Anda di halaman 1dari 28

8

Pengambilan Keputusan Kompleks


 
 
 
Formatted: Font: (Default) Candara, 11 pt,
Bold, Font color: Auto, Complex Script Font:
+Body CS (Arial), 11 pt, Bold

I always like to look on the optimistic side of life, but I am


realistic enough to know that life is a complex matter.

Walt Disney

 
 
 
 
TUJUAN PEMBELAJARAN 

Setelah membaca bab ini pembaca akan mampu dan memahami: 
1. Mampu menggunakan metode SSM untuk merekomendasikan langkah‐langkah 
untuk memperbaiki situasi 
2. Dengan metode Metagame, mampu merekomendasikan skenario yang layak 
dalam rangka memutuskan tindakan yang dibutuhkan untuk mengoptimal kan 
skenari 
3. Mampu mendiagramkan persoalan ke dalam model AHP dan memilih keputusan 
yang menjawab persoalan 
 
TOPIK YANG DIBAHAS 
1. Soft System Methodology (SSM) 
a. Langkah‐langkah dalam SSM 
b. Rich Picture 
c. Root Definitions 
d. Membangun Model Konseptual 
e. Membandingkan Model dengan Situasi Keputusan 
f. Identifikasi langkah‐langkah yang dibutuhkan 
2. Meta Game  
a. Teknik Meta Game  

Rachmadi Triono Page 1


 
b. Meta Game dalam praktik 
3. Analytical Hierarchy Process (AHP) 
a. Pemahaman Awal: Dekomposisi Masalah  
b. Perbandingan Berpasangan 
c. Prioritas Lokal 
d. Sintetis Prioritas 
e. Rasio Ketidak Konsistenan  
f. Teknik AHP dalam persoalan yang lebih kompleks 
   

Rachmadi Triono Page 2


 
 
eputusan kompleks terjadi ketika pengambil keputusan dihadapkan pada berbagai situasi 
K  yang  dalam  pembahasan  sebelumnya,  bersifat  sendiri‐sendiri,  tetapi  sekarang  semua 
situasi  tersebut  berada  dalam  konteks  keputusan  yang  sama  sebagai  dimensi‐dimensi  yang 
harus  dipertimbangkan  dalam  situasi  keputusan.  Situasi  keputusan  untuk  memperluas  pasar 
mengandung  implikasi,  seperti  berhadapan  dengan  alam,  dalam  situasi  konflik,  baik  dengan 
nilai hasil (outcome) zero sum maupun non‐zero sum, dan bersifat multiobjektif, serta masih 
ditambah bahwa strategi yang dilakukan oleh lawan memiliki banyak dimensi, tidak hanya dua 
dimensi  seperti  pada  model  teori  permainan  (game  theory).  Selain  itu,  lawan  yang  dihadapi 
tidak hanya dua, tetapi banyak. Oleh karena itu, situasi pegambilan keputusan ini relatif lebih 
sulit dihadapi oleh pengambil keputusan dibandingkan dengan tiga situasi sebelumnya. 
Pengambil keputusan harus memersepsikan pihak mana saja yang menjadi lawannya, objektif 
yang  relevan  dengan  sejumlah  strategi  yang  dikembangkannya  dalam  rangka  menghadapi 
strategi lawan yang telah diprakirakan sebelumnya, dan menentukan probabilitas kondisi alam 
(state of nature) yang mungkin dihadapi. Situasi kompleks semacam itu akan membawa pada 
kebingungan mengenai alternatif‐alternatif yang harus dikembangkan mengingat situasi yang 
dihadapi memiliki dimensi yang tidak hanya tiga dimensi, tetapi juga multidimensi. Oleh karena 
itu, dalam situasi kompleks seperti ini, pengembangan sebuah “mental model” dibutuhkan, di 
mana  merupakan  persepsi  subjektif  pengambil  keputusan  terhadap  dimensi‐dimensi  yang 
dihadapinya secara integral. 
 

Soft System Methodology 

Peter  Checkland  (1960)  mengembangkan  sebuah  cara  untuk  menstrukturkan  pemikiran 


mengenai situasi yang dihadapi (the real world), bukan dalam bentuk deskriptif atau normatif 
walaupun kedua hal tersebut terdapat/terkandung di dalam situasi ini.  SSM adalah cara yang 
terorganisasi  untuk  memetakan  peersepsi  tentang  persoalan  sosial.    Pemetaan  dilakukan 
dengan  cara  terorhanisir agar  tindakan  untuk mengatasi  persoalan  tersebut  dapat  dilakukan 
(Coelho, et al, 2010) 

Penggunaan kata “Soft” yang dikontraskan dengan kata “Hard” dalam penamaan SSM adalah 
karena SSM merupakan cara ilmiyah (metodologi) untuk mempelajari kompleksitas hubungan 
(System)  antar  manusia  (Soft),  sementara  ”  Hard  System”  berhubungan  dengan  bagian‐
bagian yang berhubungan dalam lingkungan perekayasan/ Engineering (Checkland, 2000). 

Rachmadi Triono Page 3


 
Sehingga SSM dapat dipahami sebagai sebuah metodologi untuk menemukan persoalan dan 
jalan keluar yang ada dalam kompleksitas hubungan antar manusia. 

Langkah‐langkah dalam SSM  
Dalam  sistem  yang  dikembangkan  oleh  Checkland,  yang  dikenal  sebagai  Soft  System 
Methodology (SSM), pengambil keputusan menghadapi situasi keputusan (the real world) dan 
mempelajarinya secara tidak terstruktur melalui apa yang dinamakannya sebagai rich picture 
(gambaran  situasi  yang  kaya)  dan  kemudian  membangun  sebuah  model  yang  mungkin 
merupakan  penggambaran  dari  situasi  yang  dihadapinya  (conceptual/mental  model).  Dalam 
memahami  situasi  melalui  rich  picture,  pengambil  keputusan  diharapkan  mampu  memahami 
berbagai sistem yang relevan (root definitions), yang merupakan modal dasar pengembangan 
model  konseptual  (conceptual model).  Model  konseptual  ini  kemudian  dibandingkan  dengan 
dunia  nyata  untuk  memahami  perubahan‐perubahan/perbaikan‐perbaikan  yang  mungkin 
dilakukan di dunia nyata dan tindakan‐tindakan yang diperlukan ke arah itu. 
Pendekatan  permasalahan  dengan  menggunakan  SSM  membutuhkan  tujuh  tahapan 
yang mencakup pemahaman dunia nyata, penggambaran dunia dalam model konseptual, dan 
pembandingan keduanya. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut. 
  1.  Dunia nyata 
a.  Memersepsikan dunia nyata/situasi keputusan. 
b.  Mengekspresikan dunia nyata tesebut dalam rich picture untuk menangkap seluruh 
aktivitas dan sistem yang relevan dengan permasalahan. 
  2.  Dunia konseptual 
c.  Mengenali “root definitions” dan “relevan systems”. 
d.  Membangun model konseptual. 
  3.  Dunia nyata 
e.  Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata. 
f.  Mengidentifikasi  perubahan‐perubahan  dalam  dunia  nyata  yang  mungkin  dan  perlu 
untuk dilakukan. 
g.  Merancang langkah‐langkah untuk meningkatkan situasi. 
 
Rich Picture  
Rich  picture  adalah  cara  yang  secara  tidak  terstruktur  menggambarkan  berbagai  hal  yang 
relevan dengan situasi permasalahan (dunia nyata). Beberapa hal yang seharusnya tertangkap 
oleh  rich  picture  adalah  struktur,  proses,  iklim,  kumpulan  manusia,  isu‐isu  yang  dilontarkan 
berbagai kelompok, konflik, dan ekspresi situasi,  baik dalam sistem yang ada maupun dalam 
subsistem‐subsistem  di  bawah  sistem‐sistem  yang  ditangkap.  Penggambaran  secara  tidak 
terstruktur dimaksudkan agar proses pengayaan dalam mengenal situasi permasalahan dapat 
terus  menerus  diperluas  sejalan  dengan  bertambahnya  pengetahuan  pengambil  keputusan 
dalam  mengembangkan  dan  memahami  permasalahan.  Figur  yang  terdapat  dalam  Boks  7.1 

Rachmadi Triono Page 4


 
memperlihatkan  bagaimana  sebuah  rich  picture  dalam  sistem  pemilihan  Gubernur  Bank 
Indonesia  (BI)  dapat  ditangkap.  Sementara  itu,  Boks  8.1  memberikan  gambaran  mengenai 
pemilihan Gubernur BI yang perlu diperbaiki. 
 
