Anda di halaman 1dari 25

BIOKOMPOS

Oleh:
Rafika Nur Fadilah (1820801022)
Siska Erinda (1830801029)

Dosen Pengampu:
Ike Apriani, M. Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya jualah kami dapat menyelesaikan makalah
Mikrobiologi Industri mengenai Biokompos.
Makalah ini kami susun demi memahami materi yang akan dipelajari pada
semester ini. Kami selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Ike Apriani, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Mikrobiologi Industri
dan teman-teman sekalian yang senantiasa kami banggakan.
Kami berharap makalah ini sekurang-kurangnya dapat memberikan manfaat
bagi kita semua, walaupun kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam makalah ini. Maka dari itu kami menerima segala bentuk kritik
dan saran yang membangun untuk makalah yang lebih baik dikemudian hari.

Palembang, 1 Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................
A. Pengertian Biokompos...................................................................................
B. Mikroba Yang Terlibat Dalam Proses Biokompos........................................
C. Proses Pengomposan......................................................................................
D. Metode Pengomposan....................................................................................
E. Tahapan Pengomposan...................................................................................
F. Faktor Yang Mempengaruhi Biokompos.......................................................
G. Mekanisme Pembuatan Biokompos...............................................................
H. Biokimia Komposting....................................................................................
I. Cara Menguji Kualitas Kompos.....................................................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran ..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengomposan merupakan salah satu metode pengelolaan sampah
organik yang bertujuan mengurangi dan mengubah komposisi sampah
menjadi produk yang bermanfaat. Menurut Faatih (2012), pengomposan
merupakan salah satu proses pengolahan limbah organik menjadi material
baru seperti halnya humus. Kompos umumnya terbuat dari sampah organik
yang berasal dari dedaunan dan kotoran hewan, yang sengaja ditambahkan
agar terjadi keseimbangan unsur nitrogen dan karbon sehingga mempercepat
proses pembusukan dan menghasilkan rasio C/N yang ideal. Kotoran ternak
kambing, ayam, sapi ataupun pupuk buatan pabrik seperti urea bisa
ditambahkan dalam proses pengomposan (Sulistyorini 2005).
Kompos merupakan bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah
mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme
(bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya (Murbandono, 2007). Pupuk
kompos baik digunakan karena berbagai alasan seperti tidak merusak
lingkungan, tidak memerlukan biaya yang banyak, proses pembuatan yang
mudah dan bahan yang tidak sulit ditemukan. Bahan organik (kompos)
merupakan salah satu unsur pembentuk kesuburan tanah dan untuk
menghasilkan tanah yang subur, maka perlu ditambahkan bahan organik.
Pereira et al.(2014), bahwa bahan organik merupakan penyangga yang
berfungsi memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah.
Pengomposan adalah proses penguraian bahan organik oleh mikroba-mikroba
yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energy (Dewi dan
Treesnowati, 2012). Pembuatan kompos dilakukan dengan mengatur dan
mengontrol campuran bahan organik yang seimbang, pemberian air yang,
cukup, pengaturan aerasi, dan pemberian effective innoculant/aktivator
pengomposan (Manuputty dkk., 2012) Pengomposan merupakan upaya yang
sudah ada sejak lama digunakan untuk mereduksi sampah organik (Caceres et
al.,2015). Pemberian kompos pada tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah

1
seperti pembentukan agregat atau granulasi tanah serta meningkatkan
permiabilitas dan porositas tanah.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada materi ini, antara lain:
1. Apa pengertian dari Biokompos?
2. Mikroba apa saja yang Terlibat dalam Proses Biokompos?
3. Bagaimana Proses Pengomposan?
4. Apa saja Metode Pengomposan?
5. Bagaimana Tahapan Pengomposan?
6. Faktor apa saja yang mempengaruhi Biokompos?
7. Apa saja Mekanisme Pembuatan Biokompos?
8. Apa yang dimaksud Biokomia Komposting?
9. Bagaimana Cara Menguji Kualitas Kompos?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari materi ini ialah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dari Biokompos
2. Untuk mengetahui mikroba yang Terlibat dalam Proses Biokompos
3. Untuk mengetahui Proses Pengomposan
4. Untuk mengetahui Metode Pengomposan
5. Untuk mengetahui Tahapan Pengomposan
6. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Biokompos
7. Untuk mengetahui Mekanisme Pembuatan Biokompos
8. Untuk mengetahui Biokomia Komposting
9. Untuk mengetahui Cara Menguji Kualitas Kompos.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Biokompos
Pengomposan merupakan salah satu metode pengelolaan sampah
organik yang bertujuan mengurangi dan mengubah komposisi sampah
menjadi produk yang bermanfaat. Pengomposan juga merupakan salah satu
proses pengolahan limbah organik menjadi material baru seperti halnya
humus. Kompos umumnya terbuat dari sampah organik yang berasal dari
dedaunan dan kotoran hewan, yang sengaja ditambahkan agar terjadi
keseimbangan unsur nitrogen dan karbon sehingga mempercepat proses
pembusukan dan menghasilkan rasio C/N yang ideal [ CITATION EPS17 \l
1057 ].
Pengomposan adalah salah satu teknologi yang paling menjanjikan
untuk mengolah limbah dengan cara yang lebih ekonomis, selama berabad-
abad telah dilakukan pengomposan telah digunakan sebagai sarana untuk
mendaur ulang bahan organik kembali ke dalam tanah untuk memperbaiki
struktur dan kesuburan tanah. Pengomposan merupakan proses alami yang
mengubah bahan organik menjadi zat kaya gelap, zat ini disebut kompos
adalah kondisioner yang bagus untuk tanah, selama pengomposan
mikroorganisme seperti bakteri dan jamur memecah organik kompleks.
Senyawa menjadi zat yang lebih sederhana dan menghasilkan karbon
dioksida, air, mineral, dan organik yang distabilkan materi (kompos). Proses
menghasilkan panas, yang dapat menghancurkan patogen (mikroorganisme
penyebab penyakit) dan benih gulma [ CITATION Sal11 \l 1057 ].

B. Mikroba yang Terlibat dalam Proses Biokompos


Selama proses pengomposan, sejumlah jasad hidup seperti bakteri dan
jamur, berperan aktif dalam penguraian bahan organik kompleks menjadi
lebih sederhana. Untuk mempercepat perkembangbiakan mikroba, telah

3
banyak ditemukan produk isolat mikroba tertentu yang dipasarkan sebagai
bioaktivator dalam pembuatan kompos, salah satunya adalah Effective
Microorganisms 4 (EM4) yang ditemukan pertama kali oleh Prof. Teruo Higa
dari Universitas Ryukyus, Jepang. Larutan EM4 mengandung
mikroorganisme fermentor yang terdiri dari sekitar 80 genus, dan
mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam
fermentasi bahan organik. Dari sekian banyak mikroorganisme, ada tiga
golongan utama, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., dan jamur
fermentasi [ CITATION EPS17 \l 1057 ].

Gambar 1. Macam-Macam Mikroba yang Hidup Dalam Komposting.


Sumber: [ CITATION Sri16 \l 1057 ].

C. Proses Pengomposan

4
Menurut Tweib, et.al, (2011), proses pengomposan terbagi 2 jenis,
yaitu:

1. Aerobik
Pengomposan secara aerobik adalah proses penguraian sampah
organik dengan adanya oksigen (udara); produk dari proses ini termasuk
CO2, NH3, air dan panas yang mana dapat digunakan untuk mengolah
semua jenis sampah organik, tetapi pengomposan yang efektif
membutuhkan campuran bahan dan kondisi yang tepat. Hal ini termasuk
kandungan air di sekitar 60-70% dan rasio karbon terhadap nitrogen
(C/N) 30/1. Setiap variasi yang signifikan menghambat proses degradasi.
Umumnya kayu dan kertas menyediakan sumber karbon yang signifikan
sementara lumpur limbah dan sisa makanan menyediakan nitrogen.
Untuk memastikan pasokan oksigen yang cukup, ventilasi limbah, baik
paksa maupun pasif sangat penting.
2. Anaerobik
Pengomposan secara anaerobik adalah proses penguraian sampah
organik tanpa adanya O2, produknya adalah metana (CH4), CO2, NH3,
dan asam organik lainnya. Pengomposan anaerobik secara tradisional
digunakan untuk membuat kompos kotoran hewan dan lumpur kotoran
manusia, tetapi belakangan ini telah menjadi lebih umum untuk beberapa
limbah padat perkotaan dan limbah hijau untuk diolah dengan cara ini.

