Anda di halaman 1dari 209

K urikulum adalah jantungnya pendidikan yang sangat

berpengaruh terhadap pengembangan kompetensi murid,


baik kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Dengan kurikulum, lembaga pendidikan Islam dapat memberikan
pengalaman belajar bagi murid agar siap menghadapi tantangan pada
zamannya, sehingga kurikulum perlu disusun dan dikembangkan
sesuai kebutuhan murid dan seiring dengan perkembangan sains dan
teknologi.
Selama ini, banyak lembaga pendidikan Islam yang hanya fokus
pada kurikulum ilmu-ilmu keislaman (tradisional) dan kurang
mengapresiasi ilmu-ilmu sains-humaniora, sehingga berdampak pada
berkurangnya minat masyarakat. Oleh karena itu, manajemen
pengembangan kurikulum penting dilakukan oleh lembaga-lembaga
pendidikan Islam untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan
sains-humaniora agar tidak tertinggal oleh perkembangan zaman dan
ditinggal (tidak diminati) oleh masyarakat (generasi) Milineal.

Sebagaimana dengan prinsip kurikulum “change and continuity”


kurikulum pendidikan Islam harus selalu dikembangkan. Buku ini dapat
menjadi panduan bagaimana kurikulum pendidikan Islam dikembangkan
agar responsif dengan perkembangan zaman.
Dr. Imam Machali, M.Pd.
Kaprodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga

Dengan memadukan konsep teoritis dan praktis, buku ini dapat menjadi
panduan mendesain dan mengembangkan kurikulum pendidikan Islam.
Dr. Sri Rahmi M.A.
Ketua Umum Perkumpulan Prodi Manajemen Pendidikan Islam
se-Indonesia

SERI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

ISBN: 978-602-51031-6-2

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FITK UIN SUNAN KALIJAGA http://mpi.uin-suka.ac.id/ 9 786025 103162
YOGYAKARTA
Dr. Zainal Arifin, M.S.I
MANAJEMEN PENGEMBANGAN
KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM
TEORI DAN PRAKTIK
MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM: TEORI DAN PRAKTIK
x + 198 hlm: 14 x 21 cm

Cetakan 1, Maret 2018


ISBN: 978-602-51031-6-2

Penulis:
Dr. Zainal Arifin, M.S.I.
Editor:
Nawa Husna dan Munif R.R
Layout:
Sufi
Desain Cover:
Suhaimi
© Copyright 2018

Diterbitkan oleh:
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jln. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Tlp. 0274 – 513056 Fax: 0274 – 519732
http://tarbiyah.uin-suka.ac.id/
PERSEMBAHAN

Risa dan Najwa yang selalu setia menunggu

kepulanganku...
KATA PENGANTAR

Kurikulum adalah jantungnya pendidikan yang sangat


berpengaruh terhadap pengembangan kompetensi murid,
baik kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Dengan kurikulum, lembaga pendidikan Islam dapat
memberikan pengalaman belajar bagi murid agar siap
menghadapi tantangan pada zamannya, sehingga
kurikulum perlu susun dan dikembangkan sesuai
kebutuhan murid dan seiring dengan perkembangan sains
dan teknologi.
Selama ini, banyak lembaga pendidikan Islam yang
hanya fokus pada kurikulum ilmu-ilmu keislaman
(tradisional) dan kurang mengapresiasi ilmu-ilmu sains-
humaniora, sehingga berdampak pada berkurangnya minat
masyarakat. Oleh karena itu, manajemen pengembangan
kurikulum penting dilakukan oleh lembaga-lembaga
pendidikan Islam untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu
agama dan sains-humaniora agar tidak tertinggal oleh
perkembangan zaman dan ditinggal (tidak diminati) oleh
masyarakat (generasi) Milineal.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I v


Dalam buku ini, ada tiga bab yang dibahas, yaitu (1)
pendahuluan yang mengkaji tentang kebijakan otonomi
daerah, perkembangan kebijakan kurikulum, tipologi
pendidikan Islam, perkembangan lembaga pendidikan
Islam, dan urgensi manajemen pendidikan Islam, (2) teori
pengembangan kurikulum yang mengkaji tentang konsep
kurikulum, teori pengembangan kurikulum, prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum, pendekatan pengembangan
kurikulum, model pengembangan kurikulum, ideologi
kurikulum pendidikan Islam, epistemologi kurikulum
pendidikan Islam, dan (3) praktik pengembangan kurikulum
pendidikan Islam di pesantren, madrasah, dan sekolah Islam.
Selamat membaca!

Yogyakarta, 24 Maret 2018

Dr. Zainal Arifin, M.S.I.

vi Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................. vi
DAFTAR ISI......................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN........................................................3
A.. Kebijakan Otonomi Daerah.................................4
B.. Perkembangan Kebijakan Kurikulum ..............6
C.. Tipologi Pendidikan Islam.................................12
D.. Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam ..15
1.. Pesantren.......................................................16
2.. Madrasah.......................................................29
3.. Sekolah Islam................................................33
E.. Urgensi Manajemen Pendidikan Islam............38
1.. Konsep Dasar Manajemen...........................40
2.. Manajemen Perspektif Al-Qur’an..............41
3.. Urgensi Manajemen di Lembaga
. Pendidikan Islam..........................................47

Dr. Zainal Arifin, M.S.I vii


BAB II TEORI PENGEMBANGAN KURIKULUM...............56
A.. Konsep Kurikulum...............................................57
B.. Teori Pengembangan Kurikulum......................63
C.. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum....68
1.. Prinsip Umum...............................................68
2.. Prinsip Khusus..............................................70
D.. Pendekatan Pengembangan Kurikulum..........72
1.. Pendekatan Bidang Studi (Subjek atau
. Displin Ilmu)..................................................73
2.. Pendekatan Berorientasi pada Tujuan......73
3.. Pendekatan dengan Pola Organisasi
. Bahan..............................................................74
4.. Pendekatan Rekonstruksionalisme...........75
5.. Pendekatan Humanistik..............................76
6.. Pendekatan Akuntabilitas...........................76
E.. Model Pengembangan Kurikulum....................77
F.. Ideologi Kurikulum Pendidikan Islam..............88
G.. Epistemologi Kurikulum Pendidikan Islam.....97

BAB III PRAKTIK PENGEMBANGAN KURIKULUM


PENDIDIKAN ISLAM..........................................................114
A.. Pesantren.............................................................115
1.. Madrasah Tahfidz Berbasis Pesantren.....116
2.. Praktik Pengembangan Kurikulum

viii Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

. Madrasah Tahfidz Berbasis Pesantren di


. MITQ TBS Kudus Jawa Tengah..................118
B.. Madrasah.............................................................129
1.. Sejarah MAPK MAN 1 Surakarta...............130
2.. Praktik Pengembangan Kurikulum di
. MAPK MAN 1 Surakarta.............................135
3.. Evaluasi .......................................................144
C.. SEKOLAH ISLAM..................................................146
1.. Sejarah SDII Al-Abidin Surakarta..............150
2.. Visi dan Misi SDII Al-Abidin Surakarta....152
3.. Praktik Pengembangan Kurikulum di
. SDII Al-Abidin Surakarta............................153

DAFTAR PUSTAKA............................................................181

BIOGRAFI PENULIS............................................................194

Dr. Zainal Arifin, M.S.I ix


BAB I:
Pendahuluan

x Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

BAB I:
PENDAHULUAN

MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM


PENDIDIKAN ISLAM TEORI DAN PRAKTIK
Dr. Zainal Arifin, M.S.I.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 1


BAB I:
Pendahuluan

2 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

Lembaga pendidikan Islam di Indonesia memiliki


sejarah panjang yang telah turut berkontribusi bagi
kemerdekaan bangsa Indonesia hingga pembangunan
mental-spiritual masyarakat hingga saat ini. Selama ini
lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah mencoba
melakukan pelbagai inovasi sistem pendidikan dengan
mengapresiasi ilmu-ilmu sains dan humaniora dalam
kurikulumnya, sebagaimana dilakukan oleh beberapa
pesantren, madrasah, dan sekolah Islam, misalnya muncul
pesantren modern (khalaf), madrasah Insan Cendekia,
Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK), dan
sekolah-sekolah Islam yang didirikan oleh organisasi-
organisasi keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, NU,
Hidayatullah, maupun Sekolah Islam Terpadu (SIT) yang
diinisiasi oleh gerakan Jamaah Tarbiyah di Indonesia.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 3


BAB I:
Pendahuluan

Pada bab pendahuluan ini, penulis akan memberikan


gambaran secara singkat bagaimana kebijakan Otonomi
Daerah (OTDA), perkembangan kebijakan kurikulum,
tipologi pendidikan Islam, perkembangan lembaga
pendidikan Islam, dan urgensi manajemen pendidikan
Islam bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Kajian pendahuluan ini setidaknya memberikan gambaran
bahwa lembaga pendidikan Islam senantiasa dituntut
untuk mengembangkan dirinya agar dapat memenuhi
kebutuhan murid (santri) yang sesuai dengan zamannya.

A. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH


Kebijakan Otonomi Daerah (OTDA) diatur dalam
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 kemudian diperbarui
dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah (OTDA) berdampak pada pengelolaan
teknis operasional penyelenggaraan pendidikan dasar
di Indonesia menjadi tanggung jawab dan kewenangan
pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan RA/
MI/MTs. Tanggung jawab pemerintah pusat adalah
menetapkan standar-standar penyelenggaraan pendidikan
dasar, yaitu: standar isi kurikulum, kompetensi lulusan,
pengelolaan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana
dan fasilitas belajar, pembiayaan, penilaian proses dan
hasil belajar murid.1

1 www.puskur.net.

4 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

UU tentang Otonomi Daerah (OTDA) berdampak


pada desentraliasi pendidikan, artinya kewenangan
pengelolaan pendidikan dialihkan ke pemerintah kota dan
Kabupaten.2 Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan
urusan pemerintah kepada daerah sehingga wewenang
dan tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab
daerah, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan
perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut
segi-segi pembiayaan aparatnya. Ranis, dikutip Faisal Jalal
dan Dedi Supriadi, menyebut sistem seperti ini sebagai
devolusi (devolution), yaitu pemerintah pusat menyerahkan
kekuasaan (power) kepada pengambil keputusan di tingkat
daerah.3
Kebijakan Otonomi Daerah (OTDA) menghasilkan
otonomi pendidikan. Menurut Djohar, OTDA memberi
konsekuensi upaya peningkatan kualitas pendidikan
menjadi tanggung jawab daerah. Meskipun demikian,
maka tidak berarti daerah harus terlalu banyak terlibat
dalam penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah Daerah
dapat memikirkan (1) model pendidikan yang cocok untuk
daerahnya, (2) menfasilitasi dana, prasarana, dan sarana
pendidikan, (3) menyiapkan pedoman pendidikan bagi
2 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, cet. ke-9, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 6.
3 Faisal Jalal dan Dedi Supriadi (editor), Reformasi Pendidikan
dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 2001), hlm. 122

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 5


BAB I:
Pendahuluan

sekolah yang membutuhkan. Sedangkan penyelenggaraan


pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada setiap sekolah
dengan membentuk Dewan Pertimbangan Sekolah (DPS)
yang memikirkan kemajuan sekolah. DPS dapat terdiri
dari kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, dan
masyarakat. Kepala Sekolah lebih besar tugasnya untuk
melaksanakan kebijakan yang telah dirumuskan oleh DPS.4
Otonomi pendidikan memberikan peluang bagi sekolah
dan khususnya guru untuk melakukan pengembangan
kurikulum sesuai konteks sekolah masing-masing. Hal ini
dilakukan agar sekolah dapat mengomodir kebutuhan-
kebutuhan murid sesuai dengan lingkungannya. Misalnya,
lingkungan petani, pedagang, pengusaha, dan lain-lain.

B. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN KURIKULUM


Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pemerintah selalu melakukan pelbagai pem­
benahan, perbaikan kurikulum atau materi program
pendi­dikan agar secara lentur bergerak cepat sejalan
dengan tuntutan dunia kerja serta tuntutan kehidupan
masyarakat yang berubah secara terus-menerus. Sebagai
wujud nyata upaya tersebut, antara lain, telah dilakukan
perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975/1976
yang berorientasi pada tujuan, kemudian disempurnakan

4 Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa


Depan, (Yogyakarta: CV. Grafika Indah, 2006), hlm. 230

6 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

pada 1984 dan 1994.5


Pada tahun 2004, pemerintah mengadakan perubahan
kurikulum sebagai upaya atas tuntutan zaman yang
menekankan pada kompetensi dan skill, sehingga
munculah kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Lahirnya kurikulum ini disambut gembira oleh pelbagai
kalangan, khususnya para pelaku pendidikan sebab dalam
kurikulum tersebut dijelaskan pelbagai kompetensi yang
harus dikuasai oleh siswa, dan guru diberi kebebasan
untuk mengembangkan metode pembelajaran yang lebih
memanusiakan siswa, pembelajaran yang terfokus pada
kebutuhan siswa (student centered). Ketika sekolah baru
mulai menyesusaikan dengan adanya kurikulum KBK
(walau masih banyak sekolah yang belum paham benar apa
itu KBK), awal tahun 2006 pemerintah lagi-lagi membuat
kejutan pada dunia pendidikan, yaitu adanya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Menurut E. Mulyasa, KTSP adalah Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, yang dikembangkan sesuai dengan
satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik
sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat,
karakteristik murid.6 Tujuan KTSP untuk memandirikan

5 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, cet. Ke-9, (Bandung:


Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 6.
6 E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 8.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 7


BAB I:
Pendahuluan

dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian


kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan
dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan
keputusan secara partisipatif dalam pengembangan
kurikulum. Dalam sistem KTSP, sekolah memiliki full
authority and responsibility dalam menetapkan kurikulum
dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan
satuan pendidikan. Peran pengembang kurikulum
dilakukan oleh guru, kepala sekolah, serta komite sekolah
dan dewan pendidikan.7
Dengan lahirnya KTSP, diharapkan lembaga pendidikan
dapat mengembangkan potensi masing-masing sesuai
dengan situasi dan kondisi sekolah, pihak pemerintah
hanya memberikan dua standar, yaitu Standar Isi (SI) dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Lembaga pendidikan
dapat secara kreatif dan inovatif mengembangkan
kurikulum yang sesuai dengan kondisi (karakter) lokal
sehingga dapat memenuhi kebutuhan riil murid.
Pada tahun 2013, pemerintah Indonesia melakukan
perubahan kurikulum kembali dengan mengeluarkan
kebijakan kurikulum 2013. Pengembangan kurikulum 2013
dilandasi oleh Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2010-2014, dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor

7 Ibid, hlm 21-22.

8 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).8


Lahirnya kebijakan kurikulum 2013 untuk menjawab
pergeseran paradigma pembangunan dari abad ke-20
menuju abad ke-21. Tujuannya untuk mempersiapkan
manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup
sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif,
kreatif, inovatif, efektif serta mampu berkontribusi pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan
peradaban dunia. Berikut ini tabel pergeseran paradigma
pembangunan dari abad ke-20 menuju abad ke-21:9
Tabel. 1
Pergeseran paradigma pembangunan dari abad ke-20
menuju abad ke-21
No Abad ke-20 Abad ke-21
1 Pembangunan ekonomi Pembagunan kesejahteraan
berbasis sumber daya berbasis peradaban
2 Sumber Daya Alam Peradaban sebagai modal
(SDA) sebagai modal pembangunan
pembangunan

8 H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Teori,


Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.169.
9 Kunandar, Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta
Didik Berdasarkan Kurikulum 2013), cet. Ke-3 (Jakarta: Rajawali
Pres, 2014), hlm. 16.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 9


BAB I:
Pendahuluan

3 Sumber Daya Manusia SDM beradab sebagai


(SDM) sebagai beban modal pembangunan
pembangunan
4 Penduduk sebagai pasar/ Penduduk sebagai pelaku/
pengguna produsen
5 Kekayaan alam Kekayaan peradaban
Kurikulum 2013 sebenarnya merupakan penyempur­
naan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Berikut ini
perbedaan yang mendasar antara Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) 2004/Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dengan Kurikulum 2013.

Tabel. 2
Penyempurnaan Pola Pikir Perumusan Kurikulum10
No KBK 2004/KTSP 2006 Kurikulum 2013
1 Standar Kompetensi Lulusan Standar Kompetensi
diturunkan dari Standar Isi Lulusan diturunkan dari
kebutuhan
2 Standar Isi dirumuskan Standar Isi diturunkan
berdasarkan Tujuan Mata Pel dari Standar Kompetensi
ajaran (Standar Kompetensi Lulusan melalui
Lulusan Mata Pelajaran) Kompetensi Inti yang
yang dirinci menjadi Standar berbasis mata pelajaran
Kompetensi dan Kompetensi
Dasar Mata Pelajaran

10 Ibid., hlm. 30

10 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

3 Pemisahan antara mata Semua mata pelajaran


pelajaran pembentuk sikap, harus berkontribusi
pembentuk keterampilan, terhadap pembentukan
dan pembentuk pengetahuan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan
4 Kompetensi diturunkan dari Mata pelajaran
mata pelajaran diturunkan dari
kompetensi yang ingin
dicapai
5 Mata pelajaran lepas satu Semua mata pelajaran
dengan yang lain, seperti diikat oleh Kompetensi
sekumpulan mata pelajaran Inti (tiap kelas)
terpisah
Perubahan kurikulum 2006 ke kurikulum 2013 me­
nya­ng­­kut empat elemen, yaitu (1) Standar Kompetensi
Lulu­san (SKL) menyeimbangkan soft skills dan hard skills
dengan mengasah 3 aspek, yaitu sikap (Spiritual/K.I-1,
Sosial/K.I-2), pengetahuan (K.I-3), dan keterampilan (K.I-
4), (2) Standar Isi (SI) diturunkan dari kompetensi, (3)
Standar Proses menggunakan pendekatan Saintifik, yaitu
mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi,
dan mengkomunikasikan, dan (4) Standar Penilaian
menggunakan penilaian otentik yang mengukur
semua kompetensi (sikap-pengetahuan-keterampilan)
berdasarkan proses dan hasil.11

11 Imam Machali, “Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 dalam


Menyongsong Indonesia Emas Tahun 2045”, Jurnal Pendidikan Islam

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 11


BAB I:
Pendahuluan

Perubahan kurikulum dari tahun ke tahun, merupakan


upaya pemerintah untuk mengembangkan kurikulum agar
sejalan dengan perubahan peradaban dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan kurikulum
juga didasarkan pada kebutuhan murid yang selalu berubah
sesuai zamannya. Pengembangan kurikulum amat penting
untuk meningkatkan keberhasilan sistem pendidikan secara
menyeluruh. Sekolah yang tidak kreatif dan inovatif dalam
mengembangkan kurikulum akan semakin tertinggal dan
ditinggal oleh murid dan masyarakat.

C. TIPOLOGI PENDIDIKAN ISLAM


Menurut Muhaimin, ditinjau dari aspek program
dan praktik penyelenggaraan, pendidikan Islam dapat
dikelompokkan menjadi lima macam, yaitu (1) pondok
pesantren dan madrasah diniyah, (dalam UU No. 20 Tahun
2003) disebut pendidikan keagamaan, (2) madrasah,
yang disebut sekolah umum yang berciri khas Islam, (3)
pendidikan umum yang diselenggarakan oleh yayasan
dan organisasi Islam, (4) Pelajaran Agama Islam (PAI)
yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan
sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah, dan (5)
pendidikan Islam dalam keluarga, tempat ibadah, forum
kajian keislaman, majlis taklim, dan institusi-institusi lain
yang diselenggarakan masyarakat atau disebut dengan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
3 (1), Juni 2014: 87-88.

12 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

pendidikan keagamaan (Islam) nonformal dan informal.12


Berdasarkan pendapat Muhaimin di atas, pendidikan
Islam dapat diselenggarakan dalam bentuk (1) lembaga
pendi­dikan formal: pesantren, madrasah diniyah (Madin),
madrasah (RA, MI, MTs, MA), sekolah umum yang bernafas­
kan Islam (sekolah Islam) seperti: TKIT, SDIT, SMPIT,
SMAIT (di bawah Jaringan Sekolah Islam Terpadu/JSIT),
sekolah-sekolah di bawah naungan organisasi Islam/
yayasan Islam seperti sekolah Muhammadiyah, Ma’arif NU,
Al-Irsyad, Hidayatullah, sekolah umum (TK, SD, SMP, SMA,
SMK, PT) dalam bentuk matapelajaran atau matakuliah
PAI), (2) lembaga pendidikan nonformal: majelis taklim,
pengajian, halaqah, dan (3) lembaga pendidikan informal,
yaitu pendidikan Islam di keluarga.
Penyelenggaraan pendidikan Islam atau pendidikan
keagamaan sudah dijelaskan secara detail dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Yang
dimaksud dengan pendidikan agama dan keagamaan
dijelaskan pada bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1
ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang mem­
be­­rikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepri­
badian, dan keterampilan murid dalam menga­

12 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam,


cetakan ke-4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 9-10.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 13


BAB I:
Pendahuluan

mal­k an ajaran agamanya, yang dilaksa­n akan


seku­rang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang
mempersiapkan murid untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan
tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu
agama dan mengamalkan ajaran agamanya.13
Pada bagian kesatu tentang Pendidikan Keagamaan
Islam Pasal 14 ayat (1) dan (2) dijelaskan tentang
penyelenggaraan pendidikan keagamaan yaitu: (1)
Pendidikan Keagamaan Islam berbentuk pendidikan
diniyah dan pesantren, (2) Pendidikan diniyah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal,
nonformal, dan informal.14
Penjelasan mengenai tempat penyelenggaraan pendi­
dikan diniyah pada jalur formal dan nonformal dijelaskan
pada Pasal 15 dan Pasal 21 berikut ini: 15
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan
pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia

13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007


tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, hlm. 2
14 Ibid., hlm. 10
15 Ibid., hlm. 11 dan hlm. 13

14 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan


pendidikan tinggi
Pasal 21
Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan
dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim,
Pendidikan Al-Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau
bentuk lain yang sejenis.

D. PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


Penyelenggaran pendidikan Islam (keagamaan Islam)
di Indonesia sebagaimana Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan dapat diselenggarakan di
Pesantren dan Diniyah pada jalur formal, nonformal,
dan informal. Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan
secara singkat perkembangan lembaga pendidikan Islam di
Indonesia, yaitu pesantren, madrasah, dan sekolah Islam.
Jika kita baca sejarah perkembangan pendidikan di
Indonesia hingga sekarang, maka ada empat penyelenggara
pendidikan, yaitu pesantren, madrasah, sekolah (sekuler
yang didirikan oleh Belanda),16dan Sekolah Islam. Sekolah
Islam yang dimaksud adalah sekolah-sekolah yang
didirikan oleh organisasi-organisasi keagamaan Islam
seperti Muhammadiyah, NU, Hidayatullah dan Sekolah

16 Baca Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan


Islam dalam Kurun Modern, cet. ke-1, (Jakarta: LP3ES, 1986).

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 15


BAB I:
Pendahuluan

Islam Terpadu (SIT). Sistem Pendidikan SIT menjadi


tren pendidikan menjelang abad 21 yang didirikan oleh
para aktivis Masjid Kampus ITB dan UI. Pada sekolah
ini ditekankan pada nilai-nilai moral keagamaan dan
pendidikan modern yang excellent saat ini. Sekolah ini
juga memberikan corak baru mengenai reislamisasi kelas
menengah Muslim Indonesia.17
Pada bab I ini, penulis akan menjelaskan secara singkat
perkembangan lembaga pendidikan Islam, khususnya
pesantren, madrasah, dan sekolah Islam.

1. Pesantren
Dari segi historis pesantren tidak hanya identik
makna keislaman, tapi juga mengandung makna
keaslian Indonesia (indigenous).18Abdurrahman Wahid
menyatakan bahwa pesantren sebagai subkultur.
Sebagai sebuah subkultur, pesantren harus memiliki
keunikannya sendiri, misalnya: (1) cara hidup yang
dianut; (2) pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti;
(3) serta hierarki kekuasaan internal tersendiri yang
ditaati sepenuhnya. Dengan pola kehidupan yang unik

17 Suyatno, “Sekolah Islam Terpadu; Filsafat, Ideologi, dan Tren Baru


Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2 (2),
Desember 2013: 355-356.
18 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta: Paramadina, 1997), hlm.3.

16 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

ini, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad


dalam penggunaan nilai-nilainya sendiri.19 Ada lima
elemen pokok pesantren, yaitu: pondok, masjid, santri,
pengajaran kitab Islam klasik (kitab kuning), dan kyai
adalah lima elemen dasar tradisi pesantren.20
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
khas Indonesia yang dikenal sebagai tempat mencetak
ahli-ahli agama Islam (tafaqquh fi al-din) yang memiliki
karakteristik kemandirian dan ketaatan kepada kiai
yang sering diinisiasi sebagai pengkultusan.21 Sebelum
tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di
Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok yang
berarti asrama-asrama para santri atau tempat tinggal
yang dibuat dari bamboo.22 Manfred Ziemek mengutip
Prasodjo S bahwa istilah “pondok” berarti: kamar,
gubuk, rumah kecil, atau bangunan yang sederhana.
Mungkin juga “pondok” dari kata Arab “funduq” yang

19 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam


M. Dawam Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, cet. ke-5
(Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 43 atau Abdurrahman Wahid,
Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, cet. ke-3 (Yogyakarta,
LKiS, 2010), hlm.1.
20 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan
Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, cet. ke-19
(edisi revisi), (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 79
21 A. Musthofa Bisri dalam Baddrut Tamam, Pesantren, Nalar, dan
Tradisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. xx.
22 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hlm. 41.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 17


BAB I:
Pendahuluan

berarti: ruang tidur, wisma atau hotel sederhana.23


Zamakhsari Dhofier merangkum pendapat para
ahli mengenai pengertian santri, yaitu (1) C.C. Berg,
santri berasal dari istilah Shastri dalam bahasa India
berarti orang yang mengetahui buku-buku suci Agama
Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu,
(2) M. Chaturverdi dan BN Tiwari menjelaskan istilah
Shastri berasal dari Shastra yang berarti buku suci, buku
agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.24
M. Ziemek juga merangkum pendapat-pendapat
para ahli tentang istilah santri ini. Pertama, pendapat
Hamid A bahwa kata “santri” dari ikatan kata “sant”
yang berarti “manusia baik” dihubungkan dengan suku
kata “tra” yang berarti “suka menolong”, sehingga
pesantren dapat diartikan sebagai “tempat pendidikan
manusia yang baik-baik”.25 Kedua, menurut Geertz,
santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta
“Shastri” (ilmuwan Hindu yang pandai menulis). Dalam
pemakaian bahasa modern, kata santri memiliki arti
yang sempit dan luas. Arti sempit santri adalah seorang
pelajar sekolah agama (pondok atau pesantren) dan
arti luasnya berarti seorang anggota bagian penduduk
23 Manferd Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (terj.) oleh
Butche B. Soendjojo, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1983), hlm. 98-99.
24 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hlm. 41.
25 Manfred Ziemek, Pesantren dalam…, hlm. 99.

18 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh.26


Pesantren merupakan proses penyantrian yang
memiliki dua arti, yaitu tempat santri atau proses
menjadi santri”.27 Dari asal-usul kata “santri”, banyak
sarjana berpendapat bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia
yang berasal dari lembaga “mandala” agama Hindu
Budha yang diislamkan oleh para kiai.28 Menurut
Karel A. Steenbrink, pendidikan pesantren dilihat
dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India.
Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia,
sistem pendidikan pesantren digunakan secara umum
untuk pendidikan agama Hindu di Jawa.29 Berbeda
dengan Steenbrink, menurut Nurcholis Madjid yang
dikutip Zulkifli, bahwa permulaan pesantren di Jawa
dimungkinkan melanjutkan sistem (pendidikan)
seperti zawiyah atau khanaqah di Timur Tengah sebagai
tempat para pengikut sufi melakukan zikir. 30
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa ada dua pendapat mengenai asal-usul pesantren.

26 Ibid., hlm. 99.


27 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonasi Guru
sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.35.
28 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hlm. 41.
29 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah..., hlm. 20-21.
30 Zulkifli, Sufism in Java, the Role of the Pesantren in the Maintenance of
Sufism in Java, (Jakarta: INIS, 2002), hlm.1.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 19


BAB I:
Pendahuluan

Pertama, pesantren merupakan lembaga pendidikan


Islam yang berasal dari tradisi Islam seperti zawiyah
atau khanaqah di Timur Tengah sebagaimana pendapat
Nurcholis M. Kedua, pesantren merupakan kelanjutan
dari tradisi Hindu Budha yang mengalami proses
islamisasi sebagaimana pendapat Zamakhsari Dhofier
dan Karel A. Steenbrink.
Dalam tradisi pesantren, ada dua tipologi santri,
yaitu santri mukim dan kalong. Santri mukim adalah
santri yang menetap di pesantren sedangkan santri
kalong adalah santri yang tidak menetap atau setiap
hari pulang-balik atau nglaju (Jawa) dari rumahnya
sendiri.31 Karena pengaruh modernisasi di pesantren
dan masyarakat modern, banyak santri yang kurang
termotivasi untuk melanjutkan perjuangan kiai
dengan mendirikan pesantren dan lebih suka mencari
pekerjaan sesuai kebutuhan masyarakat modern.32
Ramayulis mengklasifikasikan tipologi pondok
pesantren di Indonesia dalam menyikapi tradisi
menjadi tiga kategori, yaitu: salafi, khalafi, dan

31 Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri, (Yogyakarta: Teras, 2009),


hlm. 37.
32 Yon Machmudi, “The Decline of Ulama Authority in Indonesia:
The Cases of Two Pesantrens in East Java (Pesantren Pesantren
Darul Ulum Jombang and Langitan Tuban)”, dalam https://www.
academia.edu/5355939/The_Decline_of_Ulama_Authority_ in_
Indonesia. [Diakses tanggal 19 Maret 2014].

20 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

modern. Pesantren Salafi33 adalah pesantren yang


mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik
sebagai inti pendidikannya. Pesantren khalafi adalah
pesantren yang masih mempertahankan kajian kitab
klasik tapi memberikan pelajaran umum di madrasah
dengan sistem klasikal dan membuka sekolah-sekolah
umum di lingkungan pesantren. Pesantren modern
di mana tradisi kajian kitab-kitab klasik ditinggalkan,
bahasa Arab diajarkan namun tidak untuk memahami
kitab-kitab klasik. Penguasaan bahasa Arab dan Inggris
untuk kepentingan praktis. 34
Tipologi pesantren Ramayulis sedikit berbeda
dengan Kementerian Agama. Mardiyah mengutip
tipologi pesantren menurut Kementerian Agama
dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) salafiyah, (2) khalafiyah
(‘Ashriyah), dan (3) pesantren campuran (kombinasi).35

33 Menurut Yudi Latif, “Pesantren salafi merupakan pesantren yang


tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti
pendidikannya, tanpa mengajarkan pelajaran-pelajaran umum
meski mengadopsi metode-metode pengajaran madrasah.”
Baca Yudi Latif, Genealogi Inteligensia Pengetahuan & Kekuasaan
Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013), hlm. 217.
34 Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012),
hlm. 265-266.
35 Mardiyah, Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi,
(Malang: Aditya Media Publishing, 2012), hlm.16. Ronald Lukens-
Bull membagi kategori pesantren di Indonesia menjadi tiga,

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 21


BAB I:
Pendahuluan

Jika melihat tipologi ini, pesantren khalafi yang


disebutkan oleh Ramayulis dapat dimasukkan ke
dalam kategori pesantren campuran (mixed), yaitu
penggabungan sistem pendidikan salafiyah dan modern
dengan membuka sekolah-sekolah formal di dalam
pesantren, misalnya sekolah dan madrasah.
Pesantren sebagai salah satu bentuk pendidikan
Islam tradisional karena pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang menjunjung tinggi dan melestarikan
tradisi, budaya, tatanan kehidupan islami dalam
proses pendidikan kepada santrinya. Sehingga,
pesantren memiliki pola pendidikan yang berbeda
dengan sekolah maupun madrasah. Amin Haedari,
dkk mengutip pendapat Mukti Ali, bahwa pola umum
pendidikan pesantren sebagai berikut: (1) hubungan
akrab antara kyai dan santri, (2) tradisi ketundukan dan
kepatuhan seorang santri terhadap kiai, (3) pola hidup
sederhana (zuhud), (4) kemandirian, (5) berkembang
tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan,
(6) displin ketat, (7) berani menderita untuk mencapai
tujuan, dan (8) kehidupan dengan tingkat religiusitas

yaitu: tradisional, modern, dan mixed. Lihat Ronald Lukens-Bull,


“Madrasa by Other Name Pondok, Pesantren, and Islamic School
in Indonesia and Larger Southeast Asian Region,” Journal of
Indonesian Islam, Program Pascasarjana-Lembaga Studi Agama
dan Sosial IAIN Sunan Ampel Surabaya, 4 (1), June 2010: 10-11.