Boks 8.1 Mekanisme pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) perlu diperbaiki

Mekanisme pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) harus diperbaiki untuk meminimalkan praktik politisasi
dari berbagai pihak yang berkepentingan. “Selama ini, aroma politik pemilihan Gubernur BI lebih ‘kental’ yang
menyebabkan lunturnya kredibilitas BI sebagai lembaga yang independen,” kata Ketua Dewan Direktur
CIDES (Center for Information and Development Studies) Umar Juoro dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu.
“Sebaiknya mekanisme dan pola perekrutan calon Gubernur BI harus diperbaiki untuk mencegah
politisasi yang dilakukan DPR, presiden, atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan BI. Saya kira dalam
pemilihan Gubernur BI, presiden hanya mencalonkan satu orang saja dan DPR hanya mengonfirmasikan
saja calon yang diajukan Presiden,” ujarnya katanya. Umar mengatakan dalam undang-undang, BI dikatakan
sebagai lembaga yang independen, namun faktanya masih banyak intervensi politik dalam tubuh BI. Jika ini
dibiarkan, kredibilitas BI akan luntur dan mengganggu kestabilan moneter.
Umar tidak setuju jika kewenangan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang dilakukan oleh
DPR itu dihapus. Mekanisme pemilihan Gubernur BI yang berlaku sekarang ini, presiden mengajukan calon
satu sampai tiga orang yang diajukan ke DPR. Kemudian, DPR nanti yang akan menentukan siapa Gubernur
BI yang terpilih. (Skema pemilihan Gubernur BI ditunjukkan pada skema berikut ini.)

Sumber: Diadaptasi dari http://www.antaranews.com/print/1203755869.


 
Dalam rich picture, sistem pemilihan Gubernur BI paling tidak ditangkap tiga subsistem, yaitu 
(1) sistem rekrutmen pada partai politik (parpol), (2) sistem pemilihan umum (pemilu), dan (3) 
sistem  budaya  masyarakat.  Dalam  masing‐masing  subsistem,  penggambaran  interaksi  antar‐
elemen  masyarakat  sesungguhnya  masih  dimungkinkan,  termasuk  di  dalamnya  berbagai 
konflik yang terjadi dan pihak‐pihak yang terlibat. 
 
Root Definitions 
Ada  berbagai  perspektif,  baik  yang  relevan  maupun  tidak,  yang  dapat  digunakan  untuk 
memahami  rich  picture.  Contohnya  adalah  rich  picture  yang  ada  pada  Boks  8.1.  Rich  picture 
tersebut dapat dilihat dari segi (perspektif) : 
  1.  bagaimana memperkuat posisi tawar‐menawar (bargaining position) dari presiden; 

Rachmadi Triono Page 5


 
  2.  bagaimana memperkuat posisi tawar‐menawar dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat); 
  3.  bagaimana seseorang dapat memunculkan dirinya dalam bursa pemilihan calon Gubernur 
BI; 
  4.  sistem pendaftaran parpol dalam pemilu; 
  5.  sistem penghitungan pemilu oleh LPU; 
  6.  sistem pendanaan pemilu; 
  7.  keberadaan subkultur dalam sistem budaya Indonesia; 
  8.  sistem pemilu dalam konteks representasi kelompok masyarakat di DPR; 
  9.  sistem rekrutmen kader (kaderisasi) dari parpol; 
  10.  sistem budaya Indonesia dalam konteks value dan beliefs. 
 
Sah‐sah  saja  bahwa  berbagai  perspektif  tersebut  digunakan  untuk  melihat  rich  picture 
dari figur yang terdapat di Boks 8.1. Namun demikian, tidak semuanya relevan dalam konteks 
sistem pemilihan Gubernur BI. Hanya tiga perspektif terakhir yang relevan agar dalam sistem 
pemilihan  Gubernur  BI  bisa  mendapatkan  Gubernur  BI  yang  memiliki  kompetensi  tinggi  dan 
diterima  oleh  sistem  politik  yang  ada.  Selain  itu,  bagaimana  perspektif  tersebut  dijabarkan 
akan  memiliki  berbagai  kemungkinan  yang  tidak  terbatas.    Dalam  tahap  inilah  perumusan 
sebuah “root definitions” menjadi penting. Root definitions sendiri adalah sebuah pernyataan 
yang  menggambarkan,  secara  abstrak,  karakteristik  sebuah  sistem  ketika  dilihat  dari  sebuah 
sudut pandang (perspektif) tertentu (Coelho, et al, 2010). 
Hal  pertama  untuk  merumuskan  “root  definitions”  adalah  mengdentifikasi 
Transformation  Process,  yang  menyangkut  input  apa  yang  ditransformasikan  dan 
menghasilkan  output  apa.  Dalam  contoh  ini,  adalah  calon  gubernur  BI  yang  berasal  dari 
presiden  ditransformasikan  untuk  menghasilkan  Gubernur  BI  dalam  sistem  pemilihan 
Gubernur  BI,  calon  anggota  parpol  dalam  subsistem  rekrutmen  kader  parpol,  dan  calon 
anggota legislatif dalam subsistem pemilu. 
Hal  kedua  menurut  Checkland,  barulah  menyusun  sebuah  pernyataan  mengenai 
perspektif  yang  relevan  yang  disebut  “holon”  dibutuhkan.  Pada  dasarnya,  berbagai  holon 
dapat  dikembangkan  berdasarkan  perspektif‐perspektif  yang  ada,  namun  hanya  satu  holon 
saja yang perlu dirumuskan, yang berasal dari perspektif  relevan yang telah diidentifikasikan 
sebelumnya, yang disebut oleh Checkland sebagai “root definitions”. Dalam kasus kita, holon 
dapat dideskripsikan dengan kalimat: 
 
    “Menciptakan  sistem  politik  dan  pemilu  yang  menjamin  kelestarian  sistem  pemilihan 
Gubernur BI yang mampu menghasilkan kandidat Gubernur BI yang kompeten dan diterima 
dalam kondisi Budaya Masyarakat Indonesia.” 
 
Root  definitions  ini  penting  karena  dia  menyimpulkan  apa  yang  harus  dilakukan  agar  tujuan 
yang termaktub dalam root definitions tersebut dapat dicapai.  Untuk itu, menurut Checkland 
dan  Scholes  (1990)  diperlukan  untuk  merumuskan  apa  yang  disebut  CATWOE  agar  sistem 
Rachmadi Triono Page 6
 
yang terkait dengan “root definitions” dapat dipastikan kegunaannya dalam mencapai tujuan 
“root  definitions”.  CATWOE  sendiri  adalah  sebuah  jembatan  keledai  untuk  menyebutkan  6 
faktor yang mempengaruhi efektifitas sistem yang terkait dengan “root definitions, yaitu: 
 
  1.  Clients (klien); yaitu mereka yang memperoleh manfaat dari keluaran sistem 
  2.  Actors  (aktor/pelaku);  yaitu  mereka  yang  akan  melakukan  pekerjaan  pada  proses 
transformasi apabila sistem tersebut berjalan 
  3.  Transformation Process (proses transformasi); 
  4.  World View; perspektif yang menjelaskan mengapa root definitions relevan; 
  5.  Owner  (pemilik);  yaitu  pengambil  keputusan  yang  lebih  tinggi  yang  berkepentingan 
dengan efektifitas sistem yang dimaksud 
  6.  Environmental Constraint (batasan lingkungan). 
   
Dalam kasus pemilihan gubernur BI, CATWOE yang terkait adalah sebagai berikut: 
 
  1.  Customer/Client:  masyarakat,  baik  bagi  sistem  pemilihan  Gubernur  BI  maupun  tiga 
subsistem terkait. 
  2.  Actor:  Presiden  dan  DPR  dalam  sistem  pemilihan  Gubernur  BI;  pengurus  parpol  dalam 
subsistem  rekrutmen  kader  parpol;  masyarakat  dalam  subsistem  pemilu;  dan  Budaya 
Indonesia. 
  3.  World  View:  Subsistem  politik  relevan  karena  menghasilkan  calon  legislatif  yang  kelak 
akan  berinteraksi  dalam  memilih  Gubernur  BI;  subsistem  pemilu  relevan  karena 
menentukan  partai  mayoritas  yang  akan  memberi  warna  dalam  pemilihan  Gubernur  BI; 
dan  subsistem  budaya  relevan  karena  menggambarkan  bagaimana  pemenang  pemilu 
akan dihasilkan dalam sistem sosial di Indonesia. 
  4.  Owner: masyarakat dalam sistem pemilihan Gubernur BI; partai politik dalam subsistem 
rekrutmen kader parpol dan pemilu; serta masyarakat dalam subsistem budaya. 
  5.  Environmental  Constraint:  berbagai  penghambat  yang  dapat  ditemukan  dalam  sistem 
dan ketiga subsistem, yang mampu menghambat terpilihnya calon yang kompeten. 
 
Membangun Model Konseptual 
Harus  dipahami  bahwa  holon  sebenarnya  merupakan  abstraksi  dari  CATWOE  yang 
menghimpun  unsur‐unsur  penting  daripadanya.  Dari  holon  ini,  berbagai  aktivitas  yang 
dibutuhkan  dapat  diidentifikasi  agar  proses  transformasi  dalam  CATWOE  dapat  dilakukan 
sekaligus menggambarkan model konseptual yang berasal dari root definitions (Figur 8.1). 
 
