Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“ETIKA DAN HUKUM PENYEMBUHAN TRADISIONAL”

Untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Etika Profesi

Dosen Pengampu: Fenny Bintarawati, S.S.T., M.H.

Disusun oleh :

1. Risna Nida Framesty (1707026009)


2. Vega Fitriana (1707026027)
3. Iska Rachmawati (1807026094)
4. Wafa Ma'mun (1807026095)
5. Diana Nurissa'adah (1807026096)
6. Mahda Cindy Fatikha (1807026097)
7. Rizqi Ainayah (1807026098)
8. Nabila Ayunani (1807026099)
9. Nazila Nuril Rizqiana (1807026100)
10. Hidayat Nur Rohman (1807026101)
11. Elly Erna Safitri (1807026102)

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era moderen seperti sekarang ini perkembangan teknologi dan informasi
sangat meningkat, termasuk juga meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan. Manusia dapat menjalani kehidupan yang produktif apabila
memiliki tubuh yang sehat baik secara fisik dan psikis. Indonesia termasuk negara
yang masih rendah akan tingkat kesejahteraan berkaitan dengan kesehatan. Pada Pasal
28 H ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(perubahan kedua) menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kesehatan merupakan salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan
pembangunan manusia. Tanpa kesehatan manusia tidak akan produktif untuk
menjalani kehidupan yang layak. Mahalnya biaya kesehatan ini yang membuat
masyarakat mencari alternatif lain yaitu salah satunya dengan menggunakan
pengobatan tradisional, yang diharapkan mampu mengobati dengan biaya yang
terjangkau. Sarana Pengobatan dapat ditempuh dengan secara medis (konvensional)
dan pengobatan tradisional (non konvensional). Pengobatan tradisional di Indonesia
sudah ada sejak dahulu bahkan sebelum masyarakat Indonesia mengenal adanya
pengobatan modern. Masyarakat Indonesia yang secara turun temurun menggunakan
pengobatan tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit, disamping juga
menggunakan obat tradisional yang diracik sendiri dengan bahan-bahan alami.
Saat ini banyak pelaku usaha pengobatan tradisional di Indonesia,
menawarkan pelayanan pengobatan tradisional dan obat tradisional. Untuk menarik
minat masyarakat tidak jarang pelaku usaha pengobatan tradisional ini memasang
iklan yang berlebihan agar pasien datang berobat. Padahal ini sangat merugikan
konsumen apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan iklan yang
ditawarkan. Masyarakat yang tertarik dengan pengobatan tradisional karena biaya
yang murah, penyembuhan yang cepat dan tidak ada efek samping. Biasanya
langsung tergiur dan tidak mencari informasi terlebih dahulu. Begitu mudah percaya
dengan iklan dan pemberitahuan dari orang ke orang yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya. Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat
konsumen, tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi bisnis
yang tidak mempunyai iktikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip
mencari keuntungan yang sebesarbesarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin
sumber daya yang ada.
Pengobatan tradisional saat ini tidak hanya ada di daerah-daerah tetapi sudah
menjamur juga di perkotaan. Hal ini membuat masyarakat mudah dalam memilih
pelayanan kesehatan di bidang pengobatan tradisional. Agar konsumen terhindar dari
kelalaian pelaku usaha yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan. Maka
perlunya konsumen memahami hak haknya, karena demi menjaga keamanan dan
keselamatan jiwa konsumen. Sering kali konsumen kurang kehati-hatian konsumen
dalam memilih tempat pengobatan tradisional. Konsumen tidak menggunakan haknya
yaitu untuk mencari informasi yang benar dahulu terhadap jasa pengobatan
tradisional, agar terhindar dari resiko. Rendahnya pendidikan konsumen cenderung
membuat konsumen tidak menggunakan hak-hak sebagai konsumen jasa. Tingkat
kesadaran konsumen jasa yang rendah ketika memilih tempat pengobatan tradisional
mengakibatkan kerugian fisik maupun psikis. Pelayanan kesehatan di Indonesia saat
ini sudah berkembang lebih modern, tetapi masyarakat masih banyak yang memilih
pengobatan tradisional (non konvensional) sebagai tempat pengobatan seperti pijat
urut, tuna netra, patah tulang, akupuntur dan lain-lain. Perlu dilakukan pembinaan,
pengawasan dan diarahkan oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, agar
pengobatan tradisional menjadi pengobatan alternatif yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya bagi masyarakat yang
menggunakan sehingga tidak merugikan pihak konsumen. Berdasarkan hal tersebut
maka perlu perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa pengobatan
tradisional khususnya terhadap hak-hak konsumen. Hal ini yang membuat kami ingin
membahas berkaitan dengan etika dan hukum penyembuhan secara tradisional di
Indonesia beserta segala bentuk kasus kasus yang pernah terjadi berkaitan dengan
penyembuhan tradisional.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari penyembuhan tradisional ?
2. Apa saja klasifikasi dan jenis penyembuhan tradisional ?
3. Bagaimana Etika dan hukum penyembuhan tradisional di Indonesia ?
4. Contoh-contoh kasus penyembuhan tradisional di Indonesia ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari penyembuhan tradisional.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dan jenis dari penyembuhan tradisional di indonesia
3. Untuk mengetahui Etika dan hukum penyembuhan tradisional di Indonesia.
4. Untuk mengetahui Contoh-contoh kasus penyembuhan tradisional yang pernah
terjadi di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyembuhan Tradisional