22 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

yang tinggi.36
Menurut Mastuhu, yang dikutip Amin Haedari,
dkk bahwa pendidikan pesantren mempunyai empat
ciri khusus, yaitu: (1) pelajaran agama versi kitab-kitab
Islam klasik berbahasa Arab, (2) teknik pengajaran
yang unik yang dikenal dengan metode sorogan,
bandongan atau wetonan, (3) mengedepankan hafalan,
dan (4) menggunakan sistem halaqah. Metode Sorogan
adalah pengajaran individual. Metode ini dibagi dua,
yaitu: (1) bagi santri pemula, mereka mendatangi kiai
yang akan membacakan kitab tertentu, (2) bagi santri
senior, mereka mendatangi kiai supaya mendengarkan
sekaligus memberikan koreksi terhadap bacaan
kitabnya. Metode bandongan (wetonan) adalah
pengajaran kolektif di mana santri secara bersama-
sama mendengarkan seorang kiai yang membaca,
menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab
berbahasa Arab tertentu, sedangkan metode Halaqah
adalah lingkaran sekelompok santri yang belajar
dibawah bimbingan kiai. 37
Seiring perkembangan ilmu dan pengetahuan,
akhir-akhir ini banyak pesantren di Indonesia melaku­

36 Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan


Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, (Jakarta: IRD Press,
2004), hlm. 15.
37 Ibid., hlm. 15-16.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 23


BAB I:
Pendahuluan

kan pengembangan pendidikan. Salah satu upaya


pengembangan pendidikan Islam di Pesantren adalah
usaha melakukan pembaharuan sistem pengajaran dan
pendidikan. Menurut A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip
Sutrisno, usaha pembaharuan sistem pengajaran dan
pendidikan Islam di Pesantren dilakukan dengan
(1) mengubah kurikulum supaya berorientasi pada
kebutuhan masyarakat, (2) kurikulum ala Wajib
Belajar hendaknya digunakan sebagai patokan untuk
pembaharuan itu, (3) mutu guru-gurunya hendaknya
ditingkatkan, juga prasarana-prasarana pendidikan
diperbaharui, (4) usaha pembaharuan ini hendaknya
dilaksanakan secara bertahap dengan didasarkan pada
hasil-hasil penelitian seksama tentang kebutuhan
riil masyarakat yang sedang membangun, (5) hasil
usaha pemaharuan ini memakan waktu panjang. Oleh
karena itu, bagi pihak-pihak yang bertanggungjawab
dalam sektor pembangunan di luar sektor pendidikan
diharap adanya pengertian yang sungguh-sungguh
untuk tidak lekas-lekas menarik kesimpulan bahwa
pesantren tidak penting diusahakan pembangunan
dan pembaharuan, dan (6) Kementerian Agama dan
pemimpin-pemimpin Islam, khususnya para kiai, harus
lebih serius menaruh perhatian dan bersikap positif
terhadap usaha pembaharuan dan pembangunan

24 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

pondok pesantren.38
Dalam perkembangan pesantren di Indonesia,39
muncul model perguruan tinggi Islam pasca pesantren
yang dinamakan Ma’had Aly. Ma’had dapat diartikan
sebagai pondok/pesantren, sedangkan Aly berarti
tinggi. Pada umumnya, Ma’had Aly sebagai pendidikan
tahap lanjutan dari pesantren tradisional. Lembaga
ini diperuntukan bagi para santri senior yang sudah
mendapatkan modal awal materi keislaman dari kitab-
kitab klasik, tapi mereka masih memiliki kelemahan
dalam hal metodologi. Menurut Marwan Saridjo,
program utama kegiatan Ma’had Aly pada dasarnya
menelaah dan membahas kitab-kitab klasik berbahasa
Arab, baik dalam bentuk bahtsul masail atau dalam
bentuk diskusi atau halaqah atas kandungan kitab-
kitab dari berbagai perspektif sesuai dengan dinamika
perkembangan situasi kontemporer.40
Agus Muhammad mengutip penelitian Marzuki
Wahid, dkk tahun 2000, pendidikan tinggi yang

38 Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam,


(Yogyakarta: Fadilatama, 2011), hlm. 61
39 Baca Zainal Arifin, “Perkembangan Pesantren di Indonesia” Jurnal
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 9 (1), Juni 2012: 40-53.
40 Marwan Saridjo, Pendidikan Islam Dari Masa Ke Masa Tinjauan
Kebijkan Publik Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, edisi revisi,
(Bogor: Yayasan Ngali Aksara dan al Manar Press, 2011), hlm. 227

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 25


BAB I:
Pendahuluan

diselenggarakan Ma’had Aly tidak lebih dan tidak


kurang seperti pondok pesantren dengan berbagai
kultur dan tradisi yang melingkupinya. Hanya saja
karena kekhususannya, dalam hal-hal tertentu Ma’had
Aly di berbagai pesantren diberi fasilitas khusus,
seperti asrama, ruang kelas, perpustakaan, dan sarana
aktualisasi seperti penerbitan atau ceramah di luar
pondok pesantren. Yang membedakan dengan yang
lain adalah metode pembelajarannya, yang melibatkan
santri sebagi subyek belajar, dan tingkatan kitab kuning
yang dikaji relatif tinggi, serta cara mengkajinya secara
lebih kritis.41
Salah satu model Ma’had Aly adalah Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) Ma’had Aly Al-Hikam
Malang yang berdiri pada tanggal 17 Desember 2003.
Sebelum lembaga ini berdiri, Al-Hikam merupakan
sebuah Pesantren Mahasiswa (PESMA). Lembaga
ini merupakan lembaga pendidikan tinggi yang
menerima santri dan mahasiswa dari pesantren salaf
dan madrasah yang dijadikan fokus inputnya. Setelah
perjalanan Pesantren Mahasiswa al-Hikam sekitar 12
tahun, KH. A. Hasyim Muzadi yang berposisi sebagai
pengasuh pesantren berkeinginan untuk mendirikan

41 Agus Muhammad, Ma’had Aly: Pendidikan Tinggi Ala Pesantren, dalam


http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_
content&task=view&id=156 [30 Desember 2012, jam. 14.51 WIB]

26 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

suatu lembaga yang bertujuan untuk memaksimalkan


potensi yang telah dimiliki oleh alumni pesantren Salaf.
Santri-santri (calon mahasiswa) yang diterima adalah
santri-santri yang berasal dari lulusan pesantren Salaf
atau yang mempunyai keahlian dalam membaca kitab
kuning. Hal ini karena pesantren salaf secara dominan
menggunakan sistem pengajaran tradisional (sorogan
dan bandongan), pada akhirnya menghasilkan santri-
santri yang dapat membaca kitab kuning. Santri-santri
Ma’had Aly Al-Hikam ini lebih dikenal dengan sebutan
santri mahasiswa karena dinisbatkan atas tempat
mereka belajar. Pada hakekatnya, mereka telah
memiliki pengetahuan agama yang luas, akan tetapi
di sisi lain mempunyai kekuarangan dalam bidang
pengetahuan umum dan metodologi.42
Awalnya, pesantren ini dinamakan Ma’had Aly Al-
Hikam. Akan tetapi menjelang pembukaan Ma’had
Aly dilaksanakan, berbagai permintaan dari para
peminat agar lulusan Ma’had Aly ini juga mendapat
pengakuan dari pemerintah yang berupa ijazah
persamaan. Pada tahun 2003 di-lounching-lah STAI
“Ma’had Aly Al-Hikam” Malang. Ditinjau dari sejarah
sosial berdirinya Ma’had Aly ini karena didorong oleh
keinginan untuk memaksimalkan potensi alumni dari
pesantren salaf dengan penekanan pada peningkatan

42 Binti Maunah, Tradisi Intelektual…, hlm. 98-99.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 27


BAB I:
Pendahuluan

pengetahuan umum dan metodologi untuk menjawab


tantangan zaman yang ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. 43 STAI Ma’had Aly Al-Hikam
Malang ini mengkolaborasikan dua sistem pendidikan
dan pengajaran, yaitu sistem pesantren dan kampus.
Adapun Program Studi (prodi) yang diselenggarakan
di lembaga ini adalah Prodi Pendidikan Agama Islam
jurusan Tarbiyah program sarjana (S-1). Kurikulum
dalam artian materi yang diajarkan di STAI Ma’had
Aly Al-hikam terdiri dari ilmu agama dan ilmu umum.
Yang tergolong pada ilmu-ilmu agama misalnya: Fiqh
dan Tasauf, Ushul Fiqh, Hadis, Pendidikan & Kajian
Islam, Qur’an Hadis, dan sebagainya. Sedangkan yang
tergolong ilmu-ilmu umum misalnya: Bahasa Inggris,
Manajemen & Pendidikan, Bahasa Indonesia, Psikologi,
Logika, komputer, dan sebagainya.44
Menurut penulis, tujuan dibentuknya model
perguruan tinggi Islam pasca pesantren (Ma’had Aly)
sebagai tempat pengembangan santri lulusan dari
pesantren Salafi-Tradisionalis, yang secara umum masih
lemah dalam hal metodologi dan penguasaan ilmu
umum dan teknologi. Dalam perkembangannya, Ma’had
Aly mencoba menjadikan dirinya sebagai Sekolah Tinggi
Agama Islam untuk mendapat pengakuan pemerintah

43 Ibid., hlm. 102-103


44 Ibid., hlm.108-111

28 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

berupa ijasah setara dengan Strata Satu (S1), sehingga


lulusannya dapat diakui dan bekerja di lembaga
pemerintahan. Akan tetapi, menurut Machasin yang
penulis kutip, jika Ma’had Aly ingin mengembangkan
dirinya menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam, maka
pengelolaan Ma’had Aly harus mengikuti aturan
(UU Sisdiknas) dari pemerintah, misalnya terkait
kurikulum. Tapi, pada umumnya, Ma’had Aly otonom
dalam pengembangan kurikulumnya sebagaimana
tradisi di pesantren, sehingga lulusannya tidak bisa
disetarakan dengan S1 sebagaimana di UIN, IAIN, atau
STAIN yang lain. Di samping itu juga, muncul beberapa
model pendidikan pesantren di kampus-kampus,
seperti pesantren Sobron di UMS, pesantren di UIN
Malang yang menamakan dirinya sebagai Ma’had Aly,
tapi menurut Machasin, model seperti ini lebih cocok
jika dinamakan sebagai Ma’had Jami’ah atau Perguruan
Tinggi Islam yang berada di kampus, kalau Ma’had Aly
merupakan pesantren lanjutan dari pesantren Salafi-
Tradisionalis.

2. Madrasah
Kata ”madrasah” adalah isim makan dari kata: darasa
– yadrusu – darsan wa durusan wa dirasatan, yang berarti:
terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan
usang, melatih, mempelajari. 45 Secara harfiah
45 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap,

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 29


BAB I:
Pendahuluan

“madrasah” diartikan sebagai “tempat belajar para


pelajar”, atau “tempat untuk memberikan pelajaran”.
Dari akar kata “darasa” juga bisa diturunkan kata
“midras” yang mempunyai arti “buku yang dipelajari”
atau “tempat belajar”; kata “al-midras” juga diartikan
sebagai “rumah untuk mempelajari kitab Taurat”.46 Dari
pengertian di atas, maka madrasah merupakan tempat
untuk mencerdaskan para murid, menghilangkan
ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka,
serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya.47
Dalam realitas sejarahnya, madrasah tumbuh dan
berkembang dari, oleh, dan untuk masyarakat Islam itu
sendiri, sehingga sebenarnya sudah jauh lebih dahulu
menerapkan konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
(community based education). Masyarakat, baik secara
individu maupun organisasi, membangun madrasah
untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.
Tidak heran jika madrasah dibangun oleh mereka
bisa seadanya saja atau memakai tempat apa adanya.
Mereka didorong oleh semangat keagamaan atau
dakwah. Hingga saat ini pun kurang lebih 90% jumlah
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 397
46 http://pendis.kemenag.go.id/kerangka/diktis.htm [Diakses 28
Februari 2018]
47 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.183-184

30 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

madrasah yang ada di Indonesia adalah milik swasta,


sedangkan sisanya adalah berstatus negeri.48
Menurut Sutrisno, madrasah didirikan dengan
maksud untuk mengum­pulkan keunggulan yang
ada di pesantren dan sekolah. Pesantren memiliki
keunggulan dalam ilmu-ilmu agama Islam dan
sekolah memiliki keunggulan dalam ilmu-ilmu umum.
Madrasah didirikan agar memiliki keunggulan pada
ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana yang ada di
pesantren dan memiliki keunggulan pada ilmu-ilmu
umum sebagaimana yang ada di sekolah. Jika dalam
kenyataan sekarang, kebanyakan kualitas madrasah
kalah jika dibandingkan dengan pesantren dalam
ilmu-ilmu agama Islam dan kalah dengan sekolah
dalam ilmu-ilmu umum, adalah realitas yang tidak
diinginkan. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk
melakukan pembaharuan kembali terhadap madrasah
pada tujuan awal madrasah didirikan.49
Pengembangan pendidikan madrasah tidak dapat
ditangani secara parsial atau setengah-setengah,
tetapi memerlukan pemikiran pengembangan yang
utuh, terutama ketika dihadapkan pada kebijakan
pembangunan nasional bidang pendidikan yang
mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan

48 Ibid., hlm. 185


49 Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan…, hlm. 63

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 31


BAB I:
Pendahuluan

sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa


untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas,
sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah.50
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada
periode H.A. Mukti Ali (mantan Menteri Agama
RI) menawarkan konsep alternatif pengembangan
madrasah melalui kebijakan SKB 3 Menteri, yang
berusaha menyejajarkan kualitas madrasah dan non-
madrasah, dengan porsi kurikulum 70% umum dan
30% agama. Pada periode Menteri Agama Munawir
Sadzali menawarkan konsep MAPK, dan pada periode
Menteri Agama H. Tarmizi Taher menawarkan konsep
madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas
agama Islam,51sehingga eksistensi madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam disejajarkan dengan sekolah.
Kebijakan pendidikan madrasah di Indonesia
melalui proses yang panjang sehingga diakui dan
disejajarkan dengan sistem pendidikan sekolah. Abd.
Halim Soebahar mencatat tujuh proses tersebut,
yaitu (1) Menag RI Fathurrahman Kafrawi mencontoh
kurikulum Depdikbud pada tahun 1947, (2) upaya
Menag RI KH. A Wahid Hasyim mengintegrasikan

50 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 197


51 Ibid., hlm 197

32 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

dualisme sistem pendidikan tahun 1949 dengan cara


memasukkan tujuh mata pelajaran umum di lingkungan
madrasaha, (3) gerakan Madrasah Wajib Belajar (MWB)
tahun 1958, (4) Kepres No. 34/1972 dan Inpres No.
15/1974 tentang tanggung jawab diklat berada di
bawah Depdikbud, (5) SKB tiga Menteri tahun 1975
tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah,
(6) SKB dua Menteri menyepakati dikembangkannya
kurikulum inti dan kurikulum khusus, (7) UU Sisdiknas
No.2 tahun 1989 yang menempatkan madrasah sejajar
dengan sekolah -dengan ciri khas Islam dikenakan pada
madrasah-, hingga munculnya UU No.2 tahun 2003
yang mengangkat madrasah sederajat dengan sekolah
secara formal,52dan sekarang branding madrasah tetap
berlanjut dengan slogan barunya, ”madrasah lebih
baik, lebih baik madrasah”.

3. Sekolah Islam
Sekolah Islam dalam konteks ini adalah sekolah
atau lembaga pendidikan umum yang bernafaskan
Islam. Pada umumnya, model lembaga pendidikan ini
diseleng­garakan oleh yayasan maupun organisasi Islam
seperti Muhammadiyah, NU, Hidayatullah, al-Irsyad,
atau Sekolah Islam Terpadu (SIT) yang muncul pada
abad ke-20 yang diinisiasi oleh Jamaah Tarbiyah untuk
memberikan pelayanan pendidikan Islam terpadu
52 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan…, hlm. 99

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 33


BAB I:
Pendahuluan

di sekolah. SIT merupakan pengembangan lembaga


pendidikan yang sudah ada di Indonesia sebelumnya
seperti pesantren, madrasah, dan sekolah.
Sekolah Islam dilihat dari perspektif sejarah
merupakan perkembangan lebih lanjut dari sistem
sekolah Belan­da. Sistem sekolah ala Belanda ini
mulai diadopsi sejak beberapa dasawarsa sebelum
Indonesia merdeka, tepatnya pertama kali diadopsi
oleh Muhammadiyah sejak organisasi ini berdiri
pada tahun 1912. Muhammadiyah tidak sekedar
mengambil alih sistem sekolah Belanda, melainkan
juga memasukkan pelajaran agama Islam sebagai
mata pelajaran wajib pada semua sekolah di bawah
persyarikatan Muhammadiyah. Sampai sekarang, mata
pelajaran agama Islam di Muhammadiyah ditambah
dengan bahasa Arab, sehingga dikenal dengan istilah
”Ismuba” (Al-Islam, ke-Muhammadiyah, dan Bahasa
Arab). 53
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia memasuki
era baru, yaitu era setelah tumbangnya orde baru. Orde
ini biasa disebut dengan orde reformasi. Orde reformasi
merupakan orde keterbukaan dalam mengemukakan
pendapat. Orde keterbukaan ternayat bukan saja
dimanfaatkan oleh kalangan pers dan politik, tetapi
juga pendidikan. Karena itu, pada orde ini muncul

53 Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan…, hlm. 80

34 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

pelbagai partai politik baru. Sejalan dengan munculnya


partai politik baru, muncul juga lembaga-lembaga
pendidikan Islam, terutama dalam bentuk sekolah-
sekolah Islam, seperti sekolah Islam plus. Tetapi,
kemunculan sekolah Islam yang paling fenomenal
pada orde reformasi adalah munculnya sekolah Islam
terpadu, mulai dari Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD
IT), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMP
IT) sampai Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu
(SMA IT). Kemudian muncul Jaringan Sekolah Islam
Terpadu (JSIT) di seluruh Indonesia.54
Fahmi Alaydroes, Pembina Jaringan Sekolah Islam
Terpadu (JSIT) mengatakan, upaya untuk mening­
katkan pendidikan Islam sudah dirintis sejak tahun
1970-an ketika diadakan konferensi pendidikan Islam
di Makkah. Konferensi itu kemudian dilaksanakan di
Jakarta pada 1984. Saat itu, lembaga pendidikan Islam di
Indonesia tertinggal jauh dengan lembaga pendidikan
atau sekolah berciri khas agama lain. Beberapa
indikator ketertinggalan itu adalah sedikitnya lulusan
sekolah Islam yang berhasil masuk perguruan tinggi
favorit dan rendahnya hasil Evaluasi Belajar Tahap
Akhir (EBTANAS), yang kini menjadi Ujian Nasional
(UN). Dari 100 sekolah swasta nasional terbaik, hanya
ada 9 atau 10 sekolah Islam. Yang mendominasi

54 Ibid., hlm. 80-81

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 35


BAB I:
Pendahuluan

adalah sekolah-sekolah lain, seperti sekolah kristen.


Sejak itulah digagas konsep sekolah Islam terpadu.
Yakni dengan memasukkan perspektif tauhid dalam
pendidikan. Maka pada 1993 hingga 2003 banyak
bermunculan sekolah Islam terpadu.55
Sekolah Islam Terpadu (SIT) adalah sekolah yang
berbasis integrasi antara ilmu sains dan Islam. Salah
satu kurikulumnya adalah tahfidzul Qur’an, yaitu mata
pelajaran menghafal al-Qur’an dan sisipan muatan
keagamaan dalam mata pelajaran umum.56 SIT juga
mengadopsi kurikulum nasional yang diperkaya
dengan mata pelajaran agama dan pendidikan moral
Islam melalui penyisipan nilai-nilai islami dan kode
etik secara sistematik baik melalui pelajaran umum,
agama, maupun kegiatan ekstrakurikuler.57
Kurikulum SIT berisi target yang harus dicapai
seca­ra berkala dan diintegrasikan dengan proses bela­
jar-mengajar atau dikenal dengan sepuluh Muwasaffat
(karakter), yaitu: (1) Saliim al-’Aqiidah (akidah yang

55 Fahmi Alaydroes dalam majalah Hidayatullah, (Jakarta:


Hidayatullah, 2011), hlm. 30-31.
56 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Media Group, 2012),
hlm.87-88.
57 Noorhaidi Hasan, Islamizing Formal Education: Integrated Islamic
School and a New Trend in Formal Education Institution in Indonesia,
(Singapore: Nanyang Technological University, 2009), p.6.

36 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

lurus), (2) Sahiih al-’Ibaadah (ibadah yang benar), (3)


Matiin al-Khuluq (akhlak terpuji), (4) Qaadir ’alaa al-
Kasbi (mandi secara ekonomi), (5) Mutsaqof al-Fikri
(berwawasan luas), (6) Qowy al-Jism (fisik yang kuat),
(7) Mujaahidun li-Nafsi (bersungguh-sungguh dalam
menjaga diri), (8) Munadzdzom fii Syu’uunihi (teratur
dalam segala urusan), (9) Haarisun ‘alaa Waqtihi (menjaga
waktu), dan (10) Nafi’un li-ghairihi (bermanfaat bagi
yang lain).58
Pada prinsipnya, sekolah Islam terpadu melakukan
perubahan atas kegagalan yang dilakukan sekolah umum
dan lembaga pendidikan Islam untuk memadukan ilmu
umum dan agama. Sehingga dalam praktiknya, sekolah
Islam terpadu melakukan pengembangan kurikulum
dengan cara memadukan kurikulum pendidikan
umum yang ada di Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) seperti mata pelajaran Matematika,
Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan lain-
lain, dan kurikulum pendidikan agama Islam yang ada
di Kementerian Agama (Kemenag), kemudian ditambah
dengan kurikulum hasil kajian Jaringan Sekolah Islam
Terpasu (JSIT).
Pengembangan selanjutnya sekolah Islam terpadu
dalam rangka menghadapi era perkembangan ilmu

58 Maksudin, Pendidikan Islam Alternatif Membangun Karakter Melalui


Sistem Boarding School, (Yogyakarta: UNY Press, 2010), hlm. 72-75.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 37


BAB I:
Pendahuluan

pengetahuan dan teknologi adalah berdirinya Sekolah


Islam Internasional. Sekolah Islam Internasional
sebagai wujud keresahan atas kelemahan-kelemahan
Sekolah Islam Terpadu dalam menguasai bahasa asing
dan teknologi informasi. Contohnya, di Surakarta
telah berdiri Sekolah Dasar Islam Internasional (SDII)
Al-Abidin Surakarta yang mencoba memperbaiki
kualiatas sekolah Islam terpadu agar dapat bersaing
di kancah internasional. SDII kemudian memunculkan
sebuah wacana pembentukan Jaringan Sekolah Islam
Internasional (JSII).

E. URGENSI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


Manajemen adalah sebuah proses sistematis untuk
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Di dalam kegiatan
manajemen umumnya terdapat tiga pokok kegiatan,
yaitu perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Kegiatan
inilah disebut dengan fungsi-fungsi manajemen. Para
ahli manajemen berbeda pendapat tentang apa saja
kegiatan (fungsi-fungsi) yang terdapat dalam manajemen.
Sondang menjelaskan secara ringkas sebagai berikut: (1)
Henry Fayol ada lima: planning, organizing, commanding,
coordinating, controlling, (2) Luther M. Gullick ada tujuh:
planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting,
budgeting, (3) John D. Millet ada dua: directing, facilitating, (4)
Koontz dan O’Donnel ada lima: planning, organizing, staffing,
directing, controlling, (5) George R. Terry ada empat: planning,

38 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

organizing, actuating, controlling, dan (6) John F. Mee ada


empat: planning, organizing, motivating, controlling.59
Islam adalah agama yang memiliki aturan ataupun
pedoman kehidupan yang sangat jelas. Kehidupan umat
Islam dari bangun tidur hingga tidur kembali diatur oleh
Islam secara baik agar manusia dapat hidup yang teratur
dan displin, misalnya: adab tidur, makan, bekerja, belajar,
berkata, bepergian, dan lain sebagainya. Ajaran Islam yang
mengatur kehidupan manusia ini sebenarnya mengandung
konsep manajemen dengan tujuan agar hidup manusia
dapat berjalan dengan baik, selamat di dunia dan selamat di
Akhirat, sebagaimana doa “Sapu Jagat” yang selalu dibaca
umat Islam.
َ ‫خ َرة ِ َح َس َن ًة َوق َِنا َع َذ‬ ْ ًَ ْ ُّ
‫اب‬ ِ ‫ادلن َيا َح َسنة َو ِف ال‬ ‫َر َّب َنا آت َِنا ِف‬
َّ
ِ‫انلار‬
…Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab
neraka.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 201)60

59 Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Haji Masagung,


1987), hlm. 103-106.
60 Abdurrahman Al-Asy’ari, Al-Qur’an dan Terjemahnya Dilengkapi
Metode Tahfidz (QTA), Terjemah Per Kata, Asbabun Nuzul, Hukum
Tajwid, dan Indeks Ayat, (Wonosobo: Yayasan Al-Asy’ariyah, 2014),
hlm. 31.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 39


BAB I:
Pendahuluan

1. Konsep Dasar Manajemen


Mulyono mengutip Effendy bahwa istilah mana­
jemen berasal dari kata kerja [bahasa Inggris] “manage”.
Dalam Kamus “The Random House Dictionary of the
English Language”, College Edition, managemen berasal
dari bahasa Italia “manegg(iare)” yang bersumber
pada perkataan Latin “manus” yang berarti “tangan”.
Secara harfiah “manegg (iare)” berarti menangani atau
melatih kuda, sementara secara maknawiyah berarti
“memimpin, membimbing atau mengatur”.61
Engkoswara dan Aan Komariah mengutip pendapat
beberapa ahli tentang definisi manajemen sebagai
berikut:
a. Management is a continuous process through which
members of an organization seek to coordinate their
activities and utilize their resources in order to fulfil
the various tasks of an organization as efficiently as
posible.” (Hoyle)
b. Manajemen merupakan proses perencanaan,
pengorganisasian, pengara­han, dan pengawasan
usaha-usaha para anggota organisasi dan penggu­
naan sumber daya organisasi lainnya agar menca­pai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. (Stoner)
c. Management is the process by which individual
61 Mulyono, Manajemen, Administrasi, & Organisasi Pendidikan,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 16.

40 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

and group effort is coordinated toward group goals.


(Donnelly, Gibson, dan Ivancevich)
d. Management is a distinct process consisting of planning,
organizing, actuating, and controlling performed to
determine and accomplish stated objectives by the use
of human being and other resources. (George R. Terry)62
Jadi, istilah manajemen dapat disimpulkan sebagai
sebuah proses yang meliputi kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, motivasi, dan bagaimana
cara mengevaluasi untuk mencapai tujuan yang sudah
ditentukan. Proses perencanaan hingga evaluasi ini
biasanya disebut dengan fungsi-fungsi manajemen.

2. Manajemen Perspektif Al-Qur’an


Menurut Ramayulis yang dikutip oleh Saefullah,
istilah manajemen dalam al-Qur’an disebut dengan
istilah “al-tadbir” [pengaturan]. Kata ini merupakan
derivasi dari kata “dabbara” (mengatur).63 Maka,
sering kita dengar di Pesantren istilah “Mudabbir”
yang diartikan pengatur/pengurus yang mengatur
urusan ke-Santri-an, baik urusan tata tertib, kegiatan
akademik, kesehatan, keamanan, koperasi, dan lain
sebagainya.
62 Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2010), hlm. 86-87
63 U Saefullah, Manajemen Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2014), hlm. 1.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 41


BAB I:
Pendahuluan

Penjelasan kata “dabbara” dapat dilihat dalam


firman Allah QS as-Sajdah [32]: 5 di bawah ini:
ْ‫الس َماءِ إ َل ْالَ ْر ِض ُث َّم َي ْع ُر ُج إ َلْهِ ف يَوم‬ َّ ‫يُ َدبّ ُر ْالَ ْم َر م َِن‬
ٍ ِ ِ ِ ِ
َ َ َ ْ َ ْ َ َ
‫كن مِق َد ُارهُ ألف َس َن ٍة م َِّما ت ُع ُّدون‬
“Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya
(lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”.
Imam Ibn Katsir menjelaskan firman Allah SWT
“Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi,
kemu­dian (urusan) itu naik kepada-Nya” mak­sud­
nya: Dia menurunkan pelan-pelan urusan-Nya dari atas
langit ke penjuru bumi yang tujuh, sebagai firman-Nya:
ُ َّ َ َ َ َّ ُ َ ْ ْ َْ َ َ َ َ َ َْ َ ََ َ َّ ُ
‫ات ومِن الر ِض مِثلهن يتنل‬ ٍ ‫اهلل الِي خلق سبع سماو‬
َ ّ ُ ٰ َ َ َّ َ ُ َ ْ َ َّ ُ َ ْ َ ُ ْ َ ْ
َ
َ‫ير َوأ َّن اهلل‬ ْ َ ‫ك‬
ٌ ‫ش ٍء قَ ِد‬
ِ ‫الم َر بينهن لِ علموا أن اهلل ع‬
ْ ْ َ ‫ك ّل‬
ُ َ ‫قَ ْد أ َح‬
‫ش ٍء عِل ًما‬ ِ ِ ‫ب‬ ‫اط‬
Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan)
bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar
kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.
(Q.S. ath-Thalaq [65]: 12)
Menurut Ibn Katsir, semua amal perbuatan akan

42 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

diangkat ke dalam kitab-kitab-Nya di atas langit dunia,


sedangkan jarak di antaranya dan di antara bumi
adalah seperti perjalanan lima ratus tahun dan atap
langit itu lima ratus tahun. Mujahid, Qatadah, Dhahak
berkata, “Turunnya Malaikat seperti perjalanan lima
ratus tahun dan naiknya seperti perjalanan lima ratus
tahun, akan tetapi Dia memutuskannya pada sekejap
mata, oleh karena itu Allah SWT berfirman,
َ َٰ َ ُّ ُ َ َّ َ َ ََْ ُُ َ ْ َ َ َْ
‫ ذل ِك‬5‫ِف يو ٍم كن مِقداره ألف سن ٍة مِما تعدون‬
َ َ َّ َ ْ َ ْ ُ َ
...ِ ‫ب والشهادة‬ِ ‫عل ِم الغي‬
...dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu
tahun menurut perhitunganmu, (5) Yang demikian itu, ialah
Tuhan yang mengetahui yang gaib dan yang nyata... (6).
(Q.S. al-Sajdah [32]: 5-6)64
Berdasarkan ayat di atas, Allah adalah pengatur
segala urusan dari langit dan bumi. Semua urusan
diatur oleh Allah, termasuk urusan kehidupan manusia
di muka bumi. Melalui firman-Nya ini, Allah ingin
menjelaskan kepada manusia bahwa segala sesuatu
sudah diatur oleh Allah. Kita mengetahui aturan-
aturan yang dibuat Allah melalui firman-Nya yang
diturunkan di muka bumi, yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an
64 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz: 21, 22,23,24, [terj.] oleh Arif
Rahman Hakim, dkk, (Surakarta: Insan Kamil, 2015), hlm.169-170.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 43


BAB I:
Pendahuluan

sebagai kitab pedoman untuk mengatur kehidupan


manusia. Selain itu, manusia diturunkan di bumi juga
sebagai khalifah, pengatur dan penjaga alam dari
kerusakan. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai
co-worker with GOD, artinya asisten Allah dalam
mengatur alam. Allah menciptakan alam dan manusia
yang menjaga dari kerusakan.
Dalam Q.S. Al-Fatihah [1]: 2 dijelaskan bagaimana
Allah berperan sebagai pengatur (Rabb) alam semesta.
Ayat tersebut berbunyi:
َ ‫ال ْم ُد ل َر ّب الْ َعالَم‬
َ ْ
‫ني‬ ِ ِ ِ ِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam”65
Anwar al-Baz dalam bukunya “Al-Tafsir al-Tarba­
wy Lil-Qur’an al-Karim” menjelaskan bahwa mak­na
dari “Rabb al’Alamin” adalah Allah menum­buh­
kan (Menghidupkan), menguasai, dan mengatur
urusan-urusannya (alam semesta). Kata “Rabb”
berarti penguasa (pemilik) yang mengatur alam
untuk kemaslahatan semua makhluk. Allah tidak
menciptakan alam semesta kemudian membiarkannya
saja tapi diatur dan dipelihara untuk kemaslahatan.66

65 Abdurrahman Al-Asy’ari, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, hlm. 1.


66 Anwar al-Baz, Al-Tafsir al-Tarbawy Lil-Qur’an al-Karim, Jilid 1, (Mesir:
Dar al-Nasyr Lil-Jami’at, 2007), hlm. 1-2.

44 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

Dalam ideologi Wahabi yang didirikan oleh


Muham­­mad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1791), keya­
kinan kepada Allah sebagai Dzat yang mengatur alam
semesta ini disebut dengan tauhid rububiyah, selain
itu ada tauhid al-asma’ wa al-shifat, dan (3) tauhid
al-ilahiyyah. Ketiganya menjadi doktrin utama dalam
ajaran Wahabi.67
Menurut Abuddin Nata, kata “yudabbiru” dalam
QS As-Sajdah [32]: 5 berarti mengatur, mengurus,
me-manage, mengarahkan, membina, merencanakan,
melaksanakan, dan mengawasi. Dari kata “yudabbiru”
muncul kata “tadbir” atau pengaturan yang dalam
bahasa manajemen diartikan sama dengan istilah
pengorganisasian. Dalam sebuah riwayat disampaikan
bahwa kata pengorganisasian diartikan sebagai
“Nizham”:68
َ ُ ْ َ َ
‫احل ُّق بِال ن ِظا ٍم َيغل ِ ُب ُه ابلَا ِطل بِنِظا ٍم‬
َ
“Kebenaran yang tidak diatur [diorganisasi dengan baik]
dapat dikalahkan oleh kebatilan yang diatur [diorganisasi
67 John L. Esposito (ed.), “Wahhabiyyah” on The Oxford Encyclopedia of
the Modern Islamic World, volume 4, (New York: Oxford University
Press, 1995), 307 atau John. L. Esposito, “Wahabi” dalam Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 6, (terj.) oleh Eva, Y.N, dkk, (Ed.
Ahmad Baiquni, dkk), cet.ke-2, (Bandung: Mizan, 2002), 144.
68 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Kencana, 2016), hlm. 266.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 45


BAB I:
Pendahuluan

dengan baik]”.
Dalil ini menunjukkan bahwa pengorgani­sasian
itu sangat penting untuk mencapai tujuan yang sudah
dirumuskan bersama. Seringkali kebaikan yang tidak
terorganisir dengan baik akan kalah atau tersingkirkan
dengan kejahatan (keburukan) yang terorganisir.
Seperti ungkapan yang sering didengar di tengah-
tengah masyarakat, “Tuntunan menjadi Tontonan
dan Tontonan menjadi Tuntunan”.
Dalam al-Qur’an, Allah telah menjelaskan bahwa
ketika manusia tidak bisa mengatur (mengorganisasi)
kehidupannya dengan tuntunan ajaran Islam maka
akan rugi. Salah satunya dalam Q.S. al-Ashr [103]: 1-3
Allah berfirman:
ُ َ َ َّ ّ ْ ُ َ َ َ ْ َّ ْ َ ْ َ
‫ إِل الِين آمنوا‬٢ ‫س‬ ٍ ْ ‫ إِن اإلنسان ل ِف خ‬١ ‫ص‬ ِ ‫والع‬
٣‫ب‬ ْ ‫الص‬ َ ‫ال ّق َوتَ َو‬
َّ ‫اص ْوا ب‬ َ ‫الات َوتَ َو‬
َ ‫اص ْوا ب‬ َّ ‫َو َعملُوا‬
َ ِ ‫الص‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
“Demi masa (1) sungguh, manusia berada dalam kerugian
(2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan
saling menasihati untuk kesabaran (3)”69
Menurut Ibn Katsir, definisi “Al-‘Ashr” adalah
“masa” yang di dalamnya berbagai aktivitas anak cucu

69 Abdurrahman Al-Asy’ari, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, hlm.

46 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

Adam berlangsung, baik dalam wujud kebaikan maupun


keburukan. Allah SWT telah bersumpah dengan
“masa” tersebut bahwa manusia itu benar-benar dalam
kerugian, yaitu kerugian dan kebinasaan. Kecuali
orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan,
saling menasehati supaya menaati kebenaran dan
kesabaran”, yaitu sabar atas segala macam cobaan,
takdir, serta gangguan yang dilancarkan kepada orang-
orang yang memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran.70
Dalam Q.S al-’Ashr 1-3 ini dijelaskan ada tiga golo­
ngan manusia yang selamat dari kerugian kehidupan di
dunia, yaitu: (1) beriman, (2) beramal saleh (baik), dan
(3) saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Surah ini menjelaskan bahwa hidup ini perlu dimanaj
(diatur) dengan baik agar kita tidak merugi. Manajemen
kehidupan perspektif surah al-’Ashr menekankan
pentingnya keimanan kepada Allah [sikap religius],
amal saleh [sikap sosial], dan saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran [kerjasama].

