Anda di halaman 1dari 39

PEMBENIHAN IKAN NILA SALIN (Oreochromis niloticus) DI BALAI

BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU KECAMATAN


JEPARA KABUPATEN JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

RIZKI MUSTIKAWATI
26010212130052

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
I. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Ikan O. niloticus merupakan salah satu jenis ikan yang dapat dibudidayakan

pada areal tambak udang. Dibandingkan dengan jenis ikan lainnya, ikan ini memiliki
banyak keunggulan untuk dikembangkan karena sifat biologi yang menguntungkan
seperti pertumbuhannya yang cepat, pemakan segala bahan makanan (omnivora),
memiliki daya adaptasi yang luas, dan toleransi terhadap kondisi lingkungan cukup
tinggi. Penyebaran usaha budidaya ikan nila yang luas di seluruh dunia dihasilkan
dari kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan sistem budidaya intensif,
demikian juga yang dilakukan di negara negara Asia yang menjadi penghasil nila
terbesar (Ath-thar dan Rudy, 2010).
Permasalahan yang dihadapi pada pengembangan ikan nila salin yaitu
ketersediaan benih yang dapat dipelihara dalam air asin. Benih yang didapatkan
berasal dari hasil adaptasi bertahap dari air tawar. Tanpa adanya proses adaptasi
tersebut maka benih ikan nila akan mati. Hambatan lain yang dialami dalam proses
pengembangan ikan nila yaitu rendahnya daya tahan ikan nila salin dibandingkan
ikan nila air tawar. Dengan demikian diperlukan pemeriksaan lebih detail terkait
pemijahan dan pemeliharaannya di level air asin. Pengujian salinitas terhadap
reproduksi terhadap reproduksi ikan nila merah pernah dilakukan oleh Watanabe
dengan hasil yang menunjukkan penurunan produktivitas (Jalaluddin, 2014).
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) merupakan Unit
Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan
Perikanan. BBPBAP yang berkantor di Jalan Cik Lanang 1, Bulu, Jepara. Mempunyai
tugas dalam melaksanakan pengembangan dan penerapan teknik pembenihan,

pembudidayaan, pengelolaan kesehatan ikan, dan pelestarian lingkungan. Inovasi


yang telah dilakukan oleh BBPBAP dalam sektor perikanan yaitu salah satunya
pembudidayaan nila salin. BBPBAP Jepara juga melakukan diseminasi dalam
pengembangan budidaya perikanan di Jawa Tengah. Kegiatan inovatif yang dilakukan
BBPBAP telah membuahkan hasil berupa meningkatnya pertumbuhan ikan nila yang
tetap optimal walaupun dipelihara di air salin.
1.2.

Perumusan Masalah
Ketersediaan benih ikan nila salin (O. niloticus) semakin menurun dikarenakan

kurangnya kualitas induk yang baik. Menurunnya kualitas induk diakibatkan karena
kurangnya pengetahuan akan pengadaan dan seleksi induk yang baik dan benar.
Pengadaan dan seleksi induk merupakan faktor penting dalam proses pembenihan
ikan nila (O. niloticus). Selain pengadaan dan seleksi induk, proses pemijahan
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembenihan ikan nila. Proses
pemijahan alami maupun semi buatan yang baik merupakan salah satu cara yang
dilakukan untuk menambah produksi benih ikan nila yang unggul, akan tetapi
kebanyakan pada proses pemijahan ini tidak begitu diperhatikan. Pernyataan diatas
dapat disimpulkan bahwa perlu adanya penerapan cara pembenihan ikan yang baik
serta mengacu pada SNI. Harapannya dengan adanya praktek kerja lapangan
pembenihan ikan nila, maka mampu memilih induk yang baik serta mampu
menghasilkan benih yang berkualitas.

1.3.

Tujuan
Tujuan dari praktek kerja lapangan ini adalah untuk:

1. Mengetahui proses pembenihan ikan nila salin (O. niloticus) di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau, Kelurahan Bulu, Kecamatan Jepara,
Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.
2. Mengetahui fekunditas telur, fertilization rate, hatching rate, dan survival rate
pada ikan nila salin (O. niloticus) di di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau, Kelurahan Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa
Tengah.
1.4.

Manfaat
Praktek kerja lapangan ini memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang

proses pembenihan ikan nila salin (O. niloticus) di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Kelurahan Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi
Jawa Tengah.

1.5.

Waktu dan Tempat


Praktek kerja lapangan ini dilaksanakan pada tanggal 26 Januari 13 Februari

2015 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Kelurahan Bulu, Kecamatan
Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Ikan Nila


Menurut pendapat Amri dan Khairuman (2003), ikan nila (O. niloticus)
diklasifikasikan dalam:

Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Pisces

Ordo

: Percomorphi

Famili

: Cichlidae

Genus

: Oreochromis

Species

: Oreochromis niloticus

Gambar 1. Ikan nila (Sumber : Rukmana, 1997: 20)

2.2. Morfologi Ikan Nila


Ikan nila memiliki bentuk tubuh pipih kesamping dan memanjang; pada
sepanjang tubuhnya memiliki garis vertikal sebanyak 9 - 11 buah; garis - garis pada
sirip ekor berwarna merah berjumlah 6 - 12 buah; terdapat garis garis miring pada
sirip pungung; dan tepi mata berwarna putih, tampak menonjol dan besar (DPKD,

2013). Menurut Diana (2011), pada sirip ekor ikan nila terdapat enam garis melintang
berwarna gelap. Garis seperti itu juga terdapat di sirip punggung dan sirip dubur.
Gurat sisi terputus di bagian tengah badan, kemudian berlanjut tetapi letaknya lebih
ke bawah dari letak garis yang memanjang di atas sirip dada. Jumlah sisik pada gurat
sisi sebanyak 34 buah.
Ikan nila memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada
(pectoral fin), sirip perut (ventral fin), sirip anus (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin).
Sirip punggung memanjang dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas sirip
ekor. Sirip perut dan sirip dada berukuran kecil dan masing masing ada sepasang.
Sirip anus berbentuk agak panjang dan hanya berjumlah satu buah , sedangkan sirip
ekor berbentuk bulat. Jari - jari sirip punggung terdiri dari 17 jari - jari keras dan 13
jari-jari lemah, sirip perut terdiri dari 1 jari - jari keras dan 5 jari-jari
lunak, sirip dada terdiri dari 15 jari - jari lunak, sirip anus terdiri dari 3 jari - jari keras
dan 10 jari - jari lunak sedangkan sirip ekor terdiri dari 8 jari - jari keras melunak.
Sirip punggung dan sirip dada berwarna gelap, sedangkan sirip dada berwarna abuabu atau hitam (Diana, 2011).

2.3. Habitat dan Kebiasaan Hidup


Ikan nila mempunyai toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya
sehingga dapat dipelihara di dataran rendah yang berair payau hingga dataran tinggi
yang berair tawar. Habitat hidup ikan nila cukup beragam, dari sungai, danau, waduk,
rawa, sawah, kolam, hingga tambak (Amri dan Khairuman, 2002).

Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Ikan
nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air bersalinitas 0 35 permil. Oleh karena
itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak, dan perairan laut,
terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997).

