Anda di halaman 1dari 26

Kolelitiasis & Koledokolitiasis

PENYUSUN
Mentari Dwi Putri – 406127100

PEMBIMBING
Dr. Relly Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 30 SEPT - 7 DES 2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang
dilimpahkanNya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Referat
dengan topik “Kolelitiasis & Koledokolitiasis”

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah
ini.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :

1. Dr. Relly, SpB


2. Dr. Johan Lucas, SpB
3. Dr. Sjaiful Bachri, SpB
4. Dr. Ooki Niko Junior, SpB (k) Onk

yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan
Ilmu Bedah di RSUD CIawi sejak tanggal 30 September – 7 Desember 2013

Dalam menyusun makalah ini penulis menggunakan wacana-wacana yang


berkaitan dengan Kolelitiasis & Koledokolitiasis serta gambar-gambar yang diambil
dari situs internet.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga makalah


ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Jakarta, 21 oktober 2013

Penulis,
Daftar Isi
Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

Bab I : iii

Pendahuluan

Bab II : iv

Definisi

Anatomi

Fisiologi

Pembahasan :

Kolelitiasis

Patofisiologi

Gejala

Pendekatan Diagnostik

Penatalaksanaan

Bab III : v

Kesimpulan

Daftar Pustaka
Bab I

Pendahuluan
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat
diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria. Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,
karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala
dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG,
atau saat operasi untuk tujuan yang lain.

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG maka
banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat
dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan
semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan
mortalitas.

Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila
batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran
klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai
yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).

Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari
terjadinya batu tersebut berbeda-beda.

Kolesistitis kronik menyebabkan fibrosis dan hilangnya fungsi dari kandung


empedu, selain itu merupakan faktor predisposisi terjadinya kanker pada kandung
empedu. Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika
tidak ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi

1
gejala, maka diperlukan kolesistektomi.
Bab II
Definisi
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones,biliary calculus. Batu empedu
merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam
saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.

Anatomi

Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati tumbuh
bersama. Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana tonjolan
tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari divertikulum
akan menjadi gallbladder (kandung empedu), ductus cysticus, ductus biliaris
communis (ductus choledochus) dan bagian cranialnya menjadi hati dan ductus
hepaticus biliaris.1

Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat dengan


panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila kandung empedu
mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum menonjol
seperti kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi
ujung rawan costa IX kanan.
Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus communis
membentuk duktus koledokus (CBD). Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.

Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2
cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali
membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang mengatur
pasase empedu ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung
empedu.1

Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum


hepatoduodenale dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya distal
papila Vateri. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang
paling kecil yang disebut kanikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi
empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke duktus
hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari sebelah
belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari duodenum
descendens. Pada pertemuan (muara) ductus choledochus ke dalam duodenum,
disebut choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini disebut Papilla Vateri.
Ujung distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam
duodenum.1

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica


kanan. V. cystica mengalirkan darah langsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri
yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak


dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.
Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.1
Fisiologi
Produksi Empedu

Empedu merupakan larutan kompleks dalam air yang mengandung garam


empedu, lesitin, dan kolesterol yang merupakan komponen terbesar (90%) cairan
empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu
adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan
produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20
kali produksi normal kalau diperlukan.

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari. Di luar
waktu makan, empedu di simpan untuk sementara di dalam kandung empedu dan
disini terjadi pemekatan sampai 50%. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor,
yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu dan tahanan sfingter
koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang dihasilkan akan dialih-alirkan ke
dalam kandung empedu. Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan
karena secara intermitten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada
tahanan sfingter.

Kolesistokinin hormon sel APUD dari selaput lendir usus halus dikeluarkan
atas rangsangan makanan berlemak atau produk lipolitik didalam lumen usus.
Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung empedu.
Dengan demikian, kolesistokinin hormon berperan besar terhadap terjadinya
kontraksi kandung empedu setelah makan.1
Kolelitiasis

Definisi

Penyakit batu empedu yang dapat ditemukan didalam kandung empedu


(kolesistolitiasis) atau didalam duktus koledokus (koledokolitiasis) atau pada kedua-
duanya. Sebagian besar batu batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk
didalam kandung empedu (Kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini
berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik maka disebut batu saluran
empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder. Kebanyakan batu duktus
koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer
di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik.1

Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan lanjut. Kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala atau bertanda. Angka
kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia tidak jauh
berbeda dengan negara lain.