3. Urgensi Manajemen di Lembaga Pendidikan


Islam
Dari beberapa penjelasan konsep manajemen
pers­p ektif al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa
70 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz: 28, 29,30, [terj.] oleh Arif
Rahman Hakim, dkk, (Surakarta: Insan Kamil, 2015), hlm. 806.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 47


BAB I:
Pendahuluan

kegiatan manajemen sangat penting untuk mengatur


kehidupan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam
Q.S. al-Ashr [103]: 1-3 di atas. Atas dasar ini, maka
kegiatan manajerial pada lembaga pendidikan Islam
sangat penting dilakukan karena didasari oleh ruh atau
nilai-nilai yang terkadung dalam al-Qur’an tersebut.
Menurut penulis ada beberapa alasan mengapa
lembaga pendidikan Islam perlu dimanag (dikelola)
dengan baik, yaitu: (1) mayoritas yang sekolah di
lembaga pendidikan Islam adalah anak-anak Islam,
bahkan banyak anak-anak dari keluarga muslim
yang tidak mampu (miskin), (2) lembaga pendidikan
Islam tempat penyemaian karakter, khususnya sosial-
spiritual, (3) lembaga pendidikan Islam sebagai tempat
kaderisasi calon-calon pemimpin umat Islam di masa
depan, (4) jumlah lembaga pendidikan Islam sangat
banyak, sehingga kualitas lembaga pendidikan Islam
sangat mempengaruhi masa SDM bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam, (5) masih banyak
kualitas pendidikan madrasah di bawah sekolah,
baik dari segi SDM, sarana dan prasarana, dan proses
belajar-mengajar.
Banyak teori yang bisa digunakan untuk mengelola
dan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
Islam, salah satunya Total Quality Management (TQM)/
Manajemen Mutu Terpadu (MMT). TQM dapat dipahami

48 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

sebagai perbaikan terus menerus hingga tujuan sebuah


organisasi/institusi dapat dicapai. Meski awalnya TQM
digunakan oleh para pelaku industri, tapi akhir-akhir
ini, prinsip-prinsip TQM marak digunakan untuk
meningkatkan mutu lembaga pendidikan.
TQM adalah sebuah filosofi tentang perbaikan
secara terus-menerus, yang dapat memberikan
seperangkat alat praktis kepada institusi pendidikan
dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan
para pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan
datang. TQM adalah suatu keinginan untuk selalu
mencoba mengerjakan segala sesuatu dengan “selalu
baik sejak awal”.71 Kata Total (terpadu) menegaskan
bahwa setiap orang yang berada di dalam organisasi
harus terlibat dalam upaya melakukan peningkatan
secara terus-menerus. Kata Management berlaku
bagi setiap orang, sebab setiap orang dalam sebuah
institusi, apapun status, peranannya adalah manajer
bagi tanggungjawabnya masing-masing.
Lembaga pendidikan yang bermutu setidaknya
memiliki lima karakteristik, yaitu fokus pada
kustomer, keterlibatan total, pengukuran, komitmen,

71 Edward Sallis, Total Quality Management in Education Manajemen


Mutu Pendidikan, (terj.) oleh Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi,
cetakan VI, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), hlm. 73-74.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 49


BAB I:
Pendahuluan

dan perbaikan terus-menerus.72 Lima karakter (pilar)


terus dapat diterapkan di lembaga pendidikan Islam
untuk mewujudkan lembaga yang berkualitas. Berikut
ini penjelasannya:

a. Fokus pada kostumer (pelanggan)


Lembaga pendidikan menjual jasa pelayanan
pendidikan. Agar layanan tepat sasaran
maka harus dipahami kebutuhan kustomer
pendidikan. Menurut Edward Sallis, kustomer
(klien) pendidikan dibagi dua, yaitu (1)
eksternal seperti murid, orangtua/kepala
daerah/sponsor, pemerintah/ masyarakat/
bursa kerja, dan (2) internal seperti guru/staf.73
Lembaga pendidikan Islam yang berkualitas
harus senantiasa memberikan pelayanan
prima (excellent servise) kepada para kustomer,
khususnya memenuhi kebutuhan murid
sebagai kustomer utama. Kebutuhan murid
inilah yang nanti menjadi dasar mengapa
pengembangan kurikulum menjadi sebuah
keharusan di lembaga pendidikan Islam.

72 Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, (terj.) oleh Yosal


Iriantara, cetakan IV, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2007), hlm. 11
73 Edward Sallis, Total Quality…, hlm. 70.

50 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

b. Keterlibatan total
Setiap orang mesti terlibat dalam transformasi
mutu. Manajemen mesti memiliki komitmen
untuk menfokuskan pada mutu.74 Transformasi
mutu tanpa keterlibatan total dari semua
stakeholders pendidikan akan sia-sia, karena
tidak ada konsistensi terhadap mutu yang
sudah dirumuskan. Maka, evaluasi diperlukan
untuk mengontrol keterlibatan transformasi
mutu, misalnya dilakukan audit mutu
internal yang bertujuan untuk mengontrol
implementasi mutu di tingkat internal. Contoh
audit mutu internal yang bisa dilakukan di
madrasah adalah pengecekan dokumen yang
berkaitan dengan kewajiban guru dalam
mengajar, seperti RPP, silabus, dan bahan
ajar. Agar audit mutu tersebut berjalan dengan
baik maka perlu disusun Standart Operating
Procedure (SOP) tentang standar RPP, Silabus,
bahan ajar, dan lain-lain.

c. Pengukuran
Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran
sekolah (output) adalah prestasi siswa.
Ukuran dasarnya adalah hasil ujian. Bila ujian

74 Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis…, hlm. 11

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 51


BAB I:
Pendahuluan

bertambah baik, maka mutu pendidikan pun


membaik.75 Contohnya: adanya Ujian Nasional.
Dalam konteks lembaga pendidikan Islam,
Prof. Imam Suprayogo berpendapat bahwa
pendidikan Islam harus mengantarkan para
lulusannya memiliki empat kekuatan, yaitu:
kedalaman spiritual, keagungan akhlak
(moralitas), keluasan ilmu, dan kematangan
professional (skill).76 Dalam kurikulum 2013
dijelaskan ada empat kompetensi inti yang
menjadi ukuran keberhasilan pendidikan,
yaitu sikap spiritual (K.I-1), sikap sosial (K.I-2),
pengetahuan (K.I-3), dan keterampilan (K.I-4).

d. Komitmen
Para pengawas sekolah dan dewan sekolah
harus memiliki komitmen pada mutu. Bila
mereka tidak memiliki komitmen, proses
transformasi mutu tidak akan dapat dimulai
karena kalaupun dijalankan pasti gagal.
Setiap orang perlu mendukung upaya mutu.
Mutu merupakan perubahan budaya yang
menyebabkan organisasi mengubah cara

75 Ibid, hlm. 13
76 Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, (Malang:
Aditya Media bekerjasama dengan UIN Malang Press, 2004), hlm.
43

52 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB I:
Pendahuluan

kerjanya. Orang biasanya tidak mau berubah,


tapi manajemen harus mendukung proses
perubahan dengan member pendidikan,
perangkat, sistem dan proses untuk mening­
katkan mutu.77

e. Perbaikan berkelanjutan
Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesua­
tu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi
manajemen lama, “Kalau belum rusak, janganlah
diperbaiki”. Menurut filosofi manajemen
yang baru, “Bila tidak rusak, perbaikilah,
karena bila Anda tidak melakukannya orang
lain pasti melakukannya”. Inilah konsep
perbaikan berkelanjutan. 78 Konsep perbaikan
berkelanjutan (continuous improvement) ini di
Jepang disebut dengan KAIZEN atau perbaikan
berkesinambungan yang melibatkan seluruh
pekerjanya, dari manajemen tingkat atas
sampai bawah.79

77 Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis…, hlm. 41-42


78 Ibid, hlm. 42
79 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kaizen [Diakses, 07 Maret 1980]

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 53


BAB I:
Pendahuluan

54 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

BAB II:
TEORI PENGEMBANGAN
KURIKULUM

MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM


PENDIDIKAN ISLAM TEORI DAN PRAKTIK
Dr. Zainal Arifin, M.S.I.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 55


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

56 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

BAB II
TEORI PENGEMBANGAN
KURIKULUM

Kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia saat


ini masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain dan
salah satu faktor utama rendahnya kualitas sumber daya
manusia ini tentu berhubungan dengan dunia pendidikan
nasional. Program pendidikan nasional yang dirancang
diyakini belum berhasil menjawab harapan dan tantangan
masa kini maupun di masa depan. Dunia pendidikan
nasional perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi
atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan pada
era globalisasi.
Di sisi lain, era globalisasi saat ini ditandai dengan
persaingan antar negara, baik tingkat regional (ASEAN)
maupun internasional. Oleh karenanya, tidak hanya potensi
Sumber Daya Alam (SDA) semata yang diperhatikan,

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 57


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

tetapi juga dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang


berkualitas dan mampu bersaing dengan negara lain. Fakta
di atas mendorong perlunya peningkatan kualitas layanan
pendidikan, salah satunya dengan mengembangkan
kurikulum yang memenuhi kebutuhan murid yang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada bab II ini penulis akan membahas mengenai
konsep kurikulum, teori pengembangan kurikulum,
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, pende­
katan pengembangan kurikulum, model pengembangan
kurikulum, dan ideologi kurikulum pendidikan Islam.
Bab ini lebih ditekan pada pengayaan teori pengem­
bangan kurikulum sebagai landasan teoritik dalam praktik
pengembangan kurikulum pada lembaga pendidikan Islam,
yaitu pesantren, madrasah, dan sekolah Islam.

A. KONSEP KURIKULUM
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan, begitulah
pendapat William H. Schubert yang dikutip Wesley Null
dalam Curriculum from Theory to Practice. Setidaknya
ada dua alasan mengapa kurikulum dapat dikatakan
sebagai jantungnya pendidikan, yaitu (1) kurikulum
berhubungan dengan sesuatu yang seharusnya diajarkan,
dan (2) kurikulum merupakan gabungan antara pikiran,
perbuatan, dan tujuan.80
80 Wesley Null, Curriculum from Theory to Practice, (United Kingdom:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 1973), hlm. 1.

58 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani,


curir yang berarti berlari dan curere yang berarti tempat
berpacu.81 Dalam bahasa Latin curriculum berarti a running
course, or race course, especially a chariot race course, dalam
bahasa Prancis courier berarti to run yang berarti berlari,
kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah “courses”
atau matapelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai
suatu gelar atau ijasah.82
Istilah kurikulum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan
pendidikan. Menurut Saylor dan Alexander yang dikutip
oleh S. Nasution, bahwa kurikulum sebagai The total effort of
the school to going about desired outcomes in school and out-of-
school situations83 atau usaha total sekolah untuk mencapai
hasil (tujuan) yang diinginkan, baik dilakukan di dalam
sekolah maupun di luar sekolah/kelas (outdoor class).
Definisi kurikulum yang populer adalah All the
experiences that pupils have under the guidance of the school,

81 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik.


(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 183.
82 S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2003), hlm. 9.
83 Ibid., hlm. 9

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 59


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

segala pengalaman anak di bawah bimbingan sekolah.84


Dalam hal ini berarti sekolah telah merumuskan pelbagai
kegiatan pembelajaran baik di dalam maupun di luar
sekolah untuk memberikan pengalaman belajar bagi
anak. Pengalaman anak yang tidak direncanakan oleh
sekolah/guru disebut kurikulum tersembunyi (the hidden
curriculum).
Menurut Abdullah Idi bahwa hidden curriculum tidak
direncanakan oleh sekolah dalam programnya dan tidak
ditulis atau dibicarakan oleh guru, sehingga kurikulum
ini merupakan upaya murni murid atas potensi dan
kreativitasnya yang tentunya bisa berkonotasi negatif
dan positif. Dalam arti positif, berarti hidden curriculum
memberi manfaat bagi murid, guru, dan sekolah. Misalnya,
murid memiliki cara sendiri untuk juara kelas melalui cara
belajar yang dimilikinya. Sebaliknya, bisa berkonotasi
negatif, jika murid menjadi juara dengan cara mencontek.85
Menurut Oemar Hamalik, kurikulum adalah program
pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan
(sekolah) bagi murid. Berdasarkan program pendidikan
tersebut murid melakukan berbagai kegiatan belajar
sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya
sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah mata pelajaran,

84 Ibid., hlm. 10
85 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 50-51

60 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

namun meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi


perkembangan murid, seperti: bangunan sekolah, alat
pelajaran, perlengkapan sekolah, perpustakaan, karyawan
tata usaha, gambar-gambar, halaman sekolah, dan lain-
lain. 86
Dari rumusan ini, kegiatan kurikuler tidak hanya
terbatas di dalam ruangan kelas, melainkan mencakup
juga kegiatan di luar kelas. Definisi kurikulum di atas, dapat
dijadikan pijakan bagi para pendidik untuk melakukan
kegiatan pembelajaran bukan hanya di dalam kelas tapi
juga di luar kelas. Misalnya: out bond, outdoor class/outing
class, field study, observation, dengan diselingi pelbagai games
atau puzzles, study tour, dan lain-lain.
Ella Yulaewati merangkum beberapa pemikiran ahli
kurikulum mengenai pengertian kurikulum dalam tabel
berikut ini: 87

86 Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum. (Bandung:


PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 10.
87 Ella Yulaewati, Kurikulum dan Pembelajaran, Filosofi, Teori, dan
Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004), hlm. 24-26.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 61


Tabel. 3

62
Perkembangan Definisi Kurikulum
BAB II:

Tokoh Tahun Definisi


Tyler 1949 Pada tahun 1945 mengidentifikasikan empat pertanyaan sebagai pa-
rameter penentuan kurikulum, yaitu: (1) apa tujuan pendidikan yang
harus dicapai sekolah? (2) apakah pengalaman pendidikan dapat men-
capai tujuan pendidikan tersebut? (3) bagaimana pengalaman pendi-
dikan ini dapat dikelola secara efektif? dan (4) bagaimana menentu-
kan bahwa tujuan pendidikan telah tercapai?
Teori Pengembangan Kurikulum

Hilda Taba 1962 Kurikulum memuat: (1) pernyataan tujuan, (2) menunjukkan pemili-

Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik


Manajemen Pengembangan Kurikulum
han dan pengorganisasian substansi, (3) memanifestasikan pola bela-
jar-mengajar, serta (4) memuat program penilaian hasil belajar.
Schubert 1986 Menurut Schubert kurikulum merupakan: (1) mata pelajaran, (2) pro-
gram kegiatan pembelajaran yang direncanakan, (3) hasil pembelaja-
ran yang diharapkan, (4) reproduksi kebudayaan, (5) tugas dan konsep
yang mempunyai cirri-ciri tersendiri, (6) agenda untuk rekonstruksi
sosial, serta (7) penafsiran dari kecakapan hidup.
Ornstein 1988 Pendekatan dalam kurikulum perlu mencerminkan kedudukan yang
dan Hunk- menyeluruh dari dasar filosofi, teori, dan pelaksanaannya. Pendekat-
ins an dalam kurikulum meliputi: (1) behavioral-rasional, (2) sistem-mana-
jerial, (3) intelektual-akademik, (4 humanistik-estetik, dan (5) rekon-
septualisasi.
Layton 1989 Kurikulum dipengaruhi oleh sistem: (1) sosial politik, (2) ekonomi,
(3) rasional, (4) teknologi, (5) moral, (6) keagamaan, dan (7) sistem
keindahan.
Cornbleth 1990 Pengembangan kurikulum merupakan kegiatan sosial yang
berkesinambungan yang dipertajam ileh berbagai pengaruh kontek-
stual di dalam dan di luar kelas, serta diwujudkan secara interaktif ter-
utama oleh guru dan murid. Kurulum bukan produk yang dapat dirasa
atau dibayangkan, tetapi merupakan produk nyata dari interaksi se-
hari-hari, antar murid, guru, pengetahuan, dan lingkungan. Kuriku-
lum mencakup dalam praktik,kuriku­lum sebagai produk, objek, atau
dokumen; konteks akan mempertajam kurikulum dalam praktik.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

63
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

B. TEORI PENGEMBANGAN KURIKULUM


Oemar Hamalik mengutip pendapat Audrey & Howard
Nichools, Pengem­bangan kurikulum (curriculum deve­lop­
ment) adalah: The planning of learning oppor­tunities intended to
bring about certain desered in pupils, and assessment of the extend
to wich these changes have taken place.88 Definisi menjelaskan
bahwa pengem­bangan kurikulum adalah perencanaan
kesempatan-kesempatan belajar yang dimak­sudkan untuk
membawa murid ke arah perubahan-perubahan yang
diinginkan dan menilai hingga perubahan-perubahan itu
telah terjadi pada murid. Kesempatan belajar (learning
opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan
terkontrol antara para murid, guru, bahan peralatan, dan
lingkungan dimana belajar yang diinginkan, diharapkan
terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan belajar
direncanakan oleh guru, bagi para murid sesungguhnya
adalah “kurikulum itu sendiri”.89
Dalam pengertian di atas, sesungguhnya pengembangan
kurikulum adalah proses siklus, yang tidak pernah
berakhir. Proses kurikulum tersebut dapat ditampilkan
dalam diagram sebagai berikut: proses tersebut terdiri dari
empat unsur, yakni:
1. Tujuan: mempelajari dan menggambarkan semua
sumber pengetahuan dan pertimbangan tentang

88 Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan…, hlm. 96


89 Ibid., hlm. 97

64 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenaan


dengan mata pelajaran (subject course) maupun
kurikulum secara menyeluruh.
2. Metode dan Material: mengembangkan dan mencoba
menggunakan metode-metode dan material
sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan tadi yang
serasi menurut pertimbangan guru.
3. Penilaian (assesment): menilai keberhasilan peker­
jaan yang telah dikembang-kan itu dalam hubungan
dengan tujuan, dan bila mengembangkan tujuan-
tujuan baru.
4. Balikan (feedback): umpan balik dari semua penga­
laman yang telah diperoleh yang pada gilirannya
menjadi titik tolak bagi studi selanjutnya.90
Dalam melakukan pengembangan kurikulum, ada
beberapa langkah pengembangan yang perlu diperhatikan.
Ella Yulaewati menjelaskan bahwa langkah-langkah
pengembangan kurikulum sangat dipengaruhi oleh teori
Tyler, yaitu:
1. Merumuskan Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan yang dirumuskan meliputi
tujuan nasional, institusional, dan pembelajaran.
Tujuan nasional dapat dilihat pada Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang

90 Ibid., hlm. 97

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 65


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

berlaku. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional,


maka disusun tujuan institusional dan tujuan
pembelajaran atau tujuan intruksional. Tujuan
ini kemudian menjadi kriteria untuk memilih
isi, bahan pembelajaran, metode, dan penilaian.
Tujuan mengandung pernyataan tentang apa yang
harus dilakukan murid, bukan apa yang harus
dilakukan guru. Tujuan mengandung perubahan
perilaku yang diinginkan dan materi yang
digunakan untuk mencapai perubahan perilaku
tersebut. Tujuan dapat ditulis secara lebih umum,
seperti ‘mengembangkan minat murid’.91
2. Menyusun Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar perlu disusun untuk membe­
rikan gagasan kepada para guru tentang rincian
kegiatan pembalajaran yang harus dilaksanakan.
Kriteria seleksi pengalaman belajar yang perlu
dicermati, yaitu: (1) validitas, artinya dapat diterap­
kan di sekolah, (2) kelayakan, artinya layak dalam
hal waktu, kemampuan guru, fasilitas sekolah,
dan pemenuhan terhadap harapan masyarakat,
(3) optimal dalam mengembangkan pengetahuan
murid, (4) memberikan peluang untuk pengem­
bangan berpikir rasional, (5) memberikan peluang
untuk menantang pengembangan seluruh poten­

91 Ella Yulaewati, Kurikulum dan Pembelajaran…, hlm. 28.

66 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

si murid sebagai individu dan sebagai anggota


masyarakat, (6) terbuka terhadap hal baru dan
meno­leransi perbedaan kemampuan murid, (7)
memotivasi belajar lebih lanjut, (8) memenuhi
kebu­tuhan murid, (9) memperluas minat murid,
serta (1) mengembangkan keutuhan pengem­
bangan ranah kognitif, afektif, psikomotor, sosial,
emosi, dan spiritual murid. 92
Pengalaman belajar selalu mengandung materi (isi)
kuri­kulum. Materi kurikulum secara nasional sudah diten­
tukan oleh Pemerintah dalam Undang-Undang Republik
Indo­nesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 37, yaitu:
1. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat: (1) pendi­dikan agama, (2) pendidikan
kewarganegaraan, (3) Bahasa, (4) matematika, (5)
ilmu pengetahuan alam, (6) ilmu pengetahuan
social, (7) seni dan budaya, (8) pendidikan jasmani
dan olahraga, (9) keterampilan/kejuruan, dan (1)
muatan lokal.
2. Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: (1)
pendidikan agama, (2) pendidikan kewarga­nega­
raan, dan (3) bahasa.93

92 Ibid., hlm. 28.


93 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 67


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Dalam menentukan materi kurikulum, Ella Yuliawati


memberikan kriteria seleksi materi yang dapat dipertim­
bangkan yang mencakup: (1) menuju kemandirian murid,
(2) mengandung makna yang mendalam, (3) menyiratkan
saran menuju kualitas kehidupan yang lebih baik, dan
(4) mengandung urutan atau sistematika berdasarkan
kepentingan, sebab akibat, makna tunggal-makna
mejemuk, (5) autentik, (6) menarik, (7) bermanfaat bagi
kehidupan murid, (8) dapat dipelajari dan layak dipelajari.94
Dalam menyusun kurikulum, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Sebagaimana termuat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 ayat 3 dinyatakan:
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan: (1) peningkatan iman dan takwa,
(2) peningkatan akhlak mulia, (3) peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat murid, (4) keragaman potensi
daerah dan nasional, (5) tuntutan pembangunan daerah
dan nacional, (6) tuntutan dunia kerja, (7) perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (8) agama, (9)
dinamika perkembangan global dan (10) persatuan nasional
dan nilai-nilai kebangsaan.95

94 Ella Yulaewati, Kurikulum dan Pembelajaran…, hlm. 28.


95 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 ayat 3.

68 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

1. Mengelola Pengalaman Belajar


Pengalaman Belajar murid perlu dikelola dengan
baik agar tidak terjadi misleading dengan tujuan
pendidikan yang dirumuskan. Seorang pengem­
bang kurikulum harus meminimalisir kegiatan
pengalaman belajar murid yang tidak berguna.
Setiap kegiatan pembelajaran merupakan penga­
laman belajar murid yang senantiasa memberikan
dampak positif dan negatif bagi perkembangan
kejiwaan dan otaknya.
2. Menilai Pembelajaran
Seorang pengembang kurikulum maupun guru
harus menetapkan sistem penilaian yang dapat
mengungkapkan diri murid secara utuh, baik pada
tingkat kognitif, Afektif, maupun psikomotorik. 96

C. PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM


Nana Syaodih S membagi dua prinsip pengembangan
kurikulum, yaitu prinsip umum dan prinsip khusus.

1. Prinsip Umum
Prinsip pertama, relevansi. Dua macam relevansi
kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan di dalam. Relevansi
ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar
yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan

96 Ella Yulaewati, Kurikulum dan Pembelajaran…, hlm. 28.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 69


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan


masyrakat. Kurikulum juga harus memiliki relevansi
di dalam yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara
komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan,
isi, proses penyampaian, dan penilaian. Prinsip kedua,
fleksibilitas. Kurikulum hendaknya bersifat lentur atau
fleksibel. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang
berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya
memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan kondisi daerah, waktu, kemampuan, dan
latar belakang anak. Prinsip ketiga, kontinuitas yaitu
kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar
anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak
terputus-putus atau berhenti-henti. Pengembangan
kurikulum perlu dilakukan serempak, ada komunikasi,
dan kerja sama antara para pengembang kurikulum
SD dengan SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Prinsip
keempat, praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan
alat-alat sederhana, dan biayanya murah. Prinsip ini
juga disebut efisiensi. Prinsip kelima, efektivitas.
Walaupun kurikulum tersebut sederhana dan murah
tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. 97

97 Nana Syaodih S., Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, cet.


Ke-7, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 150 - 151

70 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

2. Prinsip Khusus
Nano Syaodih S membagi prinsip khusus dalam
pengembangan kurikulum ada lima, yaitu: Pertama,
Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan ada yang bersifat umum atau berjangka
panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan
khusus). Perumusan tujuan pendidikan bersumber
pada: (1) ketentuan dan kebijakasanaan pemerintah,
(2) survai mengenai persepsi orang tua/masyarakat
tentang kebutuhannya, (3) survai tentang pandangan
para ahli dalam bidang-bidang tertentu, (4) survai
tentang manpower; (5) pengalaman negara-negara lain
dalam masalah yang sama, dan (6) penelitian.
Kedua, Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi
pendidikan. Beberapa hal yang perlu pertimbangan
dalam pemilihan isi kurikulum, yaitu: (1) penjabaran
tujuan pendidikan ke dalam bentuk perbuatan hasil
belajar yang khusus dan sederhana, (2) isi bahan
pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan, (3) unit-unit kurikulum harus disusun
dalam urutan yang logis dan sistematis.
Ketiga, Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses
belajar mengajar (PBM). Pemilihan PBM hendaknya
memperhatikan, (1) metode (teknik) belajar-mengajar
yang cocok untuk mengajarkan bahan pelajaran,
(2) metode (teknik) yang memberikan kegiatan

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 71


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan


individual murid, (3) metode (teknik) yang memberikan
urutan kegiatan yang bertingkat-tingkat, (4) metode
(teknik) yang menciptakan kegiatan untuk mencapai
tujuan kognitif, afektif, dan psikomotor, (5) metode
(teknik) yang lebih mengaktifkan murid, guru atau
kedua-duanya, (6) metode (teknik) yang mendorong
berkembangnya kemampuan baru, (7) metode (teknik)
yang menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah
dan di rumah serta mendorong penggunaan sumber
yang ada di rumah atau di masyarakat, dan (8) belajar
keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang
menekankan learning by doing di samping learning by
seeing and knowing.
Keempat, Prinsip berkenaan dengan pemilihan
media dan alat pengajaran, yang meliputi: (1) alat/
media pengajaran apa yang diperlukan, (2) alat
yang dibuat, hendaknya memperhatikan bagaimana
pembuatannya, siapa yang membuat, pembiayaannya
dan waktu pembuatan, (3) pengorganisasian alat dalam
bahan pelajaran, dapat berbentuk modul, paket belajar,
dan lain-lain, (4) pengintegrasian dalam keseluruhan
kegiatan belajar, dan (5) hasil yang terbaik akan
diperoleh dengan menggunakan multi media.
Kelima, Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan
penilaian, yang meliputi (1) penyusunan alat penilaian

72 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

(tes), hendaknya mengikuti langkah-langkah: (a)


rumuskan tujuan pendidikan umum, dalam ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor, (b) uraikan ke dalam
bentuk tingkah laku murid yang dapat diamati, (c)
hubungkan dengan bahan pelajaran, dan (d) tuliskan
butir-butir tes, (2) merencanakan penilaian, perlu
memperhatikan (a) kelas, usia, dan tingkat kemampuan
kelompok yang akan di tes, (b) berapa lama waktu
dibutuhkan untuk pelaksanaan tes, (c) tes tersebut
berbentuk uraian atau obyektif, (d) berapa banyak
butir tes, (e) tes tersebut diadministrasikan oleh
guru atau murid, dan (3) pengolahan hasil penialain
perlu memperhatikan: (a) norma yang digunakan
dalam pengolahan hasil tes, (b) formula quessing,
(c) pengubahan skor ke dalam skor masak, (d) skor
standar apa yang digunakan, dan (e) Untuk apa hasil-
hasil tes digunakan.98

D. PENDEKATAN PENGEMBANGAN KURIKULUM


Pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan
strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti
langkah-langkah pengembangan yang sistematis agar
memperoleh kurikulum yang lebih baik. Abdullah Idi
membagi pendekatan dalam mengembangkan kurikulum
ada enam, yaitu:99
98 Ibid., hlm 152-155
99 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 199-203

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 73


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

1. Pendekatan Bidang Studi (Subjek atau Displin


Ilmu)
Idi mengutip pendapat Nasution, bahwa pendeka­
tan ini menggunakan bidang studi atau mata pelajaran
sebagai dasar organisasi kurikulum, misalnya matema­
tika, sains, sejarah, geografi, atau IPA, IPS, dan sebagai­
nya.

