RIZKI MUSTIKAWATI
26010212130052
1.1.
Latar Belakang
Ikan O. niloticus merupakan salah satu jenis ikan yang dapat dibudidayakan
pada areal tambak udang. Dibandingkan dengan jenis ikan lainnya, ikan ini memiliki
banyak keunggulan untuk dikembangkan karena sifat biologi yang menguntungkan
seperti pertumbuhannya yang cepat, pemakan segala bahan makanan (omnivora),
memiliki daya adaptasi yang luas, dan toleransi terhadap kondisi lingkungan cukup
tinggi. Penyebaran usaha budidaya ikan nila yang luas di seluruh dunia dihasilkan
dari kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan sistem budidaya intensif,
demikian juga yang dilakukan di negara negara Asia yang menjadi penghasil nila
terbesar (Ath-thar dan Rudy, 2010).
Permasalahan yang dihadapi pada pengembangan ikan nila salin yaitu
ketersediaan benih yang dapat dipelihara dalam air asin. Benih yang didapatkan
berasal dari hasil adaptasi bertahap dari air tawar. Tanpa adanya proses adaptasi
tersebut maka benih ikan nila akan mati. Hambatan lain yang dialami dalam proses
pengembangan ikan nila yaitu rendahnya daya tahan ikan nila salin dibandingkan
ikan nila air tawar. Dengan demikian diperlukan pemeriksaan lebih detail terkait
pemijahan dan pemeliharaannya di level air asin. Pengujian salinitas terhadap
reproduksi terhadap reproduksi ikan nila merah pernah dilakukan oleh Watanabe
dengan hasil yang menunjukkan penurunan produktivitas (Jalaluddin, 2014).
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) merupakan Unit
Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan
Perikanan. BBPBAP yang berkantor di Jalan Cik Lanang 1, Bulu, Jepara. Mempunyai
tugas dalam melaksanakan pengembangan dan penerapan teknik pembenihan,
Perumusan Masalah
Ketersediaan benih ikan nila salin (O. niloticus) semakin menurun dikarenakan
kurangnya kualitas induk yang baik. Menurunnya kualitas induk diakibatkan karena
kurangnya pengetahuan akan pengadaan dan seleksi induk yang baik dan benar.
Pengadaan dan seleksi induk merupakan faktor penting dalam proses pembenihan
ikan nila (O. niloticus). Selain pengadaan dan seleksi induk, proses pemijahan
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembenihan ikan nila. Proses
pemijahan alami maupun semi buatan yang baik merupakan salah satu cara yang
dilakukan untuk menambah produksi benih ikan nila yang unggul, akan tetapi
kebanyakan pada proses pemijahan ini tidak begitu diperhatikan. Pernyataan diatas
dapat disimpulkan bahwa perlu adanya penerapan cara pembenihan ikan yang baik
serta mengacu pada SNI. Harapannya dengan adanya praktek kerja lapangan
pembenihan ikan nila, maka mampu memilih induk yang baik serta mampu
menghasilkan benih yang berkualitas.
1.3.
Tujuan
Tujuan dari praktek kerja lapangan ini adalah untuk:
1. Mengetahui proses pembenihan ikan nila salin (O. niloticus) di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau, Kelurahan Bulu, Kecamatan Jepara,
Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.
2. Mengetahui fekunditas telur, fertilization rate, hatching rate, dan survival rate
pada ikan nila salin (O. niloticus) di di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau, Kelurahan Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa
Tengah.
1.4.
Manfaat
Praktek kerja lapangan ini memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang
proses pembenihan ikan nila salin (O. niloticus) di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Kelurahan Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi
Jawa Tengah.
1.5.
2015 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Kelurahan Bulu, Kecamatan
Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Ordo
: Percomorphi
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Species
: Oreochromis niloticus
2013). Menurut Diana (2011), pada sirip ekor ikan nila terdapat enam garis melintang
berwarna gelap. Garis seperti itu juga terdapat di sirip punggung dan sirip dubur.
Gurat sisi terputus di bagian tengah badan, kemudian berlanjut tetapi letaknya lebih
ke bawah dari letak garis yang memanjang di atas sirip dada. Jumlah sisik pada gurat
sisi sebanyak 34 buah.
Ikan nila memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada
(pectoral fin), sirip perut (ventral fin), sirip anus (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin).