D. Metode Pengomposan
Menurut Tweib, et.al, (2011), metode pengomposan terdapat 5 macam
yaitu tumpukan statis (Static pile), windrow, in-vessel, vermicomposting, dan
komposter.
1. Tumpukan statis (Static pile)
Sistem pembuatan kompos lainnya yang lebih maju adalah Aerated
Static Pile. Secara prinsip proses composting ini hampir sama, dengan
windrow sistem, tetapi dalam system ini dipasang pipa yang dilubangi
untuk mengalirkan udara. Udara ditekan memakai blower. Karena ada

5
sirkulasi udara, maka tumpukan bahan baku yang sedang diproses dapat
lebih tinggi dari 1 meter. Proses itu sendiri diatur dengan pengaliran
oksigen. Apabila suhu terlalu tinggi, aliran oksigen dihentikan, sementara
apabila suhu turun aliran oksigen ditambah. Karena tidak ada proses
pembalikan, maka bahan baku kompos harus dibuat sedemikian rupa
homogeny sejak awal. Dalam pencampuran harus terdapat rongga udara
yang cukup. Bahan- bahan baku yang terlalu besar dan panjang harus
dipotong-potong mencapai ukuran 4 – 10 cm. Tumpukan kompos di tutup
dengan terpal plastik. Teknik ini dapat mempersingkat waktu
pengomposan hingga 3 – 5 minggu.

2. Windrow
Pada proses pengomposan dengan metode windrow, bahan baku
kompos ditumpuk memanjang dengan tinggi tumpukan 0,6-1 meter,
lebar 2-5 meter, serta panjang 40-50 meter. Metode ini memanfaatkan
sirkulasi udara secara alami, dimana optimalisasi tinggi, lebar, dan
panjang tumpukan kompos dipengaruhi oleh keadaan bahan baku,
kelembaban, ruang pori, serta sirkulasi udara untuk mencapai bagian
tengah tumpukan kompos. Tumpukan kompos tersebut harus dapat
melepaskan panas agar dapat mengimbangi pengeluaran panas yang
ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik oleh
mikroorganisme pengurai. Pada metode windrow ini, dilakukan proses
pembalikan secara periodik dengan tujuan untuk menjaga kestabilan
suhu dan kelembaban bahan kompos. periodic Inilah secara prinsip yang
membedakannya dari system pembuatan kompos yang lain. Kelemahan
dari system windrow ini adalah memerlukan areal lahan yang cukupluas

3. In-vessel
In vessel composting merupakan proses dimana material yang
dapat dikomposkan berada di sebuah container/tong yang tertutup
dengan tujuan memproduksi kompos. Dalam sistem ini, jenis-jenis tong
yang telah digunakan sebagai reaktor adalah menara vertikal (vertical

6
tower), tempat empat persegi panjang horisontal, dan tangki bundar.
Sistem pengomposan vessel dibagi menjadi 2 katagori utama, yaitu
aliran sumbat (plug flow) dan dinamik (agitated bed). Pada sistem aliran
sumbat, hubungan antara partikel pada masa tinggal sama dengan proses
keluar. Sedangkan pada sistem dinamik, bahan yang akan dikomposkan
selama proses dicampur secara mekanikk didesain untuk
meminimumkan bau dan dapat mengatur waktu proses dengan
mengontrol kondisi lingkungan seperti aliran udara, temperatur, dan
konsentrasi oksigen.

4. Vermicomposting
Vermicomposting adalah proses pembuatan kompos melalui
budidaya cacing. Vermicomposting menghasilkan dua macam produk
utama, yakni biomassa cacing dan kascing (bekas cacing).
Vermikomposting berbeda dari pengomposan tradisional dalam
beberapa hal. Proses vermicomposting lebih cepat dari pada
pengomposan tradisional, karena bahan-bahan organik melewati sistem
pencernaan cacing tanah yang mengandung banyak aktivitas
mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi bahan organik
Cacing tanah memiliki peranan yang penting dalam menghancurkan
bahan organik sehingga dapat memperbaiki aerasi dan struktur tanah.
Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman
menjadi baik. Keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan populasi
mikroorganisme yang bermanfaat bagit anaman. Cacing tanah juga dapat
mendekomposisi sampah organik menjadihumus. Pada umumnya cacing
tanah yang digunakan pada proses vermicomposting adalah cacing tanah
jenis epigeic. Cacing tanah epigeic merupakan cacing tanah pemakan
sampah. Cacing tanah epigeic memiliki produktivitas tertinggi.