Pelayanan kesehatan tradisional merupakan pengobatan dan/atau perawatan


dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun-temurun
secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Dalam Pasal 59 ayat (2) disebutkan bahwa pelayanan
kesehatan tradisional tentunya dibina dan diawasi oleh pemerintah agar dapat
dipertanggungjawabkan maanfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan
norma agama dan kebudayaan masyarakat. Hal senada diatur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional untuk memastikan kelayakan obat tradisional di masyarakat. (Rahmi
Yuningsih, 2012)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional,
pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat, dan
pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan/atau
pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat.

WHO mendefinisikan pengobatan tradisional sebagai jumlah total pengetahuan,


keterampilan, dan praktek-praktek yang berdasarkan pada teori-teori, keyakinan, dan
pengalaman masyarakat yang mempunyai adat budaya yang berbeda, baik dijelaskan
atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta dalam pencegahan, diagnosa,
perbaikan atau pengobatan penyakit secara fisik dan juga mental. (Wakhid Utbah
Aftabuddin, 2014)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan istilah


pengobatan tradisional, sedangkan dalam Undang-Undang terbaru yaitu Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menggunakan istilah pelayanan
kesehatan tradisional. Masyarakat lebih mengenal istilah pengobatan tradisional
dibandingkan pelayanan kesehatan tradisional. Sehingga pelayanan kesehatan
tradisional sering dikatakan pengobatan tradisional. Pada Undang Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut Undnag-Undang Kesehatan
digunakan istilah pelayanan kesehatan tradisional.

Definisi Pelayanan kesehatan tradisional dalam Pasal 1 butir 16 Undang-Undang


Nomor 36 Tahun 2018 tentang Kesehatan adalah: “Pelayanan Kesehatan Tradisional
adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung
jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.”

Undang-undang No. 36 tahun 2009, pasal 59 menyatakan berdasarkan cara


pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan keterampilan dan pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan ramuan.

B. Klasifikasi dan jenis penyembuhan tradisional

Pengobatan tradisional dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Pengobatan Tradisional keterampilan


Pengobatan jenis ini menggunakan keterampilan fisik dengan anggota gerak
atau alat bantu, diantaranya yaitu:
a. Battra pijat urut: dilakukan dengan cara mengurut atau memijat seluruh tubuh
dengan tujuan untuk membuat tubuh menjadi rileks, menghilangkan lelah, dan
juga mengobati beberapa jenis keluhan dan penyakit. Pijat biasanya dilakukan
dengan jari, telapak tangan, dan alat gerak lain, serta beberapa alat tertentu.
b. Battra patah tulang: dilakukan dengan memberikan perawatan atau pengobatan
pada orang yang tulangnya patah dengan cara tradisional, seperti dipijat
kemudian dilumuri ramuan tertentu, kemudian dibebat dengan tali atau kain.
c. Battra sunat: dilakukan dengan memberikan pelayanan sunat secara
tradisional, keterampilan ini biasanya diperoleh secara turun temurun. Nama
dari battra sunat ini biasanya berbeda-beda pada tiap daerah.
d. Battra dukun bayi: dilakukan dengan memberikan pelayanan pada ibu ketika
hendak melahirkan serta memberikan perawatan pada bayinya pasca
melahirkan selama beberapa minggu.
e. Battra pijat refleksi: dilakukan dengan memijat beberapa spot tertentu pada
tubuh atau spot-spot refleksi, biasanya terdapat pada telapak kaki atau telapak
tangan.
f. Akupresuris: hampir sama dengan pijat refleksi, pelayanan dilakukan dengan
memijat pada spot-spot akupunktur dengan menggunakan jari atau alat bantu
lainnya.
g. Akupunkturis: pelayanan dilakukan dengan merangsang pada spot-spot
akupunktur dengan memasukkan jarum dan alat lain seperti elektro
akupunktur.
h. Chiropractor: dilakuan dengan teknik khusus pada orang dengan gangguan
otot atau persendian. Biasanya dilakukan dengan menarik bagian tubuh
tertentu (sendi) hingga menimbulkan bunyi seperti barang retak.

