Anda di halaman 1dari 19

PENGELOLAAN SAMPAH

“Pengolahan Sampah Organik dengan Cara Pengomposan dan Vermikomposting"

Dosen pengampu : Catur Puspawati, ST. MKM

Disusun Oleh

Kelompok 2 :

Putri Widiawati Zalfa P21345119060

Revalina Novitanisa P21345119068

Tenar Gebri Pusar L P21345119086

Zahrah Nanda Elvira P21345119089

Kelas 2 D3B

PROGRAM STUDI D-III KESEHATAN LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah Pengelolaan Sampah yang berjudul Pengolahan Sampah Organik dengan Cara
Pengomposan dan Vermikomposting dengan baik dan tepat pada waktunya. Sholawat serta
salam kami haturkan kepada Nabi Besar Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, beserta
keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya.

Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan kami bisa
mengaplikasikannya.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan
Sampah. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut serta dalam
pembuatan makalah ini.

Selain itu, kami sadar bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak yang harus
diperbaiki, maka dari itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
supaya kedepannya bisa lebih baik lagi.

Jakarta, Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................2

1.3. Tujuan...........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................3
2.1 Pengertian Kompos, Jenis dan Manfaat Kompos ........................................................3

2.2 Peralatan dan Baham Pembuatan Kompos...................................................................6

2.3 Prosedur Pembuatan Kompos......................................................................................7

2.4 Pengertian Vermikompsoting, Jenis dan Manfaat........................................................8

2.5 Peralatan dan Bahan Pembuatan Verkomposting.........................................................9

2.6 Prosedur Pembuatan Verkomposting...........................................................................9

BAB III PENUTUP..................................................................................................................12


3.1. Kesimpulan.................................................................................................................12

3.2. Saran...........................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................13

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persampahan telah menjadi suatu agenda permasalahan utama yang dihadapi oleh hampir
seluruh perkotaan di Indonesia. Keterbatasan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
menangani permasalahan tersebut menjadi tanda awal dari semakin menurunnya sistem
penanganan permasalahan tersebut (Wibowo & Darwin, 2002).Pemerintah dan masyarakat
Indonesia harus lebih mengembangkan sistem pengelolaan sampah organik yang selama ini
hanya memenuhi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Darmasetiawan (2004) mengatakan
bahwa pada umumnya Negara –Negara berkembang memiliki karakteristik sampah dengan
komposisi organik yang lebih tinggi dibandingkan dari Negara dengan tingkat perekonomian
yang lebih maju.
Melihat banyaknya timbulan sampah berupa sampah organik yang dihasilkan masyarakat,
terlihat potensi untuk mengelola sampah organik tersebut menjadi kompos. Berbagai metode
pengomposan telah banyak dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesiamulai dari
teknologi sederhana sampai yang menggunakan peralatan canggih, salah satunya adalah
vermikompos. Vermikompos merupakan pengomposan dengan memanfaatkan cacing tanah
sebagai perombak atau dekomposer, inokulasi cacing tanah dilakukan pada saat kondisi
material organik sudah siap menjadi media tumbuh (kompos setengah matang).
Pemanfaatan cacing sebagai organisme pengurai sampah organik merupakan suatu
terobosan untuk mendapatkan pupuk organik yang aman lingkungan dan menghasilkan
kandungan hara yang optimal. Kotoran atau feces cacing tanah merupakan bahan yang kaya
akan nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Proses pengelolaan sampah dengan
menggunakan cacing ini memberikan manfaat ganda, karena cacing menggunakan sampah
sebagai konsumsinya dapat berkembangbiak dan dapat dipasarkan dengan nilai ekonomi
yang tinggi. Dengan cara-cara tersebut maka dapat pula diperoleh nilai ekonomi ganda dan
pengelolaan sampah dengan menggunakan cacing tersebut, yaitu dari hasil pupuk organik
dan hasil budidaya cacing. Dengan pertimbangan ini proses pengelolaan sampah dengan
menggunakan cacing sebagai salah satu organisme pengurai sampah organik dapat dijadikan
salah satu altematif untuk diterapkan di masyarakat.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kompos, jenis dan manfaat kompos?
2. Apa saja peralatan dan bahan pembuatan kompos?
3. Bagaimana dengan prosedur pembuatan kompos?
4. Apa pengertian vermicomposting serta jenis dan manfaat ?
5. Apa saja peralatan dan bahan pembuatan vermicomposting?
6. Bagaimana dengan prosedur pembuatan vermicomposting ?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui pengertian kompos, jenis dan manfaat kompos
2. Mengetahui peralatan dan bahan pembuatan kompos
3. Mengetahui prosedur pembuatan kompos
4. Mengetahui vermicomposting serta jenis dan manfaat
5. Mengetahui peralatan dan bahan pembuatan vermicomposting
6. Mengetahui prosedur pembuatan vermicomposting

