Anda di halaman 1dari 15

BAHAN AJAR

KOMUNITAS TUMBUHAN
Indikator :
1. Menguraikan hipotesis komunitas tumbuhan
2. Membedakan berbagai spesies indikator
3. Menjelaskan struktur dan komposisi vegetasi

Tujuan :
Mahasiswa diharapkan mampu :
1. Menguraikan hipotesis komunitas tumbuhan
2. Membedakan berbagai spesies indikator
3. Menjelaskan struktur dan komposisi vegetasi

Suatu masyarakat tumbuhan adalah sekelompok tumbuhan yang dapat


menggambarkan berbagai komunitas atau populasi yang terdiri dari berbagai jenis
tumbuhan yang terdapat atau hidup di suatu wilayah atau di suatu habitat. Suatu
tipe vegetasi pada umumnya dapat memberikan ciri – ciri, keadaan atau kondisi
suatu wilayah menurut macam dan distribusi jenis – jenisnya dalam skala ruang
dan waktu, misalnya komunitas vegetasi rawa, padang rumput atau ladang pada
musim hujan (Kartawinata, 2013).
Dalam hal ini komunitas tumbuhan dapat berarti sebagai sekumpulan
beberapa populasi tumbuhan yang tumbuh bersama di suatu habitat atau suatu
daerah yang mempunyai ciri jenis tumbuhan tertentu yang telah beradaptasi pada
lingkungan tersebut (Kartawinata, 2013).

1
A. HIPOTESIS KOMUNITAS TUMBUHAN
Sebelum membahas metode analisis vegetasi, sangatlah penting untuk memerhatikan
pandangan teori tentang sifat-sifat komunitas tumbuhan. Dianggap penting karena pandangan
teori memengaruhi tujuan dasar dalam ilmu vegetasi, dan pada gilirannya mempunyai
dampak kuat terhadap metode yang diterapkan dalam penelitian lapangan.
1. Analogi Organisme Dan Konsekuensinya
a. Pandangan Holistik
Untuk memandang komunitas tumbuhan sebagai unit atau seutuhan (entity),
telah diusulkan untuk membuat analogi tertentu dengan organisme. Clements (1916;
1928) membandingkan perkembangan suksesi sebuah komunitas dari tahap pionir
hingga ke tahap klimaks yang relatif stabil, misalnya dari vegetasi akuatik ke hutan
rawa, dengan sejarah kehidupan sebuah organisme. Ia berpendapat bahwa komunitas,
seperti suatu organisme, dilahirkan, tumbuh, matang, berkembang biak, dan mati, dan
bahwa tahap-tahap perkembangan yang berbeda ini atau komunitas-komunitas yang
terkait dengan suksesi dapat diinterpretasikan sebagai suatu seutuhan organic
(organic entity) (Kartawinata, 2013).
Menurut pendapatnya, setiap komunitas klimaks dapat berkembang biak
sendiri setiap saat dengan mengulang tahap-tahap perkembangan dalam pola yang
pada dasarnya sama. Meskipun demikian, perbedaan-perbedaan penting tidak pernah
dikemukakan. Menghilangnya suatu komunitas klimaks atau “kematiannya” tidak
dapat dibandingkan dengan kematian alami suatu organisme yang disebabkan oleh
kehilangan fungsi organ-organnya. Populasi jenis tumbuhan yang dianggap sebagai
organ dalam analogi ini tidak menghilang karena kepikunan. Populasi-populasi
tersebut sebagian atau seluruhnya diganti oleh populasi lain melalui suatu peristiwa
dahsyat, perubahan lingkungan yang berjalan perlahan, atau melalui pergantian
kompetitif (Kartawinata, 2013).
Demikian pula dengan proses “pertumbuhan” dan “pematangan” dalam
komunitas tidak terjadi dalam organ yang sama yang berkembang dari muda sampai
tua, tetapi dalam pertukaran populasi. Tidak seperti organisme, komunitas tumbuhan
tidak dapat berkembang biak dalam habitat dengan lingkungan berbeda atau dalam
iklim yang berbeda tanpa kehilangan identitasnya.

