Anda di halaman 1dari 84

2.

1 SEJARARAN PENELUSURAN GUA


Tidak ada catatan resmi kapan manusia menelusuri gua. Berdasarkan
peninggalan – peninggalan, berupa sisa makanan, tulang belulang, dan juga
lukisan – lukisan, dapat disimpulkan bahwa manusia sudah mengenal gua
sejak puluhan tahun silam yang tersebar di benua Eropa, Afrika, dan Amerika.
 Masa primitif, gua dihuni oleh manusia Cro Magnon dan berlindung,
kuburan dan untuk pemujaan roh leluhur.
 1674, John Beaumont seorang ahli bedah dan ahli geologi amatir dari
Samerset Inggris melakukan pencatatan laporan ilmiah penelusuran gua
sumur (potholing) yang pertama kali dan diakui oleh British Roval Society.
 1670 – 1680, Baron Johann Valsavor dari Slovenia adalah orang pertama
yang melakukan deskripsi terhadap 70 gua dalam bentuk laporan ilmiah
lengkap dengan komentar, sketsa dan peta sebanyak 4 jilid dengan total
mencapai 2.800 halaman. Atas jasanya British Royal Society memberikan
penghargaan ilmiah kepadanya.
 1818, Kaisar Habsbrug Francis I adalah seorang yang pertama kali
melakukan kegiatan wisata di dalam gua yaitu saat mengunjungi Gua
Adelsbreg (Sekarang Gua Postonja di eks-Yugoslavia) Kemudian Josip
Jersinovic yaitu seorang pejabat di daerah tersebut tercatat sebagai
pengelola gua profesional yang pertama.
 1838, Pengacara Franklin Gorin adalah tuan tanah yang memilik areal
dimana gua terbesar dan terpanjang di dunia yaitu Mammoth Cave di
Kentucky AS. Olehnya gua tersebut dikomersialkan dan dipekerjakannya
seorang mulatto bernama Stephen Bishop berumur 17 tahun sebagai budak
penjaga gua tersebut. Karena tugasnya tersebut Stephen Bishop dianggap
sebagai Pemandu Wisata Gua Profesional (Cave Guide) pertama.
Mammoth Cave sendiri terdiri dari ratusan lorong (Stephen Bishop
menemukan sekitar 222 lorong) dengan panjang 300 mil hingga kini
belim selesai di telusuri dan di teliti. Tahun 1983 oleh usaha International
Union of Speleolohy, Mammoth Cave diakui oleh PBB sebagai salah satu
warisan dunia (World Herritage).

4
 1866 – 1888, pada masa ini diakui sebagai saat lahirnya Ilmu Speleologi
yang dipelopori oleh Edouard Alfred Martel (1859 – 1938) berkat usaha
kerasnya selama 5 yang diakui sebagai bapak Speleologi Dunia. Semua
ini tahun dalam suatu kampanye penelusuran gua yang berisi metode yang
menggabungkan bidang ilmu riset dasar eksplorasi gua sehingga dapat
dilakukan suatu penelitian Multidisipliner dan Interdisipliner. Metode
tersebut diakui oleh para ahli sebagai carayang paling tepat, konstruktif
dan efisien dalam meneliti lingkungan gua. Bahkan tatacara dianggap
sebagai pokok penerapan disiplin,tata tertib, etika dan moral kegiatan
Speleologi Modern pada masa sekarang.

2.1.1 Speleloeogi Modern dan Perkembangannya di Indonesia


Speleleogi berasal dari kata Spelaion (Gua) dan Logos (Ilmu) dalam bahasa
Yunani. Arti umumnya adalah ilmu mengenal Gua namun secara khusus diartikan
sebagai ilmu riset dasar yang mempelajari lingkungan gua dan aspek ilmiah yang
ada di dalamnya. Bidang ini menyangkut banyak cabang ilmiah dari bidang sains
yang lain seperti Biologi (Mikrobiologi), Geologi, Kimia, Meteorologi,
Anthropologi, Arkeologi, Mineralogi, Sedimentologi juga bidang ilmu yang
bersifat sosial seperti Ilmu Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Sejarah, Turisme
bahkan Mistik dan Legenda. Jadi pengertian Speleologi adalah ilmu mengenai gua
atau ilmu yang mempelajari tentang lingkungan gua dan membahas berbagai
aspek fisik dan biologisnya. Sedangkan Caving itu sendiri merupakan kegiatan
penelusuran gua yang secara umum menurut ketentuan Internasional, setiap
kegiatan penelusuran gua harus mempunyai tujuan ilmiah dan konservasi.

Di Indonesia baru ada pada pertengahan dekade 70-an, diperkenalkan oleh dr.
Roobby Ko King Tjoen Dv melalui media massa Tahun 1979 bersama Norman
Edwin (Alm) mendirikan SPECAVINA club Caving pertama di Indonesia. Setelah
bubar pada awal dekade 80-an maka pada tanggal 23 Mei 1983 dr. Robby
mendirikan HIKESPI (Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia) yang mendapat
pengakuan Intenasional dengan terdaftar di UIS (Union Internationale de
Speleologie – anggota Kelompok F UNESCO) dengan nama FINSPAC
(Federation of Indonesian Spelelogical Activities ) dan dari pemerintah RI

5
( Terdaftar di LIPI sebagai organisasi afiliasi profesi ilmiah) sebagai satu-satunya
organisasi yang mewadahi semua kegiatan speleologi di Indonesia secara resmi.
Sedangkan Norman Edwin (Alm) mendirikan klub caving bernama GARBA
BUMI. Pada tahun tersebut bermunculan club-club speleologi di Indonesia seperti
ASC yang berdiri pada tanggal 1 Januari 1984, SSS – Surabaya, DSC – Bali,
SCALA– Malang, dll.

Dalam mempelajari Speleologi memerlukan pendekatan dari berbagai disiplin


ilmu, antara lain :

1. Hidrologi karst : Ilmu yang mempelajari tentang sistem perairan pada


kawasan karst.
2. Speleogenesis : Ilmu yang mempelajari tentang proses terbentuknya gua
3. Biospeleologi : Ilmu yang mempelajari tentang kehidupan yang terdapat di
dalam gua.
4. Geomorfologi karst : Ilmu yang mempelajari bentuakan alam di sekitar
maupun di dalam gua.
5. Sedimentologi gua : Ilmu yang mempelajari tentang sedimen gua
6. Antropologi : Ilmu yang mempelajari tentang kehidupan manusia
7. Arkeologi : Ilmu yang mempelajari tentang peninggalan kebudayaan
manusia masa lalu.
8. Paleontologi : Ilmu yang mempelajari tentang fosil binatang maupun
tumbuhan masa lalu.

2.1.2 Teori Klasik Mengenai Perkembangan Perguaan


Banyak debat intensif yang terjadi selama abad ini yang menyangkut ilmu
pengetahuan geomorfologi yang berhubungan dengan asal muasal gua di
batugamping. Apakah gua terbentuk di atas water table (zona vadose), dibawah
water table (zona phreatic), atau pada bidang dari water table itu sendiri.
Beberapa teori dapat dikelompokkan sebagai berikut:

 Teori Vadose-Dwerry house (1907), Greene (1908), Matson (1909), dan


Malott (1937) mempertahankan bahwa sebagian besar perkembangan
gua berada di atas water tabel dimana aliran air tanah paling besar. Jadi,

6
aliran air tanah yang mengalir dengan cepat, yang mana gabungan korosi
secara mekanis dengan pelarutan karbonat, yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan gua. Martel (1921) percaya bahwa begitu
pentingnya aliran dalam gua dan saluran (conduit) begitu besar sehingga
tidak berhubungan terhadap hal terbentuknya gua sehingga tidak relevan
menghubungkan batugamping yang ber-gua dengan adanya water table,
dengan pengertian bahwa permukaan tunggal dibawah keseluruhan
batuannya telah jenuh air.
 Teori Deep Phreatic-Cjivic (1893), Grund (1903), Davis (1930) dan Bretz
(1942) memperlihatkan bahwa permulaan gua dan kebanyakan
pembesaran perguaan terjadi di kedalaman yang acak berada di bawah
water table, sering kali pada zona phreatic yang dalam. Gua-gua
diperlebar sebagai akibat dari korosi oleh air phreatic yang mengalir
pelan. Perkembangan perguaan giliran kedua dapat terjadi jika water
table diperendah oleh denudasi (penggundulan) permukaan, sehingga
pengeringan gua dari air tanah dan membuatnya menjadi vadose dan
udara masuk kedalam gua. Selama proses kedua ini aliran permukaan
dapat masuk ke sistem perguaan dan sedikit mengubah lorong gua oleh
korosi.
 Phreatic Dangkal atau Teori Water Table-Swinnerton (1932), R Rhoades
dan Sinacori (1941), dan Davies (1960) mendukung gagasan bahwa air
yang mengalir deras pada water tabel adalah yang bertanggungjawab
terhadap pelarutan di banyak gua. Eleveasi dari water table berfluktuasi
dengan variasi volume aliran air tanah, dan dapat menjadi perkembangna
gua yang kuat di dalam sebuah zone yang rapat di atas dan dibawah
posisi rata-rata. Betapa pun, posisi rata-rata water table harus relatif
tetap konstan untuk periode yang lama. Untuk menjelaskan sistem gua
yang multi tingkat, sebuah water table yang seimbang sering
dihubungkan dengan periode base levelling dari landscape di ikuti dengan

7
periode peremajaan dengan kecepatan down-cutting ke base level
berikutnya.
Sekalipun sebagian besar speleologis akan setuju bahwa tiga teori diatas
dapat diaplikasikan pada beberapa hal, kebanyakan akan diperdebatkan apakah
gua dibentuk terutama pada atau didekat water table. Masuknya aliran bawah
permukaan, biasanya dikelompokkan sebagai teori vadose, telah memiliki sedikit
dukungan selama beberapa tahun. Mallot (1937) menyimpulkan bahwa gua-gua
yang besar di bagian Selatan Indiana dihasilkan dari aliran permukaan menjadi
terbelokkan kedalam bawah tanah dan membuat gua-gua pada atau didekat water
table. Mallot (1952) menyebutkan Lost River di Indiana adalah salah satu contoh
yang baik dari invasi aliran permukaan terhadap bawah permukaan. Woodward
(1961) dan Howard (1963), dan Crawford (1978; 1987) terkenal di antara yang
lainnya yang memiliki usulan mengenai teori invasi terhadap perkembangan gua.
Dalam diskusi hidrologi daerah Smith, Atkinson dan Drew (1976)
mengusulkan bahwa debate pada alam drainase telah terjadi antara dua kampus
yang besar sedangkan sebelumnya ada tiga. Satu kampus, mengambil gagasan
dari Grund (1903), telah mempertahankan bahwa sirkulasi air dalam secara
mendasar sama dengan rekahan batuan lain, dan untuk itu gua-gua berkembang
sebagai sebuah konsekuensi dari sirkulasi dan tidak besar pengaruh polanya (lihat,
sebagai contoh, Davis, 1930; Swinnerton, 1932; Rhoades dan Sinacore, 1941). Di
pihak lain, kampus berikutnya mengikuti Martel (1910) cenderung untuk
mempertahankan bahwa tanpa gua dan lorong tidak akan terdapat sirkulasi bawah
tanah, atau secara virtual tidak ada, dan untuk itu rezim air tanah kawasan sama
sekali berbeda dengan batuan lain (Trombe, 1952). (Ford dan Cullingford, 1976,
p. 209).
Mereka menyimpulkan bahwa dua model yang rupanya saling berseberangan
antara Grund dan Martel adalah tipis, kecuali kasus yang ekstrem dari berbagai
pandangan mengenai kemungkinan sistem drainase dan bahwa sebagian besar
bentukan rupa kawasan batugamping dari dua kampus, sedangkan area yang
menampilkan salah satu bahan dari yang lain adalah tipis saja.

Problem utama dari teori klasik dari asal muasal gua adalah peran minor yang
ditempatkan terhadap struktur, stratigrafi, topografi, dan keadaan hidrologi.

8
Sekarang terlihat nyata bahwa tidak ada satu teori tentang asal muasal dan
perkembangan gua dapat diaplikasikan ke semua gua. Ford (Ford dan
Cullingford, 1976) bertahan bahwa dimulai sejak dua situasi geologi tepat sama,
satu teori umum dari speleologi adalah tidak mungkin. Sekalipun banyak faktor
umum untuk terhadap banyak area kepentingan relatif mereka akan tergantung
kepada situasi geologi dan kemudian tiap area akan memiliki sejarah
speleogenisis sendiri yang unik. Sedangkan, jika ada area dengan situasi geologi
yang sangat sama, dapat dipercayai bahwa model speleogenesis dapat
dikembangkan untuk daerah yang memilki kesamaan struktur, stratigrafi, setting
topografi dan hidrologi.

2.1.3 Teori Terbaru Perkembangan Perguaan


Pada tahun-tahun terakhir ada sebuah peralihan yang penting, dari
penggunaan teori fisiografi dan pertimbangan kualitatip teori klasik menuju ke
pendekatan proses yang lebih kuantitatip. Berbagai studi terakhir telah meneliti
keadaan geologi, hidrologi, serta pelapukan kimiawi dan mekanis oleh pelapukan
oleh iklim dan proses erosi yang berhubungan terhadap perguaan dan
perkembangan karst. Bacaan yang merujuk ke hal-hal yang komprehensif
misalnya yang dilakukan oleh Jennings (1985), Sweeting (1973), Ford dan
Cullingford (1976), White (1988), Ford dan William (1989).

Menurut Ford (1981), sekarang dikenal bahwa tidak ada satupun kasus umum
dari perkembangan gua yang secara tepat dapat ditetapkan seperti teori lama.
Lebih dari itu, ada tiga kasus yang umum, gua vadose predominan, gua deep
phreatic dan gua water table. Satu atau beberapa tipe perkembangan gua yang
umum bahwa terjadi dipengaruhi oleh frekuensi penetrasi air tanah di rekahan
yang signifikan, dan oleh perbandingan kekar ke bidang perlapisan. Secara
bersama-sama, karakteristik ini berkombinasi membentuk konsep konduktifitas
hidraulik.
Konduktifitas Hidraulik adalah sebuah koefisien perbandingan yang
menjelaskan tingkatan dimana air dapat bergerak melalui media permiabel
(Fetter, 1980). Makin tinggi konduktifitas hidraulik, makin besar kemungkinan
sebuah gua water table akan berkembang. Gua water table sangat lazim adalah
pada lapisan batuan yang datar, dimana penempatan air tanah terjadi karena

9
adanya layer batu yang lebih resist. Penetrasi dalam dari air terhalang oleh adanya
pembukaan dangkal bidang perlapisan yang mana terus menerus menjadi mata air.
Gua tipe vadose berkembang pada aliran air yang cukup terkumpul di atas titik
sink dan mengangkut air menuju water table atau mata air. Gua deep phreatic
mencapai perkembangan optimal pada batuan dengan kemiringan yang tajam
karena terus menerus mengikuti bidang perlapisan ke tempat yang lebih dalam.
Palmer (1984) mencatat bahwa lorong yang lebih besar dari banyak gua
memperlihatkan sebuah urutan level dari yang termuda, bagian yang masih aktif,
berada di elevasi terbawah. Pada level yang mana terjadi pelebaran terkonsentrasi
pada atau didekat bagian yang sejaman dengan level sungai. Penelitian di
Kentucky AS oleh Miotke dan Palmer (1972), menunjukkan bahwa pola perguaan
merupakan refleksi dari sejumlah perubahan pada base level dan iklim sejak
Periode Tersier Akhir. Palmer (1984) juga mencatat bahwa perkembangan gua
mungkin di atas atau dibawah water table. Dimana gua-gua terbentuk tergantung
pada geologi setempat, dan hidrologi, dan mungkin untuk satu gua memiliki
lorong terbentuk di atas atau dibawah water table. Dia lebih lanjut menekankan
bahwa hubungan yang lebih jelas dalam beberapa area antar level gua dan sejarah
fluvial, menampilkan kecenderungan pelarutan untuk sampai ke water table.
Fakta-fakta lokasi yang tersebut disini berasal dari berbagai peneliti karst
sehingga makin menjelaskan evolusi gagasan mengenai speleogenesis gua. Debat
di antara peneliti terdahulu, apakah gua bermula di bawah atau di atas water table
telah secara mendasar dapat diselesaikan. Sekarang dapat diterima bahwa tiga asal
muasal tersebut dapat terjadi mungkin tergantung kepada kondisi hidrologi dan
geologi setempat.

2.1.4 Pengertian dan Jenis Gua


Pengertian gua adalah “suatu lorong bentukan alamiah di bawah tanah yang
bisa dilalui oleh manusia, yang hanya bisa dilalui hewan saja disebut gua Mikro”.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah gua alam, namun ada juga gua buatan
manusia seperti tempat perlindungan perang dan lain-lain. Gua alam dibagi dalam
dua jenis:

10
1) Gua Fosil : gua yang sudah tidak mempunyai aliran sungai di dalam gua
sehingga sepanjang lorong gua sama sekali tidak ditemukan aliran sungai
yang berasal dari permukaan gua.
2) Gua Aktif : gua yang terdapat aliran sungai di dalam gua yang berasal dari
luar gua baik besar maupun kecil. Gua tipe ini sangat dipengaruhi kondisi
luar gua seperti terjadinya banjir pada saat musim hujan.
Klasifikasi Gua berdasarkan proses pembentukannya, yaitu :
 Gua Lava : terbentuk akibat pergeseran permukaan tanah akibat gejala
keaktifan vulkanologi, biasanya sangat rapuh kerena terbentuk dari batuan
muda (endapan lahar) dan tidak memiliki ornamen batuan yang khas.
 Gua litoral : sesuai namanya terdapat di daerah pantai, palung laut ataupn
di tebing muara sungai, terbentuk akibat terpaan air laut (Abrasi)
 Gua (karst) : adalah fenomena bentukan gua terbesar (70% dari seluruh
gua di dunia). Terbentuk akibat terjadinya peristiwa karst (pelarutan batuan
kapur akibat aktifitas air) sehingga tercipta lorong-lorong dan bentukan
yang sangat menarik akibat proses kristalisasi dan pelarutan gamping,
Diperkirakan wilayah sebaran karst Indonesia adalah yang terbesar di dunia.
 Gua pasir, gua batu halit, gua es dsb. : adalah bentukan gua yang sangat
jarang dijumpai di dunia, hanya meliputi 5% dari seluruh jumlah gua di
dunia.

