Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyai
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyai
Hal
Kata Pengantar.......................................................................................................................i
Daftar Isi ............................................................................................................................... ii
Evaluasi Pelatihan Pengelolaan Dana Desa Bagi Aparatur Desa di Kabupaten Timor
Tengah Utara Tahun 2015 ................................................................................................119
Ondy Ch. Siagian
v
Metode Pembelajaran Berbasis Neurosain Mewujudkan Pencapaian Kompetensi Orang
Tua Dalam Menghadapi Persalinan dengan Proses PEMBELAJARAN yang
Menyenangkan .................................................................................................................155
Ina Yuniati
Kajian atas Penerimaan Pajak dan Defisit Anggaran Indonesia Tahun 2010-2014 .......... 233
Aniek Juliarini & Tatan Jaka Tresnajaya
Sanksi Pidana terhadap Korporasi dalam Tindak Pidana Perpajakan ............................. 272
Adriana Dwi Hardjanti
vi
Improving in Inquiry-based Science Teaching Competency
As an impact of Real Incremental Inquiry Training ........................................................... 359
Eneng Susilawati
Penerapan Konsep STIFIn dalam Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan ................... 457
Anton Suharyanto
Studi Statistik Pengendalian Mutu pada Pelatihan Tenaga Kesehatan ............................ 536
Uria Guna Dharma
The Similarities Between English Learning For Language Learners (L2) and Mother
Language ( L1 ) Acquiring and learning for Children ......................................................... 550
Yahmawati
vii
Pengembangan Kearifan Lokal Kalimantan Tengah Menjadi Keunggulan Nasional
melalui Pelatihan Muatan Lokal Model “TPPL”
(Teori Praktik Penciptaan dan Laporan) ............................................................................563
Riyanta
viii
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: Siklus Manajemen Sumber Daya Manusia di semua jenis organisasi memiliki
persamaan yang mendasar yaitu berawal dari seleksi penerimaan pegawai baru,
pengembangan, pengukuran dan penghargaan kinerja, hingga pension dan kembali
melakukan seleksi pegawai baru. Direktorat Jendeal Pajak (DJP) telah membuat kebijakan
model siklus manajemen SDM ini dalam konsep cetak biru yang diwujudkan dalam
Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-233/PJ/2011 tanggal 26 September 2011. Implementasi
pengembangan kapasitas teknis bidang pajak pegawainya dilaksanakan oleh Pusdiklat
Pajak. Seberapa tepat sasaran program diklat yang disusun telah mendukung pencapaian
cetak biru manajemen sumber daya manusia DJP, perlu dilakukan kajian dan salah satu
pilihannya menggunakan model evaluasi program. Salah satu program diklat di Pusdiklat
Pajak adalah program diklat fungsional pemeriksa yang dipilih sebagai studi kasus evaluasi
program untuk mengukur secara kualitatif seberapa dalam program diklat tersebut telah
mendorong perwujudan manajemen SDM di DJP.
A. Pendahuluan
Indonesia sebagai sebuah negara dapat berdiri hingga saat ini salah satu pilarnya
adanya undang-undang dasar yang mengatur berbagai hal termasuk keuangan negara.
Keuangan negara di manapun mengatur tentang pendapatan dan pengeluaran untuk
belanja. Indonesia telah mengandalkan pendapatan negara dari unsur pajak yang
dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Peran yang dilakukan oleh DJP dalam
mengumpulkan uang negara dilakukan dengan beberapa fungsi yaitu pelayanan,
pengawasan dan penegakan hukum. Pada ranah penegakan hukum sebagai
konsekuensi sistem perpajakan yang menggunakan sistem self assessment maka DJP
dalam hal ini berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.1 Selanjutanya tata cara
1
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Fokus pemeriksaan sektor usaha yang memiliki beberapa parameter yaitu tingkat
kepatuhan yang rendah, kontribusi signifikan terhadap perekonomian, kontribusi
signifikan terhadap penerimaan pajak, memiliki likuiditas keuangan yang bagus agar
hasil pemeriksaan dapat dibayar dan memiliki tingkat pertumbuhan yang pesat. Tingkat
kepatuhan yang rendah dapat dilihat dari catatan laporan bulanan dan tahunan.
Kontribusi signifikan terhadap perekonomian dapat dilihat pada APBN. Tingkat likuiditas
dapat dilihat pada laporan keuangan yang biasannya dipublikasikan juga di media
massa.
2 Ibid, pasal 30
2
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
disamping ada fokus jenis usaha yang menjadi prioritas maka ada juga skala prioritas
dari tahun pajak yang harus diperiksa yaitu tahun pajak yang sudah mendekati masa
daluarsa. Pemeriksaan yang dilakukan selalu mendasarkan pada Surat Pemberitahuan
(SPT) sehingga dalam rangka mengelola risiko ketidakpatuhan atas SPT yang akan
daluwarsa, maka ditetapkan rencana pemriksaan terhadap SPT Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak yang mendekati masa daluarsa.
Ketika ada kebutuhan mendasar tentang kompetensi yang diperlukan, maka langkah
yang paling segera untuk dilakukan adalah adanya program pendidikan dan pelatihan
(Diklat) yang tepat sasaran. Diklat yang telah dilakukan untuk pegawai yang baru masuk
di Direktorat Jenderal Pajak adalah Diklat Teknis Subtantif Dasar (DTSD). Selanjutnya
pegawai yang telah mengikuti DTSD bekerja selama kurang lebih dua tahun dan akan
menduduki jabatan antara lain sebagai Account Representative (AR) dan Fungsional
Pemeriksa Pajak. Jabatan pemeriksa pajak memiliki fungsi sebagai penegak hukum
perpajakan dan juga berperan dalam penerimaan negara karena Wajib Pajak yang
diperiksa didahului dengan analisa resiko dengan prioritas yang akan menghasilkan
penerimaan negara cukup besar.
Rouda dan Kusy, Jr. mengkaitkan antara pengembangan SDM dengan manajemen
SDM sebagai: 1) berbagai aktivitas pengorganisasian proses pembelajaran dikelola
untuk perbaikan kinerja dan pertumbuhan pribadi dengan tujuan memperbaiki
pekerjaan, individu dan organisasi, 2) berbagai bidang pelatihan dan pengembangan,
pengembangan karir, dan pengembangan organisasi. Pengembangan SDM melalui
diklat sangat berkaitan dengan manajemen SDM karena akan meningkatkan kompetensi
dalam bidang system informasi dan riset SDM, hubungan industrial, bantuan karyawan,
kompensasi dan benefit, seleksi dan penempatan, sistem menajem kinerja, perencanaan
3
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
SDM dan disain pekerjaan dalam organisasi. Teori ini menggambarkan betapa antara
pengembangan SDM dengan manajemen SDM itu sendiri saling berpengaruh terlebih
lagi manajemen SDM meliputi di dalamnya proses pengembangan SDM dalam setiap
tahapannya. Manajemen SDM yang diawali dengan penerimaan pegawai yang
berkualitas akan memudahkan saat dilakukan proses pengembangan melalui pendidikan
dan pelatihan.
Peta Strategi MSDM yang telah dibangun adalah seperti pada Gambar berikut:
Dari Gambar 1 di atas terlihat bahwa sasaran akhir (ultimate goal) yang ingin dicapai dari
cetak biru Manajemen SDM adalah pegawai berkinerja prima (excellent performance
employee), dimana pegawai memiliki kompetensi tinggi, tingkat kepuasan tinggi, integritas
tinggi, serta budaya yang kuat.
Kompetensi merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat kinerja pegawai.
Kompetensi diartikan sebagai kombinasi antara keterampilan (skill), pengetahuan
(knowledge) dan sikap (attitude) yang tercermin melalui perilaku kinerja yang dapat diamati,
4
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
diukur dan dievaluasi. Dalam manajemen sumber daya manusia DJP, kompetensi menjadi
sasaran yang diukur dengan kesesuaian antara kompetensi pegawai dengan standar
kompetensi jabatan.
Kepuasan karyawan merupakan salah satu elemen penting untuk membangun kinerja
pegawai, mengingat kepuasan akan membangun motivasi pegawai dalam menjalankan
tugasnya sehingga produktivitas semakin meningkat. Melalui serangkaian strategi
manajemen SDM yang dijalankan, diharapkan SDM memiliki tingkat kepuasan yang tinggi,
baik kepuasan terhadap pekerjaan, kepuasan terhadap lingkungan kerja, serta kepuasan
terhadap kebijakan manajemen SDM.
Integritas (integrity) diartikan sebagai bentuk tindakan yang konsisten sesuai dengan nilai-
nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit
untuk melakukannya. Pegawai memiliki integritas tinggi menjadi salah satu sasaran strategis
manajemen SDM DJP mengingat proses bisnis di DJP memiliki potensi besar terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dapat dilakukan.
Budaya diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos, dan praktek-
praktek yang terus berlanjut yang dapat mengarahkan orang untuk berperilaku dalam upaya
memecahkan masalah. Nilai-nilai DJP (Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan
Kesempurnaan) harus menjadi acuan perilaku bagi seluruh sumberdaya manusia DJP dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan. Diharapkan seluruh jajaran DJP menjunjung tinggi nilai-
nilai tersebut dan mengaplikasikan dalam pelaksanan tugas sehingga dapat diperoleh kinerja
yang maksimal.
Sementara itu, untuk mencapai sasaran akhir pegawai berkinerja prima dimana pegawai
memiliki kompetensi tinggi, tingkat kepuasan tinggi, integritas tinggi dan budaya yang kuat,
fungsi Manajemen SDM yang dijalankan meliputi 14 (empat belas) bagian penting dengan
struktur sebagai berikut:
c) Organisasi SDM;
e) Perencanaan SDM;
5
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
i) Komunikasi Internal;
k) Manajemen Kinerja;
m) Manajemen Karir;
Anderson dalam Arikunto memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil
yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya
tujuan. Sedangkan Stufflebeam, mengungkapkan bahwa evaluasi merupakan proses
6
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dari uraian di atas maka pengertian evaluasi dapat disintesiskan sebagai kegiatan untuk
mengumpulkan data dan diolah menjadi informasi tentang suatu proses yang selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan.
Jadi, pada dasarnya evaluasi adalah proses yang bertujuan mengemas informasi untuk
pengambilan keputusan melalui pencarian nilai dan kegunaan dari objek yang dievaluasi,
karenanya jika evaluasi yang dilakukan adalah untuk mengevaluasi program/kebijakan yang
menjadi objek evaluasi, maka evaluasi dilakukan untuk mencari nilai dan atau kegunaan dari
sebuah program/kebijakan. Berbagai cara pandang tentang evaluasi ini memberikan
gambaran penulis untuk merumuskan tersendiri makna evaluasi yaitu sebagai sekumpulan
kegiatan yang disusun secara sistematis meliputi kegiatan mengumpulkan dan menganalisis
data untuk menghasilkan informasi yang diperlukan untuk pertimbangan pengambilan
keputusan mengenai efektifitas dan keberlanjutan program/kegiatan yang dievaluasi melalui
kriteria-kriteria tertentu. Kriteria yang dirumuskan untuk kepentingan evaluasi yang akan
dilaksanakan menjadi sangat penting untuk dapat menentukan kebaikan dan kelebihan dari
program/objek yang diteliti.
Ketika membahas evaluasi program, maka setelah mendefiniskan arti kata “evaluasi”
langkah selanjutnya adalah mendefinisikan arti kata “program”. Istilah “program” dapat
diartikan dalam dua pengertian yaitu pengertian secara umum dan pengertian secara khusus.
Pengertian secara umum dapat diartikan bahwa program adalah sebuah bentuk rencana
yang akan dilakukan. Apabila “program” dikaitkan langsung dengan evaluasi program maka
program didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi dari kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi
dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Namun dapat juga diartikan
secara umum, bahwa program adalah “rencana” atau “aplikasi”. Contohnya, jika seorang
pegawai senior ditanya, apa program setelah pensiun nanti maka program di sini berarti
“rencana” setelah masa pensiun nanti. Secara umum program juga berarti “aplikasi” misalkan
seorang pegawai yang sedang mengetik menggunakan komputer lalu ditanya oleh pegawai
yang duduk disebelahnya, sedang menggunakan program apa di komputer, maka program
dalam kontek ini adalah “aplikasi”.
Pada bahasan tulisan ini studi kasusnya menggunakan program diklat fungsional
pemeriksa dasar tahun anggara 2014. Pertimbangannya adalah pada tahun ini hanya ada
satu angkatan sementara tahun anggaran 2013 ada tujung angkatan dan tahun 2015 ada
7
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
enam angkatan. Tahun 2014 mudah mengambil sampel karena memang hanya ada satu
angkatan dan tidak ada pilihan angkatan lain untuk dijadikan studi kasus.
Sumber data yang diambil berasal dari observasi, wawancara dengan pengajar,
wawancara dengan pegawai di Bidang Evaluasi dan Pelaporan, dan data skunder berupa
laporan kinerja program diklat fungsional pemeriksa dasar tahun anggaran 2014.
Penelitian dokumen berupa kalender diklat tahun 2014 dan wawancara dengan pihak
perencanaan dan pengembangan program diketahui bahwa penentuan waktu
penyelenggaraan diklat menggunakan basis kalender tahun sebelumnya yaitu tahun 2013
karena penyusunan kalender diklat di Pusdiklat Pajak sudah disesuaikan dengan siklus
pekerjaan di unit kerja DJP. Siklus pekerjaan di lapangan dimaksud adalah kegiatan tahunan
penerimaan SPT Pajak Penghasilan Tahunan yaitu pada bulan Maret untuk penerimaan SPT
PPh Orang Pribadi dan bulan April untuk untuk SPT PPh Wajib Pajak Badan Usaha.
Perubahan jadwal kalender diklat tidak ada perubahan yang signifikan, kecuali perubahan
pada skala prioritas sasaran diklat. Jika pada tahun 2013 terdapat tujuh angkatan diklat
fungsional pemeriksa dasar, maka pada tahun 2014 hanya ada satu angkatan. Hal ini
dikarenakan pada tahun 2014 Pusdiklat Pajak sedang fokus pada pendidikan dan pelatihan
pegawai baru sehingga yang diprioritaskan adalah Diklat Teknis Substantif Dasar yaitu
pendidikan dasar perpajakan yang ditujukan kepada para pegawai baru yang baru masuk
atau baru diterima di Direktorat Jenderal Pajak.
Perencanaan penggunaan sarana dan prasarana diklat fungsional pemeriksa dasar tahun
pajak 2014 tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena sudah terstandar dan sudah
berjalan lancar. Demikian juga untuk penggunaan anggaran program berdasarkan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Tabel 4.9
Penyelenggaraan Diklat Fungsional Dasar Tahun Anggaran 2014
No. IDENTIFIKASI KETERANGAN
1. Nomor DIPA 015.11.1.670142/2014
2. Tanggal Pengesahan 05 Desember 2013
3. Tanggal Pelaksanaan 9 Juni 2014 s.d 14 Juni 2014
4. Kuasa Pengguna Anggaran Kepala Pusdiklat Pajak
5. Jumlah Pengajar 10 Orang
6. Jumlah Jam Pelatihan 58 jamlat/6 hari
7. Lokasi Penyelenggaraan Pusdiklat Pajak
Jl. Sakti Raya No.1,
Kemanggisan, Jakarta Barat
Sumber: Laporan Kinerja Diklat Fungsional Pajak Tk Dasar 2014
8
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Biaya program diklat fungsional pemeriksa pajak tidak termasuk biaya perjalanan dinas
peserta. Biaya perjalanan dinas dibebankan pada unit masing-masing peserta berasal.
Komponen biaya terbesar dialokasikan untuk anggaran konsumsi peserta diklat.
9
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
D. Kesimpulan
Hasil evaluasi program diklat fungsional pemeriksa pajak tingkat dasar tahun
anggaran 2014 telah sesuai dengan cetak biru manajemen sumber daya manusia
Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini dibuktikan telah adanya korelasi yang digambarkan
secara diskriptif antara empat kriteria evaluasi dengan proses dan hasil yang telah
dicapai dalam program.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
10
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pendahuluan
Secara sederhana teknologi dapat didefinisikan sebagai suatu cara atau metode untuk
memanfaatkan pengetahuan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya,
antara teknologi dan pengetahuan ternyata memiliki ketergantungan yang saling mendorong
untuk berkembang. Artinya, laju perkembangan teknologi memiliki ketergantungan terhadap
stok pengetahuan yang tersedia, sementara laju akumulasi pengetahuan juga tergantung
pada tingkat teknologi yang dikuasai.
Dalam konteks pembangunan secara luas, penguasaan teknologi oleh suatu negara
memiliki korelasi yang kuat dengan kemajuan pembangunan dari negara tersebut. Dalam
pengamatannya terhadap 75 negara periode 2000-2004, Fagerberg dan Srholec (2008)
menemukan bahwa negara dengan penguasaan teknologi yang tinggi cenderung memiliki
tingkat pendapatan per kapita yang tinggi pula.
Kenyataan inilah barangkali yang menjadi salah satu pendorong bagi hampir seluruh
negara di dunia untuk mengejar ketertinggalan teknologinya. Pada kenyataannya, sebagian
besar negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, tingkat penguasaan teknologinya
masih tergolong rendah. Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab dari rendahnya
penguasaan teknologi di negara-negara berkembang. Salah satunya seperti yang
dikemukakan oleh Miah dan Omar (2011) adalah keterbatasan akses dan infrastruktur.
11
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi
ketertinggalan teknologinya adalah dengan memperbaiki infrastruktur internetnya. Pilihan ini
merupakan pilihan yang rasional, mengingat kemajuan teknologi internet memungkinkan
interkoneksi antar wilayah menjadi semakin mudah dan murah. Sehingga selain dapat
memudahkan dunia usaha dalam melakukan komunikasi dan eksekusi program kerjanya,
teknologi internet juga memungkinkan dunia ilmu pengetahuan untuk mempercepat
perkembangannya.
Tulisan berikut akan mencoba menyajikan berbagai tantangan yang dihadapi oleh
Widayaiswara dalam menghadapi perkembangan teknologi. Tulisan akan dibagi ke dalam
beberapa bagian. Setelah pendahuluan ini akan diuraikan metodologi yang digunakan, sekilas
perkembangan teknologi informasi dan teknologi pembelajaran, teori determinisme teknologi
dan tantangan yang dihadapi widyaiswara.
12
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Metodologi
Tulisan ini disusun dengan sepenuhnya memanfaatkan berbagai literatur dan data yang
tersedia di internet. Sedangkan kerangka pikir yang digunakan adalah teori determinisme
teknologi yang dikemukakan oleh McLuhan yang pada intinya menyebutkan bahwa teknologi
akan mempengaruhi cara berkomunikasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi cara
berpikir dan berperilaku dalam masyarakat. Artinya, cara berpikir dan beperilaku di dalam
masyarakat akan sangat tergantung dari teknologi yang tersedia dan dikuasai.
Roser (2016) menengarai bahwa perkembangan cepat teknologi komputer seperti yang
diprediksi oleh hukum Moore telah terjadi. Hukum Moore menyatakan bahwa banyaknya
transitor dalam suatu sirkuit terintegrasi (integrated circuit, IC) akan berlipat dua setiap dua
tahun. Hukum yang dikemukakan oleh Gordon E. Moore pada tahun 1965 ini pada dasarnya
menyatakan bahwa komputer yang ukurannya sangat besar (pada waktu itu) pada akhirnya
akan mengecil karena semakin banyak transitor yang diperlukan yang dapat dikemas dan
diintegrasikan dalam satu IC.
Menurut pengamatan Roser, perkembangan seperti yang diramalkan oleh Moore ternyata
tidak hanya terjadi dalam hal kapasitas IC yang semakin besar, akan tetapi dalam berbagai
aspek lain juga berlaku hal yang sama. Kapasitas komputer mengalami perkembangan cepat,
hal ini terutama kapasitas transitor dalam CPU komputer yang juga mengalami
perkembangan cepat. Kapasitas transitor CPU yang pada tahun 1970an baru sekitar 2.300
telah menjadi sekitar 2,6 milyar pada tahun 2011. Kemampuan untuk melakukan komputasi
juga melaju sangat cepat. Kemampuan komputasi pada tahun 1950an baru sekitar 100
penghitungan per detik, tatapi pada tahun 2010 kemampuannya telah mencapai sekitar 1
trilyun hitungan per detik. Dalam hal harga dan kualitas, komputer juga menunjukkan
perkembangan yang sangat cepat. Harga komputer secara umum menjadi semakin murah
dengan kualitas yang semakin baik. Selain itu, penggunaan energi yang diperlukan untuk
bekerja dengan komputer juga menjadi semakin efisien. Salah satu perkembangan lain yang
13
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
menonjol adalah kemampuan penyimpanan yang semakin besar. Saat ini kapasitas media
penyimpan komputer telah berkembang pesat, dengan bentuk yang relatif lebih kecil media
penyimpan komputer saat ini ternyata memiliki daya tampung yang luar biasa besar dengan
kinerja yang relatif cepat dan harga relatif murah.
Tanpa disadari, berbagai perkembangan yang terjadi di dunia teknologi komputer telah
mempengaruhi cara kerja sebagian besar masyarakat saat ini. Komputer yang pada awalnya
merupakan kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, saat
ini telah menjangkau pengguna yang lebih luas.
Teknologi Pembelajaran
Kemajuan teknologi seperti telepon genggam, layanan jaringan sosial, dan komputer
personal telah mampu memberikan keleluasaan dan kendali terhadap individu dalam
memperoleh dan menggunakan informasi. Hal ini ternyata berpengaruh terhadap
perkembangan proses belajar mengajar. Penggunaan rekaman video, overhead projector,
dan pemanfaatan berbagai alat yang digunakan untuk membuat, berbagi dan berinteraksi
merupakan berbagai contoh aplikasi teknologi di dunia pendidikan.
Untuk dapat mengambil peran optimal dalam menghadapi lingkungan belajar yang telah
berubah, seorang Widyaiswara perlu memahami konteks interaksi yang terjadi dalam proses
belajar mengajar. Dalam konteks ini maka teknologi pembelajaran dapat dikelompokkan
menjadi:
14
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sebagai sumber informasi, misalnya materi ajar yang disimpan dalam bentuk teks,
video, atau gambar.
Sebagai alat pengolah informasi, seperti wiki, pemetaan konsep, dan sejenisnya.
Untuk melakukan simulasi, seperti pemodelan, lingkungan virtual dan sebagainya.
Sebagai alat bantu instruksional seperti ujian online, tutorial online, dan
sebagainya.
Sebagai alat komunikasi yang dimediasi, seperti email, diskusi, dan web
conferencing.
15
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Oleh karena semua peserta ajar yang dihadapi oleh Widyaiswara adalah orang dewasa,
maka pendekatan yang dianggap paling tepat dalam melakukan pengajaran adalah
pendekatan andragogi. Prinsip dalam pendekatan andragogi adalah:
Seorang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi dari instruksi
atau materi ajar yang dipelajari.
Pengalaman, termasuk kesalahan yang muncul, merupakan basis dalam kegiatan
pembelajaran.
Seorang dewasa paling tertarik untuk mempelajari subyek yang memiliki
keterkaitan kuat dengan pengalaman kerja atau pengalaman hidupnya.
Pembelajaran orang dewasa harus lebih berfokus pada masalah, bukan pada isi
pembelajarannya.
Akses yang masih rendah terhadap teknologi pembelajaran. Rendahnya akses ini
dapat bersumber dari ketiadaan infrastruktur seperti jaringan internet dan komputer
yang dapat dimanfaatkan oleh Widyaiswara dalam melakukan kegiatan belajar
mengajarnya.
16
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Untuk mengatasai hambatan pertama hanya dapat dilakukan melalui koordinasi dengan
lembaga tempat tugas Widyaiswara yang bersangkutan. Sedangkan untuk hambatan kedua,
diperlukan kemauan keras Widyaiswara untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua hambatan tersebut
adalah dengan memanfaatkan sumberdaya di luar institusi formal. Namun demikian
keberhasilan dari pendekatan ini sangat tergantung dari tingkat penguasaan teknologi dan
kemauan dari Widyaiswara yang bersangkutan. Artinya, Widyaiswara yang berusaha
mengimplementasikan teknologi pembelajaran baru harus memiliki ketrampilan yang
dibutuhkan sekaligus mampu memiliki akses terhadap sumber daya yang berada di luar
lembaganya.
Walaupun untuk jangka pendek pendekatan informal seperti ini mungkin dapat berhasil,
tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah, terutama yang menyangkut
kebijakan birokrasi. Oleh karena itu, pendekatan secara informal dalam
mengimplementasikan teknologi baru sebaiknya hanya digunakan sebagai pemicu, yang
kemudian diikuti dengan mencari dukungan dari organisasi. Dalam hal ini dua dukungan
utama yang diperlukan adalah penyediaan infrastruktur dan pengembangan kapasitas
Widyaiswara untuk mengadopsi teknologi pembelajaran baru.
Hambatan lain yang mungkin akan muncul adalah yang terkait dengan kemajuan teknologi
komunikasi. Saat ini, dengan tersedianya fasilitas jaringan sosial yang semakin mudah, murah
dan terjangkau, komunikasi antar peserta dengan pengajar, dan komunikasi antar peserta
sendiri menjadi sangat mudah dilakukan. Hal ini menuntut Widyaiswara untuk menjadi lebih
kreatif dalam menyiapkan bahan ajarnya. Dalam hal ini kreativitas yang dimaksudkan adalah
untuk memanfaatkan berbagai teknologi yang tersedia seperti akses terhadap bahan audio
dan video. Widyaiswara dituntut untuk dapat menggunakan teknologi-teknologi seperti ini,
terutama untuk menjadikan bahan ajar yang disampaikan tetap menarik dan mampu
memotivasi peserta ajar untuk menguasai bahan ajar yang disampaikan.
Selain itu, dengan kemudahan akses ke berbagai sumber, Widyaiswara juga dituntut untuk
mampu mengubah mindset dari pengajar yang mengajarkan atau melatih sesuatu menjadi
peserta proses belajar mengajar atau menjadi fasilitator yang memungkinkan proses belajar
mengajar dapat berjalan secara lancar dan mencapai tujuan. Walaupun tampaknya mudah,
17
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
upaya ini perlu dilakukan secara serius, terutama untuk dapat menerima masukan dari seluruh
peserta ajar.
Kesimpulan
Perkembangan teknolgi yang cepat telah ikut pula mendorong perkembangan teknologi
pembelajaran. Proses belajar mengajar yang secara tradisional dilakukan melalui tatap muka
di dalam kelas, sekarang sudah dapat dilakukan secara daring (online). Perkembangan
teknologi ini ternyata menimbulkan tantangan tersendiri bagi para Widyaiswara dalam
menyajikan bahan ajar kepada para peserta. Untuk mampu bertahan dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya, Widyaiswara dituntut untuk mampu mengadopsi teknologi
pembejaran baru. Dua dukungan utama yang diperlukan dalam hal ini adalah memiliki
ketrampilan yang cukup untuk menggunakan teknologi pembelajaran baru dan dukungan
infrastruktur agar dapat mengakses teknologi tersebut.
Daftar Pustaka
Heidegger, M., (1954). The question concerning technology. Technology and values:
Essential readings, pp.99-113.
Miah, M., Omar, A. (2011). Digital age: Technology progress in developing countries. 2011
ISECON Proceeding Information Systems Educators Conferences, Wilmington North
Carolina, USA.
Nordhaus, W. D. (2001). The progress of computing. Diakses tanggal 10 Maret 2016 dari
http://aida.econ.yale.edu/~nordhaus/homepage/prog_030402_all.pdf.
Siemens, G. and Tittenberger, P., (2009). Handbook of emerging technologies for learning.
Manitoba, Canada: University of Manitoba.
18
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: Performance appraisal of civil servants, which is stipulated in PP No. 46 - 2011 and
Perka BKN No. 1- 2013, differentiate performance appraisal of civil servants in terms SKP and
work behavior. SKP assessment methods still pose problems when applied in measuring the
performance of widyaiswara. This problem arises because failed to use credit scoring as a
measure of performance. This paper offers three alternatives to improve performance
measurement methods. First, the weighted average method, with credit scoring as a factor
weighing. Second, using the average of the issuing activities were not implemented. Third,
using the ratio of total credit scoring as a multiplier. Of the three alternatives, the third alternative
is rated as the most appropriate method.
Pendahuluan
Karyawan merupakan bagian penting dari sebuah organisasi. Kualitas organisasi akan
sangat ditentukan oleh kualitas karyawan yang tergabung di dalamnya. Naik atau turunnya
kinerja karyawan juga akan berdampak langsung kepada kinerja organisasi. Oleh sebab itu,
perhatian terhadap kinerja karyawan menjadi bagian penting dalam rangka meningkatkan
kinerja organisasi.
Menurut Mangkunegara (2001), istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual
performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Kinerja
atau yang sering diistilahkan dengan prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Namun ada pula ahli yang memiliki pandangan bahwa terdapat perbedaan antara kinerja
dengan prestasi kerja, meskipun kedua istilah ini berasal dari kata yang sama yaitu
19
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
performance. Jika ditelaah lebih lanjut, arti prestasi kerja yaitu merupakan hasil yang dicapai
seseorang dalam bekerja. Sedangkan kinerja adalah hasil dari proses pekerjaan tertentu secara
terencana pada waktu dan tempat dari karyawan serta organisasi bersangkutan. Ukuran kinerja
dapat dilihat dari sisi jumlah dan mutu tertentu, sesuai standar organisasi atau perusahaan. Hal
itu sangat terkait dengan fungsi organisasi atau pelakunya. Bentuknya dapat bersifat tangible
dan intangible, tergantung kepada bentuk dan proses pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Kinerja
dapat dilihat dari proses, hasil dan outcome (Mangkuprawira dan Vitayala, 2007).
Untuk memantau kinerja karyawan, dibutuhkan alat ukur yang sensitif terhadap kinerja
karyawan yang bersangkutan. Pada saat kinerjanya baik, maka alat ukur ini akan menunjukkan
nilai yang baik, begitu pula sebaliknya. Penggunaan alat ukur yang tepat akan dapat
memberikan peringatan dini (early warning) bagi pimpinan organisasi apabila terjadi penurunan
kinerja, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah antisipasi agar penurunan kinerja karyawan
ini tidak berpengaruh pada kinerja organisasi. Sebaliknya, apabila alat ukur kinerja tidak handal,
maka akan berdampak buruk bagi organisasi. Dampak yang semakin serius bahkan dapat
terjadi bila alat ukur tersebut salah dalam mengukur kinerja karyawan.
Sebagai bagian dari karyawan, secara berkala, Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga dinilai
kinerjanya. Penilaian kinerja ini dikenal dengan nama Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri
Sipil (PPK-PNS). Mekanisme pelaksanaan PPK-PNS ini diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 46 Tahun 2011, dan ketentuan pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Kepala
Badan Kepegawaian Nasional Nomor 1 Tahun 2013. Penilaian prestasi kerja merupakan suatu
proses rangkaian manajemen kinerja yang berawal dari penyusunan perencanaan prestasi
kerja yang berupa Sasaran Kerja Pegawai (SKP), penetapan tolok ukur yang meliputi aspek
kuantitas, kualitas, waktu, dan biaya dari setiap kegiatan tugas jabatan.
Penilaian prestasi kerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang
dilakukan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem
prestasi kerja. Dalam peraturan perundangan di atas dijelaskan bahwa prestasi kerja adalah
hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS pada satuan organisasi sesuai dengan sasaran kerja
pegawai (SKP) dan perilaku kerja. Artinya, terdapat dua komponen dalam penentuan prestasi
kerja PNS; pertama adalah penlaian SKP dan kedua adalah penilaian perilaku kerja. SKP
adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS, sedangkan perilaku kerja
20
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
merupakan tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh PNS. Bobot masing-masing
komponen adalah 60 persen untuk penilaian SKP dan 40 persen untuk penilaian perilaku kerja.
Aturan tentang besaran nilai untuk masing-masing komponen juga berbeda. Nilai untuk
komponen penilaian SKP boleh melebihi 100, sedangkan untuk perilaku kerja nilainya maksimal
100.
Penilaian SKP dilakukan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target.
Penilaian tersebut meliputi kuantitas, kualitas, waktu dan biaya dari kegiatan yang telah
dilakukan oleh PNS yang bersangkutan. Kuantitas merupakan ukuran jumlah atau banyaknya
hasil kerja yang dicapai, sedangkan kualitas menunjukkan ukuran mutu dari setiap hasil kerja
yang dicapai. Waktu merujuk kepada lamanya proses setiap hasil kerja yang dicapai, dan biaya
adalah besaran jumlah anggaran yang digunakan setiap hasil kerja.
Aspek kuantitas :
Aspek kualitas :
Aspek waktu :
Aspek biaya :
21
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Permasalahan
Peraturan tentang penilaian prestasi kerja PNS mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014.
Disebutkan sebelumnya, penilaian prestasi kerja PNS terdiri dari dua komponen, penilaian SKP
dan penilaian perilaku kerja. Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang penilaian SKP,
khususnya untuk widyaiswara.
Aturan penilaian prestasi kerja berlaku untuk seluruh PNS, baik yang berstatus sebagai
pejabat struktural, fungsional tertentu ataupun fungsional umum. Perbedaan yang paling
mendasar dari ketiga jenis jabatan tersebut adalah adanya kolom angka kredit (AK) bagi PNS
yang berstatus pejabat fungsional tertentu. Penggunaan kolom angka kredit ini tentunya terkait
dengan ukuran kinerja untuk pejabat fungsional tertentu, termasuk widyaiswara. Berdasarkan
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 22 tahun 2015, disebutkan bahwa
penilaian angka kredit jabatan fungsional widyaiswara merupakan proses untuk mengukur
kinerja widyaiswara.
Adanya kolom angka kredit dalam tabel penghitungan penilaian prestasi kerja, ternyata
tidak dimanfaatkan secara langsung dalam menentukan kinerja pejabat fungsional tertentu.
Angka kredit hanya dipergunakan pada saat penyusunan SKP, namun tidak pada saat penilaian
prestasi kerja. Tidak dipergunakannya kolom angka kredit dalam penghitungan prestasi kerja,
berpotensi menimbulkan permasalahan. Potensi masalah tersebut akan dijelaskan dalam
ilustrasi berikut.
Tabel 1. Ilustrasi Sasaran Kerja Pegawai (SKP) Tahun X
TARGET
NO I. Kegiatan Tugas Jabatan AK
Kuant/ Output Kual/Mutu Waktu Biaya
1 2 3 4 5 6 7
Bahan
1 Menyusun Bahan tayang 7.20 12 100 12 bulan -
tayang
RBPMD
2 Menyusun GBPP/RBPMD dan SAP/RP 7.20 12 100 12 bulan -
dan RP
JUMLAH 50.66
22
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Penilaian prestasi kerja, dimulai dari penyusunan rencana kerja yang dikenal dengan SKP.
Bagi pejabat fungsional tertentu, penyusunan SKP mengacu pada jumlah angka kredit yang
diharapkan. Misalkan seorang widyaiswara ahli madya merencanakan pengumpulan angka
kredit pada satu tahun minimal sebesar 50 poin. Untuk mencapai rencana tersebut,
widyaiswara yang bersangkutan kemudian merinci kegiatan dengan kegiatan yang bersesuaian
dengan rincian kegiatan widyaiswara. Hasil akhir dari rencana tersebut dituangkan dalam SKP
seperti pada Tabel 1. Dalam penyusunan SKP dimungkinkan kolom biaya tidak terisi.
Dalam pelaksanaan SKP, tentu ada dua kemungkinan, sesuai dengan rencana atau tidak
sesuai dengan rencana. Pada kemungkinan yang pertama, widyaiswara tersebut berarti mampu
merealisasikan seluruh rencana yang telah disusun. Mengacu kepada aturan tentang penilaian
prestasi kerja, maka widyaiswara yang bersangkutan akan mendapatkan penilaian SKP
sebesar 94,00 (Tabel 2)
Pada kemungkinan yang kedua, artinya terjadi perbedaan antara rencana dengan realisasi.
Perbedaan ini tentunya ada yang berarti positif berupa peningkatan kinerja, atau negatif berupa
23
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
penurunan kinerja. Kembali kepada ilustrasi SKP widyaiswara yang telah disusun di atas.
Dalam SKP, widyaiswara tersebut merencanakan membuat satu makalah yang akan disajikan
dalam pertemuan ilmiah. Dalam pelaksanaannya, makalah yang disajikan tersebut juga
diterbitkan dalam jurnal ilmiah nasional yang tidak terakreditasi. Perubahan ini mengakibatkan
terjadinya perbedaan antara SKP dengan realisasinya. Pada kegiatan ke-6 (membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal ilmiah nasional tidak terakreditasi) kuantitasnya meningkat dari 2 artikel
menjadi 3 artikel. Sedangkan kegiatan-7 (membuat makalah dalam pertemuan ilmiah)
kuantitasnya menurun, dari 1 makalah menjadi tidak ada makalah. Perbedaan ini berakibat
pada berubahnya angka kredit yang diperoleh, dari 50,66 poin menjadi 53,16 poin (Tabel 3).
Jika mengacu pada perolehan angka kredit, maka perbedaan SKP dengan realisasinya ini
menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja.
Selain berdampak pada angka kredit, perbedaan pada pelaksanaan kegiatan ini tentunya
juga akan berdampak pada penilaian SKP. Mengacu pada rumusan penilaian SKP dalam Perka
BKN Nomor 1 tahun 2013, apabila ada kegiatan yang kuantitasnya tidak ada (nol), kegiatan
24
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
tersebut tetap diperhitungkan dalam penghitungan penilaian SKP, dengan nilai capaian yang
juga “nol”. Dengan menerapkan aturan tersebut pada kasus di atas, maka penilaian SKP
widyaiswara yang bersangkutan adalah sebesar 82,95 (Tabel 3). Nilai ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan penilaian SKP pada Tabel 2 (94,00), atau mengindikasikan terjadinya
penurunan kinerja. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan aturan yang menyatakan bahwa
penilaian angka kredit merupakan ukuran kinerja bagi widyaiswara.
Dua ilustrasi penilaian SKP di atas menunjukkan bahwa aturan tentang penilaian
prestasi kerja PNS yang berlaku saat ini belum mampu memberikan penilaian kinerja yang
komprehensif untuk fungsional tertentu, khususnya widyaiswara. Formula penghitungan dapat
menghasilkan nilai prestasi yang lebih rendah, walaupun jumlah angka kredit yang diperoleh
lebih tinggi dari rencana yang telah disusun. Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan aturan
lain yang menyatakan bahwa angka kredit merupakan proses dalam menentukan kinerja
widyaiswara.
Penilaian SKP melibatkan empat aspek, yaitu kuantitas, kualitas, waktu dan biaya. Bagi
PNS yang memiliki posisi sebagai pejabat struktural dan fungsional umum, empat aspek
tersebut dianggap telah cukup sebagai elemen dalam mengukur kinerjanya. Namun untuk PNS
yang menjadi fungsional tertentu, empat aspek tersebut dianggap masih belum cukup. Kinerja
fungsional tertentu harus melibatkan satu aspek lagi, yaitu angka kredit. Bagi seorang
fungsional tertentu, jenjang jabatan ditentukan oleh angka kredit yang diperoleh. Sehingga
perolehan angka kredit menjadi pertimbangan utama dalam kenaikan pangkat, yang pada
dasarnya menunjukkan kinerja dari pejabat fungsional tertentu. Absennya angka kredit sebagai
komponen penilaian SKP menjadi penyebab utama kasus di atas, seseorang dengan angka
kredit lebih tinggi namun memiliki penilaian prestasi yang lebih rendah.
Mengantisipasi terjadinya kondisi seperti ini, maka perlu disusun formula baru dalam
penilaian SKP bagi PNS yang menjadi fungsional tertentu. Formulasi yang akan disusun
tentunya dengan menggunakan angka kredit sebagai salah satu instrumen penilaian. Tulisan ini
menuliskan beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam menyusun formula tersebut.
Keseluruhan alternatif diupayakan untuk menghasilkan nilai yang sama dengan Tabel 2 (94,00)
25
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
jika seluruh angka kredit realisasi sama dengan SKP dan memiliki nilai yang lebih tinggi dari
94,00 bila yang terjadi angka kredit realisasi lebih besar dari SKP.
Alternatif 1
Alternatif pertama adalah menggunakan capaian angka kredit pada masing-masing kegiatan
sebagai penimbang untuk menghasilkan nilai capaian SKP. Metode ini hanya melakukan
modifikasi pada penghitungan capaian SKP. Pada aturan yang berlaku saat ini, penghitungan
SKP merupakan rata-rata (mean) dari capaian seluruh kegiatan. Metode yang ditawarkan
sebagai alternatif 1 adalah mengubah metode rata-rata biasa menjadi rata-rata tertimbang.
Alternatif 1 ini menghasilkan nilai capaian SKP sebesar 98,70.
26
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Alternatif 2
Pada alternatif kedua, rumusan yang digunakan dalam penilaian SKP masih tetap
menggunakan rumusan pada Perka BKN Nomor 1 tahun 2013, namun dengan menambahkan
perlakuan khusus bila angka kredit yang dicapai melebihi angka kredit yang direncanakan. Bila
angka kredit yang dicapai lebih tinggi dari target, maka kegiatan yang kuantitasnya “nol” tidak
diikutsertakan dalam penghitungan rata-rata untuk mendapatkan nilai capaian SKP. Dengan
metode ini, nilai capaian SKP yang dihasilkan adalah 96,78.
Alternatif 3
Alternatif tiga memiliki dasar pemikiran yang lebih kompleks. Angka kredit dan kuantitas
kegiatan pada dasarnya adalah dua aspek yang menjelaskan hal yang sama. Angka kredit
diperoleh dengan mengalikan kuantitas kegiatan dengan besaran angka kredit pada masing-
masing kegiatan. Jika kedua aspek ini dipergunakan secara bersamaan dalam menghitung
kinerja, maka akan terjadi penghitungan ganda (double accounting) dalam penilaian kinerja.
27
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Oleh sebab itu, pada alternatif ketiga ini yang dipergunakan dalam menghitung kinerja hanya
aspek angka kredit, tanpa mengikutkan kuantitas. Aspek penilaian SKP yang lain (kualitas,
waktu dan biaya) tetap dipergunakan. Dengan demikian, penilaian SKP untuk fungsional
tertentu diukur dari aspek angka kredit, kualitas, waktu dan biaya. Kegiatan yang kuantitasnya
“nol” tidak diikutsertakan dalam penghitungan capaian SKP.
Untuk dapat menggabungkan keempat aspek tersebut, pada tahap pertama dilakukan
penghitungan capaian dari aspek kualitas, waktu dan biaya. Hasilnya kemudian dikalikan
dengan rasio antara angka kredit yang dicapai dengan angka kredit yang ditargetkan. Dalam
kasus di atas, dengan rasio angka kredit sebesar nilai capaian 1,05, maka nilai capaian SKP
yang diperoleh adalah sebesar 95,49.
28
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kesimpulan
Metode pengukuran kinerja yang tepat akan berdampak positif bagi organisasi, sebaliknya
metode yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif. Aturan yang menjadi acuan dalam
pengukuran kinerja widyaiswara, dinilai masih belum mampu mengukur kinerja widyaiswara
secara komprehensif. Tulisan ini menawarkan tiga alternatif untuk memperbaiki metode yang
dipergunakan saat ini. Dari tiga alternatif tersebut, alternatif ketiga dinilai tepat untuk menjadi
acuan dalam penilaian kinerja widyaiswara. Pematangan metode ini tentunya masih perlu
dilakukan, untuk mendapatkan cara pandang dari perspektif yang berbeda. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat keputusan dalam mengevaluasi dan merevisi
aturan yang ada.
Daftar Pustaka
Mangkuprawira, Tb. S. dan A.V. Hubeis. 2007. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. Ghalia
Indonesia, Bogor
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri
Sipil
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Nasional Nomor 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi
Kerja Pegawai Negeri Sipil
29
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
RENCANA STRATEJIK
DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
(STUDI KASUS APLIKASI RENCANA STRATEJIK KOTA MAKASSAR DI
KECAMATAN TAMALATE)
Abstrak
Latar Belakang
30
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
31
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
32
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Perencanaan stratejik terdiri dari dua unsur kata, yaitu kata perencanaan dan
stratejik. Menurut Siagian (1994 : 5) manajemen dapat didefinisikan sebagai
“kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka
pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain”. Selanjutnya,
Handayaningrat (1986 : 19) mengemukakan bahwa manajemen adalah suatu
kegiatan dengan cara memanfaatkan sumber-sumber yang tesedia (potensi) dalam
usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Terry (1986 : 25)
menggambarkan manajemen sebagai suatu proses kerja atau kerangka kerja yang
melibatkan orang atau sekelompok orang ke arah tujuan organisasi dengan
menerapkan fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pelaksanaan (actuating) serta pengawasan (controling).
Dalam proses manajemen, perencanaan merupakan fungsi yang pertama dan
sangat penting karena adanya perencanaan yang baik dapat menjamin terlaksananya
tindakanan selanjutnya yang baik pula tentunya sepanjang tidak terjadi
penyimpangan pada pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang lain. Siagian (1994 :
108) mengemukakan bahwa perencanaan adalah : “keseluruhan proses pemikiran
dan penetuan secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang
akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan”.
Terry (1986 : 163) mengemukakan bahwa perencanaan adalah tindakan
memilih dan menghubungkan fakta-fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-
asumsi mengenai masa yang akan datang yang dalam memvisualisasi serta
merumuskan aktivitas-aktivitas yang diusulkan yang diaanggap perlu untuk mencapai
hasil-hasil yang diinginkan. Perencanaan merupakan aktivitas menyusun hal-hal atau
apa saja yang akan dikerjakan atau dilakukan di masa yang akan datang. sekaligus
menentukan bagaimana cara melaksanakannya. Hasil atau wujud aktivitas itu disebut
rencana.
Dalam literatur Manajemen Pemerintahan yang dikeluarkan oleh Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia, perencanaan mengandung beberapa
pengertian antara lain sebagai proses penentuan tujuan, penentuan kegiatan dan
33
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
penentuan aparat pelaksana kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. Juga sebagai
proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu.
Suatu rencana dikatakan baik apabila :
1. Pertanyaan-pertanyaan what/which, why, when, where,who dan how dapat
terjawab saat menyusun rencana.
2. Dapat dilaksanakan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan
yang ada.
3. Pragmatis, yaitu didasarkan pada perhitungan-perhitungan konkret dan
perkiraan-perkiraan logis.
4. Dilaksanakan berkesinambungan sampai selesai sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan .
5. Fleksibel, dapat disesuaikan dengan keadaan tanpa mengurangi atau
menjauh dari sasaran.
6. Bersifat menyeluruh (komprehensif)
7. Memiliki skala prioritas.
Konsep mengenai perencanaan sering dijelaskan sebagai suatu proses analitis dalam
pengambilan keputusan dalam menentukan berbagai langkah dan tindakan terhadap
berbagai alternatif yang ada untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagaimana
diungkapkan oleh Watterson (Conyers,1991 : 4), perencanaan adalah, “usaha yang
secara sadar terorganisasi dan terus menerus dilakukan guna memilih alternatif yang
terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu”.
Lebih lanjut mengenai perencanaan dikemukakan oleh Soekartawi (1990 : 4),
bahwa, perencanaan berarti “memilih berbagai alternatif yang ada”. Artinya dari
sekian banyak alternatif, maka perlu dipilih perencanaan yang didasarkan pada aspek
skala prioritas. Alternatif mana yang perlu dilaksanakan terlebih dahulu dan aktivitas
mana yang pelaksanaannya dapat ditangguhkan pada masa atau waktu berikutnya.
Memilih alternatif memang bukan pekerjaan yang mudah. Karena, hal ini menyangkut
kepentingan banyak keinginan dari berbagai lapisan masyarakat. Sehubungan
dengan hal tersebut maka dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur perencanaan yaitu :
a. Adanya tujuan yang ingin dicapai;
b. Memiliki sumber yang tersedia baik berupa dana, tenaga, metode maupun
peralatan dan sebagainya.
Mempunyai jadwal kerja yang merupakan dasar bagi pengaturan aktivitas
perencanaan guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Perencanaan (planning)
34
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
merupakan fungsi yang pertama dan bahkan yang sangat utama dalam setiap
aktivitas-aktivitas manajamen atau administrasi. Perencanaan merupakan dasar,
landasan atau titik tolak dalam melaksanakan tindakan-tindakan administratif
(administrative action). Dalam tahap perencanaan dirumuskan dan ditetapkan seluruh
aktivitas-aktivitas administrasi atau manajemen.
Silalahi (2000 : 167) mengemukakan beberapa tujuan perencanaan, yaitu : (1)
Perencanaan adalah jalan atau cara untuk mengantisipasi dan merekam perubahan
(a way to anticipate and offset change); (2) Perencanaan memberikan pengarahan
(direction) kepada administrator-administrator maupun non administrator; (3)
Perencanaan juga dapat menghindari atau setidak-tidaknya memperkecil atau
tumpang tindih dan pemborosan (wasteful) pelaksanaan aktivitas-aktivitas; (4)
Perencanaan menetapkan tujuan-tujuan dan standar-standar yang akan digunakan
untuk memudahkan pengawasan.
Sasaran kegiatan perencanaan adalah merumuskan dan menetapkan tujuan
yang akan dicapai dan pelaksanaan kegiatan pencapaian tujuan. Hal ini berarti
bahwa tujuan yang direncanakan merupakan landasan, dasar atau tolok ukur
penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan. Oleh sebab itu tujuan yang hendak
dicapai harus dirumuskan dan diketahui dengan jelas sehingga rencana yang bersifat
operasional atau kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dengan
mudah dapat dirumuskan.
Silalahi (2000 : 168) menyatakan bahwa :
perencanaan merupakan landasan atau kunci pokok pelaksanaan fungsi dan
kegiatan manajemen sebab : (1) Perencanaan memberikan arah kepada
administrator atau manajer atau non administrator atau manajer; (2)
Perencanaan merupakan cara untuk mengantisipasi perubahan; (3)
Perencanaan merupakan pusat tujuan organisasi; (4) Perencanaan dapat
menjaga agar kegiatan tidak tumpang tindih, menjaga kontinuitas tindakan,
menghindari pemborosan; (5) Tujuan dan standar yang direncanakan dapat
digunakan untuk memudahkan evaluasi dan pengawasan fasilitas; (6)
Membantu usaha penghematan biaya dengan adanya pemusatan perhatian;
dan (7) Membantu kelancaran pengambilan keputusan oleh semua tingkat
pejabat secara unit atau sektoral atau departemental.
35
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
setiap organisasi (Salusu, 2000 : 6). Lebih lanjut oleh Hatten dan Hatten (Salusu,
2000 : 6) menegaskan bahwa intisari dari konsep stratejik dapat diringkaskan dalam
dua istilah, yaitu kompetensi distinktif (distinctive competence) dan keunggulan
kompetitif (compatitive advantage) atau ada juga yang menyebutnya keunggulan
daya saing.
Perencanaan stratejik (strategic planning) merupakan bagian yang esensial
dari manajemen stratejik karena perencanaan stratejik merupakan aspek utama
manajemen stratejik dan dapat dianggap sebagai pilar sentral manajemen stratejik
(Tunggal, 1993 :152). Intisari dari suatu perencanaan stratejik adalah kemungkinan
untuk pengenalan sistematis dari peluang-peluang dan ancaman-ancaman di masa
yang akan datang, yang dengan pilihan langkah-langkah yang lebih tepat akan lebih
menguntungkan perusahaan.
Beberapa ciri khas dari proses perencanaan stratejik adalah : (1)
Perencanaan menyangkut jangkauan masa depan dari keputusan-keputusan yang
dibuat sekarang; (2) Perencanaan stratejik adalah usaha sistematis formal untuk
menggariskan wujud utama dari organisasi, sasaran-sasaran, kebijakan-kebijakan
dan strategi-strategi untuk tercapainya sasaran-sasaran dan wujud utama tersebut;
(3) Proses perencanaan stratejik adalah sarana mengambil keputusan yang paling
penting. Di sinilah tujuan dan arah dasar ditentukan; (4) Proses perencanaan stratejik
merupakan suatu kegiatan manajemen puncak yang berlangsung terus-menerus; (5)
Perencanaan stratejik merupakan suatu struktur perencanaan yang mengintegrasikan
rencana stratejik dan rencana operasional jangka panjang; (6) Perencanaan stratejik
merupakan suatu proses menentukan terlebih dahulu mengenai apa yang dilakukan,
kapan dilakukan dan cara bagaimana melakukan dan siapa yang akan melakukan;
(7) Proses perencanaan stratejik menghasilkan sebuah dokumen tertulis atas basis
berkala; (8) Proses perencanaan stratejik merupakan sarana mengambil keputusan
yang paling penting; (9) Perencanaan stratejik merupakan suatu sikap, way of life
(falsafah) artinya perencanaan meminta suatu kebiasaan dan keharusan untuk
bekerja berdasarkan pikiran-pikiran masa depan. Perencanaan stratejik merupakan
suatu proses berpikir latihan intelektual daripada perangkat proses/ prosedur, struktur
atau teknik yang telah ditentukan.
Menurut Tunggal (1993 : 153), “perencanaan stratejik tidak meramalkan
keputusan untuk masa yang akan datang. Perencanaan stratejik tidak berusaha
membuat ‘cetak biru’ (blue print) bagi masa yang datang. Perencanaan stratejik juga
bukan merupakan suatu metodologi atau bagan arus atau perangkat prosedur
36
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
37
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Internal analysis
Mission Vision Value
External analysis
Critical Strategic
Goal succes analysis & Asumption
factor choice
38
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
UU SPPN UU KN
39
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dengan demikian salah satu hal yang membedakan perencanaan stratejik dan
perencanaan konvensional adalah tingkat partisipasi masyarakat. Perencanaan
stratejik dalam konteks manajemen perkotaan disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penggalian ide/
gagasan hingga pengambilan keputusan untuk menjadi sebuah rencana stratejik
(Renstra).
40
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
41
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
42
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
1. Di tingkat Desa/Kelurahan
Musyawarah tahunan stakeholder desa/kelurahan (pihak yang berkepentingan untuk
mengatasi permasalahan desa/kelurahannya dan pihak yang akan terkena dampak
hasil musyawarah) untuk menyepakati rencana kegiatan tahun depannya.
Musrenbang Tahunan Desa/Kelurahan dilaksanakan dengan memperhatikan
rencana pembangungan jangka menengah desa/kelurahan, kinerja implementasi
rencana tahun berjalan serta masukan dari nara sumber dan peserta yang
menggambarkan permasalahan nyata yang sedang dihadapi. Masukannya yaitu
peta potensi dan permasalahan desa/kelurahan (peta kerawanan kemiskinan,
pengangguran, dll.); Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
desa/kelurahan; Hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan desa/kelurahan pada
tahun sebelumnya; Daftar prioritas masalah dari tingkat di bawah desa/kelurahan
dan kelompok-kelompok masyarakat di tingkat desa (misalnya: kelompok tani,
kelompok nelayan, dll).
Prosesnya yaitu pemaparan prioritas program/kegiatan untuk tahun berikutnya yang
berasal dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Desa/Kelurahan oleh Kepala Desa/Lurah; Pemaparan informasi tentang perkiraan
jumlah dana alokasi desa/kelurahan, oleh Kepala Desa; Pemaparan masalah utama
yang dihadapi oleh masyarakat kelurahan, oleh beberapa perwakilan dari
masyarakat misalnya: ketua kelompok tani, komite sekolah, kepala dusun, dll.
Keluarannya yaitu dokumen Rencana Kerja Pembangunan Desa/Kelurahan yang
berisi: kegiatan pembangunan skala desa/kelurahan yang akan didanai oleh alokasi
dana kabupaten/kota untuk desa dan atau swadaya. Kegiatan pembangunan yang
menjadi tanggung jawab Satuan Kerja Perangkat Daerah yang akan dibahas pada
Musrenbang tingkat kecamatan.
2. Di tingkat Kecamatan
Masukannya yaitu dokumen Rencana Kerja Pembangunan Tahunan dari masing-
masing Desa/Kelurahan; Daftar/nama-nama delegasi dari desa untuk mengikuti
Musrenbang tingkat Kecamatan. Daftar para wakil kelompok fungsional/asosiasi
warga, koperasi, NGO yang bekerja di kecamatan, atau organisasi tani/nelayan skala
kecamatan. Prosesnya yaitu pemaparan masalah dan prioritas kegiatan dari masing-
masing desa/kelurahan menurut fungsi/SKPD oleh Tim Penyelenggara Musrenbang
Tahunan Kecamatan : verifikasi oleh delegasi desa/kelurahan untuk memastikan
semua prioritas kegiatan yang diusulkan oleh desa/kelurahan. Pembagian peserta
Musrenbang ke dalam kelompok pembahasan berdasarkan jumlah fungsi/SKPD atau
43
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
44
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Prosesnya yaitu Pemaparan Rancangan RKPD dan Prioritas dan Plafon anggaran
yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota oleh Kepala Bappeda; Pemaparan hasil
kompilasi prioritas kegiatan pembangunan dari Forum-Forum SKPD berikut dengan
plafonnya oleh Ketua Tim Penyelenggaran; Verifikasi hasil kompilasi oleh Ketua-
SKPD, delegasi kecamatan, dan delegasi Forum-SKPD; Pemaparan Rancangan
Renja-SKPD (terutama SKPD yang mengemban fungsi pelayanan dasar dan yang
menjadi prioritas pembangunan Kabupaten/Kota) oleh Kepala SKPD yang meliputi :
1. Isu-isu strategis SKPD yang berasal dari Rancangan RKPD, Renstra
Kabupten/Kota (atau jika sudah ada PJM Daerah) dan Renstra-SKPD;
2. Tujuan, indikator pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan yang
akan dimuat dalam Renja-SKPD;
3. Penyampaian perkiraan kemampuan pendanaan terutama dana yang
berasal dari pendapatan daerah kabupaten/kota yang berasal dari APBD
Kabupaten/Kota, APBD I, DAK, Pinjaman daerah dan sumber dana lainnya.
Disampaikan juga perkiraan dana dekonsentrasi.
Keluarannya yaitu Penetapan arah kebijakan, prioritas, dan plafon/pagu dana baik
berdasarkan fungsi/SKPD maupun berdasarkan kecamatan. Daftar prioritas
kegiatan yang pembiayaannya berasal dari APBD Kabupaten/Kota; APBD I, APBN,
Dana Dekonsentrasi dan sumber dana lainnya; Daftar usulan kebijakan/regulasi
pada tingkat pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi dan/atau Pusat; Rancangan
pendanaan untuk Dana Alokasi Desa.
5. Di tingkat Provinsi
Rencana/Usulan proyek yang telah diterima dari tingkat kabupaten/kota oleh
Gubernur dibantu oleh Ketua Bappeda Propinsi dan Kepala Kantor/Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi dibahas dan diolah bersama dengan
semua instansi yang ada di tingkat provinsi dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Provinsi (Musrenbang Propinsi) yang dilaksanakan setiap bulan
April. Hasil pengolahan dan pembahasan dituangkan dalam satu rencana / usulan
proyek dari Provinsi. Perencanaan di tingkat provinsi meliputi :
a) Arah dan tujuan yang hendak dicapai.
b) Cara pembimbingan pencapaian tujuan program, untuk mendukung
tercapainya arah dan tujuan pembangunan daerah.
Metode Penelitian
45
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu penelitian deskripitif
dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Kecamatan Tamalate Kota
Makassar, alasan pemilihan lokasi ini adalah adanya kemudahan akses,
kompleksitas, dan juga karena Kecamatan Tamalate merupakan salah satu
kecamatan yang menjadi prioritas pembangunan di Kota Makassar.
Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder yang terdiri atas :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber asalnya. Dalam
penelitian ini data primer diperoleh dari para kepala rumah tangga yang dijadikan
responden melalui instrumen kuesioner, serta dari tokoh masyarakat dan pejabat
Pemerintah Kota Makassar yang terkait dengan topik penelitian ini.
2. Data sekunder, yaitu data yang sudah diolah sebelumnya. Data sekunder dalam
penelitian ini diperoleh dari kantor desa/ kelurahan, kecamatan, Badan
Pemberdayaan Masyarakat, Badan Pusat Statistik, Bappeda Kota Makassar dan
pihak/ instansi lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Observasi
46
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil Penelitian
47
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
48
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
49
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
50
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
51
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
52
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dari orang (SDM) yang menjalankan yang belum bisa memaksimalkan sarana yang
ada. Atau bisa juga dimungkinkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana ini
belum atau tidak sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan.
Kesimpulan
Rekomendasi
53
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kusbiantoro, B.S. 1999. Manajemen Pembangunan Kota Masa Depan. Buletin Tata
Ruang. 23.
Morris, M.D.. (1974) Measuring the Conditions of the World’s Poor : The Physical Quality
of Life Index. New York, Pergamon.
Silalahi, U. 2000. Studi tentang Ilmu Administrasi: Konsep, teori dan Dimensi. Bandung:
Sinar Baru Algensindo
Slamet dan Soetardjo (1978). Partisipasi Masyarakat di dalam Lembaga Sosial Desa.
Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
54
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sorjodibroto, Guritono. 2001. Ketika Pembangunan Memihak pada Rakyat. Dalam jurnal
Pembangunan Daerah Edisi III Tahun ke-5. 2001.
Supiandi dkk 2000. Sistem dan Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah dalam
rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta : majalah Pembangunan Daerah.
Weir, Sandy. 1992. Strategic Planning in Local Government. Washington: Planner Press.
Dokumen
Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban
Kepala Daerah.
55
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: Tulisan ini mengungkap pentingnya rekam jejak data dan pengembangan isu-isu
strategis pembangunan berbasis Standar Pelayanan Minimal sebagai konsekuensi otonomi
dan capaian urusan yang diserahkan. Dari peristiwa fenomena Go-jek dan kebijakan sesaat
yang diambil pemerintah, menunjukkan rekam jejak sejarah data sangat diperlukan dalam
membuat strategi kebijakan. Terlebih ini pelajaran berharga bagi pemerintah daerah yang
masih banyak tidak data minded dalam membuat keputusan strategis khususnya kebijakan
pencapaian SPM yang diamanatkan undang-undang. Merekam jejak data itu bukan dari titik
nol, karena penyelenggaraan pemerintahan ini juga bukan dari titik nol. Strategi kebijakan
yang dibuat harus memperhatikan apa yang telah dilalui pemerintahan sebelumnya. Kita
sadari bahwa konsekuensi dari hasil pemilihan kepala daerah harus membuat produk
perencanaan berupa RPJMD sebagai wadah mengimplementasikan visi misi dan janji
politiknya. RPJMD yang dibuat tentu saja memperhatikan sejarah data pembangunan yang
sudah ditorehkan pemerintahan sebelumnya. Konsep memahami data menjadi sangat
penting karena terintegrasi dalam mengawal dokumen perencanaan pembangunan di
daerah sebagai pengejawantahan urusan yang diserahkan (wajib dan pilihan) dan visi misi
yang diusung kepala daerah terpilih.
Latar Belakang
Banyak yang kita tidak sadari arti penting manfaat data bagi kehidupan kita.
Setiap kita ingin merencanakan apa saja dalam kehidupan ini lebih-lebih untuk
kepentingan yang berjangka panjang sudah pasti membutuhkan data sebagai
rancangan awal melangkah. Data bisa dikatakan sebagai rekam jejak suatu
peristiwa atau bisa juga diasumsi sebagai persepsi seseorang terhadap obyek yang
memiliki makna. Oleh karena itu mengapa data sebagai alat rekam jejak ini penting
untuk merencakan masa depan. Apa yang terjadi dimasa lalu bisa menjadi
guru/pengalaman belajar untuk perbaikan kinerja di masa depan.
56
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Setiap keputusan yang kita ambil tanpa menganalisis data akan berdampak
buruk bagi organisasi. Sumberdaya yang dieksplorasi bisa jadi tidak akan efektif dan
efisien dalam mencapai target organisasi. Bahkan mutu pelayanan dari produk
barang/jasa yang ditawarkan ke konsumen sudah tidak inovatif sesuai keinginan
pasar. Saat ini kita hidup seakan berada dalam ruang kaca, dunia luar yang semakin
terbuka akan melihat kita dan saling berkompetisi. Konsumen kita akan menuntut
pelayanan yang cepat dan berkualitas. Mereka akan meninggalkan organisasi kita
bila tidak mampu memenuhi dinamika kehidupan yang semakin maju. Peran rekam
jejak data menjadi sebuah kebutuhan yang wajib bagi alat analisis organisasi bisnis
termasuk organisasi pemerintah sekalipun.
57
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dan taxi berbasis daring atau transportasi berbasis aplikasi karena tidak memenuhi
ketentuan sebagai angkutan umum (bertentangan dengan dengan UU No. 22 tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta PP No. 74 Tahun 2014 Tentang
Angkutan Jalan). Suatu sikap dari keputusan/kebijakan yang salah bahkan
menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan bukan saja bagi pelaku bisnis tetapi
juga bagi masyarakat Jakarta. Karena banyaknya protes dari masyarakat pengguna
Go-jek, pada akhirnya kebijakan pelarangan ini hanya dalam hitungan jam dicabut
kembali.
Gambaran di atas adalah contoh arti penting rekam jejak data dalam
pengambilan keputusan. Kebijakan publik sangat bergantung dari support data yang
akurat dan bertanggungjawab. Ada dua makna dari rekam jejak data dari peristiwa
tersebut di atas. Pertama, Pemerintah seharusnya cepat menganalisis fenomena
transportasi berbasis daring ini sebagai suatu isu strategis. Isu tersebut berdampak
positif bagi warga masyarakat dan menjadi solusi alternative dari kekecewaan yang
selama ini dihadapinya yakni “kemacetan yang tak berujung”. Ketentuan yang
selama ini mengatur tentang angkutan jalan secepatnya dievaluasi bukan sebaliknya
membungkam fenomena dinamika yang sudah berlangsung di masyarakat. Bahkan
konyolnya secara otoriter melakukan kebijakan pelarangan dari fakta yang sudah
terjadi. Sudah pasti timbul reaksi-reaksi yang negative yang memancing kegaduhan
situasi politik jalannya pemerintahan.
Inilah salah satu contoh bagaimana sebuah fenomena atau fakta yang
berkembang di masyarakat menjadi nilai yang berharga sebagai peristiwa rekam
jejak data. Lalu pertanyaanya bagaimana dengan perencanaan pembangunan di
daerah dengan program/kegiatannya yang selalu ramai dibahas setiap tahun
(APBD)…? Atau apakah yang sudah direncanakan pemerintah daerah secara
berjangka (RPJPD, RPJMD, RENSTRA), merefleksikan analisis data secara
komprehensip …? Apakah unit SKPD setiap tahun melakukan analisis rekam jejak
data sebagai upaya membangun isu-isu strategis pembangunan…? Rekam jejak
data apa saja yang mestinya dianalisis oleh SKPD…?
58
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tugas lembaga pemerintah yang melakukan analisis rekam jejak data selama
ini yang kita kenal di Kabupaten/Kota adalah Kantor Stastistik atau di pusat dikenal
dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Padahal tugas penyelenggaraan statistik
kepada lembaga pemerintah di luar BPS ternyata sudah melekat ada di instansi
masing-masing. Pada era sebelum otonomi daerah, pemerintah menerbitkan UU No.
16 Tahun 1997 Tentang Statistik (Kementrian PPN/Bappenas: 2010). Pada pasal
12 undang-undang tersebut ada amanat/perintah penyelenggaraan statistik kepada
unit lain/instansi pemerintah di luar BPS yang disebut dengan penyelenggaraan
statistik sektoral, sebagai berikut:
59
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Faktanya apakah benar setiap unit SKPD ini sudah melaksanakan tugas-
tugas ke-statistikan tersebut dan ada di bag/subagian mana atau di bidang mana
yang menangani pekerjaan ini ….? Sesuai dengan ketentuan tersebut maka tugas
ini sebenarnya melekat dengan TUPOKSI bukan diserahkan di salah satu
bag/bidang di SKPD. Bukan juga diserahkan seutuhnya kepada Bappeda, seolah-
olah karena ada bidang/UPT yang menangani tupoksi data di Bappeda. Bappeda
secara umum memang menganalisis trend atau proyeksi prilaku data kinerja
pembangunan.
60
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tugas Bappeda yang visioner adalah bagaimana memilah dan memilih skala
prioritas dan treatment terbaik dari proyeksi rekam jejak data dari seluruh kinerja
SKPD sehingga menghasilkan disain kebijakan yang berkeadilan. Mengapa harus
ada prioritas ? hal ini terkait dengan pertimbangan sumberdaya pendanaan yang
relative terbatas. Keputusan ini dapat kita lihat dari produk Kebijakan Umum
Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) yang ditawarkan
untuk mendapatkan kesepakatan bersama eksekutif dan legislative.
Benarkah prakteknya pekerjaan statistik ini dilaksanakan oleh SKPD dan unit
terkecil SKPDnya … ? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pembuktian dokumen
yang dimiliki SKPD dari waktu ke waktu. Apakah ada catatan data hasil kinerja
secara baik didokumentasikan. Apakah setelah ada dokumentasi dilanjutkan dengan
analisis statistik… ?. Kemudian hasil analisis data tersebut dijadikan pedoman untuk
mengembangkan isu-isu strategis sebagai tantangan dalam perencanaan
berikutnya. Pembuktian lain dapat dilihat dari dokumen perencanaan SKPD
61
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
khususnya melihat struktur RKA SKPD (form. RKA 2.2.1). Di dalam struktur RKA
tersebut kita dapat menilai apakah input, output dan outcome RKA sudah
mencerminkan anggaran berbasis kinerja.
Isu Strategis
62
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
adalah:
1. Lakukan analisa internal berupa identifikasi permasalahan pembangunan
berdasarkan TUPOKSI yang telah dijalankan.
2. Lakukan analisa eksternal berupa kondisi yang menciptakan peluang dan
ancaman bagi SKPD di masa lima tahun mendatang.
Hasil analisa tersebut adalah berupa data-data yang dapat diolah sebagai
bahan kebijakan. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa setelah diterapkan
otonomi daerah, sebagian kewenangan dan fungsi pemerintah pusat, khususnya
berkaitan pembangunan berbasis SPM/kegiatan pelayanan dasar (kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain) sudah diserahkan ke daerah. Sejarah data-data
pembangunan tersebut menjadi penting sebagai langkah awal daerah mengelola
isu-isu strategis pembangunan. Ke depan daerah sangat berkepentingan dengan
kebutuhan data dan akan menjadi meningkat terutama untuk melihat pencapaian
serta menentukan suatu perencanaan yang bersifat strategis.
Pada fase ke dua pelaksanaan otonomi daerah melalui UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah Pasal 152 ayat 1, bidang statistik merupakan
salah satu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. Pesan pasal ini sangat
penting dan strategis sehingga persoalan data statistik menjadi urusan wajib.
Sebuah keputusan penting dari suatu kebijakan sudah barangtentu berangkat dari
data yang akan menentukan isu-isu strategis. Pesan pasal 152 juga menyatakan
“Perencanaan Pembangunan Daerah harus didasarkan pada data-data dan
informasi yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan”; Data/Informasi yang
dimaksud mencakup:
1. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
2. Organisasi Tata Laksana Pemerintah Daerah;
3. Keuangan Daerah, DPRD, Perangkat Daerah and PNS Daerah;
4. Potensi Sumberdaya Daerah;
5. Produk Hukum Daerah;
6. Kependudukan;
7. Informasi Dasar Wilayah;
8. Informasi lain terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
63
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
64
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
65
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
66
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
67
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
68
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
69
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
melekat serta target capaian SPM. Alur analisa kebijakan desentralisasi dapat
digambarkan sebagai berikut:
PENINGKATAN PELAYANAN
MEMPERCEPAT
TUJUAN OTDA TERWUJUDNYA PEMBERDAYAAN DAN PERAN SERTA
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
MASYARAKAT
70
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
71
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dasar warganya dapat mengungkit nilai IPM. Kepala Daerah terpilih diharapkan
cerdas mengarahkan belanja pembangunan bagi kemakmuran rakyat. Bukan
sebaliknya apa yang direncanakan/dijanjikan KDH dengan apa yang dilaksanakan
terkadang belum berada pada rel yang pas. Kata ‘pas’ disini berarti apa yang
diberikan kepada masyarakat sesuai bukti kampanye politik. Mengapa ini bisa tidak
pas/berbeda dengan faktanya, banyak hal bisa terjadi karena kekuatan/potensi
daerahnya rendah, terbatas anggaran atau kurang dioptimalkan tingkat penerimaan
daerahnya. Atau bisa karena kreativitas tim birokratnya rendah? SDM atau
mentalitas ? pada akhirnya menyebabkan rendahnya keseriusan daerah dalam
mengawal pembangunan SPM dalam dokumen perencanaan dan penganggaran
(APBD).
Pemerintah pusat menilai pembangunan di daerah masih dianggap belum
optimal. Ukuran penilaian ini tergambarkan dari evaluasi kinerja pemerintah daerah
dalam melaksanakan urusan wajib khususnya berkenaan dengan pelayanan dasar.
Masih banyak daerah yang belum berhasil mencapai target akhir SPM tahun 2015.
Sehingga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang baru terbit ini, penekanan pelaksanaan urusan wajib dipisahkan
antara yang bersifat pelayanan dasar dan yang non dasar. Bisa jadi pemisahan ini
agar terlihat keseriusan kinerja pemerintah daerah dalam mencapai target target
pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM).
SPM sebagai wujud ukuran minimal hak dasar yang wajib diperoleh setiap
warga negara, seyogyanya ada yang sudah dituntaskan atau dipenuhi kurun waktu
akhir tahun 2015. Apa saja hak dasar yang diatur tersebut ? Dalam pasal 12 (dua
belas) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sudah menetapkan
hak dasar yang menjadi pelayan dasar urusan wajib meliputi:
1 pendidikan;
2 kesehatan;
3 pekerjaan umum dan penataan ruang;
4 perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
5 ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindunganmasyarakat; dan
6 sosial.
72
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
73
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
74
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
75
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
PEMBILANG
PENYEBUT
Bias data ini sangat mungkin terjadi bila tidak dilakukan katagorisasi, tabulasi
dan proses editing dengan benar. Support data sangat terkait dengan kelompok
sasaran pelayanan, karakteristik demografi dan kondisi geografis daerah. Data untuk
perhitungan capaian SPM bisa dikalkulasi berasal dari berbagai sumber. Mengingat
konsep SPM itu sendiri ada dalam obyek ruang pembangunan wilayah, sehingga
data angka pembilang dan penyebut yang dihitung adalah bukan hanya
penjumlahan angka hasil kerja SKPD yang menangani pelayanan. Stakeholders
lainnya (swasta baik organisasi atau individu) selaku pemberi pelayanan di wilayah
tersebut perlu dihitung berapa jumlah yang sudah dan sedang ditangani.
Bila terjadi kesalahan atau data perhitungan tidak akurat terhadap jumlah
sasaran pelayanan, maka tentu saja akan mempengaruhi hasil perhitungan SPM.
Apa yang terjadi selanjutnya jika estimasi sasaran terlalu besar atau sebaliknya
terlalu kecil. Maka bila dihitung ulang ternyata angka estimasi terlalu besar akan
ada gap yang lebar antara target dengan capaian riil di lapangan. Sebaliknya jika
estimasi sasaran terlalu kecil, akan menghasilkan hitungan melebihi target maksimal
(lebih dari 100%). Padahal bisa terjadi kelompok sasaran ini masih banyak yang
belum teridentifikasi. Persoalan-persoalan ini yang harus segera diperbaiki dan
76
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
77
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
78
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
79
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
belanja sampai dengan aksi penganggaran dalam APBD. Lihat gambar berikut
adalah ada salah photo. suasana pagi anak-anak sekolah di desa Sanghiang
Tanjung, Lebak Banten.
Reaksi kita pertama melihat photo-photo ini hanya merasa kasihan dan iba
betapa beratnya perjuangan anak-anak untuk pergi ke sekolah. Siapa sebenarnya
yang paling bertanggung jawab ? Sejauhmana belanja cerdas APBD melihat
fenomena ini ? Masihkah eksekutif dan legislative membagi kue pembangunan
hanya untuk kepentingan pribadi dengan memperbesar belanja hibah bansos yang
tidak signifikan itu ?
Sebagai contoh kalau kita lebih mendalami lagi SPM pendidikan hal-hal seperti :
1 jarak maksimum siswa mengakses sekolah,
2 rasio rombongan belajar dan ketersediaan kelas,
3 ketersediaan ruangan guru,
4 ketersediaan minimal 6 orang guru,
5 ketersediaan guru berpendidikan sarjana/setara dan memiliki sertifikasi
pendidik,
80
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Contoh lain yang tidak kalah pentingnya persoalan SPM penyediaan ruang
terbuka hijau (RTH) di perkotaan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 14
/PRT/M/2010 Tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, bahwa
untuk Jenis Pelayanan Dasar berupa Penyediaan RTH Publik , indikatornya adalah:
“Tersedianya luasan RTH publik sebesar 20% dari luas wilayah kota/kawasan
perkotaan dengan batas waktu pencapaian tahun 2014. Faktanya bisa kita lihat
ruang RTH di perkotaan yang semakin menurun. Pemda DKI misalnya sampai
dengan capaian akhir SPM tahun 2014 masih belum mampu menyediakan 20 %.
APBD DKI yang penerimaan pendapatan lebih dari 70 trilyun saja tidak
optimal mencapai pelayanan dasar tersebut. Artinya belum ada atensi
81
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Padahal kalau saja Jakarta bisa mencontoh semangat Kota Curitiba di Brasil
dengan perluasan RTH publik yang menjadi andalanya. Cerita sukses ini bisa dilihat
dalam kasus kota ini dalam 30 tahun berkembang dari kota kumuh menjadi kota
yang paling diminati wisatawan. Tahun 1970-an RTH publik Kota Curitiba hanya 1
m2 per kapita. Saat ini telah berkembang menjadi kota yang nyaman dengan 17
taman-taman baru, dimana tingkat ruang terbuka hijaunya meningkat dari 1 m 2
menjadi 55 m2 per kapita. Disadari atau tidak oleh kita, RTH publik merupakan hak
dasar warga masyarakat untuk hidup lebih sehat. Berikut perbandingan luas RTH
perkapita pada beberapa kota besar dunia .
Stockholm
Vienna
Curitiba
New York
Berlin
Vancouver
London
Paris
Jakarta
Tokyo
0 20 40 60 80
Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal
Penataan Ruang (2006).
Gambar 4 Perbandingan luas RTH perkapita pada beberapa kota besar dunia
82
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Semarang dan Kota Jogyakarta sebagainya. Kota Surabaya dan Kota Bandung saat
ini terus berbenah dengan taman-taman kotanya, kinerja Kepala Daerah diapresiasi
oleh masyarakatnya.
Potret kinerja ini menunjukkan masih banyak daerah kab/kota dan propinsi
yang belum cukup paham berkaitan dengan capaian SPM RTH Publik sebagai
urusan wajib pelayanan dasar. Hal yang sama tidak berbeda dengan upaya capaian
SPM Pendidikan Dasar. Bahkan bisa jadi perhatian pemerintah daerah belum atau
kurang menerapkan SPM dalam perencanaan dan penganggaran daerah.
Bagaimana dengan 14 bidang yang lain dan sudah memiliki SPM seperti: SPM
Kesehatan, SPM Keluarga Berencana, Lingkungan Hidup, Ketahanan Pangan,
Kesenian, Ketenagakerjaan, Kominfo, Pekerjaan Umum, Pemberdayaan dan
Perlindungan Anak, Pemerintahan Dalam Negeri, Penanaman Modal, Perhubungan,
Perumahan rakyat dan Sosial. Semua ini harus diberi penguatan yang lebih dari
sekedar belanja program/kegiatan rutinitas pembangunan.
Penutup
3. Pada akhirnya tujuan akhir pembangunan itu tidak semata pemerataan ekonomi
tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Bisa jadi
disebut pembangunan berbasis ekonomi hijau terutama melalui; (1) integrasi tata
ruang dalam pembangunan; (2) Pemakaian sumberdaya alam yang bijaksana dan
berkelanjutan; (3) Kebijakan perencanaan dan penganggaran berbasis lingkungan
(green budgeting).
83
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dindin Supratman
Widyaiswara Ahli Pertama Balai Diklat BNN
Jl. Mayjen H.R Edi Sukma Km 21 Cigombong Lido Bogor Jawa Barat 16740
I. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Globalisasi telah melahirkan keterhubungan masyarakat dunia dalam berbagai aspek
kehidupan baik dalam hal budaya, sosial, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.
Globalisasi juga mendorong persaingan tidak hanya pada tingkatan individu ataupun
korporasi, namun juga menyentuh tataran pemerintahan atau negara.
84
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Untuk menghadapi arus globalisasi tersebut, saat ini Indonesia sedang melakukan
berbagai terobosan dan upaya. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintahan
Indonesia adalah dengan membangun birokrasi kelas dunia melalui pengembangan
komitmen dan budaya berinovasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Sekarang ini era inovasi telah menjadi katalisator utama dalam mengakselerasi
gerakan revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi melalui program Nawa
Cita. Betapa banyak acara yang didesain untuk mendorong munculnya inovasi di tubuh
pemerintah, baik oleh Kementerian, Lembaga, dan Daerah. Betapa banyak pula inovasi
tercipta dari K/L/D saat ini.
Melihat kondisi tersebut, tentunya kita semua bangga dengan capaian ini. Kondisi
tersebut menunjukan telah terjadinya perubahan iklim birokrasi dimana budaya status quo
perlahan-lahan ditinggalkan dan digantikan oleh budaya perubahan. Pemerintahan,
pelayanan publik, dan pembangunan bertransformasi ke dalam ragam bentuk kebaruan
dan kemanfaatan mengikuti tantangan dan kebutuhan lingkungan strategisnya.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penulisan makalah adalah sebagai
berikut.
1. Memberikan gambaran pentingnya sebuah inovasi untuk Aparatur Sipil Negara.
2. Untuk mengetahui dampak budaya inovasi dalam perbaikan kinerja organisasi
pemerintah
c. Sistematika Penyajian
II. METODOLOGI
a. Metode Penelitian
Makalah ini dibuat dengan menggunakan metode deskriptif melalui studi literature
dengan pendekatan kualitatif berbasis data sekunder. Obyek penelitian yang digunakan
adalah aparatur birokrasi pemerintahan di lingkungan BNN.
85
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
b. Tinjauan Pustaka
Budaya menurut bahasa adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang
sukar diubah (KBBI, 2003, hal.169). Sementara para pakar antropologi budaya
Indonesia umumnya sependapat bahwa kata “kebudayaan” berasal dari bahasa
Sanskerta buddhayah. Kata buddhayah jamak dari kata buddhi yang berarti hal-hal
yang berkaitan dengan akal. Namun ada pula anggapan bahwa kata “budaya” berasal
dari kata majemuk budi daya yang berarti “daya dari budi” atau “daya dari akal” yang
berupa cipta, karsa, dan rasa (Maran, 2000, hal. 24).
Inovasi adalah produksi atau adopsi, asimilasi dan eksploitasi nilai tambah di
bidang ekonomi dan sosial; pembaruan dan pembesaran produk, Layanan, dan pasar;
pengembangan metode produksi; dan pembentukan sistem manajemen baru dalam hal
proses dan hasil.(Edison et al, 2013). Dalam teori pembangunan konvensional, masalah
kualitas sumber daya manusia masih belum mendapat perhatian secira proporsional.
Pandangan ini masih meyakini bahwa sumber pertumbuhan ekonomi itu terletak pada
konsentrasi modal yang diinvestasikan dalam suatu proses produksi.
Namun akhir-akhir ini pandangan tersebut mulai bergeser, bahwa yang bisa
memacu pertumbuhan ekonomi justru faktor kualitas sumber daya manusia. Pergeseran
pandangan ini terjadi bersamaan dengan pergeseran paradigma pembangunan, yang
semula bertumpu pada kekuatan sumb er daya alam (natural resource based),
kemudian bertumpu pada kekuatan sumber daya manusia (human resource based)
atau lazim pula disebut knowledge based economy.
Menurut Bank Dunia “bahwa modal manusia merupakan faktor paling penting dan
mempunyai peran amat dominan dalam mendorong kemajuan masyarakat. Dengan
demikian, peningkatan mutu sumber daya manusia, yang antara tain dicirikan oleh
tingginya tingkat pendidikan, merupakan kata kunci dalam pembangunan ekonomi dan
sekaligus merupakan agenda utama
86
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
III. HASIL
a. Pembahasan
87
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
88
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
89
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
awal dan mendasar agar tahapan dalam proses perubahan kearah reformatif dipahami
sesuai dengan visi, misi, dan keinginan organisasi. Dan disinilah widyaiswara atau
para trainer memainkan peran yang strategis.
Orientasi dari sebuah pelatihan sejatinya adalah perubahan sikap, menurut teori
nilai–ekspektansi (expectancy–value theory) sikap akan terbentuk apabila ada rasa
percaya bahwa suatu proses perilaku akan membawa kepada suatu peristiwa atau hal
tertentu. Edward Chace Tolman dalam Saifuddin (2003) mengemukakan, kepercayaan
(belief) adalah ekspektasi yang selalu mendapat konfirmasi secara konsisten. Manusia
akan belajar untuk mengulang perilaku yang memiliki nilai positif.
Menurut teori ini bila seseorang harus memilih dan menentukan perilakunya ia akan
memilih alternatif yang mengandung utilitas (manfaat) subjektif tertinggi, yaitu yang
akan membawa kepada hasil yang paling menguntungkan. Dengan demikian menurut
teori ini sikap seseorang terhadap suatu akan terbentuk dari interaksi kumulatif antara
harapan individu akan konsekuensi perilaku dan penilaiannya akan hasil
perbuatannya.
Ada cara pandang baru atas pengembangan kompetensi pegawai dimana
pengembangan kompetensi adalah hak. Hak yang sejajar dengan hak-hak yang
lainnya yaitu gaji, cuti dan perlindungan. Artinya, pegawai ASN bisa menuntut untuk
mendapatkannya dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Hal ini
masuk akal karena pegawai harus memadai kompetensinya dalam memberikan
pelayanan publik. Pegawai dituntut mampu bekerja secara profesional, bebas dari
intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Disinilah lembaga diklat mempunyai posisi dan peran yang penting meskipun
pendidikan dan pelatihan bukan satu-satunya cara. Ada metode-metode lain untuk
mengembangkan kompetensi pegawai. UU ASN mengakomodasi seminar, kursus,
dan penataran. Selain itu pengembangan kompetensi juga bisa dilakukan dengan
pertukaran PNS dengan pegawai swasta atau praktik kerja di instansi lain dan
pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu paling lama satu tahun.
Cara yang terakhir ini didasari asumsi banyaknya inovasi yang dilakukan di
kalangan swasta. Manajemen publik juga banyak mengadopsi konsep-konsep
manajemen bisnis. Ambil contoh konsep New Public Management dimana pemerintah
mengadopsi model swasta dalam menyediakan barang-barang publik.
Wahana yang paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut ditinjau dari segi
pengembangan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan dan latihan (Diklat).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, disebutkan bahwa diklat
adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan
90
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kemampuan Pegawai Negeri Sipil (Pasal 1 ayat 1). Selanjutnya dalam pasal 2
dijelaskan bahwa Diklat bertujuan untuk : a. meningkatkan pengetahuan, keahlian,
keterampilan, dan sikap untk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional
dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; b.
menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat
persatuan dan kesatuan bangsa; c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian
yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat; d.
menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas
pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang 13
baik (good governance).
IV. DISKUSI
Menurut Siagian (1987) paling tidak ada tiga manfaat yang didapat melalui diklat:
1. Cakrawala pandangan yang makin luas yang memungkinkan seseorang untuk lebih
mampu memahami dan mengantisipasi perubahan dan perkembangan yang pasti
akan terjadi;
2. Peningkatan produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan
seseorang sekaligus menambah kepuasan batin;
3. Kemungkinan promosi yang lebih besar sebagai penghargaan dan pengakuan
organisasi atas kemampuan kerja yang semakin meningkat sehingga kepada yang
bersangkutan dapat diberikan wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar dan
lebih luas.
91
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Selain lima karakter kinerja buruk, Insync Surveys juga menyebutkan tujuh
kebiasaan kinerja tinggi yaitu:
1. Live an inspiring vision;
2. Communicate clear strategies and goals;
3. Develop your people;
4. Go out of your way to recognise your people;
5. Genuinely care for your people;
6. Listen and adapt to your customer’s needs;
7. Continually improve your systems.
Selama ini diklat dipengaruh tiga komponen yaitu peserta, penyelenggara, dan
Widyaiswara. Dengan diakomodasinya pertukaran PNS-pegawai swasta akan
menambah satu komponen diklat yaitu swasta. Perubahan ini tentu berpengaruh
terhadap berbagai aspek seperti anggaran, kurikulum, keluaran, manfaat diklat dan
sebagainya.
Selain perubahan metode diklat, kini kompotensi pegawai ASN menjadi syarat
utama seseorang diangkat dalam suatu jabatan. Artinya sebagai lembaga pemerintah
yang bertanggung jawab dalam pengembangan kompetensi pegawai, Lembaga diklat
bisa memainkan peran yang lebih besar. Terkait dengan itu lembaga diklat harus
mampu mewujudkan tiga kompetensi pegawai yang dipersyaratkan dalam UU ASN
yaitu teknis, manajerial dan sosial kultural.
Indikator tiap kompetensi secara jelas dijabarkan dalam UU ASN. Kompetensi
teknis, misalnya, diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis
fungsional dan pengalaman kerja secara teknis. Sedangkan kompetensi manajerial
diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen dan pengalaman
kepemimpinan. Terakhir, kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja
berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya sehingga
memiliki wawasan kebangsaan.
Dari tiga kompetensi yang disyaratkan dalam UU ASN, kompetensi sosial kultural
adalah hal baru. Selama ini diklat lebih cenderung menonjolkan dua ranah yaitu
knowledge dan skill. Ranah sikap-perilaku belum menjadi indikator utama
keberhasilan proses pembelajaran. Oleh karena itu kompetensi sosial kultural sebagai
syarat pengangkatan dalam jabatan bagi pegawai ASN akan berpengaruh terhadap
proses pengembangan kompetensi pegawai. Sebaiknya Lembaga diklat mulai
mengembangkan sebuah model diklat yang lebih menonjolkan aspek sosial kultural
dalam kurikulumnya. Saat diklat kepemimpinan pembaharuan sudah mengadopsinya.
92
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
V. KESIMPULAN
Dari apa yang diuraikan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Menuju organisasi berkinerja tinggi harus melalui inovasi;
2. Inovasi membutuhkan dukungan semua pihak (top, middle, lower and people);
3. Inovasi bisa dikembangkan, dilaksanakan, diimplementasikan apabila ada
budaya inovasi yg mencakup adanya share value, beliefs, harapan dan tujuan
organisasi di semua level;
4. Untuk berinovasi, berkembang, dan berubah modal utamanya adalah
willingness;
5. Keberadan lembaga kediklatan sangat penting dalam rangka pengembangan
SDM.
93
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Artikel
Pratikno. (2015) Sambutan Inagara. Jakarta : Lembaga Administrasi Negara.
Website
Gunawan Hendar. (2015) Peran Pendidikan dan Pelatihan dalam Membentuk Agen
Perubahan di BMKG. Diundur dari :
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/Artikel pada tanggal 4 Maret 2015.
Ramelan Rahardi. (1997) Menumbuhkan Budaya Kreatif dan Inovatif dalam Rangka
Pengembangan SDM Menghadapi Tuntutan Kebutuhan Era Globalisasi dan
Pembangunan Industri Pasca 2000. Diunduh dari : http://perpustakaan.bappenas.go.id
pada tanggal 4 Maret 2015.