2.4. Pengelolaan Induk Ikan Nila


Kolam pemeliharaan induk merupakan kolam pemeliharaan calon induk
atau induk yang dipijahkan hingga menjelang akan dipijahkan. Selain itu, kolam ini
dapat diartikan sebagai kolam pematangan gonad. Kolam pemeliharaan induk
sangat penting disiapkan agar dapat telur berkualitas baik. Untuk memudahkan
pengelolaannya, kolam sebaiknya berupa kolam tanah yang luasnya 100 m.
Kepadatan kolam induk sebaiknya hanya 2 ekor/m. Jika kolam terlalu padat
maka produksi telur dan frekuensi pemijahannya rendah. Jumlah kolam induk dalam
satu unit pembibitan sebaiknya 2 4 bidang. Hal ini bertujuan agar induk induk
yang sudah memijah dapat dipindahkan ke kolam yang kosong atau cadangan. Induk
ini terus dipelihara sampai mengalami pematangan sel telur lagi (Suyanto, 1994).

2.5. Seleksi Induk Ikan Nila


Menurut Judantari et al., (2008), Induk yang akan digunakan adalah induk yang
siap memijah atau bakalan induk yang siap memijah. Induk yang berkualitas baik
kondisi sehat, bentuk badan normal, sisik besar dan tersusun rapi, kepala relatif kecil

dibandingkan dengan badan, badan tebal dan berwarna mengkilap (tidak kusam),
gerakan lincah dan memiliki respon yang baik terhadap pakan tambahan.
Tabel 1. Ciri ciri induk jantan dan betina ikan nila O. niloticus
Ciri - Ciri
Bentuk tubuh

Induk Jantan
Lebih tinggi dan

Induk Betina
Lebih rendah dan memanjang

Warna tubuh
Jumlah lubang kelamin

membulat
Lebih cerah
Satu lubang (untuk

Lebih gelap
Dua lubang :

mengeluarkan sperma
Bentuk kelamin

sekaligus air seni)


Tonjolan agak

meruncing
Warna sirip ekor
Didominasi merah
Sumber: Judantari et al., 2008

1. Untuk mengeluarkan telur


2. Untuk mengeluarkan air seni
Tidak menonjol dan
berbentuk bulat
Hitam

Menurut BSN (1999), untuk menentukan kematangan gonad ikan jantan dapat
dilakukan dengan mengurut (stripping) dari perut ikan ke arah anus. Apabila ikan
jantan yang telah matang gonad akan mengeluarkan cairan kental berwarna bening
dan pada sekitar perut sampai kepala bagian bawah berwarna merah, sedangkan
untuk menentukan kematangan gonad ikan betina dilakukan dengan meraba bagian
perut dan pengamatan bagian anus. Ikan betina yang telah matang gonad ditunjukkan
dengan telur berwarna kuning kehijauan, bagian perut melebar, lunak kalau diraba,
bagian anus menonjol dan kemerahan.

Gambar 2. Perbedaan kelamin nila jantan dan betina (Sumber: Suyanto, 1993: 12)

2.6. Pemijahan Ikan Nila


Ikan nila dapat mencapai saat dewasa pada umur 4 5 bulan dan akan mencapai
pertumbuhan maksimal untuk melahirkan sampai berumur 1,5 2 tahun. Pada saat
berumur lebih dari 1 tahun kira kira beratnya mencapai 800 g dan saat ini ikan nila
bisa mengeluarkan 1200 1500 larva setiap kali memijah. Pemijahan ikan nila dapat
berlangsung selama 6 7 kali memijah. Sebelum memijah ikan nila jantan selalu
membuat sarang di dasar perairan dan daerahnya akan dijaga dan merupakan daerah
teritorialnya sendiri (Brotoadji, 2011).
Menurut Ghufron dan Kordi (2010), secara alami, ikan nila biasanya memijah
setelah turun hujan. Sejak berumur 4 bulan, nila sudah dapat memijah, bahkan nila
dikenal sebagai ikan yang tukang kawin. Bila tiba saatnya memijah, induk jantan
membuat sarang berbentuk cekungan di dasar perairan yang diameternya sekitar 30 50 cm, kemudian induk jantan menggiring induk betina pasangannya masuk ke dalam

sarang tadi. Induk betina akan mengeluarkan telur dan pada saat yang sama induk
jantan mengeluarkan sperma. Pembuahan terjadi di dasar sarang.
Proses pemijahan ikan nila berlangsung sangat cepat. Telur ikan nila
berdiameter kurang lebih 2,8 mm, berwarna abu-abu, kadang-kadang berwarna
kuning, tidak lengket, dan tenggelam di dasar perairan. Telur - telur yang telah
dibuahi kemudian dierami di dalam mulut induk betina kemudian menetas setelah 4
- 5 hari. Panjang larva 4 - 5 mm. Larva yang sudah menetas diasuh oleh induk betina
hingga mencapai umur 11 hari dan berukuran 8 mm. Larva yang sudah tidak diasuh
oleh induknya akan berenang secara bergerombol di bagian perairan yang dangkal
atau di pinggir kolam (Amri dan Khairuman, 2002).
Menurut Rukmana (2006), ikan nila memiliki sifat mudah berbiak dan memijah
secara alamiah. Meskipun demikian, dalam usaha pembenihan dapat dilakukan tiga
cara pemijahan sebagai berikut:
a. Pemijahan secara alamiah, yaitu pemijahan tanpa pemberian (perlakuan)
rangsangan
b. Pemijahan semi buatan, yaitu pemijahan dengan pemberian (perlakuan)
rangsangan hormon , tetapi proses ovulasi dan pembuahannya dilakukan secara
alamiah ditempat pemijahan
c. Pemijahan buatan, yaitu pemijahan dengan pemberian (perlakuan) rangsangan
hormon, dan proses ovulasi maupun pembuahannya dilakukan secara buatan

2.7. Penetasan Telur


Nila merah tergolong sebagai mouth breeder atau pengeram dalam mulut. Telur
- telur yang telah dibuahi akan menetas dalam jangka 35 hari di dalam mulut induk
betina. Nila merah jantan mempunyai naluri membuat sarang berbentuk lubang di

dasar perairan yang lunak sebelum mengajak pasangannya untuk memijah. Selesai
pemijahan, induk betina menghisap telur - telur yang telah dibuahi untuk dierami di
dalam mulutnya. Induk jantan akan meninggalkan induk betina, membuat sarang
dan kawin lagi. Ikan nila merupakan parental care fish, yaitu tipe yang mengerami
telur dan menjaganya dalam mulut (Suyanto, 1994).
Nila betina mengerami telur di dalam mulutnya dan senantiasa mengasuh
anaknya yang masih lemah. Selama 10 - 13 hari, larva diasuh oleh induk betina.
Jika induk betina melihat ada ancaman, maka anakan akan dihisap masuk oleh mulut
betina, dan dikeluarkan lagi bila situasi telah aman. Benih diasuh sampai berumur
kurang lebih 2 minggu (Sugiarto, 1988). Telur ikan nila bulat dengan warna
kekuningan. Sekali memijah dapat mengeluarkan telur sebanyak 300 - 1.500 butir
tergantung ukuran induk betina. Ikan nila mulai memijah pada bobot 100 - 150
gram, tetapi produksi telurnya masih sedikit. Induk yang paling produktif
bobotnya antara 500 - 600 gram (Suyanto, 1993).