Fungsi Gua :
 Tempat berlindung (primitif) manusia dan hewan
 Tempat penambangan mineral (kalsit/gamping, guano) - tempat perburuan
(walet, sriti, kelelawar)
 Obyek wisata alam bebas dan minat khusus
 Obyek sosial budaya (legenda, mistik), gudang air tanah potensial sepanjang
tahun
 Laboratorium ilmiah yang peka, lengkap dan langka
 Indikator perubahan lingkungan paling sensitif
 Fasilitas penyangga mikro ekosistem yang sangat peka dan vital bagi
kehidupan makro ekosistem yang ada diluar gua.

11
2.2 SPELEOLOGI
Pengertian Speleologi adalah ilmu mengenai gua atau ilmu yang mempelajari
tentang lingkungan gua dan membahas berbagai aspek fisik dan biologisnya. Gua
merupakan suatu lorong yang terbentuk secara alami pada batuan yang berperan
sebagai saluran air yang menghubungkan antara titik masuk air (aliran ke bawah
permukaan) dan titik keluar. Ukuran lorong tersebut bervariasi dari 5 mm hingga
ukuran besar. Ukuran minimum yang dapat dikatakan sebagai gua kurang lebih
0,3 meter sedangkan ukuran yang lebih kecil disebut Protocave (Gillieson 1996).
Oleh karena batasan tersebut secara sederhana timbul istilah gua merupakan
rongga alamiah pada batuan yang dapat dimasuki manusia (Ford dan Williams,
2007; Goudie, 2004; Gillieson,1996). Kebanyakan gua berkembang pada
batugamping dan batuan karbonat lainnya pada bentang lahan karst. Gua karst
pada umumnya tidak merupakan fenomena tunggal melainkan suatu sistem
perguaan dimana gua satu dengan yang lain saling berhubungan (Worosuprodjo,
1996).

Keberadaan gua-gua karst merupakan indikator telah berkembangnya bentuk


lahan karst. Pembentukan gua terjadi oleh berlangsungnya proses pelarutan dan
pelebaran celah-celah retakan batugamping. Proses ini berlangsung dalam waktu
sangat lama dibawah kendali berbagai faktor, antara lain litologi batugamping,
struktur geologi, topografi regional, serta kondisi hidrologi wilayah tersebut.
Kombinasi dari pengaruh berbagai faktor ini menyebabkan morfologi gua yang
terbentuk berbeda antara satu dengan lainnya. Melalui kajian speleogenesis dan
morfologi gua, dapat dideskripsikan rekam jejak perkembangan gua dan faktor
yang mempengaruhinya. Kajian ini bermanfaat untuk mengetahui kondisi
lingkungan sekitar kaitannya dengan perkembangan bentuk lahan. Selain itu

12
kajian mengenai perkembangan gua sangat penting untuk interpretasi kondisi
hidrologi dan geomorfologi kawasan karst, memprakirakan produksi akuifer,
migrasi kontaminan, dan stabilitas tanah dan batuan dasar (Palmer, 1991).

2.2.1 Speleogenesis
Speleogenesis merupakan proses asal muasal dan perkembangan sebuah gua,
dan fitur geologi sangat besar pengaruhnya disini. Kita dapat menentukan bidang
gua-gua dalam istilah yang sesuai dengan bentuk lahan dan hubungan dengan
proses bentuk bumi. Daerah khas umumnya dicirikan dengan adanya closed
depression, drainase permukaan dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh
pelarutan bantuan, kebanyakan batugamping yang lazim dan relatip mendekati.
Tetapi pelarutan bantuan terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain
misalnya dolomit. Dalam evaporit seperti halnya gips dan halite, dalam silika
seperti halnya batupasir dan kwarsa, dan di basalt dan granit dimana ada bagian
yang kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable).

Semua tersebut diatas adalah benar-benar karst. Daerah karst dapat juga
terbentuk oleh proses yang lain seperti cuaca, kegiatan hidrolik, pergerakan
tektonik , air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Penyebutan
bentuk lahan yang cocok adalah pseudokarst (karst palsu). (David Gillieson,
1996).

Secara etimologis, karst adalah nama suatu daerah di timur laut kota Trieste,
Slovenia. Karena kekhasan bentang alamnya, Cvijic seorang geologiwan abad 19
yang meneliti daerah itu mengabadikan bentang alam tersebut dengan istilah karst.
Jadi pada awalnya pengertian karst merujuk pada bentuk bentangan alam. Karst
atau dalam bahasa inggris dan jerman disebut “karst” atau dalam bahasa italia
“Carso” , dala bahasa Slovenia “kras” dan dalam bahasa Indonesia disebut juga
“curing” , kras atau karst. Dalam kamus besar Bahasa Inggris (Websters Third
New International Dictionary , 1986) kawasan karst diuraikan sebagai berikut:

“....is a limestone region which is markd by sinks, abrupt ridges, irregular


protuberant rocks, caverns
and underground streams”.

13
Maknanya kurang lebih adalah “suatu kawasan batugamping yang ditandai oleh
adanya cekungan, lereng terjal, tonjolan bukit berbatu (gamping) tak beraturan,
bergua dan mempunyai sistem aliran air bawah tanah”. Karena itu karst umumnya
hanya dikenal diakalangan ahli geografi dan geologi yang mempelajari
geomorfologi.

Gambar 2.1
Bentuk lahan pada
kawasan karst

Karst diartikan sebagai bentangan alam yang khas dan berkembang di suatu
kawasan batuan karbonat (batugamping dan dolomit) atau batuan lain yang mudah
larut yang telah mengalami proses karstifikasi atau pelarutan sampai tingkat
tertentu. Kekhasnnya bisa dibedakan antara fenomena diatas permukaan tanah
(exokarts) dan fenomena dibawah permukaan tanah (endokarst). Exokarst antara
lain ditunjukkan oleh adanya bukit-bukit karst berbentuk kerucut, kubah, dan
lembah dolina atau polje yang terdiri dari hutan-hutan yang dihuni oleh flora dan
fauna yang endemik dan beraneka ragam serta keanekaragaman non-hayati seperti
bebatuan, sumber air, dan lapisan tanah yang relatif subur. Sedangkan endokarst
ditunjukkan oleh bentukan rekahan-rekahan dan pelecehan-pelecehan yang
membentuk suatu ekosistem perguaan dimana gua-gua tersebut dengan stalaktit
dan stalagmitnya yang sering kali sangat indah dan sungai bawah tanah yang
bervariasi pada suatu kawasan karst. Kedua fenomena ekosistem tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain.

Di perkirakan sekitar 25% penduduk dunia tergantung pada suplai air bersih
yang bersumber dari kawasan karst. Tidak terkecuali di indonesia yang sebaran
bantuan karbonatnya, khususnya batugamping di perkirakan mencapai luas lebih
dari 15,4 juta hektar yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar dan kecil.
Beberapa di antaranya telah di kenali berkembang menjadi kawasan karst.
Bahkan karst Gunung Sewu ( jawa tengah- jawa timur ), karst karang bolong,
bagian karst di papua sudah sangat dikenal oleh para penliti karst di dunia, dan
dinilai termasuk kawasan karst kelas dunia yang penting untuk dikonservasi
secara serius. Bahkan data kawasan karst gunung sewu digunakan oleh lehman

14
dalam mendirikan sekolah geomorfologi karst di Indonesia banyak menarik para
ahli dan pemerhati dari luar negeri. Tetapi sayang disisi lain perhatian para
penentu kebijakan, pelaku dunia usaha, dan ahli di Indonesia kurang mendukung
terhadap upaya-upaya konservasi kawasan karst yang penting.

2.2.2 Proses Karstifikasi


Karstifikasi atau proses permbentukan bentuk lahan karst didominasi oleh
proses pelarutan. Merujuk arti awal karst, maka kawasan karst bisa diartikan
sebagai kawasan yang mempunyai bentang alam khas yang di bentuk oleh proses
pelarutan batuan. Umumnya batuan tersebut adalah batugamping dan dolomit.
Karst ialah suatu bentang alam formasi batuan karbonat (CaCO3, MgCO3 atau
campuran keduanya) yang telah mengalami proses pelarutan. Batuan karbonat
terlarut oleh asam karbonat (H2CO3) yang terbentuk akibat interaksi air hujan
dengan CO2 atmosferik maupun oleh CO2 biogenik, yang berasal dari sisa
tanaman yang membusuk (humus) diatas permukaan tanah.
Di indonesia yang umumnya dijumpai adalah metamorfosanya yaitu marmer
atau meta-gamping. Oleh karena itu hampir bisa dipastikan bentuk lahan karst di
indonesia pasti berada pada kawasan karst, tetapi tidak semua kawasan
merupakan kawasan karst. Sebagaimana diketahui menurut genesanya berasal
dari endapan laut dangkal. Umumnya terbentuk dari unsur-unsur biologis yang
dikenal secara umum sebagai terumbu karang. Secara kimiawi terbentuk dari
kalsium karbonat (CaCO3) dan campurannya. Karena proses-proses fisika, kimia
dan geologi yang menyertai pembentukanya maka menyebabkan bebagai variasi
karateristik di alam.
Pembentukan karst ditentukan oleh proses pelarutan batuan, sehingga
ditentukan oleh derajat kelarutan dari batuan/batugamping yang ada (jenis
batugamping), iklim (curah hujan), dan umur batugamping atau lamanya proses
pelarutan. Proses pelarutan batugamping yang merupakan proses terpenting
pembentukan karst bila dijelaskan menurut reaksi kimia dengan air dan
kandungan gas CO2 terlarut sebagai berikut :

CaCO3 + CO2 + H2O Ca2+ + 2 HCO3


Batugamping air

15
Gambar. 1.1

Skema proses
pelarutan
batugamping
(Trugli 1985)

Kandungan gas CO2 terlarut yang mempengaruhi proses pelarutan


batugamping tersebut terutama bersumber dari CO2 di atmosfer yang diperkaya
oleh faktor biologis dan kegiatan gunung api. Selanjutnya variasi faktor jenis
batugamping, struktur geologi, faktor biologi (vegetasi), suhu udara, angin, curah
hujan menghasilkan berbagai variasi bentang alam karts di alam.
Beberapa faktor yang menentukan terbentuknya proses kawasan karst adalah ;
1) Ketebalan lapisan/endapan semakin tebal lapisan semakin memungkinkan
terbentuknya bentangan alam karst yang sempurna.
2) Iklim yang basah dan hangat. Iklim yang basah dan hangat yang lebih
memungkinkan terjadinya proses pelarutan batuan yang memegang peran
penting dalam bentuk karst.
3) Adanya proses tektonik pengangkatan (uplit) yang perlahan dan merata di
kawasan.
4) Karateristik formasi yang ada. Karateristik mekanik (strenght), fisik
(porositas, permeabilitas), kemurnial mineral/kimianya, menentukan bentuk
karst yang terjadi. Pada murni yang lunak, atau “tidak murni” (misal
pasiran) erosi mekanis sering lebih dominan dibanding erosi pelarutan
sehingga kurang mendukung bagi terbentuknya penampakan karst yang
baik.

Batuan yang mengandung CaCO3 tinggi akan mudah larut. Semakin tinggi
kandungan CaCO3, semakin berkembang bentuklahan karst. Kekompakan batuan
menentukan kestabilan morfologi karst setelah mengalami pelarutan. Apabila
batuan lunak, maka setiap kenampakan karst yang terbentuk seperti karen dan
bukit akan cepat hilang karena proses pelarutan itu sendiri maupun proses erosi

16
dan gerak masa batuan, sehingga kenampakan karst tidak dapat berkembang baik.
Ketebalan menentukan terbentuknya sikulasi air secara vertikal lebih. Tanpa
adanya lapisan yang tebal, sirkulasi air secara vertikal yang merupakan syarat
karstifikasi dapat berlangsung. Tanpa adanya sirkulasi vertikal, proses yang terjadi
adalah aliran lateral seperti pada sungai-sungai permukaan dan cekungan-
cekungan tertutup tidak dapat terbentuk. Rekahan batuan merupakan jalan
masuknya air membentuk drainase vertikal dan berkembangnya sungai bawah
tanah serta pelarutan yang terkonsentrasi.

Curah hujan merupakan media pelarut utama dalam proses karstifikasi.


Semakin besar curah hujan, semakin besar media pelarut, sehingga tingkat
pelarutan yang terjadi di batuan karbonat juga semakin besar. Ketinggian
batugamping terekspos di permukaan menentukan sirikulasi/drainase secara
vertikal. Walupun batugamping mempunyai lapisan tebal tetapi hanya terekspos
beberapa meter di atas muka laut, karstifikasi tidak akan terjadi. Drainase vertikal
akan terjadi apabila julat/jarak antara permukaan batugamping dengan muka air
tanah atau batuan dasar dari batugamping semakin besar. Semakin tinggi
permukaan batugamping terekspose, semakin beser julat antara permukaan
batugamping dengan muka air tanah dan semakin baik sirkulasi air secara vertikal,
serta semakin intensif proses karstifikasi.
Temperatur mendorong proses karstifikasi terutama dalam kaitannya dengan
aktivitas organisme. Daerah dengan temperatur hangat seperti di daerah tropis
merupakan tempat yang ideal bagi perkembangan organisme yang selanjutnya
menghasilkan CO2 dalam tanah yang melimpah. Temperatur juga menentukan
evaporasi, semakin tinggi temperatur semakin besar evaporasi yang pada akhirnya
akan menyebabkan rekristalisasi larutan karbonat di permukaan dan dekat
permukaan tanah. Adanya rekristalisasi ini akan membuat pengerasan permukaan
(case hardening) sehingga bentuk lahan karst yang telah terbentuk dapat
dipertahankan dari proses denudasi yang lain (erosi dan gerak masa batuan).
Kecepatan reaksi sebenarnya lebih besar di daerah temperatur rendah, karena
konsentrasi CO2 lebih besar pada temperatur rendah. Namun demikian tingkat
pelarutan di daerah tropis lebih tinggi karena ketersediaan air hujan yang
melimpah dan aktivitas organisme yang lebih besar. Penutupan hutan juga

17
merupakan faktor pendorong perkembangan karena hutan yang lebat akan
mempunyai kandungan CO2 dalam tanah yang melimpah akibat dari hasil
perombakan sisa-sisa organik (dahan, ranting, daun, bangkai binatang) oleh mikro
organisme. Semakin besar konsentrasi CO2 dalam air semakin tinggi tingkat daya
larut air terhadap batugamping. CO2 di atmosfer tidaklah bervariasi secara
signifikan, sehingga variasi proses karstifikasi sangat ditentukan oleh CO2 dari
aktivitas organisme. Hubungan antara konsentrasi CO2 dengan daya larut
terhadap batu gamping
ditunjukkan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.3
Faktor-faktor karstifikasi pengaruhnya terhadap proses
pelarutan (Trudgil, 1985)

Kawasan karst merupakan salah satu sumberdaya alam non-hayati yang tidak
dapat diperbaharui karena proses pelarutan serta pembentukannya membutuhkan
waktu ribuan tahun bahkan jutaan tahun. Adapun potensi kawasan karst antara
lain:

1) Potensi sebagai sumber air/akuifer.

18
2) Potensi keanekaragaman hayati (kekayaan flora dan fauna).
3) Potensi sebagai bahan tambang/bahan galian (potensi batugamping sebagai
bahan galian golongan C, dll).
4) Potensi wisata, budaya, dan ilmiah (ekologi, hidrologi, geologi, litografi,
stratigrafi, geomorfologi, paleontologi, speleologi, biospeleologi,
sedimenteologi gua, karstologi, arkeologi dan sejarah serta ilmu penetahuan
lainnya).

2.2.3 Geomorfologi
Geomorfologi adalah sebuah studi ilmiah terhadap permukaan bumi dan
proses yang terjadi terhadapnya secara luas, berhubungan dengan landform
(bentuk lahan) tererosi dari batuan yang keras, namun bentuk konstruksinya
dibentuk oleh runtuhan buatan, dan terkadang oleh perilaku organisme di tempat
mereka hidup. Surface (permukaan) jangan diartikan sempit, harus termasuk juga
bagian kulit bumi yang paling jauh. Kenampakan Subsurface terutama di daerah
batugamping sangat penting dimana sistem gua terbentuk dan merupakan bagian
yang integral dan geomorfologi.

Pengaruh erosi oleh air, angin, dan es, berkolaborasi dengan latitude,
ketinggian dan posisi relatif terhadap air laut. Dapat dikatakan bahwa tiap daerah
dengan iklim tertentu juga memiliki karakteristik pemandangan sendiri sebagai
hasil dari erosi yang bekerja yang berbeda terhadap struktur geologi yang ada.