Sirip punggung memanjang dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas sirip
ekor. Sirip perut dan sirip dada berukuran kecil dan masing masing ada sepasang.
Sirip anus berbentuk agak panjang dan hanya berjumlah satu buah , sedangkan sirip
ekor berbentuk bulat. Jari - jari sirip punggung terdiri dari 17 jari - jari keras dan 13
jari-jari lemah, sirip perut terdiri dari 1 jari - jari keras dan 5 jari-jari
lunak, sirip dada terdiri dari 15 jari - jari lunak, sirip anus terdiri dari 3 jari - jari keras
dan 10 jari - jari lunak sedangkan sirip ekor terdiri dari 8 jari - jari keras melunak.
Sirip punggung dan sirip dada berwarna gelap, sedangkan sirip dada berwarna abuabu atau hitam (Diana, 2011).
Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Ikan
nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air bersalinitas 0 35 permil. Oleh karena
itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak, dan perairan laut,
terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997).
dibandingkan dengan badan, badan tebal dan berwarna mengkilap (tidak kusam),
gerakan lincah dan memiliki respon yang baik terhadap pakan tambahan.
Tabel 1. Ciri ciri induk jantan dan betina ikan nila O. niloticus
Ciri - Ciri
Bentuk tubuh
Induk Jantan
Lebih tinggi dan
Induk Betina
Lebih rendah dan memanjang
Warna tubuh
Jumlah lubang kelamin
membulat
Lebih cerah
Satu lubang (untuk
Lebih gelap
Dua lubang :
mengeluarkan sperma
Bentuk kelamin
meruncing
Warna sirip ekor
Didominasi merah
Sumber: Judantari et al., 2008
Menurut BSN (1999), untuk menentukan kematangan gonad ikan jantan dapat
dilakukan dengan mengurut (stripping) dari perut ikan ke arah anus. Apabila ikan
jantan yang telah matang gonad akan mengeluarkan cairan kental berwarna bening
dan pada sekitar perut sampai kepala bagian bawah berwarna merah, sedangkan
untuk menentukan kematangan gonad ikan betina dilakukan dengan meraba bagian
perut dan pengamatan bagian anus. Ikan betina yang telah matang gonad ditunjukkan
dengan telur berwarna kuning kehijauan, bagian perut melebar, lunak kalau diraba,
bagian anus menonjol dan kemerahan.
Gambar 2. Perbedaan kelamin nila jantan dan betina (Sumber: Suyanto, 1993: 12)
sarang tadi. Induk betina akan mengeluarkan telur dan pada saat yang sama induk
jantan mengeluarkan sperma. Pembuahan terjadi di dasar sarang.
Proses pemijahan ikan nila berlangsung sangat cepat. Telur ikan nila
berdiameter kurang lebih 2,8 mm, berwarna abu-abu, kadang-kadang berwarna
kuning, tidak lengket, dan tenggelam di dasar perairan. Telur - telur yang telah
dibuahi kemudian dierami di dalam mulut induk betina kemudian menetas setelah 4
- 5 hari. Panjang larva 4 - 5 mm. Larva yang sudah menetas diasuh oleh induk betina
hingga mencapai umur 11 hari dan berukuran 8 mm. Larva yang sudah tidak diasuh
oleh induknya akan berenang secara bergerombol di bagian perairan yang dangkal
atau di pinggir kolam (Amri dan Khairuman, 2002).
Menurut Rukmana (2006), ikan nila memiliki sifat mudah berbiak dan memijah
secara alamiah. Meskipun demikian, dalam usaha pembenihan dapat dilakukan tiga
cara pemijahan sebagai berikut:
a. Pemijahan secara alamiah, yaitu pemijahan tanpa pemberian (perlakuan)
rangsangan
b. Pemijahan semi buatan, yaitu pemijahan dengan pemberian (perlakuan)
rangsangan hormon , tetapi proses ovulasi dan pembuahannya dilakukan secara
alamiah ditempat pemijahan
c. Pemijahan buatan, yaitu pemijahan dengan pemberian (perlakuan) rangsangan
hormon, dan proses ovulasi maupun pembuahannya dilakukan secara buatan
dasar perairan yang lunak sebelum mengajak pasangannya untuk memijah. Selesai
pemijahan, induk betina menghisap telur - telur yang telah dibuahi untuk dierami di
dalam mulutnya. Induk jantan akan meninggalkan induk betina, membuat sarang
dan kawin lagi. Ikan nila merupakan parental care fish, yaitu tipe yang mengerami
telur dan menjaganya dalam mulut (Suyanto, 1994).
