Anda di halaman 1dari 2

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota PL-5206

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Kelembagaan Pembangunan


Institut Teknologi Bandung Rizky Rachman (25420040)

Critical Review : The New Governance: Governing Without Government


(R.A.W. Rhodes, 1996)

Pendahuluan
Artikel berjudul “The New Governance: Governing Without Government” ini ditulis oleh Roderick
Arthur William Rhodes, seorang ilmuwan politik berkebangsaan Inggris yang pada saat ini merupakan
salah seorang profesor bidang pemerintahan di University of Southampton. Pada artikel ini penulis
mengangkat topik mengenai berbagai perubahan dalam struktur tata kelola pemerintahan yang terjadi
di Inggris. Penulis berargumen bahwa bentuk dari tata kelola pemerintahan pada saat itu mengalami
berbagai proses pergeseran sehingga menuju sebuah bentuk yang disebut sebagai “sebuah jaringan
antar organisasi yang mengatur dirinya sendiri” (self-organizing interorganizational network).
Pembahasan dalam artikel diawali dengan merunut perjalanan dalam pendefinisian istilah
“governance”, dimulai dari penggunaan tradisional yang mendefinisikannya sebagai sinonim dari
pemerintahan hingga pada perjalanannya mengalami pergeseran makna yang menjadikan istilah
tersebut sebagai penanda dari perubahan arti pemerintahan (government). Kemudian penulis mencoba
mendeskripsikan argumennya perihal fenomena yang terjadi dalam tata kelola pemerintahan yang
pada saat itu menuju pada suatu format jaringan otonom yang cenderung bergerak sendiri dan menolak
panduan dari pemerintahan pusat, lalu menyebutnya sebagai tantangan terbesar yang dialami
pemerintahan, dalam hal ini pemerintahan negara Inggris.
Ringkasan Pustaka
Saat ini istilah “governance” tidak diperlakukan sebagai sinonim untuk pemerintah (government).
Sebaliknya, “governance” menandakan perubahan arti dari pemerintah (government), mengacu pada
proses baru dalam pemerintahan atau kondisi yang berubah dari aturan yang dibuat dan juga metode
baru yang mengatur masyarakat. Istilah “governance” telah digunakan secara luas menghapuskan
istilah “government”. Tapi pertanyaannya, apakah memang benar kedua istilah tersebut memilikin arti
yang berbeda? Untuk mengetahuinya, sangat penting mendefinisikan istilah governance dalam
menentukan proses, kondisi, ataupun metode baru ini. Setidaknya ada enam macam penggunaan
istilah “governance” secara umum:
1) as the minimal state : Penggunaan ini adalah istilah paling umum yang mendefinisikan kembali
tingkat dan bentuk intervensi publik dan penggunaan pasar dan pasar semu untuk memberikan
layanan publik. Ukuran pemerintahan berkurang seiring privatisasi dan pemangkasan layanan sipil.
2) as corporate governance : Penggunaan khusus ini mengacu pada sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan organisasi. Peran governance tidak berkaitan dengan menjalankan bisnis
perusahaan saja, tetapi dengan memberikan arahan keseluruhan kepada perusahaan, dengan
mengawasi dan mengendalikan tindakan yang bersifat eksekutif dari manajemen dan dengan
harapan yang benar dan memuaskan dari akuntabilitas dan regulasi oleh kepentingan di luar batas-
batas perusahaan. Penggunaan istilah ini menunjukan bahwa praktik manajemen sektor swasta
memiliki pengaruh penting pada sektor publik.
3) as the new public management : New Public Mangement (NPM) memiliki dua arti yakni
manajerialisme dan ekonomi kelembagaan baru. Manajerialisme berarti mengacu pada pengenalan
metode manajemen sektor swasta pada sektor publik Sedangkan ekonomi kelembagaan baru
mengacu pada pengenalan struktur insentif ke dalam penyediaan layanan publik. Penggunaan
istilah ini memiliki nuansa khas sektor swasta dalam memberikan pelayanan publik, yakni
mempertimbangkan persaingan, pasar, pelanggan, dan hasil.
4) as “good governance” : Good governance mengawinkan manajemen publik baru (NPM) dengan
dukungan demokrasi liberal. Good governance menurut World Bank melibatkan layanan publik
yang efisien; sistem peradilan independen dan kerangka hukum untuk menegakkan kontrak;
administrasi dana publik yang akuntabel; auditor publik independen, bertanggung jawab kepada
perwakilan legislatif; penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia di semua tingkat
pemerintahan; struktur kelembagaan yang majemuk; dan pers yang bebas.
5) as a socio-cybernetic system : Dalam pandangan ini, governance adalah hasil dari bentuk
pemerintahan sosial-politik interaktif dari setiap aktor yang terlibat. Pemerintah pusat bukan lagi
yang tertinggi, namun tugas pemerintah adalah mengaktifkan interaksi sosio-politik untuk
Magister Perencanaan Wilayah dan Kota PL-5206
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Kelembagaan Pembangunan
Institut Teknologi Bandung Rizky Rachman (25420040)

