Dengan memadukan konsep teoritis dan praktis, buku ini dapat menjadi
panduan mendesain dan mengembangkan kurikulum pendidikan Islam.
Dr. Sri Rahmi M.A.
Ketua Umum Perkumpulan Prodi Manajemen Pendidikan Islam
se-Indonesia
ISBN: 978-602-51031-6-2
Penulis:
Dr. Zainal Arifin, M.S.I.
Editor:
Nawa Husna dan Munif R.R
Layout:
Sufi
Desain Cover:
Suhaimi
© Copyright 2018
Diterbitkan oleh:
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jln. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Tlp. 0274 – 513056 Fax: 0274 – 519732
http://tarbiyah.uin-suka.ac.id/
PERSEMBAHAN
kepulanganku...
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR............................................................. vi
DAFTAR ISI......................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN........................................................3
A.. Kebijakan Otonomi Daerah.................................4
B.. Perkembangan Kebijakan Kurikulum ..............6
C.. Tipologi Pendidikan Islam.................................12
D.. Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam ..15
1.. Pesantren.......................................................16
2.. Madrasah.......................................................29
3.. Sekolah Islam................................................33
E.. Urgensi Manajemen Pendidikan Islam............38
1.. Konsep Dasar Manajemen...........................40
2.. Manajemen Perspektif Al-Qur’an..............41
3.. Urgensi Manajemen di Lembaga
. Pendidikan Islam..........................................47
DAFTAR PUSTAKA............................................................181
BIOGRAFI PENULIS............................................................194
BAB I:
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
1 www.puskur.net.
Tabel. 2
Penyempurnaan Pola Pikir Perumusan Kurikulum10
No KBK 2004/KTSP 2006 Kurikulum 2013
1 Standar Kompetensi Lulusan Standar Kompetensi
diturunkan dari Standar Isi Lulusan diturunkan dari
kebutuhan
2 Standar Isi dirumuskan Standar Isi diturunkan
berdasarkan Tujuan Mata Pel dari Standar Kompetensi
ajaran (Standar Kompetensi Lulusan melalui
Lulusan Mata Pelajaran) Kompetensi Inti yang
yang dirinci menjadi Standar berbasis mata pelajaran
Kompetensi dan Kompetensi
Dasar Mata Pelajaran
10 Ibid., hlm. 30
1. Pesantren
Dari segi historis pesantren tidak hanya identik
makna keislaman, tapi juga mengandung makna
keaslian Indonesia (indigenous).18Abdurrahman Wahid
menyatakan bahwa pesantren sebagai subkultur.
Sebagai sebuah subkultur, pesantren harus memiliki
keunikannya sendiri, misalnya: (1) cara hidup yang
dianut; (2) pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti;
(3) serta hierarki kekuasaan internal tersendiri yang
ditaati sepenuhnya. Dengan pola kehidupan yang unik
yang tinggi.36
Menurut Mastuhu, yang dikutip Amin Haedari,
dkk bahwa pendidikan pesantren mempunyai empat
ciri khusus, yaitu: (1) pelajaran agama versi kitab-kitab
Islam klasik berbahasa Arab, (2) teknik pengajaran
yang unik yang dikenal dengan metode sorogan,
bandongan atau wetonan, (3) mengedepankan hafalan,
dan (4) menggunakan sistem halaqah. Metode Sorogan
adalah pengajaran individual. Metode ini dibagi dua,
yaitu: (1) bagi santri pemula, mereka mendatangi kiai
yang akan membacakan kitab tertentu, (2) bagi santri
senior, mereka mendatangi kiai supaya mendengarkan
sekaligus memberikan koreksi terhadap bacaan
kitabnya. Metode bandongan (wetonan) adalah
pengajaran kolektif di mana santri secara bersama-
sama mendengarkan seorang kiai yang membaca,
menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab
berbahasa Arab tertentu, sedangkan metode Halaqah
adalah lingkaran sekelompok santri yang belajar
dibawah bimbingan kiai. 37
Seiring perkembangan ilmu dan pengetahuan,