2. Pengobatan tradisional ramuan


a. Battra ramuan Indonesia (jamu): dilakukan oleh seseorang dengan
memberikan ramuan obat dari tumbuh-tumbuhan, baik diolah sendiri maupun
obat yang sudah jadi.
b. Battra gurah: hampir sama seperti jamu, tetapi pelayanan dilakukan dengan
memberikan ramuan dengan meneteskan pada hidung yang berasal dari
larutan kulit pohon sesungguguh. Tujuannya yaitu untuk mengobati gangguan
saluran pernapasan.
c. Shinshe: pengobatan jenis ini juga melibatkan ramuan seperti jamu akan tetapi
bahan yang digunakan merupakan obat-obatan tradisional cina.
d. Homeopath: pengobatan ini dilakukan dengan menggunakan ramuan atau obat
dengan dosis kecil namun potensi penbyembuhannya tinggi dengan
pendekatan berdasarkan keseimbangan fisik, mental, jiwa, dan emosi kliennya.
e. Aromaterapi: pengobatan dilakukan dengan rangsangan aroma yang
dihasilkan dari minyak murni yang diperoleh dari ekstrak tumbuhan, bunga,
buah, daun, dan lainnya untuk menyeimbangkan pikiran, fisik, dan perasaan.

3. Pengobatan tradisinal pendekatan agama


Pengobatan berbasis pendekatan agama terdiri atas pengobatan tradisional
melalui pendekatan agama islam, kristen, katholik, hindu atau budha. Perilaku
keagamaan pada dasarnya memfokuskan pada ketentuan atau cara-cara
memperoleh keselamatan, melalui bentuk-bentuk penyembahan, doa, atau
meditasi yang memungkinkan orang beriman berkomunikasi dengan Tuhan.
Dalam praktek penyembuhan tradisional menggunakan pendekatan agam
biasanya juga dilakukan dengan zikir yang berorientasi instrumental
menyembuhkan pasiennya dalam menangani penyakitnya, penggunaan doa dapat
juga ditambah dengan penggunaan mediaa tertentu yang dijadikan sebagai obat.
Unsur terpenting dari agama yang harus diintegrasikan, yaitu aspek
spiritual dari agama itu sendiri. Ada beberapa unsur spiritual yang seringkali
dibutuhkan dalam pengobatan diantaranya; 1) Keyakinan akan kesembuhan, dan
kesabaran dalam menerima penyakit, 2) Keshalehan dan ketaatan pada sang
khaliq, dan 3) Doa kepada sang khaliq.

4. Pengobatan tradisional supranatural


Pengobatan tradisional supranatural terdiri atas pengobatan tradisional
tenaga dalam (prana), paranormal, reiky master (Smart Energy), qigong (senam
relaksasi), dukun kebatinan, dan pengeboatan lainnya dengan metode sejenis.
Tenaga dalam merupakan salah satu bagian dalam pengobatan tradisional
yang memiliki sifat tidak kasat mata. Dalam pengobatan dengan menggunakan
tenaga dalam menggunakan unsur do'a selama proses pengobatan berlangsung
serta memandang bahwa hal ini merupakan bagian yang sangat penting dalam
memperoleh kesembuhan. Pengobatan dengan paranormal biasanya dilakukan
oleh tokoh agama atau dilakukan oleh dukun (orang pintar) dan pada prinsipnya
hampir sama dengan dukun kebatinan.

