Anda di halaman 1dari 9

Nama : Muhamad ardiansyah

Nim : 3351201462

Kelas :B

TUGAS REVIEW Ke-6

FARMAKOEKONOMI

Sesuai dengan kebijakan obat nasional (KONAS), obat harus diperlakukan sebagai komponen

pelayanan Kesehatan; kecuali itu aspek ekonomi dan teknologi obat harus selaras dengan aspek sosial dan

Kesehatan. Pemerintah harus bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan

obat terutama obat esensial, disamping harus melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Dipihak lain, pelaku usaha dibidang obat bertanggung jawab atas mutu, semetara dipihak pengguna yaitu

masyarakat berhak mendapatkan informasi obat yang benar.

Informasi efek obat baru, biasanya disediakan oleh perusahaan farmasi melalui berbagai jenis

media informasi, terutama melalui informan atau detailer dari perusahaan terkait, langsung disampaikan

kepada dokter calon penulius resep obat tersebut. Promosi obat belum sepenuhnya melalui penyaringan

yang tepat oleh instansi berwenang. Tampak masih terjadi berbagai upaya promosi dari perusahaan

farmasi, terutama promosi obat bebas sangat gencar dilakukan di depan masyarakat melalui berbagai

media antara lain media elektronik, baik radio maupun televisi, media cetak, seminar bagi para dokter

dan apoteker sebagai ilmuwan ataupun promosi langsung dari perusahaan farmasi yang terkait.

Melalui kegiatan riset farmakoekonomi yang menyangkut identifikasi, mengukur dan

membandingkan biaya serta dampak klinik, yang tidak terlepas pula masalah ekonomi serta kemanusiaan

dari produk dan pelayanan farmasi, diharapkan dapat dengan mudah dipilih suatu obat yang sesuai

dengan kedaan pasien, baik keadaan klinik maupun sosial ekonominya. Lebih jauh dapat dikemukakan

disini bahwa dengan menggunakan pendekatan farmakoekonomi, maka dapat ditetapkan jenis obat
dalam formularium rumah sakit dan asuransi Kesehatan, jenis obat yang dapat dikembangkan oleh

industry farmasi, dan jenis obat untuk pasien dengan kondisi penyakit tertentu.

Farmakoekonomi tercakup dalam penilaian teknologi kesehatan, dan keduanya tercakup kedalam

evaluasi ekonomi. Evaluasi ekonomi sangat penting dipelajari karena dapat menekan penahanan biaya.

Evaluasi ekonomi dapat diterapkan oleh manajer di rumah sakit atau rencana perawatan kesehatan sesuai

dengan formularium, dapat diterapkan juga oleh perusahaan farmasi, pemerintah dan peneliti.

Penerapan prinsip faramakoekonomi oleh Manajer rumah sakit (termasuk HMO dan FFS) mencakup obat

apa yang harus dimasukkan pada formularium rumah sakit? Dan sistem pengiriman obat apa yang terbaik

untuk rumah sakit? Penerapan prinsip farmakoekonomi oleh Perusahaan farmasi mencakup Apakah obat

yang terbaik untuk perusahaan farmasi yang perlu dikembangkan? Apakah perusahaan akan melanjutkan

uji klinis? Apakah keuntungan ekonomi produk yang baru?. Penerapan prinsip faramakoekonomi oleh

Pemerintah antara lain Obat apa yang harus dimasukkan dalam formularium rumah sakit? Dan Apakah

biaya yang efektif bagi Medicare untuk menanggung biaya mamografi tahunan?. Penerapan prinsip

faramakoekonomi oleh Peneliti yaitu Semua yang di atas dan Bagaimana meningkatkan kredibilitas

analitis evaluasi ekonomi. Prinsip farmakoekonomi adalah suatu sumber daya terbatas dan tersedia.

Harus digunakan untuk program yang memberi keuntungan terbesar bagi masyarakat banyak. Ada

beberapa metode yang digunakan yaitu Decision Analysis, Cost Minimization Analysis, Cost Effectiveness

Analysis, Cost-Benefit Analysis Dan Cost Of Illness Evaluation serta Cost Untility Analysis.

A. Obat baru ditemukan, dibandingkan, dengan obat yang ada dipasar

Untuk menemukan suatu obat baru industry farmasi harus mengeluarkan biaya jutaan dolar dan

waktu yang lama sampai 14 tahun. Mengingat hal tersebut maka setiap industry farmasi amat hati-hati

dalam menemukan obat baru karena resikonya amat besar. Untuk meminimalisasi risiko kegagalan

penemuan obat baru, lyle bootman et al menyarankan dilakukan analisis farmakoekonomi sejak awal

proses. Analisis farmakoekonomi pada tahap pertama diawali oleh penentuan wilayah terapi yang
digarap kemudian riset dibidang biologi, kimia, dan toksikologi lalu riset dibidang farmakokinetika,

toksikologi dan biologi lanjutan sehingga dimungkinkan uji pada manusia. Pada tahap kedua yaitu uji

klinik, pada fase I, II, dan III, selanjutnya tahap ketiga adalah /Business analysis and marketing decision,

dan keempat adalah riset setelah obat dipasarkan, antara lain uji klinik fase IV. Riset dasar serta

pengembangannya dilengkapi dengan analisis farmakoekonomi untuk deteksi kemungkinan riset

lanjutan yang sia-sia. Dengan demikian maka analisis farmakoekonomi diperlukan sejak sebelum obat

ditemukan sampai setelah obat dipasarkan

Obat yang telah melalui proses tahap pertama dan tahap kedua secara berskala lab sudah bisa

didaftarkan untuk mendapatkan registrasi resmi. Obat yang sudah jadi secara skala lab perlu diuji