Nila betina mengerami telur di dalam mulutnya dan senantiasa mengasuh
anaknya yang masih lemah. Selama 10 - 13 hari, larva diasuh oleh induk betina.
Jika induk betina melihat ada ancaman, maka anakan akan dihisap masuk oleh mulut
betina, dan dikeluarkan lagi bila situasi telah aman. Benih diasuh sampai berumur
kurang lebih 2 minggu (Sugiarto, 1988). Telur ikan nila bulat dengan warna
kekuningan. Sekali memijah dapat mengeluarkan telur sebanyak 300 - 1.500 butir
tergantung ukuran induk betina. Ikan nila mulai memijah pada bobot 100 - 150
gram, tetapi produksi telurnya masih sedikit. Induk yang paling produktif
bobotnya antara 500 - 600 gram (Suyanto, 1993).
2.8. Kelulushidupan
Pertumbuhan dan survival rate benih ditentukan oleh beberapa faktor, seperti
padat tebar yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, semakin tinggi padat
tebar maka kelangsungan hidupnya rendah karena terjadi persaingan dalam
memperoleh makanan. Pemberian nutrisi pakan juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan survival rate, karena kualitas dan kuantitasnya harus memenuhi
padat tebar ikan. Suhu juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan
survival rate ikan nila, apabila suhu terlalu rendah ikan tidak dapat tumbuh dengan
baik, demikian juga pada suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kematian pada
ikan nila. Kondisi lingkungan lainnya berupa kualitas air yang baik, akan
menyebabkan ikan nila tidak mudah terserang penyakit dan dapat tumbuh serta
bertahan hidup dengan baik, sebaliknya kualitas air yang tidak baik akan
mengakibatkan ikan nila mudah terserang penyakit sehingga pertumbuhan dan
survival rate akan terganggu (Guerrero III dan Guerrero, 2004).
Parameter
Suhu
pH
Oksigen terlarut
Amoniak (NH3)
Kecerahan
Satuan
o
C
mg/l
mg/l
cm
Kisaran
25 - 32
6,5 - 8,5
3
< 0,02
30 - 40
3.1. Materi
Materi yang digunakan pada praktek kerja lapangan di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktek kerja lapangan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 3. Alat yang digunakan dalam praktek kerja lapangan
No
Alat
Kegunaan
.
1.
2.
Ember
Seser kasar
3.
Seser halus
4.
Mangkok
5.
Timbangan elektrik
6.
Timbangan
7.
DO meter
8.
Refraktometer
9.
Aerator
10.
Bak plastik
11.
Gunting
12.
Sterofoam
13.
Penggaris
14.
Alat tulis
15.
Camera digital
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapangan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4. Bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapangan
No
Bahan
Kegunaan
.
1.
2.
3.
Kaporit
3.2. Metode
Metode yang digunakan dalam praktek kerja lapangan di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah adalah metode observasi
dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
3.2.1. Data primer
Data primer dalam praktik kerja lapangan di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah didapatkan melalui :
1. Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengenal
dan mengetahui kegiatan dan fasilitas yang ada di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah.
2. Wawancara yaitu tanya jawab dengan pembimbing, staf, dan pelaksana lapangan
sesuai dengan bidangnya masing - masing.
3.3. Pelaksanaan
3.3.1. Fekunditas telur
Fekunditas adalah jumlah telur yang telah masak dalam suatu ovarium
sebelum dikeluarkan pada waktu memijah. Cara yang dilakukan di BBPBAP untuk
mengetahui fekunditas yaitu sebagai berikut: Menimbang bobot tubuh ikan sebelum
dilakukan sectio; setelah dilakukan penimbangan, ikan dibedah pada bagian perut dan
gonad dikeluarkan secara hati hati; gonad yang telah dikeluarkan dikeringkan
dengan tissu dan ditimbang; gonad yang telah ditimbang diencerkan dan diaduk
hingga homogen; setelah homogen, dilakukan perhitungan telur sample sebanyak 3
kali ulangan.