Prevalensi batu empedu bervariasi sesuai dengan usia dan jenis kelamin.
Wanita dengan batu empedu melebihi jumlah pria dengan perbandingan 4:1. Faktor
risiko batu empedu memang dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk),
Forty ( 40th), Fertile (subur), dan Female (wanita). Wanita yang mengkonsumsi obat
hormonal estrogen eksogen meningkatkan resiko terjadinya batu empedu. Dengan
bertambahnya usia, dominansi wanita menjadi kurang jelas. Batu empedu jarang
ditemukan pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun dan lebih sering ditemukan
pada kelompok usia 40-60 tahun dan sisanya di temukan pada orang berusia lebih
dari 80 tahun.

Di kenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin (yang terdiri dari kalsium dan bilirubinat) dan batu campuran. Di negara
barat, 80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen
meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya, di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen
dibanding batu kolesterol. Sementara itu didapat kesan bahwa meskipun batu
kolesterol di Indonesia lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi
dibanding dengan angka yang terdapat di negara Barat. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.Coli ikut berperan penting dalam
timbulnya batu pigmen.

Jenis Batu

a. Batu Kolesterol

Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi


lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan
batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa
organik dan inorganik lain.

Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi
dalam empat tahap:

 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.

 Pembentukan nidus.

 Kristalisasi/presipitasi.

 Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa


lain yang membentuk matriks batu.

b. Batu Kalsium bilirubinat (pigmen coklat)

Disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, sering ditemukan berbentuk
tidak teratur, kecil- kecil, dapat berjumlah banyak. Umumnya batu pigmen coklat ini
terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi. Batu pigmen coklat
biasanya ditemukan dengan ukuran diameter kurang dari 1 cm, berwarna coklat
kekuningan, lembut dan sering dijumpai di daerah Asia.

Batu ini terbentuk akibat faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis
dapat disebabkan karena disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan parasit.
Pada infeksi empedu, kelebihan aktivitas 􏰀-glucuronidase bakteri dan manusia
(endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di
negara timur.

Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak


terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. Enzim 􏰀-
glucuronidase bakteri berasal dari kuman E. coli dan kuman lainnya di saluran
empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang konsentrasinya
meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak.6

c. Batu pigmen hitam

Batu tipe ini banyak dijumpai pada pasien dengan hemolisis kronik atau
sirosis hati. Batu pigmen ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.
Patogenesis terbentuknya batu pigmen ini belum jelas. Umumnya batu pigmen
hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. Batu empedu
jenis ini umumnya berukuran kecil, hitam dengan permukaan yang kasar. Biasanya
batu pigmen ini mengandung kurang dari 10% kolesterol.6

Patofisiologi

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan
infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang
paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.6
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-
garam empedu dan lesitin dari empedu, dan terlalu banyak sekresi kolesterol dalam
empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat
diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.3

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui


duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder). Didalam perjalanannya melalui duktus
sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial
atau komplet sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur,
batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.1,6

Manifestasi klinis

1. Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang
benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik.2,5
2. Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas.


Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih,
disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering
kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. 1,6

Batu empedu di Hartmann pouch

Komplikasi

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling


umum. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus
sistikus atau dalam kantong Hartmann. Pada kolesistitis akut, factor trauma mukosa
kantong empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang
mengubah lesitin menjadi lisolesitin, yaitu senyawa toksik yang memperberat proses
peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri agaknya kecil saja meskipun
kemudian dapat terjadi supurasi dan dapat berkembang menjadi empyema,
gangrene dan perforasi.

Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang


sendiri atau tidak, derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan penyakit lain yang
memperberat keadaan seperti diabetes mellitus.
Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang
kadang menjalar ke punggung atau ujung scapula (Boas Point). Biasanya ditemukan
riwayat serangan kolik di masa lalu, yang pada mulanya sulit dibedakan dengan nyeri
kolik yang sekarang. Pada kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang
peritoneal berupa nyeri tekan, nyeri lepas dan defans muscular otot dinding perut.
Kadang kandung empedu yang membesar dapat diraba. Pada separuh penderita,
nyeri disertai mual dan muntah. Suhu badan sekitar 38oc. Apabila timbul demam dan
menggigil, harus dicurigai komplikasi yang lebih berat atau penyakit lain.