Jenis bentuk lahan (landform) serta proses pembentukannya :

1. Vulkanik
Volkanisme adalah berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan
magma yang bergerak naik ke permukaan bumi. Akibat dari proses ini
terjadi berbagai bentuk lahan yang secara umum disebut bentuk lahan
vulkanik.
2. Struktural
Bentuk lahan struktural terbentuk karena adanya proses endogen atau proses
tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran. Gaya

19
(tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir
semua bentuk lahan muka bumi ini dibentuk oleh control struktural.
3. Denudasional
Proses denudasional (penelanjangan) merupakan kesatuan dari proses
pelapukan gerakan tanah erosi dan kemudian diakhiri proses pengendapan.
Semua proses pada batuan baik secara fisik maupun kimia dan biologi
sehingga batuan menjadi desintegrasi dan dekomposisi. Batuan yang lapuk
menjadi soil yang berupa fragmen, kemudian oleh aktifitas erosi soil dan
abrasi, tersangkut ke daerah yang lebih landai menuju lereng yang kemudian
terendapkan. Pada bentuk lahan asal denudasional, maka parameter
utamanya adalah erosi atau tingkat. Derajat erosi ditentukan oleh jenis
batuannya, vegetasi, dan relief.
4. Aeolian
Gerakan udara atau angin dapat membentuk medan yang khas dan berbeda
dari bentukan proses lainnya. Endapan angin terbentuk oleh pengikisan,
pengangkatan, dan pengendapan material lepas oleh angin. Endapan angin
secara umum dibedakan menjadi gumuk pasir dan endapan debu (LOESS).
5. Organik
Interaksi antara makhluk hidup dan bentuk alam dapat mempengaruhi
proses pembentukannya
6. Antropogenik
Bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang terjadi karena
proses pembentukan tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula
dan faktor aktivitas manusia.
7. Glacial
Proses glasial terbentuk oleh kerja glasier sebagai salah satu agen geomorfik
yang membentuknya. Kerja glasier merupakan salah satu proses eksogen,
sehingga dalam pembentukan bentuk lahan dan proses kerjanya terdiri
dari erosi, transportasi dan deposisi.
8. Fluvial

20
Bentukan asal fluvial berkaitan erat dengan aktifitas sungai dan air
permukaan yang berupa pengikisan, pengangkutan, dan jenis buangan pada
daerah dataran rendah seperi lembah, ledok, dan dataran alluvial.
9. Marine
Aktifitas marine yang utama adalah abrasi, sedimentasi, pasang-surut, dan
pertemuan terumbu karang. Bentuk lahan yang dihasilkan oleh aktifitas
marine berada di kawasan pesisir yang terhampar sejajar garis pantai.
Pengaruh marine dapat mencapai puluhan kilometer kearah darat, tetapi
terkadang hanya beberapa ratus meter saja. Sejauh mana efektifitas proses
abrasi, sedimentasi, dan pertumbuhan terumbu pada pesisir ini, tergantung
dari kondisi pesisirnya. Proses lain yang sering mempengaruhi kawasan
pesisir lainnya, misalnya : tektonik masa lalu, berupa gunung api, perubahan
muka air laut (transgresi/regresi) dan litologi penyusun.
10. Solusional
Bentuklahan solusioal adalah bentuk lahan yang terbentuk akibat proses
pelarutan batuan yang terjadi pada daerah berbatuan karbonat tertentu.
Tidak semua batuan karbonat terbentuk topografi karst, walaupun factor
selain batuannya sama.

21
Gambar 1.4

Faktor yang mempengaruhinya :


1. Litologi : jenis kemurnian batuan karbonat.
 Kelulusan (permeabilitas) batuan.
 Kesarangan (porositas) batuan.
 Kemampatan (compactness) batuan.
2. Sistem percelahan-rekahan pada batuan.
3. Tektonisme.
4. Sistem kekar, sesar, patahan yang ada.
5. Iklim masa lalu dan masa kini. Intensitas curah hujan (tropical karst, arid
karst).
6. Kualitas air hujan (hujan asam).
7. Jenis penutup diatasanya (tanah, vegetasi, batuan klasik, dsb).
8. Ketinggian diatas permukaan laut (lowland, midlle, highland karst).
9. Pengaruh uap air laut (coastal exposure surface).
10. Pengaruh aliran sungai (fluvial karst).
11. Pengaruh vulkanisme (abu gunung berapi).

22
12. Proses fisiko-kimiawi (case hardening), yaitu represipetasi batugamping
yang larut oleh air hujan.
13. Pengaruh biologis (lichen, algae, akar pepohonan, detritus, dsb).
14. Perusakan lingkungan karst oleh ulah manusia.

2.2.3.1 Morfologi Makro Kawasan Karst


Secara umum bentukan alam Kawasan Karst yang terlihat mencuat keatas
permukaan disebut Bentukan Karst Positif (Positive Karst Landform). Begitu juga
sebaliknya, bentuk yang terlihat kedalam bawah permukaan disebut Bentukan
Karst Negative (Negative Karst Landform).
Bentuk lahan yang terjadi pada daerah karst dapat dikelompokkan menjadi 2
bagian, yaitu :

A. Bentuklahan Negatif
Bentuklahan negative dimaksudkan bentuklahan yang berada dibawah rata-
rata permukaan setempat sebagai akibat proses pelarutan, runtuhan maupun
terban. Bentuklahan-bentuklahan tersebut antara lain :
1. Doline
Doline berasal dari bahasa Slavia, doline yang berarti lembah. Doline
merupakan cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong degan ukuran
beberapa meter hingga lebih kurang satu kilometer (Ford dan Williams, 1992),
sehingga Sweeting (1972) mengkategorikan doline dalam bentang alam karst
berskala sedang. Doline di literatur-literatur karst sering disebut dengan berbagai
istilah, seperti sinkhole, sink, swallow holes, cenote, dan blue hole. Kemiringan
lereng miring hingga vertikal dengan kedalaman beberapa meter hingga ratusan
meter. Doline merupakan bentang alam yang paling banyak dijumpai di kawasan
karst. Bahkan di daerah beriklim sedang, karstifikasi selalu diawali dengan
terbentuknya doline tunggal akibat dari proses pelarutan yang terkonsentrasi.
Tempat konsentrasi pelarutan merupakan tempat konsentrasi kekar, tempat
konsentrasi mineral yang paling mudah larut, perpotongan kekar, dan bidang
perlapisan batuan miring. Doline–doline tungal akan berkembang lebih luas dan
akhirnya dapat saling menyatu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa karstifikasi
(khususnya di daerah iklim sedang) merupakan proses pembentukan doline dan

23
gua-gua bawah tanah, sedangkan bukit-bukit karst merupakan bentukan sisa
residual dari perkembangan doline. Bentuk doline sangat bervariasi dari satu
tempat ke tempat lain.
a) Bentuk Doline
Bentuk doline didaerah iklim sedang cenderung lebih teratur dengan bentuk
membulat hingga lonjong. Di daerah iklim tropis, bentuk doline tidak sesempurna
doline di daerah iklim sedang, dalam hal ini doline di daerah iklim tropis
mempunyai bentuk yang tidak teratur. Salah satu bentuk planar doline yang
banyak ditemukan di daerah tropis adalah bentuk seperti bintang. Bentuk doline di
daerah tropis yang menyerupai bintang disebut secara khusus dengan cockpit.
Istilah ini pertama digunakan untuk menyebut karst di Jamaika (Sweeting, 1972;
White 1988). Cockpit berasal dari kata cock yang berarti ayam jantan dan pit yang
berarti lubang, dengan kata lain di Jamaika cockpit merupakan lubang tempat
menyabung ayam. Karena karst memiliki cekungan-cekungan seperti cockpit,
maka karst di Jamaika disebut dengan cockpit land.

Gambar 1.5

Perbedaan
doline di
dearah iklim
sedang dan di
daerag tropis
(Williams,
1969)

Doline, oleh Cvijic (1893) dikelompokkan menjadi tiga katergori yaitu doline
mangkok, doline corong, dan doline sumur (Gambar 1.6)
1) Doline mangkok dicirikan oleh perbandingan lebar dan kedalaman 10:1
dan kemiringan lereng doline berkisar antara 10o-12o. Dasar rata dan
tertutup oleh tanah atau berawa.

24
2) Doline corong mempunyai diameter dua atau tiga kali kedalamannya dan
lereng doline berkisar antara 30˚–40˚, dengan dasar sempit dapat tertutup
tanah maupun berupa singakapan
batuan.
3) Doline sumuran dicirikan oleh
diameternya yang lebih kecil dari
kedalamannya, lereng vertikal
Gambar 1.6
berupa singkapan batuan. A) Doline mangkok, B) Doline
corong, dan C) Doline sumuran
Berdasarkan bentuknya, doline juga
dapat dibedakan menjadi doline simetri dan doline asimetri. Doline simetri
berbentuk bulat atu elip dengan kemiringan lereng ke segala arah yang hampir
sama, sedangkan doline asimetri merupakan doline yang sisi satu dan lainnya
mempunyai kemiringan lereng berbeda. Doline tidak simetri terbentuk karena
perkembangan doline terkontrol oleh aliran permukaan dan struktur (Bogli, 1980)
atau karena lereng (Williams,1985). Doline asimetri pertama terbentuk apabila
doline terbentuk karena aliran permukaan yang masuk ke ponor, sisi dimana aliran
permukaan masuk akan membentuk lereng yang lebih landai karena pelarutan
yang lebih intensif, sedangkan sisi lainnya akan mem[unyai lereng yang lebih
terjal. Doline asimetri struktural
terbentuk pada batuan karbonat
yang miring, dalam hal ini
lereng doline yang searah
dengan dip batuan akan
Gambar 1.7
membentuk kemiringan yang
Kenampakan lateral dan vertikal (a) Ddoline
lebih landai, sedankan lereng simetri, (B) doline asimetri yang terkontrol oleh
aliran permukaan, dan (C) doline asimetri yang
yang berlawanan dengan dip terkontrol oleh perlapisan batuan (Bogli, 1980)
batuan membentuk kemiringan
yang lebih terjal (Gambar 1.7).

b) Genetik Doline

25
Bogli (1980) lebih lanjut berdasarkan cara pembentukannya (genetik)
mengklasifikasikan doline menjadi doline pelarutan, doline aluvial, doline
amblesan, dan dolin runtuhan.
 Doline perlaturan terbentuk karena pelarutan yang terkonsentrasi akibat dari
keberadaan kekar, pelebaran pori-pori batuan, atau perbedaan mineralogi
batuan karbonat. Doline pelarutan terbentuk hampir disebagian besar awal
proses karstifikasi.
 Doline aluvial pada dasarnya merupakan doline pelarutan, namun dalam
kasus ini batugamping tertutup oleh endapan aluvial. Cekungan tertutup yang
terbentuk di endapan aluvial disebabkan oleh terbawanya endapan aluvium
yang berada di atas rekahan hasil pelarutan ke sistem drainase bawah tanah.
Infiltrasi melalui endapan aluvium membawa material halus ke sistem kekar
di bawahnya yang berhubungan dengan gua-gua dalam tanah, sehingga
endapan di atasnya menjadi cekung.
 Doline amblesan terjadi apabila lapisan batugamping ambles secara
perlahan-lahan karena di bawah lapisan batugamping terdapat rongga. Doline
tipe ini dicirikan oleh terdapatnya rombakan batugamping dengan sortasi
jelek di dasar doline dan lereng yang miring hingga terjal.
 Doline runtuhan terbentuk apabila
goa atau saluran dekat permukaan
runtuh karena tidak mampu
menahan atapnya. Bogli (1980)
menjelaskan bahwa doline
runtuhan terjadi bila runtuhan
terjadi seketika, sedangkan doline
amblesan terjadi secara perlahan-
Gambar 1.8
lahan. Doline tipe ini dicirikan oleh
Macam -macam doline menurut genetiknya
lereng curam hingga vertikal. Tiga (Ford dan Williams, 1992)

mekanisme yang membentuk doline runtuhan adalah:


a) pelarutan di atas goa, b) pelarutan atap goa dari bawah, dan c) penurunan
muka air tanah di atap goa (Gambar 1.8).

26
Genetik doline inilah yang menyebabkan
bentuk-bentuk dolin bervariasi seperti
yang diutarakan oleh Cvijiv. Doline
pelarutan dan doline aluvial membentuk
doline tipe mangkok atau corong. Dolin
amlesan membentuk dolin corong,
sedangkan dolin membentuk dolin tipe
sumuran. Perkembangan doline pelarutan
merupakan fungsi dari produksi CO2
tanah, kinetika pelarutan, litologi, dan
waktu. Doline pelarutan menurut Ford
dan Williams (1993) dibedakan menjadi
drawdown doline dan point recharge
Gambar 1.8 doline.
Macam -macam doline menurut genetiknya
(Ford dan Williams, 1992)

2. Uvala

27
Uvala/Doline Majemuk
(compound doline) merupakan
gabungan dari doline–doline yang
terbentuk di karst pada stadium
perkembangan karst agak lanjut.
Menurut Sweeting ukuran uvala
Gambar 1.9
berkisar antara 500-1000 meter Perkembangan uvala dari doline dan
lembah kering (White, 1988)
dengan kedalaman 100-200 meter
dengan ukuran tidak teratur. Uvala
juga dapat perkembang dari lembah
permukaan. Uvala tipe ini merupakan
perkembangan akhir dari lembah Gambar 1.10
Perbandingan ukuran doline, uvala, dan
permukaan yang terdegradasi. Bentuk chockpit (White, 1988)
karakteristik uvala yaitu cekungan
karst yang luas, dasarnya lebar tidak rata, lembah yang memanjang kadang-
kadang berkelak-kelok, tetapi pada umumnya dengan dasar yang menyerupai
cawan. Cockpit dari sudut pandang ini dapat dianggap sebagai uvala atau doline
majemuk yang berbentuk bintang, karena cockpit merupakan beberapa yang tepi
atau sisi-sinya saling berhubungan/bergabung. Gabungan dari tepi-tepi doline
inilah yang secara planar (tampak atas) membentuk bentuk-bentuk lancip seperti
bintang Mengacu pada pandangan Grund tentang perkembangan karst,
terbentuknya uvala merupakan ciri dari stadium adolescent karst atau
perkembangan tahap II. Uvala juga dapat perkembang dari lembah permukaan.
Uvala tipe ini merupakan perkembangan akhir dari lembah permukaan yang
terdegradasi. Perkembangan diawali oleh hilangnya aliran permukaan ke bawah
tanah di titititik tertentu. Di tempat masuknya aliran permukaan ini selanjutnya
doline berkembang yang semakin lama semakin dalam dan lebar, sehingga
bergambung satu dengan lainnya membentuk uvala. Perkembangan doline
menjadi uvala ditunjukkan pada Gambar 1.9, sedangkan permbandingan ukuran
antara dolin, uvala, dan ckockpit ditunjukkan pada Gambar 1.10.

3. Polje

28
Menurut Frans Von Steinberg (1961) polje merupakan depresi di daerah karst
yang luas arealnya, sedangkan Fink (1983) dari IUS, mengemukakan
bahwa polje adalah depresi ekstensi di daerah tertutup di semua sisi, sebagian
besar terdiri dari lantai yang datar, dengan batasan yang terjal di beberapa bagian
dan dengan sudut yang nyata antara dasar. Polje memiliki drainase bawah tanah
dan dapat kering sepanjang tahun serta dialiri pada saat-saat tertentu dan bahkan
tergenang. Biasanya luasnya beberapa kilometer, berkelok-kelok dan dasarnya
tertutup deposit alluvium atau residu pelapukan (terrarossa, gravel dan lainnya),
lantai polje biasanya impermeabel.
Definisi formal pertama tentang polje dikemukaan oleh Cvijic tahun 1985
(dalam Gams, 1978) bahwa polje merupakan bentuklahan karst yang mempunyai
elemen: cekungan yang lebar, dasar yang rata, drainase karstik, bentuk
memanjang yang sejajar dengan struktur lokal, dasar polje mempunyai lapisan
batuan Tersier. Publikasi selanjutnya oleh Cvijic (1990) mengungkapkan bahwa
polje merupakan
bentukan dari
evolusi/perkembangan uvala.
Saat ini istilah polje telah
diadopsi dalam terminologi karst.
Definisi polje telah banyak
dikemukakan dalam literatur karst,
namun satu sama lain masih
membingungkan. Hal ini dapat
dimengerti mengingat setiap
literatur mengkaji daerah yang
berbeda. Gams (1978) telah
mecoba mengali lebih dalam
pengertian polje dan klasifikasinya Gambar 1.11
Dua penampang melintang Karst Dinarik Yang
berdasarkan fenomena di daerah menggambar morfologi polje (Mijatovic dalam White,
1988)
asalnya. Polje di Karst Dinarik
mempunyai lebar 400 m hingga 5 km dengan panjang hingga mencapai 60 km,
luas terkecil 3 km2 dan luas terbesar 474 km2. Dasar poje pada umumnya rata dan

29
dikelilingi oleh perbukitan karst yang terjal. Morfologi Polje di Karst Dinarik
ditunjukkan pada Gambar 1.11.
Berdasarkan data dari 42 poje yang ada di Karst Dinarik-Yugoslvia, Gams
menyimpulkan bahwa polje mempunyai karakteristik minimal sebagai berikut:
1) dasar yang rata dapat merupa batuan dasar (dapat berteras) maupun
tertutup sedimen lepas atau aluvium,
2) cekungan tertutup yang dibatasi oleh perbukitan dengan lereng terjal pada
dua sisi atau salah satu sisinya,
3) mempunyai drainase karstik, dan
4) jika ketiga syarat tersebut dipenuhi, dasar yang rata harus mempunyai
lebar minimum 400 meter.
Syarat lebar dari polje banyak dipermasalahkan oleh peneliti karst, karena
lebar polje sangat tergantung pada daerah atau lokasi dari kawasan karst. Cvijic
mengemukakan bahwa polje harus memiliki lebar minimum 1000 meter.
Mengingat perbedaan batasan-batasan polje, beberpa ahli karst lebih cenderung
mendefinisikan polje secara
kualitatif berdasarkan pada
genetik dan morfologi.
Selanjutnya, Gams (1978)
mengklasifikasi ke 42 polje di
Karst Dinarik menjadi lima
kategori, yaitu border polje,
over-flow polje, peripheral
polje, diedmont polje,
piezometric level polje. Ford
dan Williams (1992)
selanjutnya menyederhanakan
klasifikasi polje menjadi tiga
kelompok, yaitu border polje,
structural polje, dan baselevel Gambar 1.12
Tipe – tipe polje menurut Ford dan Williams, 1989
polje (Gambar 1.12) Poje
perbatasan terbentuk apabila

30
sistem hidrologi didominasi oleh masukan air alogenik (dari luar sistem karst).
Polje tipe ini berkembang apabila muka air tanah di batuan non karst terhampar
hingga batuan karbonat. Poje struktural terbentuk karena dikontrol struktur,
biasanya berasosiasi dengan graben dan atau sesar miring dengan batuan
impermeabel di dalamnya. Poje baselevel terbentuk apabila regional muka air
tanah memotong permukaan tanah. Polje tipe ini pada umumnya terbentuk di
bagian bawah (outflow) dari kawasan karst.