Metode pengobatan fisik yang dilakukan para pengobat tradisional, antara lain :

1. Bekam adalah pengobatan dengan kop/ cuping vacum melalui permukaan kulit,
untuk mengeluarkan angin /udara dan darah kotor, sehingga dapat menyehatkan
badan, meningkatkan daya tahan tubuh dan mengobati penyakit.
2. Refleksi dan pijat akupresur adalah pijat dan penekanan pada titik syaraf tertentu,
untuk kebugaran, mengobati penyakit, sehingga pasien dapat segar dan sembuh.
3. Totok darah adalah pengobatan dengan menekan peredaran darah leher beberapa
detik, kemudian dilepaskan, untuk deteksi gangguan dan kebugaran, sehingga
dapat diketahui gangguan kesehatan dan membuat bugar
4. Totok wajah adalah pengobatan dengan menekan dan memijat titik meridian
diwajah, untuk kebugaran wajah dan penyembuhan, sehingga dapat membuat
wajah segar dan mengobati pusing,migraen, vertigo.
5. Boreh /terapi mumi adalah pengobatan dengan memggosokan lulur tradisional dari
rempah ke tubuh pasien untuk meredakan nyeri dan menghangatkan badan,
sehingga nyeri berkurang, badan hangat dan segar.
6. Totok kayu adalah pengobatan dengan menggunakan berbagai jenis bentuk kayu
dan didiketuk dengan palu kayu, untuk merangsang saraf tertentu, sehingga pasien
sembuh.
7. Doa /rukyah spiritual adalah pengobatan dengan membacakan doa dari ayat
alquran, nama dan sifat Allah, untuk memberi rasa rilek dan damai menuntun ke
jalan yang benar, sehingga dapat menenangkan pasien dan mendekatkan pada
Allah.
8. Energi illahi adalah pengobatan dengan energi illahi dan energi alam, untuk
menstabilkan emosi dan menambahkan energi yang lemah, sehingga emosi
menjadi baik, energi menjadi stabil dan baik terjadi prose penyembuhan.

C. Etika Dan Hukum Penyembuhan Tradisional Di Indonesia


1. Etika dan Hukum Pelayanan Kesehatan Tradisonal
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan
istilah pengobatan tradisional, sedangkan dalam Undang-Undang terbaru yaitu
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menggunakan istilah
pelayanan kesehatan tradisional. Pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut Undnag-Undang Kesehatan digunakan
istilah pelayanan kesehatan tradisional. Definisi Pelayanan kesehatan tradisional
dalam Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
adalah: “Pelayanan Kesehatan Tradisional adalah pengobatan dan/atau pera-watan
dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan ke-terampilan turun
temurun secara empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di ma-syarakat.”
2. Etika dan Hukum Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada
Pasal 1 angka 1 menegaskan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai arti yang luas meliputi
perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa sampai akibat-akibat dari
pemakaian barang dan jasa itu. Meskipun undang-undang ini disebut sebagai
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU-PK) namun bukan berarti
kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhati-an, teristimewa karena
keberadaan per-ekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.

