Anda di halaman 1dari 11

2019/2 Hukum Perdata

Pengantar Hukum Perdata by MEP (pertemuan 1)


PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERDATA

DEFENISI HUKUM PERDATA

1.      Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Hukum Perdata merupakan


suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang
hak dan kewajiban.

2.      Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Perdata adalah hukum


antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap
yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.

3.      Menurut Prof. Subekti S.H., Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua
hukum “privat materiel”, yaitu segala Hukum Pokok yang mengatur kepentingan-
kepentingan perseorangan.

4.      Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H., Hukum Perdata adalah keseluruhan


aturan hukum yang mengatur tingkah laku orang yang seorang terhadap orang yang
lainnya di dalam negara itu, tingkah laku antara warga masyarakat dalam hubungan
keluarga dan dalam pergaulan masyarakat.

5.      Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo S.H., Hukum Perdata (meteriel) ialah


kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban
perdata.

Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Perdata
adalah hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum antara hak dan kewajiban
orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain di dalam
pergaulan hidup masyarakat, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan/individu.

HUKUM PERDATA DALAM ARTI LUAS DAN DALAM ARTI SEMPIT

a.       Hukum Perdata dalam arti sempit meliputi seluruh peraturan-peraturan yang


terdapat dalam KUH Per, yaitu : Hukum Pribadi, Hukum Benda (Hukum Harta Kekayaan),
Hukum Keluarga, Hukum Waris, Hukum Perikatan serta Hukum Pembuktian dan
Daluwarsa.
b.      Hukum Perdata dalam arti luas meliputi seluruh peraturan-peraturan yang
terdapat dalam KUH Per, KUHD beserta peraturan undang-undang tambahan lainnya
(seperti Hukum Agraria, Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Perburuhan)

Jadi dapat disimpulkan bahwa Hukum Perdata ini dapat berbentuk tertulis, seperti yang
dimuat dan diatur dalam KUH Per (Burgerlijk Wetboek) dan KUHD (Wetboek van
Koophandel), serta peraturan perundang-undangan lainnya, dan dapat juga berbentuk
tidak tertulis, seperti Hukum Adat.

HUKUM PERDATA MATERIEL DAN HUKUM PERDATA FORMIL

Menurut Prof. Dr. L.J. Van Apeldoorn, Hukum Perdata dibagi dalam Hukum Perdata
Materiel dan Hukum Perdata Formil. Hukum Perdata Materiel mengatur kepentingan-
kepentingan perdata, sedangkan Hukum Perdata Formil mengatur pertikaian hukum
mengenai kepentingan-kepentingan perdata atau dengan perkataan lain, cara
mempertahankan peraturan-peraturan Hukum Perdata Materiel dengan pertolongan
hakim. Lebih lanjut menurut beliau, Hukum Perdata Materiel disebut juga Hukum Sipil.

Adapun menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, yang dimaksudkan dengan Hukum


Perdata Materiel ialah kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-
hak dan kewajiban perdata. Lawannya ialah Hukum Perdata Formil, yaitu kesemuanya
kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban perdata.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan :

a.       Hukum Perdata Materiel adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban perdata. Misalnya Hukum Dagang, Hukum Perkawinan, Hukum Waris, Hukum
Perjanjian, dan Hukum Adat.

b.            Hukum Perdata Formil adalah aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya melaksanakan serta mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata
(Hukum Perdata Materiel). Misalnya Hukum Acara Perdata.

 
PEMBAGIAN HUKUM PERDATA BERDASARKAN ILMU PENGETAHUAN HUKUM

Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan hukum terdiri atas 4 bagian, yaitu :

a.       Hukum Perorangan (personenrecht)

    Hukum Perorangan adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan tentang


manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-peraturan mengenai perihal kecakapan
seseorang di dalam hukum.

b.      Hukum Keluarga (familierecht)

    Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan yang
timbul karena hubungan kekeluargaan, seperti perkawinan, hubungan antara orangtua
dan anak, perwalian, dan pengampuan.

c.       Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht)

        Hukum harta kekayaan adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan


hukum yang dapat dinilai dengan uang.

Hukum harta kekayaan ini meliputi dua jenis hak, yaitu :

1.Hak mutlak, yaitu hak-hak mutlak yang berlaku terhadap setiap orang, baik hak-hak
atas benda maupun hak-hak atas barang tidak berwujud, seperti hak milik, hak usaha,
hak cipta, dan hak paten.