B. Bentuklahan Positif
1. Conical Hill
Conical Hill atau Kerucut karst, adalah bukit karst yang berbentuk kerucut,
berlereng terjal dan dikelilingi oleh depresi yang biasa disebut sebagai bintang.
Kerucut karst sering disebut sebagai kygelkarst (bahasa jerman). Pada
kenyataannya kerucut kars sering kali lebih mirip setengah bola dibandingkan
dengan bentuk kerucut. Depresi tertutup yang mengelilingi bukit sisa biasanya
terbentuk bintang dan tidak teratur sering disebut sebagai cockpits dan terbentuk
oleh proses pelarutan sepanjang zona kekar atau patahan.

Conical Hill

Gambar 1. 13

2. Tower Karst
Tower karst atau
Menara karst, adalah
bukit sisa pelarutan

31
dan erosi yang berbentuk menara dengan lereng yang terjal tegak atau
menggantung, terpisah satu dengan yang lainnya dan dikelilingi dataran aluvial.
Menurut Jenning (1971) dan Ritter (1978) berpendapat menara karst dan kerucut
karst dibedakan dalam hal keterjalan lereng dan adanya rawa atau dataran alluvial
yang mengelilinginya. Menara karst disebut juga dengan pepino hill
atau haystack atau turmkarst.
2.2.3.2 Morfologi Mikro Kawasan Karst
Morfologi mikro daerah karst dalam literatur dan artikel karst diistilahkan
dengan karren (bahasa Jerman) atau lapies (bahasa Prancis). Dimensi karren
bervariasi dari 1 hingga 10 meter, sedangkan mikro karen mempunyai dimensi
kurang dari 1 cm (Ford dan Williams, 1992). Karren dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok, yaitu :

A. Bentuk membulat
 Micropit : ukuran kurang dari 1 cm.
 Pits : bulat atau lonjong, bentuk tidak teratur, diameter > 1 cm.
 Pans : bulat atau lonjong dengan bentuk tidak teratur, dasar horisontal
berupa batuan dasar atau endapan isian.
 Heelprints atau Trittkarren : dinding terjal dibagian ujung, dasar datar,
terbuka di bagian bawah, diameter 10 – 30 cm.
 Shafts atau well : bagian dasar saling berhubungan membentuk protocave
yang mengatus air ke mintakat epikarst.
B. Bentuk linier : terkontrol kekar
 Microfissures : dasar kacip, panjang beberapa cm dengan kedalaman
kurang dari 1 cm.
 Splitkarren : kenamapakan pelarutan yang dikontrol oleh kekar, stylolite
atau vein. Dasar lancip, panjang bervariasi dari sentimeter hingga beberapa
meter, kedalaman beberapa sentimeter. Kedua ujungnya dapat terbuka atau
tertutup.
 Grikes atau Kluftkaren : hasil solusional yang dikontrol oleh kekar mayor
atau sesar. Panjang 1 hingga 10 meter. Apabila di bawah tanah disebut
cutter. Kumpulan kluftkarren dipisahkan satu dengan lainnya dengan clint.
C. Bentuk linier : terkontrol oleh hidrodinamik

32
 Microrills : lebar lebih kurang 1 mm. Aliran air terkontrol oleh tenaga
kapilar, gravitasi, atau angin. Saluran pelarutan secara gravitatif.
 Rillenkarren : kumpulan saluran mulai dari igir, lebar 1 – 3 cm. Dipicu
oleh air hujan. Bagian bawah menghilang.
 Solutional runnels : Saluran mengikuti hukum Horton. Berkembang mulai
dari sebelah bawah erosi lembar. Pada singkapan batuan dicirikan oleh tepi
yang curam (Rinnenkarren), bulat jika tertutup tanah (Rundkarren).
Saluran meluas ke arah bawah. Lebar 3 –30 cm, panjang 1 – 10 m. Pola
aliran linier, dendritik, atau sentripetal.
 Decantation runnels : pelarutan terjadi di bagian atas pada satu titik, ke
arah bawah saluran menyempit. Ukuran bervariasi hingga mencapai
panjang lebih dari 100 m, seperti wall karren (wandkarren),
Maanderkarren.
 Decantation flutings : pelarut berasal dari sumber diffuse pada lereng atas.
Saluran padat, ke arah bawah kadang-kadang semakin berkurang.
 Fluted scallops atau solution ripples : flute seperti ripple dengan arah
sesuai arah aliran. Banyak variasi dari scallop. Banyak ditemukan sebagai
komponen dari cockling pattern di singkapan batuan berlereng curam.
D. Bentuk poligonal
 Karrenfield : istilah umum untuk hamparan karren yang tersingkap.
 Limestone pavement : tipe dari karrenfield yang didominasi oleh clints
yang teratur (flachkarren) dan grikes (kluftkarren).
 Pinnacle karst : topografi yang runcingruncing, kadang terbuka karena
erosi tanah. Arete, pinacle, dan stone forest kadang mempunyai pinacle
dengan tinggi 45 m dan spasi 50 m.
 Ruiniform karst : Grike yang lebar dengan clint yang sudah terdegradasi.
Bentuk peralihan ke tors.
 Corridor karst (labyrinth karst, giant grike land) : skala besar dari grike
dan clints dengan lebar beberapa meter dan panjang hingga 1 km.
 Coastal karren : karren di darah pantai atau lakustrin, termasuk intertidal
dan subtidal notch, pits, pans, mikropits.

33
2.2.4 Lingkungan Gua
Lingkungan gua merupakan sebuah lingkungan yang unik dan khas dengan
kondisi gelap total sepanjang masa. Lingkungan gua lazim dibagi menjadi 4 zona
yaitu mulut gua, zona peralihan (Zona remang-remang), zona gelap dan zona
gelap total/zona stagnant, Masing-zona mempunyai karakteristik lingkungan
(abiotik) yang berbeda-beda begitu juga kehidupan faunanya (biotik) (Howarth
1983, Howarth and Stone 1990, Howarth 1991).
a)
a)
a)
a)
a)
a)
a)
Gambar 1. 15 a)
a)
Mulut gua merupakan daerah yang menghubungkan luar gua dengan lingkungan
gua dan masih mendapatkan cahaya matahari dan kondisi lingkungannya
masih sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan luar gua. Temperatur
dan kelembaban berfluktuasi tergantung kondisi luar gua. Mulut gua
mempunyai komposisi fauna yang mirip dengan komposisi fauna di luar gua.
Kondisi iklim mikro di mulut gua masih sangat dipengaruhi oleh perubahan
kondisi di luar gua.
b) Zona berikutnya adalah zona peralihan atau zona remang-remang yang
dicirikan dengan kondisi yang sudah gelap namun masih dapat terlihat berkas
cahaya yang memantul dinding gua yang tergantung tipe gua. Di zona
peralihan kondisi lingkungan masih dipengaruhi oleh luar gua yaitu masih
ditemukan aliran udara. Temperatur dan kelembaban masih dipengaruhi
lingkungan luar gua. Komposisi fauna mulai berbeda baik jumlah jenis

34
maupun individu. Kemelimpahan jenis dan individu lebih sedikit
dibandingkan di daerah mulut gua.
c) Zona gelap adalah daerah yang gelap total sepanjang masa, kondisi
temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat kecil sekali.
Jenis fauna yang ditemukan sudah sangat khas dan telah teradaptasi pada
kondisi gelap total. Fauna yang ditemukan biasanya mempunyai jumlah
individu yang kecil namun mempunyai jumlah jenis yang besar (Deharveng
and Bedos 2000).
d) Zona yang terakhir adalah zona stagnant dimana sama sekali tidak terdapat
aliran udara kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang
sangat kecil. Biasanya mempunyai kandungan karbondioksida yang sangat
tinggi. Zona ini biasanya terdapat pada sebuah ruangan yang lorongnya
sempit dan berkelok-kelok.

2.2.4.1 Biospeleologi
Biospeleologi merupakan salah satu cabang ilmu dalam speleologi yang lebih
mendalami kehidupan dan faktor-faktor yang mendukung kehidupan di dalam
gua. Gua merupakan suatu ekosistem dalam tanah yang unik, dimana menarik
para ahli biologi untuk mengamatinya, di sebabkan karena :
 Kondisi komunitas yang berbeda dengan di luar gua, terutama atmosfir yang
basah.
 Simplisitas ekstrim lingkungan yang tanpa cahaya dan suhu konstan.
 Tidak terikat pada ritme biologis :
- Ritme sirkadian : dikontrol oleh jam biologis
- Ritme sirkanual : perkembang biakan secara musiman

Banyak organisme yang melewati kehidupan dalam gua, umumnya telah


beradaptasi dengan kelembaban yang tinggi, kegelapan total, langkanya makanan,
dan suhu konstan.
Adaptasi yang dilakukan :
 Adaptasi positif : organ peraba lebih panjang
 Adaptasi negatif : reduksi pigmen kulit dan organ mata
 Disamping itu, berubahnya sistem fisiologi dan perilaku

35
2.2.4.2 Troglxene/Stygoxene
Trogloxene/stygoxene adalah kelompok biota (terestrial dan akuatik) yang
menggunakan gua sebagai tempat tinggal sementara dan hidupnya masih
tergantung dengan lingkungan luar gua.
A. Trogloxene (troglo =gua, Xene =tamu)
a. Ciri khas :
 Tidak melewatkan seluruh kehidupannya di dalam gua.
 Menempati gua secara temporary
 Energi yang dibutuhkan, diperoleh dari luar gua
 Adakalanya bergerak kedalam untuk menyelamatkan diri atau
beristirahat
 Terdapat disekitarnya mulut gua tau ventilasi dinding permukaan.

b. Trologxene terbagi menjadi 2 sub tipe :


1) Trologxene Accidental : Masuk kedalam gua karena tidak sengaja
(terperosok, terbawa banjir)
Contoh : Landak (Hitrixsp), Katak (Bufo asper), Tikus (Rattus
sp), Ular (Elaphe sp)
2) Trologxene Habitual : Gua merupakan salah satu siklus dari
hidupnya
Contoh : Kelelawar pemakan buah (Eonictery spelea), Kelelawar
pemakan serangga (Hipposidras diadema), dan Burung walt
(Collocalia sp).

2.2.4.3 Troglophile/Stygophile
Troglophile/Stygophile adalah kelompok biota (terestrial/akuatik) yang
seluruh daur hidupnya dihabiskan di dalam gua namun jenis yang sama masih
ditemukan di luar gua. 
B. Troglophile (Philes=cinta/suka)
a. Ciri Khas :
 Tidak terikat pada ruang lingkup gua.

36
 Individu di bawah ini seluruh daur hidupnya dapat di jalani di
dalam gua, namun dapat pula daur hidupnya sebagai di luar gua.
 Gua di gunakan hanya untuk tempat beristirahat dan berkembang
biak.
 Energi yang di butuhkan yang di peroleh melalui kotoran kelelawar
atau sampah di dalam gua.
 Organisme fakultatif.
b. Contoh: Centipede (Scutigira decipiens), Cacing tanah (Fllatworm),
lalat dan nyamuk (ordo Diptera) dan jangkrik gua dari ordo
Orthoptere (Gryllotalpa fulvipes).

2.2.4.4 Troglobite/stygobite 
Troglobite/stygobite adalah kelompok biota (terestrial/akuatik) yang seluruh
daur hidupnya berlangsung di dalam gua dan jenis-jenis yang sama sudah tidak
ditemukan lagi di luar gua. Kelompok ini telah mengalami proses adaptasi dan
evolusi yang cukup panjang untuk dapat hidup dan sangat bergantung dengan
lingkungan gua.
C. Troglobites (Bites=hidup)
a. Ciri Khas :
 Seluruh siklusnys berada di dalam gua.
 Mengalami adaptasi fisiologis dan morfologis (tidak berpigmen,
alat peraba yang panjang, tidak mempunyai mata).
 Mengalami isolasi genetik dan proses spesiasi waktu yang panjang.
b. Contoh : Ikan buta (Typhlicty subterranous), jangkrik tua dari ordo
Coleoptera (Myrmeccophilus dubius), collembola (Melasinela
acrobates) dan (Heteromerus logicornes), udang gua akuatik
Cibinong (Stenasellus javanicus), kepiting gua Gunung Sewu
(Karstarma jacobsoni), isopoda gua Gunung Sewu (Tenebrioscia
antenuata Schultz (Gua Bribin) dan Javanoscia elongata Schultz (Gua
Semuluh) dan banyak jenis lain dari Maros seperti Kumbang
gua, Eustra saripaensis Deuve.
c. Syarat terbentuknya Troglobites :

37
 Harus dalam satu kelompok populasi.
Isolasi genetik (Tidak mengadakan perkawinan dengan organisme
luar serta punahnya populasi di luar gua).
 Evolusi membutuhkan waktu yang lama.
Kemunduran evolusi ke bentuk primitif, morfologi sangat berbeda
dengan merfologi asal.
 Kesmpatan untuk memasuki zone suhu konstan gua.
Flora yang di jumpai zone tentu menunjukan perbedaan yang
menyolok seperti:
 Tanaman di dalam gua tidak berbeda dengan luar gua.
 Tanaman di zona senja berkurang
 Tanaman berklorofil tidak terdapat di zona gelapabadi.
Untuk tumbuhan di temukan jenis Pteridophyta, Compositae,
Euphorbicaese. Umumnya tumbuh pada tebing-tebing gua vertikal atau
tumbuh di mulut gua, yang merupakan tumbuhan tingkat tinggi.
Bentuk batang panjang langsing dan daun agak jarang, gerak tubuhnya
bersipat fototaktis (menuju datangnya arah sinar). Fotosintesa bentuk
metabolisme tergantuk bentuk pencahayaan yang di terima setiap hari.
Sedangkan tumbuhan yang di temukan tingkat rendah yang di
temukam di dalm gua hanya beberapa jenis, antara lain : Streptomyces,
Tricoderma sp, Aspergilus sp dan Fusarium.

2.2.5 Ornamen Gua (Speleothem)


2.2.5.1 Pengertian Ornamen Gua (Speleothem)
Speleothem, kata yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti endapan gua.
Kesepakatan dalam klasifikasi speleothem memiliki dua hirarki :
1) Form (bentuk)
Form adalah speleothem dengan bentuk dasar yang dapat membedakan
berdasarkan pada prilaku pertumbuhan mineral dan mekanisme dasar
deposisinya.
2) Style (corak)

38
Style adalah klasifikasi lanjutan dari form yang menjelaskan bentuk berbeda
yang merupakan hasil dari perbedaan tingkat aliran, tingkat deposisi, dan
faktor lainnya (Gillieson, 1996).
Dalam pengertian secara utuh, ornamen gua adalah suatu bentuk dasar yang
terbentuk akibat pertumbuhan mineral hasil pelarutan batu gamping pada atap,
dinding, ataupun lantai gua. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Energi tentang
Pengelolaan Kawasan Karst (2000) Speleothem adalah bentukan alam hasil
pengendapan larutan jenuh Kalsium Karbonat (CaCO3) yang menghiasi bagian
dalam gua yang berupa Stalactite, Stalagmite, Coloumn (pilar) dan Flowstone.
Menurut Gillieson (1996) terdapat beberapa jenis ornamen yang dapat
terbentuk di dalam gua :
1) Form dripstone dan flowstone
a. Stalactite
b. Stalagmite
c. Draperies
d. Flowstone Sheet
2) Form Erratic
a. Shield
b. Helictites
c. Form Botryoidal
d. Anthodite
e. Moonmilk
3) Form Sub-aqueous
a. Kolam Rimstone
b. Concretion dari berbagai macam
c. Deposit kolam
d. Deretan kristal

2.2.5.2 Pembentukan Ornamen Gua


Pembentukan ornamen gua dapat terjadi sejak dimulainya proses
pembentukan gua. Proses pembentukan membutuhkan waktu ratusan sampai
ribuan tahun untuk mencapai kondisi seperti sekarang. Pola ini berakhir pada

39
bentukan sungai ataupun danau bawah tanah. Pada gua dengan sungai bawah
tanah terdapat ornamen-ornamen gua yang menarik. Ornamen ini terbentuk pada
kondisi lingkunga gua yang sangat unik dan ekstrim dengan kondisi suhu dan
kelembaban yang relatif tetap sepanjang waktu.
Pembentukan ornamen berasal dari pergerakan air tanah karst. Pergerakan air
tanah karst dimulai dari masukan air hujan menuju saluran pelarutan dibawah
permukaan melalui porositas primer dan sekunder. Pada batugamping terumbu,
air tanah bergerak melalui rongga-rongga saluran pelarutan. Pergerakan air tanah
membentuk arus sederhana dan menunjukan rongga-rongga saluran pelarutan
yang dilewati air tanah. Pada batugamping berlapis, pergerakan air menjadi
kompleks.
 Porosit
as
primer
yaitu

porositas yang tergantung dari matriks batuan itu sendiri;


dan
 Porositas sekunder, yaitu porositas yang lebih
tergantung pada proses sekunder seperti adanya rekahan
ataupun lorong hasil proses solusional

tipe porositas karst


Gambar 1. 16

40

Gambar 1. 17
Sumber : Acworth (2001)

Air tanah tersebut bergerak melalui saluran pelarutan dan celah antar bidang
perlapisan serta melalui ruang antar butir. Pada akhirnya air tanah tersebut muncul
pada tepi karst melalui celah antar bidang perlapisan dan juga batas kontak
dengan batulempung kedap air.