Menurut Jalaluddin (2014), fekunditas ikan ditentukan dengan menggunakan
metode gravimetrik dengan rumus:
F:
G
xN
Q
Keterangan:
F
: Fekunditas (butir)
Menurut Mukti et al., (2009), perhitungan daya tetas telur dihitung dengan
menggunakan rumus yaitu :
Daya tetas (%) :
mengemukakan
bahwa
perhitungan
tingkat
kelangsungan
hidup
dihitung
Nt
x 100 %
No
Keterangan :
SR
Nt
No
4.1. Hasil
4.1.1. Kolam penampungan induk dan Sumber air
Kolam penampungan induk ikan nila di BBPBAP Jepara sekaligus digunakan
untuk kolam pemijahan. Jumlah kolam pemijahan ikan nila salin di BBPBAP jepara
sejumlah 10 kolam, dengan luas kolam 4 m 2. Ketinggian air pada kolam pemijahan
tersebut yaitu 70 cm. Kepadatan induk pada tiap kolam sebanyak 1 - 3 ekor/m 2.
Kolam pemijahan yang digunakan berupa kolam berbentuk persegi yang dilengkapi
saluran inlet dan outlet. Pada saluran inlet jarang digunakan, karena pasokan air untuk
proses pemijahan berupa air tawar. Kolam pemijahan ini berbahan dasar semen yang
dibentuk cekung menuju saluran oulet.
Sumber air yang digunakan untuk pemijahan berupa air tawar. Air tersebut
berasal dari sumur bor yang ditampung pada bak tandon yang kemudian dialirkan
pada bak dan diberi aerasi. Air yang masuk pada bak - bak pemijahan tidak ada
treatment khusus. Sumber air yang digunakan untuk pemeliharaan benih berupa air
laut yang bersalinitas 30 ppt. Air tersebut berasal dari laut yang kemudian ditampung
dan disaring pada preasure sand filter. Air yang telah disaring dialirkan pada bak
bak pemeliharaan benih. Pada proses pemeliharaan induk maupun benih
induk, induk yang akan dipijahkan diberi pakan sebanyak 2 - 3 kali sehari, dengan
pemberian pakan ad satiation. Pakan yang digunakan berupa pakan buatan (pellet)
yang berdiameter 1 cm. Setiap seminggu sekali dilakukan monitoring kualitas air
seperti DO dan suhu.
berjalan 7 hari terhitung dari telur yang dilengkapi mata hingga menjadi larva yang
dapat berenang aktif. Telur yang didapatkan berwarna kuning dan berbentuk oval
yang telah dilengkapi mata. Hasil derajat penetasan pada praktek kerja lapangan
dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Derajat penetasan ikan nila salin (O. niloticus)
Induk
Jumlah telur menetas
Jumlah telur terbuahi
HR (%)
I
83
102
81,37
II
910
1110
81,98
Berdasarkan data diatas, hasil HR pada induk II lebih besar dibandingkan induk I.
Induk II mampu menetaskan telur lebih baik dibanding induk I.
hasil derajat kelulushidupan yang dilakukan pada praktek kerja lapangan dapat dilihat
pada tabel 6.
Tabel 6. Derajat kelulushidupan larva ikan nila salin (O. niloticus)
Induk
SR (%)
(ekor)
(ekor)
I
83
83
100
II
412
220
53,40
Berdasarkan data tersebut, hasil SR dari induk I lebih baik dibanding induk II. Hal ini
berarti bahwa larva yang dihasilkan oleh induk I lebih mampu melangsungkan
hidupnya dibandingkan larva pada induk II.
Bak II
DO
Suh
Kelayakan
DO
Suhu
Tahapan
(mg/l)
(oC)
(mg/l)
(mg/l)
(oC)
1.
Pemeliharaan induk 4,86
28,7
4,46
27,3
3
2.
Penetasan telur
5,91
27,5
5,09
27,5
3
3.
Pemeliharaan larva 5,91
27,5
6,01
27,4
5
Berdasarkan tabel diatas, kualitas air pada tahap pemeliharaan induk
(oC)
28-32
27-31
25-30
hingga
pemeliharaan larva sudah cukup optimal. Kualitas air pada pemeliharaan induk masih
cukup rendah dibandingkan kualitas air pada penetasan telur dan pemeliharaan larva.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kolam penampungan induk dan Sumber air
Kolam penampungan induk merupakan kolam pemeliharaan calon induk atau
induk hingga menjelang akan dipijahkan. Berdasarkan hasil yang telah didapatkan,
kolam semen yang digunakan untuk pemijahan ikan nila salin belum cukup optimal.