2
Tansley (1920) menganggap gagasan organisme Clements’ terlalu bersifat
hipotetis. Tetapi, Tansley percaya bahwa komunitas tumbuhan dapat dipertelakan
sebagai seutuhan organik dengan menggunakan istilah yang lebih tepat, yaitu
organisme semu (quasiorganism).
Dibandingkan dengan struktur organisme yang ketat, ia mengemukakan
bahwa dalam komunitas tumbuhan populasi tertentu adalah independen karena
mereka dapat memantapkan diri dengan baik di dalam komunitas lain, sementara
populasi lain sebaliknya sangat independen. Tetapi, ia menekankan bahwa
komunitas-komunitas itu dalam banyak hal berperilaku secara menyeluruh dan karena
itu harus ditelaah secara menyeluruh juga. Segi yang terakhir ini membawanya
kepada konsep ekosistem.
b. Pandangan Sistematika
Analogi organisme yang ketiga disajikan oleh Braun-Blanquet (1928; 1932)
dan beberapa orang lain (misalnya, Nichols; 1917; Warming 1909), tetapi dengan
alasan yang berbeda dari yang diartikan baik oleh Clements maupun Tansley.
Khususnya, Braun-Blanquet berpikir tentang segi klasifikasi komunitas seperti halnya
organisme diklasifikasikan menjadi kelompok taksonomi. Atas dasar ini ia
membandingkan suatu komunitas tumbuhan dengan sebuah jenis. Braun-Blanquet
menganggap komunitas tumbuhan sebagai unit dasar klasifikasi vegetasi seperti
halnya jenis dijadikan unit dasar dalam sistem klasifikasi taksonomi organisme.
Dalam analogi ini, ia lupa bahwa individu-individu organisme dalam suatu
jenis merupakan anggota populasi yang secara genetika berkaitan, sedangkan
individu-individu komunitas tumbuhan secara genetika tidak ada hubungannya
dengan komunitas lain yang serupa yang mungkin dikelompokkan ke dalam tipe atau
kelas. Di sini hubungan hanya berdasarkan kesamaan sifat- sifat tertentu dari struktur
atau komposisi. Untuk klasifikasi komunitas, wajar kalau suatu komunitas dikaitkan
dengan tipe komunitas, seperti halnya telah dilakukan misalnya dalam klasifikasi
tanah, yang mengaitkan suatu tanah dengan konsep kelas tertentu (seperti jenis-jenis
tanah[great soil group], seri tanah atau tipe tanah) atau dalam klasifikasi batuan
(petrological classification) suatu batuan dengan konsep tipe batuan tertentu (seperti
granit, basal dan sebagainya) (Kartawinata, 2013).

3
c. Pandangan Individualistik
Gleason (1926; 1939) menganggap tiga pendapat analogi dengan organisme di
atas menyesatkan. Sebagai gantinya; ia mengusulkan konsep individualistic
komunitas tumbuhan. Gleason menyatakan bahwa kehadiran komunitas tumbuhan
bergantung kepada kekuatan-kekuatan selektif masing-masing lingkungan khusus dan
vegetasi di sekelilingnya, sementara lingkungan terus-menerus berubah menurut
ruang dan waktu. Oleh karena itu, menurut pendapatnya, tidak ada dua buah
komunitas yang dapat dianggap sama atau sangat terkait erat satu dengan lainnya.
Benar bahwa setiap meter-persegi habitat dan tutupan tumbuhan menunjukkan
perbedaan-perbedaan tertentu bila dibandingkan secara absolut. Tetapi, bila ditinjau
secara relatif, kita akan dapat membedakan antara kesamaan serta perbedaan yang
besar dan yang kecil. Prinsip kesamaan dan perbedaan relatif ini mendasari semua
sistem klasifikasi biologi dan lingkungan, termasuk sistem taksonomi klasifikasi
organisme. Tidak ada dua anggota suatu jenis atau populasi biologi lain yang identik
secara absolut. Sukar untuk mengerti kenapa prinsip ini tidak dapat diterapkan kepada
komunitas tumbuhan. Empat konsep komunitas tumbuhan tersebut di atas telah
menimbulkan konsekuensi penting dalam penelitian vegetasi (Kartawinata, 2013).
d. Penekanan pada Hubungan Dinamika
Pendekatan Clements menekankan hubungan dinamika komunitas tumbuhan
ditinjau dari perkembangan organik dari tahap muda hingga matang. Konsep Gleason
menekankan sifat dinamika komunitas tumbuhan dalam waktu dan ruang. Tetapi,
berlawanan dengan Clements, yang banyak menguraikan tahap-tahap suksesi,
Gleason tidak memberikan konsep nyata dalam hal perubahan menurut waktu.
Sementara aliran waktu itu konstan, tidak selalu benar bahwa laju perubahan populasi
juga sama-sama terus-menerus dalam semua komunitas (Whittaker 1953; 1957).
Penting untuk membuat perbedaan antara komunitas sementara dan komunitas yang
relatif stabil (Daubenmire 1952; 1966) atau antara komunitas yang berubah cepat dan
yang berubah lambat, sementara laju dan arah perubahan tetap merupakan subjek
untuk penelitian vegetasi.
Dengan menekankan kepada kontinuitas ruang, Gleason merujuk kepada
ketiadaan batas mutlak antara komunitas yang berdampingan. Dengan pemikiran ini,

