Anda di halaman 1dari 17

SGD LBM 3 MODUL KB

Judul :“Mati lagi? Apa Kata Dunia?”


Skenario
Mortalitas adalah salah satu dari tiga komponen proses demografi yang berpengaruh terhadap
struktur penduduk. Pada tahun 2017 setiap hari sekitar 810 ibu di dunia meninggal dunia
akibat persalinan. 94 persen dari semua kematian ibu terjadi di negara berpenghasilan rendah
dan menengah ke bawah. Target angka kematian ibu pada RPJMN tenokrat 2020-2024
adalah 183. Target yang ditetapkan pada RPJMN masih jauh dari Target SDGs. Kementerian
Kesehatan menggunakan model rata-rata penurunan 5,5% pertahun sebagai target kinerja
dengan perkiraan pada tahun 2024 AKI di Indonesia turun menjadi 183/100.000 kelahiran
hidup dan di tahun 2030 turun menjadi 131per 100.000 kelahiran hidup.

1. Pengertian mortilitas
Mortalitas atau kematian penduduk adalah salah satu dari variabel demografi yang
penting. Tinggi rendahnya tingkat mortalitas penduduk di suatu daerah tidak hanya
mempengaruhi jumlah penduduk,tetapi juga mencerminkan kualitas SDM yang ada
ditempat tersebut, yang sekaligus juga mencerminkan bagaimana kondisi ekonomi di
wilayah tersebut. Definisi mati adalah peristiwa menghilangnya semua tanda-tanda
kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah terjadi kelahiran
hidup. Jadi mati hanya dapat terjadi setelah terjadi kelahiran hidup.

Kematian ibu adalah jumlah kematian ibu selama periode waktu tertentu per 100.000
kelahiran hidup. Kematian ibu adalah kematian seorang wanita saat hamil atau dalam
42 hari pengakhiran kehamilan, terlepas dari durasi dan tempat kehamilan, dari setiap
penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau
penanganannya tetapi bukan dari penyebab kecelakaan atau insidental (WHO, 2010).

2. Sumber data mortalitas


1). Registrasi, apabila sistem registrasi ini bekerja dengan baik, maka registrasi
merupakan sumber data kematian yang ideal. Dalam registrasi kejadian kematian
dilaporkan dan dicatat segera setelah peristiwa kematian tersebut terjadi. Namun di
Indonesia data hasil registrasi penduduk masih jauh dari memuaskan (banyak
peristiwa kematian yang belum tercatat dan kualitas datanya rendah) atau
underestimate. Banyak data atau peristiwa yang menyangkut peristiwa vital penduduk
seperti kelahiran, kematian, maupun migrasi penduduk tidak dilaporkan oleh
penduduk ke tingkat yang paling bawah misalnya lurah atau desa, sehingga jumlah
yang dilaporkan akan menjadi jauh lebih sedikit daripada yang sebenarnya terjadi.
Jika itu digunakan untuk menghitung peristiwa-peristiwa demografi tertentu, maka
nilainya akan rendah yang tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Dengan
demikian pengambilan kebijakan atau pembuatan keputusan untuk program-program
tertentu jika menggunakan data yang berasal dari registrasi penduduk akan
menghasilkan informasi yang kurang valid.
2) Sensus/survai Selain data kematian atau mortalitas yang berasal dari data registrasi
penduduk, juga terdapat sumber data lainnya yang dapat digunakan sebagai sumber
untuk menghitung atau mengetahui kondisi mortalitas penduduk. Dalam data Sensus
Penduduk meskipun dilakukan melalui sensus, namun data tentang mortalitas
dikumpulkan juga melalui survai atau sensus sampel yang hasilnya diberlakukan
terhadap seluruh populasinya. Tingkat mortalitas yang dihitung berdasarkan data
sensus penduduk adalah dengan menggunakan indirect method atau metode tidak
langsung dengan menggunakan data rata-rata anak masih hidup dan rata-rata anak
yang dilahirkan hidup.
3) Rumah sakit
4) Dinas pemakaman
5) Kantor polisi lalu lintas, dan sebagainya.
Data kematian yang diperoleh dari hasil registrasi penduduk, dapat digunakan secara
langsung untuk menghitung ukuran-ukuran kematian, seperti yang diminta oleh
metode untuk menghitung pengukuran mortalitas. Berbeda halnya dengan data yang
bersumber dari hasil registrasi, data yang berasal dari hasil sensus penduduk dan
survai dapat digunakan untuk menghitung ukuran-ukuran kematian dengan cara yang
tidak langsung (indirect method).

