupang sudah banyak dibudidayakan dalam wadah atau lingkungan yang

terkontrol seperti kolam, akuarium, bak dan wadah budidaya lainnya.

Perkembangbiakan Betta splendens. bersifat bubblenester, yaitu membuat

sarang busa sebelum memijah dan telur-telur dimasukkan ke dalam sarang –

sarang gelembung yang telah dibuat oleh ikan jantan. (Linke, 1994;

Sanford,1995).

2.4 Determinasi dan Diferensiasi Kelamin

Proses diferensiasi kelamin merupakan proses yang terjadi ketika

gonad ikan berkembang menjadi suatu jaringan yang definitif dan jenis

kelamin individu ditentukan oleh faktor genetik serta lingkungan (Silverin

dkk. 2000). Secara genetik, jenis kelamin ditentukan oleh kromosom yang

telah terbentuk pada saat proses pembuahan (Matty 1985). Selanjutnya

perkembangan jaringan gonad dimulai setelah sel bakal gonad (primordial

germ cell; PGC) berdiferensiasi menjadi testis atau ovarium. Sebelum

diferensiasi terjadi, ikan mengalami fase labil karena PGC masih belum

8
terdiferensiasi menjadi oogonia atau spermatogonia. Faktor lingkungan

sangat berpengaruh pada saat proses diferensiasi (Van Winkoop dan

Timmermans 1992) dan pada kondisi normal, individu dengan gonad XX

akan berkembang menjadi betina yang memiliki ovarium, sedangkan individu

dengan gonad XY akan berkembang menjadi jantan yang memiliki testis.

Fase labil pada ikan memungkinkan untuk dilakukan rekayasa

diferensiasi kelamin. Jika selama periode labil tersebut larva diintervensi

dengan bahan-bahan seperti hormon androgen atau estrogen, maka hal itu

mempengaruhi perkembangan gonad yang dapat berlangsung secara

berlawanan dengan yang seharusnya (Park dkk. 2004). Pada kondisi ini

terjadi pengarahan morfologi jenis kelamin ikan, tingkah laku, serta fungsi

pada saat periode kritis, di mana otak embrio yang telah terbentuk masih

dalam keadaan bipotensial untuk mengarahkan jenis kelamin. Contoh pada

ikan nila proses diferensiasi kelamin terjadi hingga 30 hari setelah

penyerapan kuning telur, atau 37 hari setelah menetas (Kwon dkk. 2000).

2.5 Pengarahan Kelamin (Sex Reversal)

Pengubahan kelamin (sex reversal) merupakan proses alami untuk

menjaga stabilitas populasi. Pengubahan kelamin (sex reversal) yang

dimaksudkan dalam budidaya adalah suatu teknologi yang mengarahkan

perkembangan kelamin ikan menjadi betina atau jantan. Cara ini dilakukan

pada waktu gonad ikan belum berdiferensiasi secara jelas menjadi jantan atau

betina, dan hal tersebut tidak mengubah genotipenya. Yamamoto (1969)

menyatakan bahwa perubahan kelamin secara buatan akan berhasil jika

9
dilakukan sebelum proses diferensiasi kelamin, dan berlanjut sampai

diferensiasi kelamin terjadi. Tujuan utama dari penerapan teknik sex reversal

adalah menghasilkan populasi monoseks (tunggal kelamin). Dengan

membudidayakan ikan berkelamin tunggal akan didapatkan berbagai

manfaat, antara lain mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang relatif

cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan penampilan yang baik, dan

menunjang genetika ikan (Zairin 2002).

Pada dasarnya ada dua metode yang digunakan untuk mendapatkan atau

memperoleh populasi monoseks, yaitu cara langsung melalui terapi hormonal

dan cara tidak langsung atau rekayasa kromosom. Pada terapi langsung,

hormon androgen dan estrogen mempengaruhi fenotipe tetapi tidak

mempengaruhi genotipe (Zairin 2002). Metode langsung dapat diterapkan

pada semua jenis ikan, apapun jenis kromosom kelaminnya.

Peningkatan penggunaan hormon steroid sintetis untuk menghasilkan

populasi monoseks ikan untuk sistem produktif yang intensif dapat

menyebabkan masalah kesehatan lingkungan dan masyarakat, dan telah

dilarang oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri

No: Kep. 20/Men/2003 tentang larangan penggunaan 17α-Methyl

Testosterone (DKP 2003). Alasan penggunaan hormon steroid sintetis untuk

ikan adalah karena ikan betina, umumnya sudah bereproduksi pada ukuran

kecil, dan menunjukkan pertumbuhan somatik yang lambat pada kepadatan

tinggi. Sementara itu, ikan jantan menunjukkan tingkat pertumbuhan yang

relatif lebih cepat disbanding ikan betina dan lebih disukai untuk budidaya

monoseks (Hiness dan Watts 1995).