2. Pendekatan Berorientasi pada Tujuan


Pendekatan yang berorientasi pada tujuan ini
menem­patkan rumusan-rumusan atau penempatan
tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab
tujuan adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses
belajar mengajar. Tujuan matematika misal­nya, sama
dengan konsep dasar dan displin ilmu mate­ma­tika.
Prioritas pendekatan ini adalah penalaran penge­
tahuan. Idi mengutip pendapat Soebandijah, kele­
bihan pendekatan pengembangan kurikulum yang
berorientasi pada tujuan adalah: (1) tujuan yang ingin
dicapai jelas, (2) tujuan yang jelas akan memberikan
arah jelas dalam menetapkan materi, metode, jenis
kegiatan, dan alat pencapaian tujuan, (3) tujuan yang
jelas itu akan memberikan arah dalam mengadakan
penilaian terhadap hasil yang dicapai, (4) hasil
penelitian yang terarah itu akan membantu penyusun
kurikulum di dalam mengadakan perbaikan-perbaikan
yang diperlukan.

74 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

3. Pendekatan dengan Pola Organisasi Bahan


Pendekatan ini dapat dilihat dari pola pendekatan:
subject matter curriculum, correlated curriculum, dan
integrated curriculum.

a. Pendekatan dengan pola subject matter curricu­


lum menekankan pada berbagai mata pelajaran
secara terpisah-pisah, misalnya: sejarah, ilmu
bumi, biologi, berhitung, dan sebagainya. Mata
pelajaran ini tidak berhubungan satu sama
lain.

b. Pendekatan pola correlated curriculum mene­


kan­­kan pada pola pengelompokkan beberapa
mata pelajaran yang dekat berhubungan.
Misal­nya, bidang studi IPA, IPS, dan seba­
gainya. Pendekatan ini dapat ditinjau dari
berbagai aspek, yaitu: (1) pendekatan struktur,
sebagai contoh IPS. Bidang studi ini terdiri
atas Sejarah, Ekonomi, dan Sosiologi, (2)
pendekatan fungsional yang berdasarkan pada
masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-
hari, dan (3) pendekatan tempat atau daerah.

c. Pendekatan pola integrated curriculum yang


didasarkan kepada keseluruhan hal yang
mempunyai arti tertentu. Dalam hal ini, tidak
hanya melalui mata pelajaran yang terpisah-

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 75


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

pisah, namun harus dijalin suatu keutuhan


yang meniadakan batas tertentu dari masing-
masing bahan pelajaran.

4. Pendekatan Rekonstruksionalisme
Pendekatan ini disebut juga rekonstruksi sosial
karena memfokuskan kurikulum pada masalah
penting yang dihadapi masyarakat, seperti
polusi, ledakan penduduk, malapetaka akibat
tujuan teknologi, dan lain-lain. Misalnya, kebija­
kan pemerintah merumuskan kurikulum anti
korupsi untuk mengajarkan anak didik sedini
mungkin tentang bahaya korupsi, kurikulum
berbasis karakter dengan tujuan memperbaiki
karakter anak didik, dan lain sebagainya. Idi
mengutip pendapat Nasution, pendekatan
rekonstruksionalisme terbagi dua kelompok, yaitu:

a. Rekonstruksionalisme Konservatif, yang


mengan­­jurkan pendidikan untuk peningkatan
mutu kehidupan individu maupun masyarakat
dengan mencari penyelesaian masalah-
masalah yang paling mendesak.

b. Rekonstruksionalisme Radikal, yang mengan­


jurkan pendidik mengabdikan diri demi ter­ca­
painya tatanan sosial baru berdasarkan pem­
bagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih

76 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

adil dan merata. Kelompok ini menggunakan


pendidikan untuk merombak tata sosial dan
lembaga sosial yang ada dan membangun
struktur sosial baru.

5. Pendekatan Humanistik
Idi mengutip pendapat Soemantrie bahwa kuri­ku­­
lum berpusat pada murid (student centered) dan mengu­
tamakan perkembangan afektif. Pendidik huma­nistik
yakin bahwa kesejahteraan mental dan emosional
murid harus diutamakan dalam kurikulum. Prioritas
pengalaman belajar diarahkan pada tanggapan minat,
kebutuhan, dan kemampuan.

6. Pendekatan Akuntabilitas
Pendekatan ini memperhatikan standar dan tujuan
spesifik. Keberhasilan murid untuk mencapai standar
tersebut. Sekolah dituntut untuk memperhatikan
dan membuktikan keberhasilannya yang berstandar
tinggi. Agar memenuhi tuntutan itu, para pengembang
kurikulum terpaksa mengkhususkan tujuan pelajaran
agar dapat mengukur prestasi belajar. Dalam banyak
hal, gerakan ini menuju kepada ujian akademis yang
ketat sebagai syarat memasuki universitas atau
sekolah.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 77


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

E. MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM


Ella Yulaelawati membagi lima model pengembangan
kurikulum yang berlaku sejak tahun 1950-an sampai tahun
2000-an berdasarkan kerangka pendekatan sistemik dan
pendekatan kontekstual, yaitu: model Tyler, Taba, teknik
saintifik, nonteknik-nonsaintifik, dan Pendidikan Berbasis
Hasil Belajar (PBHB).100 Model Ralp Tyler menekankan pada
empat pertanyaan, yaitu: (1) what educational purposes should
the school seek to attain? (objectives), (2) what educational
experiences are likely to attain these objectives? (instructional
strategic and content), (3) how can these educational experiences
be organized effectively? (organizing learning experiences), and
(4) how can we determine whether these purposes are being
attain? (assessment and evaluation).101
Hilda Taba memodifikasi model pengembangan
kurikulum Tyler menjadi tujuh langkah, yaitu: (1) diagnosis
of needs, (2) formulation of objectives, (3) Selection of content,
(4) organization of content, (5) selection of learning experiences,
(6) organization of learning experiences, and (7) determination
of what to evaluate and the ways and means of doing it.102
Model nonteknik-nonsaintifik menganggap dunia
sebagai suatu benda yang hidup. Dengan demikian,

100 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran…, hlm. 29


101 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 155.
102 Hilda Taba, Curriculum Development Theory and Practice, (New York:
Harcont and World, 1962), p. 12.

78 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

kurikulum merupakan sesuatu yang dinamis yang


selalu berkembang sebagaimana layaknya benda hidup.
Model teknik-saintifik melihat bahwa perencanaan dan
pelaksanaan berada pada sistem yang linier dan dapat
ditentukan sebelumnya. Perencanaan yang melibatkan
sumber daya manusia dengan baik dan mengelola
bahan serta peralatan yang menarik, dipercaya dapat
membentuk struktur lingkungan belajar. Sejak tahun 1980-
an pengembangan kurikulum mulai beralih dari berbasis
tujuan ke pendekatan Pendidikan Berbasis Hasil Belajar
(PBHB) atau Outcome-based Education (OBE). PBHB artinya
mengorganisasi hasil berdasarkan hal yang dikerjakan
dalam pembelajaran untuk mencapai hasil belajar yang
telah ditentukan sebelumnya.103
Model PBHB dipengaruhi oleh Gagné (1974,1977),
Johnson (1977), dan Posner (1982) yang menyatakan bahwa
kurikulum bukan seharusnya berfokus hanya pada kegiatan
belajar tetapi perlu menfokuskan pada hasil belajar yang
diharapkan. Ornstein dan Hunkins mengelompokkan
pendekatan pengembangan kurikulum ke dalam model
pendekatan teknik-saintifik dan nonteknik-nonsaintifik.104
Beberapa model di atas memiliki pendekatan yang berbeda
dalam pengembangan kurikulum. Perbedaan model-model
ini dapat dilihat dalam tabel di bawah.

103 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran…, hlm. 31-33


104 Ibid., hlm. 29

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 79


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Tabel. 5
Model Pengembangan Kurikulum
MODEL TYLER MODEL TABA
Menurut Tyler, pengembangan kuri- Menurut Taba, pengembangan
kulum mencakup: kurikulum mencakup:
a. diagnosis kebutuhan, P
a. tujuan,
b. rumusan tujuan, E
b. pengalaman belajar, c. seleksi dan organisasi konten,
c. pengelolaaan pengalaman bela- d. manifestasi pengalaman bela- N
P jar, dan jar, serta D
E e. penilaian.
d. penilaian tujuan belajar. E
N
D PENDIDIKAN BERBASIS HASIL BELAJAR (PBHB) K
E (OUTCOMES BASED-EDUCATION/OBE)
A
K Pengembangan kurikulumnya mencakup:
a. menentukan hasil belajar; T
A
T b. menentukan pengetahuan, kompetensi, dan kinerja; serta A
c. menentukan cara mendesain, menyampaikan, dan mendokumenta-
A N
sikan pembelajaran.
N
MODEL PENDEKATAN MODEL NONTEKNIK-
TEKNIK-SAINTIFIK NONSAINTIFIK
Pengembangan kurikulumnya men- Pengembangan kurikulumnya
cakup: mencakup:
S K
a. menyusun perencanaan/blue a. berorientasi pada hal-hal yang
I print; subjektif, pribadi, keindahan, O
S b. menyusun struktur lingkungan penalaran, dan transaksi; N
T belajar; b. berorientasi pada murid T
E c. mengordinasikan sumber daya melalui cara-cara aktif dalam
M manusia, bahan, dan peralatan; belajar mengajar; E
A d. mempunyai derajat objektifitas, c. kurikulum berkembang daripa- K
T universalitas, dan logika yang da direncanakan; serta S
I tinggi; d. dunia merupakan suatu benda
T
K e. dapat menjelaskan kenyataan hidup.
secara simbolis; U
f. percaya pada efisiensi dan efektif- A
itas dari sistem; serta L
g. dunia dilihat sebagai mesin yang
dapat digambar, dibuat, dan
diamati.

80 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Menurut Ella, modifikasi Taba terhadap Tyler karena


memusatkan perhatian pada guru. Teori Taba memercayai
peran guru sebagai pengembang utama kurikulum.
Pada model Tyler, guru merupakan objek penerima
dan pelaksana kurikulum. Sedangkan pada model Taba,
guru merupakan subjek aktif yang terlibat penuh dalam
pengembangan kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum model Taba, ada
tujuh langkah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Diagnosis of needs (diagnosis kebutuhan)
Hilda Taba berpendapat bahwa kurikulum disusun
agar murid dapat belajar, karena latar belakang
murid yang beragam maka perlu dilaku­k an
diagnosis tentang “gaps”, berbagai kekurangan
(deficiencies), dan perbe­d aan latar belakang
(variations in these background). Langkah pertama
dalam diagnosis adalah menentukan kurikulum
apa yang harus diberikan kepada murid.
2. Formulation of objectives (merumuskan tujuan
pendidikan)
Menurut Taba, diagnosis kebutuhan murid dapat
menggambarkan dan memberikan petunjuk
dalam merumuskan tujuan pendidikan. Dalam
merumuskan tujuan pendidikan ada empat area
yang perlu diperhatikan, yaitu: (a) konsep atau
ide-ide yang akan dipelajari (concepts or ideas to

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 81


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

be learned), (b) sikap, sensitifitas, dan perasaan


yang akan dikembangkan (attitudes, sensitivities,
and feeling to be developed), (c) pola pikir yang akan
ditekankan, dikuatkan, atau dimulai/dirumuskan
(ways of thinking to be reinforced, strengthened, or
initiated), dan (d) kebiasaan dan kemampuan yang
akan dikuasai (habits and skills to be mastered).
Taba kemudian memberikan beberapa petunjuk
tentang cara merumuskan tujuan pendidikan,
yaitu:
a. A statement of objectives should describe both
the kind of behavior expected and the content
or the context to which that behavior applies
(tujuan hendaknya menggambarkan dua
dimensi, yaitu: sikap yang diharapkan dan isi
atau konteks di mana perilaku itu berlaku/
diperbuat).
b. Complex objectives need to be stated analytically
and specifically enough so that there is no doubt
as to the kind of behavior expected, or what the
behavior applies to (tujuan yang kompleks perlu
dinyatakan secara analitis dan cukup spesifik
sehinnga tidak diragukan lagi mengenai jenis
perilaku yang diharapkan atau yang harus
diperbuat)

82 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

c. Objectives should also be so formulated that there


are clear distinctions among learning experinces
required to attain different behavior (tujuan
juga harus dirumuskan agar ada perbedaan
yang jelas antara pengalaman belajar yang
dibutuhkan untuk mencapai perilaku yang
berbeda)
d. Objectives are developmental, representing roads
to travel rather than terminal points (tujuan
yang dikembangkan tidak selalu dapat dicapai
segera akan tetapi ada kalanya memakan
waktu yang lama)
e. Objectives shoud be realistic and should include
only what can be translated into curriculum and
classroom experiences (tujuan harus realistis dan
dapat diterjemahkan dalam bentuk kegiatan
atau pengalaman belajar tertentu)
f. The scope of objectives should be broad enough
to encompass all types of outcomes for which the
school is responsible (tujuan harus komprehensif,
artinya meliputi segala tujuan yang akan
dicapai di sekolah).
3. Selection of the content (seleksi isi)
Taba memberikan kriteria isi (materi) yang akan
diajarkan, yaitu: (a) isi harus valid dan signifikan
(validity and significance of content), (b) konsisten

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 83


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

(relevan) dengan kenyataan sosial (consistency


with social realities), (c) seimbang antara keluasan
dan kedalaman. (balance of breadth and depth),
(d) mencakup berbagai ragam tujuan (provision
for wide range of objectives), (e) dapat dipelajari
dan dan dihubungkan (adaptasi) dengan
pengalaman murid (learnability and adaptability
to experiences of students), (f) sesuai dengan
kebutuhan dan minat murid (appropriateness
to the needs and interests of the students).
Pendapat Ella Yulaelawati bahwa seleksi isi
(materi) dapat dipertimbangkan: (a) menuju
kemandirian murid, (b) mengandung makna yang
mendalam, (c) menyiratkan saran menuju kualitas
kehidupan yang lebih baik, (d) mengandung
urutan atau sistematika berdasarkan kepentingan,
sebab akibat, makna tunggal-makna mejemuk,
(e) autentik, (f) menarik, (g) bermanfaat bagi
kehidupan murid, (h) dapat dipelajari dan layak
dipelajari.
4. Organization of the content (organisasi isi)
Dalam penyusunan kurikulum, terdapat dua jenis
organisasi isi, yaitu:
a. Subject Curriculum
Organisasi kurikulum berdasarkan mata
pela­­­ja­ran (subject curri­culum) dibagi tiga,

84 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

yaitu: separated subject curriculum, correlated


curri­c ulum, dan broad fields curriculum.
Pertama, Separated Subject Curriculum, yaitu
kurikulum dalam bentuk mata pelajaran
yang terpisah-pisah dan kurang mempunyai
keterkaitan dengan mata pelajaran lainnya.
Mata pelajaran (subject) itu merupakan
him­punan pengalaman dan pengetahuan
yang diorganisasikan secara logis dan
sistematis oleh para ahli kurikulum (experts).
Contoh­nya mata pelajaran bahasa Arab terdiri
dari mata pelajaran Nahwu, Sharaf, Khat,
Imla’, Qira’at, Balaghah, dan Muhadatsah.
Lihat gambar berikut:
Kedua, Correlated Curruculum, yaitu sejumlah
mata pelajaran dihu­bung­kan antara yang
satu dengan yang lain, sehingga ruang
lingkup bahan yang tercakup semakin luas.
Contohnya mata pelajaran Fikih dibicarakan
(dikorelasikan pembahasannya) dengan mata
pelajaran Al-Qur’an dan Hadis. Lihat gambar
berikut.
Ketiga, Broad Field Curriculum. Menurut
Hilda Taba, The broad curriculum is essentially
an effort to automatization of curriculum by
combining several specific areas large fields (The

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 85


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

broad curriculum adalah usaha meningkatkan


kurikulum dengan mengombinasikan dengan
beberapa mata pelajaran). Contohnya: sejarah,
geografi, ilmu ekonomi, dan ilmu politik
disatukan menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS).105
b. Integrated curriculum
Kurikulum terpadu (integrated curriculum)
meru­pa­kan produk dari usaha pengintegrasian
bahan pelajaran dari berbagai macam pela­
jaran. Integrasi diciptakan dengan memu­
satkan pelajaran pada masalah tertentu yang
memerlukan solusinya dengan materi atau
bahan dari berbagai displin ilmu.106
Abdullah Idi mengutip pendapat Soetopo &
Soemanto bahwa kurikulum terpadu dibagi tiga
macam, pertama, The Child Centered Curriculum
yang menekankan pada perhatian kepentingan
anak dalam perencanaan kurikulum. Kedua,
The Social Function Curriculum yang mencobaa
mengeliminasi mata pelajaran sekolah dari
keterpisahannya dengan kehidupan sosial
yang menjadi dasar pengalaman belajar
murid. Ketiga, The Experience Curriculum yang

105 Ibid., hlm. 144


106 Ibid., hlm. 146-147

86 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

menekankan perhatian kebutuhan anak dalam


perencanaan kurikulum. Keempat, Development
Activity Curriculum (kurikulum pengembangan
kegiatan) yang tergantung pada tingkat
perkembangan murid. Perbedaan tiap individu
(murid) mesti menjadi dasar pertimbangan
dalam perencanaan kurikulum. Kelima, Core
Curriculum. Sailor & Alexander menjelaskan
bahwa core curriculum merujuk pada bahan
terpenting (inti) yang harus diketahui oleh
setiap murid pada semua tingkatan sekolah.107
5. Selection of learning experiences (seleksi pengalaman
belajar)
Beberapa prinsip dalam seleksi pengalaman
belajar murid, yaitu: (a) sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai, (b) memuaskan murid, (c) rancangan
pengalaman belajar sebaiknya melibatkan murid,
(d) mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat
mencapai tujuan yang berbeda.108
Kriteria seleksi pengalaman belajar yang perlu
dicermati oleh para pengembang kurikulum,
yaitu: (a) validitas (dapat diterapkan di sekolah),
(b) kelayakan (dalam waktu, kemampuan guru,

107 Ibid., hlm. 148-151


108 Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik
Pengembangan KTSP, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 85

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 87


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

fasilitas sekolah, dan pemenuhan harapan masya­


rakat), (c) optimal mengembangkan pengetahuan
murid, (d) memberikan peluang untuk pengem­
bangan berpikir rasional, (e) memberikan pelu­
ang mengembangkan potensi murid, (f) terbu­ka
terhadap hal baru dan menoleransi perbe­­daan
kemampuan murid, (g) memotivasi belajar
lebih lanjut, (h) memenuhi kebutuhan murid,
(i) memperluas minat murid, serta (j) mengem­
bangkan keutuhan pengembangan ranah kognitif,
afektif, psikomotor, sosial, emosi, dan spiritual
murid.109
6. Organization of learning experiences (organisasi
pengalaman belajar)
Menurut Tyler, sebagaimana dikutip Wina, ada
tiga prinsip dalam mengorganisasi pengalaman
belajar, yaitu kontinuitas, urutan isi, dan inte­
grasi. Prinsip kontinuitas ada yang bersifat ver­tikal
dan horizontal. Bersifat vertikal artinya, bahwa
pengalaman belajar yang diberikan harus memi­liki
kesinambungan yang diperlukan untuk pengem­
bangan pengalaman belajar selanjutnya. Prinsip
kon­tinuitas yang bersifat horizontal, artinya
bahwa suatu pengalaman yang diberikan kepada
murid harus memiliki fungsi dan bermanfaat

109 Ella Yulaelawati, Kurikulum, hlm. 28

88 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

untuk memperoleh pengalaman belajar dalam


bidang lain. Prinsip urutan isi, artinya setiap
penga­laman belajar yang diberikan kepada murid
harus memerhatikan tingkat perkembangan
murid. Pengalaman belajar di kelas lima harus
berbe­da dengan pengalaman belajar pada tingkat
selanjutnya.110
7. Determination of what to evaluate and the ways and
means of doing it. (Evaluasi dan cara melakukan
evaluasi)
Dalam melakukan evaluasi, Hilda Taba mengan­
jurkan: (a) menentukan kriteria penilaian (criteria
for a program of evaluation), (b) menyusun program
evaluasi yang komprehensif (a comprehensive
evaluation program), (c) tehnik mengumpulkan data
(Techniques for securing evidence), dan (d) intepretasi
data evaluasi (interpretation of evaluation data), (e)
menerjemahkan evaluasi ke dalam kurikulum
(evaluation as a cooperative enterprise)111

F. IDEOLOGI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


Ideologi secara harfiah ialah “sistem paham” atau
“sekumpulan ide atau gagasan”. Kata ideologi berasal dari
bahasa Yunani “ideos” (ide, gagasan) dan “logos” (ilmu,

110 Wina Sanjaya, Kurikulum Kurikulum dan Pembelajaran…, hlm. 86-87


111 Hilda Taba, Curriculum Development…, hlm. 316-342.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 89


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

logika), yang mengandung arti “ilmu tentang ide atau


gagasan”. Di kalangan umat Islam, istilah al-mabda’ sebagai
padanan ideologi. Al-Mabda artinya pemikiran awal yang
segala pemikiran berikutnya mengikuti.112 Dalam buku ini,
ideologi diartikan sebagai sekumpulan ide atau pemikiran
pendidikan Islam yang dijadikan landasan normatif dalam
praktik pendidikan Islam.
Muhammad Jawwad Ridla memetakan ideologi pendi­
dikan Islam ke dalam tiga bentuk yaitu Aliran Religius
(Agamis)-Konservatif, Religius-Rasional, dan Pragmatis-
Instru­mental. Pertama ideologi Agamis-Konservatif (al-
Muhafidz). Aliran ini dalam bergumul dengan persoalan
pendi­dikan cenderung bersikap murni keagamaan. al-
Thusi, yang dikutip Jawwab Ridla, “memaknai ilmu dengan
pengertian sempit, yaitu hanya mencakup ilmu-ilmu yang
dibutuhkan saat sekarang (hidup di dunia) yang jelas-
jelas akan membawa manfaat kelak di Akhirat.113 Dalam
artian, hanya ilmu-ilmu agama yang sangat penting untuk
dipelajari untuk mengantar hidup bahagia di Akhirat kelak.
Jawwad Ridla mengutip pendapat Ibnu Jamaah bahwa
“penuntut ilmu berkewajiban mengawali belajarnya dengan
Kitabullah Al-Qur’an dengan berusaha menghafalkan dan
112 Haedar Nashir, Memahami Ideologi Muhammadiyah, (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2014), hlm. 30-31.
113 Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
Perspektif Sosiologis-Filosofis, (terj.) oleh Mahmud Arif, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 74-75.

90 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

mampu menafsirkan, lalu dilanjutkan belajar Al-Hadis


dan Ulumul Hadis, Ushul, Nahwu, dan Sharaf.” Tokoh-
tokoh aliran pemikiran pendidikan ini secara urut dari
kelahirannya adalah Muhammad Ibn Abdissalam ibn
Said ibn Habib al-Thanuki (popular dengan nama Sahnun
meninggal 256H), Abul Hasan Ali ibn Muhammad ibn
Khalaf (dikenal dengan al-Qabisi 324H-403H), Abu Hamid
Muhammad Al-Ghazali al-Thusi al-Naisaburi al-Syafi’i (Al-
Ghazali 450H-550H), Nasiruddin al-Thusi (597H-672H), Ibnu
Jama’ah Qadli al-Qudhat Badrudin al-Kannani al-Hamawi
al-Syafi’i (639H-733H), dan Syihabuddin Abul Abbas
Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ali ibn Hajar
al-Haitami (990H-974H). 114
Inti dari pandangan aliran Agamis/Religius-Konser­
vatif terhadap konsep pendidikan Islam pada upaya mende­
katkan peserta didik kepada Tuhannya, orientasi menuntut
ilmu untuk mencari ridla Allah dan membersikan diri dari
akhlak/moral tercela. Oleh karena itu, aliran ini lebih
mementingkan mengajarkan ilmu agama kepada peserta
didik, karena dengan ilmu agama, peserta didik lebih dapat
mengenal Tuhannya. Sebagaiman pendapat al-Ghazali,
yang dikutip Abd. Rachman Assegaf, “Fungsi pendidikan
adalah pencapaian agama dan pembentukan akhlak.
Akhlak yang baik adalah sifat bagi rasul dan perbuatan
yang terbaik bagi orang-orang yang benar.115
114 Ibid., hlm. 75
115 Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 91


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Kedua ideologi religius-rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy).


Tidak jauh berbeda pemikiran kalangan religius-rasional
dengan pemikiran kalangan “tradisionalis-tekstualis
(Naqliyyun) dalam hal relasi pendidikan dengan tujuan
agamawi. Ikhwan al-Shafa mengakui bahwa semua ilmu
dan sastra yang tidak mengantarkan pemiliknya menuju
concern terhadap Akhirat, dan tidak memberikan makna
sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya akan
menjadi boomerang bagi si pemilik tadi kelak di Akhirat.
Namun, kalangan Religius-Rasional tampak punya
perbedaan sewaktu “menggumuli” persoalan pendidikan,
karena cenderung bersikap rasional-filosofis, misalnya
dalam merumuskan ilmu dan belajar.116 Tokoh aliran
religius-rasional diantara adalah kelompok Ikhwan al-
Shafa, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Miskawaih. Diakui
bahwa kelompok Ikhwan al-Shafa banyak bicara atas aliran
ini. Mereka secara “ensiklopedis” telah mengelaborasi
gagasan-gagasan penting aliran Religius-Rasional.117 Akhir
dari penguasaan semua ilmu menurut ideologi ini adalah
pengenalan kepada Tuhannya. Semakin orang berilmu
maka seharusnya semakin dia mengenal Tuhannya karena
pada dasarnya semua ilmu berasal dari Tuhan. Aliran
Religius-Rasional.
Keilmuan Tokoh Klasik sampai Modern, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), hlm. 112.
116 M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran…, hlm. 78.
117 Ibid., hlm. 79.

92 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Ketiga, ideologi Pragmatis-Instrumental (al-Dzara’i).


Tokoh utama ideologi ini adalah Ibnu Khaldun. Inti
dari pemikiran ideologi ini adalah pragmatisme dan
berorientasi pada aplikatif-praktis. Ideologi pendidikan
ini mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasar tujuan
fungsionalnya, dan bukan berdasar nilai substansialnya
semata. Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Jawwad
Ridla, membagi ilmu menjadi dua, yaitu (1) ilmu-ilmu
yang bersifat instrinsik, seperti ilmu-ilmu syar’iyyat
(keagamaan): Tafsir, Hadis, Fikih, Kalam, Ontologi dan
Teologi dari cabang Filsafat, dan (2) ilmu-ilmu yang bernilai
ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama,
seperti kebahasaan, Ilmu Hitung, dan sejenisnya bagi ilmu
syar’iyy. Logika bagi Filsafat dan bahkan menurut ulama
Muta’akhirun, dimasukkan pula ilmu Kalam dan Ushul
Fikih.118
Ketiga aliran pemikiran pendidikan Islam M. Jawwad
Ridla bisa dijadikan landasan teoritik dalam kajian ideologi
kurikulum pendidikan Islam. Penulis mengambil contoh
tipologi ideologi kurikulum pendidikan Islam dari hasil
penelitian kami pada tahun 2014 terhadap dua Lembaga
pendidikan Islam di Indonesia dan Malaysia, yaitu: Pondok
Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta dan Pondok
Pasir Tumboh Kelantan Malaysia.119

118 Ibid., hlm. 104-105.


119 Hasil penelitian secara lengkap bisa dibaca pada Ahmad Rodli,

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 93


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Dalam menganalisis tipologi ideologi kurikulum


pendidikan Islam kedua pondok tersebut, kami meng­gu­
nakan teori ideologi pendidikan Islam Muhammad Jawwad
Ridla, yaitu: Religius (Agamis)-Konservatif, Religius-
Rasional, dan Pragmatis-Instrumental.
Pertama, sistem pendidikan Pondok Pesantren Al-
Munawwir Krapyak Yogyakarta menggunakan Salafiyah-
Haditsiyah (gabungan sistem tradisional-modern). Tipologi
ideologi kurikulum pendidikan Islam di Al-Munawir
bercorak religius-rasional, yaitu mengintegrasikan
ilmu agama dan umum, salah satunya dalam kegiatan
Bahtsul Masaa’il.120 Dalam kegiatan Bahtsul Masaa’il, Pondok
Pesantren al-Munawir biasanya menghadirkan tokoh
agama dan ilmuwan di bidangnya dengan menggunakan
berbagai referensi terpercaya (mu’tabaroh) dari kitab salaf
dan modern. Contohnya persoalan istihadhah (keputihan)
perempuan, tes DNA, dan Arah Kiblat yang secara
khusus mendatangkan ahli, seperti dokter dan ahli dari
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Imam Machali, Zainal Arifin, “The Educational Ideology of


Indonesian and Malaysian Pesantrens: A Study of Al-Munawir
and Pasir Tumboh”, Jurnal Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2 (1) December 2015: 54-66.
120 Bahsul masail adalah kegiatan bersama untuk membahas persoalan-
persoalan keagamaan yang dihadapi. Persoalan-persoalan yang
dibahas biasanya adalah persoalan baru (waqi’iyah) yang belum
muncul/ada pada masa rasul, sahabat, atau ulama mazhab.

94 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

(Wawancara dengan M Asfin, mantan Ketua Bahsul Masail


Pondok Pesantren al Munawir Krapyak).
Dampak ideologi kurikulum pendidikan Islam
religius-rasional terhadap santri Al-Munawir adalah
(1) kemampuan mengintegrasi-interkoneksikan ilmu
agama dengan ilmu umum, sebagaimana dalam kegiatan
Bahtsul Masaa’il. Manhaj yang digunakan adalah Ahl Sunnah
Waljamaah (ASWAJA) yang mementingkan ajaran Islam
Rahmatan lil ‘Alamin, moderat, dan menghargai tradisi, (2)
pemahaman tentang Islam yang tidak hanya normatif-
tekstualis tapi kontekstual, dan (3) sikap humanis-religius
dalam bentuk menghormati perbedaan pemahaman Islam
di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, sistem pendidikan Islam di Pondok Pasir Tumboh
Kelantan Malaysia menggunakan Salafiyah (Tradisional)
dalam bentuk Madrasah Diniyyah. Kurikulum Pondok Pasir
Tumboh menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab
dengan tulisan bahasa Jawi (kitab Jawi). Contohnya kitab-
kitab klasik bermadzab Syafi’i, seperti Mukhtasar Jiddan
(Jurumiah), Fathul Qariib, I’anatu Thaalibin dan lan-lain. Kitab-
kitab Jawi ditulis oleh ulama Melayu dengan menggunakan
bahasa Melayu bertulisankan (khat) Arab. Selain itu juga
menggunakan kitab-kitab salaf yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab (di
Jawa dikenal dengan Arab Pegon), misalnya Ta’liim Muta’alim
Thariqut At-Ta’liim diterjemahkan menjadi “Pelita Penuntun,

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 95


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Terjemah dari pada risalah ta’limul Mutaalim Thariqut At


Ta’lim bagi Al Alamah Syeikh Az-Zarnuji”. Kitab yang ditulis
oleh ulama Melayu yang menjadi referensi diantaranya
Muhimmah karya Syeikh Abdullah ibn Rohman Pattani.
Kitab ini membahas tentang kelebihan dan kekurangan
hubungan rumah tangga. Kitab Kifayatul Ghalami fi Bayani
Arkani Al Islami wa Syurutuhu yang menjelaskan tentang
rukun Islam dan syarat-syaratnya, dan lain-lain.
Metode pembelajaran di Pondok Pasir Tumboh
Kelantan sama dengan di pesantren-pesantren Indonesia
yaitu klasikal, hafadz (hafalan), dan Mudzakarah. Metode
klasikal adalah pembelajaran di kelas yang terdiri dari
beberapa pelajar (santri) dengan seorang ustadz yang
menyampaikan materi pelajaran. Metode hafadz adalah
pembelajaran dengan hafalan. Setiap pelajar secara
bergantian menyetorkan hafalan ke seorang guru/ustadz.
Metode Mudzakarah adalah pembelajaran di mana ustadz
atau pelajar senior membimbing, membina, dan mengajar
kepada pelajar. Metode mudzakarah bisa berlangsung di
masjid atau bilik-bilik (asrama).
Madzhab keagamaan Pondok Pasir Tumboh adalah
Syafi’i atau madzab lain yang berpaham ASWAJA
sebagaimana pesantren Salafiyah di Indonesia. Pengamalan
agama Pondok Pasir Tumboh cenderung pseudo-ekslusif
yang hampir sama dengan pengamalan keagamaan Jamaah
Tabligh Maulana Syaikh Ilyas di India, misalnya berjubah

96 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

dan bersorban di setiap saat dan lebih sufistik. Ideologi


kurikulum pendidikan Islam di Pondok Pasir Tumboh
cenderung religious-konservatif yang menekankan pada
pendekatan diri kepada Allah. Orientasi menuntut ilmu
santri untuk mencari ridla Allah dan membersihkan diri
dari akhlak tercela.
Pemahaman keagamaan di Pondok Pasir Tumboh
cenderung normatif dan kurang mendialogkan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan sains. Hal ini
dapat dilihat dari pemahaman, tafsiran, atau keterangan-
keterangan yang disampaikan oleh kiai/ustadz dalam
menerangkan isi kitab. Sebagai contoh adalah kajian tentang
isi kitab Muhimmah121 yang menjelaskan tentang tipologi,
sifat, atau peringai perempuan, dan apa yang harus dipilih
oleh seorang laki-laki dalam memilih perempuan ketika
akan menikah. Penjelasan kiai terhadap kitab tersebut
terkesan tekstual, dan bias gender. Wanita menjadi objek
dan tersubordinasi tanpa ada penjelasan secara berimbang.
Penjalasan-penjelasan disampaikan secara tekstual dan
didukung dengan dalil-dalil hadis misoginis.
Dampak yang ditimbulkan dari ideologi kurikulum

121 Observasi partisipatif pengkajian kitab Muhimmah karya syeikh


Abdul Allah ibn Abdurrohman Fatani, di Pondok Pasir Tumboh
Malaysia, 24 Oktober 2014. Kitab Muhimmah adalah kitab yang
menjelaskan tentang hak, kewajiban, an relasi suami danistri
dalam keluarga. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab Melayu (Arab
Jawi) oleh syeikh Abdul Allah ibn Abdurrohman Fatani.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 97


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

pendidikan Islam religius-konservatif terhadap santri


Pondok Pasir Tumboh adalah (1) pemahaman Islam
yang ekslusif, normatif, dan tekstual. Pemahaman
tekstual nampak dalam pembelajaran kitab-kitab Jawi
yang kurang mengapresiasi sikap kritis terhadap isi
kitab, sehingga apa yang dipelajari dalam kitab tertentu
dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak yang harus
diikuti, (2) pengetahuan Islam yang normatif dan tekstual
mempengaruhi pengamalan agama para pelajar Pondok
Pasir Tumboh yang cenderung ekslusif-sufistik, (3) ideologi
pendidikan berpengaruh terhadap sikap/perilaku para
pelajar pondok yang menekankan hidup sederhana sesuai
sunnah Nabi Muhammad dan para sahabatnya, seperti
menggunakan jubah berwarna putih dan bersorban.
Kesederhanaan ini juga nampak dalam kegiatan pengajian
di bilik-bilik (pondok) yang dibuat oleh para pelajar sendiri
dari bahan kayu.