5. Komposter (Bin Composter)


Bin composting adalah sebuah metode pengomposan yang diterapkan
untuk penanganan bangkai unggas, pengomposan kotoran ternak dalam

7
jumlah yang sedikit dan umumnya digunakan untuk pengomposan
sampah halaman berupa rumput, dedaunan, ataupun ranting. Metode ini
dilakukan dengan sistem penyusunan petakan seri. Seluruh bahan
kompos harus disusun secara berlapis hingga mencapai volume penuh.
Ragam petakan didesain dengan bilah kayu, kombinasi bilah kayu dan
kawat tenun, serta blok semen.

E. Tahapan Pengomposan
Secara umum proses pengomposan bahan organik terbagi dalam 4
(empat) fase yaitu fase mesofilik, fase termofilik, fase pendinginan, dan fase
pemasakan.
1. Fase mesofilik.
Pada awal proses pengomposan mikroba yang aktif adalah mikroba
dari kelompok mesofilik. Tumpukan bahan yang akan dikomposkan
mempunyai nilai pH ± 6,0 dan temperatur ± 18 – 22°C sesuai dengan
kondisi bahan dan lingkungannya [ CITATION Bad07 \l 1057 ].
2. Fase termofilik.
Sejalan dengan adanya aktivitas mikroorganisme (terutama bakteri)
di dalam tumpukan, maka temperatur akan naik. Pada kenaikan
temperatur diatas 40°C, aktivitas bakteri mesofilik akan terhenti dan akan
digantikan oleh kelompok jamur termofilik. Aktifitas jamur termofilik
akan membentuk ammoniak dan gas nitrogen, sehingga nilai pH akan
berubah menjadi basa. Selama ada aktifitas mikroorganisme, temperatur
tumpukan akan terus meningkat. Pada saat temperatur di atas 60°C,
kelompok jamur termofilik akan mati dan selanjutnya kelompok bakteri
dan actinomycetes termofilik akan aktif mendegradasi dan bertugas
mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat
terdegrasi dengan cepat. [ CITATION Bad07 \l 1057 ]. Mikroorganisme
berupa jamur termofilik mampu merombak selulosa dan hemiselulosa,
kemudian proses dekomposisi mulai melambat dan temperature puncak
tercapai. Setelah temperature puncak tercapai tumpukan mencapai

8
kestabilan dimana bahan lebih mudah terdekomposisikan [ CITATION
TAB14 \l 1057 ].
3. Fase pendinginan dan fase pematangan.
Jumlah mikroorganisme termofilik berkurang karena bahan
makanan juga berkurang, hal ini menyebabkan mikroorganisme
Mesofilik mulai beraktifitas kembali. Mikroorganisme akan merombak
selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya menjadi
gula yang lebih sederhana. Bahan yang didekomposisi menurun
jumlahnya dan panas yang dilepaskan relative kecil [ CITATION TAB14 \l
1057 ].

F. Faktor yang Mempengaruhi Biokompos


1. Rasio C/N
Salah satu aspek yang paling penting dari keseimbagan hara total
adalah rasio organik karbon dengan nitrogen (C/N). Rasio C/N bahan
organik adalah pebandingan dari banyaknya unsur organik karbon (C)
terhadap banyaknya unsur nitrogen (N) yang ada didalam bahan organik.
Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan
N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 - 40 mikroba
mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Jika
rasio C/N tinggi maka aktivitas mikroorganisme akan menurun sehingga
memerlukan beberapa siklus untuk mendegradasi bahan organik sehingga
akan memperlambat dalam proses dekomposisi dan menghasilkan mutu
kompos yang rendah, jika rasio C/N terlalu rendah maka,
mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui
volatisasi sebagai amoniak [ CITATION Pra18 \l 1057 ].
Proses komposting akan berjalan optimal apabila bahan yang
dikomposkan memiliki kandungan C dan N dengan rasio 30 : 1 (atau
dalam kisaran 20 : 1 sampai 40 : 1). Oleh karena itu apabila bahan
yang dikomposkan rasionya kurang atau lebih tinggi dari nilai tersebut
sebaiknya dikondisikan terlebih dahulu. Contoh bahan limbah yang
mengandung C tinggi adalah kertas, serbuk gergaji, serat, kayu dan

9
jerami kering. Sedangkan bahan yang mengandung N tinggi adalah
kotoran ayam, sampah makanan, limbah hijauan, kotoran sapi, dan
sebagainya [ CITATION Sri16 \l 1057 ].