Perjalanan air saat melewati celah dan lapisan batugamping sambil


melarutkan batugamping yang terdiri dari senyawa penyusun utama kalsium
karbonat (CaCO3) sehingga menyebabkan air menjadi mengandung kalsium
karbonat. Air celah ini yang kemudian muncul menetes dari atap-atap gua dan
meninggalkan partikel kalsium karbonat tersebut di atap, proses ini berlangsung
terus menerus dan tumbuh menjadi stalactite (Jennings, 1985).

Karena ada perbedaannya perbedaan kadar kalsium karbonat dan bentuk


rekahan antara satu tempat dengan tempat lain menyebabkan stalactite berbeda-
beda bentuk. Selain ornamen stalactite yang menempel pada atap gua, adapula
ornamen yang dibentuk oleh tetesan air yang terendapkan pada atap dan lantai gua
stalagmite ataupun coloumn. Ornamen-ornamen yang terbentuk akibat tetesan air
ini disebut batu tetes atau dripstone. Sedangkan ornamen gua yang terbentuk
karena aliran air disebut flowstone.

Menenurut Darsoprajitno (1988), proses terjadinya ornamen gua


(speleothem) dapat tergantung pada :

 Kualitas air yang terinfiltrasi dari kandungan kapur


 Kuantitas air yang terinfiltrasi
 Situasi dan kondisi di dalam gua
 Lamanya proses yang terjadi

Dari pernyataan mengenai proses terjadinya ornamen di atas dapat


disimpulkan bahwa yang mempengaruhi tumbuhnya ornamen adalah vegetasi di
atas permukaan, jenis dan ketebalan tanah penutup, kecepatan infiltrasi dan
presipitasi.

A. Stalactite

41
Terbentuk karena pengendapan
mineral di atap gua. Air yang
mengandung kalsium karbonat
muncul di atap gua kemudian
menggantung sebentar sebelum
jatuh kelantai gua. Selama
menggantung tersebut, CO2
menghilang ke atmosfir gua,
larutannya menjadi sangat jenuh
air dan bahan mineralnya yang
Gambar 1. 17. : Stalactite
sangat sedikit jumlahnya akan tertinggal melingkar dengan ukuran sama dengan
tetesannya. Lingkaran tersebut akan akan tumbuh ke bawah dengan diameter
konstan dan materialnya bertambah terus sampai sebuah tube yang ramping
terbentuk. Tube ini agak porous sehingga air dapat merembes melalui ruang antar
butirannya dan sepanjang retakan untuk mengendapkan material di bagian luar.
B. Stalagmite
Stalagmite merupakan oranamen gua yang memiliki bentuk seperti stalactite,
namun berada di lantai gua. Sebagian tetesan air yang berasal dari atap gua
menetes sampai ke lantai dan
meninggalkan senyawa kalsium
karbonat dalam bentuk stalagmite
(Gambar 1.18). tetesan yang jatuh ke
bawah ke lantai gua terus
mengendapkan material dan
membangun suatu gundukan
Gambar 1. 18
ornamen. Kemudian tumbuh sebagai
bentuk silinder yang semakin tinggi. Raidus pertumbuhannya dibatasi tingkat
tetesan karena sangat menurunya tingkat jenuh air atau penguapan sempurna
lapisan embun yang tersebar di sekitar titik jatuhnya. Diameter yang seragam
menunjukan bahwa ada kondisi yang konstan selama periode waktu yang panjang.
C. Coloumn

42
Coloumn merupakan jenis ornamen yang terbentuk apabila stalactite dan
stalagmite bertemu. Ornamen ini memiliki
bentuk menyerupai tiang yang menyangga
atap gua. Jika suatu saat, stalactite dan
stalagmite bertemu maka terbentuk tiang
dari lantai sampai atap yang di sebut pilar
atau column. (Gambar 1.19)
Gambar 1. 19
D. Draperies
Ornamen yang terbentuk pada atap gua dan memiliki bentuk seperti sirip ikan hiu
di sebut draperies. (Gambar 1.20)

Gambar 1. 20
E. Flowstone
Flowstone termasuk bentuk ornamen
yang disebabkan oleh aliran air yang
masuk ke dalam gua. Jika air celah dan
air pelapisan tersebut muncul dan
mengalir di dinding-dinding gua maka
disebut flowstone (Gambar. 1.21) .
bentukan ini merupakan ornamen gua
yang indah, menyerupai payung
Gambar. 1. 21
(canopy) atau tirai (gordyn).
Dan berbagai ornamen gua yg bisa di jumpai, yaitu :
 Straw : Bentuknya seperti stalagtit tetapi berdiameter kecil, sebesar tetesan
air, panjangnya 1-15 Cm

43
 Grous : kumpulan kalsit yang berkupul (terbentuk) dialiran air atau
kemiringan tanah. Aliran ini banyak mengandung carbondioksida (CO2),
semakin CO2 menguap atau memuai, calsit yang terbentuk semakin
banyak.
 Marble : batu gamping yang mengalami perubahan bentuk
dimetamorfasekan oleh panas dan tekanan, sehingga merubah struktur
yang unik dari batu tersebut.
 Pearls : kumpulan batu kalsit yang berkembang didalam kolam dibawah
tetesan air, disebut pearls karena bentuknya seperti mutiara.
 Curtain : Endapan yang berbentuk seperti lembaran yang terlipat,
menggantung di langit-langit gua atau di dinding gua.
 Rimstone : Berbentuk seperti bendungan yang terbentuk ketika terjadi
pengendapan air, CO2-nya menghilang dan menyisakan kalsit yang
bersusun-susun.

2.3 CAVING ( PENELUSURAN GUA)


Caving adalah kegiatan penelusuran gua yang secara umum menurut
ketentuan Internasional, setiap kegiatan penelusuran gua harus mempunyai tujuan
ilmiah dan konservasi. Menelusuri gua dapat dikerjakan untuk olah raga maupun
untuk tujuan ilmiah. Namun kedua kategori penelusuran gua wajib menjungjung
tinggi etika dan Kewajiban kegiatan penelusuran gua ini agar lingkungan tidak
rusak, agar para penelusur sadar akan bahaya-bahaya kegiatan ini dan mampu
mencegah terjadinya musibah dan agar si penelusur sadar akan kewajibannya
terhadap sesama penelusuran dan masyarakat disekitar lokasi gua-gua Kemahiran
teknik saja tidak cukup untuk menganggap dirinya mampu dan pantas melakukan
kegiatan penelusur gua. Seorang pemula atau yang sudah berpengalaman
sekalipun harus memenuhi Etika dan Kewajiban penelusuran gua.

2.3.1 Etika dan Moral Penelusuran Gua


Menelusuri gua dapat dikerjakan untuk olah raga maupun untuk tujuan
ilmiah. Namun kedua kategori penelusuran gua wajib menjungjung tinggi Etika
dan Kewajiban kegiatan penelusuran gua ini agar lingkungan tidak rusak, agar
para penelusur sadar akan bahaya-bahaya kegiatan ini dan mampu mencegah

44
terjadinya musibah dan agar si penelusur sadar akan kewajibannya terhadap
sesama penelusuran dan masyarakat disekitar lokasi gua-gua Kemahiran teknik
saja tidak cukup untuk menggap dirinya mampu dan pantas melakukan kegiatan
penelusur gua. Seorang pemula atau yang sudah berpengalaman sekalipun harus
memenuhi etika dan kewajiban penelusuran gua.

2.3.1.1 Etika
a) Moto Spelelogi dari NSS USA
 Jangan MENGAMBIL sesuatu, kecuali mengambil GAMBAR
 Jangan MENINGGALKAN sesuatu, kecuali meninggalkan JEJAK
 Jangan MEMBUNUH sesuatu, kecuali membunuh WAKTU
b) Bertindak WAJAR
 Tidak sok pamer atau menutup – nutupi kepandaian ( meras minder atau
malu )
 Jika tidak sanggup maka tidak memaksakan kehendaknya
c) Tunjukan RESPEK kepada sesama penelusur Gua
 Tidak menggunakan peralatan atau bahan – bahan yang disediakan oleh
rombongan lain tanpa persetujuan.
 Membahayakan penelusur Gua yang lain, misalnya :
 Mengambil atau memutuskan tali yang terpasang
 Memindahkan peralatan ke tempat lain
 Menimpuk batu jika ada penelusur lain di dalam Gua
 Menghasut penduduk di sekitar Gua agar menghalang – halangi atau
melarang rombongan lain masuk gua karena tidak satu orang / kelompok
pun boleh merasa memiliki kekasaan / hak terhadap sebuah Gua bahkan
bila dia itu seorang ahli yang menemukan Gua tersebut pertama kali
kecuali pemilik tanah dimana Gua itu berada.
 Jangan melakukan penelitian yang sama jika ada rombongan penelusur
lain yang sedang mengerjakan dan belum dipublikasikan ( kecuali
mendapatkan ijin ).
 Jangan gegabah sebagai penemu sesuatu sebelum mendapat konfirmasi
dari kelompok – kelompok resmi yang lain

45
 Jangan melaporkan hal – hal yang tidak benar demi sensasi atau ambisi
pribadi.
 Setiap usaha penelusuran gua adalah usaha bersama dan hasil publikasi
tidak boleh menonjolkan diri sendiri tanpa mengingat jasa sesama
penelusur.
 Jangan menjelek – jelekan penelusur lain dalam publikasi walau penelusur
itu mungkin melakukan hal – hal yang bersifat negatif. Setiap publikasi
negatif tentang sesama penelusur maka akan memberikan gambaran
negatif terhadap semua penelusur Gua.

2.3.1.2 Kewajiban
 Konservasi lingkungan gua harus menjadi tujuan utama kegiatan
Speleologi dan dilaksanakam sebaik – baiknya oleh setiap penelusur.
 Membersihkan gua serta lingkungannya, menjadi kewajiban pertama para
penelusur.
 Apabila sesama penelusur gua membutuhkan pertolongan darurat para
penelusur gua wajib memberikan pertolongan itu.
 Setiap penelusur gua wajib menaruh respekterhadap penduduk sekitar
Gua. Minta ijin seperlunya, bila mungkin secara tertulis kepada yang
berwenang, tidak membuat onar atau melakukan tindakan – tindakan yang
melanggar ketentraman dan menyinggung perasaan penduduk. Jangan
merusak pagar, tanaman penduduk atau menggangu hewan milik
penduduk. Sedapat mungkin menghormati dan mematuhi larangan –
larangan yang diberikanpemuka masyarakat setempat berkaitan dengan
gua yang akan ditelusuridemi menjaga martabat kepercayaan setempat.
 Bila meminta ijin dari instansi resmi yang berwenang, maka harus
dirasakan sebagai kewajiban untuk membuat laporan dan menyerahkan
hasilnya pada instansi tersebut. Apabila meminta nasihat kepada penelusur
atau seorang lainnya, maka wajib pula menyerahkan laporan kepada
kelompok penelusur atau penasehat perseorangan itu.

46
 Bagian – bagian yang berbahaya dalam suatu gua wajib diberitahukan
kepada kelompok penelusur lain, apabila anda mengetahui adanya tempat
– tempat yang berbahaya.
 Sesuai dengan pandangan NSS ari USA, dilarang memamerkan benda –
benda mati atau hidup dalam gua untuk lingkungan NON penelusur Gua
dan Non-Speleologi. Hal ini untuk menghindari dorongan kuat yang
hampir pasti timbul, untuk ikut mengambil benda – benda itu guna koleksi
pribadi atau untuk melakukan penelusuran gua tanpa pengetahuan teknis
dan ilmiah yang cukup. Bila perlu hanya dipamerkan dalam bentuk foto –
foto tanpa menyebutkan lokasi.
 NSS juga tidak menganjurkan usaha mempublikasikan penemuan –
penemuan di dalam gua atau lokasi dari gua sebelum diyakini betul adanya
pelestarian oleh orang yang berwenang, yang memadai. Perusakan
lingkungan gua oleh orang awam menjadi tanggung jawab si penulis
berita, apabila mereka mengunjungi gua – gua itu sebagai akibat publikasi
dalam media massa.
 Setiap terjadi musibah diwjibkan untuk dilaporkan kepada sesama
penelusur melalui media Speleologi yang ada, hal ini perlu supaya jenis
musibah yang sama dapat dihindari.
 Menjadi kewajiban mutlak bagi penelusur gua untuk memberitahukan
kepada rekan – rekan terdekat lokasi mana akan pergi dan kapan ia akan
diharapkan pulang. Di tempat lokasi gua, para penelusur wajib
memberitahukan penduduk nama dan alamat para penlusur dan kapan
diharapkan bisa selesai menelusuri gua. Wajib memberitahukan penuduk
siapa yang harus dihubungi, apabila penelusur belum keluar dari Gua
sesuai dengan waaktu yang direncanakan.
 Para penelusur wajib memperhatikan keadaan cuaca. Wajib meneliti
apakah ada bahaya banjir di dalam gua waktu turun hujan lebat dan
meneliti lokasi lokasi mana di dalam gua yang dapat dipergunakan untuk
menghidari banjir.
 Dalam setiap musibah setiap penelusur wajib bertindak dengan tenang
tanpa panik dan wajib patuh pada instruktur pemimpin penelusuran.

47
 Setiap penelusur dianjurkan untuk melengkapidirinya dengan peralatan
dasar, untuk kegiatan yang lebih sulit digunakan peralatan yang memenuhi
syarat dan ia wajib mempunyai pengetahuan tentang penggunaan peralatan
itu.
 Setiap penelusur wajib melatih diri dalam berbagai keterampilan gerak
penelusuran gua dan keterampilan menggunakan peralatan sekalipun
dalam waktu – waktu non aktif.
 Setiap penelusur gua wajib membaca berbagai publikasi mengenai gua dan
lingkungannya agar pengetahuan tentang speleologi tetap berkembang,
bagi yang mampu melakukan penyelidikan atau observasi ilmiah
diwajibkan melakukan publikasi agar sesama penelusur dapat menarik dari
makalah – makalah itu.

Bila ada rencana menelusuri gua, wajib memberitahukan kepada keluarga,


rekan atau sesama anggota perkumpulan, penduduk dan kepala desa terdekat data
sebagai berikut:
1. Maksud dan tujuan menelusuri gua, rencana waktu masuk, rencana waktu
keluar, daftar nama penelusur lengkap alamat dan nomor telepon.
2. Bila sampai terjadi muzibah, atau belum keluar pada waktu yang sudah
ditentukan, siapa yang harus dihubungi dan dengan cara apa.
3. Wajib memilih dan patuh kepada pemimpin penelusur gua yang
kompeten, berwibawa dan sudah berpengalaman. Khususnya dalam
menentukan kesiapan mental, fisik dan derajat ketrampilan penelusuran
gua, yang wajib disesuaikan dengan derajat kesulitan gua.
4. Wajib mempelajari semua acuan yang dibutuhkan sebelum memasuki
gua: peta geologi, peta topografi, keadaan iklim, khususnya curah hujan,
peta-peta gua yang ada, literatur terkait, menghubungi nara sumber,
mengumpulkan dan menganalisa informasi penduduk setempat atau
jurukunci perihal gua tersebut.
5. Wajib mempersiapkan diri secara fisik, mental dan ketrampilan
menggunakan semua alat atau perlengkapan yang harus tersedia secara
lengkap, sesuai kebutuhkan.

48
2.3.2 Bahaya Penelusuran Gua
Pada dasarnya semua kegiatan alam terbuka bahaya kegiatan ini selalu terbagi
dalam dua jenis, yaitu bahaya dari pelaku kegiatan dan bahaya yang berasal dari
lingkungan atau alam. Bahaya dari segi pelaku kegiatan sebenarnya dapat
diminimalisir sekecil mungkin dengan melakukan persiapan pengetahuan, fisik,
teknis, dan non-teknis. Sedangkan bahaya dari segi lingkungan untuk sebagian
orang tidak dapat diperhitungkan, misalnya faktor cuaca, tetapi untuk kegiatan
speleologi dan penelusuran gua semua faktor masih dapat diperhitungkan,
sehingga yang paling berperan adalah faktor human error atau kesalahan dari
pihak manusia sebagai pelaku kegiatan. Bahaya-bahaya penelusuran gua secara
sudut pandangannya dapat di bedakan menjadi dua :

1) Antroposentrisme, meninjau sudut pandang bahaya penelusuran gua


terhadap penelusur gua, bisanya terjadi kealpaan atau kecerobohan penelusur
gua itu sendiri.
2) Speleosentrisme, meninjau dari sudut pandang bahaya penelusuran gua
terhadap gua itu sendiri, dari tindakan-tindakan para penelusur gua.