Membandingkan model dengan situasi keputusan 
Dunia nyata adalah dunia yang penuh interaksi dan kontroversi, sedangkan model merupakan 
gambaran  sedarhana  dan  sering  kali  ideal  dari  dunia  nyata.  Tujuan  langkah  ini  adalah  untuk 

Rachmadi Triono Page 7


 
memperoleh  wawasan  mengenai  yang  terjadi  dalam  dunia  nyata.  Sejumlah  pertanyaan 
terstruktur yang mempertanyakan: 
 
1.Apakah yang terjadi di dunia nyata ini? 
  2.  Apakah masih terjadi? 
  3.  Mengapa hal ini membuat persoalan menjadi buruk? 
 
merupakan  langkah  awal  dalam  berdiskusi  untuk  memahami  apa  yang  terjadi  dalam  dunia 
nyata.  Dalam  kasus  kita,  kita  dapat  mempertanyakan:  Apakah  yang  terjadi  dalam  proses 
kaderisasi  dalam  parpol?  Apakah  hal  tersebut  saat  ini  masih  terjadi?  Dan,  mengapa  hal 
tersebut membuat sistem pemilihan Gubernur BI akan menghasilkan Gubernur BI yang tidak 
kompeten  atau  tidak  diterima  secara  luas?  Diskusi  yang  dilakukan  seharusnya  mampu 
mengidentifikasi  mengapa  dalam  sistem  semacam  itu  dihasilkan  kandidat  Gubernur  BI  yang 
tidak memiliki kompetensi atau tidak diterima secara luas oleh sistem politik yang berjalan. 
 
Figur 8.1 Model konseptual

Budaya
Indonesia

Presiden Kaderisasi
Terpilih Proses dalam ParPol
PEMILU

Fit & Proper


Test Anggota Calon
legislatif
DPR

Gubernur BI
Calon Gubernur BI
dipilih
dipilih
Presiden Presiden

 
Identifikasi langkah‐langkah perubahan yang dibutuhkan 
Dengan  memahami  apa  yang  terjadi  dalam  dunia  nyata,  pengambil  keputusan  akan  mampu 
mengidentifikasi berbagai hal yang harus ada dalam sistem, yang diperlukan untuk melakukan 
perbaikan. 
Dalam kasus pemilihan Gubernur BI, dapat kita pahami misalnya bahwa proses kaderisasi 
parpol yang ada tidak akan mampu menghasilkan anggota parpol yang—di mana merupakan 
“stok” calon legislatif—yang baik sehingga kelak jika saatnya dia terlibat dalam proses seleksi 
calon  Gubernur  BI  tidak  akan  mampu  melakukan  seleksi  seperti  yang  diharapkan.  Sistem 
kaderisasi  parpol  yang  bermuara  pada  dua  hal,  yaitu  nepotisme  dan  politik  uang,  bukanlah 

Rachmadi Triono Page 8


 
sistem yang baik dalam menghasilkan angota parpol yang berkualitas dan bermoral. Demikian 
pula,  hal‐hal  lain  yang  ada  dalam  model  konseptual  dapat  dianalisis  dengan  cara  yang  sama 
sehingga  dapat  diketahui  berbagai  kelemahan  yang  ada  dalam  berbagai  aktivitas  dalam 
model.  Semuanya  bermuara  pada  terpilihnya  calon  Gubernur  BI  yang  tidak  kompeten  atau 
tidak dapat diterima secara luas. 
Diskusi  yang  mendalam  diharapkan  akan  mampu  menghasilkan  berbagai  program  yang 
dibutuhkan  untuk  menghilangkan  kelemahan  tersebut.  Tentu  saja,  berbagai  program  yang 
dihasilkan dalam proses ini dapat dilihat sebagai program yang hanya dapat dilakukan dalam 
kondisi  ideal.  Namun  demikian,  dengan  memahami  seideal  apa  kondisi  yang  diharapkan, 
pengembangan  ke  arah  kondisi  ideal  tersebut  akan  dimungkinkan  dengan  mewujudkan 
asumsi‐asumsi  yang  menjadikannya  ideal  atau  menghilangkan  hambatan‐hambatan  yang 
dapat menjadikannya ideal. 
 

Metagame 
 
Teori permainan memiliki keterbatasan dalam hal keterbatasan pihak yang dihadapi (terbatas 
pada  satu  pihak  saja)  dan  strategi  lawan  yang  pada  umumnya  didefinisikan  secara  ringkas 
dalam dua strategi. 
Dalam  kenyataannya,  seorang  pengambil  keputusan  sering  kali  dihadapkan  pada 
sejumlah  lawan,  baik  secara  langsung  maupun  tidak  langsung  memengaruhi  hasil 
keputusannya.  Strategi  lawan  pun  bukan  hanya  tidak  diketahui,  melainkan  juga  jumlahnya 
tidak  terbatas.  Metagame  melepas  asumsi  semacam  itu  sehingga  situasi  keputusan  yang 
dipersepsikan  bukan  hanya  menjadi  semakin  nyata,  melainkan  juga  semakin  kompleks. 
Permainan  ini  pertama  kali  diperkenalkan  oleh  Nigel  Howard  pada  1960,  yang  merupakan 
rekonstruksi dari teori permainan sangat matematis, agar dapat digunakan secara intuitif. 
 
Teknik Metagame 
Basis  dari  metagame  adalah  identifikasi  berbagai  sistem/subsistem,  baik  yang  berperan 
sebagai  aktor  maupun  berbentuk  lingkungan  eksternal  yang  menghambat,  di  mana  relevan 
dalam  memengaruhi  pengambil  keputusan,  mengidentifikasi  berbagai  tujuan  mereka,  dan 
mengidentifikasi  berbagai  strategi  yang  dapat  mereka  lakukan  (analysis  of  option).  Dengan 
demikian,  berbagai  skenario  situasi  keputusan  yang  layak  dipertimbangkan  (scenario 
development)  dapat  dikenali  serta  mencari  langkah‐langkah  yang  dapat  dilakukan  untuk 
mengarah  pada  perbaikan  (improvement),  baik  berbentuk  “compromise  scenario”,  “stable 
scenario”,  “the perferred one scenario”,  ataupun—paling  tidak—“optimal scenario”  (scenario 
analysis). Dalam hal ini beberapa istilah yang perlu dipahami adalah sebagi berikut. 
 
  1.  Actors adalah berbagai pihak yang mengendalikan berbagai isu/tindakan. 

Rachmadi Triono Page 9


 
  2.  Opsi adalah strategi/kebijakan yang diambil oleh aktor. 
  3.  Skenario  adalah  daftar  aktor  dan  berbagai  opsi  yang  mungkin  mereka  ambil,  yang 
berbentuk: 
 
a.  situasi saat ini (present situation); 
b.  preferensi pengambil keputusan; 
c.  bukan preferensi pengambil keputusan. 
  4.  Sanksi adalah opsi lawan yang dapat menghambat opsi pengambil keputusan. 
  5.  Preferred adalah skenario yang dikehendaki pengambil keputusan. 
  6.  Not–preferred adalah skenario yang tidak dikehendaki pengambil keputusan. 
  7.  Possible conflict adalah skenario yang menimbulkan konflik. 
  8.  Possible compromise adalah kompromi yang mungkin dilakukan para aktor. 
 
Untuk menjelaskan hal‐hal tersebut, perhatikan secara saksama Tabel 8.1. Tabel ini dibuat 
dengan sudut pandang Processing Department (PD) sebagai pengambil keputusan. 
 
Tabel 8.1 Skenario Processing Department dan Finishing Department

Actors (1) (2) (3) (4) (5) (6)


Processing Department
– Meningkatkan output 0 1 1 1 1 1
– Melakukan banding terhadap Finishing Department kepada manajer senior 0 0 1 0 0 0
Finishing Department
– Menerima peningkatan output 0 1 1 1 0 1
– Menurunkan standar kualitas 0 1 1 0 0 0
– Menambah jumlah pegawai 0 0 0 0 0 1
 
 
Tabel 8.1 menggambarkan berbagai opsi dan skenario yang dilakukan oleh kedua aktor, 
yaitu Processing Department (PD) dan Finishing Depertment (FD). Opsi yang dapat dilakukan 
oleh  PD  adalah  (1)  meningkatkan  output  dan  (2)  melaporkan  kepada  manajer  senior. 
Sementara  itu,  opsi  yang  terbuka  bagi  FD  adalah  (1)  menerima  kenaikan  ouput  dan  (2) 
menurunkan standar kualitas.   
Ada lima skenario yang merupakan kombinasi berbagai opsi dari kedua aktor tersebut. 
  1.  Status  quo  (situasi  sekarang),  merupakan  saat  kedua  aktor  belum  melakukan  apa  pun 
dari opsi yang tersedia (disimbolkan dengan angka nol). 
  2.  Not‐preferred  oleh  PD,  merupakan  situasi  yang  tidak  dikehendaki  oleh  pengambil 
keputusan (skenario ke‐2 dan ke‐3), yaitu: 
a.  skenario ke‐2 di mana PD meningkatkan output (disimbolkan dengan angka 1), tidak 
melakukan  opsi  melaporkan  kepada  manajer  senior  (nol)  dan  FD  menerima 
peningkatan output (1), namun dengan menurunkan standar kualitas (1); serta 