10
Mengingat adanya permasalahan dalam penggunaan hormon sintetik,

maka diperlukan adanya bahan lain dalam sex reversal. Salah satu cara yang

diyakini aman, yakni dengan penggunaan bahan alami yang ramah

lingkungan, antara lain adalah dengan madu lebah hutan (Sukmara 2007,

Utomo 2008). Perlakuan madu dalam sex reversal dapat dilakukan dengan

beberapa cara, misalnya dengan perendaman induk atau larva (Martati 2006,

Sukmara 2007), atau dengan pemberian pakan yang telah dicampur madu

(Syaifuddin 2004, Mukti 2008, Utomo 2008).

Pemilihan cara harus didasarkan pada efektivitas, efisiensi,

palatabilitas, kemungkinan polusi, dan biaya. Metode perendaman adalah

metode alternatif untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada pemberian

melalui oral seperti terjadinya pencucian, teknis pencampuran yang mungkin

kurang homogen atau kurang efisien secara ekonomis. Dengan metode

perendaman, diharapkan larutan yang digunakan akan masuk ke dalam tubuh

ikan melalui proses difusi (Zairin 2002). Dengan demikian, penggunaan

madu diharapkan mampu mengatasi masalah penggunaan hormon sintetik

untuk kegiatan sex reversal dalam akuakultur, yang berdasarkan pada

keamanan pangan dengan mengedepankan konsep back to nature (kembali

ke alam).

Pada kasus hermaprodit, hormon yang diberikan hanya akan

memepercepat proses perubahan sedangkan pada seks reversal perubahannya

benar-benar dipaksakan. Ikan yang seharusnya berkembang menjadi betina

dibelokkan perkembangannya menjadi jantan melalui proses penjantanan

11
(maskulinisasi). Sedangkan ikan yang seharusnya menjadi jantan dibelokkan

menjadi betina melalui proses pembetinaan (feminisasi).

2.6 Madu

Madu adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang

dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar), bagian

lain dari tanaman (ekstra floral nektar), atau ekskresi serangga (Anonim

2004). Karbohidrat merupakan fraksi terbesar dari madu, yakni kurang lebih

80%. Sebagian besar dari karbohidrat ini (85-95%) berupa monosakarida

(fruktosa dan glukosa), berbentuk disakarida, oligosakarida dan polisakarida

(White 1979 dalam Siregar 2002) sedangkan sisanya berupa kandungan

mineral, vitamin, protein dan kandungan air.

Protein dalam madu berasal dari sisa-sisa larva, polen dan dari lebah

itu sendiri. Protein madu terdapat dalam bentuk albumin, globulin, protease,

pepton, histon, albumin, albuminoid, nukleoprotein dan asam-asam amino

esensial (White 1979 dalam Siregar 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa

asam amino bereaksi perlahan-lahan dengan gula dan membentuk senyawa

kuning atau coklat.

Kandungan vitamin dalam madu sangat sedikit, sehingga tidak

signifikan secara nutrisi bila dihubungkan dengan jumlah madu yang biasa

dikonsumsi (Siregar 2002). Madu mengandung berbagai mineral seperti

kalium, kalsium, magnesium dan natrium yang bersifat alkali (Marhiyanto

1999). Kandungan mineral-mineral tersebut dapat mengakibatkan tubuh

lobster air tawar menjadi alkali yang berpengaruh terhadap kelangsungan

12
hidup kromosom X dan Y, sesuai dengan sifat kromosom X dan Y.

Kromosom Y lebih tahan lama pada keadaan basa, sedangkan kromosom X

tidak dapat bertahan lama, sehingga pada saat spermiasi, jumlah kromosom Y

yang dihasilkan induk jantan lebih banyak dari pada kromosom X (Toelihere

1979 dalam Irawan 2000). Semakin tinggi kandungan mineral, biasanya

semakin gelap warna madunya (Gojmerac 1980 dalam Siregar 2002).

Dengan menggunakan teknik kromatografi cair berperforma tinggi

(high performance liquid chromatography, HPLC), diketahui bahwa madu

mengandung 16 flavonoid, diantaranya adalah chrysin yang besarnya rata-rata

13% dari total flavonoid (Ferreres et al. 2006). Senyawa kimia yang

diklasifikasikan sebagai phytochemical (isoflavonoid, flavonoid danligan)

adalah steroid alami dengan kemampuan sebagai aromatase inhibitor yang

bisa menekan biosintesis estrogen dalam sel (Eng dkk. 2001). Tindakan

tersebut terkait dengan struktur phytochemical yang stabil, dan berat

molekulnya rendah sehingga dapat melewati membran sel (Ososki dan

Kenelly 2003). Zat chrysin merupakan salah satu jenis flavonoid yang diakui

sebagai salah satu penghambat enzim aromatase atau lebih dikenal sebagai

aromatase inhibitor (Dean 2004). Tingkat hidroksilasi pada molekul

meningkatkan kemampuan enzimatik inhibitor. Oleh karena itu jika dosis

yang diberikan lebih tinggi, maka akan meningkatkan aktivitas penghambatan

(Krazeisen et al. 2002).

