Anda di halaman 1dari 9

Limitatif Kewenangan Jaksa dalam Penyidikan

Tindak Pidana Korupsi

Ditulis Oleh:
Miranda Asima (1806182750)

Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Depok
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam buku yang berjudul “A Theory of Justice” karya John Rawls ia


memulai kalimatnya tentang “The Role of Justice” dengan menyatakan, “Justice is
the first virtue of social institution, as truth is of systems of thought”.1 Kutipan
tersebut menjelaskan bahwa masyarakat sudah sepatutnya terstruktur mengenai
prinsip keadilan itu sendiri. Manusia membutuhkan keadilan untuk menjamin
kehidupannya berbangsa dan bernegara. Namun, ketidakpercayaan rakyat juga kerap
kali timbul misalnya dalam kasus penangkapan tokoh dengan tuduhan makar penegak
hukum nampak kesulitan mencari bukti yang valid sehingga menyebabkan pada hati
rakyat mulai tak percaya pada penegak hukum.2 Ketidakpercayaan tersebut
menimbulkan munculnya lembaga baru selain dari teori tiga lembaga yang
dikemukakan oleh Montesquieu. Montesquieu mengemukakan teori Trias Politica
terdiri atas eksekutif, legislatif dan yudikatif.3

Salah satu lembaga dari ketiga lembaga tersebut yang menjalankan fungsi
penegakan keadilan adalah Yudikatif. Yudikatif memiliki tugas untuk
menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Lembaga ini
terdiri dari: Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi
Yudisial (KY). MA membawahi badan peradilan seperti Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Umum membawahi Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.


Pengadilan Negeri Berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum
meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan khusus lainnya spesialisasi, misalnya :

1 John Rawls, “A Theory of Justice”, (edisi pertama 1971), The Belknap Press of the Harvard
University Press, Cambridge, Massachusetts, edisi revisi 1999, hlm. 3.
2 M Mahfud, “Pemerintahan Reformasi Tapi Tidak Reformis”, ADIL: Jurnal Hukum Vol.8 No.1.
3 Elfi Yulistyowati, “Penerapan Konsep Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia
: Studi Komparatif atas Undang–Undang Dasar Tahun 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen”,
Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Volume 18, Nomor 2, Desember 2016.
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Pajak,Pengadilan Lalu Lintas Jalan dan Pengadilan
anak. Terdapat berbagai profesi dalam menjalankan peradilan tersebut diantaranya
adalah Hakim, Jaksa, Penasihat Hukum, Panitera, dll. Dalam kesempatan kali ini
penulis akan membahas mengenai peran Jaksa dalam penyidikan Tindak Pidana
Korupsi.

Penyidikan merupakan salah satu tahap dalam proses penegakan hukum


pidana dan merupakan tahap awal dalam proses peradilan pidana, oleh karena itu
proses penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam upaya
penegakkan aturan-aturan hukum pidana terhadap berbagai peristiwa yang terjadi,
karena itu profesional penyidik menjadi penting. 4 Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa penelitian terhadap sistem hukum pidana khususnya dalam penegakkan hukum
terhadap tindak pidana korupsi dirasakan sangat serius. Pemberantasan tindak pidana
korupsi dikaitkan dengan kondisi tren kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia
yang tetap meningkat dan masih menduduki peringkat kedua asia dan keenam dunia. 5
Maka berdasarkan latar belakang diatas, penulis hendak membahas mengenai
Limitatif Kewenangan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.

4 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan-ketentuan KUHAP
Serta dilengkapi dengan Hukum Internasional yang Relevan. Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 261
5 IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korupsi. Cetakan 1. Pustaka
Pelajar.Yogyakarta. 2010. hal. 5
BAB II
PEMBAHASAN

Tugas dan fungsi Jaksa sebagai penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi
UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1
ayat (1) mengatakan : Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.6 Keputusan presiden Republik Indonesia No. 55 Tahun
1991 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kejaksaan RI dalam Bab 1 pasal 2
mengatakan : Tugas Pokok Kejaksaan adalah melaksanakan kekuasaan Negara
dibidang penuntutan dan tugas-tugas lain, berdasarkan peraturan perundang-
undangan serta turut menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan
pembangunan di bidang hukum. Dalam Bab 1 pasal 3 mengatakan: untuk
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, kejaksaan
menyelenggarakan fungsi:7 a) Merumuskan kebijaksanaan pelaksanaan dan
kebijaksanaan teknis. b) Menyelenggarakan dan melaksanakan pembangunan sarana
dan prasarana atas milik Negara yang menjadi tanggung jawabnya. c) Melakukan
kegiatan pelaksanaan hukum preventif maupun represif yang berintikan keadilan
dibidang pidana.
Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui secara
jelas semua pekerjaan yang harus dilakukan penyidik dari permulaan hingga terakhir
yang seluruhnya harus dilakukan berdasarkan hukum. Jaksa akan
mempertanggungjawabkan semua perlakuan terhadap terdakwa itu mulai tersangka
disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan, dan akhirnya apakah
tuntutannya yang dilakukan oleh jaksa itu sah dan benar atau tidak menurut hukum,
sehingga benar-benar rasa keadilan masyarakat dipenuhi.8
6 Anonim. Kompilasi Perundangan tentang KPK,Polisi dan Jaksa. Cetakan 1. Pustaka Yustisia.
Jakarta.2010. hal. 64
7 RM.Surachman-Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya.Cetakan 1.
Sinar Grafika. Jakarta. 1996. hal. 117-118
8 Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta. 2006.hal. 32
Dalam perkara Tindak Pidana Korupsi terdapat tumpang tindih wewenang
menuntut yakni penuntutan dilakukan oleh Jaksa, Kepolisian, dan juga KPK. Agar
pemberantasan korupsi berjalan sinergis, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK saling
berkoordinasi.9 Menurut hemat penulis, hal ini menjadikan limitatif kewenangan
jaksa dalam melaksanakan fungsinya. Memang, KPK dalam melaksanakan tugasnya
mempunyai kejelasan yaitu jaksanya adalah jaksa fungsional dari Kejaksaan Agung,
hakimnya diangkat oleh Mahkamah Agung, bahkan kasasinya juga ke Mahkamah
Agung. KPK dan lembaga lain dalam proses peradilan itu terajut dalam hubungan
umum dan khusus. Namun, terjadi tumpang tindih wewenang dalam melaksanakan
Penuntutan dan Penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi adalah KPK,
Kepolisian, dan Kejaksaan dalam menjalankan kewenangan yang sama yaitu
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi namun etiga institusi ini secara
struktural tidak mempunyai hubungan langsung sehingga bertanggung jawab
terhadap kinerja masing-masing, Kepolisian adalah Kapolri, Kejaksaan adalah Jaksa
Agung dan KPK adalah pimpinan KPK. Berdasarkan kewenangan ini terdapat
pertentangan peraturan perundang-undangan serta ketidakjelasan kewenangan yang
dimiliki oleh masing-masing institusi penyidik. Marak terjadi pengambilalihan
perkara yang sudah ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan maka dalam
melaksanakan penyidik ketiga institusi penyidik terjadi perbedaan pada pelaksanaan
hukumnya sehingga timbul tumpang tindih dalam penyidikan, rebutan perkara,
berkompetisi, saling tangkap, saling sadap diantara ketiga institusi penyidik, dengan
demikian timbulnya konflik antara institusi penyidik maka tidak terjalin harmonisasi
sesama institusi penyidik dan sinergitas padahal secara fungsional yaitu walaupun
fungsi dan ketentuan perundangan yang mengatur ketiga institusi berbeda tetapi