Kolam yang baik untuk proses pemijahan ikan nila salin yaitu kolam tanah,
dikarenakan kolam tanah mengandung bau ampo yang dapat merangsang proses
pemijahan. Selain itu kolam tanah juga dapat mempermudah ikan nila jantan
membuat cekungan untuk memijah. Dalam satu unit kolam pemijahan ikan nila salin
terdapat 10 bidang, hal ini bertujuan agar induk yang telah dipijahkan dapat dipindah
pada kolam yang kosong. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto (1994), kolam
pemeliharaan induk dapat diartikan sebagai kolam pematangan gonad. Untuk
memudahkan pengelolaannya, kolam sebaiknya berupa kolam tanah. Dasar kolam
tanah juga memudahkan nila jantan membuat cekungan untuk memijah. Jumlah
kolam induk dalam satu unit pembibitan sebaiknya 2 4 bidang. Hal ini bertujuan
agar induk induk yang sudah memijah dapat dipindahkan ke kolam yang kosong.
Luas kolam merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses
pemijahan. Pergerakan ikan juga dipengaruhi oleh luas kolam, apabila semakin besar
luas kolam maka semakin besar pula pergerakan dari ikan tersebut. Luas kolam
pemijahan ikan nila salin yang digunakan belum cukup optimal. Luas kolam yang
baik untuk proses pemijahan yaitu 10 m2. Selain luas kolam, padat tebar juga
mempengaruhi tinggi rendahnya pemijahan dan produksi telur. Semakin tinggi padat
penebaran semakin rendah produksi telurnya. Padat penebaran induk yang diterapkan
sudah cukup optimal yaitu 1 3 ekor/m 2, dengan luas kolam pemeliharaan sebesar 4
m2. Hal ini diperkuat oleh pendapat Rukmana (1997), bahwa persyaratan kolam atau
bak sebagai tempat pemijahan adalah luas kolam atau bak antara 10 15 m 2, dengan
kedalaman airnya 50 cm. Menurut pendapat Suyanto (1994), kepadatan kolam
induk sebaiknya hanya 2 ekor/ m. Apabila kolam terlalu padat maka frekuensi
pemijahan dan produksi telur akan rendah.
Sumber air merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
pemeliharaan ikan nila. Sumber air yang digunakan dalam pemeliharaan induk ikan
nila salin di BBPBAP Jepara berasal dari sumur bor. Pemanfaatan sumber air tersebut
sudah cukup baik untuk pemeliharaan induk ikan nila. Pada dasarnya pemeliharaan
induk ikan nila tidak harus menggunakan sistem air mengalir akan tetapi cukup
dengan memasok air bersih agar kualitas airnya tetap terjaga. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Amri dan Khairuman (2002), bahwa sumber air untuk kolam
budidaya ikan nila berasal dari saluran irigasi teknis (buatan), sungai, kali atau
sumber air lainnya. Meskipun ikan nila tidak membutuhkan sumber air mengalir,
untuk unit pembenihan (hatchery), satu hal yang harus terpenuhi adalah kondisi
airnya yang bersih. Karena itu, jika sulit mendapatkan sumber air irigasi yang baik,
sumber airnya bisa diusahakan dari air tanah, yakni berupa sumur biasa (sumur
pompa).
kecil dibandingkan
dengan badan, badan tebal dan berwarna mengilap (tidak kusam), gerakan lincah
dan memiliki respon yang baik terhadap pakan tambahan. Ukuran induk yang baik
untuk dipijahkan yaitu > 120 - 180 g/ekor dan berumur sekitar 4-5 bulan.
Syarat induk yang digunakan untuk proses pemijahan selain dilihat dari segi
kualitas dan kuantitas sifat reproduksinya juga dilihat dari kematangan gonad.
Semakin tinggi kematangan gonadnya, semakin besar pula produksi telurnya.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, induk yang dipijahkan pada BBPBAP Jepara
telah matang gonad. Hal ini ditandai dengan keluarnya cairan putih kental pada alat
kelamin ikan jantan jika diurut bagian perutnya, dan pada ikan betina ditandai dengan
memerahnya alat kelamin serta mengeluarkan telur jika diurut bagian perutnya.