2.3.2.1 Antroposentrisme
Bahaya-bahaya dari sudut pandang Antrosentrisme :
 Terpelest/terjatuh dengan akibat fatal, atau gegar otak, terkilir, terluka, patah
tulang dsb. Hal ini paling sering terjadi, antara lain karena : penelusur
terburu-buru meloncat, salah menduga jarak dan sebagiannya.
 Kepala terantuk atap gua/stalaktit/bentuk gua lainnya. Akibat : luka memar,
luka berdarah, gegar otak. Wajib pakai helm.
 Tersesat. Terutama bila lorong bercabang-bertingkat dan daya orientasi
pemimpin regu penelusur kurang baik. Karenanya setiap penelusur wajib
dilakukan degan penuh perhatian oleh setiap penelusur. Bentuk lorong yang
telah dilewati, dibelakang punggung harus diperhatikan secara periodik,
karena saat kembali pasti beda dengan saat pergi. Pada setiap percabang
ditinggalkan tanda yang mudah dikenal dn tidak merusak lingkungan
(misalnya tumpukn batu, atau kertas berwarna dan berefleksi bila terkena

49
sorotan lampu (flourensensi) yang mudah diangkat kembali). Hal ini tambah
penting, apabila kecuali bercabang gua bertingkat banyak.
 Tenggelam. Terutama apabila nekat memasuki gua pada musim hujan tanpa
mempelajari topografi karst maupun sifat sungai di bawah tanah. Bahwa
semakin nyata kalau harus melewati air terjun atau jeram deras. Apa lagi
kalau harus melakukan penyelamatan bebas tanpa alat dan penelusur kurang
mahir berenang/menyelam. Jangan lupa membawa pelampung dan sumber
cahaya kedap air. Mengarungi sungai yang dalam, harus pakai tali pengaman
dengan lintasan tepat.
 Kedinginan (Hipotermia). Hal ini terutama bila lokasi gua jauh di atas
permukaan laut, penelusur beberapa jam terendam air dan adanya angin
kencang yang berhembus dalam lorong tersebut. Diperberat apabila penelusur
lelah, lapar, tidak pakai pakaian memadai. Karenanya hatus tepat mengetahui
lokasi mulut gua dan lorong-lorong ketinggiannya di atas permukaan laut
(diukur pakai alimeter), suhu air dan udara di dalam gua. Harus pula masuk
gua dalam keadaan fisik sehat, cuku mkan dan bawa makanan cadangan
bergizi tinggi.
 Dehidrasi. Kekurangan cairan. Hal ini sudah merupakan bahwa penelitian
cermat di perancis. Hampir senantiasa bila sudah timbul rasa haus, sudah ada
gejala dehidrasi. Karenanya sudah menjadi suatu kewajiban yang tidak dapat
ditawar lagi, bahwa sebelum memasuki gua, setiap penelusur harus minum
secukupnya. Cairan paling tepat untuk menghindari dehidrasi ialah larutan
orlit atau garam anti diare.
 Keruntuhan atap atau dinding gua. Ini memang nasib sial, tetapi sudah cukup
sering terjadi di luar negri menaiki tebing dengan andalan pada paku tebing
yang dindingnya rapuh. Atau bila kebetulan terjadi gempa bumi. Karenanya
wajib mempelajari dan memperbaiki sifat batu-batuan dinding dan atap gua.
Runtuhan atap yang bersrakan bukan berarti gua itu rapuh, karena saja
mungkin atap itu sudah puluhan tahun yang lalu runtuh, tetapi penelusuran
wajib memperhatiakn apakah lapisan-lapisan yang menunjang atap itu kuat
atau sudah terlihat terlepas.

50
 Radiasi dalam gua. Hal ini belum diperhatikan sama sekali di indonesia,
padahal diluar negri sudah merupakan bahaya nyata. Terutama akibat gas
radioaktif radon dan turunannya. Penelusuran yang sering memasuki gua.

Faktor – faktor yang mempengaruhinya :


1) Faktor Manusia (human error)
Ceroboh, Sembrono dan nekad : kurang Persiapan, tidak menguasai teknik
dan peralatan, tidak menguasai teknik penelusuran, tidak mematuhi etika,
moral dan kewajiban penelusuran gua, serta memaksakan diri.
2) Faktor Peralatan
a. Berkurangnya kualitas peralatan :
 Aus ( pemakaian over, tidak dirawat, salah pakai, dll )
 Rusak ( terpakai, tersimpan, jatuh, dll )
 Friksi pada saat penggunaan

b. Penggunaan tidak semestinya :


 Descending terlalu dalam, terlalu cepat
 Terkena beban ungkit, beban bukan pada arah yang direkomendasikan
3) Faktor Gua dan Alam
Banjir, arus deras, sump, siphon, lumpur dalam, lumpur hisap, gempa, labil,
penambangan, umur gua, Gas berbahaya, O2 tipis, CO, CO2 tinggi, Nitrogen,
Sulfur, Racun karbit, Gigitin Hewan berbisa.

2.3.2.2 Speleosentrisme
Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penelusur gua terhadap gua dan isinya
banyak sekali. Bahaya itu berupa perusakan yang sifatnya Permanen atau hanya
Sepintas, Kumulatif atau Sinergistik.
A. Efek Permanen
Gangguan atau perusakan permanen timbul, misalnya akibat gua itu
“dipugar” dengan patung – patung, seperti dalam gua Jatijajar. Biarpun
patung-patung itu disingkirkan, gua sudah kepalang rusak dan tidak mungkin
diperbaiki. Juga apabila sedimen dibuang, seperti pernah dianjurkan seorang
pakar geologi untuk memugar suatu gua di Jawa Tengah. Sedimen merupakan

51
tapak sejarah yang tidak dapat diganti, apabila dibuang. Para ahli arkeologi,
lapis demi lapis meneliti sedimen untuk menemukan fosil-fosil zaman
prasejarah. Para ahli paleontologi, palinologi, sedimentologi
(paleomagnetisme) akan kehilangan jejak, apabila sedimen terusik, diangkat,
demi untuk memudahkan turis umum memasuki gua.
B. Efek Kumulatif
terjadi bila banyak orang mengakibatkan gangguan yang sifatnya
penjumlahan sederhana. Misalnya 10 orang meninggalkan jejak 10 kali lebih
banyak dari 1 orang.
C. Efek Sinergistik
terjadi bila timbul penjumlahan efek negatif secara deret ukur. Jauh lebih
banyak daripada penjumlahan sederhana.
Contoh : 5 kali memasuki gua yang banyak kelelawarnya dalam satu hari,
menimbulkan gangguan yang tidak sama dengan penjumlahan sederhana
( lima kali terganggu ). Kelelawar begitu terusik, sehingga akan pindah
tempat.
D. Efek Negatif itu bisa berupa:
 Memasukkan bakteri, cendawan, ragi dari dunia luar ke dalam dan
merusak gua mikroekosistem gua.
 Hiruk pikuknya penelusur gua mengusik ketenangan abadi gua dan
karenanya juga mengganggu biota gua yang sudah mengadaptasi diri
mereka pada kesepian abadi.
 Lampu terang benderang mengusik biota gua. Dapat menumbuhkan
algae yang merusak.
 Bau karbit, Asap obor, dapat merusak lingkungan gua dan mengganggu
biota gua.
 Coret-coret, pengecatan dinding dan dekorasi gua.
 Pematahan dekorasi gua untuk dibawa pulang sebagai cindera mata.
Pengambilan mutiara gua. Menginjak formasi kalsit atau gipsun yang
teramat peka dan mudah rusak.
 Mencemari air dalam gua oleh karbit atau sisa makanan/minuman.
 Merusak biota gua

52
2.3.3 Manajemen Penelusuran
Manajemen penelusuran gua adalah suatu cara mengatur segala sesuatu dalam
suatu penelusuran gua yang harus diikuti sebelum, dan dapat dilaksanakan
sebelum dan sesudah kegiatan penelusuran gua, sesuai rencana dengan kegiatan
penelusuran.
a) Hal – hal yang harus diperhatikan sebelum penelusuran gua :
1. Mempelajari lingkungan lokasi gua
2. Mengumpulkan informasi lisan keadaan lingkungan gua
3. Perijinan
4. Transportasi
5. Jumlah personil
6. Keuangan dan waktu yang dibutuhkan
7. Peralatan dan perlengkapan
8. Konsumsi

9. Keharusan mutlak penelusur :


Meninggalkan pesan di kantor/sekretariat yang berisikan :
 Lokasi gua dan kondisi gua
 Jumlah personil yang akan berangkat
 Lama penelusuran, kapan berangkat dan kapan akan pulang
 Melaporkan kepada lurah/dukuh atupun juru kunci gua.
b) Hal – hal tyang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
1. Pembagian kerja dalam penelusuran
2. Packing peralatan
3. Packing perlengkapan
4. Konsumsi
5. Tehnik penelusuran
c) Hal – hal yang harus diperhatikan sesudah penelusuran
1. Cecking peralatan
2. Perawatan peralatan
3. Evaluasi kegiatan

53
4. Pembuatan laporan kegiatan

2.3.3.1 Jenis dan tujuan kegiatan penelusuran gua


Pembagian tugas dan wewenang dalam penelusuran dibagi sesuai dengan jenis
dan tujuan kegiatan penelusuran, yaitu
1. Penelusuran biasa
a. Rigging, leader
b. Cleaning
c. Transport barang
2. Pemetaan Gua
a. Rigging, Leader
b. Mapping
 Leader : Sebagai surveyor
 Shooter : kompas, clino
 Stasioner : ujung meteran

c. Pencatat data
 Deskripsion.
d. Cleaning
3. Fotografi Gua
a. Rigging, leader
b. Cleaning
c. Fotografer
d. Pemegang blitz
4. Penelitian Gua
Pembagian tugas dalam kegiatan penelitian, tergantung akan jenis
penelitiannya.
a. Rigging, leader
b. Cleaning
c. Pengambilan sampel

2.3.4 TEKNIK PENELUSURAN

54
2.3.4.1 Teknik Penelusuran Gua Horizontal
Medan pada gua horizontal sangat bervariasi, mulai pada lorong-lorong yang
dapat dengan mudah di telusuri, sampai lorong yang membutuhkan teknik khusus
untuk dapat melewatinya.
1. Lumpur.
Lorong yang berlumpur dapat dengan mudah kalau lumpur tersebut tidak terlalu
tebal. Tapi dalam kondisi lumpur setinggi lutut bahkan sampai setinggi perut,kita
tidak mudah untuk melaluinya. Untuk melewati nya kita bergerak dengan posisi
seperti berenang. Dengan posisi seperti ini akan lebih mudah bergerak dan
menghemat tenaga.
2. Air.
Untuk kondisi lorong gua yang berair terutama gua yang belum pernah dimasuki
kita tidak mengetahui kedalaman air dan kondisi di bawah permukaan air,untuk
itu kita harus mengetahui prosedur dan mempunyai fasilitas pendukung. Syarat
utama untuk melewati lorong yang berair harus adalah harus bisa berenang. Tetapi
dengan kondisi lorong yang serba terbatas, teknik berenang dalam gua berbeda
dengan berenang di kolam renang. Disini kita memakai pakaian lengkap, sepatu
bahkan mungkin membawa beban yang cukup berat.
Pembagian team juga harus di sesuaikan, untuk leader ia tidak boleh membawa
beban berat, karena leader harus membuat lintassn dan mempelajari kondisi
medan. Dalam kondisi tertentu kita menggunakan pelampung, perahu karet
terutama untuk lorong yang panjang dan berair dalam. Ada juga lorong yang
hampir semua di penuhi oleh air hanya ada ruang sedikit yang tersisa. Untuk
melewatinya kita harus melakukan Ducking (kepala menengadah) kadang-kadang
kita harus melepas helm untuk menambah ruang gerak kepala dalam kondisi
tertentu kita melakukan ducking dengan jongkok,bahkan dengan berbaring kalau
badan tidak dapat masuk seluruhnya.
Diving, adalah teknik penyelaman dengan alat bantu pernapasan dan pakaian
khusus. Teknik ini dilakukan pada yang seluruh bagiannya tertutup oleh air
(sump,siphon). Untuk perbandingan resiko kematian di cave diving adalah 60%
tewas. Sedangkan resiko caving 15%. Dengan melihat perbandingan resiko

55
kematian yang besar ini kita di tuntut ekstra hati-hati, seyogyanya tidak
meneruskan penelusuran jika tanpa alat pendukung yang standart.
3. Climbing.
Dalam suatu penelusuran gua terkadang kita menjumpai adanya water fall ataupun
lorong yang terletak di atas kita. Untuk dapat meneruskan penelusuran kita harus
menggunakan teknik-teknik Rock Climbing. Seperti memasang sisip dan bor
tebing untuk pembuatan lintasan , yang melakukan adalah leader dan kemudian
anggota yag lain melewatinya dengan SRT. Teknik Rock Climbing harus bisa
dilakukan pada kondisi medan seperti :
 Aliran air yang deras dan kita tidak mengetahui kedalamannya
 Gua yang berbentuk celah dan menyempit bagian dasarnya
 Sungai besar atau danau yang dalam
 Pemasangan rigging pada waterfall
 Menghindari calcite floor atau oolith floor

Teknik dalam penelusuran gua horizontal :


1. Lintasan merayap
Tergantung pada bawaannya, penelusur dapat
membawa tasnya dalam posisi, kita dapat
memperkecil kelelahan dengan memvariasikan
gerakan saat berjalan. Pada Gambar 1.4 Gambar 1.4
2. Canyons dan meanders
Lintasan canyons tinggi, lintasan sempit
berkelok-kelok yang terkadang
membutuhkan tenaga extra saat
menelusurinya. Pada Gambar 1.5
Gambar 1.5

56
3. Down Climbing 4. Duck Walking dan merayap pada lintasan rendah

5. Chimneys dan Traverses

2.3.4.2 Teknik Penelusuran Gua Vertical


Untuk menelusuri gua-gua vertical diperlukan beberapa teknik pendukung
antara lain :
A. SRT (Single Rop Technique), teknik untuk melintasi suatu lintasan
vertical dengan satu tali.
B. Rigging.

Single Rope Technique (SRT) adalah teknik yang dipergunakan untuk


menelusuri gua-gua vertical dengan menggunakan satu tali sebagai lintasan untuk
naik dan turun medan-medan vertikal. Berbagai sistem telah berkembang sesuai
dengan kondisi medan ditempat lahirnya masing-masing metode. Namun yang
paling banyak dipergunakan adalah Frog Rig System.

57
Teknik yang lain adalah ; Rope Walker, Texas Rig, jumaring, Mitchele
System, floating cam system.
System Frog menggunakan alat :
1) Seat Harnes, dipergunakan untuk mengikat tubuh
dan alat-alat lain. Dipasang di pinggang dan
pangkal paha. Jenis-jenisnya adalah : bucklet,
avantee, croll, rapid, dan fractio.
2) Chest ascender, dipergunakan untuk memanjat
(menaiki) lintasan atau tali dipasang di dada.
Dihubungkan ke Delta MR oleh Oval MR.
3) Hand ascender, di pergunakan untuk memanjat
(menaiki) lintasan atau tali di tangan. Dibagian
bawah dipasang descender, tempat
digantungkannya foot loop dan cows tail.
4) Descender, dipergunakan untuk menuruni tali.
Ada beberapa jenis descender. Capstand (ada dua
macam : simple stop dan auto stop), whaletale,
raple rack (ada dua macam : close rack dan open rack), figure of eight, dan
beberapa jenis lagi yang prinsipnya kerjanya sama dengan figure of eight.
5) Mailon rapid, ada dua macam Mailond Rapid (MR), yaitu : Oval MR untuk
mengaitkan dua loop seat harness dan tempat mengaitkan alat lain seperti
descender berikut carabiner friksinya dan cowstail.
6) Foot Loop, dicantolkan ke carabiner yang terhubung ke hand ascender.
Berpungsi sebagai pijak kaki. Ukuran dari foot loop harus tepat seperti
gambar diatas. Hal ini sangat mengurangi kelelahan pada waktu ascending
di picth-picth yang panjang.
7) Cows tail, memiliki dua buah ekor. Satu terkait di hand ascender, dan satu
lagi bebas, dipergunakan untuk pengaman saat melewati lintasan-lintasan
intermediate, deviasi, melewati sambungan, tyrolean, dan traverse.

58
8) Chest harness, untuk melekatkan chest ascender agar lebih merapat ke
dada. Sehingga memudahkan gerakan sewaktu ascending normal, atau pada
saat melewati sambungan tali, Chest harness lebih baik jika dapat diatur
panjang pendeknya (adjustable), sehingga memudahkan pengoprasiaan,
terutama apabila terjadi kasus dimana chest ascender terkunci di sambungan
atau simpul, atau pada saat rescue.
Teknik-teknik yang harus dipelajari untuk SRT
adalah ascending dan descending dengan
penguasaan melewati jenis-jenis lintasan dan
medan.
1. Melewati intermediate anchor
2. Melewati deviation anchor
3. Melewati sambungan tali
4. Melewati lintasan tyrolean, menggunakan
satu tali dan dua tali
5. Melewati tali dengan medan slope (miring)

2.3.4.3 Teknik Descending


A. Rapelling (Descending)
Pada posisi free drop seperti di
sebelah kiri , tubuh
menggantung pada anchor
menggunakan cowstail pendek
dan gunakan lutut untuk
keseimbangan. Jika terdapat
pijakan yang bagus, cowstail
pendek tidak terbebani sebelum

59
turun. Kemudian buka sisi penutup descender dalam posisi menyilang.
Pasang tali dalam posisi ‘S’ di descender, lalu tegangkan tali pada
descender. Dengan cara menariknya untuk menghindari kendornya tali yang
tidak perlu. Ketika tali telah dilewatkan pada karabiner friksi, mulai untuk
turun.
B. Mengontrol Kecepatan Turun
Kita bisa megatur kecepatan turun dengan cara memegang tali dengan 1
tangan atau dua tangan. Dibawah karabiner friksai. Begantung pada kesukaan
masing-masing. Jika tangan kiri bebas, gunakan untuk memegang descender,
untuk membantu memberikan keseimbangan pada tubuh. Dalam turun free
hang dimana kaki kita samasekali tidak menyentuh dinding gua, sebaiknya
kita dalam posisi setengah duduk.dengan posisi dada parallel dengan tali.
C. Berhenti pada Rapelling
Kuncian full lock adalah cara teraman untuk berhenti
secara penuh dan mengunci descender selama turun. Ini
hanya boleh dilakukan jika descender dalam posisi
terbebani. Jika tidak terbebani, meskipun dalam
hentakan yang pendek akan merusak descender japabila
tidak ditempatkan secara benar pada karabiner yang
dihubungkn pada Maillon Rapide.
 Pegang perlahan descender dengan tangan kiri.
 Buat kuncian half – lock menggunakan tangan kanan
 Lengkapi kuncian half lock, dengan full lock
D. Melintasi Rebelay/Intermadiate
Kegiatan penelusuran gua didukung oleh penguasaan
teknik dan peralatan yang memadai. Melintasi
rebelays membutuhkan beberapa teknik :
1. Turun perlahan dan hentikan rappel ketika
berada di posisi sejajar dengan rebelay, sedikit
sisa tali harus tersedia di bawah descender.
2. Kaitkan cowstail pendek pada karabiner dengan
pintu menghadap ke kamu, dengan

60
menggunakan simple descender, satu tangan masih memegang tali
selama operasi ini.
3. Teruskan turun hingga beban berpindah ke short cowstail, setelah itu
pindahkan descender lalu pasang pada tali selanjutnya yang berada di
bawah rebelay, usahakan sedekat mungkin dengan rebelays
4. Melepas cowstail, Lepas cowstail dengan berdiri di atas. dinding atau di
loop yang dibuat oleh tali atas. Jangan lupa untuk melepas tali dari
karabiner friksi
5. Teriakkan sinyal “Rope Free” sehingga orang di
atas bisa melanjutkan turun. Jangan pernah
melepaskan pandangan dari descender, ini akan
membantu memposisikan dan membebani
dengan benar sebelum mulai turun

E. Melintasi Sambungan Tali dan Simpul


Prosedur 1
1. Turun sampai descender berhenti pada sambungan tali (lepas karabiner
friksi dari tali), pasang cowstail pendek pada
simpul sambungan tali.
2. Pasang upper ascender (yang terkait pada
cowstail panjang) sejajar dengan wajah
3. Berdiri pada footloop, pasang croll diantara
upper ascender dan descender, beban tubuh
menggantung pada croll
4. Pindahkan descender ke bawah sambungan tali, kunci
5. Turun kan croll dengan berdiri pada footloop kemudian
upper ascender
sedekat mungkin dengan simpul
6. Lepas croll dan turun perlahan ini akan memindahkan
beban dari croll ke descender; pastikan descender
terpasang dengan benar pada karabinernya sebelum
membebaninya.