9 Diana Kusumasari, “Siapakah Sebetulnya yang Berwenang dalam Penyidikan Tipikor?”,


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl1207/penyidikan-tondak-pidana-
korupsi/#:~:text=pidana%20korupsi%3B%20dan-,e,monitor%20terhadap%20penyelenggaraan
%20pemerintahan%20negara.&text=c.%20menyangkut%20kerugian%20negara%20paling,penyidik
%20Polri%2C%20Kejaksaan%20dan%20KPK., diakses 19 April 2021
mempunyai tujuan yang sama yaitu penegakan hukum dalam memberantas tindak
pidana korupsi.10

BAB III

10 Waani, “Kewenangan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Lex Crimen Vol. 4 No. 7
(2015), hlm. 4
KESIMPULAN
Penyebab terjadinya konflik kewenangan yang terjadi antara institusi
penyidik dalam tindak pidana korupsi yaitu KPK, Kepolisian dan Kejaksaan
disebabkan tidak ada pembagian secara jelas dan konkrit. Kemudian, terdapat
tumpang tindih pengaturan serta ketidak jelasan kedudukan masing-masing
institusi sehingga menyebabkan ketiga institusi penyidik tersebut berjalan
sendiri-sendiri yang akibatnya menimbulkan saling tumpang tindih, saling
lempar tanggung jawab, rebutan perkara yang akhirnya menimbulkan rivalitas
sampai dengan adanya adu fisik, adu kekuatan dari masing-masing institusi
ketiga penyidik tindak pidana korupsi.
Menurut hemat penulis, dengan adanya tumpang tindih ini menjadikan Jaksa
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menjadi tidak maksimal. Seakan-akan
terjadi limitatif kekuasan secara tidak langsung yang mana membatasi ruang
gerak Jaksa dalam melakukan Penyidikan dan penuntutan. Penyederhanaan
undang-undang yang berhubungan dengan kewenangan penyidik KPK dalam
penegakan hukum tindak pidana korupsi sehingga terjadi keterpaduan dalam
penegakan hukum dirasa perlu dilakukan agar tidak lagi terjadi tumpang tindih
kewenangan antara Jaksa dan KPK.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anonim. Kompilasi Perundangan tentang KPK,Polisi dan Jaksa. Cetakan 1. Jakarta:
Pustaka Yustisia, 2004.

Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.


Nurdjana, IGM. Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korupsi. Cetakan 1.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Pangaribuan, Luhut. Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan-ketentuan


KUHAP Serta dilengkapi dengan Hukum Internasional yang Relevan. Jakarta:
Djembatan, 2000.

Rawls, John. A Theory of Justice. The Belknap Press of the Harvard University Press:
Cambridge, Massachusetts, 1999.

Surachman, dkk. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya.Cetakan 1.


Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

JURNAL
M Mahfud. “Pemerintahan Reformasi Tapi Tidak Reformis”, ADIL: Jurnal Hukum
Vol.8 No.1.

Elfi Yulistyowati. “Penerapan Konsep Trias Politica dalam Sistem Pemerintahan


Republik Indonesia : Studi Komparatif atas Undang–Undang Dasar Tahun
1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen”. Jurnal Dinamika Sosial Budaya,
Volume 18, Nomor 2 (Desember 2016).

Waani. “Kewenangan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Lex Crimen
Vol. 4 No. 7 (2015).
INTERNET

Kusumasari, Diana.“Siapakah Sebetulnya yang Berwenang dalam Penyidikan


Tipikor?”.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl1207/penyidikan-
tondak-pidana-korupsi/#:~:text=pidana%20korupsi%3B%20dan-,e,monitor
%20terhadap%20penyelenggaraan%20pemerintahan%20negara.&text=c.
%20menyangkut%20kerugian%20negara%20paling,penyidik%20Polri%2C
%20Kejaksaan%20dan%20KPK. Diakses 19 April 2021.

Anda mungkin juga menyukai