4
ia memberi konsep dasar untuk mendalami penelitian fitososiologi yang
dikembangkan oleh aliran paham Wisconsin, yang juga dikenal dengan paham
kontinum (continuum). Pendekatan penelitian kontinum dimulai oleh Curtis (Curtis
& McIntosh 1951; Curtis 1955). Curtis dan murid-muridnya menyumbangkan kepada
ilmu vegetasi dengan memformalkan metode analisis landaian atau analisis gradasi
(gradient analysis) dan ordinasi (Kartawinata, 2013).
Modifikasi konsep kontinum dibuat oleh McIntosh (1967a). Ia setuju bahwa
diskontinuitas vegetasi terdapat di alam, tetapi ia menekankan kembali bahwa
kontinuitas selalu terdapat bila perbandingan dibuat antara dua tegakan vegetasi yang
serupa. Ini merupakan suatu klarifikasi penting tentang konsep yang akan dirujuk
kemudian.
e. Penekanan pada Urutan
Braun-Blanquet meneliti untuk mencari landasan konseptual bagi klasifikasi
komunitas. Analogi jenis untuk komunitas dimaksudkan untuk sistem hierarki
klasifikasi komunitas pada skala global. Penelitian ini menghasilkan suatu informasi
ekologi komunitas yang melimpah. Meskipun demikian, cakupan geografi yang
meluas menimbulkan frustrasi bahwa sistem klasifikasi terpadu komunitas-komunitas
kecil yang didefinisikan oleh sifat floristik terbatas, yaitu jenis penciri tidak dapat
diterapkan secara global seperti sistem klasifikasi taksonomi organisme. Jenis penciri
dapat diartikan sebagai jenis kunci yang dapat digunakan mengidentifikasi anggota
suatu tipe komunitas tertentu. Alasan untuk kekecewaan dengan konsep jenis penciri
ini adalah jenis kunci dapat kehilangangn nilai diagnostik bila studi komunitas
diperluas di luar batas regional semula. Jenis yang sama dapat menunjukkan
hubungan ekologi dan sosiologi yang berbeda bila diikuti dalam cakupan geografi
yang lebih luas (Kartawinata, 2013).
2. Komunitas—Sebuah Kombinasi Berbagai Individu
Seperti telah diterangkan di atas, para penulis tentang analogi organisme
mempunyai pemikiran atribut khusus komunitas yang mereka pikir dapat diterangkan
dengan pendekatan analogi tersebut. Disayangkan bahwa usaha untuk menjelaskan ini
telah menimbulkan kekacauan yang masih belum hilang sampai sekarang. Komunitas
mempunyai banyak atribut yang berbeda dengan atribut-atribut organisme. Hanya dalam