Nur Basuki. (2015) UU ASN : Tantangan dan Peluang Diklat. Diunduh dari
http://www.diklatdki.ac.id pada tanggal 5 Maret 2015.
94
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract
Financial Statement is ‘the only one’ media of financial information of entities during or at certain
period. Often, in this financial statement, entities report the information about revenue,
expenses and other information that are relevant to the decision making. The information must
be based on real data during the period. The presentation of this information is also
accommodate some assumption and estimation for doing so that is called professional
judgments. So the presentation of financial statement, includes The Statement of Financial
Position, Profit or Loss Statement and Cash Flow Statement must be supported by Notes to
Financial Statement that represent these assumptions.
Furthermore, before delivering to decion makers, the financial statement also should be audited
by an independent auditor. The auditor should give an opinion about the financial statement that
indicate the fairness of this presentation to the standards and common pratices. The decision
maker will use the financial statement for making some decisions by a different matter. In one
side, some analyst use an only simple or very simple way for analyzing this financial statement
and then, they make some decisions. But, the other ones use a complex or a very complex
model of analysis.
In the actual analysis, the analysis will consider liquidity, solvability, profitability and activity
dimension of analysis. There is no single formula for analysis. Nobody may judgment right or
wrong about other’s model. The most important thing is the reason and the background of
formula or the way of thinking behind the formula.
Keyword:
95
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pendahuluan
Dalam mempertanggungjawabkan amanah ‘uang’ yang diberikan oleh pemegang saham atau
pemilik entitas (perusahaan) maka manajemen ‘harus’ membuat laporan keuangan. Dengan
laporan keuangan inilah, pihak manajemen memberikan informasi tentang berbagai macam
kondisi yang terjadi pada entitas tersebut. Hal yang dilaporkan menyangkut kondisi keuangan
entitas pada suatu saat tertentu, tanggal tertentu bulan tertentu dan tahun tertentu pula. Juga
dilaporkan kinerja keuangan entitas tersebut selama periode tertentu.
Biasanya pada laporan keuangan, entitas menyajikan informasi tentang jumlah aset, liabilitas
dan ekuitas yang dimiliki entitas atau perusahaan tersebut, dalam Laporan Posisi Keuangan
atau Neraca. Sedangkan informasi pendapatan dan beban dilaporkan dalam Laporan Laba
Rugi. Untuk data penerimaan dan pengeluaran kas akan disajikan dalam Laporan Arus Kas,
yang mencakup berbagai kegiatan dari jenis operasional, pendanaan dan investasi.
Penyajian laporan keuangan didasarkan kepada data dan fakta yang terjadi selama periode
berjalan. Pada akhir tahun, sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip akrual maka penyaji
laporan keuangan akan melakukan berbagai pertimbangan profesional berupa asumsi dan
estimasi. Juga dilakukan pemilihan metode yang dipergunakan dalam membukukan suatu
kejadian atau transaksi. Oleh karena itu semua asumsi, pertimbangan profesional atau pun
metode yang dipergunakan dalam penyajian laporan keuangan akan sangat mempengaruhi
laporan keuangan yang dihasilkan. Sebagai konsekuensinya maka semua asumsi, estimasi dan
metode yang dipakai juga harus dicantumkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Sebagai suatu hasil final maka pihak manajemen menghasilkan satu paket Laporan Keuangan
yang siap untuk didistribusikan kepada para pengguna laporan keuangan. Karena laporan
keuangan tersebut akan dipergunakan oleh berbagai pihak maka keakuratan penyajian laporan
keuangan seharusnya diperiksa terlebih dahulu oleh Kantor Akuntan Publik, sebagai pihak
independen. Pihak independen seharusnya memberikan opini atas penyajian laporan keuangan
tersebut. Harapannya adalah para pengguna laporan keuangan, insyaAlloh, menjadi ‘tidak
terjebak’ dalam mengambil keputusan yang strategis sehubungan dengan entitas tersebut.
Dimensi Kinerja
Subramanyam (2013) menjelaskan bahwa dimensi kinerja, adalah sisi kinerja yang menjadi
perhatian analis dalam menentukan bagaimana capaian kinerja entitas tersebut. Berbagai
96
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
macam dimensi yang sering dibahas oleh para analis, diantaranya adalah likuiditas, solvabilitas,
profitabilitas dan aktivitas.
Dimensi 1 - Likuiditas
Sejalan dengan pengertian likuiditas dan ukuran-ukurannya tersebut, maka agar dapat
menafsirkan rasio lancar secara lebih baik, juga perlu menganalisis jenis usaha, komponen dan
kualitas dari aset lancar maupun liabilitas jangka pendeknya. Perusahaan yang tidak
memberikan kredit (sebagian besar penjualan tunai) dan tidak memiliki persediaan, misalnya
perusahaan jasa transportasi, mungkin sekali beroperasi dengan rasio lancar kurang dari 1, jika
pendapatannya menghasilkan kas yang cukup untuk melunasi liabilitas lancarnya tepat waktu.
Sebaliknya, perusahaan yang menjual furnitur berharga tinggi kemungkinan memerlukan rasio
lancar lebih tinggi. Tentunya jenis usaha menentukan daur normal suatu usaha, yakni berapa
lama kas yang diinvestasikan ke dalam aset lancar kembali menjadi kas.
Dimensi 2 – Solvabilitas
97
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Seperti halnya dimensi likuditas, maka pada dimensi solvabilitas ini analis juga harus
memperhatikan berbagai sisi lain, diantaranya adalah komposisi aset jangka pendek dan jangka
panjang. Termasuk komposisi risiko dari liabilitas jangka panjang tersebut. Indikator
kemampuan ini mencakup rasio liabilitas dan modal, hubungan antara aset dan liabilitas dan
relasi antara modal dan aset perusahaan serta kapasitas perusahaan menghasilkan laba yang
cukup untuk membayar beban bunga.
Dimensi 3 – Profitabilitas
Dalam análisis ini, juga tidak boleh dilupakan untuk mengevaluasi lebih jauh tentang komposisi
dari laba yang dihasilkan. Pengguna informasi keuangan harus paham bahwa laba terakhir
yang dihasilkan perusahaan bisa berasal dari beberapa sumber. Tentu berbeda, jika laba yang
dihasilkan tersebut berasal dari kegiatan utama dan dari kegiatan pendukung. Laba rugi terakhir
(bottom line) harus dievulasi dari mana sumbernya. Hal tersebut berarti anális harus peduli
dengan kualitas sumber dari pendapatan maupun beban yang ada dalam perusahaan.
Dimensi 4 – Aktivitas
Aktivitas didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengunakan aset yang dimiliki
entitas dalam rangka menghasilkan pendapatan dan laba. Biasanya para analis ingin menjawab
pertanyaan tentang seberapa efisien kebijakan manajemen dalam melakukan operasionalnya,
seperti seberapa tepat kebijakan pemberian kredit penjualan. Juga sejauh mana keakuratan
kebijakan pengadaan barang dagangan maupun kontrak pembayaran dengan para pemasok.
Sebenarnya pada dimensi ini, para analis tertarik untuk mengevaluasi kemampuan perusahaan
dalam memanfaatkan aset secara efisien untuk menghasilkan laba.
Seperti halnya likuditas maka analis juga perlu mengevaluasi jenis usaha, komponen dan
kualitas dari aset lancar terhadap penjualan maupun harga pokoknya. Perusahaan yang tidak
memberikan kredit (sebagian besar penjualan tunai) dan tidak memiliki persediaan, misalnya
98
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
perusahaan jasa transportasi tentu akan sangat berbeda dengan perusahaan yang operasional
utamanya adalah berdagang. Oleh karena itu dalam pembuatan kesimpulan haruslah
memperhatikan sudut pandang tersebut.
Metode Analisis
Sudana (2011) menjelaskan bahwa rasio merupakan alat analisis keuangan yang paling
popular. Rasio ini digunakan secara luas karena memberikan petunjuk dan gejala mengenai
kondisi yang melatarbelakangi. Jika diinterpretasikan secara tepat, rasio bisa mengarahkan
kepada sisi yang memerlukan penelaahan lebih lanjut. Rasio dapat membantu mengungkapkan
kondisi dan kecenderungan yang sulit ditemukan dalam analisis sederhana. Analis rasio
merupakan suatu hubungan matematis antara beberapa sisi. Sangat banyak jenis analisis rasio
yang dipakai oleh para analis, semuanya sangat tergantung kepada pertimbangan analis
bersangkutan. Pilihan jenis rasio dalam tulisan ini adalah sekedar contoh sehingga tidak terlalu
banyak yang dibahas.
Rasio dapat dinyatakan dalam bentuk persen atau proporsi. Penghitungan rasio ini cukup
sederhana, namun penafsirannya memerlukan penjelasan yang tidak mudah. Supaya lebih
mengena kepada tujuan analisis maka rasio harus mengacau kepada suatu hubungan yang
secara teroitis relevan. Sebagai tambahan bahwa tidak ada ‘kata sepakat’ dari para analis untuk
membuat batasan yang baku tentang berapa nilai yang dianggap baik. Yang menjadi poin
penting adalah bahwa batasan baik atau tidaknya suatu keadaan adalah sesuatu yang harus
disepakati dulu oleh analis.
Dimensi Likuiditas
Makna rasio lancar tersebut adalah seberapa besar kemampuan untuk membayar hutang
jangka pendeknya. Jika semakin tinggi angka rasio lancar maka semakin tinggi pula
kemampuan perusahaan untuk membayar hutang jangka pendeknya.
99
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Makna rasio cepat tersebut adalah seberapa besar kemampuan untuk membayar hutang
jangka pendeknya, dengan tanpa memperhitungkan aset yang relatif lama untuk dicairkan
menjadi uang. Seperti misalnya persediaan, yang sulit diprediksi kapan akan laku
terjualnya, maka akan diabaikan dalam analisis ini. Jika semakin tinggi angka rasio cepat
maka semakin tinggi pula kemampuan perusahaan untuk membayar hutang jangka
pendeknya.
Dimensi Solvabilitas
Makna rasio hutang liabilitas dibandingkan ekuitas adalah seberapa besar porsi pengaruh
pihak eksternal terhadap pihak internal. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka semakin
tinggi pula ancaman pihak luar kepada pihak internal.
100
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Makna rasio hutang liabilitas dibandingkan ekuitas adalah seberapa besar porsi pengaruh
pihak eksternal terhadap total aset yang dimiliki perusahaan. Jika semakin tinggi angka
rasio ini maka semakin tinggi pula dominasi pihak luar terhadap eksistensi perusahaan.
Dimensi Profitabilitas
Makna rasio laba bersih terhadap pendapatan adalah seberapa besar hasil yang dihasilkan
perusahaan terhadap pendapatan kotornya. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka
semakin bagus kinerja perusahaan karena penjualannya efisien.
Makna rasio laba bersih terhadap total aset adalah seberapa besar hasil yang dihasilkan
perusahaan terhadap total aset yang dipakai untuk melakukan usaha. Jika semakin tinggi
angka rasio ini maka semakin bagus kinerja perusahaan karena pemakaian aset
perusahaan efisien.
Dimensi Aktivitas
101
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Makna rasio perputaran persediaan adalah seberapa besar persediaan tersebut berputar
menghasilkan harga pokok penjualan. Dengan rasio in akan diketahui seberapa laris barang
dagangan yang dimiliki perusahaan. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka semakin
bagus kinerja perusahaan karena barang dagangan yang ada sangat diminati oleh
konsumen.
Makna rasio perputaran piutang adalah seberapa besar piutang tersebut berputar
menghasilkan total penjualan. Dengan rasio in akan diketahui seberapa cepat piutang akan
tertagih menjadi uang. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka semakin bagus kinerja
perusahaan karena piutang bisa segera tertagih menjadi uang.
Analisis laporan keuangan dengan menggunakan setiap dimensi seperti yang diuraikan di atas
adalah cocok, sejauh relevan dengan kebijakan yang akan diambil. Namun demikian jika
analisis tersebut dilakukan secara partial dari dimensi yang ada maka simpulan yang diambil
menjadi sangat beraneka ragam tergantung selera analisnya. Oleh karena itu para analis
kemudian mencoba membuat rumusan yang dianggapnya cocok untuk melakukan analisis
secara komprehensif. Analis akan mempergunakan berbagai dimensi seperti diuraikan di
bagian atas tulisan ini, dengan ketentuan bahwa tidak ada keharusan untuk memilih angka
rasio tertentu.
Prihadi (2013) menyatakan bahwa salah satu contoh dari analis tersebut adalah Altman, yang
telah menelorkan sebuah rumus analisi yang sangat populer. Pada tahun 1968, Edward Altman
memberikan formula yang berfungsi untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu
perusahaan. Altman mempergunakan angka-angka di dalam laporan keuangan dan
merepresentasikannya dalam suatu angka, yaitu Z-Score yang dapat menjadi acuan untuk
menentukan apakah suatu perusahaan berpotensi untuk bangkrut atau tidak. Output tunggal ini
102
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
diharapakan dapat membantu memecahkan kebuntuan jika menganalisis berbagai rasio secara
parsial yang terkadang penafsirannya saling bertentangan.
Keterangan:
𝑊𝑜𝑟𝑘𝑖𝑛𝑔 𝐶𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙
𝐴=
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
𝑅𝑒𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑑 𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔
𝐵=
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔 𝐵𝑒𝑓𝑜𝑟𝑒 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑒𝑠𝑡 𝑎𝑛𝑑 𝑇𝑎𝑥𝑒𝑠
𝐶=
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
𝑀𝑎𝑟𝑘𝑒𝑡 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑜𝑓 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦
𝐷=
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
𝐸=
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
Setelah dilakukan perhitungan maka score Alltman tersebut kemudian akan dianalisis dan
disimpulkan dengan menggunakan ketentuan berikut ini:
2,70 ≤ Z-Score < 2,99 – Terdapat kondisi yang membutuhkan perhatian khusus
Penjelasan tentang alasan penentuan faktor yang akan dianalisis dan batasan score untuk
pengambilan keputusan adalah mutlak merupakan pengolahan data yang disimpan oleh
Edward Altman. Namun demikian semua unsur yang dikemukan oleh Altman tersebut tidak
keluar dari angka yang ada dalam laporan keuangan. Dimensi yang dibahas pun juga berkisar
pada 4 dimensi seperti yang telah diuraikan dalam bagian di atas dari tulisan ini.
Sehubungan dengan rumus analisis ini, Prihadi (2013) menyatakan bahwa Z Score Altman
merupakan model yang paling cocok digunakan di Indonesia, mengingat sampelnya emerging
market dengan rasio yang tidak membutuhkan market value of equity. Pendapat ini mungkin
103
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
saja benar, sesuai dengan analisis yang bersangkutan. Namun beliau tidak juga memberikan
penjelasan tentang alasan pemilihan faktor dan penentuan angka tersebut. Oleh karena itu
penjelasan mengenai filosofi bagaimana rumus tersebut muncul adalah merupakan bagian
yang tidak bisa dilupakan.
Selanjutnya jika apa yang dilakukan oleh Altman tersebut kemudian dijadikan acuan oleh para
analis dalam menentukan layak tidaknya suatu proses analisis, maka dapat ditarik sebuah
prosedur dalam membuat analisis. Rangkaian prosedur inilah yang dalam tulisan ini dianggap
sebagai urutan paling logis dalam pelaksanaan analisis. Kondisi logis diharapkan menjadi
sesuatu yang fair dalam melakukan penilaian atas suatu laporan keuangan. Prosedur tersebut
adalah:
Dalam contoh tersebut, Altman membuat sebuah rumus dalam rangka mendapatkan
masukan atau indicator apakah suatu perusahaan terancam bangkrut atau tidak. Rumus
yang dibuat tersebut mungkin tidak cocok jika diterapkan kepada tujuan lain seperti
penentuan apakah perusahaan tersebut akan mampu membayar dividen atau tidak,
penentuan apakah harga saham perusahaan akan naik atau turun. Tujuan analisis menjadi
penentu dari proses selanjutnya.
Tujuan analisis adalah acuan dalam penentuan faktor yang akan dipilih. Dalam rumus
tersebut Altman memilih lima unsur A, B, C, D dan E sebagai faktor atau variable yang akan
dijadikan pertimbangan. Pemilihan unsur tersebut didasarkan kepada dasar teori dan
asumsi yang diyakini oleh analis. Lebih lanjut, bahwa penentuan faktor tersebut adalah hak
prerogratif analis yang akan menggunakan rumus tersebut sebagai alat pengambilan
keputusan. Apakah penentuan tersebut masuk akal dan logis atau tidak, akan ditentukan
dalam komentar analis berikutnya. Oleh karena itu mungkin saja nanti ada analis yang
sependapat atau bahkan menentangnya.
104
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Jika Altman memilih lima faktor yaitu A, B, C, D dan E sebagai hal yang menjadi
pertimbangan maka kemudian timbul pertanyaan lanjutan, bagaimana rumus akan didapat.
Sebagian ada yang berpendapat, dijumlahkan saja semua unsur tersebut, yang lain
berpendapat, dirata-rata saja, atau bahkan mungkin ada yang berpendapat agar dijumlah
tapi dibobot dulu. Semua pola dalam pembuatan rumus tersebut sangat ditentukan oleh
latar belakang analis yang membuatnya. Pembobotan yang dibuat oleh Altman tersebut
‘kemungkinan’ diperoleh dari pengolahan data mentah yang ada. Caranya, mungkin dengan
regresi sederhana, regresi berganda atau mungkin dengan pengolahan yang lain.
Setelah rumus diperoleh dan ditetapkan maka analis masih dituntut untuk memberikan
makna dari rumus tersebut. Angka terakhir dari rumus tersebut harus dijelaskan sehingga
artinya menjadi sebuah indicator atas kondisi tertentu. Dalam rumus Altman tersebut,
kriteria diungkapkan dalam batasan score angka kebangkrutan dari perusahaan yang
dianalis. Mengapa angka yang ditentukan adalah 1,8 dan seterusnya adalah hasil dari
pengolahan data yang ada. Biasanya analis merahasiakan dari mana angka tersebut
muncul. Akan tetapi sebagai konsep dasar yang perlu diyakini adalah bahwa kriteria
tersebut harus dibuat sebelum dilakukannya analisis atas laporan keuangan tersebut.
Tujuannya agar analisis dapat dilakukan secara obyektif dan tidak bias yang hanya
mengikuti selera dari analis bersangkutan.
5. Pelaksanaan analisis
Analisis laporan keuangan merupakan suatu proses analisis yang mendasarkan kepada
informasi yang ada di laporan keuangan. Sangat disarankan bahwa semua dalam laporan
keuangan yang dianalisis adalah angka yang wajar sesuai dengan prinsip yang berlaku.
Tanpa adanya keakuratan angka tersebut maka secanggih apapun rumus yang telah dibuat
maka rumus tersebut tidak akan menghasilkan simpulan yang akurat. Pelaksanaan analisis
selanjutnya adalah mengambil data dan informasi yang diperlukan untuk kemudian
dimasukkan dalam rumus yang ada. Setelah diperoleh hasil akhir maka angka tersebut
kemudian dibandingkan dengan kriteria yang sudah ditentukan di awal tadi. Hasil
perbandingan itu lah yang menjadi simpulan analisis untuk kemudian bisa dipergunakan
untuk pengambilan keputusan.
105
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Simpulan
Laporan keuangan adalah ‘satu-satunya jendela informasi’ yang menyajikan berbagai informasi
keuangan dari sebuah entitas. Pengguna laporan keuangan kadang-kadang adalah orang
eksternal dari entitas tersebut yang sama sekali tidak ikut terlibat dalam penyajian laporan
keuangan. Sementara itu penyajian laporan keuangan sangat tergantung kepada berbagai
asumsi dan metode yang dipakai oleh penyaji laporan keuangan.
Dalam sebuah laporan keuangan yang lengkap, sebuah entitas hendaknya menyajikan laporan
keuangan yang terdiri dari Laporan Posisi Keuangan, Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus
Kas, sebagai ikhtisar yang mewakili seluruh transaksi keuangan. Tentunya akan menjadi
lengkap dengan ditambahkannya Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) yang memberikan
penjelasan tentang semua hal dibalik penyajian laporan keuangan tersebut. Akan menjadi lebih
lengkap lagi, jika penyajian laporan keuangan tersebut kemudian diaudit (diperiksa) oleh pihak
yang independen.
Selanjutnya laporan keuangan yang sudah wajar tersebut digunakan untuk pengambilan
keputusan. Berbagai metode dilakukan untuk melakukan analisis laporan keuangan. Ada yang
sangat simpel hanya melibatkan satu dua unsur, ada pula yang lebih lengkap dengan
melibatkan lebih banyak unsur. Logika analisis yang wajar mempunyai langkah berikut
penjelasan tentang tujuan analisis, penentuan faktor yang dipertimbangkan, penentuan rumus
umum, penentuan kriteria simpulan, pelaksanaan analisis. Tidak ada satu pun, analisis yang
mampu mewakili semua kepentingan. Semua analisis adalah benar, sesuai dengan keperluan
dari analis yang akan mengambil keputusan. Inilah yang namanya ‘fair’ dalam melakukan
analisis laporan keuangan.
Daftar Pustaka
Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2013). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, Ikatan
Akuntan Indonesia. Jakarta. IAI Pusat.
Subramanyam dan John J. Wild. (2013). Analisis Laporan Keuangan. Edisi 10. Jakarta:
Salemba Empat.
Sudana, I Made. (2011). Manajemen Keuangan Perusahaan Teori & Praktik. Jakarta: Erlangga.
Toto Prihadi. (2013). Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Pusat Pengembangan Manajemen.
106
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract:
ASEAN Free Trade era, which had begun in 2015, is increasingly focused population of
Indonesia as a central point in development (people centered development) built into the
concept of sustainable development as it is mandated by the state constitution on amendment
2 1945 Article 28h Paragraph ( 1) as well as Law No. 52 of 2009 on Population Development
and Family Development. On the other hand, fact due to the high level of unemployment in
Indonesia according to the BPS Indonesia productive population status work only amounted
109.67 million. While unemployed in 2011 with the highest educational background is High
School (Indonesian Central Bureau of Statistics/BPS, 2011). The low quality of Indonesian
which is reflected from the Human Development Index (HDI) is a matter that needs to be a
shared concern for the absence of an increase in the level of education, awareness of the
importance of health and the degree of Indonesian economic community. It will be very difficult
for the Indonesian human resources to be able to survive in the ASEAN free market
competition. According to the results of population projection by BPS for the year 2014-2025,
it is projected that the productive age would quickly become unmanageable, especially the
younger group (15-49 years) coupled with the mobility of labor between countries makes the
challenge of working harder. Therefore, through this paper will set out the strategy for
population policy maker in preparing human resources through education and training
revolution primarily on the implementation of development policies pertaining to the population
to the community, which will fully sustain the nation's progress and prosperity to the future
through continuous population education as a long-term investment.
Keywords: human resources, population, HDI, sustainable development, ASEAN Free Trade,
training revolution
107
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pendahuluan
Era Pasar Bebas ASEAN yang telah dimulai pada akhir tahun 2015 ini semakin menitikberatkan
penduduk Indonesia sebagai titik sentral dalam pembangunan (people centered
development) yang dibangun dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) sebagaimana amanat konstitusi negara pada amandemen ke-2 UUD 1945 Pasal
28h Ayat (1) serta Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga. Disisi lain, pada kenyataannya karena dengan tingginya tingkat
pengangguran di Indonesia menurut data BPS penduduk usia produktif Indonesia yang berstatus
bekerja hanya sebesar 109,67 juta. Sedangkan penganggur pada tahun 2011 dengan latar
belakang pendidikan tertinggi adalah SMA (BPS, 2011). Kondisi ini menyebabkan tingginya
beban ketergantungan yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam
menentukan kebijakan pengembangan program ke depan. Khususnya dalam program
peningkatan kualitas kehidupan manusia yang tergambar melalui Indeks Pembangunan Manusia
(IPM).
Data Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan masih banyaknya penduduk Indonesia yang
dianggap tidak berkontribusi secara ekonomi dengan persentase terbesar dalam kategori
mengurus rumah tangga (BPS, 2014). Selain makin bertambahnya jumlah penduduk yang diukur
melalui Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) dan angka fertilitas total/Total Fertility Rate (TFR)
sebagai ukuran besarnya pertambahan penduduk karena kelahiran juga perlu adanya kepedulian
akan makin banyaknya isu kerusakan lingkungan karena ulah manusia.
Saat ini, Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara dengan penduduk terbanyak
di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Badan PBB bidang kependudukan juga telah
memprediksi bahwa Indonesia akan masuk ke dalam lima negara penyumbang
pertambahan penduduk terbesar dunia sampai tahun 2050 setelah India, Pakistan, Brazil,
dan Nigeria. Kondisi kehidupan masyarakat di kota-kota besar di Indonesia sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan banyak negara berkembang lain seperti India. Di Jakarta dan kota-kota
besar lainnya, setiap hari kita bisa menyaksikan kesenjangan sosial, merasakan kemacetan
yang luar biasa karena jumlah kendaraan tidak sebanding dengan ruas jalan yang tersedia
dan kriminalitas semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pengangguran.
Hal ini menjadikan sebuah pekerjaan besar bagi pemerintah dalam menyiapkan SDM
108
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Oleh karena itu melalui tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan strategi penyiapan SDM
Kependudukan sejak dini tentang kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan
kepada masyarakat, yang sepenuhnya akan menopang kemajuan bangsa dan kesejahteraan
masyarakat ke depan melalui pendidikan kependudukan secara terus menerus sebagai investasi
jangka panjang.
Metodologi
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas penduduk dan bukan oleh
ketersediaan sumberdaya alam dan keberhasilan pembangunan ini merupakan konsekuensi dari
pembangunan kependudukan karena penduduk adalah obyek dan subyek dari pembangunan
(Samosir, 2008) Pembangunan harus berpusatkan pada penduduk (people-centered
development), yaitu pembangunan yang berorientasi kepada potensi dan kebutuhan penduduk
namun saat ini pembangunan belum sepenuhnya berwawasan kependudukan dengan tantangan
berupa besarnya kuantitas penduduk ang tergambar dari masih tingginya laju dan jumlah
penduduk, struktur penduduk tidak menguntungkan, kepadatan dan persebaran penduduk yang
tidak merata (BKKBN, 2012).
Besarnya penduduk akan meningkatkan kebutuhan energi, makanan dan air, yang tanpa
upaya teknologi akan berarti terjadi pengurasan besar-besaran terhadap sumber daya
alam. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk tetap harus dikelola dengan baik agar tidak
menjadi beban sosial, ekonomi, politik dan lingkungan.
109
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dalam skema tersebut diperlihatkan arus logis untuk dapat mencapai pembangunan berkelanjutan
yaitu dengan meningkatkan daya saing ekonomi yang dapat tercapai dengan adanya
keseimbangan proporsi antara peningkatan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber
Daya Alam (SDA) dan Ilmu Pengetahuan Teknologi (IPTEK). Ada 9 bidang yang menjadi sasaran
utama dalam ketiga pembangunan tersebut yaitu sosial budaya dan kehidupan beragama,
ekonomi, IPTEK, sarana dan prasarana, politik, pertahanan keamanan, hukum dan aparatur,
wilayah dan tata ruang serta SDA dan Lingkungan Hidup (LH). Kesembilan pembangunan ini
tergambar dalam kebijakan pemerintahan Joko Widodo dalam Nawacita Pembangunan Nasional
dan dalam melakukan analisis tulisan ini dimulai dengan evaluasi program kependudukan yang
telah dilakukan instansi pemerintahan terkait dengan kebijakan pemerintah untuk dapat
menyiapkan kondisi perekonomian lebih baik dalam meletakkan dasar pembangunan SDM
utamanya dalam bidang kependudukan.
110
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pelaksanaan kajian strategi penyiapan SDM Kependudukan melalui studi kajian yang
dilakukan di Balai Diklat KKB Bogor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) berdasarkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Pengkajian dilaksanakan pada pelaksanaan Mata
Diklat Kebijakan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga
(KKBPK) pada bulan Agustus 2015. Modul yang dipergunakan adalah modul yang diterbitkan oleh
BKKBN sesuai dengan standar Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) dan
modul Pendidikan Kependudukan yang menjadi acuan studi kajian ini. Pengkajian menggunakan
metode kepustakaan (library research) dan metode analisis isi (content analysis) serta metode
penelitian lapangan (field study) menggunakan eksperimen yaitu dengan menggunakan
percobaan di lapangan yaitu kepada peserta diklat yang terdiri dari Aparatur Sipil Negara (ASN)
dan masyarakat umum (tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat) yang dilaksanakan pada
5 angkatan diklat dengan jumlah responden sebanyak 150 orang.
Menurut Ravers dalam Husein (2004), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan
sifat sesuatu yang sedang berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-
sebab dari suatu gejala tertentu. Sedangkan menurut Newman (2009) menyatakan bahwa
penelitian deskirptif adalah penelitian yang bertujuan untuk merekam kejadian sejelas-jelasnya
sehingga tidak memerlukan suatu hipotesis karena penelitian deskriptif menuturkan dan
menafsirkan data sebagaimana adanya. Untuk dapat memaknai data maka dilakukan analisis
kualitatif yaitu dengan memberikan makna atas berbagai deskripsi data yang ditemukan dalam
suatu penelitian dengan menggnakan metode:
a. Induksi, yaitu kesimpulan yang ditarik dari kejadian yang sifat khusus ke hal yang umum
b. Deduksi, yaitu kesimpulan yang ditarik dari kejadian bersifat umum ke hal yang bersifat
khusus.
Kedua metode ini digunakan secara bersama-sama saling melengkapi sehingga diharapkan dapat
mendeskripsikan asumsi yang diajukan lewat kerangka berfikir konseptual.
Hasil
Berdasarkan hasil pembahasan kerangka berfikir strategi penyiapan SDM Kependudukan dalam
rangka pembangunan berkelanjutan, maka disepakati bahwa dalam pelayanan dasar untuk dapat
111
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berupa pelayanan pendidikan, kesehatan dan
perbaikan kondisi perekonomian bangsa sebagian besar dipengaruhi oleh kualitas SDM (sebesar
80%) yang menentukan kemajuan bangsa sebagaimana yang disampaikan oleh Samosir (2008).
Hal ini bertentangan dengan paradigma umum yang selama ini dijalankan pemerintah yaitu
kebijakan pembangunan yang memprioritaskan infrastruktur dan optimalisasi pengolahan SDA.
Di sisi lain, ternyata globalisasi telah menantang kebijaksanaan konvensional bahwa kekayaan
negara bersumber dari peningkatan eksploitasi SDA besar-besaran bukanlah prioritas bagi
negara-negara berkembang. Globalisasi adalah proses dimana negara menjadi lebih terintegrasi
melalui gerakan barang, modal, tenaga kerja dan ide-ide untuk dapat menghadang masuknya
tenaga kerja dari luar wilayah negara tersebut (Thirwall, 2011). Proses ini difasilitasi oleh
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam pengaturan ini ide-ide baru yang cepat
membawa ke hasil, teknologi baru yang dikembangkan dan digantikan cepat daripada waktu
lainnya dalam sejarah. Lebih penting daripada waktu lain di masa lalu, pengetahuan sekarang
telah menjadi penentu semakin penting dari kekayaan negara. Pentingnya pengetahuan telah
dihidupkan kembali perhatian pada peningkatan kemampuan sistem dan lembaga pendidikan.
Proses globalisasi telah membuat lebih maju dan keterampilan khusus yang lebih penting dari
sebelumnya, bahkan negara-negara miskin tidak bisa lagi mengabaikan pengembangan
pendidikan tinggi. Globalisasi memungkinkan negara melalui peningkatan keterampilan tenaga
112
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kerja mereka untuk melompat ke kurva belajar berkembang tanpa harus menjalani proses yang
panjang dan mahal melalui peningkatan penemuan dengan meningkatkan keterampilan dasar
melalui pendidikan dan pelatihan.
Untuk negara-negara berkembang prioritasnya adalah untuk menekankan pada primer sebelum
pindah ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Ada dua tujuan yang ingin dicapai pada
pelaksanaan kegiatan pengembangan tersebut. Pertama adalah untuk meningkatkan
produktivitas dengan memungkinkan mayoritas penduduk bekerja di industri padat karya terutama
ditujukan untuk pasar ekspor, di mana upah jauh lebih tinggi. Tujuan kedua adalah konsekuensi
dari yang pertama, dengan memiliki lebih penduduk yang bekerja di sektor pendapatan yang lebih
tinggi, kemiskinan akan menurun dan naiknya pendapatan akan memungkinkan sektor lain untuk
ikut berkembang juga.
Hasil telaah modul kependudukan menghasilkan respon dari para responden yang menyebutkan
bahwa adanya kebutuhan mengenai isu terkini merupakan hal yang perlu disediakan oleh para
penyelenggara diklat (77%) dan menjadi suatu keharusan bahwa pemateri/fasilitator mampu
memfasilitasi peserta tanpa kesan menggurui (82%). Pelaksanaan pelatihan yang menggunakan
modul yang berbasis case based learning (CBL) merupakan suatu pendekatan yang dirasakan
pas karena peserta dapat menerapkan ilmu kebijakan kependudukan yang didapatkan selama
diklat dengan kenyataan kasus di lapangan. Hal ini disebutkan oleh 87% responden yang
menyatakan puas dengan adanya modul kependudukan berbasis CBL ini meski belum semuanya
memahami apa yang dimaksud dengan CBL (95% responden menyatakan baru mendengar
mengenai konsep CBL ketika pelatihan dilaksanakan). Adanya penerapan praktek lapangan yang
dikaitkan dengan ketrampilan baru peserta merupakan hal yang menguntungkan bagi peserta
karena mereka dapat mencoba mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan baru yang
didapatkan selama pelatihan dengan tetap beberapa saran masukan perbaikan ke depannya.
113
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Diskusi
Pendidikan menjadi kunci untuk dapat meningkatkan kualitas SDM Kependudukan, dan
kepedulian pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja sebagai upaya peningkatan
daya saing di era pasar bebas ASEAN 2015 telah dilakukan salah satunya melalui Program Wajib
Belajar 9 Tahun (WAJAR) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tabel 1 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kecenderungan pendidikan tenaga kerja Indonesia
yang pada tahun 2000 didominasi oleh pendidikan sekolah dasar maka terjadi peningkatan
kecenderungan pada pendidikan SMU dan SMK ke atas pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan
adanya perkembangan yang signifikan terhadap program WAJAR tersebut dalam mendukung
peningkatan kualitas tenaga kerja/SDM Indonesia.
Pendidikan formal ini hendaknya dapat diikuti dengan pembangunan karakter individu tersebut
karena dengan makin tingginya persaingan tenaga kerja karena adanya kebijakan Masyarakat
Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan APEC pada tahun 2020 akan menimbulkan tingginya
kebutuhan tenaga kerja ahli yang tidak hanya terampil namun juga tangguh serta memiliki
berbagai karakter positif. Solusi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja ahli adalah untuk
melakukan perekrutan tenaga asing, dengan pindah ke nilai tambah yang lebih tinggi produk yang
bisa mempertahankan upah yang lebih tinggi. Beberapa negara seperti Korea Selatan dan Taiwan
telah berhasil lulus dari nilai rendah produsen ditambahkan ke produsen nilai produk yang lebih
tinggi dengan konten teknologi tinggi. Korea Selatan bahkan telah memulai produk teknologi tinggi
dalam elektronik dengan melakukan sistem perlindungan tenaga kerja negara tersebut dari
masuknya tenaga asing dengan memberlakukan sistem regulasi tenaga kerja yang jelas.
114
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Indonesia telah berupaya mengantisipasi serbuan tenaga kerja asing dengan memberlakukan
berbagai regulasi, salah satunya dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 pasal 45 yang
menyebutkan setiap tenaga kerja asing wajib melakukan alih tekhnologi dan alih keahlian serta
memberikan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia. setelah berhasil menjalani
tahap pertama berorientasi ekspor industrialisasi - Indonesia kini hampir terkunci di spesialisasi
nilai tambah rendah produk seperti sepatu-tekstil low end dan pakaian dan sebagainya. Situasi ini
tidak dapat dipertahankan terlalu lama sebagai produsen biaya rendah baru seperti Sri Lanka,
Vietnam, Kamboja dan sejenisnya sudah mulai memasuki pasar, sementara kebijakan pemerintah
serta situasi politik terus mendorong naiknya biaya upah/penggajian tenaga kerja.
Untuk naik tangga untuk produk bernilai tinggi Indonesia harus meningkatkan keterampilan dasar
yang tidak terlalu mengandalkan lulusan sekolah dasar-menengah, dan mulai untuk
mengeksploitasi kemampuan orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi termasuk lulusan
panggilan. Tentu saja, ada banyak masalah melanda sistem pendidikan di Indonesia yang
membuat lulusannya kurang kompetitif dibandingkan dengan pesaing terdekatnya seperti
Malaysia, Thailand dan Filipina, apalagi Singapura, tapi ini bukan alasan untuk tidak bertindak.
Pembangunan SDM Indonesia perlu mendapat prioritas utamanya dalam hal pembangunan
karakter dan soft skill lainnya yang dipengaruhi oleh berbagai sistem pembangunan SDM
Kependudukan sebagaimana tertera pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 oleh Bronfenbenner (2004) disebutkan bahwa dalam rangka pengembangan
Diklat Kependudukan, maka hendaknya dimulai dari sistem mikro yang ada di sekeliling Diklat
tersebut yaitu widyaiswara dan kurikulum serta berbagai perangkat kediklatan terkait yang
memuat peranan orang tua, saudara kandung, 8 fungsi keluarga dan anggota keluarga lainnya
dalam rangka pembentukan SDM Kependudukan dimulai dari keluarga. Sedangkan sistem kedua
adalah sistem meso yaitu adanya lingkungan pelayanan diklat/ SDM struktural dan fungsional
lainnya yang mumpuni dan memahami pelayanan prima dalam rangka mewujudkan Diklat
Kependudukan Pola Baru yang mengacu pada semangat revolusi mental.
115
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sistem MAKRO
Sistem EKSO
Sistem MESO
ss
Diklat Ke
SISTEM Pendudukan
MIKRO
Sistem ketiga adalah ekso yaitu lingkungan pelayanan diklat berupa sarana prasarana serta
adanya perlindungan serta pemberdayaan hasil diklat di dalam masyarakat yang lebih luas.
Sistem terakhir adalah sistem makro yaitu adanya hukum/regulasi yang kondusif, kebudayaan,
norma, agama, adanya jaminan sosial serta pembiayaan yang memadai untuk dapat
mengembangkan SDM kependudukan ini melalui Diklat Kependudukan. Keempat sistem ini akan
saling berinteraksi untuk dapat menghasilkan pergeran paradigma pembangunan yaitu melalui
transformasi keluarga menuju pembangunan kesejahteraan berbasis peradaban karena
peradaban sebagai modal pembangunan utama.
SDM berkualitas merupakan prasyarat modal pembangunan tersebut dan penduduk Indonesia
sebagai pelaku/produsen utama dalam pelaksanaan program kerjasama Masyarakat Ekonomi
ASEAN ini. Upaya pembangunan SDM kependudukan dalam mewujudkan SDM berkualitas ini
dikatakan berhasil apabila dalam pencapaiannya telah dapat mewujudkan SDM yang
berpendidikan (berpengetahuan dan berketerampilan), sejahtera psikologis dan sejahtera
ekonomi, serta Sehat (diwujudkan dalam fisik sehat, cukup gizi dan mental tangguh).
116
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa dalam upaya
penyiapan revolusi Diklat Kependudukan maka diperlukan upaya :
Ke depannya, perkembangan negara akan sangat dipengaruhi oleh sumbangan kualitas SDM
kependudukan. Untuk dapat mewujudkan pembangunan SDM Kependudukan yang optimal, maka
perlu adanya kerjasama yang harmonis antara keempat sistem pembangunan SDM
Kependudukan mulai dari mikro sampai dengan makro.
Daftar Pustaka
Adioetomo, Sri Moertiningsih, et.al. 2010. Dasar-dasar Demografi. Jakarta : Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;
117
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
BKKBN, 2014. Modul Diklat Teknis Kebijakan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga (KKBPK). Jakarta: BKKBN;
BPS. 2011. Tabel Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Provinsi. Jakarta:BPS. Diakses pada
tanggal 13 Juli 2015. Sumber URL :
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26¬ab=2
Samosir, Omas Bulan. Strategi Pembangunan Manusia. Artikel Harian Kompas. Tanggal 25
November 2011;
Thirwall, A.P. 2006. Growth & Development : With Special Reference to Developing Economies.
New York : Palgrave MacMilan;
UNDP. 2011. Human Development Reports 2011. UNDP; Diakses pada tanggal 10 Juli 2015.
Sumber URL : http://hdr.undp.org/en/media/FAQs_2011_Human_Development_Report.pdf
118
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: The Law Number 6 Year 2014 on Village has been becoming the regulatory
base of the government to promulgate various implementation regulations, in particular to
Village Fund allocated in the National Budget (APBN), such as regulations of the
allocation and channelling mechanism of Village Fund, the use and reporting of Village
Funds, monitoring and evaluation of Village Funds as the references of their
implementation and management. In 2015, Provinsi and Kabupaten governments have
been facilitating technical guidance for the Village Fund management. It is expected that
through these technical guidance it can provide a good understanding of village
government apparatuses in dealing with the Village Fund management. The relatively
low intake of Village Fundshas been becoming major issues to many related people
instigated by regulations’ misinterpretations; regulations which are burdening village
government apparatuses or complicated reporting mechanisms; limited human resources
(HR) capacity in the village governance, so that they lead to anxieties of village
government apparatuses as they are potentially criminalized. From the writer’s
monitoring results within several villages in the Kabupatenof Timor Tengah Utara NTT,
the most crucial part of Village Fund management is that village government apparatuses
have not possessed yet a good and proper understanding of procurement of goods/
services mechanisms in village level, though the Village Fund is mainly used for
development investment expenditures whereas their processes are through the
procurement of goods/ services mechanisms. This matter results in the low intake of the
Village Fund in Year 2015.
Keywords: Village Fund, the Village Government Apparatuses, Goods and Services
Procurement in the village
Corresponding author: Ondy Ch. Siagian, SE.,M.Si, E-mail:
Ondysiagian19@gmail.com Telp: 081246421232
119
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
A. PENDAHULUAN
Sejak dialokasikannya Dana Desa bagi seluruh desa di wilayah Indonesia dengan
total anggaran Dana Desa secara Nasional untuk Tahun Anggaran 2015 sebesar
Rp.20,7 triliun dan masing-masing desa sedikitnya menerima Dana Desa sebesar
Rp.254 juta, membuat desa saat ini mendadak menjadi daya tarik.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah Dana Desa diterima di Rekening Kas
Umum Daerah bupati/walikota harus segera mentransfer ke Rekening Kas Desa, dengan
catatan Desa tersebut telah menetapkan APB Desa dan telah menyampaikannya kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota.
Hampir seluruh desa telah diberikan bimbingan teknis pengelolaan keuangan Dana
Desa oleh aparatur pemerintah Kabupaten dan Provinsi yang sebelumnya telah
mendapat pembekalan di tingkat nasional. Selanjutnya Pemerintah Provinsi masing-
masing memberikan pelatihan dalam bentuk Training of Trainers bagi aparaturnya untuk
selanjutnya memberikan pelatihan di tingkat Kabupaten yang diikuti oleh aparat desa.
120
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
B. PERMASALAHAN
Dari pemberitaan media cetak maupun televisi tentang dana desa, disampaikan
bahwa permasalahan utama dari Dana Desa saat ini adalah rendahnya penyerapan yang
disebabkan banyaknya aturan yang multitafsir [antara lain Permen Desa PDTT
Nomor 5/2015 (yang menyatakan dana desa diprioritaskan untuk belanja pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat desa) dan Permendagri Nomor 114/2014 (yang
menyebutkan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa)], regulasi yang
memberatkan aparatur pemerintah desa atau mekanisme pelaporan yang rumit
[misalnya Permendagri Nomor 113/2014 yang meminta desa menyusun laporan realisasi
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) setiap semester],
terbatasnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di pemerintahan desa, dan juga
ketakutan aparat pemerintah desa dikriminalisasi apabila salah dalam pengelolaannya.
Penulis berpikir bahwa pemberitaan tersebut sangat tidak mendukung dan cenderung
mencari kesalahan, aturan yang dikeluarkan Kemdes PDTT dan Kemendagri sudah
cukup lengkap, sehingga dapat digunakan sebagai acuan oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dalam menyusun pedoman atau petunjuk operasional yang lebih teknis.
Menurut penulis tidak ada aturan dan mekanisme pelaporan yang rumit karena
instrumen yang tertuang dalam pertaruran-peraturan tentang dana desa sudah cukup
jelas, terkait dengan tiga syarat pencairan dana dari kabupaten/kota ke desa: (1) Harus
memiliki APBDes; (2) Harus memilki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJM Desa); dan (3) Harus membuat Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDes).
Tiga syarat tersebutpun sudah merupakan hal rutin yang dilakukan oleh desa dalam
proses perencanaan selama ini.
121
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Skema diatas menjelaskan bahwa penetapan metode pengadaan barang dan jasa
di desa tidak serta merta memilih antara swakelola dan/atau penyedia sebagai dasar
melaksanakan pekerjaan pembangunan, namun harus diawali dengan kajian
perencanaan. Sehingga penentuan pekerjaan mana yang akan di swakelolakan dan
yang dikerjakan oleh penyedia haruslah tepat.
122
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
C. PEMBAHASAN/HASIL EVALUASI
Berdasarkan Peraturan Kepala Perka LKPP Nomor 13 Tahun 2013 jo Perka LKPP
Nomor 22 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa,
Pengadaan barang dan jasa di desa yang pembiayaannya besumber dari APBDes tidak
mengikuti aturan dalam Perpres 54 tahun 2010. Jika Perpres 54/2010 mengatakan
bahwa pengadan barang dan jasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu melalui penyedia
dan swakelola, maka pengadaan barang dan jasa di desa pada prinsipnya dilakukan
secara swakelola dengan aturan sebagai berikut:
Oleh karenanya cara penetapan metode pengadaan barang dan jasa di desa
melalui swakelola atau penyedia bukan pada besaran biaya pekerjaannya tetapi pada
prinsip-prinsip swakelola sebagaimana telah diuraikan di atas.
123
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Gambar organisasi pengadaan barang dan jasa di desa di atas menjelaskan bahwa
ada tiga pihak sebagai pengelola pengadaan barang dan jasa di desa. Kepala Desa
sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa di
desa, dalam hal teknis pengelolaannya menetapkan TPK yang terdiri dari unsur
perangkat desa dan lembaga kemasyarakatan desa, TPK menyusun perencanaan
pengadaan barang dan jasa di desa setelah penetapan APBDesa dengan
menginventarisir pekerjaan yang akan di swakelolakan dan pekerjaan yang dilakukan
oleh penyedia, menyusun harga satuan pekerjaan dan RAB, serta Kerangka Acuaan
Kerja (KAK) untuk setiap pekerjaan. TPK akan melaporkan kemajuan pekerjaan dan
membuat pertanggung jawaban kepada Kepala Desa sebagai PKPKDes, dan
pertanggung jawaban dimaksud sebagai dasar bagi Kepala Desa untuk proses keuangan
yang dilakukan oleh PTPKDes. Dari penjelasan singkat ini dapat terlihat tugas dan fungsi
ketiga pihak dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa di desa.
Hasil evaluasi yang dipaparkan dalam makalah ini adalah keterlibatan penulis
sebagai Widyaiswara dengan latar belakang spesialisasi Pengelolaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang secara pribadi menawarkan diri untuk mendapat
kesempatan membimbing para Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Bendahara Desa
dalam Pelatihan Pengelolaan Dana Desa di Kabupate Timor Tengah Utara (TTU)
Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan hasil sebagai berikut:
1. Kabupaten TTU memiliki 160 Desa yang memperoleh dana desa Tahun Anggaran
2015 dengan total dana sebesar Rp.43.016.882.000,00 atau tiap desa rata-rata
memperoleh Rp.280.000.000,00. Hampir seluruh desa telah melakukan
penyesuaian terhadap APBDes, sebagian besar telah mereview RPJMDes dan
RKPDes, sehingga dari sisi perencanaan anggaran tidak ada masalah.
124
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
d. Aparat desa pada Pelatihan tahap ke tiga, merasakan bahwa materi Metode
Pengadaan Barang/Jasa di Desa merupakan materi pokok yang dapat
memberikan solusi terhadap percepatan penyerapan dana desa, yang disesali
adalah karena sebagian besar desa sudah memanfaatkan dana, namun
belum sesuai dengan metode pengadaan barang/jasa di desa.
3. Uji petik pemanfataan dana desa dilakukan pada 3 (tiga) desa di Kabupaten TTU
masing-masing: Desa Takin Kecamatan Bikomi Tengah, Desa Naiola Kecamatan
Bikomi Selatan dan Desa Oelneke Kecamatan Musi. Dari ketiga desa tersebut
hanya desa Oelneke yang berhasil mengelola dana desa dengan baik termasuk
pengadaan barang/jasa melalui metode Swakelola. Swakelola di Desa Oelneke
125
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
1. Kesimpulan
a. Penyusunan RPJMDes, RKPDes dan APBDes merupakan dokumen
administrasi perencanaan yang setiap aparatur desa selalu mendapat
bimbingan teknis dan pelatihan penyusunannya, keterlambatan
penyusunan perencanaan seharusnya tidak menjadi alasan karena
merupakan dokumen wajib bagi pemerintah desa.
b. Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan dan bimbingan
teknis yang telah dilakukan ternyata belum memberikan pemahaman yang
komprehensif terhadap aparatur desa, semata-mata hanya dibekali
dengan kebijakan pemerintahan desa dan keuangan desa, serta
manajemen dana desa. Bagaimana dengan pengelolaan dana desa
melalui pengadaan barang/jasa di desa? Aparat desa belum memiliki
pemahaman terhadap metode pengadaan barang/jasa di desa, disamping
itu tidak banyak instruktur/narasumber yang mendalami secara benar
tentang metode pengadaan barang/jasa di desa.
c. Dalam pengadaan barang/jasa di Desa, Kepala Desa sebagai PKPKDes,
menetapkan PTPKDes sebagai pengelola keuangan desa dan TPK
sebagai pengelola Pengadaan Barang/Jasa di Desa. Komponen
pengelola yang mempunyai peran strategis dalam pengelolaan
pengadaan barang/jasa adalah TPK, oleh karenanya TPK yang harus
diberikan pelatihan teknis tentang pengelolaan pengadaan barang/jasa di
desa.
d. Secara pribadi dengan pengalaman melatih aparatur desa, saya optimis
dana desa ini akan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan
masyarakat asalkan seluruh pihak terkait memiliki tujuan dan motivasi
yang sama bekerja bersama masyarakat desa membangun desa.
126
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
2. Rekomendasi
127
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Referensi:
Abu Saman Lubis (2014). Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa Apakah Harus
Dipedomani?. http://www.bppk.kemenkeu.go.id pada tanggal 30 Agustus 2015.
128
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: The purpose of this study was to describe the presence or absence of the
influence of empowerment, work culture, achievement motivation on teacher
performance at Kapuas District. This study includes a quantitative study using
survey methods and observation. Instruments used in data collection observation
guide/teacher assessment of learning plan, implement learning and
assessment/evaluation, as well as using a Likert scale questionnaire. Sample size
was 98 people who were taken through the method of randomly proportionally. The
technique of data analysis used the technique of path analysis (path analysis). The
conclusion of this study were (1) Empowerment has a direct positive effect on
teacher performance, (2) work culture has a direct positive effect on teacher
performance, (3) Achievement motivation has a positive direct effect on teacher
performance, (4) Empowerment has a direct positive influence on achievement
motivation, (5) work culture has a direct positive effect on achievement motivation.
Pendahuluan
129
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dilakukan guru sesuai tugas yang diembannya dan merupakan tanggung jawabnya.
Dalam hal ini tugas-tugas rutin sebagai seorang guru adalah merencanakan
pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar.
Kinerja guru sebenarnya tidak hanya dalam pengelolaan pembelajaran,
tetapi lebih luas lagi mencakup hak dan wewenang guru yang dimiliki. Namun
demikian pengelolaan pembelajaran dipandang sebagai sebuah posisi dimana
muara segala kinerja guru ditampung di dalamnya. Dengan kedudukan dan fungsi
guru seperti itu, maka sebagai tenaga profesional guru dituntut mampu
mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan
keahliannya agar memperoleh hasil kerja yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan
tuntutan masyarakat yang menginginkan suatu pendidikan yang berkualitas.
Namun kenyataannya, kinerja guru dalam beberapa hal masih belum
optimal. Dari hasil Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M) pada Kabupaten
Kapuas yang dilaksanakan oleh LPMP Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun
2012, kinerja guru dalam pemenuhan standar isi, standar proses, dan standar
penilaian pada umumnya masih pada level 1 dan 2 dari 4 level yang ada. Masalah
tersebut antara lain disebabkan oleh; (a) kurang efektifnya pemberdayaan guru oleh
atasan, (b) rendahnya budaya kerja, dan (c) rendahnya motivasi berprestasi guru.
Dari hasil Monitoring dan Evaluasi yang dilaksanakan oleh LPMP Provinsi
Kalimantan Tengah tahun 2012 di Kabupaten Kapuas juga menunjukkan bahwa
kinerja guru dalam empat komponen tugas utama secara rata-rata adalah 2,48,
termasuk dalam kategori cukup. Empat komponen tugas utama guru tersebut
adalah: (a) Pengembangan KTSP dan silabus, (b) Pengembangan RPP, (c)
Penyusunan kisi-kisi dan bank soal, dan (d) Pelaksanaan Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Evektif, dan Menyenangkan. Data ini menunjukkan bahwa kinerja guru
dalam tugas utamanya masih belum optimal.
Masalah tersebut antara lain disebabkan oleh: (a) belum optimalnya
pemberdayaan guru oleh atasan (b) belum terbangunnya budaya kerja guru, (c)
belum optimalnya penghargaan/pengakuan terhadap hasil kerja guru, dan (d)
rendahnya motivasi berprestasi guru.
Kenyataan di atas, sejalan dengan pernyataan Sudarminto (2001) bahwa
rendahnya kinerja guru disebabkan oleh rendahnya motivasi berprestasi, tidak
punya etos kerja yang tinggi, dan insentif yang rendah. Uraian di atas menunjukkan
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan
tugas/pekerjaannya. Oleh sebab itu untuk mengetahui secara jelas dan nyata
130
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
tentang beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru, khususnya guru SD/MI,
melalui penelitian ini akan diungkap faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru,
khususnya pemberdayaan, budaya kerja, dan motivasi berprestasi.
Secara teori, pemberdayaan mempunyai pengaruh terhadap kinerja. Kinlaw
(1995) menyatakan:
Empowerment is the process of achieving continuous improvement in a
organization’s performance by developing and extending the compotent
influence of individual and teams areas and functions which affect their
performance and that of the total organization.
Short (1994) mengatakan bahwa “Empowerment as any process that
provides greater autonomy through the sharing of relevant information and the
provision of control over factors affecting job performance”. Sedang Erstad (1997)
menegaskan, “Whatever the definition of empowerment used, the end goal is to
develop the performance and potential of the individual as well as that of the
organization”. Apapun definisi pemberdayaan yang digunakan, tujuan akhir adalah
untuk mengembangkan kinerja dan potensi individu maupun organisasi.
Variabel lain yang mempengaruhi kinerja adalah budaya kerja. Daft (2010)
mengatakan bahwa budaya memberikan dampak yang sangat besar terhadap
kinerja. Ndraha (2002) juga menyatakan bahwa terdapat korelasi positif dan
signifikan antara budaya organisasi, lebih-lebih budaya kuat, dengan prestasi kerja
(performance) karyawan.
Di sisi lain, motivasi berprestasi juga berpengaruh terhadap kinerja. George
dan Jones (2001) menyatakan:
The motivation of organizational members to make important contributions to
their job and organizations can have a major impact on organizational
performance. An understanding of motivation is of utmost importance for
organizational performance.
131
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
yang digunakan oleh pimpinan untuk memotivasi bawahan, yaitu dengan cara
memberikan kekuasaan dan tanggung jawab kepada bawahan.
Budaya kerja juga berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Sembiring
(2012) mengatakan betapa kuatnya pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi
dan perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi mampu
menunjukkan tapal batas organisasi untuk membedakan dengan organisasi lain. Hal
senada dikemukakan Deal dan Peterson bahwa “culture amplifies the energy,
motivation, and vitality of a school staff, students, and community”.
Berdasarkan kajian teori di atas, maka konstelasi masalah yang dikaji dalam
penelitian ini sebagai berikut.
Pemberdayaan
Motivasi
Kinerja Guru
Berprestasi
Budaya Kerja
Metodologi
Proses penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode survei dan observasi dengan
model kausal, yaitu sistem aliran ke satu arah, sehingga tidak ada arah terbalik.
Model kausal merupakan analisis ada atau tidak ada pengaruh antara satu variabel
dengan variabel lainnya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis jalur (path analysis) yang
merupakan suatu metode yang tepat digunakan pada model kausal yang telah
dirumuskan peneliti berdasarkan substansi keilmuan yaitu landasan teoritis dan
pengalaman peneliti.
Teknik pengumpulan data untuk variabel terikat, yaitu kinerja guru dilakukan
dengan menggunakan instrumen berupa panduan observasi/ penilaian
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan penilaian/evaluasi
pembelajaran. Sedang untuk variabel bebas, yaitu pemberdayaan, budaya kerja,
132
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil
Pengaruh Langsung Pemberdayaan (X1) terhadap Kinerja Guru (Y)
Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan komputer melalui program SPSS seri
18 dengan taraf alpha 0,05. Hipotesis penelitian yang diuji menyatakan bahwa
terdapat pengaruh langsung positif pemberdayaan terhadap kinerja guru.
Hipotesis statistik yang diuji adalah:
Ho : βY1 ≤ 0
Ha : βY1 > 0
133
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil analisis dengan program SPSS dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.
Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 63,004 11,520 5,469 ,000
X1 ,226 ,093 ,238 2,436 ,017
X2 ,272 ,101 ,255 2,690 ,008
X3 ,215 ,105 ,211 2,040 ,044
Berdasarkan hasil perhitungan koefisen jalur seperti pada tabel 4.1 di atas
diperoleh pY1 sebesar 0,238, thitung = 2,436 lebih besar dari pada ttabel = 1.985 karena
itu Ho ditolak dan koefisien jalur signifikan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis yang diajukan yaitu
terdapat pengaruh langsung positif pemberdayaan terhadap kinerja guru dapat
diterima. Dengan ditolaknya Ho, maka diyakini bahwa pemberdayaan mempunyai
pengaruh langsung positif terhadap kinerja guru.
134
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 22,869 10,985 2,082 ,040
X1 ,356 ,083 ,383 4,310 ,000
X2 ,315 ,093 ,301 3,385 ,001
135
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Berdasarkan hasil perhitungan koefisen jalur seperti pada tabel 4.2 di atas
diperoleh 𝑝32 sebesar 0,301, thitung = 3.385 lebih besar dari pada ttabel = 1.985 oleh
karena itu Ho ditolak dan koefisien jalur signifikan.
136
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Diskusi
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Short (1994) bahwa,
“Empowerment as any process that provides greater autonomy through the sharing
of relevant information and the provision of control over factors affecting job
performance”. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Awamleh (2013)
bahwa “Empowerment is very significant to the performance of organizations”.
Pemberdayaan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan bagi kinerja
organisasi.
137
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Muntaha (2011)
dengan judul, “Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Motivasi Kerja
terhadap Kinerja Karyawan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dokter Soedarso
Pontianak” dimana pada salah satu simpulannya dia juga menyatakan bahwa
budaya organisasi berpengaruh langsung positip terhadap kinerja karyawan. Hasil
perhitungan koefisien jalur pengaruh langsung budaya organisasi terhadap kinerja
sebesar 0,56 dengan thitung = 9,67 > ttabel = 1,65 pada α = 0,05.
Hal senada juga dikemukakan Daft (2010) bahwa motivasi pekerja akan
memengaruhi produktivitasnya. Oleh karena itu, salah satu tugas manajer adalah
menyalurkan motivasi ke arah pencapaian tujuan organisasi.
Hasil Penelitian Syamsiah Zees (2010) dengan judul, “Hubungan
Komunikasi Akademik, Iklim Kerja, dan Motivasi Kerja dengan Kinerja Dosen
Universitas Negeri Menado” di salah satu simpulannya juga menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara motivasi kerja dengan kinerja dosen. Apabila
motivasi kerja ditingkatkan satu unit, maka kinerja dosen cenderung meningkat
sebesar 0,436 pada konstanta 72,639.
138
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
139
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pegawai pada Unit Pengelola Anggaran Kantor Pusat Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI” dimana pada salah satu simpulannya dia menyatakan bahwa kultur
kerja berpengaruh langsung positif terhadap motivasi. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa harga koefisien jalur sebesar 0,553 dengan harga thitung =
8,362 dan harga ttabel (α = 0,05) sebesar 1,98 yang berarti Ho ditolak dan H1
diterima. Artinya perbaikan terhadap kultur kerja akan secara langsung berpengaruf
terhadap motivasi.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, maka kesimpulan penelitian dapat
disampaikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang sesuai dengan
pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru. (2) Budaya kerja
berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa budaya
kerja yang kuat/positif dari guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru. (3)
Motivasi berprestasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru. Hal ini
berarti bahwa motivasi berprestasi yang tinggi dari guru mengakibatkan
meningkatnya kinerja guru. (4) Pemberdayaan berpengaruh langsung positif
terhadap motivasi berprestasi. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang sesuai
dengan pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya motivasi berprestasi guru. (5)
Budaya kerja berpengaruh langsung positif terhadap motivasi berprestasi. Hal ini
berarti bahwa budaya kerja yang kuat/positif dari guru mengakibatkan meningkatnya
motivasi berprestasi guru.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpilan Penelitian ini, maka rekomendasi yang diberikan
adalah sebagai berikut: (1) Pimpinan institusi (Kepala Sekolah) hendaknya secara
konsisten memberdayakan guru: melibatkan guru dalam pengambilan keputusan
yang terkait dengan kemajuan individu dan sekolah; memberikan
bimbingan/mentoring untuk menyelesaikan tugas; mengikutsertakan guru dalam
pelatihan (seperti melalui wadah KKG); memberikan tugas, tanggung jawab dan
wewenang kepada guru sesuai kompetensi/spesifikasinya; menciptakan komunikasi
yang sehat dan terbuka kepada semua warga sekolah. (2) Pembina institusi
(Pengawas Sekolah, Dinas Pendidikan, Mapenda) hendaknya secara konsisten dan
berkelanjutan menumbuhkan budaya kerja yang kuat: menunjukkan kecintaan dan
140
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
Daft, Richard L., (2011). Era Baru Manajemen, Jakarta: Salemba Empat.
Deal, Terrence E. & Kent D. Peterson, (1991). Shaping School Culture. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers.
141
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Suwatno dan Donni Juni Priansa, (2011). Manajemen SDM dalam Oganisasi Publik
dan Bisnis, Bandung: Alfabeta.
Zees, Syamsiah, (2010). Hubungan Komunikasi Akademik, Iklim Kerja, dan Motivasi
Kerja dengan Kinerja Dosen Universitas Negeri Manado. (Sinopsis
Disertasi), (Jakarta: UNJ).
142
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: The purpose of this study was to develop an instrument to measure the
knowledge and skills of fourth grade students in conducting scientific activitiesin the sub-
theme of animals and plants in my environment . The instrument consists of a number of
items made of activities that lead students to conduct scientific activities (observe, ask,
gather information, process and communicate information) that is equipped with a scoring
rubric. The model used is a model development 4-D consisting of 4 stages, namely define,
design, develop, and desimanate. Results of the validation and testing of limited use the
instruments developed shows that the assessment instruments developed scientific
approach based feasible to use. Assessment instruments developed can be used to evaluate
the learning process and assists teachers in developing competences of knowledge and
skills of students in conducting scientific activities
Keywords : Assessment instruments , scientific approach , Sains , and Sub theme Animals
and Plants in the my house Environment
Corresponding Author: Yetty Fatri Dewi,M.Pd Email: jasmineoriza@yahoo.co.id Telp :
085266147739
PENDAHULUAN
143
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Penilaian autentik dipandang sebagai model penilaian yang paling cocok, lengkap, dan
objektif, dan telah digunakan di berbagai negara dan berbagai bidang. Lowery (2003),
menjelaskan para guru sekolah di Texas secara intensif dilatih agar memiliki keterampilan
dalam menyusun dan menerapkan instrumen penilaian autentik dalam pembelajaran.
Berbagai jenis instrumen telah dikembangkan oleh para peneliti, pendidik dan praktisi
pendidikan. Fatonah et al (2013) telah mengembangkan model autentik asesmen untuk
pembelajaran IPA di SD. Sementara, Moon et al (2005) mengembangkan instrumen autentik
asesmen untuk siswa cerdas SMP.
Salah satu instrumen yang dapat mengukur kemampuan peserta didik baik
pengetahuan maupun keterampilan melakukan kegiatan saintifik secara autentik adalah
instrumen berupa butir kegiatan yang harus dilakukan langsung oleh peserta didik.
Instrumen dilengkapi dengan rubrik penilaian yang sesuai dengan komponen kegiatan
saintifik dan pedoman penilaian.
144
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Menurut Enger and Yager (2000) ranah proses dalam IPA terdiri dari tiga belas proses
yang akan diidentifikasi melalui sebuah pendekatan proses. Tiga belas item tersebut meliputi
pengamatan, penggunaan ruang dan waktu, klasifikasi, penggunaan angka, mengukur,
mengkomunikasikan, menyimpulkan, memprediksi, mengidentifikasi dan mengontrol
variabel, menginterprestasikan data, merumuskan hipotesis, menentukan definisi
operasional dan melakukan eksperimen. Kemampuan menggunakan tiga belas item tersebut
dapat dijadikan target dalam pembelajaran dan penilaian. Hal tersebut berkaitan dengan
Komponen-komponen pendekatan saintifik menurut Dyers yang dijelaskan dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 104 Tahun 2014 yang meliputi kemampuan
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/mengasosiasi, dan
mengomunikasikan. Berikut ditampilkan sasaran penilaian keterampilan peserta didik.
145
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
METODE PENGEMBANGAN
Jenis data yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini adalah kuantitatif dan
kualitatatif. Data kuantitatif didapat dari skor dari angket tanggapan dari guru, dan data uji
validitas dan reliabilitas. Data kualitatif diperoleh dari tanggapan dan saran yang di berikan
oleh ahli validasi dan guru sebagai praktisi.
Pada uji terbatas diperoleh data dari tanggapan guru berupa skor. Skor angket
dianalisis dengan terlebih dahulu membuat tabel interval. Jarak interval dihitung dengan
menggunakan rumus berikut (Ridwan, 2010) :
146
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Setelah diperoleh jarak interval, maka ditentukan klasifikasi untuk tanggapan guru sebagai
berikut :
9,77 – 12,00 : sangat layak
7,51 – 9,76 : layak
5,26 – 7,50 : cukup layak
3,00 – 5,25 : kurang layak
Selain data tanggapan guru pada uji terbatas juga diperoleh data hasil belajar siswa
yang akan di gunakan untuk menentukan validitas dan reliabilitas. Validitas dan reliabilitas
diperoleh dengan menggunakan rumus korelasi product-moment (Arikunto,1999). Pada uji
coba terhadap siswa, kemampuan siswa melakukan kegiatan saintifik dapat di analisis
dengan teknik penghitungan presentase dengan rumus :
147
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tumbuh-tumbuhan
Akar Batang Daun Bunga
1. Deskripsi akar 1. Deskripsi 1. Deskripsi 1. Deskripsi
tumbuhan batang Daun akar
2. Bagian-bagian tumbuhan tumbuhan tumbuhan
akar tumbuhan 2. Bagian-bagian 2. Bagian-bagian 2. Bagian-
3. Fungsi akar batang daun bagian akar
tumbuhan tumbuhan tumbuhan tumbuhan
3. Fungsi batang 3. Fungsi daun 3. Fungsi akar
tumbuhan tumbuhan tumbuhan
Hewan
1. Deskripsi tubuh hewan
2. Bagian-bagian tubuh hewan
3. Fungsi bagian tubuh hewan
Selain analisis konsep juga dilakukan perumusan indikator dan tujuan pembelajaran
berbasis pendekatan saintifik yang akan digunakan untuk menyusun instrumen dan rubrik
penilaian. Indikator yang dirumuskan berkaitan dengan 5 komponen pendekatan saintifik,
yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi, dan
mengkomunikasikan.
Tahap perancangan (design) terdiri dari empat langkah yaitu pembuatan jadwal
selama 6 bulan. Penentuan tim kerja yang terdiri dari dua validator ahli, 3 orang guru kelas
IV SD, dan 32 orang siswa kelas IV pada uji coba terbatas. Spesifikasi desain instrumen
penilaian berbasis pendekatan saintifik muatan IPA pada subtema hewan dan tumbuhan di
lingkungan rumahku dirancang dengan menggunakan teknik penugasan yang dilakukan
dalam proses pembelajaran. Instrumen yang digunakan dalam bentuk lembar kegiatan siswa
yang dilengkapi dengan rubrik penilaian. Instrumen dan rubrik yang sudah disusun berbasis
pendekatan saintifik.
Pada uji coba terbatas diperoleh data tanggapan guru dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan tanggapan dari tiga orang guru yang menggunakan instrumen penilaian yang
dikembangkan melalui angket tanggapan guru di peroleh informasi bahwa instrumen
penilaian yang dikembangkan mudah digunakan untuk mendapatkan data tentang
ketercapaian kompetensi siswa. Kemudahan tersebut juga didukung dengan adanya rubrik
148
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
penilaian dan pedoman penilaian yang dikembangkan. Selanjutnya berdasarkan skor dari
angket tanggapan guru di peroleh skor rat-rata 10,1 atau berada pada rentang 9,77 s/d
12.00 dengan kategori sangat layak untuk digunakan.
Pada uji coba terbatas instrumen penilaian juga diperoleh data tentang validitas dan
reliabilitas instrumen yang dikembangkan. Validitas dan reliabilitas diperoleh dari analisis
hasil belajar siswa. Uji coba dilakukan pada 32 orang siswa kelas IV SDN 01/IV Kota Jambi.
Uji coba menggunakan instrumen penilaian berbasis pendekatan saintifik pada sub tema
hewan dan tumbuhan di lingkungan rumahku yang terdiri dari lima kali pembelajaran.
Pembelajaran 1, 2 dan 3 terdiri dari 7 kegiatan, pembelajaran 4 terdiri dari 11 kegiatan, dan
pembelajaran 5 terdiri dari 8 kegiatan.
Selain validatas instrumen, pada uji coba terbatas ini data yang diperoleh juga
digunakan untuk menentukan reliabilitas instrumen yang dikembangkan. Semua item
kegiatan reliabel Ini berarti bahwa hasil penilaian dengan menggunakan instrumen yang
dikembangkan dapat dipercaya.
Hasil belajar siswa diperoleh dari dua kompetensi yaitu pengetahuan dan
keterampilan. Untuk keterampilan ada dua hasil belajar yaitu keterampilan abstrak dan
keterampilan kongkrit. Untuk keterampilan abstrak terkait dengan kemampuan melakukan
kegiatan saintifik, yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi
dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan kongkrit yaitu kemampuan menulis yang
disajikan dalam bentuk laporan hasil pengamatan. Hasil belajar siswa diperoleh dari setiap
pembelajaran yang dilakukan. Pengukuran kompetensi siswa dilakukan di kelas IV SDN
01/IV Kota Jambi. Jumlah siswa yang terlibat sebanyak 32 orang siswa.
149
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pembelajaran 2 dengan materi pokok bentuk luar tubuh tumbuhan dan fungsinya.
siswa melakukan 7 item kegiatan berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh siswa
diperoleh data tentang pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan pengukuran
pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa dalam
mendeskripsikan bagian bentuk luar tubuh tumbuhan, mengidentifikasi bagian-bagian
tumbuhan, dan menjelaskan fungsi bagian tumbuh-tumbuhan adalah 3,14 dengan predikat
(B) atau berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa pembelajaran 2 yang dilakukan secara
klasikal mencapai ketuntasan minimal yang ditetapkan. Rata-rata nilai kemampuan siswa
melakukan kegiatan saintifik adalah 3,12 atau dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan
saintifik yang dilakukan kegiatan menanya memiliki rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,81
atau dengan kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran kemampuan keterampilam melakukan
kegiatan ilmiah pembelajaran 1 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan siswa
menyajikan data secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,06 atau
dengan kriteria baik.
Pembelajaran 3 dengan materi pokok bentuk luar akar tumbuhan dan fungsinya. siswa
melakukan 7 item kegiatan berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh siswa
diperoleh data tentang pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan pengukuran
pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa dalam
mendeskripsikan bentuk luar akar tumbuhan, mengidentifikasi bagian-bagian akar
tumbuhan, dan menjelaskan fungsi akar tumbuhan adalah 3,17 dengan predikat (B) atau
berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa pembelajaran 3 yang dilakukan secara klasikal
mencapai ketuntasan minimal yang ditetapkan.Rata-rata nilai kemampuan siswa melakukan
kegiatan saintifik adalah 3,12 atau dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan saintifik yang
dilakukan kegiatan menanya memiliki rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,81 atau dengan
kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran kemampuan keterampilam melakukan kegiatan
150
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
ilmiah pembelajaran 3 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data
secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,06 atau dengan kriteria baik.
Pembelajaran 4 dengan materi pokok bentuk luar daun dan bunga dan fungsinya.
siswa melakukan 11 item kegiatan berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh
siswa diperoleh data tentang pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan
pengukuran pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa
dalam mendeskripsikan bentuk luar daun dan bunga, mengidentifikasi bagian-bagian daun
dan bunga, dan menjelaskan fungsi daun dan bunga adalah 3,13 dengan predikat (B) atau
berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa pembelajaran 4 yang dilakukan secara klasikal
mencapai ketuntasan minimal yang ditetapkan.Rata-rata nilai kemampuan siswa melakukan
kegiatan saintifik adalah 3,07 atau dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan saintifik yang
dilakukan kegiatan menanya memiliki rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,72 atau dengan
kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran kemampuan keterampilam melakukan kegiatan
ilmiah pembelajaran 4 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data
secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,12 atau dengan kriteria baik.
Pembelajaran 5 bentuk luar batang dan fungsinya. siswa melakukan 8 item kegiatan
berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh siswa diperoleh data tentang
pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan tabel pengukuran pengetahuan
diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa dalam mendeskripsikan
bentuk luar batang, mengidentifikasi bagian-bagian batang, dan menjelaskan fungsi batang
adalah 3,22 dengan predikat (B) atau berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa
pembelajaran 5 yang dilakukan secara klasikal mencapai ketuntasan minimal yang
ditetapkan.Rata-rata nilai kemampuan siswa melakukan kegiatan saintifik adalah 3,15 atau
dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan saintifik yang dilakukan kegiatan menanya memiliki
rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,88 atau dengan kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran
kemampuan keterampilam melakukan kegiatan ilmiah pembelajaran 5 juga diperoleh
informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data secara tertulis dalam bentuk laporan
hasil pengamatan yaitu 3,13 atau dengan kriteria baik.
Dari lima pembelajaran yang dilakukan rata-rata kemampuan peserta didik dalam
melakukan kegiatan saintifik “baik”. Keterampilan siswa untuk kegiatan mengamati dari lima
pembelajaran nilai tertinggi (optimum) 3,44.
Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai optimum untuk keterampilan menanya
yaitu 2,88. Jika dikonversikan 2,88 berada pada rentang 2,815-3,17 atau berada pada
kriteria baik. Melalui kegiatan menanya terjadi pengembangan kompetensi peserta didik
151
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
yang terdiri dari kreativitas, rasa ingin tahu, dan membentuk pikiran kritis (Kemendikbud
2014;5).Berdasarkan hasil belajar siswa diperolah informasi bahwa, dari lima pembelajaran
yang dilakukan nilai optimum keterampilan mengumpulkan informasi adalah 3,35. Jika di
konversikan dengan tabel konversi nilai berada pada rentang 3,18-3,50 dengan predikat “B+”
atau dengan kriteria baik. Kegiatan mengumpulkan informasi dapat melatih peserta didik
mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan
berkomunikasi. Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai optimum untuk keterampilan
mengolah informasi yaitu 3,17. Jika dikonversikan dengan tabel konversi nilai berada pada
rentang 3,18-3,50 dengan predikat “B+” atau dengan kriteria baik. Melalui kegiatan mengolah
informasi dapat mengembangkan kompetensi siswa dalam mengembangkan sikap jujur,
teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, dan kemampuan menerapkan prosedur
Dalam lima pembelajarn yang dilakukan komunikasi lebih difokuskan pada komunikasi
tertulis yaitu menulis dan menyajikan data hasil pengamatan dalam bentuk laporan dengan
ktiteria yang telah ditetapkan. Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai capain optimun
siswa untuk kegiatan komunikasi yaitu 3,13 atau berada pada rentang nilai 2,85 - 3,17
dengan predikat “B” atau berada pada kategori baik. Dengan kegiatan mengkomunikasikan
dapat mengembangkan siskap jujur, telit, toleransi, berfikir sistimatis dan mengembangkan
kemampuan berbahasa tulis ataupun lisan.
Dari lima kegiatan saintifik yang dilakukan rata-rata nilai siswa berada pada kategori
“baik”. Nilai rata-rata terendah dari lima komponen tersebut adalah kegiatan menanya yaitu
2,88. Berdasarkan rata-rata nilai tersebut guru masih perlu meningkatkan kemampuan
peserta didik dalam bertanya. Faizal (2014;62) dijelaskan bahwa kegiatan menanya
diharapkan selalu muncul dari siswa. Untuk memancing peserta didik mengungkapkan
pertanyaan, guru harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
bertanya. Ada beberapa fungsi bertanya dikembangkan pada siswa, antara lain (1)
membangkitkan rasa ingin tahu, minat dan perhatian peserta didik tentang suatu tema, (2)
mendorong dan mengispirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan
pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri, (3) membangkitkan keterampilan siswa berbicara,
(4) mendorong partisipasi siswa dalam berdiskusi, argumentasi, mengembangkan
kemampuan berfikir dan menarik kesimpulan.
IPA sebagai suatu proses seperti yang telah suatu metode yang dikenal dengan
metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan suatu sarana yang digunakan dalam pembelajaran
IPA untuk mengenali suatu masalah, memikirkan kemungkinan pemecahannya dan menguji
setiap kemungkinan untuk mendapatkan hasil pemecahan terbaik. Kegiatan dalam metode
ilmiah terdiri dari beberapa kegiatan salah satunya adalah menentukan atau perumusan
152
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
masalah (Mariana, 2009;28). Masalah yang dimaksud dalam IPA merupakan sesuatu untuk
dipecahkan. Peserta didik dalam merumuskan suatu permasalahan dapat mengajukan
pertanyaan apa, mengapa atau bagaimana tentang objek yang diteliti. Pertanyaan yang
dibuat harus jelas tentang batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang
terkait di dalamnya. Pertanyaan yang diajukan atau dirumuskan sebagai acuan bagi peserta
untuk melakukan kegiatan pembelajaran berikutnya. Dengan adanya rumusan pertanyaan
peserta dituntut untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut melalui kegiatan pengumpulan
informasi.
KESIMPULAN
153
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
Fatonah, S., Suyata, P., Prasetyo, Z. K., 2013, Developing an Authentic Assessment Model
in Elementary SchoolScience Teaching, Journal of Education and Practice, Vol.4,
No.13, 1-13.
Faizal. 2014. Sukses Mengawal Kurikulum 2013 di SD (Teori & Aplikasi). Diandra Kreatif.
Yogyakarta.
Frey, B. B., Schmitt, V. L., Allen, J. P.,2012, Defining Authentic Classroom Assessment,
Practical Assessment, Research & Evaluation, Vol 17, No 2, 1–18.
Kemendiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi. Kementerian Pendidikan Nasional: Jakarta.
Kemendikbud. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanNo. 104 Tahun 2014
tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan
Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta
Lowery, N. V., 2003, Assessment Insights from the Classroom, Mathematics Educator, Vol.
13, No. 1, 15–21
Mariana, I.M.A., dan Praginda. W. (2009). Hakikat IPA dan Pendidikan IPA. Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA). Bandung
154
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: This paper exposes the new model of childbirth training using learning methode
based on neurosaince to empower parents competency for childbirth with enjoy learning
process. The purpose of this study is to create the efective learning to solve the problems of
childbirth preparedness, improving the parent competency for childbirth. The research was
conducted at community setting in the Bandung rural area. The research and development
used mix method approach. Research finding showed that the learning strategy produced
active and enjoy learning, stimulated learner and facilitator enthusiasm, then improved
parent competency for childbirth. Learning products increasing the mental process for parent
and baby bounding attachment since pregnant. Simulation, roleplay, game, case study,
reflection, and pairs assignment in the enjoy situation built the parents responsibility to
handle childbirth task and newborn baby care. Increasing of parent knowledge, attitude,
skills influence parent confidence for childbirth. The research findings recommended to use
the new model of childbirth training using learning methode based on neurosaince by enjoy
learning on the all setting area for childbirth preparation in the hospital, midwifery clinic, or
community, in order to help parent confidence for childbirth.
A. PENDAHULUAN
Pasangan suami istri memiliki peran dan tanggung jawab sebagai orang tua, saat
menghadapi kehamilan dan kehadiran seorang anak. Perubahan yang terjadi secara drastis
pada fisik perempuan saat kehamilan dan persalinan, menimbulkan pengaruh psikologis,
dan sosial pada pasangan untuk berperan sebagai orang tua. Proses pematangan jiwa
menjadi seorang ayah dan ibu terjadi, sebagai insting yang terjadi secara otomatis dan
alamiah.
Masa transisi terjadi saat istri mulai hamil. Masa tersebut menuntut adanya komunikasi
antara ayah, ibu, dan bayi sedini mungkin. Sementara proses adaptasi terjadi secara
cepat, sehingga timbul panik dan stres pada pasangan (Nolan, 2002: 90-91).
155
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
perasaan cemas. Sebagaimana hasil penelitian Fair dan Morrison (2012) menunjukkan,
bahwa ketidaksiapan ibu dalam menghadapi kehamilan, ternyata dapat menyebabkan
ketidaksiapan saat persalinan, berdampak pada kondisi psikologis ibu paskapersalinan,
menjadi depresi. Oleh karena itu, upaya persiapan calon orang tua menghadapi kehamilan
dan persalinan, sangat penting untuk kesiapan mental ayah ibu.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai Gerakan Safe Motherhood pada
tahun 1987, keputusan Presiden Republik Indonesia menempatkan Bidan di Desa, agar
dapat memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak langsung di wilayahnya. Namun,
156
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
ternyata keberadaan bidan di desa belum mampu untuk memberdayakan ibu dan
keluarganya secara optimal
Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan ibu dan anak, tahun
2007 dicanangkan Desa Siaga, bertujuan meningkatkan keterlibatan suami dalam
perencanaan persalinan. Tahun 2008 diprogramkan Persiapan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K). Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sebagai sarana pendidikan untuk
ibu dan keluarga telah didistribusikan kepada masayarakat, namun hasil evaluasi
menunjukkan bahwa tidak semua ibu membaca buku tersebut dengan berbagai kendala.
Upaya pemecahannya, dibuat kelas ibu hamil, sehingga dapat mengajarkan langsung buku
tersebut kepada ibu hamil. Namun, kelas tersebut hanya mendidik ibu, tidak melibatkan
suami sejak awal kehamilan. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan program, karena tidak
memberdayakan suami sebagai kepala keluarga. Akibatnya terjadi ketidak siapan sikap dan
perilaku dalam pengambilan keputusan. Semua upaya belum menghasilkan kesejahteraan
ibu dan bayi. Keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga masih menjadi
masalah. Berdasarkan prediksi regresi linier data SDKI, menegaskan bahwa target
pencapaian AKI pada tahun 2015 sulit untuk tercapai. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan
upaya yang lebih konkrit dan menyentuh langsung keluarga dan masyarakat (Depkes RI,
2011).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dan Rumah
Sakit Ibu dan Anak Putra Dalima Serpong, menunjukkan bahwa ibu membutuhkan informasi
yang jelas tentang apa yang harus dilakukan, dan harus dihindari. Sangat membutuhkan
dukungan dan keterlibatan suami. Ketua Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Jawa
Barat dalam sambutannya pada Seminar Pelayanan Kebidanan pada tanggal 12 Agustus
2012. Menyebutkan sumber keprihatinan penyebab kematian ibu di kabupaten Bandung
karena keterlambatan keluarga membawa istrinya ke tempat pelayanan kesehatan.
Proses belajar merupakan aktifitas manusia yang menggunakan kekuatan otak dalam
menangkap berbagai memori, oleh karena itu penggunaan kekuatan otak untuk
mengefektifkan proses belajar merupakan hal yang sangat penting dan menjadi perhatian
setiap orang.
Sebagaimana dijelaskan oleh berbagai hasil riset, bahwa fungsi otak berjalan
karena adanya harmonisasi berbagai sirkuit yang ada dan tercipta secara anatomis
otak, oleh karena itu proses belajar akan berjalan optimal jika mampu mengaktifkan
sirkuti-sirkuit otak secara seimbang. Sesuai dengan filosofi pendidikan bahwa fungsi
pendidikan bukan hanya mengoptimalkan aspek rasional/ kognitif, tetapi juga aspek
157
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
emosi , fisik dan spiritual sehingga dapat menghasilkan peserta yang unggul secara
fisik dan mental. Mampu berkreasi dan bekerja secara cerdas, inovatif dan imajinatif.
B. KAJIAN TEORETIK
158
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Teori pembelajaran sosial menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2009: 295-296)
menekankan interaksi sosial untuk mencapai hasil pembelajaran. Oleh karena itu, peran
utama pendidik adalah untuk mempersiapkan dan mengembangkan perilaku yang
demokratis dalam tataran individu maupun sosial, sehingga tercapai kehidupan sosial yang
produktif. Pembelajaran bukan merupakan kelompok individu yang belajar masing-masing.
Pembelajaran sosial ini sangat cocok digunakan dalam mengaktifkan peserta dalam
berinteraksi dengan pasangan, dan kelompoknya. Memfasilitasi peserta agar mampu
memecahkan permasalahan yang sering terjadi saat kehamilan, persalinan dan bayi baru
lahir. Hal tersebut sesuai dengan teori Gredler (2001:15) yang menegaskan bahwa
pemecahan masalah merupakan metode pembelajaran yang sangat bermanfaat. Oleh
karena itu, pengelolaan belajar harus diciptakan sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi dalam masyarakat, menggunakan sumber kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat.
(Gredler, 2009). Efektifitas pembelajaran akan semakin meningkat dengan mengembangkan
pikiran peserta untuk selalu bertanya satu dengan yang lainnya. Belajar dari interaksi sosial
dengan peserta lain, saling menghargai satu dengan yang lainnya, dan saling mempelajari
berbagai perbedaan. Proses interaksi ini akan membuat proses belajar semakin dalam dan
dinamis (Reid dan Green, 2009: 76-77).
Teori pembelajaran sosial tersebut menjadi landasan yang dikembangkan dalam proses
pembelajaran karena pada prinsipnya peran, tugas, dan tanggung jawab orang merupakan
tugas sosial yang membutuhkan rasa saling pengertian, saling menghargai, dan saling
memberi dukungan antara ayah dan ibu, serta masyarakat yang ada disekitarnya.
Proses belajar sangat ditentukan oleh motivasi peserta. Faktor lingkungan seperti
tempat, waktu pembelajaran, suhu udara, dan berbagai gangguan. Serta faktor personal
seperti pengetahuan dan keterampilan awal yang dimiliki, cara pengaturan diri, kekuatan
bertahan, dan kemampuan merefleksikan pengetahuan dan pengalamannya berpengaruh
terhadap motivasi belajar. (Schunk ,2012:356-358). Oleh karena itu, persiapan lingkungan
yang menyenangkan, akan membangkitkan motivasi peserta untuk belajar.
Metode bermain ( game) menjadi berarti dalam belajar jika mampu melibatkan
fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta, mampu menghasilkan kompetensi baru,
menggunakan teknologi yang efektif, dan dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang
ada. (Shute, Rieber, dan Eck dalam Reiser dan Dempsey, (2012:117).
159
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
konteks materi yang dipelajarinya. Metode simulasi dan bermain peran dapat memotivasi
peserta lebih memusatkan perhatian, dan terlibat aktif secara emosional, sehingga
pemahaman terhadap konteks materi lebih cepat. Diskusi aktif merupakan metoda yang
meningkatkan keterlibatan kognitif dan emosional, sehingga menghasilkan proses belajar
yang lebih baik. Aktivitas kognisi akan membangun koneksi sinaptik dan cara-cara baru
dalam menggunakan informasi. (Schunk, 2012: 62-67).
Berlandaskan beberapa teori dan konsep yang telah dijelaskan, maka untuk
menciptakan proses pembelajaran yang lebih cepat, dikembangkan suasana pembelajaran
yang menyenangkan, menggunakan metode yang interaktif dan bervariasi, yang dapat
mengaktifkan otak kanan dan kiri pada setiap sesi. Menciptakan suasana yang santai dan
kekeluargaan, penggunaan musik, bernyanyi dengan yel yel optimis berisi pesan penting
sesuai materi. Berbagai metode pembelajaran berbasis neurosains dikombinasikan dalam
setiap sesi.
Otak kanan merupakan gudang yang sangat besar menyimpan memori jangka
panjang, tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Tersimpan semua ingatan dan
kebiasaan, semua kepribadian dan citra diri. Oleh karena itu otak kanan merupakan
gudang yang menakjubkan, menyimpan jutaan pengalaman masa lalu. Adapun cara
untuk mengaktifkan memori yang ada tersebut dengan menciptakan kondisi alpha, yaitu
kondisi seseorang dalam keadaan relaks, menyenangkan dan tidak stress atau tidak
dalam tekanan. Widyaiswara, trainer dan dosen sebagai pendidik harus mampu
mengaktifkan kondisi ini, mengoptimalkan pikiran bawah sadar melalui pengendalian
pikiran sadar. Dengan menciptakan keadaan relaks dan menyenangkan, maka
kekuatan otak kanan akan membantu kekuatan otak kiri dalam menerima informasi
yang ada. Otak kanan akan mampu menggali memori masa lalu yang terkait dengan
informasi yang dipelajari tersebut. Kerjasama tersebut merupakan rahasia dari kekuatan
Otak dalam Proses Pembelajaran.
Reid G & Green S (2009) menegaskan bahwa factor pemahaman dari peserta
merupakan factor penting dalam penyimpanan memori, jika peserta mengerti informasi
yang diterimanya maka otak kiri akan mampu menyimpan sebagai memori jangka
pendek, kemudian dalam waktu tertentu memori tersebut tidak diingat lagi. Jika proses
penerimaan informasi telah berjalan dengan sempurna, memori tersebut telah berubah
menjadi memori jangka panjang yang tersimpan dalam otak kanan. Namun jika proses
penerimaan informasi tidak sempurna karena tidak terjadi pemahaman, maka memori
tersebut hilang selamanya. Hal ini menjadi kunci bagi widiyaiswara sebagai pendidik
untuk memahami bahwa “Situasi yang menyenangkan akan mempercepat proses
160
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
1. Metode Refleksi
Pembelajaran dengan metode Refleksi akan mengaktifkan pengalaman yang
tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Maka peserta akan lebih mudah memahami
materi yang diajarkan, karena pengalaman nyata membantu mengkonkritkan teori atau
konsep yang dibahas. Proses pemahaman akan lebih cepat, karena secara otomatis
semua memori jangka panjang yang terkait akan muncul. Seluruh peserta menjadi
terlibat penuh terhadap materi yang sedang dipelajari. Dalam proses refleksi ini,
widiyaiswara lebih berperan sebagai fasilitator yang perlu memberikan stimulus untuk
menggali pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki peserta, memberikan
reward sebagai penghargaan atas pendapat dan pengalamannya, menegaskan
pemaknaan dari pengalaman dengan materi yang sedang dibahas, menyimpulkan
materi dan upaya penerapannya dalam dunia kerja peserta.