Flavonoid bertindak sebagai fitoestrogen, karena senyawa ini memiliki

struktur yang dikenali mirip estrogen untuk reseptor estrogen, sehingga

senyawa ini bersaing dengan estrogen endogen untuk berikatan dengan

13
reseptor. Akibatnya, mereka dapat bertindak sebagai anti estrogen atau

estrogen lemah (Miyahara dkk. 2003). Fitoestrogen biasanya estrogen lemah

karena afinitas mereka lebih rendah untuk diterima oleh reseptor estrogen.

14
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat

Penelitian ini akang berlangsung selama bulan April 2019 hingga Juni

2019, di Laboratorium Sea Farming Budidaya Perairan Universitas Pattimura

Ambon.

3.2 Alat dan Bahan

Tabel 1. Alat yang digunakan

No Alat Jumlah Peruntukan

.
1. Akuarium 1 Wadah adaptasi (aklimatisasi)
2. Toples 10 Wadah perlakuan dan pemeliharaan
3. Stopwatch 1 Untuk menghitung lama perendaman
4. Sendok plastik 1 Untuk memindahkan larva
5. Termometer 1 Untuk mengukur suhu air
6. Pipet tetes 3 Untuk mengambil dan memindahkan

larutan
7. Gelas ukur 1 Untuk mengukur volume larutan
8. Spatula 1 Untuk mengaduk larutan dalam air
9. Botol sampel 3 Untuk menyimpan sampel
11. Laptop 1 Untuk pengolahan data
12. Alat tulis 1 Mencatat data
13. Kamera 1 Untuk dokumentasi
14. Mikroskop 1 Untuk pengamatan jenis kelamin
15. Kaca objek 3 Wadah pengamatan
16. Cover glass 3 Sebagai penutup wadah pengamatan

Tabel 2. Bahan yang digunakan

No Bahan Jumlah Peruntukan

15
.
1. Indukan ikan 10 Untuk dikawinkan dan dipijahkan

cupang
2. Larva ikan cupang 300 Biota yang diamati
3. Air tawar - Media hidup ikan cupang
4. Kuning telur, - Pakan untuk pemeliharaan larva

artemia, kutu air

dan jentik nyamuk


5. Madu hutan - Bahan maskulinisasi
6. Detergen dan - Untuk membersihkan wadah

klorin pemeliharaan larva


7. Kapas - Media pengawetan
8. Larutan alcohol - Untuk pengawetan larva ikan cupang

3.3 Prosedur Penelitian

PERSIAPAN
SARANA DAN
PRASARANA

PERENDAMAN LARVA
DENGAN MADU
BERBEDA

5ml/L 6ml/L 7ml/L

16
PEMELIHARAAN LARVA

PENGAMATAN ORGAN
KELAMIN

Gambar2. Bagan Prosedur Kerja

3.3.1 Perendaman dan Pemeliharaan Larva

Perendaman di dalam air yang mengandung madu, dilakukan pada larva

ikan cupang setelah berumur 7 hari dengan lama waktu perendaman selama 12

jam. Konsentrasi madu yang dicampurkan selama perendaman yaitu 5 ml/L, 6

ml/L dan 7 ml/L dengan kepadatan 30 ekor/perlakuan, kemudian

dihomogenkan dengan cara pengadukan. Setelah itu, larva ikan cupang

dipelihara hingga kelamin ikan cupang terbentuk untuk dilakukan proses

pengamatan dan identifikasi jenis kelamin. Pemberian pakan dilakukan setelah

larva berumur 3 hari menggunakan rebusan kuning telur dan artemia.

Frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali/hari secara satiation. Metode

pemberian pakan secara satiasi dimungkinkan lebih sesuai dan cukup efisien

dengan kebutuhan larva ikan cupang, sesusai dengan daya tampung

pencernaan serta tidak berlebihan

3.3.2 Pengamatan Jenis Kelamin

17
Pemangamatan jenis kelamin larva ikan cupang dilakukan secara

mikroskopis dan morfologi. Parameter yang diamati meliputi persentase jenis

kelamin jantan, tingkat kelangsungan hidup larva setelah perendaman dan akhir

penelitian.