5
situasi yang luar biasa individu-individu tumbuhan dalam suatu komunitas saling
terhubungkan secara struktural.
Ini berlaku bagi tegakan tertentu, misalnya Populus tremuloides dan Acacia koa
yang batang-batangnya secara individual membentuk tunas yang timbul dari sistem
perakaran bersama. Tegakan klon seperti itu jelas merupakan suatu organisme, bila
tumbuhan bawahnya diabaikan. Tetapi, suatu komunitas tumbuhan terdiri atas
sekelompok tumbuhan yang mempertahankan individualitasnya. Ini bukan konsep baru.
Pada tahun 1980, Flahault mengemukakan hal tersebut dengan mengatakan bahwa
asosiasi tumbuhan tidak dapat diimplikasikan sebagai keharmonisan aneka aktivitas yang
mengarah ke akhir yang sama, seperti dalam setiap masyarakat yang dibangun
berdasarkan pembagian pekerjaan. Ini diterapkan kepada koeksistensi berbagai bentuk,
yang secara spesifik dan morfologi yang satu sama lain asing, masing-masing
mempunyai objek sendiri dan keuntungan khusus sendiri. Mereka hidup berdampingan
sesuai dengan kesamaan, keanekaragaman lingkungan atau ditentukan oleh organisme
lain. Penekanan kepada individualitas tumbuhan tidak menampik berbagai macam
hubungan lain antara tumbuhan suatu komunitas (Kartawinata, 2013).
Walter (1964, 1971) mengklasifikasikan hal tersebut sebagai:
1. Kompetitor langsung yang bersaing untuk memperoleh sumber daya lingkungan yang
sama dengan menduduki lapisan atau strata yang sama diatas dan di bawah
permukaan tanah.
2. Jenis dependen (dependent species) yang dapat hidup dalam relungnya yang khusus
karena kehadiran tumbuhan lain, misalnya lumut-lumut tertentu yang hanya dapat
tumbuh di dalam iklim mikro khusus yang dihasilkan oleh tegakan pohon.
3. Jenis pelengkap yang satu sama lain tidak bersaing karena keperluannya dipenuhi
dengan menduduki strata yang berbeda di atas dan di bawah permukaan tanah atau
dengan memiliki ritme musiman yang berbeda
Penjelasan singkat tersebut sangat disederhanakan dan dibuat dengan maksud
untuk memberi pengertian. Di luar pengaruh yang saling berinteraksi, tumbuhan suatu
komunitas berbagi tempat, habitat, atau lingkungan yang sama. Oleh karena itu,
keterpaduan dalam komunitas tumbuhan adalah suatu gejala yang telah mantap, yang
menyebabkan derajat organisasi berbeda. Komunitas yang terintegrasi dengan baik dapat

6
menunjukkan resistensi tertentu terhadap fluktuasi dalam lingkungan (homeostasis), dan
perubahan lingkungan tertenttu dapat menyebabkan respons yang dapat diprediksi dalam
komunitas.
Oleh karena itu, suatu komunitas tumbuhan dapat diartikan sebagai suatu
kombinasi berbagai tumbuhan yang bergantung kepada lingkungannya dan saling
memengaruhi satu terhadap yang lain dan mengubah lingkungannya sendiri. Mereka dan
habitat bersamanya serta organisme lain yang berasosiasi membentuk sebuah ekosistem,
yang juga terkait dengan ekosistem tetangganya dan dengan iklim makro di dalam
kawasan.
Meskipun hubungan satu dan lainnya sangat erat, masing-masing anggota
mempertahankan individualitasnya, karena setiap jenis dapat tumbuh juga di luar
komunitas. Oleh karena itu, unit akhir vegetasi bukan komunitas tumbuhan, melainkan
masing-masing tipe tumbuhan. Yang dimaksud adalah populasi-populasi sembarang
takson yang secara genetika terkait (seperti jenis, anak jenis varietas, ras, atau ekotipe)
yang wakil-wakilnya menunjukkan perilaku ekologi yang serupa.
3. Identifikasi Komunitas
Gagasan Alechin membatasi arti komunitas hanya untuk tegakan populasi
campuran dan terintegrasi yang terdapat sebagai pengelompokan tertutup. Banyak penulis
menganggap integrasi merupakan persyaratan untuk mengenal suatu pengelompokan
tumbuhan sebagai komunitas (Poore 1964). Kami berpendapat bahwa integrasi populasi
dalam komunitas adalah suatu subjek penelitian vegetasi. Identifikasi komunitas tidak
selalu dapat dinilai sebelumnya atau dibuat kriteria untuk identifikasi komunitas. Sama
halnya, tegakan populasi murni, jika keseluruhannya tidak terdiri atas tanaman budi daya
yang ditanam atau ditumbuhkan dari biji secara artifisial, adalah kelompok tumbuhan
yang menarik bagi penelitian fitososiologi. Tampaknya tidak ada alasan untuk tidak
memasukkan kelompok seperti itu sebagai komunitas (Kartawinata, 2013).
Demikian juga jarak antartumbuhan bukan suatu pembatas. Bahkan, kelompok
tumbuhan gurun yang strukturnya di atas permukaan tanah terbuka dapat membentuk
komunitas yang mempunyai integrasi tinggi. Di bawah tanah mereka itu tertutup melalui
sistem perakaran lateralnya yang saling melilit. Lippma (1939) mempersempit lebih jauh
konsep komunitas, yaitu kepada masing-masing strata horizontal, seperti perdu, terna,