Rachmadi Triono Page 10


 
b.  skenario  ke‐3  di  mana  PD  meningkatkan  output  (disimbolkan  dengan  angka  1), 
melakukan  opsi  melaporkan  kepada  manajer  senior  (1)  dan  FD  menerima 
peningkatan output (1), namun dengan menurunkan standar kualitas (1) 
  3.  Preferred oleh PD, merupakan situasi yang dikehendaki oleh PD (skenario ke‐4) di mana 
PD melakukan opsi peningkatan output (1) tanpa melaporkan kepada manajer senior (0) 
dan  FD  melakukan  opsi  menerima  peningkatan  output  (1)  tanpa  menurunkan  standar 
kualitas (0). 
  4.  Possible conflict, merupakan skenario yang memungkinkan konflik (skenario ke‐5). 
  5.  Possible compromise (skenario ke‐6). 
Dalam analisis scenario (scenario analysis) yang bermuara pada “compromise  scenario”, 
“stable scenario”, atau “the perferred one scenario”, pengambil keputusan melakukan hal‐hal 
berikut ini. 
  1.  Melakukan  perbaikan  (improvement)  dari  kondisi  status  quo  ke  arah  stabilitas.  Sebuah 
skenario  dikatakan  stabil  apabila  diterima  oleh  seluruh  aktor,  di  mana  masing‐masing 
aktor akan melakukan bagian/opsi masing‐masing tanpa menimbulkan konflik. 
  2.  Mencari  unilateral  improvement  (perbaikan  satu  arah),  yaitu  skenario‐skenario  yang 
disukai oleh seluruh aktor. 
  3.  Mengidentifikasi  persetujuan  (sanction)  yang  berasal  dari  aktor  yang  tidak  ikut  serta 
dalam  “the  preferred  one  scenario”  dan  mengidentifikasi  langkah‐langkah  yang  harus 
diambil  guna  menetralisasi  pengaruh  sanction/menghilangkan  potensi  sanction  untuk 
memperoleh  skenario  yang  menguntungkan  bagi  aktor  yang  memiliki  sudut  pandang 
dalam skenario. 
 
Tabel 7.2 Sanction dan unilateral improvement, PD dan FD
Actors (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Processing Department
– Meningkatkan output 0 1 1 1 1 1
– Melakukan banding terhadap Finishing Department kepada manajer senior 0 0 1 0 0 0
Finishing Department
– Menerima peningkatan output 0 1 1 1 0 1
– Menurunkan standar kualitas 0 1 1 0 0 0
– Menambah jumlah pegawai 0 0 0 0 0 1

 
Menurunkan  standar  kualitas  yang  dilakukan  oleh  FD  merupakan  sanction  bagi 
meningkatkan  output  yang  dilakukan  oleh  PD,  baik  dalam  skenario  ke‐2  ataupun  ke‐3. 
Sementara  itu,  “Banding  terhadap  Finishing  Department  kepada  manajer  senior”  yang 
dilakukan PD merupakan sanction bagi opsi menurunkan standar kualitas pada skenario ke‐3. 
Kedua  skenario  ini  tergolong  not–preferred  (tidak  disukai),  baik  oleh  PD  maupun  oleh  FD. 
Konflik akan terjadi pada skenario ke‐3 atau skenario ke‐5, yaitu ketika FD menolak untuk ikut 
meningkatkan  output  yang  diprosesnya.  Oleh  karena  itu,  skenario  ke‐4—yang  tampaknya 

Rachmadi Triono Page 11


 
tergolong  preferred  (disukai)  bagi  PD—tidak  akan  dapat  dicapai.  Compromise  berupa 
unilateral improvement dapat dicapai pada skenario ke‐6, dengan menambah jumlah pegawai 
pada FD. 
 
Metagame dalam Praktik 
Untuk  memperjelas  pembahasan,  kita  hadirkan  kembali  kasus  Indomie  versus  Mie  Sedaap 
yang telah disajikan pada Bab 4, namun kali ini dari persepsi Mie Sedaap. Dalam konteks ini, 
Mie  Sedaap  tidak  hanya  menghadapi  Indomie  semata‐mata,  tetapi  juga  menghadapi  (1) 
produsen mi instan selain Indomie (misalnya, Alhami, Santremie, Mie Gelas, dan sebagainya); 
(2) pemilik warung tegal (warteg) yang menjadi “ujung tombak” salah satu pasar Indomie; (3) 
gerai  supermarket/hipermarket;  serta  (4)  warung‐warung  sebelah  rumah.  Masing‐masing 
pemain  ini  memiliki  berbagai  tujuan,  yang  satu  sama  lain  mungkin  tidak  kompatibel,  tetapi 
koheren dalam memperlemah posisi Mie Sedaap atau menghambat ekspansinya. Di sini, kita 
dapat  memahami  bahwa  ada  empat  aktivitas  yang  relevan  untuk  dipertimbangkan  oleh  Mie 
Sedaap, yaitu (1) strategi Indomie, (2) strategi produk mi lain, serta (3) strategi Indomie dalam 
membentuk pola preferensi warteg dan supermarket/hipermarket, termasuk warung‐warung 
sebelah rumah. 
Penulis  ingin  menggambarkan  berbagai  hal  tersebut  dalam  sebuah  model  konseptual 
dengan  melewati  langkah  memersepsikan  situasi  keputusan,  menggambarkan  rich  picture, 
dan mengenali root  definitions  dalam  bentuk  holon,  bukan  karena  langkah‐langkah  tersebut 
tidak  penting,  namun  untuk  mempersingkat  penjelasan  tanpa  harus  memperinci  langkah‐
langkah  tersebut  secara  visual  atau  secara  deskriptif.  Pembaca  dipersilakan  untuk 
merekonstruksi  ketiga  tahapan  yang  telah  dibuat  dengan  mengacu  pada  penjelasan  pada 
bagian pembahasan mengenai SSM. Model konseptual yang menggambarkan Mie Sedaap vs 
Indomie dapat diikuti pada Figur 8.2. 
 
Figur 8.2 Model konseptual Mie Sedaap versus Indomie

Rachmadi Triono Page 12


 
Pada  titik  ini,  kita  tidak  perlu  berlanjut  pada  langkah  ke‐5  s.d.  ke‐7  sesuai  dengan  SSM, 
melainkan  melakukan  analisis  opsi,  yaitu  mencoba  mengidentifikasi  berbagai  opsi  yang 
mungkin dilakukan oleh aktor‐aktor yang terlibat. 
 
  1.  Mie Sedaap 
  Meningkatkan biaya promosi. 
  Menawarkan diskon dan syarat penjualan yang lebih baik pada berbagai gerai. 
  Pengembangan produk (product development). 
  Mengajarkan  teknik  penjualan  berbagai  merek  produk  (blending)  mi  instan  pada 
warteg. 
  Berkonsenp pada distribusi melalui warung sebelah rumah. 
  Membagi wilayah pemasaran dengan produk mi lain. 
  2.  Indomie 
  Membuat varian baru untuk menandingi Mie Sedaap. 
  Melakukan pengiklanan pembanding (comparison advertising). 
  Melakukan  distribusi  masif  melalui  perpanjangan  ketentuan  pembayaran  (term  of 
payment—TOP). 
  3.  Supermarket/hipermarket 
  Lebih menyukai untuk memajang Indomie karena perputarannya yang tinggi. 
  4.  Produk mi lain 
  Berbagi wilayah pemasaran dengan Mie Sedaap. 
  5.  Warung sebelah rumah 
  Bersedia menjual Mie Sedaap lebih banyak. 
  6.  Warung Tegal 
  Bersedia melakukan teknik blending mi instan. 
 
Howard  (1971)  dalam Paradoxes of Rationality: Games, Metagames, and Political  Behavior 
tidak  mengajarkan  penyusunan  model  konseptual  semacam  ini  dalam  melakukan 
pengembangan  opsi.  Namun  demikian,  penulis  merasakan  bahwa  menggabungkan  teknik 
pengembangan  model  konseptual  dalam  SSM  dengan  teknik  pengembangan  opsi  pada 
metagame  merupakan  hal  yang    baik  untuk  memahami  situasi  permasalahan  yang  dihadapi. 
Dengan  menyusun  model  konseptual  yang  berasal  dari  rich  picture,  kita  dapat  memperoleh 
berbagai  perspektif  yang  mungkin  ada  pada  situasi  permasalahan  dan  memilih  perspektif 
paling relevan. Ini membuang peluang terjadinya kesalahan dalam memilih perspektif apabila 
dilakukan  secara  intuitif  belaka  (Dalam  memilih  perspektif  secara  intuitif  sering  kali  justru 
mengambil  perspektif  yang  jauh dari  situasi keputusan  alih‐alih  memperoleh  perspektif  yang 
benar.) 
Dari berbagai opsi yang dikembangkan tersebut selanjutnya dapat disusun sebuah tabel 
skenario dari berbagai opsi tersebut sebagaimana digambarkan dalam Tabel 8.3. 

Rachmadi Triono Page 13


 
Perlu dipahami di sini bahwa jika ada N aktor dengan Opsi Oi … ON (i s.d. N adalah jumlah 
opsi  masing‐masing  aktor)  maka—menurut  Howard—jumlah  skenario  yang  dapat 
dikembangkan  adalah  sebanyak  Oi  ×  …  ×  ON  sehingga  pada  dasarnya  skenario  yang  dapat 
dikembangkan dalam kasus enam aktor dengan berbagai opsi tersebut adalah sebanyak 6 × 3 
× 1 × 1 × 1 × 1 opsi, namun untuk menyederhanakan pembahasan, buku ini mempertimbangkan 
opsi yang tercantum pada Tabel 8.3. 
 