Menurut pendapat BSN (1999), Cara menentukan kematangan gonad ikan jantan
dilakukan dengan mengurut perut ikan ke arah anus. Ikan jantan yang telah matang
kelamin akan mengeluarkan cairan kental berwarna bening dan di sekitar perut
sampai kepala bagian bawah berwarna merah. Sedangkan menentukan kematangan
gonad ikan betina dilakukan dengan meraba bagian perut dan pengamatan bagian
anus. Ikan betina yang telah matang gonad ditunjukkan dengan telur berwarna kuning
kehijauan, bagian perut melebar, lunak kalau diraba, bagian anus menonjol dan
kemerahan.
keuntungan yaitu: kualitas telur yang dihasilkan lebih baik; memudahkan seleksi
induk; dan memudahkan saat ingin membedakan induk yang sudah atau belum
dipijahkan.
Pemeliharaan induk bertujuan agar untuk memacu perkembangan gonad.
Perkembangan gonad dapat dipacu oleh pakan yang berprotein tinggi. Pemberian
pakan induk ikan nila salin yang ada di BBPBAP Jepara sudah cukup optimal. Pakan
yang digunakan berupa pakan buatan (pellet). Menurut pendapat Amri dan
Khairuman (2014), selama dipelihara di kolam pemeliharaan, induk diberi pakan
tambahan untuk memacu perkembangan gonad (telur dan sperma). Pakan tambahan
ini diberikan sekitar 3 % dari bobot total induk yang dipelihara, dan memiliki
kandungan protein tinggi yaitu diatas 35 %. Biasanya menggunakan pakan pellet
komersial.
terjadi pembuahan dan menghasilkan telur. Telur yang telah terbuahi akan dierami
dalam mulut dan akan menetas setelah 5 6 hari. Telur yang telah menetas akan
diasuh oleh induknya selama 2 minggu. Menurut pendapat Suyanto (1993), nila
merah jantan mempunyai naluri membuat sarang berbentuk lubang di dasar perairan
yang lunak sebelum mengajak pasangannya untuk memijah. Selesai pemijahan,
induk betina menghisap telur - telur yang telah dibuahi untuk dierami di dalam
mulutnya. Amri dan Khairuman (2002) menambahkan bahwa, telur - telur yang
telah dibuahi dierami di dalam mulut induk betina kemudian menetas setelah 4 - 5
hari. Hal diatas juga diperkuat oleh pendapat Sugiarto (1988), nila betina mengerami
telur di dalam mulutnya dan senantiasa mengasuh anaknya yang masih lemah.
Selama 10 - 13 hari, larva diasuh oleh induk betina. Jika induk betina melihat
ada ancaman, maka anakan akan dihisap masuk oleh mulut betina, dan dikeluarkan
lagi bila situasi telah aman.
300 - 1.500 butir tergantung ukuran induk betina. Ikan nila mulai berpijah pada
bobot 100 - 150 g, tetapi produksi telurnya masih sedikit. Induk yang paling
produktif bobotnya antara 500 - 600 g. Sugiarto (1988) juga menambahkan bahwa
induk betina matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 250 - 1.100 butir.
penetasan, yang didalamnya dilengkapi heater, aerasi dan saringan dimana dalam
pengelolaan airnya menggunakan sistem resirkulasi. Biasanya dalam menetaskan
telur, baiknya ditambahkan methylene blue agar telur telur yang ditetaskan tidak
mudah terkena jamur. Hal ini diperkuat oleh pendapat Yuniarti et al., (2009), bahwa
penetasan telur dengan menggunakan corong tetas berguna untuk meningkatkan daya
tetas telur. Diana et al., (2010) menambahkan bahwa, tempat penetasan dilengkapi
dengan water heater untuk menjaga suhu optimum 28 30 C. Media tempat
penetasan di beri methylene blue untuk mencegah timbulnya jamur.