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium :

Batu kandung empedu yang asimptomatik umunya tidak menunjukkan


kelainan laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi lekositosis.
Apabila ada Mirizzi Syndrome, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dinding udem didaerah kantong
hartmann, dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar serum
bilirubin yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus. Alanin
Aminotransferase (SGOT) dan Aspartat Aminotransferase (SGPT) merupakan enzim
yang disintesis dalam konsentrasi yang tinggi di hepatosit. Peningkatan dalam
aktivitas serum sering menunjukkan kelainan di hati, tetapi peningkatan enzim ini
bisa timbul bersama dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran
empedu. Fosfatase alkali merupakan enzim yang dihasilkan oleh sel epitel kandung
empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel
duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi dapat
menggambarkan obstruksi saluran empedu.

Pemeriksaan Radiologis

1. Foto Polos Abdomen (BNO)

Foto polos abdomen kadang dapat bermanfaat, tetapi tidak bisa mengenal
kebanyakan patologi saluran empedu. Hanya 15% batu empedu yang cukup kalsium
(radioopak) yang memungkinkan identifikasi pasti. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat di lihat di foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu hidrops, kandung empedu kadang
terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.

Foto Rongent pada kolelitiasis

← 2. Kolesistografi Intravena

Digunakan untuk memungkinkan visualisasi keseluruhan saluran empedu


ekstrahepatik. Tetapi resolusi radiografi sering buruk dan tes ini tidak dapat
diandalkan bila kadar bilirubin serum lebih dari 3 gm/dl. Tetapi test ini dapat
menimbulkan reaksi yang fatal, dan telah di gantikan dengan pemeriksaan yang lebih
aman.

3. Kolesistografi Oral

Merupakan standar paling baik dalam diagnosis penyakit vesika biliaris. Zat
organik diiodinasi biasanya 6 tablet asam yopanat (telepaque) diberika per oral pada
malam sebelumnya dan pasien dipuasakan. Batu empedu atau tumor tampak
sebagai defek pengisian. Kolesistografi sangat sensitif dan spesifik serta hasilnya
mendekati 98% bila digunakan dengan tepat. Tes ini tidak bermanfaat bila kadar
bilirubin serum meningkat (diatas 2 mg/dl) atau dengan adanya muntah, diare atau
malabsorpsi dan ileus paralitik.

Gambaran kolesisttografi oralmenunjukan gambaran batu yang radiolusen yang


mengambang di dalam kandung empedu

← 4. Ultrasonografi (USG)

0 Perkembangan yang canggih dari USG telah menggantikan kolesistografi oral


sebagai tes penyaring bagi kolelitiasis. Karena USG tidak cukup akurat seperti
kolesistografi oral, maka kolesistografi oral tetap merupakan standar terbaik dalam
diagnosis batu empedu. Tetapi USG lebih cepat, tidak invasif dan tanpa pemaparan
radiologi, selain itu USG dapat di gunakan pada pasien yang ikterik dan mencegah
ketidak patuhan pasien dalam meminum zat kontras oral. Kriteria diagnostik untuk
kolelitiasis mencakup defek intralumen yang berubah dengan perubahan posisi
pasien atau menimbulkan bayangan akustik.

← Gambaran ultrasonografi batu empedu pada vesika felea yang memberikan


gambaran hipoechoic dengan acoustic shadow (tanda panah )

← 5. CT Scan

0 CT Scan tidak tepat digunakan dalam mendeteksi batu empedu, kecuali bila batu
tersebut mengandung kalsium dalam jumlah yang lumayan. Tetapi pada sepsis
intraabdomen yang dianggap berasal dari saluran empedu, maka CT Scan bisa
menentukan abses intrahepatik, perihepatik atau trikolesistika.

Tatalaksana

Kolelitiasis dapat ditangani secara bedah maupun secara non bedah.