3. Faktor Pengaruh dalam Mortalitas


Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian dibagi menjadi dua yaitu:
1. Faktor langsung (faktor dari dalam), faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh
beberapa
variabel yaitu:
a. Umur,
b. Jenis kelamin,
c. Penyakit,
d. Kecelakaan, kekerasan, bunuh diri.
2. Faktor tidak langsung (faktor dari luar), faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh
beberapa
variabel yaitu:
a. Tekanan, baik psikis maupun fisik,
b. Kedudukan dalam perkawinan,
c. Kedudukan sosial-ekonomi,
d. Tingkat pendidikan,
e. Pekerjaan,
f. Beban anak yang dilahirkan,
g. Tempat tinggal dan lingkungan,
h. Tingkat pencemaran lingkungan,
i. Fasilitas kesehatan dan kemampuan mencegah penyakit,
j. Politik dan bencana alam.
4. Pengukuran mortalitas
a. Tingkat Kematian Kasar (Crude Death Rate)
adalah banyaknya kematian pada tahun tertentu, tiap 1000 penduduk pada
pertengahan tahun.
CDR = D/P x 100
Dimana :
D = jumlah kematian pada tahun X
Pm = jumlah penduduk pada pertengahan tahun x
k = konstanta 1000
Tingkat kematian ini dapat digolongkan dalam kriteria sebagai berikut:
Tingkat kematian Golongan
> 18 Tinggi
14-18 Sedang
9-13 Rendah
b. Tingkat Kematian Menurut Umur ( Age Specific Death Rate )
adalah jumlah kematian penduduk pada tahun tertentu berdasarkan klasifikasi umur
tertentu.
ASDR = Di/Pmi x k
Dimana :
Di = Jumlah kematian pada kelompok umur (i)
Pmi = Jumlah penduduk pada pertengahan tahun pada kelompok umur (i)
k = Angka konstan (1000)
c. Tingkat Kematian Bayi { Infant Death Rate (IDR) /Infat Mortality Rate (IMR)
Bayi (infant) merupakan orang yang berumur 0 (nol) tahun atau dalam kata lain anak-
anak yang masih belum sampai pada hari ulang tahunnya yang pertama. Angka
kematian bayi merupakan variable sosial ekonomis dan demografis yang sangat
penting karena data tersebut dapat menunjukan banyaknya fasilitas medis dan taraf
kehidupan penduduk.
IMR = D0/B x 1000
Dimana :
Do = Jumlah kematian bayi pada tahun tertentu
B = Jumlah lahir hidup pada tahun tertentu
k = bilangan konstan (1000)
Kriteria penggolongan tingkat kematian bayi:
Tingkat kematian bayi Golongan
> 125 Sangat Tinggi
75-125 Tinggi
35-75 Sedang
<35 Rendah
d. Tingkat Kematian Anak
Tingkat kematian anak didefinisikan sebagai jumlah kematian anak berumur 1 sampai
4 tahun selama 1 tahun tertentu per 1000 anak umur yang sama pada pertengahan
tahun. Dengan demikian, angka kematian anak tidak menyertakan angka kematian
bayi. Angka kematian anak lebih merefleksikan kondisi kesehatan lingkungan yang
langsung mempengaruhi tingkat kesehatan anak.
e. Angka Kematian Ibu
Adalah jumlah kematian ibu karena kehamilan, persalinan, dan nifas dalam satu tahun
dibagi dengan jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama dengan persen atau
permil.
AKI = Pf/P x 100
AKI = Jumlah kematian ibu karena kehamilan, kelahiran dan nifas X100
P = Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama
5. Penyebab kematian ibu bersalin
Menurut Saifudin (2002) kematian ibu dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
(1). Kematian obstetri langsung (direct obstetric death) yaitu kematian ibu yang
disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang timbul akibat
tindakan atau kelalaian dalam penanganan. Komplikasi yang dimaksud antara lain
perdarahan antepartum dan postpartum, preeklamsia/eklamsia, infeksi, persalinan
macet, dan kematian pada kehamilan muda.
(2). Kematian obstetri tidak langsung (indirect obstetric death) adalah kematian ibu
yang disebabkan oleh suatu penyakit yang sudah diderita sebelum kehamilan atau
persalinan yang berkembang dan bertambah berat yang tidak berkaitan dengan
penyebab obstetri langsung. Kematian obstetri tidak langsung ini misalnya disebabkan
oleh penyakit jantung, hipertensi, hepatitis, malaria, anemia, tuberkulosis, HIV/AIDS,
diabetes dan lain-lain