Tabel 8.3 Sanction dan unilateral improvement, Mie Sedaap dan Indomie
Actors (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Mie Sedaap
– Meningkatkan biaya promosi 0 1 0 0 1 1
– Diskon yang lebih baik 0 1 1 1 1 0
– Pengembangan produk 0 1 1 0 0 1
– Mengajarkan teknik blending mi instan 0 1 1 1 1 0
– Berkonsep pada distribusi warung sebelah rumah 0 1 1 1 0 1
– Membagi wilayah pemasaran dengan merek mi lain 0 1 1 1 1 1
Indomie
– Rasa varian baru seperti Mie Sedaaap 0 1 1 0 1 0
– Usaha pengiklanan pembanding 0 1 0 0 1 1
– Distribusi masif dengan menggunakan “TOP” 0 1 1 0 0 0
Merek Mi Lain
– Berbagi wilayah pemasaran dengan Mie Sedaap 0 0 0 1 0 1
Supermarket/hypermarket
– Lebih menyukai untuk memajang Indomie 1 1 1 0 1 1
Warung Tegal
– Bersedia untuk melakukan teknik blending merek mi instan 0 0 0 1 0 1
Warung Sebelah Rumah
– Bersedia menjual Mie Sedaap lebih banyak 0 0 1 1 0 1

Dalam daftar skenario tersebut, berbagai sanction dapat dipetakan, di mana berasal dari 
opsi  aktor  lawan/lingkungan  Mie  Sedaap,  misalnya  opsi  untuk  mengeluarkan  varian  Mie 
Sedaap dari Indomie akan merupakan sanksi bagi opsi mengajarkan teknik blending mi instan 
pada warteg. Opsi ketidakbersediaan produk mi instan lain untuk berbagi wilayah pemasaran 
dengan Mie Sedaap akan merupakan sanksi bagi opsi membagi wilayah pemasaran dengan mi 
lain. Untuk  tidak  membuat  Tabel  7.3  menjadi  semakin  ruwet,  berbagai  sanksi  yang  lain  tidak 
digambarkan dalam daftar tersebut. 
Dengan  membuat  peta  sanksi,  jumlah  sanksi  yang  ada  pada  skenario  tertentu  dapat 
dihitung.  Sebagai  conoth,  skenario  ke‐2  memiliki  sanksi  sebanyak  6  sanksi;  skenario  ke‐3 
sebanyak  5  sanksi;  skenario  ke‐4  tidak  memiliki  sanksi  sama  sekali;  skenario  ke‐5  memiliki  6 
sanksi; serta skenario ke‐6 hanya memiliki 2 sanksi. 
Dalam  hal  kemungkinan  kompromi  tidak  dapat  dilakukan  seperti  halnya  contoh  pada 
kasus ini, pengambil keputusan sebaiknya memilih skenario yang memiliki sanksi paling sedikit 
atau  sanksi  yang  sama  banyak,  namun  dengan  dampak  paling  rendah  (dalam  hal  ini  adalah 

Rachmadi Triono Page 14


 
skenario ke‐4). Namun demikian, persoalannya apakah skenario semacam itu mungkin dapat 
terjadi,  dan  andaikan  terjadi  apakah  skenario  semacam  itu  merupakan  skenario  yang  stabil? 
Secara logis, jawabannya adalah tidak mungkin. Jauh dari kemungkinan bahwa Indomie tidak 
akan melakukan apa‐apa ketika pangsa pasarnya dicuri sebanyak 15% oleh Mie Sedaap. Dengan 
demikian, walaupun skenario ke‐4 ini merupakan “the preferred one” bagi Mie Sedaap, tetapi 
tidak  mungkin  terjadi.  Oleh  karena  itu,  Mie  Sedaap  perlu  mengupayakan  terjadinya  skenario 
ke‐6 yang hanya memiliki 3 sanksi saja, yang merupakan skenario optimal. 
Untuk dapat menghasilkan skenario ke‐6 maka Mie Sedaap harus secepatnya melakukan 
hal‐hal berikut. 
  1.  Segera  melakukan  koordinasi  dengan  produsen  mie  instan  lainnya  untuk  menghasilkan 
persetujuan pembagian wilayah pemasaran. 
  2.  Segera membujuk warteg untuk melakukan teknik blending mi instan ketika menyajikan 
mi siap konsumsi (mi rebus, mi goreng, dan sebagainya) kepada konsumen. 
  3.  Memberikan  hadiah  menarik  pada  warung  sebelah  rumah  agar  bersedia  menjual  Mie 
Sedaap lebih banyak. 
  4.  Tidak menggunakan strategi diskon agar tidak memancing pembalasan dari Indomie.  
Kesegeraan  dalam  melakukan  keempat  langkah  tersebut  diperlukan  karena  skenario  ini 
bukanlah  skenario  yang  stabil  mengingat  potensi  Indomie  untuk  melakukan  pengembangan 
varian  Mie  Sedaap  ketika  menyadari  bahwa  Mie  Sedaap  menggunakan  strategi/teknik 
blending mi instan. 
Pembaca yang kritis tentu memahami bahwa metagame ini bukan analisis yang bersifat 
“one  shoot  occurance”  karena  aktor  lawan  akan  segera  mengubah  strategi/opsi  yang 
digunakannya sehingga permainan yang terjadi berubah dari permainan awal. Artinya, sebuah 
peta skenario tidak berlaku selamanya, tetapi hanya berlaku satu ronde saja. Dan, ketika aktor 
lawan  menyadari  kelemahan  opsinya,  dia  akan  menghadirkan  opsi‐opsi  lainnya  sehingga 
metagame  pada  ronde  pertama  bergerak  ke  arah  metagame  pada  ronde‐ronde  berikutnya. 
Jelas  sekali  di  sini  bahwa  dengan  metagame  dimungkinkan  memenangkan  sebuah 
pertempuran  (battle)  dalam  sebuah  peperangan  (war),  tetapi  untuk  memenangkan 
peperangan  yang  sesungguhnya  seorang  aktor  harus  membangun  preferensi  merek  (brand 
preference)  yang  kuat  melalui  strategi  STP  (Segmenting,  Targeting,  dan  Positioning)  yang 
tepat. 
 

Analytical Hierarchy Process 
 
Teknik  terakhir  yang  akan  dibahas  dalam  situasi  pengambilan  keputusan  kompleks  adalah 
teknik analytical hierarchy process (AHP). Teknik ini dikembangkan oleh Thomas L. Saaty tahun 
1970 dan telah dikembangkan dan diperbaiki sejak saat itu. 
Teknik ini merupakan teknik untuk menstruktur dan memahami sebuah situasi kompleks 
daripada  memberikan  sebuah  resep  “keputusan  yang  tepat”  dalam  menghadapi  situasi 
Rachmadi Triono Page 15
 
tersebut.  Teknik  AHP  membantu  pengambil  keputusan  memilih  sebuah  alternatif  yang 
memberikan hasil paling mendekati tujuannya. Sesungguhnya, teknik ini sudah dilakukan oleh 
para pengambil keputusan sejak lama, yaitu dalam pikiran mereka, tetapi AHP memvisualkan 
apa  yang  mereka  pikirkan  dan  rasakan  sehingga  pemahaman  terhadap  situasi  keputusan 
menjadi semakin baik. 
 