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kompos, Jenis dan Manfaat Kompos

Kompos merupakan jenis pupuk yang berasal dari hasil akhir penguraian sisa-sisa hewan
maupun tumbuhan yang berfungsi sebagai penyuplai unsur hara tanah sehingga dapat digunakan
untuk memperbaiki tanah secara fisik, kimiawi, maupun biologis (Sutanto, 2002). Secara fisik,
kompos mampu menstabilkan agregat tanah, memperbaiki aerasi dan drainase tanah, serta
mampu meningkatkan kemampuan tanah menahan air. Secara kimiawi, kompos dapat
meningkatkan unsur hara tanah makro maupun mikro dan meningkatkan efisiensi pengambilan
unsur hara tanah. Sedangkan secara biologis, kompos dapat menjadi sumber energi bagi
mikroorganisme tanah yang mampu melepaskan hara bagi tanaman.

Kompos dapat dibuat dari berbagai bahan organik yang berasal dari limbah hasil
pertanian dan non pertanian (Harizena, 2012). Limbah hasil pertanian yang dapat dijadikan
sebagai kompos antara lain berupa jerami, dedak padi, kulit kacang tanah, dan ampas tebu.
Sedangkan, limbah hasil non pertanian yang dapat diolah menjadi kompos berasal dari sampah
organik yang dikumpulkan dari pasar maupun sampah rumah tangga. Bahan-bahan organik
tersebut selanjutnya mengalami proses pengomposan dengan bantuan mikroorganisme pengurai
sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal ke lahan pertanian. Pada lingkungan terbuka, proses
pengomposan dapat berlangsung secara alami. Melalui proses pengomposan secara alami, bahan-
bahan organik tersebut dalam waktu yang lama akan membusuk karena adanya kerja sama antara
mikroorganisme dengan cuaca. Proses tersebut dapat dipercepat dengan menambahkan
mikroorganisme pengurai sehingga dalam waktu singkat akan diperoleh kompos yang
berkualitas baik (Widarti et al., 2015).

Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) bahan organik oleh


mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol dengan hasil akhir berupa humus
dan kompos (Murbandono, 2008). Pengomposan bertujuan untuk mengaktifkan kegiatan
mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Selain itu, pengomposan
juga digunakan untuk menurunkan nisbah C/N bahan organik agar menjadi sama dengan nisbah
C/N tanah (10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah oleh tanaman. Agar proses

3
pengomposan berlangsung optimum, maka kondisi saat proses harus dikontrol. Berdasarkan
ketersediaan oksigen bebas, mekanisme proses pengomposan dibagi menjadi 2, yaitu
pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pengomposan secara aerobik merupakan proses
pengomposan yang memerlukan ketersediaan oksigen. Oksigen diperlukan oleh mikroorganisme
untuk merombak bahan organik selama proses pengomposan berlangsung. Sedangkan
pengomposan secara anaerobik merupakan proses pengomposan yang tidak memerlukan
ketersediaan oksigen, namun hanya memerlukan tambahan panas dari luar (Sutanto, 2002).

