Abstract
Sosiologi Agama adalah mempelajari agama dari perspektif sosiologi. Belajar agama biasanya menggunakan
metode indoktrinasi sebab agama turun dari Tuhan kepada manusia agar menjadi pedoman hidup dan
kehidupan. Manusia membutuhkan pedoman hidup yang bisa menyelamatkan kehidupannnya di dunia dan pada
kehidupan selanjutnya (akhirat) juga selamat. Pembelajaran dan pemahaman agama dengan indoktrinasi
menghasilkan manusia doktriner. Dia melihat hitam dan putih atau salah dan benar terhadap ajaran agama.
Truth Claim menjadi pola pikir manusia dalam kehidupan bersama sehingga terjadi jurang pemisah antara
kelompok-kelompok keagamaan. Indoktrinasi agama mengakibatkan manusia sulit hidup bersama dalam
heteroginitas kehidupan. Indonesia sebagai negara yang didirikan oleh beragam agama, ia kesulitan mengelola
warganya untuk hidup bersama memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Buku Ajar Sosiologi Agama
merupakan jawaban dari problem kehidupan beragama di Indonesia. Ragam agama dan sub varian agama
hidup dan menghiasi kehidupan sosial. Agama menjadi identitas bagi masyarakat Indonesia. Bahkan tidak boleh
hidup di bumi pertiwi tanpa mempunyai identitas agama.
KATA PENGANTAR
Definisi[sunting | sunting sumber]
Psikologi Agama menggunakan dua kata yaitu "psikologi" dan "agama".[1][2][3] Kedua kata tersebut
memiliki pengertian dan pengunan yang berbeda, meskipun keduanya memiliki aspek kajian
yang sama yaitu aspek batin manusia. [2]
Kata Psikologi (ilmu jiwa) dipergunakan secara umum untuk ilmu yang mempelajari tentang
tingkah laku manusia.[3] Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala
jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab.[1][2] Menurut Robert H. Thouless, mendefinisikan
psikologi sebagai ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. [1]
[2]
Menurut Plato dan Aristoteles psikologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat manusia.
[3]
Secara umum psikologi adalah sebuah ilmu yang meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah
laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada dibelakangnya. [1][2]
Berikutnya kata agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan
batiniah manusia.[1][2] Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan
terperinci.[1][2] Hal ini pula yang menyulitkan para ahli untuk mendefinisikan yang tepat tentang
agama.[1][2] J.H. Leube dalam bukunya A Psychological Study of Religion telah memasukkan
lampiran yang berisi 48 definisi agama, tampaknya juga belum memuaskan. [1][2] Max Muller
berpendapat bahwa definisi agama secara lengkap belum tercapai kerena penelitian terhadap
agama terus dilakukan dan para ahli masih menyelidiki asal usul agama. [4] Edward Burnett
Tylor berpendapat bahwa definisi minimal agama adalah "kepercayaan kepada wujud spiritual"
(the belief in spiritual beings).[5][6]
Agama berasal dari bahasa Sanskirit.[4] Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan
asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religare) dan agama.[1][2] Al-Din (Semit) berarti undang-
undang atau hukum.[1][2] Kemudian dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. [1][2] Sedangkan dari
kata religi atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. [1][2] Emile Durkheim berpendapat
agama adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia
sendiri.[4][7] Menurut Sutan Takdir Alisjahbana agama adalah suatu sistem kelakuan dan
perhubungan manusia yang berpokok pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuatan
dan kegaiban yang tidak berhingga luas, mendalam dan mesrahnya, sehingga memberi arti
kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinginya. [4][8] Agama adalah wahyu yang
diturunkan Tuhan untuk manusia.[9] Fungsi dasar agama adalah memberikan orietasi, motivasi
dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral. [9][10]
Psikologi Agama menurut Prof. Dr. Hj Zakiah Daradjat ialah meneliti pengaruh agama terhadap
sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara
seseorang berpikir, bersikap, bereaksi, dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari
keyakinannya, karena keyakinan masuk kedalam konstribusi kepribadiannya. [2][3] Dr. Nico Syukur
Dister berpendapat psikologi agama adalah ilmu yang menyelidiki pendorong tindakan-tindakan
manusia, baik yng sadar maupun yang tidak sadar, yang berhubungan dengan dengan
kepercayaan terhadap ajaran/wahyu "Nan Illahi" (segala sesuatu yang bersifat Dewa-dewa)
yang juga tidak terlepas dari pembahasan hubungan manusia dengan lingkungannya. [3] Dari
pendapat para ahli tersebut tentang psikologi agama dapat diambil pengertian secara umum,
psikologi agama yaitu ilmu pengetahuan yang membahas pengaruh agama dalam diri
(kognitif=pengetahuan, afektif= perasaan/sikap, behavior= prilaku atau tindakan) seseorang
dalam kehidupannya yaitu dalam berinteraksi dengan Tuhan/Pencipta, sesama manusia dan
lingkungannya.[3]
Dokumen Pribadi
Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan kehidupan batin
seseorang dalam keberagamaannya.[1][2] Cara yang dapat ditempuh oleh peneliti adalah
mengumpulkan dokumen pribadi orang per orang, baik dalam bentuk otobiografi, biografi,
tulisan, ataupun catatan-catatan yang dibuatnya. [2] Dalam Penerapanya, metode dokumen
pribadi ini dilakukan dengan berbagai cara atau teknik-teknik tertentu, di antaranya teknik
nomotatik, teknik analisis nilai, teknik idiografi, teknik penilaian terhadap sikap. [1][2]
Tes
Tes digunakan untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu. [2]
Ekperimen
Teknik ekperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang
melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat. [2]
Apersepsi Nomotatik
Caranya dengan mengunakan gambar-gambar yang samar. [1][2]
Studi Kasus
Studi Kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau
lainnya untuk kasus-kasus tertentu. [1][2]
Survei
Metode ini biasanya digunakan dalam penelitian sosial dan dapat digunakan untuk tujuan
penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam
masyarakat.[2]
Fredrick Hegel
Filosof Jerman ini berpendapat agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar
dan tempat kebenaran abadi. [1] berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal-hal atau
persolan yang berhubungan dengan pikiran. [1]
Sigmund Freud
Pendapat S. Freud unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido
sexuil (naluri seks).[1]
Rusolf Otto
Menurut pendapatnya sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly
other (yang sama sekali lain).[1]
Cipta (Reason)
Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. [1] Ilmu Kalam (Teologi) adalah cerminan adanya
pengaruh fungsi intelektual ini.[1] Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan
memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulus tertentu. [1][2]
Rasa (Emotion)
Yang menjadi objek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa
pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi, melainkan sampai berapa
jauhkah peran emosi itu dalam agama.[1][2]
Karya (Will)
Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi
kejiwaan.[1][2]
Pemuka teori fakulti adalah:[2]
1. G. M. Straton
2. Prof. Dr. Zakiah Darajat
3. W.H Thomas