Pemahaman Awal: Dekomposisi Masalah 
Teknik AHP mengharuskan penggunanya untuk melakukan dekomposisi situasi keputusan ke 
dalam  lapisan‐lapisan  elemen  persoalan  yang  dapat  dianalisis  secara  independen.  Elemen‐
elemen  persoalan  tersebut  dapat  berupa  hal‐hal  yang  nyata/berwujud  (tangible)  atau  tidak 
nyata (intangible), memiliki ukuran pasti atau bersifat perkiraan, serta apa pun itu sepanjang 
relevan  dengan  permasalahan.  Secara  empiris,  elemen‐elemen  semacam  itu  sejauh  ini 
diidentifikasikan sebagai: faktor dan subfaktor; kriteria dan subkriteria; aktor dan tujuan aktor, 
serta skenario. 
Faktor  adalah  elemen  persoalan  yang  menentukan  pilihan  alternatif.  Misalnya,  dalam 
memilih sebuah kebijakan moneter, faktor yang penting dalam memengaruhi pilihan kebijakan 
tersebut  adalah  pertumbuhan  ekonomi,  tingkat  inflasi,  dan  tingkat  bunga.  Kriteria  adalah 
acuan  yang  menjadi  dasar  pemilihan  alternatif.  Misalnya,  dalam  memilih  mobil,  kriteria  yang 
diperlukan  adalah  harga  beli,  biaya  perawatan,  kecepatan,  dan  kenyamanan.  Aktor  adalah 
pihak‐pihak  yang  terlibat  dalam  menentukan  keputusan.  Misalnya,  dalam  memutuskan 
besarnya  kenaikan  gaji  pegawai  pada  tahun  tertentu,  aktor  yang  harus  dipertimbangkan 
adalah  pemegang  saham,  manajemen,  dan  SPSI  (Serikat  Pekerja  Seluruh  Indonesia). 
Sementara itu, skenario merupakan berbagai situasi yang memiliki probabilitas kejadian yang 
menentukan  dipilihnya  alternatif.  Sebagai  contoh,  dalam  pemilihan  sejumlah  alternatif 
investasi,  pengambil  keputusan  dihadapkan  pada  skenario  pilihan  jangka  pendek  dan  jangka 
panjang,  di  mana  untuk  masing‐masing  skenario  tersebut  terdapat  probabilitas  berbagai 
kemungkinan perubahan situasi. 
Susunan hierarki dapat merupakan kombinasi lengkap dari keseluruhan elemen pesoalan 
atau  sebagian  saja.  Sebuah  contoh  dari  proses  dekomposisi  persoalan  tersebut  adalah 
sebagaimana  yang  ditunjukkan  pada  Figur  8.3.  Figur  ini  merupakan  dekomposisi  persoalan 
memilih seorang pemimpin (leader) dari sejumlah alternatif pemimpin yang ada. Elemen yang 
dipergunakan  adalah  kriteria  dan  alternatif.  Ada  empat  kriteria  yang  dipertimbangkan,  yaitu 
pengalaman,  pendidikan,  karisma,  dan  usia.  Pengambil  keputusan  boleh  menggunakan 
elemen  apa  pun  lebih  banyak,  tetapi  tidak  melebihi  tujuh  elemen,  di  mana  jumlah  tersebut 
merupakan jumlah maksimal untuk dapat melakukan pilihan secara konsisten. 
Walaupun  teknik  AHP  memungkinkan  terjadinya  inkonsistensi  dalam  keputusan,  namun 
demikian, teknik ini tetap saja mensyaratkan nilai inkonsistensi serendah mungkin pada setiap 
tingkatan model keputusan agar hasilnya tidak mempengaruhi keputusan yang harus dibuat. 
 

Rachmadi Triono Page 16


 
Figur 8.3 Memilih seorang pemimpin

Sumber: Diadaptasi dari http://en.wikipedia.org/wiki/Analytic_Hierarchy_Process.


 
Perbandingan Berpasangan 
Perbandingan berpasangan dilakukan untuk memberikan penilaian kesukaan relatif (dalam hal 
alternatif). Kepentingan relatif (dalam hal faktor, kriteria, dan aktor) dan kemungkinan relatif 
(dalam hal skenario) yang semula hanya dilakukan secara subjektif (dalam pikiran pengambil 
keputusan) kini divisualkan dalam ukuran‐ukuran skala rasio di dalam teknik AHP. Perubahan 
dari ukuran subjektif ke dalam ukuran yang lebih pasti dijembatani dengan pilihan lebih disukai 
(untuk  alternatif),  lebih  dipentingkan  (untuk  faktor,  kriteria,  dan  aktor),  dan  lebih  mungkin 
(untuk skenario). Ukuran subjektif tersebut dalam teknik AHP dikonversikan ke dalam ukuran 
yang lebih pasti sebagaimana dapat diikuti pada Tabel 8.4. 
Dalam  melakukan  evaluasi  subjektif,  seorang  pengambil  keputusan  dapat  berdasarkan 
data yang konkrit atau hanya secara intuitif saja. Di sinilah kelebihan teknik AHP, yang mampu 
mengonversikan  keputusan  intuitif  manusia  ke  dalam  ukuran  yang  lebih  pasti.  Hasil  dari 
proses  ini  adalah  sejumlah  prioritas  pada  berbagai  lapisan  elemen  keputusan.  Berdasarkan 
prioritas  lokal  ini,  penghitungan  prioritas  keseluruhan  dapat  dilakukan,  di  mana  prioritas‐
prioritas lokal itu akan menentukan prioritas alternatif keputusan, dilihat dari seluruh elemen 
yang digunakan. 
 
 
 
 
 

Rachmadi Triono Page 17


 
 
Tabel 8.4 Nilai perbandingan berpasangan
No Nilai Subjektif Skala
1 Faktor, kriteria, actor
– Dua faktor sama–sama penting 1
– Faktor pertama sedikit lebih penting 3
– Faktor pertama jauh lebih penting 5
– Faktor pertama hampir secara ekstrem lebih penting 7
– Faktor pertama secara ekstrem lebih penting 9
2 Skenario
– Dua skenario sama–sama mungkin 1
– Skenario pertama sedikit lebih mungkin 3
– Skenario pertama jauh lebih mungkin 5
– Skenario pertama hampir secara ekstrem lebih mungkin 7
– Sknario pertama secara ekstrem lebih mungkin 9
3 Alternatif
– Dua alternatif sama–sama disukai 1
– Alternatif pertama sedikit lebih disukai 3
– Alternatif pertama jauh lebih disukai 5
– Alternatif pertama hampir secara ekstrem lebih disukai 7
– Alternatif pertama secara ekstrem lebih disukai 9
 
Prioritas Lokal 
Prioritas  lokal  adalah  hasil  perhitungan  berdasarkan  evaluasi  antar  anggota  elemen  yang 
dilakukan  pengambil  keputusan  pada  lapisan  elemen  tertentu.  Perhitungan  prioritas  lokal 
tersebut  dapat  dilakukan  secara  manual  ataupun  dengan  bantuan  peranti  lunak  (software) 
expert choice. 
Sebagai  contoh  adalah  pemilihan  tiga  merek  mobil:  Chevroletm  Toyota  dan  Mazda 
dengan  kriteria  Kenyamanan  dan  Harga.  Prioritas  lokal  adalah  penilaian  relatif  atas  ketiga 
merek mobil pada masing‐masing kriteria. 
 
Prioritas Lokal untuk kriteria Kenyamanan 
Terhadap  keputusan  (judgement)  pengambil  keputusan  antardua  anggota  sebuah 
elemen  persoalan,  konversi  dari  penilaian  subjektif  menjadi  skala  rasio  dilakukan.  Tabel  8.5 
menunjukkan  hal  tersebut.  Gambaran  ini  menjelaskan  penilaian  berpasangan  atas  preferensi 
tiga merek mobil dalam hal kenyamanannya. 
 
Tabel 8.5 Penilaian berpasangan antardua anggota elemen
Kenyamanan C T M
Chevrolet (C) 1 0,5 0,25
Toyota (T) 2 1 0,5
Mazda (M) 4 2 1
Jumlah 7 3,5 1,75

Rachmadi Triono Page 18


 
Untuk menghasilkan prioritas lokal, manipulasi matematis dilakukan pada nilai keputusan 
di setiap sel dengan cara membagi nilai masing‐masing sel dengan jumah nilai kolomnya. Jadi, 
sel  (1,1)  secara  relatif  bernilai  1/7;  sel  (1,2)  bernilai  1/7);  sel  (1,3)  bernilai  1/7,  dan  seterusnya. 
Dengan demikian, hasil keseluruhannya dapat diikuti pada Tabel 8.6. 
 
Tabel 8.6 Penilaian relatif terhadap penilaian berpasangan
Kenyamanan C T M Prior*)
Chevrolet (C) 1/7 1/7 1/7 0,14
Toyota (T) 2/7 2/7 2/7 0,28
Mazda (M) 4/7 4/7 4/7 0,57
*) Σ baris/3.
 
Prioritas  lokal  Chevrolet  dalam  hal  kenyamanan  adalah  0,14,  sedangkan  Toyota  dan 
Mazda  masing‐masing  adalah  0,28  dan  0,57.  Selanjutnya,  penghitungan  prioritas  lokal 
dilakukan  pada  ketiga  merek  mobil  terhadap  kriteria  pemilihan  lainnya,  misalkan  dalam  hal 
harganya.  Prioritas  lokal  ketiga  merek  dalam  hal  harga  adalah  Chevrolet  (0,3);  Toyota  (0,2); 
dan Mazda (0,5).  
 
Prioritas Lokal Untuk kriteria Harga 
Prioritas lokal dihitung juga untuk kriteria harga. Misalkan penilaian berpasangan antara ketiga 
merek mobil pada kriteria harga ditunjukkan dalam tabel  8.7 
 
Tabel 8.7 Penilaian berpasangan antardua anggota elemen
Harga C T M
Chevrolet (C) 1 0,5 0,8
Toyota (T) 2 1 2/3
Mazda (M) 1,25 1,5 1
Jumlah 3,25 3 2,5
 
Dari  tabel  8.7  dapat  dibuat  tabel  penilaian  relatif  setiap  merek  untuk  kriteria  harga,  seperti 
ketika  membuat  penilaian  relatif  setiap  merek  untuk  kriteria  kenyamanan,  sebagaimana 
disajikan dalam tabel 8.8. 
 
Tabel 8.8 Penilaian relatif terhadap penilaian berpasangan
Harga C T M Prior*)
Chevrolet (C) 0,31 0,17 0,32 0,27
Toyota (T) 0,62 0,33 0,27 0,41
Mazda (M) 0,38 0,5 0,4 0,43
*) Σ baris/3.
 
