Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Transportasi darat sampai saat ini terus mengalami kemajuan yang

sangat pesat. Kemajuan transportasi darat ini dapat dilihat dari jumlah dan

jenis kendaraan yang makin terus bertambah dan arus lalu lintas yang kian

hari semakin padat. Saat ini jenis kendaraan darat sangat banyak, mulai

dari mobil pribadi, bus, sepeda motor, sampai kereta api. Dengan padatnya

arus lalu lintas, kereta api merupakan salah satu alternatif yang sangat

membantu.

Kereta api merupakan salah satu jasa angkutan umum terbaik yang

sangat membantu masyarakat Indonesia karena kelebihan-kelebihan yang

dimikili. Kereta api tidak hanya memiliki kapasitas angkut yang besar,

tetapi juga memiliki kelebihan lainnya seperti efesiensi waktu,

terhindarnya dari kemacetan lalu lintas, kenyamanan dan biaya yang

murah

Akan tetapi perkembangan jasa transportasi ini masih sangat

lambat dibandingkan dengan jasa transpoertasi darat lainnya. Berdasarkan

web resmi PT Kereta Api Indonesia (Persero), sampai saat ini tahun 2021

wilayah operasi PT Kereta Api Indonesia (Persero) hanya mencakup

wilayah Pulau Sumatera dan Jawa. Wilayah kerja di Pulau Jawa dibagi

berdasarkan Daerah Operasi (Daop), sedangkan wilayah kerja di Sumatera

dibagi berdasarkan Divisi Regional (Divre). Di Pulau Sumatera terdapat

1
empat Divisi Regional, yaitu Divisi Regional I Sumatera Utara, Divisi

Regional II Sumatera Barat, Divisi Regional III Palembang (Sumatera

Selatan) dan Divisi Regional IV Tanjungkarang (Lampung).

Berdasarkan data dari PT Kereta Api Indonesia, untuk wilayan

divisi regional ii sumatera barat memiliki 13 stasiun, yaitu stasiun

indarung, stasiun pauh lima, stasiun bukit putus, stasiun padang, stasiun

tabing, stasiun duku, stasiun pariaman, stasiun bim, stasiun lubuk alung,

stasiun naras, stasiun kayutanam, stasiun padang panjang.

Di Divre II Sumatera Barat terdapat tiga frekuensi perjalanan yang

salah satunya yaitu Ketera Api Sibinuang yang perjalannya dimulai dari

Stasiun Padang sampai ke Stasiun Naras yang mengangkut penumpang

dengan perkiraan jarak tempuh kurang lebih 60 KM dengan kisaran waktu

kurang lebih 2 jam 10 menit. Sebelumnya perjalanan kereta api ini hanya

dari stasiun padang sampai ke stasiun pariaman. Dengan bertambahnya

jarak tempuh perjalanan maka berdampak pada kebutuhan bahan bakar

setiap tahunnya. dengan demikian hal ini berbanding lurus dengan jumlah

kebutuhan, dimana semakin jauh jarak tempuh perjalanan maka semakin

bertambah juga kebutuhan bahan bakar.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti menarik rumasan masalah

yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu bagaimana analisa perkiraan

2
penggunaan bahan bakar pada Kereta Api Sibinuang – Divisi Regional II

Sumatera Barat tahun 2021 – 2025?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menghasilkan perkiraan bahan bakar yang dibutuhkan Kereta Api

Sibinuang – Divisi Regional II Sumatera Barat tahun 2021 – 2025.

2. Menganalisis perkiraan bahan bakar yang dibutuhkan Kereta Api

Sibinuang – Divisi Regional II Sumatera Barat tahun 2021 – 2025.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat

sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Dengan penelitian ini diharapkan peneliti lebih bisa memahami dan dapat

menerapkan didunia kerja. Selain itu penilitian ini juga bisa menjadi referensi bagi

peneliti selanjutnya yang juga meneliti pada permasalahan yang sama.

b. Manfaat praktisi

Bagi perusahaan, diharapkan dengan penelitian ini dapat membantu dan

memberi pertimbangan bagi perusahaan untuk memperkiraan jumlah perkiraan

bahan bakar yang dibutuhkan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan merupakan teori yang membahas tentang pihak-pihak yang

terkait dalam perusahaan. Konflik kepentingan antara manajerial (agen) dan

stakeholder (principal) menyebabkan adanya masalah keagenan, manajemen tidak

selalu bertindak untuk kepentingan stakeholder, tetapi terkadang untuk

kepentingan manajemen itu sendiri tanpa memperhatikan dampak yang

diakibatkan kepada stakeholder (Hardinsyah, 2013). Adapun dasar yang

melandasi munculnya teori keagenan adalah dimana individu-individu bertindak

untuk kepentingan mereka sendiri sehingga terkadang mengabaikan kepentingan

perusahaan (Ikhsan dan Herkulanus, 2008: 76).

Menurut Ikhsan dan Herkulanus (2008: 76) agensi teori bertujuan untuk

menyelesaikan masalah (1) masalah agensi yang muncul ketika adanya konflik

tujuan antara prinsipal dan agen serta kesulitan prinsipal melakukan verifikasi

pekerjaan agen, (2) masalah pembagian risiko yang muncul ketika prinsipal dan

agen memiliki perilaku yang berbeda terhadap risiko.

Hubungan keagenan dapat menimbulkan konflik asimetri informasi.

Asimetri informasi terjadi ketika adanya ketidakseimbangan dari suatu transaksi

yang memiliki informasi antara satu pihak dengan pihak yang lainnya, dimana

manajer sebagai pihak internal biasanya lebih mengetahui banyak informasi

mengenai posisi keuangan dibandingkan dengan pemilik. Adanya distribusi

4
informasi yang tidak sama antara principal dan agen menyebabkan timbulnya dua

permasalahan, yaitu (Hery, 2017: 26-27) :

1. Moral Hazard; permasalahan yang muncul apabila agen tidak melakukan

hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.

2. Adverse Selection; suatu keadaan di mana prinsipal tidak dapat

mengetahui apakah keputusan yang diambil oleh agen benar-benar

didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi karena

adanya sebuah kelalaian dalam tugas yang dilakukan oleh agen.

Hubungan teori keagenan ini dengan konservatisme akuntansi adalah

dengan pemilihan metode konservatisme oleh manajer tidak lepas dari keinginan

untuk mengoptimalkan kinerjanya dalam perusahaan. Teori keagenan dalam

penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana penerapan konservatisme

perusahaan yang dilihat dari laporan keuangan perusahaan yang dapat

menyebabkan adanya masalah keagenan antara manajer (agen) dan stakeholder

(principal). Di perusahaan manajer dalam aktifitasnya seringkali tidak sesuai

denga kontrak kerja yang disepakati dengan pemegang saham, dimana manajer

biasanya lebih mementingkan kesejahteraannya sendiri. Dengan begitu bisa

mengakibatkan munculnya asimetri informasi antara manajer dan pemegang

saham, sehingga manajer berpeluang untuk memanipulasi laporan keuangan.

Peran konservatisme akuntansi dalam teori keagenan guna mencegah adanya

asimetri informasi dengan cara membatasi manajer dalam melakukan manipulasi

laporan keuangan.

5
2.1.2 Konservatisme Akuntansi

Prinsip konservatif bukan lagi faktor penting dalam mengambil alternatif

yang dipilih. Pendapatan harus diakui pada saat direalisir, dan biaya yang telah

terpakai harus dipertemukan dengan pendapatan sesuai dengan prinsip-prinsip

yang didasarkan atas alasan yang kuat dan logis. Watt (2003b) mengartikan

konservatisme adalah prinsip kehati-hatian dalam pelaporan keuangan dimana

perusahaan diminta untuk mengakui keuntungan daripada kerugian dan

perusahaan tidak harus terburu-buru untuk mengakui dan mengukur aktiva dan

laba serta kerugian atau hutang yang mungkin terjadi. Watt (2003a) menjelaskan

untuk melakukan konservatisme tidak harus menyiratkan bahwa semua arus kas

pendapatan harus diterima sebelum keuntungan diakui, kredit penjualan diakui,

namun arus kas tersebut harus dapat di verifikasi.

