INDONESIA
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
183112351550159
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu bagian dari siklus kebijakan publik, implementasi kebijakan
merupakan salah satu tahapan yang amat penting dari keseluruhan proses kebijakan
publik. Implementasi kebijakan merupakan serangkaian kegiatan (tindakan) setelah suatu
kebijakan dirumuskan. Tanpa adanya suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan
yang telah dirumuskan akan menjadi sia-sia. Implementasi kebijakan dengan demikian
merupakan penghubung antara formulasi kebijakan dengan hasil/dampak (outcome)
kebijakan yang diharapkan. Pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan oleh pendapat
Udoji dalam Agustino bahwa: “The execution of policies is as important if not more
important than policy making, policy will remain dreams or blue prints jackets unless
they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan pentingnya jika tidak lebih penting
daripada pembuatan kebijakan, kebijakan akan tetap mimpi atau cetakan kecuali mereka
diimplementasikan).
Secara historis, implementasi kebijakan publik mulai didalami pada tahun 1970an. Hal
ini dikarenakan adanya reaksi terhadap efektivitas program yang dilaksanakan
pemerintah. yang diprakarsai Pressman dan Wildavsky, Studi Implementasi Kebijakan
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu ditandai dengan
munculnya teori dari berbagai generasi. Eugene Bardach merupakan salah satu tokoh
yang termasuk pada Teori Generasi I, van Horn dan van Metter, Mazmanian dan
Sabatier, Hjern merupakan tokoh yang mengembangkan Teori Generasi II, sedangkan
Goggin menjadi salah satu tokoh yang mengembangkan Teori Generasi III. Bahkan, saat
ini embrio generasi IV telah muncul. Setiap generasi, teori-teori yang berkembang
ditujukan untuk melengkapi kekurangan dari teori generasi sebelumnya. Selain itu
penulis juga menemukan beberapa teori dan model dalam implementasi selain yang
disebutkan diatas dan akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Dengan beragamnya teori dan model implementasi kebijakan publik, maka perlu
dijelaskan, dipelajari dan dipahami sehingga diperoleh pengetahuan yang baru dalam
implementasi kebijakan publik. Maka dari itu dalam tulisan ini, penulis mengambil judul
Makalah “Model Implementasi Kebijakan Van Metter dan Van Horn”
Berdasarkan dari judul makalah di atas yang telah peneliti sampaikan, maka peneliti
merumuskan masalah yang akan dikaji melalui sebuah penelitian agar fokus pada satu
masalah yang dikemukakan. Adapun pokok masalah pada penelitian ini adalah
“Bagaimana Model Implementasi Kebijakan Van Metter dan Van Horn di Indonesia”
1.3 Tujuan Penulisan
Dengan tujuan untuk memaparkan teori dan model implementasi kebijakan publik
menurut Van Metter dan Van Horn. Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini
bagi penulis adalah menambah pengetahuan dan wawasan tentang implementasi
kebijakan publik serta melatih kemampuan menulis. Sedangkan manfaat untuk pembaca
adalah menambah pengetahuan dan wawasan tentang implementasi kebijakan public.
BAB II
PEMBAHASAN
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn
disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini
merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejawan paham kebijakan yang
pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan
yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini
mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan
politik, pelaksana bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel-variabel
tersebut yaitu :
Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van
Horn dijelaskan sebagai berikut:
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan
tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio- kultur yang ada di level pelaksana
kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit
direalisasikan (agustino 2006). Van Meter dan Van Horn (Sulaeman 1998)
mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan
standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja
kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan
sasaran tersebut.
1. Sumber Daya
Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan
penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Derthicks ( dalam Van Meter dan Van Horn, 1974 ) bahwa : “ Newton suggest that
the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the
program “Van Meter dan Van Horn ( dalam Widodo 1974 ) menegaskan bahwa :
“ Sumber daya kebijakan ( policy resources ) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi.
Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar
administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif
lain yang dapat memperlancar pelaksanaan ( implementasi ) suatu kebijakan. Kurangnya
atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan
sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan “.
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal
yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja
implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan
para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan
dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan
disiplin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif.
Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan
agen pelaksana kebijakan.
Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-
prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan fragmentasi.
SOP dikembangkan sebagai respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber
daya dari pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-
organisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk
situasi tipikal di masa lalu mungkin menghambat perubahan dalam kebijakan karena
tidak sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi
implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau
tipe-tipe personel baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan
membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar
probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III, 1980).
B. Fragmentasi.
Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan
tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa
dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang
diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik,
pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan
komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu
organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami gangguan
(distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda
memberikan interpretasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan
tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interpretasi yang penuh dengan
pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan
suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.
Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh
komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and
consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu,
koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin
baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi
kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2006): ”sikap penerimaan
atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal
betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya
bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui
bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus
diselesaikan”.
Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu kebijakan dan cara
melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan
kepentingan- kepentingan pribadinya. Van Metter dan Van Horn (1974) menjelaskan
disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan (be filtered) lebih dahulu
melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu
dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi
kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri
dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and
understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral
atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap
kebijakan.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah
penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi
gagal (frustrated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap
standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap
standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap
standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin
bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang
menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Meter dan Van Horn, 1974).
Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan
kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan
tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi
kebijakan (Kaufman dalam Van Metter dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas
disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance)
kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan
gagalnya implementasi kebijakan.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah
sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber
masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi
kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.
Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter dan Van Horn dapat
dijelaskan dalam gambar berikut ini:
Menurut pendapat Webster, mengatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu
proses pelaksanaan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang – undang,
peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden). Pada
sisi lain, Van Metter dan Van Horn, mengatakan bahwa “policy implementation
encompasses those action by public and private individuals (and groups) that are directed
at the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions” makna yang
bisa ditangkap dari pernyataan itu adalah bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-
tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok pemerintah
dan swasta, yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas
dalam keputusan kebijakan.
Kebijakan dalam penelitian ini bermakna juga, bagaimana langkah – langkah yang
ditempuh oleh Pemerintah dalam menjawab bahwa pilihan tindakan yang ditempuh oleh
Pemerintah dapat : (1) Kebijakan yang diambil dapat berlangsung secara terus menerus,
(2) Dapat diimplementasikan dengan baik.
Kita dapat mengatakan bahwa kebijakan public apapun sebenarnya mengandung resiko
untuk gagal. Hogwood dan Gunn telah membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy
failure) ini dalam dua kategori 4 :
Kondisi sosial ekonomi masyarakat menyangkut akan hal keadaan suatu masyarakat
secara umum, mulai dari pendidikan, keadaan ekonomi, dan kondisi sosialnya yang
secara sederhana dapat dikatakan kepada masyarakat yang sudah terbuka dan modern
dengan masyarakat yang tertutup dan tradisional. Masyarakat yang sudah terbuka akan
lebih mudah menerima program-program pembaharuan daripada masyarakat yang masih
tertutup dan tradisional. Sementara itu, teknologi sendiri adalah sebagai pembantu untuk
mempermudah pengimplementasian sebuah program. Teknologi yang semakin modern
tentu akan semakin mempermudah.
Dukungan publik akan cenderung besar ketika kebijakan yang dikeluarkan memberikan
insentif ataupun kemudahan, seperti pembuatan KTP gratis, dan lain-lain. Sebaliknya,
dukungan akan semakin sedikit ketika kebijakan tersebut malah bersifat disinsentif
seperti kenaikan BBM.
Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam
kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki
keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas
tujuan tersebut.
Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau
dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian dan
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman kebijakan Negara, yang mencakup
baik usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau
dampak nyata pada masyarakat.”
Berangkat dari beberapa konsep implementasi yang telah dijelaskan diatas, maka kajian
implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan
dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut agar bisa mencapai
sasaran. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan alokasi dana desa
di desa Tunjungtirto bisa
berlangsung secara efektif, penulis menggunakan model implementasi top down dan
bottom up Mazmanian dan Sabatier, yang masing – masing model tersebut memiliki
karakter kelebihan dan kelemahan.
Pendekatan top down
Pendekatan secara top-down yaitu pendekatan secara satu pihak dari atas ke bawah.