7
atau lapisan dekat permukaan tanah, yang merupakan bagian komponen berbagai
komunitas. Setiap pembatasan struktural seperti itu, meskipun mengangkat atribut
komunitas yang menarik, memaksakan secara a priori pembatasan penelitian vegetasi.
Oleh karena itu, untuk identifikasi komunitas, konsep tersebut hendaknya dibuat
selonggar mungkin. Tampaknya memadai untuk mengidentifikasi komunitas (pada
semua tingkat skala geografi) melalui variasi dalam homogenitas atau uniformitas
penutup vegetasi suatu daerah, yang berdasarkan penglihatan variasi ini nyata.
4. Parameter Vegetasi Untuk Menentukan Komunitas
Berbagai parameter vegetasi telah diusulkan untuk menentukan komunitas secara
geografi atau menurut ruang. Parameter ini termasuk bentuk-hidup (life form) atau
bentuk pertumbuhan (growth form), dominansi jenis, dan kehadiran atau
ketidakhadiran jenis diagnostik tertentu. Berbagai ajaran (schools) telah berkembang di
sekitar penggunaan yang lebih eksklusif mengenai parameter ini. Whittaker (1962)
menyajikan sebuah penelaahan terperinci tentang subjek ini. Ia menyatakan bahwa di
negeri berbahasa Inggris digunakan pendekatan dominansi, sedangkan di negeri-negeri di
Eropa daratan diterapkan criteria kehadiran dan ketidakhadiran jenis. Sementara
pemisahan ini dapat dibenarkan atas dasar pencarian latar belakang sejarah dari berbagai
pendekatan yang berbeda dalam ekologi vegetasi, dan sekarang akan terasa terlalu
menyederhanakan metode-metode tersebut yang dewasa ini digunakan di berbagai tempat
di dunia.
Tradisi menurut negeri akan hilang bila berbagai metode yang sangat cocok untuk
tujuan dan vegetasi tertentu diterapkan. Selain itu, juga penggunaan lebih dari satu
parameter vegetasi makin banyak diterapkan sehingga menghasilkan sistem klasifikasi
yang kurang artifisial (Poore 1962). Variasi penutupan vegetasi disebabkan oleh berbagai
sifat tumbuhan, selain dominansi atau komposisi jenis. Meskipun sukar diukur, sifat-sifat
tersebut juga sangat bermanfaat dalam penentuan berbagai pola. Sifat-sifat lain seperti itu
termasuk pembungaan, pewarnaan kanopi, perubahan musiman pada dedaunan atau
pucuk, serta perbedaan tinggi dan perawakan. Ini semua dapat dikenal pada semua
tingkat geografi (Kartawinata, 2013).

