Nim : 3351201067
Kelas : A
Bagi pelaku pelayanan kesehatan atau dokter, apoteker, asisten apoteker, bidan, perawat,
serta instalasi farmasi rumah sakit dan klinik, memanfaatkan fungsi farmakoekonomi untuk
memilih obat, baik aspek kemanjuran ‘effectiveness’ maupun keterjangkauan harga ‘cost’.
Kaidah pokok yang berlaku adalah mengedepankan kemanjuran, baru mempertimbangkan
keterjangkauan.
Kendala utama pasien untuk memperoleh pengobatan dan obat adalah sudut pandang pasien
sendiri. Menurut Kem P Krueger ada beberapa penghambat untuk memperoleh pengobatan
dan obat :
2. Penghambatan tidak langsung Adalah kehilangan pekerjaan, potong gaji karena tidak bias
bekerja serta biaya ekstra menggaji pembantu. Penghambat langsung adalah keharusan
membayar iuran kesehatan serta rendahnya informasi dan pendidikan dalam menghadapi
sakit.
Peran penting farmakoekonomi antara lain dalam rangka memperoleh obat da pengobatan
manjur dengan biaya seringan mungkin. Biaya sakit tidak hanya di hitung dari biaya
pengobatan dan perawatan tetapi juga pada dampak ekonomik dan humanistik. Morbiditas
dan mortalitas lebih banyak dibahas dari aspek ekonomi daripada aspek klinik/humanistik.
Morbiditas dan mortalitas yang tinggi di usia produktif akan mengakibatkan produktivitas
kerja turun yang akhirnya akan berpengaruh pada Gross National Product, Produk Domestik
Bruto (PDB) suatu negara.
Kini hampir diseluruh dunia tidak ada lagi pelayanan kesehatan dan kefarmasian yang gratis.
Semua harus membayar, masalahnya hanya siapa yang membayar.
- Kendala utama dari pasien adalah cakupan asuransi yang dianggap kurang memadai serta
kedisiplinan pasien untuk membayar premi.
- Kedua mengenakan denda dan membekukan berlakunya asuransi bagi yang menunggak
premi.
- Menghadapi ‘provider’ BPJS dan juga semua asuransi kesehatan di dunia menghadapi
masalah yang sama, yaitu ‘unexplained variations in cost and outcomes. Menghadapi
masalah ini biasanya institusi asuransi kesehatan mengadakan kesepakatan dengan para
‘provider’. –
Obat atau pengobatan yang ditanggung pihak ketiga (selain pasien) pasti ada keterbatasan
yang dikenal sebagai ‘pressure from payer’ dilakukan dengan cara:
Pegawai perusahaan harus berobat pada balai pengobatan RS atau apotek milik
perusahaan/Lembaga yang sudah ditunjuk.
Dokter, klinik serta unit pelayanan berobat jalan dipatok dengan jasa yang tetap.
Penyeragaman rincian pelayanan dan tarif untuk semua RS melalui MCO tanpa
pengecualian. Rincian pelayanan beserta tarifnya dipatok sesuai dengan ‘diagnostic related
group’ tanpa ada pengecualian.
Bagi klinik dan layanan rawat jalan diberlakukan tarif yang sama dan tetap.
Di negara maju jaminan kesehatan bagi pekerja oleh perusahaan selalu ada, yaitu dengan
membebankan pada komponen gaji pekerja. Gaji yang diterima pekerja sudah dipotong oleh
pajak penghasilan serta premi-premi untuk jaminan kesehatan dan hari tua, seperti Taspen
(Tabungan asuransi dan pensiun) bagi pegawai negeri. Sudut pandang (perspective)
perusahaan terhadap fungsi analisis farmakoekonomi adalah efisiensi pada dua hal yaitu
minimalisasi pekerja tidak masuk kerja serta minimalisasi pengeluaran untuk kesehatan
pekerja.
Setiap rumah sakit di Indoneia diwajibkan memiliki formularium rumah sakit yang dibuat
dan dikelola oleh panitia farmasi dan terapi. Obat yang masuk dalam formularium rumah
sakit sudha terseleksi analisis farmakoekonomi hingga terjamin kemanjuranya dengan harga
yang rasional.