 

Rachmadi Triono Page 19


 
Prioritas Keseluruhan 
Untuk menghitung besarnya Prioritas Keseluruhan maka perhitungan atas prioritas lokal pada 
elemen  kriteria  harga  dan  kenyamanan.  Untuk  menyingkat  perhitungan  katakanlah  setelah 
dilakukan  perhitungan  atas  Prioritas  Lokal  Kenyamanan  dan  Harga  hasilnya  adalah 
kenyamanan  (0,7)  dan  harga  (0,3).  Apabila  perhitungan‐perhitungan  prioritas  lokal  tersebut 
digambarkan dalam bentuk struktur hierarki maka akan terlihat seperti pada Tabel 8.9. 
Prioritas  Keseluruhan  dari  ketiga  merek  mobil  dengan  mempertimbangkan  kriteria 
Kenyamanan  dan  Harga    merupakan  perhitungan  sintesis  prioritas  untuk  menghasilkan 
prioritas  keseluruhan  terhadap  ketiga  merek  mobil  dari  kriteria  harga  dan  kenyamanan,  
sebegai berikut: 
 
Chevrolet:  (0,7 × 0,14) + (0,3 × 0,27) = 0,17 
Toyota:  (0,7 × 0,28) + (0,3 × 0,41) = 0,31 
Mazda:  (0,7 × 0,57) + (0,3 × 0,43)= 0,52 
 
Tabel 8.9 Penilaian Prioritas Keseluruhan
Harga Nyaman Harga Komposit
0,7 0,3
Chevrolet (C) 0,14 0,27 0,17
Toyota (T) 0,28 0,41 0,31
Mazda (M) 0,57 0,43 0,52
 
Prioritas  Keseluruhan  merupakan  preferensi  relatif  ketiga  merek  mobil  dengan 
memperhitungkan  kedua  kriteria,  yaitu  Kenyamanan  dan  Harga.  Dengan  melihat  pada  tabel 
8.9 maka Mazda adalah yang memilik prioritas paling tinggi. Disusul Toyota, dan Chevrolet. 
Boleh  jadi  setelah  hasil  perhitungan  prioritas  keseluruhan  ditampilkan,  pengambil 
keputusan merasa bahwa orde prioritas yang diberikan tidak benar. Secara apriori dia merasa 
bahwa seharusnya orde tertinggi adalah Toyota bukan Mazda. 
Dalam  keputusan  menggunakan  metode  AHP  hal  tersebut  sangat  mungkin  terjadi. 
Penyebabnya  karena  terjadi  ketidak  konsistenan  ketika  pengambil  keputusan  melakukan 
judgement atas perbandingan berpasangan pada masing‐masing kriteria. 
 
Rasio Konsistensi 
Menurut  Saati  (1990),  manusia bisa  saja  melakukan ketidak konsistenan  ketika  memilih, 
baik  dalam  arah  pilihan  maupun  nilai  pilihan.  Arah  pilihan,  misalkan  dia  lebih  menyukai  Apel 
daripada  Jeruk,  dan  lebih  menyukai  Mangga  daripada  Jeruk.  Maka  seharusnya  secara 
konsisten  dia  akan  lebih  menyukai  Apel  daripada  Mangga.  Namun  bisa  terjadi  dia  lebih 
menyukai Mangga daripada Apel. 
Ketidak  konsistenan  semacam  ini  adalah  hal  yang  alami  dan  tidak  mengapa  dalam 
pengambilan keputusan. Namun demikian harus tetap diperhatikan agar tidak menjadi terlalu 

Rachmadi Triono Page 20


 
tidak  konsisten.  AHP  memberikan  Rasio  Konsistensi  yang  bisa  dihitung  pada  setiap  level 
pilihan, dalam contoh kita di atas, Rasio Konsistensi pada penilaian di level Kenyamanan dan 
Rasio  Konsistensi  penilaian  di  level  Harga.  Perhitungan  Rasio  Konsistensi  membutuhkan 
perhitungan    Lambdamaksimum,  dan  Indeks  Konsistensi.  Saati  membuktikan  bahwa  matriks 
penilaian yang konsisten terjadi ketika Eigen Value terbesar (Lambdamax) samadengan ukuran 
(n) matrix penilaian sehigga  indeks konsistensi (IK) merupakan besarnya penyimpangan Eigen 
Value  terbesar  dari  ukuran  n.    Saati  merumuskan  Lamdamax  (L)    Indeks  Konsisteni  (IK)  dan 
Rasio Konsistensi (RK) sebagai berikut: 
 
L = Jumlahi  x Prioritasi 

Dimana:  Jumlahi adalah penjumalahan penilaian faktor ke i 
    Prioritasi adalah prioritas penilaian atas faktor ke i 
 
KI = | L – n | / n‐1 
Dimana:  n adalah jumlah faktor yang dinilai 
 
RK = KI / RI 
         
        Dimana RI adalah Indeks Random Konsistensi yang besarnya sesuai dengan n:  
 
        N       1  2  3  4  5  6  7  8  9  10 
        RI   0  0  0,58  0,9  1,12  1,24  1,32  1,41  1,45  1,49 
 
Untuk memudahkan pembahasan maka hasil perhitungan pada tabel 8.5 sampaidengan tabel 
8.8 disajikan ulang pada tabel  8.10 
 
Tabel 8.10 Jumlah penilaian dan Prioritas ketiga merek
Jumlah Prioritas
Merek
Nyaman Harga Nyaman Harga
Chevrolet (C) 7 3,25 0,14 0,27
Toyota (T) 3,5 3 0,28 0,41
Mazda (M) 1,75 2,5 0,57 0,43
 
Rasio Konsistensi pilihan Kenyamanan 
L =( 7 x 0,14) + (3,5 x 0,28) + (1,75 x 0,57) 
   = 2,9575 
 
KI = | 2,9575 – 3 | / 2 
     = 0,02125 
 
CR = 0,02125/0,58 
      = 0,037 atau 3,7% 

Rachmadi Triono Page 21


 
Rasio Konsistensi pilihan Harga 
 
L =( 3,25 x 0,27) + (3 x 0,41) + (2,5 x 0,43) 
   = 3,1825 
 
KI = | 3,1825 – 3 | / 2 
     = 0,09125 
 
RK = 0,09125/0,58 
      = 0,157 atau 15,7% 
 
Besarnya  RK  menunjukkan  tingkat  ketidak  konsistenan  pilihan  yang  dilakukan  pada  setiap 
level  keputusan.  Persoalannya  pada  nilai  RK  berapakah  ketidak  konsistenan  itu  masih  bisa 
ditolelir sehingga tidak mengacaukan keputusan yang harus diambil?  
Tidak  ada  aturan  yang  pasti  tentang  hal  itu.  Sebuah  rule  of  thumb  di  kalangan  praktisi 
menyebutkan  angka  10%.  Di  atas  itu  harus  dilakukan  penilaian  ulang  pada  level  keputusan 
dimana RK  bernilai di atas 10%. Namun kenapa 10%? Kenapa bukan 13%? 15%? 
Saya  sendiri  berdasarkan  pengalaman  dalam  konsultansi  yang  saya  lakukan  pada  klien‐klien 
saya, menggunakan rule : 10% adalah cukup. 15% masih bisa diakomodir asalkan mencerminkan 
keputusan yang sesungguhnya. Diatas 16% mungkin terlalu besar sehingga penilaian‐penilaian 
yang dilakukan harus diulang. 
 
Rasio Konsistensi Keseluruhan (RKK) 
 
Rasio  Konsistensi  Keseluruhan  merupakan  rerata  tertimbang  dari  KI  pada  level  sebelumnya 
dengan  timbangan  bobot  Kriteria  paling  atas  dari  tingkat  hirarki  dibagi  RI  (Random  Indeks) 
dengan  n  yang  digunakan  pada  pilihan  akhir  ditambah    perbandingan  KI/RI  pada  level  1 
(perhitungan  KI  pada  level  1  tidak  ditunjukkan,  katakanlah  dengan  perhitungan  yang  mirip 
dengan perhitungan di atas, KI pada level 1 (kriteria) adalah 0,089, sementara RI, yaitu Indeks 
Random Konsistensi, untuk 2 faktor nilainya nol ( 0 ). Maka: 
 
RKK  = KI1 /RI1 +   (wi x KIi ) / RI 

 
Pada contoh sebelumnya RKK dapat dihitung sebagai berikut: 
 
RKK = 0,089/0 + (0,7 x 0,02125) + (0,3 x 0,09125)  0,58 
         =  0,07 atau 7% 
 

Rachmadi Triono Page 22


 
Teknik AHP untuk Persoalan yang Lebih Kompleks 
Jika teknik AHP hanya digunakan untuk persoalan memilih mobil, memilih kandidat pemimpin, 
memilih  lokasi  pembuangan  sampah,  dan  hal‐hal  semacamnya  maka  hal  itu  sama  halnya 
dengan “menembak lalat menggunakan senapan Mauser. Teknik AHP seharusnya digunakan 
dalam  persoalan‐persoalan  yang  lebih  kompleks.  Misalkan,  dalam  hal  menentukan  prioritas 
kebijakan  perekonomian,  dalam  memperkirakan  pertumbuhan  ekonomi,  memperkirakan 
pertumbuhan Pangsa Pasar, memperkirakan strategi yang akan digunakan lawan, melakukan 
keputusan  apablia  melibatkan  lebih  banyak  pihak,  menentukan  portofolio  investasi,  dan  lain 
lain. 
Dalam keputusan‐keputusan yang kompleks semacam itu yang terpenting adalah kemampuan 
untuk  menggambarkan  mental  model  dari  keputusan  yang  akan  dilakukan,  dimana  mental 
model tersebut harus mengandung semua faktor yang relevan bagi keputusan secara lengkap, 
namun  tidak  mengandung  terlalu  banyak  faktor  sehingga  pengaruh  sebuah  faktor  atas  hasil 
akhir menjadi terlalu kecil, atau tidak berarti. 
Tidak  ada  aturan  baku  bagaimana  membuat  mental  model  yang  dibutuhkan.  Namun  mental 
model  seharusnya  mengandung  salah  satu  atau  bebarapa  tingkat  hirarki  yang 
menggambarkan: 
 
1. Dimensi jangka waktu 
2. Kriteria yang menjadi acuan keputusan 
3. Sub kriteria, apabila kriteria yang digunakan masih terlalu umum 
4. Pihak yang memutuskan 
5. Faktor‐faktor yang perlu dipertimbangkan, seperti: Lawan, Kebijakan pemerintah, dan 
lain‐lain 
6. Skenario yang merupakan gambaran masa depan yang terkait dengan sesuatu. 
 