Kualitas kompos ditentukan oleh tingkat kematangan kompos seperti : warna, tekstur,
bau, suhu, pH, serta kualitas bahan organik kompos. Bahan organik yang tidak terdekomposisi
secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman.
Penambahan kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya
persaingan penyerapan bahan nutrient antara tanaman dan mikroorganisme tanah. Menurut
Sutanto (2002), keadaan tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman.
Kompos yang berkualitas baik diperoleh dari bahan baku yang bermutu baik. Kompos
yang berkualitas baik secara visual dicirikan dengan warna yang cokelat kehitaman menyerupai
tanah, bertekstur remah, dan tidak menimbulkan bau busuk. Beragamnya bahan baku serta teknik
pembuatan kompos tentunya sangat berpengaruh terhadap kualitas serta kandungan kompos yang
dihasilkan. Agar kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas baik, maka diperlukan adanya
standar yang digunakan sebagai acuan, salah satunya adalah SNI 19-7030-2004 tentang
spesifikasi kompos. Berikut disajikan tabel tentang spesifikasi kompos berdasarkan SNI 19-
7030-2004.

Kompos dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Berbagai jenis kompos yaitu di antaranya
kompos cacing, bagase, dan bokashi.

1. Kompos Cacing, merupakan kompos yang dihasilkan melalui kerja sama antara
mikroorganisme dan cacing tanah dalam mekanisme proses penguraian bahan organik.
Kehadiran cacing tanah membantu proses penguraian bahan-bahan organik yang
kemudian akan diurai kembali oleh mikroorganisme. kompos cacing dikenal juga sebagai
casting. Casting mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman seperti
fosfor, nitrogen, mineral, dan vitamin. Selain itu, nilai C/N dari casting ini kurang dari 20
sehingga dapat digunakan untuk pemupukan.

4
2. Kompos bagasse, merupakan pupuk yang berasal dari ampas tebu hasil limbah padat
industri pabrik gula. Limbah bagase mempunyai potensi yang besar sebagai bahan
organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Limbah bagase dapat diolah menjadi
pupuk dan diaplikasikan kembali ke tanah untuk menyuburkan tanah dan membantu
proses pertumbuhan tanaman tebu. Namun dalam proses pembuatannya diperlukan waktu
cukup lama dan perlakuan yang khusus seperti penambahan mikroorganisme selulotik
karena nisbah C/N dari bagase yang tinggi sekitar 220.

3. Kompos bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari bahan organik yang difermentasikan
dengan teknologi Effective Microorganisms 4 (EM4). Jenis mikroorganisme yang
terdapat dalam EM4 antara lain Lactobacillus sp., Actinomycetes, Khamir, dan
Streptomyces. EM4 adalah suatu kultur campuran terdiri dari mikroorganisme dalam
media cair berfungsi untuk memfermentasikan bahan-bahan organik dalam tanah dan
sampah, sehingga menguntungkan bagi kesuburan tanah. Selain itu, EM 4 membantu
dalam merangsang perkembangan mikroorganisme dan bermanfaat bagi tanaman, seperti
pengikat nitrogen, pelarut fosfat, dan mikroorganisme yang bersifat merugikan dan
menimbulkan penyakit tanaman. EM4 juga mampu mempercepat proses dekomposisi
sampah organik sehingga cocok digunakan untuk pengomposan.

Kompos sebagai salah satu pupuk organik sangat baik dan bermanfaat untuk segala jenis
tanaman. Pupuk ini digunakan untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman pertanian,
dan bahkan tanaman hias. Hanya dengan menaburkannya di permukaan tanah, maka sifat-sifat
tanah yang baik dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan lagi. Apalagi untuk kondisi tanah hasil
pembukaan lahan baru, biasanya pada area tersebut kesuburan tanah menurun karena pembukaan
lahan identik dengan pembakaran atau penghilangan top soil. Oleh karena itu, kesuburan tanah
perlu dikembalikan dan dipercepat dengan ditambahkan pupuk. Manfaat kompos dapat dilihat
dari aspek ekonomi, aspek lingkungan, serta aspek bagi tanah dan tumbuhan.

1. Dari aspek ekonomi, pupuk ini memanfaatkan bahan-bahan organik yang berasal dari
limbah-limbah pertanian yang mudah didapatkan di sekitar kita, sehingga pupuk ini tidak
memerlukan biaya yang besar dalam pembuatannya.