Gambar 2. Kandungan N dan rasio C/N berbagai Jenis Sampah


Sumber: [ CITATION Sri16 \l 1057 ].

2. Mikroba
Mikroba merupakan faktor penting dalam proses pengomposan
sebab mikrobalah yang nantinya akan menguraikan material organik
yang akan dijdikan kompos. berbagai jenis mikroba secara alamiah
telah ada di dalam semua jenis sampah organik yang dikomposkan.
Semakin beragam material sampah yang dikomposkan, semakin
beragam pula mikroba yang tersedia [ CITATION Sri16 \l 1057 ].
3. Ukuran Partikel
Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara
mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat.
Ukuran partikel juga menentukan besarannya ruang antar bahan

10
(porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan
memperkecil ukuran partikel bahan tersebut [ CITATION Pra18 \l 1057 ].
Ukuran sampah yang ideal untuk komposting yang aerasinya
berlangsung secara alamiah adalah antara 2 sampai 5 cm. Oleh karena
itu:
a. Jika ukuran bahan terlalu besar, perlu pencacahan terlebih dahulu
b. Jika ukuran bahan terlalu kecil, perlu ditambahkan material yang
ukurannya lebih besar agar aerasinya optimal

Gambar 3. Proses Penguraian Partikel Organik


Sumber: [ CITATION Sri16 \l 1057 ]

4. Ukuran Tumpukan
Ukuran tumpukan berpengaruh terhadap suhu dan aerasi
komposting. Pada suhu, jika semakin besar tumpukan, panas yang terjadi
pada awal proses komposting akan tersimpan sehingga suhu
tumpukan menjadi tinggi. Tumpukan yang besar efek isolasi
(menyimpan panas) lebih baik dari tumpukan yang berukuran kecil.
Semakin kecil tumpukan, panas yang terjadi mudah lepas ke
lingkungan sekitar sehingga suhu tumpukan cepat turun atau tidak
dapat tinggi. Sementara itu pengaruhnya terhadap aerasi adalah: Semakin
besar tumpukan, aerasi alamiah akan semakin berkurang sehingga
proses komposting kekurangan udara akibatnya prosesnya akan
semakin lambat atau bahkan berubah menjadi proses anaerobik yang
menghasilkan bau busuk. Dimensi ukuran tumpukan yang optimal agar
aerasi berjalan baik dan suhunya tinggi adalah: tinggi 1,5 – 1,8 meter;

11
Lebar : 2,5 – 2,7 meter; Panjang : lebih dari 3 meter [ CITATION Sri16 \l
1057 ].
5. Aerasi
Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan
(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses
anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat
ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di
dalam tumpukan kompos [ CITATION Pra18 \l 1057 ].
6. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan
kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi
dengan volume total. Rongga rongga ini akan diisi oleh air dan udara.
Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan. Apabila
rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan
proses pengomposan juga akan terganggu [ CITATION Pra18 \l 1057 ].
7. Kelembaban
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay
oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila
bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah
kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di
bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan
lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar
dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas
mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang
menimbulkan bau tidak sedap [ CITATION Pra18 \l 1057 ].
8. Temperatur
Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen
dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu
dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang
berkisar antara 30-60ºC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat.
Suhu yang lebih tinggi dari 60ºC akan membunuh sebagian mikroba dan

12
hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu
yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba pathogen tanaman
dan benih-benih gulma [ CITATION Pra18 \l 1057 ].
9. pH
pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5
sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4.
Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan
organik dan pH bahan itu sendiri. pH kompos yang sudah matang
biasanya mendekati netral [ CITATION Pra18 \l 1057 ].
10. Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan
bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan
dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan [ CITATION
Pra18 \l 1057 ].
11. Waktu
Semakin lama waktu pengomposan maka kadar karbon dalam
pupuk kandang semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh mikroba yang
menggunakan karbon untuk berkembangbiak. Jika kadar karbon semakin
menurun maka mikroba tidak dapat memperbanyak diri dan proses
pengomposan pun melambat [ CITATION Lin17 \l 1057 ].
12. Homogenitas Campuran
Agar proses komposting berjalan merata pada seluruh
tumpukan, maka bahan harus tercampur homogen. Hal ini dapat
dicapai dengan cara pencampuran bahan. Pencampuran dapat
dilakukan pada awal proses yaitu untuk memperoleh komposisi bahan
baku yang ideal dan pada saat pembalikan, yaitu untuk
mencampurkan bahan dari bagian luar dengan bagian dalam
tumpukan.

G. Mekanisme Pembuatan Kompos


Menurut Utomo & Juli (2018), adapun mekanisme pembuatan kompos
dengan metode Hot composting, ialah:

13
1. Pencacahan. Pencacahan bertujuan untuk memudahkan makroorganisme
dan mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik yang
digunakan alat yang akan digunakan adalah Mesin Grinding (mesin
pencacah). Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak
antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih
cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarannya ruang antar bahan
(porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan
memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
2. Penimbangan. Pada proses penimbangan memerlukan beberapa alat
seperti timbangan. Tujuan dari penimbangan ini agar perbandingan
jumlah bahan dapat dipantau sebagai berat awal bahan organik yang
digunakan.
3. Penumpukan. Proses penumpukan bahan organik pada penelitian ini akan
menggunakan metode Hot Composting, dengan suhu yang dihasilkan
mencapai suhu termofilik yaitu pada suhu 50ºC - 60ºC pada hari ke-4.
Tumpukan yang digunakan yaitu tinggi 1,5 meter dan lebar 1,5 meter.
Bahan yang digunakan dapat berupa daun kering dan sampah sayuran
dengan perbandingan 3:2.
4. Pemantauan. Pemantauan bertujuan untuk mempertahankan parameter
makro yang dapat menguntungkan dalam proses dekomposisi. Pada
proses pemantauan yang akan lebih diukur adalah suhu, pH, kelembaban,
dan aerasi.
5. Pembalikan. Proses pembalikan bertujuan untuk mempertahankan
parameter yang dipantau, selain itu proses pembalikan akan menentukan
kematangan dari kompos yang dibuat. Proses pembalikan dilakukan
setiap 2 hari sekali dihitung dari proses pemeraman awal penumpukan
hingga hari ke 4.
6. Pengayakan. Proses pengayakan ini bertujuan untuk memisahkan partikel
kompos sesuai dengan ukurannya. Selain itu proses pengayakan akan
merubah ukuran kompos mejadi lebih kecil.

14
H. Biokimia Komposting
Di dalam produk kompos, materi organik seperti protein, lemak,
polisakarida gula, asam amino dsb. telah dimanfaatkan sebagai sumber C dan
N oleh mikroorganisme. Secara prinsip kompos adalah substansi humik.
Materi organik itu sangat heterogen. Pada prinsipnya, materi organik
meliputi karbohidrat dan gula, protein, lemak, hemiselulosa, selulosa, lignin
dan mineral. Tiga senyawa yang pertama disebutkan mudah diuraikan,
sedangkan hemiselulosa, selulosa dan lignin lebih sulit. Sementara itu,
mineral tidak teruraikan secara biologis. Selama proses komposting,
mikroorganisme memakai oksigen dan melepaskan CO2 dan air. Materi
organik diubah menjadi kompos. Secara sederhana persamaam kimianya
adalah sebagai berikut:

Gambar 4. Reaksi Kimia Proses Komposting


Sumber: [ CITATION Sri16 \l 1057 ].

I. Cara Menguji Kualitas Kompos


Menurut Krispedana, Setiyo, & Madrini (2017), terdapat beberapa hal
yang harus diuji untuk menilai kualitas dari kompos, antara lain:
1. Uji kadar air
a. Penimbangan berat ring sampel (W0)
b. Penimbangan ring sampel dan berat sampel dengan timbangan
analitik (W1) berat sebenarnya adalah (W1 - W0)
c. Oven sampel pada suhu 105°C dalam waktu 24 jam didapatkan berat
konstan sampel atau berat kering sampel. Perhitungan kadar air
bahan kompos : Kadar air (%) = (W0− W1) / W0 x 100%
2. Uji pH atau derajat keasaman
a. Sampel kompos ditimbang sebanyak 10 gram
b. Memasukan sampel kedalam botol kocok dan di tambahkan aquades
sebanyak 15ml.