2.8. Kelulushidupan
Pertumbuhan dan survival rate benih ditentukan oleh beberapa faktor, seperti
padat tebar yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, semakin tinggi padat
tebar maka kelangsungan hidupnya rendah karena terjadi persaingan dalam
memperoleh makanan. Pemberian nutrisi pakan juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan survival rate, karena kualitas dan kuantitasnya harus memenuhi
padat tebar ikan. Suhu juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan
survival rate ikan nila, apabila suhu terlalu rendah ikan tidak dapat tumbuh dengan

baik, demikian juga pada suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kematian pada
ikan nila. Kondisi lingkungan lainnya berupa kualitas air yang baik, akan
menyebabkan ikan nila tidak mudah terserang penyakit dan dapat tumbuh serta
bertahan hidup dengan baik, sebaliknya kualitas air yang tidak baik akan
mengakibatkan ikan nila mudah terserang penyakit sehingga pertumbuhan dan
survival rate akan terganggu (Guerrero III dan Guerrero, 2004).

2.9. Kualitas Air


Menurut BSN (2009), pengelolaan kualitas air yag baik selama produksi
diupayakan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Tabel 2. Kualitas air yang baik untuk ikan nila O. niloticus
No
1.
2.
3.
4.
5.

Parameter
Suhu
pH
Oksigen terlarut
Amoniak (NH3)
Kecerahan

Satuan
o
C
mg/l
mg/l
cm

Kisaran
25 - 32
6,5 - 8,5
3
< 0,02
30 - 40

III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
Materi yang digunakan pada praktek kerja lapangan di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
3.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktek kerja lapangan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 3. Alat yang digunakan dalam praktek kerja lapangan
No

Alat

Kegunaan

.
1.
2.

Ember
Seser kasar

Sebagai wadah penampung induk dan telur


Sebagai alat penangkap induk

3.

Seser halus

Sebagai alat penangkap larva

4.

Mangkok

Sebagai wadah pengamatan telur dan larva

5.

Timbangan elektrik

Sebagai alat menimbang gonad

6.

Timbangan

Sebagai alat menimbang induk

7.

DO meter

Sebagai alat ukur DO dan suhu

8.

Refraktometer

Sebagai alat ukur salinitas

9.

Aerator

Sebagai alat pemasok O2

10.

Bak plastik

Sebagai wadah larva

11.

Gunting

Sebagai alat sectio induk

12.

Sterofoam

Sebagai alat sectio induk

13.

Penggaris

Sebagai alat ukur panjang induk dan larva

14.

Alat tulis

Sebagai alat untuk mencatat data

15.

Camera digital

Sebagai alat dokumentasi kegiatan

3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapangan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4. Bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapangan
No

Bahan

Kegunaan

Induk nila jantan


Induk nila betina

Sebagai bahan pengamatan


Sebagai bahan pengamatan

.
1.
2.

3.

Kaporit

Sebagai bahan anti jamur

3.2. Metode
Metode yang digunakan dalam praktek kerja lapangan di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah adalah metode observasi
dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
3.2.1. Data primer
Data primer dalam praktik kerja lapangan di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah didapatkan melalui :
1. Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengenal
dan mengetahui kegiatan dan fasilitas yang ada di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah.
2. Wawancara yaitu tanya jawab dengan pembimbing, staf, dan pelaksana lapangan
sesuai dengan bidangnya masing - masing.

3.2.2. Data sekunder


Data sekunder didapatkan melalui studi pustaka, yaitu menelaah laporan
laporan dan pustaka - pustaka, baik dari lembaga lembaga penelitian maupun
instansi - instansi yang ada kaitannya dengan budidaya.

3.3. Pelaksanaan
3.3.1. Fekunditas telur

Fekunditas adalah jumlah telur yang telah masak dalam suatu ovarium
sebelum dikeluarkan pada waktu memijah. Cara yang dilakukan di BBPBAP untuk
mengetahui fekunditas yaitu sebagai berikut: Menimbang bobot tubuh ikan sebelum
dilakukan sectio; setelah dilakukan penimbangan, ikan dibedah pada bagian perut dan
gonad dikeluarkan secara hati hati; gonad yang telah dikeluarkan dikeringkan
dengan tissu dan ditimbang; gonad yang telah ditimbang diencerkan dan diaduk
hingga homogen; setelah homogen, dilakukan perhitungan telur sample sebanyak 3
kali ulangan.
Menurut Jalaluddin (2014), fekunditas ikan ditentukan dengan menggunakan
metode gravimetrik dengan rumus:
F:

G
xN
Q

Keterangan:
F

: Fekunditas (butir)

: Bobot tubuh (g)

: Bobot gonad contoh (g)

: Jumlah telur pada gonad contoh (butir)

3.3.2. Fertilization rate

Persentase pembuahan dihitung dengan cara membandingkan telur yang


terbuahi dengan jumlah total telur kemudian dinyatakan dalam persen. Perhitungan
yang dilakukan untuk mengetahui besarnya daya fertilitas yang dikemukakan oleh
Mukti et al., (2009) adalah sebagai berikut:
Jumlah telur yang dibuahi
x 100 %
Daya fertilitas (%) : Jumlah telur seluruhnya
3.3.3. Hatching rate
Proses penetasan telur pada BBPBAP Jepara diawali dengan sampling telur
pada mulut induk ikan nila. Apabila telur tersebut sudah dierami dalam mulut, dengan
ciri ciri telur berwarna kuning dan berbentuk oval maka telur tersebut siap dipanen.
Telur dikeluarkan dari mulut dan dimasukkan dalam wadah ember yang didalamnya
telah berisi air dan aerasi yang cukup. Air yang digunakan dibuat bersalinitas 11 12
ppt. Proses penetasan telur berjalan selama 6 7 hari. Dalam proses penetasan harus
sering dilakukan monitoring suhu, selain itu telur yang rusak (tidak menetas) harus
dibuang agar kualitas air tetap terjaga.

Menurut Mukti et al., (2009), perhitungan daya tetas telur dihitung dengan
menggunakan rumus yaitu :
Daya tetas (%) :

Jumlah telur yang menetas


x 100 %
Jumlah telur yang terbuahi

3.3.4. Survival rate


Tingkat kelangsungan hidup menunjukkan persentase larva yang hidup
dari sejumlah telur yang menetas setelah

pemeliharaan. Nasution et al., (2014)

mengemukakan

bahwa

perhitungan

tingkat

kelangsungan

hidup

dihitung

menggunakan rumus berikut:


SR :

Nt
x 100 %
No

Keterangan :
SR

: Tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt

: Jumlah larva hidup setelah pemeliharaan (ekor)

No

: Jumlah larva hidup awal pemeliharaan (ekor)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Kolam penampungan induk dan Sumber air
Kolam penampungan induk ikan nila di BBPBAP Jepara sekaligus digunakan
untuk kolam pemijahan. Jumlah kolam pemijahan ikan nila salin di BBPBAP jepara

sejumlah 10 kolam, dengan luas kolam 4 m 2. Ketinggian air pada kolam pemijahan
tersebut yaitu 70 cm. Kepadatan induk pada tiap kolam sebanyak 1 - 3 ekor/m 2.
Kolam pemijahan yang digunakan berupa kolam berbentuk persegi yang dilengkapi
saluran inlet dan outlet. Pada saluran inlet jarang digunakan, karena pasokan air untuk
proses pemijahan berupa air tawar. Kolam pemijahan ini berbahan dasar semen yang
dibentuk cekung menuju saluran oulet.