G. EPISTEMOLOGI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


Epistemologi, dari bahasa Yunani episteme artinya
pengetahuan dan logos artinya diskursus adalah cabang
filsafat yang berkaitan dengan teori pengetahuan.
Epistemologi mempelajari tentang hakikat dari pengetahuan,
justifikasi, dan rasionalitas keyakinan.122 Menurut Noeng
Muhadjir, “jika ontologi berupaya mencari secara reflektif
122 http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi. [Diakses pada 07 Maret
2018]

98 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

tentang yang ada, sedangkan epistemologi membahas


tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu.”123
Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang
filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode dan
sahnya pengetahuan. Pertanyaan mendasar yang dikajinya
ialah: Apakah mengetahui itu? Apakah yang merupakan
asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah cara kita
membedakan antara pengetahuan dengan pendapat?
Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu? Corak-
corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimana cara
kita memperoleh pengetahuan? Apakah kebenaran dan
kesesatan itu? Apakah kesalahan itu?124
Dalam perspektif Islam, Allah adalah sumber-sumber
kebenaran dan pengetahuan. Maka, pendidikan Islam juga
harus mendorong orang untuk belajar dari berbagai sumber
kebenaran, dan menguji kebenaran itu dari prinsip-prinsip
Al-Qur’an dan al-Hadis.125 Sebagaimana pendapat M. Bahri
Ghazali yang dikutip oleh Baharuddin, dkk, bahwa yang
dikatakan “ilmu” adalah segala sesuatu yang diketahui oleh

123 Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Kualitatif & Kuantitatif untuk


Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III (revisi), (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2006), hlm. 58
124 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. oleh Soejono Soemargono,
cetakan IX, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. 74
125 Tobroni, Pendidikan Islam Pradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas,
(Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM Press), 2008), hlm. 23

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 99


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

manusia, yang hakikatnya berasal dari Allah dan diperoleh


manusia melalui usahanya sendiri berdasarkan kekuatan
rekayasanya (basyariyah), ataupun anugerah yang langsung
diberikan oleh Allah (mukasyafah).126
Baharuddin mengutip pendapat M. Quraish Shihab,
ilmu mukasyafah disebut juga ‘ilm ladunni, yaitu ilmu
yang diperoleh tanpa upaya manusia.127 Sedangkan ilmu
basyariyah yang disebut juga dengan ‘ilm kasbi yaitu ilmu
yang diperoleh karena usaha manusia yang melakukan
pelacakan terhadap konstruksi ilmu itu sendiri. Konstruksi
ilmu yang demikian merupakan susunan fakta empirik
yang merupakan postulat, beberapa contohnya adalah
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa
yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan
dari langit berupa air, lalu dengan air tersebut mampu
menghidupkan bumi sesudah matinya dan tersebarnya
di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan
awan yang dikendalikan antara langit dan bumi.128
Jadi, dalam pandangan Islam, ditinjau dari cara mem­

126 Umiarso Baharuddin, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam


Historisitas dan Implikasi pada Masyarakat Islam, cetakan ke-2,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 85
127 Ibid., hlm. 86. Atau baca bukunya, M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:
Mizan, 2007).
128 Ibid., hlm. 86-87 dan bersumberkan QS Al-Baqarah [2]: 164

100 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

peroleh ilmu (dataran epistemologis) dibagi menjadi dua,


yaitu ilmu kasbi (mubasyarah/hushuli) dan ilmu ladunni
(mukasyafah/hudluri). Ilmu kasbi didapat karena ketekunan
dalam mempelajari ayat-ayat Tuhan, sedangkan ilmu
ladunni didapatkan karena kedekatan manusia kepada
Allah, sehingga tertuntun hidayah-Nya. Atas dasar ini,
epistemologi kurikulum pendidikan Islam berbeda dengan
kurikulum pendidikan sekuler, sebab perbedaan basis
epistemologi, khususnya ilmu ladunni dalam kurikulum
pendidikan Islam berbasis intuitif (irfani) bukan wilayah
rasional dan empirik.
Dalam pembahasan epistemologi kurikulum Pendi­
dikan Islam, penulis mengambil teori epistemologi al-
Jabiri. Mohammed ‘Abed al-Jabiri lahir di Figuig, bagian
tenggara Maroko. Dia tumbuh dalam keluarga pendukung
Partai Istiqlal yang memimpin perjuangan kemerdekaan
dan persatuan Maroko ketika di bawah penjajahan Prancis
dan Spanyol. Pada tahun 1958, al-Jabiri mulai belajar
filsafat di universitas Damaskus di Syiria setahun kemudian
pindah ke Universitas Rabat. Aktivitas politiknya tidak
pernah berhenti, pada Juli 1963 dia di penjara, sebagaimana
anggota Union Socilieste des Forces Populaires (USFP) yang
lain. USFP dibentuk oleh Mehdi Ben Barka, pemimpin sayap
kiri Partai Istiqlal yang selama ini membimbing Jabiri. 129

129 Walid Harmaneh dalam kata pengantarnya dalam Mohammed


‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, terj. Oleh

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 101


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Pada 1980, al-Jabiri mengumpulkan dan menerbitkan


sejumlah artikel yang telah dipresentasikan dalam pelbagai
konferensi tentang filsuf Islam. Karya-karya al-Jabiri
adalah Nahnu wa at-Turaats (Kita dan Tradisi), dua tahun
kemudian mempublikasikan buku tentang pemikiran Arab
kontemporer, al-Khithaab al-‘Arabi al-Mu’ashir: Diraasah
Tahliiliyyah Naqdiyyah (Wacana Arab Kontemporer: Studi
Kritis dan Analitis). Buku ini diikuti dengan tiga volume
magnum opusnya yang berjudul: Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (Kritik
Nalar Arab) yang dipublikasikan pada 1984, 1986, dan 1990.
Tiga volume Naqd al-‘Aql al-‘Arabi adalah: (1) Takwiin al-‘Aql
al-‘Arabi, (2) Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, dan (3) ‘Aql as-Siyaasi
al-‘Arabi.130 Dalam dua bukunya, Takwiin al-‘Aql al-‘Arabi
dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, al-Jabiri banyak menjelaskan
tentang tiga kebudayaan (epistemologi) masyarakat Arab
tentang tradisi atau pendekatan dalam memahami agama,
yaitu bayani,‘irfani, dan burhani.
Pertama, epistemologi bayani. Istilah al-bayan
menurut al-Jabiri berasal dari tiga huruf ba’-ya’-nun yang
memiliki arti: (1) al-washl (kesinambungan); (2) al-fashl

Moch Nur Ichwan, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xvii-xviii


atau lihat versi bahasa Inggrisnya, Mohammed ‘Abed al- Jabiri,
Arab-Islamic Philosophy A Contemporary Critique, trasleted from the
French by Aziz Abbassi, (The United States of America: The Center
for Middle Eastern Studies and The University of Texas at Austin
USA, 1999), hlm.vii-viii.
130 Ibid., hlm.xix-xxxii.

102 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

(keterpilahan); (3) al-dhuhuur wa al-wujuuh (jelas dan


terang); (4) al-fashaahah wa al-qudrah ‘alaa al-tabliig wa al-
iqnaa’ (kemampuan membuat terang dan jelas); (5) al-insaan
hayawaan mubiin (manusia makhluk yang nyata).131 Ciri
pemikiran bayani adalah tekstual, hegemoni nalar analogi
yang tercermin dari penggunaan otoritas salaf sebagai
sumber pengetahuan, hegemoni nalar okasionalistik,
yaitu tidak adanya kepastian dalam tatanan realitas karena
semua berjalan serba mungkin atas kehendak Tuhan
yang absolut dalam segala hal.132 Proses penalaran bayani
bergerak dari telaah Nahwu, Sharaf, Balaghah, Fikih, dan
Kalam serta memposisikan al-Qur’an dan Hadis sebagai
sesuatu yang sakral. Kebenaran yang dicari sesuai dengan
al-Qur’an dan Hadis.133
Bayani sebagai suatu sistem pemikiran, dapat dipahami
sebagai suatu episteme yang menjadikan nash (al-Qur’an
dan hadis), ijma’ dan qiyas sebagai sumber dasar dalam
pengetahuan terutama dalam menggambarkan ajaran
131 Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, Diraasah
Tahliiliyah Naqdiyyah li-Dhomi al-Ma’rifah fi al-Tsaqaafah al-
‘Arabiyyah, cet. ke-3, (Beirut: Markaz Diraasaat al-Wihdah al-
‘Arabiyyah, 1990), hlm. 16-19.
132 Muqowim, Keterpaduan Sains dan Agama. Bahan Ajar Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2011, hlm. 27-28.
133 Noeng Muhadjir, Filsafat Epistemologi, Nalar Naqliyyah dan Nalar
Aqliyyah, Landasan Profetik, Nalar Bayani, Irfani, dan Burhani,
Perkembangan Islam dan IPTEK, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2014),
hlm. 115.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 103


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

Islam.134 Contohnya pendapat Imam Syafi’i yang dikutip


al-Jabiri, selamanya, seseorang tidak diperkenan mengatakan
sesuatu tersebut dihukumi halal maupun haram kecuali
menggunakan ilmu. Ilmu tersebut bersumber dari Al-Qur’an,
Hadis, Ijmi’, atau Qiyas.135 Jika berhadapan dengan agama
lain, argumen berpikir keagamaan model tekstual-bayani
biasanya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik,
defensif, apologis, dan polemis, dengan semboyan kurang
lebih semakna dengan “right or wrong my country”. Inilah
jenis pengetahuan keagamaan al-‘ilm al-tauqify.136
Kurikulum pendidikan Islam yang bersumber pada
epistemologi bayani lebih menekankan pada kajian-kajian
yang bersumber pada Al-Qur’an-Hadis, ijma’, dan qiyas secara
tekstual-normatif. Dampak epistemologi kurikulum bayani
adalah mengajarkan pemahaman Islam secara tekstual-
normatif, dogmatif, cenderung fanatik terhadap doktrin

134 Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayani, ‘Irfani, dan Burhani dan
Implikasinya Terhadap Keilmuan Pesantren”, Hermeneia Jurnal
Kajian Islam Interdisipliner, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 6 (1), Januari-Juni 2007, hlm.72.
135 Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Takwiin al-‘Aql al-Araby, cetakan
kesepuluh, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 2009),
hlm.104.
136 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 202 atau M. Amin Abdullah, dkk, Islamic Studies dalam
Paradigma Integrasi-Interkoneksi (sebuah Antologi), (Yogyakarta:
Suka Press, 2007), hlm.1-14.

104 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

teks al-Qur’an-Hadis dengan mengesampingkan asbab an-


nuzul atau asbab al-wurud teks dan menghindari pemaknaan
kontekstual. Contohnya, memakai celana cingkrang bagi
laki-laki dan bercadar (Niqab) bagi perempuan. Materi
yang dapat dikembangkan dalam epistemologi kurikulum
bayani adalah Al-Qur’an, Hadis, Nahwu, Sharaf, Balaghah,
Fikih, dan Kalam yang dipahami secara tekstual.
Kedua, epistemologi ‘irfani. Menurut al-Jabiri, istilah
al-‘irfan dalam bahasa Arab merupakan mashdar dari ‘arafa.
Dalam lisan Arab, al-‘irfaan artinya ilmu. Istilah al-‘irfaan
menurut ahli tasawuf menunjukkan arti ma’rifah yang
berarti kasyaf atau ilhaam.137Pola epistemologi irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Menurut
sejarah, epistemologi ini telah ada baik di Persi maupun
Yunani jauh sebelum datangnya teks-teks keagamaan
baik oleh Yahudi, Kristen, maupun Islam. 138 Jika sumber
terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah
“teks” (wahyu), maka sumber terpokok ilmu pengetahuan
dalam tradisi berpikir ‘irfani adalah “experience”
(pengalaman). Pengalaman batin yang amat terdalam,
otentik, fitri, hanafiyyah samhah dan hampir-hampir tak
terkatakan oleh logika dan tak terungkap oleh bahasa
inilah yang disebut-sebut sebagai (al-ilm al-hudluury) (direct
experience) oleh tradisi isyraqy di Timur atau preverbal,

137 Muhammad ‘Abed Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql...hlm. 181.


138 Ibid., hlm. 206.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 105


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

prereflective consciousness atau prelogical knowledge oleh


tradisi eksistensialis di Barat.139 Bagi kaum ‘irfani, hati yang
lebih dapat diandalkan sebagai alat pengetahuan.140
Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat
dirasakan dan dihayati secara langsung (al ru’yah al-mubaa­
syirah; direct experience), intuisi, al-dzauq atau psiko-gnosis.141
Proses penalaran ‘irfani adalah penalaran naqliyyah yang
bergerak secara intuitif menuju ma’rifah, penalaran sufistik,
mementingkan penempaan moral spiritual dan pengakuan
kebenaran gnostik dan kebenaran Tuhan itu segalanya.142
Kurikulum pendidikan Islam yang bersumber pada
epistemologi irfani lebih menekankan pada kajian-kajian
yang bersumber pada intuisi (dzauq) dan bukan teks atau
rasional-empirik. Dampak epistemologi kurikulum irfani
adalah mengajarkan pemahaman Islam secara intuitif,
penalaran sufistik, dan moral spiritual. Materi yang dapat
dikembangkan dalam epistemologi kurikulum irfani adalah
akhlak-tasawuf, ihsan, thoriqah (tarekat) atau kajian-kajian
sufistik.
Ketiga, epistemologi burhani. Menurut al-Jabiri,
istilah al-burhaan dalam bahasa Arab berarti al-hujjah al-

139 M. Amin Abdullah, Islamic Studies..., hlm. 208-209.


140 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat
Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm.59-60.
141 M. Amin Abdullah, Islamic Studies..., hlm. 209.
142 Noeng Muhadjir, Penalaran Aqliyyah..., hlm.4.

106 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

fashiilah al-bayyinah.143 Penalaran burhani adalah penalaran


‘aqliyyah. Metodologi epistemologi burhani bergerak
dalam pembuktian dengan penalaran empirik rasional
lewat uji eksperimental dengan tujuan naqliyyah, yaitu
menyempurnakan ibadah, sebagaimana bukti tujuan
filsafat empiri Peripathetik Islam.144 Jika sumber (origin)
ilmu dari corak epitemologi bayani adalah teks, sedang
‘irfani adalah direct experience (pengalaman langsung), maka
epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waaqi’
baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan.
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi Burhani disebut juga
al-‘ilm al-hushuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan
disistematisasikan lewat premis-premis logika (al-mantiq),
bukan lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat
otoritas intuisi.145
Tolak ukur validitas keilmuan burhani sangat berbeda
dari nalar bayani dan ‘irfani. Nalar bayani tergantung pada
kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan realitas,
nalar ‘irfani lebih pada kematangan social skill (empati,
simpati, verstehen), dan nalar burhani menekankan pada
(1) koresponsdensi, yaitu kesesuaian antara rumus-rumus
yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum
alam, (2) koherensi, yaitu keruntutan dan keteraturan

143 Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql..., hlm. 383.


144 Noeng Muhadjir, Penalaran Aqliyyah..., hlm.4.
145 Ibid., hlm. 212-213.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 107


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

berpikir logis, dan (3) pragmatik, yaitu upaya memperbaiki


dan menyempurnakan temuan, rumus dan teori yang telah
dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia.146
Kurikulum pendidikan Islam yang bersumber pada
epistemologi burhani lebih menekankan pada kajian-kajian
yang bersumber pada rasional-empirik bukan intuisi
(dzauq) dan teks. Dampak epistemologi kurikulum burhani
adalah mengajarkan pemahaman Islam secara rasional dan
pembuktian secara empirik. Misalnya proses penciptaan
manusia dalam al-Qur’an dikaji dengan pendekatan
ilmu kedokteran. Materi yang dapat dikembangkan
dalam epistemologi kurikulum burhani seperti ilmu-ilmu
sains dan humaniora. Ilmu sains bersumberkan pada
sunatullah (hukum kausalitas/ayat kauniyah), sedangkan
ilmu humaniora bersumberkan pada hukum insaniyah/
nafsiyah.147
Untuk memperjelas perbedaan epistemologi bayani,
irfani, dan burhani yang dijadikan basis epistemologi
kurikulum pendidikan Islam, dapat dilihat tabel yang telah
dibuat oleh M. Amin Abdullah di bawah ini.

146 M. Amin Abdullah, Islamic Studies..., hlm. 214.


147 Lebih jelas baca Yudian Wahyudi, Islam dan Nasionalisme,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006)

108 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
Tabel. 4
Epistemologi Bayani, ‘Irfani, dan Burhani148
No Bidang Perbandingan Epistemologi
Bayani ‘Irfani Burhani
1. Origin Nas/Teks/Wahyu Experience, Al-Ru’yah Realitas/al-Waqi’ (alam,
(Sumber) (otoritas teks), Al- al-Mubasyirah, Direct Experi�- sosial, humanitas), Al-‘Ilm
Khabar, al-Ijma’ (otoritas ence; al-‘Ilm al-Hudluri, Pre�- al-Hushuli
salaf), Al-‘Ilm al-Tauqify verbal; Prelogical Knowledge
2. Metode Ijtihadiyah, Istinbathi- Al-Dzauqiyyah (al-Tajribah Abstraksi (al-Maujudah
(proses dan yyyyah/ al-Bathiniyyah), Al-Riyadah; al-Bari’ah min al-Madah),
prosedur) Istintajiyah/ Istid- al-Mujahadah; Bahtsiyyah – Tahliliyyah –
laliyah/Qiyas (qiyas al-Kasyfiyyah; al-Isyraqiyyah; Tarkibiyyah – Naqdiyyah
al-ghaib ‘ala al-syahid) al-Laduniyyah; Penghayatan (al-Muhakamah al-‘Aqliyyah)
batin/tasawuf
3. Approach Lughawiyah (Bahasa)/ Psiko-Gnosis, Intuitif; Dzauq Filosofis Scientifik
(Epistemo- Dalalah lughawiyah (Qalb), Al-La ’Aqlaniyah
logi)

Dr. Zainal Arifin, M.S.I


BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

148 M. Amin Abdullah, “Al-Ta’wil Al Ilmi: Ke arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, al-Jami’ah,

109
Journal of Islamic Studies, 39 (2), july– December 2001, hlm.380-383.
4. Theoritical Al-Ashl-al-Far’, Istin- Dzahir-Bathin, Tanzil – Al-Tasawwurat-al-Tasdiqat;

110
Framework bathiyah (pola pikir Ta’wil, Nubuwah – Wilayah, al-Had-al-Burhan, Pre-
(Kerangka yang deduktif yang Haqiqi – Majazi mis-premis logika (al-Man-
BAB II:

Teori) berpangkal pada teks), tiq), Kulliy-al-Juz’i; Jauhar


Qiyas al-‘Illah (Fikih), – ‘Aradh
Qiyas al-Dalalah (Ka-
lam), Al-Lafdz-al-Ma’na,
‘Am, Khas, Musytarak,
haqiqat, Majaz, Muhkam,
Mufashshar, Dzahir,
Khafi, Musykil, Mujmal,
Teori Pengembangan Kurikulum

Mutasyabih.

Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik


Manajemen Pengembangan Kurikulum
5. Fungsi dan Akal sebagai Partisipatif, al-Hads wa Heuristik-Analitik-Kritis,
Peran Akal pengekang/ pengatur al-Wijdan, Bila Washilah; Bila Idraku al-sabab wa al-musa-
hawa nafsu, Justifi- Hijab bab, Al-‘Aql al-Kauniy
kasi-Repetitif-Taqlidy
(pengukuh kebenaran/
otoritas teks), Al-‘Aql
al-Diniy
6. Types of Dialektik (Jadaliyah), ‘Athifiyyah-Wijdaniyyah, Demonstratif (Eksploratif;
Argument al-‘Uqul al-Mutanafisah, Spirituality (Esoterik) Verifikatif; Eksplanatif),
Defensif-Apologetik pengaruh pada logika Aris��-
– Polemik-Dogmatik, totle dan logika keilmuan
Pengaruh pada logika pada umumnya
Stoia (bukan logika
Aristotle)
7. Tolok Ukur Keserupaan/kedekatan Universal Reciprocity, empati, Korespondensi (Hubungan
Validitas antara teks atau nas simpati, understanding others antara akal dan alam),
Keilmuan dan realitas Koherensi (konsistensi
logik), Pragmatik (Fallibility
of knowledge)
8. Prinsip- Infishal (discontin- Al-Ma’rifah, Al-Ittihad/Al-Fa�- Idraku al-Asbab (Nidzam
Prinsip ue)=Atomistik, Tajwiz na’ (al-Insan yadzubu fi al-Al- al-sababiyyah al-tsabit) Prin-
Dasar (keserbabolehan) = lah); Al-Insan (Partikular) sip Kausalitas), Al-Hatmi-
tidak ada hukum kau��- yadzubu fi al-Nas (universal), yyah (Kepastian; Certainty,
salitas, Muqarabah (ke- Al-Hulul Al-Mutabaqah baina al-‘Aql
dekatan, keserupaan), wa Nidzam al-Tabi’ah

Dr. Zainal Arifin, M.S.I


analaogi deduktif
BAB II:
Teori Pengembangan Kurikulum

(qiyas)

111
9. Kelompok Kalam (Teologi), Fikih Al-Mutashawwifah, Ashab Falasifah, Ilmuwan (Alam,

112
Ilmu Pen- (Jurisprudensi/Fuqaha’; al-‘Irfan/ Ma’rifah (Esoterik), Sosial, Humanitas)
dukung Ushuliyyun, Nahwu Hermes/’Arifun
BAB II:

(Grammar); Balaghah
10. Hubungan Subjective (Theistic atau Intersubjective, Wihdatul Objective (al-Nadzrah
Subjek dan Fideistic Subjectivism) al-Wujud (Unity in Difference; al-Maudluiyyah), Objective
Objek Unity in Multiplicity) Rationalism (terpisah antara
subject dan object)
Teori Pengembangan Kurikulum

Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik


Manajemen Pengembangan Kurikulum
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

BAB III:
PRAKTIK PENGEMBA­NGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM

MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM


PENDIDIKAN ISLAM TEORI DAN PRAKTIK
Dr. Zainal Arifin, M.S.I.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 113


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

114 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

BAB III
PRAKTIK PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM

Pada bab ini, penulis akan memberikan contoh imple­


men­tasi (praktik) teori pengembangan kurikulum pada tiga
lembaga pendidikan Islam di Indonesia, yaitu pesantren,
madrasah, dan sekolah Islam. Ketiganya berasal dari tiga
penelitian yang telah dilakukan oleh penulis sendiri dan
penelitian dua mahasiswa prodi Manajemen Pendidikan
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta yang penulis bimbing.
Dalam buku ini diberikan contoh secara langsung agar
mudah memahami bagaimana implementasi teori pe­ngem­
bangan kurikulum di lembaga pendidikan Islam, sehingga

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 115


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

dapat kita ketahui beberapa alasan dan tujuan pengembangan


kurikulum yang dilakukannya. Pengembangan kurikulum
menjadi suatu keniscayaan karena perubahan zaman
dan perkembangan sains dan teknologi. Sehingga, semua
lembaga pendidikan dituntut untuk beradaptasi dengan
lingkungan zaman murid.

A. PESANTREN
Praktik pengembangan kurikulum pada pesantren,
penulis memberikan contoh kasus yang terjadi di MI Tahfi­
dhul Qur’an Tasywiqut Thullab Salafiyah (MITQ TBS) Kudus
Jawa Tengah yang diteliti oleh Nawa Husna, mahasiswi
Pro­gram Studi Manajemen Pendidikan Islam yang penulis
bimbing. MITB TBS Kudus merupakan lembaga Pendidikan
formal yang berada di dalam kompleks Pondok Tahfidz
Yanbu’ul Qur’an Anak-anak (PTYQA) Kudus Jawa Tengah
yang berada di Jalan KH Muhammad Arwani Amin No.12
Krandon Kota Kudus Jawa Tengah.149
Sistem pendidikan Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an
Anak-anak (PTYQA) adalah mengintegrasikan sistem salafi­
yah dengan modern (mixed) dengan membuka madrasah

149 Nawa Husna, Skripsi, “Manajemen Pengembangan Kurikulum


Madrasah Tahfidz Berbasis Pesantren Studi Kasus di Madrasah
Ibtidaiyah Tahfidhul Qur’an Tasywiqut Thullab Salafiyah (MITQ
TBS) Kudus Jawa Tengah”, (Yogyakarta: Program Studi Manajemen
Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), hlm. 45.

116 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

formal MITB TBS dengan mengembangkan program tahfidz


secara intensif. Akhir-akhir ini, tahfidz telah menjadi brand
baru bagi madrasah atau sekolah Islam untuk menarik
(marketing) minat masyarakat agar menyekolahkan
anaknya di lembaga pendidikan yang mereka kelola. Tapi,
pada kasus ini, program tahfidz diadakan di Madrasah
(MITB TBS) yang berbasis pesantren khusus tahfidz
(PTYQA), sehingga menjadi keunikan tersendiri.

1. Madrasah Tahfidz Berbasis Pesantren


Madrasah tahfidz berbasis pesantren menjadi
inovasi Madrasah Ibtidaiyah Tahfidzul Qur’an
Tasywiqut Thullab Salafiyah (MITQ TBS) Kudus Jawa
Tengah yang mengintegrasikan pendidikan tahfidz di
pesantren dengan madrasah formal. MITQ TBS Kudus
menerapkan sistem tahfidz secara intensif sebagai
unggulan di samping menggunakan kurikulum KTSP,
Kementerian Agama dan dikolaborasikan dengan
muatan lokal (pesantren).150 Sebagaimana wawancara
bersama Saeun A.,
“...yang melatarbelakangi adalah karena di sana
sudah ada pesantrennya sendiri dan sudah ada
program unggulannya. Sehingga tidak mungkin

150 Nawa Husna dan Zainal Arifin, “Curriculum Development of


Madrasah Tahfidz-Based Pesantren” Ta’dib: Jurnal Pendidikan
Islam Faculty of Tarbiyah and Teaching Sciences Universitas Islam
Negeri Raden Fatah Palembang, 21 (2), December 2016: 127.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 117


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

materi yang ada di TBS kita terapkan sepenuhnya


di tahfidz al-Qur’ān. Kemudian itu dari tahfidz
al-Qur’an menyusun kurikulum yang simpel,
kemudian memadahi. Sehingga materi-materi
yang ada di TBS yang dulu sekolah induknya
itu juga tidak banyak yang terlupakan”. (Hasil
wawancara dengan Saeun Adhim, kepala MITQ TBS
Kudus Jawa Tengah 7 Maret 2016) “Ketika saat itu
masih menginduk, kebetulan saya belum di sini
(MITQ) jadi ya kurikulumnya mengikuti yang ada
di TBS, di TBS itu masalah mapel umum itu, ya
ada. Cuma kurang begitu mendapat perhatian.
Karena pada waktu itu konsennya kurikulum Salaf
ala pesantren itu ya kitab-kitab”. (Hasil wawancara
dengan Noor Akhlis, Waka Kurikulum MITQ TBS, 8
Maret 2016)151
Ada beberapa alasan mengapa MITQ TBS Kudus
menjadi madrasah tahfidz berbasis pesantren, yaitu
(1) pengembangan sayap pesantren dengan membuka
pendidikan formal tanpa menghilangkan keunggulan
tahfidz yang sudah ada, (2) pemenuhan demands
masyarakat akan keseimbangan pendidikan pesantren,
tahfidz, dan pendidikan formal, (3) sistem tahfidz 30
juz di MITQ TBS yang berbasis pesantren menjadi
unggulan dengan membutuhkan alokasi waktu 48 jam
per minggu.