15
c. Kocok sampel selama 30 menit dengan menggunakan mesin kocok.
d. Ukur sampel dengan pH yang sudah dikalibrasi dengan larutan
buffer pH 7.0 dan pH 0.4.
3. Pengujian C-organik
Prosedur yang dilakukan dalam uji kandungan COrganik dengan
metode Welkey dan Black adalah sebagai berikut :
a. Menimbang 0,05 – 0,10 gram sampel kompos yang sudah halus dan
dimasukan ke dalam labu takar volum 100ml.
b. Menambahkan 5ml larutan K2Cr2O7 2 N kemudian dikocok dan
menambahkan 7ml H2S04 pa 98% dan dikocok kembali sampel
kompos didiamkan selama 30 menit dan jika diperlukan kocok
kembali.
c. Kompos yang mengandung standar 250 ppm C, perlu ditambahkan
5ml larutan standar 5000 ppm C ke dalam labu takar volum 100ml.
kemudian ditambahkan 5ml H2S04 dan K2Cr2O7 2 N dengan
perlakuan seperti di atas.
d. Dikerjakan blangko yang akan dipergunakan standar 0 ppm C.
e. Setiap sampel dilarutkan dengan menggunakan air bebas ion dan
setelah didinginkan volum disesuaikan hingga 100ml selanjutnya
dikocok sampai mencapai homogen dan didiamkan selama semalam.
f. Setelah semalam didiamkan sampel ukur menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 650nm. Adapun
perhitungan yang digunakan untuk memperoleh hasil C-Organik
yaitu sebagai berikut: Kandungan C-Organik. (%)= ppm kurva x
100/mg contoh x fk
Keterangan:
Ppm kurva.= contoh kadar yang diperoleh di kurva regresi.
Hubungan antara deret kadar standar dengan pembacanya setelah
dikurangi blangko.
Fk = factor koreksi kadar air =100/(100% kardar air)
4. Pengujian N-organik

16
Uji N-Total dengan mempergunakan metode Kjeldhal adalah
sebagai berikut:
a. Mengambil 500 gram sampel, kemudian masukan ke labu Kjeldhal
volum 25ml.
b. Tambahkan sampel dengan 9,1 campuran, Se, CuSO4, Na2SO4.
c. Sampel ditambahkan 5ml H2SO4 yang pekat ke dalam labu dan
kocok dengan perlahan hingga sampel basah, dan jaga agar sampel
tidak memercik ke dinding labu.
d. Menambahkan 5 tetes parafin cair pada sampel panaskan labu
dengan perlahan gunakan api kecil hingga cairan berubah warna
kehijauan kemudian panaskan kembali selama 15 menit kemudian
didinginkan.
e. Tambahkan air sebanyak 50ml pada sampel lalu digoyangkan
perlahanlahan lalu pindakan sampel ke dalam labu dan tidak boleh
melebihi dari kapasitas labu.
f. Menambahkan Na0H 50% sebanyak 5ml.
g. Lakukan destilasi.kemudian hasil dari destilasi disimpan di dalam
elenmeyer 125ml yang telah disi campuran 100ml H3BO4 4% dan 5
testes indicator conwai, lalu mengisi destilat 100ml.
h. Mentitrasi destilasi dengan menggunakan HCl yang telah di bekukan
hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi merah.
%N= 𝐼𝑠𝑖 𝐻𝐶𝑙 (𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙−𝑏𝑙𝑎n𝑔𝑘𝑜)𝑥 𝑁𝐻𝐶𝑙 𝑥 14 𝑥 100
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝑔)
5. Uji C/N rasio
Agar mengetahui kualitas kompos dan tingkat kematangannya
harus melakukan pengukuran rasio C/N kompos sebagai berikut:
Rasio C/N = 𝐶−𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘
𝑁−𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
6. Uji Kadar Abu (Volatile Solid)
Uji kadar abu dikerjakan dengan menggunakan metoda
gravimetrik. Tahapan awal yang dikerjakan yaitu menimbang berat
sampel kompos awal (W0), berikutnya oven sampel kompos pada suhu

17
550ºC selama 24jam sehingga diperoleh berat kering sampel (W1),
kompos yang telah dioven berikutnya di hitung kadar abunya dengan
menggunakan rumus: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 (%) = 𝑊1/𝑊0 𝑥 100% .