akhir-akhir ini banyak pesantren di Indonesia melaku
pondok pesantren.38
Dalam perkembangan pesantren di Indonesia,39
muncul model perguruan tinggi Islam pasca pesantren
yang dinamakan Ma’had Aly. Ma’had dapat diartikan
sebagai pondok/pesantren, sedangkan Aly berarti
tinggi. Pada umumnya, Ma’had Aly sebagai pendidikan
tahap lanjutan dari pesantren tradisional. Lembaga
ini diperuntukan bagi para santri senior yang sudah
mendapatkan modal awal materi keislaman dari kitab-
kitab klasik, tapi mereka masih memiliki kelemahan
dalam hal metodologi. Menurut Marwan Saridjo,
program utama kegiatan Ma’had Aly pada dasarnya
menelaah dan membahas kitab-kitab klasik berbahasa
Arab, baik dalam bentuk bahtsul masail atau dalam
bentuk diskusi atau halaqah atas kandungan kitab-
kitab dari berbagai perspektif sesuai dengan dinamika
perkembangan situasi kontemporer.40
Agus Muhammad mengutip penelitian Marzuki
Wahid, dkk tahun 2000, pendidikan tinggi yang
2. Madrasah
Kata ”madrasah” adalah isim makan dari kata: darasa
– yadrusu – darsan wa durusan wa dirasatan, yang berarti:
terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan
usang, melatih, mempelajari. 45 Secara harfiah
45 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap,
3. Sekolah Islam
Sekolah Islam dalam konteks ini adalah sekolah
atau lembaga pendidikan umum yang bernafaskan
Islam. Pada umumnya, model lembaga pendidikan ini
diselenggarakan oleh yayasan maupun organisasi Islam
seperti Muhammadiyah, NU, Hidayatullah, al-Irsyad,
atau Sekolah Islam Terpadu (SIT) yang muncul pada
abad ke-20 yang diinisiasi oleh Jamaah Tarbiyah untuk
memberikan pelayanan pendidikan Islam terpadu
52 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan…, hlm. 99
dengan baik]”.
Dalil ini menunjukkan bahwa pengorganisasian
itu sangat penting untuk mencapai tujuan yang sudah
dirumuskan bersama. Seringkali kebaikan yang tidak
terorganisir dengan baik akan kalah atau tersingkirkan
dengan kejahatan (keburukan) yang terorganisir.
Seperti ungkapan yang sering didengar di tengah-
tengah masyarakat, “Tuntunan menjadi Tontonan
dan Tontonan menjadi Tuntunan”.
Dalam al-Qur’an, Allah telah menjelaskan bahwa
ketika manusia tidak bisa mengatur (mengorganisasi)
kehidupannya dengan tuntunan ajaran Islam maka
akan rugi. Salah satunya dalam Q.S. al-Ashr [103]: 1-3
Allah berfirman:
ُ َ َ َّ ّ ْ ُ َ َ َ ْ َّ ْ َ ْ َ
إِل الِين آمنوا٢ س ٍ ْ إِن اإلنسان ل ِف خ١ ص ِ والع
٣ب ْ الص َ ال ّق َوتَ َو
َّ اص ْوا ب َ الات َوتَ َو
َ اص ْوا ب َّ َو َعملُوا
َ ِ الص
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
“Demi masa (1) sungguh, manusia berada dalam kerugian
(2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan
saling menasihati untuk kesabaran (3)”69
Menurut Ibn Katsir, definisi “Al-‘Ashr” adalah
“masa” yang di dalamnya berbagai aktivitas anak cucu
b. Keterlibatan total
Setiap orang mesti terlibat dalam transformasi
mutu. Manajemen mesti memiliki komitmen
untuk menfokuskan pada mutu.74 Transformasi
mutu tanpa keterlibatan total dari semua
stakeholders pendidikan akan sia-sia, karena
tidak ada konsistensi terhadap mutu yang
sudah dirumuskan. Maka, evaluasi diperlukan
untuk mengontrol keterlibatan transformasi
mutu, misalnya dilakukan audit mutu
internal yang bertujuan untuk mengontrol
implementasi mutu di tingkat internal. Contoh
audit mutu internal yang bisa dilakukan di
madrasah adalah pengecekan dokumen yang
berkaitan dengan kewajiban guru dalam
mengajar, seperti RPP, silabus, dan bahan
ajar. Agar audit mutu tersebut berjalan dengan
baik maka perlu disusun Standart Operating
Procedure (SOP) tentang standar RPP, Silabus,
bahan ajar, dan lain-lain.
c. Pengukuran
Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran
sekolah (output) adalah prestasi siswa.