3.4 Rancangan Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan menggunakan 3 perlakuan dan 3 ulangan :

- Perlakuan K = Perendaman larva ikan cupang pada konsentrasi madu 0ml/L

- Perlakuan A = Perendaman larva ikan cupang pada konsentrasi madu 5ml/L

- Perlakuan B = Perendaman larva ikan cupang pada konsentrasi madu 6ml/L

- Perlakuan C = Perendaman larva ikan cupang pada konsentrasi madu 7ml/L

C1 C2 C3

B1 B2 B3

18
K A1 A2 A3

Gambar 3. Desain penelitian

3.5 Pengambilan Data

3.5.1 Identifikasi Jenis Kelamin Ikan Cupang

Pengamatan jenis kelamin dilakukan sejak jenis kelamin ikan cupang

terdiferensiasi, kemudian di identifikasi dengan menggunakan mikroskop. Pada

saat proses pengamatan berlangsung, larutan hematoksilin digunakan untuk

membantu proses pewarnaan dan penampakan jenis kelamin ikan cupang.

3.5.2 Tingkat Kelulusan Hidup (SR)

Kelulusan hidup larva ikan cupang diamati proses perendaman selesai

dan setelah kelamin ikan cupang terdiferensiasi. Rumus kelangsungan hidup

menurut Effendi (2002) adalah :

Keterangan :

19
KH : Kelangsungan Hidup

A : Jumlah ikan yang hidup setelah penelitian

B : Jumlah ikan yang hidup sebelum penelitian

3.6 Analisis Data

Dalam penulisan skripsi ini analisis data yang digunakan adalah bersifat
deskriptif dengan mendeskripsikan kondisi/ karakteristik/ keadaan/ kejadian
tertentu. Penulis juga menggunakan acuan data primer (secara langsung
mengamati kejadian-kejadian di lapangan), Wawancara, dan meggunakan
data sekunder melalui buku, artikel, jurnal, skripsi/disertasi. Untuk
menganalisa data yang diperoleh dari skripsi ini penulis menggunakan
metode analisis statistik deskriptif. Data kelulusan hidup dan presentase jenis
kelamin disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Cupang (Betta splendens)

Nilai persentase kelangsungan hidup larva ikan cupang setelah perlakuan


perendaman madu rata-rata adalah 100%. (Gambar 4.)

20
120
100 100 100 100
100
Presentase (%)
80
Konsentrasi 5ml
60
Konsentrasi 6ml
40 Konsentrasi 7ml
Kontrol
20

0
Perlakuan Perendaman Madu Konsentrasi Berbeda

Gambar 4. Presentase Kelangsungan Hidup Larva Ikan Cupang (Betta splendens)


Setelah Perlakuan Perendaman Madu.

Berdasarkan Gambar 4, menjelaskan bahwa tingkat kelulusan hidup larva


ikan cupang setelah perlakuan perendaman dengan madu sangatlah baik yakni
rata-rata 100%. Dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa dosis madu tidak
terlalu berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup larva ikan cupang.
Tinggi rendahnya kelangsungan hidup larva ikan cupang salah satunya
dipengaruhi oleh faktor luar seperti adanya kompetisi ruang gerak, kualitas air,
kuantitas pakan dan penanganan yang kurang baik dan tidak hati-hati terutama
pada saat sampling (Zonneveld dkk.,1991).

Nilai presentase kelangsungan hidup larva ikan cupang selama pemeliharaan


berkisar antara 25,55% - 30%. (Gambar 5)

21
31.00
30.00
30.00
28.88
29.00
Presentase (%) 28.0027.77
Konsentrasi 5ml
27.00
Konsentrasi 6ml
26.00 25.55 Konsentrasi 7ml
25.00 Kontrol
24.00
23.00
Perlakuan Perendaman Madu Konsentrasi Berbeda

Gambar 5. Persentase Kelangsungan Hidup Larva Ikan Cupang (Betta


splendens) Selama Pemeliharaan

Berdasarkan Gambar 5, menjelaskan bahwa tingkat kelulusan hidup larva


ikan cupang selama pemeliharaan pada perlakuan kontrol yaitu tanpa campuran
madu lebih baik yakni kisaran rata – rata 30% dibandingkan dengan perendaman
dengan konsentrasi madu 7ml yakni kisaran rata – rata 28,88%, perendaman
dengan konsentrasi 6ml yakni kisaran rata – rata 25,55% dan perendaman dengan
konsentrasi 5ml yakni kisaran rata – rata 27,77%. Secara keseluruhan rata - rata
kelulusan hidup larva ikan cupang selama pemeliharaan tidak baik yakni di
bawah 35 %. Rendahnya kelangsungan hidup larva ikan cupang pasca
perendaman sangat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan atau perawatannya.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu cara pemberian pakan alami yang
sesuai dengan bukaan mulut larva ikan, ketersediaan pakan dalam media
pemeliharaan, penyifonan secara rutin untuk menjaga kebersihan air dari sisa
pakan atau feses ikan.