Konservatisme akuntansi disimpulkan penulis bahwa konservatisme bisa

menyebabkan pernyataan yang merendahkan atau understatement terhadap nilai

laba saat ini dan membesarkan atau overstatement pada nilai laba dimasa yang

akan datang sebagai akibat dari penundaan laba yang dilakukan perusahaan.

Dengan begitu, perusahaan yang menerapkan metode konservatif pada laporan

keuangannya maka akan menyebabkan laporan keuangan perusahaan tersebut bias

atau tidak menggambarkan keadaan atau kondisi perusahaan yang sebenarnya.

Prinsip konservatisme akuntansi sampai saat ini masih menjadi

pembahasan yang kontroversial, dimana masih ada pihak yang setuju jika

perusahaan menerapkan metode konservatif pada laporan keuangan perusahaan

dan juga ada pihak yang tidak setuju dengan metode konservatif pada laporan

6
keuangan karena menganggap tidak bermanfaat. Berikut penyajian mengenai

akuntansi konservatisme bermanfaat dan tidak bermanfaat (Alfian, 2013):

1. Akuntansi konservatisme bermanfaat

Salah satu diperlukannya prinsip konservatisme dalam laporan

keuangan perusahaan adalah menetralisir optimisme para manajer dalam

melaporkan hasil usahanya. Artinya laporan keuangan yang dihasilkan akan

bersifat pesimis. Menurut Watts (2003a) prinsip konservatisme ini dapat

menghindari sikap optimisme para manajer dalam kontrak-kontrak yang

menggunakan laporan keuangan sebagai medianya. Dengan begitu prinsip

konservatisme dapat menghindari sifat moral hazard dan praktik manajemen

laba oleh manajer dalam perusahaan.

Watts (2003a) menyatakan selain untuk membatasi perilaku optimisme

manajer, prinsip ini dapat memberikan manfaat bagi perusahan untuk

meningkatkan nilai perusahaan karena akan membatasi opportunistic payment

kepada manajer dalam bentuk bonus dan kepada pemegang saham dalam

bentuk dividen. Selain itu manfaat lainnya adalah mengurangi potensi tuntutan

hukum (litigation) akibat pencatatan laba yang overstatement. Dan terakhir

menaati peraturan yang dibuat oleh standar akuntansi dalam metode yang

dipilih dalam penyusunan laporan keuangan.

Prinsip ini sangat menolong para kreditur, pemegang saham serta calon

investor karena hasil laba yang dilaporkan perusahaan merupakan nilai laba

minimal. Menurut Almilia (2004), nilai laba dalam laporan keuangan yang

disusun menggunakan prinsip konservatisme merupakan laba yang berkualitas

7
karena menunjukkan laba minimal atau laba yang nilainya tidak dibesar

besarkan.

2. Akuntansi konservatisme tidak bermanfaat

Salah satu kritik yang sering muncul dalam penggunaan akuntansi

konservatisme adalah prinsip ini mempengaruhi hasil dari laporan keuangan.

Kiryanto dan Supriyanto (2006) menyatakan bahwa jika laporan keuanga

dibuat atas dasar metode konservatif hasilnya cenderung bias dan tidak

mencerminkan keadaan keuangan perusahaan sebenarnya. Ini dikarenakan

prinsip konservatisme yang lebih cepat mengakui kewajiban dan biaya serta

lebih lambat mengakui aktiva dan pendapatan.

Menurut Klein dan Marquardt (2000), terdapat dua aspek yang

menjadikan konservatisme akuntansi mengurangi kualitas dari laporan

keuangan, khususnya dalam hal revelansi. Pertama, konservatisme melaporkan

nilai laba dan asset terlalu rendah. Akibatnya akan mempengaruhi kualitas

relevansi laporan keuangan khususnya netralitas. Dan juga adanya

konservatisme akuntansi mendorong adanya sikap pesimistik yang akan

menjadi masalah ketika melakukan analisis ekuitas. Kedua, konsrvatisme

menerapkan penundaan pengakuan berita baik dan dengan segera mengakui

berita buruk. Hal tersebut dapat mengakibatkan understatement atas laba yang

dilaporkan pada periode saat ini, lalu overstatement terhadap laba yang

dilaporkan pada periode yang akan datang.

8
2.1.3 Intensitas Modal

2.1.3.1 Struktur Modal

Dalam literatur keuangan, struktur modal merupakan salah satu yang perlu

diperhatikan, karena keputusan-keputusan yang berkaitan dengan struktur modal

akan berdampak pada aktivitas-aktivitas perusahaan dimasa mendatang. Fahmi

(2015: 179) mengatakan bahwa struktur modal merupakan gambaran dari bentuk

proporsi finansial perusahaan yaitu antara modal yang dimiliki yang bersumber

dari utang jangka panjang (long-term liabilities) dan modal sendiri (shareholder’s

equity) yang menjadi sumber pembiayaan suatu perusahaan.

Sulindawati, dkk (2017: 121-122) mengatakan dalam menetukan struktur

modal perusahaan, manajemen dapat juga menerapkan analisis subjektif

(judgment), berikut faktor yang dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan

tentang struktur modal, yaitu:

1. Kelangsungan hidup jangka panjang (long-run viability)

Manajer perusahaan, khususnya yang menyediakan produk dan jasa

yang penting, memiliki tanggung jawab untuk menyediakan jasa yang

berkesinambungan. Oleh karena itu, perusahaan harus menghindari tingkat

penggunaan utang yang dapat membahayakan kelangsungan hidup jangka

panjang perusahaan.

2. Konservatisme manajemen

Manajer yang bersifat konservatif cenderung menggunakan tingkat

utang yang “konservatif” pula (sedikit utang) daripada berusaha

memaksimumkan nilai perusahaan dengan menggunakan lebih banyak utang

9
3. Pengawasan

Pengawasan utang yang besar dapat berakibat semakin ketat

pengawasan dari pihak kreditor (misalnya, melalui kontrak perjanjian atau

covenaut). Pengawasan ini dapat mengurangi fleksibilitas manajemen dalam

membuat keputusan perusahaan.

4. Struktur aktiva

Perusahaan yang memiliki aktiva yang digunakan sebagai agunan utang

cenderung menggunakan utang yang relatif lebih besar. Isalnya, perusahaan

real estate cenderung menggunakan utang yang lebih besar daripada

perusahaan yang bergerang pada bidang riset teknologi.

5. Risiko bisnis

Perusahaan yang memiliki risiko bisnis (variabilitas keuntungannya)

tinggi cenderung kurang dapat menggunakan utang yang besar (karena kreditor

akan meminta biaya utang yang tinggi). Tinggi rendahnya risiko bisnis ini

dapat dapat dilihat antara lain dari stabilitas harga dan unit penjualan, stabilitas

biaya, tinggi rendahnya operating leverage, dan lain-lain.

6. Tingkat pertumbuhan

Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi membutuhkan

modal yang besar. Karena biaya penjualan (flatation cost) untuk utang pada

umumnya lebih rendah dari fertation cost untuk jaminan perusahaan dengan

tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung menggunakan lebih banyak utang

dibanding dengan perusahaan dengan tingkat pertumbuhan rendah.

10
7. Pajak

Biaya bunga adalah biaya yang dapat mengurangi pembayaran pajak,

sedangkan pembayaran dividen tidak mengurangi pembayaran pajak. Oleh

karena itu, semakin tinggi tingkat pajak perusahaan, semakin besar keuntungan

dari penggunaan pajak.

8. Cadangan kapasitas peminjaman

Penggunaan utang akan meningkatkan resiko, ehingga biaya masal akan

meningkat. Perusahaan harus mempertimbangkan suatu tingkat penggunaan

utang yang masih memberikan kemungkinan menambah utang di masa

mendatang dengan biaya yang relatif rendah.

Intensitas modal merupakan gambaran dari besaran modal yang

dibutuhkan perusahaan untuk memperoleh pendapatan. Sinarti dan Suci (2012)

dalam penelitiannya mengatakan bahwa perusahaan yang padat modal berhadapan

dengan biaya politik yang relatif lebih besar, sehingga manajemen cenderung

berhati-hati dan akan memilih prosedur akuntansi yang tidak melebih-lebihkan

laba, dengan demikian laporan keuangan yang dihasilkan bersifat konservatif.