5
2. Dari aspek lingkungan yaitu mengurangi pencemaran lingkungan. Pencemaran
lingkungan berhubungan erat dengan sampah yang merupakan sumber pencemaran
lingkungan. Dengan banyaknya sampah yang berserakan baik di sungai maupun sampah
yang tercecer dan masuk ke selokan akan mengakibatkan penyumbatan di selokan dan
dapat menimbulkan banjir. Banyaknya jumlah sampah akan mengakibatkan
permasalahan baru yaitu tempat pembuangan akhir sampah yang harus diperbanyak pula.
Tempat yang dijadikan pembuangan akhir sampah ini akan menjadi kumuh dan kotor jika
pengolahan sampah tidak diatasi dengan benar. Tempat tersebut juga akan menimbulkan
banyak penyakit karena sebagai sarang bertumbuh-kembangnya organisme yang
membahayakan bagi kesehatan manusia dan semakin menurunkan daya dukung
lingkungan sebagai tempat pembuangan sampah. Permasalahan sampah timbul karena
tidak seimbangnya produksi sampah dengan pengolahannya. Salah satu alternatif
pengolahan sampah adalah dengan memilih sampah organik dan memprosesnya menjadi
pupuk. Selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan dengan pengurangan sampah
organik yang dapat dijadikan kompos, manfaat lainnya yaitu sebagai salah satu pupuk
yang ramah lingkungan baik dari bahan pembuatannya, proses pembuatannya dan
pengaplikasiannya dalam menyuburkan tanah.

3. Manfaat bagi tanah dan tumbuhan yaitu meningkatkan kesuburan tanah serta
menyediakan unsur-unsur hara mineral memadai dan seimbang yang bisa diserap oleh
tanaman. Produtivitas dari tanaman akan berkurang jika tanaman kekurangan unsur hara
dan mineral, terutama jika tanaman tersebut tumbuh pada tanah yang bersifat terlalu asam
maupun terlalu basa.

4. Manfaat lainnya yaitu memperbaiki struktur, drainase dan tata udara dalam tanah,
memperbesar daya ikat air terhadap tanah, daya ikat tanah terhadap unsur hara,
membantu dalam proses pelapukan mineral, menjadi sumber bahan makanan bagi
mikroorganisme, dan menurunkan aktivitas mikroba yang merugikan.

2.2 Peralatan dan Bahan Pembuatan Kompos

Alat dan bahan pembuatan kompos diantaranya adalah :

6
1. Starter pengomposan :

a. Kotoran ternak,
b. EM4,
c. air,
d. gula pasir

2.  Alat alat pengomposan

a. Wadah pengomposan
b. Drum plastik
c. Drum tanah liat
d. Keranjang strimin
e. Liang tanah (jugangan)
f. Penumpukan masal
g. Parang/pisau atau mesin pencacah kompos
h. Sekop

2.3 Prosedur Pembuatan Kompos

1. Siapkan sampah rumah tangga yang akan diolah menjadi pupuk kompos.
2. Pisahkan sampah organik (sisa makanan/dedaunan) dengan sampah plastik.
Sampah organiklah yang nantinya akan digunakan sebagai pupuk kompos.
3. Siapkan wadah berukuran besar untuk membuat pupuk kompos. Jangan lupa
bahwa wadah harus dilengkapi dengan penutup agar pupuk yang dibuat tidak akan
terkontaminasi.
4. Masukkan tanah secukupnya ke dalam wadah yang telah diisi dengan sampah
organik. Ketebalannya bisa kamu sesuaikan dengan wadah dan banyaknya sampah
organik.
5. Siram permukaan tanah tersebut menggunakan air secukupnya.
6. Masukkan sampah organik yang sudah disiapkan ke dalam wadah.
7. Pastikan sampah disimpan secara merata. Sebisa mungkin ketebalan sampah
setara dengan ketebalan tanah
8. Masukkan lagi tanah ke dalam wadah. Kali ini tanah berperan sebagai penutup
sampah.
9. Tutup wadah dengan rapat dan biarkan sekitar tiga minggu.