4.2 Jenis Kelamin Larva Ikan Cupang (Betta splendens) Pada


Perendaman Dengan Konsentrasi 0ml Madu

22
Persentase jenis kelamin larva ikan cupang pada perendaman dengan
konsentrasi 0ml madu menghasilkan jantan 25 % dan betina 75 %. (Gambar 6)

75
Rata - Rata
25

0 10 20 30 40 50 60 70 80
Presentase Jenis Kelamin (%)

Jantan Betina

Gambar 6. Persentase Jenis Kelamin Larva Ikan Cupang (Betta splendens)


Pada Perendaman Dengan Konsentrasi 0ml Madu

4.4 Jenis Kelamin Larva Ikan Cupang (Betta splendens) Pada


Perendaman Dengan Konsentrasi 5ml Madu

Persentase jenis kelamin larva ikan cupang pada perendaman dengan


konsentrasi 5ml madu menghasilkan jantan 85 % dan betina 15 %. (Gambar 7)

15
Rata-Rata
85

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Presentase Jenis Kelamin (%)

Jantan Betina

Gambar 7. Persentase Jenis Kelamin Larva Ikan Cupang (Betta splendens)


Pada Perendaman Dengan Konsentrasi 5ml Madu

4.5 Jenis Kelamin Larva Ikan Cupang (Betta splendens) Pada Perendaman
Dengan Konsentrasi 6ml Madu

23
Persentase jenis kelamin larva ikan cupang pada perendaman dengan
konsentrasi 6ml madu menghasilkan jantan 95,24 % dan betina 4,76 %. (Gambar
8)

4.76
Rata - Rata
95.24

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00


Presentase Jenis Kelamin (%)

Jantan Betina

Gambar 8. Persentase Jenis Kelamin Larva Ikan Cupang (Betta splendens)


Pada Perendaman Dengan Konsentrasi 6ml Madu

4.6 Jenis Kelamin Larva Ikan Cupang (Betta splendens) Pada Perendaman
Dengan Konsentrasi 7ml Madu

Persentase jenis kelamin larva ikan cupang pada perendaman dengan


konsentrasi 7ml madu menghasilkan jantan 100 % dan betina 0%. (Gambar 9)

0
Rata - Rata
100

0 20 40 60 80 100 120
Presentase Jenis Kelamin (%)

Jantan Betina

Gambar 9. Persentase Jenis Kelamin Larva Ikan Cupang (Betta splendens)


Pada Perendaman Dengan Konsentrasi 7ml Madu

4.7 Jenis Kelamin Jantan Larva Ikan Cupang (Betta splendens)

24
Persentase rata – rata tertinggi jenis kelamin jantan larva ikan cupang yakni
pada perendaman madu dengan konsentrasi 7ml yaitu 33 %. (Gambar 9)

Presentase Jenis Kelamin Jantan

8%

28% Konsentrasi 5ml


Konsentrasi 6ml
Konsentrasi 7ml
33%
Kontrol

31%

Gambar 10. Persentase Jenis Kelamin Jantan Larva Ikan Cupang (Betta
splendens)

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi madu maka semakin
tinggi pengaruh tingkat efektifitas senyawa chrysin yang terkandung didalam
madu terhadap perubahan jenis kelamin jantan ikan cupang. Penelitian ini
didukung oleh (IJEACCM, 2006) yang melaporkan bahwa madu mengandung
senyawa chrysin yang berfungsi sebagai aromatase inhibitor alami.

Ballthazart dan Ball (1989) dalam Server dkk. (1999), melaporkan bahwa
aromatase inhibitor mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen
yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase. Penurunan
konsentrasi estrogen, mengakibatkan banyaknya hormon testosteron yang
kemudian akan mengarahkan kelamin menjadi jantan. Server dkk. (1999),
menambahkan bahwa larva yang mengalami aktivitas aromatase rendah akan
mengarah pada terbentuknya testis, sebaliknya larva yang mengalami aktivitas
aromatase tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari. Dengan demikian,
dibutuhkan dosis yang efektif untuk proses maskulinisasi, karna dosis efektif
yang dibutuhkan tidak sama pada semua ikan. Menurut Piferrer dan Donaldson
(1989) dalam Fariz (2014) bahwa dosis yang tinggi dan waktu perendaman yang

25
terlalu lama juga akan bersifat paradoksial yaitu hasil yang diperoleh bukanlah
peningkatan jumlah ikan jantan akan tetapi akan meningkatkan jumlah ikan
betina.