Intensitas modal termasuk dalam indikator yang bisa digunakan untuk

meramalkan biaya politis perusahaan. Perusahaan yang memiliki banyak modal

dihipotesiskan mempunyai biaya politis yang lebih tinggi dan manajemen akan

mengurangi laba atau melakukan konserfatif pada laporan keuangan.

11
2.1.4 Dividend Payout Ratio

2.1.4.1 Teori Dividen dan Kebijakan Pembayaran Dividen

Menurut Musthafa (2017: 141) dividen adalah bagian keuntungan yang

diterima oleh pemegang saham dari suatu perusahaan. Dividen di suatu

perusahaan tidak selalu dibagikan kepada pemegang saham, dan untuk mengambil

keputusan apakah keuntungan yang diterima perusahaan akan dibagikan kepada

pemegang saham perlu kebijakan yang baik untuk sebuah keputusan. Musthafa

(2017: 141) mengatakan kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang

diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen

atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi dimasa

yang akan datang.

Menurut Margaretha (2005: 142-144) kebijakan dividen diperkuat dengan

tiga teori kebijakan dividen:

1. The dividend irrelevance theory

Teori ini dikemukakan oleh Merton Miller dan Franco Modigliani (Miller

& Modigliani / MM). Teori ini menyatakan bahwa kebijakan dividen

perusahaan tidak mempunyai pengaruh, baik terhadap nilai perusahaan,

maupun biaya modalnya. Jadi menurut teori ini tidak ada kebijakan

dividen yang optimal.

2. The bird-in-the-hand theory

12
Teori ini menjelaskan biasanya pemilik saham lebih menyukai pembayan

dividen saat ini daripada pembayarannya di tunda untuk direalisasikan

dalam bentuk capital gain.

3. The tax preference theory

Teori yang menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap dividen dan

capital gain maka para investor lebih menyukai capital gain karena dapat

menunda pembayaran pajak.

Ada tiga kebijakan dalam pembayaran dividen (Musthafa, 2017: 143-144)

yaitu:

1. Stabile dividend policy

Pembayaran dividen selalu stabil tetap, stabil turun atau stabil naik,

meskipun net income berfluktuasi.

2. Fluctusting dividend policy

Pembayaran dividen berdasarkan keuntungan perusahaan diakhir

periode. Apabila keuntungan perusahaan meningkat, maka pembayaran dividen

juga meningkat, sebaliknya apabila keuntungan perusahaan menurun, maka

pembayaran dividen juga menurun.

3. Kombinasi stabile dan fluctuating dividend policy

Besarnya dividen yang dibayarkan, sebagian dibayarkan tetap dan

sebagian lagi dibayarkan bersifat profesional dengan tingkat keuntungan yang

didapat oleh perusahaan.

13
Dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dapa ditentukan dengan

persentase yang disebut Dividend Payout Ratio. Dividend Payout Ratio adalah

menentukan jumlah laba yang dibagi dalam bentuk dividen kas dan laba yang

ditahan sebagai sumber pendanaan, Yudiana (2013: 2016). Semakin tinggi tingkat

Dividend Payout Ratio maka akan menguntungkan bagi investor atau pemegang

saham, tetapi akan memperlemah internal finansial perusahaan.

Ada beberapa tujuan yang melatarbelakangi dibagikannya dividen saham

(Fakhruddin, 2008):

1. Untuk meningkatkan jumlah modal disetor perusahaan.

Dengan dibagikannya dividen saham, berarti perusahaan mengurangi

saldo akun laba ditahan dan ditransfer ke akun modal saham biasa. Dengan

demikian, perusahaan dapat memiliki struktur permodalan yang lebih kuat.

2. Untuk meningkatkan likuiditas perdagangan saham.

Dibagikannya dividen saham berakibat jumlah saham yang beredar

akan bertambah. Bertambahnya julah saham ini, secara teoritis akan

menurunkan harga pasar saham setelah dibagikannya dividen saham. Dengan

adanya jumlah saham yang lebih banyak dan diikuti harga saham yang semakin

murah akan mendorong peningkatan likuiditas perdagangan saham.

2.1.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio

Menurut Musthafa (2017: 142) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

besar kecilnya Dividend Payout Ratio, yaitu:

14
1. Likuiditas dari perusahaan yang bersangkutan, karena kalau likuiditas

perusahaan baik, dividen dapat dibagikan lebih besar, begitu pula

sebaliknya apabila likuidutas perusahaan tidak baik, maka dividen bisa

kecil atau bisa tidak dibagikan sebagai dividen tetapi ditahan oleh

perusahaan disebut laba ditahan.

2. Keperluan dana melunasi hutang, kalau perusahaan akan melunasi

hutangnya dengan segera, maka dividen bisa kecil atau laba ditahan, dan

sebaliknya kalau perusahaan tidak segera melunasi hutangnya atau tidak

ada hutang yang dibayar, maka dividen bisa dibayar cukup besar oleh

perusahaan dari keuntungan yang diperoleh.

3. Tingkat investasi yang direncanakan, kalau perusahaan tahun berikutnya

merencanakan investasi yang cukup besar, maka dividen tidak akan

dibagikan kepada pemegang saham atau dividen kecil, sebaliknya kalau

perusahaan tidak ada rencana untuk investasi pada tahun mendatang, maka

dividen akan dibagikan lebih besar.

4. Pengawasan, kalau dilakukan pengawasan terhadap perusahaan

sehubungan dengan ekspansi perusahaan, maka biasanya perusahaan itu

akan menggunakan dananya dari laba perusahaan untuk ekspansi, sehingga

kalau ini yang dilakukan maka ekspansi dan perusahaan memperoleh

keuntungan, maka dana keuntungan itulah yang digunakan, sehingga

dividen kecil atau dividen tidak dibayar.

5. Ketentuan dari pemerintah, biasanya ini dilakukan terhadap perusahaan

milik pemerintah atau negara BUMN. Kalau ditentukan lama harus

15
ditahan, maka dividen tidak dibagikan atau dividen kecil, begitu pula

sebaliknya.

2.1.5 Financial Distress

Menurut Sjahrial (2014: 584) financial distress merupakan suatu situasi

dimana aliran kas operasi sebuah perusahaan tidak cukup memuaskan kewajiban-

kewajiban yang sekarang (seperti perdagangan kredit atau pengeluaran bunga) dan

perusahaan dipaksa untuk melakukan tindakan korektif. Financial distress adalah

kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan terancam

bangkrut, (Atmaja, 2008: 258). Ia juga mengatakan bahwa jika perusahaan

mengalami kebangkrutan, maka akan timbul biaya kebangkrutan (Bankruptcy

Cost) yang disebabkan oleh keterpaksaan menjual aktiva dibawah harga pasar,

biaya likuiditas perusahaan, rusaknya aktiva tetap dimakan waktu sebelum terjual,

dsb. Bankruptcy Cost ini termasuk “Direct cost of financial distress”.

Menurut Sjahrial (2014: 586) perusahaan dapat mengatasi financial

distress dengan berbagai cara, antara lain:

1. Menjual aset utama

2. Merger dengan perusahaan lain

16
3. Mengurangi pengeluaran modal dari penelitian dan pengembangan

4. Menerbitkan surat berharga yang baru

5. Negosiasi dengan baik dengan para kreditur

6. Perubahan utang menjadi piutang.

2.1.5.1 Penggolongan Financial Distress

Menurut Fahmi (2015: 159-160) financial distress mempunyai 4 (empat)

kategori penggolongan, yaitu:

1. Pertama, financial distress kategori A atau sangat tinggi atau benar-benar

membahayakan. Kategori ini memungkinkan perusahaan dinyatakan untuk

berada di posisi bangkrut atau pailit. Pada kategori ini memungkinkan

pihak perusahaan melaporkan ke pihak terkait seperti pengadilan bahwa

perusahaan telah berada dalam posisi bankruptcy (pailit). Dan

menyerahkan berbagai urusan untuk ditangani oleh pihak luar perusahaan.