151 Nawa Husna, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…, hlm.67.

118 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

2. Praktik Pengembangan Kurikulum Madrasah


Tahfidz Berbasis Pesantren di MITQ TBS Kudus
Jawa Tengah
Penelitian ini mengambil contoh pesantren yang
mengembangkan madrasah formal dengan brand
“tahfidz”, sehingga bisa menjadi model madrasah
tahfidz berbasis pesantren. Penelitian ini dilakukan
oleh Nawa Husna dengan bimbingan penulis di MI
Tahfidhul Qur’an Tasywiqut Thullab Salafiyah (MITQ
TBS) Kudus Jawa Tengah. Pisau analisis penelitian ini
adalah teori pengembangan kurikulum Hilda Taba
yang meliputi: Diagnosis of needs, Formulation of objectives,
Selection of content, Organization of content, Selection of
learning experiences, Organization of learning experiences,
and Determination of what to evaluate and mean of doing it. 152
Pengembangan kurikulum penting untuk
meningkatkan keberhasilan sistem pendidikan secara
menyeluruh. Lembaga pendidikan yang tidak kreatif
dan inovatif dalam mengembangkan kurikulum akan
semakin tertinggal dan ditinggal oleh murid serta
masyarakat.153 Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan
Islam tertua di Indonesia perlu senantiasa melakukan
pengembangan kurikulum agar dapat beradaptasi

152 Hilda Taba, Curriculum Development…,hlm. 12.


153 Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Diva Press, 2012), hlm. 84.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 119


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

dengan perkembangan sains dan teknologi, salah


satunya dengan membuka madrasah-madrasah
formal demi memenuhi kebutuhan masyarakat yang
mau belajar tentang ilmu-ilmu sains dan humaniora.
Adapun langkah-langkap pengembangan kurikulum di
MITQ TBS Kudus perspektif Hilda Taba sebagai berikut:

a. Diagnosis kebutuhan
Diagnosis kebutuhan untuk mengetahui mengapa
MITQ TBS Kudus membuka program tahfidz di Madrasah
Ibtidaiyah (MI) formal. Berdasarkan penelitian Nawa
Husna, terdapat beberapa pertimbangan MITQ TBS
Kudus mengembangkan kurikulum sistem tahfidz al-
Qur’an, yaitu:
(1) visi dan misi Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an
Anak-anak (tercapai­nya anak usia 6-12 tahun yang
hafal al-Qur’an 30 juz bil-hifdzi), (2) mendukung
program tahfidz yang terlebih dahulu ada di pesantren
(PTYQA), (3) membekali tahfidz al-Qur’an sebagai
landasan hidup siswa, (4) kebijakan pemerintah, (5)
mengembangkan keterampilan, potensi, bakat dan
minat siswa, (6) membekali siswa dengan keilmuan
agama dan umum, (7) menciptakan lingkungan
yang qur’ani bagi siswa, (8) mendidik siswa untuk
berakhlakul karimah, disiplin, bertanggung jawab

120 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

serta mampu mengamalkan isi kandungan al-Qur’an. 154


Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan
ada beberapa faktor yang mendorong MITQ TBS
menawarkan program tahfidz pada madrasah formal,
yaitu visi dan misi pesantren, membekali santri
dengan tahfidz al-Qur’an sehingga terbentuk santri
yang berakhlak karimah, dan kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan Pendidikan karakter religious.
Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan madrasah tahfidz di lingkungan pesantren.

b. Merumuskan Tujuan
Menurut Hilda Taba, hasil diagnosis kebutuhan
akan memberikan informasi dalam perumusan tujuan.155
Atas dasar ini, maka tujuan pendidikan disusun untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan pendidikan
disusun juga didasarkan pada visi dan misi lembaga
pendidikan. Tujuan pendidikan meliputi tujuan
nasional, institusional, kurikuler, dan instruksional.
Pertama, tujuan nasional. Rumusan tujuan nasional
bisa melihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas 2003), yakni:
“Pendidikan nasional berfungsi mengem­bangkan
kemampuan dan membentuk watak serta perada­

154 Nawa Husna, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…, hlm. 70.


155 Hilda Taba, Curriculum Development..., p. 350.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 121


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

ban bangsa yang bermartabat dalam rangka


mencer­d askan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi murid agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”.156
Tujuan Pendidikan Nasional jika diringkas ada
empat kompetensi yang harus dimiliki oleh murid,
yaitu: (1) sikap religious, yaitu menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Allah YME, (2) sikap
sosial, yaitu sehat, berakhlak mulia, demokratis, dan
bertanggung jawab, (3) pengetahun, yaitu berilmu, dan
(4) keterampilan, yaitu cakap, kreatif, dan mandiri.
Kedua, tujuan institusional. Tujuan institusional
adalah tujuan institusi (lembaga) Pendidikan. Setiap
institusi memiliki tujuan masing-masing. Hal ini
didasarkan pada tujuan nasional, visi, dan misi
lembaga. Nawa mencatat ada lima tujuan institusional
MITQ TBS Kudus Jawa Tengah, yaitu:
(1) murid mampu menghafal al-Qur’an 30, (2)
pembelajaran dengan pendekatan pembe­lajaran
aktif (PAIKEM dan CTL), (3) me­ngem­­bangkan
potensi akademik, minat, dan bakat murid mela­lui

156 Lihat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun


2003 Bab II Pasal 3.

122 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

layanan bimbingan, konseling dan ekstrakurikuler,


(4) mem­bia­sakan perilaku islami di lingkungan
madrasah, masyarakat, dan (5) meningkatkan
prestasi akademik murid dengan nilai rata-rata
7,6.90. 157
Ketiga, tujuan kurikuler. Tujuan kurikuler pada
umumnya menjelaskan sebagai Standar Kompetensi
Lulusan (SKL). Setiap lembaga Pendidikan memiliki
tujuan kurikuler yang berbeda-beda. Tujuan
ini didasarkan pada tujuan-tujuan Pendidikan
sebelumnya. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 dijelaskan bahwa:
“Standar kompetensi lulusan pada jenjang
pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan
dasar-dasar kecerdasan, pengetahuan, kepri­ba­
dian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut”.158
Nawa mengutip dokumentasi MITQ TBS Kudus, ada
lima tujuan kurikuler (SKL) di MITQ TBS Kudus, yaitu:
(1) murid yang hafal al-Qur’an 30 juz, (2) memiliki
prestasi akademik maupun nonakademik yang
meningkat, (c) berkembang berbagai skill, (d)

157 Nawa Husna, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…, hlm. 72-73.


158 Lihat Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan Bab V Pasal 26 (1).

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 123


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

tercipta lingkungan belajar yang qur’ani, inovatif,


kreatif, aktif, dan menyenangkan, (e) memiliki
kepribadian yang islami diantaranya rajin, tertib,
tanggungjawab, beribadah serta muamalah
terhadap Sang Khaliq dan sesama. (Dokumentasi,
22 April 2016)159
Keempat, tujuan instruksional. Tujuan instruksional
berkaitan dengan perencanaan pembelajaran yang
dilakukan oleh para guru, misalnya dalam pembuatan
Silabus dan RPP. Pengembangan tujuan instruksional
sangat tergantung pada kreatifitas guru masing-
masing. Pencapaian tujuan instruksional juga didukung
oleh bahan ajar, media, metode (strategi), serta sarana
dan prasarana pendidikan.

c. Seleksi dan Organisasi Isi


Seleksi isi berarti seleksi materi atau bahan yang
akan diajarkan. Pada madrasah formal, materi kuriku­
lum harus mengacun pada Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003
pasal 37 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP),
khususnya Standar Isi (SI). Dalam seleksi isi, MITQ
TBS Kudus menggunakan kurikulum KTSP, kurikulum
Kementerian Agama, dan dikolaborasikan dengan
kurikulum muatan lokal (pesantren).
159 Nawa Husna, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…, hlm. 74-75.

124 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

“Ya itu ya, tidak bisa dikatakan berapa persen.


Pokonya ya ada dua, kurikulum mapel umum
dan PAI”. “Ada lima malahan. Jadi gini yang dari
Kemenag itu kan mapel PAI (Aqidah, Fikih, Qur’an
Hadits, SKI, bahasa Arab) ditambah mapel umum
selain yang saya sebutkan. Ditambah di sini kan
ada pelajaran ala pesantren itu”. (Wawancara
dengan Noor Akhlis, Waka Kurikulum MITQ TBS, 8
Maret 2016) “Kalau kurikulumnya ya Depag dan
Kemenag. Depag dan lokal maksudnya mbak”.
(Wawancara dengan Dedy Putra, Kepala Tata Usaha
PTYQA, 16 Maret 2016)160
Berdasarkan data dokumentasi, MITQ TBS menye­
leksi isi kurikulum dalam bentuk beberapa mata
pelajaran berikut ini: (1) tahfidz unggulan (hafalan
al-Qur’an 30 juz), (2) mata pelajaran PAI (al-Qur’an
Hadits, Akidah Akhlak, Fikih, SKI dan bahasa Arab) dan
mata pelajaran umum (Pendidikan Kewarganegaraan,
bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Seni Budaya
dan Prakarya, dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan
Kesehatan), (3) mata pelajaran muatan lokal (bahasa
Jawa, bahasa Inggris, Tauhid Salaf, Akhlak Salaf, Fikih
Salaf, Tajwid/Yanbu’a, Mahfudzat, Pegon, Ke-NU-an,
Nahwu, Sharaf, Tahajji/Imla’, Lughat), dan (d) kegiatan
pengembangan diri (pramuka, seni baca al-Qur’an
(tilawah), Rebana, dan Kaligrafi). (Dokumentasi MITQ
160 Ibid., hlm. 78.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 125


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

TBS, diambil 3 Maret 2016)161

d. Seleksi dan Organisasi Pengalaman Belajar


Langkah selanjutnya setelah seleksi isi adalah
menyeleksi dan mengorganisir pengalaman belajar.
Pengalaman belajar murid harus disesuaikan untuk
pencapaian tujuan pendidikan dan materi (isi) yang
sudah dirumuskan. Maka dari itu, pengalaman belajar
berhubungan dengan manajemen kelas, metode
(strategi) guru, media, bahan ajar, sarana dan prasarana
pendidikan, dan seterusnya.
MITQ TBS Kudus telah mengembangkan berbagai
pengalaman belajar murid untuk menyukseskan
program tahfidz al-Qur’an sebagai berikut:
1) Pengelolaan Belajar
Sistem tahfidz di MITQ TBS Kudus dimulai
pukul 03.45 WIB hingga 21.00 WIB. (Dokumentasi
PTYQA, 10 Februari 2016) yang dilaksanakan
setiap hari Sabtu-Kamis dimulai ba’da
Subuh pukul 04.45-06.45 WIB untuk tahfidz
(menambah hafalan baru), ba’da ‘Ashar pukul
15.30-16.45 WIB untuk takrir (mengulang-
ulang), ba’da Maghrib pukul 18.15-20.015 WIB
untuk takrir. (Wawancara Dedy Putra, ustaż al-
Qur’ān, 16 Maret 2016). Sedangkan kegiatan

161 Ibid., hlm. 78-79.

126 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

belajar mengajar di kelas dilaksanakan mulai


pukul 07.30-12.00 WIB, kecuali hari Jum’at
libur, namun santri tetap di pesantren.
(Wawancara Noor Akhlis, Waka Kurikulum MITQ
TBS, 8 Maret 2016)
2) Fase Belajar
Fase belajar tahfidz di MITQ TBS Kudus
dibagi 3 yaitu: Pertama, fase Tahsin adalah
fase perbaikan bacaan dan peningkatan
kemampuan membaca al-Qur’an sesuai dengan
kaidah Makharijul Huruf dan hukum Tajwid.
Setelah itu dilanjutkan ke fase tahfidz al-
Qur’an yang dimulai dari menghafal juz 29, 30,
1, 2 dan seterusnya. Kedua, fase Khatam adalah
fase penyelesaian hafalan al-Qur’an secara
talaqqi musyafahah (ujian hafalan bertemu
langsung) dengan ustadz al-Qur’an. Dalam fase
ini, murid mengikuti kegiatan seleksi khatmul
Qur’an 30 juz bil-hifdzi.162 Ketiga, fase Haflatu
Khatmil Qur’an, merupakan wisuda bagi para
murid (Khatimin) yang telah dinyatakan lulus
seleksi khatmul Qur’an 30 juz bil-hifdzi. Pada
162 Khatimin adalah sebutan bagi siswa (santri) yang telah
menyelesaikan hafalan al-Qur’ān 30 juz bil-hifdzi, sedangkan seleksi
khatmul Qur’an merupakan bentuk evaluasi hafalan al-Qur’an 30
juz bil-hifdzi dalam rentan waktu yang telah ditentukan. (Nawa
Husna, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…”, hlm. 84)

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 127


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

haflah yang dilaksanakan setahun sekali di


bulan Sya’ban ini para wisudawan menerima
sanad al-Qur’an yang diberikan langsung oleh
KH. Ulil Albab Arwani al-hafidz.
3) Pola Distrubusi Kelompok Tahfidz
Pola distribusi kelompok tahfidz secara acak.
Satu kelompok tahfidz terdiri dari 9-12 murid
di bawah bimbingan satu guru tahfidz. Pola
distribusi kelas secara normal untuk kelas 1-2
yang berjumlah antara 29-30 murid dan kelas
4-6 berjumlah antara 28-43 murid.
4) Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran tahfidz al-Qur’an di
MITQ TBS Kudus adalah talaqqi musyafahah
yang digunakan saat menambah hafalan baru,
resitasi (metode ini hanya diberikan kepada
siswa yang telah memenuhi target tahfidz
al-Qur’an sehingga kegiatan tahfidz menjadi
lebih efektif), dan takrir (meningkatkan
kelancaran hafalan al-Qur’an siswa dengan
cara mengulang-ulang hafalan al-Qur’an).
(Wawancara dengan Dedy Putra, Kepala Tata
Usaha PTYQA, 16 Maret 2016) Sedangkan metode
pembelajaran di kelas menggunakan strategi
Contextual Teaching and Learning (CTL) dan
PAIKEM. (Wawancara dengan Saeun Adhim,

128 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Kepala MITQ TBS, 7 Maret 2016)


5) Kegiatan Life Skills.
Program life skills dikembangkan dalam bentuk
kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler. Kegiatan
life skills di MITQ TBS Kudus meliputi: seni
baca al-Qur’an/tilawah, rebana, kaligrafi,
pembelajaran komputer, pramuka, pidato.
(Wawancara dengan Dedy Putra, Kepala Tata
Usaha PTYQA, 16 Maret 2016)163

e. Evaluasi
Kegiatan evaluasi dalam pengembangan kurikulum
untuk mengukur tingkat keberhasilan program
pendidikan yang sudah dirumuskan oleh lembaga
pendidikan. Evaluasi program tahfidz di MITQ TBS
Kudus dilakukan untuk mengukur keberhasilan tahfidz
al-Qur’an murid. Ada beberapa metode yang dijadikan
alat ukur (evaluasi) sistem tahfidz di MITQ TBS Kudus,
yaitu:
1) Metode sima’an (mendengar), yaitu evaluasi
yang diadakan dua kali dalam setahun, pada
bulan Shafar dan Ramadhan dengan Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) setengah dari
tahfidz al-Qur’an telah dicapai oleh masing-

163 Nawa Husna dan Zainal Arifin, “Curriculum Development, 132-


133.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 129


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

masing siswa. Penilaian sima’an dilakukan


secara silang antar pembimbing. Aspek-
aspek penilaian meliputi kelancaran hafalan,
makharijul huruf, tilawah dan tajwid, sedangkan
rentang nilai kelulusan berjumlah antara 80-
100 poin pada tiap juz. (Wawancara dengan Dedy
Putra, Kepala Tata Usaha PTYQA, 16 Maret 2016).
2) Metode seleksi khatmul Qur’an yang meru­
pakan evaluasi hafalan al-Qur’an bagi murid
yang telah hafal 30 juz bil-hifdzi dilak­sanakan
pada bulan Sya’ban. Murid yang mengikuti
evaluasi seleksi khatmul Qur’an (30 juz) akan
dikarantina selama tiga bulan, yaitu bulan
Jumadal Ula, Juma­dal Akhirah dan Rajab.
(Wawancara dengan Dedy Putra, Kepala Tata
Usaha PTYQA, 16 Maret 2016)164

B. MADRASAH
Praktik pengembangan kurikulum pada madrasah,
penulis memberikan contoh kasus yang terjadi di Madrasah
Aliyah Program Keagamaan (MAPK) yang diteliti oleh Munif
Rofi’atur Rohmah, mahasiswi Manajemen Pendidikan
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta yang penulis bimbing.165 Adapun lokasi
164 Nawa Husna, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…, hlm. 92-93.
165 Hasil penelitian lebih lengkap bisa dibaca dalam Munif Rofi’atur
Rohmah, Skripsi, “Manajemen Pengembangan Kurikulum

130 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

penelitian di MAPK Surakarta, sebagai salah satu MAPK


yang masih tetap eksis di Indonesia dan memiliki banyak
alumni yang telah berhasil berkarya di pelbagai bidang
akademik, sosial, seni, ekonomi (bisnis), budaya, militer,
dan lain sebagainya.
MAPK MAN 1 Surakarta adalah salah satu MAPK yang
didirikan oleh pemerintah untuk memperbaiki kualitas
pendidikan madrasah sehingga berdampak pada kualitas
alumni. Sejak berdirinya dari tahun 1990-2018, MAPK
Surakarta telah berhasil melahirkan kurang lebih 29 Doktor
dan 1 Profesor, serta banyak para alumninya berkiprah
baik secara nasional bahkan internasional dalam pelbagai
bidang, sebut saja Habiburrahman Ashi-Shirazi, Lc., (Kang
Abik) dalam bidang seni sastra, Dr. Burhanudin Muhtadi,
M.A dalam bidang politik, Prof. Dr. Phil. Asfa Widianto
dalam bidang akademik, dan lain sebagainya.

1. Sejarah MAPK MAN 1 Surakarta


Berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor 73
Tahun 1987, pemerintah membuka program khusus
keagamaan di Madrasah Aliyah, yang dikenal dengan
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), program
ini sebagai upaya untuk penyempurnaan kurikulum
hasil SKB tiga Menteri 1975, utamanya pada Madrasah
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) MAN 1 Surakarta”
(Yogyakarta: Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2016)

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 131


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Aliyah program pilihan ilmu-ilmu agama. Muatan


kurikulum program MAPK didominasi materi agama
dengan perimbangan 70% pendidikan agama (meliputi
Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Bahasa Arab dan lain-lain), dan 30% pendidikan
umum (sebagaimana terdapat pada sekolah umum
seperti PKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa
Inggris dan lain-lain). Berbanding berbalik dengan
muatan kurikulum MA. Penyelenggaraan pendidikan
bersifat Boarding School semua siswa di asramakan
selama mengikuti program, dengan titik tekan pada
penguasaan literatur Arab. 166
Pemerintah menunjuk sejumlah MAN yang
telah ada sebagai penyelenggara, pada tahap awal
(1987/1988) ditunjuk 5 MAN sebagai penyelenggara
MAPK yaitu: MAN Padang Panjang Sumatera Barat,
MAN Ciamis Jawa Barat, MAN Yogyakarta, MAN
Ujung Pandang, dan MAN Jember Jawa Timur. Tahap
berikutnya tahun (1990/1991) ditunjuk lagi 5 MAN
sebagai penyelenggara yaitu: MAN Banda Aceh, MAN
Lampung, MAN Banjarmasin, MAN Mataram, dan MAN
1 Surakarta.167

166 Muhammad Kosim, Madrasah di Indonesia (Pertumbuhan dan


perkembangan), Tadris Jurnal Pendidikan Islam Jurusan Tarbiyah
STAIN Pamekasan, 2 (1), 2007: 53.
167 Ibid., hlm. 54.

132 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Dalam perkembangannya, MAPK Surakarta telah


mengalami beberapa perubahan nama sebagai berikut
ini:
Dalam penyelenggaran MAPK, pemerintah telah
merubah nama dan kurikulum sebanyak 3 kali,
pada tahun 1994 nama MAPK dirubah menjadi
MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan). Pada tahun
2004 MAK berubah menjadi jurusan Ilmu Agama
Islam (IAI). pada 2007 merubah program IAI
menjadi Program Keagamaan. Perubahan MAK
menjadi program keagamaan secara nasional telah
menghapuskan sistem pendidikan model MAPK
dan mengembalikan jurusan ilmu agama Islam di
madrasah seperti tahun 90-an. (Wawancara dengan
Ustadz Abdul Mutolib M.Ag, 11 Maret 2016)168
Berdirinya MAPK Surakarta pada tahun 1990
berda­sarkan SK Menteri Agama RI No. 138 Tahun
1990. Sedangkan MAPK putri didirikan pada Tahun
1993 berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam No. E/PP.006/K/953/93
(Dokumentasi Profil Madrasah Aliyah Negeri 1 Surakarta,
26 mei 2016). 169 MAPK ini diinisiasi oleh Munawir

168 Munif Rofi’atul Rohmah dan Zainal Arifin, “Eksistensi dan


Pengembangan Kurikulum Madrasah Aliyah Program Keagamaan
(MAPK) MAN 1 Surakarta, Jurnal Pendidikan Madrasah, 2 (2),
November 2017: 371.
169 Ibid., hlm 374.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 133


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Sjadzali yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama,


sebagaimana pendapat ustadz Lutfi Anshori, L.c, M.Ud
berikut ini:
“…sesungguhnya MAPK adalah satu program
Pendidikan yang bagus, digagas oleh Menteri
Agama kala itu, Prof. Munawir Sjadzali, sebagai
jawaban atas tantangan perkembangan zaman
dengan menggabungkan model Pendidikan
pesantren Salaf dan juga modern. Sehingga dengan
adanya sekolah model MAPK diharapkan mampu
melahirkan generasi unggul dalam bidang agama
khususnya, tapi juga tidak ketinggalan dengan
modernitas. Para alumnus MAPK diharapkan
mampu menjadi ulama plus yang mampu berkiprah
di masyarakat. Cita-cita itulah yang masih terus
dijaga sampai sekarang, sehingga MAPK Surakarta
tetap bisa bertahan dan eksis dalam berbagai
perubahan kebijakan pemerintah dan peraturan
politik. (Wawancara dengan ustadz Lutfi Anshori, L.c,
M.Ud, 24 Juli 2016).170
Penyelenggaraan MAPK juga didorong oleh
keprihatinan dan anggapan yang kurang simpatik
terhadap mutu sarjana IAIN. Menurut Munawir
Sjadzali, yang dikutip oleh Abd. Halim Soebahar bahwa
tiga anggapan yang kurang simpatik tersebut adalah:
170 Munif Rofi’atur Rohmah, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…”,
hlm. 68.

134 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Pertama, anggapan bahwa penguasaan ilmu


keagamaan (Islam) dalam arti sesungguhnya belum
dimiliki oleh sarjana IAIN. Kedua, anggapan bahwa
penguasaan teknologi yang sangat lemah. Ketiga,
anggapan bahwa alumni IAIN merasa rendah diri
dan memiliki sikap mental ilmu yang lemah.171
MAPK Surakarta masih tetap bisa eksis dalam
persaingan dengan pesantren dan madrasah lainnya
karena beberapa hal, yaitu:
(1) adanya dukungan yang kuat dari ber­bagai
pihak, antara lain pihak pimpinan madrasah,
para pengelola MAPK dan asrama, serta dukungan
para alumni MAPK, baik yang menjadi pengajar
maupun pembina asrama, dan yang mendukung
secara moral, spiritual, dan material, (Wawancara
dengan ustadz Lutfil Anshori, Lc, M.Ud, 24 Juli 2016),
(2) model pendidikan dan tradisi MAPK telah
berhasil menghadirkan pendidikan Islam yang
berkualitas, terlihat dari prestasi murid di bidang
akademik dan non akademik, (3) nama MAPK
Surakarta masih digunakan sebagai marketing,
meskipun nomenklatur payung hukum sudah
tidak ada MAPK, adanya Program Keagamaan
MAN 1 Surakarta, (4) keinginan untuk eksis,

171 Abd. Hlmim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi


Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013),
hlm.109-110.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 135


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

sehingga MAPK Surakarta merekrut guru-guru


professional dari alumni, (5) dibukanya kelas
internasional sebagai strategi mempertahankan
eksistensi MAPK dari perkembangan zaman dan
peta persaingan (wawancara dengan Ustadz Abdul
Mutolib, M.Ag, 19 Mei 2016), (6) masih dibutuhkan
lulusan MAPK yang menguasai ilmu keagamaan
(Wawancara dengan Drs. M. Hassanudin, 25 Mei 2016),
(7) pembelajaran di MAPK Surakarta telah berhasil
mengantarkan pelbagai prestasi murid (Wawancara
dengan ustadzah lutfiani, Lc, 25 Mei 2016), dan (8)
semangat murid MAPK Surakarta untuk belajar
dan menguasai bahasa Arab dan Inggris secara
lancar (Wawancara dengan Dian nafi’ siswa kelas XI,
5 Juni 2016).172

2. Praktik Pengembangan Kurikulum di MAPK


MAN 1 Surakarta
Dalam menganalisis pengembangan kurikulum
di MAPK Surakarta ini, Munif mengguanakan teori
pengembangan kurikulum Hilda Taba yang terdiri
dari tujuh langkah pengembangan, yaitu: (a) diagnosis
of needs, (b) formulation of objectives, (c) selection of
content, (d) organization of content, (e) selection of learning
experiences, (f) organization of learning experiences, and

172 Munif Rofi’atul Rohmah dan Zainal Arifin, “Eksistensi dan


Pengembangan…, hlm. 374-375.

136 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

(g) determination of what to evaluate and the ways and


means of doing it.173
Dalam teori pengembangan kurikulum Hilda Taba
diawali dengan pada proses diagnosis kebutuhan
(masyarakat, lembaga, perkembangan sains dan
teknologi, dan lain sebagainya) mengapa lembaga
pendidikan melakukan pengembangan kurikulum
hingga bagaimana melakukan evaluasi untuk mengu­
kur keberhasilan atau efektivitas pengembangan kuri­
ku­lum yang sudah direncanakan.

a. Diagnosis kebutuhan
Diagnosis kebutuhan merupakan langkah pertama
dalam pengembangan kurikulum untuk menge­tahui
kebutuhan-kebutuhan murid maupun madrasah yang
mendorong perlunya pengem­bangan kurikulum. Hal
ini penting dilakukan agar madrasah dapat beradaptasi
dengan perkem­bangan sains dan teknologi, sehingga
kurikulum yang dikembangkan memberikan bekal
bagi murid untuk menghadapi zamannya.
Ada beberapa pertimbangan MAPK MAN 1 Sura­
karta dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
(1) visi dan misi MAPK Surakarta untuk ”menyiap­
kan murid yang berakhlakul karimah dan
memiliki keahlian di bidang keilmuan Islam, (2)

173 Hilda Taba, Curriculum Development…, p. 12.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 137


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

membimbing murid agar dapat menggali potensi


serta mengembangkan diri sebagai kader ulama
dan intelektual muslim yang berwawasan global,
(3) menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk praktek bahasa Arab dan Inggris, (4)
mengembangkan penguasaan teknologi informasi
dan komunikasi sebagai bekal untuk menghadapi
dunia global, (5) membekali siswa dengan keahlian
di bidang agama Islam, (6) kebijakan pemerintah,
dan (7) kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM).
(Wawancara dengan Ustadz Abdul Mutolib M.Ag, 19
Mei 2016)174

b. Merumuskan Tujuan Pendidikan


Tujuan pendidikan meliputi tujuan nasional,
institusional, kurikuler, dan instruksional. Pertama,
tujuan pendidikan nasional dapat dilihat dalam UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Setiap lembaga pendidikan
perlu mengacu tujuan nasional dalam merumuskan
tujuan institusional. Kedua, tujuan institusional adalah
tujuan yang akan dicapai oleh institusi (lembaga)
pendidikan dan merupakan turunan dari tujuan
nasional dan visi dan misi lembaga tersebut. Rumusan
tujuan institusional MAPK Surakarta adalah:
(1) menyiapkan generasi yang berakhlakul kari­

174 Munif Rofi’atur Rohmah, Skripsi, “Manajemen Pengembangan…,


hlm. 71-72.

138 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

mah, (2) memiliki keahlian di bidang ilmu agama


Islam, (3) mampu mengembangkan diri sebagai
ulama dan intelektual muslim yang berwawasan
global, dan (4) menguasai teknologi informasi dan
komunikasi. (Dokumentasi, 26 Mei 2016)175
Ketiga, tujuan kurikuler. MAPK Surakarta telah
merumuskan enam tujuan kurikuler, yaitu: murid:
(1) memiliki akhlakul karimah, (2) hafal minimal
3 juz Al Qur’an dan Hadist Arbain, (3) mampu
berbahasa Inggris dan Bahasa Arab secara lisan
dan tulisan, (4) mampu membaca kitab kuning dan
buku-buku teks berbahasa Arab dan Inggris, (5)
menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK), (6) mampu bersaing untuk memasuki
Perguruan Tinggi terkemuka baik di dalam
maupun di luar negeri. (Dokumentasi, 26 Mei 2016). 176
Keempat, tujuan instruksional. MAPK Surakarta
dalam merumuskan tujuan instruksional
memberikan kebebasan bagi setiap guru untuk
mengembangkan tujuan instruksional, metode
(strategi), dan bentuk evaluasi pembelajaran.
Munif mengutip pendapat Ustadz Abdul Mutolib
bahwa ”guru diberi kebebasan dalam pelaksanaan
kurikulum di kelas dan disesuaikan dengan materi,
kemampuan guru dan sarana dan prasarana yang

175 Ibid., hlm. 74


176 Ibid., hlm. 75-76.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 139


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

mendukung.” (Wawancara dengan Ustadz Abdul


Mutolib M.Ag, 1 juni 2016).177

c. Seleksi dan Organisasi Isi


Isi kurikulum terkait dengan materi atau bahan
untuk mencapai tujuan pendidikan, dari tujuan
pendidikan nasional hingga tujuan kurikuler. MAPK
Surakarta dalam melakukan seleksi isi mendasarkan
pada beberapa kurikulum, yaitu: (1) kurikulum Standar
Nasional Plus (jurusan keagamaan), yaitu dengan
pengembangan melalui program tutorial dan kegiatan
pondok pesantren (Dokumentasi Profil Kurikulum
Program Keagamaan MAN 1 Surakarta, 26 Mei 2016), (2)
kurikulum 2013 (Nasional), (3) kurikulum terintegrasi
yang meliputi pembelajaran siang dan malam hari
(Keputusan Jenderal Direktur Pendidikan Islam nomor
1293 tahun 2016). 178
Kurikulum pembelajaran di MAPK MAN 1 Surakarta
terbagi dalam tiga macam kegiatan pembelajaran,
yaitu:
1) Program Pembelajaran Pagi (Formal)
Pembelajaran pagi hari mengacu pada kuri­
ku­­­lum standar nasional (2013). Organi­
sasi kurikulum terdiri dari kelompok mata

177 Ibid., hlm. 77.


178 Ibid., hlm. 78-79.

140 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

pelajaran (a) wajib A (Pendidikan Agama Islam,


Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaaran,
Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Matematika,
Sejarah Indonesia dan Bahasa Inggris), (b) wajib
B (Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan
Kesehatan, dan Prakarya dan Kewirausahaan), (c)
peminatan (Tafsir-Ilmu Tafsir, Hadist-ilmu Hadis,
Fikih-Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Akhlak, dan Bahasa
Arab), dan (d) pemilihan dan pendalaman.
2) Tutorial sore
Tutorial sore merupakan pembelajaran
terstuk­t ur untuk pengem­b a­n gan Bahasa
Arab dan Inggris, kajian kitab keislaman, dan
seni tilawatil Qur’an. Pengembangan mata
pelajaran bahasa Arab meliputi ‘Arabiyah Baina
Yadaik, Ta’bir Tahriri, Ta’bir Syafahi, Qowaid,
Istima’, Tarjamah dan Balaghoh. Pengembangan
Bahasa Inggris meliputi Conversation, Toefl,
Writing, sedangkan kajian kitab keislaman
meliputi Hadist Arbain, Fiqhus Sunnah, Tafsir
al-Maraghi dan Tafsir Ayat Ahkam.
3) Kegiatan asrama (pondok)
Kegiatan asrama merupakan kegiatan pem­
binaan murid di bidang akademik, spiritual,
kebahasaan, dan keorganisasian yang
dikoordinasi oleh organisasi santri di bawah

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 141


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

bimbingan pembina asrama. Kegiatan di


asrama ini dilakukan oleh Pembina-pembina
asrama dan anggota OPPK (Organisasi Pelajar
Program Keagamaan) secara terjadwal. Contoh
jadwal kegiatan di asrama putri seperti kajian
kitab kuning: Tahfidz al-Qur’an, Muhadloroh,
Muhadasah, Tasji’ul Lughoh, Tahfidz al-Hadist,
Arabic dan English Club, Tadarus aL-Qur’an.
(Wawancara dengan Dian Nafi’ Siswa kelas XI, 5
Juni 2016)179
d. Seleksi dan Organisasi Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar berkaitan dengan aktivitas
murid dengan lingkungan belajarnya. Setiap guru
maupun madrasah dapat menyeleksi dan mengor­­
ganisasi pengalaman belajar murid dengan mewu­
judkan lingkungan (bi’ah) islami, ramah anak, dan
mendorong pada pembentukkan karakter. Hal ini
juga perlu didukung dengan sarana dan prasarana
pendidikan, misalnya masjid (mushola), taman,
asrama (pondok), perpustakaan yang memadai,
jaringan internet, dan lain sebagainya. Sebagaimana
pepatah mengatakan bahwa ”manusia terbentuk oleh
lingkungannya”.
Dalam penelitian Munif ini, menjelaskan MAPK

179 Munif Rofi’atul Rohmah dan Zainal Arifin, “Eksistensi dan


Pengembangan…, hlm. 378-379.