Dalam proses implementasi peranan pemerintah sangat besar, pada pendekatan ini asumsi
yang terjadi adalah para pembuat keputusan merupakan faktor kunci dalam keberhasilan
implementasi, sedangkan pihak lain yang terlibat dalam proses implementasi dianggap
menghambat sehingga para pembuat keputusan meremehkan inisiatif strategi yang
berasal dari level birokrasi rendah maupun subsistem kebijaksanaan yang lain.
Menurut pendapat Sabatier, mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki oleh model
pendekatan top down ini adalah:
Sementara itu beberapa kelemahan yang juga dimiliki oleh model model top down ini
sebagaimana menurut pendapat Sabatier adalah sebagai berikut :
Pendekatan bottom up
Pendekatan bottom-up didasarkan pada jenis kebijakan public yang didasarkan pada jenis
kebijakan public yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi
kebijakannya atau masih melibatkan pejabat pemerintahan namun hanya di dataran
rendah. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa implementasi berlangsung
dalam lingkungan perbuatan keputusan yang terdesentralisasi. Model ini menyediakan
suatu mekanisme untuk bergerak dari level untuk bergerak dari level birokrasi paling
bawah sampai pada pembuatan keputusan tertinggi di sektor public maupun sektor privat.
Adapun kelebihan dari pendekatan model bottom up ini, sebagaimana menurut pendapat
Sabatier adalah sebagai berikut:
Sementara itu beberapa kelemahan yang juga dimiliki oleh model bottom up ini,
sebagaimana menurut pendapat Sabatier adalah sebagai berikut :
Berdasarkan gambaran beberapa faktor kelebihan dan kelemahan dari model pendekatan
top down dan bottom up tersebut, maka lebih lanjut menurut pendapat Sabatier
memberikan pertimbangan bahwa pendekatan bottom up tidak perlu digunakan untuk
mempertimbangkan keterbatasan banyak aktor dalam implementasi kebijakan begitu juga
terhadap analisis untuk mengetahui efektivitas program, disamping model pendekatan
bottom up juga diperuntukan bagi pemerintah yang memiliki dan dan waktu yang cukup
banyak. Sementara model pendekatan top down lebih tepat digunakan terhadap kasus
dimana pemerintah bertindak sebagai agen yang dominan dengan analisis kepentingan
untuk mengetahui efektivitas program, disamping dapat dipergunakan oleh pemerintah
yang memiliki dana dan waktu terbatas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Van Metter dan Van Horn, mengatakan bahwa “policy implementation encompasses
those action by public and private individuals (and groups) that are directed at the
achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions” makna yang bisa
ditangkap dari pernyataan itu adalah bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-
tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok pemerintah
dan swasta, yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas
dalam keputusan kebijakan. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan
berjalan secara linier dari keputusan politik, pelaksana bahwa kinerja kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa variabel-variabel tersebut yaitu : (1)Standar dan sasaran
kebijakan/ukuran dan tujuan kebijaka. (2) Sumber daya. (3) Karakteristik organisasi
pelaksana. (4) Sikap para pelaksan. (5) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-
kegiatan pelaksanaan. (6)Lingkungan sosial, ekonomi, sosial dan politik
Daftar Pustaka
Riki Kurniawan, M.Benny Alexandri, Dan Heru Nurasa. 2018. Imstep : Indonesian
Marine Science And Techno Park Implementasi Kebijakan Model Van Meter Dan Van
Horn Di Indonesia. Responsive, Volume 1 No. 1 Oktober 2018 : 34-38. 19098-48921-1-
Sm.Pdf. di akses pada 02 Juni 2021
Habil Maranda Maghfirullah. Teori Dan Model Implementasi Kebijakan Publik. Teori-
Dan-Model-Implementasi-Kebijakan-Publik.Pdf (Researchgate.Net). di akses pada 02
Juni 2021
Model Pendekatan Implementasi Kebijakan Yang Dirumurkan Van Meter Dan Van Horn.
Jiptummpp-Gdl-Aanwidiast-47496-3-Babii.Pdf. di akses pada 02 Juni 2021