2. Kedua, financial distress kategori B atau tinggi dan dianggap berbahaya.

Pada posisi ini perusahaan harus memilirkan berbagai solusi realistis

dalam menyelamatkan berbagai aset yang dimiliki, seperti sumber-sumber

aset yang ingin dijual dan tidak dijual/dipertahankan. Termasuk

memikirkan berbagai dampak jika dilaksanakan keputusan merger

(pengabungan) dan akuisisi (pengambilalihan). Salah satu dampak yang

sangat nyata dilihat pada posisi ini adalah perusahaan mulai melakukan

PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pensiunan dini pada beberapa

17
karyawannya yang dianggap tidak layak (infeasible) lagi untuk

dipertahankan.

3. Ketiga, financial distress kategori C atau sedang, dan ini dianggap

perusahaan masih mampu/bisa menyelamatkan diri dengan tindakan

tambahan dana yang bersumber dari internal dan eksternal. Namun disini

perusahaan sudah harus melakukan perombakan berbagai kebijakan dan

konsep manajemen yang diterapkan selama ini, bahkan jika perlu

melakukan perekrutan tenaga ahli baru yang memiliki kompetensi yang

tinggi untuk ditempatkan di posisi-posisi strategis yang bertugas

mengendalikan dan menyelamatkan perusahaan, termasuk target dalam

menggenjot perolehan laba kembali.

4. Keempat, financial distress kategori D atau rendah. Pada kategori ini

perusahaan dianggap hanya mengalami fluktuasi finansial temporer yang

disebabkan oleh berbagai kondisi eksternal dan internal, termasuk lahirnya

dan dilaksanakan keputusan yang kurang begitu tepat. Dan ini umumnya

bersifat jangka pendek, sehingga kondisi ini bisa cepat diatasi, seperti

dengan mengeluarkan financial reserve (cadangan keuangan) yang

dimiliki, atau mengambil dari sumber-sumber dana yang selama ini

memang dialokasikan untuk mengatasi persoalan-persoalan seperti ini.

2.2 Pengembangan Hipotesis

2.2.1 Pengaruh Intensitas Modal terhadap Konservatisme Akuntansi

18
Intensitas modal merupakan besaran modal yang dimiliki oleh perusahaan

dalam bentuk aset. Intensitas modal merupakan salah satu indikator dari political

cost hypothesis, karena semakin banyak aktiva yang digunakan dalam operasi

perusahaan untuk menghasilkan penjualan atas produk perusahaan maka dapat

dipastikan bahwa perusahaan tersebut besar (Alfian dan Arifin, 2013). Semakin

tinggi rasio intensitas modal maka manajer akan cenderung melakukan upaya

untuk menurunkan laba dan laporan keuangan akan lebih konservatif yang

ditunjukkan dengan nilai conservatism accrual yang semakin besar (Hertina dan

Zulaikha, 2017).

Penelitian Sinarti dan Suci (2012) dalam penelitiannya menunjukkan

bahwa intensitas modal berpengaruh negatif terhadap konservatisme akuntansi.

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Alfian dan Arifin (2013)

yang menyatakan bahwa intensitas modal berpengaruh positif dan signifikan

terhadap konservatisme akuntansi. Susanto (2016) dalam penelitiannya

menemukan hal yang sama dengan peneliti sebelumnya yang menemukan bahwa

intensitas modal berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi.

Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang dapat ditarik adalah:

H1: Intensitas modal berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi.

2.2.2 Pengaruh Dividend Payout Ratio terhadap Konservatisme Akuntansi

Dividend payout ratio adalah persentase jumlah laba perusahaan yang

akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen kas. Dividend

payout ratio akan berbeda-beda pada perusahaan yang konservatif dan tidak

19
konservatif. Perusahaan yang konservatif akan mempengaruhi laba perusahaan,

maka secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap dividend payout

ratio. Keputusan mengenai dividen terkadang di integrasikan dengan keputusan

pendanaan dan investasi, dalam kasus perusahaan membukukan laba, namun

pembagian dividen rendah mungkin disebabkan karena manajemen sangat

concern tentang kelangsungan hidup perusahaan, melakukan penahanan

(retainend) laba untuk melakukan ekspansi atau membutuhkan kas untuk operasi

perusahaan (Sutoyo, dkk, 2011).

Penelitian mengenai dividend payout ratio yang dilakukan oleh Aristiyani

dan I Gusti (2013) menunjukkan bahwa dividend payout ratio tidak berpengaruh

terhadap konservatisme akuntansi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Widanaputra (2010) dan penelitian Ahmed, et al (2002) yang menunjukkan

bahwa dividend payout ratio berpengaruh positif terhaap konservatisme akuntansi.

Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis yang dapat ditarik adalah:

H2: Dividend Payout Ratio berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi.

2.2.3 Pengaruh Financial Distress terhadap Konservatisme Akuntansi

Financial distress merupakan gejala awal akan terjadinya kebangkrutan,

dimana perusahaan tidak mampu memenuhi kewajibannya. Perusahaan yang

mengalami kesulitan keuangan yang tidak stabil kemungkinan dapat dipicu karena

kualitas manajer yang kurang baik. Jika perusahaan dalam kesulitan keuangan dan

mempunyai prospek buruk, manajer memberi sinyal dengan menyelenggarakan

akuntansi konservatif yang tercermin dalam akrual diskresioner negatif untuk

20
menunjukkan bahwa kondisi keuangan perusahaan dan laba periode kini serta

yang akan datang lebih buruk daripada laba non-diskresioner periode kini

(Alhayati, 2013).

Penelitian mengenai financial distress dengan konservatisme akuntansi

sudah banyak dilakukan sebelumnya oleh peneliti terdahulu. Dewi dan I Ketut

(2014) menemukan bahwa financial distress mempunyai pengaruh signifikan

negatif terhadap konservatisme akuntansi. Sependapat dengan Aryani (2016) yang

juga menemukan financial distress berpengaruh negatif terhadap tingkat

konservatisme akuntansi. Berbeda dengan penelitian Anggraini (2017) dan

penelitian Pramudita (2012) yang menyatakan bahwa financial distress

berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Berdasarkan uraian tersebut maka

hipotesis yang dapat ditarik adalah:

H3: Financial distress berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi.

2.3 Kerangka Konseptual

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka untuk melihat hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen yaitu mengenai pengaruh

intensitas modal, dividend payout ratio, dan financial distress terhadap

konservatisme akuntansi pada seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI kecuali

keuangan periode 2013-2017. Kerangka konseptual yang menggambarkan

mengenai penelitian ini sebagai berikut:

Intensitas Modal

Konservatisme Akuntansi
Dividend Payout Ratio

21
Financial Distress

Gambar 2.1

Kerangka Konseptual

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Populasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2013: 117) populasi adalah generalisasi yang terdiri

atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2013-2017.

22
Sugiyono (2013: 118) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel yang dipilih dalam penelitian ini

adalah menggunakan tektik purpusive sampling, yaitu pemilihan sampel dengan

berbagai kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih spesifik.

Kriteria-kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Seluruh perusahaan terdaftar di BEI kecuali sektor keuangan dan tidak

delisting selama periode pengamatan dari tahun 2013-2017.

2. Perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan dalam satuan rupiah.

3. Perusahaan yang membagikan dividen berturut-turut selama periode

pengamatan.

2.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data kuantitatif

yang berasal dari laporan keuangan tahunan dan ICMD (Indonesian Capital

Market Directory) suatu entitas yang dilaporkan ke Bursa Efek Indonesia pada

periode 2013-2017. Menurut Sekaran (2013) data sekunder adalah data yang

diperoleh dari sumber yang telah ada sebelum penelitian dilakukan. Data sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari situs resmi Bursa Efek

Indonesia yakni www.idx.co.id.

2.3 Defenisi Operasional dan Pengukuran

Variabel

23
3.3.1 Pengertian Variabel

Variabel penelitian menurut Sugiyono (2013: 61) adalah segala sesuatu

suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai

variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik

kesimpulannya. Sedangkan menurut Sekaran (2011: 115) mendefenisikan variabel

adalah adapun yang dapat membedakan atau membawa variasi pada nilai, nilai

bisa berbeda pada berbagai waktu untuk objek atau orang yang sama atau pada

waktu yang sama untuk objek atau orang yang berbeda. Penelitian ini terdiri dari

dua variabel, yaitu variabel terikat (variabel dependen) dan variabel bebas

(variabel independen).