2.Hak relatif, yaitu hak-hak yang timbul karena suatu peristiwa hukum di mana pihak
yang satu terikat dengan pihak yang lain, seperti perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-
menyewa, dan perjanjian kerja.

d.      Hukum Waris (erfrecht)

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beralihnya harta kekayaan
dari seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup atau para ahli
warisnya.
2019/2 Hukum Perdata
Sistematika Hukum Perdata by MEP (pertemuan 2)
DEFENISI HUKUM PERDATA DAN HUKUM PUBLIK

a.        Hukum Privat atau Privaatrecht (Hukum Sipil / Hukum Perdata)

Adalah hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum antara orang yang satu dan
orang yang lain di dalam pergaulan masyarakat dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan. Hukum Privat ini disebut juga dengan Hukum Perdata, baik
itu Hukum Perdata dalam arti sempit maupun Hukum Perdata dalam arti luas. Yang
termasuk dalam Hukum Privat ini antara lain adalah Hukum Perkawinan, Hukum Dagang,
Hukum Perburuhan, Hukum Waris, dan sebagainya.

b.        Hukum Publik (Publickrecht)

Adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya
atau hubungan antara negara dan perseorangan (warga negara). Yang termasuk dalam
Hukum Publik ini antara lain adalah :

1)   Hukum Pidana yaitu hukum yang mengatur sikap dan tingkah laku manusia yang
berisi perintah dan larangan dengan sanksi hukum sebagai suatu penderitaan khas yang
dipaksakan kepada siapa saja yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana. Hukum
Pidana ini terbagi lagi dalam beberapa cabang Ilmu, yaitu Hukum Pidana Militer, Hukum
Acara Pidana, Ilmu Kriminologi, dan sebagainya.

2)   Hukum Tata Negara, yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk dan susunan
negara dan/atau pemerintahan suatu negara serta hubungan kekuasaan antara alat-alat
perlengkapannya satu sama lain, serta hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Hukum Tata Negara ini terbagi lagi dalam beberapa cabang ilmu,
antara lain Hukum Administrasi Negara, Ilmu Negara, Hukum Acara Tata Usaha Negara,
dan sebagainya.

3)   Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara
negara yang satu dan negara yang lain dalam hubungan internasional. Hukum
Internasional ini terbagi lagi dalam beberapa cabang ilmu, antara lain Hukum Perjanjian
Internasional, Hubungan Internasional, Hukum Udara, Hukum Laut, dan sebagainya.

 
 

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Pembagian Hukum Perdata Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Berdasarkan KUH Per, sistematika Hukum Perdata terdiri atas empat buku, yaitu :

a.        Buku I : tentang Orang

Buku ini memuat tentang Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan. Buku ini terdiri
atas 18 bab, yaitu :

1)        Bab I tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan (Pasal 1 -3 KUH Per)

2)        Bab II tentang akta-akta catatan sipil (Pasal 4 – 16 KUH Per)

3)        Bab III tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17 – 25 KUH Per)

4)        Bab IV tentang Perkawinan (Pasal 26 – 102 KUH Per)

5)        Bab V tentang Hak dan kewajiban suami dan istri (Pasal 103 – 118 KUH Per)

6)        Bab VI tentang persatuan harta kekayaan menurut undang-undang dan


pengurusannya (Pasal 119 – 138 KUH Per)

7)        Bab VII tentang perjanjian kawin (Pasal 139 – 179 KUH Per)

dan seterusnya

b.        Buku II : tentang Kebendaan

Buku ini memuat tentang Hukum Benda dan Hukum Waris. Buku II ini terdiri dari 21 bab,
yaitu tentang :

1)        Bab I tentang kebendaan dan cara membeda-bedakannya (Pasal 499 – 528 KUH
Per)

2)        Bab II tentang kedudukan berkuasa (bezit) dan hak-hak yang timbul karenanya
(Pasal 529 – 568 KUH Per)

3)        Bab III tentang hak milik / eigendom (Pasal 570 – 624 KUH Per)

4)        Bab IV tentang hak dan kewajiban antara pemilik pekarangan yang satu sama lain
bertetangga (Pasal 625 – 672 KUH Per)
Dan seterusnya

c.         Buku III : tentang Perikatan

Memuat Hukum Harta Kekayaan. Buku III ini terdiri dari 18 Bab, yaitu :

1)        Bab I tentang perikatan-perikatan umumnya (Pasal 1233 – 1312 KUH Per)

2)        Bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian


(Pasal 1313 – 1351 KUH Per)

3)        Bab III tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang (Pasal


1352 – 1380 KUH Per)

4)        Bab IV tentang hapusnya perikatan-perikatan (Pasal 1381 – 1456 KUH Per)

Dan seterusnya

d.        Buku IV : tentang Pembuktian dan kadaluarsa

Buku ini memuat tentang perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu
terhadap hubungan-hubungan hukum.Buku IV ini terdiri atas 7 Bab, yaitu :

1)        Bab I tentang pembuktian pada umumnya ( Pasal 1865 – 1866 KUH Per)

2)        Bab II tentang pembuktian dengan tulisan (Pasal 1867 – 1894 KUH Per)

3)        Bab III tentang pembuktian dengan saksi-saksi (Pasal 1895 – 1912 KUH Per)

4)        Bab IV tentang persangkaan (Pasal 1915 – 1922 KUH Per)

5)        Bab V tentang pengakuan (Pasal 1923 – 1928 KUH Per)

6)        Bab VI tentang sumpah di muka hakim (Pasal 1929 – 1945 KUH Per)

7)        Bab VII tentang kedaluarsa (Pasal 1946 – 1993 KUH Per)


2019/2 Hukum Perdata
HUKUM PERORANGAN by MEP (pertemuan 3)

HUKUM PERORANGAN

A.    ISTILAH HUKUM PERORANGAN

Hukum Perorangan (personenrecht) diartikan dalam berbagai istilah, antara lain :

a.       Prof. Dr. L.J. van Apeldoorn, memakai istilah “Hukum Purusa” untuk
istilah personenrecht.

b.      Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., memakai istilah “hukum pribadi” untuk


istilah personenrecht.

c.       Prof. Subekti, memakai istilah “hukum tentang diri seseorang” untuk


istilah personenrecht.

B.     DEFENISI HUKUM PERORANGAN

Defenisi Hukum Perorangan (personenrecht) menurut para pakar sarjana hukum, antara
lain :

a.       Menurut Prof. Subekti, S.H., hukum tentang diri seseorang ialah peraturan-


peraturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal
kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-haknya itu serta hal-hal yang memengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

b.      Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn, Hukum Purusa adalah seluruh
peraturan tentang purusa atau subjek-subjek hukum. Hukum Purusa memuat peraturan
kewenangan hukum (rechtsbevoegdheid) dan kewajiban bertindak
(handelingsbevoegdheid).

c.       Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., Hukum Pribadi ialah semua


kaidah hukum yang mengatur siapa-siapa yang dapat membawa hak, yang menjadi
pembawa hak (rechtsubjecten) dan kedudukannya dalam hukum.

 
C.    PERIHAL ORANG DALAM HUKUM

Subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban. Dalam KUH Perdata ada dua
macam subyek hukum yang meliputi:

a.       Manusia

b.      Badan hukum

A.          MANUSIA SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Dalam dunia hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu segala
sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban, atau disebut juga dengan subjek hukum.
Sebagai pembawa hak, padanya dapat diberikan hak (hak menerima warisan, hak
menerima hibah dan sebagainya) dan dapat dilimpahkan kewajiban. Pada saat sekarang
ini boleh dikatakan, bahwa setiap manusia itu adalah pembawa hak (subjek hukum).
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak (subjek hukum), dimulai pada saat ia
dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia. Terhadap hal ini terdapat suatu
pengecualian, di mana anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap
sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 2 ayat 1
KUH Per).

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) KUH Per ini mempunyai arti penting apabila dalam hal :

a.       Perwalian oleh bapak atau ibu (Pasal 348 KUH Per)

b.      Mewarisi harta peninggalan (Pasal 836 KUHP Per)

c.       Menerima wasiat dari pewaris (Pasal 899 KUH Per)

d.      Menerima hibah (Pasal 1679 KUH Per)

Selanjutnya menurut Pasal 2 ayat (2) KUH Per, apabila ia mati sewaktu dilahirkan, ia
dianggap tak pernah ada. Hal ini berarti, bahwa si anak sewaktu dilahirkkan harus hidup
walaupun hanya sebentar. Hal ini perlu karena untuk menentukan peranannya sebagai
pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum). Mengenai hal ini, Prof. Soediman
Kartohadiprodjo mengatakan, bahwa manusia itu merupakan orang kalau ia hidup, tidak
pandang berapa lama hidupnya, meskipun barangkali hanya untuk satu detik saja.

KECAKAPAN BERTINDAK DALAM HUKUM

Orang yang Tidak Cakap Bertindak dalam Hukum


Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-
haknya, akan tetapi di dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak
sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu. Ada beberapa golongan orang yang oleh
hukum telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam
melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau
dibantu oleh orang lain.

Menurut Pasal 1330 KUH Per, mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap
untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah :

1.      Orang yang belum dewasa

2.      Orang yang ditaruh di bawah pengampunan (curatele)

3.      Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).

1.      Orang-orang yang Belum Dewasa

Orang-orang yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak dan kewajibannya
dengan perantaraan orang lain, atau sama sekali dilarang. Kecakapan untuk bertindak di
dalam hukum bagi orang-orang yang belum dewasa ini diatur dalam ketentuan sebagai
berikut :

1)      Menurut Pasal 330 KUH Per,  orang yang dikatakan belum dewasa apabila ia belum
mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila ia telah menikah,
maka ia dianggap telah dewasa dan ia tidak akan menjadi orang yang dibawah umur
lagi, meskipun perkawinannya diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun.

2)      Untuk melangsungkan perkawinan:

a)      Menurut Pasal 29 KUH Per, bagi seorang laki-laki harus berumur 18 tahun dan bagi
seorang wanita harus berumur 15 tahun.

b)      Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bagi seorang
laki-laki harus berumur 19 tahun dan bagi seorang wanita harus berumur 16 tahun.

c)      Dalam Hukum Waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun tidak dapat
membuat wasiat (Pasal 897 KUH Per).

d)     Menurut Pasal 19 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, untuk dapat memilih di
dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun.
 

2.      Orang yang ditaruh di Bawah Pengampunan

Menurut Pasal 433 KUH Per, orang yang ditaruh di bawah pengampunan adalah orang
yang dungu, sakit ingatan atau mata gelap, dan orang boros. Mengenai hal ini, diatur
dalam ketentuan-ketentuan berikut ini:

a)      Seseorang yang karena ketaksempurnaan akalnya ditaruh di bawah pengampunan,


telah mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, dapat diminta pembatalan
perkawinan (Pasal 88 ayat 1 KUH Per).

b)      Untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat, seorang harus
mempunyai akal budinya (Pasal 895 KUH Per).

c)      Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan dianggap tak cakap untuk membuat
suatu perjanjian (Pasal 1330 KUH Per)

3.      Kedudukan Wanita dalam Hukum

Khusus untuk orang perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam perbuatan hukum
dalam hal:

1)      Membuat perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suami (Pasal 108 KUH
Per).

2)      Menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110 KUH Per).

Untuk masa sekarang ini, ketentuan Pasal 108 KUH Per ini telah dicabut dengan Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Hal ini ditegaskan
lagi dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; dan masing-
masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Selanjutnya menurut Pasal 36
ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, mengenai harta bawaan masing-masing,
suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.

Namun dalam hal tertentu, meskipun seorang istri yang dianggap cakap melakukan
perbuatan hukum oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dalam melakukan perbuatan
terhadap harta bersama perkawinan, harus dengan persetujuan suami (karena suami
adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga).

 
PENDEWASAAN

a.         Pengertian Pendewasaan

Pendewasaan atau perlunakan (handlichting) adalah suatu daya upaya hukum untuk
menempatkan seorang yang belum dewasa menjadi sama dengan orang yang telah
dewasa, baik untuk tindakan tertentu maupun untuk semua tindakan. Dengan demikian,
menurut Pasal 424 KUH Per, anak yang dinyatakan dewasa, dalam segala-galanya
mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa.

b.         Macam-macam Bentuk Pendewasaan

Pada dasarnya ada 2 macam bentuk pendewasaan, yaitu :

1)      Pendewasaan terbatas

Dengan pendewasaan terbatas, maka anak di bawah umur (yang belum dewasa)
dinyatakan dewasa untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Syarat untuk mengajukan
pendewasaan terbatas adalah harus sudah berusia 18 tahun dan permohonan ini
diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 426 KUH Per)

2)      Pendewasaan penuh

Dengan pendewasaan penuh, maka anak di bawah umur (yang belum dewasa),
dinyatakan dewasa untuk melakukan segala tindakan. Syarat untuk mengajukan
pendewasaan penuh yaitu harus sudah berusia 20 tahun dan permohonan ini diajukan
ke presiden (dalam hal ini, Menteri Kehakiman – lohat Pasal 420 – 421 KUH Per).

c.          Pencabutan Hak Pendewasaan

Pendewasaan ini dapat dicabut atau ditarik kembali oleh Pengadilan Negeri apabila anak
yang belum dewasa ini menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya atau
suatu alasan tertentu (Pasal 431 KUH Per). Menurut ketentuan Pasal 432 KUH Per, segala
bentuk pendewasaan dan pencabutan atas pendewasaan ini, harus diumumkan dalam
berita negara agar berlaku bagi umum. Untuk masa sekarang ini, lembaga pendewasaan
ini sudah tidak mempunyai arti lagi karena batas usia dewasa menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah 18 tahun.

Anda mungkin juga menyukai