Anda di halaman 1dari 6

Diagram Fasa dan Jenis Reservoir

Dipublikasikan oleh Petroleum ID pada 23 Juli 2019

Secara kimiawi, minyak dan gas bumi terdiri dari molekul-molekul yang tersusun dari unsur
kimia hidrogen (H) dan karbon (C) dengan ikatan kimia tertentu. Komposisi ikatan molekul-
molekul tersebut dapat berbeda satu sama lain; yaitu mempunyai proporsi yang beraneka
ragam. Suatu jenis hidrokarbon yang ditemukan di suatu tempat, akan sangat jarang dapat
ditemukan di tempat lain dengan komposisi yang sama persis. Selanjutnya, komponen
hidrokarbon juga dapat terbentuk menjadi ikatan yang sangat rumit. Tergantung ikatan antara
atom-atom C dan H, hidrokarbon dapat berupa hidrokarbon ringan, seperti gas, atau dapat
pula berupa minyak berat. Semakin banyak komponen ringan yang terbentuk maka semakin
banyak gas yang akan dihasilkan. Sebaliknya, semakin banyak komponen berat yang
terbentuk, maka semakin banyak minyak yang akan dihasilkan.

Keberadaan fasa hidrokarbon – apakah itu berupa cairan, yaitu minyak, atau gas – tergantung
pada tekanan reservoir. Jika tekanan berubah maka keberadaan fasa juga berubah. Bila
tekanan naik, maka molekul tertekan untuk bersatu bersama-sama sehingga cenderung untuk
menjadi cairan. Sebaliknya bila tekanan berkurang, maka gas akan mengembang dan cairan
akan menguap dan berubah menjadi gas. Keberadaan fasa hidrokarbon juga dipengaruhi oleh
temperatur. Bila temperatur naik, maka molekul mendapat energi kinetik yang tinggi,
sehingga terjadi kecenderungan cairan untuk menjadi gas. Sebaliknya bila temperatur turun,
maka terjadi kondensasi dimana gas menjadi cairan.

Karena perubahan tekanan dan temperatur tersebut maka dapat terjadi perubahan fasa selama
perjalanan hidrokarbon dari reservoir ke permukaan pada waktu hidrokarbon tersebut
diproduksikan. Keadaan ini biasanya digambarkan oleh yang apa yang disebut dengan
diagram fasa. Dengan diagram fasa ini maka reservoir dapat dibagi menjadi beberapa jenis
tergantung keberadaan fluidanya, yaitu:

1. Reservoir minyak
2. Reservoir gas
3. Reservoir kondensat

Reservoir minyak dapat berupa reservoir dengan volume minyak yang stabil (low shrinkage
oil) dimana pengaruh tekanan terhadap volume tidak terlalu besar atau reservoir dengan
volume minyak yang tidak stabil (high shrinkage oil) dimana volume minyak sangat
dipengaruhi oleh perubahan tekanan. Sedangkan reservoir gas dapat berupa reservoir dengan
gas kering (dry gas) atau gas basah (wet gas).

Secara teknis, jenis reservoir dapat didefinisikan oleh letak temperatur dan tekanan awal
reservoir terhadap daerah dua fasa pada diagram tekanan-temperatur (P-T). Kurva P-T
tersebut, untuk tiap reservoir berbeda-beda tergantung komposisi hidrokarbon yang
dikandungnya. Namun, secara umum dapat digambarkan seperti ditunjukkan pada gambar
berikut. Daerah yang dibatasai oleh garis bubble point dan dew point adalah daerah dimana
terdapat baik fasa gas maupun fasa cair. Kurva-kurva di dalamnya menunjukkan persentase
volumetrik fasa cair. Tinjau suatu reservoir yang pada awalnya mempunyai p = 3700 psia dan
T = 300 oF. Reservoir ini berada pada titik A dan hidrokarbon yang dikandungnya adalah
berupa fasa gas. Selama produksi, tekanan turun, namun temperatur tetap sebesar 300 oF.
Perubahan ini ditunjukkan oleh garis A-A1. Selama perubahan tekanan pada kondisi
isothermal ini, fasa di reservoir tetap berupa fasa gas. Komposisi fluida di reservoir tidak
berubah karena temperatur yang lebih besar dari cricondentherm. Begitu pula komposisi
fluida yang diproduksikan tetap. Namun demikian, fasa yang terproduksikan akan berubah
sesuai dengan garis A-A2, sehingga di permukaan akan muncul condensate liquid. Jika,
misalnya cricondentherm adalah 50 oF, maka di permukaan fluida terproduksi akan tetap
sebagai fasa gas, dan reservoir yang demikian disebut dengan dry gas reservoir.