3. Hubungan Pengobatan Tradisonal dengan Konsumen


Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang
menyebutkan: “Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. Undang-
undang tersebut menyebut-kan pula kriteria dokter, prosedur penanganan dan
etika dalam pelayanan medis, sehingga dengan kriteria ini tidak terpenuhi pada
pengobatan tradisional. Hal ini menekankan bahwa pasien hanya digunakan
dalam pengobatan konvensional (kedokteran) dan bukan pada pengobatan
tradisional.
Pengobat tradisional merupakan bagian dalam pelayanan kesehatan
sebagaimana Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Kesehatan. Pasal 59 ayat 1
menyebutkan Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa: “Berdasarkan cara
pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan” Hal ini menunjukkan,
berdasarkan Undang-Undang kesehatan pengobatan tradisional disebutkan dan
diakui keberadaannya sebagai bagian dalam pelayanan kesehatan nasional. Hal
ini dipertegas dalam Pasal 59 ayat 2 dan 3 sebagai beri-kut: “(2) Pelayanan
kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi
oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya
serta tidak bertentangan dengan norma agama. (3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. ”Peraturan
Pemerintah sebagaimana yang dimaksud Pasal 59 ayat 3 Undang-Undang
Kesehatan tersebut hingga saat ini masih belum diterbitkan. Tuntutan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini telah disampaikan oleh Pengurus Pusat
Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia (Aspetri) kepada Komisi IX
Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum pada Senin, 3
Mei 2010.
Penjelasan tentang pengobat tradisional berdasarkan Undang-Undang
Kesehatan dan Kepmenkes Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, secara
hukum pengobat tradisional diakui keberadaan-nya sebagai bagian dalam
pelayanan kesehatan nasional. Walaupun demikian, kedudukan hukum pengobat
tradisional sebagai tenaga kesehatan masih lemah. Kepmenkes Penyelenggaraan
Pengobatan Tradisional tahun 2003 memang telah menyebutkan dan mengakui
keberadaan pengobat tradisional. Hanya saja tidak terdapat kejelasan kedudukan
hukum pengobat tradisional pada tingkat yang lebih tinggi, baik Peraturan
Pemerintah atau undang-undang. Dalam Undang-Undang Kesehatan, peng-obat
tradisional tidak disebutkan sebagai tenaga kesehatan. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang
selanjutnya disebut PP Tenaga Kesehatan juga tidak menyebutkan pengobat
tradisional sebagai tenaga kesehatan. Kedudukan hukum pengobat tradi-sional
sebagai tenaga kesehatan semakin lemah apabila mengacu pada Pasal 3 PP
Tenaga Kesehatan yang menyebutkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki
pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan
ijazah dari lembaga pendidikan.
Ijasah dari lembaga pendidikan bagi pengobat tradisional, berdasar ragam
klasifikasi dari pengobat tradisional, sulit untuk dapat dipenuhi, mengingat belum
adanya lembaga pendidikan, maupun profesi yang memiliki legalitas
mengeluarkan ijasah tersebut. Kedudukan hukum pengobat tradisional lebih
relevan sebagai pelaku usaha. Hal ini mengacu pada Pasal 1 angka (3) UUPK
maka pengertian pelaku usaha, objek dari hubungan pelaku usaha dan konsumen
sekilas hanyalah barang berwujud, sedangkan jasa adalah barang yang tidak
berwujud. Tetapi karena pasien juga merupakan konsumen dalam bidang jasa
kesehatan, maka tentulah ada pihak yang bertindak sebagai pelaku usaha.
Pengobat tradisional yang menjalankan kegiatan dengan tujuan untuk
mengobati atau menyembuhkan orang yang sakit dapat dikatakan sebagai pelaku
usaha yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa kesehatan, secara tradisional,
dengan tak menutup kemungkinan untuk mencari manfaat ekonomis juga. Fakta
inilah yang tidak secara serta merta kaidah-kaidah hukum yang ada dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak dapat begitu saja diberlakukan
dalam hubungan konsumen/ pemakai (pasien) dengan pelaku usaha (pengobat
tradisional). Hal ini dikarenakan adanya kemiripan pola hubungan antara
konsumen/pemakai (pasien) dengan pelaku usaha (pengobat tradisi-onal) dengan
pola hubungan pasien dengan dokter pada pelayanan kesehatan konvensional
terutama adanya prinsip “pengabdian dan kemanusiaan”. Sebagai-mana
diungkapkan Lubis bahwa: Pasien secara yuridis tidak dapat diidentikkan dengan
konsumen, hal ini karena hubungan yang terjadi di antara mereka bukan
merupakan hubungan jual-beli yang diatur dalam KUH Perdata dan KUHD,
melainkan hubungan antara dokter.