Gambar 3. Bak pemeliharaan induk

Sumber air yang digunakan untuk pemijahan berupa air tawar. Air tersebut
berasal dari sumur bor yang ditampung pada bak tandon yang kemudian dialirkan
pada bak dan diberi aerasi. Air yang masuk pada bak - bak pemijahan tidak ada
treatment khusus. Sumber air yang digunakan untuk pemeliharaan benih berupa air
laut yang bersalinitas 30 ppt. Air tersebut berasal dari laut yang kemudian ditampung
dan disaring pada preasure sand filter. Air yang telah disaring dialirkan pada bak
bak pemeliharaan benih. Pada proses pemeliharaan induk maupun benih

menggunakan sistem air mengalir, tujuannnya agar dapat meminimalisir kotoran


kotoran seperti pakan yang tidak termakan, feses dll.

Gambar 4. Preasure sand filter

4.1.2. Seleksi induk


Induk yang akan dipijahkan harus memiliki kriteria tertentu. Adapun kriteria
indukan yang siap dipijahkan yaitu; gerakannya lincah, warna tubuh cerah, kondisi
ikan sehat, bagian tubuh tidak cacat, pada ikan jantan apabila diurut bagian perut
mengeluarkan cairan berwarna putih kental sedangkan pada ikan betina pada alat
kelaminnya berwarna kemerahan dan mengeluarkan telur jika diurut. Indukan yang
siap memijah biasanya berumur 5 - 6 bulan, dengan panjang lebih dari 11 cm. Bobot
tubuh untuk ikan betina 100 g, sedangkan untuk ikan jantan 200 g. Ikan jantan
cenderung lebih besar dibanding ikan betina. Induk yang biasa dipijahkan pada
BBPBAP jepara ini berasal dari BBAT seperti Janti dan Sukabumi.

Seleksi induk yang dilakukan di BBPBAP Jepara menggunakan metode


sampling. Tujuan dari metode sampling yaitu untuk mengetahui ikan nila yang telah
matang gonad. Sampling dilakukan dengan menangkap ikan nila dan melihat ikan
yang telah matang gonad dengan mengamati alat kelaminnya. Apabila ikan nila yang
telah matang gonad, ikan dimasukkan pada kolam yang kosong untuk dilakukan
pemijahan dengan rasio pemijahan ikan jantan dan betina yaitu 1 : 3. Induk yang
tersedia yaitu 80 ekor, dengan induk jantan 20 ekor dan induk betina 60 ekor. Induk
yang siap dipijahkan untuk jantan sebanyak 8 ekor dan induk betina 24 ekor.
Perbedaan ikan nila jantan dan betina

Ikan nila jantan


Ikan nila betina
Gambar 5. Perbedaan jenis kelamin ikan nila
4.1.3. Pemeliharaan induk
Bak pemeliharaan induk yang digunakan di BBPBAP Jepara sekaligus
digunakan sebagai bak pemijahan. Bak pemeliharaan induk yang akan digunakan
harus dalam kondisi bersih agar terhindar dari jamur dan parasit. Air yang digunakan
dalam pemeliharaan induk ikan nila yaitu air tawar. Padat penebaran induk berkisar 1
3 ekor/m2. Selama pemeliharaan induk membutuhkan waktu 1 2 bulan (sampai
ikan tersebut mampu memijah atau sudah matang gonad). Pada saat pemeliharaan

induk, induk yang akan dipijahkan diberi pakan sebanyak 2 - 3 kali sehari, dengan
pemberian pakan ad satiation. Pakan yang digunakan berupa pakan buatan (pellet)
yang berdiameter 1 cm. Setiap seminggu sekali dilakukan monitoring kualitas air
seperti DO dan suhu.

4.1.4. Proses pemijahan


Proses pemijahan ikan nila salin yang ada di BBPBAP jepara ini dilakukan
secara alami. Proses pemijahan terjadi pada malam hari. Perbandingan ikan jantan
dan betina yaitu 1 : 3. Proses pemijahan membutuhkan waktu 1 - 2 bulan hingga
ikan nila mampu menghasilkan larva. Proses pemijahan berawal dari ikan betina yang
mengeluarkan telur dan kemudian ikan jantan menyemprotkan spermanya sehingga
terjadi pembuahan. Dalam waktu 2 minggu induk betina mampu menghasilkan telur.
Telur yang berhasil dibuahi dimasukkan dalam mulut induk betina dan dierami
(karena ikan nila memiliki sifat mouth breeding), kemudian menetas setelah 5 6
hari. Induk betina yang sedang mengerami telur cenderung tidak mau makan. Setelah
telur menetas dan menjadi larva, induk nila membutuhkan waktu 2 minggu untuk
memeliharanya. Setelah 2 minggu pemeliharaan larva yang dihasilkan akan
dimuntahkan oleh induk betina, akan tetapi jika ada musuh, larva tersebut akan
dimasukkan lagi dalam mulut.

4.1.5. Fekunditas telur


Hasil fekunditas telur yang didapatkan pada praktek kerja lapangan dapat
dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Fekunditas telur ikan nila salin (O. niloticus)


G (g)
g (g)
N (butir)
F (butir)
2,92
0,5
71
414
Keterangan: G: bobot gonad total, g: bobot tubuh contoh, N: jumlah telur sampel, F:
fekunditas. Berdasarkan tabel diatas, sampel induk nila salin yang diamati mampu
menghasilkan atau memproduksi telur sebanyak 414 butir.

4.1.6. Fertilization rate


Hasil data derajat pembuahan ikan nila salin yang didapat dari praktek kerja
lapangan di BBPBAP Jepara dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Derajat pembuahan ikan nila salin (O. niloticus)
Induk
Jumlah semua telur (butir) Jumlah telur yang dibuahi (butir) FR (%)
I
127
102
80,31
II
1192
1110
93,12
Tabel diatas menunjukkan bahwa hasil FR pada induk II lebih besar dibandingkan
dengan induk I. Hal ini dapat diartikan bahwa induk II lebih mampu membuahi telur
dibanding induk I.

4.1.7. Proses penetasan


Proses penetasan telur yang dilakukan pada BBPBAP Jepara cukup sederhana.
Proses penetasan menggunakan wadah berupa 2 ember plastik yang dilengkapi
dengan aerasi, akan tetapi tidak menggunakan heater guna untuk menstabilkan suhu.
Induk I ditempatkan pada wadah I dengan diameter 39 cm, ketinggian wadah 16 cm
dan pengisian air 8 cm, sedangkan induk II ditempatkan pada wadah II berdiameter
48,5 cm, ketinggian wadah 23 cm, dan ketinggian air 15 cm. Proses penetasan telur

berjalan 7 hari terhitung dari telur yang dilengkapi mata hingga menjadi larva yang
dapat berenang aktif. Telur yang didapatkan berwarna kuning dan berbentuk oval
yang telah dilengkapi mata. Hasil derajat penetasan pada praktek kerja lapangan
dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Derajat penetasan ikan nila salin (O. niloticus)
Induk
Jumlah telur menetas
Jumlah telur terbuahi
HR (%)
I
83
102
81,37
II
910
1110
81,98
Berdasarkan data diatas, hasil HR pada induk II lebih besar dibandingkan induk I.
Induk II mampu menetaskan telur lebih baik dibanding induk I.