8
5. Komunitas Konkret Dan Abstrak
Sejauh ini kita telah membahas konsep komunitas hanya dengan rujukan kepada
tegakan tumbuhan seperti yang dapat di lihat di lapangan, yaitu dalam pengertian
konkret. Batas nyata antara dua gejala alam terkait jarang terdapat. Tetapi, dalam
klasifikasi tanah hal ini diterima, sedangkan konsep klasifikasi tumbuhan pada umumnya
kurang dipahami dengan baik. Whittaker (1962), Daubenmire (1966) telah menerangkan
dengan jelas beberapa ketidaksinambungan nyata atau diskontinum konkret (concrete
discontinua), yang terdapat pada vegetasi yang menutup substrat yang berubah secara
berangsur-angsur, dan McIntosh (1967a) telah mereduksi masalah kontinum ini sebagai
gejala yang hanya terkait dengan konsep komunitas abstrak.
Masalah-masalah tertentu dalam pemahaman klasifikasi vegetasi disebabkan oleh
kekacauan antara individu-individu anggota kelas yang konkret dan unit kelas abstrak.
Perlu ditekankan bahwa unit-unit vegetasi abstrak tidak mempunyai realitas mutlak di
alam. Unit-unit ini seperti nilai rerata dan kisaran dalam aritmetik yang dapat memberi
kecocokan terdekat dan terkecil kepada populasi bilangan, tetapi mereka tidak
menunjukkan identitas mutlak terkait dengan anggota-anggota populasi, yang dalam unit
vegetasi abstrak adalah individu- individu komunitas konkret.
Untuk menghindari kekacauan, sangat bermanfaat untuk membedakan antara
komunitas tumbuhan konkret dan komunitas abstrak atau tipe vegetasi. Istilah-istilah
seperti asosiasi (association) dan sosiasi (sosiation) hendaknya hanya dipakai dalam
pengertian abstrak, yaitu tidak digunakan untuk komunitas konkret tertentu atau cuplikan
tegakan di lapangan. Bila yang terakhir yang diacu, hendaknya digunakan istilah seperti
komunitas tumbuhan atau fitosenosis, seperti halnya penggunaan istilah biosenosis
(biocoenosis) untuk komunitas kehidupan dalam pengertian konkret. Poore (1955)
menyarankan istilah nodum (nodum) bila yang diacu adalah komunitas abstrak tanpa
melihat peringkat (Kartawinata, 2013).

9
B. SPESIES INDIKATOR
Bioindikator merupakan organisme, seperti mikroba, tumbuhan dan hewan, yang
biasanya dipakai untuk memonitor kualitas dari pada lingkungan. Organisme dan suatu
kumpulan organisme tersebut berfungsi memonitor perubahan yang bisa mengindikasi suatu
masalah yang ada di ekosistem. Perubahan tersebut bisa secara kimia, fisiologis atau
perubahan perilaku. Bioindikator digunakan untuk mendeteksi perubahan dalam lingkungan
alamiahnya, memantau untuk melihat kehadiran polutan dan efeknya pada ekosistem tempat
organisme hidup, memantau progres pembersihanlingkungan (environmental cleanup) dan
tes substansinya, seperti pada air minum dalam melihat pada kehadiran parameter atau
kontaminan yang dimilikinya (Fatih, 2014).
Menurut Nobel et al. (1983) dalam Kovacs (1992), indikator biologi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Spesies indikator, dimana kehadiran atau ketidakhadirannya mengindikasikan terjadi
perubahan di lingkungan tersebut. Spesies yang mempunyai toleransi yang rendah
terhadap perubahan lingkungan (stenoecious), sangat tepat digolongkan sebagai spesies
indikator. Bila kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi, maka spesies tersebut
merupakan indikator positif. Sebaliknya, ketidakhadiran atau hilangnya suatu spesies
karena perubahan lingkungannya, disebut indikator negatif.
2) Spesies monitoring, mengindikasikan terdapatnya polutan di lingkungan baik kuantitas
maupun kualitasnya. Monitoring sensitif, sangat rentan terhadap berbagai polutan,
sehingga sangat cocok untuk menunjukkan kondisi yang akut dan kronis. Monitoring
akumulating, merupakan spesies yang resisten dan dapat mengakumulasi polutan dalam
jumlah besar ke dalam jaringannya, tanpa membahayakan kehidupannya. Monitoring
akumulating dapat berupa indikator pasif, yaitu spesies yang secara alami terdapat di
lingkungan yang terpolusi, serta indikator aktif (eksperimental), yaitu spesies yang
sengaja dibawa dari lingkungan alami yang tidak terpolusi ke lingkungan yang terpolusi
(transplantasi).
3) Spesies uji, adalah spesies yang dipakai untuk mengetahui pengaruh polutan tertentu,
sehingga sangat cocok untuk studi toksikologi (Suana, 2001).