“Kedigdayaan”-nya sebelum masuk tahap ketiga: Business Analysis and Marketing Decision

Dua keunggulan yang harus diuji yaitu: Unggul kemanjuran dan bersaing dalam harga.

1. Seleksi Kemanjuran (Effectiviness Analysis)

Obat baru dibandingkan terhadap obat yang sudah ada dipasar dari sisi kemanjuran/efektivitas

pada wilayahh terapi sama. Ada tiga kemungkinan hasilnya yaitu: lebih efektif, sama efektif atau

kurang efektif.

2. Seleksi Harga (Cost Analysis)

Obat baru yang lebih manjur atau sama manjur dilakukan seleksi atas dasar harga. Prioritas yang

didahulukan adalag bagi obat baru yang lebih manjur (effectiness). Harga obat baru yang lebih

manjur kemungkinan lebih mahal atau sama atau justru lebih murah

1. Pilihan pertama pada obat yang lebih manjur tetapi lebih murah (I), sedangkan pilihan kedua

adalah obat yang lebih manjur dengan harga yang sama (I).

2. Bagi obat yang lebih manjur tetapi lebih mahal dilakukan uji farmakoekonomi CEA (Cost

Effectiveness Analysis), membandingkan kenaikkan kemanjuran (effectiveness) dengan

kenaikkan harga. Pilihan ketiga adalah obat yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan
harganya (II) langkah berikut obat baru dengan kemanjuran sama (effectiveness), kemungkinan

harganya lebih mahal atau sama atau lebih murah. Pilihan keempat adalah obat dengan

kemanjuran sama tetapi harga lebih murah (II).

Praktek di Indonesia sendiri ternyata berbeda didalam pembandingan obat baru dengan obat yang

sudah ada dipasaran. Badan POM memberikan izin edar obat baru dengan nilai efektivitas kurang

dibandingkan dengan obat yang sudah ada di pasaran. Salah satu contoh pembandingan obat baru dengan

obat yang sudah ada di pasaran adalah kombinasi parasetamol dengan ibuprofen yang telah disetujui oleh

Badan POM dengan nama merek Neo Rheumacyl, Mixagrip Rheuma dan Paramex Nyeri Otot. Dari nama

obat tersebut masyarakat berasosiasi bahwa obat tersebut digunakan untuk mengobati encok alias

rematik, namun secara rasional obat tersebut dimaksudkan sebagai analgetika atau pereda nyeri.

Parasetmol merupakan antipiretik digunakan di Indonesia sejak 1970-an. Selain itu juga merupakan

analgesic daya rendah sedangkan Ibuprofen masuk golongan NSAID (Non steroid Anti-Inflamaton drug)

generasi awal, dimana sudah banyak yang baru dan lebih baik. Beberapa peneliti menyatakan kombinasi

Ibuprofen dan parasetamol dapat memperkuat daya antipiretiknya. Sebagai analgetika kombinasi

parasetamol dan ibuprofen bekerja lebih kuat dibandingkan tunggal. Namun sebagai anti-inflamasi masih

ada NSAID yang bekerja lebih kuat. Kelebihan kombinasi parasetamol dan ibuprofen daripada NSAID

terletak pada golongan obat. Dimana satu merupakan obat yang harus dengan resep dokter, yang lain

masuk obat bebas terbatas bisa dibeli tanpa resep dokter.

Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya

keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau

biaya peluang, opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari

penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat bahwa biaya tidak selalu melibatkan

pertukaran uang. Dalam pandangan para ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih dari

sekadar biaya pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula, misalnya, biaya pelayanan lain dan biaya yang
diperlukan oleh pasien sendiri (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2013: 12).

Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Biaya langsung

Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan, termasuk biaya

obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas

rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya

kesehatan lainnya. Dalam biaya langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya

non-medis seperti biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya.

b. Biaya tidak langsung

Biaya tidak langsung (Bootman et al., 2005) adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya

produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya

produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien). 15

c. Biaya nirwujud (intangible cost)

Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat

dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau

keluarganya.

d. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost)

Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan karena penggunaan

suatu intervensi kesehatan (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2013: 14).

B. Metodologi Farmakoekonomi

Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, Empat metode analisis ini bukan

hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek

ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi,

hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang
paling efisien dari sumber daya Kesehatan yang terbatas jumlahnya Di antara empat metode tersebut,

analisis minimalisasi-biaya (AMiB) adalah yang paling sederhana. AMiB digunakan untuk membandingkan

dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua

terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk

melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai

terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk

mencapai efek yang diharapkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang

memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan analisis efektivitasbiaya (AEB). Pada AEB, hasil

pengobatan tidak diukur dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik

yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadar LDL darah

dalam mg/dL, penurunan tekanan darah diastolik dalam mm Hg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi

tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung

yang tersembuhkan). Metode lain yang juga banyak digunakan adalah analisis utilitasbiaya (AUB). Seperti

AEB, biaya pada AUB juga diukur dalam unit moneter (jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil

pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, misalnya JTKD. Karena hasil pengobatannya tidak bergantung

secara langsung pada keadaan penyakit (disease state), secara teoretis AUB dapat digunakan untuk

membandingkan dua area pengobatan yang berbeda, misalnya biaya per JTKD operasi jantung koroner

versus biaya per JTKD erythropoietin pada penyakit ginjal. Namun demikian, pembandingan antar-area

pengobatan ini tidak mudah, karena JTKD diperoleh pada waktu dan dengan cara berbeda sehingga tak

dapat begitu saja diperbandingkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang

memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda,

dapat digunakan analisis manfaatbiaya (AMB). Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan

dan/atau unit hasil pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat (benefit)

diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic benefit) dan dinyatakan dengan unit
yang sama, yaitu unit moneter. Namun demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai

kesehatan dan hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak jarang

digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi kesehatan yang lebih luas pun

masih jarang sekali dilakukan. Sebagai edisi awal, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini

memfokuskan bahasan pada metode analisis yang sederhana, yaitu analisis minimalisasi-biaya (AMiB) dan

analisis efektivitas-biaya (AEB).

Menurut Lynn A. Uber sebagai Outcomes Managemenet Coordinator dari Medical University of

South Carolina menyatakan metoda farmakoekonomi memiliki 5 metoda, yaitu :

1. Cost-Minimization Analysis (CMA)

2. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

2. Cost-Benefit Analysis (CBA)

4. Cost-Utility Analysis (CUA)

5. Cost-Offset Analysis (COA)

Sedangkan menurut Yachien Tina Shih yang merupakan seorang Profesor pada Departemen

Biostatistics and Applied Mathematics dari Anderson Cancer Center, yang menyatakan metoda

farmakoekonomi memiliki 6 metoda, yaitu

1. Cost-Minimization Analysis (CMA)

2. Cost-Benefit Analysis (CBA)

3. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

4. Cost-Utility Analysis (CUA)

5. Cost-of-Illness Analysis (COI)

6. Budget Impact Analysis (BIA)

ilmu farmakoekonomi memiliki banyak metodologi analisis, terapi yang utama ada empat, yaitu

Analisis biaya termurah atau Cost-Minimization Analysis (CMA), Analisis biaya dan kemanjuran atau Cost-
Effectiveness Analysis (CEA), Analisis biaya dan kenyamanan atau Cost-Utility Analysis (CUA), serta Analisis

biaya dan perolehan atau Cost-Benefit Analysis (CBA). Selain dari keempat metoda analisis utama

tersebut, terdapat metoda analisis lainnya, yaitu Analisis pada anggaran atau Budget Impact Analysis

(BIA), Analisis biaya sakit atau Cost-of-Illness Analysis (COI), dan Analisis manfaat biaya atau Cost-Offset

Analysis (COA).

A. Cost-Minimization Analysis (CMA)/ Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB)

Merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, analisis minimalisasi-biaya

(AMiB) hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk

obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena

hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu

biaya. Dengan demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan AMiB

adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi,

karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan

setara, penggunaan AMiB agak terbatas, misalnya untuk:

1. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia

obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas bioekuivalen (BA/BE).

Jika tidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak

untuk digunakan.

2. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.

Terdapat banyak jenis biaya dan jenis biaya yang harus dimasukkan berbeda untuk setiap

perspektif analisis. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan keahlian dan

ketelitian.

Analisis biaya terendah (CMA) dapat dilakukan pada tiga situasi, yaitu sebagai berikut.
1. Pasar obat yang memiliki hak paten yang sudah habis terdapat 3 jenis obat yang beredar yaitu

originator, obat generic bermerek dan obat generik. Dari ketiga jenis obat tersebut memiliki

kandungan zat berkhasiat yang sama dengan jumlah kandungan yang sama serta cara pemakaian

yang sama. Ketiga obat tersebut dibandingkan harganya dan dipilih yang murah.

2. Membandingkan harga dari obat yang sama yang harus di bayar dengan pemakaian obat tunggal

atau jamak. Salah satu contohnya dengan membandingkan biaya yang paling murah antara

alloputinol 00 mg sehari tiga kali atau 300 mg sehari sekali.

3. Membandingkan harga obat yang harus di baya dari obat yang sama, tetapi cara pakai yang

berbeda. Salah satu contoh adalah tablet voltadex atau voltaren dengan voltadex atau voltaren

cream.

Anda mungkin juga menyukai