Berdasarkan perhitungan daya tetas telur, hasil perhitungan wadah I yaitu
sebesar 81,37 %, sedangkan pada wadah II sebesar 81,98 % dengan salinitas masing
masing 12 ppt dan 11 ppt. Hasil perhitungan daya tetas telur dapat dikatakan masih
cukup baik. Hal ini diperkuat oleh pendapat Diana et al., (2010), bahwa perlakuan
dengan salinitas 10 ppt merupakan salinitas terbaik untuk menghasilkan daya tetas
telur ikan nila tertinggi. Hasil daya tetas telur yang dihasilkan yaitu 88,5 %. Hal ini
disebabkan konsentrasi cairan antara media penetasan dengan telur ikan nila berada
dalam keadaan hampir mendekati. Dengan demikian proses penyerapan maupun
pengeluaran pada media penetasan dan telur tidak sampai menyebabkan terjadinya
turgor maupun plasmolisis.
pemeliharaan larva yaitu aklimatisasi salinitas. Larva ikan nila yang akan didederkan
nantinya harus diaklimatisasi salinitas terlebih dahulu. Kelulushidupan larva ikan
dipengaruhi oleh faktor luar seperti pakan, salinitas, suhu dan DO. Berdasarkan hasil
yang didapatkan, kelulushidupan larva pada wadah I lebih tinggi dibanding pada
wadah II. Pada wadah I didapatkan hasil 100 %, sedangkan pada wadah II hanya
53,40 %, dengan salinitas pada kedua wadah yaitu 30 ppt. Hal ini dikarenakan larva
pada wadah II dilakukan aklimatisasi yang terlalu cepat. Pada wadah II dinaikkan 5
ppt setiap 5 jam sekali, akan tetapi pada wadah I aklimatisasi dilakukan sehari sekali
setiap kenaikan 5 ppt. Demikian akan mempengaruhi osmoregulasi pada larva, karena
larva tersebut sulit untuk beradaptasi dengan salinitas tinggi dalam jangka waktu yang
cepat. Berbeda halnya pemeliharaan larva pada wadah I. Apabila tekana osmotik
media terlalu tinggi, maka semakin besar pula larva tersebut mengeluarkan energi
untuk proses osmoregulasi. Hal inilah yang dapat mengakibatkan ikan stress dan
mengalami kematian. Menurut pendapat Yusuf (2014), semakin jauh perbedaan
tekanan osmotik tubuh dengan tekanan osmotik lingkungan, maka akan semakin
banyak
beban
kerja
untuk
melakukan
salinitas 15 . Hal diatas juga diperkuat oleh pendapat Yusuf (2014), bahwa ikan
nila gift (O. niloticus), yang mengalami kematian yaitu yang dipelihara pada salinitas
20 dan 30 .
C, sedangkan DO berkisar antara 3,10 4,86 mg/l. Hal tersebut diperkuat oleh
pendapat Monalisa dan Infa (2010), kisaran suhu yang baik untuk ikan adalah
berkisar 28 32 oC. Jenis ikan mampu bertahan hidup pada perairan dengan
konsentrasi oksigen 3 ppm, namun konsentrasi oksigen terlarut yang baik untuk hidup
ikan adalah 5 ppm. Sedangkan menurut pendapat BSN (2009), kisaran suhu dan
oksigen terlarut untuk ikan nila berturut turut adalah 25 32 oC dan 3 mg/l.
Proses penetasan telur selain dipengaruhi faktor dalam juga dipengaruhi
oleh faktor luar, yaitu kualitas air dalam media penetasan. Kualitas air yang
merupakan faktor utama adalah suhu, oksigen terlarut dan salinitas. Pada saat proses
penetasan telur yang telah dilakukan, didapatkan juga data kualitas air. Selain
salinitas, data kualitas air yang diamati yaitu DO dan suhu. Adapun DO yang didapat
yaitu berkisar antara 5,09 5,91 mg/l, sedangkan untuk suhu pada kedua wadah yaitu
27,5 C. Data kualitas air yang didapat cukup optimal untuk proses penetasan telur.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Diana et al., (2010), bahwa suhu air yang sesuai
berkisar antara 27-31C dan oksigen terlarut optimal minimal 3 mg/l.
Kualitas air pada saat pemeliharaan tetap harus dijaga dengan baik.
Berdasarkan data kualitas air pemeliharaan larva, hasil yang didapatkan sudah cukup
optimal. Suhu yang baik dalam pemeliharaan larva / benih ikan nila yaitu berkisar
antara > 27 oC, sedangkan DO yang baik untuk pemeliharaan yaitu > 5 mg/l. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nasution et al., (2014), bahwa kualitas dan kuantitas air
kolam pendedaran benih ikan nila Pandu yaitu, suhu sebesar 25 30 oC, dan
kandungan oksigen terlarut > 5 mg/l.