2. Studi Kasus
Studi kasus merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengaktifkan otak
kiri dan kanan, karena peserta dituntut untuk berfikir kritis menganalisis kasus yang ada,
dan berusaha memecahkan permasalahan yang ada dengan berfikir kreatif. Dalam
upaya pemecahan perlu di stimulus otak kanan sebagai otak kreatif, dengan menggali
pengalaman dan menentukan tindakan yang paling efektif, serta kemampuan
mengimajinasikan efektifitas dari tahapan tindakan yang akan diambil dalam
menyelesaikan permasalahan. Semakin banyak pengalaman dalam memorinya,
semakin cepat peserta menemukan alternative tindakan, semakin mudah proses
imajinasi terbentuk. Peran widyaiswara sebagai fasilitator hendaknya memberikan
situasi yang menyenangkan, memberi kebebasan peserta untuk berkreasi, menghargai
pendapat dan memberikan reward atas segala ideu dan pemecahan yang ditemukan.
Menggali potensi yang dimiliki peserta, memberikan tantangan sebagai stimulus untuk
berfikir kritis dan kreatif.
3. Game/ Permainan
Shute VJ, Rieber LP, dan Eck RV menegaskan bahwa berdasarkan hasil
penelitiannya belajar menjadi sangat baik jika dilakukan secara aktif, berorientasi pada
tujuan, sesuai dengan konteks dari materi dan menyenangkan. Lingkungan belajar
161
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Metode simulasi dan bermain peran dilakukan dalam setting khusus, sehingga dapat
memotivasi peserta untuk lebih memusatkan perhatian, dan melibatkan secara aktif secara
emosional, oleh karena itu pemahaman terhadap konteks materi lebih terfokus dengan
melihat dan merasakan langsung.
162
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
belajar untuk berfikir kreatif dalam konteks materi yang dipelajarinya. Sekaligus menstimulus
potensi otak pada sirkuit untuk menyelesaikan masalah.
6. Diskusi
Diskusi aktif merupakan metoda yang meningkatkan keterlibatan kognitif dan
emosional sehingga menghasilkan proses belajar yang lebih baik, mendorong peserta untuk
menggabungkan ideu-ideu baru dengan konsepsi yang telah dimiliki sebelumnya. Aktififitas
kognisi ini akan membangun koneksi sinaptik dan cara-cara baru dalam menggunakan
informasi.( Dale H Schunk , 2012).
Dalam rangka mengembangkan model pembelajaran yang lebih kondusif, lebih cepat,
dan menyenangkan, maka berbagai metode pembelajaran yang mengaktifkan otak kanan
dan kiri digunakan, dengan mengkombinasikan berbagai metode sesuai dengan tujuan dan
kompetensi yang diharapkan dalam setiap sesi. Penggunaan metode yang berbasis
neurosains tersebut dapat mengaktifkan ketiga cara belajar yang bersifat visual, auditory,
dan kinestetic. Hal tersebut dapat menghasilkan proses belajar yang lebih cepat, lebih
mudah, dan lebih menyenangkan.
163
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
164
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
C. METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai September 2013.
Menggunakan tahapan penelitian sebagai berikut; Tahap awal pengumpulan data secara
kualitatif untuk menggali kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh ibu hamil dan
pasangannya. Observasi beberapa kelas ibu hamil yang sedang berjalan untuk mengkaji
kesenjangan dalam proses pembelajaran, wawancara bidan yang memberikan pelayanan di
poliklinik kehamilan, ruang bersalin dan ruang paskasalin untuk menggali kebutuhan dan
kesenjangan yang terjadi pada pasangan saat pelayanan. Berdasarkan kebutuhan dan
kesenjangan yang ditemukan dikembangkan strategi instruksional, bahan ajar, media
belajar, instrumen evaluasi, dan panduan fasilitator. Untuk menguji validasi produk yang
dikembangkan dilakukan evaluasi formatif melalui tanggapan ahli, evaluasi perorangan,
evaluasi kelompok kecil dan kelompok besar sebagai uji lapangan.
165
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tahap uji lapangan kelompok besar, dilakukan pada 12 orang pasangan yang sedang
menghadapi kahamilan trimester pertama, kedua, dan ketiga. Kegiatan insturksional
diberikan dalam 5 sesi, setiap sesi lamanya 2-3 jam. Melibatkan 5 orang fasilitator, 5 orang
observer.
Berdasarkan hasil kajian tahap awal yang dilaksanakan pada tanggal 20-22 Desember
2012, ditemukan adanya kesenjangan pengetahuan dan keterampilan, dan ketidaksiapan
pasangan menghadapi kehamilan, persalinan dan perawatan bayi. Kelas ibu hamil yang
sedang berjalan tidak melibatkan suami, menggunakan metode pembelajaran satu arah
dengan ceramah, sehingga peserta pasif dalam proses belajar. Proses evaluasi hanya
mengukur pengetahuan melalui post test. Kesenjangan ini menunjukkan adanya kebutuhan
untuk dikembangkan model yang mampu meningkatkan kompetensi orang tua dalam
menghadapi persalinan, dan menumbuhkan peran tanggung jawab ayah dan ibu secara
mandiri.
Tahap kedua sebagai tahap pengembangan, dikembangkan strategi instruksional
dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis kerja otak yang variatif, sehingga
mampu mengaktifkan peran serta peserta, interaksi sosial diantara peserta, dan
menumbuhkan tanggung jawab peserta sebagai pasangan calon orang tua untuk
menghadapi peran dan tugasnya. Pembelajaran praktik dikembangkan dengan simulasi,
dan role play, agar seluruh peserta siap secara mental, dan terampil dalam melakukan
perannya. Dalam rangka mengaktifkan otak kanan dan kiri, dikembangkan media
audiovisual dalam bentuk video kehamilan, video persalinan, kartu kehamilan, kartu
persalinan dan kartu bayi baru lahir. Berbagai metode yang dikembangkan bertujuan untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih mudah, nyata, dan jelas. Secara mental dan emosi
seluruh peserta terlibat penuh, sehingga pemahaman lebih cepat, mendalam, dan terfokus.
Hasil validasi ahli materi, ahli desain pembelajaran, dan ahli media menyatakan bahwa
strategi instruksional sesuai standar, metode yang dikembangkan dapat membangkitkan
kerja otak kanan dan kiri, media yang dikembangkan mampu mengaktifkan fungsi otak
kanan dan kiri. Media yang dikembangkan jelas, konkrit, menarik, sehingga mampu
membangkitkan motivasi belajar. Saran yang diberikan agar pedoman fasilitator
ditambahkan gambar sebagai visualisasi dari materi.
Hasil evaluasi perorangan, bahwa responden merasa senang, metode yang digunakan
sangat menyenangkan, menarik, santai dan menciptakan suasana kekeluargaan. Materi
menjadi mudah diingat. Penggunaan yel, dan lagu sangat membantu mempercepat untuk
166
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
mengingat materi. Pemutaran film tentang proses perkembangan bayi selama kehamilan,
sangat mengesankan.
Berdasarkan respon yang didapatkan sebagai hasil evaluasi, berdasarkan masukan
dari tim ahli, dan tim perorangan (one to one evaluation), dilakukan revisi untuk digunakan
dalam evaluasi kelompok kecil. Berdasarkan hasil evaluasi kelompok kecil, ditemukan feed
back sebagai masukan dan sekaligus respon sebagai berikut; dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil evaluasi kelompok kecil, menunjukkan bahwa proses pembelajaran terjadi secara
interaktif, seluruh peserta terlibat aktif, terjadi hubungan yang yang harmonis antara peserta
dan fasilitator.
Proses evaluasi kelompok besar sebagai uji lapangan, dilaksanakan pada tanggal 25-
29 September 2013, responden 12 orang ibu hamil dan pasangannya. Melibatkan 5 orang
fasilitator dan 5 orang observer. Hasil evaluasi menunjukkan, adanya perubahan
pengetahuan dan keterampilan dari peserta, rata-rata nilai pre tes: 51, dan rata-rata pos
tes: 73, terjadi peningkatan yang signifikan. Seluruh peserta kompeten melakukan aktifitas
relaksasi dan mengedan, merawat bayi, dan menyusui.
Hasil catatan refleksi menunjukkan bahwa hampir seluruh peserta berpendapat proses
pembelajaran sangat menyenangkan (83%). menambah ilmu dan pengalaman, sehingga
siap menghadapi persalinan. Materi mudah dipahami, banyak manfaatnya, tidak jenuh, dan
senang sehingga tahu persis tentang proses persalinan dan tidak bingung menghadapi
kehamilan dan persalinan. Metode pembelajaran yang digunakan sangat menyenangkan
(60 %), bagus, komplit, tidak jenuh dan bermanfaat.
167
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Seluruh fasilitator juga berpendapat bahwa respon peserta aktif dan antusias selama
sesi. Suasana belajar menjadi Interaktif, santai dan ceria. Metode yang digunakan sangat
bagus sekali, menarik, beragam. Sebagai fasilitator menjadi semangat, khususnya metode
penugasan dan praktik berpasangan meningkatkan semangat dan keterlibatan pasangan.
Media yang digunakan dalam proses pelatihan sangat baik, penggunaan video, kartu dan
gambar sangat membantu, sehingga proses pembelajaran lebih dimengerti dan lebih
semangat.
168
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
keleluasaan untuk berdiskusi tentang masalah yang dihadapinya. Situasi tidak formal,
bersahabat, dan memberikan kebebasan untuk bertanya. Waktu pembelajaran dibatasi
hanya 2 - 4 jam. Membahas materi aspek fisik dan emosi, bertujuan untuk: memelihara
kesehatan, memberikan informasi dan dukungan, menyiapkan persalinan, mengembangkan
rasa percaya diri dan keterampilan menjadi orang tua, membangkitkan pasangan untuk
saling menberi dukungan.
Penghargaan yang diberikan pada setiap peserta dapat membangkitkan harga diri
peserta, sehingga muncul rasa percaya diri untuk melakukan hal yang baru dan mencoba
untuk memberikan pendapatnya . Penegasan materi melalui lagu, dengan syair yang diambil
dari materi yang dibahas, serta yel-yel optimis membangkitkan perasaan senang seluruh
peserta, sehingga secara emosi terlibat dengan mendalam.
Penggunaan media gambar, video, dan simbol dengan warna dan bentuk yang menarik
membangkitkan seluruh indera dominan dari peserta. Sehingga, membuat perasaan (mood)
peserta menjadi terjaga sepanjang proses pembelajaran. Oleh karena itu, peserta merasa
tidak jenuh, konsentrasi penuh. Membantu mempercepat proses pemahaman.
169
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
bukan hanya untuk menjadi ibu (motherhood) tetapi juga menjadi ayah (fatherhood).
(Henderson dan Jones, 1997: 320).
170
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
E. KESIMPULAN
F. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, bahwa model pembelajaran berbasis neurosains
untuk membantu menyelesaikan permasalahan dan kesenjangan kompetensi orang tua,
dalam persiapan persalinan, dapat diterapkan dengan;
171
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dick.W, Carey.L, dan Carey.JO, The Sistematic Design of Instruction Sixth Edition,United
States of America: Library of Congress Cataloging in-Publication Data, 2005).
Cruickshank. DR, Jenkins. DB, dan Metcalf. KK, The Act of Teaching Fourth Edition, New
York: Mc Graw Hill, 2006.
Gredler.ME, Learning and Instruction Theory into Practice, Ochio: Pearson, 2009.
Joyce.B, Weil.M, dan Calhoun. E, Models of Teachinf, New Jersey: Pearson Education,
2009.
Lin Lin Su, at all, “Antenatal Education and Postnatal Support Strategies for Improving Rates
of Exclusive Breast feeding: Randomised Controlled Trial” Bio Medical Journal Online
First, Singapore, 2007.
Nolan. M, Education and Support for Parenting A Guide for Health Professionals, London:
Bailliere Tindall, 2002.
172
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Schunk. DH, Learning Theories An Educational Perspective Sixth Edition, Boston: Pearson ,
2012.
Reiser. Robert A dan Dempsey. John V, Trends and Issues in Instruction al Design and
Technology Third Edition, Boston, 2012.
Sweet. BR, Mayes Midwifery A Textbook for Midwives 12th edition” , London: Tindall, 1997.
Sweeney.MS, Brain The Complete Mind How it Develops, How it Works, and How to keep it
sharp, Washington: National Geograhic, 2011.
173
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract:
Everybody loves justice and wants to be treated equally. Some of the purpose of law are
not only to actualize and expedience the fairness, but also the legal certainty. Those purposes
of law cannot be created at once to settle the tax disputes. It can be a tax dispute between Tax
Payer and Tax Officer in case of a tax assesment publishing. This dissent has to be solved by
other institutes. Tax Payer, that is disadvantaged, will do legal action. The Legal Action of
Objection and Appeal, included the meanings of tax dispute, that Tax Payer has done for the
taxes field. It is an absolute for Tax Payer to propose objection for the Tax Assesment, or
appeal for The Dessicion on the objection if Tax Payer doesn’t agree for the amount that listed
on the Tax Assesment and also on The Dessicion on the objection. However, on RUU KUP
drafts about Objection’s Article, that submitted by goverment to The House of Representative, is
changed to : “The request of objection doesn’t delay the responsibility to pay taxes and the
implementation of tax billing” which means if Tax Payer appeals and haven’t got the dessicion
but doesn’t pay the tax billing, Tax Officer will insist in many ways such as auctioning Tax
Payer’s properties, probihiting them to go aboard, and hastaging Tax Payer. This scientific
paper is the continuation and completion of the previous one.
Pendahuluan
Ketika pemerintahan rakyat terbentuk secara demokratis, daulat ekonomi menjadi milik
sendiri dan mempunyai ruang sendiri yang dinamakan ruang kontrak sosial. Negara dalam
bentuk kontrak sosial akan menjaga dan melindungi prinsip ekonomi masyarakat. Negara
174
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
meminta bayaran pada kontrak sosial melalui pajak dan rakyat membutuhkan suatu rasa
keadilan. Karena dongengan dari masa lalu, entah dari perjuangan bangsa melawan
penjajahahan, yang hendak mereka ceritakan kembali kepada anak-anak dan generasi
penerus, semuanya mengenai tentang diterapkan rasa adil. Karena pada intinya, kontrak sosial
adalah perjanjian antar individu dengan negara dan hukumnya agar tercipta rasa adil di tengah
masyarakat. Jangan sampai negara jatuh dalam posisi kebebasan absolut atau tirani absolut.
Akhirnya, kontrak sosial menjadi kesempatan, suatu langkah yang ingin diwujudkan,
melalui penerapan pelbagai teori, agar negara sanggup dan harus menjadikan keadilan itu
suatu hak dasar. Masyarakat berkeadilan akan menciptakan habitus yang akan menjadikan
warga negara berpikir sebagiamana negara, dan negara akan berpikir sebagaimana keinginan
rakyatnya. Sia-sialah apabila kita mengharapkan negara bisa menarik pajak orang dengan
kontribusi maksimal, rasa sukarela dan suportif dari masyarakat, tanpa adanya mindset sosial
kontrak yang benar. Pajak yang berkeadilan menjadi bagian dari kontrak sosial kini menjelma
dalam bentuk pajak yang memiliki watak tidak sekedar mengeruk kekayaan orang. Nah
bagaimana kita mewujudkan pajak yang berkeadilan dan bagaimana kita meyakinkan warga
negara untuk bertindak sebagai habitus adalah tugas kita di pemerintahan untuk menerapkan
rasa adil terlebih dahulu.
Dalam hidup bernegara, tentu pemerintah perlu bahkan harus memberikan rasa
keadilan bagi setiap Warga Negaranya. Hukum barulah sesuai dengan daya guna atau
berfaedah, jika ia sebanyak mungkin mengejar keadilan. Jadi tujuan hukum adalah tata tertib
masyarakat yang damai dan adil. Meniadakan pandangan keadilan dari hukum berarti
menyamakan hukum dengan kekuasaan.
175
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Draf RUU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan yang akan diajukan pemerintah
menyebutkan: “Pengajuan keberatan atau permohonan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak”.
Beberapa waktu yang lalu penulis sudah pernah membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI)
mengenai draf RUU KUP tentang upaya hukum keberatan, dimana KTI ini merupakan
kelanjutan atau penyempurnaan dari KTI sebelumnya. Sepanjang yang penulis ketahui belum
ada penelitian terdahulu mengenai KTI ini sebelumnya.
Tentu topik ini penting dan perlu dibahas karena akan menyangkut masyarakat Wajib
Pajak pencari keadilan. Sebagaimana diketahui pajak telah menyumbang lebih dari 70% dari
keseluruhan APBN. Bagaimana kita dapat mengharapkan seseorang membayar pajak dengan
benar dan patuh melaksanakan kewajibannya kalau mereka (Wajib Pajak) belum diperlakukan
dengan adil, dimana adil disini paling tidak dapat diterima oleh logika kita sebagai manusia yang
berakal.
KTI ini dibuat dengan tujuan agar para konseptor yang membuat Draf RUU KUP lebih
dapat merasakan tuntutan masyarakat Wajib Pajak, jadi bukan hanya untuk memenuhi target
penerimaan semata dan tidak memandang Wajib Pajak dengan negative thingking saja. Atau
apabila ada suatu surat ketetapan pajak langsung menganggap yang salah adalah Wajib Pajak,
padahal hal tersebut masih memerlukan pengujian. Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang mewakili rakyat juga harus sungguh-sungguh memahami bagaimana masyarakat Wajib
Pajak yang sedang mencari keadilan melalui upaya hukum yang ditempuh dapat diperlakukan
dengan benar dan masuk akal dan tidak merasa dibuat sengaja dirugikan.
Sistematika penyajian dalam KTI ini adalah terdiri dari Abstrak, Pendahuluan,
Metodologi, Hasil, Diskusi, Kesimpulan, dan Daftar Pustaka.
Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Penelitian ini akan
membahas mengenai tindakan yang dilakukan oleh petugas pajak atau fiskus mewakili negara
dalam proses upaya hukum yang sedang dijalani oleh Wajib Pajak yang tercantum dalam draf
RUU KUP. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, digunakan pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan perbandingan. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
176
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
digunakan berkenan dengan peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai upaya
hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sedangkan pendekatan perbandingan merupakan
suatu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu
lembaga hukum dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang lain. Disini penulis
membandingkan ketentuan dalam perkara pidana maupun perdata apabila para pihak sedang
bersengketa dan belum ada suatu keputusan/putusan atau dengan kata lain
keputusan/putusan belum inkrah, apa yang dilakukan oleh negara sebagai penguasa.
Hasil
Sengketa adalah suatu hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Dalam kondisi
demikian, hal penting untuk diperhatikan adalah mekanisme penyelesaian sengketa. Pasal 26
UU KUP disebutkan Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas
bulan) sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan
yang diajukan. Terhadap surat keberatan yang diajukan Wajib Pajak, kewenangan
penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Atau dengan
kata lain Undang-undang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai
penengah atau hakim dalam memutuskan suatu perkara keberatan dimana para pihak tersebut
adalah Wajib Pajak sebagai pemohon keberatan dan Direktur Jenderal Pajak itu sendiri.
Lembaga keberatan merupakan upaya hukum yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak
untuk memohon keadilan. Tentu upaya hukum tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak apabila
tidak setuju dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam surat
ketetapan pajak yang diterbitkan atas dirinya.
Untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh
keadilan dengan kemungkinan timbulnya sengketa serta memberikan sarana dan solusi bagi
para Wajib Pajak yang tidak dapat menerima atau menolak penetapan pajak yang ditetapkan
fiskus, Wajib Pajak dapat mempertahankan hak-haknya serta mendapatkan perlindungan,
sebaliknya fiskus mempertahankan kewenangannya dalam penegakan kepatuhan perpajakan.
Untuk lebih jelasnya berikut tabel mengenai ketentuan keberatan yang membandingkan
keberatan sesuai dengan UU KUP No 16 Tahun 2009 (yang berlaku saat ini) dengan Draf RUU
KUP (yang akan diajukan pemerintah):
177
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Penagihan Pajak
Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan pajak dengan Surat
Paksa disebutkan bahwa Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang
disita. Ketentuan dalam UU KUP yang berlaku saat ini tidak langsung dapat menetapkan Wajib
Pajak yang akan dilakukan tindakan penagihan, karena harus diketahui terlebih dahulu tanggal
jatuh tempo ketetapan tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tanggal jatuh tempo suatu ketetapan pajak
seperti: nilai ketetapan yang disetujui oleh Wajib Pajak, ada tidaknya upaya hukum yang
dilakukan oleh Wajib Pajak. Apabila hal ini sudah diketahui barulah tindakan penagihan dapat
178
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, jadi tidak serta merta apabila atas Wajib
Pajak dikenakan ketetapan pajak yang menyebutkan adanya pajak yang masih harus dibayar
oleh Wajib Pajak penagihan dapat dilaksanakan.
Saat ini ketentuan yang berlaku adalah pada intinya apabila Wajib Pajak sedang
melakukan upaya hukum keberatan maupun banding maka pelaksanaan penagihan untuk
sementara tidak dilakukan sampai ada Surat Keputusan maupun Putusan yang sudah inkracht
yang artinya kalau ternyata upaya hukum Wajib Pajak diterima maka tidak perlu ada
pembayaran dan jikalau upaya hukum Wajib Pajak ditolak maka penagihan pajak akan
dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya.
Keadilan
1. Adanya upaya memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak.
2. Diciptakannya kepastian hukum akan meningkatkan investasi langsung maupun tidak
langsung disertai dengan beberapa fasilitas perpajakan.
3. Dengan terbitnya UU KUP sistem dan mekanisme pemungutan pajak mempunyai corak
tersendiri dan merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak
untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang
diperlukan untuk pembiayaan dan pembangunan negara.
179
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pada asasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi. Upaya hukum banding
merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah
pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak dapat
mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai asasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan
Negeri belum dapat dilaksanakan karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.
Tenggang waktu mengajukan banding yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 menyebutkan apabila jangka waktu pernyataan permohonan banding telah lewat,
maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena
terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan
hukum tetap sehingga dapat dieksekusi. Contohnya: Wanita yang berada dalam proses cerai
dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa
perceraian telah resmi terjadi, berarti perkawinannya belum putus. Oleh karena itu wanita
tersebut belum boleh menikah lagi secara hukum karena putusannya belum inkrah.
Diskusi
Apabila dibaca dalam konsiderans bagian menimbang poin c Draf RUU KUP
disebutkan: “bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan
pelayanan kepada Pembayar Pajak dan seterusnya”. Terlihat jelas Negara dalam hal ini
180
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
pemerintah berkeinginan untuk memberikan rasa keadilan yang lebih dibanding sebelumnya,
bukan mengurangi rasa keadilan atau bahkan menghilangkannya. Hal ini terlihat dari
rancangan Pasal mengenai keberatan yang menghilangkan rasa keadilan itu yang
bertentangan dengan konsiderans Undang-undang itu sendiri.
Kata keadilan berasal dari kata adil yang artinya: tidak berat sebelah, tidak memihak,
berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat
disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan
tindakan dalam hubungan antar manusia. Hal ini diharapkan berlaku juga untuk hubungan
antara Warga Negara dengan Penguasa/Pemerintah atau antara Wajib Pajak dengan fiskus.
Tentu akan tidak adil jikalau Wajib Pajak yang sedang dalam melaksanakan upaya
hukum keberatan maupun banding Wajib Pajak sedang dalam proses sengketa pajak harus
dipaksa untuk tetap melunasi utang pajak yang tidak disetujuinya tersebut dimana hasilnya
berupa Surat Keputusan maupun Putusan belum ada. Hal ini juga bertentangan dengan upaya
hukum yang dikenal dalam perkara perdata maupun pidana. Sesuai asasnya dengan
diajukannya upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi maka pelaksanaan isi putusan
181
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pengadilan Negeri (sebelumnya) belum dapat dilaksanakan karena putusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.
Walaupun ada juga yang mengatakan jika dalam hukum pidana berlaku asas praduga
tak bersalah sehingga terdakwa dianggap tidak bersalah sampai ada vonis atau putusan hakim.
Dalam Hukum Tata Negara berlaku hal yang sama, bahwa keputusan penguasa dianggap
benar sampai ada keputusan yang lebih tinggi yang memutuskan lain. Inilah yang mendasari
mengapa surat ketetapan pajak tetap harus dibayar walaupun Wajib Pajak mengajukan
sengketa keberatan atau banding, namun adagium ini gugur oleh UU KUP yang menyatakan
utang pajak tertangguh sampai dengan inkracht.
Dari pernyataan tersebut jelas lah terlihat kalau pembentuk Undang-undang sudah
melihat apa yang baik atau apa yang hidup ditengah-tengah masyarakat Wajib Pajak sehingga
saat ini ketentuan yang berlaku adalah apabila Wajib Pajak melakukan upaya hukum maka
utang pajak yang disengketakan pembayarannya tertangguh sampai keputusan atau putusan
inkracht. Jadi tidak ada alasan untuk kembali kepada ketentuan yang memaksakan Wajib Pajak
untuk membayar seluruh utang pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang belum teruji
kebenarannya.
Kesimpulan
Saat ini pajak merupakan pendapatan negara yang sangat potensial untuk menunjang
keberhasilan pembangunan nasional dimana peran para Wajib Pajak sangat besar. Sehingga
pajak sebagai fungsi budgetair hendaknya tidak terlalu dikedepankan tanpa memperhatikan apa
yang ideal dan apa yang riil dalam kehidupan masyarakat Wajib Pajak. Wajib Pajak merupakan
mitra yang potensial yang harus selalu dijaga eksistensinya. Apabila draf RUU KUP tersebut
masih dipertahankan, berarti Negara/Pemerintah dengan dalih penegakan hukum sebagai
monopoli penguasa akan melaksanakan penagihan terhadap Wajib Pajak yang sedang dalam
proses upaya hukum seakan-akan Wajib Pajak sudah terbukti bersalah dan akan lebih
menyakitkan lagi apabila ternyata Wajib Pajak terbukti tidak bersalah dengan keluarnya Surat
keputusan atau Putusan yang menerima permohonan Wajib Pajak.
Tentu hal ini tidak boleh terjadi karena Wajib Pajak merupakan mitra sejajar dari
pemerintah dalam keberhasilan pembangunan. Lembaga keberatan maupun banding
merupakan sarana yang disediakan oleh Undang-undang untuk menyelesaikan sengketa.
Keberatan merupakan hak setiap Wajib Pajak dan merupakan manifestasi atas ketidaksetujuan
atau penolakan Wajib Pajak terhadap keputusan atau penetapan perpajakan. Sesuai dengan
182
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
ketentuan Undang-undang yang mengatur mengenai penetapan pajak, semua ketetapan harus
didasarkan atas alasan-alasan yang jelas, benar dan transparan, sehingga setiap Wajib Pajak
mengerti atau memahami tentang dasar penetapan tersebut dan dapat menchalenge dimana
negara harus memberikan ruang untuk hal tersebut. Sebenarnya saat ini negara telah
mengakomodasi hal tersebut sehingga tidak patut rasanya ketentuan yang sudah sangat baik
dan ideal akan dirubah dengan ketentuan yang tidak dapat mengakomodir kedua belah pihak
namun hanya mengakomodir satu pihak saja.
Saran
Daftar Pustaka
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
R.Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi ketiga, Bandung, 1991.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan VI, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Yogya 2010.
183
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Erwin Eka Kurniawan, 4 Prinsip Dasar Fiskal, Penerbit PT Fiskal Indonesia, Oktober 2015.
Johnny Ibrahim, Teori and Metodologi penelitian hukum formatif, Bayu Media Publishing, Mei
2012.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan VIII, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014.
Soetandyo W, Hukum konsep dan metode, Penerbit Setara Press, Nopember 2013.
184
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract— The main threats that can damage an organization's data are unauthorized
access, modification, destruction, and disclosure. The threat can undermine the
confidentiality, integrity and availability of data. Data security solutions, technically and
non-technically, are required to preserve and protect the organization's data. Non-
technical solution can be done by creating a data security policies and procedures. Data
security policy and procedure is a foundation of the program and technical solutions
within an organization's data security. Data security policy is an essential requirement for
designing security measures to protect the data in the whole organization. In this study
the data security policies and procedures are made tailored to the needs and business
processes of statistical activities that suit the Generic Statistical Business Process Model
(GSBPM). So that policies and procedures are made include the entire business process
that occurs in the office daily statistics / National Statistics Office (NSO). Then, data
security policies and procedures were made following the reference Data Management
Body of Knowledge (DAMA-DMBOK) and ISO / IEC 27001.
Pendahuluan
Dalam rangka memenuhi tugas dan peranan sebagai penyedia data statistik bagi
pemerintah dan masyarakat, kantor statistik/ National Statistics Office (NSO) melakukan
berbagai macam survei dan sensus. Kegunaan data statistik, yang dikumpulkan dan
dihasilkan oleh NSO, bagi pemerintah dan masyarakat adalah sebagai bahan rujukan
untuk menyusun perencanaan, melakukan evaluasi, membuat keputusan, dan
memformulasikan kebijakan (Badan Pusat Statistik, 2012). Untuk keperluan tersebut,
NSO dituntut untuk menghasilkan data yang berkualitas. Dengan dukungan dan
pemanfaatan teknologi informasi, NSO berusaha menghasilkan data yang berkualitas
tersebut. Penggunaan teknologi informasi meliputi seluruh proses bisnis, mulai dari
185
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
186
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pilar keamanan yang ketiga adalah ketersediaan data. Ketersediaan data yaitu
memastikan bahwa data tersedia ketika dibutuhkan. Masalah ketersediaan data meliputi
data hilang, data tidak tersedia, dan data tersedia tetapi pelayanan lambat. Untuk
mendukung pengambilan keputusan diperlukan ketersediaan informasi yang akurat,
komprehensif, dan tepat waktu. Saat ini, data yang dibutuhkan untuk mendukung
pengambilan keputusan masih tersebar di masing-masing direktorat dan subject matter
area (SMA). Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam proses pengambilan keputusan
dan berdampak pada menurunnya kepuasan konsumen (Badan Pusat Statistik, 2011).
Berbagai masalah yang ada saat ini terjadi seperti akses yang tidak sah, modifikasi,
manipulasi, pengungkapan, penghancuran data, pencurian dan serangan serta
ketersediaan data akan semakin bertambah kompleks jika tidak segera diselesaikan dan
akan berpengaruh terhadap prestasi dan kinerja organisasi (Setiawan, 2011). Sejalan
dengan kebutuhan, merujuk Undang-undang yang berlaku, NSO dituntut untuk
menyediakan sistem elektronik untuk pelayanan publik yang andal dan aman yang
mengacu pada ISO/IEC 27001 (Direktorat Keamanan Informasi Kementerian
Komunikasi dan Informatika, 2011). Andal artinya sistem elektronik memiliki kemampuan
yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Aman artinya sistem slektronik
terlindungi secara fisik dan nonfisik (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, 2008).
Berdasarkan hal-hal diatas, NSO perlu melakukan pengelolaan data khususnya pada
masalah keamanan dengan cara membuat kebijakan dan keamanan data. Solusi
keamanan data secara teknis saja tidak cukup dan perlu didukung oleh kebijakan dan
prosedur (Kee, 2002). Kebijakan dan prosedur adalah elemen kunci dalam proses bisnis
dan pondasi keamanan data dalam sebuah organisasi (Peltier, 2004; A. Nigam and M.
Siponen , 2011). Kebijakan keamanan merupakan kebutuhan mendasar untuk
merancang langkah-langkah keamanan secara menyeluruh dalam rangka melindungi
organisasi dari ancaman internal dan eksternal (Dey, 2007).
187
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Gambar 1 Solusi Keamanan Data secara manajerial dan teknis (J. Anttila, K. Jussila, J.
Kajava and I. Kamaja, 2012)
Agar dapat dijalankan, kebijakan dan prosedur keamanan data harus ditulis dengan
baik dan lengkap sesuai dengan referensi yang telah ada serta sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Pada penelitian ini kebijakan dan prosedur keamanan data yang
dibuat mengikuti referensi The Data Management Association (DAMA) Guide to The
Data Management Body of Knowledge (DMBOK) dan ISO/IEC 27001. Kemudian,
dengan mengikuti Generic Statistical Business Process Model (GSBPM), kebijakan dan
prosedur yang dibuat tersebut meliputi seluruh proses bisnis yang terjadi sehari-hari,
sehingga dapat memberikan solusi atas permasalahan mengenai keamanan data yang
telah dipetakan dan diidentifikasikan.
Tinjauan Pustaka
Data merupakan bahan baku yang akan menciptakan informasi. Kemudian pada
tahap selanjutnya, informasi yang dihasilkan akan berubah menjadi pengetahuan
(knowledge). Pengetahuan merupakan ringkasan dan organisasi dari informasi-
informasi untuk membentuk pemahaman dan kesadaran pada sebuah situasi yang
kompleks (M. Mosley, D. Henderson, M. H. Brackett, & S. Earley, 2010). Organisasi saat
ini bergantung pada aset data mereka untuk membuat keputusan yang lebih tepat dan
efektif. Jumlah data yang tersedia di dunia ini meningkat dengan pesat. Setiap
organisasi perlu untuk mengelola secara efektif data dan sumber informasi yang
semakin penting (M. Mosley, D. Henderson, M. H. Brackett, & S. Earley, 2010).
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:
05/SE/M.KOMINFO/07/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Keamanan Informasi Bagi
Penyelenggara Pelayanan Publik, setiap Penyelenggara Pelayanan Publik harus
menerapkan Tata Kelola Keamanan Informasi yang aman dan andal berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar SMKI, yaitu SNI ISO/IEC
27001:2009 (Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika,
2011).
Penelitian ini akan membahas manajemen keamanan data yang merupakan solusi
keamanan secara managerial bagi organisasi dengan menerapkan ISO/IEC 27001
dalam bisnis proses statistik. Penelitian ini secara spesifik membahas mengenai
perancangan manajemen keamanan data pada lembaga pemerintah, yaitu BPS sebagai
instansi penyedia data statistik, dengan menggunakan dua pendekatan utama yaitu dari
DAMA-DMBOK untuk memandang data sebagai sumber informasi yang harus dikelola
188
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
organisasi secara umum diselaraskan dengan proses bisnis statistik yang sesuai
dengan GSBPM.
Pada penelitian ini, penulis mengusulkan penambahan manajemen keamanan data
pada proses bisnis statistik. Usulan ini dapat diterapkan pada proses bisnis statistik.
Penambahan manajemen keamanan data pada proses bisnis statistik ini akan
memberikan jaminan bahwa dalam mengelola data responden dan meyediakan data
statistik kepada konsumen, NSO telah memperhatikan aspek keamanan data selama
proses bisnis dilakukan. Manajemen keamanan data dilakukan untuk menghindari
berbagai ancaman terhadap data yang bisa berupa pengrusakan, penyadapan,
pencurian, perubahan dan pemalsuan data.
Merujuk pada penelitian sebelumnya mengenai integrasi manajemen keamanan data
dengan proses bisnis (P. Herrmann and G. Herrmann, 2006; S. Taubenberger and J.
Jürjens, 2008), penulis menambahkan manajemen keamanan data pada model proses
bisnis statistik. Proses integrasi ini dilakukan dengan melakukan identifikasi kebutuhan
keamanan data pada proses bisnis dengan cara identifikasi aktor, identifikasi artifak
pada setiap tahapan proses bisnis dan identifikasi kontrol keamanan yang diperlukan
untuk menanggulangi ancaman yang ada pada proses bisnis. Kontrol keamanan
dilakukan saat proses terjadi dan saat komunikasi data antar proses (S. Taubenberger
and J. Jürjens, 2008).
Metodologi
Untuk mencapai tujuan penelitian, penulis memilih pendekatan Design Research
Methodology (DRM). Menurut (Blessing, L.T.M.; Chakrabarti, A., 2009), terdapat 4
tahapan dalam melakukan penelitian berorientasi desain yaitu sebagai berikut.
1) Research Clarification
Tahap ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan memastikan masalah penelitian yang
meliputi : (1) identifikasi tujuan penelitian yang ingin dicapai dan masalah penelitian, (2)
Initial Reference, gambaran keadaan saat ini.
2) Understanding Design
Dengan menggunakan data pada tahap sebelumnya, tahapan ini bertujuan untuk
menentukan pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi dengan melakukan
identifikasi dan klarifikasi secara lebih detail faktor – faktor yang mempengaruhi aspek –
aspek dalam tahap pertama.
3) Developing Design
189
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tahap ini membahas bagaimana dengan menggunakan informasi yang di dapat dari
dua tahap sebelumnya, penelitian membuat desain yang dapat diterapkan sebagai
solusi untuk mencapai tujuan.
4) Evaluating Design
Tahap ini membahas bagaimana studi empiris dapat digunakan untuk mengevaluasi
hasil dan dampak pengembangan desain yang telah dilakukan.
Selain empat tahapan tersebut, terdapat satu tahapan lagi yang dapat dilakukan yaitu
mempublikasikan hasil penelitian dalam komunitas peneliti.
Kustomisasi dan
Pemilihan Kontrol
Keamanan sesuai Kontrol
proses bisnis Keamanan
Pembuatan
rancangan
kebijakan Kebijakan
Keamanan
Data
Pembuatan
rancangan
Prosedur Prosedur
Keamanan
Data
190
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
mengajukan sebuah solusi dengan melakukan Manajemen Keamanan Data. Hasil akhir
dari Manajemen Keamanan Data berupa kebijakan dan prosedur keamanan data.
Hasil Penelitian
191
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
192
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
193
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
memilih dan menentukan kontrol keamanan yang dapat diaplikasikan pada setiap
tahapan proses bisnis. Kontrol keamanan dipilih dari ISO/IEC 27001 adalah meliputi:
Pengelolaan aset
Keamanan sumberdaya manusia
Keamanan fisik dan lingkungan
Manajemen komunikasi dan operasi
Pengendalian akses
Akuisisi, pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi
Manajemen insiden keamanan informasi
Manajemen keberlanjutan bisnis
194
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Diskusi
Evaluasi terhadap hasil penelitian dilakukan dengan tiga cara yaitu uji kelengkapan
hasil penelitian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan standar, uji kebijakan dalam
mencapai tujuan keamanan data dan Expert Judgement.
1) Uji kelengkapan hasil penelitian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan standar
Evaluasi ini digunakan untuk melihat dan membandingkan kebutuhan kebijakan
keamanan data dengan hasil penelitian yang dilaksanakan dan kesesuaian dengan
standar yang dipakai. Hasil evaluasi memberikan hasil bahwa kebutuhan manajemen
keamanan data di BPS dapat dipenuhi dengan menerapkan kebijakan keamanan data
yang sesuai dengan standar SNI ISO/IEC 27001.
3) Expert Judgement
Hasil evaluasi dengan metode Expert Judgement terhadap hasil perancangan
kebijakan dan prosedur keamanan data menunjukan bahwa secara keseluruhan hasil
perancangan dinilai cukup baik dan jelas dalam mengatur keamanan data dalam setiap
proses bisnis.
195
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kesimpulan
Hasil evaluasi terhadap hasil penelitian yang dilakukan dengan tiga cara menunjukan
bahwa:
Kebijakan yang dibuat dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah keamanan data
di BPS dengan melindungi data dari ancaman keamanan sehingga kerahasiaan,
integritas dan ketersediaan data terjaga.
Dokumen kebijakan yang dibuat dalam penelitian ini telah mengikuti referensi yang
ada yaitu SNI ISO/IEC 27001:2009 dan kebijakan yang dirancang sudah meliputi
seluruh proses bisnis BPS,
References
A. F. Karr and A. P. Sanil. (2004). Data Quality and Data Confidentiality for Microdata:
Implications and Strategies. North Carolina: National Institute of Statistical
Sciences.
A. Nigam and M. Siponen . (2011). Designing Information Systems Security Policy
Methods: A Meta-Theoretical Approach.
Armoni, A. (2002). Data Security Management in Distributed Computer Systems.
Informing Science, 5(1), 19-28.
Badan Pusat Statistik. (2011). BPS Analysis Document, Version 3.1. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. (2012). Rencana Strategis Badan Pusat Statistik 2010 – 2014,
Review Kedua. Jakarta.
Blessing, L.T.M.; Chakrabarti, A. (2009). DRM, a Design Research Methodology. Verlag
- London: Springer.
Defacement Archive. (2013). Dipetik Juni 1, 2013, dari http://www.zone-
h.org/archive/filter=1/domain=.BPS.GO.ID/page=1
Dey, M. (2007). Information Security Management - A Practical Approach. AFRICON, 1-
6.
Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2011).
Panduan Penerapan Tata Kelola Keamanan Informasi bagi Penyelenggara
Pelayanan Publik, Edisi 2. Jakarta.
Fundamental Principles of Official Statistics. (2013). Dipetik Juni 1, 2013, dari
http://unstats.un.org/unsd/dnss/gp/FP-New-E.pdf
G. T. Duncan, M. Elliot, and J.J. Salazar-González, . (2011). Statistical Confidentiality:
Principles and Practice. New York: Springer.
J. Anttila, K. Jussila, J. Kajava and I. Kamaja. (2012). Integrating ISO/IEC 27001 and
other managerial discipline standards with processes of management in
196
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
197
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract
To implement internal control system, it must be done seriously by all government agencies at
both central and local levels. Moreover, it was mandated by Government Regulation Number 60
Year 2008 on Government Internal Control System (SPIP). This paper described some of the
ways government agencies disseminating the awareness of internal control through education
and training of SPIP. The outcomes of the training are expected not only to alumni of the training
but also delivered to other personnels in the unit of organization of training alumni through
promoting and disseminating the results of the training.
Keywords:
internal control, government internal control system, training and education, implementation,
dissemination
A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Isu nasional yang mengemuka akhir-akhir ini antara lain adalah opini1 laporan keuangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang belum Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan
1
Terdapat lima opini/pendapat hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan
keuangan; yaitu (1) Wajar Tanpa Pengecualian/WTP (Unqualified Opinion), (2) WTP Dengan Paragraf
Penjelasan/WTP-DPP, (3) Wajar Dengan Pengecualian/WDP (Qualified Opinion), (4) Tidak Wajar/TW
(Adverse Opinion), dan (5) Tidak Menyatakan Pendapat/TMP (Disclaimer Opinion). Wajar Tanpa
Pengecualian merupakan opini peringkat tertinggi. Opini WTP adalah opini audit yang akan diterbitkan oleh
BPK jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material. Jika
laporan keuangan diberikan opini jenis ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang
dikumpulkan, perusahaan/pemerintah dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku
umum dengan baik, dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap tidak material dan tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan.
198
hasil pemeriksaan lain2 yang dilakukan oleh BPK yang masih banyak memperlihatkan kelemahan
dalam pengelolaan keuangan negara/daerah, yang dapat menurunkan kepercayaan publik
terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
Mengacu pada hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 20143, terdapat 7.950 temuan dari
651 laporan yang diterbitkan atas pemeriksaan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
BUMD, serta BUMN dan Badan Lainnya.
Lebih lanjut, permasalahan-permasalahan yang disebabkan oleh kelemahan sistem
pengendalian intern (SPI) untuk tiga jenis pemeriksaan adalah sebanyak 2.482 kejadian, dengan
rincian kelemahan SPI pada pemerintah pusat sebanyak 421 buah; pada pemerintah daerah dan
BUMD sebanyak 1.810 buah, dan pada BUMN dan Badan Lainnya sebanyak 251 buah.
Kelemahan pada sistem pengendalian intern berdampak pada ketidakyakinan yang memadai
atas tercapainya tujuan instansi secara efektif dan efisien, ketidakandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset Negara/daerah yang kurang memadai, dan kekurangtaatan terhadap
peraturan yang berlaku.
A.2. Permasalahan
2
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara, terdapat tiga jenis pemeriksaan, yaitu; (1) Pemeriksaan Keuangan/Pemeriksaan
atas Laporan Keuangan, (2) Pemeriksaan Kinerja, dan (3) Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu/PDTT.
Pemeriksaan Keuangan menghasilkan opini atas laporan keuangan. Pemeriksaaan Kinerja menghasilkan
temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Sedangan PDTT menghasilkan kesimpulan.
3 Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2014 bulan Maret 2015.
199
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan (Pusdiklatwas) BPKP dan Perwakilan BPKP
di Provinsi berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan SPIP. Pendidikan
dan pelatihan SPIP telah dilaksanakan beberapa kali yang disesuaikan dengan kalender diklat,
namun dari hasil evaluasi yang dilaksanakan penyelenggara diklat masih terdapat permasalahan
dan hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaran diklat SPIP ini antara lain;
diklat agar diarahkan ke implementasi SPIP dalam organisasi (lebih implementatif), materi/modul
diklat yang sulit dipahami dan sulit diimplementasikan di lapangan, dan adanya instruktur diklat
dalam menyampaikan materi membosankan/monoton.
B.1. Pengertian
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 20084, SPIP didefinisikan sebagai
proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh
pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan penjelasan PP tersebut5, unsur Sistem Pengendalian Intern (SPI) mengacu
pada unsur SPI yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yaitu:
1. Lingkungan pengendalian
2. Penilaian risiko
3. Kegiatan pengendalian
4. Informasi dan komunikasi
5. Pemantauan
Beberapa konsep dasar yang melekat dalam definisi SPIP tersebut, yaitu6:
1. Sistem pengendalian intern (SPI) merupakan komponen operasi organisasi atau kegiatan
yang terpasang secara terus-menerus (a continuos built-in component of operations)
4
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
5
Penjelasan umum PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP.
6
Modul Implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah: Penyelenggaraan SPIP Integratif, Pusdiklatwas
BPKP, 2013.
200
2. Pengendalian intern dipengaruhi oleh manusia
3. Pengendalian intern hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak
Sesuai definisinya, penyelenggaraan SPIP harus dilakukan baik pada tingkat entitas maupun
aktivitas. Berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor PER-1326/K/2009 tanggal 7 Desember
2014 tentang Pedoman Teknis Umum Penyelenggaraan SPIP, proses penyelenggaraan pada
tingkatan entitas diuraikan sebagai berikut:
1. Pada tingkat instansi, setelah melaksanakan berbagai kegiatan dalam tahap pemahaman,
dimulai dengan menilai kondisi sistem pengendalian yang ada. Penilaian dilakukan terhadap
keberadaan dan implementasi unsur lingkungan pengendalian. Hasil pemetaan akan
menunjukkan sub unsur yang telah diterapkan atau yang penerapannya belum memadai
atau sub unsur yang belum diterapkan.
2. Hasil pemetaan atas kondisi lingkungan pengendalian dijadikan dasar dalam melakukan
penilaian risiko.
3. Dasar pemikiran SPI adalah mengidentifikasi risiko dalam pencapaian tujuan instansi dan
mengelola risiko tersebut.
4. Penilaian risiko yang dilakukan terhadap tujuan kegiatan sebagai dasar penentuan kebijakan
dan prosedur untuk mengelola risiko.
5. Analisis terhadap hasil pemetaan atas kebijakan dan prosedur yang berisi kegiatan
pengendalian yang dipandang dapat mengurangi timbulnya risiko atau meminimalkan
dampaknya.
6. Hasil pemetaan dapat memberi simpulan bahwa instansi pemerintah perlu membangun dan
mengembangkan kebijakan dan prosedur pengendalian.
7. Dengan melakukan penilaian risiko dan merumuskan kebijakan serta kegiatan pengendalian
yang tepat, pimpinan dapat menentukan jenis informasi yang perlu dikomunikasikan kepada
pihak yang membutuhkan.
201
merupakan implementasi dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh instansi pemerintah yang
lebih tinggi maupun implementasi atas kebijakan yang ditetapkan instansi itu sendiri.
Penyelenggaraan SPIP di tingkat aktivitas menggunakan pendekatan analisis value chain,
yaitu dengan mengenal aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Setiap instansi memiliki value
chain yang berbeda. Dengan demikian instansi pemerintah harus terlebih dahulu mengidentifikasi
kegiatan yang termasuk kegiatan yang utama yang dipandang penting dalam mencapai
tujuan/sasaran tingkat instansi pemerintah, dan yang termasuk kategori kegiatan penunjang.
C. PEMBAHASAN
Pendidikan dan Pelatihan SPIP merupakan salah satu diklat teknis substansi yang
diselenggarakan oleh Pusdiklatwas BPKP. Sebagai bahan analisis, penulis melakukan survey
atas pelaksanaan Diklat SPIP pada dua kementerian, yang untuk keperluan hasil analisis, dua
kementerian tersebut diberikan inisial Kementerian A dan Kementerian B. Pendidikan dan
pelatihan SPIP bagi pegawai di lingkungan Kementerian A dilaksanakan tanggal 6 sampai
dengan 10 Oktober 2014 yang dikiuti oleh 40 orang peserta, sedangkan Diklat SPIP bagi pegawai
di lingkungan Kementerian B dilaksanakan tanggal 13 sampai dengan 17 Oktober 2014 diikuti
oleh 64 orang peserta.
Materi-materi yang disajikan dalam diklat tersebut, antara lain; overview penyelenggaraan
SPIP, rencana kerja, konsep sub unsur lingkungan pengendalian, cara pengisian control
environment evaluation (CEE), analisis tujuan, tabulasi dan validasi CEE, rencana tindak
pengendalian (RTP) lingkungan pengendalian, konsep penilaian risiko, identifikasi risiko, analisis
risiko, konsep kegiatan pengendalian dan konsep informasi dan komunikasi, evaluasi dan
perumusan existing control, perumusan informasi dan komunikasi, penyempurnaan kebijakan,
konsep monitoring, serta monitoring penyelenggaraan SPIP dengan total 50 jam pelatihan
selama lima hari kerja.
Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada peserta pada hari terakhir diklat.
Dari 40 kuesioner yang dibagikan kepada peserta diklat dari Kementerian A, sebanyak 33
kuesioner (82,5%) valid, sedangkan 64 kuesioner yang dibagikan kepada peserta diklat dari
Kementerian B sebanyak 58 kuesioner (90,6%) terisi dan valid. Peserta diklat baik dari
202
Kementerian A maupun Kementerian B berasal dari seluruh Indonesia (unit kerja di kantor pusat,
kantor wilayah dan UPT di daerah) sehingga keterwakilan peserta cukup baik.
Kuesioner terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu profil responden dan mengenai sesi diklat
yang diikuti peserta. Bagian profil responden menjaring data-data umum peserta yang meliputi
jenis kelamin, umur (terbagi menjadi lima kategori usia), jabatan (terbagi menjadi kategori jabatan
struktural dan fungsional atau pelaksana), dan tingkat pendidikan peserta (terbagi menjadi lima
kategori pendidikan yaitu SLTA, diploma, sarjana/S1, magister/S2, dan doktoral/S3).
Terkait dengan sesi diklat, kuesioner terbagi menjadi dua bagian besar yaitu; diklat SPIP
sebelumnya (3 pertanyaan), dan diklat yang berlangsung saat ini (terdiri dari
pertanyaan/pernyataan mengenai materi diklat sebanyak 7 pertanyaan, instruktur/widyaiswara
diklat sebanyak 9 pertanyaan/penyataan, serta diseminasi dan implementasi hasil diklat
sebanyak 17 pertanyaan/pernyataan).
Pertanyaan-pertanyaan terkait dengan materi dan instruktur/widyaisawara diklat sebagian
mengacu pada Evaluasi Materi Diklat (Form EMD-01) dan Evaluasi Widyaiswara/Instruktur (Form
WI-01) yang dikembangkan oleh Pusdiklatwas BPKP dengan modifikasi pilihan penilaian.
Untuk tujuan pembandingan, responden dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu
responden (peserta diklat) dari Kementerian A sebagai Kelompok I yang merepresentasikan
responden dari kalangan “manajer menengah” dan pengambil keputusan; dan responden
(peserta diklat) dari Kementerian B sebagai Kelompok II yang merepresentasikan responden
tingkat “pelaksana operasional”.
Kemudian sebagai langkah terakhir adalah mentabulasikan dan mengelompokkan
pertanyaan/atribut kuesioner yang sudah terisi tersebut dalam kategori pertanyaan yang sama
dan menyajikan hasil tabulasi survey tersebut.
203
C.3. Hasil Survey
I. Profil Responden
Uraian Kelompok I Kelompok II
Jumlah % Jumlah %
Jenis Kelamin
Pria 23 70 33 57
Wanita 10 30 25 43
Jumlah 33 100 58 100
Umur II.
< 25 tahun - - 2 3
25 – 30 tahun - - 13 22
31 – 40 tahun 4 12 25 43
41 – 50 tahun 20 61 12 21
>51 tahun 9 27 6 10
Jumlah 33 100 58 100
Jabatan
Struktural
Eselon II - - - -
Eselon III 28 85 - -
Eselon IV 3 9 6 10
Fungsional/Pelaksana 2 6 52 90
Jumlah 33 100 58 100
Tingkat Pendidikan
SLTA - - 14 24
Diploma - - 3 5
Sarjana (S1) 8 24 33 57
Magister (S2) 25 76 7 12
Doktoral (S3) - - 1 2
Jumlah 33 100 58 100
Dilihat dari jenis kelamin, mayoritas responden baik dari Kelompok I maupun
Kelompok II adalah pria dengan besaran 70% (Kelompok I) dan 57% (Kelompok II).
Menurut usia, Kelompok II lebih bervariasi dibandingkan dengan Kelompok I.
Mayoritas responden Kelompok II berusia antara 31-40 tahun, sedangkan responden
Kelompok I lebih “senior” dengan mayoritas berusia antara 41-50 tahun. Dengan kata
lain, dari sisi pengalaman kerja, Kelompok I rata-rata lebih lama dibandingkan dengan
Kelompok II.
Menyangkut jabatan, responden Kelompok I mayoritas pejabat struktural eselon III,
sedangkan responden Kelompok II lebih banyak sebagai fungsional/pelaksana
204
operasional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, responden Kelompok I lebih
banyak bertindak sebagai decision maker di unit kerjanya dibandingkan dengan
responden Kelompok II yang lebih banyak banyak bertindak sebagai pelaksana kegiatan
operasional.
Menurut jenjang pendidikan tertinggi, Kelompok I mayoritas jenjang tertinggi
pendidikan adalah magister/S2, sedangkan Kelompok II mayoritas adalah sarjana/S1.
3. Apakah Anda pernah mengikuti diklat SPIP selain yang diadakan oleh
BPKP?
Ya - - 2 3
Tidak 32 97 54 93
Tidak Menjawab 1 3 2 3
Jumlah 33 100 58 100
205
b. Diklat yang Berlangsung Saat Ini
b. 1 Materi Diklat
Uraian Kelompok I Kelompok II
Pertanyaan/Pernyataan Jumlah % Jumlah %
1. Menurut saya suasana selama diklat kondusif sehingga materi diklat
bisa dipahami dengan baik
Tidak Setuju 1 3 1 2
Ragu-ragu 5 15 5 9
Setuju 26 79 51 88
Tidak Menjawab 1 3 1 2
Jumlah 33 100 58 100
2. Menurut saya materi dan modul diklat pada umumnya baru dan
informatif
Tidak Setuju 2 6 5 9
Ragu-ragu 2 6 3 5
Setuju 28 85 50 86
Tidak Menjawab 1 3 -
Jumlah 33 100 58 100
5. Menurut saya contoh kasus atau metode yang diberikan yang relevan
dengan pekerjaan sehari-hari sehingga peserta diklat memahami
materi diklat
Tidak Setuju - - - -
Ragu-ragu 2 6 8 14
Setuju 31 94 49 84
Tidak Menjawab - - 1 2
Jumlah 33 100 58 100
206
7. Menurut saya kualitas penggandaan bahan modul memadai
Tidak 4 12 - -
Cukup 9 27 27 47
Baik 19 58 31 53
Tidak Menjawab 1 3 - -
Jumlah 33 100 58 100
207
b. 2 Instruktur/Widyaiswara
Uraian Kelompok I Kelompok II
Pertanyaan/Pernyataan Jumlah % Jumlah %
1. Menurut saya disiplin kehadiran instruktur sudah baik
Tidak Setuju - - - -
Cukup - - - -
Setuju 33 100 58 100
Tidak Menjawab - - - -
208
Tidak Menjawab - - 1 2
209
menyatakan bahwa penguasaan materi oleh instruktur/ widyaiswara telah memadai.
Namun demikian, sebagian responden Kelompok I (12%) dan Kelompok II (28%)
memberikan penilaian tentang hal ini dengan level “cukup; mayoritas responden, baik
dari Kelompok I (70%) dan Kelompok II (69%), memberikan penilaian “sudah memadai”.
Namun demikian, sebagian responden baik di Kelompok I dan II masih memberikan
penilaian “cukup memadai” untuk hal tersebut; sebagian besar responden baik
Kelompok I maupun Kelompok II menyatakan bahwa instruktur/widyaiswara telah
memberikan motivasi dan perhatian kepada peserta secara memadai. Namun demikian,
masih ada responden Kelompok I (33%) dan Kelompok II (36%) yang memberikan
penilaian “cukup memadai”; sebagian besar responden menyatakan bahwa para
instruktur/widyaiswara sudah memberikan waktu dan kesempatan yang memadai ke
peserta kepada peserta. Namun demikian, sebagian responden dari Kelompok I (27%)
dan Kelompok II (19%) masih memberikan penilaian “cukup” atas hal ini.
210
b. 3 Diseminasi dan Implementasi Hasil Diklat
Uraian Kelompok I Kelompok II
Pertanyaan/Pernyataan Jumlah % Jumlah %
1. Saya akan menyebarkan pengetahuan yang saya peroleh dalam diklat
ini kepada pegawai lain di unit kerja saya
Tidak Setuju 1 3 1 2
Ragu-ragu 5 15 16 28
Setuju 27 82 40 69
Tidak Menjawab
211
6. Pengalaman diklat saya telah secara substansial meningkatkan
keterampilan dan kompetensi saya
Tidak - - - -
Ragu-ragu 5 15 12 20
Ya 27 82 45 78
Tidak Menjawab 1 3 1 2
Tidak Setuju - - - -
Ragu-ragu 6 18 7 12
Setuju 27 82 50 86
Tidak Menjawab - - 1 2
Jumlah 33 100 58 100
212
12. Menurut saya tahap penilaian atas SPI yang ada dapat diterapkan di
unit organisasi saya
Tidak Setuju - - - -
Ragu-ragu 6 18 17 29
Setuju 27 82 40 69
Tidak Menjawab - 1 2
16. Menurut saya pelaporan hasil pemantauan harus dilakukan dan dapat
diterapkan di unit organisasi saya
Tidak Setuju - - 1 2
Ragu-ragu 4 12 13 22
Setuju 29 88 43 74
Tidak Menjawab - - 1 2
17. Apakah Anda memerlukan diklat SPIP lebih lanjut untuk meningkatkan
kompetensi Anda dan meningkatkan kinerja unit organsasi Anda?
Tidak - - 4 7
Ya 33 100 52 90
Tidak Menjawab - - 2 3
Jumlah 33 100 58 100
213
Terkait dengan implementasi dan diseminasi hasil diklat, diperoleh hasil survey
sebagai berikut: mayoritas kedua kelompok setuju untuk menyebarkan pengetahuan
yang diperoleh dalam diklat kepada pegawai lain di unit kerja masing-masing.
Persentase responden yang menyatakan setuju diseminasi lebih besar di Kelompok I
(82%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok
II (28%); mayoritas kedua kelompok setuju untuk menjadi narasumber/pembicara
diseminasi di unit kerja masing-masing. Persentase responden yang menyatakan setuju
diseminasi lebih besar di Kelompok I (82%), sebaliknya responden yang menyatakan
ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok II (38%); mayoritas kedua kelompok setuju
menyatakan bahwa materi diklat dan kesediaan menjadi narasumber berkorelasi dengan
pemahaman materi diklat. Persentase responden yang menyatakan “setuju” lebih besar
di Kelompok II (84%), sebaliknya responden yang menyatakan “ragu-ragu” lebih besar
pada Kelompok I (33%).
214
kelompok setuju untuk menerapkan penyelenggaraan SPIP Tingkat Aktivitas.
Persentase responden yang menyatakan setuju diseminasi lebih besar di Kelompok II
(86%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu lebih banyak ada di Kelompok
I (18%).
215
D. SIMPULAN DAN SARAN
Substansi yang dibahas pada makalah ini difokuskan pada pelaksanaan survey atas
penyelenggaraan diklat Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang merupakan salah
satu diklat teknis substansi yang diadakan oleh Pusdiklatwas BPKP. Pendekatan survey dalam
makalah ini ditujukan untuk mengetahui perbandingan pelaksanaan diklat pada level posisi
organisasi yang berbeda, yaitu di tingkat manajerial dan pelaksana kegiatan.
Responden survey adalah peserta Diklat SPIP dari dua Kementerian yang untuk keperluan
pembandingan dibagi dalam dua kelompok, yaitu; Kelompok I (level manajerial) dan Kelompok
II (level staf/pelaksana kegiatan). Terlihat bahwa pengelompokkan peserta diklat SPIP
berdasarkan “strata jabatan” yang sama akan lebih efektif dari segi penyerapan materi dan
pemahaman peserta.
Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan, antara lain: Pertama, penyusunan database
alumni diklat SPIP oleh Pusdiklatwas BPKP, Perwakilan BPKP, serta instansi lain yang
menyelenggarakan diklat. Penyusunan database dimaksudkan agar pegawai mereka yang
pernah mengikuti diklat “tidak berhenti” dan terus di-maintain oleh instansi masing-masing dan
BPKP sebagai pembina SPIP. Kedua, perlunya kurikulum diklat yang “berbeda” antara kurikulum
diklat SPIP untuk level pelaksana kegiatan (penyelenggaraan SPIP tingkat aktivitas) dan level
manajer (penyelenggaraan SPIP tingkat entitas). Ketiga, perlunya seleksi calon peserta diklat
SPIP baik oleh instansi pengirim maupun oleh penyelenggara diklat lainnya. Seleksi diperlukan
agar peserta nantinya ditempatkan pada kelas yang homogen sehingga hasil diklat akan lebih
efektif dan implementatif. Alumni peserta juga diberi mandat untuk mendiseminasikan hasil-hasil
diklat di lingkungan unit kerjanya. Keempat, meningkatkan kualitas penyajian lay out dan
penggandaan modul. Konten modul/materi diupayakan menarik dan tidak membosankan serta
disesuaikan dengan levelling peserta diklat. Kelima, perlunya memperbanyak instruktur diklat
SPIP yang bersertifikat TOT dari unit kerja dan badan diklat lain sehingga SPIP tersosialisasi dan
terimplementasi lebih cepat.
216
DAFTAR PUSTAKA
Kasali, Rhenald. 2006. Change! Tak Peduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda
Jalani, Putar Arah Sekarang Juga (Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan).
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
217
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
abstrak
Salah satu kompenen dalam penilaian akreditasi A adalah peran tenaga pengajar
kediklatan (widyaiswara) yang mampu menunjukan pengalaman yang mendukung
penguasaan substansi, yang berperan sebagai konsultan, riset dan praktisi diluar
lembaga diklat. Serta kapasitas widyaiswara dalam pengembangan profesi melalui
penerbitan karya tulis ilmiah dalam bentuk buku, proceeding maupun jurnal ilmiah.
Serta hasil penyelenggaraan diklat berupa produk yang dihasilkan oleh penyelenggara
diklat, yakni yang dinilai dari kualitas produk yang dihasilkan oleh seluruh peserta
diklat kepemimpinan dan diklat prajabatan dalam mengimplementasikan proyek
perubahan maupun aktualisasi nilai-nilai diinstansinya. Widyaiswara sebagai agen
perubahan adalah individu/kelompok terpilih yang menjadi pelopor perubahan dan
sekaligus dapat menjadi contoh dan panutan dalam berperilaku yang mencerminkan
integritas dan kinerja yang tinggi di lingkungan organisasinya. Widyaiswara agen
perubahan bertanggung jawab untuk selalu mempromosikan dan menjalankan
keteladanan mengenai peran tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan peran,
tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya.
A. Latar Belakang
Pada awal tahun 2016 Lembaga Administrasi Negara memberikan Akreditasi
kepada seluruh lembaga diklat instansi pemerintah dan Badan Diklat Jatim
mendapatkan nilai akreditasi A (sangat baik). Akreditasi merupakan penilaian dan
kelayakan lembaga dalam menyelenggarakan diklat kepemiminan II, III, IV dan diklat
prajabatan III , II dan I. Tujuan akreditasi adalah untuk meningkatkan mutu, efisiensi,
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Salah satu kompenen dalam penilaian akreditasi A adalah peran tenaga pengajar
kediklatan (widyaiswara) yang mampu menunjukan pengalaman yang mendukung
penguasaan substansi, yang berperan sebagai konsultan, riset dan praktisi diluar
lembaga diklat. Serta kapasitas widyaiswara dalam pengembangan profesi melalui
penerbitan karya tulis ilmiah dalam bentuk buku, proceeding maupun jurnal ilmiah
Serta hasil penyelenggaraan diklat berupa produk yang dihasilkan oleh
penyelenggara diklat, yakni yang dinilai dari kualitas produk yang dihasilkan oleh
218
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
219
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
B. Pokok Permasalahan
Sebagaimana acuan/pedoman Lembaga Administrasi Negara perihal
pengelolaan laboratorium inovasi, ditegaskan bahwa pengelolaan laboratorium inovasi
ditempuh melalui lima tahap yaitu tahap drum up, diagnose, design, deliver dan display
(promosi).
Dalam kajian/penelitian ini yang hendak diteliti dibatasi pada tahap akhir, yakni display
(promosi) dengan menyodorkan permasalah “Bagaimana Diseminasi Inovasi Hasil
Produk Peserta Diklat Kepemimpinan dalam upaya meneguhkan Badan Diklat
Jatim Sebagai Agen Perubahan?”
C. Metodologi
Metodologi penelitian yang digunakan merupakan pilihan strategi dalam rangka
pengumpulan dan proses analisis terhadap bukti empiris. Oleh sebab itu, metode
penelitian yang digunakan dapat berupa metode kualitatif atau kuantitatif dengan teknik
pengumpulan data, baik melalui eksperimen, studi lapangan, maupun studi pustaka.
Namun dari dua piilihan metodologi tersebut, dipilih metodologi penelitian
kualitatif dalam melakukan penelitian/kajian, fakta diungkap secara obyektif, tidak bias
pada suatu kepentingan tertentu. Setelah itu hasil penelitian/kajian tersebut
diklasifikasikan secara sistematis.
Metode pendekatan dalam penulisan naskah ini merupakan totalitas cara kerja
yang dipakai dalam mendeskripsikan permasalahan sebagaimana yang telah
ditetapkan diatas. Metodologi dalam kajian/penelitian karya tulis ilmiah ini adalah
metode penelitian kualitif yang didasarkan pertanyaan penelitian yang telah
dirumuskan.
Metodologi penelitian/kajian tentang promosi dan inovasi proyek perubahan
peserta diklat dilakukan dengan pendekatan kajian kualitatif, yakni cara sistematik
yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam proses
220
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
analisa deskriptif. Setidaknya, ada enam jenis metode penelitian kualitatif yang
dipergunakan dalam menyusun karya tulis ilmiah ini, yaitu:
1. Observasi terlibat diskusi secara langsung dengan peserta diklat;
2. Deskripsi dan analisa percakapan dalam coaching, konseling dengan peserta
diklat;
3. Deskripsi dan analisa penggalian ide dan pilihan gagasan rancangan inovasi
dengan peserta;
4. Deskripsi dan analisa isi implementasi inovasi dengan peserta dan mentor;
5. Pengambilan data pembuktian hasil-hasil inovasi yang telah dipromosikan, dan
6. Analisa penyusunan rekomendasi dan komitmen tindak lanjut yang hendak
dilanjutkan secara berkelanjutan.
“Gaya” penelitian kualitatif dalam karya tulis ini mengkonstruksikan realitas dan
makna, menjalin fokus pada proses dan peristiwa secara interaktif,
otentisitas/orisinalitas adalah kunci, hadirnya nilai secara eksplisit, Dibatasi situasi,
Sedikit kasus dan subjek, Analisis tematik, Peneliti terlibat, Sumber: W. Lawrence
Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches,(Needham Heights, MA: Allyn& Bacon, 1997), hlm. 14
Asumsi Paradigmatik Penelitian Kualitatif dalam karya tulis ini dengan
mendasarkan pada realitas bersifat subjektif dan ganda sebagaimana terlihat oleh
partisipan dalam studi, Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti, Sarat nilai dan bias,
Informal, Mengembangkan keputusan-keputusan Personal, Menggunakan bahasa
kualitatif, Proses induktif, Faktor-faktor dibentuk,secara simultan, Desain
berkembangkategori,diidentifikasiselama proses penelitian, Ikatan konteks, Pola dan
teori dibentuk untuk pemahaman, Akurasi dan reliabilitasdibentuk melalui verifikasi
(Sumber: John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches, (California: Sage Publications, Inc, 1994), hlm. 5.
221
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dilaksanakan pada tahun 2015, baik yang diselenggarakan di kampus Badan Diklat
Surabaya dan kampus Badan Diklat Malang yang diikuti peserta dari berbagai SKPD
pemerintah provinsi jawa timur dan SKPD dari kabupaten/kota provinsi jawa timur serta
peserta dari berbagai pemerintah/kota luar provinsi jawa timur.
Analisa datan penelitian/kajian karya tulis ilmiah ditujukan untuk mendapatkan
deskripsi penyebaran semangat kebaruan melalui promosi hasil inovasi diklat
kepemimpinan, sebagai berikut :
1. Jenis-jenis hasil inovasi yang telah dihasilkan 83 peserta, yang terdiri dari peserta
diklat kepemimpian tingkat III dan tingkat IV tahun 2015;
2.Hasil inovasi peserta diklat yang telah dipromosikan, baik yang dilakukan oleh
peserta, penyelenggara dan coach.
3. Media media massa cetak, elektronik dan alat publikasi hasil inovasi yang telah
digunakan untuk menyebarkan semangat kebaruan;
4. Deskripsi tentang hambatan dan dukungan yang dihadapi dan upaya mengatasinya
dalam menyebar semangat kebaruan melalui promosi hasil inovasi diklat
kepemimpian.
E. Analisa Teoritik
Diseminasi (Bahasa Inggris: Dissemination) adalah suatu kegiatan yang
ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi,
timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.
Diseminasi adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan
dikelola.Diseminasi merupakan tindak inovasi yang disusun menurut perencanaan
yang matang, melalui diskusi atau forum lainnnya yang sengaja diprogramkan,
sehingga terdapat kesepakatan untuk melaksanakan inovasi.
Kata diseminasi memang jarang digunakan dalam percakapan atau penulisan
sehari-hari. Kata diseminasi lebih banyak digunakan atau menjadi "jargon" di kalangan
akademis (perguruan tinggi), misalnya "diseminasi hasil penelitian", atau di kalangan
instansi pemerintah (birokrasi), misalnya "diseminasi hasil pelatihan", yakni
menyebarkan hasil atau materi pelatihan kepada pegawai/karyawan lain.
Diseminasi secara khusus diartikan sebagai penyebarluasan informasi,
pemikiran, kebijakan, dan hasil penelitian.Ada juga yang mendefinikan diseminasi
sebagai "suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar
mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya
memanfaatkan informasi tersebut.
222
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
223
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Promosi ini dimaksudkan untuk memberi pengaruh atau dorongan kepada pasar
agar membeli produk yang dipromosikan.
4.Mengingatkan
Hal ini ditujukan untuk mempertahankan suatu merk produk dihati masyarakat, agar
produk bertahan dipasar secara terus menerus.
224
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Fungsi Agen Perubahan adalah sebagai mata rantai komunikasi antar dua atau lebih
sistem yang mempelopori dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha
perubahan.
Peranan Utama Widyaiswara sebagai Agen Perubahan yakni Katalisator :
menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan, Pemberi Pemecahan
Persoalan : kreatif dan inovatif dalam mencari solusi, Pembantu Proses Perubahan :
Membantu Pemecahan masalah, penyebaran inovasi, memberikan petunjuk dalam hal
:Merumuskan kebutuhan, Mendioagnosa, Mendapatkan sumber yang relevan,
Menciptakan pemecahan masalah, Merencanakan pentahapan
penyelesaian,Penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang berkaitan untuk
pemecahan masalah
Dalam menjalankan peranannya kelompok Agen Perubahan berupa :Laten :
Peran yang tidak di nampakkan, Sebagai Pengembang Kepemimpinan, Penganalisa,
Pemberi Informasi, Penhubung, Organizer dan pemantap hasil. Manifest : Peran yang
kelihatan “ Dipermukaan” dilakukan secara sadar dan dipersiapkan sebelumnya yang
meliputi perannya sebagai pengerak (fungsi fasilitator, penganalisa, pengembang
kepemimpinan), perantara ( Pemberi Informasi dan Penhubung) dan penyelesai
(Pengoranisir, evaluator dan penetap hasil).
Widyaiswara sebagai agen perubahan memiliki tugas utama, yakni :
Menumbuhkan keinginan untuk melakukan perubahan, Membina hubungan dalam
rangka perubahan, Mendiagnosa permasalahan, Menciptakan keinginan perubahan,
Menerjemahkan keinginan perubahan menjadi tindakan nyata, Menjaga kestabilan
perubahan, Mencapai terminal target yang telah ditetapkan.
Secara normatif yang mengatur tentang agen perubahan dapat mempedomani
PermenPAN dan RB No 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen
Perubahan di Instansi Pemerintah, bahwasannya diperlukan individu atau kelompok
anggota organisasi dari tingkat pimpinan sampai dengan pegawai untuk dapat
menggerakkan perubahan pada lingkungan kerjanya dan sekaligus dapat berperan
sebagai teladan (role model) bagi setiap individu organisasi yang lain dalam
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut organisasi. Individu atau kelompok
anggota ini disebut dengan Agen Perubahan.
Agen Perubahan adalah individu/kelompok terpilih yang menjadi pelopor
perubahan dan sekaligus dapat menjadi contoh dan panutan dalam berperilaku yang
mencerminkan integritas dan kinerja yang tinggi di lingkungan organisasinya.
225
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXV (APBD Prov Jatim), seminar
17 Nopember 2015.
No Nama Jabatan/ Judul Proper Jenis Jenis Promosi
Instansi Inovasi
1 2 3 4 5 6
1. R. Henggar Biro Administrasi Percepatan Pelaksanaan Teknologi Sosialisasi Indoor,
Sulistiarto, Pembangunan Pengadaan Barang/Jasa Aplikasi Bimbingan Teknis
SH, MM Setda Jatim melalui Aplikasi Sofware
Elektronik Pengadaan Lelang
Langsung (E-PL)
2. Kartono UPT Pelabuhan Peningkatan Pelayanan Metode Sosialisasi Indoor, door
Umar, S.Pi, Tamperan Pacitan di UPT Pelabuhan Perbaikan to door
MAP Dinas Perikanan Perikanan Tamperan Kapal
dan Kelautan Prov Pacitan melalui Nelayan
Jatim Pembangunan Docking
Kapal
3. Riyama Dinas Perikanan Program Sertifikasi Cara Proses Sosialisasi indoor, door
Budiawati dan Kelautan Prov Budidaya Ikan Yang Layanan to door bimbingan
Jatim Baik (CBIB) melalui Jemput Bola teknis, spanduk, benner,
Layanan Jemput Bola leafet, media massa
cetak/koran
4. Endah UPT Peningkatan Kaji Teknologi Sosialisasi indoor,
Kristiarni Pengembangan Terap dan Desiminasi Aplikasi door to door
Budidata Laut Teknologi Perikanan Campuran bimbingan teknis,
Situbondo Budidaya Laut Pakan spanduk, benner,
Dinas Perikanan melalui Aplikasi leafet,
dan Kelautan Imunostimulan pada
Prov Jatim Pakan Pembenihan
Ikan Kerapu Macan
5. Hari Susilo, UPT Pembibitan Percepatan Metodologi Sosialisasi indoor,
SP, MP Hortikultura Penjuangan Bibit Bauran door to door
Dinas Pertanian Hortikultura melalui Pemasaran bimbingan teknis,
Prov Jatim Marketing Mix Produk spanduk, benner,
leafet, media massa
cetak/koran, radio,
pameran, web site
6 Fachrudin Dinas PU Program Penguatan Metode Sosialisasi indoor,
Pengairan Prov Tebing Tanggul Ramah door to door
Jatim Saluran Induk Sungai Lingkunga bimbingan teknis,
UPT Pengelolaan Bondoyudo Melalui n
Sumber Daya Air Metode Vegetatif
di Lumajang (Penanaman Rumput
Vetiver)
7 Moch.Jusro Biro Administrasi Program Revitalisasi Teknologi Sosialisasi in door
226
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXI (Kabupatan/Kota) seminar 6 Oktober 2015.
No Nama Jabatan/Instansi Judul Proper Jenis Jenis Promosi
Inovasi
1 2 3 4 5 6
10 Amiruddin, Kecamatan Proppo 10 Menit Pelayanan Proses Sosialisasi indoor,
S.Sos, M.Si Kabupaten Adiministrasi Terpadu layanan spanduk, banner
Pamekasan Kecamatan (PATEN) Paten maks.
dan Tanpa Biaya 10 Menit
(Gratis)
11 Sri Puja Badan Kepegawaian Program Pelayanan Proses Sosialisasi indoor,
Astutik, SE Daerah Kabupaten Administrasi layanan spanduk, banner
Pamekasan Kepegawaian Daerah Pegawai
Terpencil Terpencil
12 Ulung Balitangda Penanganan Limbah Teknologi Sosialisasi indoor,
Sedjati Kabupaten Pasuruan Batik di Desa Klampar Tepat Guna outdoor, spanduk,
Wirjawan, Kec Proppo Kab Limbah banner
ST Pamekasan
13 Ir.Moh. Dinas Perikanan dan Teknologi Geoisolator Teknologi Sosialisasi indoor,
Istamam, Kelautan Kabupaten untuk Mewujudkan Tepat Guna outdoor, spanduk,
Msi Pamekasan Swasembada Petani Pengolahan banner
Garam di Pamekasan Garam
14 Arifani Dinas Pendapatan, Program Extra Service Proses Sosialisasi indoor,
Yahya, SH Pengelolaan dalam rangka Pelayanan outdoor, spanduk,
Keuangan dan Aset Percepatan Pencairan Publik banner, Koran, Mobil
Kota Mojokerto Tunggakan Pajak dan secara Extra keliling, Konfrensi Pers
Bangunan di Kota berupa
Mojokerto pembebasan
denda
administrasi
15 Dra. Ec. RSUD Ibnu Sina Smart Card Pelayanan Teknologi Sosialisasi indoor,
Anna Sri Kabupaten Gresik Kesehatan di RSUD Kartu spanduk, bimbingan
Asih, M.Ak Ibnu Sina Kabupaten Pembayaran teknis
Gresik
16 Hidayatul Badan KB dan PP Mewujudkan Best Hubungan Sosialisasi indoor,
Muslimah, Kabupaten Gresik Practices Kelompok sumber daya spanduk
SKM, MM Bina Keluarga Balita secara
Holistik Integratif di holistik
Kabupaten Gresik integratif
17 Drs. Nur Badan Kepegawaian Pelayanan Teknologi Sosialisasi indoor,
Hariyanto Daerah Kota Kepegawaian secara On Aplikasi spanduk, bimbingan
Mojokerto Line Software on teknis
line
227
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXVII (Kota Pasuruan) seminar 1 Desember 2015.
No Nama Jabatan/Instansi Judul Proper Jenis Jenis Promosi
Inovasi
1 2 3 4 5 6
20 Yudhi Bagian Hukum Penerbitan Peraturan Produk Sosialisasi indoor,
Harnendro, Setda Kota Walikota Pasuruan Peraturan spanduk, bimbingan
SH, Msi Pasuruan Tentang Pedoman Perundang- teknis legal drating
Pembentukan Peraturan undangan
Walikota dan Daerah
Keputusan Walikota
21 dr. Hendra Dinas Kesehatan Model Poliklinik Pembentuka Sosialisasi indoor,
Romodhon Kota Pasuruan Terpadu Empati (Empat n struktur spanduk
Upaya Sehat Jiwa) di organ
Puskesmas Poliklinik
22 dr.Sudarmant RSUD Peningkatan Pelayanan Teknologi Sosialisasi indoor
o dr.R.Soedarsono RSUD dr. Aplikasi
Kota Pasuruan R.Soedarsono melalui Sofware RS
Pengembangan Sistem
Informasi Manajemen
RS
23 Mansur, S.Pt Dinas Pemuda Olah Penyampaian Informasi Teknologi Sosialisasi indoor,
Raga dan Cagar Budaya Berbasis website spanduk, banner,
Kebudayaan Kota Menu/Kontain pada televisi, media masa
Pasuruan Website Pemerintah cetak/koran, leafet
Kota Pasuruan
24 Imam Badan Penanaman Percepatan Proses Teknologi Sosialisasi indoor,
Subekti, Modal dan Penyelesaian Perijinan Aplikasi spanduk, banner,
S.Sos, MM Pelayanan Perijinan melalui Software Software cetak/koran, leafet
Terpadu Kota Aplikasi Si-Cepat perijinan
Pasuruan
25 Sunarno, SH Dinas Pemuda Olah Penanganan Anak Hubungan Sosialisasi indoor,
Raga dan Jalanan melalui sumber daya spanduk
Kebudayaan Kota Pendekatan Persuasif secara
Pasuruan dan Pendampingan persuasif
26 Fendi Dinas Pendapatan Fasilitasi Pembukuan Teknologi Sosialisasi indoor,
Krisdiyono, Kota Pasuruan dan Pelaporan Aplikasi spanduk, banner, door
SP, MP Pembayaran Pajak Software to door, media masa
Restoran secara On pembayaran cetak/koran, leafet
Line di Kota Pasuruan pajak daerah
on line
27 Sri Rejeki Dinas Pendapatan Penyampaian Informasi Metode Spanduk, SMS, WA,
Andayani, Kota Pasutuan Pelayanan Bea Penyampaia Website, Koran,
S.Sos Perolehan Hak atas n Informasi Sosialisasi indoor
Tanah dan Bangunan Pajak
(BPHTB) melalui Daerah
Media Sosial
Masyarakat
28 dr.Shierly Dinas Kesehatan Pembentukan Pilot Pembetukan Spanduk, Sosalisasi
228
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
229
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
5.Publikasi (publlicity).
Promosi yang dilakukan oleh peserta diklat kepemimpinan dilakukan secara berbauran
antar jenis promosi, kemudian dilakukan yang paling nampak dilakukan pemilihan dan
disesuaikan dengan kontensi proyek perubahan yang dilakukan.
230
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Inovasi yang dilakukan oleh peserta diklat kepemimpinan dilakukan secara berbauran
antar jenis inovasi, kemudian dilakukan pemilihan yang paling nampak dilakukan dan
disesuaikan dengan kontensi proyek perubahan yang dilakukan.
G. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Handbook Inovasi Administrasi Negara, LAN 2014, Penulis Tim Pusat Inovasi Tata
Pemerintahan, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta
Peraturan Perundangan-undangan:
PermenPAN dan Reformasi Birokrasi ( Permen PAN & RB ) Nomor 11 Tahun 2015
tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019
231
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
232
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Aniek Juliarini 1)
Widyaiswara Madya, Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Jl. Solo Km. 11, Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571
Tatan Jaka Tresnajaya 2)
Widyaiswara Madya, Pusdiklat Pajak
Jl. Slipi Raya No. 1 Kemanggisan, Slipi, Jakarta Barat
Abstrak
Dari tahun ke tahun target penerimaan pajak senantiasa meningkat, begitupun realisasi
penerimaan pajak secara nominal selalu meningkat. Sekalipun demikian, data menunjukkan
bahwa sejak tahun 2009 hingga tahun 2015 target penerimaan pajak tidak tercapai.
Sementara itu kebutuhan belanja negara terus bertambah. Pajak merupakan sumber utama
penerimaan negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang porsinya
saat ini telah mencapai sekitar 80%. Tax ratio (proporsi antara penerimaan pajak dan Produk
Domestik Bruto (PDB)) yang merupakan salah satu indikator suksesnya penerimaan pajak,
pada tahun 2010 baru mencapai 11,30%, tahun 2011 meningkat menjadi 11,80% dan tahun
2012 mencapai 12,25%, namun menurun menjadi 11,86 % pada tahun 2013 dan turun lagi
menjadi 11,36% pada tahun 2014. Menurunnya tax rasio menunjukkan kinerja pajak yang
kurang optimal. Akibat tidak tercapainya target penerimaan pajak maka salah satu jalan
yang dilakukan pemerintah untuk menutup defisit anggaran adalah dengan menambah
utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Utang yang terus meningkat tentu
mengkhawatirkan. Besarnya rasio defisit anggaran terhadap PDB pada tahun 2010 hanya
mencapai 0,73%, naik menjadi 1,14% pada tahun 2011, 1,83% pada tahun 2012, naik lai
menjadi 2,33% pada tahun 2013, dan tahun 2014 sedikit turun menjadadi 2,15.%. Nilai rasio
defisit anggaran tersebut masih berada dibawah ketentuan Undang-undang Keuangan
Negara yang menetapkan bahwa besarnya rasio defisit anggaran terhadap PDB maksimal
3%. Dari penelitian yang dilakukan terhadap data penerimaan pajak dan defisit anggaran
tahun 2010-2014 ini disimpulkan bahwa pajak masih memiliki ruang untuk dioptimalkan baik
melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan, agar tax ratio meningkat sejajar
dengan negara-negara Asia Tenggara. Defisit anggaran masih memungkinkan untuk
ditambah,utang Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan kebanyakan negara lain,
kebutuhan pembangunan cukup besar. Namun demikian pemerintah harus berhati-hati
dalam menetapkan kebijakan karena jika pajak terus digenjot maka bisa berefek
kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian pula jika defisit terus membesar
dan utang membengkak maka dapat menyulitkan keuangan negara.
Key words: Indonesia National Budget, tax ratio, debt, defisit of budget, Gross
National Product
Corresponding author: Aniek Juliarini, E-mail: ajuliarini@gmail.com;Tatan Jaka
Tresnajaya, E-mail: tatan.jaka@gmail.com
233
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pendahuluan
Dari tahun ke tahun target dan realisasi penerimaan pajak senantiasa meningkat.
Porsi penerimaan perpajakan sebagai sumber pendapatan Negara semakin besar,
seiring menurunnya peran hasil minyak bumi. Sejak tahun 2007 hingga tahun 2015
target penerimaan pajak tidak pernah tercapai kecuali pada tahun 2008 yang dapat
mencapai 108,12%. Tax ratio yang merupakan perbandingan antara penerimaan pajak
dengan Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan salah satu tolok ukur kinerja
penerimaan pajak, belum mencapai angka seperti yang diharapkan. Pada tahun 2011,
tax ratio Indonesia baru mencapai sekitar 11,77% dan masih di bawah kebanyakan
negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata mencapai 12,24% (Setjen DPR RI).
Rendahnya tax ratio mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk
meningkatkan penerimaan pajak. Realisasi penerimaan pajak tahun 2007--2013 dapat
dilihat pada Grafik 1.
Grafik 1. Realisasi penerimaan pajak terhadap target tahun 2007—2013
234
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Penelitian Terdahulu
Nasir, Muhammad (2014) melakukan penelitian Analisis Daya Bayar Utang Luar
Negera menyimpulkan bahwa Indonesia dapat menjadi mendekati kondisi insolvency
regarding pada kemampuan bayar pada utang luar negeri. Hal itu dapat dilihat dari
enam indikator yang ada, Indonesia memiliki dua indikator yang buruk yaitu pada
indikator rasio utang luar negeri terhadap ekspor yang pada tahun 2012 mencapai
34,92% , berada di atas DSF Treshold sebesar 20%, dan rasio antara PV utang luar
negeri terhadap rencana penerimaan yang hanya mencapai 150,8%, berada di bawah
DSF treshold sebesar 250%. Indonesia yang memiliki defisit anggaran, yang jika terjadi
terus menerus, dapat menyebabkan gagal bayar.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Setjen DPR RI (2014)
menuliskan bahwa tax ratio Indonesia masih berada di urutan terbawah dalam G20.
Untuk bisa setara dengan negara-negara berkembang di dunia, Indonesia perlu
mencapai tax ratio 20%. Namun hal ini tidak bisa dicapai secara cepat perlu waktu
sekitar 4-5 tahun, bahkan jika Indonesia masih terus mengalami krisis bisa perlu waktu
8 tahun. Melihat hal tersebut maka perlu dilihat kembali adanya kecenderungan
gagalnya pencapaian target penerimaan pajak dan gejala meningkatnya defisit
anggaran sehingga berpotensi melonjaknya utang pemerintah.
Kajian ini menganalisis bagaimana perkembangan penerimaan pajak periode
2010—2014 dan bagaimana perkembangan defisit anggaran sebagai efek dari
penerimaan pajak serta mengkaji perkembangan utang pemerintah sebagai efek dari
adanya defisit anggaran. Hasil kajian ini akan memberikan gambaran kondisi
keuangan negara terkini sehingga dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak
terkait. Sistematika penulisan diawali dengan metodologi penelitian, kerangka teori,
hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dan rekomendasi.
235
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Metodologi
A. Kerangka teori
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara. Selain penerimaan
perpajakan, sumber pendapatan Negara yang lainnya adalah penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) dan hibah. Struktur APBN adalah sebagai berikut:
I. Pendapatan Negara dan Hibah
a. Penerimaan perpajakan
b. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
c. Hibah
II. Belanja Negara
a. Belanja Pemerintah Pusat
b. Transfer ke Daerah
III. Surplus/deficit Anggaran
IV. Pembiayaan
a. Pembiayaan dalam negeri
b. Pembiayaan luar negeri
V. Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran
236
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
237
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
ekspor dan impor. Berbagai jenis barang dan jasa akhir tesebut, ditujukan
untuk memenuhi permintaan akhir berbagai pelaku atau sektor ekonomi
domestik maupun luar negeri. Penghitungan PDB melalui pendekatan
penggunaan, merupakan hal yang tidak terpisahkan dari penghitungan PDB
melalui pendekatan lapangan usaha (industri), yang ditampilkan dalam suatu
kerangka kerja data ekonomi. Sungguhpun demikian, penghitungan PDB
penggunaan dilakukan secara independen dengan menggunakan data dasar
yang relatif berbeda. PDB lapangan usaha lebih menjelaskan tentang proses
produksi, serta pendapatan faktor yang berhasil diciptakan (balas jasa faktor
produksi), sedangkan PDB penggunaan menjelaskan tentang pengeluaran
yang dilakukan untuk mendapatkan barang dan jasa yang diproduksi
tersebut. Semakin tinggi PDB sebuah negara menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi negara tersebut semakin baik.
3. Tax Ratio
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama. Secara nominal, dari
tahun ke tahun jumlah penerimaan pajak senantiasa meningkat, seiring dengan
peningkatan target penerimaan. Namun demikian, jika dibandingkan dengan PDB,
nampaknya penerimaan pajak serasa jalan di tempat. Secara garis besar, PDB
merupakan jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian.