4.1.8. Pemeliharaan larva


Larva yang dipelihara ditempatkan pada wadah berupa ember plastik yang
berdiameter 39 cm, dengan ketinggian air 13,5 cm. Larva nila salin perlu
diaklimatisasi agar larva tersebut mampu didederkan pada salinitas tinggi.
Aklimatisasi dilakukan setiap 6 jam sekali dengan menaikkan salinitas 5 ppt. Selama
proses aklimatisasi larva diberi makan berupa pakan buatan (bubuk), setelah
mencapai salinitas 30 ppt, larva diberi pakan alga sebanyak 3 kali sehari serta aerasi
yang cukup. Setelah bersalinitas 30 ppt larva tersebut dipindah pada bak plastik
dengan ukuran 65 x 46 x 41 cm dan diisi air sampai mencapai 32 cm. Pada saat
pemeliharaan dilakukan pergantian air dan baiknya disiphon sebanyak 2 kali dalam
sehari. Padat penebaran larva yaitu 100 - 50 ekor/wadah. Larva - larva tersebut
dipelihara selama 2 bulan sampai mencapai pendederan I (ukuran 2 cm). Selain
aklimatisasi dan pakan, kualitas air juga mempengaruhi kelulushidupan larva. Adapun

hasil derajat kelulushidupan yang dilakukan pada praktek kerja lapangan dapat dilihat
pada tabel 6.
Tabel 6. Derajat kelulushidupan larva ikan nila salin (O. niloticus)
Induk

larva awal pemeliharaan

larva akhir pemeliharaan

SR (%)

(ekor)
(ekor)
I
83
83
100
II
412
220
53,40
Berdasarkan data tersebut, hasil SR dari induk I lebih baik dibanding induk II. Hal ini
berarti bahwa larva yang dihasilkan oleh induk I lebih mampu melangsungkan
hidupnya dibandingkan larva pada induk II.

4.1.9. Kualitas air


Hasil data kualitas air yang didapatkan pada praktek kerja lapangan dapat
dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil kualitas air ikan nila salin (O. niloticus)
Bak I
DO
Suhu
No

Bak II
DO
Suh

Kelayakan
DO
Suhu

Tahapan
(mg/l)

(oC)

(mg/l)

(mg/l)

(oC)
1.
Pemeliharaan induk 4,86
28,7
4,46
27,3
3
2.
Penetasan telur
5,91
27,5
5,09
27,5
3
3.
Pemeliharaan larva 5,91
27,5
6,01
27,4
5
Berdasarkan tabel diatas, kualitas air pada tahap pemeliharaan induk

(oC)
28-32
27-31
25-30
hingga

pemeliharaan larva sudah cukup optimal. Kualitas air pada pemeliharaan induk masih
cukup rendah dibandingkan kualitas air pada penetasan telur dan pemeliharaan larva.

4.2. Pembahasan
4.2.1. Kolam penampungan induk dan Sumber air
Kolam penampungan induk merupakan kolam pemeliharaan calon induk atau
induk hingga menjelang akan dipijahkan. Berdasarkan hasil yang telah didapatkan,
kolam semen yang digunakan untuk pemijahan ikan nila salin belum cukup optimal.
Kolam yang baik untuk proses pemijahan ikan nila salin yaitu kolam tanah,
dikarenakan kolam tanah mengandung bau ampo yang dapat merangsang proses
pemijahan. Selain itu kolam tanah juga dapat mempermudah ikan nila jantan
membuat cekungan untuk memijah. Dalam satu unit kolam pemijahan ikan nila salin
terdapat 10 bidang, hal ini bertujuan agar induk yang telah dipijahkan dapat dipindah
pada kolam yang kosong. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto (1994), kolam
pemeliharaan induk dapat diartikan sebagai kolam pematangan gonad. Untuk
memudahkan pengelolaannya, kolam sebaiknya berupa kolam tanah. Dasar kolam
tanah juga memudahkan nila jantan membuat cekungan untuk memijah. Jumlah
kolam induk dalam satu unit pembibitan sebaiknya 2 4 bidang. Hal ini bertujuan
agar induk induk yang sudah memijah dapat dipindahkan ke kolam yang kosong.
Luas kolam merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses
pemijahan. Pergerakan ikan juga dipengaruhi oleh luas kolam, apabila semakin besar
luas kolam maka semakin besar pula pergerakan dari ikan tersebut. Luas kolam

pemijahan ikan nila salin yang digunakan belum cukup optimal. Luas kolam yang
baik untuk proses pemijahan yaitu 10 m2. Selain luas kolam, padat tebar juga
mempengaruhi tinggi rendahnya pemijahan dan produksi telur. Semakin tinggi padat
penebaran semakin rendah produksi telurnya. Padat penebaran induk yang diterapkan
sudah cukup optimal yaitu 1 3 ekor/m 2, dengan luas kolam pemeliharaan sebesar 4
m2. Hal ini diperkuat oleh pendapat Rukmana (1997), bahwa persyaratan kolam atau
bak sebagai tempat pemijahan adalah luas kolam atau bak antara 10 15 m 2, dengan
kedalaman airnya 50 cm. Menurut pendapat Suyanto (1994), kepadatan kolam
induk sebaiknya hanya 2 ekor/ m. Apabila kolam terlalu padat maka frekuensi
pemijahan dan produksi telur akan rendah.
Sumber air merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
pemeliharaan ikan nila. Sumber air yang digunakan dalam pemeliharaan induk ikan
nila salin di BBPBAP Jepara berasal dari sumur bor. Pemanfaatan sumber air tersebut
sudah cukup baik untuk pemeliharaan induk ikan nila. Pada dasarnya pemeliharaan
induk ikan nila tidak harus menggunakan sistem air mengalir akan tetapi cukup
dengan memasok air bersih agar kualitas airnya tetap terjaga. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Amri dan Khairuman (2002), bahwa sumber air untuk kolam
budidaya ikan nila berasal dari saluran irigasi teknis (buatan), sungai, kali atau
sumber air lainnya. Meskipun ikan nila tidak membutuhkan sumber air mengalir,
untuk unit pembenihan (hatchery), satu hal yang harus terpenuhi adalah kondisi
airnya yang bersih. Karena itu, jika sulit mendapatkan sumber air irigasi yang baik,
sumber airnya bisa diusahakan dari air tanah, yakni berupa sumur biasa (sumur
pompa).