Sekarang, tinjau reservoir yang pada awalnya mempunyai p = 3300 psia dan T = 180 oF,
seperti ditunjukkan oleh titik B. Reservoir ini juga mengandung fluida satu fasa berupa gas
karena temperaturnya lebih besar dari temperatur kritik. Karena diproduksikan, maka tekanan
menurun, namun dengan komposisi fluida yang tetap sama – seperti halnya yang terjadi di
reservoir A – sampai tekanan dew-point dicapai, titik B 1. Di bawah tekanan ini fasa cair akan
terkondensasi sebagai kabut atau dew dan reservoir demikian disebut dengan dew-point
reservoir. Kondensasi ini mengakibatkan fasa gas kehilangan kandungan cairan. Cairan yang
terkondensasi tersebut kemudian menempel pada dinding pori batuan dan tidak bisa bergerak
(fenomena membasahi berkenaan dengan tegangan antar muka). Oleh karenanya, gas yang
terproduksikan ke permukaan mempunyai kandungan cairan yang lebih sedikit dibandingkan
dengan kandungan semula di reservoir sehingga untuk jenis reservoir ini producing gas-oil
ratio (GOR) akan meningkat. Kejadian ini disebut dengan retrograde condensation. Disebut
dengan retrograde karena pada kondisi ekspansi isotermal umumnya yang terjadi adalah
vaporization bukan condensation. Proses retrograde condensation akan berlangsung sampai
titik B2 dicapai, yaitu pada kandungan cairan maksimum 10% pada tekanan 2050 psia.
Kejadian sebenarnya, setelah dew point dicapai, komposisi fluida di reservoir berubah
sehingga diagram P-T juga berubah. Namun untuk penjelasan di sini, perubahan tersebut
diabaikan dan tidak dibahas. Selanjutnya terjadi vaporization dari titik B2 ke titik B3. Hal ini
mengakibatkan liquid recovery dan oleh karenanya kemungkinan terjadi penurunan
producing GOR di permukaan.

Gambar 1. Diagram Fasa


Selanjutnya tinjau reservoir yang pada awalnya mempunyai p = 2800 psia dan T = 70 oF,
seperti ditunjukkan oleh titik C. Reservoir ini juga mengandung fluida satu fasa namun
sekarang berupa fasa cair karena temperatur lebih kecil dari temperatir kritik. Reservoir
demikian disebut dengan bubble-point reservoir. Karena diproduksikan, tekanan turun, dan
suatu saat mencapai tekanan bubble-point yaitu pada p = 2400 psia, titik C1. Di bawah
tekanan ini gelembung gas akan muncul. Gas ini umumnya akan bergerak menuju sumur dan
kemudian terproduksikan dengan jumlah yang bahkan meningkat. Sebaliknya minyak
terproduksikan akan berkurang dan sebagian bahkan tetap berada di reservoir dan tidak
terproduksikan. Istilah lain yang sering digunakan untuk reservoir dengan fenomena
mekanisme pendorongan semacam ini adalah depletion, dissolved gas, solution gas drive,
expansion, atau internal gas drive.

Dan jenis reservoir yang terakhir adalah jika reservoir berada pada titik D, yaitu yang pada
awalnya mempunyai p = 1800 psia dan T = 170 oF.  Fluida yang terkandung di reservoir 
yang demikian berada dalam dua fasa yaitu fasa cair dan fasa liquid.

