A. Pengertian Dzikir
Secara etimologi, perkataan dzikir (Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990:
1018) berakar pada kata dzakara, artinya mengingat, memperhatikan, mengenang,
mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti, ingatan. Adapun secara terminologis,
dzikir adalah ingatan, atau suatu latihan spiritual yang bertujuan untuk menyatakan
kehadiran Tuhan seraya membayangkan wujud-Nya. Atau suatu metode yang digunakan
untuk mencapai konsentrasi spiritual (dengan menyebut nama Tuhan secara ritmis dan
berulangulang) (Triminghan, 1971: 302). Sementara itu, Aboe Bakar Atjeh sebagaimana
dikutip oleh Nasution dkk (1993: 451) memberikan pengertian dzikir sebagai:
Ucapan yang dilakukan dengan lidah atau mengingat akan Tuhan dengan hati,
dengan ucapan atau ingatan yang mempersucikan Tuhan dan membersihkannya dari sifat-
sifat yang tidak layak untuk-Nya, selanjutnya memuji dengan puji-pujian dan sanjungan-
sanjungan dengan sifat-sifat yang sempurna, sifat-sifat yang menunjukkan kebesaran dan
kemurnian.
Dari pengertian di atas, agaknya, dzikir baru merupakan bentuk komunikasi sepihak,
antara makhluk (manusia), dengan Khaliq saja, akan tetapi lebih dari itu, dzikir Allah
bersifat aktif dan kreatif, karena komunikasi tersebut bukan hanya sepihak, melainkan
bersifat timbal balik. Seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali (1984: 80) “dzikrullah berarti
ingatnya seseorang bahwa Allah mengamati seluruh tindakan dan pikirannya”. Kemudian
diaktualisasikan ke dalam bentuk pola pemikiran dan tingkah laku (Ghazali, 1984: 21-26).
B. Pembagian Dzikir
Zikir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu :
1. Zikru bil lisan, yaitu sebuah bentuk zikir yang realisasi pelaksanaanya dilakukan dengan
cara melafazkan kalimat-kalimat tauhid, seperti tahlil, tahmid, tasbih dan lain-lain.
Zikir dengan lisan ialah menyebut Allah dengan berhuruf dan bersuara. Imam
Fakhrurrozi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zikir lisan ialah mengucapkan
kalimat suci dengan lidah seperti mengucapkan tasbih Subhanallah, al hamdulillah, la
ilaha illallah, Allahu akbar.
2. Zikru bil Qolb, yaitu sebuah bentuk zikir yang dilaksanakan dengan media bertafakkur,
merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah dan rahasia-rahasia Ilahiah yang tersirat
melalui ciptaanNya. Zikir secara qolbi ialah mengingat atau menyebut Allah dalam
hati, tidak berhuruf dan tidak bersuara, seperti tafakkur mengingat Allah, merenungi
rahasia ciptaanNya secara mandalam dan merenungi tentang zat dan sifat Allah Yang
Maha Mulia.
3. Zikru bil Jawarih, yaitu bentuk zikir yang direalisasikan dengan cara mengerahkan
segala kekuatan dan kemampuan yang terdapat dalam jasmani sebagai manifestasi dari
bentuk menaati seluruh perintah Allah dan berusaha semaksimal mungkin dalam
rangka menjauhi larangan-laranganNya.
Syeikh Abu Hasan As Sazali menyatakan: sebesar zarrah amal hati adalah seimbang
dengan sebesar gunung amal anggota badan. Jika zikir dengan lidah diperkuat dengan zikir
dalam hati, maka hal itu lebih sempurna, dan jika diperkuat lagi dengan menghadirkan
pengertiannya dengan jawarih, maka hal itu lebih sempurna lagi, jika berharap kepada
Allah itu dilakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas, maka itulah puncak zikir yang paling
tinggi.
C. Fungsi Dzikir
Imam Ibnul Qoyyim al Jauziyyah di dalam kitabnya al Waabilus Syayyib dan pada
kitab Rafi’ul kalimat at Tayyib menerangkan ada tujuh fugsi zikir, yaitu :
1. Zikir dapat mengusir, mengalahkan dan menghinakan syaitan,
2. Orang yang berzikir Allah yang Maha Rahman akan rela kepadanya,
3. Zikir bisa menyebabkan hati menjadi gembira, berbahagia dan tentram,firman Allah
pada surah Ar Ra’du ayat 28 yang artinya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”
Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan
satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia
tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan
secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data
pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan
teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses
pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan
yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan
yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah
ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara
gamblang.
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari
pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada
tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-
Mujadalah ayat 11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”