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengomposan adalah salah satu teknologi yang paling menjanjikan untuk
mengolah limbah dengan cara yang lebih ekonomis, selama berabad-abad
telah dilakukan pengomposan telah digunakan sebagai sarana untuk mendaur
ulang bahan organik kembali ke dalam tanah untuk memperbaiki struktur dan
kesuburan tanah. Pengomposan merupakan proses alami yang mengubah
bahan organik menjadi zat kaya gelap, zat ini disebut kompos adalah
kondisioner yang bagus untuk tanah, selama pengomposan mikroorganisme
seperti bakteri dan jamur memecah organik kompleks.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada makalah ini perlu dilakukan
telaah pustaka lebih lanjut melalui dari jurnal penelitian terbaru secara
lengkap sehingga pengetahuan yang terdapat didalam makalah bertambah

19
DAFTAR PUSTAKA

BambangIrawan, T. (2014). Pengaruh Susunan Bahan Terhadap Waktu


Pengomposan Sampah Pasar Pada Komposter Beraerasi. METANA, Vol.
10 No. 01, Hal. 18-24.

Caceres, R., N. Coromina, K. Malin´ska, O. Marfà. 2015. Evolution of process


control parameters during extended co-compost of green waste and solid
fraction of cattle slurry to obtain growing media. Bioresource Technology.
179: 398-406.

Dewi, Y.S. dan Treesnowati. 2012. Pengolahan sampah skala rumah tangga
menggunakan metode composting. Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik
LIMIT’S. 8(2): 35-48.

Faatih M. 2012. Dinamika Komunitas Aktinobakteria Selama Proses


Pengomposan. Jurnal Kesehatan 15(3):611-618

Krispedana, I. W., Setiyo, Y., & Madrini, B. (2017). Kajian Efektivitas Beberapa
Model Tumpukan Pada Pengomposan Kotoran Sapi dan Jerami. JURNAL
BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN), Volume 10, No 1,
Halaman 1-10.

Murbandono, H.S.L., 2007. Membuat Kompos. Jakarta.

Manuputty, M. C., A. Jacob dan J.P. Haumahu, 2012.Pengaruh Effective


Inoculant Promi Dan Em4 Terhadap Laju Dekomposisi dan Kualitas
Kompos Dari Sampah Kota Ambon. Agrologia Jurnal Ilmu Budidaya
Tanaman, Vol. 1, No. 2, Hal. 143151 (Oktober 2012), ISSN 2301-7287.

Pereira, da S.A., B.L. Carlos., F.J. Cezar., R. Ralisch., M. Hungria., and G.M. De
Fatima, 2014. Soil Structure and Its Influence On Microbial Biomass In
Different Soil and Crop Management Systems. Soil & Tillage Research,
Vol. 142, pp. 42– 53.

Suwatanti, E., & Widiyaningrum, P. (2017). Pemanfaatan MOL Limbah Sayur


pada Proses Pembuatan Kompos. Jurnal MIPA, Volume: 40. No: 1.
Halaman: 1-6. ISSN 0215-9945.

Sulistyorini L. 2005. Pengelolaan Sampah dengan Cara Menjadikannya Kompos.


Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2(1): 77-84

Trivana, L., & Pradhana, A. Y. (2017). Optimalisasi Waktu Pengomposan dan


Kualitas Pupuk Kandang dari Kotoran Kambing dan Debu Sabut Kelapa
dengan Bioaktivator PROMI dan Orgadec. JSV: Jurnal Sain Veteriner,

20
Volume 35 Nomor 1 Halaman 136-144. ISSN: 0126-0421/e-ISSN: 2407-
3733.

Tweib, S. A., Rahman, R. A., & Kalil, M. S. (2011). A Literature Review on the
Composting. International Conference on Environment and Industrial
Innovation, Vol: 12. Halaman: 124-127.

Utomo, P. B., & J. N. (2018). Evaluasi Pembuatan Kompos Organik dengan


Menggunakan Metode Hot Composting. Jurnal Teknologi Lingkungan,
Volume 2 Nomor 01 Halaman 28-32.

Wahyono, S., Sahwan, F. L., & Suryanto, F. (2016). Komposting Sampah Kota
Skala Kawasan. Jakarta: BPPT Press.

Zaman, B., & Priyambada, I. B. (2007). Pengomposan dengan Menggunakan


Lumpur dari Instalasi Pengolahan Air Limbah Kertas dan Sampah
Domestik Organik. TEKNIK, Vol. 28 No. 2, Halaman: 158-166 ISSN
0852-1697.

21

Anda mungkin juga menyukai