142 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

MAN 1 surakarta telah mengembangkan berbagai


pengalaman belajar ke dalam berbagai bentuk kegiatan
belajar, diantaranya:
1) Pengelolaan Belajar
Pengelolaan belajar di MAPK MAN 1 Surakarta
menggunakan sistem asrama. Sistem asrama
inilah yang membedakan MAPK dengan
program (jurusan) lain yang ada di MAN 1
Surakarta, seperti jurusan IPA, IPS, Bahasa.
Semua murid MAPK diwajibkan mengikuti
kegiatan di asrama mulai pukul 04.45-21.00
WIB. Sedangkan proses pembelajaran di
sekolah dimulai dari pukul 07.00-14.30 untuk
mata pelajaran formal pagi, kemudian pukul
14.30-16.05 WIB dilanjutkan dengan tutorial
sore. Pukul 17.00 WIB semua peseta didik
kembali ke asrama. Strategi pengelolaan
kelas di MAPK Surakarta menggunakan pola
distribusi acak. Pola pembagian kelas dibagi
berdasarkan separated man and women yaitu
pemisahan jenis kelamin antara putra dan
putri (Wawancara dengan ustadz Abdul Mutolib,
25 Juli 2016).
2) Metode Pembelajaran
Metode berkaitan dengan cara maupun stra­
tegi penyampaian isi (materi) kepada murid

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 143


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

sehingga mereka mema­hami bahkan dapat


mengajarkan (mem­p rak­t ikkan) kembali
dengan baik. Dari hasil wawancara Munif
dengan ustadz Abdul Mutolib dijelaskan bahwa
MAPK mengkombinasikan metode pembe­
lajaran saintifik dalam kurikulum 2013 dengan
kajian teks kitab-kitab keisla­man. (Wawancara
dengan ustad Abdul Mutolib, M.Ag, 19 Mei 2016).
Kajian kitab meng­gu­nakan modul berbahasa
Arab dengan bahasa pengantar bahasa
Arab juga. Metode pembelajaran di asrama
menggabungkan sistem pondok modern
dengan salaf, seperti: sorogan, di mana ustadz
membacakan (menerangkan) kitab kemudian
para santri mendengarkan. (Wawancara dengan
ustadzah Lutfiani, Lc, 25 Mei 2016).
3) Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan diri berkaitan dengan life
skills. Munif mencatat beberapa kegiatan
pengembangan diri bagi murid di MAPK, yaitu:
(a) kegiatan OPPK (Organisasi Pelajar Program
Keagamaan), (b) Karya Ilmiah Remaja (KIR), (c)
jurnalistik, seperti majalah dinding, buletin tiga
bahasa El-Quds, majalah tiga bahasa El-Inthilaq,
Forum Lingkar Pena (FLP), (d) Seni, seperti
firqoh kaligrafi El-Hasyimi, grup Hadroh an-

144 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Nasim, tilawatil Qur’an; (e) wirausaha koperasi


santri di asrama, (f) Muhadloroh (latihan pidato)
4 bahasa, (Arab, Inggris, Indonesia, dan Jawa,
(g) Arabic dan English Club, (h) Native Speaker,
(i) pramuka, (j) olah raga, seperti: bela diri,
futsal, dan lain-lain, (k) pelatihan dan praktek
dakwah, seperti: Camping Dakwah Ramadhan
(CDR) dan pengajaran TPA. (Dokumentasi Profil
Kurikulum Program Keagamaan MAN 1 Surakarta,
26 Mei 2016)
4) Program Out Door Learning
Munif mengutip dari dokumen MAPK bahwa
pengembangan program out door learning yang
dilakukan di luar kelas seperti: (a) Outing Class
atau observation class, (b) Rihlah Lughawiyah, (c)
Expedition atau Rihlah Istiksyafiyah, (d) Rihlah
Hasyimi, (e) English Camp. (Dokumentasi Brosur
PPDB (Penerimaan Murid Baru) MAN 1 Surakarta,
19 Mei 2016).180

3. Evaluasi
Kegiatan evaluasi merupakan langkah terakhir
dalam pengembangan kurikulum Hilda Taba. Evaluasi
kurikulum untuk mengukur seberapa berhasil tujuan
pendidikan yang sudah dirumuskan dengan melihat

180 Ibid., hlm. 379-381.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 145


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

dampaknya secara langsung dari kompetensi sikap


(spiritual dan sosial), pengetahuan, dan keterampilan
yang dimiliki murid. Evaluasi kurikulum juga
mengukur efektivitas metode (strategi) pembelajaran,
pengalaman belajar murid, media, sarana dan
prasarana pendukung pembelajaran.
Bentuk evaluasi kurikulum di MAPK Surakarta
adalah: (1) evaluasi yang dilakukan guru berupa
penilaan berbasis kelas melalui ulangan harian dan
penugasan, (2) evaluasi yang dilakukan madrasah
dalam bentuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian
Akhir Semester (UAS), dan (3) evaluasi yang dilakukan
oleh pemerintah melalui Ujian Nasional (UN) dan ujian
madrasah (Wawancara dengan Ustadz Abdul Mutolib,
M.Ag, 1 juni 2016).181
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan
bahwa ada tiga pengevaluasi implementasi kurikulum
di MAPK Surakarta, yaitu (1) guru atau ustadz/ah
yang mengajar di kelas formal maupun tutorial sore,
(2) madrasah, yaitu evaluasi yang dilakukan MAPK
Surakarta yang terintegrasi dengan MAN 1 Surakarta
dan (3) pemerintah pusat karena MAPK sebagai sekolah
formal negeri di bawah Kementerian Agama.
Evaluasi yang dilakukan guru untuk mengukur
tingkat keberhasilan dan keterwujudan tujuan
181 Ibid., hlm. 381-382.

146 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

instruksional setiap mata pelajaran. Evaluasi yang


dilakukan madrasah untuk mengukur tingkat
keberhasilan dan keterwujudan tujuan kurikuler dan
institusional, sedangkan evaluasi yang dilakukan
oleh pemerintah pusat (Kementerian Agama) untuk
mengukur tingkat keberhasilan dan keterwujudan
tujuan nasional, sebagaimana yang diamanatkan
dalam UU Sisdiknas Tahun 2003.

C. SEKOLAH ISLAM
Praktik pengembangan kurikulum pada sekolah
Islam, penulis memberikan contoh kasus yang terjadi
di Sekolah Dasar Islam Internasional (SDII) Al-Abidin
Surakarta182 yang merupakan Lembaga Pendidikan Islam
di bawah Yayasan Islam al-Abidin Surakarta. Sekolah
Islam ini mengembangkan dirinya sebagai sekolah Islam
Terpadu berwawasan internasional sebagai bentuk

182 Penelitian ini dapat dibaca dari Tesis penulis (Zainal Arifin) yang
berjudul “Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum di Sekolah
Dasar Islam Internasional Al-Abidin Surakarta, (Yogyakarta:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2009) dan sudah dibukukan
dengan judul Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: DIVA Press, 2012). Ringkasan hasil penelitian
Tesis penulis terbitkan ke Jurnal Pendidikan Agama Islam Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam (Studi di Sekolah Dasar Islam Internasional Al-Abidin
Surakarta), 8 (2), Juli-Desember 2011: 175-194.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 147


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

pengembangan dari sekolah-sekolah Islam Terpadu


lainnya. Internasionalisasi yang dilakukan oleh SDII
Al-Abidin Surakarta sebagai bentuk “branding” dan
“diferensiasi” dengan sekolah Islam lainnya, khususnya
di Surakarta.
Kebijakan pengembangan Sekolah Bertaraf Inter­
na­s ional (SBI) dimaksudkan untuk meningkatkan
kemam­­puan dan daya saing bangsa Indonesia di forum
inter­nasional. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 50 Ayat (3), yakni: “Pemerintah dan/
atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-
kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang
bertaraf internasional”
Kebijakan sekolah bertaraf internasional merupakan
upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional melalui kerjasama dengan negara-negara maju
yang memiliki keunggulan, khususnya dalam bidang
pendidikan. Dalam buku Pedoman Penjaminan Mutu
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang
Pendidikan dasar dan Menengah menyatakan bahwa
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan:
Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada
standar pendidikan salah satu negara anggota Organization

148 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau


negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu
dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di
forum internasional.183
Konsep sekolah bertaraf internasional ini lebih mem­
pri­o­ritaskan pada pengem­bangan sekolah/madrasah
yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan
(SNP)184 kemudian diperkaya dengan standar pendidikan
negara maju yang mempunyai keunggulan dalam bidang
pendidikan di forum internasional, seperti negara-negara
yang bergabung dalam Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD185 atau pusat-pusat pelatihan,

183 www.puskur.net.
184 Sekolah yang telah memenuhi delapan standar nasional
pendidikan disebut Sekolah Standar Nasional (SSN). Untuk
melakukan pembinaan Sekolah Potensial (sekolah formal standar/
calon SSN) mencapai standar nasional pendidikan (SNP), sehingga
mampu mencapai kategori sekolah standar nasional (SSN) atau
sekolah formal mandiri harus dilakukan pelbagai pengembangan,
misalnya pengembangan kelembagaan sekolah, SDM, standar
kompetensi kelulusan, bahan ajar, proses belajar mengajar, sistem
penilaian, teknologi, pengembangan sumber daya sekolah, dan
lain-lain. (Direktorat Pembinaan SMP Departemen Pendidikan
Nasional Tahun 2006-2007, Pembinaan Sekolah Potensial menuju
SSN. (Materi Temu Konsultasi, Koordinasi & Sinkronisasi Kepala
SMP/SMA Negeri dan Swasta Se-Jatim (Dinas Pendidikan Propinsi
Jatim: 2006)
185 Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah
sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 149


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional,


seperti Cambridge, IB, TOEFL/ TOEIC, ISO, pusat-pusat studi
dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO,
UNICEF, dan sebagainya.
Ada dua cara yang dapat dilakukan sekolah/madrasah
untuk memenuhi karak­teristik sebagai Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI), yaitu sekolah yang telah melaksanakan
dan memenuhi delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP)
sebagai indikator kinerja minimal ditambah dengan (x)
sebagai indikator kinerja kunci tambahan. Dua cara itu
adalah: (1) adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu
yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama)
dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/
atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan
tertentu dalam bidang pendidikan, dan (2) adopsi, yaitu
penambahan atau pengayaan/pendalaman/penguatan/

dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki


keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui
standarnya secara internasional. Negara yang termasuk anggota
OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic,
Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland,
Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands,
New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain,
Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States
dan Negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia,
Slovenia, Singapore, dan Hongkong. (Kir Haryana. Konsep Sekolah
Bertaraf Internasional (artikel), (Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Pertama, 2007), hlm. 41

150 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada


diantara delapan unsur SNP dengan tetap mengacu pada
standar pendidikan salah satu anggota OECD/negara maju
lainnya.186
Sayangnya, kebijakan sekolah bertaraf internasional
dihentikan oleh Pemerintah setelah terjadi “protes”
masyarakat karena beberapa alasan (1) terjadi “kastanisasi”
pendidikan di Indonesia, (2) layanan mendapatkan
sekolah bertaraf internasional hanyalah dapat dinikmati
oleh sebagian masyarakat “the have” (kaya), dan jarang
sekali masyarakat miskin dapat menempuh pendidikan
di sekolah bertaraf internasiol, (3) bantuan pendidikan
sekolah-sekolah bertaraf internasional sangat besar
sedangkan sekolah di bawahnya sangat kecil sehingga
terjadi kecemburuan sosial.

1. Sejarah SDII Al-Abidin Surakarta


Sekolah Dasar Islam Internasional (SDII) Al-Abidin
Surakarta merupakan lembaga pendidikan yang
bernaung di bawah Yayasan Islam Al-Abidin Surakarta.
Sebagai sekolah swasta, SDII di bawah koordinasi
Kementerian Pendidikan Nasional Surakarta dan
bergabung dalam Jaringan Sekolah Islam Terpadu
(JSIT) se-Indonesia dan Ikatan Sekolah Dasar Islam
(ISDI) Surakarta.

186 Ibid, hlm. 41

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 151


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

SDII Al-Abidin didirikan pada tanggal 14 Februari


2004 dengan konsep awal SDIT. Mengingat kebutuhan
masyarakat akan sekolah yang bercorak lain dari SDIT
yang sudah ada, konsep awal pendirian SDIT diubah
menjadi SDII yang mempertegas visi bahwa sekolah
yang didirikan tidak hanya sekolah Islam seperti yang
telah ada, tetapi sekolah Islam yang hendak memiliki
standar pengelolaan, pelayanan, dan pengembangan
yang mampu bertaraf internasional. (Dokumentasi
tentang profile SDII Al-Abidin Surakarta Tahun Ajaran
2008/2009)
Berdirinya SDII ini tak lepas dari sebuah kepriha­
tinan terhadap kualitas beberapa sekolah Islam Terpa­
du di Surakarta. Hal ini dijelaskan Shodiqin (Kepala
Sekolah SDII Al-Abidin), bahwa isu-isu strategis
yang mendorong berdirinya SDII Al-Abidin, adalah:
Pertama, Awalnya di Surakarta baru ada beberapa
sekolah Islam yang standar pengelolaan/kelulusan
belum bisa mengungguli sekolah non Islam. Kedua, di
Surakarta belum ada sekolah Islam yang mencirikan
sebagai sekolah yang berkualitas dan bertaraf
internasional. Ketiga, ada keinginan dari DR (HC) H.
Soeparno Zainal Abidin untuk mendirikan sekolah
Islam. Keempat, wacana global untuk mewujudkan
murid yang dapat eksis dimanapun berada. Padahal
hidup di negara-negara di seluruh dunia ada bahasa-

152 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

bahasa internasional yang harus dikuasai. (Wawancara


dengan Shodiqin, S.Pd. kepala SDII, 10 Februari 2009)
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa lahirnya
SDII merupakan jawaban atas keprihatinan terhadap
sekolah-sekolah Islam yang belum mampu mewujudkan
dirinya sebagai sekolah Islam yang berkualitas dan
memiliki standar internasional dalam penguasaan
bahasa asing dan teknologi informasi. SDII melihat
sekolah-sekolah Islam Terpadu di Surakarta, umumnya
memiliki kelemahan dalam penguasaan bahasa asing
dan teknologi. Oleh karena itu, sebagai sekolah yang
banyak memiliki ciri dan pendekatan pembelajaran
yang berbeda dengan sekolah Islam terpadu umumnya,
SDII memunculkan wacana pembentukan Jaringan
Sekolah Islam Internasional (JSII).

2. Visi dan Misi SDII Al-Abidin Surakarta


Visi
Menjadi lembaga pendidikan Islam bertaraf
internasional yang menghasilkan lulusan yang
bertakwa, berkompetensi tinggi, dan berwawasan
global.
Misi
1) Menyelenggarakan dan mengembangkan
manajemen pengelolaan institusi dan kinerja
yang professional sesuai syari’at.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 153


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

2) Menyelenggarakan dan mengembangkan


sistem pembelajaran yang islami, dinamis,
dan mampu mengikuti perkembangan zaman
untuk menghasilkan lulusan yang yang
berkualitas.
3) Mengupayakan ketersediaan sarana dan
prasarana yang memadai dan sesuai standar
untuk mencapai keberhasilan sistem
pembelajaran.
4) Menjalin hubungan positif dengan publik.
5) Mengoptimalkan peran serta publik dalam
upaya mencapai kualitas lulusan yang diha­
rap­­kan dan dalam rangka mewujudkan upaya
pengabdian kepada masyarakat secara lang­
sung. (Dokumentasi tentang profile SDII Al-Abidin
Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)

3. Praktik Pengembangan Kurikulum di SDII Al-


Abidin Surakarta
Praktik pengembangan kurikulum di SDII Al-
Abidin Surakarta penulis análisis menggunakan teori
pengembangan kurikulum Hilda Taba yang lebih
menekankan pada perhatian guru. Taba mempercayai
peran guru sebagai pengembang utama kurikulum.
Pada model Tyler, guru merupakan objek penerima
dan pelaksana dari kurikulum. Sedangkan pada model

154 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Taba, guru merupakan subjek aktif yang terlibat


penuh dalam pengembangan kurikulum.187 Berikut
ini langkah-langkah pengembangan kurikulum Hilda
Taba yang dilakukan oleh SDII Al-Abidin Surakarta:

a. Diagnosis Kebutuhan
Hilda Taba berpendapat bahwa kurikulum disusun
agar murid dapat belajar. Karena latar belakang murid
yang beragam maka perlu dila­ku­kan diagnosis gaps
(celah-celah/perbedaan), deficiencies (kekurangan-
kekurangan), dan variations in these background
(perbedaan latar belakang siswa). Langkah pertama
dalam diagnosis adalah menentukan kurikulum apa
yang harus diberikan kepada murid? 188
Menurut Trisnawati (Waka Kurikulum SDII Al-
Abidin), diagnosis dilakukan sekolah dapat menyusun
kurikulum yang dapat mencakup pelbagai perbedaan
latar belakang potensi dan kompetensi murid. Dalam
melakukan diagnosis kebutuhan murid, SDII Al-Abidin
mempertimbangkan beberapa hal: (1) visi dan misi
lembaga, (2) aspirasi orang tua murid sebagai mitra
sekolah, (3) relevansi dengan kebutuhan masyarakat
dan anak didik ke depan, dan (4) kebijakan pemerintah.
(Wawancara dengan Trisnawati, Waka Kurikulum, 14
Februari 2009)
187 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran..., hlm. 31
188 Ibid, hlm. 12.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 155


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Pertimbangan-pertimbangan ini sebagai acuan


agar dalam melakukan diagnosis kebutuhan murid,
di samping memperhatikan kebutuhan murid, juga
tidak boleh keluar dari visi dan misi SDII sebagai
lembaga pendidikan Islam bertaraf internasional
dan relevansinya dengan kebutuhan masyarakat
serta kebijakan pemerintah tentang KTSP yang
telah mewadahi pelbagai pengalaman belajar yang
harus diberikan kepada murid sesuai dengan jenjang
pendidikannya masing-masing.

b. Merumuskan Tujuan Pendidikan


Menurut Taba, diagnosis kebutuhan murid dapat
menggambarkan dan memberikan petunjuk dalam
merumuskan tujuan pendidikan. Dalam merumuskan
tujuan pendidikan ada empat area yang perlu
diperhatikan, yaitu: (1) konsep atau ide-ide yang akan
dipelajari (concepts or ideas to be learned), (2) sikap,
sensitifitas, dan perasaan yang akan dikembangkan
(attitudes, sensitivities, and feeling to be developed), (3)
pola pikir yang akan ditekankan, dikuatkan, atau
dimulai/dirumuskan (ways of thinking to be reinforced,
strengthened, or initiated), dan (4) kebiasaan dan
kemampuan yang akan dikuasai (habits and skills to be
mastered).189

189 Hilda Taba, Curriculum Development..., hlm. 350.

156 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan yang dirumuskan meliputi


tujuan nasional, institusional, kurikuler, dan
intruksional. Tujuan nasional dapat dilihat dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
tahun 2003 dalam Bab II Pasal 3 tentang Fungsi dan
Tujuan pendidikan yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengem­bangkan
kemampuan dan membentuk watak serta pera­
daban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
dikembangkannya potensi murid agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional menurut UU Sisdiknas
di atas ingin membentuk murid agar menjadi manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan pendidikan
nasional maka disusun tujuan institusional dan tujuan
pembelajaran atau tujuan intruksional. Tujuan ini
kemudian menjadi kriteria untuk memilih isi, bahan
pembelajaran, metode, dan penilaian. 190

190 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran..., hlm. 27

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 157


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Tujuan institusional adalah tujuan yang


diharapkan dicapai oleh lembaga pendidikan. Dalam
merumuskan tujuan institusional, SDII Al-Abidin telah
merumuskannya sebagai berikut: (1) mempersiapkan
murid yang bertakwa kepada Allah dan berakhlak
mulia, (2) mempersiapkan murid agar menjadi
manusia yang berkepribadian, cerdas, berkualitas
dan berprestasi dalam bidang agama, IPTEK, olah raga,
dan seni, (3) membekali murid sikap agar memiliki
keterampilan teknologi informasi dan komunikasi
serta mampu mengembangkan diri secara mandiri,
(4) menanamkan murid sikap ulet dan gigih dalam
berkompetisi, beradaptasi dengan lingkungan serta
mengembangkan sikap prioritas, dan (5) membekali
murid ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu
bersaing dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi.191
Tujuan institusional yang telah dirumuskan SDII
di atas telah mencakup tujuan pendidikan nasional,
yaitu: mempersiapkan murid yang bertakwa kepada
Allah Swt., menjadikan manusia yang berkepribadian,
cerdas, dan berkualitas. Tujuan institusional yang
mempresentasikan SDII sebagai lembaga yang memiliki
191 Muhammad Mubarok, Skripsi, ”Manajemen Pendidikan Islam
di SDII Al-Abidin Banyuanyar Surakarta Tahun 2006/2007”,
(Surakarta: FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2007),
hlm. 46.

158 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

visi Islam internasional adalah mewujudkan murid


yang bertakwa dan berakhlak mulia sebagai visi Islam
dan memiliki keterampilan teknologi informasi dan
komunikasi yang diwujudkan dengan pembelajaran
IT dan bahasa asing (Arab, Inggris, Jepang maupun
Mandarin) sebagai visi internasional.
Tujuan kurikuler umumnya dirumuskan dalam
bentuk tujuan-tujuan kompetensi. Oleh para ahli,
hakikat kompetensi diartikan dalam berbagai macam
pengertian, sesuai dengan sudut pandang masing-
masing. Meskipun demikian, perangkat yang tercakup
dalam pengertian kompetensi pada umumnya meliputi
tiga hal penting, yaitu: pengetahuan, sikap dan nilai,
serta keterampilan.192
Ella Yulaelawati mengutip pendapat Spencer dan
Spencer ada lima tipe kompetensi, yaitu: (1) Motif,
sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berpikir secara
konsisten atau keinginan untuk melakukan aksi, (2)
Pembawaan, karakteristik fisik yang merespon secara
konsisten berbagai situasi atau informasi, (3) Konsep
diri, tingkah laku, nilai, atau citraan (image) seseorang,
(4) Pengetahuan, informasi khusus yang dimiliki
seseorang, dan (5) Keterampilan, kemampuan untuk
melakukan tugas secara fisik atau mental.193

192 Oemar Hamalik, Dasar-Dasar..., hlm. 133


193 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran..., hlm. 14-15

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 159


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Dari definisi-definisi di atas, tujuan kurikuler


sebenarnya merefleksikan standar kompetensi lulusan
yang harus dimiliki oleh murid pada setiap jenjang
pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu. Setiap
satuan pendidikan memiliki standar kompetensi
lulusan yang berbeda-beda tergantung visi, misi, dan
tujuan pendidikan yang telah dirumuskan.
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bab V
Pasal 26 ayat 1 dinyatakan bahwa: “Standar kompetensi
lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan
untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut”.
Dalam pengembangan tujuan kurikuler, SDII
telah merumuskan beberapa standar kompetensi
lulusan yang harus dimiliki setiap murid, yaitu: (1)
memiliki tsaqafah islamiah yang luas, (2) memiliki
hafalan Al-Qur’an minimal 1 juz, hafalan ayat-ayat
pilihan, dan beberapa hadis pilihan, (3) berakhlak
mulia, (4) memiliki bekal bahasa asing yang memadai
dan aplikatif, (5) mampu berkembang secara optimal
sesuai dengan minat, bakat, dan jenis kecerdasan
yang dimilikinya, dan (6) mampu bersaing untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
dan berkualitas baik di dalam maupun di luar negeri.

160 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

(Dokumentasi tentang profile SDII Al-Abidin Surakarta


Tahun Ajaran 2008/2009)
Dari tujuan kurikuler ini akan disusun dan/atau
dikembangkan ke dalam tujuan instruksional. Oemar
Hamalik mengutip pendapat Gagne dan Briggs, tujuan
instruksional adalah tujuan yang harus dicapai setelah
proses pembelajaran ke dalam lima kategori (domain),
yaitu: verbal information, attitudes, intelectual skill,
motoric skill, dan cognitif skill.194 Pengembangan tujuan
instruksional pada setiap mata pelajaran diserahkan
kepada guru masing-masing bidang studi. Dalam
sistem KTSP, sekolah/guru diberi keleluasaan untuk
mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi
dasar setiap mata pelajaran yang telah dirumuskan
oleh Diknas ke dalam indikator-indikator maupun
tujuan pembelajaran.
Di SDII Al-Abidin, guru diberi kebebasan dalam
pengembangan tujuan instruksional, pemilihan
metode pembelajaran, maupun pengembangan bentuk
evaluasi pembelajaran. Sebagaimana pernyataan Agus,
guru matematika dalam melaksanakan kurikulum
(pembelajaran) di kelas.
Dalam melaksanakan kurikulum di kelas, guru
melaksanakan garis-garis besar yang sudah ditetapkan
oleh Diknas dan sekolah, melakukan pengembangan
194 Oemar Hamalik, Dasar-Dasar..., hlm. 137

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 161


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

diri, pelatihan, dan menciptakan ide-ide kreatif


pengembangan metode pembelajaran. Kegiatan
administrasi yang harus dilakukan oleh guru dalam
melaksanakan kurikulum di kelas seperti: Menyusun
Silabus, RPP, Program Kerja, dan Rencana Pencapaian
Target yang jelas, dan evaluasi. Supervisi implementasi
kurikulum di kelas dilakukan oleh waka kurikulum
kemudian disampaikan kepada kepala sekolah setelah
itu dilanjutkan ke Diknas. Sedangkan bentuk evaluasi
yang dilakukan oleh guru seperti: tes tulis (kognitif),
tes sikap (afektif), kepedulian, dan tanggung jawab
(psikomotorik).
Setelah merumuskan tujuan nasional, institusional,
kurikuler, dan tujuan intruksional, maka tujuan-tujuan
tersebut dijadikan kriteria dalam memilih isi, bahan
pembelajaran, metode, dan penilaian.

c. Seleksi dan organisasi isi


Dalam seleksi isi, pemerintah telah merumus­kan
isi kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dalam
UU Sisdiknas tahun 2003 Pasal 37 bahwa kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan,
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan
jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan
muatan lokal.

162 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Sedangkan untuk struktur KTSP pada jenjang


pendidikan dasar dan menengah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat (1) meliputi lima
kelompok mata pelajaran sebagai berikut: (1)
agama dan akhlak mulia, (2) kewarganegaraan dan
kepribadian, (3) ilmu pengetahuan dan teknologi, (4)
estetika, dan (5) jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Dalam melakukan seleksi isi, SDII mengem­bangkan
isi/ kurikulum KTSP, Depag, Jaringan Sekolah Islam
Terpadu (JSIT), dan kurikulum/muatan dari beberapa
sekolah lain atau sekolah luar negeri (Seperti mata
pelajaran bahasa Inggris menggunakan buku Kids
School dari Cambridge) yang kemudian disusun ulang
sendiri secara lokal. (Dokumentasi tentang profile SDII
Al-Abidin Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
Organisasi kurikulum di SDII Al-Abidin terdiri dari
muatan nasional, muatan lokal, dan pengembangan
diri. Berikut ini organisasi kuriku­lum di SDII Al-Abidin:
1) Muatan nasional yang mengacu pada standar
kompetensi baku dari BSNP, terdiri dari mata
pelajaran: Pendidikan Kewarga­n egaraan
(PKn), Bahasa Indone­sia, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Sosial, dan Pendidikan Jasmani,
Olahraga, dan Kesehatan. Sedangkan mata
pelajaran yang dimodifikasi pelaksanaannya

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 163


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

di lapangan, terdiri dari satu mata pelajaran,


yaitu: Seni Budaya.
2) Muatan nasional dengan modifikasi sebagai
ciri khusus yang mengacu pada standar kompe­
tensi baku dari BSNP dengan pengembangan
indikator dan pelaksanaan di lapangan sesuai
visi misi SDII Al-Abidin. Muatan nasional
ini terdiri dari mata pelajaran: Pendidikan
Agama Islam (PAI), Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA), dan Ketrampilan (Teknologi Informasi/
Komputer).
3) Muatan lokal sebagai ciri khusus yang
mengacu pada kurikulum yang disusun secara
lokal sesuai visi misi SDII Al Abidin. Muatan
lokal ini terdiri dari dua mata pelajaran, yaitu
Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.
4) Program pengembangan diri yang ters­
truktur di luar jam pelajaran intrakurikuler
yang bertujuan untuk mengembangkan
potensi diri anak yang belum terakomodasi
dalam pembelajaran di kelas. Kegiatan
pengembangan diri meliputi kegiatan wajib
dan pilihan. Kegiatan Wajib berupa kepanduan
yang mengacu pada kurikulum kepanduan
JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu) dan
kegiatan pilihan terdiri dari bela diri (tae

164 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

kwon do, wushu, tapak suci), jurnalistik,


tahfidzul Qur’an, karya ilmiah anak (science
club), English conversation, bahasa Jepang dan
bahasa Mandarin. (Dokumentasi tentang profile
SDII Al-Abidin Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
Dalam muatan nasional, SDII mengambil isi
dari KTSP yang terdiri lima mata pelajaran, yaitu
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Bahasa Indonesia,
Matematika, IPS, Pendidikan Jasmani, olah raga,
dan kesehatan, dan satu mata pelajaran yang telah
dimodifikasi yaitu Seni Budaya (KTK). Semua muatan
ini mengacu pada standar kompetensi baku dari BSNP
(Badan Standar Nasional Pendidikan). Muatan nasional
di atas merupakan kurikulum inti (core curriculum) yang
harus dipelajari oleh setiap murid di semua satuan
pendidikan pada level pendidikan dasar.
Organisasi isi ini merupakan organisasi broad fields
curriculum. Menurut William B. Ragan yang dikutip oleh
Abdullah Idi, broad fields yang umumnya ditemukan
di dalam kurikulum sekolah dasar ada enam mata
pelajaran, yaitu: Bahasa (language), Ilmu Pengetahuan
Sosial (Social Studies), Matematika (Maths), Sains
(Science), Kesehatan dan Pendidikan Olah raga (Health
and Sport), dan kesenian (Arts).195

195 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 144.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 165


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Fuaduddin & Karya sebagaimana dikutip oleh


Abdullah Idi, mengemukakan tentang broad fields
dalam kaitannya kurikulum di Indonesia, ada lima
macam bidang studi yang menganut broad fields, yaitu:
1) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), merupakan
peleburan dari mata pelajaran Ilmu Alam, Ilmu
Hayat, Ilmu Kimia, dan Ilmu Kesehatan.
2) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), merupakan
peleburan dari mata pelajaran Ilmu Bumi,
Sejarah, Civic, Hukum, Ekonomi, dan sejenisnya.
3) Bahasa, merupakan peleburan dari mata
pelajaran Membaca, Menulis, Mengarang,
Menyimak, dan Pengetahuan Bahasa.
4) Matematika, merupakan peleburan dari mata
pelajaran Berhitung, Aljabar, Ilmu Ukur Sudut,
Bidang Ruang, dan Statistik.
5) Kesenian, merupakan peleburan dari Seni
Tari, Seni Suara, Seni Klasik, Seni Pahat, dan
Drama.196
Muatan nasional dan muatan lokal yang telah
dimodifikasi dan disesuaikan dengan visi dan misi SDII
Al-Abidin sehingga menjadi ciri khas pengembangan
kurikulum di SDII adalah:
Mata pelajaran PAI dikembangkan menjadi 5

196 Ibid., hlm. 145-146.

166 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

aspek: akidah, akhlak, tarikh, fikih dan life skill, Al-


Qur’an dan Hadis. Pengembangan menekankan
pada aplikasi mata pelajaran PAI dengan
mengkaitkan aspek life skill pada muatan Fikih, Al-
Qur’an dan Hadis, sehingga PAI menjadi pelajaran
yang apliktif dalam kehidupan siswa tanpa
meninggalkan pemahaman. Dengan alokasi waktu
12 jam pelajaran per pekan diharapkan siswa
mendapatkan pemahaman agama yang cukup
memadai untuk bekal kehidupannya di dunia dan
akhirat. (Dokumentasi tentang profile SDII Al-Abidin
Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
Pengorganisasi muatan PAI ini menggunakan
separated curriculum. Pelajaran PAI dikembangkan
dengan dipisah-pisah menjadi lima mata pelajaran,
yaitu: akidah, akhlak, tarikh, fikih, dan life skill, Al-
Qur’an dan Hadis. Sebagaimana pernyataan Shodiqin,
kurikulum PAI dikembangkan dengan mata pelajaran
seperti: Akidah, Akhlak, Tarikh, Fikih, Life Skill
(kepemimpinan, kewirausahaan, kemandirian, dan
ibadah sehari-hari), Al-Qur’an dan Hadis. Semua
mata pelajaran dikemas dalam bentuk aplikatif dan
menyenangkan. Kurikulum dibuat oleh SDII dengan
Yayasan.
Menurut penelitian Muhammad Mubarok,
“Kurikulum PAI ini mengadopsi berbagai kurikulum
yang telah ada, yakni pelajaran PAI dari kurikulum