3.3.2 Variabel Dependen

Menurut Sekaran (2011: 116) variabel dependen adalah variabel yang

menjadi perhatian utama penelitian. Sedangkan menurut Soegoto (2008) variabel

dependen adalah variabel yang memberikan reaksi/respons jika dihubungkan

dengan variabel independen. Variabel dependen adalah variabel yang variabelnya

diamati dan diukur untuk mengetahui pengaruh yang disebabkan oleh variabel

independen. Pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen yaitu

konservatisme akuntansi.

3.3.2.1 Konservatisme Akuntansi

Konservatisme adalah sikap atau aliran mazhab dalam menghadapi

ketidakpastian untuk mengambil tindakan atau keputusan atas dasar munculan

24
(outcome) yang terjelek dari ketidakpastian tersebut (Suwardjono, 2006).

Konservatisme akuntansi dapat diukur dengan akrual yang dilihat dari laba bersih

sebelum punyusutan dan amortisasi dengan arus kas operasi. Givoly dan Hayn,

(2000) mengatakan untuk perusahaan yang stabil diharapkan jumlah kumulatif

akrualnya baik, tetapi jika akrual negatif (laba bersih lebih kecil dari arus kas

operasi) selama beberapa periode maka ada indikasi tingkat konservatisme

akuntans.

Pengukuran konservatisme akuntansi dalam penelitian ini diukur

menggunakan rumus akrual, (Givoly dan Hayn, 2000):

(¿ + Dep )−CFO
akrual= x −1
total asset

Dimana:

NI = Net Income

Dep = Depresiasi dan Amortisasi

CFO = Cash Flow Operation

3.3.3 Variabel Independen

Menurut Sekaran (2011: 117) variabel independen atau variabel bebas

adalah variabel yang mengambil variabel terikat, entah secara positif maupun

secara negatif; jika terdapat variabel bebas, variabel terikatpun akan hadir dan

dengan setiap unit kenaikan dalam variabel bebas terdapat pula kenaikan atau

penurunan dalam variabel terikat. Sedangkan menurut Soegoto (2008) variabel

25
independen merupakan variabel stimulasi atau variabel yang memengaruhi

variabel lain dan variabelnya diukur, dimanipulasi, atau dipilih oleh peneliti untuk

menentukan hubungannya dengan suatu gejala yang diteliti. Pada penelitian ini

terdapat tiga variabel independen, yaitu: Intensitas Modal (X1), Dididend Payout

Ratio (X2), dan Financial Distress (X3).

3.3.3.1 Intensitas Modal

Intensitas modal merupakan besaran modal berupa aset yang dimiliki dan

dibutuhkan oleh entitas untuk menghasilkan pendapatan. Perusahaan yang padat

modal dihipotesiskan mempunyai biaya politik yang besar, sehingga dapat

mempengaruhi penggunaan prinsip akuntansi yang konservatif (Alfian, 2013).

Semakin banyak modal yang dimiliki perusahaan akan memungkin manajer lebih

konservatif terhadap laporan keuangan, dimana akan memperlambat pengakuan

laba dan memperlakukan biaya politik sebagai utang yang akan lebih cepat diakui.

Berdasarkan penelitian Susanto (2016) intensitas modal dapat diukur

menggunakan rumus:

Total Aset
Intensitas Modal=
Total Penjualan

3.3.3.2 Dividend Payout Ratio

Dividend payout ratio merupakan persentase besaran keuntungan yang

diterima perusahaan dan akan dibayarkan pada pemegang saham. Semakin besar

persentase dividend payout ratio yang akan dibagikan kepada pemegang saham

maka akan menguntungkan bagi mereka tatapi akan memperkecil memperlemah

internal keuangan perusahaan.

26
Berdasarkan penelitian Aristiyani dan I Gusti (2013) dividend payout ratio

(DPR) dapat diukur menggunakan rumus:

Jumla h Dividen
Dividend Payout Ratio=
Laba Bersi h

3.3.3.3 Financial Distress

Financial distress merupakan gejala awal yang dihadapi oleh suatu entitas

menuju kebangkrutan terhadap penurunan kondisi keuangan perusahaan.

Perusahaan yang dikatakan mengalami kesulitan keuangan (financial distress) jika

nilai rasio menunjukkan hasil lebih kecil dan sama dengan satu, dan sedangkan

perusahaan yang dikatakan sehat atau tidak mengalami kesulitan keuanga (non

financial distress) jika nilai rasio menunjukkan hasil lebih besar dari satu

(Iswanto, 2017).

Financial distress berdasarkan penelitian Anggraini (2017) dapat diukur

menggunakan Interest Coverage Ratio (ICR) dengan rumus:

LabaOperasi
Interest Coverage Ratio=
Beban Bunga

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Statistik Deskriptif

Menurut Ghozali (2013) statistik deskriptif memberikan gambaran atau

deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi,

varian, maksimum, minimum, sum, range, kurtosis dan skewness (kemencengan

27
distribusi). Statistik deskriptif merupakan transformasi data mentah ke dalam

bentuk yang akan memberi informasi untuk menjelaskan sekumpulan faktor

dalam suatu situasi (Sekaran, 2011).

3.4.2 Uji Asumsi Klasik

Sebelum melakukan pengujian hipotesis harus dilakukan uji asumsi klasik

terlebih dahulu. Terdapat beberapa asumsi-asumsi dasar yang harus dipenuhi

terlebih dahulu sebagai berikut (Ghozali, 2013).

3.4.2.1 Uji Normalitas

Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,

variabel pengganggu atau residual mempunyai distribusi normal atau tidak.

Menurut Winarno (2013) untuk menguji normalitas dapat dilakukan dengan

menggunakan uji Jargue Bera Test. Dalam pengujian normalnya masing masing

variabel penelitian ditentukan dari nilai probability yang harus berada diatas atau

sama dengan 0,05. Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan

program Eviews 8.0.

3.4.2.2 Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang

28
baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Jika variabel

independen saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal.

Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama

variabel independen sama dengan nol (Ghozali, 2013).

Pada penelitian ini pengujian multikolinieritas dilakukan dengan

menggunakan serial colleration. Dalam tahapan pengujian multikolinieritas tidak

akan terjadi pada masing masing variabel independen yang telah dibentuk

kedalam sebuah model regresi berganda apabila seluruh variabel independen

memiliki nilai koefisien korelasi (r) dibawah atau sama dengan 0,80. Jika seluruh

variabel independen telah terbebas dari gejala multikolinieritas maka tahapan

pengolahan data lebih lanjut dapat dilakukan (Winarno, 2013).

3.4.2.3 Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada

korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan

pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan

ada problem autokorelasi (Ghozali, 2013).

Menurut Ghozali (2013), model regresi yang baik adalah regresi yang

bebas dari autokorelasi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, dilakukan Uji

Durbin-Watson (DW test). Ghozali (2013) menjelaskan, uji Durbin-Watson hanya

digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order auto correlation) dan

mensyaratkan adaya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada

29
variabel lag di antara variabel independen. Menurut Santoso (2010) dasar

pengambilan keputusan dengan uji DW adalah:

1. Angka DW dibawah -2, berarti ada autokorelasi positif

2. Angka dw diantara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi

3. Angka dw diatas +2 berarti ada autokorelasi negatif

3.4.2.4 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi

terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan

yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan lain tetap, maka disebut

Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi

yang baik adalah yang Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas

(Ghozali, 2013).

Pada penelitian ini pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan dengan

menggunakan uji White. Menurut Winarno (2013) uji white dilakukan dengan

meregresikan seluruh variabel independen yang meliputi perkalian masing masing

variabel independen, dan variabel independen yang dikuadratkan dengan nilai

residual yang di absolutkan (ARESID). Gejala heteroskedastisitas tidak akan

terjadi bila nilai probabilitas ob’s R2 yang dihasilkan memiliki nilai probabilitas

diatas alpha 0,05, maka dapat disimpulkan model regresi tidak mengandung

adanya heteroskedastisitas.

30
3.4.3 Uji Hipotesis

Model regresi linear berganda dalam penelitian ini digunakan untuk

menyatakan hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat

(Ghozali, 2013). Pengujian hipotesa akan menguji adanya pengaruh intensitas

modal, dividend payout ratio, dan financial distress terhadap konservatisme

akuntansi. Rumus regresi linier berganda yang digunakan adalah:

KA =α+ β 1 ℑ+ β 2 DPR + β 3 FD +e

Dimana :

KA = konservatisme akuntansi

α = konstanta

β1,2,3,4 = koefisien regresi

IM = intensitas modal

DPR = dividend payout ratio

FD = financial distress

ε = error term

Teknik pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

3.4.3.1 Pengujian Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel independen (Ghozali,

2013). Nilai R2 yang kecil menunjukkan terbatasnya kemampuan variabel-

variabel independen untuk menjelaskan variabel dependennya. Nilai R2 yang

dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara

31
individual variabel-variabel independen banyak yang tidak signifikan

mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2013). Pengujian ini dilakukan untuk

mengetahui besarnya kemampuan variabel intensitas modal, dividend payout

ratio, dan financial distress terhadap konservatisme akuntansi.

3.4.3.2 Pengujian Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Ghozali (2013) berpendapat uji statistik F pada dasarnya menunjukkan

apakah semua variabel independen atau bebas yang di masukkan dalam model

mempunyai pengaruh secara simultan terhadap variabel dependen atau terikat.

Untuk menguji hipotesis ini digunakan statistik F dengan kriteria pengambilan

keputusan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Bila nilai F signifikan < alpha 0,05 maka hipotesis di terima. Artinya

secara simultan variabel independen berpengaruh signifikan terhadap

variabel dependen.

b. Bila nilai F signifikan > alpha 0,05 maka hipotesis ditolak. Artinya secara

simultan variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

variabel dependen.

Pengujian ini akan dilakukan untuk mengetahui apakah variabel intensitas

modal, dividend payout ratio, dan financial distress mempunyai pengaruh

terhadap konservatisme akuntansi.

32
3.4.3.3 Pengujian Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu

variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi

variabel dependen (Ghozali, 2013). Uji t digunakan untuk menguji secara parsial

masing-masing variabel. Hasil uji t dapat dilihat pada tabel coefficients pada

kolom sig (significance).

a. Jika nilai t signifikansi < alpha 0.05 H0 ditolak Ha diterima, maka dapat

dikatakan bahwa terdapat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel

terikat secara parsial (t).

b. Jika nilai t signifikansi > alpha 0,05 H 0 diterima Ha ditolak, maka dapat

dikatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara masing-

masing variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial (t).

33
BAB IV

ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Demografi Sampel

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris pengaruh

intensitas modal, dividend payout ratio dan financial distress terhadap

konservatisme akuntansi pada seluruh perusahaan di Bursa Efek Indonesia kecuali

sektor keuangan. Periode observasi yang digunakan dari tahun 2013-2017.

Sebelum dilakukan tahapan pengolahan data maka terlebih dahulu dilakukan

pengumpulan data dan informasi. Secara umum prosedur pengambilan sampel

yang dilakukan dalam penelitian ini terlihat pada Tabel 4.1 dibawah ini:

Tabel 4.1

Deskripsi Pengambilan Sampel

Jumlah
Keterangan
Perusahaan
Perusahaan yang terdaftar di BEI kecuali sektor keuangan tahun 2013 416

Perusahaan yang delisting (2013-2017) (20)

Perusahaan yang menggunakan mata uang asing (2013-2017) (18)

Perusahaan yang tidak membagikan dividen (2013-2017) (292)


Jumlah sampel 86

Jumlah Data Panel (65x5) 430


Sumber : Bursa Efek Indonesia

34
Pada Tabel 4.1 teridentifikasi bahwa total seluruh perusahaan yang listing

kecuali keuangan ditahun 2013 yang merupakan tahun dasar sebanyak 416

perusahaan. Berdasarkan proses identifiksi yang peneliti lakukan diketahui jumlah

perusahaan yang delisting selama periode observasi berjumlah 20 perusahaan,

perusahaan yang tidak menggunakan mata uang Rupiah sebanyak 18 perusahaan,

serta perusahaan yang tidak membagikan dividen selama periode observasi

berjumlah 292 perusahaan, sehingga jumlah total perusahaan yang dikurangi

adalah 330 perusahaan, atau 79,33% dari total seluruh perusahaan yang terdapat

pada tahun dasar. Sesuai penjabaran diatas maka total sampel yang digunakan

didalam pengolahan data (416 – 330) yaitu 86 perusahaan atau 20,67% dari total

seluruh perusahaan kecuali keuangan yang listing di tahun 2013 yang merupakan

tahun dasar pengambilan sampel.

4.2 Statistik Deskriptif

Berdasarkan proses pengumpulan data yang didapatkan dari website

www.idx.co.id serta Indonesian Capital Market of Directory diketahui jumlah

perusahaan yang diikut sertakan dalam tahapan pengolahan data berjumlah 86

perusahaan. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Eviews versi

8.0. Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan diperoleh statistik

deskriptif dari masing masing variabel penelitian yang digunakan terlihat pada

Tabel 4.2 dibawah ini:

Tabel 4.2

Statistik Deskriptif Variabel Penelitian

35
Maksimu Rata- Standar
Variabel Penelitian N Minimum
m Rata Deviasi
Konservatisme Akuntansi (Y) 430 -0,177 0,166 -0,018 0,058
Intensitas Modal (X1) 430 0,183 2,113   1,044 0,414
Dividend Payout Ratio (X2) 430 0,023 0,649 0,303 0,136
Financial Distress (X3) 430 1,602 10,819  5,677 2.166
Sumber : Data sekunder yang diolah dengan Eviews 8.0 (Lampiran 2)

Sesuai dengan statistik deskriptif yang dilihat di dalam tabel 4.2 diketahui

bahwa jumlah observasi data yang digunakan dalam pengolahan berjumlah 430.

Variabel dependen pada penelitian ini yaitu konservatisme akuntansi yang diukur

dengan akrual. Nilai konservatisme akuntansi dari salah satu perusahaan yang

dijadikan sampel memiliki nilai minimum sebesar -0,177 dan nilai tertinggi

sebesar 0,166. Secara keseluruhan perusahaan yang dijadikan sampel rata rata

nilai konservatisme yang dimiliki pada umumnya perusahaan adalah sebesar

-0,018 dengan standar deviasi data sebesar 0,058.

Variabel intensitas modal dari hasil statistik deskriptif yang dilakukan

terlihat bahwa nilai terendah yang dimiliki salah satu perusahaan adalah sebesar

0,183 dan nilai tertinggi sebesar 2,113. Sementara nilai rata-rata dari seluruh

sampel yaitu sebesar 1,004 dengan standar deviasi dari data mencapai 0,414.

Variabel dividend payout ratio nilai terendah yang dimiliki salah satu

perusahaan yang dijadikan sampel adalah sebesar 0,023 sedangkan nilai tertinggi

yang dimiliki salah satu perusahaan sampel adalah sebesar 0,649. Secara

keseluruhan nilai rata-rata perusahaan yang dijadikan sampel adalah sebesar 0,303

dengan standar deviasi data mencapai 0,136.

Dan variabel financial distress nilai terendah yang dimiliki salah satu

perusahaan adalah sebesar 1,602dengan nilai tertinggi adalah sebesar 10,819.

36
Secara keseluruhan nilai rata-rata financial distress yang dimiliki keseluruhan

perusahan mencapai 5,677 dengan standar deviasi mencapai 2,166. Jadi dapat

disimpulkan pada umumnya perusahaan yang dijadikan sampel memiliki posisi

financial distress yang positif.

4.3 Pengujian Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik merupakan syarat untuk dilakukannya analisis regresi

berganda. Hal ini dilakukan agar hasil olahan data dapat menggambarkan tujuan

dari penelitian serta mendapatkan hasil yang valid. Pengujian asumsi klasik pada

penelitian ini menggunakan uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi,

dan uji heteroskedastisitas.

4.3.1 Hasil Pengujian Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi data

variabel-variabel penelitian terdistribusi secara normal (Ghozali,2013). Pengujian

ini berguna untuk mengetahui pola keragaman varian yang mendukung masing

masing variabel penelitian. Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan

uji Jargue Bera (JB). Jika nilai probability > 0,05 maka dapat dikatakan data telah

terdistribusi normal. Didalam penelitian ini pengujian normalitas diuji sebanyak

dua kali. Dalam menormalkan data, peneliti mengeluarkan data outlier atau data

ekstrim dengan menggunakan rata rata statistik deskriptif. Berdasarkan hasil

pengujian normalitas yang telah dilakukan diperoleh ringkasan hasil terlihat pada

Tabel 4.3 dibawah ini:

37
Tabel 4.3

Hasil Pengujian Normalitas Jargue Bera (JB)

Variabel Penelitian Prob Cut Off Kesimpulan


Konservatisme Akuntansi (Y) 0,0793 0,05 Normal
Intensitas Modal (X1) 0,0606 0,05 Normal
Dividend Payout Ratio (X2) 0,0530 0,05 Normal
Financial Distress (X3) 0,0526 0,05 Normal
Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 8.0 (Lampiran 2)

Berdasarkan Tabel 4.3 terlihat bahwa seluruh variabel penelitian yang

digunakan meliputi variabel konservatisme akuntansi, intensitas modal, dividend

payout ratio dan financial distress telah memiliki nilai probability diatas atau

sama dengan 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel penelitian

telah berdistribusi secara normal. Oleh karena itu tahapan pengolahan data lebih

lanjut dapat segera dilakukan.

4.3.2 Hasil Pengujian Multikolinieritas

Pengujian multikolinieritas bertujuan untuk mengetahui hubungan yang

terjadi antar variabel independen yang digunakan, apakah dalam model regresi

ditemukan adanya kolerasi antar variabel tersebut. Model regresi yang baik

seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel (Ghozali, 2013). Di dalam model

tidak terdeteksi gejala multikolinieritas bila koefesien korelasi yang diperoleh

berada dibawah 0,80. Pengujian multikolinieritas dilakukan dengan menggunakan

serial correlation. Berikut tabel hasil pengolahan uji miltikolinieritas :

Tabel 4.4

Hasil Pengujian Multikolinieritas

Variabel Independen Koefisien Cut Kesimpulan

38
Korelasi Off
X1 X2 Tidak Terjadi
0,641767 0,80
Multikolinearitas
X1 X3 Tidak Terjadi
0,563387 0,80
Multikolinearitas
X2 X3 Tidak Terjadi
0,517576 0,80
Multikolinearitas
Sumber : Data sekunder yang diolah dengan Eviews 8.0 (Lampiran 3)

Pada Tabel 4.4 terlihat bahwa seluruh variabel independen yang akan

dibentuk kedalam model regresi berganda telah memiliki nilai koefisien korelasi

dibawah 0,80 sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen

yang digunakan telah terbebas dari gejala multikolinieritas, oleh sebab itu tahapan

pengolahan data lebih lanjut dapat segera dilakukan.

4.3.3 Hasil Pengujian Autokorelasi

Pengujian autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi

yang terjadi antara kesalahan pengganggu peroide t dengan kesalahan pengganggu

pada periode t-1 (sebelumnya). Model regresi yang baik adalah yang bebas dari

autokorelasi. Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan pengujian

Durbin Watson Test. Didalam pengujian kriteria yang digunakan adalah angka

DW diantara -2 sampai +2 yang berarti tidak ada autokorelasi. Berdasarkan hasil

pengujian autokorelasi yang telah dilakukan diperoleh ringkasan hasil terlihat di

dalam Tabel 4.5 dibawah ini:

Tabel 4.5

Hasil Pengujian Autokorelasi

39
Durbin Watson Test

1 0,096
Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 8.0 (Lampiran 5)

Pada Tabel 4.5 terlihat bahwa nilai DW statistik yang dihasilkan adalah

sebesar 0,096. Proses pengujian autokorelasi menunjukan nilai DW = 0,096

berada diantara angka -2 sampai +2 yang artinya pada data penelitian ini tidak ada

autokorekasi, sehingga tahapan pengolahan data lebih lanjut dapat segera

dilakukan.

4.3.4 Hasil Pengujian Heteroskedasitisitas

Pengujian heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui pola keragaman

varian yang dimiliki masing masing variabel penelitian, dalam hal ini setiap

variabel harus memiliki nilai varian yang bernilai konstan. Model regresi yang

baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Berdasarkan

hasil pengujian yang telah dilakukan diperoleh ringkasan hasil terlihat pada Tabel

4.6 dibawah ini:

Tabel 4.6

Hasil Pengujian Heteroskedastisitas

Keterangan Obs*R-squered Probabilit Kesimpulan

y
Intensitas modal,
Tidak terjadi
dividend payout ratio 0.923 0.05
heteroskedastisitas
dan financial distress
Sumber: Data sekunder yang diolah dengan Eviews 8.0 ( Lampiran 4)

40
Berdasarkan hasil pengujian heteroskedastisitas dengan menggunakan uji

white diperoleh nilai probability Obs*R-Squared 0,923, yaitu besar dari 0,05

sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen yang akan

dibentuk kedalam sebuah model regresi berganda telah terbebas dari gejala

heteroskedastisitas sehingga tahapan pengolahan data lebih lanjut dapat segera

dilakukan.

4.4 Pengujian Hipotesis dan Pembahasannya

Setelah seluruh variabel penelitian yang digunakan telah berdistribusi

normal dan terbebas dari seluruh gejala asumsi klasik maka tahapan pengujian

hipotesis dapat segera dilakukan. Hasil regresi variabel intensitas modal, dividend

payout ratio dan financial distress sebagai varibel independen terhadap

konsevatisme akuntansi sebagai variabel dependen dapat dilihat pada tabel 4.7

dibawah ini :

Tabel 4.7

Hasil Uji Regresi

Variabel Kesimpulan
Coefficient Prob
Penelitian Hipotesis
(Constanta) -0,105 -
X1 0,088 0,000* H1 Diterima
X2 0,027 0,204 H2 Ditolak

41
X3 -0,002 0,077** H3 Diterima
R2 0,391
F-Prob 0,000
Sumber : Data sekunder yang diolah dengan Eviews 8.0( Lampiran 5)

* signifikan pada level 0,05

** signifikan pada level 0,10

Pada Tabel 4.7 terlihat bahwa setiap variabel independen yang digunakan

memiliki koefisien regresi yang dapat dibuat kedalam sebuah model persamaan

regresi berganda seperti terlihat dibawah ini:

Y = -0,105 + 0,088X1 + 0,027X2 – 0,002X3

Berdasarkan tabel hasil uji regresi diatas juga dapat dilihat bahwa nilai R²

sebesar 0,391 atau 39,1%. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa intensitas

modal, dividend payout ratio dan financial distress mampu memberikan variasi

kontribusi dalam mempengaruhi konservatisme akuntansi sebesar 39,1%

sedangkan sisanya 60,9% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak digunakan

didalam model penelitian saat ini.

Dari hasil uji statistik F, diperoleh nilai F-Prob sebesar 0,000. Hasil uji

statistik F dengan nilai 0,000 lebih kecil dari alpha sebesar 0,05, dengan ini dapat

disimpulkan bahwa intensitas modal, dividend payout ratio dan financial distress

merupakan variabel yang tepat untuk digunakan dalam memprediksi

konservatisme akuntansi pada seluruh perusahaan kecuali sektor keuangan di

Bursa Efek Indonesia, atau model regresi panel yang terbentuk dinyatakan layak

untuk di analisis.

42
4.4.1 Pengaruh Intensitas Modal Terhadap Konservatisme Akuntansi Pada

Seluruh Perusahaan di Bursa Efek Indonesia

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama seperti tabel 4.7 terlihat

bahwa hasil pengujian t-statistik membuktikan pengaruh intensitas modal

terhadap konservatisme akuntansi diperoleh nilai koefisien regresi bertanda positif

sebesar 0,088 dengan nilai probability sebesar 0,000. Proses pengolahan data

digunakan tingkat kesalahan sebesar 0,05. Hasil yang diperoleh menunjukan

bahwa nilai probability sebesar 0,000 < alpha 0,05 maka dengan demikian

hipotesis pertama (H1) diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa intensitas

modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap konservatisme akuntansi pada

seluruh perusahaan di Bursa Efek Indonesia.

Hal ini menunjukkan semakin tinggi intensitas modal perusahaan maka

semakin tinggi juga tingkat konservatisme akuntansi perusahaan. Sesuai dengan

biaya politis, semakin besar intensitas modal suatu perusahaan maka semakin

padat modal perusahaan tersebut dan semakin besar biaya politis yang melekat,

contohnya seperti tuntutan karyawan untuk menaikan upah dan gaji, sehingga

perusahaan akan berusaha menurunkan laba pada laporan keuangan dan membuat

perusahaan menjadi lebih konservatif.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh

Alfian dan Arifin (2013) serta hasil penelitian oleh Susanto (2016) yang

menemukan bahwa intensitas modal berpengaruh positif terhadap konservatisme

akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan. Hasil yang diperoleh menunjukan

bahwa intensitas modal berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi

43
dikarenakan investor maupun kreditor memiliki kepentingan terhadap laba

perusahaan dalam bentuk bungan dan pembayaran pokok hutang dan juga klaim

ketika perusahaan bangkrut. Hal tersebut akan mengakibatkan investor untuk

menjaga kendali atau melakukan kontrol terhadap keputusan operasional melalui

manajer. Maka dengan begitu akan menekankan tindakan perekayasaan laba

karena manajer akan cenderung bersikap konservatif dalam melaporkan laba.

Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Sinarti dan Suci (2012) yang menunjukkan bahwa intensitas modal

berpengaruh negatif terhadap konservatisme karena pada penelitiannya rata-rata

perusahaannya adalah perusahaan yang padat modal, sehingga perusahaan

tersebut cenderung untuk tidak menerapkan prinsip yang hati-hati dalam

penyajian laporan keuangannya.

4.4.2 Pengaruh Dividend Payout Ratio Terhadap Konservatisme Akuntansi

Pada Seluruh Perusahaan di Bursa Efek Indonesia

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada tabel 4.7 diperoleh nilai

koefisien regresi bertanda positif sebesar 0,027 dengan nilai probability sebesar

0,204. Proses pengolahan data digunakan tingkat kesalahan sebesar 0,05. Hasil

yang diperoleh menunjukan bahwa nilai probability sebesar 0,204 > alpha 0,05

maka dengan demikian hipotesis kedua (H2) ditolak, sehingga dapat disimpulkan

bahwa dividend payout ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap konservatisme

akuntansi pada seluruh perusahaan di Bursa Efek Indonesia.

44
Hasil yang diperoleh pada tahapan pengujian hipotesis kedua

mengisyaratkan bahwa besar atau kecil persentase pembagian dividen kepada

pemegang saham tidak akan mempengaruhi tingkat konservatisme akuntansi

perusahaan. Sesuai dengan teori kebijakan dividen yang dinamakan the dividend

irrelevance theory yang dikemukakan oleh Miller dan Modigliani atau MM yang

menyatakan bahwa kebijakn dividen perusahaan (dividend payout ratio) tidak

punya pengaruh, baik terhadap nilai perusahaan maupun biaya modalnya. Karena

itu, selama terdapat peluang investasi dengan tingkat pengembalian yang melebihi

atau sama dengan tingkat yang diekspektasi, perusahaan akan memakai laba

ditahan serta surat berharga untuk meningkatkan basis modal yang dapat

mendukung pendanaannya. Jika perusahaan masih memiliki laba ditahan setelah

mendanai semua peluang investasi yang menguntungkan, laba ini akan

didistribusikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen kas. Maka dengan

pernyataan tersebut pembagian dividen akan berfluktuasi sejalan dengan peluang

investasi yang dimiliki perusahaan dalam periode tertentu.

Hasil penelitian yang sama juga diperoleh dalam penelitian Aristiyani dan

I Gusti (2013) yang menemukan bahwa dividend payout ratio tidak berpengaruh

terhadap konservatisme. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan hasil

penelitian Widanaputra (2010) dan penelitian Ahmed, et al (2002) yang

mengemukakan bahwa dividend payout ratio berpengaruh positif terhadap

konservatisme akuntansi, karena dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada

konflik antara manajemen dengan pemegang saham mengenai pembagian dividen.

Pembagian dividen yang tinggi akan mengurangi dampak dari sikap oportunistik

45
manajemen dan juga untuk memungkinkan masuknya modal eksternal yang

kurang disukai oleh manajemen.

4.3.3 Pengaruh Financial Distress Terhadap Konservatisme Akuntansi

Pada Seluruh Perusahaan di Bursa Efek Indonesia

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada tabel 4.7 terlihat hasil

pengujian t-statistik membuktikan pengaruh financial distress terhadap

konservatisme akuntansi diperoleh nilai koefisien regresi bertanda negatif sebesar

-0,002 dengan nilai probability sebesar 0,077. Proses pengolahan data digunakan

tingkat kesalahan sebesar 0,10. Hasil yang diperoleh tersebut menunjukan bahwa

nilai probability sebesar 0,077 < alpha 0,10 maka dengan demikian hipotesis

ketiga (H3) diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa financial distress

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap konservatisme akuntansi pada

seluruh perusahaan di Bursa Efek Indonesia.

Hal ini terjadi karena konservatisme akuntansi diterapkan untuk

menghindari konflik dengan kreditor. Apabila financial distress yang dimiliki

perusahaan tinggi, maka manajer perusahaan akan melaporkan laba yang tinggi

untuk menghindari tuntutan dari kreditor dan pihak eksternal perusahaan. Hal ini

berarti bahwa ketika perusahaan berada dalam kondisi financial distress yang

tinggi, perusahaan tidak menerapkan metode akuntansi yang konservatif dalam

perhitungan labanya. Adanya pelaporan laba yang tinggi, akan membuat

pemegang saham dan kreditor tidak menuntut perusahaan atas pinjaman dan

46
invertasinya. Adanya asimetri informasi akan membuat manajer menutupu

financial distress yang dialami oleh perusahaan.

Hasil pengujian hipotesis ketiga konsisten dengan hasil penelitian Dewi

dan I Ketut (2014) serta penelitian oleh Aryani (2016) yang menemukan bahwa

financial distress berpengaruh negatif signifikan terhadap konservatisme

akuntansi. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Anggraini (2017) dan penelitian Pramudita (2012) yang

menemukan bahwa financial distress berpengaruh terhadap konservatisme

akuntansi.

47
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh intensitas modal,

dividend payout ratio dan financial distress terhadap konservatisme akuntansi

pada seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode

2013-2017. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya pada bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Intensitas modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap

konservatisme akuntansi pada seluruh perusahaan di Bursa Efek

Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama (H1) pada

penelitian ini dapat diterima.

2. Dividend payout ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap

konservatisme akuntansi pada seluruh perusahaan di Bursa Efek

Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua (H 2) ditolak

atau gagal untuk dibuktikan kebenarannya.

3. Financial distress berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

konservatisme akuntansi pada seluruh perusahaan di Bursa Efek

Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis ketiga (H 3) pada

penelitian ini dapat diterima.

48
5.2 Keterbatasan Penelitian dan Saran

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki sejumlah

kekurangan dan keterbatasan. Berikut beberapa keterbatasan dalam penelitian ini

serta saran untuk penelitian selanjutnya :

1. Penelitian ini menggunakan periode pengamatan lima tahun yaitu dari

tahun 2013 – 2017 sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk

menggunakan tahun amatan yang lebih panjang.

2. Pada penelitian ini hanya menggunakan tiga variabel independen, yaitu

intensitas modal, dividend payout ratio dan financial distress sehingga

disarankan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menambah jumlah

variabel independen guna melihan hubungannya dengan variabel

dependen, yaitu konservatisme akuntansi. Variabel independen lainnya

yang mungkin bisa ditambahkan seperti leverage, ukuran perusahaan,

struktur kepemilikan manajerial, dan variabel independen lainnya.

49

Anda mungkin juga menyukai