A. Tatalaksana non bedah

1 Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia,


penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol pada
empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam
empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi. Dosis
lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian akan
mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan berhasil
bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol.

B. Tatalaksana bedah dengan kolesistektomi

1. Open Kolesistektomi

0 Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara umum


diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu, kecuali yang terkait
usia tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung
empedu, diperlukan drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang dinamakan
kolesistostomi dan kemudian baru direncanakan kolesistektomi elektif. Indikasi yang
paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD,
perdarahan, dan infeksi

1 2. Laparoskopik Kolesistektomi

2 Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya


membutuhkan 4 insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi juga
cepat. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan
biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra
indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi
yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan
trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun
umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas
pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal
dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat
digunakan untuk aktifitas olahraga.
3. Kolesistostomi

Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema dan sepsis,
yang dapat dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi adalah penaruhan pipa
drainase di dalam kandung empedu. Setelah pasien stabil,maka kolesistektomi dapat
dilakukan.

Koledokolitiasis

Definisi

Batu empedu yang berada di duktus koledokus dan kebanyakan batu duktus
koledokus berasal dari batu kandung empedu (koledokolitiasis sekunder) tetapi ada
juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun
intrahepatik.

Manifestasi Klinis

90% batu di duktus koledokus terdapat di distal duktus, maka muncul gejala
seperti riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas akan disertai
dengan tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis serta
biasanya terdapat ikterus dan feses berwarna seperti dempul serta urin berwarna
gelap.

Komplikasi

1. Kolangitis adalah infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu. Gambaran
klasik kolangitis terdiri dari trias, demam & menggigil, ikterus, dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas yang dikenal dengan trias Charcot yang
menunjukkan adanya kolangitis bacterial nonpiogenik. Apabila trias Charcot
tersebut ditambah dengan adanya shock septikemia dan penurunan
kesadaran maka disebut Pentade Reynold yang menunjukkan adanya
kolangiolitis berupa kolangitis piogenik intrahepatik/kolangitis supuratif
obstruktif akut.1
2. Pankreatitis yang terjadi akibat koledokolitiasis terjadi akibat autodigesti oleh
enzim pankreas yang keluar dari saluran pankreas. Biasanya serangan
pankreatitis timbul setelah makan kenyang atau setelah minum alkohol. Rasa
nyeri perut timbul tiba-tiba atau mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di
daerah pertengahan epigastrium dan biasanya menjalar menembus ke
belakang. Rasa nyeri berkurang bila pasien duduk membungkuk dan
bertambah bila terlentang. Muntah tanpa mual dulu sering dikeluhkan dan
muntah tersebut sering terjadi sewaktu lambung sudah kosong. Gambaran
klinik tergantung pada berat dan tingkat radang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila ditekan. Kira- kira 90%
disertai demam, takikardia, dan leukositosis.

3. Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini terjadi
akibat komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada
saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan
kolangiolitis dengan akibat abses multiple.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis pada


sebagian besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Leukopenia
atau trombositopenia kadang – kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis
parah. Sebagian besar penderita mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan
bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali
fosfatase dan transaminase serum juga meningkat yang menggambarkan proses
kolestatik. Amylase dan lipase juga dapat diperiksa karena 90% koledokolitiasis
terdapat di distal duktus koledokus yang kemungkinan melibatkan pancreas.

Pemeriksaan Radiologis

1. Foto polos abdomen

Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos
abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu
saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang
dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatika.

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk


mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada
duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus.
Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai
dengan gaya gravitasi.3

Menunjukkan ultrasonografi dari duktus intrahepatik yang mengalami dilatasi

3. CT-Scan

CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu


kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung
empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90%

CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan dilatasi duktus
pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin

4. Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)

Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi


dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk mengamati
duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di
duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.

Hasil MRCP
Diagnosis Banding

1. Cholangiocarcinoma adalah adenocarcinoma pada duktus hepatikus atau


duktus koledokus. Gambaran klinisnya adalah ikterus obstruktif yang
progresif disertai pruritus. Biasanya tidak ditemukan tanda kolangitis seperti
febris, menggigil dan kolik bilier kecuali perasaan tidak enak pada perut
kuadran kanan atas. Bila tumor mengenai duktus koledokus, terjadi distensi
kandung empedu sehingga mudah diraba, sementara tumornya sendiri tidak
pernah dapat diraba. Kandung empedu yang teraba di bawah pinggir iga pun
tidak nyeri, dan penderita tampak ikterus karena obstruksi. Kumpulan
tersebut disebut Trias Courvoisier.