mendorong banyak dan beragamnya pengaturan untuk mengatasi masalah dan untuk
mendistribusikan layanan di antara beberapa pelaku.
6) as self-organizing networks : Penggunaan istilah ini melihat governance sebagai istilah yang lebih
luas daripada pemerintahan dengan layanan yang disediakan oleh perubahan susunan pemerintah,
sektor swasta, dan sukarela. Jaringan mengembangkan kebijakan mereka dan membentuk
lingkungan mereka sendiri dan cenderung tidak dapat diatur oleh pemerintah.
Dari berbagai macam penggunaan istilah governance tersebut, penulis menetapkan definisi bahwa
governance mengacu pada organisasi jaringan antar organisasi yang mengatur dirinya sendiri (self-
organizing interorganizational network), yang pada prakteknya memberikan kontribusi terhadap
perubahan kondisi tata kelola pemerintahan di Inggris berupa:
1) Hollowing-out the state : Sektor publik menjadi lebih kecil dan terfragmentasi, dan proses ini
menimbulkan masalah yang menjadi perhatian langsung: fragmentasi, pengarahan, dan
akuntabilitas.
2) Kontradiksi New Public Management : Kentalnya nuansa privatisasi sektor swasta juga
memberikan kelemahan yang khas dalam bentuk manajemen ini, diantaranya fokus hanya pada
intra-organisasi, terobsesi dengan tujuan, hanya berfokus pada hasil, dan salaing ketergantungan
yang rendah antara para pemangku kepentingan.
3) Kebangkitan Intergovernmental Management/IGM : Birokrasi tetap menjadi struktur
pemerintahan yang penting di Inggris tetapi perintah administratif tidak berlaku untuk semua
bidang kebijakan dalam semua keadaan. Mengelola jaringan antar organisasi seperti permainan dan
membutuhkan strategi yang berakar pada kepercayaan. Perencanaan, regulasi dan persaingan perlu
dilengkapi dengan fasilitasi, akomodatif dan tawar-menawar, yang merupakan kunci dari
manajemen jaringan yang efektif.
Diskusi dan Kritik
Konsep self-organizing network mengkerdilkan peran pemerintah sebagai pihak yang seharusnya
memberikan aturan. Pada masa sekarang, dimana batasan antara institusi dengan aktor sangat tidak
jelas, sebuah keputusan bisa diambil hanya berdasarkan dari ide seorang saja asalkan semua pihak
dalam jaringan tersebut menyetujuinya (Seftyono, Santoso, Darwin, & Hadna, 2020). Akibatnya, pada
kondisi ekstrim, pemerintahan berpotensi untuk bergerak terlalu bebas menjadi semacam “hukum
rimba”. Maka, perlu adanya aktor yang berperan sebagai “pemimpin” yang berperan sebagai regulator
dan pengawas dengan dibekali sebuah kerangka aturan regulasi yang bersifat mengikat, dan peran
tersebut paling tepat jika diberikan kepada pemerintah.
Dalam artikel ini penulis menjelaskan bagaimana dinamika dan pergeseran dari sistem tata kelola
pemerintahan di negara Inggris dari waktu ke waktu. Apakah fenomena seperti yang diceritakan dalam
artikel ini juga terjadi dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia? Kemungkinannya bisa saja terjadi
tergantung pada tingkatan pemerintahan mana kita melihatnya (pusat, provinsi, atau kabupaten/kota).
Struktur pemerintahan Indonesia jauh berbeda dengan Inggris. Indonesia menganut sistem
desentralisasi yang diimplementasikan dalam bentuk otonomi daerah. Setiap daerah, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota berhak mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Perlu diadakannya
studi identifikasi lebih lanjut untuk dapat mengetahui hal tersebut.
Penutup
Secara garis besar, artikel ini mencoba memberikan sebuah pandangan baru dalam konteks tata kelola
pemerintahan bahwa pelaksanaan pemerintahan dapat berjalan tanpa harus dilakukan oleh pemerintah,
tetapi juga melibatkan aktor-aktor lain seperti organisasi swasta dan kelompok sukarela dalam formasi
sebuah jaringan. Fenomena ini kemudian memberikan sebuah tantangan tersendiri karena pada
pelaksanaannya jaringan tersebut cenderung bersifat otonom dan menolak arahan dari pemerintahan
pusat. Pemerintah perlu memikirkan strategi guna menguatkan peran, posisi, dan fungsinya sebagai
pelaksana dan juga regulator demi mencapai sebuah manajemen tata kelola pemerintahan yang efektif.
Daftar Pustaka
Seftyono, C., Santoso, P., Darwin, M. M., & Hadna, A. H. (2020). Mainstreaming Idea: Alternative
Reading Of State And Civil Society Relation In Policy Making. CosmoGov, 6(1), 43.
https://doi.org/10.24198/cosmogov.v6i1.25474

Anda mungkin juga menyukai