Perhatikan hal ini saat membuat pupuk kompos sendiri di rumah:

 Pastikan wadah pembuat pupuk kompos tidak terkontaminasi oleh air hujan
dan hewan.
 Pastikan juga wadah tak terkena paparan sinar matahari.

7
Kalau semuanya sudah dilakukan, kini kamu bisa langsung menggunakan pupuk
organik ini untuk bercocok tanam di rumah.

2.4 Pengertian vermicomposting jenis dan manfaat

Vermikomposting merupakan teknik pengomposan dengan memanfaatkan bantuan


cacing tanah (Lumbricus robelius) untuk mendekomposisi sampah organik biodegradable
(Sumardiono et al. 2011). Pengomposan dengan metode vermicomposting lebih cepat 2 kali lipat
dibanding pengomposan secara konvensional. Hal ini dikarenakan penguraian materi organik
oleh cacing tanah lebih cepat berlangsung dengan adanya enzim selulase yang membantu
penguraian selulosa pada sampah (Sumardiono et al., 2011). Vermicomposting menghasilkan
dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing tanah dan vermikompos (Sharma et al., 2005:12).
Vermikompos memiliki struktur halus, partikel-partikel humus yang stabil, porositas,
kemampuan menahan air dan acrasi, kaya nutrisi, hormon, enzim, dan populasi mikroorganisme
(Lavelle et al., 1999:18). Vermikompos yang dihasilkan berwarna coklat gelap, tidak berbau, dan
mudah terserap air (Ismail, 1997:26).

Hasil dari proses vermikomposting ini berupa casting. Ada juga yang mengatakan bahwa
casting merupakan kotoran cacing yang dapat berguna untuk pupuk. Casting ini mengandung
partikel-parti kel kecil dari bahan organik yang dimakan cacing dan kemudian dikeluarkan lagi.
Kandungan casting tergantung pada bahan organik dan jenis cacingnya. Namun, umumnya
casting mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman seperti nitrogen, fosfor, mineral, vita
min. Karena mengandung unsur hara yang lengkap, apalagi nilai C/N nya kurang dari 20 maka
casting dapat digunakan sebagai pupuk

Pemanfaatan cacing tanah untuk mendekomposisi sampah organik biodegradable


berlangsung dengan baik pada kondisi sampah yang sudah ditumbuhi jamur (Soma, 2010) yang
dapat mengakibatkan kematian pada cacing tanah. Selain itu dekomposisi materi organik
biodegradable oleh cacing tanah memerlukan pH mendekati netral. Melalui penelitiannya, Soma
(2010) menemukan proses degradasi oleh cacing tanah berlangsung lebih lambat pada kondisi
asam.

8
Cacing yang dapat mempercepat proses pengomposan sebaiknya yang cepat berkembang
biak, tahan hidup dalam limbah organik, dan tidak liar. Dari persyaratan tersebut jenis cacing
yang cocok yaitu Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, dan Pheretima asiatica (Indriani, 2011:50).
Beberapa spesies cacing tanah lain yang digunakan dalam proses vermicomposting bisa berupa
Eudrilus eugeniae, dan P. excavatus.