Tingginya persentase ikan cupang jantan diduga karena masuknya chrysin


yang terkandung dalam larutan madu ke dalam tubuh ikan secara difusi pada saat
perendaman. Kandungan chrysin juga akan menghambat aktivitas aromatase
yang mengakibatkan kandungan testosteron lebih banyak dibandingkan dengan
hormon estradiol (Sarida dkk., 2010). Dalam proses steroidogenesis dalam sel,
pembentukan estradiol dari konversi testosteron akibat adanya enzim aromatase
akan terhambat karena adanya chrysin yang berperan sebagai aromatase inhibitor
dan pada akhirnya proses steroidogenesis berakhir pada pembentukan testosteron
yang akan merangsang pertumbuhan organ kelamin jantan dan menimbulkan
sifat-sifat kelamin sekunder jantan (Ukhroy, 2008). Menurut Marti (2006) dalam
Haq (2013), madu akan masuk secara difusi ke dalam peredaran darah dan
mencapai organ target.

4.8 Pengaruh Penggunaan Madu Terhadap Proses Maskulinisasi Larva Ikan


Cupang (Betta splendens)
Larva ikan cupang yang diberi perlakuan pada penelitian ini adalah larva
yang berumur 7 hari setelah menetas. Saat dalam perendaman pergerakan larva
aktif seperti sebelum perendaman. Tingkat kelangsungan hidup larva sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pengubahan kelamin larva ikan cupang.
Diduga tinggi rendahnya kelangsungan hidup larva ikan salah satunya
dipengaruhi oleh faktor luar seperti adanya kompetisi ruang gerak, kualitas air,
kuantitas pakan dan penanganan yang kurang baik dan tidak hati-hati terutama
pada saat sampling (Zonneveld dkk.,1991). Keberhasilan perubahan jenis
kelamin juga dipengaruhi oleh jenis dan dosis yang digunakan, metode
pemberian, lama perlakuan dan jenis ikan (Hines dan Watt, 1995). Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa konsentrasi madu yang optimum berpengaruh
terhadap maskulinisasi ikan cupang dan penggunaan madu cukup efektif untuk
sex reversal ikan cupang pada periode labil dan berpotensi tinggi untuk
menggantikan hormon sintetis MT yang selama ini biasa digunakan. Menurut

26
Matty (1985) diferensiasi kelamin pada ikan merupakan proses yang relatif labil
dibandingkan vertebrata yang lebih tinggi, dan kondisi ini memungkinkan untuk
dilakukan rekayasa kelamin. Peningkatan persentase ikan cupang kelamin jantan
hasil perendaman dengan madu menunjukkan bahwa bahan tersebut berperan
penting dalam pengubahan arah diferensiasi kelamin ikan cupang.

Suatu individu akan menjadi jantan atau betina tergantung pada ada atau
tidaknya hormon testosteron pada awal perkembangannya. Bila ada hormon
testosteron maka gonad akan berdiferensiasi menjadi testis dan sebaliknya, bila
tidak ada hormon testosteron maka gonad akan berkembang menjadi ovarium
(Scholz dan Gutzeit, 2000).

Penggunaan bahan alamiah madu sebagai perangsang steroid dilatar


belakangi karena hormon steroid androgen yaitu 17 α metiltestosteron diduga
mengandung residu yang menjadi bahan pencemar terhadap lingkungan yang
sulit terdegradasi bahkan diduga dapat menyebabkan kanker (bersifat
karsinogenik) pada manusia (Phelps dkk, 2001). Penggunaan madu aman
digunakan karena sifatnya yang non karsinogenik, dan belum dilaporkan dapat
mencemari lingkungan. Madu merupakan bahan alami yang mengandung chrysin
sebagai pengarah kelamin jantan yang ramah lingkungan dan diharapkan dapat
menyaingi bahan-bahan yang lain, dengan harga terjangkau bahkan lebih
ekonomis.

Madu digunakan karna mengandung flavonoid chrysin yang diduga dapat


berfungsi sebagai penghambat kerja enzim aromatase atau sebagai aromatase
inhibitor (Dean 2004). Aromatase adalah enzim yang mengkatalis reaksi
androgen menjadi estrogen (Callard dkk., 1990). Reaksi ini terjadi pada semua
makhluk hidup tingkat tinggi pada fase-fase tertentu (critical period) yang akan
mengarahkan penentuan kelamin dari mahkluk hidup tersebut. Secara umum
aromatase inhibitor menghambat aromatase melalui dua cara yaitu dengan
menghambat proses transkripsi dari gen-gen aromatase sehingga mRNA tidak
terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Server dkk.,
1999), atau melalui cara bersaing dengan substrat alami (testosteron) sehingga
aktivitas aromatase tidak berjalan (Brodie, 1991). Seperti halnya hormon steroid,

27
efektivitas madu dalam maskulinisasi juga dipengaruhi oleh dosis, jenis madu,
lama waktu perendaman, suhu perlakuan dan lama waktu perlakuan (Brodie,
1991).