6. Mengapa angka kematian ibu masih tinggi


Walaupun berbagai upaya telah dilaksanakan, angka kematian ibu di berbagai
Negara berkembang masih tetap atau penurunannya sangat lambat. Safe Motherhood
Technical Consultation yang diadakan di Colombo, 1997 mengidentifikasi beberapa
isu kunci sebagai berikut:
a. Kurang jelasnya prioritas serta intervensi program Safe Motherhood sehingga
kurang terarah dan kurang efektif.
b. Kurangnya informasi tentang intervensi yang mempunyai dampak bermakna dan
segera dalam menurunkan kematian ibu.
c. Strategi Safe Motherhood kadang-kadang terlalu luas, mulai dari meningkatkan
status perempuan, memperbaiki undang-undang, memperluas pelayanan kesehatan
maternal, dan memperluas pelayanan emergensi.
d. Beberapa program yang khusus dalam pelayanan kesehatan maternal ternyata
dikemudian hari tidak atau kurang efektif, seperti penapisan risiko pada asuhan
antenatal dan pelatihan dukun.
e. Tidak dilakukannya intervensi yang sebenarnya efektif seperti penanganan
komplikasi aborsi karena masih dianggap sebagai isu yang sensitif.
f. Tidak tersedianya panduan teknis atau program, kurikulum pelatihan dan sumber
lain secara luas.
g. Kurangnya komitmen politik dari penentu kebijakan
h. Kurangnya koordinasi dan komitmen diantara pemerintah dan lembaga donor.
(Saifudin, 2005).

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu hamil diklasifikasi sebagai


berikut:
 Faktor Medis
Faktor medis yang dipengaruhi oleh status reproduksi dan status kesehatan
ibu antara lain: umur, paritas, jarak kehamilan dan penyakit ibu, anemia dan kurang
gizi.
- Umur ibu
Umur ibu saat kehamilan terakhir dihitung dalam tahun berdasarkan tanggal
lahir atau ulang tahun terakhir yang ada hubungannya dengan faktor risiko dalam
kehamilan. Indeks kehamilan risiko tinggi adalah usia ibu pada waktu hamil terlalu
muda yaitu kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun (Fortney dalam Manuaba
2001).
Total fertility rate (TFR) adalah jumlah total anak yang mungkin akan dimiliki
oleh seorang wanita sampai akhir periode reproduksinya selama usia suburnya 15-49
tahun, atau disebut juga dengan rata-rata jumlah kelahiran per wanita. (Merrill RM,
2014).
- Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang memperoleh janin yang dilahirkan.
Paritas yang tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan dan persalinan
diantaranya dapat menyebabkan terganggunya transport O2 dari ibu ke janin sehingga
terjadi asfiksia yang dapat dinilai dari APGAR Score menit pertama setelah lahir.
(Manuba, 2010).
Menurut Saifudin (2002) paritas/jumlah kehamilan 2 sampai 3 adalah paritas
yang paling aman dilihat dari sudut kematian ibu. Paritas kurang dari satu dan usia
ibu terlalu muda di kategorikan berisiko tinggi karena ibu belum siap secara mental
maupun secara medis sedangkan paritas diatas empat dan usia ibu terlalu tua secara
fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan.
20
- Jarak kehamilan
Jarak kehamilan yang terlalu dekat atau kurang dari dua tahun berisiko
terhadap kematian maternal dan tergolong dalam kelompok risiko tinggi untuk
mengalami perdarahan post partum. Jarak kehamilan yang disarankan pada umumnya
adalah dua tahun agar memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan ekstra
pada masa kehamilan dan laktasi. (Djaja dkk, (2001).
 Faktor Non Medis
Faktor non medis berkaitan dengan perilaku kesehatan ibu, status ibu dalam
keluarga, status sosial ekonomi dan budaya yang menghambat upaya penurunan
kesakitan dan kematian ibu adalah sebagai berikut: Kurangnya kesadaran ibu untuk
mendapatkan pelayanan ANC/ante natal care, terbatasnya pengetahuan ibu tentang
bahaya kehamilan resiko tinggi, ketidak berdayaan sebagian besar ibu hamil di daerah
terpencil maupun di perkotaan dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk.
o Perilaku Kesehatan Ibu
Perilaku kesehatan ibu (health behavior) adalah respon seseorang terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor
yang
mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan pelayanan
kesehatan. (Skiner dalam Notoatmodjo, 2014).
o Status ibu dalam keluarga.