1. Low Shrinkage Oil


Yang dimaksud dengan low shrinkage oil adalah hidrokarbon yang dengan turunnya
tekanan, akibat proses produksi hanya sedikit fasa cairan yang akan berubah menjadi
fasa gas. Hal ini disebabkan oleh banyaknya komponen berat dari hidrokarbon, dan
hanya akan mulai keluar gas, bila komponen-komponen ringan seperti metana, etana
dan propana mulai bergerak menguap.
2. High Shrinkage Oil.
Dengan turunnya tekanan high shrinkage oil akan menguapkan cairan menjadi gas
yang cukup banyak. Hal ini disebabkan kandungan komponen ringan cukup banyak di
dalam sistem hidrokarbonnya. Bila tekanan dan temperatur turun sampai  ke kondisi
separator, maka akan diperoleh hidrokarbon sebagai gas. Dengan demikian minyak
yang diperoleh menjadi berkurang.
3. Dry Gas.
Yang dimaksud dengan dry gas adalah kondisi hidrokarbon bila tekanan dan
temperaturnya menurun, tidak akan terbentuk cairan.
4. Wet Gas.
Sedangkan yang dimaksud dengan wet gas adalah hidrokarbon yang bila
temperaturnya diturunkan akan menghasilkan cairan.
5. Condensate Gas.
Condensate gas akan terjadi, bila kondisi hidrokarbon di reservoir mempunyai
temperatur yang lebih besar dari titik kritisnya, sehingga sistem menjadi gas. Akan
tetapi bila tekanan diturunkan, maka akan dihasilkan sejumlah cairan, dan bila
diteruskan penurunan tekanan maka akan kembali menjadi gas.

Kinerja Aliran Fluida Reservoir Dalam


Media Berpori
Dipublikasikan oleh Petroleum ID pada 24 April 2020

Hal utama yang harus diperhatikan dalam memproduksi suatu sumur adalah menentukan
besarnya laju produksi yang akan dihasilkan, yaitu sebesar kemampuan formasi produktif
untuk memproduksikan fluida reservoir. Fluida yang terdapat dalam media berpori dapat
mengalir ke lubang sumur jika ada perbedaan tekanan antara kedua bagian tersebut. Fluida
yang mengalir dari formasi produktif ke lubang sumur dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu:

1. Jumlah fasa yang mengalirSifat fisik batuan reservoir


2. Sifat fisik fluida reservoir
3. Konfigurasi di sekitar lubang sumur bor, yaitu adanya lubang perforasi, skin (kerusakan
formasi), gravel pack dan rekahan hasil perekahan hidrolik.
4. Kemiringan lubang sumur pada formasi produktif
5. Bentuk daerah pengurasan

Keenam faktor tersebut di atas, secara ideal harus diwakili dalam setiap persamaan
perhitungan kelakuan aliran fluida dari formasi masuk ke lubang sumur. Tetapi sekarang
belum tersedia suatu persamaan praktis yang memperhitungkan keenam faktor di atas secara
serentak. Sampai saat ini tersedia banyak persamaan untuk memperkirakan kelakuan aliran
fluida dari formasi ke dasar lubang sumur, masing-masing persamaan mempunyai anggapan-
anggapan tertentu sesuai dengan teknik pengembangannya. Jadi perlu diperhatikan tentang
anggapan-anggapan tersebut sebelum menggunakan suatu persamaan di suatu sumur
produksi.

Productivity Index (PI)

Productivity index merupakan indeks yang digunakan untuk menyatakan kemampuan suatu
sumur untuk berproduksi pada suatu kondisi tertentu, atau dinyatakan sebagai perbandingan
antara laju produksi suatu sumur pada suatu harga tekanan alir dasar sumur (Pwf) tertentu
dengan perbedaan tekanan reservoir (Ps) dan tekanan dasar sumur pada saat terjadi aliran
(Pwf). Adapun dalam bentuk persamaan, dapat ditulis sebagai berikut:

Dimana
PI         = Productivity index, Bb//day/psi
q          = Laju produksi, Bbl/day
Ps         = Tekanan Statik dasar sumur, psi
Pwf        = Tekanan alir dasar sumur, psi

Inflow Performance Relationship (IPR)

Productivity Index (PI) yang hanya merupakan gambaran secara kuantitatif mengenai
kemampuan suatu sumur untuk berproduksi. Untuk melihat kelakuan sumur berproduksi,
maka harga PI dinyatakan secara grafis, yaitu grafik yang menunjukkan hubungan antara
tekanan alir dasar sumur dengan laju produksi, yaitu berupa grafik yang disebut dengan
Inflow Performance Relationship Curve (IPR).

Pembuatan kurva IPR untuk sumur-sumur minyak yang memproduksi air dapat dilakukan
dengan menggunakan metode Vogel, Pudjo Sukarno dan lain lain
Fig. 1 Kurva
IPR

Anda mungkin juga menyukai