Keberhasilan madu sebagai bahan alami maskulinisasi yang bisa


menghasilkan 100% ikan cupang jantan pada penelitian terjadi pada perendaman
dengan konsentrasi 7ml. Hal ini diduga karena konsentrasi madu yang optimum
diberikan kepada larva ikan cupang yang berumur 7 hari. Pengunaan madu
sebagai bahan alami dan ramah lingkungan mampu menghasilkan produktivitas
ikan cupang jantan yang tinggi.

BAB V

28
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens.) melalui perendaman madu


dengan konsentrasi berbeda mendapatkan tingkat kelangsungan hidup rata-rata
100% setelah proses perendaman dengan madu dan tingkat kelangsungan hidup
selama pemeliharaan berkisar antara 25,55% - 30%. Pada penelitian ini perlakuan
dengan konsentrasi madu 0 atau kontrol mendapat presentase jenis kelamin ikan
cupang (Betta splendens.) jantan 25% sedangkan perlakuan dengan konsentrasi 7
ml/L menghasilkan presentase jenis kelamin ikan cupang (Betta splendens.)
jantan 100%, hal ini menunjukan bahwa konsetrasi madu yang tepat berperan
penting dalam proses maskulinisasi.

5.2 Saran

Dari penelitian yang dilakukan penulis menyarankan perlu adanya


penelitian lebih lanjut untuk mengetahui fungsional ikan cupang (Betta
splendens.) hasil maskulinisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Standar Nasional Indonesia (SNI) Standar Nasional Indonesia.


2004. Madu. 01-3545-2004. SNI
Capelo AS, Asuncion C, Francisco T, Teodomiro F, Rafael P. 2001. Potassium
regulates plasma testosterone and renal ornithinedecarboxylase in mice.
Federation of European Biochemical Societies 333: 32-34.

29
Contreras-Shanchez WM, Fitzpatrick MS. 2001. Fate of methyltestosteron in the
pond environtment: Impact of Mt-contaminated soil on tilapia sex
differentiation. Effluents and Pollution Research 2c (9er2c). Department of
Fisheries and Wildlife. Oregon State University, USA
Daelami D. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Hias Air Tawar. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Dean W. 2004. Chrysin: is it an effective aromatase inhibitor? Vitamin Research
Products News. Volume 18. Http://Vrp.Com/Art/1208.Asp.Htm. [12 Juli
2018].
Djihad NA. 2015. Pengaruh Lama Perendaman Larva Ikan Cupang (Betta
splendens) Pada Larutan Tepung Testis Sapi Terhadap Nisbah Kelamin.
Skripsi . Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Makassar.
(DKP) Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Surat Keputusan Menteri No:
Kep. 20/Men/2003 tentang Larangan Penggunaan 17α-Methyl Testosterone
(Mt). DKP.
Eng ET, Williams D, Mandava U, Kirma U, Tekmal RR, Chen S. 2001.
Suppression of aromatase (estrogen synthetase) by red wine
phytochemicals. Breast Cancer Research andTreatment 67:133-146.
Fahmi AU. 2018. Pengaruh Penggunaan Madu Terhadap Maskulinisasi Larva
Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Secara Fenotip
Ferreres JR, Marcoval J, Bordas X, Moreno A, Muniesa C, Prat C, Peyri J. 2006.
Calciphylaxis associated with alcoholic cirrhosis
Hanafiah, K.A. 2000. Rancangan Percobaan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Heriyati E. 2012. Sex Reversal Ikan Nila Menggunakan Madu Dan Analisis
Ekspresi Gen Aromatase. [Tesis] Bogor : Program Studi Mayor Ilmu
Akuakultur. Institut Pertanian Bogor
Hines GA, Watts SA. 1995. Nonsteroidal chemical sex manipulation of tilapia.
J World Aquacul Soc 26: 98-102.
Howell WM, Hunsinger RN, Blanchard PD. 1994. Paradoxical masculinization of
female mosquito fish during exposure to spironolactone. The Progressive
Fish-Culturist 56: 51-55
Huwoyon, G.H., Rustidija, R. Gustiano. 2008. Pengaruh Pemberian Hormon
Methyltestoterone Pada Larva Ikan Guppy (Poecilia reticulate) Terhadap
Perubahan Jenis Kelamin
Irawan D. 2000. Pemisahan sel spermatozoa sapi madura kromosom X dan Y
dengan teknik sentrifugasi menggunakan kolom percoll. [Skripsi].
Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Erlangga.
KrazeisenA, Breitling R, Moller G, Adamski J. 2000. Human 17βhydroxysteroid
dehydrogenase type 5 is inhibited by dietary flavonoids. In: Buslig S and
Manthey J (Eds). Flavonoids in cell function. Kluwer Acad Press. USA.
p151-160.
Kwon YJ, Haghpanah V, Kogson-Hurtado LM, McAndrew BJ, Penman DJ. 2000.
Masculinization of genetic female Nile tilapia (Oreochromis niloticus) by
dietry administration of an aromatase inhibitor during sexual
differentiation. The Journal of Experimental Zoology 287: 46-53.