Status ibu dalam keluarga berkaitan dengan status pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan begitu juga berkaitan dengan ketidakmampuan ibu mengambil keputusan
dalam keluarga. Pengambilan keputusan dalam keluarga sangat mempengaruhi
keterlambatan dalam merujuk ibu ke fasilitas kesehatan yang lebih baik. Masih sering
ditemukan kasus yang terlambat dirujuk karena masalah ketersediaan transportasi dan
biaya juga masih merupakan kendala dalam upaya penyelamatan dan rujukan ke
Rumah Sakit sehingga pemanfaatan pusat rujukan primer masih rendah
(underutilized). Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosiobudaya, ketidaktahuan, dan
ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. (Manuaba
dkk, 2005).
o Status kesehatan ibu .
Status kesehatan ibu hamil merupakan suatu proses yang membutuhkan
perawatan khusus agar dapat berlangsung dengan baik. Resiko kehamilan ini bersifat
dinamis karena ibu hamil yang pada mulanya normal, secara tiba-tiba dapat berisiko
tinggi. Jika status kesehatan ibu hamil buruk, misalnya menderita anemia maka bayi
yang dilahirkan berisiko lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Bayi dengan
BBLR
ini memilki risiko kesakitan seperti infeksi saluran nafas bagian bawah dan kematian
yang lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dengan berat badan normal. Bagi ibu
sendiri anemia ini meningkatkan risiko pendarahan pada saat persalinan dan pasca
persalinan, gangguan kesehatan bahkan resiko kematian (Kusmiyati, 2009).
Menurut Lubis (2003) ibu hamil yang menderita Kekurangan Energi
Kronik (KEK) dan anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih besar terutama
pada trimester ke tiga kehamilan di bandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya
mereka mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR,
kematian saat persalinan, perdarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan
mudah mengalami gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR
umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat
berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat
menganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga ibu hamil dengan KEK akan
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi
saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, serta masalah perilaku. Seorang
ibu hamil juga memerlukan tambahan zat gizi besi rata-rata 20 mg per hari, sedangkan
kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal rata-rata 26 mg per hari (Najoan
dkk., 2011).
 Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan
Menurut Dubois dan Miley (2005), sistem pelayanan kesehatan merupakan
jaringan pelayanan interdisipliner, komprehensif dan kompleks, terdiri dari aktivitas
diagnosis, treatmen, rehabilitasi, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan untuk
masyarakat pada seluruh kelompok umur dan dalam berbagai keadaan. Pelayanan
kesehatan adalah sebuah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-
sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan baik secara
perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Sistem Pelayanan Kesehatan antara lain :