4.2.2. Seleksi induk


Seleksi induk memiliki peran yang penting dalam proses pembenihan. Induk
yang baik merupakan faktor penentu kualitas dan kuantitas benih yang akan
dihasilkan. Berdasarkan seleksi induk yang telah dilakukan, indukan yang digunakan
dalam proses pemijahan pada BBPBAP Jepara termasuk dalam indukan yang
berkualitas baik. Ciri indukan yang baik dapat dilihat dari morfologinya. Berdasarkan
hasil yang didapatkan, induk yang baik dari segi kualitatif reproduksinya adalah
induk yang sehat, tidak cacat, memiliki warna tubuh yang cerah dan pergerakannya
lincah, sedangkan dari segi kuantitasnya (umur, ukuran bobot dan panjang tubuh yang
sesuai) induk ikan nila berumur 5 - 6 bulan. Bobot tubuhnya 100 g untuk ikan
betina, sedangkan untuk ikan jantan 200 g. Hal ini sesuai dengan Mubinun et al.,
(2007), bahwa induk yang akan digunakan adalah induk yang siap memijah atau
bakalan induk yang siap memijah. Induk yang berkualitas baik kondisi sehat, bentuk
badan normal, sisik besar dan tersusun rapi, kepala relatif

kecil dibandingkan

dengan badan, badan tebal dan berwarna mengilap (tidak kusam), gerakan lincah
dan memiliki respon yang baik terhadap pakan tambahan. Ukuran induk yang baik
untuk dipijahkan yaitu > 120 - 180 g/ekor dan berumur sekitar 4-5 bulan.
Syarat induk yang digunakan untuk proses pemijahan selain dilihat dari segi
kualitas dan kuantitas sifat reproduksinya juga dilihat dari kematangan gonad.
Semakin tinggi kematangan gonadnya, semakin besar pula produksi telurnya.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, induk yang dipijahkan pada BBPBAP Jepara
telah matang gonad. Hal ini ditandai dengan keluarnya cairan putih kental pada alat

kelamin ikan jantan jika diurut bagian perutnya, dan pada ikan betina ditandai dengan
memerahnya alat kelamin serta mengeluarkan telur jika diurut bagian perutnya.
Menurut pendapat BSN (1999), Cara menentukan kematangan gonad ikan jantan
dilakukan dengan mengurut perut ikan ke arah anus. Ikan jantan yang telah matang
kelamin akan mengeluarkan cairan kental berwarna bening dan di sekitar perut
sampai kepala bagian bawah berwarna merah. Sedangkan menentukan kematangan
gonad ikan betina dilakukan dengan meraba bagian perut dan pengamatan bagian
anus. Ikan betina yang telah matang gonad ditunjukkan dengan telur berwarna kuning
kehijauan, bagian perut melebar, lunak kalau diraba, bagian anus menonjol dan
kemerahan.

4.2.3. Pemeliharaan induk


Pemeliharaan yang dilakukan di BBPBAP Jepara dapat dikatakan belum
cukup baik. kolam yang digunakan untuk pemeliharaan induk digunakan juga untuk
proses pemijahan sehingga pemeliharaan induk jantan dan betina ikan nila tidak bisa
dilakukan pada kolam terpisah. Hal ini akan mempersulit dalam proses seleksi dan
membedakan induk yang sudah atau belum dipijahkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Amri dan Khairuman (2014), bahwa sebelum dipijahkan, induk ikan nila
merah jantan dan betina dipelihara di kolam terpisah. Posisi kolam induk dibuat
sedemikian rupa sehingga air buangan dari kolam induk betina tidak mengalir ke
kolam induk jantan, atau sebaliknya. Jika tidak, bau tubuh induk betina yang terbawa
arus air ke kolam induk jantan akan merangsang induk jantan untuk memijah
sehingga terjadi pemijahan liar. Pemisahan induk jantan dan betina juga member

keuntungan yaitu: kualitas telur yang dihasilkan lebih baik; memudahkan seleksi
induk; dan memudahkan saat ingin membedakan induk yang sudah atau belum
dipijahkan.
Pemeliharaan induk bertujuan agar untuk memacu perkembangan gonad.
Perkembangan gonad dapat dipacu oleh pakan yang berprotein tinggi. Pemberian
pakan induk ikan nila salin yang ada di BBPBAP Jepara sudah cukup optimal. Pakan
yang digunakan berupa pakan buatan (pellet). Menurut pendapat Amri dan
Khairuman (2014), selama dipelihara di kolam pemeliharaan, induk diberi pakan
tambahan untuk memacu perkembangan gonad (telur dan sperma). Pakan tambahan
ini diberikan sekitar 3 % dari bobot total induk yang dipelihara, dan memiliki
kandungan protein tinggi yaitu diatas 35 %. Biasanya menggunakan pakan pellet
komersial.

4.2.4. Proses pemijahan


Pemijahan adalah pelepasan produk seksual jantan dan betina ke lingkungan
secara bersamaan. Pemijahan ikan nila yang dilakukan pada BBPBAP Jepara
tergolong pemijahan secara alami. Hasil yang didapatkan dari proses pemijahan ikan
nila salin menyatakan bahwa, sistem pengelolaan dalam proses pemijahan tersebut
belum cukup baik. Pada dasarnya pemijahan ikan nila dilakukan pada kolam tanah,
dikarenakan pada kolam tanah biasanya dibuat sarang (kobangan pada tanah) guna
untuk melakukan proses pemijahan. Rasio antara betina dengan jantan dan betina
yaitu 3:1, hal ini bertujuan agar ikan jantan dapat memilih ikan betina yang benar
benar sudah matang gonad. Setelah ikan nila melakukan pemijahan, maka akan

terjadi pembuahan dan menghasilkan telur. Telur yang telah terbuahi akan dierami
dalam mulut dan akan menetas setelah 5 6 hari. Telur yang telah menetas akan
diasuh oleh induknya selama 2 minggu. Menurut pendapat Suyanto (1993), nila
merah jantan mempunyai naluri membuat sarang berbentuk lubang di dasar perairan
yang lunak sebelum mengajak pasangannya untuk memijah. Selesai pemijahan,
induk betina menghisap telur - telur yang telah dibuahi untuk dierami di dalam
mulutnya. Amri dan Khairuman (2002) menambahkan bahwa, telur - telur yang
telah dibuahi dierami di dalam mulut induk betina kemudian menetas setelah 4 - 5
hari. Hal diatas juga diperkuat oleh pendapat Sugiarto (1988), nila betina mengerami
telur di dalam mulutnya dan senantiasa mengasuh anaknya yang masih lemah.
Selama 10 - 13 hari, larva diasuh oleh induk betina. Jika induk betina melihat
ada ancaman, maka anakan akan dihisap masuk oleh mulut betina, dan dikeluarkan
lagi bila situasi telah aman.

4.2.5. Fekunditas telur


Menurut hasil pengamatan dan perhitungan fekunditas telur ikan nila dengan
bobot tubuh sebesar 150 g, dan bobot gonad sebesar 2,92 g didapatkan fekunditas
sebesar 414 butir. Hasil tersebut dapat dikatakan cukup optimal bagi ikan nila yang
memiliki bobot sebesar 150 g. Telur yang dihasilkan berbentuk bulat dan berwarna
kuning. Fekunditas telur pada ikan tergantung pada umur dan bobot tubuh ikan.
Semakin tinggi bobot tubuh ikan, semakin besar pula produksi telurnya. Hal ini
diperkuat oleh Suyanto (1994), juga menambahkan bahwa, telur ikan nila bulat
dengan warna kekuningan. Sekali memijah dapat mengeluarkan telur sebanyak

300 - 1.500 butir tergantung ukuran induk betina. Ikan nila mulai berpijah pada
bobot 100 - 150 g, tetapi produksi telurnya masih sedikit. Induk yang paling
produktif bobotnya antara 500 - 600 g. Sugiarto (1988) juga menambahkan bahwa
induk betina matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 250 - 1.100 butir.