61
7. Lepas upper ascender dari tali, lanjutkan turun

Prosedur 2
1. Turun sampai descender berhenti pada sambungan tali (lepas karabiner
friksi dari tali),
2. Pasang upper ascender diatas descender sekitar
10 cm. Lepas cowstail panjang kemudian
pasang pada simpul sambungan tali.
3. Berdiri pada footloop, letakkan cowstail pendek
pada tali di atas ascender
4. Duduk, beban berada pada cowstail pendek
5. Descender menjadi kendor; lepas dari tali dan
pasang kembali

F. Melintasi Deviasi
1. Berhenti rappel ketika sejajar deviasi, kunci descender jika perlu.
2. Jika dinding samping bisa dijangkau dengan kaki, dorong tubuh untuk
membuat deviasi menjadi sedikit kendor.
3. Saat melakukan ini, lepas karabiner deviasi dengan tangan yang bebas
dan taruh di atas descender.
4. Buka kunci descender dan mulai turun.
G. Membawa Tackle Bag
Ketika berada di tali,tackle bag caving diletakkan
menggantung di bawah, dikaitkan pada maillon
rapide. Membawa tackle bag di punggung ketika kita
di tali, akan mendorong kita ke belakang serta
membuat kehilangan keseimbangan, juga membuat
kerja yang tidak perlu pada otot abdominal dan
tangan. Untuk menghindari terbelitnya tackle bag
dengan tali utama, gunakan
kaki kanan untuk menahan tali
utama, Gunakan kaki untuk

62
mengarahkan tackle bag dari tali jika tackle bag ada kemungkinan untuk
mengayun. Taruh tackle bag di punggung untuk sementara waktu jika ada
kemungkinan bahaya batuan jatuh atau ketika mendekati aliran air.
H. Menuruni Pits Panjang
Tali basah bisa menambah hingga 50%
berat daripada tali normal. Pada lorong
vertical yang amat panjang, bertambahnya
bobot tali bisa membuatnya sulit untuk
memasang descender. Pemecahannya
adalah dengan memasang hand ascender
dengan posisi terbalik pada maillon rapide.
Ini akan membuat kedua tangan bebas,
yang akan
memberi cukup tali yang diperlukan
untuk memasang decender. Ketika
descender sudah terpasang, lepas
ascender, dan mulailah turun. Di awal,
Kamu mungkin akan menarik tali, pertama
dengan kedua tangan dan kemudian
dengan satu tangan, selanjutnya kamu akan
merasakan teknik rappel yang normal. Bila
memakai descender auto-lock, hilangkan pengunciannya dengan karabiner,
sehingga kamu akan mendapat dua tangan untuk menarik tali. Untuk
rappelling di atas 200 meter tanpa sebuah rebelay, gunakan escender rack.
Dengan menambahkan palang atau barnya ketika turun, akan menambah
gerakan friksinya.

Istirahat selama pemanjatan, akan memberikan tubuh untuk mengambil


posisi yang paling nyaman

63
2.3.4.4 Teknik Ascending
 Buka penutup chest ascender dengan
gerakan memutar pada handlenya,
masukkan tali di dalamnya.
 Gunakan gerakan yang sama pada
ascender atas, letakkan sejajar dengan
mukaPilih sebuah single footloop , taruh
satu kaki pada footloop untuk
membantu mendorong tubuh ke atas.
Untuk mengatur panjang footloop,
berdiri tegak sambil memegang footloop
yang dibuat tegang dengan kaki
menginjak tanah dan didalam footloop.
Harness dada (chest harness) harus dikenvangkan dan Croll diposisikan di
tali. Pada posisi ini, bagian bawah dari upper ascender harus 2 – 3 cm di atas
chest ascender.
A. Teknik memanjat terbagi dalam 2 (dua) fase :
1. Dorong upper ascender setinggi mungkin. Bersamaan, ngkat kaki, tekuk
lutut hingga tumit berada di bawah selangkangan. Taruh satu kaki pada
footloop diatas yang satunya akan membantu mendorong kaki bawah ke
belakang, menambah gerakan pada tali.
2. Jaga tubuh dan kepala tetap lurus saat mendorong kaki ke bawah dan
belakang, dengan kaki yang bebas diletakkan di atas yang lain untuk
membagi kerja diantara keduanya. Pada saat bersamaan gunakan lengan
untuk membantu menjaga tubuh bagian atas untuk dekat dan sejajar
dengan tali. Hindari menarik tubuhmu sendiri dengan lengan; biarkan
kaki untuk melakukannya. Lengan memiliki jumlah otot yang lebih
sedikit daripada kaki, menggunakan lengan akan dengan cepat
melelahkan. Ketika kaki telah sepenuhnya

64
berdiri, taruh beban tubuh dengan cara duduk pada chest ascender. Ini
akan melengkapi satu siklusnya. Dorong lagi upper ascender, melangkah
pada footloop, dan seterusnya

Mengunci tali dengan kedua kaki dan antara footloop dengan satu kaki

B. Naik melewati Rebelay


1. Hentikan upper ascender sekitae2-3 cm di bawah simpul
2. Pasang cowstail pendek pada anchor
3. Berdiri pada footloop, lepas croll dan transfer beban pada cowstail
pendek
4. Pasang croll pada tali atas, tarik tali di bawah croll hingga croll tegang
5. Pindahkan upper ascender dari tali bawah dan letakkan pada tali atas, di
atas croll sejajar dengan wajah
6. Mulai memanjat dengan berdiri pada footloop dan tarik tali di bawah
croll
7. Setelah 1 – 2 langkah naik,
cowstail pendek akan
mengendur, dan lepas
cowstail pendek
8. Periksa anchor rebelay
apakah benar posisinya,
lanjutkan memanjat

C. Melewati Simpul
1. Bawa upper ascender sekitar 2 – 3 cm di bawah simpul, naikkan croll
setinggi mungkin.Pasang cowstail pendek pada simpul.
2. Pindahkan upper ascender dari tali dan tempatkan di atas simpul, cukup
tinggi untuk memberikan tempat pada Croll
3. Dengan berpijak pada footloop dan pindahkan croll ke tali di atas simpul

65
4. Lepas cowstail pendek
5. Lanjutkan naik.

2.3.4.5 Peralatan dan Perlengkapan Penelusuran Gua


A. Kriteria pemilihan perlengkapan dan peralatan :
 Standard keamanan (safety)
1. UIAA (Union International des Associations d’Alpinisme)
2. CE (Conformite aux Exigences)
3. EN (European Norm)
4. CEN ( Comite Europeen de Normalisation)
 Kekuatan dan daya tahan
Alat yang digunakan harus diketahui kekuatan dan beban maksimal yang
direkomendasikan. Alat harus tahan terhadap situasi dan kondisi gua yang
rentanterhadap abrasi / gesekan, air, lumpur, batuan kapur. Peralatan gua
vertkal direkomendasikan yang telah melewati ”individually tested” yang
ditandai dengan beban maksimal ”MAX” dan beban aktif ”USE”

66
 Fungsionalitas
Pemilihan peralatan perlu diperhatikan fungsi alat, hal ini berkaitan dan
penggunaan yang efektif dan efisien. Selain dari fungsi dasar, perlu di
pahami fungsi – fungsi tambahan pada alat. Penggunaan alat akurat, tepat
guna dan sesuai dengan kebutuhan (simplicity). Faktor yang perlu
diperhatikan adalah”berat”, yang hal ini berpengaruh terhadap daya
tahan/stamina dari penelusur gua.
B. Uraian standard peralatan penelusuran gua :
a. Cover All
 Fungsi : Pakaian pelindung
 Bahan : PVC, Nylon fabric.
 Keterangan : Bahan cover all mampu melindungi dari gesekan, basah dan
dingin, disesuaikan dengan tipe gua.
b. Sepatu
 Fungsi : Alas dan melindungi kaki
 Jenis : Sepatu Boot, PDL
 Keterangan : Sepatu mampu melindungi mata kaki, tahan terhadap
gesekan, grip dan sol tahan air dan lumpur.
c. Helm
 Fungsi : Melindungi kepala dari benturan
 Jenis : Speleo helmet
 Keterangan : Bahan terbuat dari fiber carbon, kevlar
atau polycarbonate. Helm didesign mampu meredam
benda yang jatuh menimpa helm.
d. Pencahayaan
Fungsi : Memberikan penerangan
Jenis : Electrical lamp dan carbide model
e. Tali
Fungsi : Alat utama untuk lintasan SRT
Jenis : Static dan Dynamic
Keterangan : Hal yang perlu diperhatikan :
 Ukuran diameter tali / size

67
 Abrasi / gesekan
 Simpul
 Bahan kimia
 Umur tali
f. Peralatan Rigging
Fungsi : Untuk membuat anchor / tambatan
Jenis :
 Natural anchor : Webbing / sling (turbular dan flat)
 Bolting Anchor : Hammer, Driver, Spits, Bolting bag, Hanger,
Pyton.

g. Carabiner
Fungsi : sebagai penghubung atau pengkait
Jenis : carabiner screwgate, non screw, auto lock
h. SRT set
Alat personal SRT Set terdiri dari:
a. Harness
Fungsi : Sebagai penghubung utama badan dan
alat lainnya.
Jenis : Sit harness, Body harness
b. Maillon Rapide 8 mm
Fungsi : sebagai penghubung harness
dan alat ascending dan descending.

68
Jenis : Delta MR dan semi circular, Oval
c. Cowstail Pendek dan Panjang
Fungsi : Sebagai pengaman dan penghubung ascender
Jenis : Dynamic rope dan Webbing (spelegyca)

d. Carabiner
Fungsi : Sebagai penghubung alat
Jenis :
 O carabiner screw gate
 O carabiner non screwgate /C.friksi
 D screwgate
e. Descender
Fungsi : Alat turun
Jenis : Auto stop, Rack, Simple

f. Ascender
Fungsi : Alat naik
Jenis :
 Croll / alat naik di dada
 Jammer / alat naik di tangan
 Basic jammer / alat naik ditangan
g. Chest Harnest
 Fungsi : sebagai penghubung croll dengan
badan
 Jenis : Webbing soft

h. Foot Loop
Fungsi : Sepagai pijakan kaki
Jenis : Static rope dan webbing

69
i. Peralatan transport :
Fungsi : Alat tambahan untuk membawa peralatan dan logistik
Jenis : Tackle bag, waterproof bag, perahu karet

j. Peralatan rescue :
 Pulley (single & tandem)
 Houling set terdiri dari : pulley, basic, 2 bh oval carabiner
screwgate
 Mini traxion / pro traxion
 Survival blanket

2.3.4.6 Riging

Rigging adalah teknik pemasangan lintasan tali untuk


gua-gua vertical dengan syarat-syarat tertentu.
a) Syarat-syarat rigging yang baik :
1. Aman dilewati oleh semua anggota team
2. Tidak merusak peralatan.
3. Dapat dilewati oleh semua anggota team,dengan mudah
4. Jika dibutuhkan untuk menjadi lintasa rescue, dapat langsung
dipergunakan
5. atau dengan sedikit perubahan saja.
b) Persiapan dalam pembuatan lintasan :
1. Memilih panjang tali
Jika terdapat dokumentasi suatu survey system perguaan, dan kita
bermaksud untuk melaksanakan survey di kawasan tersebut, kita bisa
melihat informasi rigging yang tepat. Namun hal ini tidak berlaku apabila

70
kita bermaksud ntuk melaksanakan survey di daerah yang baru atau untuk
melanjutkan eksplorasi. Dalam hal ini kita membutuhkan beberapa
pengetahuan mengenai kawasan karst yang akan kita survey, dan terutama
informasi morfologi kawasan tersebut. Ini akan membantu kita untuk
menentukan jumlah tali yang harus dibawa. Jumlah juga
bergantung pada jumlah tim serta durasi eksplorasi yang direncanakan.
Ukuran tali tergantung pada kemampuan teknik tim serta frekuensi
penggunaannya.
2. Pengecekan awal
Kondisi semua tali harus dicek lagi sebelum atau ketuka dimasukkan ke
dalam tas. Selama pemeriksaan ini, setiap tali harus dilepas ikatannya serta
dicek secara visual dan manual terhadap kemungkinan rusaknya mantel
tali, perbedaan diameter atau kekakuan yang mengindikasikan adanya
kerusakan pada inti tali.
3. Memberi simpul ujung (end knot)
Simpul bisa berupa sebuah simpul delapan, tidak terlalu ketat, ditempatkan
kira-kira 1 meter dari ujung tali. Ynag mana simpul ini bisa disambung
dengan tali yang lain ketika tali pertama sudah habis sebelum dasar pitch
tercapai. Pastikan semua tali yang akan dugunakan sudah tersimpul pada
ujungnya.
4. Packing Tali
Pertama sekali adalah
menempatkan simpul stopper
pada ujung tali. Dan biarkan
simpul tergantung di luar tackle
bag, kemudian masukkan sisa
tali ke dalam. Masukkan tali
sejangkauan tangan dan tidak
membuat gulungan pada taliyang mana tali akan terpeluntir dan
menyebabkan tali sukar diuraikan ketika kelur dari tas.

Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui sebelum memulai pembuatan
sebuah lintasan vertical, yang nantinya akan membuat untuk dapat mencapai

71
syarat-syarat rigging yang baik. Dalam memasang sebuah lintasan kita terlebih
dahulu harus memilih point tambatan. Point atau obyek yang akan dijadikan
tempat tambatan disebut anchor. Berdasarkan jenisnya maka anchor di bagi
menjadi : Natural Anchor (anchor alam) dan Anchor Buatan. Berdasarkan fungsi
anchor atau pembebanannya dibedakan menjadi :

1. Main anchor, atau anchor utama adalah anchor yang secara langsung
mendapatkan beban saat lintasan digunakan.
2. Back-Up Anchor, berfungsi sebagai cadangan jika main anchor terlepas
atau jebol.
3. Intermediate Anchor, berfungsi memindahkan beban agar tali tidak terkena
gesekan dengan dinding atau lantai gua dengan memasang anchor
perantara (intermediate) dibawah tempat tali dapat tergesek.
4. Deviation Anchor, berfungsi menjauhkan tali dati tempat dapat tergesek.
Caranya adalah memasanag anchor baru ditempat yang sejajar atau di atas
tempat gesekan (friksi) agar tali terhindar dari titik friksi.
A. Natural Anchor
Cek setiap kali menggunakan natural anchors dengan menggunakan hammer,
harus tidak terdengar kosong ketika dipukul. Juga ratakan permukaan yang
terlihat tajam. Perhatikan arah lintasan, jangan biarkan sling lepas dengan
sendirinya ketika arah lintasan berubah gunakan simpul jangkar yang semakin
membelit ketika dibebani, meskipun ini akan mengurangi kekuatan sling sebesar
20%.
Natural anchor atau tambatan alami dapat dipasang pada :
1. Pohon
Ketika kita menemukan posisi yang baik,
pohon merupakan anchor yang bagus
untuk turun di entrance. perhatikan jenis
pohon apa yang akan kita pergunakan
sebagai anchor dengan memeriksa umur
pohon, posisi pohon, jenis akar, besar
diameter batang pohon maupun kondisi
dari pohon tersebut. Selama mereka

72
hidup, tua, dan memiliki perakaran yang bagus di tanah, mereka umunya
kuat. Sebuah pohon yang kuat bisa digunakan sebagai anchor dobel.
2. Lubang Tembus (Eyeholes dan
Jughandles)
sebuah lubang yang terdapat pada
dinding, lantai maupun atap gua.
Periksa terlebih dahulu tingkat
kekerasan batuan, keutuhan dan
struktur batuan tersebut.
Frekuensi dan kekuatan eyehole
sebagian besar tergantung pada
sifat alami batuan. Jika mereka cukup kuat, sangatlah praktis untuk
menggunakan mereka. Dibutuhkan sling webbing atau tali.
3. Chock stone dan Batuan

Chock stone atau


natural chock, batu
yang terjepit pada
sebuah celah sehingga
berfungsi sebagai
pengaman sisip. Selalu
periksa kondisi
batuan, jika terdapat di Lumpur atau serpihan
batu, yang tidak bisa menahan tarikan yang
akan diberikan. Chockstone yang tertjepit
diantara dua dinding akan stabil, Pasang dengan
sling.