Tahapan pembentukan Mental Model 
Mental  model  dibentuk  dengan  menggambarkan  kotak  tujuan  keputusan  pada  level  paling 
tinggi,  dan  alternatif‐alternatif  pilihan  pada  level  yang  paling  rendah.  Kemudian  mengisi  gap 
keduanya dengan salah satu atau beberapa tingkatan hirarki yang menggambarkan ke enam 
hal di atas, sebagaimana digambarkan pada figur 8.4 
Bagaimana Gap pada tingkatan keputusan bisa diisi seharusnya dikembalikan pada teori yang 
melandasi  keputusan  yang  diambil.  Misalnya  dalam  keputusan  Portofolio  Investasi.  Tujuan 
Investasi adalah komposisi aset investasi yang memberikan return paling tinggi pada tingkat 
risiko  tertentu  yang  merupakan  kombinasi  optimal  bagi  investasi  jangka  pendek  dan  jangka 
menengah.    Pada  persoalan  memilih  kebijakan  ekonomi  maka  level  hirarki  seharusnya 
menggambarkan  tujuan  dari  kebijakan  ekonomi  yang  akan  dipilih,  dan  sub  tujuan  dari  tujan 
yang  lebih  besar.  Barulah  pada  level  terakhir,  disediakan  alternatif‐alternatif  kebijakan 
ekonomi yang harus dipilih dengan menggunakan berbagai faktor dan kriteria di atasnya. 

Rachmadi Triono Page 23


 
Figur 8.4 Pengisian Gap Keputusan pada Keputusan Kompleks

Tujuan 
Keputusan 

   

       

       

Alaternatif 1  Alaternatif 2  Alaternatif 3 

 
Contoh 1: Mental Model Pemilihan Portofolio Investasi 
Sebagaimana  telah  dijelaskan  di  atas  bahwa  Mental  Model  portofolio  investasi  seharusnya 
disusun  berdasarkan  teori  portofolio.  Oleh  karena  itu  hirarki  yang  disusun  haruslah 
mengandung unsur‐unsur: 
 
1. Dimensi waktu : Jangka Pendek dan Jangka Menengah 
2. Kriteria Investasi: Return, Risk dan Kemudahan untuk diuangkan 
3. Skenario Ekonomi pada setiap dimensi waktu 
4. Alternatif aset investasi (Maksimal 7) 
 
Mental Model portofolio investasi yang mengakomodir keempat hal di atas  bisa diikuti pada 
figur 8.5. 
Perhitungan      yang  dilakukan  dalam  mengeksekusi  mental  model  yang  bersifat  kompleks 
sebaiknya tidak dilakukan secara manual, karena akan terlalu rumit dan membutuhkan banyak 
perhitungan, namun menggunakan software khusus untuk itu, misalnya Expert Choice. 
 
 

Rachmadi Triono Page 24


 
Figur 8.5 Mental Model Portofolio Investasi

Portofolio 
Asset 

J. Pendek  J. Menengah 

Ekonomi  Ekonomi  Ekonomi   


Status Quo  Membaik  Memburuk

Risk  Return  Likuidness   

Saham  Emas  Real Estate 

 
Contoh 2: Mental Model Memilih Kebijakan Ekonomi 
Contoh  lain  bagaimana  membentuk  Mental  Model  dapat  diikuti  pada  Figur  8.6.  yang 
merupakan  mental  model  bagi  keputusan  untuk  memilih  kebijakan  ekonomi,  di  antara 
substitusi impor, orientasi ekspor, atau agribisnis. Model Kebijakan ekonomi tersebut  dapat 
dilakukan dengan mengidentifikasi perspektif kebijakan ekonomi, yaitu penyediaan devisa dan 
permintaan  devisa.  Langkah  selanjutnya  adalah  menentukan  tujuan  dari  masing‐masing 
strategi pengembangan sektor ekonomi. Pada level berikutnya, adalah sub tujuan dari masing‐
masing  pengembangan  sektor  ekonomi.    Ini  didasarkan  pada  suatu  logika  bahwa  kebijakan 
ekonomi  yang  dipilih  didasarkan  atas  kemampuannya  dalam  menghasilkan  devisa  atau 
kemampuanna dalam melayani permintaan devisa. Prioritas keduanya harus ditentukan pada 
tingkat kebijakan. Jika Kebijakan ekonomi sudah ditentukan maka perlu dilakukan penajaman 
pada sektor ekonomi yang ingin dikembangkan sesuai dengan tujuan kebijakan ekonomi yang 
telah ditentukan. Tujuan pengembangan setiap sektor ekonomi juga harus dinyatakan secara 
spesifik untuk membentuk Mental Model tersebut. 
Dengan melakukan perbandingan berpasangan lapis demi lapis dalam hierarki permasalahan, 
bobot kebijakan ekonomi yang dipermasalahkan akan diperoleh.  
 

Rachmadi Triono Page 25


 
Figur 8.5 Pemilihan kebijakan ekonomi

Contoh 3: Mental Model untuk Skenario Bisnis Provider Telekomunikasi 
Contoh yang ketiga adalah mental model untuk memecahkan persoalan skenario pada bisnis 
jasa operator penyedia layanan seluler yang skenarionya telah diberikan pada Bab 4. Struktur 
model  AHP‐nya  dapat  dilihat  pada  Figur  8.6.    Mental  Model  ini  memiliki  tujuan  untuk 
menghitung  besarna  kemungkinan  (probabilitas)  terjadinya  skenario  masa  depan  bisnis 
penyedia  jasa  telpon  seluler.  Mengetahui    likely  hood  terjadinya  skenario  masa  depan  bisnis 
penyedia  jasa  telepon  seluler  bisa  dimanfaatkan  untuk  keputusan  memasuki  bisnis  tersebut 
atau  keluar  dari  bisnis  tersebut.  Dan  seandainya  keputusan  yang  dilakukan  tetap  memasuki 
bisnis  penyedia  jasa  telepon  seluler  maka  provider  seharusnya  telah  mempersiapkan  diri 
dengan sejumlah strategi untuk tetap lestari pada bisnis itu. 
Dengan  melakukan  perbandingan  berpasangan  lapis  demi  lapis  elemen  situasi 
permasalahan  maka  akan  diperoleh  prioritas  keseluruhan  dari  keempat  skenario  yang 
diperkirakan, di mana merupakan probabilitas terjadinya masing‐masing skenario. Probabilitas 
tentang terjadinya skenario  Dances with Wolf; Cut Throat; Sleeping with Enemies; atau Wired 
Society. 
 

Rachmadi Triono Page 26


 
Figur 8.6 Skenario bisnis penyedia jasa/layanan seluler

 
 
 
   

Rachmadi Triono Page 27


 
Referensi 
 
 
1. Checkland, Peter, 2000, Soft System Methodology: A Thirty Year Restropective, John 
Willey and Sons, Ltd 
 
2. Checkland,  Peter  and  Scholes,  1990,  Soft  System  Methodology  in  Action,  Wiley, 
Chichester 
 
3. Coelho,  Dulce;  Antunes,  Carlos.  H;  Martins,  Antonio  G,  Using  SSM  for  Structuring 
Decision  Support  in  Urban  Energy  Planning,  2010,  Technological  and  Economic 
Development of Economy 16(4):641‐653 
 
4. Howard,  Nigel,  1971,  Paradoxes  of  Rationality:  Theory  of  Metagames  and  Political 
Behavior,  dalam  McClennen,  Edward,  F,  1997,  Pragmatic  Rationality  and  Rules, 
Philosophy & Public Affairs 26 (3), 210‐258 
 
5. Saaty,  TL,  1990,  Decision  Making  for  Leaders:  The  Analytical  Hierarchy  Process  for 
Decisions in a Complex World, Pittsburgh, Pennsylvania: RWS Publications 

Rachmadi Triono Page 28


 

Anda mungkin juga menyukai