4.2.6. Fertilization rate


Daya fertilitas sangat dipengaruhi oleh kualitas telur, sperma, media dan
penanganan manusia. Hasil yang didapatkan dari perhitungan daya fertilitas dari
masing masing wadah 80,31 % dan 93,12 %. Hal ini dapat dikatakan bahwa
kualitas sperma dan telur pada ikan uji sudah cukup baik. Ciri ciri telur yang
terbuahi yaitu berwarna transparan, sedangkan telur yang mati berwarna keruh. Hal
ini sesuai dengan pendapat Mukti et al., (2009), bahwa rata rata persentase
fertilisasi selama penelitian yaitu sebesar 98,5 %. Hal ini menunjukkan kualitas dan
jumlah sperma cukup baik untuk membuahi telur. Telur yang terfertilisasi terlihat
dari warna telur yang bening. Telur yang perkembangannya sehat adalah berwarna
transparan dan bersih, sehingga mudah dibedakan dengan telur yang mati.

4.2.7. Proses penetasan telur


Berdasarkan hasil yang didapatkan, proses penetasan telur yang ada pada
BBPBAP Jepara belum cukup optimal. Sarana prasarana yang digunakan belum
cukup baik dalam menunjang keberhasilannya. Sarana prasarana yang digunakan
cukup dengan ember berdiameter < 50 cm, tanpa adanya fasilitas yang menunjang
didalamnya. Pada dasarnya penetasan telur sebaiknya menggunakan corong

penetasan, yang didalamnya dilengkapi heater, aerasi dan saringan dimana dalam
pengelolaan airnya menggunakan sistem resirkulasi. Biasanya dalam menetaskan
telur, baiknya ditambahkan methylene blue agar telur telur yang ditetaskan tidak
mudah terkena jamur. Hal ini diperkuat oleh pendapat Yuniarti et al., (2009), bahwa
penetasan telur dengan menggunakan corong tetas berguna untuk meningkatkan daya
tetas telur. Diana et al., (2010) menambahkan bahwa, tempat penetasan dilengkapi
dengan water heater untuk menjaga suhu optimum 28 30 C. Media tempat
penetasan di beri methylene blue untuk mencegah timbulnya jamur.
Berdasarkan perhitungan daya tetas telur, hasil perhitungan wadah I yaitu
sebesar 81,37 %, sedangkan pada wadah II sebesar 81,98 % dengan salinitas masing
masing 12 ppt dan 11 ppt. Hasil perhitungan daya tetas telur dapat dikatakan masih
cukup baik. Hal ini diperkuat oleh pendapat Diana et al., (2010), bahwa perlakuan
dengan salinitas 10 ppt merupakan salinitas terbaik untuk menghasilkan daya tetas
telur ikan nila tertinggi. Hasil daya tetas telur yang dihasilkan yaitu 88,5 %. Hal ini
disebabkan konsentrasi cairan antara media penetasan dengan telur ikan nila berada
dalam keadaan hampir mendekati. Dengan demikian proses penyerapan maupun
pengeluaran pada media penetasan dan telur tidak sampai menyebabkan terjadinya
turgor maupun plasmolisis.

4.2.8. Proses pemeliharaan larva


Proses pemeliharaan ikan larva ikan nila yang dilakukan di BBPBAP Jepara
dapat dikatakan cukup baik, meskipun banyak kendala didalamnya tidak lain adalah
kelangsungan hidup larva yang rendah. Hal penting yang perlu dilakukan dalam

pemeliharaan larva yaitu aklimatisasi salinitas. Larva ikan nila yang akan didederkan
nantinya harus diaklimatisasi salinitas terlebih dahulu. Kelulushidupan larva ikan
dipengaruhi oleh faktor luar seperti pakan, salinitas, suhu dan DO. Berdasarkan hasil
yang didapatkan, kelulushidupan larva pada wadah I lebih tinggi dibanding pada
wadah II. Pada wadah I didapatkan hasil 100 %, sedangkan pada wadah II hanya
53,40 %, dengan salinitas pada kedua wadah yaitu 30 ppt. Hal ini dikarenakan larva
pada wadah II dilakukan aklimatisasi yang terlalu cepat. Pada wadah II dinaikkan 5
ppt setiap 5 jam sekali, akan tetapi pada wadah I aklimatisasi dilakukan sehari sekali
setiap kenaikan 5 ppt. Demikian akan mempengaruhi osmoregulasi pada larva, karena
larva tersebut sulit untuk beradaptasi dengan salinitas tinggi dalam jangka waktu yang
cepat. Berbeda halnya pemeliharaan larva pada wadah I. Apabila tekana osmotik
media terlalu tinggi, maka semakin besar pula larva tersebut mengeluarkan energi
untuk proses osmoregulasi. Hal inilah yang dapat mengakibatkan ikan stress dan
mengalami kematian. Menurut pendapat Yusuf (2014), semakin jauh perbedaan
tekanan osmotik tubuh dengan tekanan osmotik lingkungan, maka akan semakin
banyak

beban

kerja

energi metabolism yang dibutuhkan

untuk

melakukan

osmoregulasi sebagai upaya adaptasi pada lingkungan yang bersalinitas.


Berdasarkan perhitungan kelulushidupan larva, hasil yang didapatkan pada
wadah I jauh lebih baik dibanding wadah II. Hal ini berkaitan erat dengan salinitas.
Salinitas yang terlalu tinggi (pekat) tidak baik untuk pemeliharaan larva. Salinitas
yang baik yaitu berkisar 0 ppt 15 ppt. Menurut pendapat Fitria (2012), bahwa larva
dapat hidup dengan sintasan di atas 80 % pada salinitas 0 hingga 15 dan
disimpulkan bahwa larva dan benih ikan nila dapat hidup dengan baik hingga

salinitas 15 . Hal diatas juga diperkuat oleh pendapat Yusuf (2014), bahwa ikan
nila gift (O. niloticus), yang mengalami kematian yaitu yang dipelihara pada salinitas
20 dan 30 .

4.2.9. Kualitas air


Kualitas air merupakan unsur penting yang berperan dalam pemeliharaan
induk. Ikan nila merupakan jenis ikan yang memiliki toleransi tinggi terhadap
perubahan lingkungan perairan. Meskipun demikian kualitas air dalam wadah harus
tetap dikelola dengan baik agar pertumbuhannya tetap optimal. Berdasarkan hasil
pengamatan kualitas air yang didapatkan menyatakan bahwa kualitas air pada kolam
pemeliharaan induk sudah cukup optimal yaitu untuk suhu berkisar antara 26,7 28,7
o