Hepatomegali karena bendungan sering ditemukan. Apabila obstruksi


empedu tidak diatasi, hati akan menjadi sirosis, terdapat splenomegali,
ascites dan perdarahan esophagus.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan tanda ikterus obstruksi namun


leukositosis tidak ditemukan. Pemeriksaan USG umumnya dapat mendeteksi
pelebaran saluran empedeu intrahepatic. ERCP dan MRCP serta PTC
(Percutaneous Transhepatic Cholangiography) dapat menentukan lokasi
tumor secara jelas. Tumor yang terletak di pertemuan duktus hepatikus
kanan dan kiri disebut tumor Klatskin.1

2. Tumor Ampulla Vateri

3. Tumor Caput Pankreas

Pada tumor ampulla vateri maupun tumor caput pancreas, gejala obstruksi
menetap, tidak hilang timbul seperti pada obstruksi pada batu. Pada obstruksi pada
batu, gejala kolangitis akut hampir selalu ditemukan, sedangkan pada keganasan
jarang. Batu menimbulkan kolik bilier, sedangkan tumor jarang menimbulkan nyeri
kecuali pada stadium lanjut. Distensi kandung empedu sering terjadi pada obstruksi
tumor sedangkan pada batu sering mengecil karena fibrotik. Selain itu, ditemukan
juga gejala berat badan yang semakin menurun dan anoreksia.
Tatalaksana :

1. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)


Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara
sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau
mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan.
Pada pasien dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan
koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik. 1
2. Laparotomi eksplorasi + Kolesistektomi untuk koledokolitiasis di distal duktus
koledokus.
3. Whipple procedure untuk tumor caput pankreas
4. Anastomosis Roux-en-Y untuk cholangiocarcinoma dan tumor ampulla vateri
Kesimpulan
Kolelitiasis dipengaruhi oleh beberapa factor, di antaranya etnis, jenis kelamin,
komorbiditas, dan genetic. Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah sekitar 10-20
%, dan biasanya terjadi pada orang dewasa tua dan lanjut usia. Prevalensi kolelitiasis
di Asia dan Africa lebih rendah daripada negara Barat. Angka kejadian pada wanita
lebih banyak 2-3 kali lebih banyak daripada pria. Risiko terjadinya kolelitiasis juga
meningkat dengan bertambahnya umur.

Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari
terjadinya batu tersebut berbeda-beda. Pada Asia lebih banyak batu pigmen.

Kebanyakan kolelitiasis tidak mempunyai gejala maupun tanda. Perpindahan


batu menuju ductus cysticus menyebabkan kolik selain itu dapat menyebabkan
kolesistitis akut. Kolangitis dapat terjadi ketika batu menghambat duktus hepaticus
atau ductus billiaris sehingga mengakibatkan infeksi dan inflamasi. Kolelitiasis kronik
menyebabkan fibrosis dan hilangnya fungsi dari kandung empedu, selain itu
merupakan factor predisposisi terjadinya kanker pada kandung empedu.

Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan


penyakit kandung empedu dan saluran empedu.

Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak
ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala,
maka diperlukan kolesistektomi. Selain itu juga dapat dilakukan penanganan non
operatif dengan cara konservatif yaitu melalui obat (ursodioksilat) dan ESWL.

Apabila sudah terjadi koledokolitiasis dan kolangitis, maka diperlukan


laparotomy/laparoskopi eksplorasi CBD ditambah dengan kolesistektomi karena
kebanyakan koledokolitiasis merupakan koledokolitiasis sekunder yang disebabkan
karena pindahnya batu dari kandung empedu ke duktus koledokus.
Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. 2004. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 560-93.

2. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies, p544-55.

3. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th


edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.

4. Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Diunduh dari :


http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview.

5. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 18th edition. Pennsylvania : Elsevier. 2008.

6. Lesmana L. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. p479 - 481

Anda mungkin juga menyukai