10
Tipe yang berbeda dalam indikator tumbuhan mempunyai peranan yang berbeda
dalam aspek tertentu.
1. Indikator tumbuhan untuk pertanian
2. Indikator tumbuhan untuk overgrazing
3. Indikator tumbuhan untuk hutan
4. Indikator tumbuhan untuk humus
5. Indikator tumbuhan untuk kelembaban
6. Indikator tumbuhan untuk tipe tanah
7. Indikator tumbuhan untuk reaksi tanah
8. Indikator tumbuhan untuk mineral
9. Indikator tumbuhan untuk logam berat
10. Indikator tumbuhan untuk habitat saline
11. Indikator tumbuhan untuk pencemaran (Anonim, 2008).

Contoh beberapa spesies indicator dalam komunitas tumbuhan.


No Spesies Gambar Indikator Lingkungan
1. Acanthus  Digunakan untuk
ilicifolius mengetahui habitat saline
 Tumbuhan ini tumbuh
dan tahan dalam habitat
dengan kandungan garam
tinggi. Kegaraman tanah
antara lain oleh NaCl,
CaSO4, NaCO3, KCl.

2. Astragalus  Digunakan sebagai


rocemosus indikator logam berat
 Kebanyakan tumbuhan
sensitif terhadap logam
berat. Sebagian besar
logam berat ini
merupakan deposit di
dinding sel-sel perakaran
dan daun.

11
3. Butea 1.     Tanah alkalinitasnya tinggi
monosperma 2.     Digunakan sebagai indikator
karakteristik tanah

4. Capparia
decidua 1.    
2.     Digunakan sebagai indikator
karakteristik tanah

5. Peganum  Tanah kaya akan N dan


harmala garam-garam, baik untuk
pertanian
 Digunakan sebagai
indikator karakteristik
tanah

6. Polytrichum  Menunjukkan tanah


berkapur dan halofit
menunjukkan tanah
bergaram.
 Digunakan untuk
mengukur reaksi tanah

12
7. Silene vulgaris  Digunakan untuk
mengetahui kadar logam
berat pada tanah
 Tanah yang mempunyai
cadas berkandungan
logam berat, khususnya
Zn, Pb, Ni, Co, Cr, Cu,
Mr, Mg, Cd, Se dan lain-
lain
Sumber : (Amri, 2011).

C. STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI


Shukla dan Chandel (1996) menyatakan bahwa dengan mengacu pada konsep
ekosistem, yang dimaksud dengan struktur komunitas tumbuhan adalah suatu deskripsi
tentang masyarakat tumbuhan yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi
lingkungan dan distribusi nutrient di habitatnya (Hadi, 2010)
Struktur vegetasi terdiri atas 3 komponen sebagai berikut.
1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang
melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.
2. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu
terhadap individu lain.
3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas (Hidayah, 2014).
Menurut Kent dan Coker (1992) struktur komunitas tumbuhan merupakan suatu
deskripsi masyarakat tumbuhan berdasarkan bentuk luar (morfologi), stratifikasi vertical dan
sebaran secara horizontal bentuk hidup (life form), dan ukuran / besar tumbuhan yang ada
pada suatu saat. Pada dasarnya deskripsi tentang struktur komunitas tumbuhan berhubungan
erat dengan komposisi jenis tumbuhan dan kelimpahannya, serta susunan vertical jenis-
jenisnya.
1. Komposisi Vegetasi
Komposisi vegetasi atau komposisi flora adalah daftar jenis tumbuh-tumbuhan yang ada
dalam suatu komunitas di suatu daerah. Data flora atau vegetasi tersebut dinamakan data
floristic.