2.5 Peralatan dan bahan pembuatan vermikomposting

1. Pengadaan cacing tanah


Jumlah cacing yang diperlukan belum ada patokan. Ada yang menggunakan pedoman
bahwa setiap meter persegi dengan ketebalan media 5-10 cm dibutuhkan sekitar 2.000
ekor cacing atau luas 0.1 m2 dibutuhkan 100 gram cacing tanah. Perlu diketahui bahwa
dalam satu hari cacing akan memakan makanan seberat tubuhnya, misalnya bobot cacing
1 gram maka dalam satu hari cacing akan memakan 1 gram makanan.
2. Bahan
Bahan yang digunakan berupa bahan organik (limbah organik), seperti sisa sayur-
sayuran, dedaunan, atau kotoran hewan. Dengan demikian, proses pengomposan cara ini
mempunyai beberapa keun tungan yaitu dapat mengurangi pencemaran lingkungan,
menghasil kan pupuk organik, dan menghasilkan cacing yang menjadi sumber protein
hewani bila digunakan sebagai pakan ternak.
Bahan organik ini tidak dapat langsung digunakan atau diberi kan kepada cacing, tetapi
harus dikomposkan atau difermentasikan. Caranya yaitu dibiarkan sekitar 1 minggu.
Selain bahan organik yang diberikan pada awal sebagai media, diperlukan juga makanan
tambahan untuk menghindari makanan yang asam karena berbahaya bagi cacing.
Makanan tambahan ini dapat berupa kotoran hewan atau sisa tanaman yang telah
dihaluskan.
3. Wadah
Wadah yang digunakan untuk budi daya cacing maupun pembuatan casting ini dapat
berupa kayu, plastik, atau hanya berupa lubang-lubang dalam tanah. Perlu diperhatikan,
wadah tersebut tidak terbuat dari logam atau aluminium yang dapat membahayakan ca-
cing. Beberapa bahan serta ukuran yang pernah dibuat sebagai wadah untuk
membudidayakan cacing yaitu

9
a. kotak kayu berukuran 60 x 45 x 15 cm3
b. bak plastik berukuran 40 x 30 x 15 cm3
c. lubang tanah berukuran 8 x 3 x 0,2 m3
d. drum berdiameter 100 cm, tinggi 45 cm.
4. Alat
Cangkul biasa, cangkul garpu, golok, timbangan, plastik terpal, sarung tangan, ember,
karung dan gerobak dorong. Sedang alat analisa yang diperlukan antara lain termometer,
soil tester dan pH meter.

2.6 Prosedur pembuatan vermicomposting

Terdapat tiga fase dalam tata laksana vermicomposting, yaitu fase persiapan, pelaksanaan,
dan perawatan. Fase persiapan meliputi penentuan lokasi, pemilihan sistem, pembuatan
bangunan, dan pengadaan alat. Fase pelaksanaan meliputi pembuatan media, pengadaan bibit,
dan penanaman. Sedangkan fase perawatan meliputi pemberian pakan, pembalikan,
penggantian media, pemanenan media, pengontrolan media, dan pengontrolan hama.

1. Fase Persiapan
a. Penentuan Lokasi.
Lokasi vermicomposting sebaiknya sedekat mungkin dengan sumber sampah yang
akan ditangani sehingga akan menghemat ongkos angkut sampah. Di sana diperlukan
pula sumber air untuk keperluan penyiraman pada saat pembuatan media cacing.
Untuk itu dibutuhkan pula penerangan.
b. Pemilihan Sistem.
Sistem vermicomposting meliputi sistem rak bertingkat, sistem larikan dan sistem
bak atau lubang. Pada sistem rak, cacing tanah dipelihara dalam wadah yang diletakan
pada rak. Wadah dapat berupa bak plastik, kayu, bambu, dsb. Sistem larikan
dilakukan dengan menempatkan media pemeliharaan cacing dalam suatu larikan
memanjang di atas lahan tanpa pembatas pada bagian pinggirnya. Sedangkan pada
sistem bak atau lubang cacing ditempatkan di dalam bak atau lubang. Ketiga
sistem tersebut disesuaikan dengan kemudahan para pekerja dalam penanganan,
perawatan, pengontrolan dan pendugaan produksi cacing dan casting.