1. Pergeseran masyarakat dan konsumen.
Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen
terhadap peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya pengobatan. Sebagai
masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang masalah kesehatan yang meningkat,
maka mereka mempunyai kesadaran yang lebih besar yang berdampak pada gaya
hidup terhadap kesehatan. Hal ini mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan juga meningkat.
2. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan
memadai walau di sisi yang lain juga berdampak pada beberapa hal seperti
meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, melambungnya biaya kesehatan dan
dibutuhkannya tenaga profesional akibat pengetahuan dan peralatan yang lebih
modern.
3. Issu legal dan etik.
Sebagai masyarakat yang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pengobatan, issu etik dan hukum semakin meningkat ketika mereka
menerima pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang kurang
memadai dan kurang manusiawi sehingga persoalan hukum kerap akan
membayanginya.
4. Ekonomi
Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya dapat
dirasakan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh
fasilitas pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, namun bagi klien dengan status
ekonomi rendah tidak akan mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna
karena tidak dapat menjangkau biaya pelayanan kesehatan.
5. Politik
Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan berpengaruh
pada kebijakan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang diberikan dan
siapa yang menanggung biaya pelayanan kesehatan karena sistem terbentuk dari
subsistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sistem terdiri dari:
input, proses, output, dampak, umpan balik dan lingkungan.
a) Input
merupakan subsistem yang akan memberikan segala masukan untuk berfungsinya
sebuah sistem.
Input sistem pelayanan kesehatan: potensi masyarakat, tenaga dan sarana kesehatan,
dan sebagainya.
b) Proses kegiatan yang mengubah sebuah masukan menjadi sebuah
hasil yang diharapkan dari sistem tersebut. Proses dalam pelayanan kesehatan:
berbagai kegiatan dalam pelayanan kesehatan.
c) Output
merupakan hasil yang diperoleh dari sebuah proses output pelayanan kesehatan yang
berkualitas serta terjangkau sehingga masyarakat sembuh dan sehat.
d) Dampak
merupakan akibat dari output/hasil suatu sistem, terjadi dalam waktu yang relatif
lama. Dampak system Pelayanan kesehatan adalah masyarakat sehat, angka kesakitan
& kematian menurun.
e) Umpan balik/feedback merupakan suatu hasil yang sekaligus menjadi masukan.
Terjadi dari sebuah sistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi
sebagai
umpan balik dalam pelayanan kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan. f) Lingkungan
merupakan semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi pelayanan
kesehatan (Murniati, 2012).
 Jangkauan pelayanan kesehatan
Adalah keterjangkauan lokasi pelayanan kesehatan dimana tempat pelayanan yang
tidak strategis sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil
terhadap pelayanan kesehatan. Akses terhadap tempat pelayanan kesehatan dapat
dilihat dari beberapa faktor seperti lokasi dimana ibu dapat memperoleh pemeriksaan
ANC, pelayanan kontrasepsi, pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan
rujukan yang tersedia di masyarakat. Pemeriksaan ANC dilakukan minimal 4 kali
selama kehamilan dengan ketentuan 1 kali pada trimester pertama (usia kehamilan
belum 14 minggu) 1 kali selama trimester kedua (usia kehamilan antara 14 sampai 28
minggu) dan 2 kali selama trimester ketiga (usia kehamilan antara 28 sampai dengan
36 minggu). Pemeriksaan ANC dilakukan dengan standar “ 7 T ” yaitu meliputi:
timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri, pemberian
imunisasi Tetanus Toxoid, pemberian tablet zat besi, tes terhadap penyakit menular
sexual dan temu wicara dalam rangka persiapan rujukan. (Depkes RI, 2004).
Tujuan dari antenatal care adalah menjaring ibu hamil secara teratur selama
masa kehamilan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko
komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Sebuah studi oleh Abraham & Joseph
(1985) menemukan bahwa sekitar 87% kehamilan berisiko tinggi di identifikasi
26
menerima antenatal care dengan baik namun sekitar 15% dari kasus berisiko tinggi
tidak menerima antenatal care dengan baik selama pemeriksaan rutin kehamilan.
Menurut Rooney (2001) bahwa tujuan utama dari antenatal care adalah untuk
memperhatikan serta memperoleh hasil yang aman dan sehat bagi ibu dan anak pada
akhir kehamilan, namun peningkatan kesehatan ibu selama masa kehamilan dan
persalinan masih dipertanyakan. Sebuah tinjauan komprehensif studi juga