C, sedangkan DO berkisar antara 3,10 4,86 mg/l. Hal tersebut diperkuat oleh

pendapat Monalisa dan Infa (2010), kisaran suhu yang baik untuk ikan adalah
berkisar 28 32 oC. Jenis ikan mampu bertahan hidup pada perairan dengan
konsentrasi oksigen 3 ppm, namun konsentrasi oksigen terlarut yang baik untuk hidup
ikan adalah 5 ppm. Sedangkan menurut pendapat BSN (2009), kisaran suhu dan
oksigen terlarut untuk ikan nila berturut turut adalah 25 32 oC dan 3 mg/l.
Proses penetasan telur selain dipengaruhi faktor dalam juga dipengaruhi
oleh faktor luar, yaitu kualitas air dalam media penetasan. Kualitas air yang
merupakan faktor utama adalah suhu, oksigen terlarut dan salinitas. Pada saat proses
penetasan telur yang telah dilakukan, didapatkan juga data kualitas air. Selain
salinitas, data kualitas air yang diamati yaitu DO dan suhu. Adapun DO yang didapat
yaitu berkisar antara 5,09 5,91 mg/l, sedangkan untuk suhu pada kedua wadah yaitu

27,5 C. Data kualitas air yang didapat cukup optimal untuk proses penetasan telur.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Diana et al., (2010), bahwa suhu air yang sesuai
berkisar antara 27-31C dan oksigen terlarut optimal minimal 3 mg/l.
Kualitas air pada saat pemeliharaan tetap harus dijaga dengan baik.
Berdasarkan data kualitas air pemeliharaan larva, hasil yang didapatkan sudah cukup
optimal. Suhu yang baik dalam pemeliharaan larva / benih ikan nila yaitu berkisar
antara > 27 oC, sedangkan DO yang baik untuk pemeliharaan yaitu > 5 mg/l. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nasution et al., (2014), bahwa kualitas dan kuantitas air
kolam pendedaran benih ikan nila Pandu yaitu, suhu sebesar 25 30 oC, dan
kandungan oksigen terlarut > 5 mg/l.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dalam praktek kerja lapang di BBPBAP Jepara
adalah sebagai berikut:
1. Proses pembenihan ikan nila salin yang dilakukan pada BBPBAP Jepara meliputi:
pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan secara alami, penetasan telur,
pemeliharaan larva dan pengelolaan kualitas air.
2. Fekunditas yang dihasilkan adalah sebanyak 414 butir. Daya fertilitas yang
dihasilkan masing masing wadah adalah 80,31 % dan 93,12 %. Hasil daya tetas
telur yaitu sebesar 81,37 % dan 81,98 % dan tingkat kelulushidupan adalah
sebesar 100 % dan 53,40 %.

5.2. Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam pelaksanaan praktek kerja lapangan di
BBPBAP Jepara yaitu teknik menaikkan salinitas dalam proses aklimatisasi harus
dilakukan dengan baik. Setiap penaikkan 5 ppt sebaiknya dilakukan setiap sehari
sekali hingga mencapai salinitas yang diinginkan (30 ppt). Demikian, hal yang perlu
diperhatikan dalam proses pemeliharaan larva agar survival rate yang dihasilkan
dapat maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Amri, K dan Khairuman. 2002. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi.


Agromedia. Jakarta.
______________________. 2003. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. Agromedia
Pustaka. Depok.
______________________. 2014. Buku Pintar Bisnis Pembenihan Ikan Konsumsi.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ath-har, M.H.F dan Rudhy, G. 2010. Performa Nila BEST Dalam Media Salinitas.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Tawar.
Brotoadji, S. 2011. 21 Hari Pembibitan Lele, Gurami, Nila. Araska. Yogyakarta.
BSN. 1999. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus BLEEKER) Kelas Induk
Pokok (Parent Stock). SNI-0161381999.
BSN. 2009. Produksi Ikan Nila (Oreochromis niloticus BLEEKER) Kelas
Pembesaran Di Kolam Air Tenang. SNI 7550: 2009.
Diana, A.N., Endang, D.M., Akhmad, T.M., dan Juni, T. 2010. Embriogenesis Dan
Daya Tetas Telur Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada Salinitas Berbeda.
Fakultas Perikanan Dan Kelautan, Universitas Airlangga.
Diana, A.N. 2011. Embriogenesis Dan Daya Tetas Telur Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) Pada Salinitas Berbeda (Skripsi). Fakultas Perikanan Dan
Kelautan, Universitas Airlangga.
Dinas Perikanan Kelautan Daerah. 2013. Petunjuk Teknis Pembenihan Dan
Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Sulawesi Tengah.
Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

Fitria, A.S. 2012. Analisis Kelulushidupan dan Pertumbuhan Benih Ikan Nila Larasati
(Oreochromis niloticus) F5 D30-D70 pada Berbagai Salinitas. Journal Of
Aquaculture Management and Technology, 1 (1): 18-34.
Guerrero III. R.D. and L.A. Guerrero. 2004. Effects of androstenedione and
methyltestosterone on Oreochromis niloticus fry treated for sex
reversal in outdoor net enclosures. http:// www.nraes.org/publications.
Jalaluddin. 2014. Pengaruh Salinitas terhadap Fekunditas Fungsional, Daya Tetas
Telur dan Benih Ikan Nila Salin (Oreochromis niloticus Linn). Jurnal
Manajemen Perikanan dan Kelautan, 1 (2).
Judantari, S., Khairuman dan Amri. 2008. Nila Nirwana Prospek Bisnis dan
Teknik Budidaya Nila Unggul. Gramedia. Jakarta.
Kordi, K dan Ghufron, M. 2010. Budidaya Ikan Nila di Kolam Terpal. Andi.
Yogyakarta.
Monalisa, S.S dan Infa, M. 2010. Kualitas Air yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Ikan Nila (Oreochromis sp.) di Kolam Beton dan Terpal. Journal of Tropical
Fisheries, 5(2): 526 530.
Mubinun, J. Miftahul, Irma M., H. Boyun, dan M. Takano. 2007. Manual Produksi
Induk Ikan Nila. BBAT Jambi. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya
Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan International Coorporation
Agency.
Mukti, A.T., Herliana, A., Sri, S. 2009. Pengaruh Kejutan Suhu Panas Dan Lama
Waktu Setelah Pembuahan Terhadap Daya Tetas Dan Abnormalitas Larva
Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 1
(2).
Nasution, A.S.I., Fajar, B., Sri, H. 2014. Analisis Kelulushidupan Dan Pertumbuhan
Benih Ikan Nila Saline Strain Pandu (Oreochromis niloticus) Yang Di
Pelihara Di Tambak Tugu, Semarang Dengan Kepadatan Berbeda. Journal
of Aquaculture Management and Technology, 3 (2): 25-32.
Rukmana, R.H. 1997. Ikan Nila Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius.
Yogyakarta.
_____________. 2006. Ikan Nila Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius.
Yogyakarta.

Sugiarto. 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair dan Nila, Edisi I. C.V.
Simplex. Jakarta.
Suyanto, R. 1993. Nila. Penebar Swadaya. Jakarta.
_________. 1994. Budidaya Ikan Nila Cetakan ke - 1. Penebar Swadaya. Jakarta.
Yuniarti, T., Sofi, H., Teguh, P dan Suroso. 2007. Teknik Produksi Induk Betina Ikan
Nila. Jurnal Budidaya Air Tawar, 4 (1 ): 27 31.
___________________________________. 2009. Teknik Produksi Induk Betina
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Tahap Verifikasi Jantan Fungsional (XX).
Jurnal Saintek Perikanan, 5 (1): 38 43.
Yusuf, Sri S. 2014. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Nila Gift
(Oreochromis niloticus) yang Dipelihara dalam Kondisi Salinitas
Berbeda.

Anda mungkin juga menyukai