30
Le Bail JC, Laroche T, Marre-Fournier F, Habrioux G. 1998. Aromatase and
17βhydroxysteroid dehydrogenase inhibition by flavonoids. Cancer Let-
ters 133: 101-106.
Linke H. 1994. Eksplorasi Ikan Cupang di Kalimantan. Trubus. No.297. Agustus.
H.86-89.
Marhiyanto B. 1999. Peluang Bisnis Beternak Lebah Madu. Gitamedia.
Surabaya. Hal. 95.
Martati E. 2006. Efektivitas madu terhadap nisbah kelamin ikan gapi (Poecilia
reticulata Peters). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.
Matty AJ. 1985. Fish endocrinology. Timber Press Portland. USA
Miyahara M, Ishibashi H, Inudo M, Nishijima H, Iguchi T, Guillette LJ, K.
Arizono, 2003. Estrogenic activity of a diet to estrogen receptors -alpha and
-beta in an experimental animal. Journal of Health Science 49:481491.
Ososki AL, Kennelly EJ. 2003. Phytoestrogens: a review of the present state of
research. Phytotherapy Research 17: 845-869.
Park IS, Kim JH, Cho SH, Kim DS. 2004. Sex differentiation and hormonal sex
reversal in the bagrid catfish (Pseudobagrus fulvidraco Richardson).
Aquaculture 232: 183-193
Perkasa, B.E. 2001. Budidaya Cupang Hias dan Adu. Jakarta: Penebar Swadaya.
Perkasa, B.E. dan Hendry G, 2002. Solusi Permasalahan Cupang. Jakarta.
Penebar Swadaya
Sanford G. 1995. An Illustrated Encylopedia of Aquarium Fish. Apple Press.
London. H.86.
Silverin B, Baillien M, Foidart A, Balthazart J. 2000. Distribution of aromatase
activity in the brain and peripheral tissues of passerine and nonpasserine
avian species. General and Comparative Endocrinology 117: 34-53
Siregar HC. 2002. Pengaruh metode penurunan kadar air, suhu dan lama
penyimpanan terhadap kualitas madu. [Tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu
Ternak. Institut Pertanian Bogor.
Sudradjat. 2003. Pembenihan dan Pembesaran Cupang Hias. Yogyakarta.
Kanisius..
Sukmara. 2007. Sex reversal pada ikan gapi (Poecilia reticulata Peters) secara
perendaman larva dalam larutan madu 5ml/l. [Skripsi]. Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Syaifuddin A. 2004.Pengaruh pemberian suplemen madu pada pakan larva ikan
nila (Oreochromis niloticus) GIFT terhadap rasio jenis kelaminnya.
[Skripsi]. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya.
Utomo B. 2008. Efektifitas Penggunaan Aromatase Inhibitor dan Madu Terhadap
Nisbah Kelamin Ikan Gapi (Poecilia reticulata), Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ukhroy N.U. 2008. Efektifitas Penggunaan Propolis Terhadap Nisbah Kelamin
Ikan Guppy (Poecilia reticulata), Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Van Winkoop A, Timmermans LPM. 1992. Phenotypic changes in germ cells
during gonadal development of the common carp Cyprinus carpio and

31
immunohistochemical study with anti-carp spermatogonia
monoclonalantibodies. Histochemistry 98: 289– 298.
Yamamoto T. 1969. Dalam Heriyati E. 2012. Sex Reversal Ikan Nila
Menggunakan Madu Dan Analisis Ekspresi Gen Aromatase. [Tesis]
Bogor : Program Studi Mayor Ilmu Akuakultur. Institut Pertanian Bogor
Yustina, Arnentis dan Darmawati. 2003. Daya Tetas dan Laju Pertumbuhan Larva
Ikan Betta splendens di Habitat Buatan. Jurnal Bionatur. Bandung.
Zairin MJr. 2002. Sex reversal memproduksi benih ikan jantan atau betina.
Jakarta: Penebar Swadaya

32

Anda mungkin juga menyukai