menunjukkan bahwa prosedur rutin pelayanan antenatal care memiliki pengaruh yang
kurang maksimal terhadap kesakitan dan kematian ibu.
Jumlah kunjungan antenatal care mungkin tidak mencerminkan gambaran
yang benar, seperti skrining faktor resiko tertentu yang memerlukan kunjungan rutin
selama periode waktu tertentu (trimester kehamilan). Sebuah studi yang dilakukan
oleh Bulatao & Ross pada tahun 2002 di 49 negara-negara berkembang menunjukkan
bahwa dalam implementasi antenatal care program yang paling mendapat perhatian
adalah imunisasi tetanus, hipertensi, pemberian makanan tambahan di banding dengan
konseling atau promosi kesehatan untuk memperkenalkan kepada ibu hamil tentang
tanda-tanda bahaya yang biasa terjadi selama kehamilan. (Faudjan et al 2006).
 Sitem Rujukan
Ada dua pengertian Sistem Rujukan yaitu pengertian konseptual yang bersifat
universal dan diterima semua negara di dunia dan pengertian (Teknik) Operasional
harus disesuaikan dengan keadaan di negara masing-masing.
1. Pengertian Konseptual Rujukan.
Sistem Rujukan adalah suatu sistem pelayanan kesehatan di mana terjadi pelimpahan
tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang timbul, baik
secara horizontal maupun vertikal, baik untuk kegiatan pengiriman penderita,
pendidikan, maupun penelitian.
2. Pengertian (Teknik) Operasional.
Sistem Rujukan merupakan suatu tatanan, dimana berbagai komponen dalam jaringan
pelayanan kesehatan reproduksi dapat berinteraksi dua arah timbal balik, antara
parteira/bidan di desa, parteira/bidan dan dokter centro saude/Puskesmas di pelayanan
kesehatan dasar, dengan para dokter spesialis di hospital/rumah sakit
municipio/kabupaten, untuk mencapai rasionalisasi penggunaan sumber daya
kesehatan, dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi baru lahir, melalui penanganan
ibu
risiko tinggi dan gawat darurat obstetri, secara profesional, efisien, efektif, rasional
dan relevan. Dalam Sistem Rujukan, sarana dan prasarana alat yang berteknologi
cangih, dipusatkan pada suatu tempat, yaitu Hospital (RS) Kabupaten atau Hospital
(RS) Nasional.
Sistem rujukan adalah suatu sistem pelayanan kesehatan di mana terjadi
pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang
timbul, baik secara horizontal maupun vertikal, baik untuk kegiatan pengiriman
penderita, pendidikan, maupun penelitian. (Poedji Rochjati, 2005).
Kematian ibu di negara berkembang pada umumnya berkaitan dengan
setidaknya satu dari tiga keterlambatan (The Three Delay Models).
Keterlambatan pertama adalah keterlambatan dalam pengambilan keputusan untuk
mencari perawatan pada tenaga kesehatan professional apabila terjadi komplikasi
obstetrik. Ibu yang mengalami komplikasi dalam waktu tidak lebih
dari 30 menit harus segera dirujuk untuk mendapatkan penanganan, akan tetapi ini
seringkali terjadi keterlambatan karena berbagai alasan misalnya harus menunggu
suami atau mertua yang sedang tidak berada di tempat untuk mengambil keputusan
guna mencari pertolongan pada tenaga kesehatan.
Keterlambatan kedua terjadi setelah mendapat keputusan untuk dirujuk ke
fasilitas kesehatan namun keterlambatan ini terjadi akibat kesulitan transportasi.
Kendala geografis di lapangan mengakibatkan rumah sakit rujukan sulit dicapai dalam
waktu 2 jam dan merupakan waktu maksimal yang diperlukan untuk menyelamatkan
ibu dalam keadaan gawat darurat obstetrik.
Keterlambatan ketiga biasanya terlambat dalam memperoleh pelayanan
perawatan di fasilitas kesehatan. Ibu yang bersangkutan harus menunggu beberapa
jam di fasilitas kesehatan sebelum mendapat pelayanan dari petugas kesehatan karena
manajemen staf yang kurang baik misalnya: ibu kesulitan memperoleh darah untuk
keperluan transfusi dan tindakan operasi. Pelaksanaan sistem pelayanan kebidanan
yang baik didasarkan pada regionalisasi pelayanan perinatal dimana ibu hamil harus
mempunyai kesempatan mendapatkan penanganan dalam waktu 30 menit dan
pelayanan operatif dalam waktu tidak lebih dari satu jam dan bayi harus dapat segera
dilahirkan. (Joko Pratomo, 2003).
Faktor nonmedis yang besar pengaruhnya terhadap terjadinya Rujukan
Terlambat adalah:
a.Komplikasi persalinan yang tak terduga
Dalam keadaan ini sering keluarga menjadi panik sehingga tidak segera dapat
mengambil keputusan apakah penderita akan dirujuk atau tidak. Keterlambatan
pengambilan keputusan ini mungkin karena faktor sosiobudaya, biaya, transportasi
dan
lingkungan.
b. Penolong pertama, jumlah penolong dan lama pertolongan di luar rumah sakit.
c. Pertolongan “estafet”
d. Geografis.
 Penolong persalinan
Salah satu faktor tingginya AKI di RDTL disebabkan karena masih rendahnya
cakupan pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan yaitu 29% sedangkan 70%
persalinan ditolong oleh bukan tenaga kesehatan dan 1% tidak diketahui penolongnya.
(WHO, 2010).