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 167


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

nasional (KTSP), kurikulum depag, dan kurikulum


Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Surakarta”.197
Aspek esensial pengembangan kurikulum PAI di
SDII Al-Abidin adalah pengembangan standar isi dan
standar kompetensi lulusan dalam perilaku keagamaan
dan life skill seperti praktik ibadah, baca tulis Al-Qur’an,
hafalan surah-surah pendek maupun hadis, dan lain-
lain.
Pengembangan mata pelajaran Sains dan Teknologi
lebih pada pengembangan pembe­lajaran berbasis
open source software yang mengacu pada standar isi
kurikulum dari Diknas kemudian dikembangkan sesuai
dengan visi dan misi sekolah. Dalam hal ini, sekolah
maupun guru mencari software-software yang berisi
ilmu pengetahuan maupun edugames yang mendukung
materi pembelajaran.
Pengembangan teknologi informasi (TI) seperti
komputer dan internet, SDII menggunakan software
Linux dengan menekankan pada pengembangan
kompetensi untuk mempelajari Office, Microsoft Excel,
Microsoft Power Point, keterampilan kecepatan mengetik
(fast typing) dan penggunaan mouse. Pembelajaran
komputer ini didukung dengan adanya laboratorium
komputer yang terdiri dari beberapa komputer yang
lengkap dengan open source software, misalnya: software

197 Muhammad Mubarok, Manajemen Pendidikan…, hlm. 52-53.

168 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

games yang berisi pembelajaran bahasa Inggris dan


matematika. Pembelajaran komputer ini sudah
dimulai sejak level I. Untuk internet, setiap ruangan
guru disediakan komputer online dan murid dapat
mengaksesnya dengan website resmi SDII Al-Abidin,
yaitu www.al-abidin.com.
Muatan lokal sebagai ciri khas SDII adalah
pengem­bangan bahasa asing, seperti bahasa Arab dan
bahasa Inggris. Bahasa Arab dikembangkan meliputi
empat aspek: Sima’iyyah (mendengarkan), kalamiyah
(berbicara), qira’ah (membaca), dan kitabah (menulis)
Sedangkan bahasa Inggris meliputi empat aspek, yaitu:
listening (mende­ngarkan), speaking (berbicara), reading
(membaca), dan writing (menulis). (Dokumentasi tentang
ciri khusus kurikulum SDII, Tahun 2009)
Pengembangan ini menggunakan broad fields
curriculum dalam arti bahwa pelajaran bahasa Arab dan
bahasa Inggris peleburan dari empat aspek kompetensi,
yaitu: kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis. Pengembangan bahasa Arab di SDII Al-
Abidin memiliki tujuan: (1) mengenalkan bahasa Arab
sebagai bahasa komunikasi internasional di kalangan
umat Islam, (2) membekali murid untuk dapat belajar
agama Islam melalui kitab-kitab atau buku-buku
tentang Islam dan bahasa ibunya, dan menanamkan
perasaan lebih cinta kepada Islam dan budaya yang

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 169


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

melikupinya. Sedangkan pengembangan bahasa


Inggris bertujuan: (1) mengenalkan bahasa Inggris
sebagai bahasa komunikasi Internasional di kalangan
umat Islam, dan (2) membekali murid untuk dapat
menghadapi tuntutan dalam rangka menyongsong
era globalisasi. (Dokumentasi KTSP SDII Al-Abidin Tahun
Ajaran 2008/2009)
Struktur KTSP SDII Al-Abidin juga mengem­
bangkan muatan lokal bahasa Jawa dan bahasa
asing (Jepang dan Mandarin). Muatan baha­s a
Jawa bertujuan: (1) mengembangkan kemam­p u­
an dan keterampilan berkomunikasi murid dalam
menggunakan bahasa daerahnya, (2) mening­katkan
kepekaan dan penghayatan terhadap karya sastra
daerahnya, (3) membekali murid untuk memiliki jiwa
seni dan kehalusan budi, (4) berkomunikasi secara
benar dan sopan, dan (5) menerapkan nilai-nilai kultur
Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan muatan
bahasa asing (Jepang dan Mandarin) bertujuan agar: (1)
mengenalkan bahasa asing sebagai bahasa komunikasi
internasional, dan (2) embekali murid untuk dapat
menghadapi tuntutan dalam rangka menyongsong
era globalisasi. (Dokumentasi KTSP SDII Al-Abidin Tahun
Ajaran 2008/2009)
Pengembangan muatan lokal bahasa asing dan

170 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

bahasa Jawa merupakan ciri khas yang dirumuskan SDII


Al-Abidin untuk mempresentasikan sebagai sekolah
Islam bertaraf internasional. Bahasa Arab sebagai
sarana untuk memdalami Islam, bahasa Inggris, Jepang,
dan Mandarin sebagai sarana untuk berkomunikasi
pada era global, sedangkan bahasa Jawa sebagai sarana
mempelajari budaya murid, khususnya budaya Jawa.
Aspek esensial dalam pengembangan bahasa lebih
menekankan pada kemampuan mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis.
Muatan isi dalam program pengembangan
diri (life skill) merupakan organisasi kurikulum
terpadu (integrated curriculum) yang menekankan
pada kebutuhan/pengalaman murid (the experience
curriculum). Seperti kegiatan yang disesuaikan dengan
minat dan bakat (kepanduan, beladiri, jurnalistik,
tahfidzul Qur’an, karya ilmiah anak (science club), English
Conversation, bahasa Jepang dan bahasa Mandarin).

d. Seleksi dan Organisasi Pengalaman Belajar


Setelah seleksi dan organisasi isi, langkah
pengembangan kurikulum selanjutnya adalah seleksi
dan organisasi pengalaman belajar. Menurut Tyler,
sebagaimana dikutip Wina,
Pengalaman belajar adalah segala aktivitas

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 171


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan.


Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi
pelajaran dan bukan pula aktivitas guru
memberikan pelajaran. Untuk itulah guru sebagai
pengembang kurikulum mestinya memahami apa
minat murid, serta bagaimana latar belakangnya.198
Pengorganisasian pengalaman belajar bisa dalam
bentuk unit mata pelajaran maupun dalam bentuk
program. langkah pengorganisasian ini sangatlah
penting, sebab dengan pengorganisasian yang jelas
akan memberikan arah bagi pelaksanaan proses
pembelajaran sehingga menjadi pengalaman belajar
yang nyata bagi siswa. Guru menentukan bagaimana
mengemas pengalaman-pengalaman belajar yang
telah ditentukan itu ke dalam paket-paket kegiatan.
Sebaiknya dalam menentukan paket-paket kegiatan
itu, siswa diajak serta, agar mereka memiliki tanggung
jawab dalam melaksanakan kegiatan belajar.199
Dalam mengorganisasi pengalaman belajar murid,
SDII Al-Abidin telah mengembangkan pelbagai bentuk
pengelolaan belajar dan ruang pembelajaran, beberapa
program kegiatan, metode pembelajaran, serta
program pengembangan diri (life skill).

198 Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran..., hlm. 84


199 Ibid, hlm. 89

172 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

1) Waktu Belajar
SDII Al-Abidin menggunakan sistem full day
school dengan waktu belajar sebagai berikut:
Hari Kelas 1 dan 2 Kelas 3-6
Senin- 07.15 WIB-
07.15 WIB-15.35 WIB
Jum’at 14.15 WIB
07.15 WIB-11.00 WIB untuk
kegiatan pengembangan diri
Sabtu Libur
dan persiapan UASBN khusus
kelas 6
Sistem full day school merupakan ciri khas
sekolah terpadu. Pembelajaran dengan
sistem full day school mengharuskan sekolah
harus merancang perencanaan pembe­
lajaran dari pagi hingga sore. SDII Al-Abidin
dalam menerapkan sistem full day school
dengan membagi dua waktu belajar, yaitu
senin-jum’at merupakan pembelajaran full
day dan Sabtu merupakan Student’s Day
(anak-anak belajar di rumah) bagi Kelas 1
dan 2 sedangkan kelas 3-6 diadakan kegiatan
pengembangan diri, seperti: kepanduan,
kegiatan minat dan bakat, dan lain-lain.
(Dokumentasi tentang profile SDII Al-Abidin
Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 173


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

2) Fase belajar
Strategi pembelajaran yang telah dikemas
oleh SDII Al-Abidin dalam membagi 6 tahun
masa pembelajaran di tingkat dasar menjadi
3 fase belajar sebagai berikut:
a) Fase motivasi pada masa belajar di kelas 1
dan 2 dengan titik tekan penca­paian hasil
belajar pada Anak SENANG BERSEKOLAH.
b) Fase transisi pada masa belajar di kelas 3
dan 4 dengan titik tekan pencapaian hasil
belajar pada Anak MENGERTI TUJUAN
BERSEKOLAH.
c) Fase prestasi pada masa belajar di kelas 5
dan 6 dengan titik tekan pencapaian hasil
belajar pada Anak MAMPU BERPRESTASI
secara akademis maupun non akademis.
(Dokumentasi tentang profile SDII Al-Abidin
Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
3) Pola pembagian kelas.
Strategi dalam pengelolaan kelas, SDII Al-
Abidin menggunakan 2 pola sebagai berikut:
Pertama, pola pembagian kelas berdistribusi
normal yang diterapkan untuk siswa kelas
1-3 dengan jenis kelamin putra dan putri.
Tujuannya siswa mengalami pengalaman
belajar dan perbedaan fitrah laki-laki dan

174 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

perempuan. Kedua, pola pembagian kelas


menurut kecepatan belajar dan jenis kelamin
yang diterapkan pada kelas 4-6. Ada pemisahan
kelas putra dan putri yang dikelompokkan
menurut kecepatan belajarnya dengan dibagi
empat level, yaitu:
a) Kelas putra excellent untuk anak-anak
putra dengan kecepatan belajar rata-rata
atas sampai tinggi.
b) Kelas putra special untuk anak-anak putra
dengan kecepatan belajar kurang sampai
rata-rata.
c) Kelas putri excellent untuk anak-anak putri
dengan kecepatan belajar rata-rata atas
sampai tinggi.
d) Kelas putri special untuk anak-anak putri
dengan kecepatan belajar kurang sampai
rata-rata. (Dokumentasi tentang profile SDII
Al-Abidin Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
4) Penamaan kelas.
Tujuan penamaan ruang-ruang kelas menurut
Shodiqin adalah:
Penamaan semua kelas menggunakan nama-
nama para sahabat rasulullah, tabi’, tabi’in,
dan ilmuwan muslim, misalnya: Abu Bakar,

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 175


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Ali bin


Abi Thalib, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lain-
lain. Sebagai contoh: level paralel kelas 2
terdiri dari 3 kelas paralel yang masing diberi
nama: Kelas 2 Zubair bin Awwam, Kelas 2
Zaid bin Tsabit, dan Kelas Mush’ab bin Umair
dimaksudkan sebagai inspirasi dan motivasi
untuk mencontoh nama-nama para sahabat
nabi Muhammad maupun ilmuwan muslim.”
(Wawancara dengan Shodiqin, S.Pd. kepala SDII,
10 Februari 2009)
5) Pengembangan metode pembelajaran.
Metode pembelajaran yang dikembangkan
oleh SDII Al-Abidin dalam mengemas setiap
pembelajaran sebagai berikut:
a) Communicative Language Teaching (CLT)
untuk pembelajaran bahasa asing
CLT adalah metode pembelajaran
bahasa yang menyenangkan, komuni­
katif, mengajak siswa lebih berani
berbicara sejak dini, instruktur berpe­
ngalaman serta menghadirkan native
speaker. (www.al-abidin.com) Pembe­
lajaran bahasa asing dengan metode
CLT didukung dengan laboratorium
bahasa yang dilengkapi dengan

176 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

audiovisual. Muatan isi bahasa Inggris


di SDII Al-Abidin diambil dari buku
Kids School dari Cambridge sebagai
wujud pengembangan kurikulum
bahasa yang bervisi internasional.
b) Thematic Teaching
Metode Thematic Teaching membe­
rikan kesempatan kepada siswa
untuk mempelajari sebuah lingkup
pengetahuan secara langsung atau
kontekstual, misalnya hewan, tum­
buhan, dan lingkungan alam sekitar.
Kegiatan yang biasa dilakukan adalah
karya wisata/outing class setiap awal
bulan. (www.al-abidin.com)
c) Student Active Learning (SAL)/PAKEM
SAL merupakan metode pembelajaran
yang menekankan pada keaktifan
murid dalam proses belajar mengajar.
Guru bertindak sebagai motivator dan
fasilitator sedangkan murid sebagai
subjek utama dalam belajar. SDII Al-
Abidin juga mengembangkan metode
PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan) dalam
setiap pembelajaran, baik di kelas

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 177


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

maupun di luar kelas. (www.al-abidin.


com)
d) POT Learning.
POT Learning adalah metode pembe­
la­­jaran yang ditemukan dan dikem­
bangkan dari metode Quantum Lear­
ning & PAKEM oleh 3 orang guru
senior SDII yang menginginkan
adanya perubahan di dalam metode
pen­di­dikan di Indonesia. Metode ini
pada dasarnya menginginkan suatu
revolusi belajar yang lebih menye­
nangkan dengan variasi games/
permainan, Brain Gym/pengkondisian
siswa sebelum belajar, belajar tidak
harus di dalam kelas/duduk manis di
kursi, dan lain-lain. Metode ini telah
diaplikasikan ke seluruh kegiatan
belajar mengajar di SDII dengan hasil
yang memuaskan. (www.al-abidin.
com)
e) Metode Bilingual
Metode bilingual menuntut adanya
penyampaian seluruh mata pelajaran
dalam Bahasa Inggris, khususnya
pelajaran Sains dan Matematika.

178 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Metode ini ditunjang dengan program


seperti English Day/wajib berbahasa
Inggris bagi guru dan siswa (50%
untuk siswa kelas 1,75% untuk siswa
kelas 2, dan 100% untuk siswa kelas 3
ke atas). (www.al-abidin.com)
6) Pengembangan program life skill
Program pengembangan diri merupakan
kegiatan terstruktur di luar jam pelajaran
intrakurikuler yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi diri anak yang
belum terakomodasi dalam pembelajaran di
kelas. Program pengembangan diri meliputi
kegiatan wajib dan pilihan, yaitu: (1) kegiatan
wajib berupa Kepanduan. Mengacu pada
kurikulum kepanduan JSIT (Jaringan Sekolah
Islam Terpadu), dan (2) kegiatan pilihan
berupa bela diri (tae kwon do, wushu, pencak
silat), jurnalistik, seni kriya, seni khat, seni
lukis, seni vokal, seni teater, tahfid/tahsan
Al-Qur’an, karya ilmiah anak (science club),
English conversation, bahasa Jepang, dan
bahasa Mandarin. (Dokumentasi tentang profile
SDII Al-Abidin Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 179


BAB III:
Praktik Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

7. Pengembangan program kegiatan luar


SDII Al-Abidin mengembangkan program pembe­
lajaran di luar kelas (out door learning) sebagai berikut:
wisata renang, pembukaan tema (open theme), outing
class, outbond, tadarus keliling, pesantren kilat dan
mabit, dan kegiatan kokurikuler berupa mutaba’ah amal
yaumi dan life skill, mutaba’ah amal ramadhan, tagihan
proyek dan tahapan PR. (Dokumentasi tentang profile SDII
Al-Abidin Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
8. Evaluasi dan cara melakukan evaluasi
Dalam melakukan evaluasi, SDII Al-Abidin telah
memiliki prinsip-prinsip dan bagaimana implementasi
evaluasinya sebagai berikut.
1. Prinsip-prinsip Evaluasi SDII, yaitu: (a) holistik
meliputi: kognisi, afeksi dan psikomotor,
(b) sesuai dengan makna dasar pendidikan
sebagai proses perubahan ke arah lebih baik,
(c) berbasis kompetensi, dan (d) berbasis
kelas. (Dokumentasi tentang profile SDII Al-Abidin
Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009)
2. Implementasi Evaluasi SDII
3. Implementasi evaluasi di SDII menerapkan
kebijakan sebagai berikut: (a) pengukuran
yang dilaksanakan oleh guru kelas, guru
bidang studi, atau konselor di kelas yang

180 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
bersangkutan, (b) penilaian yang dilakukan
oleh guru yang melakukan pengukuran dengan
menerapkan model portofolio, (c) pengisian
dokumentasi penilaian yang berupa lembaran
portofolio tentang rekaman proses belajar
yang dilakukan oleh murid, (d) pembuatan
legger nilai, (e) pembuatan daftar kelulusan
siswa setiap Kompetensi Dasar (KD), (f)
penulisan raport Kemendiknas, (g) penulisan
raport lokal dengan bahasa bahasa Inggris
dan Arab, dan (h) pengarsipan. (Dokumentasi
tentang profile SDII Al-Abidin Surakarta Tahun
Ajaran 2008/2009)
Dari model evaluasi ini dapat disimpulkan bahwa
evaluasi yang dilakukan oleh SDII Al-Abidin adalah
evaluasi hasil belajar yang meliputi tiga aspek,
yaitu: kognisi, afeksi, dan psikomotor. Evaluasi
kognisi berkaitan dengan aspek pengetahuan, afeksi
dengan aspek sikap, dan psikomotorik dengan aspek
keterampilan. SDII Al-Abidin memiliki dua cara
mengevaluasi yaitu melalui pengukuran dan penilaian.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 181


182 Manajemen Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, “Al-Ta’wil Al Ilmi: Ke arah Perubahan


Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, al-Jami’ah,
Journal of Islamic Studies, 39 (2), july– December
2001.
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi
Pendekatan Integratif-Interkonektif, cet. ke-2,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Abdullah, M. Amin,dkk, Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi (sebuah Antologi),
Yogyakarta: Suka Press, 2007
Al-Asy’ari, Abdurrahman, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Dilengkapi Metode Tahfidz (QTA), Terjemah Per Kata,
Asbabun Nuzul, Hukum Tajwid, dan Indeks Ayat,
Wonosobo: Yayasan Al-Asy’ariyah, 2014.
Alaydroes, Fahmi dalam majalah Hidayatullah, Jakarta:
Hidayatullah, 2011.
al-Baz, Anwar, Al-Tafsir al-Tarbawy Lil-Qur’an al-Karim, Jilid
1, Mesir: Dar al-Nasyr Lil-Jami’at, 2007.
al-Jabiri, Mohammed ‘Abed, Arab-Islamic Philosophy A

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 183


Contemporary Critique, trasleted from the French
by Aziz Abbassi, The United States of America:
The Center for Middle Eastern Studies and The
University of Texas at Austin USA, 1999.
al-Jabiri, Muhammad ‘Abed, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, Diraasah
Tahliiliyah Naqdiyyah li-Dhomi al-Ma’rifah fi al-
Tsaqaafah al-‘Arabiyyah, cet. ke-3, Beirut: Markaz
Diraasaat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990.
al-Jabiri, Muhammad ‘Abed, Takwiin al-‘Aql al-Araby, cetakan
kesepuluh, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-
‘Arabiyah, 2009.
Arcaro, Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu, (terj.) oleh Yosal
Iriantara, cetakan IV, Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2007.
Arifin, Zainal, “Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Islam (Studi di Sekolah Dasar Islam Internasional
Al-Abidin Surakarta)” Jurnal Pendidikan Agama Islam
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 8 (2),
Juli-Desember 2011: 175-194.
Arifin, Zainal, “Perkembangan Pesantren di Indonesia”
Jurnal Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 9 (1), Juni
2012: 40-53
Arifin, Zainal, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum

184 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Diva Press, 2012.
Arifin, Zainal, Tesis, “Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
di Sekolah Dasar Islam Internasional Al-Abidin
Surakarta”, Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, 2009.
Assegaf, Abd. Rachman, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam
Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik sampai Modern,
Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana
Media Group, 2012.
Baharuddin, Umiarso, dan Minarti, Sri, Dikotomi Pendidikan
Islam Historisitas dan Implikasi pada Masyarakat Islam,
cetakan ke-2, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011.
Bisri, A. Musthofa, dalam Baddrut Tamam, Pesantren, Nalar,
dan Tradisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren Studi Tentang
Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa
Depan Indonesia, cet. ke-19 (edisi revisi), Jakarta:
LP3ES, 2011.
Direktorat Pembinaan SMP Departemen Pendidikan Nasional
Tahun 2006-2007, Pembinaan Sekolah Potensial
menuju SSN. (Materi Temu Konsultasi, Koordinasi
& Sinkronisasi Kepala SMP/SMA Negeri dan Swasta

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 185


Se-Jatim (Dinas Pendidikan Propinsi Jatim: 2006)
Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa
Depan, Yogyakarta: CV. Grafika Indah, 2006.
Engkoswara dan Komariah, Aan, Administrasi Pendidikan,
Bandung: Alfabeta, 2010.
Esposito, John L, (ed.), “Wahhabiyyah” on The Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World, volume 4,
New York: Oxford University Press, 1995.
Esposito, John. L, “Wahabi” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia
Islam Modern, Jilid 6, (terj.) oleh Eva, Y.N, dkk, (Ed.
Ahmad Baiquni, dkk), cet.ke-2, Bandung: Mizan,
2002.
Haedari, Amin, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, Jakarta:
IRD Press, 2004.
Hamalik, Oemar, Manajemen Pengembangan Kurikulum.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Harmaneh, Walid dalam kata pengantarnya dalam
Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas
Filsafat Arab-Islam, terj. Oleh Moch Nur Ichwan,
Yogyakarta: Islamika, 2003.
Haryana, Kir, Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel),
Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama, 2007.
Hasan, Noorhaidi, Islamizing Formal Education: Integrated

186 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
Islamic School and a New Trend in Formal Education
Institution in Indonesia, Singapore: Nanyang
Technological University, 2009.
Hasbullah, H. M, Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Teori,
Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.
http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi. [Diakses pada 07
Maret 2018]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kaizen [Diakses, 07 Maret 1980]
Husna, Nawa dan Arifin, Zainal, “Curriculum Development
of Madrasah Tahfidz-Based Pesantren” Ta’dib: Jurnal
Pendidikan Islam Faculty of Tarbiyah and Teaching
Sciences Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang, 21 (2), December 2016: 127.
Husna, Nawa, Skripsi, “Manajemen Pengembangan Kurikulum
Madrasah Tahfidz Berbasis Pesantren Studi Kasus
di Madrasah Ibtidaiyah Tahfidhul Qur’an Tasywiqut
Thullab Salafiyah (MITQ TBS) Kudus Jawa Tengah”,
Yogyakarta: Program Studi Manajemen Pendidikan
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Jalal, Faisal dan Supriadi, Dedi (editor), Reformasi Pendidikan
dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 187


Karya Nusa, 2001.
Kartanegara, Mulyadi, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Katsir, Imam Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir Juz: 21, 22,23,24, [terj.] oleh
Arif Rahman Hakim, dkk, Surakarta: Insan Kamil,
2015.
Katsir, Imam Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir Juz: 28, 29,30, [terj.] oleh
Arif Rahman Hakim, dkk, Surakarta: Insan Kamil,
2015.
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, terj. oleh Soejono
Soemargono, cetakan IX, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2004.
Kosim, Muhammad, Madrasah di Indonesia (Pertumbuhan dan
perkembangan), Tadris Jurnal Pendidikan Islam Jurusan
Tarbiyah STAIN Pamekasan, 2 (1), 2007: 53.
Kunandar, Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta
Didik Berdasarkan Kurikulum 2013), cet. Ke-3, Jakarta:
Rajawali Pres, 2014.
Latif, Yudi, Genealogi Inteligensia Pengetahuan & Kekuasaan
Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013.
Lukens-Bull, Ronald, “Madrasa by Other Name Pondok,
Pesantren, and Islamic School in Indonesia and
Larger Southeast Asian Region,” Journal of Indonesian
Islam, Program Pascasarjana-Lembaga Studi Agama

188 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
dan Sosial IAIN Sunan Ampel Surabaya, 4 (1), June
2010: 10-11.
Machali, Imam, “Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013
dalam Menyongsong Indonesia Emas Tahun 2045”,
Jurnal Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3 (1), Juni
2014: 87-88.
Machmudi, Yon, “The Decline of Ulama Authority in
Indonesia: The Cases of Two Pesantrens in East
Java (Pesantren Pesantren Darul Ulum Jombang and
Langitan Tuban)”, dalam https://www.academia.
edu/5355939/The_Decline_ of_Ulama_Authority_
in_Indonesia. [Diakses tanggal 19 Maret 2014].
Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret
Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Maksudin, Pendidikan Islam Alternatif Membangun Karakter
Melalui Sistem Boarding School, Yogyakarta: UNY
Press, 2010
Mardiyah, Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya
Organisasi, Malang: Aditya Media Publishing, 2012.
Maunah, Binti, Tradisi Intelektual Santri, Yogyakarta: Teras,
2009.
Mubarok, Muhammad, Skripsi, ”Manajemen Pendidikan
Islam di SDII Al-Abidin Banyuanyar Surakarta
Tahun 2006/2007”, Surakarta: FAI Universitas

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 189


Muhammadiyah Surakarta, 2007.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Epistemologi, Nalar Naqliyyah dan
Nalar Aqliyyah, Landasan Profetik, Nalar Bayani,
Irfani, dan Burhani, Perkembangan Islam dan IPTEK,
Yogyakarta: Rake Sarasin, 2014.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu Kualitatif & Kuantitatif untuk
Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III (revisi),
Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Muhammad, Agus, Ma’had Aly: Pendidikan Tinggi Ala Pesantren,
dalam http://www.pondokpesantren.net/ponpren/
index.php?option=com_content&task=view&id=156 [30
Desember 2012, jam. 14.51 WIB]
Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Mulyasa, E, Manajemen Berbasis Sekolah, cet. ke-9, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Mulyono, Manajemen, Administrasi, & Organisasi Pendidikan,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Munawir, A.W, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Muqowim, Keterpaduan Sains dan Agama. Bahan Ajar Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Nashir, Haedar, Memahami Ideologi Muhammadiyah,

190 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014.
Nasution, S, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2003
Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:
Kencana, 2016.
Null, Wesley, Curriculum from Theory to Practice, United
Kingdom: Rowman & Littlefield Publishers, Inc,
1973.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan Bab V Pasal 26 (1).
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,
2012.
Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam Perspektif Sosiologis-Filosofis, (terj.) oleh
Mahmud Arif, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002.
Rodli, Ahmad; Machali, Imam; Arifin, Zainal, “The Educational
Ideology of Indonesian and Malaysian Pesantrens:
A Study of Al-Munawir and Pasir Tumboh”, Jurnal
Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2
(1) December 2015: 54-66.
Rohmah, Munif Rofi’atul dan Arifin, Zainal, “Eksistensi

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 191


dan Pengembangan Kurikulum Madrasah Aliyah
Program Keagamaan (MAPK) MAN 1 Surakarta,
Jurnal Pendidikan Madrasah, 2 (2), November 2017:
371.
Rohmah, Munif Rofi’atur, Skripsi, “Manajemen
Pengembangan Kurikulum Madrasah Aliyah
Program Khusus (MAPK) MAN 1 Surakarta”,
Yogyakarta: Prodi Manajemen Pendidikan Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga, 2016.
Suprayogo, Imam, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an,
Malang: Aditya Media bekerjasama dengan UIN
Malang Press, 2004.
S, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Saefullah, U, Manajemen Pendidikan Islam, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2014.
Sallis, Edward, Total Quality Management in Education (terj.)
oleh Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, cetakan VI,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2007
Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik
Pengembangan KTSP, Jakarta: Kencana, 2008.
Saridjo, Marwan, Pendidikan Islam Dari Masa Ke Masa Tinjauan
Kebijkan Publik Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia,
edisi revisi, Bogor: Yayasan Ngali Aksara dan al

192 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
Manar Press, 2011.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007.
Siagian, Sondang P, Filsafat Administrasi, Jakarta: Haji
Masagung, 1987.
Soebahar, Abd. Halim, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonasi
Guru sampai UU Sisdiknas, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013.
Steenbrink, Karel A, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern, cet. ke-1, Jakarta: LP3ES,
1986.
Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Fadilatama, 2011.
Suyatno, “Sekolah Islam Terpadu; Filsafat, Ideologi, dan
Tren Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal
Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2 (2), Desember
2013: 355-356.
Taba, Hilda, Curriculum Development Theory and Practice, New
York: Harcont and World, 1962.
Tobroni, Pendidikan Islam Pradigma Teologis, Filosofis dan
Spiritualitas, Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM Press), 2008
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 193


Wahid, Abdurrahman, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam
M. Dawam Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan,
cet. ke-5, Jakarta: LP3ES, 1995
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi Esai-esai
Pesantren, cet. ke-3 Yogyakarta, LKiS, 2010.
Wahyudi, Yudian, Islam dan Nasionalisme, Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2006
Widodo, Sembodo Ardi, “Nalar Bayani, ‘Irfani, dan
Burhani dan Implikasinya Terhadap Keilmuan
Pesantren”,Hermeneia Jurnal Kajian Islam
Interdisipliner, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 6 (1), Januari-Juni 2007
www.al-abidin.com
www.puskur.net.
Yulaewati, Ella, Kurikulum dan Pembelajaran, Filosofi, Teori, dan
Aplikasi, Bandung: Pakar Raya, 2004.
Ziemek, Manferd, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (terj.)
oleh Butche B. Soendjojo, Jakarta: Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M),
1983.
Zulkifli, Sufism in Java, the Role of the Pesantren in the
Maintenance of Sufism in Java, Jakarta: INIS, 2002.

194 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
BIOGRAFI PENULIS

Zainal Arifin, lahir di Klaten, 24 Maret 1980. Pekerjaan


sekarang adalah dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam
[MPI] Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Jenjang pendidikan S1-S3 semua
diselesaikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tahun
2005, lulus dari Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Sunan
Kalijaga, tahun 2009 lulus dari Magister Manajemen dan
Kebijakan Pendidikan Islam [MKPI] pada Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, dan tahun 2017 lulus dari program
Doktor Studi Islam konsentrasi Kependidikan Islam pada
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktifitas lain
adalah sebagai sekretaris Prodi Manajemen Pendidikan
Islam [MPI] sejak tahun 2016-2020, sekretaris umum
Perkumpulan Prodi Manajemen Pendidikan Islam [PPMPI]
Indonesia tahun 2017-2021, editor-in-chief Manageria: Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam, editor Jurnal Pendidikan
Islam [JPI] Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 195


Kalijaga, serta menjadi reviewer beberapa jurnal ilmiah
di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam [PTKI].
Beberapa karya sudah diterbitkan, baik dalam bentuk
skripsi, tesis, disertasi, buku, antologi, maupun prosiding,
yaitu: (1) Pelaksanaan Pengajaran IQRO’ Pendidikan
Anak-anak Masjid Syuhada’ (PAMS) di SDN Jetisharjo I
Yogyakarta”, Skripsi, (Yogyakarta: Jurusan PAI Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2005), (2) “Pelaksanaan
Pengembangan Kurikulum di Sekolah Dasar Islam
Internasional Al-Abidin Surakarta”, Tesis, (Yogyakarta:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Pendidikan Islam,
Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam, 2009), (3)
KEPEMIMPINAN SPIRITUAL PESANTREN TEMBORO:
Strategi Kebudayaan Kiai dalam Membentuk Perilaku
Religius, Disertasi, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2017), (4) “Pengembangan Manajemen
Mutu Kurikulum Pendidikan Islam”, (Yogyakarta: Diva
Press, 2012), (5) “Pengembangan Pembelajaran Aktif
dengan TIK” bersama Adi Setiawan, (Yogyakarta: Skripta
Media Creative, 2012), dan (6) "ISLAM DI TEMBORO Model
Kepemimpinan dan Strategi Kebudayaan Jamaah Tabligh
dalam Pembentukan Karakter", (Yogyakarta: Prodi MPI
FITK UIN Sunan Kalijaga, 2017).
Karya-karya yang sudah diterbitkan di beberapa
jurnal nasional terakreditasi: 1). The Authority of Spiritual
Leadership At Pesantren Temboro Based on Jamaah

196 Manajemen Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik
Tabligh Ideology” Journal of Islamic Education [JPI] State
Islamic University [UIN] Sunan Kalijaga Yogyakarta, 6 (2),
December 2017, 2). Zainal Arifin dan Yu’timaalahuyata-
zaka “Persepsi Santri dan Kiai Terhadap Pluralisme Agama
di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah [PUTM] dan
Aswaja Nusantara Yogyakarta” Al-Tahrir Jurnal Pemikiran
Islam IAIN Ponorogo, 17 (1), Mei 2017, 3). Ahmad Rodli,
Imam Machali, Zainal Arifin, “The Educational Ideology
of Indonesian and Malaysian Pesantrens: A Study of al-
Munawir and Pasir Tumboh” MEDIA Jurnal Pendidikan Islam
(JPI) UIN Bandung, 2 (1), December 2015, 4). “Kepemimpinan
Kiai dalam Ideologisasi Pemikiran Santri Pesantren-
pesantren Salafiyah Mlangi Yogyakarta” INFERENSI Jurnal
Penelitian Sosial dan Keagamaan, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Salatiga, 9 (2)
Desember 2015, dan beberapa artikel lain diterbitkan di
jurnal-jurnal online lain. Penulis dapat dihubungi melalui
email: zainal.arifin@uin-suka.ac.id/HP.+62 8154 2222 480.

Dr. Zainal Arifin, M.S.I 197


198 Manajemen Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam: Teori Dan Praktik

Anda mungkin juga menyukai