4. Pertanggung jawaban Hukum bagi Pengobat Tradisional Apabila Melakukan


Perbuatan yang Menimbulkan Kerugian
Pertanggungjawaban pelaku usaha secara perdata terjadi apabila tuntutan
ganti kerugian oleh konsumen atas kerugian yang terjadi sebagai akibat
penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat
didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besarnya terbagi dalam
dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan
ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum. Ini merupakan
bentuk pertanggungjawaban yang dapat dituntut pada seorang pelaku usaha
secara perdata apabila terbukti melakukan kerugian pada konsumen.
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan
akibat tidak terpenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa
kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan dalam perjanjian. Bentuk-
bentuk wanprestasi ini dapat berupa: a) tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya; b) melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan; c) melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d)
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Pengajuan gugatan berdasarkan wanprestasi dapat menggunakan dasar
Pasal 1243 KUHPerdata. Pengertian dalam pasal tersebut menyatakan bahwa
seseorang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila ia memiliki janji
kepada seseorang, namun ia tidak memenuhi prestasi seperti yang telah
dijanjikannya karena lalai. Jadi, untuk menentukan kapan seseorang telah
melalaikan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian. Apabila terjadi
wanprestasi yang dilakukan oleh pengobat tradisional, maka pertanggung
jawabannya menjadi tanggung jawab pengobat tradisional tersebut. Upaya
mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi ini, korban (konsumen pemanfaat
jasa pengobatan tradisional) harus membuktikan bahwa memang benar telah
terjadi perikatan yang lahir dari perjanjian antara dirinya dengan pengobat
tradisional.
Pengobat tradisional berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat digugat
untuk dimintai pertanggungjawabannya dengan membayar ganti rugi atas
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada korbannya
(konsumen pemanfaat jasa pengobatan tradisional). Hal ini terjadi apabila
unsurunsur perbuatan melawan hukum dari pengobat tradisional disini harus
terpenuhi dan dapat dibuktikan. Pelaku usaha dalam hal ini adalah tenaga
pengobat tradisional berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi jasa pengobatan. Apabila perjanjian tidak terpenuhi, wanprestasi
atau perbuatan melawan hukum, maka dapat dituntut dengan ganti rugi.
Penetapan besarnya ganti rugi bukan merupakan sesuatu yang mudah dapat
dipastikan, terutama dalam bidang jasa pelayanan kesehatan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka untuk
menetapkan kerugian karena telah terjadinya suatu wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum dalam suatu transaksi pengobatan tradisional, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur tentang
bentuk ganti kerugian. Bentuk ganti kerugian berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dapat berupa: pertama, pengembalian uang muka atau
kedua penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya dan
ketiga perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
Ancaman pidana terhadap pelaku usaha atau pengurusnya itu dijelaskan
pada Pasal 62 Ayat (1), antara lain pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau
denda maksimum Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), apabila melanggar
ketentuan termuat dalam Pasal-pasal 8, 9, 10, 13, 15, 17 Ayat (1) huruf a, b, c, e
dan Ayat (2), dan Pasal 18. Begitu pula dalam Pasal 62 Ayat (2) menetapkan
bahwa pelanggaran atas Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan Pasal 17 ayat (1)
huruf d dan f, diancam pidana penjara maksimum 2 (dua) tahun penjara atau
denda maksimum Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan terhadap
pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dan/atau pengurus yang mengakibatkan
konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau meninggal maka diberlakukan
ketentuan pidana yang berlaku diatur dalam Pasal 62 Ayat (3).
Berdasarkan Pasal 63 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Menurut
ketentuan pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, pengobat
tradisional sebagai pelaku usaha dapat mempertanggungjawabkan tindakannya
secara pidana apabila memang telah terbukti melakukan pelanggaran. Ancaman
pidananya dapat berupa, hukuman pidana penjara atau dengan membayar denda
yang dijatuhkan sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Terhadap kegiatan
pengobatan tradisional dapat dilakukan perintah penghentian apabila memang
terbukti telah menimbulkan kerugian pada konsumen, serta izin usahanya dapat
dicabut.

5. Penyelesaian Sengketa dalam Pengobatan Tradisional


Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak
dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku
usaha, dan menyelesaikan penyelesaian yang timbul melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa konsumen, atau dengan cara mengajukan
gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Masalah penyelesaian sengketa dalam UUPK diatur dalam Bab X yang
terdiri dari empat pasal, yang dimulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 48. Jika
kita baca rumusan yang diberikan dalam pasal-pasal tersebut, dan beberapa
ketentuan yang diatur dalam Bab XI UUPK tentang BPSK.