Untuk menemukan satu obat baru industry farmasi harus mengelurakan biaya yang sangat
banyak. Untuk meminimalisir risiko kegagalan penemuan obat baru, Lyle Bootman et al
menyarankan dilakukan analisis farmakoekonomi sejak awal proses. Dengan demikian, maka
analisis farmakoekonomi diperlukan sejak sebelum obat ditemukan sampai setelah obat
dipasarkan.
a. Tahap pertama: Sebelum melakukan penemuan obat baru, terlebih dahulu dipastikan
wilayah terapi mana yang mau dituju.
b. Tahap kedua: Analisis farmakoekonomi pada waktu uji klinik fase I, II, III 3) Tahap
ketiga: Pada waktu akan dipasarkan dilakukan kajian ‘Business Analysis and Marketing
Decision’ dalam rangka memastikan pasar yang tepat dengan sediaan yang sesuai. 4) Tahap
keempat: Setelah obat dipasarkan dilakukan kajian lanjutan antara lain uji klinik fase IV.
I. Tahap Pertama (Therapeutic Area Targetted) Tugas dari bagian R&D industri farmasi
adalah menemukan obat baru atau penggunaan baru atau formulasi baru. Dalam
rangka menjamin obat yang akan ditemukan laku dipasaran maka terlebih dahulu
harus ditentukan wilayah terapi yang dipilih atas dasar kajian farmakoepidemiologi
dimana untuk tiap negara/wilayah berbeda. Pada proses ini dilakukan riset
toksikologi, biologi, dan kimia, kemudian diambil kesimpulan. Kesimpulan diperoleh
berdasarkan pertimbangan farmakoekonomi, dari aspekaspek kemanjuran,
kemanfaatan dan efisiensi lebih besar manfaat daripada mudharat. Bila riset awal
dapat dilalui maka di lanjutkan dengan riset biologi dan toksikologi lanjutan serta
kemudian dilakukan penelitian farmakokinetika. Proses ini diakhiri dengan
pertimbangan apakah hasil awal dapat dilanjutkan ke manusia
II. Tahap Kedua (Clinical Trial Phase I, II, and III) Sebelum uji klinik harus di dahului
uji praklinik yaitu uji pada binatang percobaan yang fokus pada tingkat toksisitas serta
pengamatan tentang perjalanan obat dalam tubuh manusia. Setelah obat tersebut
terbukti tidak toksik pada hewan percobaan, selanjutnya dilakukan uji klinik. Ada 4
tahap dalam uji klinik yaitu:
a. Uji Klinik Fase I Obat yang sudh di uji dan tidak toksik pada hewan, di uji
kembali pada manusia sehat. Sasaran dari uji klinik fase I adalah untuk
memastikan profil toksisitas obat dalam tubuh manusia. Dosis obat secara
bertahap dinaikkan sampai muncul gejala awal toksisitas lalu berhenti. Dengan
demikian kita bisa mengetahui pada dosis berapa mulai muncul gejala awal
toksisitas.
b. Uji Klinik Fase II Obat yang diteliti diberikan kepada sekelompok pasien
dengan penyakit yang dimaksud. Pasien berpenyakit tunggal, tidak ada
komplikasi dan dirawat dalam kondisi kesehatan yang ideal. Dengan kondisi
demikian potensi pengobatan akan terlihat. Pemastian kemanjuran ‘efficacy’
atau ‘effectiveness’ perlu adanya pembanding yaitu dengan ‘drug of choice’
penyakit tersebut serta juga ‘placebo’. Komparasi berguna untuk menentukan
dosis terapi yang optimal. Selama uji klinik fase II dapat mulai diteliti tentang
‘Cost of Ilness’, biaya yang harus di keluarkan dan kualitas hidup, ‘Quality of
Life’.
c. Uji Klinik Fase III Sekelompok sukarelawan dengan penyakit tertentu dibagi
dua: 1 kelompok diberi obat yang lulus uji klinik II, 1 kelompok lainnya diberi
placebo. Perbedaan mencolok ditentukan berdasar analisis farmakoekonomi