8. Solusi mengatasi AKI yang tinggi


Konsep safe motherhood sendiri mencakup serangkaian upaya, praktik, protokol, dan
panduan pemberian pelayanan yang didesain untuk memastikan perempuan menerima
layanan ginekologis, layanan keluarga berencana, serta layanan prenatal, delivery,
dan postpartum  yang berkualitas, dengan tujuan untuk menjamin kondisi kesehatan sang ibu,
janin, dan anak agar tetap optimal pada saat kehamilan, persalinan, dan pasca-melahirkan
(USAID, 2005). Mengacu pada modul yang disusun oleh The Health Policy Project (2003),
konsep safe motherhood sendiri memiliki enam pilar utama, yaitu:
1. Keluarga Berencana – Memastikan bahwa baik individu maupun pasangan memiliki
akses terhadap informasi, dan layanan keluarga berencana untuk merencanakan waktu,
jumlah, dan jarak kehamilan.
2. Perawatan Antenatal – Menyediakan vitamin, imunisasi, dan memantau faktor-
faktor risiko yang dapat menyebabkan komplikasi kehamilan; serta memastikan bahwa
segala bentuk komplikasi dapat terdeteksi secara dini, dan ditangani dengan baik.
3. Perawatan Persalinan – Memastikan bahwa tenaga kesehatan yang terlibat dalam
proses persalinan memiliki pengetahuan, kemampuan, dan alat-alat kesehatan untuk
mendukung persalinan yang aman; serta menjamin ketersediaan perawatan darurat bagi
perempuan yang membutuhkan, terkait kasus-kasus kehamilan berisiko dan komplikasi
kehamilan.
4. Perawatan Postnatal – Memastikan bahwa perawatan pasca-persalinan diberikan
kepada ibu dan bayi, seperti bantuan terkait cara menyusui, layanan keluarga berencana,
serta mengamati tanda-tanda bahaya yang terlihat pada ibu dan anak.
5. Perawatan Post-aborsi – Mencegah terjadinya komplikasi, memastikan bahwa
komplikasi aborsi terdeteksi sejak dini dan ditangani dengan baik, membahas tentang
permasalahan kesehatan reproduksi lain yang dialami oleh pasien, serta memberikan
layanan keluarga berencana jika dibutuhkan.
6. Kontrol Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV dan AIDS – mendeteksi, mencegah,
dan mengendalikan penularan IMS, HIV dan AIDS kepada bayi; menghitung risiko
infeksi di masa yang akan datang; menyediakan fasilitas konseling dan tes IMS, HIV dan
AIDS untuk mendorong upaya pencegahan; dan – jika memungkinkan – memperluas
upaya kontrol pada kasus-kasus transmisi IMS, HIV dan AIDS dari ibu ke bayinya.