13
2. Kelimpahan
Kelimpahan adalah parameter yang mencerminkan distribusi relatif species dalam
komunitas. Parameter yang digunakan untuk menentukan kelimpahan masyarakat
tumbuhan adalah :
a. Frekuensi (derajat penyebaran suatu jenis tumbuhan di dalam komunitas).
b. Kerapatan (jumlah individu per satuan luas).
c. Penutupan tajuk/ cover (penutupan tajuk terhadap permukaan tanah / kerimbunan)
d. Dominansi jenis (jenis tumbuh-tumbuhan yang terdapat dalam suatu komunitas yang
menguasai/merajai dan dapat menunjukan ciri masyarakat tumbuhan di komunitas
tersebut dengan jenisnya)
e. Asosiasi interspesifik (berbagai jenis tumbuh-tumbuhan tumbuh bersama saling
berdekatan dan saling berasosiasi/hubungan satu sama lainnya)
f. Stratifikasi (lapisan vertical komunitas tumbuhan)
g. Bentuk hidup (perilaku hidup / musiman)
h. Fungsi komunitas (berbagai aspek atau proses yang berlangsung dalam komunitas
yang berkaitan dengan interaksi tumbuh-tumbuhan dengan habitat, lingkungan dan
biota lainnya) (Hadi, 2010).
3. Rantai Pangan dan Metabolisme
Rantai pangan dan metabolisme merupakan suatu pengalihan energi dari sumber daya
dalam tumbuh-tumbuhan melalui serangkaian hubungan antar makhluk hidup yang
memakan dan yang dimakan dalam suatu jaring-jaring kehidupan.
4. Struktur Jenjang Trofik dan Piramida Makanan
Struktur jenjang trofik dan piramida makanan menentukan besar dan banyaknya
metabolisme yang berlangsung dalam tubuh. Semakin kecil ukuran tubuh tumbuhan
semakin besar metabolisme per gram biomassanya.
5. Produktivitas Serasah dan Laju Pembusukan/Dekomposisi
Produktivitas adalah laju kecepatan penyimpanan energi oleh makhluk hidup yang
berperan sebagai produsen, melalui proses fotosintesis dan kemosintesis dalam bentuk
materi organis yang dapat digunakan sebagai bahan pangan atau sumber energy (Hadi,
2010).

14
Dalam ekosistem hutan, stratifikasi tersebut diciptakan oleh susunan tajuk pohon-
pohon menurut arah vertikal dan terjadi karena adanya pohon-pohon yang menduduki kelas
pohon dominan, pohon kodominan, pohon tengahan, pohon tertekan, dan pohon bawah/mati.
Kriteria stratifikasi tajuk yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Stratum A (A-storey) yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh
pohon-pohon yang tingginya lebih dari 30 meter.
2. Stratum B (B-storey) yaitu lapisan tajuk ke dua dari atas yang dibentuk oleh pohon-
pohon yang tingginya 20-30 meter.
3. Stratum C (C-storey) yaitu lapisan tajuk ke tiga dari atas yang dibentuk oleh pohon-
pohon yang tingginya 4-20 meter.
4. Stratum D (D-storey) yaitu lapisan semak dan perdu, atau pohon dengan tinggi1-4m.
5. Stratum E (Finally) yaitu lapisan tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya
kurang dari 1 m (Saputra, 2016).

Soal Diskusi!

1. Kemukakanlah pendapat anda tentang pandangan holistic, pandangan sistematik dan


pandangan individualistik dalam hipotesis komunitas!
2. Jelaskan perbedaan antara spesies indikator tumbuhan untuk tipe tanah dan reaksi tanah!
3. Bandingkanlah struktur dan komposisi vegetasi pada hutan darat dan hutan mangrove
berdasarkan parameter kelimpahan!
Jelaskan pentingnya spesies indicator bagi peneliti!
4. Buatlah rangkuman singkat tentang materi komunitas tumbuhan!

15

Anda mungkin juga menyukai