D. Kasus Pelanggaran Penyembuhan Tradisional


1. BBPOM Yogyakarta Sita Puluhan Ribu Botol Obat Tradisional Ilegal
Judul ini dikutip dari situs web berita REPUBLIKA.co.id. 2016
ISI ARTIKEL:
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Yogyakarta telah
menyita sebanyak 1800 Dus atau 21.600 botol obat tradisional/jamu cairan obat ilegal
dari dalam rumah untuk  gudang penyimpanan obat tradisional di Kasihan Bantul.
Obat tradisional tersebut mengandung bahan kimia obat Fenilbutason, Deksa dan
paracetamol. Barang yang disita petugas antara lain Madu klanceng pegel linu,
klanceng asam urat, Tawon klanceng putri kinasih, Tawon klanceng putri husada,
Jamu cap Kunci Mas, Jamu akar rempah alam, Jamu madu Manis (Ridarineni &
Rachma, 2016)
Berdasarkan Pasal 105 UU Kesehatan mengatur bahwa sediaan farmasi yang
berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan yang ditentukan. Standar yang ditentukan ini dapat mengacu
pada SK Menteri Kesehatan No. 659/Menkes/SK/X/1991 tentang Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). CPOTB adalah cara pembuatan obat
tradisional yang diikuti dengan pengawasan menyeluruh, dan bertujuan untuk
menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku
(Ismail, 2014).
Kasus obat ilegal ini jelas melanggar peraturan tersebut dan juga tentang
perlindungan hukum pasien pengobatan tradisional yaitu Pasal 8 UU Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau
memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam
label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 58 UU Kesehatan disebutkan bahwa Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya (Ismail, 2014).

2. BPOM Musnahkan Obat Tradisional Ilegal Senilai Miliaran Rupiah


Judul ini dikutip dari situs web berita mediaindonesia.com 2016
ISI ARTIKEL:
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memusnahkan 245.570
kemasan produk obat tradisional ilegal senilai Rp. 7,3 miliar. Obat tradisional yang
terdiri dari 43 jenis obat dibawa dengan 32 truk untuk dimusnahkan di perusahaan
pengelolaan limbah B3. Obat tradisional tersebut disita dari perusahaan di wilayah
Parung, Bogor. Obat tradisional ilegal itu mengandung bahan kimia obat seperti
Fenilbutazon, Sildenafil Sitrat, dan Parasetamol yang dapat membahayakan kesehatan
masyarakat (Suwandi, 2016).
Kasus pelanggaran obat tradisional ilegal tersebut melanggar Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan Pasal 197 dan/atau 196 yang
disebutkan Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan hukuman pidana
penjara paling lama 15 tahun dengan denda paling banyak Rp. 1,5 miliar dan/atau
pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp. 1 miliar
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelayanan kesehatan tradisional merupakan pengobatan dan/atau perawatan


dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun-
temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Pengobat tradisional merupakan bagian dalam pelayanan kesehatan


sebagaimana Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Kesehatan. Pasal 59 ayat 1
menyebutkan Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa: “Berdasarkan cara
pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan keterampilan” Hal ini menunjukkan, berdasarkan
Undang-Undang kesehatan pengobatan tradisional disebutkan dan diakui
keberadaannya sebagai bagian dalam pelayanan kesehatan nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Aftabuddin ,Wakhid Utbah Aftabuddin. 2014. Pertanggungjawaban Hukum Pengobat


Tradisional Dengan Cara Pemijatan Urat Dan Syaraf. Perspektif Hukum, Vol. 14
No. 2. Hlm 124-136

Departemen Kesehatan Ri. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun


2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Ri.

Indarto. Agus Kirwanto. 2018. Exprorasi Metode Pengobatan Tradisional Oleh Para
Pengobat Tradisional Di Wilayah Karesidenan Surakarta. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan, Volume 7,

Ismail, A. (2014). Perlindungan Hukum Pasien Pada Pengobatan Alternatif. Jurnal Ilmiah
Universitas Mataram.

Nasrudin, Juhana. 2019, Relasi Agama, Magi, Sains Dengan Sistem Pengobatan Tradisional-
Modern Pada Masyarakat Pedesaan, Volume 2 Nomor 1, Jurnal Studi Agama-
Agama

Nurulsiah, Nina Aini (2016) Profil Penggunaan Obat Tradisional Pada Praktek Pengobat


Tradisional Di Wilayah Purwokerto. Tthesis, Universitas Muhammadiyah
Purwokerto

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/Menkes/Sk/Vii/2003


Tentang Kelompok Kerja Nasional Pelayanan Kesehatan Tradisional
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer

Ridarineni, N., & Rachma, T. (2016). Bbpom Yogyakarta Sita Puluhan Ribu Botol Obat
Tradisional Ilegal. Republika.Co.Id.

Suwandi, C. (2016). Bpom Musnahkn Obat Tradisional Ilegal Senilai Miliaran Rupiah.
Mediaindonesia.Com

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Yuningsih, Rahmi.2012. Pengobatan Tradisional Di Unit Pelayanan Kesehatan.Info Singkat


Kesejahteraan Sosial. Vol. Iv, No. 05/I/P3di. Issn: 2088-2351.

Anda mungkin juga menyukai