10
Kelebihan sistem rak dibandingkan dengan sistem larikan atau bak/lubang antara lain
adalah lebih hemat lahan, pengontorolan lebih mudah, produksi cacing lebih mudah
diatur, serangan hama mudah dicegah, kokon yang dihasilkan tidak banyak terbuang.
Sedangkan kekurangannya adalah modal yang diperlukan relatif tinggi karena
perlu dibangun sistem rak. Kebutuhan tenaga kerja juga tinggi.
Sedangkan kelebihan sistem larikan atau bak/lubang dibandingkan dengan sistem rak
bertingkat adalah produksi kascing lebih besar, modal rendah, tenaga kerja lebih
sedikit, dan pemanenan lebih mudah. Sedangkan kekurangannya adalah butuh
lahan yang banyak dan kokon banyak terbuang.
c. Pembuatan Bangunan.
Pada prinsipnya vermicomposting itu sebaiknya tidak terkena sinar matahari dan air
hujan secara langsung. Untuk usaha skala kecil, vermicomposting dapat dilakukan di
emperan rumah atau di bawah naungan pohon. Sedangkan untuk usaha skala lebih
besar diperlukan bangunan los terbuka beratap. Bangunan sebaiknya dipagar untuk
menghindari hewan pengganggu. Lantai sebaiknya bersemen dan ada sistem drainase
agar terlihat rapi dan bersih.
d. Pengadaan alat.
Beberapa alat bantu yang diperlukan dalam vermicomposting antara lain cangkul
biasa, cangkul garpu, golok, timbangan, plastik terpal, sarung tangan, ember,
karung dan gerobak dorong. Sedang alat analisa yang diperlukan antara lain
termometer, soil tester dan pH meter.
2. Fase Pelaksanaan
a. Pembuatan media.
Media dapat dibuat dari “sampah basah” seperti sampah pasar, sampah kebun,
sampah rumah tangga, dll. Bahan baku media tersebut akan lebih baik apabila
dicampur dengan kotoran ternak. Bahan tersebut kemudian dibuat sebagai media
melalui cara pengkomposan selama 15 – 21 hari. Sebelumnya bahan-bahan
tersebut dicacah 2– 3 cm. Setelah dikomposkan setengah matang, media tersebut
diangin-anginkan selama 2 hari. Media yang baik warnanya tidak terlalu gelap,
baunya tidak menyengat, kandungan airnya 60 persen, pH 6,8 – 7,2, temperatur 26 –
32oC, berongga dan mengandung zat pakan yang cukup (Maskana, 1990).

11
b. Pembuatan pakan.
Pakan dapat berasal dari sampah organik, kotoran ternak atau gabungan keduanya.
Untuk sampah organik perlu diblender terlebih dahulu kemudian diperam selama
sehari-semalam. Untuk kotoran ternak, kotoran tersebut didiamkan dahulu selama 3
hari, kemudian di tambahkan air menjadi bubur.
c. Pengadaan bibit.
Bibit cacing yang baik berumur sekitar 3 bulan. Biasanya klitelumnya sudah terlihat,
warnanya cerah, gerakannya aktif dan gesit, peka terhadap sentuhan, bentuk tubuh
berisi dan tidak cacat.
d. Penanaman.
Cacing tanah ditabur sedikit demi sedikit secara merata di atas media. 20 liter media
membutuhkan cacing sekitar 1 kg (Maskana, 1990). Setelah dilakukan penanaman
media harus ditutup agar suasananya gelap bagi cacing. Jika medianya cocok cacing
akan betah di dalamnya.
Sedangkan kalau tidak cocok, cacing akan muncul ke permukaan dan mengumpul.
Hal itu dapat disebabkan antara lain karena media masih terlalu panas, kandungan
airnya terlalu tinggi atau media tersebut mengandung minyak, pestisida atau sabun.
3. Fase Perawatan
a. Pemberian pakan.
Banyaknya pakan yang diperlukan cacing secara teoritis adalah seberat badannya.
Pakan ditaruh di atas media secara merata. Pemberian pakan dapat dilakukan
sehari sekali atau dua hari sekali.
b. Pembalikan.
Di dalam perawatan cacing tanah media harus dibalik agar tetap porous. Pembalikan
sebaiknya dilakukan dengan tangan secara langsung seminggu sekali apabila sudah
terlihat memadat.

c. Pengontrolan Media.
Media perlu dikontrol apabila terjadi hal-hal yang tidak wajar terhadap cacing,
misalnya cacing tidak betah di media itu. Biasanya faktor yang harus dikontrol adalah