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dalam praktek kerja lapang di BBPBAP Jepara
adalah sebagai berikut:
1. Proses pembenihan ikan nila salin yang dilakukan pada BBPBAP Jepara meliputi:
pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan secara alami, penetasan telur,
pemeliharaan larva dan pengelolaan kualitas air.
2. Fekunditas yang dihasilkan adalah sebanyak 414 butir. Daya fertilitas yang
dihasilkan masing masing wadah adalah 80,31 % dan 93,12 %. Hasil daya tetas
telur yaitu sebesar 81,37 % dan 81,98 % dan tingkat kelulushidupan adalah
sebesar 100 % dan 53,40 %.
5.2. Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam pelaksanaan praktek kerja lapangan di
BBPBAP Jepara yaitu teknik menaikkan salinitas dalam proses aklimatisasi harus
dilakukan dengan baik. Setiap penaikkan 5 ppt sebaiknya dilakukan setiap sehari
sekali hingga mencapai salinitas yang diinginkan (30 ppt). Demikian, hal yang perlu
diperhatikan dalam proses pemeliharaan larva agar survival rate yang dihasilkan
dapat maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, A.S. 2012. Analisis Kelulushidupan dan Pertumbuhan Benih Ikan Nila Larasati
(Oreochromis niloticus) F5 D30-D70 pada Berbagai Salinitas. Journal Of
Aquaculture Management and Technology, 1 (1): 18-34.
Guerrero III. R.D. and L.A. Guerrero. 2004. Effects of androstenedione and
methyltestosterone on Oreochromis niloticus fry treated for sex
reversal in outdoor net enclosures. http:// www.nraes.org/publications.
Jalaluddin. 2014. Pengaruh Salinitas terhadap Fekunditas Fungsional, Daya Tetas
Telur dan Benih Ikan Nila Salin (Oreochromis niloticus Linn). Jurnal
Manajemen Perikanan dan Kelautan, 1 (2).
Judantari, S., Khairuman dan Amri. 2008. Nila Nirwana Prospek Bisnis dan
Teknik Budidaya Nila Unggul. Gramedia. Jakarta.
Kordi, K dan Ghufron, M. 2010. Budidaya Ikan Nila di Kolam Terpal. Andi.
Yogyakarta.
Monalisa, S.S dan Infa, M. 2010. Kualitas Air yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Ikan Nila (Oreochromis sp.) di Kolam Beton dan Terpal. Journal of Tropical
Fisheries, 5(2): 526 530.
Mubinun, J. Miftahul, Irma M., H. Boyun, dan M. Takano. 2007. Manual Produksi
Induk Ikan Nila. BBAT Jambi. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya
Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan International Coorporation
Agency.
Mukti, A.T., Herliana, A., Sri, S. 2009. Pengaruh Kejutan Suhu Panas Dan Lama
Waktu Setelah Pembuahan Terhadap Daya Tetas Dan Abnormalitas Larva
Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 1
(2).
Nasution, A.S.I., Fajar, B., Sri, H. 2014. Analisis Kelulushidupan Dan Pertumbuhan
Benih Ikan Nila Saline Strain Pandu (Oreochromis niloticus) Yang Di
Pelihara Di Tambak Tugu, Semarang Dengan Kepadatan Berbeda. Journal
of Aquaculture Management and Technology, 3 (2): 25-32.
Rukmana, R.H. 1997. Ikan Nila Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius.
Yogyakarta.
_____________. 2006. Ikan Nila Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius.
Yogyakarta.
Sugiarto. 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair dan Nila, Edisi I. C.V.
Simplex. Jakarta.
Suyanto, R. 1993. Nila. Penebar Swadaya. Jakarta.
_________. 1994. Budidaya Ikan Nila Cetakan ke - 1. Penebar Swadaya. Jakarta.
Yuniarti, T., Sofi, H., Teguh, P dan Suroso. 2007. Teknik Produksi Induk Betina Ikan
Nila. Jurnal Budidaya Air Tawar, 4 (1 ): 27 31.
___________________________________. 2009. Teknik Produksi Induk Betina
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Tahap Verifikasi Jantan Fungsional (XX).
Jurnal Saintek Perikanan, 5 (1): 38 43.
Yusuf, Sri S. 2014. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Nila Gift
(Oreochromis niloticus) yang Dipelihara dalam Kondisi Salinitas
Berbeda.