Ukuran dasarnya adalah hasil ujian. Bila ujian
d. Komitmen
Para pengawas sekolah dan dewan sekolah
harus memiliki komitmen pada mutu. Bila
mereka tidak memiliki komitmen, proses
transformasi mutu tidak akan dapat dimulai
karena kalaupun dijalankan pasti gagal.
Setiap orang perlu mendukung upaya mutu.
Mutu merupakan perubahan budaya yang
menyebabkan organisasi mengubah cara
75 Ibid, hlm. 13
76 Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, (Malang:
Aditya Media bekerjasama dengan UIN Malang Press, 2004), hlm.
43
e. Perbaikan berkelanjutan
Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesua
tu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi
manajemen lama, “Kalau belum rusak, janganlah
diperbaiki”. Menurut filosofi manajemen
yang baru, “Bila tidak rusak, perbaikilah,
karena bila Anda tidak melakukannya orang
lain pasti melakukannya”. Inilah konsep
perbaikan berkelanjutan. 78 Konsep perbaikan
berkelanjutan (continuous improvement) ini di
Jepang disebut dengan KAIZEN atau perbaikan
berkesinambungan yang melibatkan seluruh
pekerjanya, dari manajemen tingkat atas
sampai bawah.79
BAB II:
TEORI PENGEMBANGAN
KURIKULUM
BAB II
TEORI PENGEMBANGAN
KURIKULUM
A. KONSEP KURIKULUM
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan, begitulah
pendapat William H. Schubert yang dikutip Wesley Null
dalam Curriculum from Theory to Practice. Setidaknya
ada dua alasan mengapa kurikulum dapat dikatakan
sebagai jantungnya pendidikan, yaitu (1) kurikulum
berhubungan dengan sesuatu yang seharusnya diajarkan,
dan (2) kurikulum merupakan gabungan antara pikiran,
perbuatan, dan tujuan.80
80 Wesley Null, Curriculum from Theory to Practice, (United Kingdom:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 1973), hlm. 1.
84 Ibid., hlm. 10
85 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 50-51
62
Perkembangan Definisi Kurikulum
BAB II:
Hilda Taba 1962 Kurikulum memuat: (1) pernyataan tujuan, (2) menunjukkan pemili-
63
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum
90 Ibid., hlm. 97
1. Prinsip Umum
Prinsip pertama, relevansi. Dua macam relevansi
kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan di dalam. Relevansi
ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar
yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan
2. Prinsip Khusus
Nano Syaodih S membagi prinsip khusus dalam
pengembangan kurikulum ada lima, yaitu: Pertama,
Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan ada yang bersifat umum atau berjangka
panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan
khusus). Perumusan tujuan pendidikan bersumber
pada: (1) ketentuan dan kebijakasanaan pemerintah,
(2) survai mengenai persepsi orang tua/masyarakat
tentang kebutuhannya, (3) survai tentang pandangan
para ahli dalam bidang-bidang tertentu, (4) survai
tentang manpower; (5) pengalaman negara-negara lain
dalam masalah yang sama, dan (6) penelitian.
Kedua, Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi
pendidikan. Beberapa hal yang perlu pertimbangan
dalam pemilihan isi kurikulum, yaitu: (1) penjabaran
tujuan pendidikan ke dalam bentuk perbuatan hasil
belajar yang khusus dan sederhana, (2) isi bahan
pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan, (3) unit-unit kurikulum harus disusun
dalam urutan yang logis dan sistematis.
Ketiga, Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses
belajar mengajar (PBM). Pemilihan PBM hendaknya
memperhatikan, (1) metode (teknik) belajar-mengajar
yang cocok untuk mengajarkan bahan pelajaran,
(2) metode (teknik) yang memberikan kegiatan
4. Pendekatan Rekonstruksionalisme
Pendekatan ini disebut juga rekonstruksi sosial
karena memfokuskan kurikulum pada masalah
penting yang dihadapi masyarakat, seperti
polusi, ledakan penduduk, malapetaka akibat
tujuan teknologi, dan lain-lain. Misalnya, kebija
kan pemerintah merumuskan kurikulum anti
korupsi untuk mengajarkan anak didik sedini
mungkin tentang bahaya korupsi, kurikulum
berbasis karakter dengan tujuan memperbaiki
karakter anak didik, dan lain sebagainya. Idi
mengutip pendapat Nasution, pendekatan
rekonstruksionalisme terbagi dua kelompok, yaitu:
5. Pendekatan Humanistik
Idi mengutip pendapat Soemantrie bahwa kuriku
lum berpusat pada murid (student centered) dan mengu
tamakan perkembangan afektif. Pendidik humanistik
yakin bahwa kesejahteraan mental dan emosional
murid harus diutamakan dalam kurikulum. Prioritas
pengalaman belajar diarahkan pada tanggapan minat,
kebutuhan, dan kemampuan.
6. Pendekatan Akuntabilitas
Pendekatan ini memperhatikan standar dan tujuan
spesifik. Keberhasilan murid untuk mencapai standar
tersebut. Sekolah dituntut untuk memperhatikan
dan membuktikan keberhasilannya yang berstandar
tinggi. Agar memenuhi tuntutan itu, para pengembang
kurikulum terpaksa mengkhususkan tujuan pelajaran
agar dapat mengukur prestasi belajar. Dalam banyak
hal, gerakan ini menuju kepada ujian akademis yang
ketat sebagai syarat memasuki universitas atau
sekolah.
Tabel. 5
Model Pengembangan Kurikulum
MODEL TYLER MODEL TABA
Menurut Tyler, pengembangan kuri- Menurut Taba, pengembangan
kulum mencakup: kurikulum mencakup:
a. diagnosis kebutuhan, P
a. tujuan,
b. rumusan tujuan, E
b. pengalaman belajar, c. seleksi dan organisasi konten,
c. pengelolaaan pengalaman bela- d. manifestasi pengalaman bela- N
P jar, dan jar, serta D
E e. penilaian.
d. penilaian tujuan belajar. E
N
D PENDIDIKAN BERBASIS HASIL BELAJAR (PBHB) K
E (OUTCOMES BASED-EDUCATION/OBE)
A
K Pengembangan kurikulumnya mencakup:
a. menentukan hasil belajar; T
A
T b. menentukan pengetahuan, kompetensi, dan kinerja; serta A
c. menentukan cara mendesain, menyampaikan, dan mendokumenta-
A N
sikan pembelajaran.
N
MODEL PENDEKATAN MODEL NONTEKNIK-
TEKNIK-SAINTIFIK NONSAINTIFIK
Pengembangan kurikulumnya men- Pengembangan kurikulumnya
cakup: mencakup:
S K
a. menyusun perencanaan/blue a. berorientasi pada hal-hal yang
I print; subjektif, pribadi, keindahan, O
S b. menyusun struktur lingkungan penalaran, dan transaksi; N
T belajar; b. berorientasi pada murid T
E c. mengordinasikan sumber daya melalui cara-cara aktif dalam
M manusia, bahan, dan peralatan; belajar mengajar; E
A d. mempunyai derajat objektifitas, c. kurikulum berkembang daripa- K
T universalitas, dan logika yang da direncanakan; serta S
I tinggi; d. dunia merupakan suatu benda
T
K e. dapat menjelaskan kenyataan hidup.
secara simbolis; U
f. percaya pada efisiensi dan efektif- A
itas dari sistem; serta L
g. dunia dilihat sebagai mesin yang
dapat digambar, dibuat, dan
diamati.
134 Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayani, ‘Irfani, dan Burhani dan
Implikasinya Terhadap Keilmuan Pesantren”, Hermeneia Jurnal
Kajian Islam Interdisipliner, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 6 (1), Januari-Juni 2007, hlm.72.
135 Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Takwiin al-‘Aql al-Araby, cetakan
kesepuluh, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 2009),
hlm.104.
136 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 202 atau M. Amin Abdullah, dkk, Islamic Studies dalam
Paradigma Integrasi-Interkoneksi (sebuah Antologi), (Yogyakarta:
Suka Press, 2007), hlm.1-14.
148 M. Amin Abdullah, “Al-Ta’wil Al Ilmi: Ke arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, al-Jami’ah,
109
Journal of Islamic Studies, 39 (2), july– December 2001, hlm.380-383.
4. Theoritical Al-Ashl-al-Far’, Istin- Dzahir-Bathin, Tanzil – Al-Tasawwurat-al-Tasdiqat;
110
Framework bathiyah (pola pikir Ta’wil, Nubuwah – Wilayah, al-Had-al-Burhan, Pre-
(Kerangka yang deduktif yang Haqiqi – Majazi mis-premis logika (al-Man-
BAB II:
Mutasyabih.
(qiyas)
111
9. Kelompok Kalam (Teologi), Fikih Al-Mutashawwifah, Ashab Falasifah, Ilmuwan (Alam,
112
Ilmu Pen- (Jurisprudensi/Fuqaha’; al-‘Irfan/ Ma’rifah (Esoterik), Sosial, Humanitas)
dukung Ushuliyyun, Nahwu Hermes/’Arifun
BAB II:
(Grammar); Balaghah
10. Hubungan Subjective (Theistic atau Intersubjective, Wihdatul Objective (al-Nadzrah
Subjek dan Fideistic Subjectivism) al-Wujud (Unity in Difference; al-Maudluiyyah), Objective
Objek Unity in Multiplicity) Rationalism (terpisah antara
subject dan object)
Teori Pengembangan Kurikulum
BAB III:
PRAKTIK PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM
BAB III
PRAKTIK PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM
A. PESANTREN
Praktik pengembangan kurikulum pada pesantren,
penulis memberikan contoh kasus yang terjadi di MI Tahfi
dhul Qur’an Tasywiqut Thullab Salafiyah (MITQ TBS) Kudus
Jawa Tengah yang diteliti oleh Nawa Husna, mahasiswi
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam yang penulis
bimbing. MITB TBS Kudus merupakan lembaga Pendidikan
formal yang berada di dalam kompleks Pondok Tahfidz
Yanbu’ul Qur’an Anak-anak (PTYQA) Kudus Jawa Tengah
yang berada di Jalan KH Muhammad Arwani Amin No.12
Krandon Kota Kudus Jawa Tengah.149
Sistem pendidikan Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an
Anak-anak (PTYQA) adalah mengintegrasikan sistem salafi
yah dengan modern (mixed) dengan membuka madrasah
a. Diagnosis kebutuhan
Diagnosis kebutuhan untuk mengetahui mengapa
MITQ TBS Kudus membuka program tahfidz di Madrasah
Ibtidaiyah (MI) formal. Berdasarkan penelitian Nawa
Husna, terdapat beberapa pertimbangan MITQ TBS
Kudus mengembangkan kurikulum sistem tahfidz al-
Qur’an, yaitu:
(1) visi dan misi Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an
Anak-anak (tercapainya anak usia 6-12 tahun yang
hafal al-Qur’an 30 juz bil-hifdzi), (2) mendukung
program tahfidz yang terlebih dahulu ada di pesantren
(PTYQA), (3) membekali tahfidz al-Qur’an sebagai
landasan hidup siswa, (4) kebijakan pemerintah, (5)
mengembangkan keterampilan, potensi, bakat dan
minat siswa, (6) membekali siswa dengan keilmuan
agama dan umum, (7) menciptakan lingkungan
yang qur’ani bagi siswa, (8) mendidik siswa untuk
berakhlakul karimah, disiplin, bertanggung jawab
b. Merumuskan Tujuan
Menurut Hilda Taba, hasil diagnosis kebutuhan
akan memberikan informasi dalam perumusan tujuan.155
Atas dasar ini, maka tujuan pendidikan disusun untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan pendidikan
disusun juga didasarkan pada visi dan misi lembaga
pendidikan. Tujuan pendidikan meliputi tujuan
nasional, institusional, kurikuler, dan instruksional.
Pertama, tujuan nasional. Rumusan tujuan nasional
bisa melihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas 2003), yakni:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta perada
e. Evaluasi
Kegiatan evaluasi dalam pengembangan kurikulum
untuk mengukur tingkat keberhasilan program
pendidikan yang sudah dirumuskan oleh lembaga
pendidikan. Evaluasi program tahfidz di MITQ TBS
Kudus dilakukan untuk mengukur keberhasilan tahfidz
al-Qur’an murid. Ada beberapa metode yang dijadikan
alat ukur (evaluasi) sistem tahfidz di MITQ TBS Kudus,
yaitu:
1) Metode sima’an (mendengar), yaitu evaluasi
yang diadakan dua kali dalam setahun, pada
bulan Shafar dan Ramadhan dengan Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) setengah dari
tahfidz al-Qur’an telah dicapai oleh masing-
B. MADRASAH
Praktik pengembangan kurikulum pada madrasah,
penulis memberikan contoh kasus yang terjadi di Madrasah
Aliyah Program Keagamaan (MAPK) yang diteliti oleh Munif
Rofi’atur Rohmah, mahasiswi Manajemen Pendidikan
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta yang penulis bimbing.165 Adapun lokasi
164 Nawa Husna, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…, hlm. 92-93.
165 Hasil penelitian lebih lengkap bisa dibaca dalam Munif Rofi’atur
Rohmah, Skripsi, “Manajemen Pengembangan Kurikulum
a. Diagnosis kebutuhan
Diagnosis kebutuhan merupakan langkah pertama
dalam pengembangan kurikulum untuk mengetahui
kebutuhan-kebutuhan murid maupun madrasah yang
mendorong perlunya pengembangan kurikulum. Hal
ini penting dilakukan agar madrasah dapat beradaptasi
dengan perkembangan sains dan teknologi, sehingga
kurikulum yang dikembangkan memberikan bekal
bagi murid untuk menghadapi zamannya.
Ada beberapa pertimbangan MAPK MAN 1 Sura
karta dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
(1) visi dan misi MAPK Surakarta untuk ”menyiap
kan murid yang berakhlakul karimah dan
memiliki keahlian di bidang keilmuan Islam, (2)
3. Evaluasi
Kegiatan evaluasi merupakan langkah terakhir
dalam pengembangan kurikulum Hilda Taba. Evaluasi
kurikulum untuk mengukur seberapa berhasil tujuan
pendidikan yang sudah dirumuskan dengan melihat
C. SEKOLAH ISLAM
Praktik pengembangan kurikulum pada sekolah
Islam, penulis memberikan contoh kasus yang terjadi
di Sekolah Dasar Islam Internasional (SDII) Al-Abidin
Surakarta182 yang merupakan Lembaga Pendidikan Islam
di bawah Yayasan Islam al-Abidin Surakarta. Sekolah
Islam ini mengembangkan dirinya sebagai sekolah Islam
Terpadu berwawasan internasional sebagai bentuk
182 Penelitian ini dapat dibaca dari Tesis penulis (Zainal Arifin) yang
berjudul “Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum di Sekolah
Dasar Islam Internasional Al-Abidin Surakarta, (Yogyakarta:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2009) dan sudah dibukukan
dengan judul Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: DIVA Press, 2012). Ringkasan hasil penelitian
Tesis penulis terbitkan ke Jurnal Pendidikan Agama Islam Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam (Studi di Sekolah Dasar Islam Internasional Al-Abidin
Surakarta), 8 (2), Juli-Desember 2011: 175-194.
183 www.puskur.net.
184 Sekolah yang telah memenuhi delapan standar nasional
pendidikan disebut Sekolah Standar Nasional (SSN). Untuk
melakukan pembinaan Sekolah Potensial (sekolah formal standar/
calon SSN) mencapai standar nasional pendidikan (SNP), sehingga
mampu mencapai kategori sekolah standar nasional (SSN) atau
sekolah formal mandiri harus dilakukan pelbagai pengembangan,
misalnya pengembangan kelembagaan sekolah, SDM, standar
kompetensi kelulusan, bahan ajar, proses belajar mengajar, sistem
penilaian, teknologi, pengembangan sumber daya sekolah, dan
lain-lain. (Direktorat Pembinaan SMP Departemen Pendidikan
Nasional Tahun 2006-2007, Pembinaan Sekolah Potensial menuju
SSN. (Materi Temu Konsultasi, Koordinasi & Sinkronisasi Kepala
SMP/SMA Negeri dan Swasta Se-Jatim (Dinas Pendidikan Propinsi
Jatim: 2006)
185 Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah
sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi
a. Diagnosis Kebutuhan
Hilda Taba berpendapat bahwa kurikulum disusun
agar murid dapat belajar. Karena latar belakang murid
yang beragam maka perlu dilakukan diagnosis gaps
(celah-celah/perbedaan), deficiencies (kekurangan-
kekurangan), dan variations in these background
(perbedaan latar belakang siswa). Langkah pertama
dalam diagnosis adalah menentukan kurikulum apa
yang harus diberikan kepada murid? 188
Menurut Trisnawati (Waka Kurikulum SDII Al-
Abidin), diagnosis dilakukan sekolah dapat menyusun
kurikulum yang dapat mencakup pelbagai perbedaan
latar belakang potensi dan kompetensi murid. Dalam
melakukan diagnosis kebutuhan murid, SDII Al-Abidin
mempertimbangkan beberapa hal: (1) visi dan misi
lembaga, (2) aspirasi orang tua murid sebagai mitra
sekolah, (3) relevansi dengan kebutuhan masyarakat
dan anak didik ke depan, dan (4) kebijakan pemerintah.
(Wawancara dengan Trisnawati, Waka Kurikulum, 14
Februari 2009)
187 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran..., hlm. 31
188 Ibid, hlm. 12.
1) Waktu Belajar
SDII Al-Abidin menggunakan sistem full day
school dengan waktu belajar sebagai berikut:
Hari Kelas 1 dan 2 Kelas 3-6
Senin- 07.15 WIB-
07.15 WIB-15.35 WIB
Jum’at 14.15 WIB
07.15 WIB-11.00 WIB untuk
kegiatan pengembangan diri
Sabtu Libur
dan persiapan UASBN khusus
kelas 6
Sistem full day school merupakan ciri khas
sekolah terpadu. Pembelajaran dengan
sistem full day school mengharuskan sekolah
harus merancang perencanaan pembe
lajaran dari pagi hingga sore. SDII Al-Abidin
dalam menerapkan sistem full day school
dengan membagi dua waktu belajar, yaitu
senin-jum’at merupakan pembelajaran full
day dan Sabtu merupakan Student’s Day
(anak-anak belajar di rumah) bagi Kelas 1
dan 2 sedangkan kelas 3-6 diadakan kegiatan
pengembangan diri, seperti: kepanduan,
kegiatan minat dan bakat, dan lain-lain.
(Dokumentasi tentang profile SDII Al-Abidin
Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
2) Fase belajar
Strategi pembelajaran yang telah dikemas
oleh SDII Al-Abidin dalam membagi 6 tahun
masa pembelajaran di tingkat dasar menjadi
3 fase belajar sebagai berikut:
a) Fase motivasi pada masa belajar di kelas 1
dan 2 dengan titik tekan pencapaian hasil
belajar pada Anak SENANG BERSEKOLAH.
b) Fase transisi pada masa belajar di kelas 3
dan 4 dengan titik tekan pencapaian hasil
belajar pada Anak MENGERTI TUJUAN
BERSEKOLAH.
c) Fase prestasi pada masa belajar di kelas 5
dan 6 dengan titik tekan pencapaian hasil
belajar pada Anak MAMPU BERPRESTASI
secara akademis maupun non akademis.
(Dokumentasi tentang profile SDII Al-Abidin
Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
3) Pola pembagian kelas.
Strategi dalam pengelolaan kelas, SDII Al-
Abidin menggunakan 2 pola sebagai berikut:
Pertama, pola pembagian kelas berdistribusi
normal yang diterapkan untuk siswa kelas
1-3 dengan jenis kelamin putra dan putri.
Tujuannya siswa mengalami pengalaman
belajar dan perbedaan fitrah laki-laki dan