The Safe Motherhood Initiative inilah yang kemudian digunakan sebagai basis Program
Gerakan Sayang Ibu, atau yang biasa disebut sebagai Program GSI. Program Gerakan Sayang
Ibu merupakan sebuah “gerakan” untuk mengembangkan kualitas perempuan – utamanya
melalui percepatan penurunan angka kematian ibu – yang dilaksanakan bersama-sama oleh
pemerintah dan masyarakat (Syafrudin dalam Priyadi dkk, 2011). Tujuan utama dari Program
GSI adalah peningkatan kesadaran masyarakat, yang kemudian berdampak pada keterlibatan
mereka secara aktif dalam program-program penurunan AKI; seperti menghimpun dana
bantuan persalinan melalui Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), pemetaan ibu hamil dan
penugasan donor darah pendamping, serta penyediaan ambulan desa (Syafrudin dalam
Priyadi dkk, 2011). Berbeda dengan The Safe Motherhood Initiative  yang terkesan sangat
struktural, program GSI justru menekankan keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya-upaya
untuk menurunkan AKI.
 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) terlibat secara aktif dalam upaya
penurunan AKI; khususnya melalui poin pertama, kelima, dan terakhir dari The Safe
Motherhood Initiative, yaitu akses program keluarga berencana, perawatan pasca aborsi,
dan kontrol IMS, HIV dan AIDS. Sejak didirikan pada tahun 1957, PKBI percaya bahwa
keluarga merupakan pilar utama untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Keluarga
yang dimaksud adalah keluarga yang bertanggung jawab – baik dalam dimensi kelahiran,
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan masa depan. Nilai inilah yang kemudian
dimanifestasikan dalam Program Layanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Seksual
dan Reproduksi (Kespro) PKBI.
Melalui Program Layanan KB dan Kespro, PKBI menyediakan pelayanan kesehatan seksual
dan reproduksi yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (termasuk kelompok difabel
dan kelompok marjinal lain). Salah satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh PKBI dalam
program tersebut adalah program keluarga berencana – senada dengan poin pertama dari
enam pilar utama The Safe Motherhood Association. Selain program KB, PKBI juga
menyediakan pelayanan penanganan kehamilan tidak diinginkan yang komprehensif, sesuai
dengan poin kelima dari enam pilar utama The Safe Motherhood Association. Terakhir, dalam
rencana strategisnya, PKBI juga memiliki komitmen untuk mengembangkan upaya
pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS. – sejalan dengan pilar terakhir The
Safe Motherhood Initiative.
https://pkbi.or.id/kematian-ibu-dan-upaya-upaya-penanggulangannya/
Menkes menambahkan terkait strategi keempat yaitu kegiatan akselerasi dan inovasi tahun
2011, upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan yaitu:
Pertama, kerjasama dengan sektor terkait dan pemerintah daerah telah menindaklanjuti Inpres
no. 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional dan
Inpres No. 3 tahun 2010 HYPERLINK “https://bappenas.go.id/get-file-server/node/9274/”
Tentang Program Pembangunan Yang Berkeadilan melalui kegiatan sosialisasi, fasilitasi dan
advokasi terkait percepatan pencapaian MDGs. Akhir tahun 2011, diharapkan propinsi dan
kabupaten/kota telah selesai menyusun Rencana Aksi Daerah dalam percepatan pencapaian
MDGs yaitu mengentaskan kemiskinan ekstrim dan kelaparan, mengurangi tingkat kematian
anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya.
Kedua, pemberian Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), mulai tahun 2011 setiap
Puskesmas mendapat BOK, yang besarnya bervariasi dari Rp 75 juta sampai 250 juta per
tahun. Dengan adanya BOK, pelayanan “outreach” di luar gedung terutama pelayanan KIA-
KB dapat lebih mendekati masyarakat yang membutuhkan.
Ketiga, menetapkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) berupa indikator
komposit (status kesehatan, perilaku, lingkungan dan akses pelayanan kesehatan) yang
digunakan untuk menetapkan kabupaten/kota yang mempunyai masalah kesehatan. Ada 130
kab/kota yang ditetapkan sebagai DBK yang tahun ini akan didampingi dan difasilitasi
Kementerian Kesehatan.
Keempat, penempatan tenaga strategis (dokter dan bidan) dan penyediaan fasilitas kesehatan
di Daerah Terpencil, Perbatasan, Kepulauan (DTPK), termasuk dokter plus, “mobile team”.
Kelima, akan diluncurkan 2 Peraturan Menteri Kesehatan terkait dengan standar pelayan KB
berkualitas, sebagaimana diamanatkan UU no 52 tahun 2009 Tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
9. Pengertian SDGs
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs)
adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat
secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan
sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta
pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu
menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.
TPB/SDGs merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk
menyejahterakan masyarakat mencakup 17 tujuan yaitu
(1) Tanpa Kemiskinan;
(2) Tanpa Kelaparan;
(3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera;
(4) Pendidikan Berkualitas;
(5) Kesetaraan Gender;
(6) Air Bersih dan Sanitasi Layak;
(7) Energi Bersih dan Terjangkau;
(8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi;
(9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur;
(10) Berkurangnya Kesenjangan;
(11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan;
(12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab;
(13) Penanganan Perubahan Iklim;
(14) Ekosistem Lautan;
(15) Ekosistem Daratan;
(16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh;
(17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.

10. Target RPJMN tahun 2020-2024

Anda mungkin juga menyukai