12
kadar keasaman (pH), kelembaban dan suhu. pH yang cocok untuk cacing tanah
yaitu sekitar 6,8 – 7,2, kelembaban 28 – 42% atau kandungan kadar air 60% dan
suhu 26oC - 32oC. Pemeriksaan kelembaban dan suhu dilakukan setiap hari,
sedangkan ph cukup 7 – 15 hari sekali (Maskana, 1990).
d. Pengontrolan hama.
Hama cacing bermacam-macam. Ada yang memakannya ada pula yang
memanfaatkan media menjadi sarangnya. Di antara mereka adalah unggas
( ayam, burung, bebek, dll.), tikus, katak, kadal, tupai, semut, kecoa, dan lipan.
Untuk mengontrol hama pemangsa, alternatif terbaiknya adalah dengan membuat
pagar atau penghalang yang dapat mencegah masuknya hama tersebut. Sedangkan
untuk hama pengganggu dilakukan dengan cara mengontrol media agar tidak
terlalu kering dan teknik perawatan lainnya serta menjaga kebersihan kandang
(Soenanto, 2000 dan Listyawan et.al. 1998).
e. Pemanenan.
Penggantian media atau pemanenan biasanya dilakukan setelah 30 hari penanaman
di mana kondisi media sudah seperti tanah. Pemanenan kascing dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Untuk vermicomposting yang dilakukan di dalam wadah cara
yang mudah adalah dengan sistem piramid. Sedangkan untuk skala besar dilakukan
dengan sistem blok (horisontal), sistem tangga (vertikal) dan sistem pancingan
(Maskana, 1990; Listyawan et.al. 1998).
Sistem piramid dilakukan dengan cara menggembur-gemburkan media dan
membentuknya menjadi seperti piramid dan secara alamiah cacing akan berkumpul
di bagian bawah piramid sehingga bagian atas piramid tersebut dapat dipanen. Sistem
horisontal dilaksanakan dengan cara menggeser media lama sehingga terdapat
ruangan kosong. Kemudian ruangan kosong tersebut diisi dengan media baru. Cacing
sedikit demi sedikit akan berpindah ke media baru, meninggalkan media lama
sehingga media lama yang sudah menjadi casting dapat dengan mudah dipanen.
Sistem vertikal prinsipnya seperti sistem horisontal, hanya saja media baru diletakan
di bawah media lama. Cacing akan berpindah ke media baru, sehingga media lama
yang berada di atas akan ditinggalkan cacing. Sistem pancing dilakukan dengan

13
meletakan pakan di atas media. Cacing akan berkumpul menyantap pakan yang
berada di permukaan media. Pada saat ini cacing dapat dipisahkan dengan media.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) bahan organik oleh
mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol dengan hasil akhir berupa
humus dan kompos, Pengomposan bertujuan untuk mengaktifkan kegiatan mikroba agar
mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Selain itu, pengomposan juga
digunakan untuk menurunkan nisbah C/N bahan organik agar menjadi sama dengan nisbah
C/N tanah (10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah oleh tanaman.
Vermikomposting merupakan teknik pengomposan dengan memanfaatkan bantuan
cacing tanah, Kehadiran cacing tanah membantu proses penguraian bahan-bahan organik yang
kemudian akan diurai kembali oleh mikroorganisme.

3.2 Saran
Kami tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

Yovita Hety Indriani. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya

Sri Wahyono. Daur Ulang Sampah Organik Dengan Teknologi Vermicomposting. Jurnal
Teknologi Lingkungan, Vol.2, No. 1, Januari 2001 : 87-92

sinta.unud.ac.id

Ramadhani, Nurul Aini. 2019. Kompos : Pengertian, jenis, manfaat, bahan, kualitas, dan
pembuatan. https://foresteract.com/kompos/

Cahayana, Iyan. 2017 Cara membuat kompos. – Tinotena, Temu Inovasi dan teknologi
Mahasiswa STPP se-Indonesia (wordpress.com)

http://repo.poltekkes-medan.ac.id/jspui/retrieve/18a5bd13-6d3c-4bd2-a710-
b0a057d78c8f/1523422341757_FILE%20ALFIUS.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai