Nim : 3351201462
Kelas :B
FARMAKOEKONOMI
Sesuai dengan kebijakan obat nasional (KONAS), obat harus diperlakukan sebagai komponen
pelayanan Kesehatan; kecuali itu aspek ekonomi dan teknologi obat harus selaras dengan aspek sosial dan
Kesehatan. Pemerintah harus bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan
obat terutama obat esensial, disamping harus melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Dipihak lain, pelaku usaha dibidang obat bertanggung jawab atas mutu, semetara dipihak pengguna yaitu
Informasi efek obat baru, biasanya disediakan oleh perusahaan farmasi melalui berbagai jenis
media informasi, terutama melalui informan atau detailer dari perusahaan terkait, langsung disampaikan
kepada dokter calon penulius resep obat tersebut. Promosi obat belum sepenuhnya melalui penyaringan
yang tepat oleh instansi berwenang. Tampak masih terjadi berbagai upaya promosi dari perusahaan
farmasi, terutama promosi obat bebas sangat gencar dilakukan di depan masyarakat melalui berbagai
media antara lain media elektronik, baik radio maupun televisi, media cetak, seminar bagi para dokter
dan apoteker sebagai ilmuwan ataupun promosi langsung dari perusahaan farmasi yang terkait.
membandingkan biaya serta dampak klinik, yang tidak terlepas pula masalah ekonomi serta kemanusiaan
dari produk dan pelayanan farmasi, diharapkan dapat dengan mudah dipilih suatu obat yang sesuai
dengan kedaan pasien, baik keadaan klinik maupun sosial ekonominya. Lebih jauh dapat dikemukakan
disini bahwa dengan menggunakan pendekatan farmakoekonomi, maka dapat ditetapkan jenis obat
dalam formularium rumah sakit dan asuransi Kesehatan, jenis obat yang dapat dikembangkan oleh
industry farmasi, dan jenis obat untuk pasien dengan kondisi penyakit tertentu.
Farmakoekonomi tercakup dalam penilaian teknologi kesehatan, dan keduanya tercakup kedalam
evaluasi ekonomi. Evaluasi ekonomi sangat penting dipelajari karena dapat menekan penahanan biaya.
Evaluasi ekonomi dapat diterapkan oleh manajer di rumah sakit atau rencana perawatan kesehatan sesuai
dengan formularium, dapat diterapkan juga oleh perusahaan farmasi, pemerintah dan peneliti.
Penerapan prinsip faramakoekonomi oleh Manajer rumah sakit (termasuk HMO dan FFS) mencakup obat
apa yang harus dimasukkan pada formularium rumah sakit? Dan sistem pengiriman obat apa yang terbaik
untuk rumah sakit? Penerapan prinsip farmakoekonomi oleh Perusahaan farmasi mencakup Apakah obat
yang terbaik untuk perusahaan farmasi yang perlu dikembangkan? Apakah perusahaan akan melanjutkan
uji klinis? Apakah keuntungan ekonomi produk yang baru?. Penerapan prinsip faramakoekonomi oleh
Pemerintah antara lain Obat apa yang harus dimasukkan dalam formularium rumah sakit? Dan Apakah
biaya yang efektif bagi Medicare untuk menanggung biaya mamografi tahunan?. Penerapan prinsip
faramakoekonomi oleh Peneliti yaitu Semua yang di atas dan Bagaimana meningkatkan kredibilitas
analitis evaluasi ekonomi. Prinsip farmakoekonomi adalah suatu sumber daya terbatas dan tersedia.
Harus digunakan untuk program yang memberi keuntungan terbesar bagi masyarakat banyak. Ada
beberapa metode yang digunakan yaitu Decision Analysis, Cost Minimization Analysis, Cost Effectiveness
Analysis, Cost-Benefit Analysis Dan Cost Of Illness Evaluation serta Cost Untility Analysis.
Untuk menemukan suatu obat baru industry farmasi harus mengeluarkan biaya jutaan dolar dan
waktu yang lama sampai 14 tahun. Mengingat hal tersebut maka setiap industry farmasi amat hati-hati
dalam menemukan obat baru karena resikonya amat besar. Untuk meminimalisasi risiko kegagalan
penemuan obat baru, lyle bootman et al menyarankan dilakukan analisis farmakoekonomi sejak awal
proses. Analisis farmakoekonomi pada tahap pertama diawali oleh penentuan wilayah terapi yang
digarap kemudian riset dibidang biologi, kimia, dan toksikologi lalu riset dibidang farmakokinetika,
toksikologi dan biologi lanjutan sehingga dimungkinkan uji pada manusia. Pada tahap kedua yaitu uji
klinik, pada fase I, II, dan III, selanjutnya tahap ketiga adalah /Business analysis and marketing decision,
dan keempat adalah riset setelah obat dipasarkan, antara lain uji klinik fase IV. Riset dasar serta
lanjutan yang sia-sia. Dengan demikian maka analisis farmakoekonomi diperlukan sejak sebelum obat
Obat yang telah melalui proses tahap pertama dan tahap kedua secara berskala lab sudah bisa
didaftarkan untuk mendapatkan registrasi resmi. Obat yang sudah jadi secara skala lab perlu diuji
“Kedigdayaan”-nya sebelum masuk tahap ketiga: Business Analysis and Marketing Decision
Dua keunggulan yang harus diuji yaitu: Unggul kemanjuran dan bersaing dalam harga.
Obat baru dibandingkan terhadap obat yang sudah ada dipasar dari sisi kemanjuran/efektivitas
pada wilayahh terapi sama. Ada tiga kemungkinan hasilnya yaitu: lebih efektif, sama efektif atau
kurang efektif.
Obat baru yang lebih manjur atau sama manjur dilakukan seleksi atas dasar harga. Prioritas yang
didahulukan adalag bagi obat baru yang lebih manjur (effectiness). Harga obat baru yang lebih
manjur kemungkinan lebih mahal atau sama atau justru lebih murah
1. Pilihan pertama pada obat yang lebih manjur tetapi lebih murah (I), sedangkan pilihan kedua
adalah obat yang lebih manjur dengan harga yang sama (I).
2. Bagi obat yang lebih manjur tetapi lebih mahal dilakukan uji farmakoekonomi CEA (Cost
kenaikkan harga. Pilihan ketiga adalah obat yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan
harganya (II) langkah berikut obat baru dengan kemanjuran sama (effectiveness), kemungkinan
harganya lebih mahal atau sama atau lebih murah. Pilihan keempat adalah obat dengan
Praktek di Indonesia sendiri ternyata berbeda didalam pembandingan obat baru dengan obat yang
sudah ada dipasaran. Badan POM memberikan izin edar obat baru dengan nilai efektivitas kurang
dibandingkan dengan obat yang sudah ada di pasaran. Salah satu contoh pembandingan obat baru dengan
obat yang sudah ada di pasaran adalah kombinasi parasetamol dengan ibuprofen yang telah disetujui oleh
Badan POM dengan nama merek Neo Rheumacyl, Mixagrip Rheuma dan Paramex Nyeri Otot. Dari nama
obat tersebut masyarakat berasosiasi bahwa obat tersebut digunakan untuk mengobati encok alias
rematik, namun secara rasional obat tersebut dimaksudkan sebagai analgetika atau pereda nyeri.
Parasetmol merupakan antipiretik digunakan di Indonesia sejak 1970-an. Selain itu juga merupakan
analgesic daya rendah sedangkan Ibuprofen masuk golongan NSAID (Non steroid Anti-Inflamaton drug)
generasi awal, dimana sudah banyak yang baru dan lebih baik. Beberapa peneliti menyatakan kombinasi
Ibuprofen dan parasetamol dapat memperkuat daya antipiretiknya. Sebagai analgetika kombinasi
parasetamol dan ibuprofen bekerja lebih kuat dibandingkan tunggal. Namun sebagai anti-inflamasi masih
ada NSAID yang bekerja lebih kuat. Kelebihan kombinasi parasetamol dan ibuprofen daripada NSAID
terletak pada golongan obat. Dimana satu merupakan obat yang harus dengan resep dokter, yang lain
Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya
keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau
biaya peluang, opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari
penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat bahwa biaya tidak selalu melibatkan
pertukaran uang. Dalam pandangan para ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih dari
sekadar biaya pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula, misalnya, biaya pelayanan lain dan biaya yang
diperlukan oleh pasien sendiri (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2013: 12).
Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Biaya langsung
Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan, termasuk biaya
obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas
rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya
kesehatan lainnya. Dalam biaya langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya
Biaya tidak langsung (Bootman et al., 2005) adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya
produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya
Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat
dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau
keluarganya.
Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan karena penggunaan
suatu intervensi kesehatan (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2013: 14).
B. Metodologi Farmakoekonomi
Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, Empat metode analisis ini bukan
hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek
ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi,
hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang
paling efisien dari sumber daya Kesehatan yang terbatas jumlahnya Di antara empat metode tersebut,
analisis minimalisasi-biaya (AMiB) adalah yang paling sederhana. AMiB digunakan untuk membandingkan
dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua
terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk
melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai
terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk
mencapai efek yang diharapkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang
memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan analisis efektivitasbiaya (AEB). Pada AEB, hasil
pengobatan tidak diukur dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik
yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadar LDL darah
dalam mg/dL, penurunan tekanan darah diastolik dalam mm Hg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi
tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung
yang tersembuhkan). Metode lain yang juga banyak digunakan adalah analisis utilitasbiaya (AUB). Seperti
AEB, biaya pada AUB juga diukur dalam unit moneter (jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil
pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, misalnya JTKD. Karena hasil pengobatannya tidak bergantung
secara langsung pada keadaan penyakit (disease state), secara teoretis AUB dapat digunakan untuk
membandingkan dua area pengobatan yang berbeda, misalnya biaya per JTKD operasi jantung koroner
versus biaya per JTKD erythropoietin pada penyakit ginjal. Namun demikian, pembandingan antar-area
pengobatan ini tidak mudah, karena JTKD diperoleh pada waktu dan dengan cara berbeda sehingga tak
dapat begitu saja diperbandingkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang
memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda,
dapat digunakan analisis manfaatbiaya (AMB). Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan
dan/atau unit hasil pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat (benefit)
diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic benefit) dan dinyatakan dengan unit
yang sama, yaitu unit moneter. Namun demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai
kesehatan dan hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak jarang
digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi kesehatan yang lebih luas pun
masih jarang sekali dilakukan. Sebagai edisi awal, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini
memfokuskan bahasan pada metode analisis yang sederhana, yaitu analisis minimalisasi-biaya (AMiB) dan
Menurut Lynn A. Uber sebagai Outcomes Managemenet Coordinator dari Medical University of
Sedangkan menurut Yachien Tina Shih yang merupakan seorang Profesor pada Departemen
Biostatistics and Applied Mathematics dari Anderson Cancer Center, yang menyatakan metoda
ilmu farmakoekonomi memiliki banyak metodologi analisis, terapi yang utama ada empat, yaitu
Analisis biaya termurah atau Cost-Minimization Analysis (CMA), Analisis biaya dan kemanjuran atau Cost-
Effectiveness Analysis (CEA), Analisis biaya dan kenyamanan atau Cost-Utility Analysis (CUA), serta Analisis
biaya dan perolehan atau Cost-Benefit Analysis (CBA). Selain dari keempat metoda analisis utama
tersebut, terdapat metoda analisis lainnya, yaitu Analisis pada anggaran atau Budget Impact Analysis
(BIA), Analisis biaya sakit atau Cost-of-Illness Analysis (COI), dan Analisis manfaat biaya atau Cost-Offset
Analysis (COA).
(AMiB) hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk
obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena
hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu
biaya. Dengan demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan AMiB
adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi,
karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan
1. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia
obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas bioekuivalen (BA/BE).
Jika tidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak
untuk digunakan.
2. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.
Terdapat banyak jenis biaya dan jenis biaya yang harus dimasukkan berbeda untuk setiap
perspektif analisis. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan keahlian dan
ketelitian.
Analisis biaya terendah (CMA) dapat dilakukan pada tiga situasi, yaitu sebagai berikut.
1. Pasar obat yang memiliki hak paten yang sudah habis terdapat 3 jenis obat yang beredar yaitu
originator, obat generic bermerek dan obat generik. Dari ketiga jenis obat tersebut memiliki
kandungan zat berkhasiat yang sama dengan jumlah kandungan yang sama serta cara pemakaian
yang sama. Ketiga obat tersebut dibandingkan harganya dan dipilih yang murah.
2. Membandingkan harga dari obat yang sama yang harus di bayar dengan pemakaian obat tunggal
atau jamak. Salah satu contohnya dengan membandingkan biaya yang paling murah antara
3. Membandingkan harga obat yang harus di baya dari obat yang sama, tetapi cara pakai yang
berbeda. Salah satu contoh adalah tablet voltadex atau voltaren dengan voltadex atau voltaren
cream.