PDB bisa pula dilihat sebagai seluruh penghasilan yang diproduksi di dalam suatu
negara. Dengan demikian PDB pada hakikatnya adalah potensi dasar pemungutan
pajak. Oleh karena itu seiring dengan meningkatnya PDB Indonesia, penerimaan
pajak juga diharapkan meningkat. Hal ini diejawantahkan dengan peningkatan tax
ratio, yang merupakan nisbah antara penerimaan pajak dengan PDB. (Kristian
Agung Prasetyo, 2014).
PENERIMAAN PAJAK
TAX RATIO = ----------------------------------------------
PRODUK DOMESTIK BRUTO
238
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
B. METODE PENELITIAN
Penelitan ini dilakukan berdasarkan studi literatur dengan analisis kuantitatif
deskriptif. yaitu dengan berdasarkan data yang berasal dari Kementerian
Keuangan, LKPP, penelitian-penelitian terdahulu, buku, tulisan, undang-undang
dan peraturan terkait lainnya. Berdasarkan data yang ada akan dilihat
perkembangan penerimaan pajak dan utang terhadap PDB. Selanjutnya akan
dianalisis apakah penerimaan pajak masih memiliki potensi untuk ditingkatkan,
dan apakah defisit anggaran serta jumlah utang masih cukup aman. Data yang
diamati adalah data time series tahun 2010—2014.
239
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil
Berdasarkan data yang diperoleh, perkembangan PDB berdasarkan harga
berlaku tahun Seri 2000, realisasi belanja negara, realisasi penerimaan pajak
pusat, defisit anggaran, dan besarnya tax ratio serta proporsi antara defisit
anggaran dengan PDB adalah sebagaimana Tabel 1.
Tabel 1. Data PDB, belanja negara, penerimaan pajak, tax ratio, dan defisit anggaran
tahun 2010—2014
PDB 6.446.900 114,85% 7.419.200 115,08% 8.230.900 110,94% 9.087.280 110,40% 10.094.930 111,09%
8.255.842,00 112,47%
DEFISIT ANGGARAN 46.850 52,87% 84.400 180,15% 153.300 181,64% 211.670 138,08% 226.690 107,10%
144.582,00 131,96%
11,30 46,03% 11,80 104,42% 12,50 105,93% 11,86 94,88% 11,36 95,78%
TAX RATIO (%) 11,76 89,41%
DEFISIT/PDB (%) 0,73 81,32% 1,14 156,54% 1,86 163,72% 2,33 125,06% 2,25 96,41%
1,66 124,61%
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa capaian PDB pada tahun 2010 mengalami
pertumbuhan 114,85% dari tahun 2009, pada tahun 2011 tumbuh 115,08% dari
tahun 2010, tahun 2012 tumbuh 110,94 dari tahun 2011, tahun 2013 tumbuh
110,40% dari tahun sebelumnya, dan PDB tahun 2014 tumbuh 111,09% dari
tahun 2013. Pertumbuhan PDB pada tahun 2010—2014 rata-rata mencapai
112, 47% per tahun .
Realisasi anggaran belanja negara pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan
111,17% dari tahun 2009, pada tahun 2011 tumbuh 124,27% dari tahun 2010,
tahun 2012 tumbuh 115,7% dari tahun 2011, tahun 2013 tumbuh 110,67% dari
tahun sebelumnya, dan belanja negara tahun 2014 tumbuh 107,67% dari tahun
240
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Diskusi
1. Tax ratio
Pertumbuhan penerimaaan pajak pada tahun 2010—2014 rata-rata mencapai
Rp960.374, 40 milyar. Perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB (tax
ratio) rata-rata hanya mencapai 11,76%. Perkembangan tax ratio setiap
tahunnya tergambar pada Grafik 2.
Grafik 2. Tax ratio Indonesia tahun 2010—2014
241
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Berdasarkan Grafik 3, posisi tax ratio Indonesia berada di atas India, sama
dengan Filipina, namun masih di bawah China dan Meksiko, yang memiliki tax
ratio hampir 20%, Korea Selatan yang mencapai 24,3%, dan sangat jauh di
bawah Inggris, Jepang dan Jerman yang memiliki tax ratio di atas 30%. Hal ini
242
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
2. Defisit anggaran
243
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
APBN mengingat kondisi ekonomi dunia dan ekonomi nasional yang kurang
mendukung penerimaan pajak.
Dari Grafik 5 terlihat bahwa rasio defisit terhadap PDB pada tahun 2010
mencapai 25,2%. Tahun 2011 turun menjadi 23,4%, tahun 2012 naik lagi
menjadi 25,5% dan terus naik hingg 29,9% pada tahun 2013 hingga 47,3%
pada tahun 2014. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, utang
Indonesia masih relatif lebih kecil. Bahkan negara-negara kaya dan besar pun
memiliki rasio utang yang besar. Rasio utang terhadap PDB yang besar tidak
selalu buruk jika utang tersebut dipergunakan dengan benar sehingga dapat
meningkatkan perekonomian (PDB), meningkatkan ekspor (perolehan devisa),
dan sebagainya Jika dilihat perkembangan utang tahun 2005 dan 2015 maka
perbandingannya sebagaimana Grafik 6.
244
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Grafik 6 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 rasio utang terhadap PDB
Indonesia cukup rendah, dengan proporsi yang hampir sama dengan Turkey,
Philina, dan Australia. Rasio yang rendah menunjukkan jumlah utang yang
rendah dibandingkan PDB. Dengan demikian kondisi utang tersebut masih
cukup aman. Rasio utang dan PDB yang tinggi terjadi di Italia, Jepang dan
Amerika Serikat. Rsio yang tingi tidak selalu buruk asalkan utang tersebut
dipergunakan untuk menggerakkan ekonomi negara sehingga kemampuan
keuangan negara pun meningkat pula.
Kesimpulan
Kinerja penerimaan pajak yang tercermin lewat nilai tax ratio (penerimaan
pajak/PDB) menunjukkan peningkatan dari 11,30% pada tahun 2010 menjadi
11,80% pada tahun 2011 dan 12,50 % pada tahun 2012. Sayangnya tax ratio
mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 11,86% dan turun lagi pada
tahun 2014 menjadi 11,36%. Dibandingkan negara lain, nilai tax ratio ini masih
di bawah rata-rata tax ratio negara-negara Asia Tenggara yang dapat mencapai
20% dan negara-negara maju seperti Jepang yang mencapai tax ratio hingga
30%. Peningkatan tax ratio masih sangat mungkin dilakukan, baik dengan cara
intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan.
245
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Keterbatasan Penelitian
Karena sempitnya waktu penelitian maka pada penelitian ini belum dilakukan
pengukuran indikator-indikatator tingkat keamanan nilai utang. Supaya lebih
sempurna, penelitian berikutnya dapat mengukur tingkat keamanan nilai utang
misalnya dengan mengukur Debt Service Ratio (DSR), dan lain-lain. Kesulitan
dalam memeroleh data yang lengkap, konsisten, dan mudah diolah merupakan
kendala dalam penelitian ini.
246
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Daftar Pustaka
Nasir, Mohamad. 2014 Solvency Analysis on Indonesia’s External Debt Analisis
Daya Bayar Utang Luar Negeri Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan.
Volume 18 No. 2 Juli 2014 hal: 99—118.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. (2016). Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan
Surat Berharga Negara) EDISI Februari 2016.
Setjen DPR RI. (2014). Meningkatkan Tax Ratio Indonesia. Diunduh dari
http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_Meningkatkan_Tax_Ratio_Indo
nesia20140602100259.pdf tanggal 17 Maret 2016
247
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Corresponding author: Eddy Siswanto, M.D., M.P.H.M., Tel/Fax.: +62 813 8773 6648
E-mail: siswantoeddy2012@gmail.com
248
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Food borne illness or in the famous term called food poisoning is an ever-present
threat that can be prevented with proper care and handling of food products. It is
estimated that between 24 and 81 million cases of food borne diarrhea disease
occur each year in the United States, costing between $5 billion and $17 billion in
medical care and lost productivity.
Food poisoning can affect one person or it can occur as an outbreak in a group
of people who all ate the same contaminated food. It affects between 60 and 80
million people worldwide each year and results in approximately 6 to 8 million
deaths. Food poisoning tends to occur at picnics, school cafeterias, and large social
functions. These are situations where food may be left unrefrigerated too long or
food preparation techniques are not clean. Food poisoning often occurs from
undercooked meats or dairy products (like mayonnaise mixed in coleslaw or potato
salad) that have sat out too long.
Food poisoning is a common, usually mild, but sometimes deadly illness. It can
be recognized also as traveler’s diarrhea, diarrhea, food-borne illness, salmonella,
salmonellae, Escherichia coli, E coli, Montezuma’s revenge, vomiting,
campylobacter, Norwalk virus, rotavirus, clostridium, Giardia, giardiasis,
cryptosporidium, ciguatera, scombroid.
Typical symptoms include nausea, vomiting, abdominal cramping, and diarrhea
that come on suddenly (within 48 hours) of consuming a contaminated food or drink.
Depending on the contaminant, fever and chills, bloody stools, dehydration, and
nervous system damage may follow. Food poisoning is the result of eating
organisms or toxins in contaminated food. Most cases of food poisoning are from
common bacteria like Staphylococcus or E. coli.
These symptoms may affect one person or a group of people who ate the same
thing (this would be called an outbreak).
1. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) estimates that in the
United States alone, food poisoning causes about 76 million illnesses, 325,000
hospitalizations, and up to 5,000 deaths each year. One of the most common
bacterial forms of infection, the salmonellae organisms, account for $1 billion in
medical costs and lost work time.
2. Worldwide, diarrheal illnesses are among the leading causes of death. Travelers
to developing countries often encounter food poisoning in the form of traveler’s
249
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
The main objective of this review is to explain Food Poisoning and other things
those are related with it. The spesific objectives are:
1. To mention food poisoning causes
2. To identify food poisoning symptoms
3. To mention food poisoning treatment and assessment
4. To describe food poisoning expectations (prognosis)
5. To identify food poisoning complications
6. To explain food poisoning prevention
METHODOLOGY
RESULT
250
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
One that should be concern is to separate food poisoning with food spoilage.
Food spoilage means food decays or goes off, due to the micro-organisms that always
exist in food; they are not necessarily the bacteria that cause food poisoning. The signs
that food is spoiling are:
1. Odours - "off odours" are smells (sometimes like rotten eggs) that are produced
when bacteria break down the protein in food, (usually fatty foods). This process
is called putrefaction. Taints due to flavour change may also occur.
2. Sliminess - Food becomes slimy as the bacterial population grows.
Moulds may also form slimy whiskers.
3. Discoloration - Foods can become discolored by microbial growth.
Some moulds have colored spores that give the food a distinctive color, for
example, black pin mould on bread, or blue and green mould on citrus fruit and
cheese.
4. Souring - Foods go sour when certain bacteria produce acids. A common
example is when milk sours from the production of lactic acid.
5. Gas - Bacteria and yeasts often produce gaseous by-products that can affect
food. You may have noticed meat becoming spongy, or packages and cans
swelling or having a popping or fizzing sound on opening.
251
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
4. PH. The numbers on the pH scale, as shown in the following diagram, indicate
the acidity or alkalinity of a fluid. Micro-organisms can grow and multiply only
within a certain pH range. Most prefer to live in a neutral environment around
252
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
253
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
5. Water. Without water, Dehydration (loss of moisture) occurs and the life and
growth processes of micro-organisms slow down and may stop. The micro-
organisms might not be destroyed however. The use of salt or syrups (sugar) in
various foods is a way of activating this process. These salts and sugars are
crystals that compete with the micro-organisms for the available water that they
need for survival.
It is now generally accepted that the water requirements of micro-organisms
should be defined in terms of the water activity (aw) in the environment. This is
a measure of the availability of water to micro-organisms for metabolism (the
processes of life). The (aw) of pure water is 1.00, - a 22% salt solution has an
(aw) of 0.86 and a saturated salt solution is 0.75. The (aw) value for most fresh
foods is above 0.99.
GROUPS
6. Oxygen.
a. Availability of Oxygen
Micro-organisms respires. That is, they get energy by breaking down
chemicals, usually sugars, inside the cell. Aerobic organisms must use
oxygen obtained from their environment (usually air) before they can produce
energy for life and growth. Anaerobic organisms can produce this energy
only in the absence of oxygen. Facultative organisms can respire in either
aerobic or anaerobic conditions.
b. Oxygen Tension
This is the availability of oxygen to micro-organisms, and can be controlled
by packaging, e.g. by gas flushing.
254
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Chemicals, heavy metals, parasites, fungi, viruses and bacteria can cause food
borne illness. Bacteria related food poisoning is the most common, but fewer than
20 of the many thousands of different bacteria actually are the culprits. More than
90 percent of the cases of food poisoning each year are caused by
Staphylococcus aureus, Salmonella, Clostridium perfringens, Campylobacter,
Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus, Bacillus cereus, and Entero-
pathogenic Escherichia coli. These bacteria are commonly found on many raw
foods.
Infants and elderly people have the greatest risk for food poisoning. You are
also at higher risk if you have a serious medical condition, like kidney disease or
diabetes, a weakened immune system, or you travel outside of the U.S. to areas
where there is more exposure to organisms that cause food poisoning. Pregnant
and breastfeeding women have to be especially careful. Botulism is a very serious
form of food poisoning that can be fatal. It can come from improper home canning.
255
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
256
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
fried rice) and other starchy foods such as pasta or potatoes. May also be
used as a potential terrorist weapon.
e. Escherichia coli (E coli): Causes moderate to severe illness that begins as
large amounts of watery diarrhea, and then turns into bloody diarrhea. There
are many different types of this bacterium. The worst strain can cause kidney
failure and death (about 3-5% of all cases). It is transmitted by eating raw or
undercooked hamburger, unpasteurized milk or juices, or contaminated well
water.
f. Shigella (traveler’s diarrhea): Causes moderate to severe illness with fever,
diarrhea containing blood or mucus or both, and the constant urge to have
bowel movements. It is transmitted in water polluted with human wastes.
g. Clostridium botulinum (botulism): Causes severe illness affecting the nervous
system. Symptoms start as blurred vision. The person then has problems
talking and overall weakness. Symptoms then progress to breathing difficulty
and inability to move arms or legs. Infants and young children are particularly
at risk. It is transmitted in foods such as home-packed canned goods, honey,
sausages, and seafood.
h. Vibrio cholerae: Causes mild to moderate illness with crampy diarrhea,
headache, nausea, vomiting, and fever with chills. It strikes mostly in the
warmer months of the year and is transmitted by infected, undercooked, or
raw seafood.
3. Parasites rarely cause food poisoning. When they do, they are usually
swallowed in contaminated or untreated water and cause long-lasting but mild
symptoms.
a. Giardia (beaver fever): Causes mild illness with watery diarrhea often lasting
1-2 weeks. It is transmitted by drinking contaminated water, often from lakes
or streams in cooler mountainous climates.
b. Cryptosporidium: Causes moderate illness with large amounts of watery
diarrhea lasting 2-4 days. May become a long-lasting problem in people with
poor immune systems (such as people with kidney disease or HIV/AIDS or
those on chemotherapy for cancer). It is transmitted by contaminated
drinking water.
4. Toxic agents are the least common cause of food poisoning. Illness is often an
isolated episode caused by poor food preparation or selection (such as picking
wild mushrooms).
257
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
a. Mushroom toxins: Illness can range from mild to deadly depending on the
type of mushroom eaten. Often there is nausea, vomiting, and diarrhea.
Some types of mushrooms produce a nerve toxin, which causes sweating,
shaking, hallucinations, and coma.
b. Ciguatera poisoning: Causes moderate to severe illness with numbness of
the area around the mouth and lips that can spread to the arms and legs,
nausea, vomiting, muscle pain and weakness, headache, dizziness, and
rapid heartbeat. It is transmitted by eating certain large game fish from
tropical waters—most specifically barracuda and jacks.
c. Scombroid: Causes mild to moderate illness with burning around the mouth
and lips, a red rash to the upper body, dizziness, headache, and itchy skin. It
is transmitted in seafood, mostly mahi-mahi and tuna, but can also be in
Swiss cheese.
d. Pesticides: Cause mild to severe illness with weakness, blurred vision,
headache, cramps, diarrhea, increased saliva, and shaking of the arms and
legs. Toxins are transmitted by eating unwashed fruits or vegetables
contaminated with pesticides.
258
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
1. Pass out or collapse, become dizzy, lightheaded, or have problems with your
vision.
2. A fever higher than 101°F occurs with the abdominal symptoms.
3. Sharp or cramping pains do not go away after 10-15 minutes.
4. Stomach or abdomen swells.
5. The skin and/or eyes turn yellow.
6. Vomiting blood or having bloody bowel movements.
7. Stop urinating, have decreased urination, or have urine that is dark in color.
8. Develop problems with breathing, speaking, or swallowing.
9. One or more joints swell or a rash breaks out on your skin.
10. The ill person or caretaker considers the situation to be an emergency.
DISCUSSION
259
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
1. Self-Care at Home
Short episodes of vomiting and small amounts of diarrhea lasting less than
24 hours can usually be cared for at home.
a. Do not eat solid food while nauseous or vomiting but drink plenty of fluids.
1) Small, frequent sips of clear liquids (those you can see through) are the
best way to stay hydrated.
2) Avoid alcoholic, caffeinated, or sugary drinks, if possible. Over-the-
counter rehydration products made for children such as Pedialyte and
Rehydralyte are expensive but good to use if available.
3) Sports drinks such as Gatorade and Powerade are fine for adults if they
are diluted with water because at full strength they contain too much
sugar, which can worsen diarrhea.
b. After successfully tolerating fluids, eating should begin slowly, when nausea
and vomiting have stopped. Plain foods that are easy on the stomach should
be started in small amounts. Consider eating rice, wheat, breads, potatoes,
cereals (low-sugar cereals), lean meats, and chicken (not fried) to start. Milk
can be given safely, although some people may experience additional
stomach upset due to lactose intolerance.
c. Most food poisonings do not require the use of over-the-counter medicines to
stop diarrhea, but they are generally safe if used as directed. It is not
recommended that these medications be given to children. If there is a
question or concern, you should always check with your doctor.
2. Medical Treatment
The main treatment for food poisoning is putting fluids back in the body (the
process of rehydration) through an IV and by drinking. Person with food
poisoning may need to be admitted to the hospital. This depends on the severity
of the dehydration, his/her response to therapy, and his/her ability to drink fluids
without vomiting. Children, in particular, may need close observation.
a. Anti vomiting and diarrhea medications may be given.
b. The doctor may also treat any fever to make you more comfortable.
c. Antibiotics are rarely needed for food poisoning. In some cases, antibiotics
would worsen it. Only a few specific causes are improved by using these
medications. The length of illness with traveler’s diarrhea (shigellae) can be
decreased with antibiotics, but this specific illness usually runs its course and
improves without treatment.
260
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
3. Follow-up
After visiting doctor or the emergency department, follow any specific
directions and take any medications prescribed exactly as directed. Continue to
drink extra fluids until the diarrhea stops completely. It may need to miss 1-2
days of work or school to let the body recover. If any symptoms change or
continue to worsen, it’s necessary to contact doctor.
B. Expectations (Prognosis)
Full recovery from the most common types of food poisoning usually occurs
within 12 and 48 hours. Serious complications can arise, however, from certain
types of food poisoning. Some of the most severe food poisoning can result in
long-term illness and death. However, most food poisoning is not serious. Most
people begin feeling better within 24-48 hours. Queasiness or nausea and slight
diarrhea may stay for 1-2 days longer.
C. Complications
Dehydration is the most common complication. This can occur from any of the
causes of food poisoning. Less common but much more serious complications
include:
1. Respiratory distress, including the need for support on a breathing machine
(botulism)
2. Kidney problems (Shigella, E. coli)
3. Bleeding disorders (E. coli and others)
4. Arthritis (Yersinia and Salmonella)
5. Nervous system disorders (Botulism, Campylobacter)
6. Pericarditis (Salmonella)
7. Death -- 50% of people with mushroom or certain fish poisonings (like puffer
fish) die and 10% with botulism
261
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
There are three main ways of breaking the food poisoning chain:
a. Protecting food from contamination.
b. Preventing any bacteria present in the food from multiplying.
c. Destroying those bacteria that are present in the food.
262
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
263
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
2. Personal Hygiene
Good personal hygiene reduces the chance of contamination of
food.
a. Hands must be washed before and after handling food.
b. If unwell, do not handle food until cleared by a doctor.
c. The hair, nose and mouth must not be touched during food
preparation.
d. Suitable light colored protective clothing should be worn.
e. Cuts and abrasions should be covered with waterproof
bandages and if on the hands suitable gloves worn.
f. Rings and other jewellery should not be worn as they can harbor dirt and bacteria
and could they fall into the food being prepared.
3. Micro-organisms control
Control of micro-organisms is needed to prevent:
a. The spread of disease and infection.
b. The spoilage of foodstuffs.
c. Contamination of food.
264
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Disinfection does not necessarily kill all micro-organisms, but reduces them
to a level not usually harmful to health. In this group are the fungicides (kills
fungi), bactericides (kills bacteria) and virucides (kills viruses).
c. Sanitizing - A term meaning that an article or surface is visibly clean and is
free of disease producing organisms.
4. Quality control
The general purpose of quality control is to ensure that a maximum amount of the
product being processed reaches the desired level of quality with minimum variation
and that this is achieved as economically as possible. The products of natural raw
materials are never exactly the same, so control is necessary to keep product quality
within the standards set. Raw materials should be purchased from reliable suppliers
who hold a current food manufacturer's registration.
If effective raw material and process controls are not put in place and only
examination of the finished product is done, then quality control stops being a control
and becomes merely an inspection. A good control system rejects substandard
ingredients before the process begins and once it has begun, prevents wastage of
good raw material.
It is recommended that every food business adopt the HACCP approach to identify
all potential hazards and control them before they result in problems. Setting up a
HACCP system will involve the following:
a. Set up a HACCP team - of those people who fully understand the product.
b. Draw up flow charts - that define all stages in the preparation process, from raw
materials through to consumption or sale.
c. Identify all potential hazards - (eg. physical, chemical, bacterial) etc.
d. Identify the critical control points - consider all preventive measures and decide
which are needed to eliminate or reduce potential hazards to acceptable levels.
265
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
e. Determine target levels and tolerances for control points - (eg. time).
f. Establish monitoring systems for critical control points - (eg. work out who
should act and when, where and what action should be taken).
g. Establish a recording and documentation system.
h. Review the HACCP system - annually and when changes are made to any
process.
6. Food Safety
Food safety in community can be mentioned as guidelines below to keep
contaminants away:
a. Safe shopping
1) Buy cold foods last. Get it home fast.
2) Never choose torn or leaking packages.
3) Do not buy foods past their "sell-by" or expiration dates.
4) Keep raw meat and poultry separate from other foods.
5) Place refrigerated or frozen items in the shopping cart last, right before
heading for the checkout counter.
b. Safe storage of foods
1) Keep it safe; refrigerate.
2) Unload perishable foods first and immediately refrigerate them. Place raw
meat, poultry, or fish in the coldest section of your refrigerator.
3) Check the temperature of your appliances. To slow bacterial growth, the
refrigerator should be at 40°F, the freezer at 0°F.
4) Cook or freeze fresh poultry, fish, ground meats, and variety meats within
2 days.
c. Safe food preparation
1) Keep everything clean!
2) Wash hands before and after handling raw meat and poultry.
3) Sanitize cutting boards often in a solution of 1 teaspoon chlorine bleach in
1 quart of water.
4) Do not cross-contaminate. Keep raw meat, poultry, fish, and their juices
away from other food. After cutting raw meats, wash hands, cutting board,
knife, and counter tops with hot, soapy water.
5) Marinate meat and poultry in a covered dish in the refrigerator. Discard
any uncooked/unused marinade.
266
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
To prevent food poisoning, take the following steps when preparing food:
a. Carefully wash your hands and clean dishes and utensils.
b. Use a thermometer when cooking. Cook beef to at least 160°F, poultry to at
least 180°F, and fish to at least 140°F.
c. DO NOT place cooked meat or fish back onto the same plate or container that
held the raw meat, unless the container has been thoroughly washed.
d. Promptly refrigerate any food you will not be eating right away. Keep the
refrigerator set to around 40°F and your freezer at or below 0°F. DO NOT eat
meat, poultry, or fish that has been refrigerated uncooked for longer than 1 to
2 days.
e. DO NOT use outdated foods, packaged food with a broken seal, or cans that
are bulging or have a dent.
f. DO NOT use foods that have an unusual odor or a spoiled taste.
267
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
b. If you make canned food at home, be sure to follow proper canning techniques
to prevent botulism.
c. DO NOT feed honey to children under 1 year of age.
d. DO NOT eat wild mushrooms.
e. When traveling where contamination is more likely, eat only hot, freshly
cooked food. Drink water only if it's been boiled. DO NOT eat raw vegetables
or unpeeled fruit.
f. DO NOT eat shellfish exposed to red tides.
g. If you are pregnant or have a weakened immune system, DO NOT eat soft
cheeses, especially imported from countries outside the U.S.
If other people may have eaten the food that made you sick, let them know. If you
think the food was contaminated when you bought it from a store or restaurant, tell the
store and your local health department.
Infants, older persons, women who are pregnant and anyone with a compromised
immune system are especially susceptible to food-borne illness. These people should
never consume raw fish, raw seafood, or raw meat type products. Especially for food
poisoning those are caused by bacteria, which can be summarized as table below.
268
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
269
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
CONCLUSION
Food borne illness or in the famous term called food poisoning is an ever-
present threat that can be prevented with proper care and handling of food products.
It affects many people in the world each year and results more deaths. Based on its
causes, food poisoning has variety of signs and symptoms, complications, prognosis,
early assessments and medical treatments.
The most important issue is food poisoning prevention. Break the food
poisoning chain, micro-organisms control, personal hygiene, food quality control,
HACCP approach, and food safety should be concerned to prevent food poisoning in
community. Finally, safe food for eat is ultimate goal to achieve in community to get
better life and health.
REFERENCES
270
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Cunha JP, Shaphiro T, Plantz SH, et al. Food poisoning. E-Medicine Health.
http://www.emedicinehealth.com/food_poisoning/page14_em.htm. Accessed: 29
November 2006.
American Medical Association, Centers for Disease Control and Prevention, Center
for Food Safety and Applied Nutrition, Food and Drug Administration, Food
Safety and Inspection Service, US Department of Agriculture. Diagnosis and
management of foodborne illnesses: a primer for physicians. MMWR Recomm
Rep. 2001; Atlanta: 50(RR-2): 1-69.
Christchurch city council. Food poisoning, micro-organisms; A food safety for food
workers information source. http://www.ccc.govt.nz/Health/foods3.asp.
Accessed 30 November 2006.
271
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: The existing General Provisions and Tax Procedures Law (Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan/“KUP Law”) does not regulate corporation as the subject of
criminal law. However, in the Concept of KUP Law in the future, corporation will be
subject to criminal law (tax crime). With the acceptance of the corporation as the
subject of criminal law, it will cause some consequences that could potentially cause
problems in its application. One of these problems are related to the type of criminal
sanctions which can be imposed to the corporation. Fines sanction is always be
applied as a main punishment for a corporation. It is less effective if there is no
provisions of substitute criminal fines for the corporation when the corporation is unable
to pay the fines. Another alternative form of criminal sanctions for the corporation was
treatment. By using double track system, the imposition of criminal sanctions against
the corporation could be punishment and treatment. Unfortunately, in Indonesia the
treatment sanctions are not widely used and recognized in the formulation of sanctions
for corporation. Therefore it is really needed to analysed the effective and appropriate
sanctions for corporation in the Concept of KUP Law. Type of research that used is
yuridis-normative method Data that used in this research is seconder data. The technic
to collecting data is literature study. Then, all data are analysed qualitatively.
Pendahuluan
272
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dalam prakteknya tindak pidana dapat dilakukan oleh orang pribadi atau badan/
korporasi. Namun sayangnya UU KUP yang berlaku saat ini tidak mengatur korporasi
sebagai subjek tindak pidana perpajakan. Dengan kata lain, hanya manusia yang
dapat melakukan tindak pidana dan hanya manusia yang dapat dituntut serta dibebani
tanggungjawab pidana perpajakan. Di luar UU KUP, sudah banyak undang-undang
tindak pidana khusus yang mengatur korporasi sebagai subjek yang dapat melakukan
tindak pidana dan dapat pula dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Misal,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan (stdd) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi stdd UU Nomor 20 Tahun
2001, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Melihat perkembangan tersebut,
dalam konsep Rancangan UU KUP korporasi telah menjadi subjek tindak pidana
perpajakan.1
1
Disampaikan dalam Seminar Kajian Draft RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak pada tanggal 4-5 Nopember 2015.
273
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Agar lebih sistematis dan mudah dipahami, penulisan karya tulis ilmiah ini
disusun menjadi empat bab. Bab I (Pendahuluan) seperti telah diuraikan di atas,
dilanjutkan Bab II, III, dan IV. Pada Bab II adalah Tinjauan Pustaka. Bab III berisikan
analisis terkait jenis-jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap korporasi. Bab
terakhir yaitu bab IV Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
Metodologi
Tinjauan Pustaka
2
Eddy O. S. Hiariej. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. hal. 30.
3
E. Utrecht. (1958). Hukum Pidana I. Jakarta:Universitas Jakarta. hal. 157
274
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
gabungan adalah penjatuhan pidana tidak hanya membuat jera pelaku tetapi juga
harus memberikan perlindungan, pendidikan terhadap masyarakat dan pelaku.
Sistem Pemidanaan
Dalam merumuskan sanksi pidana dikenal dua macam sistem pemidanaan, yaitu
single track system (hanya sanksi pidana) dan double track system (pidana dan
tindakan). Pengertian dari double track system adalah selain dijatuhkan sanksi pidana,
sanksi tindakan dikenakan juga terhadap pelaku tindak pidana. Pengertian dari sanksi
tindakan adalah pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi
mendidik dan mengayomi, tujuannya mengamankan masyarakat dan memperbaiki
terpidana.4
Pemidanaan tidak terlepas dari dari jenis-jenis pidana yang diatur dalam hukum
positif suatu negara. Jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP adalah:
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Pidana tambahan
4
Andi Hamzah. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineke Cipta. hal. 127
5
Barda Nawawi. (2013). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. hal. 12
275
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan tanpa adanya pidana pokok oleh karena
sifatnya hanya merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok. Namun tidak
sebaliknya, pidana pokok dapat dijatuhkan tanpa harus adanya pidana tambahan.
Dilihat dari ketentuan pidana tersebut, semua sanksi pidana hanya dapat diterapkan
pada manusia kecuali sanksi pidana denda dan pengumuman putusan hakim juga
dapat dikenakan terhadap korporasi.
a. pidana penjara,
b. pidana tutupan,
c. pidana pengawasan,
d. pidana denda, dan
e. pidana kerja sosial.
Sedangkan sanksi tindakan yang diatur dalam Pasal 103 ayat (2) RUU KUHP
antara lain diatur perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
perbaikan akibat tindak pidana. Tindakan tersebut dikenakan bersama-sama dengan
pidana pokok.
Dalam RUU KUHP, korporasi sudah dimasukan menjadi subjek tindak pidana.
Pidana pokok untuk korporasi adalah pidana denda. Pasal 87 RUU KUHP juga
mengatur pidana pengganti denda untuk korporasi berupa pencabutan izin usaha atau
pembubaran koperasi.
276
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Mengenai alternatif lain dari pidana denda untuk korporasi, Suprapto juga
menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan pada perusahaan adalah:7
6
Ibid. hal. 66
7
Muladi dan Dwija Priyatno. (1991). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana. Bandung:
STHB. hal. 114.
277
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
8
Barda Nawawi. Op.cit. hal 115-116
278
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dalam UU KUP yang berlaku sekarang secara eksplisit tidak diatur bahwa
korporasi/ badan merupakan subjek tindak pidana. Namun demikian, sebagaimana
telah diuraikan di atas, dalam konsep RUU KUP diatur bahwa korporasi menjadi subjek
tindak pidana perpajakan. Dengan diaturnya korporasi dapat menjadi subjek tindak
pidana perpajakan maka yang harus diteliti adalah bentuk atau jenis sanksi pidana
yang akan dikenakan terhadap korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana
perpajakan.
Melihat jenis sanksi pidana yang diberikan kepada korporasi senantiasa berupa
pidana denda, maka pidana denda dapat menjadi pilihan utama. Namun sebaiknya
dalam perumusan sanksi pidana harus dibarengi juga dengan pidana pengganti denda
hal ini dimaksudkan apabila denda tidak dibayar oleh terpidana. Contoh UU
Kepabeanan dan UU Tipikor hanya mengatur pidana pokok terhadap korporasi berupa
pidana denda saja. Kedua undang-undang tersebut tidak mengatur lebih lanjut untuk
menjerat korporasi yang tidak mampu atau tidak mau membayar denda. Dengan tidak
adanya peraturan tindak pidana pengganti denda tersebut, maka pemberian sanksi
pidana denda kepada korporasi menjadi kurang efektif. Hal ini dikarenakan dalam
pelaksanaan pidana denda tidak dapat dijalankan dengan paksaan secara langsung
seperti penyitaan atas barang-barang terpidana.
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan
perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi
yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda
279
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan sanksi pidana pokok
terhadap korporasi, sebagaimana telah dijelaskan di muka, adalah penggunaan sanksi
lain di luar pidana denda yaitu sanksi tindakan. Misalnya, pencabutan seluruhnya atau
sebagian fasilitas yang telah diberikan oleh pemerintah dan sebagainnya.
Dengan merumuskan sanksi pidana bagi korporasi tidak secara tunggal (dalam
hal ini pidana denda saja) akan lebih efektif. Perumusan sanksi pidana yang bersifat
tunggal akan sangat kaku dan dapat menimbulkan kesulitan dalam penerapannya.
Oleh karena itu sebaiknya dalam merumuskan sanksi pidana terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana perpajakan dilakukan secara alternatif. Menurut penulis hal
ini merupakan pilihan yang sesuai untuk memformulasikan bentuk atau jenis tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi yang melakukan tindak pidana.
Dalam kasus Asian Agri ini, awalnya penuntut umum mendakwa Suwir Laut
(manager perpajakan Asian Agri Group) melanggar Pasal 39 ayat (1) UU KUP, yang
bunyi secara lengkapnya sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a) tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d) menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
e) menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
280
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kesimpulan
Dengan dimasukkannya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam konsep RUU
KUP, akan menimbulkan konsekuensi atau masalah lain dalam penerapannya. Salah
281
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
satu permasalahan yang muncul adalah sistem pemidanaan untuk korporasi. Agar
korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dijatuhi pidana
sesuai dengan kejahatannya, penentuan jenis-jenis sanksi pidana yang dapat
diterapkan badan/ korporasi menjadi hal yang penting.
Mengingat akibat dari tindak pidana di bidang perpajakan ini merugikan keuangan
negara, harus juga mulai dipertimbangkan tidak hanya memberikan pidana pokok
denda terhadap korporasi. Dikarenakan penghukuman tidak semata-mata sebagai
pembalasan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan, tetapi ia juga berfungsi sebagai
alat penjera agar pelaku yang lain tidak melakukan perbuatan itu (prevensi) hendaknya
pemberian sanksi pidana terhadap korporasi perlu dipikirkan alternatif pidana lain
seperti sanksi tindakan..
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. (2013). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Hiariej, Eddy, O.S. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka.
Leaza, E. Z. (2010). Penerapan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Double Track
System) Dalam Kebijakan Legislasi. Jurnal Sasi. Vol.16. 4. 51-56.
282
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pendahuluan
Pada tahun 2016, pemeritah telah menetapkan target realisasi investasi untuk
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
sebesar Rp. 594,8 triliun. Berdasarkan Siaran Pers yang dilaksanakan di Kantor Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tanggal 21 Januari 2016, target realisasi
283
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
investasi tahun 2016 dinilai cukup optimis bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya
2015 yang sebesar 519,5 triliun, dengan capaian target sebesar 545,4 triliun atau
sebesar 105%. Untuk capaiaan target realisasi investasi tahun 2016 kedepan,
pemerintah dituntut dapat terus berupaya melakukan penguatan ekonomi secara
berkelanjutan ditengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Bagi penanam
modal, target realisasi ini dapat terpenuhi dengan kondisi dimana sebagian besar
perusahaan dapat merealisasikan rencana investasinya sesuai dengan jangka waktu
penyelesaian proyek yang telah ditetapkan dalam izin prinsip penanaman modal.
284
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Bagi perusahaan yang menggunakan mesin atau peratatan utama dari luar negeri
untuk kegiatan investasinya, salah satu permasalahan yang dihadapi penanam modal
dan menjadi perhatian pemerintah dalam pelaksanaan realisasi rencana investasinya
adalah lamanya waktu yang harus ditempuh di pelabuhan dalam melalui proses
prosedur importasi. Masih banyaknya perusahaan yang belum dapat merealisasikan
investasinya dengan lancar pada tahap kontruksi ini, mendorong BKPM selaku satah
satu institusi yang memeiliki peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan
penanaman modal, bersama-sama dengan Direktorat jenderal Bea dan Cukai selaku
institusi yang berwenang dalam proses pemasukan barang ke daerah pabean,
membuat terobosan baru dalam pelaksanaan pelayanan importasi berupa peningkatan
status penetapan jalur pelayanan impor bagi perusahaan yang masih dalam tahap
pembangunan atau kontruksi. Percepatan dalam pemberian pelayanan ini tentunya
dilaksanakan dengan tetap menjaga prinsip good governance dan memenuhi
ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Hasil
285
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dalam rangka pemeriksaan barang yang masuk ke daerah pabean, secara selektif
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penetapan jalur pengeluaran barang
impor. Penetapan jalur tersebut diantaranya:
1. Jalur Mitra Utama (MITA) Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang
diberikan kepada MITA Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa dilakukan
pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen
2. Jalur MITA Non Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang diberikan
kepada MITA Non Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa dilakukan
pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, kecuali dalam hal:
a. barang ekspor yang diimpor kembali;
b. barang yang terkena pemeriksaan acak; atau
c. barang impor sementara
dilakukan pemeriksaan fisik ditempat Importir
3. Jalur Hijau adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen
setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
4. Jalur Kuning adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang
Impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian
dokumen sebelum penerbitan SPPB. Namun tetap diperlukan pemeriksaan
laboratorium.
5. Jalur Merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan
SPPB.
Pada umumnya perusahaan baru yang masih dalam tahap kontruksi sebagian
besar adalah perusahaan yang secara prosedural ditetapakan masuk sebagai jalur
merah, atau ditetapakan dengan kreteria high risk karena perusahaan secara profil
memang belum dapat dinilai rekam jejaknya baik profil perusahaan selaku importir itu
sendiri, profil barang /komoditi, profil harga, profil bisnis dan nota intelijen. Proses
penetapan jalur secara otomasi sistem (komputerisasi) dapat diinformasikan secara
otomatis berdasarkan data profil importir yang terbagi atas tingkatan resiko, dimana
tingkat resiko terbagi dalam 3 (tiga) kategori, diantaranya tinggi, menengah dan
286
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Berdasarkan hasil koordinasi dan pertemuan antara BKPM dan Ditjen Bea dan
Cukai pada tanggal 14 Desember 2015, dalam rangka percepatan realisasi investasi,
perusahaan yang masih dalam tahap kontruksi dapat diberikan rekomendasi dari
BKPM untuk dapat dinaikan setatusnya masuk pada jalur hijau oleh Ditjen Bea dan
Cukai. Tentunya kebijakan ini memiliki syarat tersendiri dan tidak secara otomatis
seluruh perusahaan yang masih dalam tahap kontruksi dapat diberikan penetapan jalur
hijau ini. Dalam pemberian rekomendasi ini, BKPM akan melakukan profiling
perusahaan melalui proses penelitian dokumen perizinan dan nonperizinan yang telah
dimiliki perusahaan yang diantaranya, Izin Prinsip Penanaman Modal, Angka Pengenal
Importir (API-P), Nomor Identitas Kepabeanan (NIK), bukti penguasaan lahan dan
Surat Persetujuan Pabean. Untuk selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan langsung
ke lokasi proyek perusahaan dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Disamping itu, perusahaan juga harus rutin menyampaikan Laporan Kegiatan
Penanaman Modal (LKPM) dan membuat surat pernyataan untuk tidak akan
menyalahgunakan importasi barang-barang yang diimpor (barang yang diimpor harus
sesuai dengan dokumen impor dan peruntukannya digunakan untuk implementasi Izin
Prinsip Penanaman Modal) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
dilakukan untuk menghindari terjadiya pelanggaran ketentuan dan peraturan yang
berlaku. Dalam siaran pers yang dilaksanakan di kantor BKPM pada tanggal 14
Desember 2015, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi juga menyampaikan
bahwa :
“Dalam hal ini, pengawasan oleh Bea dan Cukai dilakukan menggunakan
mekanisme pemeriksaan sewaktu-waktu secara acak (randomly) dan melalui
kegiatan intelijen. Disamping itu, pengawasan juga akan dilakukan melalui
peningkatan koordinasi unit pengawas di BKPM dan DJBC yang dalam hal
tertentu dapat melakukan pengawasan secara bersama,”
287
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
“Dengan percepatan jalur hijau itu, maka proses tersebut dapat dikeluarkan
dalam waktu 30 menit,”
Namun demikian, Ditjen Bea dan Cukai tetap menerapkan prosedur pemeriksaan
fisik dengan menggunakan alat pemindai peti kemas sewaktu-waktu bagi importir yang
masuk jalur hijau dengan sistem acak di Kantor Pabean yang telah memiliki alat
pemindai peti kemas. Berdasarkan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-
42/BC/2008, pemindai peti kemas (container scanner) adalah alat yang digunakan
untuk melakukan pemeriksaan fisik barang dalam peti kemas atau kemasan dengan
menggunakan teknologi sinar X (X-Ray) atau sinar gamma (Gamma Ray).
288
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Diskusi
Dengan tetap menjaga proses clearance yang efektif dan efisien guna pemasukan
barang yang sesuai dan tepat, tentunya pemanfaatan teknologi alat pemindai peti
kemas pada beberapa kantor pabean dan penerapan integrasi sistem pelayanan antar
kementrian, menjadi pertimbangan prioritas dan mengurangi resiko ketidakpatuhan
perusaahan yang memasukan barang impor. Walaupun dalam penetapan jalur hijau
tersebut, perusahaan yang masuk kategori high risk telah melalui proses profiling
secara bersama antara BKPM dan Ditjen Bea dan Cukai.
Penetapan jalur hijau ini juga menjadi salah satu, kebijakan yang diambil dalam
mendukung target pemerintah untuk mengatasi masalah dwelling time yang dalam
pelaksanaannya tidak hanya menjadi tanggung jawab Ditjen Bea dan Cukai namun
juga kementerian teknis lainnya.
Kesimpulan
Bersama ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Pendidikan
dan Pelatihan BKPM yang telah memberikan kesempatan kepada widyaiswara untuk
memenuhi tugas fungsi khususnya pengembagan profesi dalam membuat Karya Tulis
Ilmiah (KTI). Serta tidak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada Pengurus
289
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Daftar Pustaka
Badan Koordinasi Penanaman Modal (2015). Siaran Pers BKPM dan Ditjen Bea Cukai
Fasilitasi Percepatan Importasi Mesin/Peralatan Perusahaan Yang Sedang
Konstruksi tanggal 14 Desember 2015, Jakarta, Badan Koordinasi Penanaman
Modal
Badan Koordinasi Penanaman Modal (2016). Siaran Pers Lampaui Target, Realisasi
Investasi 2015 Rp 545,4 T. Diunduh dari:
http://www.bkpm.go.id/images/uploads/file_siaran_pers/ Press_Release_-_IND_-
_TW_IV_2015.pdf pada tanggal 22 Januari 2016.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2008), Peraturan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai No P-42/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang
Impor untuk dipakai, Indonesia: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2016), Instruksi Direktur Jenderal Bea dan Cukai
Nomor INS-01/BC/2016 tanggal 6 Januari 2016 tentang Pemutakhiran Profil
Importir Berdasarkan Rekomendasi Badan Koordinasi Penanaman Modal,
Indonesia: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2016). Kerja Sama Bea Cukai dan BKPM Dukung
Peningkatan Investasi. Diunduh dari: http://www.beacukai.go.id/berita/kerja-sama-
bea-cukai-dan-bkpm-dukung-peningkatan-investasi-.html pada tanggal 20 Januari
2016.
290
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
291
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Oleh :
Dyah Purwanti
Widyaiswara BPPK
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)
Alamat : Kampus STAN, Jl Bintaro Utama Sektor 5, Bintaro, Tangerang Selatan, 15225
(Diterima 21 Maret 2016; diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstracts :
This study aimed to examine the effect of intellectual capital to innovative capability,
both incremental and radical, in the perspective of BPPK’s trainers. In this study we found
that human capital and social capital are significant positive effect on incremental innovative
capability. While the radical innovative capability, the third aspect of intellectual capital has
no significant effect. This study was conducted using a questionnaire survey, as many as 68
respondents from the BPPK trainers. We used Likert scale of 1-6, starting from strongly
disagree to strongly agree is used to measure the perceptions of each item in the statement
of this research questionnaire. In addition to using primary data, the researchers also used
the study of literature to supplement the discussion on the results of this study.
This study still contains a limitations, first, the substance of the questionnaire should
be reviewed in terms of the validity of construct, though of testing the validity and reliability
are met. Secondly, it is necessary plus respondents, not only of trainers, but also of the
structural and other related parties within the scope of internal of the organization. Third, this
research needs to be done again within the next few years, to retake what happened the
changing dynamics of intellectual capital relationship with the innovative capabilities of
BPPK’s trainers.
Keywords: intellectual capital, social capital, organizational capital, human capital, innovative
capability incremental, radically innovative capabilities.
292
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
A. PENDAHULUAN
Terkait dengan munculnya Undang Undang (UU) Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN), memiliki implikasi luas terhadap manajemen ASN. Banyak aspek yang
terkena dampak dengan diundangkannya peraturan ini, terutama yang menyangkut
pengembangan kompetensi, keahlian dan sertifikasi ASN, yaitu kewajiban bagi tiap ASN
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan selama 40-80 jam pelatihan (jp)/tahun (BPPK,
2014). Bagi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), sebagai unit vertikal di
lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki tugas dan fungsi dalam melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi 69.605 orang ASN di lingkup Kementerian
Keuangan, merupakan peluang sekaligus tantangan dalam menyelenggarakan kegiatan
pendidikan dan pelatihan sesuai tuntutan UU ASN tersebut.
BPPK, dengan 175 tenaga pengajar (widyaiswara) dan dibantu sumber daya struktural,
tentunya tertantang untuk melakukan inovasi dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan,
apalagi ASN tersebut terbagi-bagi menjadi beberapa jenis jabatan, golongan, fungsi dan
lintas keahlian dalam pengelolaan keuangan Negara. Inovasi dalam keragaman substansi
diklat, bentuk diklat apakah dalam bentuk e-learning, metode tatap muka di kelas, atau
blended learning, sesuai dengan kebutuhan peningkatan kompetensi ASN di masa sekarang
dan yang akan datang. Meski belum dibuat aturan teknis kapan mulai dilaksanakan wajib
diklat tersebut, akan lebih baik bagi BPPK untuk berbenah dan mempersiapkan diri dalam
menghadapi wacana ini.
293
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
modal intelektualitas dan kemampuan inovasi dari Widyaiswara BPPK dan memberikan
masukan kepada pimpinan Badan Diklat atas kondisi yang ada.
Peneliti memanfaatkan dan mensintesis wawasan dari penelitian sebelumnya yang telah
meneliti aspek yang berbeda dari modal intelektual (manusia, organisasi, dan modal sosial)
dan berbagai jenis kemampuan inovatif (inkremental dan radikal) dalam upaya untuk
mengembangkan wawasan baru seputar koneksi intrinsik mereka. Lebih khusus, dari studi
tentang modal intelektual, kita menafsirkan bagaimana modal manusia (human capital),
modal organisasi (organizational capital), dan modal sosial (social capital) memungkinkan
organisasi untuk baik memperkuat (incremental innovative capabilities) atau mengubah
pengetahuan mereka berlaku (radical innovative capabilities). Penelitian ini disusun terdiri
dari lima bagian, yaitu bagian pendahuluan, metodologi, hasil, diskusi dan kesimpulan.
B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif, dengan menggunakan data primer
dan diolah dengan bantuan statistic, serta dilengkapi dengan data wawancara dan data
sekunder. Penelitian ini termasuk penelitian dasar (basic research) karena bertujuan untuk
mengembangkan dan mengevaluasi konsep-konsep yang berakitan dengan modal
intelektualitas dengan inovasi dalam suatu organisasi. Pendekatan penelitian ini
menggunakan pendekatan deduktif, dimana hasil pengolahan dan pengujian data digunakan
sebagai dasar untuk pengambilan keputusan (Indriartono dan Supomo, 2013).
Populasi dalam penelitian ini adalah widyaiswara, yaitu pejabat fungsional dalam lingkup
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memiliki tugas dan fungsi dalam bidang
pengajaran, pendidikan dan pelatihan Pengelolaan Keuangan Negara.
294
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
lengkap, dan hanya 68 kuesioner yang dijadikan sebagai sampel akhir dan diolah dalam
penelitian ini. Jumlah tersebut menurut Uma Sekaran, jumlah yang sudah representatif,
karena memenuhi syarat jumlah sampel sebesar 30 sampai dengan 500 responden
(Sekaran, 2003).
Definisi konseptual dan operasional variabel dijelaskan secara ringkas dalam tabel berikut :
Modal intelektual
Lima item pertanyaan menilai modal manusia didasarkan pada diskusi seputar
human capital (Schultz, 1961) serta pada kajian strategis kontemporer manajemen sumber
daya manusia (Snell & Dean, 1992), dan mereka mencerminkan keterampilan secara
keseluruhan, keahlian, dan tingkat pengetahuan karyawan organisasi. Demikian juga, modal
organisasi diukur dengan skala enam item yang menilai kemampuan organisasi untuk
menyediakan dan menyimpan pengetahuan dalam organisasi-tingkat fisik repositori seperti
database, manual, dan paten (Davenport & Prusak, 1998) serta dalam struktur, proses,
budaya , dan cara melakukan bisnis (Walsh & Ungson, 1991). Dan terakhir, lima item
mengukur modal sosial menarik pada ide-ide inti dari struktur sosial sastra (Burt, 1992) serta
pada lebih spesifik literatur manajemen pengetahuan (Gupta & Govindarajan, 2000); item ini
295
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dinilai sebuah atau kemampuan organisasi keseluruhan untuk berbagi pengetahuan dan
pengaruh di antara dan antara jaringan karyawan, pelanggan, pemasok, dan mitra aliansi.
Kemampuan inovatif.
Langkah-langkah kami untuk dua jenis kemampuan inovatif didasarkan pada diskusi
yang disediakan oleh Tushman dan Anderson (1986) dan Henderson dan Clark (1990).
Kemampuan inovatif inkremental diukur dengan skala tiga-item menilai kemampuan
organisasi untuk memperkuat dan memperluas keahlian saat ini dan lini produk / jasa.
Demikian pula, kemampuan inovatif radikal diukur dengan skala tiga-item menilai
kemampuan organisasi untuk membuat lini produk / jasa kini usang.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, baik melalui
kuesioner maupun wawancara. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber data. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah
metode survei, dengan teknik menggunakan pertanyaan tertulis dalam bentuk kuesioner
Dalam penelitian ini kami mengumpulkan data melalui kombinasi kuesioner dan sumber
data eksternal. Selain itu kami melakukan wawancara mendalam dengan beberapa
narasumber terpilih untuk memperkaya dan mendalami permasalahan dalam penelitian ini.
Selain itu, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat bantu analisis Stata-12 dan MS
Excel .
7. Hipotesis
Hipotesis 1. Semakin besar modal organisasi dalam organisasi, semakin tinggi kemampuan
inovatif inkremental (incremental innovative capabilities) mereka.
Hipotesis 2. Semakin besar modal sosial dalam organisasi, semakin kuat pengaruh modal
organisasi pada kemampuan inovatif inkremental (incremental innovative
capabilities).
Hipotesis 3. Semakin besar modal mHipotesis 4. Semakin besar modal sosial dalam
organisasi, semakin kuat pengaruh modal manusia pada kemampuan inovatif
radikal.
296
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Modal Organisasi
Inovasi
Inkremental
Modal Sosial
Organisasi
Inovasi Radikal
Modal Manusia
Secara demografis, penelitian ini berhasil mengambil sampel dari populasi dengan
kriteria sebagai berikut, reponden laki laki 51 orang (75%) dan responden perempuan 17
orang (25%). Jumlah responden laki-laki memang lebih banyak dibanding responden
perempuan, karena dalam populasi Widyaiswara BPPK secara keseluruhan jumlah
widyaiswara perempuan lebih sedikit dalam populasi Widyaiswara BPPK. Dari sisi
pendidikan, sebanyak 3 responden berpendidikan S3 4%), 53 responden berpendidikan S2
(78%) dan 11 responden berpendidikan D4/S1 (18%). Dilihat dari sisi lama bekerja, kami
membagi menjadi dua, yaitu < 10 tahun dan > 10 tahun. Responden yang telah menjadi
Widyaiswara > 10 tahun 17 orang (25%) , dan 51 orang menjadi widyaiswara ≤ 10 tahun
(75%).
Statistik deskriptif lain yang diperoleh dari pengolahan data dalam penelitian ini tersaji
dalam tabel 1. Dari 68 responden yang bersedia memberikan pendapatnya, rata – rata dari
kelompok pertanyaan human capital memiliki rata rata 5,302, standar deviasi 0.5119, nilai
minimum 3.6 dan nilai maksimal 6. Sedangkan rata – rata dari kelompok pertanyaan modal
social (social capital) memiliki rata rata 5,200 , standar deviasi 0.577, nilai minimum 3.2 dan
nilai maksimal 6, dan rata – rata dari kelompok pertanyaan modal organisasional
297
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
(organizational capital) memiliki rata rata 4.551, standar deviasi 0.6237, nilai minimum 2.266
dan nilai maksimal 6.
298
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
jawaban
II 0% 0% 0% 0.053% 39,68% 59,79% 5,140
RI 2,500% 6,599% 15,736% 12,183% 42,640% 20,305% 4,314
HC 0 0 5,800% 10,400% 10,400% 73,400% 5,150
OC 0,784% 2,353% 10,196% 25,098% 54,510% 7,059% 4,510
SC 0,313% 0,313% 1,881% 8,150% 54,859% 34,483% 5,200
Sumber : diolah dari MS Excell
2. Hasil
a. Uji asumsi klasik
Pengolahan data dengan menggunakan Stata-12 untuk melakukan uji asumsi
klasik, seperti pada Lampiran 2, dengan hasil berikut, Prob>Chi2 sebesar 0,0510
pada uji normalitas. Hasil tersebut > 5% sehingga dapat dikatakan bahwa data
terdistribusi normal. Sementara pada uji heteroskedastisitas, menunjukkan angka p-
value 0.6374 (>5%), berarti data terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Dan
juga terbebas dari masalah multikolinearitas dengan ditunjukkan angka VIF 1.31
(<5.0 atau < 10) (Lihat Lampiran 1).
b. Uji Korelasi
Dari hasil uji korelasi antar variabel baik independen maupun dependen,
ditampilkan pada table 3 berikut. Semua variabel menunjukkan korelasi < 0.6, yang
artinya korelasi antar variabel lemah, sehingga terbebas dari autokorelasi antar
variabel.
299
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
human_capi~l 1.0000
organizati~l 0.2147 1.0000
social_cap~l 0.3116 0.3246 1.0000
incrementa~s 0.4612 0.0126 0.4609 1.0000
radical_in~s 0.1414 -0.1412 -0.1704 0.0553 1.0000
Keterangan : barisan pertama (koefisien regresi); baris kedua (signifikansi pada p < 0,05)
Sumber : diolah dari analisis regresi dengan Stata-12
300
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
301
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
302
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dari hasil pengujian dan pembahasan di atas kami menemukan hasil dari penelitian
ini adalah modal manusia dan modal social berpengaruh positif signifikan terhadap
kapabilitas inovatif incremental, dalam persepsi widyaiswara BPPK. Modal
organisasional berpengaruh negative signifikan terhadap kapabilitas inovatif incremental.
Modal intelektual (dari persepsi widyaiswara BPPK) tidak berpengaruh signifikan
terhadap kapabilitas inovatif radikal. Dan variabel modal social yang dijadikan sebagai
variabel moderasi, sama sekali tidak memperkuat pengaruh modal organisasional
terhadap kapabilitas inovatif incremental, dan juga tidak memperkuat hubungan modal
manusia terhadap kapabilitas inovatif radikal.
303
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
belum mampu mempengaruhi merubah pengetahuan, produk yang sudah ada, baru bisa
memperkuat dan meningkatkan pengetahuan dan produk yang ada. Saran kami,
pengetahuan yang sudah dilestarikan, dikodifikasi dan disusun dalam bentuk manual,
data base bahan ajar dan pengetahuan di BPPK, perlu dievaluasi dalam hal
keberdayaannya dalam mendorong munculnya inovasi.
F. DAFTAR PUSTAKA
BPPK, 2014. Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) BPPK Tahun
2014. Jakarta.
Davenport, T.H., & Prusak, L., 1998. Working knowledge : How organizations manage what
they know. Boston : Harvard Business School Press.
Dewar, R. D., & Dutton, J. E. 1986. The adoption of radical and incremental innovations : An
empirical analysis. Management Science, 31: 1432-1433.
Gupta, A. K., & Govindarajan, V. 2000. Knowledge man agement's social dimension:
Lessons from Nucor Steel. Sloan Management Review, 42(1) 71-79.
Indriartono, N dan Supomo. 2013. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta : Andi.
Nonaka, I. 1994. A dynamic theory of organizational knowledge creation. Organization
Science, 5: 14 37.
Nonaka, L, & Takeuchi, H. 1995. The knowledge-creat ing company: How Japanese
companies create the dynamics of innovation. New York: Oxford Press.
Schultz, T. W. 1961. Investment in human capital. American Economic Review, 51: 1-17.
Skaggs, B. C, & Youndt, M. A. 2004. Strategic position ing, human capital, and performance
in service or ganizations: A customer interaction approach. Strategic Management
Journal, 25: 85-99.
Snell, S. A., & Dean, J. W. 1992. Integrated manufacturing and human resources
management: A human capital perspective. Academy of Management Journal, 35:
467-504.
Subramaniam, M., & Youndt. 2005. The Influence of Intellectual Capital on The Type of
Innovative Capabilities. The Academy of Management, Vol 48, No 3 (jun 2005), pp.
450-463.
304
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Subramaniam, M., & Venkatraman, N. 2001. Determi nants of transnational new product
development ca pability: Testing the influence of transferring and deploying tacit
overseas knowledge. Strategic Management Journal, 22: 359-378.
Tushman, M., & Anderson, P. 1986. Technological discontinuities and organizational
environments. Administrative Science Quarterly, 31: 439-65.
Walsh, J. P., & Ungson, G R. 1991. Organizational mem ory. Academy of Management
Review, 16: 57-91.
Youndt, M. A., Subramaniam, M., & Snell, S. A. 2004. Intellectual capital profiles: An
examination of in vestments and returns. Journal of Management Studies, 41: 335-
362.
average
item-test item-rest interitem
Item Obs Sign correlation correlation covariance alpha
a) Normalitas
305
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
b) Heteroskedastisitas
Source chi2 df p
c) Multikolinearitas
306
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Lampiran 2
307
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
308
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
309
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: This article discusses how to deliver training material that has implications for the
training participants. Techniques of good delivery must be carried out in three stages: the
opening, the delivery, and the closing. At the opening, there are three things that must be done,
which is to find out Why the material is important for participants of the training, make
introduction, and build rapport with the participants of the training.
The delivery section needs to accommodate the needs of the training participants in accordance
with the character of their Intelligent Engine , namely Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, and
instinct which each have different learning styles. Sensing people like variations of words and
visual aids. People Thinking like data and facts, evocative questions and intelligent humors.
Intuiting people like the analogy and Versus. Feeling People love stories and contemplation, as
well as Instinct people like the involvement in activities and take lessons/insight from the
activities. At the closing, there are three things you need to do, is to do the 3-R, raising the
energy and spirit of training participants, and calling to the action. If these techniques are
applied well in all three phases of the training will be more fun for the participants of the training
and training material will be remembered as long as possible.
Pendahuluan
Menyampaikan materi diklat bukanlah sesuatu yang sulit, melainkan juga bukan suatu
hal yang mudah. Apalagi bagi Widyaiswara yang salah satu tugas utamanya adalah
melaksanakan dikjartih (mendidik, mengajar, dan melatih) peserta diklat. Namun, seringkali
penulis menjumpai, bahkan sering juga mengalami ketika menjadi peserta diklat, peserta diklat
yang tidak antusias menyimak Pengajar yang sedang memberikan materi, tidak fokus kepada
materi yang diberikan, sibuk sendiri bermain gadget, mengantuk, bahkan sampai tertidur di
kelas. Masih banyak penulis jumpai Widyaiswara yang ketika menyampaikan materi hanya
berfokus pada materi yang disampaikan dan cenderung mengabaikan unsur-unsur non verbal.
310
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kadang Widyaiswara terjebak pada GBPP atau cakupan materi yang harus disampaikan
sehingga merasa sudah sukses mengajar apabila seluruh materi sudah diberikan, terlepas dari
peserta memahami atau tidak materi tersebut dan sesuai atau tidak dengan mataeri itu dengan
kebutuhan mereka. Yang penting materi sudah diberikan sesuai dengan GBPP dan sesuai
dengan jamlat yang dialokasikan, habis perkara! Padahal tugas seorang Widyaiswara,
sesungguhnya tidak sekadar menyampaikan materi (knowledge/skill) tetapi juga mengubah
attitude atau sikap peserta terhadap hal yang disampaikan tersebut.
Topik ini penting untuk diangkat karena selain memberikan materi, tugas Widyaiswara
berikutnya adalah menginspirasi peserta diklat agar setelah keluar dari kelas, mereka mau
belajar lagi, memperdalam lagi, dan mencari lebih banyak lagi terkait hal-hal yang sudah
mereka dapatkan di dalam kelas. Sesungguhnya pembelajaran yang sebenarnya terjadi ketika
mereka kembali ke kantor dan menindaklanjuti proses belajar di dalam kelas. Ketika seorang
Widyaiswara menyampaikan informasi atau materi diklat, sesungguhnya ada 4 tingkatan tujuan
yang ingin dicapai, yaitu: 1). Mengubah knowledge (hanya menjelaskan sesuatu atau sekadar
memberikan informasi), 2). Mengubah orang untuk meningkatkan skill, 3). Memengaruhi orang
untuk mengubah belief, dan 4). Memengaruhi orang untuk action sesuai dengan yang
diinginkan (dalam kapasitas kecil atau besar). (Azzaini, 2015).
Untuk itu, dalam tulisan ini akan diberikan tips-tips men-deliver materi diklat untuk
memperkaya Widyaiswara tentang khasanah metodologi pembelajaran, sehingga dapat
memberikan materi diklat yang sungguh-sungguh berdampak dan menginspirasi peserta diklat.
Setidaknya Widyaiswara dapat membuat para peserta diklat terjawab kebutuhannya dan
merasakan bahwa diklat ini gue banget dan saya butuh diklat ini.
Tulisan ini akan dibagi menjadi 3 bagian, bagian pertama yaitu bagaimana memberikan
opening yang mengesankan, bagian kedua membahas content delivery yang memuaskan
berbagai karakter peserta diklat, dan bagian ketiga adalah bagaimana menutup sesi
pembelajaran dengan closing yang impresif.
Diskusi
Begitu seorang Widyaiaswara memasuki kelas dan berdiri di depan audiens, maka
tampilan yang wajib diperlihatkan kepada audiens sebagai default seorang Widyaiswara ada 3,
311
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
yang disingkat dengan S-E-O, yaitu Smile, Eye Contact, dan Open Posture. Poin pertama
dalah Smile atau senyum. Sudah banyak riset yang membuktikan bahwa senyuman bisa
meredakan ketegangan. Hati yang sedang galau dan gelisah bisa terobati oleh senyuman.
Senyum merupakan hal sepele tetapi efeknya luar biasa. Senyum juga ada rumusnya, yaitu 2-
2-7, artinya bibir ditarik ke kanan dan kekiri masing-masing sepanjang 2 cm dan ditahan selama
7 detik. Senyum 2-2-7 bisa dilakukan kapan saja di sepanjang sesi pembeljaran untuk membuat
peserta diklat merasa nyaman. Selain rumus 2-2-7, senyum yang tulus adalah senyum yang
datang dari hati. Walaupun datangnya dari hati, ciri-cirinya tetap dapat dilihat di wajah yaitu dari
adanya jejak “cakar ayam” di sudut luar mata. Itulah yang membedakan antara senyum dari hati
dan senyum terpaksa.
Default yang kedua adalah kontak mata. Ketika berbicara dengan audiens maka harus
ada kontak mata sebagai sarana untuk membangun kedekatan (rapport) dan untuk melihat
ekspresi dan feedback yang diberikan oleh audiens. Orang bijak mengatakan bahwa mata
adalah jendela hati, dari ekspresi mata bisa diketahui apa yang dirasakan dan diinginkan oleh
audiens. Agar perhatian dapat diberikan secara merata kepada audiens, dapat digunakan
rumus jam 10-02, yaitu mengarahkan pandangan secara bergantian ke arah pukul 10, 11, 12,
1, 2 dan sebaliknya. Dengan demikian peserta diklat akan mendapatkan perhatian secara
merata tanpa ada yang merasa “dilupakan”.
Default yang ketiga adalah open posture atau postur tubuh terbuka. Untuk
mendapatkan postur tubuh yang terbuka ini, seorang Widyaiswara harus dengan rileks dan
senyaman mungkin, tidak kaku atau tegang seperti tentara yang sedang bersikap sempurna.
Posisi kepala, tangan, kaki, dan tubuh perlu diatur seenak mungkin. Jika ada ruang gerak, bisa
bergerak seperlunya, misalnya bisa maju mendekat kepada audiens ketika ada yang bertanya.
Atau bisa juga bergerak ke kiri dan ke kanan secara seimbang dan proporsional (prinsipnya
play and pause). Yang harus dihindari adalah diam di satu titik saja karena hal itu akan
membuat jadi monoton dan membosankan. Selain itu juga harus dihindari memberikan
presentasi sambil duduk di belakang meja karena itu menandakan bahwa ada jarak antara
Widyaiswara dan peserta diklat dan memberikan kesan bahwa Widyaiswara tersebut ingin
bersembunyi dari audiens. Posisi tubuh harus agar tetap menghadap audiens dengan tangan
diletakkan di samping tubuh. Perlu dihindari tangan bersedekap atau dimasukkan ke saku
celana. Tangan disamping tubuh selain menandakan rasa percaya diri dan dapat dipercaya
oleh audiens, juga memudahkan untuk menggerakan tangan. Jika tangan kanan memegang
312
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
mikrofon, tangan kiri bisa memegang pointer dan bergerak dengan leluasa atau sebaliknya.
Membelakangi audiens harus dihindari, termasuk ketika sedang menjalankan slide dengan
laser pointer maupun ketika sedang menulis di papan tulis atau flipchart.
Demikianlah tiga hal yang merupakan penampilan wajib (default) seorang Widyaiswara
yang perlu selalu diingat dan ditampilkan sepanjang berada di depan audiens.
Untuk itulah Widyaiswara – pada awal sesi – harus bisa menjawab pertanyaan “Why”
atau “Mengapa saya harus menyimak materi ini?” yang ada di benak audiens. Jika Widyaiswara
mampu menjawab pertanyaan ini, niscaya peserta diklat akan antusias, fokus, dan termotivasi
untuk menyimak materi yang diberikan sampai tuntas. Dan sebaliknya jika Widyaiswara tidak
mampu menjawab pertanyaan “Why” ini, jangan berharap peserta diklat akan terarik untuk
menyimak materi yang disampaikan. Bisa jadi mereka hanya akan menganggap diklat yang
diikuti hanya sebagai refreshing atau hiburan dari rutinitas di kantor atau sekadar menjalankan
penugasan dari atasan tanpa hasil atau dampak yang berarti.
Untuk menjawab pertanyaan “Why” ini, ada beberpa alternatif yang bisa dipilih, antara
lain menyajikan pilihan, menyajikan isu atau fakta yang mengejutkan, dan analogi yang
menohok. Semua teknik tersebut bisa dipilih untuk membuka sesi pembelajaran dan menjawab
“Why” atau menggugah peserta. Pada tahap pembukaan ini peserta diklat sudah harus “ngeh”
dan memahami bahwa materi yang akan disampaikan adalah untuk kepentingan mereka.
Opening itu ibaratnya foreplay yang akan sangat menentukan puas atau tidaknya audiens
dengan materi yang disampaikan pada sesi-sesi selanjutnya. Saat mereka mengerti bahwa apa
yang disampaikan adalah untuk kepentingan mereka, berarti audiens sudah siap untuk
menerima materi.
313
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Selain membangun Why, hal yang perlu Anda lakukan sebelum masuk ke materi adalah
perkenalan dan building rapport. Untuk perkenalan, bisa dilakukan dengan mengeksplorasi
nama dan reputasi Widyaiswara sendiri terkait dengan kompetensinya di bidang tersebut.
Misalnya dengan menyampaikan pengalaman ketika mengisi diklat atau lokakarya di kota-kota
lain atau di event yang lain dengan cara yang rendah hati tanpa terkesan menyombongkan diri.
Adapun, untuk membangun rapport atau relation dengan peserta, bisa dengan mencari
sebanyak mungkin kesamaan dengan audiens atau mengapresiasi mereka tentang apa saja
yang relevan dengan diklat. Misalnya dengan menanyakan siapa yang asalnya paling jauh atau
yang datang paling duluan dan memberikan apresiasi kepadanya. Selain itu dapat dilakukan
dengan membangun kemiripan dengan peserta, misalnya mengenakan dresscode yang sama,
menanyakan peserta yang asal kampungnya sama, asal sekolahnya sama, dan sebagainya.
Semakin banyak kesamaan yang diperoleh, semakin baik dan membuat peserta semakin
nyaman.
Bagaimana teknik penyampaian materi diklat yang berdampak bagi peserta? Sebelum
membahas tentang hal yang lebih teknis tentang delivery, sebaiknya dibahas terlebih dahulu
karakteristik peserta diklat. Pada pembahasan kali ini, penulis ingin memperkenalkan sebuah
konsep yang ditemukan oleh Farid Poniman, yaitu STIFIn. STIFIn sendiri merupakan singkatan
dari Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, dan Insting. STIFIn adalah sebuah konsep yang
memetakan mesin kecerdasan seseorang berdasarkan belahan otak yang dominan dan lapisan
otak yang aktif. Konsep ini mengadopsi dari teori-teori besar yang sudah ada sebelumnya baik
teori dari para ahli psikologi, neurosaintis, maupun pakar SDM, antara lain Carl Gustav Jung,
John Holland, Paul Brocca, Paul McLean, Hiprocrates-Galenus, dan lain-lain. Berdasarkan
teori-teori tersebut, dikembangkanlah konsep STIFIn yang memetakan kecerdasan genetik
seseorang berdasarkan belahan otak yang dominan dan lapisan otak yang aktif, yang oleh
Poniman disebut dengan Mesin Kecerdasan. Oleh karena itu, kemudian berdasarkan konsep
STIFIn manusia dikelompokkan hanya ke dalam 5 mesin kecerdasan, yaitu: Sensing, Thinking,
Intuiting, Feeling, dan Insting. Masing-masing Mesin Kecerdasan dan bagian otak yang
berhubungan dapat dilihat pada gambar berikut ini.
314
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Untuk memuaskan semua peserta diklat, pada saat menyampaikan materi, menurut
Azzaini (2015) seorang Widyaiswara perlu menggunakan teknik-teknik yang bisa memuaskan
kelima mesin kecerdasan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan gaya belajar manusia berdasarkan
mesin kecerdasarnnya yang dikelompokkan menjadi 5 yaitu Sensing, Thinking, Intuiting,
Feeling, dan Insting (disingkat STIFIn).
Orang dengan mesin kecerdasan Sensing (S), bagian otak yang paling aktif atau
dominan adalah limbik kiri. Mereka akan sangat mengandalkan kelima inderanya. Mereka
adalah orang-orang yang teliti, teratur, sangat memperhatikan susunan kata, peduli dengan
kerapian dan ketertiban. Orang-orang ini menyukai contoh dan fakta yang terlihat. Untuk tipe ini
diperlukan seorang pengajar dengan gaya penampil atraktif yang bisa memainkan variasi kata
dan alat bantu visual. Orang Sensing yang mengandalkan kekuatan panca indera sangat
senang dengan permainan kata. Variasi kata yang kaya akan membuat presentasi lebih hidup
dan dinamis. Hindari penggunaan kata-kata, frasa, kalimat, atau cerita yang sama berulang-
ulang karena hal itu akan membuat presentasi Anda monoton dan membosankan. Sebaliknya
variasikan dengan kata, frasa, kalimat yang berbeda walupun maknanya tetap sama. Misalnya
untuk menyebut “sukses” bisa digunakan kata-kata: berhasil, berjaya, berkembang, maju,
bertumbuh, gol, lulus, lolos, beruntung, menang, tercapai, berjalan, selamat, dan lain-lain. Untuk
menyebut “kerja sama” Atau bisa juga digunakan kata-kata: kolaborasi, koordinasi, sinergi,
gotong royong, tolong menolong, saling membantu, dan lain-lain.
315
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sedangkan untuk olah suara, perlu dilakukan pada beberpa bagian penting dengan
tujuan untuk membuat presentasi lebih hidup. Bayangkan jika mengajar di diklat diklat selama
5 hari dan para pengajarnya bicara dengan nada yang datar (monoton), apa yang dirasakan
para peserta diklat? Setelah itu bayangkan Pengajar yang menyampaikan materi menggunakan
suara yang hidup, apa kira-kira yang dirasakan peserta diklat? Mana yang lebih menarik dan
menyenangkan?
Untuk memainkan suara ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan sehingga pesan
yang disampaikan menancap ke dalam pikiran dan hati peserta diklat. Bagian yang dimainkan
tersebut merupakan pesan utama yang ingin ditekankan. Ada 4 teknik memainkan suara, yaitu:
Tinggikan Volume. Pada bagian tersebut, kita volume suara lebih tinggi daripada bagian
yang lain dalam kalimat tersebut.
Intonasi Diayun. Pada bagian yang ingin ditekankan, intonasi dinaik-turunkan sedemikian
rupa sehingga berbeda dengan intonasi pada bagian kalimat yang lain.
Tempo Diperlambat. Kata diucapkan seolah-olah terputus-putus, misalnya berkembang
diucapkan ber...kem...bang. Karena kata-kata yang lain diucapkan secara biasa saja, maka
bagian ini akan ditangkap sebagai pesan utama.
Kata diulang-ulang (repetisi). Untuk menancapkan pesan utama dan bagian yang
dipentingkan, dilakukan dengan mengucapkan kata tersebut berulang-ulang. Terlebih lagi,
jika pengulangannya melibatkan audiens, tentu efeknya akan lebih terasa.
Tipe berikutnya adalah orang dengan mesin kecerdasan Thinking (T), yaitu mereka
yang bagian otaknya paling dominan adalah neokorteks kiri. Mereka ini orang-orang yang
sangat logis, memperhatikan data, senang dengan hal-hal yang terstruktur dan sistematis, serta
suka humor-humor cerdas. Untuk peserta diklat dengan tipe ini, pengajar perlu memberikan
pencerah pikiran berupa data dan fakta, pertanyaan menggugah, dan humor cerdas.
Pertanyaan reflektif biasanya membuat orang tercerahkan dan tergugah untuk membuat
perubahan, menjadi pribadi yang lebih positif, terus belajar dan bertumbuh, dan mau melakukan
introspeksi diri.
Untuk menampilkan humor, ada beberapa tips yang perlu diingat, yaitu gunakan anonim
(atau kata ganti), letakkan hal yang lucu di akhir cerita, dan buat humor yang berhubungan
dengan materi diklat. Pada dasarnya humor itu hanya bumbu yang bertujuan agar peserta diklat
tetap enjoy menyimak materi diklat.
316
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tipe ketiga adalah Intuiting (I), yaitu orang yang dominan otaknya pada bagian
neokorteks kanan. Mereka menyukai sesuatu yang baru, kreatif, dan inovatif. Daya imajinasi
orang-orang ini sungguh luar biasa. Mereka sangat menyukai analogi dan sesuatu yang
berlawanan (versus). Banyak sekali analogi yang bisa kita buat untuk menjelaskan materi yang
kita sampaikan. Misalnya untuk menggambarkan perjuangan hiduo, bisa digunakan analogi
orang bersepeda. Pada saat sedang mengayuh sepeda dengan kencang dan sekuat tenaga,
artinya kehidupan sedang menanjak, dan sebaiknya pada saat sepeda itu tidak dikayuh, artinya
sedang menurun. Untuk menjelaskan materi, bisa juga dengan mengontraskan sesuatu yang
berlawanan (versus), misalnya mengontraskan karakter seorang leader dengan seorang
manager sehingga menjadi lebih jelas perbedaan di antara keduanya.
Tipe keempat adalah Feeling (F), yaitu orang-orang yang otaknya dominan pada limbik
kanan. Ciri-ciri meraka adalah sangat perasa, empatik, mudah tersentuh, hangat, senang
bergaul, suka dengan cerita, dan suka berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga menyukai
kata bermakna. Untuk memuaskan tipe F, bisa digunakan teknik story telling untuk membuat
materi yang disampaikan lebih berdampak. Cerita yang baik adalah yang di dalamnya terdapa
dialog karena akan membuat cerita lebih hidup dan bisa “menyihir” peserta diklat. Berikut ini
beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam teknik story telling: tetapkan tujuan cerita, buat
alur cerita, ubah me menjadi us, libatkan visual, auditori dan kinestetik audiens, buat dialog, dan
buat penutup cerita yang mengejutkan.
Teknik lain untuk memuaskan orang F adalah dengan perenungan (kontemplasi), atau
mencari sesuatu yang bernilai dengan mengerahkan pikiran dan perasaan. Di ujung
komtemplasi harus ada ajakan kepada peserta diklat untuk menjadi lebih positif, punya
harapan, lebih bersemangat, dan berkomitmen untuk menjadi lebih baik.
Dan terakhir tipe kelima yaitu orang-orang yang dominan otak reptil atau otak tengah
atau disebut mesin kecerdasannya Insting (In). Mereka adalah orang-orang yang responsif,
spontan, mudah beradaptasi, senang dilibatkan, senang dengan kasus-kasus yang unik dan
menarik. Untuk memuskan orang-orang dengan mesin kecerdasan In adalah dengan
melibatkan mereka dalam kegiatan pembelajaran, baik melalui diskusi kelompok, games,
rolepaly, maupun penugasan individu. Hal yang utama dari melibatkan peserta diklat adalah
untuk mendapatkan insight dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Insight adalah
penjelasan yang mendalam dari suatu permainan atau kegiatan. Dari insight ini, peserta
317
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
mendapatkan wawasan, makna, pengetahuan, dan hikmah baru yang meresap ke dalam
pikiran dan hatinya. (Azzaini, 2015).
Bagian terakhir dari sesi penyampaian materi adalah closing (penutup). Salah satu
tujuan penutup adalah menanamkan kesan positif yang sulit dilupakan oleh audiens. Oleh
karena itu dalam bagian closing terdapat 3-R (Review, Ringkas, Resapkan). Untuk lebih
meresapkan materi yang sudah disampaikan dalam sesi penyajian, ada 3 hal kunci yang peru
dilakukan oleh Widyaiswara, yaitu menanamkan pesan utama, menaikkan energi peserta
kemudian undur diri, dan call to action.
Untuk menanamkan pesan utama, bisa dilakukan dengan beragam cara, misalnya
dengan mengucapkan ikrar bersama, dengan cerita, dengan Sikut Lapan (puisi, kutipan, lagu,
pantun). Setidaknya bisa digunakan salah satu dari teknik Sikut Lapan tersebut di akhir sesi
untuk membuat pesan utama dikenang dan sulit dilupakan oleh peserta diklat.
Pada bagian penutupan, peserta juga perlu diajak untuk melakukan aksi. Aksi yang
ditawarkan tidak perlu banyak, cukup 1 saja tetapi sungguh-sungguh (bukan basa basi). Aksi
yang diminta disesuaikan dengan topic materi yang disampaikan.
Kesimpulan
Untuk menghasilkan delivery materi diklat yang berdampak bagi peserta diklat, perlu
dilakukan teknik-teknik yag benar dalam tiap bagian: opening, delivery, dan closing. Dalam
opening harus dibangun Why (mengapa materi itu penting bagi peserta), perkenalan, dan
membangun rapport dengan peserta diklat. Dalam delivery materi diklat, perlu dilakukan teknik-
teknik sesuai dengan karakter 5 mesin kecerdasan, yaitu Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling,
318
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dan Insting agar kebutuhan gaya belajar tiap-tiap mesin kecerdasan dapat diakomodasi. Dalam
closing, perlu dilakukan 3-R, menaikkan energi peserta, dan mengajak peserta untuk action.
Jika teknik-teknik dalam tiap harapan pembelajaran tersebut dapat dilakukan dengan
baik, maka penyampaikan materi oleh Widyaiswara tidak akan lagi membosankan bagi peserta
diklat, bahkan peserta diklat akan merasakan bahwa Widyaiswawa A ini gue banget!
Daftar Pustaka
319
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: State Civil Apparatus (Aparatur Sipil Negara) Professional is the hope for
this nation. Hence, the ability and professionalism of the Aparatur Sipil Negara needs
to be improved. To be able to maintain professionalism, the need to improve the
development and training of Aparatur Sipil Negara. Development and training aims to
improve performance. Additionally destination Aparatur Sipil Negara held for
development and training to equip, improve, and develop job competence.
Development can be done through orientation, training, and education.This paper
focuses on the discourse of development and training will be given to the Aparatur Sipil
Negara. This paper is a descriptive narrative, that is an article that depicts or describes
a situation in words. This is the result of observation of the planned release of
Government Regulation as a derivative of the Act No. 5 of 2014 on Aparatur Sipil
Negara.Lack of training opportunities and the uneven rotation training for Aparatur Sipil
Negara behind the existence of this paper. As we all know Aparatur Sipil Negara plays
an important role in this nation. The main function of the government apparatus is to
serve the community and the public interest. The data collection is done by the study of
literature. Aspects of education and training to be a very major to improve quality. In
addition, as long-term investments. Aparatur Sipil Negara problems and improved
performance in the face of global competition, conducted continuously, more effective
and efficient This remains the responsibility of the joint, especially in education and
training. Apparatus Challenge Training for Civil State
PENDAHULUAN
320
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
yang tepat bagi Seorang Aparatur Sipil Negara untuk dapat melakukan pengembangan
profesi.
Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas, harus mampu menjalankan revolusi
mental sesuai dengan tuntutan saat ini. Menjalankan kehidupan beragama secara
benar, selalu memiliki komitmen dalam melayani masyarakat sehingga tercipta good
governance. Di setiap organisasi akan bisa tercapai tujuan organisasi. Aparatur yang
memiliki kesadaran diri dan mempunyai etos kerja yang baik sudah barang tentu akan
menghasilkan kinerja yang baik. Aparatur Sipil Negara professional sangatlah
dibutuhkan bagi organisasi. Aparatur Sipil Negara dalam menjalankan revolusi mental
harus membentengi dan mewarisi nilai –nilai kepahlawanan. Nilai- nilai moral dengan
menjalankan/mengamalkan kehidupan beragama secara konsisten.
321
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Menurut Drs. H. Taufiq Efendi, MBA bahwa aspek pendidikan dan pelatihan menjadi
sangat utama untuk meningkatkan kualitas Aparatur Sipil Negara. Pendidikan dan
pelatihan juga merupakan proses investasi jangka panjang. Permasalahan dan
peningkatan kinerja Aparatur Sipil Negara dalam menghadapi persaingan global
dilaksanakan secara terus- menerus dengan motivasi untuk mencari cara yang lebih
efektif dan efisien.(Efendi,2008).
KERANGKA TEORI
Aparatur Sipil Negara adalah keseluruhan lembaga dan pejabat negara serta
pemerintahan. Aparatur negara dan pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Aparatur negara bertugas dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan
negara dan pembangunan. Aparatur senantiasa mengabdi dan setia kepada
kepentingan akan nilai- nilai dan cita- cita perjuangan bangsa dan Negara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (TAP MPR nomor II tahun 1998). Aparatur
Sipil Negara sebagai penyelenggara pemerintahan diberikan tanggung jawab untuk
merumuskan langkah-langkah strategis dan upaya-upaya kreatif guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat secara adil, demokratis dan bermartabat.
322
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tantangan yang dihadapi Aparatur Sipil Negara hingga saat ini antara lain,
adanya peluang penyalah gunaan wewenang/kekuasaan yang akan merugikan negara
dan masyarakat, mafia hukum, menghadapi persaingan global yang semakin
kompleks, dan berbagai masalah krusial lain. Pada saat ini untuk mewujudkan
Aparatur Sipil Negara yang bisa dipertanggung jawabkan, reformasi aparatur perlu
dilaksanakan secara terus-menerus dengan ditopang oleh motivasi untuk mencari cara
yang lebih efektif dan efisien. (Efendi,2008).
Keberhasilan dan berdaya gunanya suatu organisasi, dapat dilihat pada salah
satu aspek yang terkandung di dalamnya, yaitu kualitas sumber daya manusia. Untuk
mencapai keberhasilan tersebut, maka pengelolaan organisasi yang baik dan benar
pada suatu institusi pemerintahan tentunya sangat tergantung kepada Aparatur Sipil
Negaradalam hal ini aparatur yang mewakilinya yang tidak dapat dipegang oleh
sembarang orang, karena memerlukan persiapan dengan melalui pendidikan dan
pelatihan yang memadai. Aparatur Sipil Negara diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang baik manakala memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja, serta
motivasi tinggi, yang konsisten di dijalankan bagi kepentingan masyarakat luas.
Menyikapi situasi dan kondisi pemerintah Indonesia saat ini yang banyak
menghadapi permasalahan kompleks, tidak lepas dari kualitas moral dan perilaku
(karakter) para aparat birokasi yang mengawakinya. Seperti diketahui hampir semua
bidang di Institusi / lembaga pemerintah cenderung cukup banyak terjadi
penyalahgunaan wewenang baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Paska pemerintahan Orde Baru khususnya pada masa reformasi, telah mebawa
dampak sosial, politis dan perekonomian yang mengkhawatirkan bagi kesehatan
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dalam kurun waktu 10 tahun
belakangan ini, pemerintah telah menggalakkan perlu dilakukan reeformasi birokrasi.
323
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
berwibawa. Sedikitnya ada 5 kriteria good public governace, sebagai prinsip yang
saling terikat, yaitu:
Dalam Undang- Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
kehadiran UU ASN ini berdasarkan pada 2 hal yakni, pertama memantapkan aparatur
sebagai abdi negara yang melayani kepentingan publik. Aparatur Sipil Negara,
diharapkan mampu memperbaiki manajemen pemerintahan yang beorientasi pada
pelayanan publik, sebab PNS tidak lagi berorientasi melayani atasannya, melainkan
masyarakat Sehingga diperlukan birokrat yang professional dan memiliki integritas
serta memiliki kompetensi dibidangnya. Kedua adalah masih identiknya birokrasi yang
bekerja untuk kepentingan politik. Kedua hal itu menjadi , daya dorong untuk
melakukan perubahan terhadap tatanan birokrasi melalui UU ASN yaitu perubahan
dalam sistem, manajemen, rekruitmen dan budaya pegawai negeri sipil
(//pemerintah.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aparatur-sipil-negara/ tgl 3 Juli 2015 jam
10.25 WIB)
Undang- Undang ASN inilah merupakan benteng yang membekali para Aparatur
Sipil Negara untuk menjalankan revolusi mental seperti yang disampaikan Yudi Latif
(Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan dalam kompas tgl 21 Agustus 2014 hal 6)
disampaikan bahwa begitu terang benderang bahwa krisis mentalitas merupakan akar
324
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
tunjang dari krisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih
mendahulukan pembangunan jiwa dari pada raga. Celakanya, perhatian yang
berlebihan terhadap investasi material membuat kita mengabaikan investasi mental.
Usaha mengubah mentalitas bangsa tidak bisa ditempuh secara mudah dan
waktu singkat. Misi revolusi mental harus dilakukan secara terencana, bertahan, dan
terstruktur, yang secara sinergis mentrasformasikan metalitas-karakter bangsa menuju
kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Betapapun hal ini merupakan proyek raksasa yang maha berat, tetapi
kita tak boleh kehilangan optimisme. Dengan semangat gotong royong, kita bisa atasi
segala rintangan. Mempertahankan Negara buat selama-lamanya itu tidaklah mudah.
Aparatur Sipil Negara diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik manakala
memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja, serta motivasi tinggi, yang konsisten
di dijalankan bagi kepentingan masyarakat luas
Di sisi lain, bahwa aspek pendidikan dan pelatihan menjadi hal sangat utama
(mutlak) untuk meningkatkan kualitas Aparatur Sipil Negara dan sekaligus sebagai
proses investasi jangka panjang (Efendi, Taufiq, 2008). Dengan adanya pendidikan
dan pelatihan, maka akan didapatkan Aparatur Sipil Negara yang berkualitas.
Pengembangan dan Pelatihan yang diadakan untuk Aparatur Sipil Negara sudah
banyak dilakukan, walau harus diakui hal tersebut belumlah merata. Masih banyak
yang tidak memiliki kesempatan pendidikan dan pelatihan.
325
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
KESIMPULAN
326
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
pendahulu kita ditambah nilai- nilai moral kehidupan beragama yang diamalkan
dengan secara benar dan konsisten. Hal ini diharapkan akan dapat memberikan
pelayanan yang lebin baik manakala memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja,
serta motivasi yang tinggi.
Pada akhir tulisan ini, marilah kita sebagai Sumber Daya Manusia yang handal
dalam melaksanakan tugas sebagai Aparatur Sipil Negara harus mampu menjalankan
revolusi mental dengan menjalankan tuntunan kehidupan beragama secara benar,
selalu memiliki komitmen dalam melayani masyarakat sehingga tercipta good
governance disetiap organisasi akan bisa dicapai melalui kesadaran diri Aparatur Sipil
Negara yang mempunyai etos kerja yang baik sudah barang tentu akan menghasilkan
kinerja yang baik, sehingga akan didapatkan Aparatur Sipil Negara yang professional.
327
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kabarAparatur;
Negara.com/berita.php?pil=8&jd=Pengaruh+Globalisasi+Terhadap+Nilai-
Nilai+Pelatihan&dn=20090607183541
http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/28/173328/996440/471/Pelatihan-
Aparatur Sipil Negara
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelatihan
328
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract:The Indonesian government has issued a fiscal policy since April 1, 2010 in
order to inccrease national revenue by supporting tourism promotion activities. Support
are given through the fiscal side in the form of a tax refund (VAT refund) for foreign
tourists who have spent their money in tax refund service areas such as Denpasar,
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, and Medan. The mechanism of VAT Refund for
tourists in Indonesia is conducted by Government Process Model (GPM) fully, which
Directorate General of Taxation (DGT) endorse and gives direct payments in airports to
tourists who claim their VAT refund. The VAT Refund can also be done with other
methods as in the case of Singapore. This paper gives an overview, evaluation and
policy analysis related to the government tax refund using the Government Process
Model (GPM) in Indonesia and Refund Process Model Operator (ROPM) in Singapore.
It will also show many advantages and disadvantages that each of the methods have.
Keywords: Vat refund, turis asing, Government Process Model (GPM), Indonesia,
Refund Process Model Operator (ROPM), Singapore.
Corresponding author: Muhammad Taufiq Budiarto E-mail: taufiqbudiarto@yahoo.com
PENDAHULUAN
329
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
menimbulkan potential loss atau penurunan pendapatan negara dari pajak, tetapi
dalam jangka panjang kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan pemerintah
terutama dari Pajak Penghasilan (PPh).
Dalam pelayanan VAT refund baru ada 5 bandara yang dapat melayani fasilitas
tersebut. Bandara tersebut adalah Bandara Internasional yaitu Bandara Sukarno
Hatta Jakarta dan Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar, Bandara Internasional
Adi Sutjipto Yogyakarta, Bandara Internasional Juanda Surabaya dan Bandara
Internasional Polonia Medan. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut maka telah di
laksanakan mekanisme pengembalian PPN kepada turis asing dengan Government
Process Model (GPM) sepenuhnya, dimana Direktorat Jenderla Pajak (DJP)
melaksanakan endorsement dan pembayaran secara langsung di bandar udara
kepada turis yang meminta pengembalian PPN. Untuk melakukan evaluasi atas
kebijakan tersebut penulis tertarik membuat kajian tentang kelebihan dan kekurangan
metode ini. Dan sebagai pembanding maka penulis akan memaparkan metode yang
digunakan Negara terdekat kita yaitu negara Singapore.
Seperti kita ketahui tujuan utama turis Indonesia dikenal memiliki hobi belanja
dan wisata keluar negeri adalah ke Singapore selain ke negara Malaysia atau Thailand
atau negara asia lainya bahkan sampai eropa dan amerika.
Metodologi
A. Metode Penelitian
330
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
331
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
meminta kembali PPN dan Pajak Penjualan atas barang Mewah harus
mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang
pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.
Tax Refund bagi wisatawan asing di Indonesia diatur pada Pasal 16E UU
nomor 42 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa:
1. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
sudah dibayar atas pembelian barang kena pajak yang dibawah ke luar
Daerah Pabean oleh orang pribadi paspor luar negeri dapat diminta kembali.
2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus
memenuhi syarat :
a) Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp 500.000 (lima ratus ribu
rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah.
332
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sejak 1 April 2010, untuk Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
(selanjutnya diistilahkan sebagai Wisatawan Mancanegara atau Turis Asing) yang
berbelanja barang yang dikenakan PPN (Barang Kena Pajak) di Daerah Pabean,
apabila barang tersebut dibawa pulang ke negara asalnya (keluar Daerah Pabean),
maka PPN yang telah dibayarkannya pada saat pembelian barang tersebut dapat
dimintakan kembali (diistilahkan sebagai Value Added Tax Refund). Ketentuan
mengenai Value Added Tax Refund ini diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang PPN
Nomor 42 Tahun 2009. Turis Asing yang dapat memperoleh Tax Refund ini serta
bagaimana mekanisme proses Tax Refund diatur dalam Pasal 16E ayat (2), ayat (3),
ayat (4) UU PPN dan aturan pelaksanannya adalah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 76/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-20/PJ/2010 tanggal 31 Maret 2010, secara garis besar ketentuan
mengenai pemberian Tax Refund kepada Wisman (Turis Asing) adalah sebagai
berikut :
a. Pengembalian PPN bagi wisatawan asing hanya berlaku untuk
pembelanjaan pada toko yang sudah ditunjuk.
b. Hanya boleh dilakukan oleh wisatawan asing yang datang ke Indonesia
dalam jangka waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan serta memiliki paspor
luar negeri.
c. Hanya boleh dilakukan untuk pembelian dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum yang bersangkutan meninggalkan Indonesia.
d. Diberikan jika wisatawan asing menunjukkan barang yang dibelinya
tersebut.
e. Wisatawan asing hanya dapat meminta tax refund untuk pembelian barang
yang jumlah PPN minimal Rp 500.000,00 dengan meminta Faktur Pajak
Khusus (bentuk Faktur Pajak Khusus dapat dilihat di Lampiran
76/PMK.03/2010) dari toko yang ditunjuk.
333
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sampai saat ini, Direktur Jenderal Pajak telah menetapkan sejumlah toko yang
ditunjuk untuk dapat mengeluarkan Faktur Pajak dalam penyerahan Barang Kena
Pajak kepada Turis Asing, sehingga mereka dapat melakukan proses Tax Refund.
Toko yang telah ditunjuk telah tersebar di Jakarta, Tangerang, Bali, Yogyakarta,
Surabaya dan Medan. Proses pemberian Tax Refund saat ini juga hanya dilakukan di
Bandar Udara (bandara) khusus yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sampai
dengan saat ini Bandara yang telah ditetapkan sebagai tempat untuk memproses Tax
Refund adalah:
1) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang (Keputusan Menteri
Keuangan No. 141/KMK.03/2010)
Hasil
334
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
yang merupakan fee atas transaksi keuangan tersebut. Skema VAT Refund di
Indonesia adalah sebagai berikut:
Bayar PPN
PKP Konsumen
DJP KPPN
Dalam Hal
Restitusi :
SKPKPP &
SPMKP
2. VAT Refund untuk turis dapat juga dilakukan dengan metode yang berbeda
dengan government process model, sebagaimana yang terjadi di Singapura,
yang menggunakan 2 model, yaitu:
a. Retailer Operated Scheme (ROS)
Pada model ini, setelah turis mendapatkan endorsement dari petugas Bea
dan Cukai di bandara dan meminta pengembalian PPN kepada toko retail,
toko retail membayarkan PPN tersebut kepada turis, selanjutnya toko retail
mengurangkan jumlah yang dibayar tersebut dalam pembayaran SPT
Masa PPN yang akan disampaikan. Jumlah pajak yang dikembalikan oleh
toko retail kepada turis dikurangi biaya administrasi yang dikenakan oleh
toko retail. Sebagai catatan metode ROS ini sudah semakin ditinggalkan
karena dinilai tidak efisien.
b. Central Refund Agency (CRA)
Turis, setelah mendapatkan endorsement dari petugas Bea dan Cukai di
Bandara, langsung menerima pembayaran dari CRA (Global Blue) secara
tunai, cheque, atau melaui kartu kredit, dengan dikenakan biaya
administrasi sebesar 10% s/d 20% oleh CRA. Selanjutnya CRA akan
meminta kembali pengembalian pajak tersebut dengan 2 opsi:
335
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
1) Kepada otoritas pajak (IRA), melalui SPT PPN yang restitusinya akan
diproses dengan jangka waktu maksimal 1 (satu) bulan, atau;
2) Kepada toko retail, untuk selanjutnya toko retail akan mengurangkan
jumlah tersebut dalam pembayaran pajak pada SPT PPN.
Skema pengembalian dengan model ROS dan CRA adalah sebagai berikut:
a. Skema ROS
1. Skema ROS
Payment,
Including GST
Retailer 1 TOURISTS
Verification and
endorsement
Goods
+ invoice 2
4 Invoice endorsed
(by mail/drop box)
GST return
Minus GST
refunded 3 Customs
Refunded Cheque At Changi
(by mail)
IRA
Goods
+ invoice Refund is:
-Cash
3 -Cheque
Invoice endorsed
5 GST return -- Credit Card
by CUSTOMS
(normal)
GST
Returned
Refund
Tax Office Provider
4
Payment of GST
refunded
336
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DJP
Retailer 1 TOURISTS 2
Goods
+ invoice Refund is:
Invoice endorsed -Cash
by CUSTOMS -Cheque
3
GST return -- Credit Card
5 (restitusi)
Diskusi
Berdasarkan hasil kajian dan sharing dengan pihak terkait selama penulis
bertugas di Direktorat Peraturan Perpajakan I (Subdit PPN) Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak , dan juga dengan peserta diklat baik DTSD maupun
DTSS, maka dapat di sampaikan kekurangan dan kelebihan masing masing
metode sebagai berikut :
337
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
338
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
SIMPULAN
a. Kesimpulan:
1) Pada dasarnya baik Government Process Model (GPM) yang diterapkan di
Indonesia maupun Refund Operator Process Model (ROPM) yang
diterapkan di Singapura memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Secara umum GPM memiiki kelebihan yaitu tidak ada biaya
administrasi yang dibebankan kepada turis dan sistem pengawasan yang
baik (on line) terhadap toko retail dalam pelaksanaan pengembalian di
bandara. Sedangkan kekurangannya adalah kurang lengkapnya pelayanan
bagi turis.
2) ROPM secara umum memiliki kelebihan yang mendasar berupa dukungan
promosi kepariwisataan bagi Indonesia. Sedangkan kelemahan yang
mendasar dalam penerapan ROPM di Indonesia adalah:
a) Dari sisi ketentuan, refund operator pada dasarnya bukan Pengusaha
Kena Pajak (PKP) sehingga mekanisme ROPM 1 tidak memiliki
landasan hukum yang kuat.
b) Jika Refund Operator adalah PKP maka proses pengembalian PPN
melalui restitusi belum memungkinkan secara ketentuan untuk
dilaksanakan secara singkat, misalnya 5 (lima) hari seperti di Singapura.
c) Perlu diatur pengawasan untuk refund operator dan toko retailer karena
diluar sistem DJP.
3) Dalam hal RO/CRA ini melalui mekanisme penunjukkan langsung maka
harus menyesuaikan dengan ketentuan tentang persaingan usaha;
339
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
b. Rekomendasi:
1) Tetap menggunakan GPM existing; atau
2) Dalam hal diterapkan ROPM, namun dengan kondisi sebagai berikut:
a) Refund Operator langsung mengajukan pengembalian ke KPPN
mengingat dokumen yang sudah di endorse oleh petugas DJP pada
dasarnya dapat dipersamakan sebagai SPMKP.
b) ROPM diterapkan bersama GPM sehingga turis memilik pilihan.
c) Sistem on line antara toko retail dengan DJP tetap dipertahankan.
Goods
+ invoice Refund is:
3 -Cash
-Cheque
GST return -- Credit Card
(normal)
5 Invoice endorsed
by CUSTOMS GST
Returned
Refund
Provider
4 KPPN
Tax Office
Payment of GST
refunded
3. Disamping hal-hal tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam
rangka lebih mengefektifkan pelaksanaan VAT Refund, dengan tujuan untuk
mendorong wisatwan mancanegara semakin banyak berbelanja di Indonesia, yaitu:
a. Mengubah batasan pengembalian yang berlaku sekarang yaitu untuk nilai PPN
minimal Rp 500.000,- agar menjadi lebih kecil sesuai dengan benchmarking di
Singapura.
b. Tidak membatasi jumlah toko retail yang berpartisipasi dalam skema VAT
Refund, tapi hanya menetapkan kriteria agar suatu toko dapat masuk ke dalam
skema VAT Refund.
340
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Daftar Pustaka
Agung, Mulyo, Teori dan Aplikasi Perpajakan Indonesia, Penerbit Dinamika Ilmu,
Jakarta, 2007 Hadinoto, Kusudianto. Perencanaan dan Pengembangan
Destinasi Pariwisata, UI Press Jakarta, 1996 Ilyas, B. Wirawan, Suhartono,
Rudy, Panduan Komprehensif dan Praktis Pajak Penghasilan, Lembaga
Penerbit FEUI, Jakarta, 2007 Kodyat, H. , Sejarah Pariwisata dan
Perkembangannya di Indonesia, Liberty, Jakarta, 1996
341
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract Entering globalization and MEA, Indonesia must improve the competence in
order to can compete and to answer the challenges of the future especially in
government organizations. It is important to realize good governance. So government
organizations must changes and reform to build positive work culture especially to
develop work culture of innovation. Build innovation in government organizations has
become a global phenomenon. In Indonesia it is marked by The Bureaucratic Reforms.
Therefore, government organizations should also be clean and build a positive work
culture, especially the work culture of innovation in order to form the civil servant that is
able to compete, competitive so as to realize a good government organization. This
paper use quantitative research methods. With the aim to understand the work culture
of innovation practices and to explore some inhibiting factors also supporting factors
that encourage innovation practices work culture in government organizations.
Pendahuluan
Di era globalisasi saat ini dengan diberlakukannya MEA pada negara – negara
ASEAN, penting bagi Indonesia untuk dapat bersaing serta mewujudkan organisasi
pemerintahan yang baik. Merujuk pada penilaian yang dilakukan oleh Bank Dunia
bahwa Indonesia masih dibawah dibanding dengan negara lain. Adapun kondisi
birokrasi saat ini (menurut Waluyo, KASN, 2015) antara lain : Corruption Perception
Index juga di posisi rendah. Score 3,4 dari skala 0 – 10 ; Manajemen Kinerja
342
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
pelaksanaannya lemah, Pelayanan Publik masih sering dikeluhkan serta masih adanya
pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Pejabat Publik. Dalam The Global
Competitiveness Report 2015-2016 yang dikeluarkan oleh Forum Ekonomi Dunia
(WEF) dilaporkan pula bahwa daya saing Indonesia pada tahun 2015 berada di posisi
37 dunia, atau turun 3 peringkat dibandingkan tahun lalu. Sementara Swiss,
Singapura, dan Amerika Serikat masih menjadi penghuni 3 besar negara paling
berdaya saing di dunia pada tahun 2015.
Hal ini menunjukkan bahwa perlunya diadakan perbaikan dan perubahan dalam
organisasi pemerintah seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat.
Membangun inovasi pada organisasi pemerintah telah menjadi fenomena global. Di
Mexico, Presiden Vicente Fox mencanankan reformasi sektor publik dengan prinsip –
prinsip utama : govrnment that cost less, quality government, professional government,
digital government, government with regulatory reform, honest and transparent. Di
Indonesia sendiri, dalam Pola Pikir Pencapaian Visi Reformasi Birokrasi yang tertuang
di Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Refromasi Birokrasi 2010-2025 pada area perubahan ke delapan menyebutkan
perlunya perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur dimana diharapkan Aparatur
dapat berubah pola pikir dan budaya kerjanya.
Berbagai permasalahan birokrasi diatas juga terkait dengan budaya kerja dalam
organisasi pemerintahan sebagaimana diatur dalam pedoman pengembangan budaya
kerja aparatur negara yang dapat diidentifikasi sebagai patologi birokrasi. Kepercayaan
masyarakat yang menjadi sasaran akhir reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan
perubahan pola pikir / mind set untuk membangun budaya kerja inovasi dalam
organisasi pemerintah.
Metodologi
343
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
filsafat postpositivisme yang biasa di gunakan untuk meneliti pada kondisi alamiah
dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci (Sugiono, 2008:15). Menurut
Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi
bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman
sosial yang diinterpretasikan oleh setiap individu. Peneliti kualitatif percaya bahwa
kebenaran adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap
orang-orang melalui interaksinya dengan situasi sosial mereka (Danim, 2002).
Budaya kerja adalah kumpulan pola perilaku diri setiap individu yang melekat
secara keseluruhan kemudian bergabung dalam sebuah organisasi. Membangun
budaya memiliki arti meningkatkan dan mempertahankan hal hal positif serta berusaha
membiasakan proses pola perilaku tertentu agar tercipta pola perilaku baru yang lebih
baik dalam suatu organisasi. Dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia
(2003), Hadari Nawawi menjelaskan bahwa Budaya Kerja adalah kebiasaan yang
dilakukan berulang–ulang oleh pegawai dalam suatu organisasi, dimana pelaku
organisasi secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan tersebut harus ditaati
dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan.
344
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Adapun menurut Triguno (2004) budaya kerja adalah suatu falsafah yang
didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai – nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan
kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau
organisasi yang tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat
dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.
Inovasi
Robbins (2007) memfokuskan inovasi pada tiga hal utama yaitu gagasan baru
terhadap fenomena yang sedang terjadi, produk dan jasa yang siap dikembangkan dan
diimplementasikan, serta upaya perbaikan yang terus menerus sehingga bisa
dirasakan manfaatnya.
345
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
John Bessant and Joe Tidd, 2007, menyatakan bahwa Innovation is driven by the
ability to see connections, to spot opportunities and to take advantage of them.
Innovation is also strongly associated with growth. Innovation does make a huge
difference to organizations of all shapes and sizes. Hal ini dapat diartikan bahwa
dalam melakukan Inovasi harus dapat melihat peluang dan mengambil manfaat dari
inovasi yang telah dilakukan. Inovasi sendiri juga tidak membuat perbedaan yang
besar dari bentuk dan ukuran dalam sebuah organisasi.
Peter Thiel pendiri PayPal, penulis Zero to One (2014) menyebutkan ada dua
jenis Inovasi yaitu Inovasi “0 to 1” dan inovasi “1 to n”. Inovasi 0 to 1 adalah inovasi
.yang menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru, sesuatu yang fresh dan ganjil
karena belum pernah ada sebelumnya. Inovasi ”0 ke 1” jauh lebih rumit karena tidak
ada satu pun orang yang pernah melakukannya. Ini berbeda dengan inovasi ”1 ke n”
dimana cukup meniru atau menyempurnakan sesuatu yang telah ada. Untuk
mewujudkan inovasi ”0 ke 1”, tidak perlu memiliki teori, formula, ataupun panduan yang
bisa diikuti. Semuanya serba gelap, tak berpola, dan sarat ketidakpastian
346
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Organisasi Pemerintah
Aspek dari pengertian lain yang dikemukakan oleh Weber dalam Thoha
(2012:113) menyatakan bahwa suatu organisasi atau kelompok kerja sama ini
mempunyai unsur kekayaan sebagai berikut : (a) Organisasi merupakan tata hubungan
sosial, dalam hal ini seseorang individu melakukan proses interaksi sesama didalam
organisasi tersebut, (b) Organisasi mempunyai batasan-batasan tertentu (boundaries),
dengan demikian seseorang yang melakukan hubungan interaksi dengan lainnya tidak
atas kemauan sendiri. Mereka dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, (c) Organisasi
merupakan suatu kumpulan tata aturan, yang bisa membedakan suatu organisasi
dengan kumpulan-kumpulan kemasyarakatan. Tata aturan ini menyusun proses
interaksi di antara orang-orang yang bekerja sama di dalamnya, sehingga interaksi
tersebut tidak muncul begitu saja dan (d) Organisasi merupakan suatu kerangka
hubungan yang berstruktur di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan
pembagian kerja untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Istilah lain dari unsur ini
ialah terdapatnya hierarki (hierarchy). Konsekuensi dari adanya hierarki ini bahwa di
dalam organisasi ada pimpinan atau kepala dan bawahan atau staf.
Perilaku organisasi
347
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Model birokrasi Weber merupakan salah satu model ideal dan sesuai untuk
merancang teori-teori mengenai organisasi. Secara teori, suatu birokrasi mempunyai
berbagai sifat yang dapat dibedakan dari ketentuan-ketentuan lain dari suatu
organisasi. Beberapa sifat yang amat penting dapat dikemukakan sebagai berikut : (1)
Adanya spesialisasi, atau pembagian kerja, (2) Adanya hirarki yang berkembang, (3)
Adanya suatu sistem dari suatu prosedur dan aturan-aturan, (4) Adanya hubungan-
hubungan kelompok yang bersifat impersonalita, (5) Adanya promosi dan jabatan yang
berdasarkan kecakapan.
Karakteristik Individu
Kemampuan Kebutuhan
Kepercayaan Pengalaman
Pengharapan dan lainnya
Perilaku Individu
dalam Organisasi
Karakteristik
Organisasi
Hierarki
Tugas-tugas Wewenang
Tanggung JawabSistem
Reward Sistem Kontrol dan
lainnya
348
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Istilah profesional berasal dari kata professional yang dasar katanya adalah
profession. Sudarwan Danim (2002:22) menyatakan kata profesional merujuk pada
dua hal: Pertama, adalah orang yang menyandang suatu profesi, orang yang biasanya
melakukan pekerjaan secara otonom dan dia mengabdikan diri pada pengguna jasa
disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya, atau penampilan
seseorang yang sesuai dengan ketentuan profesi. Kedua, adalah kinerja atau
performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
Pada tingkat tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni (art) yang menjadi ciri
tampilan profesional seorang penyandang profesi.
349
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
350
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Diskusi
Laporan yang dikeluarkan oeh World Economic Forum yang bertajuk The Global
Competitiveness Report menempatkan Indonesia pada peringkat ke-55 pada tahun
2008-2009 yang kemudian meningkat menjadi urutan ke-38 pada tahun 2014. sebagai
perbandingan berturut-turut posisi negara tetangga yakni urutan ke-2 ditempati oleh
Singapura, urutan ke-24 ditempati oleh Malaysia, urutan ke-26 ditempati oleh Brunei
Darussalam dan urutan ke-37 ditempati oleh Thailand.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa filosofi budaya kerja bersumber dari agama,
kepercayaan, tradisi maupun dari ilmu pengetahuan. Adapun filosofi budaya kerja yang
dimaksud antara lain, sebagai berikut :
1. Bekerja adalah suatu ibadah, panggilan atau tugas mulia;
2. Bekerja dengan mengutamakan kualitas pelayanan kepada konsumen (stake
holders);
3. Bekerja dengan melibatkan semua lapisan pegawai dari pimpinan sampai bawahan;
4. Bekerja dengan melakukan perbaikan secara terus menerus dari waktu ke waktu
(continous improvement).
Laporan lainnya yang dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) menunjukkan bahwa skor efficiency of bureaucracy pada tahun 2012
Indonesia memiliki skor 8,37 dari skala 10 yang paling buruk. Sementara urutan
pertama yang paling efisien ditempati oleh Negara Singapura dengan skor 2,25 dari
nilai skala 0 yang paling baik.
351
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
serta juga karena tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) dan
pemberdaya bagi bawahan (Siagian, 2000:164).
Konsep dasar budaya kerja merupakan turunan dari budaya organisasi yang
dikembangkan antara lain dengan mempertimbangkan ajaran-ajaran agama, konstitusi
(peraturan perundang-undangan), kondisi sosial dan budaya setempat. Ketika individu-
individu masuk ke dalam sebuah organisasi, maka akan terjadi penyesuaian nilai-nilai,
norma-norma, sikap dan perilaku yang diinginkan oleh organisasi demi mencapai cita-
cita atau tujuannya. Perubahan tersebut membutuhkan waktu, komitmen, kedisiplinan
dan upaya yang luar biasa. Organisasi yang memiliki budaya kerja yang kuat akan
dapat memperoleh hasil yang lebih baik.
Dari uraian dari para ahli diatas, dapat didskusikan bahwa memang perlu
membangun budaya inovasi dalam organisasi pemerintah. Kemudian selain adanya
faktor – faktor pendukung, dalam implementasi membangun budaya kerja inovasi juga
memiliki faktor – faktor penghambat. Ketika kita sudah mengetahuinya maka kita dapat
memaksimalkan faktor pendukung tersebut dan meminimalisir faktor penghambatnya.
Upton dan Swiden (1998) mencatat bahwa dalam abad informasi, organisasi
pemerintah telah berubah menjadi semacam “joint-up government or citizen-centric
government”, yang menyebabkan pelayanan publik lebih berorientasi pada konsumen.
Inovasi organisasi pemerintahan melalui penciptaan dan berbagai pengetahuan dapat
dilakukan melalui perubahan sistemik yang dilakukan secara sengaja oleh anggota dan
pimpinan organsiasi. Keberhasilan proses perubahan ditentukan oleh beberapa faktor :
(1) orang-orang yang terlibat dalam proses governance itu sendiri adalah mereka yang
menciptakan dan memelihara perubahan, yang komit dan adaptif (Sumarto, 2003:10);
(2) pemimpin yang memiliki kekuatan untuk mengubah dalam lingkup kekuasaannya;
(3) komunikasi antar pencetus perubahan dengan pihak lain; (4) dedikasi bawahan
atau pegawai dalam melakukan perubahan; dukungan dari publik dan politisi.
352
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kotter (2002:2) bahkan menyebutkan bahwa, “the central issue is never strategy,
structure, culture or systems. All those elements, and others, are important. But the
core of matter is always about changing the behavior of people, behavior change
happens in highly successful situations mostly by speaking to people's feelings”.
Pandangan Kotter tersebut menjelaskan bahwa sikap atau perilaku seseorang dapat
dengan mudah berubah jika leader mampu untuk berkomunikasi atau mendorong
perasaan atau emosi orang tersebut. Ketika hal ini mampu dilaksanakan maka
perubahan dapat terwujud dan bahkan akan menjadi sistem dan membudaya.
Henry N, (1988) mengupas konsep inovasi sebagai salah satu konsep dari teori
organisasi. Henry mengemukakan bahwa kemampuan untuk mengadakan perubahan,
dibutuhkan inovasi, adaptasi dalam setiap bentuk kehidupan organisasi. Perubahan
organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor : teknologi organisasi, lingkungan organisasi
(tugas dan fungsi), dan interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungannya.
353
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
354
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kesimpulan
Ada satu hal yang harus diperhatikan pimpinan organisasi dalam membangun
budaya kerja inovasi, yakni pegawai harus mengetahui permasalahan yang ada dalam
355
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
organisasi dan memahami jenis inovasi yang sesuai untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Dalam membangun Budaya Kerja Inovasi di Organisasi Pemerintah Leader
juga harus mampu untuk berkomunikasi atau mendorong perasaan atau emosi orang
bawahannya.
Sasaran akhir dari budaya kerja yaitu terciptanya perubahan pola pikir dan
budaya kerja aparatur negara menjadi budaya yang mengembangkan sikap dan
perilaku kerja yang Inovasi, berorientasi pada hasil (outcome) yang diperoleh dari
produktivitas kerja dan kinerja yang tinggi untuk memberikan pelayanan masyarakat.
Namun tetap upaya pengembangan tersebut harus memperhatikan salah satu syarat
terpenting dalam mendorong keberhasilan pengembangan budaya kerja yaitu
komitmen dari pimpinan pemerintahan tertinggi baik di Pusat maupun Daerah
356
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Daftar Pustaka
Bessant, John dan Tidd, Joe. (2007). Innovation and Enterpreneurship, pp 4-9.
Borin, S. (2001). What Border? Public Management Innovation in The United Stated
and Canada.
Hadawi Nawawi, Hadawi dan Martini, Mimi (1994). Penelitian Terapan. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press, hal 73.
Halvorsen, Thomas. (2005). On The Differences between Public and Private Sector
Innovation. Publin report, Oslo.
Hartley, Jean. (2005). Innovation in Governance and Public Services : Past and
Present. CIPFA. Public Money and Management, Vol 25 No 1 pp 27-34.
Kotter & Cohen. (2002). The Heart of Change: Real Life Stories of How People Change
Their Organization. Boston, Massachusetts: Harvard Business Review Press.
357
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Prasetya, Triguno. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara,
cetakan kelima hal 13.
Shapiro, Stephen, M. (2002). Innovation : A Blue Print for Surviving And Thriving in an
Age of Change. New York : Mc-Graw Hill
Sumarto, Hetifah Sj., (2003). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, 20 Prakarsa
Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Inonedisa.
Upton dan Swiden in Eileen M.Ilner. (1998). Managing Information and Knowledge in
Public Sector. London : Routledge.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025
358
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Eneng Susilawati
Centre Development and Empowerment Teacher and Educational Personnel
in Science, (CDETEP)
INTRODUCTION
Teaching is a profession when teachers practice learning the general knowledge
base and use the knowledge for effective teaching practices (NSTA, 2003). To achieve
effective learning, teachers need some skills. Teaching is a pedagogic competence
that must be mastered by teachers and quite complex because it is the integration of a
variety of teacher competence completely and thoroughly. Professional competence is
demonstrated by mastery of the material, structure, concept, and the mindset of
scientific support of teaching subjects; developing professionalism through reflective
action. The ability of teachers to understand concepts in depth, mastery of pedagogy,
strategies deliver material to students becomes very important as stated in the
standard of teaching competency of teachers (MONE, 2003) that one of the six
competency mastery learning which educates is master approaches, methods, media ,
and assessment of learning. Pedagogical competence becomes an important part of
359
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
learning because what is presented by the teacher will influence what students learn
(NRC, 1996:28).
Teaching science is more appropriate to use the approach of inquiry (Mao and
Chang, 1998), as a method of learning that can develop all domains educational
purposes, including the attitudes and behavior (Opara, 2011), an effective method as it
pertains to the activities and skills active focus on the quest for knowledge or
understanding to satisfy curiosity (Haury, 1993), the most promising learning method
because not only is able to motivate the students but also science teachers (tRNA,
Trnova, and Sibor, 2012). Science teacher should be prepared to guide students to
make observations, experiments, collecting data, and inference to test Ideas and build
scientific concepts (NSTA, 2011).
The ability of inquiry held by teachers can be seen from the way teachers resolve
issues related to knowledge, science teaching skills, and demonstrate an attitude like
scientists (NRC, 2000). Lack of knowledge about what and how to make the teachers
confused how to apply real inquiry approach in the classroom (Yager & Akcay, 2009)
and also the lack of experience of the application of inquiry (Gengarelly & Abrams,
2009).
During teacher run their professional duties, teachers should improve the
competence in performing professional obligations or processes of growth and
development of the profession (eg Rogan & Grayson, 2004; Tecle 2006; Komba &
Nkumbi, 2008). Improved in change of teaching meaningful can be seen when
teachers teach collaboratively and systematic inquiry, led by its chairman, using the
inquiry focused on the guidelines, and has a stable order for pushing improve
continuous learning (Ermeling, 2010).
The junior high school science teachers in Indonesia are required to have the
qualifications and competency standards, as mentioned in the Ministerial Regulation
No. 16/2007 one of which is pedagogy competence, where the teacher is able to
organize an educational learning. In the real situation shows that in general junior high
school science teachers have not had a pedagogical competence of inquiry as required
by the regulation. The problem is how to improve the competency of junior high school
science teacher pedagogical inquiry in Indonesia. National Research Council (1996, p.
57) states that the pedagogical competence improvement standardized, can be
obtained through the development of self-sustained and lifelong. Self-development can
be obtained them through education and training. Science teacher should receive
360
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
METHOD
Participants.
The participants of this study were 36 junior high school teachers, selected with
purposive sample based on the recommendation of the Department of Education.
Schools determination were based on: 1) clustering, namely the upper, middle
361
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
State 25 7 16 16 7 13 12
Private 4 0 2 2 2 1 1
Total 29 7 18 18 9 14 13
Procedures.
To improve teachers' pedagogical inquiry competence inquiry-based science
teaching aspect, teachers follow an incremental training covering basic level and
advanced level. Implementation of an incremental training is listed in Table 2.
Table 2 shows that the training of basic level, in service learning stage was
conducted for five days, eight hours of training each day. The number of training hours
362
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
is 40 hour. On the job learning phase was conducted over three weeks as much as 36
hour, 1 week equal 12 hour. Assuming 1 times meeting equal 2 hours, then every 12
weeks hours equal 6 times meeting, so that 36 hours equal 18 times meeting. At
advanced level training is done the same thing. The implementation of the basic
training level and advanced level consists of a total of 80 hours of face to face at some
stage in service learning (1 hour = 45 minutes), and 72 hours in the classroom
implementation in stages on the job learning. Competence pedagogy of inquiry that is
trained includes six levels (Wenning, 2010) namely discovery learning (DL), interactive
demostration (ID), inquiry lesson (I Les), inquiry laboratory (I Lab), real-world
application (RWA), and hypothetical inquiry (HI) as shown in Table 3.
The results of training are implemented in schools in the stage of on the job
learning to see the implementation and improvement of pedagogical competence of
inquiry in learning. On the job learning for the basic level training held for three weeks
before continuing to the advanced level training with the aim to give teachers time to
internalize the experience gained during the training into real learning experience. At
the training of the basic level, the teachers got a chance to implement the results of
training each week were 24 hours equal 12 times meeting (1 times meetings equal 2
hours) face to face in the classroom using the different of lesson plan, so the
experience of implementation for three weeks as much as 3 times 24 hours equal 72
hours. It is equal 36 times meeting. At the training of advanced level was done the
same thing so that the total implementation time for training basic level and advanced
level was 3 weeks times 2 level equal 6 weeks, equivalent to 72 hours times 2 (1 hour
= 45 minutes) = 144 hours.
During the on-the-job learning school teachers get 12 times mentoring is spread
over six weeks to two levels. On-the-job learning basic level, accompanied by as much
as 8 times to observe the implementation of learning using four levels (DL, ID, I Les,
and I Lab), while the advanced level for on the job learning accompanied by as much
as 4 times to observe the implementation of learning to use two levels (RWA and HI ).
Each level accompanied by two times with the objective of observing simultaneously
retrieve data at the beginning and at the end. Researchers also analyzed the research
findings in the form of the supporting factors and barriers faced by teachers during
lessons.
363
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
364
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
RESULTS
The overall data obtained from the research that pedagogical competence of
teachers in the implementation of inquiry-based science learning has increased after
participating in the training.
Basic level.
The result of t-test and analysis description of skills of junior high school
teachers in inquiry-based science teaching at the basic level of overall training are
shown in Table 4.
Table 4. Summary of Science Teaching Skills at The Basic Level of Training
Inquiry Level M SD t p d Magnitude
Discovery Learning Post 3.7300 .16407 23.415 .000 4.73 Large
Discovery Learning Pre 2.7633 .07992
Interactive Demonstration Post 3.5600 .09571 17.155 .000 6.02 Large
Interactive Demonstration Pre 2.4267 .23771
Inquiry Lesson post 3.6850 .10368 26.177 .000 4.94 Large
Inquiry Lesson pre 2.4950 .07148
Inquiry Laboratory post 3.7300 .15556 23.841 .000 6.61 Large
Inquiry Laboratory pre 2.5325 .05620
Note: p <0.05
Based on the initial results of different test scores and final scores use pedagogical
competence in teaching inquiry-based science inquiry of four levels that exist at the
level of basic training (Table 4), all showed very significant difference (sig< 0.05) with a
large effect size. Statistically it appears that the ability of teachers in teaching using
inquiry pedagogical competence inquiry laboratory higher level (Mpre = 2.5325 SDpre =
.05620, Mpost=3.7300 SDpost = .15556) compared to the use of pedagogical competence
of inquiry as a whole, t (35) = 23.8, p = 0.00. The use of pedagogical competence
discovery learning inquiry lowest level (Mpre = 2.7633 SDpre = .07992, Mpost = 3.7300
SDpost = .16407) between the three other levels but still show significant differences, t
(35) = 23.4, p = 0.00.
365
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Of the six competencies that are used at the level of interactive demonstration all
show a very significant difference (sig< 0.05) as shown in Table 6. The ability of
teachers to use the competence to formulate a scientific explanation is higher (Mpre =
366
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
2.1111 SDpre = .31873, Mpost = 3, 4722 SDpost = .50631) than other competencies, t
(35) = 15.0, p = 0.00. Estimating is the lowest competence (Mpre = 2.6667 SDpre =
.47809 Mpost = 3.6389 SDpost = .48714) compared to five other competencies, but still
show a significant difference t (35) = 9.58, p = 0.00.
Table 7. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in
Inquiry Lesson (I Les) Level.
Pedagogical Inquiry competencies M SD t p
Measuring post 3.6111 .49441 9.413 .000
Measuring pre 2.5000 .50709
Collecting and recording data post 3.8611 .35074 11.625 .000
Collecting and recording data pre 2.5833 .55420
Constructing a table of data post 3.6667 .47809 12.759 .000
Constructing a table of data pre 2.5556 .50395
Designing and conducting scientific investigations post 3.6389 .48714 9.115 .000
Designing and conducting scientific investigations pre 2.4444 .50395
using technology and math during investigations post 3.5833 .50000 10.013 .000
using technology and math during investigations pre 2.5000 .50709
Drawing conclussions post 3.7500 .43916 15.050 .000
Drawing conclussions pre 2.3889 .49441
Note: p <0.05
Statistically, Table 7 indicates that the six competencies at the level inquiry
lesson used in teaching science show a highly significant difference (sig <0.05). The
use of competency describes the relationship is the highest competence (Mpre = 2.3889
SDpre = .49441, Mpost = 3.7500 SDpost = .43916) than other competencies t (35) = 15.0,
p = 0.00. Among the six competencies are trained, measure is the lowest competence
(Mpre = 2.5000 SDpre = .50709, Mpost = 3.6111 SDpost = .49441) but still show a
significant difference t (35) = 9.41, p = 0.00.
Table 8. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in
Inquiry Laboratory (I Lab) Level
Pedagogical Inquiry competencies M SD t p
Measuring metrically post 3.8333 .37796 12.426 .000
Measuring metrically pre 2.5833 .50000
Establishing emphirical laws on the basis of evidence and 3.6389 .48714 10.688 .000
logic post
Establishing emphirical laws on the basis of evidence and 2.5000 .50709
logic pre
Designing and conducting scientific investigations post 3.8889 .31873 13.584 .000
Designing and conducting scientific investigations pre 2.5833 .50000
Using technology and math during investigations post 3.5556 .50395 9.396 .000
Using technology and math during investigations pre 2.4722 .50631
Note: p <0.05
Table 8 describes the t-test of competency on the level of inquiry laboratory. The
results show significant differences in all competencies (sig <0.05). Designing and
conduct scientific investigations competency is the highest competence (Mpre = 2.5833
SDpre = .50000, Mpost = 3.8889 SDpost = .31873) than the three other competencies, t
367
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
(35) = 13.58, p = 0.00. Using technology and mathematics during the investigation is
the lowest competency (Mpre = 2.4722 SDpre = .50631, Mpost = 3.5556 SDpost = .50395)
among all the competencies, but still show significant differences, t (35) = 9.39, p =
0.00.
It can be concluded, from all of competencies on the basic level of training, the
highest level difference based on the mean (1.36) is to formulate a scientific
explanation on the level of interactive demonstration and describes the relationship at
the level of Inquiry lesson, while the lowest is make conclusion (0.77) at the level of the
discovery learning. However, all three is significantly different.
Advanced Level
The result of t-test and analysis description of skills of junior high school
teachers in inquiry-based science teaching at the advanced level of overall training are
shown in Table 9.
Table 9. Summary of Science Teaching Skills in The Advanced Level of Training
Level of Inquiry M SD t p d Magnitude
real world application post 3.6720 .23446 12.198 .000 3.98 Large
real world application pre 2.4120 .09680
hypothetical inquiry post 3.5900 .21389 27.438 .000 6.09 Large
hypothetical inquiry pre 2.1340 .10945
Note: p <0.05
Based on the results of t-test on the initial scores and final scores using
pedagogical competence in teaching inquiry-based science inquiry of two levels that
existed at the level of advanced training, all show high significant difference (sig< 0.05)
with a large effect size. Statistically, it appears that the ability of teachers to teach
science using inquiry pedagogical competence at the level of hypothetical inquiry is
higher (Mpre = 2.1340 SDpre = .10945, Mpost = 3.5900 SDpost = .21 389) compared to the
use of pedagogical competence inquiry at the level of real world application t (35) =
27.4, p = 0.000.
The result of t-test show that the competency of pedagogical inquiry for teaching
science at two level at advanced stage inquiry training are presented in Table 10 and
Table 11.
Table 10. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in Real
World Application (RWA) Level
Pedagogical Inquiry competencies M SD t p
Collecting data from a variety of sources post 3.8889 .31873 15.337 .000
Collecting data from a variety of sources pre 2.4722 .55990
368
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Table 10 shows that all the competencies that are used in the teaching of science
at the level of real world application show a highly significant difference (p< 0.05). The
Ability of teachers in using competencies exercixe of interpersonal skills is higher (Mpre
= 2.3611 SDpre = .63932, Mpost = 3.9444 SDpost = .23231) than the other four
competencies t (35) = 14.6, p=0.00. Construct a logical argument is the lowest
competency (Mpre = 2.5278 SDpre=.50 631, Mpost=3.5556 SDpost=.50 395) among the
five competencies trained, as well as the competence of the lowest among all levels of
competence in advanced, but still shows a difference significant, t (35) = 8.85, p = 0.00.
Table 11. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in
Hypothetical Inquiry (HI) Level
Pedagogical Inquiry competencies M SD t p
Synthesizing complex hypothetical explanations post 3.5000 .50709 15.777 .000
Synthesizing complex hypothetical explanations pre 2.0278 .16667
Analyzing and evaluating scientific arguments post 3.8333 .37796 14.310 .000
Analyzing and evaluating scientific arguments pre 2.2778 .45426
Generating predictions through the process of deduction post 3.4167 .50000 12.649 .000
Generating predictions through the process of deduction pre 2.0833 .50000
Revising hypotheses and predictions in light of new evidence 3.3889 .49441 12.649 .000
post
Revising hypotheses and predictions in light of new evidence 2.0556 .47476
pre
Solving complex real world problems post 3.8056 .40139 15.740 .000
Solving complex real world problems pre 2.2222 .54043
Note: p <0.05
At the level of hypothetical inquiry, five competencies is drill show significant
differences (sig <0.05). Competence of solve real problems is a higher level of
competence (Mpre = 2.2222 SDpre = .54 043, Mpost = 3.8056 SDpost = .40139) than
other competencies t(35) = 15.7, p = 0.00, as well as being highest competence
among all competencies trained on advanced level.
It can be concluded that all of the competencies at the advanced level, the
highest difference based on the mean (1.58) is to train interpersonal skills at the level
369
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
of real world application and solve real problems at the level of hypothetical inquiry,
while the lowest is to build a logical argument (1.02) at the level of real world
application. However, all three is significantly different.
370
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
significant impact on the achievement of goals, because the training of inquiry with a
short time is not enough to bring about change, in which the inquiry training conduct in
a short time, does not change the practices of teachers in the classroom and training
programs deemed ineffective (Bush, 1984; Yoon et al., 2007; Darling-Hammond, et al.,
2009).
With a long training time allows for social interaction between teachers and build
a new community of fellow learners science teachers, thus making teachers learn from
one another in a collaboration to develop new knowledge and experiences. This view is
supported by the results of previous studies stating that the competence of the
teachers will be higher if the learning use collaborative and systematic than learning
individually (McBride et al., 2004; Henze, 2009; Ermeling, 2010).
Using of inquiry approach in the implementation of real incremental inquiry
training justified by Vigotsky in constructivist theory that explains that the construction
of knowledge occurs through social interaction, as well as with forms of cognitive
development that occurs as the relationship between the individual and the social
context. There is an increasing competence pedagogy to teachers, may be the result
of reflection experiences that occur during training and built into new knowledge
resulting in balance, this concept is in accordance with the principles of constructivism
being applied in teaching and learning process (Piaget, 1952; Simon, 1994; Gillani
2010).
There is several level on the implementation of Education and Training has
significantly increase teachers' understanding of inquiry-based science learning. This is
probably because during training, on two levels of inquiry with performed six levels of
different competencies that teachers undergo a process of continuous practice inquiry.
These findings are supported by previous studies that state that the competence of
teachers increased significantly after the training is done repeatedly, learning in the
cycle by sharing and discussions with the group to reach an agreement and
generalization, then use this generalization to new situations and start again with a new
cycle at higher levels (Simon, 1994; Hanuscin, 2013).
Design model apply the pattern in service learning and on the job learning allows
teachers have the opportunity to implement the results of training in a real learning
process in schools. Between in service learning and on the job learning there is a time
lag for the internalization. upon internalization occurs the rebuilding of the cognitive
competence of teachers in response to the presence of new learning gained from the
371
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
372
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
teaching skills of teachers in the level of discovery learning is positioned on the bottom
than the five other levels. In this case there probably a relationship between the
knowledge of the practice of preparing teachers with lesson plans and implement them.
At the advanced level training, improving teaching skills of the hypothetical
inquiry level is higher than the level of real world application. Higher increasing in the
competence of inquiry-based science teaching skills of the hypothetical inquiry level
due to the possibility of hypothetical inquiry level is the last level of the practice of
science teaching in schools so that teachers have received repeated experience of
learning from the previous level. Meanwhile, increasing of inquiry competency of the
discovery learning level is lower than the other levels. This is probably due to the
discovery learning level is the first level in the practice of science teaching so that
teachers still need time for adaptation. Improving the competence to teach science very
significant demonstrated by the teacher during on-the-job learning is likely due to the
fascilitator modeling have done repeatedly at the six level during in service learning, so
teachers get an Idea of how to teach science in accordance with the essence because
the modeling teachers learn how to teach, This is supported by other research that
modeling can improve the quality of science teachers in implementing the strategy of
inquiry learning in the classroom (Chinn & Hmelo-Silver, 2002; Smith & Enfield, 2002;
McBride et al., 2004), providing conceptualization of teaching which facilitates
appearance teachers in teaching (Fieman-Nemser, 1998; Lunenberg & Korthagen,
2003), later reinforced with Gulamhusen statement (2013) that the modeling has been
found as a very effective way to introduce new concepts and help teachers understand
new practices.
Other possibilities are the teacher have teaching practice in schools (Real
Teaching) at the basic level for in service learning and teaching practices in the
classroom Training (Peer Teaching) at the time in service learning for advanced level.
Teaching practice during training has provide a learning experience directly to teachers
as learners. This is in line with the results Wenning (2005) which states that the training
effective when teachers can act both as teachers and learners. Modeling is important in
creating change in depth view of the teaching and learning process (Segall, 2002).
Training which recommends ways to teach innovative but do not model it is apparent to
the teacher, then the changes in training it will not be a success (Russell, 1999, in
Bashan and Holsblat, 2012) because the teacher will bring a different message through
the pedagogic (Wood & Geddis, 1999).
373
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Judging from the acquisition of an average score on the discovery learning level
of competence in learning to draw conclusions is lowest among other competencies.
This is probably because there are no teachers invite students to make conclusions at
the end of the study due to lack of time. The teacher still needs to exercise more in
terms of set up time at the time of inquiry learning. The findings in this study are
supported by other studies that stated that teaching with inquiry takes much time. It is
necessary to the efficiency of time to conduct inquiry learning so as not to serve as a
barrier to the implementation of inquiry learning in school (Welch et al. 1981; Gengarely
& Abrams, 2009; Baseya & Francis, 2011).
Implementation of on the job learning in school has made teachers learn together
guided facilitator, either at the time of preparing the necessary media for learning and
teaching process itself because teachers who are not teaching present in the
classroom becomes an observer. Guidance given facilitators by means of discussion in
phase reflection during the process of learning together that might make the
competence of teachers increased significantly as confirmed by the results Ermeling
(2010) which states that the teaching of inquiry collaboratively, systematically, guided
by facilitators , using material that focus in inquiry, can see the causal emergence of
the problems found in the classroom teaching plan, the implementation of learning, and
student achievement.
During the on-the-job learning is also find that the teacher is able to evoke the
spirit and enthusiasm of students were high when following the inquiry-based science
learning. Almost 98% of students are actively involved in all activities, even though they
come from different intellectual backgrounds (intelligence level). High student
enthusiasm is also reflected in the questions some students in some classes, such as:
"Mom, what is the activities for tomorrow's? We have to bring anything from home?
"Students' high interest in participating in learning probably due to teachers teaching in
the form of varied activities such as exemplified in the activity guidelines and it is a new
activity for students. This is supported by the results of Wang et al. (2009) that inquiry
approach is still remains effective to classes with different initial knowledge. Reinforced
by several studies whose results stating that the inquiry learning has a positive effect
on student interest. Students show great interest in learning because of the novelty,
physical activity, and social engagement. (David, 2009; Opara, 2011).
Based on interviews at the end of basic level training and implementation phase
of reflection on the job learning for basic level training which is delivered in the initial
374
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
teacher training activity for advanced level, the teacher reveal an increase in
knowledge and competence in teaching science have pushed their confidence.
Teachers are motivated to develop a lesson plan that is more creative and innovative
ways to teach it. Results of this study are supported by the results of previous research
which states that the criteria for the success of the development program is to improve
the competence and increased motivation, interests, and confidence. (Lee, 2004;
Ostermeier, 2010; tRNA, Trnova, and SIBOR, 2012). Improved knowledge of inquiry as
a result of training effect on teacher beliefs inquiry-based science teaching in the
classroom (Saad & BouJaoude, 2012).
Implementation of the training which equips teachers with six pedagogical
competence level of inquiry is given in stages, the implementation in school has
managed to shift the locus of control between the roles of teachers and students in the
learning process. Teachers are able to position students more dominant when it is at a
higher level (hypothetical inquiry), while teachers act as facilitators.
Pedagogical competence of six level of inquiry ruled teachers, causing an
increase in intellectual perfection. For example, in practice, at the end of the activities
the teachers encourage the students to find a concept that is taught based on
experimental data and then explain it back scientifically. The acquisition of an average
score of competence to formulate the concept is not as high as competence to explain,
but the two differ significantly between early competence and the end. These research
findings in line with expectations, where the higher the competence of inquiry used by
teachers in learning science, the higher the intellectual level of the student. The results
are consistent with what has been done by Wenning (2010) concerning the use of a
sequence for teaching science inquiry learning. Wenning state that teaching by using a
sequence of learning spectrum, can enhance students 'understanding of concepts in
addition to developing students' understanding of scientific inquiry and the nature of
science. Wenning (2011) stated about the increased inquiry level of the teacher provide
a framework that helps ensure teaching that students thrive in terms of intellectual and
science process skills.
From the description above, it can be concluded that the inquiry level of junior
high school science teacher can be improved through education and training. Real
Incremental Inquiry Training Model with specific characteristics is the right model.
RIITM can be used to improve the pedagogycal inquiry competence, as reinforced by
Mao and Chang (1998), which suggests that the learning-oriented inquiry should be
375
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
used as the base vehicle to help learning science at the junior high school level.
Training of incremental inquiry proved to have a positive impact on the improvement of
pedagogical competence of teachers in the implementation of inquiry-based science
learning. Teachers’ competency in teaching science using various aspects of the
inquiry capability levels increased in both basic and advaced levels of education and
training. Ability to develop aspects of the inquiry at every level shows an increase, this
is proved by a significant difference between the initial score and the final score with a
large effect size. Implementation of the inquiry competency based on each stage in the
training makes learning more effective. Increase levels of competency for teachers’
inquiry will be useful for developing higher skills in order to improve the quality of
science education in junior high school. The findings of the research can be used as
empirical data to become an alternative contribution to the development of education
and training.
REFERENCES
Baseya, J.M. & Francis, C.D. (2011). Design of inquiry-oriented science labs: impacts
on students’ attitudes. Research in Science & Technological Education, 29 (3),
241-255.
Bashan, B., & Holsblat. R. (2012). Co-teaching Through Modeling Processes:
Professional Development of Students and Instructors in a Teacher Training.
Program Mentoring & Tutoring: Partnership in Learning, 20(2), 207–226.
Blanchard, M.R., Southerland, S.A., Osborne, J.W., Sampson, V.D., Annetta, L.A., &
Granger, E.M. (2010).Is inquiry possible in light of accountability?: A quantitative
comparison of the relative effectiveness of guided inquiry and verification
laboratory. Instruction Science Education, 94, 577 – 616.
Cacciatore, K.L. & Sevian, H. 2006. Teaching lab report writing through inquiry: A
green chemistry stoichiometry experiment for general chemistry. Journal of
Chemical Education. 83(7).
Chinn, C.A. & Hmelo-Silver, C.E. (2002). Authentic inquiry: Introduction to the special
section. Science Education, 86(2), 171–174.
Cohen, J. (1988). Statistical power analysis for the behavioral science (2nd ed).
Hillsdale, NJ: Lawrence Earlbaum Associations.
Crawford, B. A. (2000). Embracing the essence of inquiry: New roles for science
teachers. Journal of Research in Science Teaching, 37(9), 916–937.
376
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
David ,H. Palmer. (2009). Student interest generated during an inquiry skills lesson.
Journal of Research in Science Teaching, 46(2), 147-165.
Ermeling, B.A. (2010). Tracing the effects of teacher inquiry on classroom practice.
Teaching and Teacher Education. 26, 377–388
Fieman-Nemser, S. (1998). Teachers as teacher educators. European Journal of
Teacher Education, 21(4), hlm. 337–397.
Gall, D. M., & Borg, W. R. (1989). Educational research, an introduction. Boston: Allyn
and Bacon.
Gengarelly, L.M. & Abrams, E.D. (2009). Closing the gap: Inquiry in research and the
secondary science classroom. J Sci Educ Technol, 18, 74–84
Henze, I., Driel, J.H., & Verloop, N. (2009). Experienced science teachers' learning in
the context of educational innovation. Journal of Teacher Education, 31 (11).
Komba,W.L & Nkumbi,E. (2008). Teacher professional development in Tanzania:
perceptions and practice, CICE Hiroshima University, Journal of International
Cooperation in Educaion.
Lakshmanan, A. (2010). The impact of science content and professional learning
communities on science teaching efficacy and standards-based instruction.
Journal of Research in Science Teaching , 48(5), 534–551.
Lee, O. Hart, E.J, Cuevas, V. Enders, C. (2004). Professional development in inquiry-
based science for elementary teachers of diverse student groups. Journal of
Research in Science Teaching, 41(10), 1021–1043.
Loucks-Horsley, S., & Mundry. (2003). Designing professional development for
teachers of science and mathematics (2nd ed.). Thousand Oaks, CA, USA:
Corwin Press.
Lunenberg, M., & Korthagen, F. A. J. (2003). Teacher educators and student-directed
learning. Teaching and Teacher Education, 19(1), 29–44.
Mao, S.L. & Chang, C.Y. (1998). Impacts of an inquiry teaching method on earth
science students’ learning outcomes and attitudes at the secondary school
level. Proc. Natl. Sci. Counc. ROC(D, 8 (3), 93-101.
Maurer, M.K., Bukowski, M.R., Monachery, M.D., & Zatorsky,A.R. (2010). Inquiry-
based Arson Investigation for general chemistry using GC-MS. Journal of
Chemical Education. 87(3), 311 – 313.
377
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
McBride, J.W. Bhatti, I.M. Hannan, A.M. Feinberg, M. (2004). Using an inquiry
approach to teach science to secondary school science teachers. Journal of
Physics Education, 39 (5). Retrieved from http:// www.iop.org/journal/physed.
Ministry of National Education (2003). Competency standard for teacher. Jakarta.
Ministry of National Education (2005). Government of Regulation Nomor 19/ 2005
about National Education Standard. Jakarta: Indonesia.
National Research Council (1996). National Science Education Standards.
Washington: National Academy Press.
National Research Council. (2000). Inquiry and the National Science Education
Standards, a Guide for Teaching and Learning. Washington: National Academy
Press.
National Science Teacher Association (2003). Standard for Science Teacher
Preparation. America.
Wendt, G. (1962). 700 Science Experiments for Everyone, UNESCO Source Book for
Science Teaching.USA
Wenning, C.J. (2005) Implementing inquiry-based instruction in the science classroom:
A new model for solving the improvement-of-practice problem
378
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
379
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Jamila Lestyowati
Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan – Kementerian Keuangan
Jl Yogya Solo Km 11 Purwomartani Kalasan Sleman DIY, 55571
380
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pengujian tagihan merupakan salah satu rangkaian proses dari mekanisme
pencairan anggaran belanja negara. Mekanisme ini merupakan prosedur yang harus
dijalani dalam rangka memindahkan uang dari kas negara ke tangan yang berhak
menerimanya. Dalam mekanisme pencairan anggaran belanja negara ini, diperlukan
pihak yang terkait yaitu bendahara pengeluran, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). Produk yang dihasilkan
dalam proses ini adalah Surat Perintah Membayar (SPM). Melalui SPM uang negara
kemudian dicairkan dan masuk ke rekening penerima yang berhak atas tagihan
belanja negara, baik bendahara pengeluran maupun pihak ke tiga.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
merupakan salah satu aturan yang harus dipedomani dalam pelaksanaan
perbendaharaan negara.
Secara eksplisit ketentuan mengenai pengujian tagihan belanja negara ada di
pasal 16 PMK 190/PMK.05/2012. Pengujian tagihan ini dilakukan dengan cara menguji
dokumen dan bukti yang terkait dengan belanja. Dalam praktiknya peran pengujian
yang seharusnya dilakukan oleh PPSPM ternyata ada yang dilakukan oleh staf
keuangan sekaligus yang menerbitkan SPMnya melalui aplikasi SPM.
Kenyataan lain yang dijumpai adalah pengujian tagihan sebagian besar hanya
dilakukan melalui dokumen kertas dan tidak melihat bukti fisiknya. Terdapat berbagai
hambatan yang menyebabkan pengujian tagihan ini tidak dilaksanakan sebagaimana
yang seharusnya. Pekerjaan pengujian yang dilakukan oleh bawahan PPSPM ini
banyak terjadi sedangkan PPSPM tinggal menandatangani SPM tersebut. Bahkan
untuk injek PIN SPM juga dilakukan oleh orang lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui sejauh mana
peran pengujian tagihan belanja negara ini dilakukan oleh PPSPM dan bagaimana
mekanisme pengujian yang dilakukannya melalui paper ini dengan judul “Pengujian
Tagihan Atas Belanja Negara Sebagai Bagian Pengendalian Internal Satuan Kerja”.
b. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan referensi
adalah:
381
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
382
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
c. Urgensi Topik
Penelitian ini mengambil tema pengujian tagihan atas tagihan belanja negara.
Topik ini sangat urgen dan penting mengingat filter terakhir sebelum uang keluar dari
kas negara adalah mekaniseme pengujian tagihan ini. PPSPM memiliki perananan
besar untuk melakukan pengendalian internal karena kewenangan pengujian tagihan
dan pembebanan anggaran belanja satuan kerja terletak di pundaknya.
Jumlah anggran belanja semakin meingkat setiap tahun di APBN sehingga
membutuhkan akuntabilitas dalam tahapan pelaksanaan sebagai bentuk penggunaan
anggaran tersebut di setiap satuan kerja. Sementara pelaksanaan tugas pengujian
tagihan ini belum sepenuhnya dilaskanakan dengan baik. Penelitian ini mencoba
menjadi bagian dari pemecahan masalah yang terjadi dalam proses pengujian tagihan
tersbut.
d. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
a. Apakah latar belakang dilakukannya pengujian atas tagihan belanja negara?
b. Apa peran PPSPM dalam pengujian tagihan belanja negara?
c. Bagaimanakah mekaniseme pengujian yang dilakukan oleh PPSPM
d. Apa hambatan yang dihadapi PPSPM dalam melakukkan pengujian tagihan
belanja negara?
e. Bagaimana solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pengujian tagihan?
e. Tujuan Penelitian
Paper ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut:
a. Untuk memahami latar belakang dilakukannya pengujian atas tagihan belanja
negara
b. Untuk mengetahui peran PPSPM dalam pengujian tagihan belanja negara
383
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
f. Sistematika Penyajian
Paper ini terdiri dari lima bagian yaitu bagian pertama pendahuluan yang terdiri
dari beberapa subbagian yaitu latar belakang, penelitian terdahulu, urgensi topik,
rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penyajian.
Bagian kedua adalah Metodologi Penelitian yang berisi kerangka konseptual.
Bagian berikutnya adalah hasil, diskusi dan kesimpulan.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif
bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala
yang ada, mengindetifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi dan menentukan apa yang dilakukan
orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman
mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
Dengan demikian metode penelitian deskriptif ini digunakan untuk melukiskan
secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu, dalam
hal ini bidang secara aktual dan cermat. Metode deskriptif bukan saja menjabarkan
(analitis), akan tetapi juga memadukan. Bukan saja melakukan klasifikasi, tetapi juga
organisasi.
Sumber data berasal dari data primer yaitu hasil kuesioner, wawancara,
pengamatan yang dilakukan selama proses penelitian dengan lokasi data yaitu BDK
Yogyakarta dengan lokus responden tersebar di Indonesia. Selain itu juga dilakukan
penelitian kepustakaan dengan menggunakan literatur dan peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan topik ini.
Data diambil menggunakan metode kuesioner dan wawancara kepada pihak
terkait, yaitu Pejabat Penandatangan SPM, staf keuangan satker. Jumlah kuesioner
sebanyak 25 orang dengan teknik purposive sampling. Penentuan sampel digunakan
teknik teknik sampling purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
384
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kerangka Konseptual
Tahapan pelaksanaan anggaran merupakan tahapan yang krusial dari
rangkaian siklus anggaran. Tahap inilah yang sering disorot publik karena di tahap ini
terlihat jelas kegiatan pemerintahan itu diselenggarakan. Pemerintahan yang reformatif
menjadi tumpuan pelaksanaan tahapan ini berjalan dngan baik. Menurut David Osborn
dan Ted Geble, salah satu prinsip program Reinventing Government Management
(REGOM) adalah pemerintahan yang berorientasi hasil yaitu mendanai hasil bukan
masukan (Sinambela, 2014).
Jika kepemerintahan sudah baik maka langkah berikutnya adalah melakukan
manajemen yang baik pula. Salah satu unsur manajemen adalah pengendalian.
Berikut adalah gambar manajemen dihubngakan dengan pencapaiantujuan
organiasasi.
Gambar 1. Pengendalian sebagai hubungannya dengan organisasi
Proses Manajemen
Anggaran
Dalam perspektif manajemen, anggaran bukan sesuatu yang tercipta dalam
lingkungan yang hampa, tetapi merupakan komponen integral dari perencanaan
anggaran sistem pengontrolan (budgetary planning and control system). Suatu sistem
perencanaan dan pengontrolan secara esensial adalah sebuah sistem untuk menjamin
bahwa terciptanya komunikasi, koordinasi dan pengontrolan dalam organisasi sektor
publik.(Harun, 2009)
385
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pengendalian (Controlling)
Sumarsan (2013) menyebutkan pengendalian didefinisikan sebagai hubungan
antara prosedur dan sistem yang berkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan.
Pengendalian akuntansi meliputi:
1. Penyusunan anggaran dan perencanaan berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan dan sebagai alat untuk mengukur kinerja perusahaan
2. Pelaksanaan rencana
3. Pemantauan kinerja
4. Mengevaluasi kinerja aktual terhadap rencana
5. Memperbaiki pengendalian terhadap hal yang terjadi diluar situasi
Pengujian Tagihan
PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk
melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah
pembayaran. Perintah pembayaran tersebut diwujudkan dalam dokumen Surat
386
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Perintah Membayar (SPM) yaitu dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk
mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Sebagai salah satu pejabat perbendaharan yang harus ada di satuan kerja,
peran ini dilaksanakan oleh Kasubag Umum satuan kerja. Ketika akan menerbitkan
SPM, PPSPM melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mencatat pagu, realisasi belanja, sisa pagu, dana UP/TUP, dan sisa dana
UP/TUP pada kartu pengawasan DIPA;
b. menandatangani SPM; dan
c. memasukkan Personal Identification Number (PIN) PPSPM sebagai tanda
tangan elektronik pada ADK SPM.
Sebelum menerbitkan SPM, PPSPM harus melakukan pengujian terlebih dahulu.
Pengujian terhadap SPP beserta dokumen pendukung yang
dilakukan oleh PPSPM meliputi:
a. kelengkapan dokumen pendukung SPP;
b. kesesuaian penanda tangan SPP dengan spesimen tanda tangan PPK;
c. kebenaran pengisian format SPP;
d. kesesuaian kode BAS pada SPP dengan DIPA/POK/Rencana Kerja Anggaran
Satker;
387
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
e. ketersediaan pagu sesuai BAS pada SPP dengan DIPA/ POK/ Rencana Kerja
Anggaran Satker;
f. kebenaran formal dokumen/surat keputusan yang menjadi
persyaratan/kelengkapan pembayaran belanja pegawai;
g. kebenaran formal dokumen/surat bukti yang menjadi persyaratan/kelengkapan
sehubungan dengan pengadaan barang/jasa;
h. kebenaran pihak yang berhak menerima pembayaran pada SPP sehubungan
dengan perjanjian/kontrak/surat keputusan;
i. kebenaran perhitungan tagihan serta kewajiban di bidang perpajakan dari pihak
yang mempunyai hak tagih;
j. kepastian telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak
yang mempunyai hak tagih kepada negara; dan
k. kesesuaian prestasi pekerjaan dengan ketentuan pembayaran dalam
perjanjian/kontrak.
Salah satu butir pengujian diatas adalah pengujian kode Bagan Akun Standar
(BAS). Hal ini termasuk menguji kesesuaian antara pembebanan kode mata anggaran
pengeluaran (akun 6 digit) dengan uraiannya. Mekanisme pencairan anggaran belanja
negara dilakukan melalui dua mekanisme yaitu mekanisme Uang Persediaan (UP) dan
mekanisme Langsung (LS). UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang
diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional
sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak
mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung. Sedangkan
Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara
Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat
tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan SPM LS. Dua mekanisme ini
membawa implikasi perbedaan dokumen yang harus dilampirkan ketika mengajukan
permintaan pembayaran kepada PPSPM.
HASIL
Responden dalam penelitian ini adalah peserta diklat Penguji Tagihan (DTSS)
di Balai Diklat Keuangan Yogyakarta. Data responden lebih jelasnya ditampilkan pada
Tabel 1 berikut ini.
388
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tabel 1
Data Responden
No Karakteristik Jumlah
No Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Score rata-rata 4.4 4.72 3.24 3.52 4.52 4.6 4.08 3.92 4.32 4.12
No Pertanyaan 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Score rata-rata 4.24 4.32 4.4 4.28 4.08 3.96 4 3.84 4.52 4.44
Sumber: Data Primer, 2015
389
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DISKUSI
Berdasarkan tabel 2 disampaikan hal-hal sebagai berikut:
a. item 1 : berhubungan dengan pemahaman bahwa PPSPM melaksanakan
pengujian berdasarkan pelimpahan kewenangan KPA. Hampir semua peserta
menyadari bahwa pelaksanaan tugas mereka karena ada pelimpahan sebagian
kewenangan KPA kepada PPSPM (score 80). Bahkan salah satu hasil
wawancara menunjukkan bahwa ketika responden sedang dalam perjalanan
dinas keluar kantor responden ingin mengembalikan kewenangan yang
dilimpahkan itu kembali kepada KPA
b. item 2: berhubungan dengan koordinasi dan komunikasi dengan pejabat
perbendaharaan lainnya yaitu PPK dan bendahara pengeluaran. Responden
sebagain besar (score 90) menyadari perlunya melakukan komunikasi secara
intens dengan koleganya di kantor agar dapat melaksanakan pencaairan
anggaran dengan baik.
c. Item 3: berhubungan dengan siapa yang melaksanakan pekerjaan pengujian di
kantor. Jawaban responden bervariasi. Hasil wawancara mengemukakan
bahwa PPSPM sering menyerahkan pekerjaan pengujian kepada bawahannya
dan memastikan semua dokumen lengkap, sehingga PPSPM tinggal tanda
tangan di dokumen SPM. Bahkan untuk aplikasi SPM sendri juga dikerjakan
oleh pihak lain.
d. Item 4 : berhubungan dengan kepemilikan atas staf PPSPM. Jawaban
responden juga bervariansi. Ada yang tidak memiliki staf di kantornya
sehingga mereka sendiri yang melasanakan pekerjaan itu, ada yang memiliki
secara terstruktur dan ada yang tidak memliki staf sehingga pekerjaan
pengujian ditumpangkan kepada pihak lain.
e. Item 5: berhubungan dengan pemahaman akan beratnya tanggung jawab
sebagai PPSPM sebagai filter terakhir pengeluaran negara. Sebagian besar
respnden menyadari bahwa mereka memiliki kewenangan sekaligus tanggung
jawab yang besar dalam mekanisme pancairan anggaran belanja negara
f. Item 6: berhubungan dengan tanggung jawab PPSPM secara hukum. Walupun
sebagain besar sependapat bahwa tanggung jawab PPSPM secara hukum
hanya secara formula namun ada juga yang memberikan pandangan
sebaliknya dengan score 2 dan 6
390
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
391
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
PPSPM, namun ada beberapa responden yang merasa kurang atau tidak layak
menjadi PPSPM.
r. Item 19: berhubungan tekad dan komitmen untuk bekerja dengan baik dalam
melakukan pengujian dan pembebanan tagihan. Jawaban responden
menunjukkan bahwa ada kemauan untuk bekerja dengan baik, muncul
komitmen untuk melakukan pengujian tagihan sesuai dengan aturan.
s. Item 20: berhubungan dengan kesadaran bahwa PPSPM merupakan bagian
dari perubahan besar ke arah Indonesia yang lebih baik. Respon sebagian
besar menjawab memahami peranan PPSPM sangat besar, walaupun ada
satu orang yang masih belum memahami bahwa peranan PPSPM ini juga
menentukan bagaimana Indoneisa lebih baik di masa depan.
KESIMPULAN
Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan berdasarkan uji coba dan
merujuk pada permasalahan penelitian ini sebagai berikut:
1. Pengujian tagihan merupakan salah satu tahapan dalam proses pencairan
anggaran belanja negara. Dengan jumlah anggaran satuan kerja yang besar
menjadikan tahapan pelaksanaan harus dilaksanakan secara akuntabilitas
dengan menerapkan prinsip-prinsip pengendalaian internal yang baik.
Pengujian merupakan salah satu bentuk pengendalian internal agar pencairan
anggaran belanja baik melalui UP maupun LS tepat sasaran, dilaksanakan
secara efisien dan efeketif.
2. PPSPM berperan besar dalam pengujian tagihan belanja negara ini. PPSPM
adalah filter terakhir sebelum uang negara keluar dari rekening kas negara
beralih ke rekning yang berhak menerima baik itu bendahara pengeluaran
maupun pihak ketiga.
3. Pengujian tagihan belanja dilakukan dengan cara menguji dokumen dan sema
kelengkapan yang diperlukan untuk pembayaran. Setiap jenis mekanisme
pembayaran memiliki dokumen dan bukti-bukti yang berbeda. Pengujian
dilakukan dengan aspek wetmatighheid, rechmatigheid dan doelmatigheid.
4. Dalam melaksanakan tugasnya, PPSPM menghadpai hambatan antara lain
keterbatasan kewenangan yang dimiliki PPSPM sebatas bentuk formal yaitu
melihat dokumen saja. Walaupun memang kewenangan materiil lebih banyak
ada pada PPK, namun PPSPM juga diajak berkoordinasi karena hal ini terkait
392
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Buku
393
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sinambela, Lijan Poltak. (2014). Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Jurnal
Dico (2014), Analisis Pengelolaan dan Pelaporan Keuangan pada Satuan Kerja
Bidang Keuangan Polda Sulawesi Utara. Jurnal EMBA Vol.2 No.2 Juni 2014, Hal.
1130-1140 ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/.../4516 diunduh 15 Maret
2016
394
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Eki Mahipal
Khamami Herusantoso
Abstract: Regional Incentive Fund (DID) is allocated to a particular area by considering the
specific criteria for the implementation of educational functions. In 2015 the allocation looks
uneven. 7 provinces and 61 regencies/cities get only minimum allocation. This raises the
question of which variables determine the allocation of Regional Incentive Fund. With the
current technology, the problems can be solved by using the Knowledge Discovery from
Data (KDD) or data mining. Data mining is the process of discovering patterns in large data
sets. The process of data mining with classification method and decision tree produced 9
models that will be evaluated to get the best model. The selected classification model can
explain the classification of the DID receiving area based on attributes of the area.
Pendahuluan
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dalam desentralisasi, di
mana daerah otonom diberikan kewenangan untuk menggali potensi sumber-sumber
pendapatan daerah, yaitu melalui pajak/retribusi, yang disebut Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Namun, sumber pendapatan tersebut sangat terbatas dan tidak mencukupi dalam
memenuhi kebutuhan daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat memberikan dukungan
pendanaan lain kepada pemerintah daerah yang disebut transfer ke daerah dalam bentuk
Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian. Dana Perimbangan
bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
395
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Dana Otonomi Khusus merupakan dana yang
dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, dan Dana
Penyesuaian merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu daerah dalam rangka
melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan peraturan perundangan.
Salah satu cara untuk menemukan pola-pola tersembunyi dalam suatu data yang
berjumlah besar adalah dengan menggunakan data mining. Penggunaan data mining telah
banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan. Chopoorian et al. dalam Liu dan Chen
(2009) menyatakan bahwa dengan menggunakan data mining
396
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
perusahaan dapat memahami pelanggannya dengan lebih baik. Salah satu teknik dalam
data mining adalah klasifikasi. Menurut Fu (1997), klasifikasi dalam data mining adalah
turunan dari suatu fungsi atau model yang menggambarkan kelas dari suatu objek
berdasarkan atributnya. Algoritma yang digunakan dalam penelitian ini adalah decision tree.
Alasan penggunaan metode ini adalah karena selain pembangunan model yang relatif
cepat, hasil dari model yang dibangun pun mudah untuk dipahami. Dengan menerapkan
teknik klasifikasi dan metode decision tree pada data alokasi Dana Insentif Daerah,
diharapkan nantinya dapat digunakan untuk mengklasifikasikan daerah penerima DID
berdasarkan atribut yang dimiliki daerah tersebut.
Metode
Data mining dapat disamakan dengan Knowledge Discovery in Databases (KDD) atau
dapat juga dikatakan sebagai salah satu langkah penting dalam menemukan pengetahuan
di dalam databases. Secara umum, proses KDD terdiri dari langkah-langkah berikut (Han et
al. 2012):
a. Pembersihan data (data cleaning), yaitu menghilangkan noise atau data yang tidak
relevan.
b. Integrasi data (data integration), yaitu menggabungkan beberapa sumber data.
c. Pemilihan data (data selection), yaitu pemilihan data relevan yang didapat dari
database.
d. Transformasi data (data transformation), yaitu melakukan transformasi dan konsolidasi
pada data ke dalam bentuk yang sesuai untuk dilakukan penggalian.
e. Data mining, yaitu proses untuk mendapatkan pola tertentu dengan melakukan metode
tertentu.
f. Evaluasi pola (pattern evaluation), yaitu proses identifikasi pola yang menarik yang
merepresentasikan suatu informasi atau pengetahuan.
g. Knowledge presentation, yaitu penggunaan teknik tertentu untuk merepresentasikan
suatu pengetahuan yang telah digali kepada pengguna.
Menurut Han et al. (2012), klasifikasi adalah proses menemukan sebuah model (atau
fungsi) yang menjelaskan dan membedakan kelas-kelas atau konsep-konsep tertentu. Hal
ini sejalan dengan Fu (1997), yang menyatakan klasifikasi dalam data mining adalah
turunan dari suatu fungsi atau model yang menggambarkan kelas dari suatu objek
berdasarkan atributnya. Atribut adalah field data yang menggambarkan karakteristik atau
fitur dalam suatu objek data (Han et al. 2012). Fungsi atau model klasifikasi dibangun
dengan menganalisis hubungan antara atribut dan kelas objek
397
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dalam set pelatihan (training set). Fungsi atau model klasifikasi seperti ini dapat
digunakan untuk memprediksi kelas dari objek-objek yang belum diketahui kelasnya.
Menurut Gorunescu (2011), komponen dasar dari proses klasifikasi terdiri dari empat
komponen, yaitu kelas (class), prediktor (predictors), set data pelatihan (training dataset),
dan set data pengujian (testing dataset).
a. Kelas (class).
Kelas merupakan variabel dependen dalam model yang berupa variabel kategorikal yang
merepresentasikan ‘label’ yang diberikan pada objek setelah dilakukan klasifikasi.
Contohnya adalah kelas loyalitas pelanggan, kelas bintang-bintang dalam galaksi, kelas
kondisi keuangan perusahaan, kelas gempa bumi, dan sebagainya.
b. Prediktor (predictors).
Set data pelatihan adalah sekumpulan data yang berisi nilai-nilai dari komponen kelas
dan prediktor, dan digunakan untuk ‘melatih’ model untuk mengenali kelas yang sesuai
berdasarkan prediktor yang tersedia. Contoh set data pelatihan antara lain sekelompok
pasien yang telah diuji pada serangan jantung, sekelompok pelanggan supermarket yang
telah disurvey sebelumnya, dan sebagainya.
Set data pengujian adalah sekumpulan data baru yang akan diklasifikasikan dengan
model yang telah dibangun (klasifikator), sehingga akurasi model klasifikasi ini (performa
model) dapat dievaluasi.
Kerangka kerja proses klasifikasi yang ditunjukkan pada Gambar 1 terdiri dua langkah,
yaitu induksi dan deduksi. Induksi merupakan langkah untuk membangun model klasifikasi
dari data latih yang diberikan, yang disebut juga dengan proses pelatihan, sedangkan
deduksi merupakan langkah untuk menerapkan model pada data uji, sehingga dapat
diketahui kelas dari data uji yang sesungguhnya, yang dapat disebut juga dengan proses
prediksi. (Prasetyo 2014).
398
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pembangunan
Model
Input dari proses KDD ini adalah file Nominasi Daerah Penerima DID 2015.xls, file Data
BPS KEK DID.xls, dan KFD untuk DID 2015 yang berisi data-data yang diperlukan dalam
proses data mining. Data yang digunakan merupakan penggabungan dari beberapa
worksheet yang terdapat pada file input dan yang dijadikan dasar untuk proses KDD adalah
“Worksheet” yang terdapat pada file Nominasi Daerah Penerima DID 2015.xls.
Data mining dilakukan dengan menggunakan tahapan Knowledge Discovey from Data
(KDD). Tahapan tersebut terdiri dari data cleaning, data integration, data selection, data
transformation, data mining, pattern evaluation, dan knowledge presentation.
1. Data cleaning.
Atribut Opini atas LKPD 2012-2013 yang berisi sub atribut Tetap WTP, WDP ke WTP,
Belum Susun/ TMP ke WTP, Tetap WDP, Adverse ke WDP, Belum Susun ke WDP, dan
Disclaimer ke WDP dihapus karena akan dijadikan label dalam atribut Opini. Atribut Resume
Perda, Resume Opini, Resume PAD, Reduction Shortfall IPM, Jumlah LKPD tepat waktu,
Filter Elig, KKD, KK Pendidikan, KEK, Skor Final, Skor Daerah yang Eligible, dan Skor
daerah yang lulus Passing Grade, dihapus karena merupakan perhitungan skor, sedangkan
yang ingin diketahui adalah atribut sumber sebelum dilakukan perhitungan skor.
2. Data integration.
Data diambil dari worksheet Opini BPK 2011, Perda APBD Tepat Waktu DID, Tgl
Laporan, PAD, IPM shortfall, KEK, Oprekan APK, dan Alokasi DID pada file Nominasi
Daerah Penerima DID 2015.xls, worksheet Pengangguran, Kertas Kerja Kemiskinan, dan
Laju PDRB ADHK TM pada file Data BPS KEK DID.xls diambil, serta worksheet Provinsi
dan Kabkot pada file KFD untuk DID 2015.xls.
399
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
3. Data selection.
Data selection merupakan pemilihan data yang akan dijadikan atribut dalam menentukan
klasifikasi daerah penerima DID. Jumlah data yang akan digunakan adalah 456 data, dan
jumlah atribut yang akan digunakan dalam proses data mining adalah 44 atribut, yang terdiri
Dari worksheet Opini BPK 2011, atribut prediktor yang digunakan adalah OP1, OP2, dan
OP3. Atribut tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Atribut Opini BPK atas LKPD
Atribut Keterangan Nilai
WTP
Opini BPK atas LKPD WDP
OP1
Tahun ke-t TMP
TW
Opini BPK atas LKPD
OP2
Tahun ke-(t-1)
Opini BPK atas LKPD
OP3
Tahun ke-(t-2)
Atribut yang digunakan dari worksheet Perda APBD Tepat Waktu DID dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Perda APBD Tepat Waktu
Atribut Keterangan Nilai
PER1 Penetapan Perda Y: Ya
APBD tahun ke-t tepat N: Tidak
waktu
PER2 Penetapan Perda
APBD tahun ke-(t-1)
tepat waktu
PER3 Penetapan Perda
APBD tahun ke-(t-2)
tepat waktu
Atribut yang digunakan dari worksheet Tgl Laporan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Atribut Penyampaian LKPD Tepat Waktu
Atribut Keterangan Nilai
LK1 Penyampaian LKPD Y: Ya
tahun ke-t tepat waktu N: Tidak
LK2 Penyampaian LKPD
tahun ke-(t-1) tepat
waktu
LK3 Penyampaian LKPD
tahun ke-(t-2) tepat
waktu
Atribut yang digunakan dari worksheet PAD dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Atribut PAD
Atribut Keterangan Nilai
PAD1 PAD periode ke-(t-1) Y: Ya
meningkat di atas rata- N: Tidak
rata nasional
400
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
401
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
nasional, dan
pertumbuhan PDRB
tahun t >
pertumbuhan PDRB
tahun ke-(t-1)
PDRB4 Pertumbuhan PDRB Numerik
tahun ke-(t-1)
PDRB5 Pertumbuhan PDRB Numerik
tahun ke-t
Atribut yang digunakan dari worksheet Kertas Kerja Kemiskinan dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8 Atribut Tingkat Kemiskinan
Atribut Keterangan Nilai
TM1 Pengurangan tingkat Numerik
kemiskinan periode ke-
(t-1)
TM2 Pengurangan tingkat Numerik
kemiskinan periode ke-t
TM3 Pengurangan tingkat Y: Ya
kemiskinan periode ke-t N: Tidak
> rata-rata nasional
TM4 Pengurangan tingkat
kemiskinan periode t
dan periode ke-(t-1) >
rata-rata nasional, dan
pengurangan tingkat
kemiskinan periode ke-
(t-1) > periode t
TM5 Pengurangan tingkat
kemiskinan periode ke-t
dan periode ke-(t-1) >
rata-rata nasional, dan
pengurangan tingkat
kemiskinan ke-t di atas
periode ke-(t-1)
Atribut yang digunakan dari worksheet Pengangguran dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Atribut Tingkat Pengangguran
Atribut Keterangan Nilai
TPT1 TPT tahun ke-t Numerik
TPT2 TPT tahun ke-(t-1) Numerik
TPT3 TPT tahun ke-(t-2) Numerik
TPT4 Pengurangan TPT Y: Ya
periode ke-t > rata-rata N: Tidak
nasional
TPT5 Pengurangan TPT
periode ke-t dan periode
ke-(t-1) > rata-rata
nasional, serta
pengurangan TPT
periode ke-(t-1) >
pengurangan TPT
periode ke-t
TPT6 Pengurangan TPT
periode ke-t dan periode
ke-(t-1) > rata-rata
402
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
nasional, serta
pengurangan TPT
periode ke-t >
pengurangan TPT
periode ke-(t-1)
Atribut yang digunakan dari worksheet Provinsi dan Kabkot dapat dilihat pada Tabel 10.
Atribut kelas yang digunakan adalah Alokasi DID. Atribut ini merepresentasikan ‘label’
yang diberikan pada objek setelah dilakukan klasifikasi. Dalam penelitian ini, label kelas
didasarkan pada alokasi yang diterima oleh pemerintah daerah. Hal ini sesuai tujuan
penelitian yang ingin melihat bagaimana klasifikasi daerah penerima DID sehingga
mendapatkan alokasi yang berbeda. Atribut Alokasi DID memiliki nilai 0-26.162.830.000
yang merupakan rupiah alokasi DID yang diterima oleh daerah. Karena masih berupa
angka, maka nilai harus diubah terlebih dahulu menjadi label agar dapat terlihat pola dari
hasil klasifikasi yang akan dilakukan. Nilai dibagi menjadi 5 kelas yang didasarkan pada
hasil perhitungan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Label kelas yang
digunakan adalah sebagai berikut:
• P2, berisi daerah yang mendapatkan alokasi minimum ditambah alokasi berdasarkan
kriteria kinerja. Untuk provinsi yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp20,87 miliar
ditambah dengan alokasi minimum sebesar Rp2-3 miliar. Untuk kabupaten/kota yaitu
yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp17,63 miliar ditambah dengan alokasi minimum
sebesar Rp2-3 miliar.
• P1, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi berdasarkan kriteria kinerja. Untuk
provinsi yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp20,87 miliar dan untuk
kabupaten/kota yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp17,63-22,37 miliar, dan
tidak memenuhi kriteria untuk mendapatkan alokasi minimum.
403
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
• AM2, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi minimum senilai Rp3 miliar.
• AM1, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi minimum senilai Rp2 miliar.
• NA, berisi daerah yang tidak mendapatkan alokasi.
4. Data transformation.
Pada tahap ini data yang telah dibentuk akan diubah ke format yang sesuai dengan
software yang digunakan. File Dataset_DID yang akan digunakan dalam proses data mining
masih dalam bentuk .xls. Pada aplikasi Weka format yang dapat digunakan antara lain
format .csv dan .arff. Untuk itu, file tersebut terlebih dahulu akan diubah ke dalam format
.csv.
5. Data mining.
Proses data mining dalam penelitian ini menggunakan teknik klasifikasi. Teknik klasifikasi
dilakukan dengan metode decision tree C4.5 dan mode pengujian 10 fold cross-validation
untuk mendapatkan beberapa model dengan mengatur paramater-parameter tertentu
hingga diperoleh model yang terbaik yang akan dijadikan pengetahuan. Aplikasi yang
digunakan dalam proses data mining adalah Weka 3.6.11 dan data yang digunakan adalah
Dataset_DID.csv. Teknik klasifikasi dengan metode decision tree C4.5 yang pada aplikasi
Weka disebut dengan J48.
Sebuah model yang dihasilkan dengan penggunaan metode decision tree biasanya
memiliki akurasi yang tinggi namun diiringi dengan output model yang rumit, sehingga untuk
memahami pola yang dihasilkan diperlukan penjelasan yang cukup panjang. Untuk
menghasilkan model yang lebih sederhana, dapat digunakan fitur pruning, yaitu fitur untuk
merampingkan model yang dihasilkan sehingga output lebih mudah dipahami.
Oleh karena itu, pembentukan model klasifikasi daerah penerima DID dibagi menjadi
menjadi dua bagian, yaitu model yang tidak menggunakan fitur pruning atau disebut dengan
unpruned dan model dengan menggunakan fitur pruning.
Model dibuat tanpa menggunakan fitur pruning. Artinya tidak ada perampingan model
yang dihasilkan. Untuk menghasilkan model, parameter unpruned pada J48 diset ke pilihan
TRUE dan parameter lain diset pada default. Parameter yang digunakan untuk
menghasilkan model D1 dapat dilihat pada Tabel 11.
404
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Model D1 memiliki jumlah daun 34 dan jumlah pohon 62. Jumlah ini masih terbilang
banyak untuk ukuran data yang digunakan.
Untuk mengurangi ukuran daun dan pohon yang terbentuk, selanjutnya digunakan fitur
pruning. Pruning terdiri atas dua bagian, yaitu pre pruning dan post pruning.
1) Pre pruning.
Pre pruning merupakan fitur pruning dengan cara membatasi jumlah minimum instance
pada setiap daun. Jika suatu daun memiliki instance kurang dari jumlah minimum yang
ditetapkan, maka daun tersebut akan dipangkas sehingga menghasilkan pohon keputusan
yang lebih sederhana.
Pada Weka, membuat model dengan fitur pre pruning dilakukan dengan cara mengubah
parameter unpruned menjadi FALSE, artinya model dibuat dengan fitur pruning. Parameter
berikutnya yang diubah adalah Confidence Factor menjadi mendekati angka 1, yaitu menjadi
0,95. Confidence Factor merupakan parameter yang digunakan dalam fitur post pruning
yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
Parameter lain yang diubah dalam pre pruning adalah minNumObj. Parameter
minNumObj merupakan parameter yang berfungsi untuk menentukan jumlah minimum
instance pada setiap daun. Parameter minNumObj dijadikan dasar dalam pembentukan
model D2, D3, D4, dan D5. Model D2, D3, D4, dan D5 secara berurutan menggunakan
minNumObj sebesar 2, 5, 10, dan 15.
Model yang dibuat dengan menggunakan fitur pre pruning menghasilkan pohon
keputusan dengan jumlah daun dan ukuran pohon yang lebih kecil daripada Model D1.
Model D2 dengan minNumObj sebesar 2 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah
daun 33 dan ukuran pohon 60. Model D3 dengan minNumObj 5 menghasilkan pohon
405
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
keputusan dengan jumlah daun 22 dan ukuran pohon 39. Model D4 dengan minNumObj 10
menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 15 dan ukuran pohon 27. Model D5
dengan minNumObj 15 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 9 dan ukuran
pohon 15. Perbandingan model yang dihasilkan dengan fitur pre pruning dapat dilihat pada
Tabel 12.
Parameter D2 D3 D4 D5
2) Post pruning.
Post pruning merupakan fitur untuk menyederhanakan pohon keputusan yang dibuat
dengan cara mengatur parameter Confidence Factor. Skala yang dapat digunakan dalam
parameter ini adalah 0,1 - 1, di mana semakin mendekati 0 maka proses pruning yang
dilakukan semakin banyak dan model pohon keputusan yang dihasilkan semakin
sederhana.
Pada Weka parameter Confidence Factor secara default bernilai 0,25. Untuk pembuatan
model D6, D7, D8, D9 nilai Confidence Factor secara berurutan adalah 0,75, 0,5, 0,25, dan
0,1. Parameter lain yang akan diatur adalah minNumObj sebesar 5 dan numFold sebesar
10. Selain parameter yang telah diatur, nilainya disamakan dengan parameter pada saat
menggunakan fitur pre pruning.
406
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Parameter D6 D7 D8 D9
confidenceFactor 0,75 0,5 0,25 0,1
MinNumObj 5 5 5 5
numFolds 10 10 10 10
Num of Leaves 22 20 20 13
Size of Tree 39 35 35 23
6. Pattern evaluation.
Setelah membuat beberapa model melalui proses data mining dengan menggunakan
teknik klasifikasi dan metode J48, tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi atas kinerja
model-model tersebut dan kemudian melakukan pemilihan model terbaik yang akan
dijadikan pengetahuan. Tahap ini disebut dengan pattern evaluation. Dalam mengevaluasi
kinerja model yang dihasilkan dengan penggunaan teknik klasifikasi dan metode J48, hal-hal
yang dijadikan perhatian antara lain ukuran pohon keputusan yang dihasilkan, nilai Kappa
Statistic, akurasi model, dan kinerja lain yang dilihat dengan Confusion Matrix.
Akurasi dari model yang dihasilkan dapat dilihat dengan Confusion Matrix. Confusion
Matrix menunjukkan jumlah instance yang dapat diprediksi dengan benar oleh model.
Akurasi pada Weka ditunjukkan dengan Correctly Classified Instance. Correctly Classified
Instance merupakan persentase dari jumlah prediksi yang dengan tepat diklasifikasikan ke
dalam kelas yang benar dibagi jumlah prediksi yang dilakukan. Selain akurasi, Confusion
Matrix juga menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas, yang dapat dilihat pada nilai True
Positive (TP) Rate dan False Positive (FP) Rate, serta Precision, Recall, dan ROC Area.
Dari sisi ukuran pohon, Model D1 merupakan model yang menghasilkan pohon
keputusan yang paling besar dengan jumlah daun sebesar 34 dan ukuran pohon 62. Hal ini
disebabkan Model D1 dibentuk tanpa menggunakan fitur pruning. Model D2, D3, D4, dan D5
menggunakan fitur pre pruning yang dilakukan dengan mengatur nilai parameter
407
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
minNumObj. Semakin tinggi nilai minNumObj, maka semakin banyak proses pruning yang
dilakukan dan pohon keputusan yang dihasilkan menjadi semakin kecil. Model D6, D7, D8,
dan D9 menggunakan fitur post pruning yang dilakukan dengan mengatur parameter
confidenceFactor. Semakin kecil nilai confidenceFactor, maka proses pruning yang
dilakukan semakin banyak dan pohon keputusan yang dihasilkan menjadi semakin kecil.
Ukuran pohon keputusan yang terkecil dihasilkan oleh Model D5 dengan jumlah daun
sebesar 9 dan ukuran pohon 15.
Dari sisi akurasi, semua model yang dibentuk memiliki nilai yang sangat tinggi baik yang
tanpa menggunakan fitur pruning, maupun yang menggunakan fitur pruning. Akurasi model
ditunjukkan oleh nilai Correctly Classified Instances. Nilai Correctly Calssified Instances
merupakan jumlah data yang diklasifikasikan oleh model secara benar dibagi dengan jumlah
data secara keseluruhan. Model yang memiliki akurasi paling rendah adalah Model D1, D2,
dan D4, yaitu 89,0351%, sedangkan yang paling tinggi adalah Model D9, yaitu sebesar
90,7895%.
Tabel 14 menunjukkan perbandingan pohon keputusan dan akurasi dari setiap model
yang dibentuk. Model yang dibentuk dengan menggunakan fitur pre pruning menghasilkan
jumlah daun dan ukuran pohon yang lebih kecil dari model yang lain. Sedangkan model
yang dibentuk dengan fitur post pruning memiliki akurasi yang lebih tinggi.
Pemilihan model yang akan digunakan untuk klasifikasi ditentukan dengan pohon
keputusan yang tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar. Pohon yang terlalu besar
menjadikan model sulit untuk dipahami. Pohon yang terlalu kecil menyebabkan kurangnya
pengetahuan yang didapat dari model. Selain itu, model yang akan dipilih juga harus
memiliki tingkat akurasi yang baik. Setelah dilakukan evaluasi, terdapat 4 (empat) buah
model yang memiliki pohon keputusan dengan jumlah daun dan ukuran pohon yang kecil,
yaitu Model D4, D5, D7, D8 dan D9.
408
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Karena hanya satu model yang akan dipilih, Model D4, D5, D7, D8 dan D9 akan
dibandingkan dengan menggunakan nilai Kappa statistic dan ROC Area. Model D4 dan D5
masing-masing memiliki nilai Kappa statistic 0,7608 dan 0,7895, dan nilai ROC Area
masing-masing sebesar 0,944 dan 0,952. Model D9 memiliki nilai Kappa statistic yang
paling tinggi, yaitu sebesar 0,7986, namun memiliki nilai ROC Area yang lebih rendah
daripada model lainnya, yaitu sebesar 0,947. Model D8 memiliki Kappa statistic yang lebih
tinggi dari model lainnya, namun masih lebih rendah dibandingkan Model D9, yaitu sebesar
0,7971, sedangkan Model D8 memiliki nilai ROC Area yang paling tinggi di antara model-
model lainnya, yaitu sebesar 0,963. Perbandingan dapat dilihat pada Tabel 15.
Oleh karena itu, model yang dipilih untuk klasifikasi adalah Model D8. Model D8 memiliki
pohon yang tidak besar dan juga tidak terlalu kecil, yaitu memiliki jumlah daun sebesar 20
dan ukuran pohon sebesar 35. Selain itu, akurasi yang dimiliki Model D8 bernilai tinggi yaitu
sebesar 90,5702% dan memiliki ROC Area yang paling tinggi, yaitu sebesar 0,963.
7. Knowledge presentation.
Tahap akhir dalam proses data mining adalah knowledge presentation. Tahap ini
bertujuan untuk visualisasi dan mempresentasikan pengetahuan dari model yang dihasilkan
dari proses data mining. Model yang dipilih adalah Model D8. Model D8 menghasilkan
pohon keputusan dengan jumlah daun sebesar 20 dan ukuran pohon 35. Dari pohon
keputusan Model D8 dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
Model D8 memiliki jumlah data sebesar 456 data dan 44 atribut, yaitu 43 atribut prediktor
dan 1 atribut kelas. Jika dilihat dari pohon keputusan yang dihasilkan, Model D8 hanya
menggunakan 14 atribut prediktor dalam membuat klasifikasi.
Atribut pertama yang dijadikan dasar klasfikasi adalah OP1, yaitu opini BPK atas LKPD
tahun ke-t. Opini terdiri dari empat jenis, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar
Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberi Pendapat (TMP), dan Tidak Wajar (TW). Dari
keempat jenis opini tersebut, pemerintah daerah yang mendapatkan opini WDP dan WTP
dilanjutkan ke atribut berikutnya, sedangkan opini TMP dan TW langsung diklasifikasikan
sebagai NA atau daerah yang tidak mendapatkan alokasi DID. Hal ini sesuai dengan
409
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
ketetapan dalam PMK tentang Pedoman Umum dan Alokasi DID, yaitu kriteria kinerja utama
yang harus dipenuhi sebagai penentu kelayakan daerah penerima adalah mendapatkan
opini WTP atau WDP atas LKPD dan menetapkan Peraturan Daerah mengenai APBD
secara tepat waktu. Sampai dengan tahap ini, visualisasi sebagian pohon klasifikasi dapat
dilihat pada Gambar 2.
Untuk daerah yang mendapatkan opini WDP, atribut selanjutnya yang dilihat adalah
IPM3, yaitu apakah IPM periode ke-t > IPM periode ke-(t-1) atau tidak. Jika tidak, maka
daerah diklasifikasikan sebagai NA atau daerah tidak mendapatkan alokasi DID. Jika ya,
maka model akan melanjutkan klasifikasi ke atribut PER3, yaitu apakah daerah menetapkan
Perda mengenai APBD tahun ke-(t-2) secara tepat waktu. Jika daerah tidak menetapkan
Perda APBD tahun ke-(t-2) secara tepat waktu, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai
NA atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Jika daerah menetapkan Perda APBD
tahun ke-(t-2) secara tepat waktu, maka klasifikasi dilanjutkan ke atribut APK1, yaitu apakah
APK SD tahun ke-t atau APK SMP tahun ke-t > rata-rata nasional atau tidak. Jika tidak,
maka daerah akan diklasifikasikan sebagai NA atau daerah yang tidak menerima alokasi
DID. Jika ya, maka klasifikasi dilanjutkan ke atribut PDRB2, yaitu apakah pertumbuhan
PDRB tahun ke-t dan ke-(t-1) > rata-rata nasional, dan pertumbuhan PDRB tahun ke-(t-1) >
pertumbuhan PDRB tahun ke-t atau tidak. Jika tidak, maka daerah akan diklasifikasikan
sebagai NA atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Jika ya, maka daerah akan
diklasifikasikan sebagai P1 atau daerah yang menerima alokasi DID tanpa tambahan alokasi
minimum. Visualisasi hingga tahap ini dapat dilihat pada Gambar 3.
410
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Untuk daerah yang mendapatkan opini WTP, atribut yang selanjutnya dilihat adalah
PER1, yaitu apakah daerah menetapkan Perda mengenai APBD tahun ke-t secara tepat
waktu. Jika daerah tidak menetapkan Perda mengenai APBD tahun ke-t secara tepat waktu,
maka akan diklasifikasikan sebagai NA atau daerah tidak menerima alokasi DID. Jika Perda
APBD tahun ke-t ditetapkan secara tepat waktu, maka atribut yang dilihat selanjutnya adalah
LK1, yaitu apakah daerah menyampaikan LKPD tahun ke-t kepada BPK secara tepat waktu
atau tidak.
Jika daerah tidak menyampaikan LKPD tahun ke-t kepada BPK secara tepat waktu,
atribut selanjutnya yang akan dilihat adalah TPT2, yaitu Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) tahun ke-(t-1). Atribut ini merupakan label numeric, sehingga klasifikasi yang
dilakukan adalah jika TPT tahun ke-(t-1) <= 4,93, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai
AM1 atau daerah mendapatkan alokasi minimum DID sebesar Rp2 miliar. Kemudian jika
TPT tahun ke-(t-1) > 4,93 maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 atau daerah
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Visualisasi hingga tahap ini
dapat dilihat pada Gambar 4.
411
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Masih dalam atribut LK1, jika LKPD tahun ke-t diserahkan secara tepat waktu maka
model akan melanjutkan klasifikasi ke atribut IPM3, yaitu apakah IPM periode ke-t > IPM
periode ke-(t-1) atau tidak. Jika ya, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2, yaitu
daerah yang mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika tidak,
atribut selanjutnya yang akan dilihat adalah PER2, yaitu apakah penetapan Perda APBD
tahun ke-(t-1) tepat waktu atau tidak. Jika tidak, daerah akan diklasifikasikan sebagai AM2,
yaitu daerah yang mendapatkan alokasi minimum sebesar Rp3 miliar. Jika ya, maka akan
dilanjutkan ke atribut PDRB1, yaitu apakah pertumbuhan PDRB tahun ke-t > rata-rata
pertumbuhan PDRB nasional atau tidak. Visualisasi hingga tahap ini dapat dilihat pada
Gambar 5.
412
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Jika pertumbuhan PDRB tahun ke-t tidak > rata-rata nasional, maka klasifikasi
dilanjutkan ke atribut PAD2, yaitu apakah peningkatan PAD periode ke-t > rata-rata nasional
atau tidak. Jika peningkatan PAD periode ke-t > rata-rata nasional, maka daerah
diklasifikasikan sebagai P2, yaitu daerah yang mendapatkan alokasi kinerja ditambah
dengan alokasi minimum. Jika tidak, maka daerah diklasifikasikan sebagai AM2, yaitu
daerah yang menerima alokasi minimum sebesar Rp3 miliar. Masih dalam pertumbuhan
PDRB, jika pertumbuhan PDRB tahun ke-t > rata-rata pertumbuhan PDRB nasional, maka
klasifikasi dilanjutkan ke IPM1, yaitu apakah IPM periode ke-(t-1) > rata-rata nasional atau
tidak. Jika ya, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2, yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika tidak model akan
melanjutkan ke atribut OP3, yaitu opini atas LKPD tahun ke-(t-2). Jika Opini tahun ke-(t-2)
adalah WTP, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika opini atas LKPD tahun
le-(t-2) bernilai TMP atau TW maka daerah diklasifikasikan sebagai AM2 yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi minimum. Jika Opini atas LKPD tahun ke-(t-2) bernilai WDP, maka
akan dilanjutkan ke atribut PDRB5 yaitu angka pertumbuhan PDRB tahun ke-t. Jika angka
pertumbuhan PDRB tahun ke-t <= 7,58, maka daerah akan diklasfikasikan sebagai AM2,
yaitu daerah yang menerima alokasi minimum DID Rp3 miliar. Jika angka pertumbuhan
PDRB tahun ke-t > 7,58 maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 yaitu daerah yang
menerima alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Visualisasi sampai dengan
tahap ini dapat dilihat pada Gambar 6.
413
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Model D8 menunjukkan bahwa untuk daerah yang mendapatkan opini WTP atas LKPD
tahun ke-t dan menetapkan Perda tahun ke-t secara tepat waktu telah memenuhi syarat
untuk ditetapkan sebagai daerah penerima DID. Hal ini dapat dilihat pada hasil klasifikasi
atribut-atribut selanjutnya, di mana sudah tidak ada lagi yang diklasifikasikan sebagai NA
atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Klasifikasi atribut selanjutnya akan
menentukan kelas alokasi DID, yaitu AM1, AM2, atau P2. Hal ini sesuai dengan tujuan
penelitian yang dilakukan, yaitu untuk mengidentifikasi variabel atau atribut yang
menentukan penetapan daerah penerima dan alokasi DID.
Kesimpulan
Teknik Decision Tree J48 menghasilkan 9 model klasifikasi Daerah Penerima Dana
Insentif Daerah. Dari kesembilan model tersebut, Model D8 dipilih untuk mengklasifikasikan
Daerah Penerima DID. Model D8 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun
sebesar 22 dan ukuran pohon sebesar 39, serta memiliki akurasi 90,5702%.
414
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Atribut-atribut yang ada pada pohon keputusan yang dihasilkan dari Model D8 dapat
memberikan informasi kepada Pemda mengenai kinerja daerah yang harus ditingkatkan
untuk mendapatkan alokasi Dana Insentif Daerah. Dengan demikian tujuan alokasi DID yaitu
meningkatkan pengelolaan keuangan daerah dapat tercapai.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2014. DID 2015 Kebijakan dan Meta Data.
Jakarta: Kementerian Keuangan.
Fu, Yongjian. 1997. Data Mining: Tasks, Techniques, and Applications. Missouri: University
of Missouri – Rolla.
Gorunescu, Florin. 2011. Data Mining: Concepts, Models and Techniques. New York:
Springer-Verlag.
Han, J., Micheline Kamber, dan Jian Pei. 2012. Data Mining: Concepts and Techniques
Edisi ke-3. San Fransisco: Morgan Kaufman.
Liu, Sandra S. dan Jie Chen. 2009. Using data mining to segment healthcare markets from
patients’ preference perspectives. International Journal of Healthcare Quality
Assurance Vol. 22: 117-134.
Prasetyo, Eko. 2014. Data Mining: Mengolah Data Menjadi Informasi Menggunakan Matlab.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
415
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2015.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.07/2014 tentang Pedoman Umum dan Alokasi
Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2014.
416
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sry Rachmawaty
ABSTRACT: Act 13 year 2008 concerning the legal basis for the accomplishment of the Hajj
Health Coaching. Particularly in chapter VIII, article 31 becomes a solid legal basis for
conducting the Hajj health coaching by the health centers in particular and BKOM Pelkes in
general.Factually speaking, health is the most significant factor of the Islamic pilgrimage. Thus
there is no doubt that without adequate health conditions, the achievement of the worship rituals
will not be optimal. Therefore, Each pilgrims needs to prepare in order to have the optimal
health and fitness status.One of the efforts can be the physical fitness examination, prior to
departure to the holy land. The goal is to predict high-risk diseases and discover the level of
physical fitness. The next purpose is to reduce the number of mortality and morbidity.The first
medical examination for the health coaching is conducted in accordance with the standard
medical protocol including medical examination as follows: 1. Anamnesa 2. Physical
examination 3. Investigations 4. Assessment of independence and 5. Fitness test.Health
coaching of hajj activities after the fitness test conducted is by enhancing the prospective hajj
pilgrims' fitness through a physical exercise that is good, correct, regular, and measured
(GCRM).Then the GCRM physical exercise is held in accordance with the precise fitness level,
which is obtained from the result of the physical fitness test.Nevertheless, the fitness checks are
not conducted for the entire pilgrims of the hajj until recently hence they do not get any
information about their fitness levels. As the result, the pilgrims do not do any physical exercise,
which is appropriate with their fitness levels. Describing the physical test result of some
prospective hajj pilgrims from Padang. Method: This research uses the descriptive
method.Result: The total of Padang's prospective hajj pilgrim are 1023 people, nonetheless,
only 145 of them being the participants of the fitness examination. Thus, only 12% from the
417
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
whole pilgrims of the city were examined. From the total examined participants, 30% of them
are male and the rest 70% are female. More specifically, there are 50% ofthem are pre-elderly
participants between the ages of 45-59 years old. Also, young age <44 years old amounted to
20% and age>60 years old amounted to 30%. In epidemiology, many of pre-elderly age
participants have already suffered by non-communicable diseases. The field data that is
processed in form of the participants’ travel time result then matched with the value of VO2
Max.Evidently, the fitness test of the participants shows that 15% of the participants are in a
primely fitness category, 50% are in a good category, 33% are in sufficient category, 2,07% are
in deficient category, and only 1 person who could not be assessed. Advice, it is necessary to
examine the fitness level of the pilgrims at least 6 (six) month before the due time for the
intervention in order to increase the physical fitness by doing the good, correct, regular, and
measured exercise. Hopefully, all of the prospective hajj pilgrims become self-sufficient, as they
are healthy.
Pendahuluan
Ibadah haji adalah rukun islam ke 5 yang diidam-idamkan bagi setiap muslim di dunia.
menurut Surat Al Imran ayat 97 merupakan kewajiban bagi orang-orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah yaitu mampu dalam pembiayaan, pengetahuan, kesehatan
jasmani dan rohani. Ibadah haji merupakan ibadah yang mempunyai waktu tertentu, tempat
tertentu dan cara tertentu. Ibadah haji hanya dilaksanakan pada bulan zulhijjah, tempat
pelaksanaannya di Mekah Arab Saudi, dan caranya adalah adanya rukun yang tidak boleh
ditinggalkan yaitu wukuf di Arafah. Karena sifatnya yang khusus tersebut maka semua muslim
sangat mendambakan dapat menunaikan ibadah haji. Besarnya animo untuk melaksanakan
ibadah haji membuat jemaah calon haji menunggu cukup lama untuk dapat diberangkatkan ke
tanah suci. Disamping memerlukan biaya yang cukup besar, waktu antrian yang lama ini
menjadikan usia jemaah haji yang berangkat ke tanah suci juga semakin tua. Ibadah haji
sebagai rukun Islam ke-5 merupakan kewajiban umat islam karena Allah SWT dan Kemampuan
jasmani dan rohani merupakan salah satu syarat kelayakan untuk beribadah haji (istithoah)
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari penyelenggaraan ibadah haji.
418
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Ibadah haji juga merupakan ibadah fisik karena memerlukan stamina yang prima untuk
menjalankan seluruh rangkaian ibadah selama kurang lebih 38-40 hari waktu tinggal disana.
Waktu tinggal di tanah suci yang cukup lama membuat jemaah calon haji memanfaatkan waktu
dengan banyak melakukan ibadah wajib dan sunah semaksimal mungkin.
Faktor-faktor internal dan eksternal jemaah haji mempengaruhi angka kesakitan dan angka
kematian jemaah haji . Faktor internal antara lain tingkat kebugaran jasmani yang masih kurang
dan sudah menderita penyakit sejak dari tanah air. Data dari KKP Kelas 2 Padang sewaktu
pemberangkatan jemaah haji tahun 2014 adalah senility 29,87% , hipertensi 26,58%, NIDDM
5.76%, Asma 1,096%, Atherosclerotic Heart Disease 1,052%, Chronic Ischemic Heart Disease
0.789%. terlihat jemaah haji sudah mempunyai penyakit kronis dan usia yang lanjut ketika
berangkat ke tanah suci.
Berkaitan dengan kondisi diatas, perlu dilaksanakan pembinaan kesehatan. Salah satu
cara pembinaan kebugaran jemaah calon haji adalah pemeriksaan kebugaran jemaah calon
haji untuk kemudian dilakukan pembinaan kebugaran jemaah calon haji oleh puskesmas
sebagai pembina wilayah kerja kesehatan.
I. Tujuan
Tujuan Umum
Meningkatkan kualitas pembinaan kebugaran jasmani bagi jemaah haji di
Puskesmas sehingga tercapai jemaah haji Indonesia yang sehat dan bugar.
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kebugaran jemaah calon haji Kota Padang
tahun 2015
Tujuan Khusus
Mengetahui kategori tingkat kebugaran jemaah calon haji kota Padang tahun
2015
II. Manfaat
1. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah kota Padang membuat kebijakan
pemeriksaan kebugaran untuk seluruh jemaah calon haji kota Padang
419
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan
cara pemilihan responden adalah secara accidental sampling yang mana sampel adalah
jemaah calon haji yang akan berangkat ke tanah suci pada tahun 2015. Jemaah juga tergabung
pada beberapa KBIH. Pada penelitian ini sampel adalah merupakan pilihan dari KBIH yang ada
di kota Padang.
Hasil
Pemeriksaan dilakukan pada 45 jemaah calon haji yang akan berangkat pada tahun
2015. Total jemaah yang akan berangkat sebanyak 1023 jemaah calon haji untuk kota padang.
Tabel 1. Perbandingan JCH yang di periksa dengan Total Keseluruhan JCH yang berangkat
tahun 2015
12%
88%
2 total jemaah haji kota
padang
420
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hanya 12% jemaah haji yang di periksa kebugaran jasmani tahun 2015 dari keseluruhan
jemaah haji yang berangkat pada tahun 2015
30%
70%
Dari tabel 2 terlihat jumlah JCH perempuan dua kali lipat JCH Laki-laki
20%
30%
<44 tahun
45-59 tahun
>60 thaun
50%
421
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dari hasil perbandingan ini terlihat jemaah haji yang berangkat setengahnya berusia pralansia ,
30% berusia lansia dan hanya 20% berusia muda. Artinya jemaah dengan usia relative muda
yang lebih sedikit . Jemaah calon haji pralansia dan lansia yang lebih banyak. Kondisi ini
mempunyai dampak yang cukup besar pada kebugaran jemaah calon haji bila jemaah calon
haji tidak memelihara kebugaran dan kesehatannya.
20%
30% <44 tahun
45-59 tahun
>60 thaun
50%
19%
18%
13%
40%
422
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dari tabel 4. Sebanyak 40% normal. Bila dijumlahkan jemaah yang mempunyai indeks massa
tubuh lebih dari normal 36% dan indeks massa tubuh kurang dari normal adalah 7%. Terlihat
bahwa jemaah yang bermasalah dengan berat badan mempunyai prosentase yang hampir
sama dengan berat badan yang normal.
2%
15%
33%
50%
Dari hasil pemeriksaan kebugaran jemah calon haji, didapatkan jemaah yang mempunyai
tingkat kebugaran baik sebanyak 50%, kebugaran cukup 33%, tingkat kebugaran kurang 2%
dan yang mempunyai tingkat kebugaran baik sekali sebanyak 15%
Diskusi
Dari hasil pemeriksaan kebugaran jasmani yang sudah dilakukan , didapatkan hasil:
1. Total jemaah haji kota Padang adalah 1023 orang. Namun hanya 45 orang yang diperiksa
kebugarannya. Jadi hanya 12% dari total jemaah haji keseluruhan kota yang diperiksa
kebugarannya. Ibadah haji adalah ibadah individual (fardu Ain) bukan ibadah dalam grup atau
(fardu kifayah). Pemeriksaan kebugaran jasmani idealnya adalah minimal 6 bulan sebelum
keberangkatan. Sehingga ada waktu untuk mengintervensi tingkat kebugaran jemaah calon
haji. Setelah pemeriksaan kebugaran yang pertama maka jemaah calon haji diberikan dosis
423
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
latihan kebugaran sesuai dengan tingkat kebugaran dan penyakit yang diderita dan dilakukan
pembinaan selama 3 bulan. Setelah 3 bulan pembinaan, jemaah calon haji di evaluasi tingkat
kebugarannya dengan melakukan pemeriksaan kebugaran yang ke dua. Selain pemeriksaan
kebugaran yang kedua jemaah haji juga dievaluasi kesehatan dan penyakit penyerta lainnya.
2. Pemeriksaan didapatkan jemaah calon haji yang diperiksa kebugarannya lebih banyak
perempuan dibandingkan laki-laki. Tidak ada perbedaan tingkat kebugaran walaupun jenis
kelamin berbeda. Pada pemeriksaan kebugaran jasmani dengan metode Rockport ,
perhitungan VO2 Max sudah disesuaikan dengan jenis kelamin. Namun dari segi kekuatan otot
sudah pasti berbeda. Dalam penelitian ini kekuatan otot jemaah calon haji tidak diteliti.
3. Pada hasil pemeriksaan diperoleh jemaah pralansia dari usia 45-59 th sebanyak 50%. Usia
muda <44tahun berjumlah 20% dan usia >60 th berjumlah 30%. Secara epidemiologi, usia
pralansia sudah banyak yang menderita penyakit tidak menular. Dengan bertambahnya usia
maka pada usia lansia akan lebih banyak yang menderita penyakit degenerative. Pada
penelitian ini penyakit degenerative yang diderita oleh lansia tidak dicantumkan dalam catatan
pelaporan hasil pemeriksaan kebugaran jasmani. Pada pemeriksaan kebugaran jasmani,
pertanyaan yang terangkum dalam ParQ dapat menjadi salah satu pertimbangan dokter dalam
memberikan dosis olah raga atau latihan fisik yang tepat bagi jemaah calon haji. Oleh karena itu
pemeriksaan kebugaran jemaah calon haji semestinya dilakukan untuk setiap jemaah calon
haji.
4. Pada hasil pemeriksaan ada sebanyak 40% indeks massa tubuh normal. Bila dijumlahkan
jemaah yang mempunyai indeks massa tubuh lebih dari normal 36% dan indeks massa tubuh
kurang dari normal adalah 7%. Terlihat bahwa jemaah yang bermasalah dengan berat badan
mempunyai prosentase yang hampir sama dengan berat badan yang normal yaitu 43%.
Pembinaan kebugaran dan kesehatan jemaah haji dapat dipengaruhi oleh indeks massa tubuh.
Maka sangat penting bagi jemaah calon haji untuk mendapatkan pemeriksaan kebugaran
jemaah haji 2 kali sebelum berangkat ke tanah suci.
5. Pada hasil kategori tingkat kebugaran jemaah haji, terlihat bahwa 15% baik sekali, 50%
jemaah haji mempunyai kategori kebugaran yang baik, 33% tingkat kebugaran cukup dan
masih ada 2% yang mempunyai kategori kurang. Pemeriksaan kebugaran yang dilakukan oleh
BKOM-PELKES Sumbar dilaksanakan tanggal 27 April 2015 sedangkan pemeriksaan
424
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kebugaran haji oleh DKK Padang pada tanggal 1 Juni 2015. Atau sekitar 3 bulan sebelum
keberangkatan jemaah calon haji ke tanah suci.
III. Masalah
Masalah yang ditemukan dalam pemeriksaan kebugaran jemaah calon haji adalah
1. Total jemaah haji yang diperiksa hanya 12% dari seluruh jemaah haji yang akan
berangkat ke tanah suci. Dari hasil wawancara singkat dengan petugas puskesmas
didapatkan keterangan bahwa pemeriksaan kebugaran ini dananya hanya untuk 100
orang. Padahal untuk membina kesehatan dan kebugaran jemaah haji bersifat individual .
karena kondisi tubuh dan penyakit penyerta lainnya tidak akan sama untuk setiap orang.
Maka karena sedikitnya jemaah haji yang diperiksa kebugaran jasmaninya sehingga
pembinaan kesehatan dan kebugaran haji tidak optimal.
2. Jemaah haji Indonesia 30% nya adalah resiko tinggi usia yaitu berusia >60tahun. Maka
jemaah haji yang memiliki resiko umur saja sudah 344 orang dan bila ditambah dengan
jemaah pra lansia yang memliki penyakit atau resiko tinggi penyakit akan lebih tinggi
resiko yang terdapat pada jemaah haji kota padang. Maka, pembinaan kesehatan dan
kebugaran jemaah haji menjadi penting keberadaannya. Yaitu untuk memantau resiko
tinggi penyakit, mengevaluasi beban latihan yang sudah diberikan oleh dokter, memantau
sejauh mana kebugaran jasmani jemaah calon haji meningkat.
3. Pemeriksaan kebugaran jemaah haji yang dilakukan hanya berjarak 3-4 bulan sebelum
keberangkatan. Pada pemeriksaan tersebut , masih ada jemaah haji yang memperoleh
hasil tes kebugaran dengan kategori kurang (2%) dan yang mempunyai kategori cukup
sebanyak 33%. Jemaah calon haji tidak mendapatkan dosis latihan yang sesuai dengan
kebutuhan individual. Sehingga kemungkinan besar dosis latihan yang dijalankan tidak
berasal dari dosis latihan yang diberikan oleh dokter. Atau dosis latihan tidak adekuat.
Lebih ringan daripada yang seharusnya .
4. Penelitian ini merupakan evaluasi dari pemeriksaan yang dilakukan oleh BKOM Pelkes
Sumatera Barat dengan dana dari DEKON. BKOM Pelkes sendiri belum menyediakan
anggaran untuk pemeriksaan kebugaran untuk jemaah haji atau lainnya. Keadaan ini
cukup menyulitkan karena sulit sekali menggabarkan keadaan sesungguhnya dari
kebugaran jemaah haji Sumatera Barat.
425
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 442 /MENKES/ SK/VI/ 2009
tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2012/04/Pedoman-
Pembinaan-Kebugaran-Jasmani-Jemaah-Haji-Bagi-Petugas-Kesehatan.pdf
http://dinkes.balangankab.go.id/post/read/148/sosialisasi-kebugaran-jemaah-haji-
2014.html#.VaarUfmqqkq dilihat 7/7/2015 pukul02.06 WIB
426
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
http://www.indonesian-publichealth.com/2014/06/penyelenggaraan-kesehatan-haji.html
diunduh 7/7//2015 pukul02.00 WIB
http://www.jpnn.com/read/2014/10/21/264885/Angka-Jamaah-Meninggal-Hampir-Samai-
Catatan-2013- di unduh 7/7/2015 pukul 01.57WIB.
http://www.merdeka.com/peristiwa/menkes-angka-kematian-jemaah-haji-turun.html di unduh
7/7/2015 pukul 01.51 WIB
427
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstrak: Tulisan ini membuktikan bahwa bina damai terorisme yang dilakukan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) dan di luar Lapas dapat berjalan baik dengan pendekatan nasionalisme
keagamaan. Keberhasilan strategi bina damai ditandai kesediaan narapidana terorisme bekerjasama
dengan pemerintah untuk memberi informasi jaringan dan kepatuhan terhadap Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Tulisan ini menggunakan pendekatan teori konflik dan teori identitas sosial
dalam menganalisis pelaku tindak pidana terorisme dan masyarakat partisipan. Pelaku teror
merupakan kelompok minoritas yang mengalami kekecewaan akibat tidak
terakomodirkepentingannya.
Pendahuluan
Berbagai peristiwa teror berupa peledakan bom yang terjadi di Indonesia sejak 2002, 1 telah
menimbulkan banyak korban nyawa dan harta benda. Keprihatinan terjadi ketika agama justru
dianggap sebagai sumber kekerasan atau dijadikan dasar untuk membenarkan teror terhadap penganut
agama lain. Kondisi demikian memberikan kesadaran perlunya berbagai kegiatan resolusi konflik dan
pemahaman kembali terhadap teks keagamaan yang damai. Bina damai dapat dilakukan dengan
mengedepankan semangat toleransi, mengedepankan perdamaian, menjunjung hak asasi manusia,
serta menghormati orang yang berbeda agama maupun berbeda keyakinan.
Seseorang atau kelompok yang melakukan kekerasan dengan pengaruh sumber-sumber
radikalisme, tidak memandang bahwa aksi kekerasan yang dilakukan sebagai sebuah kejahatan. Aksi
kekerasan tersebut menjadi kebanggaan karena merasa sebagai pasukan pertempuran yang sah dalam
memperjuangkan kebenaran apa yang diyakininya.2 Radikalisme yang ditentukan oleh persepsi
1
Ledakan bom pada 12 Oktober 2002 pukul 23:05 WITA di Paddy's dan Sari Club (SC) Jalan Legian
Kuta, Badung, Bali, menjadi titik awal penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia.
2
Ramzi Yousef setelah diputus pengadilan dengan hukuman penjara seumur hidup atas aksi pengeboman
Menara WTC pada Pebruari 1993 di New York, justru dengan bangga mengumumkan “I am a terrorist and
proud of it as long as it is against the U.S. government.” yang berarti saya adalah teroris dan bangga
mengakuinya sebagai perlawanan terhadap pemerintah Amerika Serikat. Peg Tyre, “'Proud terrorist' gets life for
428
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
individu tentu tidak hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi tertentu, namun dapat dipengaruhi
oleh beragam faktor lain dalam lingkup isu global, regional, maupun lokal. Isu-isu yang dapat
mempengaruhi radikalisme seperti faktor ekonomi, sosial budaya, pendidikan, psikologi, kegagalan
tujuanpolitik, pemahaman agama, maupun kebijakan pemerintah yang berlawanan kepentingan.
Penanganan radikalisme yang kemudian disebut sebagai aksi terorisme di Indonesia mulai
dilakukan sejak terjadinya Kasus Bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Hal ini juga menjadi satu
rangkaian agenda internasional penanganan terorisme yang dikampanyekan oleh Amerika Serikat
pasca-peristiwa 11 September 2001 dengan terjadinya pemboman gedung World Trade Center (WTC)
di New York.3 Agenda penanganan terorisme yang dilakukan pemerintah Indonesia pada akhirnya
menjadi diplomasi politik internasional sekaligus memperkuat komitmen kerjasama internasional.
Penggunaan cara-cara kekerasan terhadap narapidana terorisme dapat berakibat memperkuat
identitas sebagai teroris. Penguatan identitas yang diiringi persepsi negatif terhadap tindakan aparat
berpengaruh pada semangat balas dendam terhadap aparat keamanan.4 Terlebih mendefinisikan
terorisme atau penyebutan seseorang sebagai teroris masih menjadi perdebatan dan tarik ulur
kepentingan internasional. Persepsi merupakan suatu rangkaian proses yang dilakukan oleh seseorang
dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera yang diterima sehingga memberikan makna
pada lingkungannya untuk menjadi suatu sikap dan perbuatan.5
Terorisme memiliki latar belakang persoalan yang kompleks sehingga penanganannya tidak
cukup hanya menggunakan dasar pendekatan ideologi. Gerakan terorisme terbangun dari sekelompok
individu rasional yang membangun identitas kolektif bersama untuk sebuah tujuan tertentu melalui
aksi teror. Para pelaku tindak terorisme melakukan berbagai strategi kekerasan dan memunculkan
konflik sosial guna menyampaikan pesan kepada masyarakat luas melalui beberapa pertimbangan
strategis. Ho-Won Jeong dalam memetakan sumber konflik sosial, termasuk di dalamnya adalah kasus
terorisme, menyatakan bahwa konflik sosial di tengah masyarakat dipengaruhi adanya kekerasan atau
gangguan dari orang lain, adanya identitas sosial yang mengganggu, dan adanya ketidakadilan dari
pemegang otoritas.6
Pemerintah telah membangun hubungan kerjasama dengan para ulama melalui berbagai
pendekatanuntuk mengeliminir ideologi radikal yang diyakini para teroris. Pendekatan dengan
melibatkan peran para ulama dirasa efektif untuk mengkampanyekan pemahaman anti-radikalisme
429
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kepada masyarakat luas sehingga terbangun imunitas pada diri masyarakat terhadap pemahaman-
pemahaman yang dianggap radikal. Terlebih konflik ataupun aksi kekerasan pada dasarnya bukan
disebabkan oleh agama tertentu, namun adanya berbagai sebab yang saling berhubungan.
Agama biasanya digunakan sebagai faktor legitimasi atau untuk menutupi konflik yang
sesungguhnya. Adapun faktor lain diluar agama seperti adanya krisis di berbagai bidang menciptakan
hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap pemerintahsehingga melahirkan sikap saling
curiga di tengah kelompok masyarakat. Berdasarkan latar belakang yang melandasi lahirnya gerakan
terorisme di Indonesia maupun di berbagai negara lain, menunjukkan bahwa terorisme merupakan
gejala sosial yang memiliki kompleksitas persoalan baik dari politik, sosial, budaya dan ekonomi.
Radikalisme sebagai Titik Awal
Radikalisme sebagai suatu faham tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan, namun
dapat juga sebatas pemikiran dan ideologi yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam
melaksanakan pemikiran tersebut. Radikalisme yang ditentukan oleh persepsi individu tentu tidak
hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi tertentu, namun dapat juga dipengaruhi oleh beragam
faktor lain dalam isu global, regional, maupun lokalitas. Fanatisme ideologi sehingga menganggap
yang lain salah, dapat menjadi penyebab radikalisme dengan penggunaan senjata. Kondisi kekerasan
yang berdalih sebagai perjuangan ideologi melahirkan ekstrimisme dan menguat sebagai aksi
terorisme dengan tujuan-tujuan politik tertentu.
Faktor ekonomi dalam tindakan radikalisme dicontohkan pada seringnya terjadi kudeta militer
dan konflik politik di negara-negara berkembang maupun negara miskin.7 Aspek sosial budaya dan
psikologi dalam mempengaruhi munculnya radikalisme dapat dilihat dari persepsi pelaku yang
merasakan adanya tekanan serangan, tidak dihargai, dan adanya kekerasan yang dirasakan.8 Aspek
teologis atau agama dapat mempengaruhi munculnya radikalisme karena memahami agama dalam
dua kutub yang berseberangan, yaitu merasa lebih benar atau lebih berhak untuk masuk surga serta
adanya dendam sejarah dalam setiap perkembangan agama. Al-Jabiri menegaskan bahwa radikalisme
tidak lebih dari sekadar fenomena yang muncul dari persoalan sosial politik, kemudian dikemas
dengan isu agama.9
Ideologi keagamaan sering menjadi motivasi sekaligus dorongan untuk membenarkan aksi teror
yang dilakukan. Penguatan aksi teror yang mengatasnamakan agama dianggap sebagai bentuk
perjuangan keyakinan yang sangat mendasar atau fundamental. Fundamentalis agama lebih
mengutamakan doktrin agama daripada toleransi yang berdasar cinta dan penghormatan hak asasi
manusia. Sikap demikian sebagai akibat pelaku atau aktivis fundamentalisme agama lebih
7
Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psikoanalitis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan
Nasional (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 256.
8
Mark Jurgensmayer, Terorisme Para Pembela Agama (Yogyakarta: Tarawang Press, 2003), 16.
9
Muhammad ‘Abid al-Jābiri, Qadaya al-Fikr al-‘Arābi: al-Mas-alah al-Thaqāfiyyah (Beirut: Markaz
Dirȃsah al-Wahidah al-‘Arābiyyah, 1994), 134-135.
430
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
mengedepankan kebenaran yang bersifat sektarian daripada penghargaan perbedaan. Keadaan ini
yang menjadikan penyebaran radikalisme agama dipengaruhi keyakinan sepihak dan dipaksakan
untuk diikuti oleh orang lain.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) masa 2010-2014, Ansyad Mbai,
menyatakan bahwa radikalisme adalah akar dari terorisme sehingga aksi terorisme akan selalu ada
jika pergerakan radikalisme tidak dihentikan beserta sumber-sumber lahirnya radikalisme itu sendiri.
Para pelaku terorisme sejak peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat
pada 11 September 2001 mengaku tindakannya sebagai bentuk jihād fī sabīlillāh. Hal demikian
sebagaimana pengakuan Ali Imron dalam aksi bom Bali I yang dipengaruhi adanya beberapa alasan,
yaitu ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tidak berdasarkan syari’at Islam dan tidak adanya
imāmah, rusaknya moralitas dan akidah masyarakat, melindungi umat Islam, pembalasan terhadap
kafir yang memerangi kaum Muslim.10
Imam Samudra dalam penjelasannya tentang bom Bali menjelaskan bahwa aksi yang dilakukan
merupakan salah satu bentuk jawaban yang dilakukan segelintir kaum Muslimin yang sadar dan
mengerti akan arti sebuah pembelaan dan harga diri atas kesewenangan negara penjajah sehingga
menjadi jihad yang harus dilakukan.11 Seseorang atau kelompok yang melakukan tindakan karena
dipengaruhi adanya sumber-sumber radikalisme, tidak memandang bahwa aksinya tersebut sebagai
sebuah kejahatan, tetapi justru muncul rasa kebanggaannya karena merasa telah menjadi pasukan
yang memperjuangkan kebenaran apa yang diyakininya. Kelompok-kelompok pejuang radikal ini
seringkali menggunakan simbol-simbol militer dalam organisasi gerakannya12 seperti Irish of
Republican Army (IRA) di Irlandia, Euskadi Ta Askatasuna (ETA) di Spanyol, Hizbullah di Libanon,
Harakat al-Muqawwama al-Islamiyyah (Hamas) di Palestina, Front Islamique du Salut (FIS) di
Aljazair, Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC) di Kolombia, The Moro National
Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyaf’s Group (ASG) di Filipina, Al-Qaeda dan Taliban di
Afghanistan.
Veldhuis dan Staun (2009) menguraikan bahwa akar penyebab dari radikalisme dibedakan
menjadi dua faktor yaitu pada level makro dan level mikro. Level makro adalah prasyarat
terbangunnya radikalisme yang bersifat global seperti politik pendudukan Negara Barat atas negara-
negara Islam. Pada level mikro adalah kondisi yang menjadi faktor langsung terjadinya radikalisme
10
Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, Cet. 1 (Jakarta: Republika, 2007), 41-71; Kumar Ramakrishna,
“Delegitimizing Global Jihadi Ideology in Southeast Asia” Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 3
(Desember 2005), 343-369.
11
Imam Samudra, Aku Melawan Terorisme (Solo: al-Jazera, 2004), 114-115; Asep Adisaputra, Imam
Samudra Berjihad, Cet. 1 (Jakarta: Grafika Indah, 2006), 62-69; Wawan H. Purwanto, Terorisme Ancaman
Tiada Akhir: Bahaya dan Strategi Pemberantasan di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2004), 53-55.
12
Anisseh Van Engeland dan Rachael M. Rudolph, From Terrorism to Politics (Ethics and Global
Politics) (Burlington: Ashgate Publishing Company, 1988).
431
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
pada diri seseorang atau kelompok tertentu sehingga dalam level mikro dibedakan sebagai faktor
individual yang erat hubungannya dengan perubahan tingkah laku atau aspek psikologi, dan faktor
sosial yang terkait identitas diri dalam lingkungan sosial.
13
QS. Al-Maidah ayat 44
14
QS. Al-Maidah ayat 3
15
Muhammad Abū Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyah (Cairo: Dār el-Fikr al-‘Arābi, tt), 99; Abī
Ja’far Muhammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tārīkh al-Ṭabarī: Tārikh al-Rasūl wa al-Muluk, juz III (Kairo: Dār al-
Ma’ārif, 1963), 540-543.
16
Harun Nasution, Theologi Islam, Sejarah Analisa dan Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1991), 23;
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Bandung: Mizan, 1999), 112-113; Philip K. Hitti, History of The
Arabs (London: The Macmilan Press LTD, 1974), 181-183.
17
Abu Muhammad Ibn Hazm, al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Afaq al-Jadīdah, 1980),
27.
432
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Purifikasi hukum Tuhan sebagaimana menjadi garis ideologi Ikhwanul Muslimin (IM)
menganggap hukum hanya bersumber dari Islam, bukan bersumber dari agama-agama lain.
Pandangan demikian yang telah memicu suburnya benih-benih fanatisme keberagamaan yang
mengarah pada ekstrimisme.18 Hukum Tuhan dalam QS. Al-Maidah ayat 44 difahami sebagai hukum
kelompok tertentu yang telah dikodifikasi, sebagaimana hukum yang telah dikodifikasi oleh ulama
Syiah atau ulama Sunni. Konteks historis turunnya ayat tersebut berkaitan orang Yahudi yang
dihukum cambuk dan dipanasi badannya karena melakukan perzinahan dan sudah berkeluarga.19 Hal
ini menjelaskan bahwa ayat tersebut tidak berkaitan dengan pendirian negara Islam atau sistem
khilafah tetapi kewajiban bagi agama samawi untuk melaksanakan hukum dalam kitab sucinya
sendiri.
18
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta:
Penerbit Fitrah, 2007), 401.
19
Imām al-Wāḥidi, Asbāb al-Nuzūl (Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 150.
20
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2014), 83-232.
21
Kafir sebagai upaya menghalangi keadilan dan kesejahteraan (QS. Ali Imran: 21-22, QS. An-Nisa: 167,
QS. Muhammad: 32, QS. Al-A’raf:45), kafir sebagai penindasan atau tirani (QS. Al-Baqarah: 256), dan kafir
sebagai monopoli ekonomi (QS. Al-Ma’un: 1-3, QS. Al-Humazah: 1-4). Farid Esack, Qur’an Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (London: One World Oxford,
1997), 134-140.
433
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Islam radikal atas kebenaran tekstual agama, melahirkan keyakinan yang diklaim sebagai cara
beragama yang paling benar. Keberagamaan yang paling benar dalam pandangan ini adalah cara
beragama yang memolakan dua sisi perbedaan berupa benar-salah, Islam-kafir, pahala-dosa, sesat-
tidak sesat maupun surga-neraka. Memperdebatkan atau menggugat konsep agama dalam klaim yang
berlawanan sebagaimana tertulis dalam teks keagamaan adalah kebablasan berfikir yang sesat.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sesungguhnya tidak terlepas dari
kondisi masyarakat yang menyertai. Suatu gagasan termasuk gagasan dalam kewahyuan tentu terkait
dengan problem historis dan kulturalnya.22 Pendekatan historis dalam memahami suatu dalil agama
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sejarah pada saat dalil tersebut disampaikan.
Memahami dalil dari perspektif sosiologis menjadikan agama difahami dari pola perilaku masyarakat
dan tata nilai yang dianutnya.
Kategori teologis dalam pembinaan keagamaan adalah konstruksi yang dibangun berdasarkan
pada informasi teks keagamaan, serta isu-isu terkait fenomena sosial yang dikaitkan dengan teks
keagamaan tersebut. Tentu saja, mengubah pemahaman keagamaan yang bernuansa intoleran menjadi
pemahaman yang toleran merupakan langkah yang tidak mudah. Pondasi yang harus dibangun dalam
pembinaan keagamaan adalah kesadaran bahwa Islam sebagai agama kemanusiaan. Kateori teologis
untuk dilakukan perubahan pemahaman terdiri atas relasi Islam dengan non-Islam, hukum Tuhan
dalam agama-agama, Islam rahmatan lil ‘ālamīn, serta paradigma jihad dan perang.23
22
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2014), 54.
23
Materi Pembinaan Keagamaan di LP Cipinang, 2010-2011.
24
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta:
Penerbit Fitrah, 2007), 383-384.
434
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
menyerukan aspek toleransi sehingga Al-Qur’an yang terdiri dari ribuan ayat seolah digeneralisir
dalam ayat tertentu saja.
Pembinaan yang diberikan terkait penjelasan ayat tentang relasi Islam dan non-Islam adalah
menyadarkan bahwa memahami ayat perlu terlebih dahulu memahami latar belakang sejarah
penurunan ayat. Dalam QS. Al Baqarah ayat 120, Imām al-Wāḥidī menerangkan bahwa suatu saat
orang Yahudi dan Kristen mengajukan gencatan senjata kepada Rasulullah. Pada saat Rasulullah
hampir menerima gencatan senjata, Allah mengingatkan melalui ayat tersebut bahwa orang Yahudi
dan Kristen selamanya tidak akan rela mengikuti gencatan senjata atau perjanjian damai dengan
Islam.25 Latar belakang kedua berkaitan dengan permintaan orang Yahudi dan Kristen untuk tetap
menghadapkan kiblat ke arah Masjid al-Aqsha, Jerussalem.
Konteks sejarah dalam mewarnai lahirnya teks keagamaan tentu memiliki nuansa yang berbeda
jika dihubungkan dalam ruang kerjasama di bidang pendidikan, ekonomi, politik, kebudayaan, dan
lainnya. Hal demikian disebabkan karena ayat tersebut berkaitan dengan gencatan senjata dan
pemindahan arah kiblat. Permusuhan terhadap Yahudi dan Nasrani yang digeneralisasikan untuk
semua bidang maka akan berlawanan dengan ayat yang menyatakan pentingnya memahami
keragaman suku, bangsa, dan agama.
Perubahan pemahaman relasi antara Islam dengan non-Islam dapat digambarkan dalam
pernyataan salah seorang mantan narapidana terorisme dari Lapas Kedung Pane.
“Permusuhan saya terhadap Kristen itu bukan karena agamanya, tetapi aktivitas tokoh dan umat
Kristen yang sering melecehkan Islam itu yang menjadikannya musuh di mata saya.”26
Pada masa Rasulullah, sebutan yang diberikan terhadap orang-orang non-muslim adalah ahlu
dzimmah. Penyebutan orang kafir dengan istilah dzimmah mengajarkan adanya praktik toleransi dan
perlindungan terhadap orang yang beragama lain. Pada masa Umar bin Khattab terdapat hubungan
harmonis antara Islam dan Kristen yang diatur dalam Perjanjian Elia,27 yaitu perjanjian pascca Perang
Yarmuk yang dimenangkan oleh tentara Umar dan mendapatkan hak pengelolaan terhadap wilayah
kota Al-Quds.
25
Imām al-Wāḥidī, Asbāb al-Nuzūl (Kairo: Dār al-Ḥadith, 2003), 39.
26
Wawancara dengan mantan narapidana Lapas Kedung Pane, Juli 2013.
27
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, 385.
435
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
institusionalisasi paham keagamaan.28 Imbasnya, hukum Tuhan dianggap sebagai hukum yang
bersumber dari Islam saja dengan meniadakan agama lain. Hukum Islam juga mengalami
pengerucutan sebagai hukum yang diturunkan kepada kelompok tertentu, misal hukum Islam yang
dikodifikasi ulama Sunni maka dianggap bukan sebagai hukum Tuhan oleh kalangan Syiah.
Kenyataan tersebut dapat dilihat dari apa yang pernah dipraktikkan kalangan Khawarij dengan
menyatakan Ali bin Abu Tholib dan Muawiyah sebagai orang kafir.
Memperhatikan QS. Al-Maidah ayat 44 dan 47 dijelaskan adanya hukum yang diatur bukan
hanya hukum Islam, tetapi juga hukum Tuhan di dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil. Pandangan
demikian yang sekiranya menjadikan 47 (empat puluh tujuh) narapidana terorisme LP Cipinang dari
58 (lima puluh delapan) orang, dan para mantan narapidana terorisme dapat menerima Pancasila
sebagai sumber hukum di Indonesia karena konsep Pancasila diambil dari teks keagamaan Islam oleh
para perumusnya.
3 Persatuan Indonesia
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
(QS. Al-Hujurat: 10)
4 Kerakyatan yang
Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
dipimpin oleh hikmat
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kebijaksanaan dalam
kepada Allah. (QS. Al-Imran: 159)
pemusyawaratan
perwakilan
5 Keadilan sosial bagi ِإSesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan,
seluruh rakyat memberi kepada kaum kerabat (QS. An-Nahl:90)
Indonesia
Quraish Shihab menjelaskan bahwa orang-orang yang berhukum dengan menggunakan Kitab
Taurat dan Kitab Injil di dalam Al-Qur’an disebut Ahlul Kitāb sebanyak 31 kali, Al-Yahūd sebanyak 8
28
Khaled Abou el-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: harperSan
Fransisco, 2005), 45-94.
29
Douglas E. Remagee, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam
Era Paska Azaz Tunggal (Yogyakarta: LKiS, 1994).
436
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kali, An-Naṣāra sebanyak 14 kali, dan Banī Isrāil sebanyak 41 kali.30 Ahlul Kitab atau penyebutan
yang sejenis tersebut diartikan sebagai konsep yang memberikan pengakuan kepada agama di luar
Islam yang memiliki kitab suci. Sikap pengakuan ini bermaksud untuk memberi pengakuan hak
eksistensi dalam menjalankan aturan agama masing-masing.
Nasionalisme Kebangsaan ala Pancasila
Istilah kebangsaan merupakan gambaran ciri-ciri terhadap kesatuan orang yang bersamaan asal
keturunan, budaya, bahasa, dan akar sejarahnya pada suatu lokasi tertentu. Kesamaan ciri terhadap
kelompok manusia sehingga dapat disebut bangsa mulai berkembang pada abad ke-18 di Eropa, dan
mengalami transformasi ideologi ke dunia Islam. Penyebaran ideologi kebangsaan tersebut
berkembang seiring agresi Napoleon Bonaparte ke Mesir pada Juli 1978 yang mempropaganda diri
sebagai muslim yang taat.31 Propaganda melalui penyebaran panflet oleh 36.000 pasukan diawali
dengan ungkapan “Bismillahirrahmanirrahim” untuk menunjukkan sebagai saudara.
Strategi membangkitkan kesadaran berdasarkan kesamaan asal dan wilayah membuat sebagian
umat Islam merasa bahwa nasionalisme menjadi sebab terpecahnya dunia Islam. Bagi kelompok
islamisme semacam HTI, nasionalisme dianggap sebagai primordialisme dan fanatisme kebangsaan
(ashabiyah) yang dihukumi haram.32 Pendapat itu menjadi pandangan politik mayoritas kelompok
Islam radikalis di Indonesia. Kelompok ini berpegang teguh pada prinsip kesatuan umat yang
didasarkan atas ikatan aqidah atau ideologi keislaman, bukan ikatan kebangsaan. Hal demikian
mengacu pada QS. Al-Hujurat ayat 10, Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.
Perkembangan ideologi kebangsaan sesungguhnya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad
dalam proses membangun masyarakat baru kota Yatsrib. Nasionalisme modern itu ditandai dengan
penyusunan konstitusi Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) untuk mengikat seluruh masyarakat
Madinah tanpa membedakan agama, suku, maupun kelas sosial yang ada. Komposisi masyarakat
Madinah pada saat itu terdiri atas suku Auz dan Khazraj yang sebagian memeluk Islam, dan suku
33
Quraizhah, Nadhir, dan Qaynuqa yang memeluk Yahudi. Piagam Madinah diberlakukan untuk
seluruh suku guna membela kedaulatan kota Yatsrib yang kemudian berubah menjadi Kota Madinah.
Strategi yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah memiliki kesamaan dengan kehidupan
kebangsaan Indonesia yang tidak menerapkan konstitusi berdasarkan hukum agama tertentu untuk
seluruh suku, tetapi menerapkan konstitusi atas dasar kesepakatan bersama yang bermodalkan
30
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Penerbit Mizan, 2003), 348.
31Shmuel Moreh (terj), Napoleon in Egypt: Al-Jabarti’s Chronicle of The French Occupation, 1798
437
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
438
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
perlindungan agama pada sila pertama. Perlindungan jiwa dan aspek-aspek kemanusiaan pada sila
kedua. Perlindungan keturunan sebagai bentuk hak kewarganegaraan dalam sila ketiga. Perlindungan
akal dan kebebasan berserikat berkumpul dalam sila keempat. Sedangkan perlindungan harta serta
akses sumber ekonomi tercermin dalam sila kelima.
Posisi Pancasila yang berkesesuaian dengan pokok-pokok tujuan pemberlakuan hukum Islam,
maka muslim Indonesia wajib menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, sekaligus mazhab dalam
berkebangsaan yang meliputi bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya.
Pancasila merupakan pondasi norma atas hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Hal
demikian berimplikasi pada pemberlakuan dan penerapan syariat Islam tidak boleh berlawanan
dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, perastuan, permusyawarakatan, dan
keadilan. Hukum Islam ditempatkan sebagai sumber pembentukan hukum nasional yang berinteraksi
dengan agama-agama lain. Pancasila sebagai mazhab berkebangsaan ditempatkan untuk meneguhkan
Islam di Nusantara guna mengembangkan peradaban Indonesia dan peradaban dunia yang damai.
Penutup
Pertemuan damai antara nasionalisme dengan agama di Indonesia berwujud dengan
keberhasilan rumusan Pancasila. Karakter kebhinekaan mendapatkan posisi penghargaan yang baik
guna menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat atau kearifan lokal masyarakat Nusantara. Hal
tersebut membentuk sistem sosial yang kemudian memetakan identitas kebangsaan itu sendiri.
Formulasi Islam dan negara yang terbentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI adalah negara yang mendasarkan pola interaksi masyarakatnya menjadi terbuka, ramah,
dan bersahabat dengan lingkungan budaya. Oleh karena itu Islam sebagai agama yang bersinergi
dengan budaya, mengedepankan sikap jalan tengah atau moderasi (tawasut). Corak Islam di Indonesia
sebagai darussalam melahirkan tegaknya Pancasila dan NKRI sebagai intisari dari ajaran Islam
ahlussunnah wal jama’ah. Kolaborasi antara Pancasila dan NKRI menjiwai karakteristik bangsa
Indonesia yang damai, membina keberagaman, serta mampu bekerjasama dalam kebhinekaan.
Program bina damai dengan menggunakan pendekatan kebangsaan dapat dilakukan terhadap
pelaku tindak pidana terorisme di dalam Lapas dan di luar Lapas. Strategi tersebut perlu adanya
identifikasi kebutuhan sekaligus analisis resiko kekerasan para pelaku konflik sosial maupun pelaku
tindak pidana terorisme.
Tiga pilar utama yang mendukung keberhasilan program bina damai dengan menggabungkan
antara pendekatan agama dengan pendekatan kebangsaan adalah membangun kerjasama lintas
sektoral. Hubungan kerjasama mesti didukung dengan pemanfaatan kekuatan struktural, dan otoritas
keislaman. Sinergi kerjasama yang dilakukan antara Kemenkumham dengan BNPT serta Kementerain
Agama telah menjadikan beberapa tokoh inti jaringan terorisme mengakui kesalahan dan membangun
rasa nasionalisme terhadap NKRI, seperti Ali Imron, Nasir Abas, dan Umar Patek.
439
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Program bina damai tindak pidana terorisme sesungguhnya telah berlangsung sejak 2011
seiring berdirinya BNPT. Hal demikian sudah mengalami perkembangan yang baik dalam
mengurangi potensi kekerasan narapidana terorisme. Pada akhir Maret 2015, BNPT menyatakan
bahwa 201 narapidana terorisme yang ada di pelbagai Lapas sudah bersedia untuk bekerjasama
dengan pemerintah dalam program pembinaan, sedangkan 25 narapidana terorisme lainnya masih
melakukan aksi penolakan.
Keberhasilan program bina damai di luar Lapas ditentukan pada kemauan mantan narapidana
dan masyarakat untuk berbaur sekaligus bekerjasama dengan sikap yang toleran terhadap masyarakat
sebagaimana dengan membuka bisnis usaha bersama. Tumbuhnya sel jaringan baru setelah adanya
penangkapan menunjukkan bahwa ideologi radikal masih memiliki pengikut atau partispan di
masyarakat. Keberhasilan Ormas Islam di Indonesia yang dipelopori Nahdhatul Ulama (NU) dalam
memetakan aliran radikal memberikan sumbangan tersendiri bagi negara untuk mengurangi potensi
kekerasan atas nama agama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program bina damai terorisme di luar Lapas
adalah strategi komunikasi aparat, kejelasan standar operasional program, koordinasi kewenangan
yang baik, dan ketersediaan sumber daya. Dalam bahasan ini, belum optimalnya program
deradikalisasi disebabkan adanya kekerasan senjata untuk mengungkap aksi terorisme sehingga
menimbulkan balas dendam, dan pembiaran terhadap pengajaran ideologi radikal yang mendorong
perlawanan terhadap negara melalui aksi kekerasan. Terorisme di Indonesia termasuk kategori sub-
revolusioner yang dilakukan oleh warga sipil untuk mengubah kebijakan politik atau balas dendam
terhadap pemerintah sehingga perlu memahami penyebab munculnya terorisme yang sangat
dipengaruhi faktor politik dan pemahaman agama yang tekstual.
Arogansi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam penindakan terorisme yang terkesan
main hakim sendiri membangkitkan para anggota jaringan kelompok teroris untuk membalas dendam.
Sasaran teror yang semula ditujukan pada orang asing atau obyek vital milik Negara Barat berubah
kepada polisi maupun kantor polisi. Aparat pemerintah yang tidak tegas menindak kemaksiatan
menjadi faktor tetap berlangsungnya kekerasan yang dilakukan oleh beberapa mantan narapidana
beserta jaringan kelompok sebelumnya dengan dalih penegakan hukum Islam di tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Nasir. Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Penerbit
Grafindo Khazanah Ilmu, 2005.
Black, Anthony. The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present.
Edinburgh: Edinburgh University Press, 2011.
440
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Bolz, Frank. The Counterterrorism Handbook: Tactics, Procedures, and Techniques. Boca Raton:
CRC Press Taylor & Francis Group, 2012.
Bruinessen, Martin van. NU: Tradisi, Relasi-Relasi, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS,
1994.
Būṭī, Muhammad Sa’id Ramaḍān. Al-Jihād fi al-Islām Kaifa Nafhamuhu? Wa Kaifa Numārisuhu?.
Beirut: Dār al-Fikr al-Ma’āsir, 1993.
Fatoohi, Louay. Jihad in the Qur’an: The Truth from the Source. Kuala Lumpur: As. Noordeen, 2002.
Gunaratna, Rohan. Inside Al-Qaeda, Global Network of Terror. New York: Columbia University
Press, 2002.
Izzuddīn, Ahmad Jalāl. Al-Irḥāb wa al-‘Unf al-Siyāsi. Kairo: Dār al-Ḥurriyah, 1986.
Jurgensmayer, Mark. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (California:
University of California Press, 2001)
Keppel, Gilles. Jihad: The Trial of Political Islam. Cambridge: Harvard University Press, 2002.
Khamdan, Muh. Pesantren di Dalam Penjara; Sebuah Model Pembangunan Karakter. Kudus: Parist,
2012.
Kushner, Harvey. Holy War on the Home Front. New York: Sentinel, 2004.
Laquaer, Walter. New Terrorism: Fanatisme dan Senjata Pemusnah Massal. Yogyakarta: Juxtapose
Research Study Club dan Kreasi Wacana, 2005.
Lewis, Bernard. Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror yang Keji. Jakarta: PT Ina Publikatama, 2004.
441
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Jogjakarta: LKiS, 2007.
Mohindra, Maj Gen. S.. Terrorist Games Nations Play. New Delhi: Lancer Publisher Pvt, 1991.
Muhammad Ibn Hazm, Abu. al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, Vol. 1. Beirut: Dār al-Afaq al-Jadīdah, 1980.
Rabasa, Angel. Deradicalizing Islamist Extremists. Pittsburgh: The RAND Corporation, 2010.
Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press,
1994.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan, 1996.
Shihab, Quraish. Kekerasan Atas Nama Agama. Jakarta: Pusat Studi Al Qur’an, 2008.
Ungerer, Carl. Jihadists in Jail: Radicalisation and the Indonesian Prison Experience. Australia: The
Australian Strategic Policy Institute, 2011.
Wiktorowicz, Quintan. The Management of Islamic Activism: Salafis, the Muslim Brotherhood, and
State Power in Jordan. New York: State University of New York Press, 2001.
Zahrah, Muhammad Abū. Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyah. Cairo: Dār el-Fikr al-‘Arābi, tth.
442
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Lailatul Isnaini
Widyaiswara Ahli Muda
Bandiklatda Provinsi Jambi
Abstract: Penelitian ini bersifat deskriptif dan verifikatif. Penelitian ini dilakukan di
Badan Diklat Daerah Daerah Provinsi Jambi, responden yang digunakan sebanyak
75 orang, menggunakan metode Analisis Jalur. Hasil penelitian menunjukkan gaya
kepemimpinan dan budaya organisasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap motivasi dalam meningkatkan kinerja karyawan. Pengaruh dari gaya
kepemimpinan terhadap motivasi kerja adalah positif; pengaruh dari budaya
organisasi terhadap motivasi kerja adalah signifikan dan positif; pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap kinerja pegawai adalah signifikan dan positif; pengaruh
motivasi terhadap kinerja adalah signifikan dan positif; dan gaya kepemimpinan dan
budaya organisasi melalui motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
PENDAHULUAN
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) mempunyai peranan yang sangat penting
dalam mempengaruhi jalannya organisasi karena merupakan penentu bagi keefektifan
berjalannya kegiatan di dalam organisasi tersebut. Oleh sebab itu SDM harus benar-benar
menjadi aset yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap organisasi, memiliki
profesionalitas yang terdepan serta prestasi yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan oleh organisasi.
SDM tidak dapat menjalankan aktifitasnya sendiri tanpa didukung oleh faktor
faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja. Hal tersebut karena SDM mempunyai
443
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sejumlah pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi yang mengajukan
mutasi ke SKPD lain selama 5 (lima) tahun terakhir dapat terlihat pada Tebel 2 berikut;
Tabel. 1.1
444
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Keinginan Kebijakan
Jumlah
Sendiri Pimpinan
2010 8 3 11
2011 7 3 10
2012 9 2 11
2013 8 4 12
2014 5 3 8
2015 0 0 0
Jumlah 37 15 52
Sumber : Sekretariat Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi (sudah diolah)
Dari Tabel diatas terlihat bahwa dalam 5 (lima) tahun terakhir sebanyak 52 orang
telah pindah dari Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dengan rincian ; Tahun 2010
pegawai yang pindah 11 orang, tahun 2011 sebanyak 10 orang, tahun 2012 pegawai yang
pindah 11 orang, tahun 2013 pegawai yang pindah 12 orang, tahun 2014 sebanyak 8
orang, dan tidak terjadi mutasi keluar SKPD sampai bulan Agustus 2015. (Sekretariat
Bandiklatda Provinsi Jambi Tahun 2015)
Kinerja pegawai pada sebuah instansi diantaranya akan tercermin dari beberapa
jauh target program kerja tersebut dapat direalisasikan dan berapa besar serapan
anggarannya. Melalui perkembangan pelaksanaan program dan kegiatan inilah kinerja
suatu instansi dapat dinilai baik dan buruknya. Kinerja Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi dapat terlihat dari realisasi kinerja selama kurun waktu dua tahun terakhir pada
Tabel 2 .
445
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Tabel 1.2
Rekapitulasi Perkembangan Pencapaian Atau Realisasi Kinerja Pada
Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Periode 2013 Dan 2014
∑ Dana ∑ Dana
Serapan Kinerja Serapan Kinerja
(Rp.000) % (Rp.000) %
(Rp.000) (Rp.000)
4 Manajemen
224.315 216.072 96,32 527.850 485.849 92,04
Pemerintahan
Dari Tabel terlihat bahwa pada tahun 2013, anggaran yang tersedia sebesar Rp.
11.558.674,- berhasil diserap sebesar Rp. 10.216.388,- dengan kinerja sebesar 88,38%.
Tahun 2014, anggaran yang tersedia Rp. 12.165.506 berhasil diserap sebesar Rp.
10.800.345, dan kinerja sebesar 88,78%. (Sekretariat Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi Tahun 2015). Dari data tersebut terlihat bahwa kinerja Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi meningkat sebesar 0,50% antara periode tahun 2013 dan tahun 2014 dalam
realisasi pencapaian kinerja, dan hampir seluruh bidang mampu mencapai target yang
telah ditetapkan. Meskipun demikian, ditinjau dari jumlah persentase pencapaian secara
keseluruhan perolehan masih berada di bawah 100%, maka pencapaian kinerja
pegawainya dihampir seluruh unit pelaksana (bidang) menjadi relatif belum maksimal.
446
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
pegawai, yang selanjutnya dapat mempengaruhi kinerja pegawai?. Penelitian ini akan
menganalisa pengaruh gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja
pegawai melalui motivasi kerja sebagai variabel antara. Penelitian ini akan dilakukan pada
unit organisasi Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana gambaran budaya organisasi (X1), gaya kepemimpinan (X2), motivasi kerja
(Y) dan Kinerja pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi?.
2. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap
motivasi pegawai (Y) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi?
3. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap
kinerja pegawai (Z) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi ?
4. Bagaimana pengaruh motivasi (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi
5. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) melalui
motivasi pegawai (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi?.
TUJUAN PENELITIAN
447
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
5. Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan (X1), dan budaya organisasi (X2),
melalui motivasi pegawai (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi.
KAJIAN TEORI.
Budaya organisasi sebagai sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para
anggota organisasi yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain
(Robbins dan Judge dalam Sunyoto (2013:225). Indikator budaya organisasi yaitu,
Inovasi, perhatian pada hal-hal yang rinci (attention to detail), orientasi hasil (outcome
orientation), orientasi pada orang (people orientation) orientasi tim (tim orientation),
keagresifan (Agressiveness) dan stabilitas (stability). Budaya organisasi membentuk
perilaku staf dengan mendorong pencampuran core values dan perilaku yang diinginkan,
sehingga memungkinkan organisasi bekerja dengan lebih efesien dan efektif,
meningkatkan konsistensi, menyelesaikan konflik, dan memfasilitasi koordinasi dan
control. Budaya organisasi akan meningkatakan motivasi staf dengan memberi mereka
perasaan memiliki, loyalitas, kepercayaan, dan nilai-nilai, dan menolong mereka berfikir
positif tentang mereka dan organisasi (Nawawi, 2015).
Motivasi merupakan dorongan terhadap serangkaian proses perilaku manusia pada
pencapaian tujuan (Wibowo, 2013) . Beberapa faktor dapat mepengaruhi motivasi kerja,
448
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
faktor tersebut antara lain atasan, kolega, sarana fisik, kebijaksanaan, peraturan, imbalan
jasa uang dan non-uang, jenis pekerjaan dan tantangan.
Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas
yang dicapai persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2012). Wibowo (2013)
mengemukakan bahwa indikator kinerja yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dari
kinerja individu seorang tenaga kerja (pegawai), yakni tujuan, Standar, umpan balik, alat
atau sarana, kompensasi, motif, dan peluang. Tujuan kerja merupakan suatu keadaan yang
lebih baik yang ingin dicapai dimasa yang akan datang, tujuan menunjukkan kearah mana
kinerja harus dilakukan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dan kuantitatif dengan pertimbangan efektifitas, efisiensi. Hal tersebut peneliti ambil
karena keterbatasan waktu, tenaga, dana dan kemampuan yang ada pada peneliti.
Pendekatan Deskriptif dilaksanakan untuk menganalisis secara menyeluruh tentang gaya
kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap motivasi kerja dan dampaknya terhadap
kinerja pegawai pada Bandiklatda Provinsi Jambi. Sedangkan untuk mengumpulkan dan
menganalisis bukti empiris (data) peneliti melakukan pendekatan kuantitatif dengan
melakukan pengujian data secara statistik, serta dilakukan secara sistematis agar dapat
memahami fenomena sosial yang sedang diteliti (Sugiyono, 2005).
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat analisis jalur (path
analysis). Perhitungan menggunakan analisis jalur ini sendiri mensyaratkan data yang
digunakan memiliki skala pengukuran interval. Karena tingkat pengukuran skala dari
Likert’s Summated Rating adalah ordinal, maka agar dapat diolah lebih lanjut harus diubah
terlebih dahulu menjadi skala interval dengan menggunakan Method Of Succesive Interval
(MSI). Data yang telah diolah melalui proses interval, selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan program SPSS.19.
Penelitian ini dilakukan di Bandiklatda Provinsi Jambi, sedangkan yang menjadi
unit analisis adalah pegawai yang ada pada SKPD tersebut yang berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) berjumlah 75 orang. Instrumen pengumpulan data melalui kuesioner
dan observasi, serta wawancara tidak langsung.
449
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
TEMUAN.
1. Gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2), motivasi (Y) dan kinerja
pegawai (Z) Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
Hasil penelitian ditemukan bahwasanya kepemimpinan (X1) mendapatkan total skor
3.186 yang berarti “baik”, sedangkan budaya organisasi (X2) pegawai di Bandiklatda
Provinsi Jambi “Tinggi” dengan total skor 2.830, motivasi (Y) mendapatkan total skor
sebesar 4.079 ini berarti “Tinggi”, dan kinerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi mendapatkan total skor sebesar 3.240, yang artinya “Sering”.
450
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
positif dan secara signifikan terhadap Motivasi (Y) dan ini terbukti sehingga
hipotesis di terima.
Pembahasan dari variable Gaya Kepemimpinan (X1) terhadap Motivasi (Y)
pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi. Hasil perhitungan dengan menggunakan
software SPSS 19 seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.27 di atas secara parsial
antara Gaya Kepemimpinan (X1) dengan variabel Motivasi (Y) menunjukkan bahwa
t hitung 6,895 dengan Sig. 0,000. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka
H0 di tolak dan H1 diterima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05
maka H0 diterima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Karena 0,027 < 0,05
maka H0 di terima dan H1 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa Gaya
Kepemimpinan (X1) pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi secara
positif dan signifikan berpengaruh terhadap Motivasi (Y) dan hipotesis di terima.
3. a. Pengaruh secara Simultan Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Kinerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Hasil pengujian uji simultan (uji F) adalah sebagai berikut : Secara simultan
antara variabel Gaya Kepemimpinan (X1), dan variabel Budaya Organisasi (X2)
dengan variabel Kinerja(Z) menunjukkan bahwa F hitung 120,442 dengan taraf
signifikansi 0,000.Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka H0 di tolak
dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05 maka H0 di
terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Dari Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara simultan Gaya Kepemimpinan (X1), dan variabel
Budaya Organisasi (X2) berpengaruh terhadap Kinerja(Z) pegawai pada Badan
Diklat Daerah Provinsi Jambi berpengaruh secara positif dan signifikan karena
0,000 < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima.
b. Pengaruh secara Parsial Gaya Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi
terhadap Kinerja Pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Hasil pengujian dengan uji parsial (uji t) secara parsial antara variabel Gaya
Kepemimpinan (X1) dengan variabel Kinerja pegawai (Z) menunjukkan bahwa t
hitung 1,994 dengan taraf signifikansi 0,05. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian
< 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig.
penelitian > 0,05 maka H0 di terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan.
Karena 0,05= 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima. Hasil ini menunjukkan
451
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
452
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kesimpulan
453
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Saran
1. Perlunya peningkatan komitmen pemimpin untuk memberikan rasa nyaman dan aman
dalam bekerja dengan cara memberikan perhatian yang lebih dari atasan terhadap
bawahan dan menciptakan Komunikasi yang lebih erat antara atasan dan bawahan
ataupun sesama rekan pegawai agar dapat bekerja dengan lebih optimal.
2. Perlunya peningkatan budaya kerja organisasi yang memberikan rasa aman bagi
anggotanya dan pada saat yang sama atasan dapat menjadikan dirinya sebagai panutan
dalam bersikap, berprilaku bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana,
jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan keteladanan, serta mendapat
kepercayaan dari para pegawainya.
3. Perlunya peningkatan motivasi dari atasan kepada bawahan, mengingat motivasi
dapat memberikan pengaruh menurun atau meningkatkan kinerja para pegawai secara
keseluruhan, maka diperlukan adanya upaya oleh pimpinan dalam memperhatikan
hal-hal apa saja yang membuat motivasi para pegawai dalam bekerja menurun, dan
segera dapat mengambil tindakan yang tepat. Sehingga, pegawai merasa diperhatikan
dan hal ini akan menjadi pendorong bagi terciptanya motivasi kerja yang lebih baik.
4. Peningkatan sarana dan sarana pendukung dan lingkungan kerja yang nyaman serta
tugas yang diberikan kepada bawahan sesuai dengan deskripsi kerjanya untuk
menghindari stress kerja yang berlebihan guna mengoptimalkan kinerja pegawai.
5. Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh gaya kepemimpinan,
budaya organisasi, , motivasi kerja terhadap kinerja pegawai untuk menguji kesahihan
hasil penelitian ini dan untuk menambah cakrawala pengembangan ilmu manajemen
sumber daya manusia.
Daftar Pustaka
1. Arikunto, Suharsimi. (2007). “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi
Revisi”. PT. Rineka Cipta. Jakarta
2. Daft, Richart C.( 2003). Manajemen. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta
454
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
3. Dubrin, Andre J. (2009). The Complete Ideal’s Guides: Leadership. Edisi Kedua.
Cet. 3. Prenada. Jakarta
4. Fahmi, Irham. (2011). Manajemen Kepemimpinan Teori dan Aplikasi. Alfabeta.
Bandung.
5. Handoko, T.H. (2002). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. BPFE UGM.
Yogyakarta.
6. Hasibuan, Malayu SP. (2003). Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas.
Bumi Aksara. Jakarta.
7. Kotter. John P. (1997). Faktor Kepemimpinan. (Terj) Hari Suminto. Preehallindo.
Jakarta
8. Kartini. Kartono. (1994). Pemimpin dan Kepemimpinan. PT. Raja Grafinda. Jakarta
9. Ken Blanchard dan Mark Miller. (2005).The Secret. (Terj) Marianto Samosir.PT
Elex Media Komputindo. Jakarta
10. Mangkunegara, Anwar Prabu. (2005). Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika
Aditama Bandung
11. Mangkunegara, Anwar Prabu. (2012). Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika
Aditama Bandung
12. Matondang, H.M. (2008). Kepemimpinan Budaya Organisasi dan Manajemen
Strategik. Graha Ilmu. Yogjakarta.
13. Thoha, Miftah. (2005). Perilaku Organisasi: Konsep dasar san Aplikasinya. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta
14. Nawawi, Hadari. (2001). Manajemen Stratejik 0rganisasi Non Profit Bid Pemerintah
dengan Ilustrasi di Bid Pendidikan. Gajah Mada Pres. Yogjakarta.
15. Nawawi Ismail. (2015). Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja, Proses
Terbentuk , Tumbuh Kembang, Dinamika, dan Kinerja Organisasi. Ed. Kedua.
Prenadamedia Grup. Jakarta
16. Peraturan Daerah No. 15 tahun (2008). Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Inspektorat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah Provinsi Jambi.
17. Robbins, Stepphen P. (1999). Perilaku Organisasi (Terj) Hadyana Pujaatmaka Jilid
1&2. PT Bhuana Ilmu Popular. Jakarta
18. Siagian, Sondang P. (2002). Meningkatkan Produktivitas Kerja. Rineka Cipta.
Jakarta.
19. Somamora, Henry. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua.
Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
20. Sugiyono. (2005). “Statistik Untuk Penelitian”. CV. Alfabeta. Bandung.
21. Sunyoto, Danang.( 2013). Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Kedua.
Center For Academic Publising Service (CAPS). Yogjakarta.
22. Thoyib, Armanu. (2005). Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi dan kinerja
Pendekatan Konsep. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Volume 7 No. 1, Meret
2005. 60 – 73.
455
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
456
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Poniman find that there was the fifth basic function that never discovered before by Jung
nor Myers-Briggs. He compleated these concepts based on theory of Triune Brains by
Paul McLean which was mentioning Reptilian Brains. Farid calls the five basic function as
intelligence engines and when combined with intelligence drive (introvert and extrovert)
they became 9 personality genetics.
In this paper, there will be discussion about the appliance of STIFIn concept in leadership
training especially at coaching and mentoring process when participants developing their
project of change. By STIFIn approach, every participant had recognized as a person
with a certain personality which who had their primary potential and charaters. Mentor
and coach would be easier for sure to support participants’ successfullness. And these
benefits would last continues as long as the organization maintenancing the dynamics of
STIFIn’s circulation concept.
457
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pendahuluan
Setiap manusia adalah unik. Baik dari segi fisik maupun kecerdasan dan
kepribadiannya, setiap manusia berbeda-beda. Secara fisik setiap manusia memang
memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki manusia lainnya, misalnya susunan DNA,
guratan kulit ujung jari (sidik jari), dan pola retina mata. Tidak ada manusia yang memiliki
kesamaan identik dengan milyaran manusia lainnya, bahkan dengan kembarannya sendiri
(jika terlahir sebagai anak kembar). Demikian pula dengan kecerdasan dan
kepribadiannya, setiap orang memiliki cara berfikir dan gaya sikap tersendiri yang berbeda
dengan orang lain.
Namun demikian, untuk memudahkan interaksi dan saling kenal dengan sesamanya,
telah dilakukan beberapa pengelompokkan tertentu, misalnya berdasakan jenis kelamin,
warna kulit, suku/ras keturunan, tingkat intelektual, atau golongan darah. Dengan
pengelompokkan yang sederhana dan jenius tersebut interaksi manusia menjadi lebih
mudah dan dengan pemahaman yang baik maka dapat dilakukan sikap/tindakan yang
lebih tepat. Seorang wanita akan lebih respek terhadap pria yang bersikap sopan,
seorang ras/suku tertentu akan lebih nyaman jika seseorang berbicara dalam bahasa
ibunya, seorang yang tingkat intelektualnya rendah akan kebingungan jika kita
menggunakan istilah teknis yang tidak dikuasainya, dan tubuh seorang bergolongan darah
A akan menolak transfusi darah dari pendonor yang bergolongan darah B. Demikianlah
contoh kecil manfaat yang dapat diperoleh dari pengelompokkan manusia.
Hal-hal yang khusus dalam konsep STIFIn ini adalah karena mesin kecerdasan
dinyatakan sebagai faktor bawaan lahir (genetic inheredity), sehingga bersifat permanen
458
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dan tidak berubah seiring dengan usia dan pengalaman hidup seseorang. Selain itu, untuk
keperluan diagnosis dan assessment, STIFIn telah meninggalkan teknik ‘paper n pencil’
dan selangkah lebih maju dengan menyederhanakannya menjadi teknik analisis pola sidik
jari terkomputasi yang merupakan paduan teknik Dactyloscopy dan Dermatoglyphic.
Topik mengenai konsep personality dan mesin kecerdasan STIFIn ini perlu
mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak mengingat pendekatan yang
dilakukan dengan konsep terkini tersebut terbilang sederhana dan aplikatif. Sederhana
karena hanya dengan menemukan salah satu dari lima jenis mesin kecerdasan yang
merupakan belahan otak yang kerap digunakannya, maka seseorang dapat mengungkap
banyak hal dalam dirinya termasuk potensi terbaiknya yang dapat menjadi titik awal
gelaran karpet merah dalam menjalani kehidupannya. Aplikatif karena konsep ini bersifat
multi-angle-field sehingga dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain
meliputi bidang pendidikan, parenting, leadership, human resources, couple relationship,
politik, dan sebagainya.
Tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah untuk menelaah mengenai konsep
personality khususnya mesin kecerdasan STIFIn dan mengkaji bagaimana penerapan
konsep ini di bidang pengembangan SDM dan khususnya dalam konteks pelaksanaan
coaching dan mentoring pada proyek perubahan yang dilakukan oleh peserta pendidikan
dan pelatihan kepemimpinan.
Tulisan ini disusun dalam sistematika berupa pendahuluan yang memuat latar
belakang, penelitian/gagasan yang telah ada sebelumnya, arti penting topik ini dan tujuan
penulisan serta sistematikanya. Selanjutnya metodologi yang digunakan dalam penulisan
yang merupakan kerangka teori/konsep yang digunakan oleh penulis dalam
penyusunannya, dilanjutkan dengan diskusi setentang topik dan penarikan kesimpulan
dari hasil diskusi tersebut.
Metodologi
Dalam penyusunan tulisan ini, penulis melakukan penelaahan landasan teori dari
berbagai literatur yang ada untuk mendeskripsikan konsep-konsep pemikiran yang
dikemukakan, kemudian menganalisis dan mendiskusikan kemungkinan penerapan
konsep yang dikaji tersebut di lapangan lalu menarik kesimpulan dari hasil diskusi dan
merekomendasikan hal-hal yang dimungkinkan untuk diterapkan.
459
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil
A. Konsep STIFIn
STIFIn adalah nama konsep pengelompokkan kepribadian yang diambil dari singkatan
5 jenis mesin kecerdasan, 4 diantaranya adalah sebagaimana yang dimaksud sebagai
fungsi dasar otak oleh Carl Gustaav Jung, yaitu Sensing (S), Thinking (T), Intuiting (I),
Feeling (F), dan dilengkapi oleh satu mesin kecerdasan lagi hasil temuan Farid Poniman,
yaitu Instinct (In) sehingga membentuk akronim STIFIn. Jika dikombinasikan dengan
salah satu dari dua jenis kemudinya (drive) berjenis introvert (i) dan ekstrovert (e), maka
mesin kecerdasan itu menjadi salah satu dari sembilan jenis kepribadian yang khas, yaitu
Sensing introvert (Si), Sensing ekstrovert (Se), Thinking introvert (Ti), Thinking ekstrovert
(Te), Intuiting introvert (Ii), Intuiting ekstrtovert (Ie), Feeling introvert (Fi), dan Feeling
ekstrovert (Fe), serta jenis mesin kecerdasan yang terakhir ditemukan tanpa kemudi, yaitu
Instinct (In).
Pijakan konsep STIFIn dibangun berdasarkan elaborasi dari teori-teori yang pernah
ada sebelumnya, antara lain teori fungsi dasar otak manusia yang dikemukakan oleh
perintis psycho- analysis berkebangsaan Swiss bernama Carl Gustaav Jung (1875-1961).
Terdapat empat fungsi dasar manusia yakni fungsi pengindraan (sensing), fungsi berpikir
(thinking), fungsi merasa (feeling), dan fungsi intuisi (intuition). Namun dari keempat fungsi
dasar itu, pada diri setiap manusia hanya salah satu saja diantaranya yang dominan dan
memimpin fungsi dasar lainnya sehingga perilaku manusia cenderung masuk dalam salah
satu dari empat kategori tersebut. Sejauh hal tersebut, Jung belum mengkaitkan antara
fungsi dasar dengan keberadaan fisiknya.
Keberadaan organ fisik otak yang dikaitkan dengan fungsi dasarnya mulai terkuak oleh
seorang neuro-scientist Ned Hermann (1922-1999) yang membagi otak manusia menjadi
empat kuadran yakni limbik kiri dan kanan, serta cerebral kiri dan kanan. Sebelumnya,
Roger Wolcott Sperry (1913-1994) pemenang hadiah Nobel tahun 1981 telah
mengelompokkan manusia dalam dua kategori, pengguna dominan otak kiri dan
pengguna dominan otak kanan. Pengguna dominan otak kiri cenderung bersikap
konvensional dan disiplin sedangkan pengguna dominan otak kanan cenderung berpikir
kreatif dan artistik. Adapun Paul Broca (1824-1880) juga membuat dua kategori manusia
berdasarkan belahan otaknya, yaitu pengguna dominan neokorteks dan pengguna
dominan limbik. Kelompok neokorteks cenderung bersikap investigatif sedangkan
460
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kelompok limbik cenderung bersikap sosial. Keberadaan fisik organ otak dan fungsi
dasarnya semakin diverifikasi dengan hasil riset Dario Nardi (2007) yang memetakan
fungsi beberapa area otak menggunakan teknologi EEG.
Empat fungsi dasar otak yang terletak pada masing-masing kuadran otak kanan-kiri dan
atas- bawah ternyata belum final. Berpijak dari teori Triune Brains yang digagas neuro-
scientist lain berkebangsaan Amerika Serikat, Paul D. MacLean yang membagi otak
manusia berdasarkan hasil evolusinya: otak insani (neokorteks), otak mamalia (limbik), dan
otak reptilian (basal ganglia) dan hasil observasi internal yang dilakukannya, Farid
Poniman mendapati adanya jenis kepribadian yang tidak tepat untuk dikategorikan ke
dalam salah satu dari 4 kelompok mesin kecerdasan yang ada. Jenis
kecerdasan/kepribadian tersebut adalah Instinct (In) yang letak fisiknya berada pada
cerebellum, medulia, midbrain, pons, brain stem dan tersambung langsung dengan tulang
belakang.
Konsep mesin kecerdasan dan personality yang dikembangkan dalam framing STIFIn
bersifat genetic inheredity, artinya merupakan bawaan sejak lahir dan tetap tidak berubah
sepanjang hidup seseorang. Dalam postulat/rumus yang menyatakan: “Fenotif (100%) =
Genetik (20%) + Lingkungan (80%)”, maka berarti konsep STIFIn menggunakan
pendekatan genetik yang 20%, bukan yang fenotif (100%), namun demikian justru yang
genetik itulah yang secara aktif terus menerus mencari lingkungan yang cocok buatnya
sehingga 100% fenotif itu banyak dikontribusi oleh 20% genetik. Meskipun tidak selalu
80% lingkungan berhasil dicapai sepenuhnya sesuai dengan genetik, namun sadar
ataupun tidak, kebebasan berkehendak pada manusia akan cenderung berkeinginan
mencari lingkungan yang sesuai dengan dirinya, karena hanya lingkungan yang sesuai
sajalah yang dapat membuat dirinya merasa nyaman. Rhenald Khasali (2010)
menyebutnya sebagai genetika perilaku: “Para ahli genetika mulai masuk ke cabang baru
dari genetika biologi, yakni genetika perilaku (behavioural genetics), karena berdasar
penelitian mutakhir terungkap adanya pengaruh genetika terhadap perilaku perubahan”.
Berikut ini adalah kepribadian dalam keseharian untuk setiap jenis mesin kecerdasan:
461
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
1) Orang berkarakter Sensing yang dominan dalam menggunakan kuadran otak limbik
kiri, dalam kesehariannya adalah sebagai berikut:
Berpijak pada yang nyata dan aktual
Mengolah informasi berdasarkan apa yang diterima panca indera
Lebih berminat pada aplikasi praktis
Faktual dan memperhatikan detil
Menguraikan peristiwa secara urut/sekuensial
Orientasi pada saat ini
Menyerap gagasan secara bertahap (tidak langsung sekaligus)
Menyukai kesempatan untuk praktek
Mengandalkan pengalaman dan mengingat masa lalu dengan akurat
Pola bicara yang jelas dan teratur
Pikiran yang terangkai satu diikuti yang lainnya
Berpikir linier menggunakan fakta dan contoh yang konkrit
Menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi
Lebih memahami tubuhnya
Menyukai cerita non-fiksi
Cenderung mendengar sampai lengkap
Langsung menuju sasaran
462
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
4) Orang berkarakter Feeling yang dominan dalam menggunakan kuadran otak limbik
kanan dalam keseharainnya adalah sebagai berikut:
Lebih banyak menggunakan perasaan
Ingin menyenangkan orang lain, mencari keharmonisan, menghargai perasaan
orang lain
Memulai dengan pembicaraan kecil, bertanya tiap kali memungkinkan
Pertimbangan lebih emosional dan melibatkan kemungkinan akibatnya bagi orang
lain
Kurang tegas dalam menuntut hak, menghindari argumen, konflik, dan konfrontasi
Bekerja sama dengan baik dalam komunitas sosial yang baik
Perasaan mudah terluka atau dendam
Ingin selalu memimpin
Mampu menunjukkan kekaguman
Pandai berempati
Sering menyebutkan nama orang lain
Lebih seperti sikap feminin (lebih dari 65%)
463
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
5) Orang berkarakter Instinct yang dominan dalam menggunakan otak midbrain dalam
keseharainnya adalah sebagai berikut:
Bereaksi secara spontan dan “to the point”
Mengolah informasi menggunakan naluri
Lebih berminat memberikan kontribusi
Pragmatis, tapi memiliki insight
Menyukai pekerjaan sosial, menolong orang
Orientasi mencari kebahagiaan
Pola bicara singkat, seperti “ya” atau “tidak”
Pemikiran sederhana, polos, dan tidak neko-neko
Keterampilan serba bisa
Mengingat hal-hal yang berkesan, dan traumatik dengan kejadian buruk
Tidak suka konflik, mudah beradaptasi
Menjadi penghubung untuk mendamaikan suatu pertikaian
Mesin kecerdasan Sensing, misalnya, yang karakternya rajin, teliti, memiliki banyak
rekaman fakta pengalaman dalam ingatannya yang kuat, dan bersifat praktis-konkrit
secara alamiah cenderung mendukung mesin kecerdasan Thinking yang karakternya
berpikir secara analitis, logis, tegas, karena jenis mesin ini dalam proses berpikirnya
memerlukan banyak pasokan data hal mana data berupa rekaman fakta tersebut
merupakan keunggulan tipe Sensing. Jadi Sensing mensupport Thinking.
Sensing yang meskipun bersifat rajin, teliti, memiliki banyak rekaman fakta masa lalu
dalam memorinya, dan bersifat praktis-konkrit sebagaimana tersebut di atas secara
464
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
alamiah cenderung takluk oleh mesin kecerdasan Intuiting yang karakternya kreatif,
berorientasi pada masa depan dan menghasilkan gagasan-gagasan ‘out of the box’
sebagai solusi yang memudahkan pekerjaan. Kerajinan, ketelitian, dan pengalaman dapat
ditaklukkan oleh kreatifitas. Jadi Intuiting menaklukkan Sensing
Jika Sensing mendukung Thinking, maka Thinking mendukung Instinct, dan Instinct
mendukung Intuiting, lalu Intuiting mendukung Feeling, kemudian Feeling mendukung
Sensing. Demikianlah pola chemistry pendukungannya menjadi suatu sirkulasi yang
menggambarkan dinamika bahwa setiap mesin kecerdasan saling mendukung satu sama
lainnya.
Jika Sensing ditaklukkan oleh Intuiting, maka Intuiting ditaklukkan oleh Thinking, dan
Thinking ditaklukkan oleh Feeling, lalu Feeling ditaklukkan oleh Instinct, kemudian Instinct
ditaklukkan oleh Sensing. Demikian pola chemistry penaklukkan pun merupakan suatu
sirkulasi yang menggambarkan dinamika bahwa setiap mesin kecerdasan saling
menaklukkan satu sama lainnya.
Untuk menyederhanakannya,
keseluruhan pola pendukungan dan Instinct
Dalam proses rekrutmen, baik penerimaan pegawai baru maupun mutasi/promosi, pola
tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal karena
465
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
memperkaya opsi dalam pengambilan keputusan. Sedangkan dalam hal pimpinan suatu
unit kerja tidak memiliki kewenangan memilih sendiri personil-personil yang ditempatkan
dalam unit kerjanya, maka yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan-pendekatan
tertentu yang sesuai dengan mesin kecerdasan anggota unit kerja secara individual. Hal
ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali mesin kecerdasan masing-masing
anggota unit kerjanya.
Apabila penentuan mentor dan coach karena satu dan lain hal ternyata tidak
menggunakan pola sirkulasi tersebut di atas, maka yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pendekatan-pendekatan tertentu yang sesuai dengan tipe mesin kecerdasan
masing-masing peserta diklat selaku mentee/coachee secara individual. Hal ini dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali mesin kecerdasan masing-masing peserta
diklat.
Diskusi
Atmosfer organisasi atau tim kerja yang dibangun berdasarkan kepribadian alami
peserta diklat secara tepat akan memberikan akibat yang positif baik bagi peserta diklat
selaku pimpinan maupun bagi anak buahnya. Sebagai pimpinan, peserta diklat akan
merasa nyaman karena eksistensinya benar benar ada dan merasa diakui oleh
lingkungan kerjanya. Adapun bagi anak buah akan merasa nyaman karena mereka secara
pasti dapat memposisikan diri dalam berbagai hal, termasuk dalam mengembangkan
potensinya, dan tidak mengalami kebingungan akan pola kepemimpinan dan pola
bimbingan. Peserta diklat dapat menerapkan gaya kepemimpinan situasional sesuai
mesin kecerdasannya sendiri dan sesuai kepribadian masing-masing anak buahnya,
tetapi dengan atmosfer yang konsisten dan tidak membingungkan.
466
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Peserta diklatpim yang bermesin kecerdasan jenis Sensing dan Thinking sama-sama
dominan dalam penggunaan belahan otak kiri sehingga atmosfer yang dibangun dalam
gaya kepemimpinannya adalah Gaya Kiri, yaitu “menguasai anak buah”, membangun rasa
hormat secara vertikal antara atasan dan bawahan, memberikan pola keseragaman dan
pengulangan rutin, sangat peduli secara detil terhadap tindakan dan perilaku anak buah,
serta memberikan dan melembagakan peraturan dan kepatuhan. Sebaliknya, peserta
diklatpim yang bermesin kecerdasan Intuiting dan Feeling dominan dalam penggunaan
belahan otak kanannya sehingga atmosfer dalam gaya kepemimpinannya adalah Gaya
Kanan, yaitu memberi kelonggaran kepada anak buahnya, membangun rasa hormat
dengan kesetaraan, memberikan pilihan dengan segala konsekuensinya, peduli pada
langkah besar dan arahan hidup anak buahnya, serta memberikan dan melembagakan
kebebasan dan kemerdekaan bagi kemajuan anak buahnya.
Peserta diklat yang bermesin kecerdasan jenis Thinking dan Intuiting sama-sama
dominan dalam penggunaan neokorteks sehingga atmosfer yang dibangun dalam
organisasi/tim kerja adalah Gaya Atas, yaitu yang mementingkan kualitas individu,
menjejali dengan wawasan dan pengetahuan, mengandalkan kecerdasan anak buah,
mengajarkan prinsip dan logika dan menekankan bahwa kepandaian adalah modal untuk
dapat meraih bahagia. Adapun peserta diklat yang bermesin kecerdasan jenis Sensing
dan Feeling dominan dalam penggunaan limbik sehingga atmosfer dalam gaya
kepemimpinannya adalah Gaya Bawah, yaitu yang mementingkan hubungan
interpersonal, memperbanyak keterlibatan, mengandalkan daya juang anak buah,
mengajarkan tradisi dan fanatisme, serta menekankan bahwa usaha adalah modal untuk
bisa memberikan kebahagiaan.
Berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan organisasi/ tim kerja maka peserta diklatpim
harus menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan orientasi dari mesin kecerdasannya,
apakah berorientasi pada organisasional atau berorientasi pada produksi. Bagi mereka
yang memiliki mesin kecerdasan jenis Thinking dan Feeling, dapat menggunakan Gaya
Organisasi, yaitu yang menanamkan tanggung jawab dan kematangan, mengkader anak
buah agar dapat menjadi pemimpin, membangun harga diri dengan hal-hal yang bersifat
personal, dan mementingkan untuk berada pada jalur yang benar, serta menegakkan
“benar-salah”. Sementara bagi mereka dengan mesin kecerdasan jenis Sensing dan
Intuiting, dapat menggunakan Gaya Produksi, yang mementingkan hasil karya cipta anak
buah, membimbing anak buah untuk produktif dan berkinerja tinggi, membangun harga
diri dari hal-hal yang bersifat lingkungan, mementingkan kesejahteraan dan kesehatan,
467
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Khusus bagi peserta diklat dengan jenis mesin kecerdasan Instinct yang serba bisa dan
naluri tinggi, dapat mengakses keempat gaya Kiri-Kanan dan Atas-Bawah, serta memilih
orientasinya pada gaya organisasi ataupun produksi. Namun perlu diwaspadai dengan
segala kemampuan keserba-bisaannya, mereka yang bermesin kecerdasan Instinct akan
lebih mudah berganti-ganti gaya sesuai nalurinya, sehingga dikhawatirkan para bawahan
akan merasakan kebingungan atas inkonsistensi, sehingga sejak awal seorang pimpinan
yang bermesin kecerdasan Instinct perlu memilih salah satu saja gaya kepemimpinan
yang paling nyaman untuknya sebagai atasan dan mempertahankannya secara konsisten
sepanjang waktu.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan diskusi sebagaimana diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa konsep STIFIn merupakan sintesa dari teori-teori yang dikemukakan
468
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
oleh Roger Sperry, Paul Broca, Ned Herrman, Carl Gustav Jung dan Paul McLean;
Berbeda dengan sudut pandang penganut aliran perilaku (behaviorism) yang hanya
mengobservasi perilaku yang tampak dan terukur (fenotif) memandang bahwa manusia
sepenuhnya dapat dibentuk menjadi seperti apapun sesuai dengan apa yang dialaminya,
STIFIn menggunakan pendekatan nature, yaitu bahwa manusia memiliki jalan sendiri
sesuai dengan potensi genetiknya. Untuk dapat mencapai performance terbaiknya,
potensi genetik tersebut harus mendapatkan stimulus yang cocok pada jalur terbaiknya.
Konsep STIFIn telah menjadi konsep yang lebih kekinian, lebih sederhana, dan aplikatif
dengan multi-angle-field, dalam arti dapat diterapkan dalam bidang parenting, pendidikan,
human resources, leadership, couple-relations, politik, dan sebagainya. Khusus dalam
bidang leadership, konsep STIFIn dapat diaplikasikan untuk menemukan gaya
kepemimpinan yang efektif, yaitu suatu model yang menyederhanakan pola interaksi
antara pimpinan dengan atasan, peers, dan anak buahnya demi mewujudkan dinamika
positif dalam organisasi yang mampu meningkatkan produktifitas dan kinerja karena
setiap orang yang terlibat di dalamnya dapat memahami dan menjadi dirinya sendiri serta
menjalankan perannya masing-masing dengan rasa nyaman, bahkan diharapkan mampu
memahami cara berpikir dari sudut pandang orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Bahkan lebih spesifik lagi dalam konteks Diklat Kepemimpinan halmana mensyaratkan
mekanisme coaching dan mentoring antara peserta dengan fasilitator diklat dan atasan
peserta, pendekatan konsep STIFIn patut diberikan kesempatan tidak hanya sebagai teori
yang dibekalkan untuk peserta diklat agar dapat diterapkan dalam kepemimpinannya
kelak di lingkungan organisasinya, tetapi juga agar dapat langsung diaplikasikan oleh
masing-masing coach dan mentor yang terlibat dalam proyek perubahan pada masa
laboratorium kepemimpinan (Breakthrough ke-2) agar peserta diklat selaku pimpinan
proyek dapat menikmati proses coaching dan mentoring yang efektif, sesuai dengan
potensi dan kepribadiannya.
Daftar Pustaka
469
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Masduki Asbari, Ida Aya Sophia (2015). “Fokus Satu Hebat”. Jakarta: Dapurbuku.
Wikipedia (2016). Triune Brain. Diunduh dari: https://en.wikipedia.org/wiki/Triune_brain
tanggal 19 Maret 2016.
Wikipedia (2016). Myers-Briggs Tipe Indicator. Diunduh dari:
https://id.wikipedia.org/wiki/Myers- Briggs_Type_Indicator tanggal 19 Maret 2016.
470
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
PENDAHULUAN
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi di
bidang Manajemen Sumber Daya Manusia Departemen Keuangan, diperlukan
informasi profil kompetensi pegawai. Oleh karena itu Kementerian keuangan
menerbitkan PMK no 47 tahun 2008 tentang Assesment Center di lingkungan
Kementerian Keuangan. Assesment Center di lingkungan Kementerian keuangan
dilakukan dengan tujuan untuk untuk memperoleh profil kompetensi pegawai.
Assessment Center Departemen Keuangan, yang selanjutnya disebut Assessment
Center, adalah penilaian berbasis kompetensi dengan melibatkan beragam teknik
evaluasi, metode, dan alat ukur terhadap Pegawai Negeri Sipil Departemen
Keuangan. Tujuan Assessment Center adalah untuk memperoleh informasi profil
kompetensi setiap Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan, dalam rangka
471
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan adalah salah satu unit eselon dua
yang berada di bawah Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian
Keuangan. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan yang mempunyai tugas
menyelenggarakan kediklatan dalam bidang anggaran dan kebendaharaan umum
menyelenggarakan Diklat Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dan Aplikasi
Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual (SAIBA). Program pelatihan Program
Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP) yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPBn) sampai dengan tahun 2013
telah mencapai sekitar lebih dari 30.000 lulusan dengan fokus pada program
pelatihan. Jumlah lulusan tersebut dicapai melalui variasi peserta dan variasi
472
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
473
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Ada hal yang menarik dari acara rakernas akuntansi tahun 2015. Salah satu
pembicara rakernas akuntansi yang berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan
menyatakan bahwa Pemerintah Pusat belum sepenuhnya siap di dalam
implementasi akuntansi akrual untuk pertama kalinya pada tahun 2015. Masih
banyak hal yang harus dibenahi agar implementasi akuntansi akrual yang pertama
kali berjalan lancar tahun 2015.
Hal yang dibahas di dalam acara Rakernas Akuntansi tahun 2015 ini selaras
dengan surat yang dikirimkan oleh badan Pemeriksa keuangan kepada Menteri
Keuangan pada akhir tahun 2015. Surat dari BPK Kepada Menteri Keuangan
nadanya sama, yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat belum sepenuhnya
siap di dalam implementasi akuntansi akrual yang pertama kali.
Menanggapi surat yang dibuat oleh BPK kepada Menteri Keuangan atas
kekurangsiapan Pemerintah Pusat di dalam mengimplementasikan akuntansi
akrual pada tahun 2015, maka Kementerian Keuangan melakukan langkah langkah
antara lain:
474
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Implementasi akrual oleh PP nomor 71 tahun 2010 diberi opsi boleh dimulai
tahun 2011 dan paling lambat tahun 2015. Beberapa pemerintah daerah telah
menyusun laporan akrual sebelum tahun 2015. Pada tahun 2014, ada 10 Pemda
yang telah menyusun laporan akuntansi pemerintah daerah berbasis akrual. Ada dua
kondisi terkait opini atas laporan keuangan pemda tahun 2014:
Pertama, opini bersifat tetap. Misalnya tahun 2013, mendapatkan opini WTP dan
tahun 2014 tetap mendapatkan opini WTP.
475
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kedua, opini bersifat turun. Misal tahun 2013 mendapatkan opini WTP, namun pada
tahun 2014 mendapatkan opini WDP. Contoh lain, pada tahun 2013 mendapatkan
opini WDP, dan Kepala Daerah berharap mendapatkan opini WTP, namun yang
diperoleh justru opini disclaimer.
METODOLOGI
`Metodologi yang ditempuh dalam penelitian ini adalah mengambil data yang
diperoleh dari proses evaluasi pasca diklat yang dilakukan oleh Pusdiklat Anggaran
dan Perbendaharaan tahun 2016. Kegiatan Evaluasi pasca diklat telah dilakukan
oleh Kementerian Keuangan di bulan Januari 2016. Dengan menggunakan data
yang diperoleh dari kegiatan evaluasi pasca diklat yang dilakukan di 10 kota, penulis
melakukan analisis data yang diperoleh dikaitkan dengan mapping kompetensi SDM
di Bidang akrual. Evaluasi Pasca diklat dilakukan hanya untuk mengetahui diklat
tersebut bermanfaat atau tidak, namun tidak dilakukan pembahasan mendalam
dikaitkan dengan konsep mapping terhadap kompetensi SDM akrual, dan juga tidak
dilakukan pembahasan mendalam apa pengaruhnya terhadap kualitas laporan
keuangan. Sampai saat tulisan ini dibuat, pusdiklat AP belum menyelesaikan laporan
evaluasi pasca diklat. Tulisan ini bukanlah laporan evaluasi pasca diklat, namun
tulisan ini dikhususkan bagi forum rapat kerja nasional IWI, sebagai sebuah ajang
sumbang saran atau gagasan Widyaiswara di dalam pembangunan SDM manusia
khususnya SDM di bidang Akuntansi Akrual.
Untuk keperluan pengolahan data, digunakan statistika deskriptif. Dari hasil
data yang diperoleh yang berupa angka-angka akan dilakukan deskripsi,
pendalaman dan analisis untuk memudahkan interpretasi. Data-data yang diperoleh
akan dikaitkan satu data dengan data lainnya. Dari informasi tersebut akan dicoba
dianalisis apa dampaknya bagi para pengambil kebijakan di masa depan.
Seperti yang kita ketahui, tahu 2015 adalah tahun pertama implementasi
akuntansi akrual. Belum banyak penelitian yang bersifat komprehensif dan nasional
yang bisa dijadikan rujukan bagi para pengambil keputusan di bidang pengelolaan
SDM bidang akrual. Semoga penelitian ini merupakan penelitian awal yang akan
segera ditindaklanjuti dengan penelitian berikutnya yang lebih fokus dan terstruktur
serta komprehensif sehingga hasilnya bisa bermanfaat bagi para pengambil
keputusan.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability
sampling dengan menggunakan convenience sampling. Teknik sampling ini dipilih
476
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
HASIL
Mitra KPPN yang dipilih menjadi responden adalah mitra KPPN yang
menyelenggaran diklat PPAKP SAIBA tahun 2015 karena pada tahun 2015 terdapat
updating kurikulum diklat. Kegiatan pendampingan dilakukan di seluruh KPPN di
seluruh Indonesia. Pada kegiatan evaluasi pascadiklat ini dipilih sampel sebanyak 10
mitra KPPN yang menyelenggarakan diklat PPAKP tahun 2015 dan data kesepuluh
KPPN tersebut adalah:
Tabel 1
Sebaran Peserta Diklat PPAKP SAIBA tahun 2015 (dari Kota Terpilih sebagai Sampel)
477
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Responden dari penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan yang relatif beragam.
Pada Tabel 2 di bawah ini, disajikan latar belakang pendidikan dari para responden.
Tabel 2.
Tingkat Pendidikan para Responden
D3/lain Tidak
No Lokasi SMA/D1 D4/S1 S2
nya Menjawab
1 Banda Aceh 13 16 65 3 0
2 Bukittinggi 37 6 67 3 8
3 Palu 15 0 42 3 1
4 Banjarmasin 37 0 79 9 4
5 Kendari 22 0 85 7 2
6 Palangkaraya 23 0 56 10 4
7 Bengkulu 18 0 68 0 2
8 Palembang 2 0 16 2 1
9 Batam 16 0 18 0 1
10 Mataram 30 0 63 3 3
Total 213 22 559 40 26
Pada tabel 2 tersebut di atas terdapat 213 orang atau 24,77% dengan
pendidikan SMA/D1, D3 sebanyak 22 atau 2,56%, sebanyak 559 orang atau 65%
dengan pendidikan D4/S1, 40 orang atau 4,65% dengan pendidikan S2, 26 orang atau
3,02% tidak menjawab.
Tabel 3.
478
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
3 Palembang 24 15 6 8 4
4 Bengkulu 96 62 8 49 9
5 Batam 45 29 2 21 6
6 Palangkaraya 102 83 5 62 18
7 Banjarmasin 144 120 11 96 23
8 Kendari 119 90 19 63 18
9 Palu 63 53 8 34 16
10 Mataram 102 67 13 42 14
Total 909 684 87 501 163
Persentase Kesalahan 12,72 73,25 23,83
DISKUSI
Dari data yang tersaji di dalam bagian hasil penelitian, terlihat besarnya
kesalahan yang dialami oleh para responden. Untuk mendalami apa yang menjadi
penyebab terhadap tingginya tingkat kesalahan, kami melakukan pengujian ke
database evaluasi pengajar PPAKP. Hasilnya, nilai rata-rata atas pengajar di atas 4.
Artinya penyebab dari banyaknya kesalahan adalah bukan karena faktor evaluasi
pengajar. Peserta memberikan nilai tinggi terhadap pengajar. Hal ini bisa dijelaskan
lebih lanjut, bahwa pengajar merupakan orang terbaik di wilayah kabupaten/kota,
sementara para responden sedang ingin tahu tentang ilmu akrual. Akibatnya adalah
peserta memberikan evaluasi baik kepada pengajar saat mereka memberikan materi
baru yaitu akuntansi pemerintah berbasis akrual.
Karena tidak memperoleh argumen yang baik yang bisa menjelaskan dari
evaluasi pengajar, maka dilakukan penelusuran lebih jauh dilakukan ke nilai pre test
dan post test. Dari 10 kota yang dijadikan sampel, maka hasil pre test dan post test
tersaji sebagaimana terdapat di dalam tabel 4 berikut ini:
Tabel 4
Nilai pre test dan post test untuk
10 kota penyelenggara PPAKP yang dijadikan sampel.
Nilai Nilai Rata-
Nilai Presentase
Rata- Rata
No KPPN Akt Tahun Rata-Rata Kenaikan
Rata Posttest
Pretest (%)
Posttest KPPN
I 2014 48 69 0,44
1 Palembang II 2014 41 57 61,20 0,39
III 2014 40 57 0,43
479
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
480
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hal berikutnya yang menarik dan menjadi catatan adalah hasil inventarisasi
terhadap penyusunan laporan akuntansi akrual yang pertama kali. Ada 909
responden dari 10 kota yang dijadikan sampel evaluasi pasca diklat. Hasilnya
sungguh mengejutkan karena terdapaty 751 kesalahan yang dijumpai dalam
menyusun laporan keuangan. Ada tiga jenis kesalahan:
481
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
482
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dari paparan tersebut di atas, sesungguhnya saat ini pemerintah pusat belum
memiliki mapping atau pemetaan yang akurat atas SDM di bidang akuntansi akrual.
Pemetaan atau mapping atas SDM akrual dilakukan melalui kegiatan assesment
akrual atau uji kompetensi akrual terhadap SDM pelaksana akrual. Untuk pemetaan
yang lebih baik, harusnya pemerintah sudah memiliki kamus kompetensi. Seperti
halnya assesment center memerlukan kamus kompetensi, maka assesment akrual
juga membutuhkan kamus kompetensi. Adanya mapping terhadap SDM akrual akan
memudahkan bagi pemerintah untuk melakukan manajemen SDM akrual.
Pemerintah bisa tahu bagaimana gap yang terjadi antara kondisi SDM ideal dengan
kondisi SDM yang saat ini dimiliki oleh pemerintah. Dengan adanya gap kompetensi
maka akan memudahkan pemerintah di dalam merancang strategi peningkatan
kualitas SDM akrual.
Selain masalah kompetensi, kita masih menjumpai beberapa problematika di
dalam implementasi akuntansi akrual. Tahun 2015 merupaklan tahun pertama di
dalam implementasi akuntansi akrual. Ruang lingkup serta jumlah satker yang
dimiliki juga sangat besar sekita 25 ribu satker. Sehubungan dengan implementasi
akuntansi akrual untuk pertama kali di Indonesia, ada sejumlah problematika yang
perlu menjadi perhatian kita semua.
Pertama, Kemampuan SDM di bidang akuntansi akrual yang belum memadai.
Setiap Kementerian/Lembaga memiliki kemampuan SDM di bidang akuntasi yang
berbeda-beda. Ada Kementerian yang relatif sudah siap, namun ada juga yang
persiapannya masih jauh.
Kedua, Infrastruktur belum sepenuhnya sempurna di dalam mendukung akuntansi
akrual.
Ketiga, Reward yang diterima oleh para operator SAIBA maupun SIMAK BMN belum
memadai. Faktor reward ini mempengaruhi motivasi kerja SDM Akrual.
Keempat, Belum sama pemahaman akrual di beberapa level birokrasi. Pada level
tinggi, pimpinan menuntut opini laporan keuangannya WTP. Opini WTP dipengaruhi
oleh banyak faktor. Sementara SDM di level operator merasakan masih banyak
kendala dalam implementasi akuntansi akrual.
Kelima, Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi akuntansi akrual
pertama kali.
Implementasi akuntansi akrual dalam penyusunan laporan keuangan,
dilaksanakan baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dalam
hal implementasi di tingkat Pemerintah Daerah, ada yang menarik dari implementasi
483
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
484
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Saran yang ingin disampaikan oleh penulis di dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan pemetaan kompetensi SDM di bidang akuntansi akrual
melalui uji kompetensi akrual atau assesment akrual. Oleh karena itu
disarankan kepada BPPK (Kementerian Keuangan) diharapkan segera
penyusunan peta kompetensi SDM di bidang akrual sebagai sebuah strategy
485
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
486
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Daftar Pustaka
1. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang standar akuntansi
Pemerintahan.
2. PMK nomor 47 tahun 2008 tentang Assesment Center di lingkungan
Kementerian Keuangan.
3. Laporan Evaluasi Pasca Diklat tahun 2015, Pusdiklat anggaran dan
Perbendaharaan, BPPK, Kementerian Keuangan.
487
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Rusmulyani
WI Madya. Badan Diklat Provinsi Bali
Abstract Dalam setiap proses pembelajaran pada pelajaran apa pun kita lebih banyak
mendorong agar peserta diklat dapat menguasai sejumlah materi pelajaran. Strategi yang di
bahas adalah strategi yang diharapkan dapat meningkatkan sikap demokrasi peserta diklat.
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah metode diskusi model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Ibrahim, dkk. (2000:6) menyatakan bahwa proses
belajar mengajar dengan model pembelajaran tipe jigsaw ini adalah proses belajar mengajar
yang menempatkan peserta diklat untuk aktif dimana fasilitator/ widyaiswara membagi
peserta diklat ke dalam beberapa kelompok dan kelompok diberikan tugas dengan meteri
yang berbeda-beda. Dari tugas yang diberikan kelompok diharapkan mampu
mengembangkan materi yang diberikan dan peserta harus aktif dan bekerja sama. Sehingga
akan berdampak positif terhadap peningkatan kompetensi peserta diklat prajabatan.
Berdasarkan hasil analisis tes awal tes awal yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali sebesar 97,80, nilai tengah sebesar
96,5, nilai yang paling sering muncul sebesar 108, simpangan baku sebesar 11,22, dan
varians sebesar 125,96 Berdasarkan tabel kategori yang telah dibuat, rata-rata sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan Provinsi Bali pada tes awal berada pada kategori
rendah, sedangkan pada tes akhir pembelajaran, didapatkan rata-rata sikap demokrasi
peserta diklat prajabatan sebesar 122,93, nilai tengah sebesar 123, nilai yang paling sering
muncul sebesar 122, simpangan baku sebesar 3,71, dan varians sebesar 13,76.
Berdasarkan tabel kategori yang telah dibuat, rata-rata sikap demokrasi peserta diklat
prajabatan pada tes akhir berada pada kategori sedang. Peningkatan rata-rata dari tes awal
dan tes akhir terlihat cukup signifikan (cukup tinggi), selain itu kategori sikap demokrasi
peserta diklat prajabatan Provinsi Bali pun terlihat meningkat dari kategori rendah menjadi
sedang. Dapat disimpulkan bahwa penerapan metode diskusi model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw secara efektif dapat meningkatkan sikap demokrasi peserta Diklat
Prajabatan di Provinsi Bali.
I. Latar Belakang
Sumber Daya Manusia merupakan suatu asset yang tidak ternilai harganya yang dimiliki
suatu organisasi serta dapat memberikan konstribusi yang sangat berarti kepada satuan
kerja secara efektif dan efisien, serta produktif dan kompetitif. Sumber Daya Manusia
488
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
merupakan penentu keberhasilan bagi setiap organisasi untuk menjadi lebih profesional dan
sebagai pembangun citra pelayanan publik.
Dalam Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2000 tentang jabatan PNS disebutkan
diklat jabatan PNS adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka
meningkatkan kemampuan PNS. Salah datu jenis diklat PNS adalah diklat Pra Jabatan,
diklat ini meruapakan salah satu syarat pengangkatan CPNS menjadi PNS, yang bertujuan
untuk memberikan pengetahuan pengembangan sikap dan keterampilan peserta dalam
rangka pembentukan wawasan kebangsaan kepribadian dan etika PNS. Disamping
pengetahuan dan kompetensi dasar tentang system penyelenggaraan pemerintahan serta
bidang tugas dan budaya organisasi agar mampu melaksanakan tugas dan perannya
sebagai pelayan masyarakat.
Oleh karena itu, sumber daya manusia yang professional sangat mendukung
keberhasilan suatu organisasi untuk bisa bersaing di era global dalam rangka mewujudkan
Pembangunan Nasional. Untuk mewujudkan Pembangunan Nasional, dituntut adanya peran
sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu kegiatan pengembangan SDM
aparatur sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan itu sendiri. Kegiatan
pengembangan diharapkan dapat memperbaiki dan mengatasi kekurangan dalam
melaksanakan pekerjaan lebih baik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sejalan dengan itu, kedudukan dan peranan aparatur sangat penting dalam
menentukan berhasil atau tidaknya tugas dari penyelenggara pemerintah dan pembangunan
dalam rangka pencapaian tujuan.
489
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang diteliti dirumuskan
sebagai berikut.
Apakah penerapan metode diskusi model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat
meningkatkan sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali?
490
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui peningkatan sikap demokrasi
peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali setelah penerapan metode diskusi model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
Manfaat dalam penelitian ini mengarah pada dua aspek sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
Dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi yang dapat
menunjang untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan masukan
bagi penelitian-penelitian yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
Pada penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan atau
masukan bagi pemerintah khususnya Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali
dalam mengefektifkan pelaksanaan Diklat Prajabatan.
V. TINJAUAN PUSTAKA
491
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
anggota kelompok yang mempelajari tentang topik yang sama berkumpul dan
berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Dengan demikian
terdapat kelompok ahli kulit, ahli ginjal, ahli paru-paru, dan ahli hati.
Selanjutnya, anggota tim ahli ini kembali ke kelompok asal dan mengajarkan
tentang apa yang dipelajarinya dan didiskusikan di kelompok ahlinya untuk diajarkan
pada kelompok temannya sendiri. Setelah proses belajar dilaksanakan diadakan
evaluasi dan penghargaan.
Dari langkah-langkah pembelajaran yang dipaparkan oleh para ahli di atas, maka
untuk penelitian ini, peneliti menerapkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw adalah:
1) membentuk kelompok asal yang heterogen (jenis kelamin dan tingkat kemampuan)
2) membagikan materi pelajaran kepada masing-masing anggota kelompok
3) anggota kelompok yang mendapatkan materi yang sama berkumpul dalam kelompok
ahli dan mengkaji materi yang didapat
4) anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan menyampaikan hasil diskusi
dalam kelompok ahli
5) presentasi beberapa kelompok dan kelompok lain menanggapinya
6) pemberian tes secara individual
7) pemberian penghargaan kepada kelompok yang mendapatkan nilai tertinggi.
492
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Model pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat
digambarkan seperti bagan 01.
A1 B1 C1 A2 B2 C2 A3 B3 C3 A4 B4 C4 A5 B5 C5
D1 E1 D2 E2 D3 E3 D4 E4 D5 E5
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3 E1 E2 E3
A4 A5 B4 B5 C4 C5 D4 D5 E4 E5
x1 x1 (Arnyana, 2007;52)
3. Sikap Demokrasi
Dimyati dan Mujiono (2002: 239) menyatakan bahwa sikap merupakan
kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu yang membawa diri sesuai
penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap
menerima, menolak atau mengabaikan. Pengertian sikap pada umumnya
493
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
494
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
4. Kerangka Pemikiran
495
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Peningkatan Sikap
Pelaksanaan Model Pembelajaran Demokrasi
Diklat Kooperatif Tipe Jigsaw Peserta Diklat
Prajabatan
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam peneltian ini yaitu penelitian tindakan. Agung
(2010:3) menyatakan bahwa “penelitian tindakan sebagai suatu bentuk penilaian yang
bersifat relatif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki
atau meningkatkan praktek-praktek pembelajaran di kelas secara lebih profesional.
496
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif yang
didapatkan dari penyebaran kuesioner sikap demokrasi kepada peserta diklat
prajabatan di Provinsi Bali, khususnya pada Diklat Prajabatan Golongan III Provinsi Bali.
Metode analisis statistik deskriptif ialah suatu cara pengolahan data yang dilakukan
dengan jalan menerapkan rumus-rumus statistik deskriptif seperti: distribusi frekuensi,
grafik, angka rata-rata (Mean), median (Me), modus (Mo) untuk menggambarkan suatu
objek/variabel tertentu, sehingga diperoleh kesimpulan umum.
Dalam penerapan metode analisis statistik deskriptif ini, data yang diperoleh dari hasil
penelitian dianalisis dan disajikan ke dalam: a) menghitung angka rata-rata (Mean), b)
menghitung median, c) menghitung modus. Mean, median modus dihitung dengan
bantuan Microsoft excel.
497
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
NO SKALA KLASIFlKASI
Keterangan :
Mi = ½ (skor maksimum + skor minimum)
SDi = 1/6 (skor maksimum - skor minimum)
(Dantes, 1983 :25)
498
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Diklat terdiri dari Sekretariat, Bidang, Sub Bagian, Sub Bidang, dan Kelompok
Jabatan Fungsional.
Secara terperinci struktur organisasi Badan Diklat berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011disajikan dalam Bagan berikut ini:
Dalam melaksanakan tugas pokok Badan Diklat Provinsi Bali didukung oleh
sumberdaya aparatur serta sarana dan prasarana. Seluruh pegawai berjumlah 64
orang yang terdiri dari 17 orang pejabat struktural, 14 orang Widyaiswara, 2 orang
Pustakawan serta 31 orang staf.
Visi Pemerintah Provinsi Bali menjadi acuan dalam penetapan Visi Badan
Diklat.Visi Provinsi Bali yaitu Bali Mandara ,artinya Bali yang Maju, Aman, Damai,
Sejahtera. Dengan memperhatikan Visi tersebut serta memperhatikan perubahan
paradigma kondisi yang akan dihadapi pada masa yang akan datang, diharapkan
Bali tetap eksis terutama dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berdaya
saing.
499
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Visi :
Mewujudkan Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Bali sebagai pusat
peningkatan kapasitas aparatur berbasis kompetensi.
Sedangkan Motto Badan Diklat Provinsi Bali untuk mewujudkan Visi adalah
“TIADA PERUBAHAN TANPA DIKLAT”
Misi
Dalam upaya mewujudkan visi tersebut Badan Diklat Provinsi Bali memiliki misi
sebagai berikut :
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (Diklat) berbasis kompetensi
bagi sumberdaya aparatur pemerintah.
2. Meningkatkan koordinasi dalam pengembangan program kediklatan.
3. Mengembangkan kerjasama kediklatan.
4. Meningkatkan mutu sumberdaya dan profesionalisme tenaga kediklatan.
5. Melaksanakan evaluasi kediklatan dan merumuskan kebijakan
pengembangan mutu sumberdaya aparatur.
b. Hasil Penelitian
Berdasarkan tes awal yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali sebesar 97,80, nilai tengah
sebesar 96,5, nilai yang paling sering muncul sebesar 108, simpangan baku sebesar
11,22, dan varians sebesar 125,96 Berdasarkan tabel kategori yang telah dibuat,
rata-rata sikap demokrasi peserta diklat prajabatan Provinsi Bali pada tes awal
berada pada kategori rendah.
Rendahnya sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali pada
tes awal dikarenakan pada item kuesioner masih banyaknya peserta diklat
prajabatan Provinsi Bali yang menunjukkan sikap demokrasi yang kurang optimal.
Hal tersebut ditunjukkan dari: 1) rendahnya kesadaran akan kewajiban peserta
diklat, 2) masih adanya peserta diklat yang kurang mematuhi peraturan yang
berlaku, 3) masih adanya sikap peserta yang menunjukkan sikap kurang
menghargai pendapat antara peserta diklat, 4) kurang percaya diri, dan 5)
kurangnya sikap pengendalian diri yang ditunjukkan oleh peserta diklat seperti sikap
merasa bisa, jutek, ego,sombong atau S.O.K (salahkan, omel, kritik).
500
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
501
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
140
120
100
80
Tes Awal
60
Tes Akhir
40
20
0
rata-rata nilai tengah nilai paling sering
muncul
Berdasarkan histogram di atas, dapat dilihat bahwa pada tes akhir skor sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali mengalami peningkatan yang cukup
baik. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan metode diskusi model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw secara efektif dapat meningkatkan sikap demokrasi
peserta Diklat Prajabatan di Provinsi Bali.
IX. PENUTUP
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan
metode diskusi model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw secara efektif dapat
meningkatkan sikap demokrasi peserta Diklat Prajabatan di Provinsi Bali. Hasil ini
ditunjukkan dari rata-rata sikap demokrasi pada tes awal sebesar 97,8 meningkat menjadi
122,93 pada tes akhir.
Adapun saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Peserta diklat diharapkan untuk selalu meningkatkan sikap demokrasi yang
dimilikinya, karena sikap demokrasi merupakan sikap yang sangat penting yang
dapat menunjang pekerjaannya dimasing-masing unit kerjasanya,
2) Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa metode diskusi model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw secara efektif dapat meningkatkan sikap demokrasi peserta
Diklat Prajabatan di Provinsi Bali, sehingga diharapkan para fasilitator/pengajar
dapat menerapkan model pembelajaran ini dengan metode diskusi untuk
502
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
503
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstraks
Tujuan penulisan artikel ini untuk mengkritisi kurikulum sekolah di Indonesia, yang selalu
fokus pada kognitif dan mengesampingkan aspek afektif, khususnya untuk kurikulum mata
pelajaran sejarah di SMA/SMK. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif.Kearifan lokal yang dimiliki bangsa berupa nilai-nilai sosial dan karakter bangsa
akhirnya menghilang disebabkan tidak ada instrumen yang menjaga nilai-nilai dan karakter
bangsa. Padahal hal tersebut dapat dipertahankan melalui jalur pendidikan, terutama
melalui kurikulum. Mata pelajaran sejarah sebagai pembentuk karakter bangsa dan
nasionalisme selama ini juga difokuskan pada kognitif semata.
Permasalahan dan kritik terhadap kurikulum sejarah dalam kajian ini dibagi 4 hal, yakni
pertama, mata pelajaran sejarah hanya menekankan materi/ kognitif-center. Kedua,
Kurikulum sejarah di Indonesia, bersifat java centris. Ketiga, Sejarah didominasi materi
perang dan politik. Keempat, Permasalahan mata pelajaran sejarah dalam Kurikulum 2013.
Permasalahan tersebut dapat diatasi jika perancang kurikulum termasuk kurikulum sejarah
merubah midset dengan memperhatikan ranah afektif. Hal ini penting agar bangsa
Indonesia menemukan kembaki jati dirinya sebagai bangsa yang beragama, kerja-sama,
toleransi serta nilai-nilai penting lainnnya yang sekarang mulai ditinggalkan oleh bangsanya
sebagai dampak dari globalisasi dan modernisasi.
A. Pendahuluan
504
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sebenarnya dalam social historis, bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal (local
genius) yang dapat dibanggakan sebagaimana karakter dan identitas bangsa. Secara umum
kearifan lokal dibedakan menjadi dua yaitu kerifan lokal yang dapat dilihat dengan mata
(tangible) seperti objek-objek budaya, warisan budaya bersejarah dan kegiatan keagamaan
dan kearifan lokal yang tidak dapat dilihat oleh mata (intangible) yang berupa nilai atau
makna dari suatu objek atau kegiatan budaya. Namun bentuk kearifan lokal berupa nilai,
norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus pada
akhirnya mengalami kemunduran seiring perjalanan waktu dan pengaruh globalisasi.
Kearifan lokal sudah semestinya dapat berkolaborasi dengan aneka perkembangan budaya
yang melanda dan untuk tidak larut dan hilang dari identitasnya sendiri.
Kearifan lokal bangsa tidak dapat dipertahankan disebabkan dibiarkan hidup liar dan
akhirnya mati. Seharusnya hal tersebut dapat dipupuk secara terus menerus melalui jalur
formal yaitu pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum. Pendidikan di Indonesia selama
ini krisis dalam pembentukan karakter (kepribadian) disebabkan kurikulum difokuskan pada
materi kognitif semata, tanpa memperhatikan secara serius hal-hal afektif atau perilaku.
Mata pelajaran yang efektif dalam membangun karakter bangsa, menumbuhkan
nasionalisme, mempertahankan kearifan lokal antara lain mata pelajaran sejarah. Namun
selama ini mata pelajaran sejarah menjadi mati suri terhadap pembelajaran yang dikaitkan
dengan ranah afektif. Hal ini disebabkan mata pelajaran tersebut dirancang pada domain
kognitif semata.
Dalam masa pembangunan bangsa, salah satu fungsi utama pendidikan adalah
pengembangan kesadaran nasional sebagai sumber daya mental dalam proses
pembangunan kepribadian nasional beserta identitasnya (Sartono Kartodirdjo, 1993:247).
Hal ini juga diperkuat oleh pemerintah melalui Undang-undang Republik Indonesia No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan:“ Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU. Sisdiknas, 2003:7).
505
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Mata pelajaran sejarah merupakan salah satu bagian penting dalam perjalanan
kurikulum di Indonesia sejak masa kolonial sampai Masa Reformasi. Sebagai mata
pelajaran di sekolah, sejarah merupakan mata pelajaran yang tertua dibandingkan disiplin
ilmu sosial lainnya. Pendidikan sejarah diajarkan di sekolah sejak zaman penjajah, sesudah
kemerdekaan hingga sekarang. Pada masa Kolonial Belanda dan Pendudukan
Jepang,pembelajaran pendidikan sejarah tentu diorientasikan kepada kepentingan
penguasa. Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, periode tertentu dalam pelajaran
sejarah Indonesia juga dijadikan alat mendukung penguasa, hal ini jika menyangkut
masalah sejarah politik yang menyangkut kepentingan langsung kekuasaan, seperti zaman
Orde Baru.
Meski kurikulum mengalami dinamika sesuai perkembangan, mata pelajaran sejarah
tetap menjadi mata pelajaran “wajib” bagi siswa sekolah. Walau peristiwa sejarah bersifat
dinamis mengikuti kronologi perjalanan waktu, namun pembelajaran sejarah di Indonesia
sering kali bersifat statis. Statis disini diartikan mempertahankan status quo,
mempertahankan hal-hal yang sudah ada tanpa ada kreasi dan inovasi, meski kurikulum
telah berganti-ganti. Sebenarnya “status quo” dalam pembelajaran sejarah di dunia sebagai
hal yang wajar, hal seperti ini juga berlaku bagi negara-negara yang menganut sistem
pemerintahan rezim non-demokrasi. Pada umumnya setiap negara di dunia dalam
menjabarkan sejarah masing-masing negaranya dikenal adanya official history atau sejarah
resmi. Penulisan sejarah resmi sebagai produk pemegang kekuasaan sering dijadikan
rujukan dalam pembelajaran sejarah, apalagi menyangkut sejarah kontemporer. Official
history sangat efektif dalam membentuk legitimasi kekuasaan sekaligus public opinion dari
kekuasaan jaman tradisional (kerajaan-kerajaan zaman dulu) sampai sejarah kekinian.
Apalagi jika menyangkut kekuasaan politik saat ini, sebagai instrumen pendukung penguasa
politik.
Pelbagai fungsi sejarah dapat dikatagorikan sebagai sejarah yang berfungsi secara
pragmatis, antara lain untuk legitimasi dan justitikasi eksistensi suatu bangsa, keduanya
menyangkut fungsi pragmatis. Di samping itu, ada dua fungsi lain yang mempunyai
relevansi bagi pembelajaran sejarah, yaitu fungsi genetis dan didaktis (Sartono Kartodirdjo,
1993:251). Inti pembelajaran sejarah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai
kepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jati diri dan budi pekerti kepada anak didik.
Buku pelajaran sejarah hendaknya disusun dengan ketentuan-ketentuan ilmiah yang
berlandaskan pada tujuan pendidikan nasional ( Hugiono & Poerwantana, 1987:90).
Berpijak dari hal tersebut, kita dapat melihat kurikulum pembelajaran di Inggris,
dimana kurikulum dalam ranah praktis diserahkan kepada otonomi sekolah kecuali mata
506
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
pelajaran sejarah. Khusus bidang sejarah, desain kurikulum dari tingkat teori dan content
merupakan kewenangan pemerintah pusat. Ini menunjukkan betapa pentingnya mata
pelajaran sejarah bagi negara tersebut. Sentralisasi kurikulum sejarah sebagai hal yang
wajar agar sejarah bukan merupakan pedang bermata dua atau bipolar yang
menguntungkan sekaligus merugikan bagi negara, bangsa dan rakyat Inggris. Bagi negara
dengan sejarah yang panjang seperti Inggris, manajemen materi sejarah dimaksudkan agar
keagungan sejarah bangsanya tetap dapat memberi inspirasi dan motivasi kepada
rakyatnya dalam mempertahankan kebesaran bangsanya. Sebaliknya jangan sampai
menciptakan generasi yang melegitimasi konflik dan separatisme, karena secara historis
Britania Raya terdiri berbagai negara yaitu Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara.
507
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
508
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
yang selalu beririsan dengan tujuan pendidikan, dengan menggabungkan ilmu sejarah dan
nilai-nilai pendidikan. Munculnya era reformasi , yang membawa pengaruh demokrasi di
masyarakat ternyata belum banyak merubah mindset para pengembang kurikulum. Hal ini
tampaknya sebagai bagian dari psikologi comfort zone dan save zone dari para
pengembang kurikulum sejarah. Zona nyaman dan aman yang dilakukan dapat diartikan
sebagai menghindar dari resiko akademis jika harus meninjau ulang kurikulum mata
pelajaran sejarah peninggalan Orde Baru.
Sikap konservatif dalam pembaharuan kurikulum terletak juga pada satuan
pendidikan. Sekolah cenderung konservatif, karena salah satu fungsi yang penting adalah
mengkonversi,memelihara kebudayaan untuk diteruskan kepada generasi muda. Guru pada
umumnya juga berpegang pada tradisi dan pekerjaan rutin. Inovasi dianggap mengandung
hal-hal yang mempersulit pelaksanaannya (S. Nasution,1986: 155). Masa Reformasi
ditandai dengan dua perubahan kurikulum, yakni KBK-KTSP tahun 2006, dan yang terbaru
Kurikulum 2013 secara substansi tetap sama, materi sejarah hanya berisi peristiwa
kronologis yang kental dengan muatan kognitif semata. Di dalamnya memuat materi Sejarah
Nasional dari masa Praaksara (prasejarah) sampai sejarah kontemporer (kekinian).
Demikian juga jika menyangkut sejarah dunia hanya menyangkut kronologi fakta semata.
Menanggapi hal di atas,kita dapat merenungkan pendapat Hamid Hasan yakni
terdapat beberapa pemaknaan terhadap pendidikan sejarah. Pertama, secara tradisional
pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa di masa
lampau kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan sejarah
adalah wahana bagi pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini pendidikan
sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan
tersebut. Kedua, pendidikan sejarah berkenaan dengan upaya memperkenalkan peserta
didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Oleh karena itu kualitas seperti berpikir kronologis,
pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian
sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and
decision making) menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah (Hamid Hasan, 2007 : 7).
Makna dari pendidikan sejarah ini, dapat ditafsirkan sebagai keseimbangan antara berbagai
ranah pembelajaran disamping pemahaman materi sejarah , tersampikan pesan yang
terkandung dari nilai-nilai moral, etika serta nilai lainnya sebagai bagian dari tujuan
mempelajari materi sejarah.
Melihat fenomena di atas, tentunya perlu adanya revolusi kurikulum mata pelajaran
sejarah agar pembelajaran sejarah mempunyai kegunaan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Widja (1988: 49-51) bahwa sejarah mempunyai empat kegunaan yaitu edukatif, inspiratif,
509
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
rekreatif, dan instruktif. Guna edukatif adalah sejarah memberikan kearifan dan
kebijaksanaan bagi orang yang mempelajarinya. Guna inspiratif terutama berfungsi bagi
usaha menumbuhkan harga diri dan identitas sebagai suatu bangsa. Guna sejarah
semacam ini sangat berarti dalam rangka pembentukan nation building. Di negara-negara
yang sedang berkembang, guna inspiratif sejarah menjadi bagian yang sangat penting,
terutama dalam upaya menumbuhkan kebanggaan kolektif. Guna rekreatif menunjuk
kepada nilai estetis dari sejarah, terutama kisah yang runtut tentang tokoh dan peristiwa.
Guna instruktif adalah fungsi sejarah dalam menunjang bidang-bidang studi
kejuruan/ketrampilan seperti navigasi, teknologi senjata, jurnalistik, taktik militer, dan
sebagainya.Meski sejarah tidak terlepas dari peristiwa kronologis, namun kurikulum selama
ini masih bersifat kaku dengan penonjolan muatan materi berdasar periodisasi.
Secara umum tujuan pembelajaran yaitu instructional effect dan nurturant effect.
Instructional effect yaitu tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran berbentuk
pengetahuan dan keterampilan. Nurturant effect adalah tujuan pembelajaran sebagai hasil
sampingan seperti berpikir kritis, bersifat terbuka menerima pendapat orang lain, kreatif,
disiplin dan sebagainya. Mata pelajaran sejarah mempunyai spesifikasi tersendiri dalam
domain ilmu sosial, yang membedakan mata pelajaran ini dengan mata pelajaran serumpun
dalam ilmu-ilmu sosial. Selama ini muncul pertentangan yang menonjol sesama ahli ilmu
sosial dalam pendidikan jika dikaitkan paradigma yang ada. Menurut Keller, pelajaran ilmu
sosial seperti ekonomi, sosiologi, antropologi, geografi, antropologi dan sejarah harus
diajarkan menurut struktur dan metode berpikir ilmu sosial. Pendapat ini kurang setuju
apabila nilai-nilai untuk menumbuhkan sikap dan moral masyarakat, dimasukkan kedalam
pendidikan ilmu sosial. Alasannya, nilai-nilai , norma, dan sikap sebagai nurturant effect
(efek samping) saja dan akan datang dengan sendirinya dari pengalaman mempelajari ilmu-
ilmu sosial. Hal ini berbeda dengan sosial studi atau IPS Terpadu, bahan pelajaran ilmu
sosial diintegrasikan dan membentuk disiplin ilmu baru. IPS dalam tingkat sekolah, tidak
sama dengan disiplin ilmu di perguruan tinggi, karena di tingkat sekolah bukan untuk
memahami konsep dan metode berpikir ilmu sosial, melainkan menumbuhkan warga negara
yang baik (Numan Somantri, 2001: 42-43). Jika IPS dikaitkan dengan tujuan untuk
menumbuhkan warga negara yang baik dengan mengintegrasikan mata pelajaran ilmu
sosial, hal ini merupakan bagian dari instructional effect yang memasukkan pembelajaran
nilai dan sikap secara langsung dalam konten materi pelajaran.
Tampaknya, dalam ranah idealis mata pelajaran sejarah di Indonesia dapat
mengambil posisi yang berbeda terhadap perbedaan pendapat tersebut. Sebagai sebuah
mata pelajaran, sejarah tidak dapat dilepas dari struktur dan metode berpikir dalam ilmu
510
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
sejarah. Dengan demikian, pelajaran nilai, norma dan sikap sebagai bagian dari nurturant
effect. Mata Pelajaran Sejarah Indonesia sebagai instrumen pendidikan karakter bangsa dan
dituntut memiliki perspektif kebangsaan, mengembangkan historical thinking untuk
ditransformasikan kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Sejarah
merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan kesejarahan
dari serangkaian peristiwa yang dirancang dan disusun sedemikian rupa.
Dari gambaran tersebut, mata pelajaran sejarah tetap menganggap pelajaran nilai
dan sikap sebagai nurturant effect. Meskipun demikian, jika menyangkut materi-materi
sejarah yang dapat diintegrasikan dengan pelajaran nilai dan sikap, maka hal tersebut dapat
menjadi bagian dari instructional effect. Aspek moral dan keteladanan juga merupakan nilai
yang amat penting dalam pembelajaran Sejarah Indonesia. Inilah keunikan mata pelajaran
sejarah jika dibandingkan dengan mata pelajaran rumpun ilmu-ilmu sosial lainnya.
Meski demikian, bukan berarti materi sejarah di sekolah ditoleransi untuk
menyimpang demi tujuan internalisasi nilai-nilai kebangsaan dan kemasyarakatan. Untuk hal
ini, perlu memperhatikan pendapat sejarawan Taufik Abdullah bahwa materi pelajaran di
sekolah, sejarah harus menghindarkan hal-hal sebagai berikut : pertama, sejarah sebagai
bahan pelajaran harus dihindarkan pada kecenderungan antikuriat, yaitu kisah masa lalu
dipelajari hanya sekedar pelipur lara atau bahan hafalan yang menjemukan. Kedua,
pelajaran sejarah sebaiknya menjauhkan diri dari keterangan sejarah (historical explanation)
yang ideologis tanpa pertanggungjawaban yang rasional (Taufik Abdullah 1996:11).
Dalam ranah penerapan kurikulum sejarah, merubah mindset pembelajaran di
Indonesia tidaklah mudah. Selama ini hampir semua materi mata pelajaran dalam setiap
kurikulum di Indonesia, menonjolkan kognitif dan bersandar kepada instructional effect.
Tampaknya hal ini bagian dari perjalanan sejarah kurikulum itu sendiri. Pascakonflik politik
internal di Indonesia, puncaknya peristiwa G-30-S/PKI muncul pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan baru ini menerapkan Kurikulum 1975 dengan mengedepankan Pancasila
sebagai ideologi , falsafat bangsa, mengedepankan persatuan bangsa, memahami
keanekaragaman budaya, serta karakter-karakter yang perlu dikembangkan dalam
masyarakat. Hal ini sebagai suatu yang sangat positif dalam menghadapi potensi tantangan
bangsa berikutnya.
Ciri yang menonjol dari pengetahuan materi dalam Kurikulum 1975 adalah
pengembangan dimensi nilai berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Sapriya, 2009:42). Hal
ini berubah tujuan pendidikan nasional di masa pemerintahan Soekarno yaitu melahirkan
warga-warga sosialis Indonesia yang susila, bertanggungjawab atas terselenggaranya
masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spritual maupun material dan yang
511
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
berjiwa Pancasila. Sebelumnya PKI berhasl melakukan infiltrasi dalam pendidikan nasional,
untuk menjauhkan materi spiritual yakni mata pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan.
Hal ini terkait Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pasal 2 ayat 3’.......murid-murid berhak
tidak ikut (pelajaran agama) serta apabila wali murid dewasa menyatakan keberatannya....”.
Namun intervensi komunisme dengan segera dapat diatasi melalui Ketetapan MPRS RI N0.
XXVII/MPRS/1960 Bab. I tentang agama , pasal 1, dengan kalimat “ Menetapkan
Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah dari Sekolah Dasar sampai
universitas”.
Namun dalam ranah implementasi kurikulum di pemerintahan Orde Baru tampaknya
terjadi misunderstanding terhadap frame kurikulum yang berkaitan dengan ranah sikap.
Orde Baru diwarnai semangat serba Pancasila, semangat ini ditekankan dalam bidang
politik maupun pendidikan. Mata Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
mempengaruhi kenaikan kelas atau kelulusan sekolah ( Abd. Rachman Assegaf, 2005:86).
Dalam pelaksanaan kurikulum, terjadi pemahaman yang keliru terhadap ranah sikap,
seolah-olah dalam hal sikap spiritual dan sikap sosial, merupakan domain mata pelajaran
agama dan PMP. Mata pelajaran lainnya, termasuk guru-guru sejarah berpandangan bahwa
mereka hanya menyajikan kognitif dan psikomotorik. Pemahaman semacam ini telah
mendarah daging selama kurikulum Orde Baru dari Kurikulum 1975 sampai Kurikulum
1994.
Sementara kurikulum di era reformasi yaitu Kurikulum 2006 dan KTSP juga kurang
menekankan aspek sikap dalam implementasi pendidikan dalam pembelajaran di sekolah.
Dalam kurikulum ini proses pembelajaran selalu berusaha memenuhi “target”, yakni
ketercapaian Kompetensi Dasar (KD) yang dikaitkan dengan materi pelajaran. Sebenarnya
para guru berusaha memperhatikan keseimbangan ranah yakni kognitif, afektif dan
psikomotor. Usaha tersebut seringkali dibatasi beban materi yang telah digariskan dalam
kurikulum. Pada akhirnya konsentrasi guru dan siswa hanya terfokus pada ranah kognitif
saja. Permasalahan tersebut terulang dan berulang meski kurikulum pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia telah beberapa kali berganti.
512
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kritis siswanya, mengapa yang diajarkan guru dan materi yang terdapat di buku pelajaran
sejarah, didominasi oleh sejarah Jawa saja. Jika demikian, siswa di luar Jawa tentunya
menjadi kehilangan sejarah di daerahnya masing-masing. Melihat fakta demikian,
bagaimana jawaban dan solusinya?.
Sejarawan pada umumnya tertarik pada peristiwa-peristiwa yang mempunyai arti
istimewa. Untuk itu, Reiner (1997:99) membedakan apa yang disebut occurrence dengan
event. Occurrence menunjuk pada peristiwa biasa, sedangkan event merupakan peristiwa
istimewa. Ada pula yang menggunakan istilah kejadian “non historis” untuk peristiwa biasa,
dan kejadian “historis” untuk peristiwa istimewa (Widja, 1988: 18). Terkadang batas antara
peristiwa biasa dan peristiwa istimewa bersifat subyektif, tergantung dari sudut pandang
masyarakat dan tentunya sejarawan. Hal ini disebabkan sering kali adanya keterkaitan
antara peristiwa biasa dan istimewa, sebagai bagian dari rekonstruksi yang utuh tentang
peristiwa masa lampau.
Terlepas adanya dikotomi tentang “peristiwa” tersebut, faktanya “Jawa” secara
geografis dan etnis menjadi bagian penting dari sejarah di Nusantara. Secara kronologis,
dimulai pada era prasejarah, penemuan situs manusia purba di Nusantara berada di Pulau
Jawa, demikian juga sesudahnya. Meski berakhirnya prasejarah di Nusantara ditandai
penemuan Prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu di wilayah Kalimantan,
ataupun munculnya pengaruh Islam pertama di Nusantara berada di Sumatera, dengan
adanya Perlak dan Samudera Pasai, namun dalam perkembangan sejarah di Nusantara
yang menyangkut segala periodisasi sejarah di Indonesia, Jawa sebagai pusat dari fakta
dan peristiwa sejarah itu sendiri.
Selanjutnya di masa kolonilaisme-imperialisme, pergerakan nasional, masa
kemerdekaan dan sesudahnya sampai sejarah kontemporer episentrum fakta dan peristiwa
sejarah tidak bergeser dari Jawa. Jika membicarakan prasejarah di Indonesia, fakta tidak
dapat dibantah bahwa situs-situs Sangiran, Trinil, Wajak, Pacitan dan lainnya memang
berada di Jawa. Selanjutnya jika berbicara fakta sejarah Hindu-Budha, banyak peninggalan
besar kerajaan seperti Borobudur, Prambanan, Mataram Kuno, Majapahit. Hal seperti ini
akan berlanjut sebagaimana periodisasi dalam sejarah Indonesia, kronologis peristiwa
terkait dalam wilayah yang sama yaitu Pulau Jawa.
Dari fakta di atas, pandangan bahwa sejarah Indonesia cenderung jawa sentris
sebagai hal yang tidak terbantahkan. Namun membagi sejarah dalam ranah pemerataan,
agar sejarah daerah lain juga dipaksa diungkap, akan menyalahi makna dan hakekat ilmu
sejarah itu sendiri. Namun sebenarnya ada solusi yang dapat digunakan dalam memahami
permasalahan tersebut, yakni sejarah lokal. Adapun ruang lingkup sejarah lokal ialah
513
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
keseluruhan lingkungan sekitar yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti desa,
kecamatan, kabupaten, kota, atau kesatuan wilayah lain seukuran itu beserta unsur-unsur
institusi sosial dan budaya yang berada lingkungan tersebut, seperti: keluarga, pola
pemukiman, mobilitas penduduk, kegotong-royongan, pasar, teknologi pertanian, lembaga
pemerintahan setempat, monumen, perkumpulan kesenian, dan lain-lain (Widja, 1991:14-
15).
Jika Sejarah Nasional memuat berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di suatu
tempat di wilayah Nusantara dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan kebangsaan maka
Sejarah Lokal adalah suatu peristiwa sejarah yang terjadi di suatu tempat di wilayah
Nusantara dan memiliki pengaruh hanya di wilayah tersebut. Hal ini diperkuat dalam
Permendikbud no 59 tahun 2014 lampiran III Umum, bahwa Mata pelajaran Sejarah
Indonesia dikembangkan atas dasar : a. Semua wilayah/daerah memiliki kontribusi terhadap
perjalanan Sejarah Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah; b. Pemahaman tentang
masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk membangun
semangat kebangsaan dan persatuan; c. Setiap periode Sejarah Indonesia memiliki
peristiwa dan atau tokoh di tingkat nasional dan daerah serta keduanya memiliki kedudukan
yang sama penting dalam perjalanan Sejarah Indonesia.
514
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kerangka besarnya saja. Berhasil tidaknya implementasi permasalahan ini, tergantung dari
guru-guru sejarah di lapangan, untuk “berani” mengembangkan materi pembelajaran, dan
tidak hanya bersandar buku-buku teks yang sudah ada. Jika buku-buku teks menjadi acuan
total dalam pembelajaran sejarah, maka roh sejarah lokal akan mati suri. Hal ini disebabkan
buku teks dirancang untuk pembelajaran sejarah dengan wilayah nasional.
Suatu catatan penting adalah materi sejarah lokal harus pula disajikan tidak dalam
perspektif ilmu sejarah tetapi dalam perspektif pendidikan. Oleh karena itu keterkaitan dan
penafsiran materi sejarah lokal jangan sampai menimbulkan konflik dengan kepentingan
sejarah nasional dan upaya membangun rasa persatuan, perasaan kebangsaan, dan
kerjasama antar daerah dalam membangun kehidupan kebangsaan yang sehat, cinta
damai, toleransi, penuh dinamika, kemampuan berkompetisi dan berkomunikasi. Arah
tafsiran sejarah lokal ditentukan dalam bentuk keterkaitan dengan sejarah nasional.
Kehidupan individual yang bukan menjadi kepedulian utama sejarah tetapi menjadi penting
bagi pendidikan sejarah diperlukan dalam membangun berbagai nilai positif pada diri
peserta didik. Ruang lingkup tema sejarah juga beragam dan tidak dibatasi pada tema
sejarah politik memberikan gambaran kehidupan masyarakat dan tokoh secara utuh dan
bagi peserta didik sebagai sesuatu yang isomorphic dengan apa yang mereka alami sehari-
hari.
Posisi materi sejarah lokal yaitu peristiwa sejarah lokal tidak lagi sebagai sumber
semata tetapi juga menjadi objek studi sejarah peserta didik. Dalam kesempatan inilah
mereka belajar mengembangkan wawasan, pemahaman, dan ketrampilan sejarah. Mereka
dapat berhubungan langsung dengan sumber asli dan mengkaji sumber asli dalam suatu
proses penelitian sejarah. Mereka dapat melatih diri dalam penafsiran sejarah dan kalau pun
terjadi berbagai perbedaan di antar mereka maka itu akan memiliki nilai pendidikan yang
sangat tinggi. Lagipula, para sejarawan tidak pernah memiliki suatu pandangan dan tafsiran
yang sama terhadap suatu peristiwa sejarah.
Permasalahan besar yang dihadapi dalam mengembangkan materi sejarah lokal
dalam kurikulum pendidikan sejarah adalah ketersediaan sumber. Pendidikan sejarah,
sebagaimana pendidikan lainnya, tidak mungkin dapat dilakukan dengan baik apabila
sumber tidak tersedia. Tulisan- tulisan mengenai berbagai peristiwa sejarah lokal belum
banyak tersedia. Tentu saja ini tantangan bagi sejarawan dan guru sejarah untuk dapat
menghasilkan tulisan sejarah lokal sebagai dasar untuk mengembangkan materi pendidikan
sejarah lokal.
515
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
516
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
menjadi suatu kajian penting sehingga kajian sejarah di negara maju lebih bervariasi.
Sebaliknya, di negara berkembang, termasuk Indonesia permasalahan kekuasaan, politik
dan tokoh masih menjadi sesuatu yang “seksi” untuk dibahas. Keseksian masalah politik,
kekuasaan, perang dan tokoh masih mendominasi kajian sejarah sampai saat ini. Hal inilah
menjadikan sejarah dengan topik lain masih kurang diperhatikan. Sebagai referensi dapat
dibandingkan, materi sejarah dalam pembelajaran di Perancis berisi tentang masalah
sejarah buruh dan dinamikanya. Ini menunjukkan pengembangan kurikulum sejarah di
Perancis bersifat multidimensional. Dalam membahas Revolusi Perancis dalam
perkembangan pembelajaran tidak hanya menitikberatkan bidang politik dan kekuasaan
saja, namun juga terkait masalah sosial. Buruh sangat berperan dalam revolusi tersebut,
dan tetap menjadi kajian penelitian sejarah di Perancis dalam sejarah kontemporernya. Hal
inilah yang menempatkan kajian masalah buruh menjadi salah satu materi pembelajaran
sejarah di Perancis.
Sebaliknya, sejarawan di Indonesia belum maksimal melakukan penelitian di luar
masalah politik, perang, serta tokoh berdampak dalam proses pembelajaran khususnya
materi sejarah di sekolah. Sejarawan sebagai hulu materi sejarah, berdampak pada hilir
dalam hal ini guru-guru di lapangan. Bahkan para perancang kurikulum, secara materi
pembelajaran sangat tergantung hasil penelitian sejarawan. Jika hasil penulisan non-politik
masih minim, berdampak pada rancangan kurikulum sejarah. Permasalahan ini dapat diatasi
jika dalam penelitian sejarah Indonesia menekankan pada pendekatan multidisipliner.
Kedudukan sejarah dan ilmu-ilmu sosial (bahasa, geografi, ekonomi, sosiologi, ilmu politik,
antropologi) adalah saling memerlukan dan saling memberikan kontribusi. Dalam hal ini,
penelitian dan penulisan sejarah senantiasa memerlukan bahasa sebagai sarana primer
untuk mengungkapkan data, analisis, dan kesimpulan yang terkait dengan seluruh aspek
yang terkait dengan manusia dan waktunya. Jika permasalahan ini dapat dilakukan,
pandangan yang mengatakan bahwa sejarah di Indonesia didominasi perang dan
kekuasaan, dengan sendirinya akan bergeser ke sejarah yang lebih variatif atau tematis.
Sebelum membahas materi sejarah dalam Kurikulum 2013, perlu kiranya dibahas
model-model pembelajaran sejarah yang digunakan di negara lain. Hal ini dapat
dibandingkan dengan penggunaan metode dan model pembelajaran sejarah di luar negeri.
Steele (dalam Isjoni, 2007:98) menjabarkan strategi belajar mengajar sejarah, yaitu 1. Model
kronologis, 2. Model tematis,3. Model garis perkembangan khusus, 4. Model regresi. Model
kronologis merupakan model yang umum dalam pembelajaran sejarah dengan implementasi
517
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
sejalan esensi pokok sejarah sebagai evolusi dan proses berkelanjutan. Model tematis
adalah model pembelajaran sejarah untuk mengembangkan pengertian mendalam periode
tertentu peristiwa sejarah, dilaksanakan dengan memilih tema-tema menarik, kontekstual,
dan aktual dikaji secara interdisipliner dengan multidimensional approach. Model garis
perkembangan khusus adalah model yang berangkat dari perpaduan model kronologid dan
tematis. Kronologis menjadi fokus utama dengan memperhatikan aspek-aspek tertentu, unik
dan strategis dari peristiwa sejarah. Model garis perkembangan khusus ini menelusuri
beberapa aspek khusus yang menarik saja dalam kehidupan. Model regresif kebalikan
model garis besar kronologis, dengan memanfaatkan situasi sekarang sebagai langkah awal
pengkajian sejarah. Permasalahan masa kini dikaji berdasarkan perspektif sejarah sebagai
background.
Dalam pembelajaran sejarah di Indonesia selama ini termasuk Kurikulum 2013,
fokusnya pada model kronologis semata. Pembelajaran sejarah akan menarik jika
mengunakan model lainnya berdasar karakter materi sehingga dapat menerapkan model
lainnya. Hal ini perlu dikritisi dan kemudian dievaluasi dan diubah.Variasi model
pembelajaran ini sangat penting agar pembelajaran sejarah lebih hidup, bermakna dan
kontektual.
Kurikulum 2013 muncul Sejarah Indonesia (wajib/umum) dan Sejarah
(Peminatan)untuk SMA, namun hal tersebut juga perlu dikritisi dari sisi content yang
dikaitkan dengan tujuan pembelajaran sejarah. Hal ini disebabkan peranan pendidikan
sejarah sebagai landasan utama penanaman nilai-nilai yang digunakan membentuk
identitas nasional, belum dilakukan secara maksimal dalam kurikulum ini. Berikut kita
bandingkan content Sejarah Indonesia dan Sejarah (peminatan) dalam Kurikulum 2013.
Sejarah Indonesia (Umum) Kelas X Sejarah (Peminatan) Kelas X
KOMPETENSI
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR KOMPETENSI INTI
DASAR
518
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
KOMPETENSI
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR KOMPETENSI INTI
DASAR
ajaran
agamanya.
519
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
KOMPETENSI
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR KOMPETENSI INTI
DASAR
Sebelum mengupas hal di atas, terlebih dahulu kita merenung kembali pendapat
Sartono Kartodirdjo bahwa fungsi didaktis pengetahuan sejarah ialah agar generasi yang
berikut dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyangnya. Lagi
pula, agar suri tauladan mereka dapat menjadi model bagi keturunannya. Sejarah dianggap
sebagai perbendaharaan kebijaksanaan nenek moyang, termasuk nilai-nilainya. Selama ini,
dalam pembelajaran sejarah materi kurikulum dikembangkan berdasarkan pemikiran
peristiwa penting dalam sejarah, dan bukan berdasarkan peristiwa sejarah apa yang penting
bagi siswa.
Sebelum membahas materi atau pengetahuan sejarah, kita melihat Kerangka Dasar
dari Kerangka Inti 1 dan 2 untuk SMA/SMK kelas X (Sejarah Umum) dan Sejarah
(Peminatan) . Bagi pengembangan sejarah, Kerangka Dasar 1 dan 2 (Sikap Spiritual dan
Sosial) terlalu dangkal dan membatasi “kebebasan” dalam mengeksplore fakta sejarah yang
520
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dikaitkan dengan permasalahan nilai spiritual dan sosial. Sikap Spiritual dan Sosial dalam
Kerangka Dasar di Mata Pelajaran Sejarah, perlu diperluas dan bersifat fleksibel. Hal ini
penting agar pembelajaran sejarah yang menyangkut afektif lebih variatif , sinkron dan
kontektual dengan materi kognitif yang diajarkan. Jika Kerangka Dasar Sikap Spiritual dan
Sosial bersifat dangkal seperti dalam Kurikulum 2013 tersebut, maka guru akan terpaku
pada yang tertulis dalam ranah afektif bahkan cenderung pada pemahaman afektif yang
dikognitifkan.
Selain itu, sistem evaluasi atau penilaian dalam Kurikulum 2013 untuk sikap spiritual
dan sosial sebagai sebuah penilaian yang ambigu. Kurikulum 2013 mempersyaratkan
penggunaan penilaian autentik (authentic assesment) termasuk dalam penilaian sikap
dengan menggunakan instrumen observasi, penialaian diri, peer assessment , penilaian
jurnal yang kemudian dituangkan dalam rapor siswa. Penilaian ranah afektif tidaklah
sesederhana sebagaimana dalam kurikulum baru tersebut. Siswa dalam ranah sikap yang
bersifat abstrak tidak dapat dievaluasi dan dinilai dengan cara sempit. Jika demikian, sikap
spiritual seperti taat beribadah, pandai bersyukur serta sikap sosial kerja sama , berdisiplin,
menghargai pendapat orang lain serta hal-hal lainnya, tumbuh dan berkembang hanya
karena keterpaksaan sebagai akibat dari penilaian guru dan satuan pendidikan .
Pembentukan sikap spiritual dan sosial dalam Kurikulum 2013 bukan melalui hal yang alami
dan berdasar kesadaran. Jika model penilaian semacam ini diterapkan, dalam jangka waktu
tertentu akan membentuk generasi bangsa berkarakter hipokrit atau munafik.
Selanjutnya, Kerangka Dasar menyangkut materi pengetahuan bisa dianalisis bahwa
hal ini sebagai pengulangan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan
penguasaan materi tanpa memperhatikan nilai-nilai tertentu yang ada dalam setiap materi
sejarah. Terlepas adanya kontroversi implementasi Kurikulum 2013 , harus diakui jika
kurikulum ini berusaha merubah mindset pembelajaran yang sebelumnya menekankan
domain kognitif , dirubah dengan pemerataan ranah yang lainnya. Kurikulum 2013
menggunakan modus pembelajaran langsung (direct instructional) dan tidak langsung
(indirect instructional). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengembangkan
pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan menggunakan pengetahuan peserta
didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan
RPP. Dalam pembelajaran langsung menggunakan pendekatan saintifik, peserta didik
melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba,
menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Pembelajaran langsung menghasilkan
pengetahuan dan keterampilan langsung, yang disebut dengan dampak pembelajaran
(instructional effect). Pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi selama
521
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
522
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
menjemukan bagi siswa namun sangat berguna bagi perkembangan dan masa depan siswa
itu sendiri.
Selanjutnya, pendekatan saintifik dalam Kurikulum 2013 dengan tahap-tahap
kegiatan yang bertujuan menerapkan student center, sangat menarik dalam proses kegiatan
belajar mengajar. Namun pendekatan tersebut mempunyai beberapa kendala, karena tidak
semua materi mata pelajaran dapat diterapkan dengan pendekatan saintifik. Semua sangat
tergantung dari spesifikasi mata pelajaran, dan lebih khusus lagi spesifikasi materi yang
diajarkan ke siswa. Pendekatan saintifik telah merubah paradigma pembelajaran selama ini
menyangkut pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, model dan teknik
pembelajaran. Pendekatan saintifik belum mempunyai rujukan teoritis yang kuat dalam teori
pembelajaran.
Kendala lainnya, bahwa sarana dan prasarana sekolah di Indonesia, pada umumnya
belum maksimal mendukung pendekatan santifik dengan adanya buku-buku atau sumber
bacaan yang lengkap di perpustakaan, jaringan internat beserta perangkat pendukungnya
sebagai sumber belajar serta hal-hal teknis lainnya. Kesimpulannya, pendekatan saintifik
akan efektif diterapkan di sekolah-sekolah dengan fasilitas standar.
C.Kesimpulan
Salah satu mata pelajaran pembentuk utama karakter bangsa adalah mata pelajaran
sejarah. Peranan strategis pengajaran sejarah dalam rangka pembangunan bangsa
menuntut suatu penyelenggaran pengajaran sejarah sebagai pemahaman dan penyadaran,
sehingga mampu membangkitkan semangat pengabdian yang tinggi, penuh rasa tanggung
jawab serta kewajiban. Kepekaannya terhadap sejarah akan melahirkan aspirasi dan
inspirasi untuk melaksanakan tugasnya sebagai warga negara.
Di samping itu, kritik terhadap kurikulum sejarah di Indonesia yang java-centris akan
tereliminasi jika dimunculkan pembelajaran sejarah lokal sebagai pendamping sejarah
nasional. Kendala utama dari pembelajaran sejarah lokal adalah masih sedikitnya sumber
523
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
sejarah lokal. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi sejarawan dan guru-guru sejarah
untuk melakukan penulisan sejarah lokal di daerahnya masing-masing, yang dikaitkan
dengan sejarah nasional.
Kritik lain adalah sejarah hanya membahas politik dan perang. Hal ini juga dapat
diatasi jika dalam pembelajaran sejarah menggunakan model-model pembelajaran sejarah
yang bervariasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah agar penelitian sejarah Indonesia
menekankan pada pendekatan multidisipliner. Kedudukan sejarah dan ilmu-ilmu sosial
(bahasa, geografi, ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi) adalah saling memerlukan
dan saling memberikan kontribusi.
Dengan berbagai catatan di atas, maka kurikulum sejarah sebagai salah satu
instrumen penting dalam membentuk generasi bangsa dapat terwujud. Pergantian
kurikulum yang selalu terjadi sebagai bagian dari dinamika pendidikan akan bermanfaat
bagi setiap generasi.
Daftar Pustaka
Hamid Hasan, S. 1997. “Kurikulum dan Buku Teks Sejarah” dalam Kongres Nasional
Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan
Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Ibnu Hizam. 2007. “Kontribusi Minat Belajar dan Kemampuan Klarifikasi Nilai Sejarah dalam
Pembentukan Sikap Nasionalisme” dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 3, No.
2, Juni 2007.
I Gde Widja. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan.
Semarang: Satya Wacana.
524
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
_____. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung :
Angkasa.
Magdalia Alfian .2007. “Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi”. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-
Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Taufik Abdullah . 1996. “ Di Sekitar Pengajaran Sejarah yang Refkletif dan Inspiratif”. Dalam
Jurnal Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 6 oleh Masyarakat Sejarawan
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Peraturan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum
2013 Sekolah Menengah Atas
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Pada Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 104 Tahun 2014 tentang Penilaian
Hasil Belajar oleh Pendidik
525
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract
Neuroscience is a field of science that studies the neuron system or a system of
neurons in the human brain. While andragogy is the art and science of teaching
adults. This paper will discuss the links between neuroscience and andragogy, or in
terms Clive Wilson known as Neuroandragogy, and how to apply them in adult
education. This paper is a scientific idea and is expected to provide input to the
facilitator, instructor and policy makers to formulate and define systems and models
of effective education for adults.
Keywords: Neuroscience, Andragogy, Neuroandragogy
PENDAHULUAN
Orang dewasa adalah orang yang telah memiliki banyak pengalaman,
pengetahuan, kecakapan dan kemampuan mengatasi permasalahan hidup secara
mandiri(Sudjarwo:2012). Keikutsertaan orang dewasa dalam belajar memberikan
dampak positif dalam melakukan perubahan hidup kearah yang lebih baik. Orientasi
belajar berpusat pada kehidupan, dengan demikian orang dewasa belajar tidak
hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus akan tetapi orang dewasa belajar untuk
meningkatkan kehidupannya. Melalui proses belajar orang dewasa akan
mendapatkan pengalaman yang lebih banyak lagi, sehingga belajar bagi orang
dewasa lebih fokus pada peningkatan pengalaman hidup, tidak hanya pada
pencarian ijazah saja.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan pada pembelajaran orang dewasa
memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan pembelajaran pada anak-anak.
Andragogi merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada
karakteristik khusus orang dewasa, khususnya dalam proses belajar. Andragogi
merupakan istilah yang diperkenalkan oleh alexander Kapp seorang guru Jerman,
dan dipopulerkan oleh Malcolm Knowles.
Teori belajar mengenai orang dewasa yang telah digunakan selama ini perlu
ditinjau kembali. Sebagian besar teori dikembangkan dari hasil penelitian pada
anak-anak dan binatang, sementara kesimpulannya hampir tidak memisahkan
antara pendidikan anak-anak dan dewasa. Andragogi yang digunakan di masa lalu
belum mempertimbangkan otak sebagai pusat pengendali aktifitas belajar.
526
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Brookfield mengatakan masih belum jelas bagaimana orang dewasa belajar, dia
menanggapi bahawa teori selama ini tidak membahas semua aspek mengenai
pembelajaran orang dewasa. Fakta ilmiah menunjukkan bahwa Perubahan fisik dan
neurologis yang terjadi seiring bertambahnya usia akan mempengaruhi bagaimana
manusia belajar (Cercone, 2008).
Manusia adalah makhluk yang dibekali kemampuan berpikir untuk mengolah
informasi dan pengetahuan menjadi informasi baru dan pengetahuan baru. Proses
ini terus berlangsung dan berkelanjutan sehingga lahirlah produk kreatifitas
manusia. Hal inilah yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang
berperadaban tinggi dibandingkan makhluk hidup yang lain. Proses kelahiran
pemikiran kreatif manusia tidak bisa dipisahkan dengan organ tubuh paling unik
dalam dirinya, yang dikenal dengan otak.
Otak memiliki karakteristik unik, bukan hanya karena struktur dan fungsinya,
tetapi karena kemampuan sel-sel saraf untuk mengubah diri tak terbatas.
Ketakterbatasan kemampuan sel-sel saraf telah menjadi daya tarik dan menarik
minat para ilmuwan dan peneliti untuk terus menyingkap fakta terkait organ tubuh
paling urgen dalam berpikir ini.
Konsep Neurosains yang dijelaskan oleh Harun dalam Resti (2010)
merupakan suatu bidang kajian mengenai sistem saraf yang terdapat di dalam otak
manusia yang berhubungan dengan kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi,
persepsi, ingatan, dan kaitannya dengan pembelajaran.
Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) lebih lanjut
mengungkapkan bahwa otak dapat berubah secara positif jika dihadapkan pada
lingkungan yang diberi rangsangan, dan otak akan dapat menjadi negatif jika tidak
diberi rangsangan. Pemikiran inilah yang mendasari teori perkembangan otak,
bahwa otak orang dewasa memiliki potensi untuk terus berkembang, tidak kaku,
statis dan cenderung menutun seiring dengan pertambahan usia.
Neurosains dan Andragogi selama beberapa dekade terakhir telah
berkembang sebagai bidang kajian dan terapan yang berdiri sendiri. Clive Wilson
adalah orang pertama yang mencoba mensintesis dua bidang kajian ini, dan
selanjutnya dikenal dengan istilah Neuroandragogi. Neuroandragogi didasarkan
pada konsep bahwa terdapat perbedaan cara kerja otak orang dewasa dan anak-
anak, hal ini menyebabkan perbedaan pendekatan pembelajaran yang digunakan.
Masalah yang dikaji dalam tulisan adalah (1) Bagaimana konsep Neurosains
dan andragogi? (2) bagaimana Kinerja otak orang dewasa? (3) Bagaimana konsep
neuroandragogi? (4) dan bagaimana penerapan neuroandragogi pada pendidikan
orang dewasa?
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan yang diharapkan dalam tulisan
ini, yaitu: (1) menjelaskan konsep neurosains dan andragogi, (2) menjelaskan
527
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kinerja otak orang dewasa, dan (3) menjelaskan konsep neuroandragogi, (4)
menjelaskan penerapan neuroandragogi pada pendidikan orang dewasa.
PEMBAHASAN
Konsep Andragogi dan Neurosains
Sifat belajar orang dewasa bersifat subyektif dan unik, hal itulah yang membuat
orang dewasa berupaya semaksimal mungkin dalam belajar, sehingga apa yang menjadi
harapan dapat tercapai. Andragogi lahir dari dasar pemikian bahwa orang dewasa memiliki
karakteristik sendiri dalam belajar, sehingga teori-teori mengenai pembelajaran yang selama
ini berlaku untuk anak-anak dan dewasa, tidak relevan untuk digunakakan khusus pada
pendidikan orang dewasa.
Menurut Knowles dalam Sudjarwo (2012), “ Andragogy is therefore, the art and
science of helping adults learn”. Andragogi adalah suatu ilmu dan seni dalam membantu
orang dewasa belajar. Dilihat dari segi epistemologi, andragogi berasal dari bahasa Yunani
dengan akar kata:”Aner” yang artinya orang untuk membedakannya dengan “paed” yang
artinya anak. Knowles dalam bukunya “ The modern practice of Adult Education”,
mengatakan bahwa semula ia mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu membantu
orang dewasa belajar.
Demikian halnya ahli pendidikan orang dewasa bangsa Belanda Gernan Enchevort
membuat studi tentang asal mula penggunaan istilah andragogy. Setelah era Kapp, pada
abad 19 tepatnya tahun 1919, Adam Smith memberi sebuah argumentasi tentang
pendidikan untuk orang dewasa “pendidikan juga tidak hanya untuk anak-anak, tetapi
pendidikan juga untuk orang dewasa”. Tiga tahun setelah Adam Smith tepatnya tahun 1921:
Eugar Rosentock menyatakan bahwa pendidikan orang dewasa menggunakan guru khusus,
metode khusus dan filsafat khusus.
528
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pada tahun 1926: The American For Adult Education mempublikasikan bahwa
pendidikan orang dewasa mendapat sumbangan dari: 1) Aliran ilmiah seperti Edward L
Thorndike. Dan 2) Aliran artistic seperti Edward C Lindeman. Edward Lendeman
menerbitkan buku “Meaning of adult education” yang pada intinya buku tersebut berisi
tentang : 1) Pendekatan pendidikan orangd ewasa dimulai dari situasi, 2) Sumber utama
pendidikan orang dewasa adalah pengalaman belajar ia juga menyatakan ada 4 asumsi
utama pendidikan orang dewasa, yaitu orang dewasa termotivasi belajar oleh kebutuhan
pengakuan, 2) orientasi orang dewasa belajara dalah berpusat pada kehidupan, 3)
pengalaman adalah sumber belajar, 4) pendidikan orang dewasa memperhatikan
perbedaan bentuk, waktu, tempat dan lingkungan. Pada perkembangan selanjutnya Edward
C. Lindeman menerbitkan Journal of adult Education.
Pada tahun 1957 publikasi andragogi di Eropa diawali oleh seorang guru Jerman
bernama Franz Poeggler yang menulis buku berjudul: Introduction to Andragogi-Basic
Issues in Adult education. Pada tahun 1968 Malcolm Knowless mempublikasikan untuk
pertama kalinya sebuah artikel yang sangat provokativ dengan judul ‘andragogi, not
Pedagogi’. Pada tahun 1981, Mezirow mempublikasikan konsepnya tentang andragogy
dalam sebuah artikel berjudul “Acritical Theory of Adult Learning and Education.”
Neurosains merupakan bidang kajian sistem saraf otak manusia yang berhubungan
dengan kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan
pembelajaran. Penelitian dalam bidang Neurosains tentang bagaimana fungsi otak
merupakan kajian yang menarik. Pengetahuan orang tentang otak, diperoleh dari proses
pengkajian selama ratusan tahun. Penemuan penting tentang Neurosains dimulai ketika
Cajal, ilmuwan Spanyol pemenang Nobel 1906 menemukan 4 doktrin neuron. Kemudian
Charles Sherrigon menemukan bahwa neuron tidak hanya dapat bersifat aktif (mengirimkan
sinyal 0), tapi juga ada yang menggunakan terminal. Selanjutnya Luigi Galvani ( 1971 ) dan
kemudian Herman Von Helmhotz (1859) menemukan bahwa terdapat aktivitas listrik pada
sel-sel otot binatang. Lazimnya, penelitian-penelitian tentang Neurosains dipakai dan hanya
dipakai dikalangan terbatas dunia kedokteran untuk kepentingan farmakologi, ilmu saraf,
ilmu kedokteran jiwa, atau ilmu bedah otak (Pasiak:2007).
529
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil dari beberapa kajian dan penelitian telah menghasilkan teori belajar yang
banyak dimanfaatkan dalam dunia pendidikan, banyak guru yang telah menerapkannya
dalam ruang-ruang kelas. Dalam 20 tahun terakhir telah terjadi penemuan penting mengenai
bagaimana proses belajar terjadi. Melalui penggunaan teknologi pencitraan otak, peneliti
telah mampu melihat otak bekerja, sehingga memberikan informasi penting bagaimana otak
manusia bekerja. Temuan ini adalah kemajuan berharga yang telah menghasilkan teori
pembelajaran berbasis kemampuan otak, paradigma baru mengenai pembelajaran yang
didasarkan pada bagaimana otak bekerja secara alamiah.
Memahami cara otak belajar, maka terlebih dahulu harus dipahami anatomi dan
fisiologi otak (Cercone:2006). Fokus utama pembelajaran berbasis kemampuan otak adalah
bagaimana otak belajar secara alamiah. Hal ini digerakkan secara biologis dan
memungkinkan untuk mengalami perubahan.
Otak bekerja dengan menggunakan prinsip sirkuit, bukan kerja sendiri. Sebuah
fungsi dapat terjadi karena semua bagian otak bekerja dalam sebuah sirkuit canggih, setiap
bagian menyumbang kelebihannya masing-masing dalam sirkuit itu. Sirkuit otak bekerja
mengikuti prinsip respirokal, konvergen dan divergen, susunan serial atau paralel dan
fungsi-fungsi spesifik (Pasiak:2007).
Empat fakta terkait kinerja otak orang dewasa(Wilson:2012) adalah sebagai berikut:
530
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
atau minggu, bahkan bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Penemuan ini
membantah pendapat yang menyatakan bahwa otak kita akan menjadi kaku dan tidak
berkembang seiring dengan perkembangan usia.
Ahli saraf menemukan bahwa otak memiliki sifat fleksibel, termasuk pada otak
orang dewasa. Jaringan saraf baru akan tumbuh sebagai hasil dari stimulasi, hal ini
terjadi sampai usia tua. Selain kemunculan jaringan/sirkuit baru, otak juga mengalami
pemangkasan jaringan. Jaringan saraf akan bertahan jika sering digunakan, karena itu
jaringan baru yang koneksinya lemah membutuhkan aktivitas untuk bisa bertahan. Jika
tidak, maka gerakan akson akan melambat atau merosot dan menyebabkan neuron
memulai denan pemula yng baru. Otak yang seirng digunakan akan memumgkinkan
terjadinya sinapsis, dan yang jarang digunakan akan memungkinkan kehilangan sinapsis
yang sudah ada (cercone, 2006).
Sebuah penelitian pada tikus dewasa yang hidup pada lingkungan yang
diperkaya menunjukkan bahwa pada tikus dewasa tersebut tumbuh neuron baru lebih 60
%, hal ini berpengaruh baik terhadap proses pembelajaran. Hasil yang sama juga
diperoleh pada orang dewasa berusia lima puluh hingga tujuh puluh tahun. Pertumbuhan
baru ini ditemukan pada hyppocampus dan daerah olfactory bulb, dua bidang utama
untuk belajar dan memori (Wilson, 2006). Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa untuk
pertumbuhan maksimum otak kita harus memiliki lingkungan yang diperkaya,
penggunaan sinaptik ditentukan oleh lingkungan.
531
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Jika beberapa sel saraf menerima stimulus pada saat yang sama akan menghasilkan
potensi aksi. Sel saraf itu kemudian menyebar dan menjadikan lebih banyak koneksi
sinaptik. Cara lain untuk melihat neuroplatisitas menurut howard adalah “kemampuan
otak untuk belajar, mengingat, menngorganisir ulang, dan memulihkan dari kerusakan”
Konsep Neuroandragogi
Blomm dan kawan-kawan dalam wilson (2012) mengemukakan tentang tiga tahap
perkembangan saraf , tahap pertama pada masa kanak-kanak, tahap kedua pada tahap
remaja, dan tahap ketiga masa dewasa. Hasil kajian tentang otak orang dewasa dan
fungsinya kognitifnya memungkinkan bagi kita untuk mengembangkan paradigma baru
pendidikan orang dewasa. Hasil analisis beberapa praktisi berdasarkan fakta ilmiah dan
penerapan di lapangan menunjukkan bahwa Neurosains dan andragogi bisa disintesiskan
dalam satu konsep yang dikenal dengan neuroandragogi.
1) Otak orang dewasa berpotensi untuk terus tumbuh dan berkembang. Di masa lalu
banyak literatur mengungkapkan bahwa orang dewasa mengalami pelemahan fungsi
otak seiring bertambahnya usia. Teori baru mengenai plastisitas otak memberi harapan
kepada kita bahwa otak orang dewasa memiliki potensi untuk terus berkembang dan
mengalami pertumbuhan.
2) Otak orang dewasa yang sering digunakan akan memungkinkan terbentuknya jaringan
sel baru, sedangkan otak yang jarang digunakan maka sirkuit sel yang terbentuk
perlahan mengabur dan perlahan hilang.
3) Pembelajaran orang dewasa dipengaruhi oleh pengalaman hidup, hal ini dapat
dilakukan melalui melakukan kebiasaan baru, penyesuaian diri dengan kondisi baru,
dan belajar cara-cara baru. Semakin tua otak, pengembangan mental juga semakin
khas. Hal inilah yang Membuat kita memahami dan belajar hal-hal baru dengan cara
berbeda. Orang Dewasa sering menunjukkan rasa frustasi terhadap pelajaran yang
susah dipahami atau menunjukkan ketidaktertarikan karena pengalaman belajar yang
diberikan tidak terhubung dengan pengalaman hidup mereka.
4) Otak orang dewasa akan berkembang jika tumbuh dalam lingkungan yang diperkaya
dan bersifat menantang.
532
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Peserta didik dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan umumnya adalah orang
dewasa. Pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak di
sekolah. Hasil pembelajaran yang baik memerlukan pengenalan terhadap kinerja otak orang
dewasa sebagai pembelajar. Pembelajaran berbasis kemampuan otak, merupakan
paradigma baru dalam pembelajaran.
Menurut Jansen (2012) ada tujuh tahapan pembelajaran berbasis kemampuan otak
yaitu (1) Pra-Pemaparan. Tahap ini memberi gambaran awal terhadap pembelajaran baru
sebelum dikaji lebih jauh dan mendalam. Pra-pemaparan membantu otak membangun peta
konseptual yang lebih baik, (2) Persiapan. Dalam tahap ini, Fasilitator menciptakan
keingintahuan dan kesenangan, (3) Inisiasi dan akuisisi. Tahap ini merupakan tahap
penciptaan koneksi atau pada saat neuron-neuron itu saling “berkomunikasi” satu sama lain,
(4) Elaborasi. Tahap elaborasi memberikan kesempatan kepada otak untuk menyortir,
menyelidiki, menganalisis, menguji, dan memperdalam pembelajaran, (5) Inkubasi dan
memasukkan memori. Tahap ini menekankan bahwa waktu istirahat dan waktu untuk
mengulang kembali merupakan suatu hal yang penting , (6)Verifikasi dan pengecekan
keyakinan. Dalam tahap ini, fasilitator mengecek apakah peserta sudah paham dengan
materi yang telah dipelajari atau belum, (7) Perayaan dan integrasi. Tahap ini menanamkan
semua arti penting dari kecintaan terhadap belajar.
Strategi pembelajaran utama yang dapat dikembangkan dalam menerapkan
neuroandragogi yaitu: (1) menciptakan sistem Pengembangan diri yang berkelanjutan. Otak
yang sering digunakan akan memungkinkan terbentuknya jaringan sel baru. Berdasarkan
hal tersebut seorang pembelajar dewasa harus terus mengkaji dan mengembangkan
ilmunya, karena ilmu yang tidak dikaji dan dikembangkan perlahan akan berkurang dan
bahkan hilang sama sekali. (2) menciptakan lingkungan belajar yang menantang
kemampuan berpikir. Beberapa peneliti menemukan bahwa aktifitas yang sifatnya
menantang akan meningkatkan kesehatan otak, kemampuan intelektual dan cadangan otak,
(3) menciptakan lingkungan pembelajaran yang diperkaya. lingkungan pembelajaran yang
diperkaya termasuk penggunaan music, pengaturan tempat duduk yang bervariasi,
penampilan dinding kelas yang bermakna, pemanfaatan ruang kelas yang lebih bervariasi
(4) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi peserta (5) menerapkan
strategi dan materi pembelajaran yang selalu terbarukan. Orang dewasa harus didorong
untuk mengelola informasi baru yang diperoleh untuk menjaga pertumbuhan sel baru.
Memori jangka panjang sangat bergantung pada kelangsungan hidup sel baru yang
533
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
terbentuk. Sel baru yang terbentuk akan mati dalam hitungan minggu jika tidak digunakan.
Menurut Hyland dalam wilson (2012) Orang dewasa membutuhkan kegiatan-kegiatan yang
akan membuat sel-sel hidup, belajar bahasa baru atau musik merupakan contoh yang baik
bagaimana kenangan baru disimpan atau hilang karena pemangkasan sel baru.
PENUTUP
Hasil pengkajian dan penelitian mengenai bagaimana otak belajar telah melahirkan
teori dan praktik dalam pendidikan. Neuroandragogi merupakan salah satu bentuk sintesis
antara konsep neurosains dan andragogi. Neuroandragogi merupakan konsep pendidikan
orang dewasa yang didasarkan pada bagaimana otak orang dewasa bekerja secara alami.
Prinsip konsep neuroandragogi adalah (1) otak orang dewasa berpotensi untuk terus
tumbuh dan berkembang (2) Otak orang dewasa yang sering digunakan akan
memungkinkan terbentuknya jaringan sel baru, (3) Pembelajaran orang dewasa dipengaruhi
oleh pengalaman hidup, (4) Otak orang dewasa akan berkembang jika tumbuh dalam
lingkungan yang diperkaya dan bersifat menantang.
534
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
Jensen, E. (2008). Brain- Based Learning, Pembelajaran Berbasis
Kemampuan Otak. Cara baru dalam Pembelajaran dan Pelatihan. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
Cercone, K. (2008). Characteristics of adult learners with implications for online
learning design. AAACE Journal. 16(2). 137-159.
Cercone, K. (2006). Brain Based Learning. In E. K. Sorensen and D. O.
Murchu, Enhancing Learning Through Technology. Idea Group, Inc.
Mandar, S. D. Peranan Cognitive Neurosains dalam Dunia Pendidikan. 7
Januari 2015.http://www.slideshare.net/larasratih/cognitive-neuroscience-dan-
implementasinya-dalam-pembelajaran.
Rakhmat, J. (2010). Belajar Cerdas, Kaifa Learning, Jakarta
Resti, V. D. A. Kajian Neurosains dalam Pembelajaran Biologi Abad XXI. 7
Januari 2015. http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/article/view/3155
Sujarwo. Strategi Pembelajaran Orang Dewasa (Pendekatan Andragogi). 14
Januari 2015.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Sujarwo,%20M.Pd./Mak
alah-Strategi%20Pembelajaran%20Orang%20dewasa%20(Repaired). pdf
Pasiak, T. (2007). Belajar Memakai Otak: Sebuah Pengantar (Pengantar buku
Brain Based Teaching), Kaifa Learning, Jakarta
Wilson, C. A. (2006). Neuroandragogy: Making the case for a Link with
Andragogy and Brain-Based Learning
535
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstrak
Penyelenggaraan pelatihan merupakan salah satu pelayanan yang diberikan oleh
institusi penyelenggara pelatihan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia
yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku. Suatu pelatihan
dikatakan efektif apabila mampu menghasilkan perubahan yang signifikan bagi yang
dilatih (Munir, 2004). Untuk itu suatu penyelenggaraan pelatihan perlu penataan
yang lebih jelas agar menghasilkan keluaran yang bermutu.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenkes) Nomor 725 Tahun
2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Bidang Kesehatan, telah
disusun standar penyelenggaraan pelatihan, termasuk didalamnya pelu dilakukan
pengendalian mutu terhadap proses penyelenggaraan pelatihan.
Penelitian deskriptif kuantitatif ini merupakan analisis pengendalian mutu terhadap
penyelenggaraan pelatihan tenaga kesehatan menggunakan Basic Quality Tools
untuk Statistical Quality Control.
Hasil analisis checklist dan Histogram diketahui, ada 6 (enam) variabel pengamatan
yang menyimpang pada proses persiapan, sedangkan terhadap proses
pembelajaran dan evaluasi hasil belajar, menunjukkan ada 5 (lima) variabel
pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu. Hasil analisis
dengan diagram pareto untuk membantu menemukan permasalahan yang
terpenting untuk segera diselesaikan, dapat diketahui bahwa penyimpangan mutu
atau ketidaksesuaian terhadap pelaksanaan rapat tim dan pembagian tugas tim
relatif lebih penting untuk segera dikendalikan. Sedangkan hasil analisis diagram
pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan evalusasi hasil belajar
menunjukkan bahwa, variabel sequensi penyampaian materi dan ketidaksesuaian
metode pembelajaran lebih dominan dan relatif lebih penting untuk dikendalikan.
Hasil analisis fishbone chart, menunjukan faktor Manusia dan Metode lebih dominan
dalam penyebab dari ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu.
Kata kunci : Basic Quality Tools, Statistical Quality Control, Fishbone Chart
536
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pendahuluan
Saat ini setiap organisasi atau instansi penyelenggara pelayanan publik
dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu kepada pelanggan.
Pelayanan publik merupakan kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik (UU No 25 Tahun 2009).
Mutu suatu pelayanan sangat ditentukan oleh perencanaan mutu yang baik,
pengendalian mutu yang tepat, dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Pengendalian mutu merupakan salah satu fungsi dari manajemen mutu, yang
merupakan suatu proses pengawasan yang dilakukan oleh internal organisasi itu
sendiri secara berkesinambungan, sistematis, dan obyektif untuk memantau dan
menilai barang, jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan dibandingkan dengan
standar yang telah ditetapkan (Juran, 1992).
Penyelenggaraan pelatihan merupakan salah satu pelayanan yang diberikan
oleh institusi penyelenggara pelatihan untuk meningkatkan mutu sumber daya
manusia yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku. Suatu
pelatihan dikatakan efektif apabila mampu menghasilkan perubahan yang signifikan
bagi yang dilatih (Munir, 2004). Untuk itu suatu penyelenggaraan pelatihan perlu
penataan yang lebih jelas agar menghasilkan keluaran yang bermutu.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenkes) Nomor 725
Tahun 2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Bidang Kesehatan, telah
disusun standar penyelenggaraan pelatihan, termasuk didalamnya pelu dilakukan
pengendalian mutu terhadap proses penyelenggaraan pelatihan. Pedoman
penyelenggaraan pelatihan bidang kesehatan ini juga menjadi pedoman
penyelenggaraan pelatihan tenaga kesehatan di Balai Pelatihan Kesehatan
(Bapelkes) Provinsi Kalimantan Tengah.
Pengendalian mutu pelatihan tenaga kesehatan yang dilaksanakan oleh
Bapelkes sesuai dengan KepMenkes Nomor 725 Tahun 2003, selama ini hanya
sebatas pengumpulan data dengan menggunakan daftar tilik dan tidak diketahui
bagaimana hasil pengendalian mutu statistiknya. Menurut 14 prinsip mutu Deming,
ada 2 (dua) hal yang berkaitan dengan metode statistik, yaitu : (1) hentikan
537
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Metode
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kuantitatif untuk mendapatkan
gambaran mengenai karakteristik data berupa hasil pengendalian mutu
penyelenggaraan pelatihan, dengan Basic Tools untuk Statistical Quality Control.
Dilaksanakan di Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah, pada bulan Maret 2016,
dengan menganalisa hasil pengendalian mutu penyelenggaran pelatihan yang
dilaksanakan pada bulan Januari - Juli Tahun 2015.
Analisis data merupakan analisis univariat, dengan menggunakan check list,
untuk mengetahui seberapa banyaknya ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu
dari kegiatan persiapan penyelenggaraan pelatihan dibandingkan dengan pedoman
dan standar yang ditetapkan, Selanjutnya dari hasil checklist dilakukan analisis
dengan menggunakan Histogram dan Diagram Pareto untuk melihat klasifikasi
jumlah serta nilai data dan untuk mengurutkan klasifikasi data menurut urutan
ranking, selain itu juga membantu menemukan permasalahan yang terpenting untuk
segera diselesaikan.
Analisis Fishbone Chart atau cause-effect diagram merupakan rangkaian
analisis selanjutnya, yang digunakan untuk menyajikan suatu sebab permasalahan
atau penyimpangan mutu dengan mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebab
potensial dengan metode brainstorming atau curah pendapat.
538
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil
Pelaksanaan pengendalian mutu penyelenggaraan pelatihan tenaga
kesehatan yang dilaksanakan di Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah,
menggunakan check list atau daftar tilik berdasarkan pedoman dan standar
pengelenggaraan pelatihan bidang kesehatan yang dikeluarkan oleh Pusdiklat
Aparatur Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI tahun 2012.
Proses pengendalian mutu dimulai dari persiapan penyelenggaraan
pelatihan, persiapan administrasi, proses pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar.
Dalam persiapan penyelenggaraan pelatihan ada 22 (dua puluh dua) variabel
pengamatan, untuk persiapan administrasi pelatihan ada 26 (dua puluh enam)
variabel pengamatan, dan pada proses pembelajaran serta evaluasi hasil belajar
ada 16 (enam belas) variabel pengamatan.
Hasil analisis check list terhadap 22 (dua puluh dua) variabel pengamatan dari 9
(sembilan) jenis pelatihan yang dilaksanakan dalam periode Januari – Juli 2015,
untuk mengetahui seberapa banyaknya ketidaksesuaian dan penyimpangan mutu
dari kegiatan persiapan penyelenggaraan pelatihan dibandingkan dengan pedoman
dan standar yang ditetapkan (Tabel 1), ada 6 (enam) variabel pengamatan yang
menyimpang.
539
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
(Sumber : Laporan Audit Mutu Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015)
540
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
541
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Hasil analisis check list pengendalian mutu terhadap 16 (enam belas) variabel
pemngamatan proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar (Tabel 2),
menunjukkan ada 5 (lima) variabel pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi
penyimpangan mutu. Variabel pengamatan yang frekuensi kejadian penyimpangan
yang tertinggi adalah penyimpangan mutu terhadap sequensi penyampaian materi
sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Tabel 2. Analisis Check list Pengendalian Mutu Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil
Belajar
542
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Gambar 3. Grafik Frekuensi Ketidaksesuaian Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Belajar
Hasil analisis diagram pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan
evalusasi hasil belajar (Gambar 4), menunjukkan bahwa dari 5 (lima) variabel
pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu, variabel sequensi
penyampaian materi dan ketidaksesuaian metode pembelajaran lebih dominan dan
relatif lebih penting untuk dikendalikan.
Gambar 4. Diagram Pareto Analisa Pengendalian Mutu Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Belajar
543
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
CAUSE EFFECT
kurang kepercayaan
pimpinan
METODE
MATERIAL pengarahan kerja kurang
sebagian
anggota tim
belum dilatih
SOP ada tapi terburu-buru koordinasi rendah Pengawasan kurang
tidak
disosialisasikan
MACHINE/TOOLS
yang mengerjakan kurang kepercayaan
orangnya itu-itu saja MAN
pimpinan
544
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
1 Manusia (MAN) 1. Terburu-buru dalam mengerjakan 1. Sebagian besar staf yang terlibat
tugas; belum pernah dilatih pengelolaan
2. Terjebak dalam rutinitas; diklat, sehingga tidak bisa
3. Beban kerja ganda; diandalkan;
2. Kurangnya pendelegasian tugas dan
kepercayaan terhadap staf yang lain;
3 Material 1. SOP ada tetapi tidak 1. Informasi dari pimpinan tidak sampai
disosialisasikan; level bawah;
2. Tidak ada dokumen tertulis 2. Terburu-buru dalam mengerjakan
3. Checklist pelaksanaan tugas tugas;
masing-masing staf tidak ada
4 Machine / Tools 1. Tidak semua juknis pelatihan 1. Pelaksanaan pengkajian pelatihan tidak
tersedia; tajam;
2. Tidak ada tools evaluasi untuk 2. Perencanaan pelatihan yang tidak
mengukur kinerja staf berbasis data pengkajian pelatihan;
3. Pemahaman pentingnya tools evaluasi
kinerja masih rendah
Pembahasan
Hasil dari analisis univariat dengan menggunakan checklist dan histogram,
diketahui bahwa terhadap 22 (dua puluh dua) variabel pengamatan dari kegiatan
persiapan penyelenggaraan pelatihan dibandingkan dengan pedoman dan standar
yang ditetapkan, ada 6 (enam) variabel pengamatan yang menyimpang.
545
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
2) Faktor Metode
546
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
3) Faktor Material
Tidak adanya dokumen tertulis, hal ini juga akan bisa dikendalikan apabila
pembagian tugas yang merata dan pendelegasian tugas yang tepat, yang
ditunjang dengan meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan staf yang sudah
dilatih.
Kesimpulan
Pengendalian mutu pelatihan tenaga kesehatan dengan Basic Tools untuk
Statistical Quality Control sangat membantu Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah
dalam memperbaiki mutu dan produktivitas.
547
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Saran
Faktor manusia dan metode yang perlu menjadi perhatian, terutama masih
banyak staf yang belum pernah dilatih pengelolaan diklat. Hal pertama yang dapat
dilakukan oleh pimpinan adalah dengan melaksanakan in house training atau on the
job training kepada staf yang belum pernah dilatih pengelolaan diklat dengan
memanfaatkan tenaga widyaiswara dan staf yang sudah dilatih.
Ketersediaan tools evaluasi untuk menilai kinerja staf dalam persiapan
penyelenggaraan pelatihan sangat penting, jadi ini menuntut kesiapan pimpinan
untuk membentuk tim penyusunan tools evaluasi, berdasarkan spesifikasi tugas
pokok pekerjaan staf.
Pertemuan rutin perlu dijadwalkan untuk menggali permasalahan secara
brainstorming dengan seluruh staf menggunakan metode fishbone chart. Hal ini
sangat membantu dalam menentukan keputusan dan metode fishbone chart sangat
sederhana serta mudah dalam pengaplikasiannya.
548
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Daftar Pustaka
1. Carey, Raymond G.,2001, Measuring Quality Improvement in Healtcare : A
Guide to Statistical Process Control Aplication, American Society for Quality,
Winconsin
2. Deming, W.E, Out of The Crisis: Quality Productivity and Competitive Position,
Cambridge University Press, Cambridge, 1986
3. Ishikawa, Kaoru, 1989., Introduction to Quality Control. Japan : JUSE Press Ltd
4. Juran, J.M., 1992, Juran on Quality by Design, The Free Press, New York.
5. Munir, Baderel.,2004, Pengkajian Kebutuhan Pelatihan, Jakarta
6. Pohan, Imbalo, 2004., Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, EGC, Jakarta
7. Pusdiklat Kemenkes RI, 2000., Modul Audit Mutu Internal, Jakarta
8. Pusdiklat Kemenkes RI, 2000., Modul Pemecahan Masalah QA, Jakarta
549
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
ABSTRACT
Students and the children learning and acquiring habits have great
potential influences to students’ and children’s achievement in learning and
acquiring the language. The purpose of the research is to investigate students
and children learning habits in term of their habits in performing learning and
acquiring activities.
The research design which is used in this research is descriptive
research. The sample of the research is 30 of second year students of SMP 5
Jambi City and 30 mothers of the children. The instruments of the research were
questionnaire and observation .There were three learning and acquiring habits in
learning and acquiring. 1. They were Look for Pattern in a language; the students
and children learned language systematically, naturally, did not worry about the
grammar too much, concentrated on communicating, and never formally learned
the grammar on EFL. 2. Guess; Hazard , guess a new word, Use contextual text,
Use structural clues such as gesture, and tone of voice. And 3. Practice,
includes: Practice language with friends, with whom they only spoke using the
language, Practice language by reading in language, Practice English by
translating paper, and with language television. Finally, it was strongly
recommended: more attention should be paid to intensively practice language
better achievement in language. It was found that between the L2 students and
the L1 children had the same strategies in learning and acquring the language.
550
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
INTRODUCTION
The face of teaching and learning English has changed with the
emergence of firstly behaviorism and later cognitivism. Both have contributed
insights of how one should perceive learning and acquiring the language. In this
case English language ,is possible to establish a generic similarities between
acquiring and learning the L1 language for the children and the students’
acquiring and learning the L2 language( English Language ). One of the
remarkable characteristics of human beings is that the virtually every single one
acquires and learns the language at a very young age .Here the research focuses
on between how the students and the very young age children acquire and learn
the language as L1 and L2. It must be very complex of the system.
In discussing second language acquisition,there are some factors should
be considered The environment ( parents or adults and peers for children and
teachers and peers for students ) influence the children /students’ language
development very much. They carefully follow the movements of parents’ or
teachers ‘mouth and try to imitate them. They are sensitive to the rhythm and
intonation of parents /teachers ‘talk.(Benedict de Boysson-
Bardies,1999:37).Parents provide predictable repeated situations in which
meaning of utterances are clear to the children and the teacher do too. They do it
not only using the vocal but also non-vocal language.
METHOD
The research used a qualitative descriptive approach. The problem is
about “the similarities between english learning ( l2 ) for language learners and
mother language ( l1 ) acquiring and learning for children.”It is qualitative
because the writer observed the language acquisition and learning of the children
which requires a case study method .A case study is a research study that aims
at analyzing a phenomenon in its real life context.(Goode and Hutt 1982)
Library research is also employed for obtaining comprehensive data. In
the library research, the information is collected at the basis of the studying
references books.
In collecting the data, the subjects were investigated directly by the
researcher and the children’s mothers. Questionnaires were also distributed to
551
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
the students and the children’s mothers to obtain the comprehensive data. The
results were analyzed.
552
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
other elements; motivation of the learners to form learning habits. As quoted from
Deci, E. (1972), motivation is the set of reasons that determines one to engage in
a particular behavior. While Hornby (1974:285) stated that habit is “one’s settled
practice.” Activities which are done frequently will finally create a habit. In this
way, learning activity which is conducted frequently will create learning habit.
Learning habits which are formed by motivation not clearly showed the
interference of teacher and or school’s prerequisites dealing with EFL. Some
experts of EFL endeavor to relate to what they see as their students’ sense of
motivation in class. Often, the motivation has positive impact in raising students’
proficiency of EFL – and the effect is usually long. In general, then, the students’
natural interest is not, therefore, something which we can rely on to generate
sustained motivation in language learning.
Motivation, later, have a close relationship to students’ attitude in learning
EFL. Most of the students, when they feel that they are fail in learning process,
they admit to felling of frustration. In the other hand, students become
demotivated when they realize the importance in learning EFL.
There are four skills in learning language and also acquiring the
language.They are listening,speaking ,reading and writing. This research used
obseration to the chidren and questionnaires to the English teacher, students and
chidren’s mom.
This research found learning habit used by the students in learning
English ( L2 ) and acquiring the language by the children (L1) as follows:
The finding is gathered from students ‘questionnaire and observation done by the
children’moms in listening ,speaking,reading and writing habit are similar for
students in learning L2 and the children acquire the L1:
Listening Habit
1. They liked to learn by listening to foreign language speakers,
2. They liked to listen teachers ‘speaking English
3. They liked to listen to the language target songs.
4. They liked to watch the language target in television movie
Speaking Habit
1. They liked to practice the language target with friends .
553
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Reading Habit
1. They liked to read books in target language .
2. They liked to read interesting instruction..
3. They liked to read advertisement in target language.
Writing Habit
1. They liked to write the target language.
2. They liked to write exercise in free writing.
3. They liked to write text presented visually.
4. They liked to write down orally presented text.
5. They liked to write everything in target language.
After giving the questionnaire to English teachers and observation by the mom
(Students learning the L2 in the class and children acquiring the language),
the finding are found .
1. The children learned the language step by step from the closest things.
The students learned English step by step from the most difficult to the easiest .
2. The children always asked the mom many times about the things he asks or
listen .
The teacher set up a need to communicate
3. The children liked Interesting magazine, book, and booklets.
The teacher presented some vocabulary using pictures .
4. The children learned from mistake in using the language.
The students learned from mistake in using the language .
5. The children made discussion with parents .
The teacher showed something interested in the students ‘opinion and related to
the content of the lesson.
6. The children imitated language as native like .
The students imitated English as native like .
7. The children concentrated using the language on communicating.
554
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
8. The children screamed /cried /grumbled when they were not cared about.
The teacher challenged the students to think. .
9. The children showed something and ask.
The children eager to know by pointing something and asked.
10. The children tried to understand language by attending the parents said.
The teacher regularly demonstrated progress through repeating activities .
11. The direct guess a new word when he listened to language.
12. The children guess meanings from word context.
The teacher presented some vocabularies using explanation .
13. The children payed attention to tone of voice in speaking,
The teacher helped students to develop positive ,individual strategies for
learning.
14. The children read and guessed the story based on the pictures.
The teacher presented some vocabularies using mime .
15. The children read based on the pictures.
The students read based on the pictures.
16. The children listened to the language from the parents.
The teacher helped students to develop positive ,individual strategies for
learning.
17. The children repeated language from the parents and audiotape
The students imitate English as native like
18. The children practiced talkng by him/heself.
The teacher helped students to develop positive ,individual strategies for
learning.
19. The children analyzed reading /listened based on the pictures /tape tv
The children free writo on his own.
20. The children talked to peers using their own language.
The teacher invited students to talk to friend in English
21. The children sang songs.
The students sang songs in English
22. The children practiced pronouncing the correct words.
The students practiced pronouncing correct word in English.
23. The children made discussion with friends/parents to solve problem.
The students discussed with students to solve English problem
555
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
From the questionaire ,it is found that how the children and the students
acquire and learn the language steps by steps are always the same. The children
and students always ask the mom /teacher many times about the things they
asked or listened that interest on them. The children likes Interesting magazine,
book, and booklets, while the teacher present some vocabulary using pictures to
make easy to understandfor the students. The children made discussion with
parents, while the teacher involve students in discussion.
The children imitate language as native like while the teacher imitates
English as native like. The children concentrate using the language on
communicating and the teacher practices conversation with the students. The
children scream / cry /grumble when they are not cared about. The children show
something and ask .The children try to understand language by attending the
parents say while the teacher uses English in teaching to make the students
familiar of English
The direct guess a new word when they listen to language. While
regularly the teacher demonstrates progress through repeating activities.
The children guess meanings from word context while the teacher
ensures that initial learning activities lead to success.
. The children pay attention to tone of voice in speaking. While the teacher
pays attention to tone of voice in speaking,
The children read based on the pictures while the parents presents some
vocabulary using pictures.
The children listen to the language from the parents while the teacher
gives instruction shortly and clearly.
The children repeat language from the parents and audiotape. The child
doesn’t learn grammar.
The children practice talking by himself while the teacher practices
conversation with the students.
. The children analyze reading /listening based on the pictures /tape TV .
The children free write on his own. While the teacher shows interest in the
students ‘opinion and relates the content of the lesson.
The children talk to peers using their own language. The children use
language on the phone The children sing songs.
556
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
The children practice pronouncing the correct words while the teacher
practices pronouncing correct word in English
. The children make discussion with friends/parents to solve problem while
the teacher makes discussion with students to solve English problem .
The research uses a qualitative descriptive approach. The problem is
about “The similarities activities between the children in acquiring and learning
mother language ( L1 ) and students in learning the second language (L2 ).”It is
qualitative because the writer observed the language acquisition and learning of
the children which requires a case study method .A case study is a research
study that aims at analyzing a phenomenon in its real life context.(Goode and
Hutt 1982)
Library research is also employed for obtaining comprehensive data. In
the library research, the information is collected at the basis of the studying
references books.
In collecting the data, the subjects were investigated directly by the
researcher and the children’s mothers. Questionnaires were also distributed to
the students and the children’s mothers to obtain the comprehensive data. The
results are analyzed.
DISCUSSION.
Based on the description of the finding above, the researcher presents the
following points to answer the first research question:
1. What are the habits and activities of the students in learning the language ( L2)
?
2. What are the habits and activities of the children in learning and acquiring the
language (L1)?
3. Is it similar between L1 and L2 acquiring and learning language for the children
and students?
For questions no.1 and 2, from the questionnaire given to 30 students,
mothers of the young children and the teachers , the learning habit that the
students use in learning English as L2 and the children acquire the language (L1)
divided into four skills, they are:
557
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
c. Reading habit
The reading habit include: Reading text, reading interesting novel , reading
magazine and reading advertisement . While for the children they read
pictures wether from books or magazine or advertisements .
d. Writing habit
The writing habit include: Writing instruction ,writing exercise in conference
meeting writing exercise in free writing in, writing text presented visually,
writing down orally presented text, and writing everything.
However, the category of the students and the children use learning
/acquiring habit for the four skills of language different each other for example the
students and the children sometimes listen to targetlanguage, sometimes reading
English /language, sometimes writing English/language , sometimes speaking
English language.
From the observation done by the mom and asked directly to the
mom of the children and the English teachers found as follows.
Language acquisition and learned occurs when conversation.
Conversation occured in the environment. Speaking to the children /students
needed a special way, which makes the conversation go on. How parents talk to
children had certain incidental consequences ,teachers do too. The children and
558
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
students are presented with specially tailored model of language use, adjusted to
fit, as far as possible, what they appear to understand.
The environment (parents or adults and peers for children and teachers
and peers for students ) influence the children /students’ language development
very much. They carefully follow the movements of parents’ or teachers ‘mouth
and try to imitate them. They were sensitive to the rhythm and intonation of
parents /teachers ‘talk.(Benedicto de Boysson-Bardies,1999:37).Parents provide
predictable repeated situations in which meaning of utterances are clear to the
children and the teacher do too. They did it not only using the vocal but also non-
vocal language.
They learned /acquired the language from the things which are close to
them and usually used. They did like listening to the people who exposed the
language and ask what they don’t know and want to know. They like listening to
the music or song and imitate it. They like to expose the language which they
have understood .They liked learning and acquiring from interesting pictures,
interesting book or booklet.
The children and the students guest the meaning from the context and the
pictures or the things show to them. The children and the students learn and
acquire step by step ,from the easy one.
The teachers and the moms used to repeat the word if the children and
the students didn’t understand. The teachers and the moms encouraged the
children and the students. The moms and the teachers used to demonstrate the
language to make progress. The moms and the teachers involved to speak and
invite them to discuss or communicate.
There are many things that the students and children learn and or acquire
the language are the same.
CONCLUSION
Based on the result of the research, it can be concluded that there were a
number of learning and acquiring habit . The learning and acquiring are: Includes
listening to native speakers whether L1 or L2 for the children, listening to song,
listening on program television, speaking with friends or peers, teachers and
mothers, speaking in conversation. Reading texts, booklet or advertisements,
reading instruction, writing instruction, writing based on pictures, writing based on
559
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
SUGGESTION
Based on the conclusion above, the students and English teachers, and
also the mom can consider the following suggestion in order to improve the
quality of English teaching and learning and acquiring the language :
1. It is better for the students and the children to use learning habit in English as (L2
for the students and L1 for young children ) , they have to increase their intensity
of their learning habit and acquiring habit in English language as L2 and regional
language as L1 by doing various activities they can use learning or acquiring
habit inside and outside of the class or house.
2. Regarding to the importance of learning and acquiring habit in L2 and L1 to, there
are some factors to be considered; Environment, teacher or mom as motivator, in
learning the conducive environment, professional teachers or moms, plays
important roles for the successful of learning and acquiring the language.
3. As L2 teacher and mom, the teacher and mom should know students and or
children learning and acquiring habit in L2 and L1 in other to make them easier in
conducting the teaching and learning process in the class and acquiring the
language at home. By knowing the students learning habit and acquiring habit ,
the teacher and mom can design well. How to make leaning and acquire run.
560
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
561
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
REFERENCES
Gardner, R.C. 1985. Social Psychology and Language Learning. Edward Arnold.
562
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract: Based on observations of the author was still a lot of teachers who are less
competent in teaching and Local Studies (Mulok) due to the availability of learning
resources are minimal, the learning device is not yet available and virtually no training or
training on subjects Mulok, in addition it has not provided teachers Mulok who have
appropriate educational qualifications there are even schools that Muloknya be "English."
Mulok aims to equip students with the attitudes, knowledge and skills necessary to: get to
know to love and care for the natural environment, social, cultural, and spiritual in the
region; and preserve and develop excellence and wisdom useful area for themselves and
the local environment in order to support national development. Training Mulok model
"TPPL" with the explanation: Theory (T) is carried out when the facilitator did
Brainstrorming and exposure of the material. Prakktik Creation (PP) is implemented when
the participants identify local wisdom and sorting as well as select the type of local content
based on the results of this identification, create core competencies and basic
competencies, as well as to simulate Mulok choice in front of the other participants.
Reports (L) is implemented when the participants reported the results of its work, doing
presentations and try to simulate RPP Muloknya. This model is suitable for training model
two or three days to match 20 30 JP JP s.d, Mulok training usually does not stand alone
but combined with training Cultural Arts and crafts or other subjects. Therefore, this model
effectively, although the time provided little (JP) However the diklelola carefully if able to
produce a great understanding and skills. For example, the time available for training is
only available mulok: 8JP or 4JP. This model still needs to be developed so as to obtain
better education and training models of efficient and effective in the future.
A. Latar Belakang
563
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
terutama di Kota Palangka Raya, yang diajarkan dari kelas 1 sampai kelas 6. Sungguh
tragis memang, banyak SD yang muatan lokalnya menjadi “bahasa Inggris”. Padahal
kearifan lokal Kalimantan Tengah sangat banyak tetapi belum tergali.
Wilayah Kalimantan Tengah yang sangat luas hampir setara luas Pulau Jawa,
tetapi belum banyak di kenal di wilayah Indonesia bahkan beberapa teman
widyaiswara masih ada yang belum tahu bahwa Palangka Raya ibukota Propinsi
Kalimantan Tengah. Apalagi semboyan “ Palangka Raya Kota CANTIK” hanya di kenal
secara lokal saja. Banyak ragam budaya, bahasa daerah, pakaian, adat-istiadat,
bentuk rumah, kuliner, ikan dan jamu tradisional dan lain-lain yang sesungguhnya
dapat ditampilkan di kancah nasional. Kita sendiri yang tinggal di Kalimantan Tengah
untuk urusan kuliner/makanan/jajanan belum ada nama yang populer seperti; soto
banjar, ketupat kandangan (makanan khas daerah Banjarmasin Kalimantan Selatan).
Seluang belom, pasak bumi itu sebagian jamu yang banyak terdapat di Kalteng.
Berdasarkan pengalaman penulis tahun 2014 yang melakukan pendampingan
terhadap guru kelas pada SDN-1 dan SDN-3 Baru, Kecamatan Arut Selatan
Kabupaten Kotawaringin Barat. Diklat Bimtek Guru Mata Pelajaran Mulok dan SBK
SD/MI Kab. Barito Utara tanggal, 1 s.d 3 Oktober 2015. Menunjukkan bahwa para guru
mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap mata pelajaran Muatan Lokal apabila
guru-gurunya mendapat pelatihan.
564
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
sosial dan lingkungan yang pada akhirnya mampu membekali siswa dengan
keterampilan dasar sebagai bekal dalam kehidupan (life skill).
Muatan lokal, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan atas Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan bahan kajian
yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap potensi di
daerah tempat tinggalnya.
Muatan lokal sebagai bahan kajian yang membentuk pemahaman terhadap
potensi di daerah tempat tinggalnya bermanfaat untuk memberikan bekal sikap,
pengetahuan, dan keterampilan kepada peserta didik.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis berupaya
menyusun makalah berjudul ” Pengembangan Kearifan Lokal Kalimantan Tengah
Menjadi Keunggulan Nasional Melalui Pelatihan Muatan Lokal Model “TPPL” (Teori
Praktik Penciptaan Dan Laporan)”
B. Tujuan
1. Sebagai acuan bagi widyaiswara, fasilitator atau nara sumber pada kegiatan
pendidikan dan pelatihan (diklat) Mulok bagi; pengawas sekolah, kepala
sekolah, guru, dan komite sekolah) dalam mengembangkan muatan lokal oleh
masing-masing daerah dengan mengacu pada kearifan lokal yang sesuai
dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 22 tahun 2011.
2. Mengembangkan kearifan lokal Kalimantan Tengah agar menjadi keunggulan
nasional baik bidang budaya, adat-istiadat, busana maupun kuliner
3. Menyiapkan guru-guru Mulok yang lebih berdaya guna dan berhasil guna.
4. Memperbaiki kekurangan dan kelemahan model diklat “TPPL”ini.
C. Metodologi
Metode yang digunakan yaitu kajian dokumentasi dan demonstrasi dalam
penerapan Model diklat. Dalam Kajian dokumentasi dilakukan pengakjaian terhadap
pemberlakuan kurikulum, petunjuk teknik muatan lokan dan peraturan Gubernur
kalimantan Tengah nomor 22 tahun 2011. Metode demonstrasi dimaksudkan bahwa
penulis mencoba langsung pada pelatihan diklat Mulok dengan menggunakan model
“TPPL: ini.
Pemberlakuan KTSP dan Kurikulum 2013 membawa implikasi bagi sekolah
dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sejumlah mata pelajaran,
565
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dimana hampir semua mata pelajaran sudah memiliki Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar, sedangkan untuk Mata Pelajaran Muatan Lokal yang merupakan kegiatan
kurikuler yang harus diajarkan di kelas belum mempunyai Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar seperti halnya mata pelajaran yang lain. Hal ini membuat kendala
bagi sekolah untuk menerapkan Mata Pelajaran Muatan Lokal. Pengembangan
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran Muatan Lokal bukanlah
pekerjaan yang mudah, karena harus dipersiapkan berbagai hal untuk dapat
mengembangkan Mata Pelajaran Muatan Lokal sebagai konsekwensi dari penyetaraan
sebagai mata pelajaran. Pengembangan muatan lokal untuk SD/MI perlu
memperhatikan beberapa prinsip pengembangan sebagai berikut:
a. Kesesuaian dengan perkembangan peserta didik;
b. Keutuhan kompetensi;
c. Fleksibilitas jenis, bentuk, dan pengaturan waktu penyelenggaraan;
d. Kebermanfaatan untuk kepentingan lokal, nasional dan menghadapi tantangan
global; dan
e. Untuk kegiatan rekreatif yang bersifat menggembirakan dan menyenangkan.
Muatan lokal diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk:
1. Mengenal untuk mencintai dan peduli terhadap lingkungan alam, sosial, budaya,
dan spiritual di daerahnya; dan
2. Melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna
bagi diri dan lingkungan daerahnya dalam rangka menunjang pembangunan
nasional.
Langkah dalam pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal adalah sebagai berikut:
a. Analisis Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada di sekolah. Apakah masih
layak dan relevan Mata Pelajaran Muatan Lokal pilihan diterapkan di Sekolah?
b. Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ditetapkan di sekolah tersebut masih
layak dilakukan maka kegiatan berikutnya adalah menyusun Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c. Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan,
maka sekolah bisa menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal dari sekolah
lain atau tetap menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal yang
dikembangkan oleh Tim Pengembang Kurikulum Dinas Kabupaten atau KKG/
MGMP yang lebih sesuai dengan potensi sekolah.
566
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
567
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
No. 67 tahun 2013. Untuk materi Sejarah/Budaya Lokal dapat mengacu pada
Kompetensi Inti IPS/Sejarah. Apabila hal itu belum ada sama sekali, misalnya
Masakan Khas Daerah, Jamu ,Adat Istiadat maka perlu dibuat Kompetensi Inti
dengan memperhatikan konstruksi bahasa pada Peraturan Mendikbud tersebut.
3. Pengembangan Silabus
Pengembangan silabus secara umum mencakup:
a) Mengembangkan indikator
b) Mengidentifikasi materi pembelajaran
c) Mengembangkan kegiatan pembelajaran
d) Pengalokasian waktu
e) Pengembangan penilaian
f) Menentukan Sumber Belajar
568
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Muatan lokal dirumuskan dalam bentuk dokumen yang terdiri atas: Kompetensi Inti
dan kompetensi dasar; Silabus serta RPP dan buku teks pelajaran.
Daya dukung pelaksanaan muatan lokal meliputi segala hal yang dianggap perlu dan
penting untuk mendukung keterlaksanaan muatan lokal di satuan pendidikan. Beberapa
hal penting yang perlu diperhatikan adalah kebijakan mengenai muatan lokal, guru,
sarana dan prasarana, dan manajemen sekolah.
1. Kebijakan Muatan Lokal
Pelaksanaan muatan lokal harus didukung kebijakan, baik pada level pusat,
provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Kebijakan diperlukan dalam hal:
a. kerja sama dengan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta;
b. pemenuhan kebutuhan sumber daya (ahli, peralatan, dana, sarana) dan
c. penentuan jenis muatan lokal pada level provinsi dan kabupaten/kota sebagai
muatan lokal wajib yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik
daerah.
2. Guru
Guru yang ditugaskan sebagai pengampu muatan lokal adalah yang memiliki:
a. Guru yang mengampu mata pelajaran muatan lokal hendaknya sesuai dengan
latar belakang ijazah yang dimilikinya. Apabila tidak terpenuhi maka guru yang
akan mengampu memperoleh sertifikat pelatihan.
b. Satuan pendidikan yang tidak memiliki tenaga khusus untuk muatan lokal
dapat bekerja sama atau menggunakan tenaga dengan pihak lain.
c. Penambahan jumlah jam yang dilaksanakan melampaui jumlah yang ada di
struktur kurikulum nasional menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
569
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
4. Manajemen Sekolah
Pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan muatan lokal,
antara lain: Satuan Pendidikan, Kepala sekolah, guru, dan komite
sekolah/madrasah secara bersama-sama mengembangkan
materi/substansi/program muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi
di sekitarnya.
Penyusunan Silabus
Pengembangan RPP
Penetapan
Mulok
Petunjuk Penilaian
Bahan Ajar
570
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
D. Hasil
Kegiatan diklat Mulok model TPPL ini diawali dengan curah
pendapat/brainstroming dilanjutkan pemaparan materi diteruskan dengan diskusi ,
penyusunan silabus, RPP diakhiri dengan laporan sekaligus presentasi. Untuk lebih
jelasnya perhatikan skema berikut :
Penetapan Mulok
dan Penyusunan KI
dan KD
Penyusunan Silabus
RPP, Bahan Ajar
Refleksi Laporan,
Presentasi dan
Demonstrasi
a. Brainstorming
Peserta melaksanakan kegiatan eksplorasi dengan cara menggali informasi
sebanyak- banyaknya melalui kegiatan brainstorming, dan menjawab pertanyaan
secara lisan berikut:
Pentingkah Mulok diajarkan ?
Apa yang dimaksud muatan lokal ?
Masih sulitkah mengajar Mulok ?
Apa saja Jenis-Jenis Muatan Lokal yang pernah diajarkan ?
Apa saja dokumen yang diperlukan dalam pembelajaran muatan lokal ?
Bagaimana tahapan pengembangan Mulok dilakukan?
Siapa saja tim pengembang muatan lokal di sekolah Anda ?
571
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Raga adalah sepak sawut, Muatan Lokal yang diintegrasikan pada muatan
pelajaran adat istiadat: “ Jipen”.
Muatan Lokal (Mulok) merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang
terdapat pada Standar Isi di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Muatan
Lokal (Mulok) merupakan Mata Pelajaran, sehingga Satuan Pendidikan terkait harus
mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis Muatan
Lokal (Mulok) yang diselenggarakan. Satuan Pendidikan wajib menyelenggarakan satu
Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) pada setiap semester sehingga terdapat dua (2)
Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) dalam satu tahun pelajaran. Materi Muatan Lokal
(Mulok) meliputi dua belas (12) kearifan lokal berupa: (1) Bahasa dan sastera daerah, (2)
Kesenian daerah, (3) Keterampilan dan kerajinan daerah, (4) Adat-istiadat dan hukum
adat, (5) Sejarah lokal, (6) Teknologi lokal, (7) Lingkungan alam/ekosistem, (8) Obat-
obatan tradisional, (9) Masakanan tradisional, (10) Busana tradisional, (11) Olah-raga
tradisional, dan (12) Nilai budaya lokal dalam perspektif global. Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dan Provinsi wajib melaksanakan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok)
sesuai ciri khas/keunggulan/potensi daerah seperti yang tersebut di dalam dua belas (12)
kearifan lokal (bukan yang selain dari itu) agar terjadi transformasi nilai budaya lokal ke
dalam budaya globalisasi. Sekolah pada Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing di
setiap Kabupaten/Kota wajib melaksanakan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) sesuai
dengan alokasi waktu yang tersedia untuk itu, yaitu 2 jam pertemuan per minggu.
Guru Muatan Lokal (Mulok) diangkat oleh Bupati/Walikota, Dinas Pendidikan dan
Yayasan setempat atas usul Kepala Sekolah setelah berkoordinasi dengan Komite
572
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sekolah. Guru Muatan Lokal (Mulok) adalah seseorang (diprioritaskan) dari suku Dayak
Kalimantan Tengah atau orang lain selain suku Dayak yang berpengetahuan,
berketerampilan mengenai kearifan lokal yang mempunyai rasa memiliki dan rasa ikut
bertanggung jawab serta punya komitmen untuk memajukan dan mengembangkan
potensi dan keunggulan daerah yang berbasiskan dua belas (12) kearifan lokal. Guru
Muatan Lokal (Mulok) diwajibkan untuk mengikuti pendidikan, pelatihan, dan penataran
yang diperuntukan baginya untuk pengembang diri sesuai ketentuan yang berlaku.
Kepala Sekolah dapat mengajukan calon Guru Muatan Lokal (Mulok) menjadi guru
bantu atau guru kontrak untuk mengajar mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) kepada
Bupati/Walikota dan Dinas Pendidikan Provinsi setelah berkoordinasi dengan Komiti
Sekolah. Guru Muatan Lokal (Mulok) yang berstatus guru kontrak, guru bantu, tenaga
honorer dapat diangkat atau mengikuti test CPNS yang diperuntukan baginya sesuai
ketentuan yang berlaku.
Masing-masing SKPD Kabupaten/Kota dan Provinsi agar menganggarkan
pembiayaan pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) melalui APBD dan didukung
oleh APBD Provinsi. Besarnya gajih atau penghasilan guru Muatan Lokal (Mulok) yang
berstatus guru kontrak atau guru bantu (tenaga honorer) ditentukan oleh Komite Sekolah
yang merujuk kepada Standar Upah Minimum Provinsi Kalimantan Tengah yang berlaku
saat itu, yang anggarannya bisa bersumber dari Anggaran Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dan Provinsi atau anggaran lainnya yang sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
573
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
574
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
e. Penetapan Mulok dan Penyusunan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar
(KD)
Setiap kelompok berdiskusi membahas satu pilihan Muatan Lokal untuk
dijabarkan dalam Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Sehingga tiap kelompok
fokus untuk menyusun dan mengembangkan KI dan KD Mulok. Pembagian
kelompok tetap (8 kelompok) dengan tugas masing – masing : bahasa Dayak
Bakumpai Barito Utara, tari mandau, tari giring-giring, anyaman rotan, jipen,
pembuatan perahu (miniatur) untuk cendera mata, lapok durian dan olahraga
tradisional.
Lk.02 Identifikasi KI-KD Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) kelompok 1
No Penetapan Mulok KI KD
Hasil Identifikasi
1 Bahasa Dayak KI.1.* KD 1.1.*
Bakumpai Barito
KI 2.* KD 2.1*
Utara
KI 3 KD 3.1
KD 3.2
KD 3. 3
KD 4. KD 4.1
KD 4.2
KD 4.3
* Untuk KI 1 s.d KI 4 serta KD 1. dan KD 2. mengacu pada Bahasa Indonesia
pada Permendikbud
575
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
No Penetapan KI KD Indikator
Mulok Hasil
Identifikasi
1 Bahasa Dayak KI.1.* KD 1.1.*
Bakumpai KI 2.* KD 2.1*
Barito Utara KI 3 KD 3.1 3.1.1
3.1.2
3.1.3
KD 3.2 3.2.1
3.2.2
Dst
KD 3. 3
KD 4. KD 4.1
KD 4.2
KD 4.3
576
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
A. Kompetensi Inti
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
C. Tujuan Pembelajaran
D. Materi pelajaran
E. Metode Pembelajaran
F. Sumber dan Media
G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
1. Pendahuluan
2. Kegiatan Inti
3. Penutup
H. Penilaian
……………………,2016
Mengetahui Guru Kelas,
Kepala Sekolah
………………….. ………………………..
g. Laporan, Presentasi dan Demonstrasi
1) Laporan
Setiap tugas yang dikerjakan hasilnya dikumpulkan sebagai bahan laporan dan
perlu dikomentari oleh fasilitaor.
2) Presentasi dan Demonstrasi
Setiap kelompok dalam menyampaikan hasil kerja dipresentasikan di depan kelas
dan untuk hasil penyusunan RPP disimulasikan atau didemonstrasikan sehingga
peserta diklat memiliki pemahaman dan pengalaman baru terkait strategi dalam
pembelajaran Mulok.
D. Diskusi
577
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
panduan Mulok
3 Diskusi 1 Identifikasi 25’ LK. 01 sudah disiapkan oleh
Kearifan Lokal fasilitator sebelumnya
4 Diskusi 2 Praktik 20’ Kegiatan memilah dan memilih
Penciptaan Mulok dari hasil identifikasi Kearifan
Lokal
5 Penetapan Mulok dan 45’ LK 02 Penyusunan Ki dan KD
Penyusunan KI dan KD
Mulok
6 Penyusunan silabus dan 90’ LK 03 Merumuskan Indikator
RPP serta bahan ajar dari KD Mulok
7 Laporan, Presentasi dan 90’ Mensimulasikan pembelajaran
simulasi Mulok
8 Refleksi 20’ LK 04 Mengisi lembar Refleksi
Untuk alokasi waktu 4 JP dapat menggunakan pola sebagai berikut:
No Materi Diklat Alokasi waktu* Keterangan
(Model 4 JP)
1 Perkenalan 15’ Tanya jawab
Brainstorming
2 Pemaparan Materi 30’ Penjelasan Mulok terintegrasi,
Mulok dan Mulok berdiri sendiri dan
panduan Mulok
3 Diskusi 1 Identifikasi 15’ LK. 01 sudah disiapkan oleh
Kearifan Lokal fasilitator sebelumnya
4 Diskusi 2 Praktik 15’ Kegiatan memilah dan memilih
Penciptaan Mulok dari hasil identifikasi Kearifan
Lokal
5 Penetapan Mulok dan 30’ LK 02 Penyusunan Ki dan KD
Penyusunan KI dan KD
Mulok
6 Penyusunan silabus dan 30’ LK 03 Merumuskan Indikator
RPP serta bahan ajar dari KD Mulok
7 Laporan, Presentasi dan 30’ Mensimulasikan pembelajaran
simulasi Mulok
8 Refleksi 15’ LK 04 Mengisi lembar Refleksi
*Catatan untuk model 4JP ini dapat disiasati dengan LK 01 yang sudah sebagian
hasil Identifikasi Kearifan Lokal sehingga peserta tinggal menambahkan
identifikasi yang belum tercantum pada kolom tersebut.
Penjelasan singkat maksud Diklat Mulok model “TPPL” adalah Teori (T) ;
dilaksakan ketika fasilitator melakukan Brainstrorming dan pemaparan materi.
Prakktik Penciptaan (PP); dilaksanakan ketika peserta melakukan identifikasi
kearifan lokal dan memilah serta memilih jenis muatan lokal berdasar hasil
identifikasi tersebut, membuat Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, sekaligus
578
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
E. Kesimpulan
Diklat Mulok model “TPPL” dengan uraian sebagai berikut Teori (T): dilaksanakan
ketika fasilitator melakukan Brainstrorming dan pemaparan materi. Prakktik
Penciptaan (PP) : dilaksanakan ketika peserta melakukan identifikasi kearifan lokal
dan memilah serta memilih jenis muatan lokal berdasar hasil identifikasi tersebut,
membuat Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, sekaligus dapat mensimulasikan
Mulok pilihannya di hadapan peserta lainnya. Laporan (L): dilaksanakan ketika
peserta melaporkan hasil kerjanya, melakukan presentasi dan mencoba
mensimulasikan RPP Muloknya.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Menterian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Panduan Teknis
Pendampingan di SD. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar.
Panduan Teknis Pendampingan Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Di SD.
Panduan Teknis Pembelajaran di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Penilaian di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pengisian Rapor dan Buku Induk di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Remedial Dan Pengayaan di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pelaksanaan Bimbingan Psiko-Edukatif di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Interaksi Sekolah Dengan Orangtua di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pemanfaatan TIK Dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pengembangan Muatan Lokal di Sekolah Dasar
579
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
580
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract:
This research aims to know and decribe factors of the low rate of family planning participation of
the long-term contraceptive methods in the West Tulang Bawang District. This essay based on the
analysis influencing of the long term contraceptive method in the West Tulang Bawang District
and the data was taken from the analysis of the 2014 family planning and population program of
the Lampung province, which shown that the achievement of the long term contraceptive method
was 16.21%, it was much lower than the acievement in the province level (22.03%), and in the
national level (26.03%). This research methods used a qualitative descriptive method with a
triangulation data and was analyzed using an interactive descriptive model. Based on the results
shown that factors influencing the low rate of family planning participation using the long term
contraceptive method in the West Tulang Bawang District are (1) medical personnels, (2)cultural;
(3)Social; (4)Economic factor; (5)Education factor; (6)Family Planning facilities and services
Keywords: Medical personnels, cultural, social ; Economic factor; Education factors, Family
Planning facilities and services, the long-term contraceptive methods
Pendahuluan
Indonesia menghadapi masalah jumlah penduduk yang terus meningkat, maka dalam hal ini
pemerintah terus berupaya melaksanakan upaya-upaya preventif untuk mencegah kenaikan
angka kelahiran yang tidak terkendali. Tidak terkendalinya laju penduduk ini tidak dapat
dipisahkan dari anggapan tradisional masyarakat kita yang masih meyakini bahwa banyak anak
akan mendatangkan banyak reziki. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya
yakni semakin banyak anak di zaman sekarang justru dapat menjadi beban keluarga dan negara,
581
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
misalnya, untuk pengeluaran belanja pendidikan, permintaan pelayanan publik, dan kualitas
lingkungan.
Dalam konteks di atas, berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007 dan 2012 menunjukkan bahwa angka kelahiran yang dihitung dari rata-rata kelahiran (TFR)
wanita berusia 15-49 tahun telah mengalami kenaikan dari 2,4 perwanita, menjadi 2,6. Terjadi
peningkatan dari angka kelahiran. Temuan demikian sejalan dengan hasil Sensus Penduduk
2010, dimana jumlah penduduk Indonesia melebihi perkiraan yang ditetapkan sebelumnya
(Elfindri & Fasli Jalal, 2014: 17).
Terkait penyelenggaran Keluarga Berencana (KB) di era otonomi daerah, pelaksanaan KB secara
struktural berada di bawah koordinasi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
hanya di tingkat provinsi, sementara pada level kabupaten/kota secara penuh dilimpahkan kepada
daerah. Sejak saat itu, muncul beragam variasi kebijakan terhadap KB di tingkat daerah/kota.
Bahkan, sebagian besar daerah menganggap program KB tidak termasuk skala prioritas dan
bukan sektor strategis. Padahal, pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali
mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan seperti, ekonomi, pendidikan, lingkungan,
kesehatan, dan sosial. Berbagai persoalan ini jika tidak terpenuhi akan memunculkan persoalan
sosial lainnya seperti pengangguran, pencurian, permpokan, pembegalan, dan masalah kriminal
lainnya. Masalah-masalah tersebut akan menambah beban bagi pemerintah baik pusat maupun
daerah.
582
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Berkaitan dengan masalah di atas, kajian ini diharapkan dapat menggambarkan dan
mendeskripsikan Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kesertaan KB melalui metode
kontrasepsi jangka panjang (MKJP) di Kabupaten Tulang bawang Barat tahun 2014.
Metodologi
Berangkat dari hasil Telaah Program Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga Provinsi
Lampung Tahun 2014, Kabupaten Tulang Bawang Barat baru memiliki akseptor KB MKJP
sebesar 16,21%. Capaian KB melalui MKJP dari kabupaten ini berada pada kuadran IV dengan
katergori rendah. Hal ini jauh lebih rendah daripada capaian KB MKJP di tingkat provinsi, yakni
sebesar 22,03% dan di tingkat nasional sebesar 26,03%. Selanjutnya yang dijadikan sumber data
dari kajian ini adalah SKPD, PLKB dan Medis (bidan dan dokter) yang ada di wilayah Tulang
Bawang Barat. Adapun penentuan sumber data kajian ini dilakukan dengan cara purposive, yakni
mendapatkan sumber data disesuaikan dengan kebutuhan. Oleh sebab itu, sumber data kajian ini
adalah hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan (SKPD, PLKB dan petugas
Medis (bidan dan dokter) yang ada di daerah terteliti. Dalam hal ini, informan yang diwawancarai
ádalah beberapa informan yang dibutuhkan saja (purposive) yang dianggap mampu memberikan
keterangan yang diperlukan dan tentu saja keabsahan datanya dapat dipercaya. Informan yang
diwawancarai dalam kajian ini diambil secara snowball dengan tujuan agar data yang diinginkan
benar-benar terpenuhi dan terwakili. Oleh sebab itu, pengambilan data dalam kajian ini melalui
wawancara mendalam (in depth interview) terhadap orang-orang yang dibutuhkan keterangannya
sehingga diperoleh data yang mencapai titik kejenuhan dan dapat dipertanggungjawabkan.
583
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang bersifat interaktif yang
disampaikan oleh Hubberman dan Miles (1992:20) di mana terdapat tiga hal utama dalam analisis
interaktif, yakni: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Hal tersebut
menurut Fuad dan Nugroho (2014) sebagai suatu yang jalin menjalin pada saat sebelum, selama,
dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar, untuk membangun wawasan umum yang
disebut “analisis”. Adapun langkah-langkah menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Melakukan pengumpulan data di lapangan.
2. Melakukan reduksi data dalam arti data tersebut dipilih dan difokuskan sesuai pertanyaan
penelitian serta dilakukan analisis secara deskriptif interaktif untuk mendapatkan data yang
sesungguhnya.
3. Melakukan penyajian data yang telah dianalisis sebagai upaya untuk menarik sebuah
kesimpulan dan pengambilan keputusan terhadap data yang telah dianalisis.
4. Melakukan verifikasi atau menarik sebuah kesimpulan terhadap hasil penelitian.
Hasil
Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan terungkap bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya kesertaan keluarga berencana (KB) melalui metode kontrasepsi jangka
panjang (MKJP) di Kabupaten Tulang Bawang Barat meliputi:
Faktor petugas medis (bidan dan dokter) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
rendahnya kesertaan KB MKJP di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Berdasarkan keterangan
yang didapat, hal ini dikarenakan selain petugas medis yang masih masih terbatas, juga
dikarenakan petugas medis sendiri sebagai ujung tombak lebih menyukai penggunaan suntik.
Petugas medis merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan
strategis terutama dalam penurunan angka kelahiran. Maka, dalam konteks di atas cara yang
paling efektif untuk menggalakan program KB MKJP adalah melalui penguatan petugas
kesehatan dalam pelayanan dan peningkatan kualitas seperti bidan-bidan desa untuk
berperan secara aktif dalam memberikan pemahaman dan pelayanan kepada masyarakat
tentang manfaat KB MKJP. Pelatihan kepada bidan desa sangat penting digalakkan
mengingat peran bidan desa dalam pengendalian penduduk di level akar rumput sangat
584
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
signifikan. Untuk itu, peran bidan dan pelayanan keluarga berencana merupakan satu
kesatuan untuk mengajak masyarakat ikut program KB MKJP.
Dalam konteks di atas, untuk menguatkan petugas kesehatan dalam upaya meningkatkan
program KB di antaranya dapat dilakukan dengan penyebaran bidan ke setiap daerah di
perdesaan sehingga dapat mengatasi kebutuhan masyarakat terhadap alat kontrasepsi jangka
panjang. Di Kabupaten Tulang Bawang Barat terdapat 85 bidan yang tersebar di delapan
Puskesmas, namun yang menjadi kendala pelaksanaan program KB di kabupaten baru ini
yaitu hanya memiliki tiga (3) tenaga PLKB. Sebagaimana dimaklumi, bahwa minimnya sumber
daya manusia tersebut membuat program KB sulit dapat menyentuh hingga level akar rumput
terutama di kalangan masyarakat awam.
b. Faktor Budaya
Faktor budaya masih menjadi hambatan dalam pelaksanaan program KB di Kabupaten Tulang
Bawang Barat. Hal ini disebabkan karena pengaruh tentang nilai anak dalam masyarakat
Lampung masih tampak kental sekali. Nilai merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta
melalui interaksi di antara para anggota masyarakat. Nilai tercipta secara sosial bukan secara
biologis atau bawaan sejak lahir. Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam
usaha pemenuhan-pemenuhan kebutuhan sosial, nilai-nilai juga melibatkan emosi. Syani
(1995) mendefinisikan nilai sebagai kumpulan perasaan mengenai apa yang dinginkan atau
yang tidak diharapkan, mengenai yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan. Kaitannya
dengan nilai tersebut, beberapa kelompok masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang Barat
dan beberapa kabupaten di Provinsi Lampung memiliki nilai yang bertolak belakangan dengan
program KB dalam memahami kehadiran seorang anak. Diantaranya mereka berkeyakinan
bahwa setiap anak membawa rezeki sendiri sehingga banyak anak akan banyak rezeki. Selain
itu, dalam komunitas masyarakat Lampung kedudukan anak laki-laki yang dianggap sebagai
penerus keturunan keluarga, maka hal itu sangat berpengaruh terhadap jumlah anak.
Misalnya, dalam sebuah kelurga yang masih belum mendapatkan anak laki-laki maka
kehadiran seorang anak tersebut tetap menjadi penantian, sehingga dalam konteks ini
kehadiran seorang yang tidak diharapkan karena tidak sesuia dengan yang diharapkan sangat
rentan terjadi.
Masalah budaya dapat menimbulkan masalah serius dalam hubungannya dengan program
KB, sehingga perlu adanya kerjasama anggota masyarakat untuk mengontrol banyaknya anak
585
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
dalam satu keluarga. Dalam hal ini, peran serta masyarakat sangat penting agar dapat saling
mengingatkan, ikut serta dalam program pemerintah, menghimbau masyarakat lainnya untuk
berpartisipasi di dalamnya. Di Kabupaten Tulang Bawang Barat, berkaitan dengan nilai anak
kelompok etnik Lampung dan Batak memiliki kecenderungan memiliki jumlah anak lebih dari
dua. Bagi orang Lampung yang memiliki budaya patrenial yang sangat kuat berpengaruh
terhadap nilai anak laki-laki di mata keluarga, hal itu karena garis keturunan keluarga jatuh
pada anak laki-laki. Untuk itu, ketika dalam keluarga masih belum memiliki anak laki ada
kecenderungan mereka akan menambah anak hingga mendapatkan anak yang diharapkan
tersebut.
Selain orang Lampung, orang Batak juga memiliki nilai budaya yang bertolak belakang dengan
program KB, yaitu nilai kebanggaan terhadap jumlah komunitas keluarga yang banyak.
Menurut keyakinan mereka, ketika seseorang keluarga memiliki jumlah anak yang banyak
maka di masa tuanya mereka akan banyak yang merawat. Dalam konteks ini, meskipun orang
Batak juga memilki budaya patrineal namun selain itu mereka juga memiliki nilai yang tinggi
terhadap jumlah komunitas.
Sementara itu untuk orang Jawa, mereka yang memiliki kecenderungan punya anak lebih dari
dua adalah mereka yang bergabung dengan komunitas organisasi keagamaan tertentu.
Menurut kelompok ini Islam sangat menganjurkan untuk melahirkan anak-anak dan
memperbanyak keturunan dengan merujuk pada Al A’raf: 86 yang berbunyi: Ingatlah di waktu
dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu, dan juga sabda
Rasulullah: Nikahilah wanita-wanita yang pencintan dan bisa beranak banyak. Sesungguhnya
aku akan membanggakan banyaknya umatku di hadapan umat-umat lain (HR. Abud Daud)
Pada dasarnya semakin banyak jumlah penduduk di suatu daerah, maka ini berdampak pada
jumlah penduduk ke depannya. Jika tidak ditanggulangi dari sekarang, jumlah penduduk
semakin lama semakin bertambah. Apalagi jika penduduk di suatu daerah tersebut memiliki
budaya yang variatif sehingga mereka memiliki pandangan atau persfektif sendiri-sendiri
terhadap KB. Masalah ini ini akan berdampak pada kesertaan KB di daerah setempat.
c. Faktor Sosial
Dari hasil temuan dilapangan membuktikan bahwa faktor sosial merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi rendahnya kesertaan KB melalaui MKJP di Kabupaten-kabupaten di
586
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Lampung, baik di Kabupaten Tulang Bawang Barat maupun di Kabupaten lainnya. Masyarakat
Tulang Bawang Barat menyebar di beberapa daerah daerah yang jaraknya jauh dari kantor
SKPD KB maupun dari tempat-tempat pelayanan KB. Banyak masyarakat yang khususnya
tinggal di pelosok desa, mereka enggan untuk datang ke pertemuan-pertemuan KB dengan
alasan jauh dari tempat tinggalnya. Selain itu, masyarakat lebih menyukai KB non-MKJP
daripada KB dengan mengunakan MKJP. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain
faktor tempat tinggal yang jauh, sikap terhadap kesertaan KB melalui MKJP masih kurang,
dan pengetahuan masyarakat terhadap alat-alat KB modern itu sendiri masih rendah.
Jika dikaji lebih mendalam terlihat bahwa masyarakat yang tinggal di daerah terpencil akan
sulit mendapatkan pemahaman tentang alat kontrasepsi keluarga berencana (KB). Apalagi jika
pendidikannya masih rendah. Mereka memilih untuk pasrah dengan keadaan yang
dialaminya. Bagi mereka hidup harus dijalani kerena itu semuanya telah ditentukan oleh sang
pencipta, yaitu Allah. Prinsip hidup seperti itu sebaiknya sudah tidak digunakan lagi untuk saat
ini. Meskipun kita wajib melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, itu
bukan berarti kita tidak boleh mengubah hidup kita lebih baik daripada sebelumnya.
Pada dasarnya, masyarakat yang memiliki pengetahuan yang tinggi dan mau bergaul dengan
orang lain, serta mampu mengubah mainsednya ia akan lebih terbuka dan lebih mudah
menerima suatu pertubahan dalam hidupnya. Ia akan lebih proaktif untuk mengubah hidupnya
menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, ia membutuhkan motivasi baik dari diri sendiri maupun dari
orang lain untuk mengubah pola hidupnya. Hal inilah yang mengharuskan masyarakat (PUS)
untuk selalu berinteraksi dengan masyarakat. Dengan demikian, pemahaman terhadap
KBMKJP yang diberikan oleh petugas KB baik dari petugas medis maupun PLKB akan lebih
mudah diterima oleh PUS. Namun, kenyataan yang ada di lapangan sebagian besar peserta
KB lebih memilih suntik KB dan Pil KB.
d. Faktor Ekonomi
Dari hasil temuan di lapangan, keluarga yang memiliki ekonominya rendah atau prasejahtera
(pra KS), beberapa keluarga ini malah cenderung tidak mau masuk menjadi akseptor KB.
Kalaupun ada, kontrasepsi yang mereka pilih kebanyakan non MKJP seperti pil KB, suntik,
kondom, dan lain-lain. Oleh sebab itu, mereka lebih mengandalkan program gratis dari
pemerintah karena bagi mereka biaya KB melalui MKJP lebih mahal daripada biaya KB Non-
MKJP.
587
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dalam konteks di atas, sejak era otonomi daerah kewenangan Pemerintah Pusat untuk
mendorong pelaksanaan KB di daerah sangat terbatas. Bantuan pemerintah pusat kepada
daerah berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) namun hanya diperuntukkan bagi sarana dan
prasarana kesehatan seperti dipakai untuk membeli mobil unit penerangan, mobil unit
pelayanan, sepeda motor bagi petugas lapangan KB dan alat-alat keperluaan KB lainnya.
Sementara itu, untuk operasional pelaksanaan KB menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, yang
menjadi persoalan kemudian adalah banyak pejabat daerah merasa enggan secara penuh
memperhatikan program KB karena tidak mendatangkan sumber pendapatan bagi daerah,
padahal program KB sebenarnya tidak hanya membatasi angka kelahiran melainkan lebih
jauh lagi dapat meningkatkan kualitas penduduk dengan ketahanan keluarga.
Bila dibandingkan dengan masa Presiden Soeharto, program keluarga berencana menjadi
prioritas pembangunan jangka panjang setelah Indonesia menandatangani Deklarasi PBB
(Perserikatan Antar Bangsa-Bangsa) di Teheran bersama 20 Pemimpin Negara lainnya pada
tahun 1967. Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Deklarasi PBB tersebut maka
dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) tahun 1969 sebagai upaya untuk
menekan angka kelahiran. LKBN yang Semi Pemerintah ini kemudian ditingkatkan menjadi
Lembaga Pemerintah Non Departemen melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 8 tahun
1970 tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan tugas
menjalankan koordinasi dan integrasi terhadap pelaksanaan program nasional secara terpadu.
588
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
yaitu rata-rata daerah hanya mengalokasikan 0,4% dana APBD-nya untuk bidang
kependudukan.Bahkan dari 511 kabupaten/kota yang memiliki urusan kependudukan, hanya
20 daerah yang kelembagaannya utuh. Bahkan, ada daerah yang tidak memasukkan urusan
kependudukan ke satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kondisi menjadi sangat
memprihatikan ketika banyaknya PKB/PLKB dimutasi ke unit lain yang tidak ada hubungannya
dengan bidang KB. Akibat mutasi dan PKB/PLKB yang pensiun, jumlahnya menyusut drastis
di era otonomi daerah.
e. Faktor Pendidikan
Sejalan dengan yang dikemukan dalam teori Anderson (2003) bahwa pendidikan
mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi. Pendidikan seorang ibu akan menentukan pola
penerimaan terhadap informasi dan pengambilan keputusan, semakin berpendidikan seorang
ibu, maka keputusan yang akan diambil akan lebih baik.
Mengacu pada pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa keberhasilan program KB MKJP
setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun yang
dimaksud dengan faktor internal yaitu berkaitan dengan tingkat pendidikan di mana mereka
yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung mempunyai aktivitas tinggi sehingga
berpengaruh terhadap keputusan jumlah anak dalam keluarga. mereka yang berpendidikan
tinggi memiliki pemahaman yang rasional terkait dampak tentang kepadatan penduduk.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah kemampuan bidan dalam
memberikan informasi yang objektif dan lengkap terkait keutamaan-keutamaan pemakaian
metode kontrasepsi jangka panjang.
589
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Faktor sarana dan pelayanan KB sangat menunjang untuk mendukung kesuksesan program
KB MKJP di lapangan. Berdasarkan temuan di lapangan, sarana dan pelayanan KB di daerah
khususnya di pelosok-pelosok desa masih sangat terbatas. Mengingat begitu pentingnya
peran bidan maka idealnya dibutuhkan koordinator bidan di masing-masing daerah yang
bertugas melakukan kegiatan supervisi dan pendampingan kepada bidan praktik. Tujuannya
adalah untuk mengoptimalkan peran bidan sebagai lini depan pelayanan alat kontrasepsi.
Dalam konteks ini peran bidan koordinator tidak hanya menjalankan kegiatan pencatatan yang
bersifat administratif melainkan juga melakukan pengawasan dan pendampingan. Langkah
menempatkan bikor bertujuan agar strategi penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
(MKJP) bisa berhasil dengan meningkatkan fasilitas dan keterampilan bidan.
590
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Pada dasarnya program KB melalui MKJP ini merupakan salah satu persoalan yang perlu dicari
solusinya. Kenyataan di lapangan masih banyak masyarakat yang belum memahami KB melalui
MKJP ini sehingga tingkat KB MKJP di daerah Lampung masih rendah jika dibandingkan dengan
KB melalui non-MKJP. Dalam hal ini, penyebab rendahnya PUS dalam memilih KB melalui MKJP
sebenarnya karena kurangnya sarana dalam pelayanan KB itu sendiri. sarana yang dibutuhkan
dalam pelayanan KB ini bisa berupa rumah sakit, puskesmas, bidan desa, dokter, dan petugas
PLKB itu sendiri yang harus hadir di setiap daerah dan melaksanakan fungsinya secara maksimal.
Pembahasan
Berdasarkan laporan Kontrak Kinerja Provinsi (KKP) Lampung 2014 capaian CPR Kabupaten
Tulang Bawang Barat sudah mencapai target 69,9 persen dari target 75,07 persen di tingkat
provinsi. Angka tersebut menggambarkan bahwa pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB)
di Tulang Bawang Barat sudah cukup berhasil dalam mengurangi angka kelahiran. Namun, jika
kita melihat pada capaian MKJP jauh daripada target propinsi, yaitu hanya 5,0 persen dari target
provinsi 26,03 persen. Di samping itu yang tidak kalah mengkawatirkan adalah tingkat ASFR (15-
19) Kabupaten Tulang Bawang Barat pada angka 67 persen. Dua fenomena tersebut
mencerminkan tingginya proyeksi penambahan jumlah penduduk di kabupaten tersebut,
kenyataan ini sudah terlihat dengan membandingkan jumlah penduduk Tulang Bawang Barat
tahun 2012 berdasarkan data Badan Pusat Statistik berjumlah 258.458 jiwa sekarang (2014)
meningkat menjadi 278.211 jiwa (Laporan Kependudukan Kabupaten Tulang Bawang Barat
Triwulan III [Juli, Agustus, September 2014]). Itu artinya kegagalan program KB MKJP di
kabupaten tersebut akan menambah sederet persoalan kependudukan baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek terkait dengan pemenuhan program-program kesejahteraan bagi
pemerintah daerah.
Berdasarkan sumber data yang sama, jumlah presentase peserta KB MKJP lama dan peserta KB
MKJP baru tidak mengalami perubahan yaitu tetap pada angka 11.896 atau 45,35 persen.
Kenyataan ini terjadi menurut laporan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) Kabupaten
Tulang Bawang Barat tahun 2014 disebabkan oleh Petugas Lapangan KB (PLKB) belum optimal
dalam melakukan mekanisme operasional program sehingga berdampak terhadap keberhasilan
program. Berkaitan dengan masalah ini ketika menurut SKPD KB Tulang Bawang menjelaskan
bahwa ketidak optimalan peran PLKB tidak lain karena minimnya jumlah kader PLKB yang ada di
lapangan.
591
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kenyataan terjadinya krisis kader PLKB di daerah sebagaimana di Kabupaten Tulang Bawang
Barat tersebut diakui oleh Kepala BKKBN, Fasli Jalal, bahwa krisis PLKB terjadi secara merata
seluruh Indonesia sejak era otonomi daerah di mana tenaga PLKB banyak yang dipindah-
pindahkan akibat tidak ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD).
Pada masa Orde Baru jumlah PLKB mencapai 40 ribu orang. Sementara itu saat ini hanya
berkisar 15 ribu orang dengan kondisi desa dan keluarga yang terus bertambah
(http://www.sindotrijaya.com).
Hasil temuan dalam kajian ini diperoleh bahwa pengaruh dukungan suami merupakan salah satu
faktor dominan yang menentukan PUS menggunakan MKJP. Hal ini sebagaimana diungkapkan
dalam teori Lawrence Green bahwa faktor dukungan suami dapat dikatakan sebagai salah satu
faktor anteseden atau pemungkin yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana.
Perpadauan antara dukungan suami dengan kemauan yang kuat dari isteri dalam menetapkan
pilihan pada alat kontrasepsi terbukti efektif membuahkan keputusan yang bulat bagi kedua
pasangan dalam memilih menggunakan alat kontrasepsi.
Adanya dukungan suami dalam pemilihan MKJP disebabkan factor sosial budaya yang sangat
tinggi yang mengharuskan suami memberikan dukungan dan kasih sayang untuk isterinya.
Apalagi dalam konteks Indonesia, keputusan suami dalam mengizinkan isteri adalah pedoman
penting bagi isteri untuk menggunakan alat kontrasepsi. Bila suami tidak mengizinkan atau
mendukung, hanya sedikit isteri yang berani untuk tetap memasang alat kontrasepsi tersebut.
Dukungan suami sangat berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan menggunakan atau
dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.
592
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Keengganan suami dalam memberikan dukungan terhadap isterinya bisa disebabkan kurangnya
informasi yang diperoleh suami sehingga dalam memberikan dukungan pemilihan alat kontrasepsi
secara umum. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting dalam membentuk
tindakan seseorang.
Pada dasarnya, salah satu hambatan dalam penerimaan kontrasepsi adalah malu waktu
pemasangan karena ada larangan (tabu) untuk memanipulasi alat kelamin wanita, sehingga alat
kontrasepsi tersebut menghilangkan minat wanita. Padahal itu hanyalah kesalahan persepsi
masyarakat saja. Dalam hal ini, masayarakat perlu diberi pemahaman yang mendalam tentang
pemakain alat kontrasepsi baik yang menggunakan MKJP maupun non-MKJP.
Faktor Sosio Demografi merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi sesorang memilih
alat kontrasepsinya baik melalui MKJP maupun non-MKJP. Sosio Demografi ini meliputi unsur
tingkat pendidikan dan pengetahuan. Dalam hal ini, seringkali dijumpai bahwa lingkungan sosial,
budaya, stigma, dan norma lebih dominan memberikan pengaruh negatif terhadap informan
(PUS) dalam memilih alat kontrasepsi yang digunakannya.
Tingginya pemilihan metode non-MKJP di Tulang Bawang Barat ini dipengaruhi juga oleh
pekerjaan akseptor yang mayoritas bekerja di sektor perkebunan dan pertanian. Dalam hal ini,
pekerjaan juga mempunyai peranan penting dalam pemilihan jenis alat kontrasepsi bagi PUS
tersebut.
Faktor Sosio Psikologis juga berpengaruh terhadap rendahnya kesertaan KB melalui MKJP.
Dalam hal ini, tentu saja masih banyak masyarakat yang percaya bahwa kalau belum dapat anak
laki-laki berarti belum boleh berhenti untuk memiliki anak. Kepercayaan masyarakat seperti itu
masih tampak di daerah Tulang Bawang Barat. Masyarakat masih memegang teguh adat istiadat
dari suku asalnya. Pada suku Batak dan Lampung tidak mungkin menggunakan kontrasepsi
MKJP sebelum mendapatkan anak laki-laki, belum ada pengakuan kalau anak perempuan bisa
meneruskan keturunan. Pada suku Batak memandang semakin banyak anak semakin banyak
tempat orang tua tinggal ketika dia tua atau semakin banyak anak yang akan memberikan
bantuan. Dalam hal ini, Suku Jawa adalah kelompok suku yang lebih mudah menerima terhdap
perubahan sehingga semua program pemerintaha akan terlaksana dengan baik jika
masyarakatnya banyak bersuku Jawa.
593
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Temuan lain dalam penelitian ini adalah faktor Nilai. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian
ini faktor nilai dapat menyebabkan rendahnya kesertaan KB melalui MKJP di Lampung. Nilai
tercipta secara sosial bukan secara biologis atau bawaan sejak lahir. Nilai memuaskan manusia
dan mengambil bagian dalam usaha pemenuhan-pemenuhan perasaan mengenai apa yang
diinginkan atau yang tidak diharapkan, mengenai yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan.
Keadaan ini menggambarkan bahwa nilai yang dianut masih kental di daerah-daerah yang ada di
Lampung.
Keberadaan kultur juga tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya. Melalui kultur, manusia
belajar tentang banyak hal, seperti nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, dan objek-objek material
lainnya yang mencermintkan cara hidup masyarakat (Macionis, 1997). Kultur adalah strategu
keberlangsungan hidup bagi masyarakat. Di dalam kultur terdapat peta pemahaman (map of
understanding) yang akan mengarahkan apa yang harus dilakukan manusia dan bagaimana
mereka melakukannya (Bennet, 1998). Sebagai sebuah strategi survival, masyarakat memiliki
harapan agar kultur dapat membantu mereka dalam mengatasi persoalan hidup.
Akan tetapi, kadang-kadang kultur tidak dapat berperan sesuai harapan manusia, lebih jauh lagi
pendekatan kultural tidak selalu berhasil dalam membantu manusia memecahkan persoalannya.
Dalam konteks ini kultur, bahkan bisa menghambat dalam memecahkan persoalan mengapa hal
ini bisa terjadi? Salah satu asumsi dasarnya adalah perubahan sosial yang terjadi saat ini telah
menimbulkan persoalan-persoalan yang baru dan kompleks mengenai kehidupan manusia.
Ada pertanyaan yang membutuhkan jawaban lugas di dalam masyarakat adalah mengapa MKJP
rendah di Lampung? Perlu diketahui bahwa Fatwa Haram MUI tentang alat kontrasepsi vasektomi
berpengaruh di masyarakat. Mitos bahwa vasektomi menurunkan gairah seks juga menjadi
momok yang membatasi peran serta pria dalam KB. Selain itu juga masih ada tokoh agama yang
memimiliki interpretasi terhadap teks agama yang dianutnya yaitu adannya larangan untuk
membatasi jumlah anak dan menganggap KB merupakan perbuatan yang mutasyabihat (samar-
samar, antara halal dan haram) juga mempengaruhi KB secara umum.
Di Indonesia, bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak memberikan pelayanan KB.
Hal ini karena Bidan berada lebih dekat dengan masyarakat dibanding penyedia layanan KB
lainnya. Sebaliknya peran Petugas Lapangan KB (PLKB) di lapangan tidak berjalan maksimal. Hal
ini karena jumlah PLKB saat ini lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini
menyebabkan informasi mengenai KB tidak dapat tersebar merata ke seluruh lapisan masyarakat.
594
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Berdasarkan fakta di atas perlu adanya kebijakan strategis dan upaya dari pemerintah untuk
meningkatkan kesertaan KB melalui MKJP (IUD, MOP, MOW, dan Implant) di Provinsi Lampung,
antara lain adalah:
a. Meningkatkan pelayanan KB melalui MKJP secara maksimal.
b. Meningkatkan komitmen dan kemitraan bersama Ormas, OSIS, Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM), Unit Kegiatan Siswa (UKS), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan lembaga-lembaga
pendidikan.
c. Memberikan pendidikan tentang alat-alat kontrasepsi KB khususnya KB-MKJP seperti IUD,
Inplant, MOW, dan MOP kepada PUS, siswa remaja, dan mahasiswa.
d. Meningkatkan anggaran/dana untuk pelaksanaan KB khususnya KB melalui MKJP yang
dituangkan dalam RAPBD dan RAPBN.
e. Meningkatkan SDM bagi petugas KB lapangan (PLKB) dan petugas medis (dokter dan bidan)
di setiap daerah di Lampung dengan mengikuti pelatihan-pelatihan secara rutin tentang
penggunaan alat kontrasepsi KB-MKJP.
f. Membangun dan mengembangkan tempat-tempat pelayanan KB seperti Pos-Pos KB di setiap
Dusun/Desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas, Rumah Sakit yang mampu melayani KB-
MKJP seperti pemasangan IUD, Inplant, operasai pada wanita (MOW), dan operasi pada Pria
(MOP).
g. Memperbanyak petugas KB Lapangan (PLKB) dan petugas medis (bidan dan dokter) di setiap
daerah di Lampung secara merata yang bertugas melayani KB MKJP.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor penyebab rendahnya kesertaan KB melalui MKJP di Lampung adalah;
1. Faktor petugas medis, bidan yang semestinya menjadi ujung tombak pelaksanaan KB MKJP
dalam praktiknya justru bertolak belakang;
2. Faktor budaya, tidak populernya KB MKJP pada kelompok etnik tertentu karena faktor budaya
dalam kelompok tersebut, seperti etnik Lampung yang kental dengan budaya patrenial
berpengaruh terhadap jumlah anak ketika masih belum mendapatkan anak laki, begitu juga
dengan suku Batak yang memiliki kebanggaan terhadap komunitas keluarga besar membuat
program KB MKJB justru dianggap bertententangan dengan nilai budaya mereka. Hal yang
tidak jauh berbeda dalam komunitas keluarga muslim (Jawa) tertentu yang menganggap
595
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
pembatasan jumlah anak sebagai perbuatan yang tidak diridhoi Allah Swt. Hal ini juga
membuat program KB tidak dianjurkan dalam komunitas mereka;
3. Faktor sosial, keberadaan tempat tinggal PUS dan pemahamanan tentang KB MKJP masih
rendah berpengaruh terhadap kesertaannya untuk ber-KBMKJP;
4. Faktor ekonomi, mahalnya biaya jasa pemasangan KB MJP berpengaruh terhadap
rendahnya pemakaian alat kontrasepsi KB MKJP di masyarakat;
5. Faktor Pendidikan, rendahnya pendidikan masyarakat (PUS) berpengaruh tingkat pernikahan
dini di beberapa kelompok etnik tertentu di Lampung, sehingga hal tersebut berpengaruh
terhadap rendahnya pengetahuan masyarakat tentang arti keluarga sejahtera;
6. Faktor Sarana dan pelayanan program KB itu sendiri, di setiap desa khususnya desa terpencil
sarana untuk pelayanan program KB masih kurang dan pelayanan KB khususnya KB MKJP
pun masih belum optimal.
Berdasarkan pembahasan di atas ada beberapa hal yang dapat disarankan, yakni sebagai
berikut.
1. Perlu adanya kebijakan strategis dan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kesertaan
KB melalui MKJP (IUD, MOP, MOW, dan Implant) di Provinsi Lampung.
2. Pemerintah perlu memberikan penghargaan dan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat
(PUS) yang akan menjadi akseptor KB melalui MKJP.
3. Pemerintah perlu memikirkan insentif lebih bagi petugas KB (PLKB, bidan, dokter) yang
bertugas di daerah-daerah dan di pelosok desa yang secara optimal melayani KB khususnya
KB-MKJP.
4. Petugas KB lapangan (PLKB) dan petugas Medis (bidan dan dokter) perlu proaktif melayani
kebutuhan KB bagi masyarakat (PUS) khususnya melayani KB melalui MKJP.
5. Pasangan Usia Subur (PUS) perlu menyadari bahwa mengikuti program KB melalui MKJP
seperti IUD, inflant, MOW, dan MOP lebih aman daripada melalui non-MKJP seperti pil KB,
suntikan, kondom, dan lain-lain untuk membatasi angka kelahiran dalam jangka panjang.
Dengan demikian, perlu dilakukan sosialisasi dan pemberian pemahaman secara mendalam
kepada PUS tentang pentingnya program KB melalui MKJP.
Daftar Pustaka
596
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
597
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Abstract:
Pendahuluan
598
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
599
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
600
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
601
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
602
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Melalui berbagai kegiatan, Badan Diklat, Arsip dan Perpusda Kabupaten Cilacap
pada dasarnya telah mengimplementasikan program peningkatan kualitas dan
layanan diklat, dan penyelenggaraan diklat pola 1 (satu) pintu. Berbagai
kebutuhan diklat dari SKPD di Kabupaten Cilacap juga dikelola dan
diselenggarakan sesuai kebijakan.
Pelaksanaan Diklat mengacu pada kebutuhan untuk mengatasi kesenjangan
berkaitan dengan hasil kerja (job performance), pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skills) dan atau tingkah laku (behavior/attitude).
Arah kebijkan dalam pengembangan aparatur tidak hanya pada upaya
peningkatan kapabilitas intelektualnya saja, namun juga peningkatan sikap dan
semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman dan
pemberdayaan masyarakat. Implikasi terhadap lembaga yaitu adanya kewajiban
untuk turut serta membangun karakter (character building) aparatur di Kabupaten
Cilacap.
Isu-isu strategis
603
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
604
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Diskusi
605
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kesimpulan
606
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Untuk itu, diklat sebagai salah satu aspek pengembangan diri untuk
mengisi kekurangan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai ASN dan membentuk
kompetensi menghadapi tantangan masa depan, wajib diselenggarakan secara
terprogram, berkesinambungan dengan memperhatikan kebutuhan daerah, serta
tantangan yang dihadapi.
Juga pentingnya perluasan kegiatan diklat melalui ragam program kediklatan
sesuai jumlah urusan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk
menyelenggarakannya. Persoalan pada dunia kediklatan khususnya di
Kabupaten Cilacap adalah diklat yang diselenggarakan selama ini lebih banyak
terpusat pada diklat prajabatan dan diklat kepemimpinan, sedangkan perhatian
pada diklat teknis dan diklat sosio-kultural amat rendah. Badan Diklat, Arsip dan
Perpusda sebagai lembaga diklat daerah dituntut untuk lebih intensif
berkoordinasi dengan lembaga teknis (SKPD), agar bersama SKPD merancang
berbagai diklat teknis dan fungsional untuk peningkatan kompetensi teknis
aparatur. Diperlukan adanya sinergi dan harmonisasi dalam perancangan
maupun penyelenggaraan program kediklatan daerah sehingga kebutuhan
kompetensi dan profesionalisme aparatur dapat terpenuhi guna peningkatan
kinerja SKPD dan Pemerintah Daerah pada umumnya.
Badan Diklat, Arsip dan Perpusda, Pemerintah Kabupaten Cilacap tentunya
harus segera melakukan pembenahan dan persiapan untuk menyesuaikan
seluruh sumberdaya guna menghadapi tuntutan Undang-Undang ASN tersebut.
Pembenahan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun produk-
produk sistem kediklatan harus mampu menjawab tantangan dimaksud,
sehingga pegawai ASN Kabupaten Cilacap dimasa mendatang mampu menjadi
ASN yang berkualitas world-class civil service.
Referensi
607
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
608
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
IMPLEMENTASI
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
( BPJS )
Oleh : Dr. Sri Rahayu, SH.MM, Widyaiswara Madya
Pusdiklat Kementerian Ketenagakerjaan RI
Jl.Kp. Lembur, Kel./Kec. Makasar, Jakarta Timur, Kode Pos 13570
Telp. 8090804, 8090952, 8000828 Fax. : (021) 8090739
Abstract: Social Security will be held by the Social Security Agency (BPJS) which is the
institutional transformation of PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT
TASPEN (Persero) and PT Asabri (Persero). In order to provide legal certainty for the
establishment of Law No. BPJS diterbitkanlah 24 of 2011 on BPJS. Under the bill, will
be formed two BPJS namely BPJS a transformation of PT Askes (Persero) and BPJS
Employment is the transformation of PT Jamsostek (Persero). Further regulation was
issued on a program organized by BPJS ie Presidential Regulation No. 12 Year 2013
on Health Insurance. The purpose of this study was to describe the transformation of PT
Askes (Persero) to BPJS through the implementation of the Health Insurance program.
and BPJS Employment is the transformation of PT Jamsostek (Persero) This study
included descriptive research with a qualitative approach.
Pendahuluan
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi, pemerintah bertanggung
jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui
JaminanKesehatanNasional (JKN) bagikesehatanperorangan. Usaha kearah itu
sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk
jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero)
dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima
pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu,
609
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Metode penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Jenis dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum
primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder,
yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti buku-buku atau literature-literatur karangan para sarjana dan jurnal
ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk memperoleh bahan hukum
yang diperlukan, menggunakan Data kepustakaan (data skunder),
penggumpulan data dengan study dokumentasi adalah pengumpulan data
dengan cara menghimpun dan mengkaji data kepustakaan yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan, literatur-literatur serta pendapat para sarjana
yang terkait dengan pokok permasalahan yang dibahas. Pada penelitian ini
ditemukan adanya kekaburan norma, sehingga alat analisis yang digunakan
adalah Penafsiran Ekstensif. Yaitu penafsiran yang memperluas pengertian
atau istilah yang ada di dalam suatu rumusan Undangundang.2
610
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
HASIL
Pengertian BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No
24 Tahun 2011). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan
kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Kedua BPJS tersebut pada dasarnya mengemban misi negara untuk memenuhi
hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan menyelenggarakan
program jaminan yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penyelenggaraan jamianan sosial yang adekuat
dan berkelanjutan merupakan salah satu pilar Negara kesejahteraan, disamping pilar
lainnya, yaitu pendidikan bagi semua, lapangan pekerjaan yang terbuka luas dan
pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkeadilan.
FUNGSI
611
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
TUGAS
612
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
WEWENANG
613
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
DasarHukum
Kewajiban Peserta:
Besaran Iuran
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, Iuran adalah sejumlah uang
yang dibayar secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. Dalam
pasal 19 ayat 5 mengenai ketentuan lebih lanjut, di sebutkan bahwa:
a. Besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur
dalam Peraturan Presiden; dan
b. Besaran dan tata cara pembayaran Iuran selain program jaminan kesehatan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
614
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Dalam penjelasan pasal tersebut di jelaskan bahwa besar iuran yang yang
harus di berikan bergantung pada kebijakan yang di atur oleh pemerintah, dan jenis
BPJS yang di ikuti oleh peserta iuran.Besaran pembayaran kepada fasilitas kesehatan
ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS Kesehatan dengan asosiasi fasilitas
kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh
Menteri.
1. Hak
2. Kewajiban
615
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Kepesertaan BPJS
Peserta BPJS Kesehatan adalah setiap orang, termasuk orang asing yang
bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran,
meliputi :
1. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) : fakir miskin dan orang tidak
mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI), terdiri dari :
616
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
a. Investor;
b. Pemberi Kerja;
c. Penerima Pensiun, terdiri dari :
1) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
2) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
3) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
4) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang
mendapat hak pensiun;
5) Penerima pensiun lain; dan
6) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun lain
yang mendapat hak pensiun.
d. Veteran;
e. Perintis Kemerdekaan;
f. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis
Kemerdekaan; dan
g. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd e yang mampu membayar
iuran.
617
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Sitem Rujukan
618
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif namun masih
ada yang dibatasi, yaitu kacamata, alat bantu dengar (hearing aid), alat bantu
gerak (tongkat penyangga, kursi roda dan korset). Sedangkan yang tidak dijamin
meliputi:
DISKUSI
Pertanggung Jawaban BPJS
BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang
diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (limabelas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosias Fasilitas Kesehatan
di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh enteri
Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri
Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan.
Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam JKN, peserta
dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa
akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi
dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan
tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS
Kesehatan dan biaya yang harus dibayarkan akibat peningkatan kelas perawatan,
yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku
bagi peserta PBI. Sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugasnya,
BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggung jawaban dalam bentuk laporan
pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai
dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan public dikirimkan
619
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia
Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni
tahun berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif
melalui media massa elektronik dan melalui massacetak yang memilik iperedaran
luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya, paling sedikit 2
(dua) media.
Penutup
Kesimpulan
Daftar Pustaka :
1. Utri P, Novana. 2013. Konsep pelayanan primer di era JKN. Direktorat bina
upaya kesehatan dasar Ditjenbina upaya kesehatan Kemenkes RI : Jakarta.
2. Tridarwati, Sri Endang. BPJS Kesehatan. PT. ASKES :Jawa Tengah.
3. Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara
aminan Sosial (BPJS).
4. Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
620