4. Horn atau tanduk


bentuk cacat batuan yang seperti tanduk, dapat
berada pada dinding dan dapat pula pada lantai.
5. Statalactite dan stalagmite

73
untuk jenis ini biasanya hanya dipakai sebagai anchor deviasi karena tidak
boleh mendapatkan beban lebih besar.
6. Rekahan atau celah
biasanya terbentuk dari pengikisan lapisan
(horisontal) maupun crack (vertikal).
Perhatikan dan perhitungkan bentuk celah,
arah penyempitan celah dan arah tarikan yang
akan diterima. Dalam pembuatan anchor pada
rekahan ini dapat memanfaatkan peralatan
pengaman sisip.

B. Fall Factor (FF)


Untuk menentukan posisi pemasangan antara main anchor dan backup maka kita
harus selalu memperhitungkan fall factor, yaitu beban hentakan/jatuh yang
diterima backup anchor saat main anchor terlepas atau jebol.

FF = Jarak jatuh / Panjang tali

Dari gambar diatas maka kita ketahui bahwa kekuatan anchor harus benar-benar
diperhitungkan, terutama backup anchor. Karena backup dirancang untuk
mendapatkan beban hentakan maka ketahanan untuk backup harus benar-benar
kuat. Usahakan agar perhitungan fall factor masing-masing harus kurang dari 1.

74
 Pemasangan Backup Anchor
A) Slack atau panjang tali yang masih bisa diterima, A)
namun akan terasa hentakan yang tidak nyaman
jika anchor primer jebol.
B) Jika anchor utama gagal, tegangan tali antara P
dan S menerima beban tanpa hentakan,
memastikan kenyamanan dan aman B)

 Rebelay/Intermediate
Meskipun kita sudah benar memasang lintasan
di pitch atas dan tali bebas, namun
ada kemungkinan akan menyentuh
batuan di bawah. Dalam hal ini
perlu untuk menginstal
rebelay/Intermediate.

C. Y - Belay
Disebut Y – Belay karena bentuknya
seperti huruf Y, dibuat dengan tujuan untuk
membagi beban yang diterima di kedua sisi dan menempatkan lintasan di
posisi tertentu. Untuk besar sudut (A) ada kententuan yang bisa
diperhitungkan. Jika sudut yang kita ambil salah (A>120), Maka tujuan untuk
membagi beban tidak tercapai. Bahkan sebaliknya beban yang diterima ditiap
titik tambatan akan lebih besar pada beban sebenarnya. Pengaturan ini akan
membagi beban antara 2 poin anchor.
Y-Belay terutama digunakan dalam :

75
1) Di meander (anchor pada dinding sebelah), dimana ini akan mencegah
abrasi pada tali
2) Jika dinding tidak memiliki overhang. Hanya Y- Belay atau deviasi yang
menyediakan sebuah free hang
3) Rigging ini membagi beban diantara kedua anchor, mencegah beban
hentakan jika salah satu anchor gagal. Simpul yang digunakan ada
beberapa macam, namun yang biasa digunakan adalah double bowline on
a bight dan double figure of eight on a bight.
Semakin besar sudut yang dibentuk antara dua anchor Y – Belay akan
meningkatkan beban pada setiap anchor. Sudut ini tidak bisa lebih dari 120˚
karena simpul menjadi ketat dan tali dari semula elastis, akan bertambah panjang.

2.3.4.7 Pengetahuan Simpu-Simpul Dasar


Salah satu bagian yang harus dimiliki seorang penelusur gua adalah
pengetahuan tentang simpul dan kemampuan membuat simpul dengan mudah dan
cepat. Untuk itu dibutuhkan waktu yang tidak sedikit, dan dalam hal ini
ditekankan untuk memahami dengan baik tentang pengetahuan simpul. Banyak
sumber yang menyarankan untuk mempelajari simpul sebanyak – banyaknya,
yang masing – masing punya kegunaan sendiri.
Pendekatan yang disarankan saat ini menganggap jauh lebih baik
menggunakan simpul. Tetapi perlu diketahui berbagai macam simpul demana
dibutuhkan untuk suatu hal yanmg bersifat darurat maupun kesulitan lain selama
melakukan penelusuran gua. Untuk pendalaman dan pemahaman simpul yang
penting dan sering digunakan dalam penelusuran gua secara detail untuk
memudahkan jika dalam keadaan darurat, pertolongan akan lebih mudah
dilakukan seorang penelusur dalam membuat simpul tanpa harus berpikir dua kali.
Hal ini cenderung berlaku sebagai otomatis, karena penelusur dapat membuat
simpul dengan cepat dan benar.
 Kriteria Simpul Yang Baik.
Simpul yang baik untuk penelusuran gua Vertikal dibagi 5 ( lima ) kriteria, antara
lain sebagai berikut :
1. Mudah dibuat.

76
2. Mudah dilihat kebenaran lilitannya.
3. Aman, dengan ikatan / lilitan tidak bergerak dan bergeser ataupun
tertumpuk pada saat dibebani.
4. Mudah dilepas / diurai setelah dibebani.
5. Mengurangi kekuatan tali seminimal mungkin.

 Jenis-jenis simpul dan ikatan :


1. Simpul Hidup ( Overhand Knot/Slip Knot)

2. Simpul Mati ( Square Knot )


3. Simpul Nelayan ( Fishermans,
Double Fishermans)

77
4. Simpul Anyam ( Sheet Bend, Double Sheet Bend)

5. Si
m pul

Kambing ( Bowline, Double Bowline, Bowline On A Bight, Spanish


Bowline)

6. Simpul Pita ( Water Knot )

78
7. Simpul Delapan ( Figure Of Eight)

8. Simpul Kupu-kupu ( Butterfly Knot )


9. Ikatan Jangkar ( Cow

Hitch )
10. Ikatan Pangkal (Clove Hitch)

2.4 Cave Rescue


Pada page ini hanya membahas mengenai vertical rescue karena secara
keseluruhan cave rescue sangat kompleks. Kecelakaan akibat jatuh pada gua

79
vertikal, tertimpa reruntuhan batu, sungai bawah tanah, danau bawah tanah, gas
beracun, tersesat, masing-masing membutuhkan kompleksitas anggota tim
rescue.
Misal, bukan tidak mungkin sebuah opersai SAR di gua membutuhkan
masukan-masukan seorang ahli olahraga arus deras. Apabila kecelakaan terjadi
di gua yang memiliki aliran air sungai bawah tanah. Ada beberapa teknik yang
perlu dipelajari untuk menjadi seorang rescuer di gua. Terutama mengenai
vertical rescue yang dapat diaplikasikan tidak hanya dalam gua, juga tebing,
lembah curam, sumur dan jurang. Namun seorang yang ingin mendalami vertical
rescue harus mau berlatih mulai dari dasar sekali dengan metode Man To Man
Rescue.
Teknik – teknik lainya yang perlu dipelajari serta dikuasasi, antara lain :
1. Basic Rescue
2. Italian Pulley System
3. Z-Rig
4. Counter Balance
5. Hauling
6. Hauling menggunakan berbagai alat
7. Hauling dengan melewatkan sambungan tali
8. Hauling dari berbagai posisi rescuer dan posisi victim
9. Lowering menggunakan berbagai alat.
10. Lowering dari berbagai posisi rescuer dan posisi victim
11. Tyrolean
12. Counter Balance Tyrolean
13. Pulley Mobile dengan kemampuan 2 arah
14. Pulley Mobile dengan kemampuan 1 arah

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam berlatih cave


rescue/verticalrescue

1. Berlatih rescue harus dilakukan setelah menguasai SRT, rigging, simpul


dan tambatan.
2. Latihan ini harus dilakukan menggunakan peralatan yang mutu dan
kekuatannya memenuhi standar.

80
3. Latihan harus dibawah pengawasan oleh ahli.
4. Berlatihlah pada ketinggian yang tidak terlalu tinggi.
5. Cegahlah latihan yang dapat merusak alat, membebani alat melebihi beban
normal, menggunakan alat tidak sesuai dengan manual book-nya.
6. Latihan yang dilakukan dengan menggunakan alat-alat alternatif, harus
masih dalam tingkat aman.
7. Pernah melakukan latihan teknik tertentu bukanlah jaminan bahwa kita
sudah menguasai teknik tersebut.
8. Berlatihlah satu teknik sampai lancar tanpa hambatan dan kesalahan
sebelum berlatih teknik yang lain.
9. Berlatihlah dengan selalu ditemani oleh orang lain yang juga mengetahui
teknik vertical rescue.
10. Berniatlah berlatih untuk menolong orang lain dan diri sendiri.

Man To Man Rescue dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik dimana satu


orang rescuer memberikan pertolongan tehadap korban secara langsung. Bisa
dengan menggunakan satu lintasan, bisa juga menggunakan lintasan yang lain.
Banyak teknik yang harus dipelajarai untuk man to man ini. Sekalipun berat dan
sulit namun sebenarnya teknik ini mendasari teknik-teknik berikutnya :

1. Menuruni tali, sedangkan korban sedang tergantung di tali tersebut.


Pemasangan decender (bobin/simple stop dan auto stop) berbeda dari yang
biasanya.
2. Menurunkan korban dengan teknik victim menggantung pada rescuer.
3. Menurunkan korban dengan teknik rescuer menggantung pada victim.
4. Menaikan victim dengan teknik Direct Lifting.
5. Menaikan victim dengan teknik Italian Pulley System.
6. Menaikan victim dengan teknik Z-rig.
7. Menaikan victim dengan teknik Counter Balance.
8. Menaikan victim dengan dengan teknik Yosemite Lift.
9. Menaikan victim dengan teknik Hauling System.

Pada dasarnya seseorang yang mulai memasuki gua gua vertical tanpa
mengetahui teknik rescue bisa dikatakan orang itu adalah caver yang tidak

81
bertanggung jawab. Bekali juga diri anda dengan pengetahuan medical practice
karena juga akan sangat berguna. Terutama bagaimana mengenali kondisi korban
dan cara pemberian pertolongan pertama. Sebelum melakukan tindakan,
buatlahlah keputusan tentang teknik apa yang akan anda gunakan.

dibawah ini ada beberapa kemungkinan tindakan atau teknik bisa anda lakukan
antara lain :

A. Mendekati korban
 langkah inilah yang pertama harus dilakukan. Untuk kondisi korban yang
tergantung di tali kita harus melakukan Rappelling untuk mendekati korban.
Ini akan mudah apabila ada tali cadangan yang tersedia. Tetapi kalau tidak
anda terpaksa harus menggunakan tali yang digunakan korban. Dengan
kondisi tali yang tegang tentunya akan susah untuk meniti tali. Teknik yang
lebih mudah adalah turun dengan memanfaatkan peralatan untuk naik
dengan cara menggeser kebawah secara bergantian Jammer dan Croll.
Kelemahan teknik ini adalah lambat dalam meniti tali kebawah.
 Teknik lain yang bisa lebih cepat yaitu Rappelling tali tegang dengan
menggunakan simple atau autostop dengan cara tertentu. Yaitu tali
dimasukkan kedalam Descender tidak melewati dua bulatan kumparan
Descender (seperti pemasangan normal) melainkan dimasukkan diantara
sela dua bulatan. Teknik yang menggunakan simple dimana lubang cantolan
carabiner pada simple dipasang dua carabiner tidak bisa dilakukan untuk
simple yang buatan sekarang karena lubangnya kecil hanya bisa masuk satu
carabiner (Untuk Simple jenis ini ikuti teknik menggunakan Auto Stop).
Lihat gambar dibawah ini :

82
B. Melepaskan korban dari tali dan membawa turun, Ada beberapa macam
teknik mengenai hal ini. Yaitu :
 Metode Foot Loop Dan Croll :
1. Bergeraklah ke posisi korban
2. Cantolkan Cowstail Pendek ke bagian bawah Maillon Rapide (MR)
korban sebagai pengaman.
3. Lepaskan Ascender penolong dari tali .
4. Lepaskan Footloop dan Carabinernya dari Jammer lalu masukkan
bagian tengah Footloop ke Carabiner Jammer korban, lalu Carabiner
Footloop dicantolkan pada lubang atas Croll dan bagian sisi Footloop
dekat Loop dimasukkan kedalam Croll penolong. Sisakan jarak antara
Carabiner Footloop dengan Carabiner Jammer korban sepanjang 10 cm.
5. Injak Footloop korban, berdiri sambil menarik Footloop untuk
menaikkan posisi Croll lebih keatas hingga pada posisi yang diinginkan
6. Dorong pantat korban keatas. Dorongan tangan akan membantu
Footloop menarik korban keatas
hingga Croll korban mulai tidak
terbebani. Pasang
Descender, kencangkan talinya,
lalu kunci.

83
7. Lepaskan Croll korban dan buka kunci descender. Kemudian
kencangkan descender lalu kunci kembali . Injak footloop korban,
berdiri sambil melepaskan Croll penolong, Footloop dari Carabiner
Jammer korban dan Croll korban.
8. Setelah itu pasang dua
carabiner dikaitkan ke maillon
rapide penolong dan
maillon rapide korban yang
fungsinya sebagai tempat
menggantung penolong
dari korban.
9. Lepaskan Jammer,
lepaskan kunci Descender
lalu bawa korban turun.

C. Metode Counterweight dengan cowstail panjang, caranya yaitu :


1. Mendekatlah keposisi korban.
2. Cantolkan Carabiner ke bagian bawah Maillon Rapide korban
3. Lepaskan Jammer penolong dari tali, lalu lepaskan Cowstail Panjang dari
Jammer.
4. Pasang Carabiner Cowstail
Panjang pada lubang bagian atas
Croll. Berdiri
dengan menggunakan Footloop
korban lalu kaitkan bagian tengah
Cowstail panjang ke Carabiner
Jammer korban. Sisakan jarak 10
cm antara carabiner cowstail
dengan carabiner jammer.

84
5. Lepaskan Croll penolong. Selanjutnya beban penolong bepindah ke
cowstail panjang.
6. Dorong pantat korban keatas, dorongan tangan akan membantu tarikan
Cowstail Panjang menarik korban keatas, hingga Croll korban kendur atau
tidak terbebani.
7. Pasang Descender lalu kunci. Lepaskan Croll korban. Buka kunci
Descender kencangkan talinya lalu kunci kembali.
8. Berdiri dengan menginjak Foot Loop korban, lepaskan Carabiner Cowstail
panjang dari lubang bagian atas Croll korban, lepaskan bagian tangah
Cowstail panjang dari Carabiner Jammer Korban.
9. Pasang dua buah Carabiner lalu kaitkan ke Maillon Rapide penolong
kemudian kaitkan lagi ke Maillon Rapide korban (berfungsi tempat
menggantung penolong dari korban).
10. Lepaskan Jammer, lalu bawa turun korban.
D. Memotong tali, caranya yaitu :
1. Mendekatlah keposisi korban
lalu cantolkan Cowstail pendek
penolong ke Maillon Rapide
korban.
2. Lepaskan Cowstail panjang
korban dari Jammer. Biarkan
Footloop korban tetap pada tempatnya.
3. Jika penolong bergerak dari bawah sebaiknya membawa ujung tali keatas
pada saat naik dan ujung tali tersebut yang di cantolkan ke jammer setelah
dibuat simpul delapan. Tetapi jika penolong bergerak dari atas kebawah
pada saat mendekati korban buatlah loop sekitar dua meter lalu buat
simpul delapan dan cantolkan ke carabiner jammer.
4. Perhatikan jarak antara Jammer dan Croll korban, yaitu minimal 30 cm.
5. Pasanglah Descender pada tali yang baru terpasang tadi lalu dikunci.

85
6. Doronglah Descender korban keatas apabila akan mengencangkan tali
antara Jammer dan Descender.
7. Pasang kembali Jammer penolong
untuk mendapatkan posisi yang
sejajar dengan korban. hal ini
dilakukan untuk memudahkan kita
memotong tali.
8. Ambil pisau dan potonglah tali
tepat diatas Croll korban.
9. Injak Foot Loop korban untuk
melepaskan Jammer penolong.
10. Pasang dua Carabiner lalu kaitkan
ke Maillon Rapide penolong dan
Maillon Rapide korban yang
fungsinya sebagai tempat menggantung penolong dari korban.
11. Beban akan berpindah ke descender korban. Selanjutnya penolong
melepaskan kunci descender lalu membawa korban kebawah.
E. Membawa turun korban melewati Intermediete :
1. Turunlah dengan membawa
korban dan berhenti ketika
Descender sejajar dengan
Anchor, lalu kuncilah
Descender.
2. Pasang satu lagi Descender
kemaillon rapide korban
bersebelahan dengan
descender yang pertama. Ambil tali yang dibawah anchor pasang ke
descender yang kedua lalu kunci.
3. Lepaskan kunci descender yang pertama, ulurkan talinya hingga beban
berpindah ke descender yang kedua. Lepaskan tali dari descender yang
pertama dan turunlah dengan descender kedua.
F. Melewati sambungan tali, caranya :

86
1. Berhenti dua meter diatas simpul dan kunci Descender. Buat Simpul
Delapan dekat simpul sambungan tali lalu loopnya masukkan ke Carabiner
Jammer.
2. Pasang Jammer yang telah disambungkan dengan Loop simpul tadi ke tali
diatas Descender.
3. Ambil Descender yang kedua lalu pasang ke Maillon Rapide korban
bersebelahan dengan Descender yang pertama. Pasang Descender kedua
ketali dibawah simpul yang
tercantol pada Jammer dan kunci.
4. Dorong Jammer keatas untuk
mengencangkan tali antara
Descender dengan Jammer.
5. Lepaskan kunci Descender yang
pertama, kendurkan talinya sampai beban berpindah ke descender yang
kedua.
6. buka kunci descender pertama dan lepaskan dari tali. Buka kunci
descender kedua dan rappelling dengan membawa korban kebawah.

87

Anda mungkin juga menyukai